1-presentasi-kasus-anestesi

42
PRESENTASI KASUS General Anestesi Pada Operasi Laparotomi Ileus Obstruktif Dengan Riwayat Hipertensi Disusun Untuk Sebagai Syarat Dalam Mengikuti Ujian Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Diajukan Kepada: dr. H Fauzi AR, Sp. An Disusun Oleh: Aditya Panji Prakosa (20060310051)

Upload: aditya-hardjo-pawiro-diningrat

Post on 02-Aug-2015

125 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

PRESENTASI KASUS

General Anestesi Pada Operasi Laparotomi Ileus Obstruktif

Dengan Riwayat Hipertensi

Disusun Untuk Sebagai Syarat Dalam Mengikuti Ujian Profesi

Kedokteran Bagian Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi Rumah Sakit

PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:

dr. H Fauzi AR, Sp. An

Disusun Oleh:

Aditya Panji Prakosa (20060310051)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2012

Page 2: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Ny. S

Umur : 62 tahun

Berat/ tinggi badan : 46 kg/ 145 cm

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Alamat : Kelapa Sawit 05/1 Bulus Pesantern

No. RM : 825985

Tanggal Masuk RS : 6 September 2012

Tanggal Operasi : 7 September 2012

II. KEADAAN UMUM

Kesadaran : Compos Mentis, tampak kesakitan

Tekanan Darah : 150/80 mmHg

Nadi : 85 x/ menit

Suhu : 37,50 C

Respirasi : 20 x/ menit

III. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Nyeri Perut, tidak bisa BAB

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan mengeluhkan nyeri perut dan tidak bisa BAB 2

hari SMRS. Awalnya ketika pasien akan buang air besar yang keluar hanya

lendir disertai dengan adanya darah. Pasien merasakan sangat sakit pada

perutnya apalagi bila ditekan. Pasien hanya mengobatinya dengan

mengompres perut dengan botol yang diisi dengan air hangat. Pasien juga

Page 3: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

tidak dapat kentut. 1 hari SMRS. Pusing (-), Demam (-), mual (+), muntah

(+), penurunan kesadaran (-), buang air kecil tidak ada perubahan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat operasi disangkal

Riwayat mondok di rumah sakit disangkal

Riwayat batuk lama disangkal

Riwayat asma atau sesak nafas disangkal

Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat Hipertensi terkontrol

Riwayat Diabetes Mellitus disangkal

Pasien tidak sedang dalam pengobatan suatu penyakit tertentu dan tidak

mengkonsumsi obat-obatan apapun.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat anggota keluarga yang menderita keluhan serupa disangkal

Riwayat penyakit diabetes melitus atau kencing manis disangkal

Riwayat penyakit hipertensi atau darah tinggi disangkal

Anamnesis Sistem

Sistem Cerebrospinal : Demam (-), Nyeri kepala (-), pingsan (-),

photophobia (-),

Sistem Cardiovascular : Nyeri dada (-), berdebar-debar (-), keringat

dingin (-), sesak (-)

Sistem Respiratorius : Sesak nafas (-), batuk (-)

Sistem Gastrointestinal : Mual (+), muntah (+), nafsu makan

menurun (-), diare (-)

Sistem Urogenital : BAK lancar, nyeri (-), panas (-), hematuria

(-), BAK tidak puas (-), nokturia (-)

Sistem Integumentum : Akral hangat (+), sianotik (-), eritema (-),

gatal (-), tangan basah dingin (-).

Sistem Muskoloskeletal : Nyeri tulang (-), gangguan gerak (-),

penurunan tonus otot (-), pruritus (-).

Kebiasaan/Lingkungan :

Page 4: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Kepala

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks

cahaya (+/+), pupil isokor Ø 3 mm, alis mata simetris (+/+), bulu mata rontok

(-/-), pertumbuhan bulu mata normal (+/+), entropion (-/-), ekstropion (-/-),

ptosis (-/-), kelopak mata bengkak (-/-), sekret (-/-).

Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-)

Telinga : Bentuk daun telinga normal, pendengaran normal, sekret

(-/-)

Mulut : Bibir kering (+), pucat (-), pecah-pecah (-).

Leher : Deformitas (-), tanda inflamasi (-), pembesaran kelenjar

getah bening (-)

Thorak : Inspeksi : dinding dada simetris (+), sikatrik (-)

Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus normal kanan kiri,

krepitasi (-)

Auskutasi : vesikuler +/+, ronki basah halus -/-, ronki

basah kasar -/-, suara jantung S1 dan S2 normal.

Perkusi : sonor, batas jantung normal

Abdomen : Inspeksi : distensi abdomen (+), Darm contour (-),

Darm steifung (-)

Auskultasi : peristaltik (+), metalis sound (+),

Borborygmi (-)

Palpasi : Nyeri Tekan (+)

Perkusi : Hipertimpani

Page 5: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Ekstremitas :

Status Lokalis : deformitas -/-

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

HB : 11,5 %

AT : 217 ribu

AL : 15,2 ribu/ mmk

BT : 2’ menit

CT : 3’ menit

Gol. Darah : O

GDS : 87

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Rontgen Abdomen 3 posisi : Kesan : tampak adanya obstruksi letak tinggi

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta laboratorium, maka:

Diagnosa pre-operatif : Ileus Obstruktif

Status operatif : ASA 2

VII. TINDAKAN ANESTESI

Keadaan pre-operarif : Pasien sudah terpasang NGT sejak tanggal 6

September 2012. Keadaan pasien tampak

kesakitan, kooperatif, tensi 150 / 80 mmHg, nadi

85 x/ menit

Jenis Anestesi : anestesi umum, semi closed, general endotracheal

anestesi dengan ET oral no: 6,5 respirasi kontrol.

Premedikasi yang diberikan : ± 5 menit sebelum dilakukan induksi anestesi,

diberikan premedikasi berupa

Anestesi yang diberikan :

Induksi anestesi

Page 6: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Untuk induksi digunakan Safol 110 mg. Kemudian diberikan

atracarium ,Setelah itu pasien diberi O2 murni selama ± 1 menit, Setelah

terjadi relaksasi kemudian dilakukan intubasi melalui oral dengan ET no.

6,5. Setelah di cek pengembangan paru dan suara nafas paru kanan dan

kiri sama, ET di fiksasi dan dihubungkan dengan sistem apparatus

anestesi. Pernafasan pasien dibantu sampai terjadi nafas spontan.

Maintenance

Untuk mempertahankan status anestesi digunakan kombinasi O2 3 L/

menit, N2O 3 L/ menit, Halothane 30 cc. Selain itu juga diberikan

dexamethasone 10 mg, asam tranexamat 500 mg dan ondansetron 4 mg.

Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa

di kotrol setiap 5 menit. Tekanan darah sistolik berkisar antara 94-120

mmHg, dan 47-80 mmHg untuk diastolik, nadi berkisar antara 80-95 x/

menit. Infus asering dan tetra hes diberikan pada penderita sebagai cairan

rumatan.

Keadaan post operasi

Operasi selesai dalam waktu 75 menit, tetapi pemberian agent anestesi

masih dipertahankan dengan tujuan agar tindakan ekstubasi dalam dilakukan pada

keadaan tidak sadar penuh sehingga tidak menimbulkan batuk dan mencegah

kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia dan sianosis.

Ruang Rumatan

Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan diobsevasi mengenai

pernafasan, tekanan darah, nadi. Bila pasien tenang dan Aldrette Score ≥ 8 tanpa

nilai nol, dapat dipindah ke bangsal. Namun, pada kasus ini, pasien langsung

dipindahkan ke ruang ICU untuk mendapatkan pengawasan yang lebih intensif.

Program post operasi

Pasien dikirim ke bangsal dengan catatan:

Setelah pasien sadar, pasien harus tiduran dengan kepala yang

ditinggikan dengan bantal selama 24 jam, pasien belum boleh duduk dan

berdiri.

Kontrol tekanan darah, nadi dan pernafasan tiap 30 menit.

Page 7: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Bila pasien kesakitan beri ketorolac 30 mg IV, boleh diulang tiap 8 jam.

Bila pasien mual-muntah diberi ondansetron 4 mg IV.

Bila pasien menggigil beri petidin 12,5 mg IV.

Cairan infuse NaCl, beri O2 lewat nasal.

Jika paien sadar penuh dan peristaltik (+), coba makan dan minum

Page 8: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

PEMBAHASAN

Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Tindakan

anesthesia yang memadai, meliputi 3 komponen:

1. Hipnotik

2. Analgesik

3. Relaksasi

Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah sebelumnya adalah dilakukan

premedikasi yaitu tindakan awaln anesthesia dengan memberikan obat-obat

pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedatif, dan

analgetik. Tujuan dari pemberian obat-obatan premedikasi adalah:

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi bebas dari rasa takut,

tegang, dan khawatir: bebas nyeri dan mencegah mual muntah.

2. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus.

3. Memudahkan/memperlancar induksi.

4. Mengurangi dosis obat anesthesia.

5. Mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah.

A. Induksi

Tramus (Atracurium)

Tramus merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Pelumpuh otot non

depolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan reseptor

nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya

menghalangi asetilkolin menempatinya sehingga asetilkolin tidak dapat

bekerja. Mula kerja dan lamanya tergantung pada dosis yang diberikan.

Pada dosis untuk intubai endotrakea, mula kerjanya 2-3 menit setelah

suntikan tunggal intravena, sedangkan lama kerjanya berkisar 15-35menit.

Atrakurium mengalami metabolism didalam darah atau plasma melalui

reaksi kimia yang unik yang disebut dengan reksi Hoffman yang tidak

tergantung pada fungsi hati atau ginjal, sehingga penggunaannya pada

Page 9: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

penyakit ginjal atau hati tidak memerlukan perhatian khusus. Tidak

mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang, sehingga masa

kerjanya singkat. Tidak mempengaruhi fungsi kardiovaskular, sehingga

merupakan pilihan pada pasien yang menderita kelainan fungsi

kardiovaskular.

Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan sesudah masa

kerjanya berakhir, atau apabila diperlukan dapat diberikan obat

antikholinesterase.

Dosis dan cara pemberiannya:

1. Untuk intubasi endotrakea, dosisnya 0,5 – 0,6 mg/kgBB, diberikan

secara intravena.

2. Untuk relaksasi otot pada saat pembedahan, dosisnya 0,5 – 0,6

mg/kgBB,diberikan secara intravena.

3. Pada keadaan tertentu, dapat diberikan secara infus tetes kontinyu.

Ketamin 100 mg

Terhadap susunan saraf pusat

Mempunyai efek analgesia sangat kuat, akan tetapi efek hipnotiknya kurang

dan disertai dengan efek disosiasi, artinya pasien mengalami perubahan

persepsi terhadap rangsang dan lingkungannya. Pada dosis lebih besar, efek

hipnotiknya lebih sempurna.

Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan

mengalami perunbahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada

mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu

kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari, seperti gerakan

menguyah, menelan, tremor, dan kejang. Apabila diberikan secara

intramuscular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit. Aliran darah ke otak

meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial.

Terhadap mata

Page 10: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Menimbulkan lakrimasi, nistagmus, dan kelopak mata terbuka secara

spontan. Terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran

darah pada fleksus koroidalis.

Terhadap system kardiovaskular

Ketamin adalah obat anesthesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga

bisa meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung.

Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh karena efek inotropik positif

dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

Terhadap system respirasi

Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap system respirasi.

Bisa menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya,

sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.

Terhadap metabolisme

Ketamin merangsang sekresi hormone-hormon katabolic seperti

katekolamin, kortisol, glucagon, tiroksin dan lain-lainnya, sehingga laju

katabolisme tubuh meningkat.

Dosis dan cara pemberian

1. Untuk induksi

Diberikan intravena dalam bentuk larutan 1% dengan dosis lazim

1-2/kgBB pelan-pelan.

2. Untuk pemeliharaan

Diberikan intravena intermitten atau tetes kontinyu. Pemberian secara

intermitten diulang setipa 10-15 menit dengan dosis setengah dari dosis

awal sampai operasi selesai.

Kontra indikasi:

Tekanan inta cranial meningkat, misalnya pada tumor kepala, trauma

kepala dan operasi intracranial.

Tekanan intra ocular meningkat seperti pada glaucoma.

Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat-

obat simpatomimetik.

Page 11: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

B. Maintanance

a. N2O (Nitrous Oksida)

Kemasan dan sifat fisik

N2O diperoleh dengan memanaskan amonium nitrat sampai 250C (NH4

NO3→2H2O + N2O). N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau

manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.

Absorpsi, distribusi dan eliminasi

Berdasarkan saturasinya di dalam darah, absorpsi N2O dalam darah

bertahap; Pada 5 menit pertama absorpsinya mencapai saturasi 100%

dicapai stelah 5 jam. Pada tingkat saturasi 100% tidak ada lagi absorpsi dari

alveoli dan dalam darah. Pada keadaan ini konsentrasi N2O dalam darah

sebanyak 47 ml N2O dalam 100 ml darah.

Di dalam darah, N2O tidak terikat dengan hemoglobin tetapilarut dalam

plasma dengan kelarutan 15 kali lebih besar dari kelarutan oksigen. N2O

mampu berdifusi ke dalam semua rongga-rongga dalam tubuh, sehingga

bisa menimbulkan hipoksia-difusi apabila diberikan tanpa kombinasi

dengan oksigen, oleh karena itu setiap mempergunakan N2O harus selalu

dikombinasikan dengan oksigen.

Terhadap sistem saraf pusat

Berkhasiat analgesia dan tidak mempunyai efek hipnotik. Khasiat

analgesianya relatif lemah akibat kombinasinya dengan oksigen. Efeknya

terhadap tekanan intracranial sangat kecil bila dibandingkan dengan obat

anesthesia yang lain. Terhadap susunan saraf otonom, N2O merangsang

reseptor alfa saraf simpatis, tetapi tahanan perifer pembuluh darah tidak

mengalami perubahan.

Terhadap sistem organ yang lain

Pada pemakaian yang lazim dalam praktek anesthesia, N2O tidak

mempunyai pengaruh negatif terhadap sistem kardiovaskular, hanya sedikit

menimbulkan dilatasi pada jantung. Terhadap system respirasi, ginjal,

system reproduksi, endokrin dan metabolism serta system otot rangka tidak

Page 12: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

mengalami perubahan, tonus otot tetap tidak berubah sehingga dalam

penggunaannya mutlak memerlukan obat pelumpuh otot.

Efek Samping

N2O akan meningkatkan efek depresi nafas dari obat tiopenton

terutama setelah diberikan premedikasi narkotik.

Kehilangan pendengaran pasca anesthesia, hal ini disebabkan oleh

karena adanya perbedaan solubilitas antara N2O dan N2 sehingga

terjadi perubahan tekanan pada rongga telinga kanan.

Pemanjangan proses pemulihan anastesia akibat difusinya ke tubuh

seperti misalnya pneumothoraks.

Pemakaian jangka panjang menimbulkan depresi sumsum tulang

sehingga bisa menyebabkan anemia aplastik.

Mempunyai efek teratogenik pada embrio terutama pada umur

embrio 8 hari – 6 minggu, yang dianggap periode kritis.

Hipoksia difusi pasca anesthesia.Hal ini terjadi sebagai akibat dari

sifat difusinya yang luas sehingga proses evaluasinya terlambat.

Oleh karena itu pada akhir anesthesia, oksigenasi harus diperhatikan.

Penggunaan Klinik

Dalam praktik anastesia, N2O digunakan sebagai obat dasar dari anestesi

umum yang selalu dikombinasikan dengan oksigen dengan

perbandingan antara N2O dan O2 = 70 : 30 (untuk pasien normal), 60 :

40 (untuk pasien yang memerlukan tunjungan oksigen lebih banyak)

atau 50 : 50 (untuk pasien yang beresiko tinggi). Dosis untuk

mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20%:80%,

untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%.

b. Halothane (Fluothane)

Halothane adalah obat anestesi inhalasi dalam bentuk cairan bening tak

berwarna yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane

sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous oksidase 70% - oksigen dan

sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk halothane

Page 13: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada

nafas spontan rumatanane stesi 1-2 vol% dan pada nafas kendali sekitar 0,5-

1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan

dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunya tonus simpatis, terjadi

hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi

miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska pemberian halothane sering

menyebabkan pasien menggigil.

D. Intubasi Endotracheal

Tujuan dilakukan tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk

membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar

tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan

oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal:

a. Mempermudah pemberian anestesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan

kelancaran pernafasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak

sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

g. Obat.

Page 14: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI USIA LANJUT

Pendahuluan

Jumlah lansia semakin lama semakin banyak. Di Indonesia saja, di tahun

2007 sudah ada 5.65% populasi penduduk yang berusia 65 tahun ke atas (Depkes

RI, 2009). Demikian juga masalah kesehatan yang berkaitan dengan mereka.

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kesehatan lansia adalah kesehatan

pembuluh darah dan jantung.

Hipertensi pada usia lanjut perlu mendapat perhatian yang lebih serius.

Selain elastisitas pembuluh darah penderita yang menurun, kerja jantung

umumnya pun sudah mulai terganggu. Pada usia lanjut bila tekanan darahnya,

baik sistolik maupun diastolik, meninggi dalam waktu yang tidak terlalu lama

maka harus dicurigai adanya pembuluh darah ginjal yang terganggu. Hal ini

dikenal sebagai hipertensi renovaskuler aterosklerotik.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai hipertensi pada usia

lanjut menghasilkan hal-hal yang menarik diketahui. Ternyata upaya

menurunkan tekanan darah pada usia lanjut memperoleh keuntungan yang lebih

besar dibandingkan dengan golongan usia muda dan menengah.

Hubungan antara tekanan darah yang meninggi dengan penyakit jantung-

pembuluh darah (kardiovaskuler) lebih nyata terlihat pada penderita yang lanjut

usia. Umumnya tekanan darah diastolik meningkat mengikuti pertambahan umur.

Akan tetapi, tekanan darah sistolik peningkatannya lebih nyata pada usia lanjut.

Hal hal berikut perlu diperhatikan untuk menangani hipertensi pada

penderita yang berusia lanjut. Selain kondisi tubuh yang sudah tidak prima,

penderita pun perlu ditangani secara lebih sabar.

Tekanan darah diukur pada posisi berdiri.

Penurunan tekanan darah lebih dari 20 mmHg setelah 1 menit pada posisi

tegak. dianggap abnormal.

Tekanan darah diturunkan bertahap. Bila tekanan darah sebelumnya lebih

tinggi dari 180 mmHg, tekanan diturunkan 20 mmHg lebih rendah.

Page 15: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Selanjutnya tekanan diturunkan bertahap sampai sistolik kurang dari 160

mmHg dan diastolik kurang dari 90 mmHg.

Definisi

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana

tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada

populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan

tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001). Menurut WHO ( 1978 ), tekanan

darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.

Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 ). Hipertensi

dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan

diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi

dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih

rendah dari 90 mmHg.

Semakin tua umur seseorang, tekanan darah normalnya pun semakin

meningkat. Tekanan darah orang dewasa disebut tinggi jika tekanan sistoliknya

140 mmHg ke atas atau tekanan diastoliknya 90 mmHg ke atas. Menurut JNC

(Joint National Committee) VII yang berlaku 2003, hipertensi ditemukan

sebanyak 60-70% pada populasi berusia di atas 65 tahun. Bahkan lansia yang

berumur di atas 80 tahun sering mengalami hipertensi persisten, dengan tekanan

sistolik menetap di atas 160 mmHg. Jenis hipertensi yang khas sering ditemukan

pada lansia adalah isolated systolic hypertension, di mana tekanan sistoliknya saja

yang tinggi (di atas 140 mmHg), namun tekanan diastolik tetap normal (di bawah

90 mmHg).

Banyak juga orang yang beranggapan bahwa tekanan darah tinggi, yaitu

tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari

90 mmHg, adalah hal normal bagi orang tua dan tidak perlu mendapat obat

hipertensi. 

Page 16: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Klasifikasi hipertensi

Faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lansia

Ada beberapa faktor yang mungkin berpengaruh di sini yaitu :

1. Terjadi pengerasan pembuluh darah, khususnya pembuluh nadi (arterial). Hal

ini disertai pengurangan elastisitas dari otot jantung (miokard).

2. Sensitivitas baroreseptor pada pembuluh darah berkurang karena rigiditas

pembuluh arteri. Akibatnya pembuluh darah tidak dapat berfluktuasi dengan

segera sesuai dengan perubahan curah jantung.

3. Selain itu fungsi ginjal juga sudah menurun. Ginjal dalam keadaan normal

juga berperan pada pengaturan tekanan darah, yaitu lewat sistem renin-

angiotensin-aldosteron. Jika tekanan darah sistemik turun, ginjal

menghasilkan renin lebih banyak untuk mengubah angiotensinogen

(angiotensin I) menjadi angiotensin II, zat yang dapat menimbulkan

vasokonstriksi pada pembuluh darah. Akibatnya tekanan darah akan

meningkat. Pada lansia, regulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron sudah

kurang baik.

Page 17: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Batasan Hipertensi pada Lansia

Batasan tekanan darah untuk lansia sama dengan untuk orang dewasa (di

atas 18 tahun).

Pada bagan berikut dapat dilihat batasan tekanan darah yang disebut

hipertensi dan bukan pada dewasa berusia di atas 18 tahun, menurut JNC VII

(2003), dan perubahannya dibandingkan dengan JNC VI.

Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari

setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya.

Page 18: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas yang

meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89

mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan

dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu.

Etiologi

Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan –

perubahan pada :

Elastisitas dinding aorta menurun

Katub jantung menebal dan menjadi kaku

Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah

berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun

menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.

Kehilangan elastisitas pembuluh darah

Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk

oksigenasi

Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer

Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya,

data-data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan

terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :

Faktor keturunan

Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan

lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah

penderita hipertensi

Ciri perseorangan

Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:

Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )

Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )

Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )

Page 19: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Kebiasaan hidup

Konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr )

Kegemukan atau makan berlebihan

Stress

Merokok

Minum alcohol

Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )

Di samping klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2

penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:

1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).

2. Hipertensi sekunder:

Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar: Regurgitasi aorta,

tirotoksikosis, PDA.

Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:

Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik

ginjal, stenosis arteri renalis.

Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma

Conn (hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma,

hipotiroidisme.

Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension),

porfiria akut, tanda-tanda keracunan.

Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa,

hiperkalsemia, peningkatan volume intravaskuler (overload).

Patogenesis Terjadinya Hipertensi

Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya

secara spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari

kasus-kasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan,

seperti penyempitan arteri renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma,

cushing’s disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan.

Page 20: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering disebut

sebagai hipertensi esensial. Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-

kasus hipertensi. Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan

ketidaknormalan peningkatan aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline

dari curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi

peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-duanya.

Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita

hipertensi.

Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi

SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali

normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal. Afterload jantung yang

meningkat secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle hypertrophy) dan

merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga

cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada

tekanan yang tinggi. Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung dan

SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum Law,

yaitu:

BP = CO x SVR

Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi,

dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang

mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance)

dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan

volume cairan intravaskuler (gambar 1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah

baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama dengan

mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan

menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan

hormon-hormon lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga

mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek

vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.

Page 21: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural

dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan

tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi

aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi

otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan

distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar

berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa

oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan

peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001). Pada usia lanjut perlu diperhatikan

kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis

sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).

Farmakologi Dasar Obat-Obat antihipertensi

Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam

tubuh. Kategori obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip

kerjanya, yaitu:

1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan

volume darah, sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop

diuretics.

2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara

menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi

pembuluh darah perifer, menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian

vena sehingga terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan alpha blocker,

methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic

blocker (reserpine, guanethidine).

3. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos

vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker.

4. Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini

menurunkan resistensi perifer dan volume darah, yaitu dengan menghambat

angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghambat metabolisme dari

bradikinin.

Page 22: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Lansia ternyata tetap perlu mendapat obat hipertensi apabila tekanan darahnya

tinggi. Penelitian Beckett et.al (2008) menunjukkan terapi hipertensi pada lansia

yang berusia di atas 80 tahun dapat menurunkan risiko kematian akibat stroke

sebanyak 39% dan menurunkan risiko gagal jantung sebanyak 64%. Hal ini

sejalan dengan penelitian dari HYVET (hypertension in the very elderly trial).

Adapun sasaran tekanan darah yang diharapkan pada kasus hipertensi persisten

adalah 150/80 mmHg. Obat yang dianjurkan adalah indapamid (golongan diuretik

tiazid) lepas lambat (1.5 mg) dan/atau perindopril (golongan ACE-inhibitor) 2-4

mg.

Diuretik tiazid yang umum yaitu HCT (hidroklorotiazid), terkenal sering

menyebabkan gangguan keseimbangan kalium (potasium), yaitu hipokalemia. Hal

ini dapat menyebabkan aritmia fatal pada lansia. Kombinasinya dengan ACE-

inhibitor dapat menetralkan efek hipokalemia ini, karena ACE-inhibitor dapat

menghambat ekskresi ion kalium. Indapamid juga tidak menyebabkan

hiperglikemia dan hiperlipidemia, seperti halnya HCT.

MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani

prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah

terjadi.

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,

untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat

perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur

diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut

apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu

Page 23: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

relatif hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator).

Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia

dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya

aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu.

Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat

ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal,

urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan

seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal

kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu

diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan

adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah

mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit

arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya

TD secara farmakoligis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung

sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit

arteri koronariasebesar 16%.

PERTIMBANGAN ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang

paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan

anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau

115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau

operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan

tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan

pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan

fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa

hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas

kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari

hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik

dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur

tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan

Page 24: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-

25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12

Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan

lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.

Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan

hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang

lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya

itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya

kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum

operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology

(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS _ 180 mmHg dan/atau TDD _ 110

mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat

urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam

beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang

bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung

mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase

yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi.

Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons

hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah

dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang

lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.

HIPERTENSI INTRAOPERATIF

Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah

menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pasien batas akhir hipertensi dapat

diobati seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau

pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan autoregulasi

aliran darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi mempertahankankan aliran

darah otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien dengan hipertensi yang

lama harus dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner dan

hipertrofi jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat

Page 25: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

dihindari. Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu

terjadinya iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya. Tekanan

darah arteri umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra operasi. Jika

hipertensi terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebihdari 180/120

mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas normal, yaitu

150-140/90-80 mm Hg. (Morgan, 2006).

Tabel 2. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut.

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik,

penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya

penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari

pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel

3).

Page 26: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan

digunakan:

Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien

dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada

bronkospastik.

Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering

dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai

onset yang lambat.

Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada

hipertensi sedang sampai berat.

Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi

atau pencegahan iskemia miokard.

Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi

ginjal.

Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset

yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

Page 27: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

MANAJEMEN POSTOPERATIF

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada

pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan

kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard,

disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan

perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat

berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga

menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca

operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya

yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem

respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum

diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab

sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang

paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk

pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan

morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun

nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan

dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien

yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat

antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya

diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker

yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi.

Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid

dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-

inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun

tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena

sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium

nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral

sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.

Page 28: 1-PRESENTASI-KASUS-anestesi

DAFTAR PUSTAKA

1. National Institute of Health (2003). JNC 7 Express: The 7 th Report of the Joint

National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of

High Blood Pressure.

2. Beckett NS, Peters R, Fletcher AE, Staessen JA, Liu L, Dumitrascu D, et.al.

Treatment of Hypertension in Patients 80 Years of Age or Older. N Engl J

Med 2008; 359: 1887-98.

3. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN).

Decision making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th ed.

Philadhelpia: Elsevier; 2007.p.124-6.

4. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at:

http://www. emedicine.com/MED/ topic3158.htm..

5. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http://www.4um.com/

tutorial/anaesthbp.htm.

6. Benowitz NL. Antihypertensive agentcardiovaskular- renal drugs. In: Katzung

BG, editor. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. New York: McGraw-

Hill; 2004.p.160-83.

7. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In:

Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing�

disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.