1 pendahuluan dalam suasana negara yang masih diliputi ...eprints.unisnu.ac.id/265/2/bab i-bab...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam suasana negara yang masih diliputi oleh sisa-sisa
keterpurukan ekonomi beban yang dipikul pemerintah saat ini masih
berat. Untuk membiayai pembangunan nasional pemerintah tidak dapat
hanya tergantung pada hutang luar negeri dengan tingkat suku bunga yang
tidak rendah ataupun dari sumber daya alam yang semakin lama semakin
menipis. Harapan pemerintah salah satunya yang dapat diandalkan untuk
membiayai pembangunan nasional adalah penerimaan dari sektor pajak.
Bukti penerimaan dari sektor pajak saat ini masih diharapkan
sebagai sumber utama penerimaan negara dapat kita lihat dari anggaran
pendapatan dan belanja negara tahun 2001 dan tahun 2000, betapa
mendominasinya, penerimaan dari sektor pajak dibanding dengan sumber
penerimaan lainnya. Namun disisi lain masih sangat rendahnya tingkat tax
ratio terhadap produk domestik bruto yang dicapai pemerintah dibanding
dengan negara-negara lain. Oleh karena itu penggalian dari sektor
perpajakan ini diupayakan seoptimal dan semaksimal mungkin misalnya
dengan ekstensifikasi pajak (menambah jumlah wajib pajak) dan
intensifikasi pajak (mengaktifkan atau menggali potensi pajak dari wajib
pajak yang sudah ada).
2
Kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak merupakan posisi
strategis dalam upaya peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak.
Dengan demikian pengkajian terhadap faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak sangat perlu mendapatkan
perhatian, dimana salah satu cara yang dilakukan dalam upaya
meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajaknya ditempuh
melalui intensifikasi pengawasan pembayaran masa atas pajak sebagai
kewajibannya. Sehubungan dalam hal itu, maka perlu adanya pengawasan
terhadap masa pajak dalam upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak,
dengan menerapkan langkah-langkah yang strategis dalam meningkatkan
kepatuhan (law enforcement) sehingga dapat meningkatkan penerimaan
pajak secara keseluruhan.
Mekanisme intensifikasi pengawasan masa pajak dilakukan dengan
tujuan menumbuhkan kepatuhan wajib pajak yang merupakan serangkaian
kegiatan dalam satu proses secara terpadu, yang ditempuh dengan cara
mengelola potensi pajak yang telah berhasil dibina dengan tertib, efisiensi
dan berkesinambungan. Pada dasarnya kegiatan intensifikasi yang
dilakukan kantor pelayanan pajak memiliki maksud agar dapat memenuhi
target penerimaan pajak yang telah ditentukan oleh pemerintah. Maka
upaya yang ditempuh kantor pelayanan pajak dalam memenuhi target
tersebut adalah dengan meningkatkan mutu pelaksanaan pengawasan atas
masa pajak baik melalui surat teguran, pemeriksaan, STP maupun dengan
cara memberikan bimbingan, dan juga pembinaan serta penyuluhan pada
3
masyarakat agar mampu, sadar dan jujur dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya.
Selain itu peningkatan mutu intensifikasi dapat juga berupa
peningkatan kegiatan pemeriksaan oleh fiskus, melalui peningkatan
kegiatan pemeriksaan lapangan (field audit) maupun pemeriksaan kantor
(room audit), selain itu peningkatan kepatuhan wajib pajak perlu didukung
dengan law enforcement yang berupa sanksi hukum secara konsisten.
Diberlakukannya sanksi dalam perpajakan, yang berupa sanksi
administrasi maupun sanksi pidana akan “memaksa” masyarakat untuk
memenuhi peraturan yang ada. Disamping itu, upaya administrasi juga
dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kerapian terhadap berkas-
berkas yang penting bagi pengawasan pembayaran masa wajib pajak.
Sedangkan peningkatan atau pemenuhan target dapat dititikberatkan pada
perbaikan dan penyempurnaan fiskus untuk diarahkan pada pembentukan
profesionalisme dan peningkatan moral.
Sementara itu pedoman kerja juga harus direnovasi kembali, dan
para pemimpin juga harus sering terjun kebawah untuk melihat sendiri
kondisi yang sesungguhnya terjadi dilapangan, sehingga berbagai
pedoman kerja yang diterapkan memperhitungkan berbagai hambatan
yang ada. Sehingga akan mampu menciptakan suatu sistem yang tepat
dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak
dalam melapor dan memenuhi tanggung jawab pajaknya. Walaupun dalam
kenyataan masih banyak wajib pajak yang belum memenuhi kewajiban
4
perpajakannya baik itu dalam hal membayar, tidak melapor SPT masa
maupun SPT tahunan. Sehingga salah satu pencerminan dalam hal wajib
pajak tidak membayar pajaknya adalah semakin besarnya tunggakan pajak
dari waktu ke waktu. Akibat yang ditimbulkan dari kurangnya tingkat
kepatuhan wajib pajak akan berdampak pada naiknya jumlah tunggakan
pajak dan masih belum diimbangi dengan kegiatan pencairannya, sehingga
salah satu upaya dalam rangka mengantisipasi permasalahan tersebut
adalah dengan kegiatan intensifikasi pengawasan pambayaran masa pajak
PPh pasal 21.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diatas maka
skripsi ini penulis beri judul “ANALISIS INTENSIFIKASI
PENGAWASAN PEMBAYARAN MASA PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 DALAM UPAYA PENINGKATAN KEPATUHAN
KEWAJIBAN PERPAJAKAN PADA KANTOR PELAYANAN
PAJAK PRATAMA JEPARA”.
1.2. Ruang Lingkup
Berdasarkan pertimbangan, maksud dan perhatian penulis dan
kemungkinan tersedianya data serta nantinya agar masalah tidak melebar
dari masalah yang akan dibahas, maka penulis membatasi ruang lingkup
masalah sebagai berikut ini.
1.2.1. Penelitian ini dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Jepara.
5
1.2.2. Penelitian ini dibatasi pada intensifikasi pengawasan
pembayaran masa pajak PPh pasal 21 yang meliputi pemberian
surat teguran, pemeriksaan, surat tagihan pajak dan kegiatan
penyuluhan.
1.3. Perumusan Masalah
Berpijak pada uraian latar belakang tersebut, terdapat
permasalahan yang menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan wajib pajak
dalam melaporkan kewajiban pajaknya antara lain: (a) ketidaktahuan
kewajiban pajaknya; (b) terjadi force major (bencana alam, meninggal);
(c) Character dari wajib pajak yang jelek, sehingga menyebabkan
tindakan tidak patuh yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran
penerimaan pajak.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, pertanyaan peneliti
dapat dirumuskan sebagai berikut ini.
1.3.1. Apa pengaruh antara intensifikasi pengawasan pembayaran
masa pajak ditinjau dari Surat Teguran, Pemeriksaan dan Surat
Tagihan Pajak (STP) terhadap kepatuhan wajib pajak
penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Jepara ?
1.3.2. Apa kendala dan upaya yang dihadapi dalam melakukan
tindakan intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak
6
penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Jepara ?
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara intensifikasi
pengawasan pembayaran masa pajak ditinjau dari pemberian
Surat Teguran, Pemeriksaan dan Surat Tagihan Pajak (STP)
secara parsial dan berganda terhadap kepatuhan wajib pajak
penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Jepara.
1.4.2. Untuk mendiskripsikan kendala-kendala dan upaya apa saja
yang dihadapi dalam melakukan tindakan intensifikasi
pengawasan pembayaran masa pajak penghasilan PPh pasal 21
di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara.
1.5. Kegunaan Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat disampaikan sebagai berikut :
1.5.1. Sebagai sumbangan dan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak
yang berhubungan dengan bidang-bidang perpajakan.
1.5.2. Sebagai wacana khususnya Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Jepara dalam hal tindakan yang telah dilakukan sebagai bahan
evaluasi yang nantinya dapat dicari jalan pemecahannya.
7
1.6. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, dibagi dalam lima BAB yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas mengenai landasan teori
mengenai perpajakan yang meliputi : Pengertian pajak, asas –
asas hukum pajak, sistem perpajakan di Indonesia, kebijakan
perpajakan, dasar pungutan pajak, pajak – pajak yang dikelola
Kantor Pelayanan Pajak, pengertian intensifikasi pajak, istilah
perpajakan dan pajak penghasilan pasal 21.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini akan membahas metode penelitian berupa
definisi operasional variabel, jenis data yang diperoleh, metode
pengolahan data dan metode analisis data.
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas uraian dekripsi obyek
penelitian, analisis data dan pembahasan.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dan saran
berdasarkan penelitian yang dilakukan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pajak
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan
terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan
secara umum) tanpa adanya kontra prestasi, dan semata-mata digunakan
untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. (Mardiasmo, 2008).
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) degan tidak mendapat jasa
timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Rohmat Soemitra,
2008).
Dilihat dari pengertian diatas, ada empat unsur pembentuk
pengertian pajak yang utama, yaitu : (Rohmat Soemitra, 2008).
a) Iuran dari rakyat kepada negara.
b) Berdasarkan undang-undang.
c) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang
secara langsung dapat ditunjuk.
d) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
9
2.2. Azas-azas Hukum Pajak
Dalam menyusun undang-undang, peraturan dan kebijakan
perpajakan ada tiga hal pokok yang menjadi landasan dasar yang lazim
azas-azas hukum pajak. Tiga hal pokok ini adalah :
2.2.1. Kesederhanaan (Simplicity) Perundang-undangan
Sebelum reformasi pajak pada tahun 1983 berlaku
ordonansi pajak pendapatan 1941 dan 1932, ordonansi perseroan
1925 dan ordonansi pajak upah 1934 yang kemudian dihapuskan
dan semua dimaksudkan dalam undang-undang pajak
penghasilan 1983. Menyatukan ketiga ordonansi tersebut
kedalam satu bentuk sangatlah tidak mudah, tetapi demi
kepentingan kesederhanaan hal ini harus juga dilakukan.
Azas kesederhanaan mensyaratkan undang-undang dapat
mudah dimengerti oleh wajib pajak, dan mudah untuk diubah dan
atau diperbaharui sesuai dengan perkembangan perekonomian
dan perdagangan yang cepat.
2.2.2. Azas Keadilan (Equity) Perundang-undangan
Azas keadilan ini mensyaratkan bahwa dibidang
perpajakan disamping disusun dengan sederhana juga
memenuhi rasa keadilan bagi tiap wajib pajak.
2.2.3. Azas Kepastian Hukum (Certainly)
Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 merupakan dasar untuk
menetapkan pajak, karena undang-undang dasar merupakan
10
peraturan tertinggi yang memuat ketentuan-ketentuan
mengenai ketatanegaraan dan hak serta kewajiban warga
negara termasuk pajak. Pajak hanya dapat dipungut dengan
undang-undang.
Tingkat kepatuhan wajib pajak memegang peranan
penting dalam menentukan tingkat realisasi penerimaan pajak,
karena sistem self assesment yang diterapkan saat ini
memberikan kebebasan kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri.
Tingkat kepatuhan yang tinggi mendorong kebijakan dan
rencana pembangunan yang disusun dapat berjalan dengan
baik.
Janji pemerintah meningkatkan tax ratio lima tahun
kedepan sebesar 16% yang disampaikan oleh menteri keuangan
Republik Indonesia, membawa tantangan sendiri bagi
efektifitas penerapan self assessment, karena banyak kalangan
juga menghubungkan indikator kepatuhan wajib pajak di suatu
Negara dengan tax ratio-nya.
Dibanding dengan Negara ASEAN dan Asia lainnya
pada tahun 1997. Indonesia memiliki tax ratio yaitu 11,4%.
Sementara Filipina (16.3%), Korea Selatan (16,7%), Jepang
(18,6%), Brunei Darussalam (18,8%), Singapura (21%) dan
tingkat tertinggi adalah Malaysia (36,6%). (Berita Pajak 2000).
11
Tingkat kepatuhan wajib pajak sulit diukur, tetap dapat
dilihat dari indikasi-indikasi tertentu. Indikasi (yang akan
diteliti) pelaksanaan self Assesmant dikatakan baik bila tingkat
kepatuhan wajib pajak tinggi. Tinggi rendahnya kepatuhan
dilihat dari:
a) Tingginya persentase wajib pajak yang terdaftar dan
aktif, (tingkat diterima kembali surat pemberitahuan
(SPT) Tahunan, realisasi jumlah terdaftar). Dalam
bahasan ini diajukan asumsi secara umum terhadap
statistik kasar potensi pajak dengan tax ratio di
Indonesia.
b) Tingkat realisasi penerimaan dibanding rencana
(persentase, dimana sekian % kepatuhan
mempengaruhi sekian rupiah penerimaan Negara).
c) Jumlah pemeriksaan yang semakin sedikit (% dari
jumlah wajib pajak). Tinggat kepatuhan pengisian
SPT secara benar.
2.3. Sistem Perpajakan di Indonesia
Sejak zaman kolonialisme hingga tahun 1967, undang-undang
yang dipakai di Indonesia (Hindia Belanda sebelum tahun 1954) adalah
ordonansi Pajak perseroan tahun 1925, ordonansi pajak kekayaan 1932
da ordonansi Pajak pendapatan 1944.
12
Pemungutan pajak di Indonesia dengan instrument hukum dari
kolonial dirasakan sebagai beban oleh masyarakat, disamping banyaknya
jenis Undang-undang dimaksud dengan struktur tarif, beragam jenis-
jenis pajak yang diatur serta suasana kolonial yang mendasari undang-
undang pajak tersebut. Walaupun masa-masa berikutnya aturan
mengenai perpajakan tersebut telah mengalami beberapa perubahan
nomor 11 tahun 1967 yang mengatur mengenai tata cara pengenaan
pajak atas penghasilan terutama berupa laba usaha. Namun perubahan
tersebut belum menjawab secara fundamental akan tuntutan nasional
tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan yang
sesuai falsafah Negara (Reformasi Perpajakan Indonesia, kumpulan
tulisan. 1995).
Sistem pajak hingga tahun 1967, dilakukan dengan menghitung
pajak sementara dan menghitung pajak akhir/rangkum. Perhitungan
pajak sementara dilakukan oleh fiskus tanpa adanya campur tangan dari
wajib pajak dan ditetapkan jumlah pajak yang terhutang sementara.
Dalam menghitung pajak akhir / rangkum ada dua aturan yaitu: Bila
wajib pajak memahai kewajiban memasukkan pemberitahuan, maka
perhitungan dilakukan oleh fiskus bersama dengan wajib pajak. Wajib
pajak yang tidak memahami dan mematuhi kewajiban, maka fiskuslah
yang menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang terutang maka saat
itu system perpajakan kita kenal dengan sistem official assessment
murni.
13
Pada tanggal 26 agustus 1967 terjadi perubahan dalam tata cara
pemungutan pajak atas tiga ordonansi yang masih berlaku. Mulai saat itu
diperkenalkan system MPS dan MPO atau menghitung pajak sendiri dan
menghitung pajak orang lain.
Pada tahun 1983, disahkan paket undang-undang perpajakan
yaitu UU Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan (UU KUP), UU nomor 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan (UU PPh), dan UU nomor 8 tahun 1983 tentang pajak
prttambahan nilai barang dan jasa pajak penjualan atas barang mewah
(PPN dan PPnBM).
Perubahan undang-undang perpajakan tersebut dikenal dengan
“Tax Reform”, karena paket undang-undang tersebut telah mengubah
secara total system dan mekanisme pemungutan pajak colonial,
khususnya perubahan dari Official assessment menjadi self assessment.
Perubahan system yang sangat mendasar inilah yang menjadi
prinsip system pemungutan pajak, dimana wajib pajak diberi
kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan
melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Melalui
system ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat
dilaksanakan lebih adil, sederhana dan mudah dipahami oleh anggota
masyarakat wajib pajak, serta lebih memberikan kepastian hukum
kepada semua pihak.
14
2.4. Kebijakan perpajakan
Kebijakan pajak atau fiskal policy berarti penggunaan perbuatan
dan tindakan pemerintah tertentu yang ditujukan kepada perkembangan
dan stabilitas ekonomi. Dan yang menjadi alat untuk melaksanakan
fiscal policy adalah berupa:
a) Penerimaan-penerimaan negara sebagai hasil sumber-
sumber pendapatan negara, terutama pajak-pajak.
b) Pengeluaran-pengeluaran (expenditures)
c) Kredit (debt. Management)
Untuk melaksakan kebijakan fiskal yang baik ketiga-tiganya
unsur ini harus dikoordinasikan dan diintegrasikan dengan pengawasan
keuangan dan pengawasan kredit. (Moh. Zain, 2001).
2.5. Dasar Pungutan Pajak
Pajak sebagai sumber penerimaan pemerintah dalam
melaksanakannya diatur oleh undang-undang. Dengan
perkembangannya tata cara pungutan pajak yang dibebankan kepada
masyarakat, maka Undang-undang pajak juga mengalami perubahan
dari Undang-undang lama menjadi Undang-undang baru sebagai
berikut :
2.5.1. Undang-Undang Pajak yang Lama
a) Bahwa pungutan pajak Negara, merupakan kewajiban
subyek pajak yang belum ditentukan dalam undang-
15
undang perpajakan untuk memenuhi kepentingan kas
Negara ;
b) Tanggung jawab pemungutan pajak terletak
sepenuhnya pada penguasa pemerintah seperti yang
tercermin dalam tata cara penetapan pajak yang
keseluruhannya menjadi wewenang administrasi
perpajakan ;
c) Pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal
sangat tergantung dari pelaksanaan administrasi
perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan, hal
mana mengakibatkan anggota masyarakat wajib pajak
kurang mendapat pembinaan dan pambimbingan
terhadap kewajiban perpajakannya dan kurang ikut
berperan serta dalam memikul beban Negara dalam
mempertahankan kelangsungan pembangunan
nasional. (Moh. Zain, dan Kustadi arinta, 2001).
2.5.2. Undang-Undang Pajak Yang Baru
a) Bahwa pemungutan pajak merupakan pengabdian
kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk secara
langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara
dan pembangunan nasional ;
16
b) Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak
sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan
berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri.
Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan sesuai
dengan fungsinya berkewajiban melakukan
pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak
berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan ;
c) Anggota masyarakat wajib pajak deberi kepercayaan
untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan
nasional melalui system menghitung,
memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang
terhutang (self assessment). Sehingga melalui system
pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat
dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan
mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat
wajib pajak (Moh. Zain, dan Kustadi arinta, 2001).
17
2.6. Pajak-pajak yang dikelola Kantor Pelayanan Pajak
2.6.1. Pajak penghasilan pasal 25 dan PPh pasal 25/29
2.6.1.1. Pajak PPh pasal 25
PPh pasal 25 merupakan besaran pajak, dalam
tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib
pajak untuk setiap bulan dimana perhitungannya
adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang
menurut surat pemberitahuan tahunan pajak
penghasilan tahun pajak lalu dikurangi dengan pajak
penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta
pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri yang boleh dikreditkan, dibagi 12 (dua belas)
atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Ada
dua macam PPh pasal 25, yaitu :
a. PPh pasal 25 orang pribadi
Pajak penghasilan orang pribadi adalah
pajak yang dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh wajib pajak orang
pribadi baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak
yang bersangkutan dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
18
b. PPh pasal 25 Badan
Yang dimaksud pajak penghasilan badan
menurut Undang-undang nomor : 17 tahun 2000
adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan
yang diterima perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun,
persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi,
koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis,
lembaga dana pensiun, dan bentuk badan
lainnya.
2.6.1.2. Pajak PPh pasal 29
PPh pasal 29 adalah jenis PPh yang dibayar oleh
orang pribadi atau badan setelah seluruh PPh dalam satu
tahun pajak selesai diperhitungkan, PPh pasal 29 ini
ada, apabila pada akhir tahun ternyata masih ada PPh
yang kurang atau masih harus dibayar, dimana PPh
yang terutang lebih besar dari pada PPh yang telah
dibayar pada satu tahun pajak.
2.6.2 Pajak Partambahan Nilai
Merupakan pajak tidak langsung yang dipungut oleh
pengusaha kena pajak PPN atas penyerahan barang atau jasa
19
kena pajak di dalam daerah pabean seperti yang dijelaskan dalam
undang-undang pajak.
2.6.3. Pajak Penghasilan Pemotongan / Pungutan oleh pihak Lain
a. Pajak penghasilan pasal 21
Pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak atas gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi (karyawan). PPh pasal 21 merupakan besaran
pajak dalam tahun berjalan yang harus dipotong dan disetor
oleh pemberi kerja untuk setiap bulan dimana dasar
perhitungannya adalah penghasilan bruto dikurangi dengan
biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto (maksimal
yang dipebolehkan Rp 1.296.000,00 setahun) atau biaya
pensiun 5% dari penghasilan bruto (maksimal yang
diperbolehkan Rp 432.000,00 setahun) dan dikurangi iuran
pensiun dan PTKP. Peraturan ini diperbolehkan bagi
karyawan yang penghasilannya diatas PTKP. Untuk wajib
pajak dalam hal ini karyawan yang penghasilannya dibawah
PTKP (penghasilan tidak kena pajak), maka tidak dipotong
PPh pasal 21.
20
b. Pajak Penghasilan Pasal 22
Pajak penghasilan pasal 22 merupakan pajak atas
pembelian barang dan lainnya yang pemungutannya
dilakukan badan-badan tertentu yang ditunjuk oleh
pemerintah.
c. Pajak penghasilan pasal 23
Pajak penghasilan pasal 23 merupakan pajak
penghasilan atas jasa deviden, bunga, hadiah dan
penghargaan, sewa harta dan jasa-jasa lainnya yang
pemotongannya dilakukan oleh semua badan usaha.
d. Pajak penghasilan pasal 24 ayat (2)
Pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 merupakan pajak
panghasilan atas bunga tabungan, deposito, sewa rumah dan
atau bangunan serta pajak penghasilan final lainnya yang
pemotongannya dilakukan pihak ketiga.
2.7. Pengertian Intensifikasi Pajak
Suatu langkah yang ditempuh dengan cara mengelola
potensi pajak yang telah berhasil dibina dengan tertib, efisiensi
dan berkesinambungan. Tujuan dari intensifikasi ini adalah agar
pihak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara dapat memenuhi
target penerimaan pajak yang telah ditentukan oleh Pemerintah.
Maka upaya yang ditempuh Kantor Pelayanan Pajak Pratama
21
Jepara dalam memenuhi target tersebut adalah dengan
meningkatkan mutu pelaksanaan administrasi perpajakan dengan
cara memberikan bimbingan, dan juga pembinaan pada
masyarakat agar mampu, sadar dan jujur dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan.
Selain itu peningkatan mutu intensifikasi dapat juga
berupa peningkatan kegiatan pemeriksaan oleh fiskus, melalui
penigkatan kegiatan pemeriksaan lapangan (field audit) maupun
pemeriksaan kantor ( room audit), selain itu peningkatan
kepatuhan wajib pajak perlu didukung dengan Law enforcement
yang berupa sanksi hukum secara konsisten. Diberlakukannya
sanksi dalam perpajakan, yang berupa sanksi administrasi
maupun sanksi pidana akan “memaksa” masyarakat untuk
memenuhi peraturan yang ada.
Disamping itu, upaya administrasi juga dapat dilakukan
dengan cara meningkatkan kerapian terhadap berkas-berkas yang
penting bagi pengawasan pembayaran masa wajib pajak.
Sedangkan peningkatan atau pemenuhan target dapat dititik
beratkan pada perbaikan dan penyempurnaan fiskus untuk
diarahkan pada pembentukan profesionalisme dan peningkatan
moral. (Moh. Zain, dan Kustadi Arinta, 2001).
22
Secara keseluruhan kegiatan intensifikasi pengawasan
pembayaran masa pajak yang selama ini berjalan ditempuh
melalui :
a) Surat Teguran
b) Pemeriksaan
c) Surat Tagihan Pajak (STP)
d) Penyuluhan
2.8. Istilah Perpajakan
Menurut undang-undang RI nomor 16 tahun 2000
berkaitan dengan kegiatan Intensifikasi pengawasan pembayaran
masa pajak dapat dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan
istilah perpajakan sebagai berikut :
2.8.1. Pengertian SPT Tahunan
Dalam keputusan direktur jenderal pajak nomor SE-
2/PJ/./2003, yang dimaksud dengan surat pemberitahuan
(SPT) tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahun
pajak atau bagian tahun pajak yang meliputi SPT tahunan
pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi (SPT 1770 dan
SPT 1770 S), SPT tahunan pajak penghasilan wajib pajak
Badan (SPT 1771 dan SPT 1771/4), SPT tahunan pajak
penghasilan pasal 21 (SPT 1721), termasuk SPT tahunan
pembetulan.
23
2.8.2. Wajib Pajak
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungutan atau pemotong pajak
tertentu.
2.8.3. Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang
murupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya. Badan
Usaha Milik Negara, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis,
lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
2.8.4. Pengusaha
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam
bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan uang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud di luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
24
2.8.5. Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha kena pajak adalah pengusaha sebagaimana
dimaksud pada angka 3 yang melakukan penyerahan barang
kena pajak tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan, kecuali
pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi
pengusaha kena pajak.
2.8.6. Nomor Pokok Wajib Pajak
Nomor pokok wajib pajak adalah nomor yang
diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri dan identitas wajib pajak dalam melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya.
2.8.7. Masa Pajak
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama
dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lainnya
yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan paling
lama 3 (tiga) bulan takwim.
2.8.8. Tahun Pajak
Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim
kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak
sama dengan tahun takwim.
25
2.8.9. Bagian Tahun Pajak
Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu
satu tahun pajak.
2.8.10. Pajak Yang Terutang
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar
pada suatu saat dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau
dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2.8.11. Surat Pemberitahuan
Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib
pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan pajak dan
atau pembayaran masa pajak. Obyek pajak dan atau buku
obyek pajak dan atau harta atau kewajiban, menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.8.12. Surat Pemberitahuan Masa
Surat pemberitahuan masa adalah surat
pemberitahuan untuk suatu masa pajak.
2.8.13. Surat Pemberitahuan Tahunan
Surat pemberitahuan tahunan adalah surat
pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun
pajak.
26
2.8.14. Surat Setoran Pajak
Surat setoran pajak adalah surat yang digunakan wajib
pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak
yang terutang ke kas Negara melalui kantor pos atau bank
badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah
atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk menteri
keuangan.
2.8.15. Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk
mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan
lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.9. Pajak Penghasilan Pasal 21
2.9.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak yang
dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan
sebagai imbalan atas jasa. (Yusdianto Prabowo, 2002)
Bagi pegawai atau orang pribadi yang memperoleh
penghasilan lain selain penghasilan yang pajaknya telah
27
dibayar atau dipotong dan bersifat final, pada akhir tahun
pajak diwajibkan untuk menyanpaikan SPT Tahunan PPh dan
atas PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi kerja
dapat dijadikan sebagai kredit pajak atas PPh yang terutang
pada akhir tahun.
2.9.2.Wajib Pajak PPh Pasal 21
Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21
adalah (Mardiasmo, 2008) :
a. Pejabat Negara adalah :
1. Presiden dan wakil presiden.
2. Ketua, Wakil Ketua dan anggota DPR/MPR,
DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten atau
kota.
3. Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan.
4. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim
Mahkamah Agung.
5. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan
Agung.
6. Menteri dan Menteri Negara.
7. Jaksa Agung.
8. Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah
Provinsi.
28
9. Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah
Kabupaten.
10. Walikota dan Wakil Walikota Kepala Daerah
Kota.
b. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-pusat, PNS-
daerah dan PNS lainnya yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU
no.8 tahun 1974.
c. Pegawai adalah setiap orang pribadi yang melakukan
pekerjaan berdasrkan perjanjian atau kesepakatan
kerja, tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang
melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau
BUMN atau BUMD.
d. Pegawai Tetap adalah orang pribadi yang bekerja
pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh
gaji dalam jumlah tertentu secara berkala.
e. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri
adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji,
honorarium dan atau imbalan lain sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan.
29
f. Tenaga Lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada
pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila
orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
g. Penerima Pensiun adalah orang pribadi atau ahli
warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan
untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu termasuk
orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima
Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua.
h. Penerima Honorarium adalah orang pribadi yang
menerima atau memperoleh imbalan sehubungan
dengan jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukannya.
i. Penerima Upah adalah orang pribadi yang menerima
upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau
upah satuan.
2.9.3. Tidak Termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21
Yang tidak termasuk penerima penghasilan yang
dipotong PPh pasal 21 antara lain (Yusdianto Prabowo, 2002) :
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau
pejabat lain dari negara asing.
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional
sebagaimana dimaksud dalam keputusan menteri
keuangan.
30
2.9.4. Obyek PPh Pasal 21
Penghasilan yang dikenakan pemotong PPh pasal 21
antara lain (Mardiasmo, 2008):
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur
berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, tunjangan
jabatan, premi dasar yang dibayar oleh pemberi kerja
dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak
teratur berupa jasa produksi, bonus, premi tahunan,
tunjangan lain dan penghasilan sejenis lainnya yang
sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali
dalam setahun.
c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah
borongan.
d. Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua, uang
pesangon dan pembayaran lain sejenis.
e. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan
dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea
siswa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak dalam
negeri, terdiri dari :
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas,
yang terdiri dari: pengacara, akuntan,arsitek,
dokter, konsultan, notaries, penilai dan aktuaris.
31
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi,
pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, crew film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat, pelukis dan seniman lainnya.
3. Olahragawan.
4. Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah,
penyuluh dan moderator.
5. Pengarang, peneliti dan penerjemah.
6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk
teknik komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi
dan social.
7. Agen iklan.
8. Pengawas, pengelola proyek, anggota, dan
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan
peserta sidang atau rapat.
9. Pembawa pesanan atau yang menemukan
langganan.
10. Peserta perlombaan.
11. Petugas penjaja barang dagangan.
12. Petugas dinas luar asuransi.
32
13. Peserta pendidikan, pelatihan dan pemagangan
bukan pegawai atau bukan sebagai calon
pegawai.
14. Distributor perusahaan multilevel marketing atau
direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
f. Gaji, gaji kehormatan, tunjagan-tunjangan lain yang
terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain
yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat
Negara dan PNS.
g. Uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang
sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima
pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-
anaknya.
h. Penerima dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya
dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak selain pemerintah, atau Wajib Pajak yang
dikenakan PPh yang bersifat final dan yang dikenakan
PPh berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed
profit).
2.9.5. Penghasilan yang tidak dipotong PPh pasal 21
Yang tidak termasuk dalam penghasilan yang dipotong
pasal 21 antara lain : (Mardiasmo, 2008).
33
a. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna dan asuransi beasiswa.
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau
pemerintah kecuali yang diberikan Wajib Pajak yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan
yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
perhitungan khusus (deemed profit).
c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan
dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan
penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi
kerja.
d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak
dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.
2.9.6. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang bersifat
final antara lain : (Wirawan dan Waluyo, 2002)
a. Uang tebusan pensiun yang dibayarkan oleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri
keuangan dan tunjangan hari tua yang dibayarkan
34
sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja.
b. Uang pesangon.
c. Hadiah dari penghargaan perlombaan.
d. Honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada
penjaga barang dan petugas dinas luar asuransi.
e. Penghasilan bruto berupa honorarium dan imbalan lain
dengan nama apapun yang diterima oleh pejabat
Negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI yang
sumber dananya berasal dari keuangan Negara atau
keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan oleh
pegawai negeri sipil golongan II.d kebawah dan
anggota TNI atau POLRI berpangkat pembantu letnan
Satu kebawah atau ajun inspektur tingkat satu kebawah.
2.9.7. Pemotongan Pajak PPh Pasal 21
Yang termasuk pemotongan pajak pasal 21 antara lain :
(Yusdianto, 2002).
a. Pemberi kerja baik orang pribadi maupun badan yang
merupakan induk atau cabang, perwakilan atau unit
yang membayar gaji, upah, honorarium dan
pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan
atas pekerjaan atau jasa yang dilakukan diindonesia
oleh pegawai atau orang lain.
35
b. Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan tetap dan nama apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang
dibebankan pada keuangan Negara.
c. Dana pensiun, PT. Taspen, PT. Jamsostek yang
membayar uang pensiun, uang tebusan pensiun dan
tunjangan hari tua (THT).
d. Yayasan-yayasan seperti yayasan kesejahteraan, rumah
sakit,pendidikan, lembaga, kepanitiaan dan organisasi
dalam bentuk apapun dalam segala kegiatan sebagai
pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan
nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.
e. Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap yang
membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai
imbalan suhubungan dengan kegiatan dan jasa yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status wajib pajak
luar negeri.
f. Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap, yang
membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada
peserta pendidikan, pelatihan dan pemegangan.
g. Perusahaan dan badan yang membayar honorarium atau
pembayaran lain sebagai imbalan atau jasa yang
36
dilakukan diindonesia oleh tenaga ahli dan atau
persekutuan tenaga ahli sebagai wajib pajak dalam
melakukan pekerjaan bebas.
2.9.8. Tidak Termasuk obyek PPh pasal 21
Tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
(Mardiasmo, 2008).
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau
pejabat lain dari nagara asing dan orang-orang yang
diperbantukan
b. kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama mereka.
c. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
2.9.9. Tarif PPh Pasal 21
Tarif PPh pasal 21 secara terperinci dapat dijelaskan sebagai
berikut : (Mardiasmo, 2008).
Tabel 2.1.
Tarif PPh pasal 21
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000 5% di atas Rp 50.000.000 s/d Rp 250.000.000 15% di atas Rp 250.000.000 s/d Rp 500.000.000 25% di atas Rp 500.000.000 30%
Sumber : (Masdiasmo, 2008).
37
2.10. Penelitian terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya Sutris Pratomo;
2007, Analisis intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak
penghasilan pasal 21 dalam upaya peningkatan kepatuhan kewajiban
perpajakan di Kantor Pelayanan Pajak Pati, mengungkapkan bahwa:
a. Terdapat pengaruh antara intensifikasi pengawasan
pembayaran masa pajak penghasilan pasal 21 terhadap
kepatuhan kewajiban perpajakan di Kantor Pelayanan Pajak
Pati. Bahwa ternyata variabel pemberian Surat Teguran
Pajak, Pemeriksaan, Surat Tagihan Pajak (STP) terbukti
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel
Kepatuhan wajib pajak penghasilan dalam melapor dan
membayarkan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pati..
Variabel yang terbukti memiliki pengaruh paling besar
terhadap kepatuhan wajib pajak penghasilan dalam melapor
dan membayarkan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak
Pati adalah variabel Surat Teguran.
b. Kendala dan upaya dalam melakukan tindakan intensifikasi:
Kendala :
1. Tidak tercapainya target pencairan tunggakan PPh Pasal
21 yang berupa STP Maupun SKPKB PPh Pasal 21.
2. Kurangnya pengetahuan bendaharawan proyek
pemerintah yang tidak melakukan permintaan
38
penghapusan NPWP sehubungan dengan selesainya
pengerjaan proyeknya. Sebab dengan tidak adanya
permintaan tersebut makabendaharawwan tersebut
masih dianggap WP Efektif sehingga masuk dalam
perhitungan target penerimaan PPh Pasal 21.
3. Pada tahun 2005 target yang ditetapkan dinilai terlalu
tinggi bahkan melebihi realisasi penerimaan tahun 2004
padahal terdapat kenaikan PTKP yang berpengaruh pula
terhadap kemungkinan pengurangan yang cukup besar
terhadap realisasi penerimaan PPh Pasal 21 tahun 2005.
4. Jumlah personel juru sita yang sangat minim. Dengan
dua wilayah unit Kerja, yaitu Pati, Rembang dan Blora
Kantor Pelayanan Pajak Pati hanya mempunyai 2 orang
juru sita pajak.
Adapun Upayanya adalah sebagai berikut :
1. Melakukan penyuluhan secara berkala kepada
masyarakat mengenai kesadaran dalam memenuhi
kewajiban pajak dengan cara mendaftarkan diri sebagai
wajib pajak.
2. Bekerja sama dengan berbagai pihak dalam menggali
potensi wajib pajak dalam rangka meningkatkan
penerimaan pajak oranng pribadi.
39
Persamaan dari penelitian terdahulu yaitu memiliki variabel
penelitian yang sama. Sedangkan perbedaan dari penelitian terdahulu
adalah mengenai waktu dan lokasi penelitian.
2.11. Kerangka Pikir Teoritis
Berdasarkan uraian dalam tinjauan pustaka mengenai
intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak ditinjau dari Surat
Teguran, Pemeriksaan, dan Surat Tagihan Pajak (STP) terhadap
kepatuhan wajib pajak penghasilan PPh pasal 21 di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Jepara, untuk memperjelas hubungan
antara variable tersebut dapat dilihat dalam kerangka pemikiran
teoritis dalam gambar 2.1 dibawah ini.
Gambar 2.1. Kerangka Pikir
(X2) Pemeriksaan
(X3) STP
(Y)
Kepatuhan Wajib Pajak
(X1) Surat Teguran
H1
H3
H2
40
2.12. Hipotesis
Hipotesis adalah merupakan jawaban sementara terhadap
pertanyaan – pertanyaan dalam rumusan masalah. Hipotesis tersebut
harus diuji atau dibuktikan kebenarannya lewat pengumpulan dan
penganalisaan data penelitian. Sejalan dengan latar belakang
masalah, perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat
diambil suatu hipotesis sebagai berikut :
H1 : Ada pengaruh positif antara Surat Teguran terhadap
kepatuhan wajib pajak penghasilan PPh pasal 21 di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Jepara.
H2 : Ada pengaruh positif antara Pemeriksaan terhadap kepatuhan
wajib pajak penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Jepara.
H3 : Ada pengaruh positif antara Surat Tagihan Pajak (STP)
terhadap kepatuhan wajib pajak penghasilan PPh pasal 21 di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara.
41
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
3.1.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Jepara.
3.1.2. Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian yang terdiri dari persiapan,
perijinan, sampai dengan penulisan laporan dilaksanakan selama
3 bulan, dimulai pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret
2009.
3.1.3. Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan
survey langsung pada obyek penelitian, yaitu dengan melakukan
penelitian untuk memperoleh keterangan – keterangan secara
faktual secara langsung pada obyek, dengan melakukan
penelitian studi kasus (Case Study). Dalam penelitian ini penulis
mengambil obyek pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara
untuk mengumpulkan data – data dan keterangan mengenai
intensifikasi pengawasan pembayaran pajak dalam rangka
meningkatkan kepatuhan wajib pajak penghasilan PPh pasal 21
42
di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara selama periode tahun
2004 – 2008.
3.2. Variabel Penelitian
3.2.1. Surat Teguran (X1)
Merupakan Surat Teguran Masa untuk suatu Masa Pajak
karena keterlambatan dalam membayar tanggungan pajaknya,
yang dinyatakan dalam satuan.
3.2.2. Pemeriksaan Pajak (X2)
Merupakan serangkaian kegiatan untuk mencari,
mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang – undangan perpajakan. Pemeriksaan
dilakukan pada wajib pajak karena keterlambatan dalam
membayar tanggungan pajaknya, yang dinyatakan dalam satuan.
3.2.3. Surat Tagihan Pajak (X3)
Merupakan Surat penagihan atas pembayaran masa pada
wajib pajak yang bersangkutan dalam membayar tanggungan
pajaknya, yang dinyatakan dalam satuan.
43
3.2.4. Kepatuhan Kewajiban Perpajakan (Y)
Merupakan tindakan kooperatif dari wajib pajak dengan
penuh kesadaran untuk bersedia melapor dan membayarkan
kewajiban pajaknya sesuai dengan waktu yang ditentukan.
3.3. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data sekunder yang dibutuhkan adalah
data yang berhubungan dengan catatan mengenai :
a) Latar belakang perusahaan.
b) Kegiatan operasional perusahaan lainnya.
c) Jumlah Surat Teguran selama periode tahun 2004 – 2008.
d) Jumlah Pemeriksaan pajak selama periode tahun 2004 – 2008.
e) Jumlah STP selama periode tahun 2004 – 2008.
f) Jumlah wajib pajak yang patuh dalam melapor dan
membayarkan pajaknya selama periode tahun 2004 – 2008.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang
digunakan adalah dokumentasi. Metode pengumpulan data dengan
melakukan pencatatan dari dokumen perusahaan yang berhubungan
dengan data tentang latar belakang Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Jepara, dan data variabel lainnya.
44
3.5. Metode Pengolahan Data
Dalam penelitian ini metode pengolahan data yang digunakan
adalah tabulating. Tabulating yaitu memasukkan data yang telah
diklasifikasikan dalam tabel yang telah disediakan.
3.6. Metode Analisis Data
3.6.1. Uji Asumsi Klasik
3.6.1.1. Uji Multikolonieritas
Menurut Imam Ghozali (2006) Uji
Multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas
(independent). Model regresi yang baik seharusnya tidak
terjadi korelasi diantara variabel independent. Jika
variabel independent saling berkorelasi, maka variabel-
variabel ini tidak ortogonal.
Variabel ortogonal adalah variabel independent
yang nilai korelasi antar sesama variabel independent
sama dengan nol.
3.6.1.2. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan
pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi
korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi.
45
Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan
sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Masalah ini
timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak
bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. (Imam
Ghozali,2006).
3.6.1.3. Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah
dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari
residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika
variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan
lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas dan jika
berbeda disebut Heteroskedastisitas. Model regresi yang
baik adalah yang Homoskedastisitas atau tidak terjadi
Heteroskedastisitas. (Imam Ghozali,2006).
3.6.1.4. Uji Normalitas
Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual
memiliki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji t
dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti
distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji
statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sample kecil.
(Imam Ghozali, 2006).
46
3.6.2. Analisis Regresi
Analisis regresi pada dasarnya adalah studi mengenai
ketergantungan variabel dependen (terikat) dengan satu atau
lebih variabel independent (variabel penjelas/bebas) dengan
tujuan untuk mengestimasi dan/atau memprediksi rata-rata
populasi atau nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai
variabel independent yang diketahui (Gurajati, 2003).
Rumus :
Y = a + b1 x1 + b2 x2 +b3 x3 +e
3.6.3. Uji Hipotesis Parsial (Uji t)
Uji hipotesis parsial (uji t) adalah digunakan untuk
menguji masing-masing variabel bebas secara sendiri-sendiri.
Pengujian regresi secara parsial selain dengan menggunakan uji t
test juga dapat dilakukan menggunakan uji signifikansi yaitu
dengan melihat nilai sig 1- tailed dibandingkan dengan besarnya
α-sig (tingkat signifikansi sebesar 0,05) (Singgih Santoso, 2000).
3.6.4. Uji Hipotesis Berganda (Uji F)
Uji hipotesis berganda (uji F) digunakan untuk menguji
variabel bebas secara bersama-sama. Pengujian regresi berganda
selain dengan menggunakan uji F test juga dapat dilakukan
menggunakan uji signifikansi yaitu dengan melihat nilai Fsig
dibandingkan dengan besarnya nilai F (dalam tabel
SPSS<Anovab). (Singgih Santoso, 2000).