1 konsep reseptor dan sejarahnya

Upload: rizma-rizem

Post on 02-Mar-2016

131 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

1 Konsep reseptor dan sejarahnya

1. Konsep reseptor dan sejarahnyaPembahasan aktivitas termodinamik, membawa kita pada kesimpulan bahwa obat khas, yang bekerja pada kadar sangat rendah, menimbulkan efeknya dengan cara berantaraksi dengan makromolekul khusus dalam sel hidup. Mekanisme pertama adalah pembentukan singkat kompleks obat-reseptor yang terpulihkan. Ini memicu mekanisme kedua_seperti pembukaan saluran ion, atau mengkatalisis pembentukan 'pemberita kedua,biasanya AMP siklik (AMPs). Peserta lain pada reaksi berantai ini seperti berbagai-bagai kinase diaktifkan. Rangkaian peristiwa ini akhirnya menghasilkan perubahan hayati yang dikaitkan pada obat tersebut. Konsep reseptor lahir pada tahun 1878, dirumuskan oleh John N- Langley, ahli ilmu faal Inggris yang menyelidiki antagonisme atropin dan pilokarpin. Istilah resaptor diperkenalkan pada tahun 1907 oleb Paul Ehrlich, pelopor terkenal dalam kemoterapi dan imunokimia. Konsepnya tentang ikatan reseptor (Corpora non agunt nisi fixata - senyawa tidak bekerja kecuali jika terikat), aktivitas hayati, indeks terapi, dan daya tahan obat pada dasarnya masih sahih, walaupun telah sangat diperluas dan dipertepat. Sejarah awal tentang konsep reseptor dikisahkan oleh Parascandola (1980).2. Wujud dan kriteria jatidiri reseptorReseptor murni, yang mengawali rangkaian peristiwa fisikokimia dan menjurus kepada respons farmakologi, mempunyai sifat kimia yang beragam. Beberapa golongan reseptor, dapat dibedakan sebagai berikut:1. Lipoprotein atau glikoprotein adalah jenis reseptor yang paling umum. Keduanya biasanya terpadu kuat dalam membran plasma atau membran organel sel sebagai protein intrinsik. Akibatnya mereka sulit diisolasi karena strukturnya (dan karena itu fungsinya) terkungkung oleh membran sekitarnya. Isolasi molekul reseptor dapat merusak bentuk atau melumpuhkan struktur, bahkan hingga hilang sifat khasnya untuk mengikat. 2. Lipid sendiri kadang-kadang dapat dianggap sebagai reseptor. Efek tak-khas anestetika lokal terhadap ionofor kolinergik dapat dikaitkan dengan antaraksi obat amfifilik ini dengan 'annulus' (cincin) lipid dari protein ionofor. Walaupun lapisan lipid ini hanya beberapa molekul tebalnya, dia membungkus protein dengan sempurna dan sangat berpengaruh pada bentuk protein itu. 3. Protein murni sering berfungsi sebagai reseptor obat, seperti halnya enzim. Banyak obat menimbulkan efeknya dengan secara khusus mempengaruhi enzim yang penting dalam reaksi biokimia, dan dengan demikian mengubah fungsinya. Reseptor meneruskan pesan pemberita pertama yaitu neurotransmiter, hormon, atau obat melalui membran sel; reseptor itu 'digabungkan' kepada sistem efektor atau molekul. Gabungan tadi akan mengubah kadar pemberita kedua yaitu AMPs, inositol trifosfat, diasilgliserol, atau ion Ca 2+ yang kemudian mengaktifkan enzim atau membuka saluran ion. Perbedaan dasar antara ikatan obat-reseptor dan subsrat-enzim adalah bahwa terjadi perubahan kimia pada substrat setelah dia terikat pada sisi aktif enzim. sedangkan pada obat tidak terjadi hal seperti itu, dan biasanya ia akan terdisosiasi secara utuh dari reseptor.Tabel 1 Perbandingan hubungan enzim-substrat dan obat-reseptor

4. Asam nukleat terdiri atas kelompok reseptor obat yang penting dalam arti yang luas. Sejumlah antibiotika dan zat anti tumor langsung mengganggu replikasi atau transkripsi ADN, atau menghambat translasi pesan genetika pada ribosom. Sisi akseptor hormon steroid juga ADN, dan menunjukkan kekhasan yang sangat tinggi yang tidak kita pahami sama sekali dan akan dibahas dalam bab tersendiri.

Terdapat seperangkat kriteria yang agak luas untuk mengidentifikasi reseptor yang harus diikuti untuk percobaan in vivo maupun in vitro. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

1) Reseptor atau sisi ikatan harus tersedia pada jaringan dalam jumlah yang sepadan dengan kadar reseptor yang ditentukan; 10-100 pmol/g adalah kadar reseptor yang biasanya didapatkan pada daerah pusat atau pinggir (Bmaks).2) Pengikatan obat pada reseptor harus terjenuhkan, dengan tetapan keseimbangan ikatan (KD) dalam batas nanomolar. Tetapan ikatan adalah kadar pada waktu separuh sisi reseptor diduduki; ini dapat ditentukan dengan metode radioisotop. Penambahan obat yang nonradioaktif ('dingin') akan mengurangi derajat keterjenuhan ikatan obat bertanda radioaktif. Akan tetapi, perlu dicamkan bahwa keterjenuhan tidak sama dengan kekhasan.3) Kinetika ikatan harus sebanding dengan laju respons in vivo dan harus menghasilkan tetapan keseimbangan yang sama dengan tetapan laju disosiasi dibagi dengan tetapan laju asosiasi.4) Sedapat mungkin ikatan harus stereo-spesifik; tapi pemenuhan kriteria ini pun bukan merupakan bukti mutlak bahwa sisi bersangkutan adalah reseptor. 5) Reseptor harus diisolasi dari organ atau jaringan yang bersangkut-paut dengan aktivitas yang sedang diteliti. 6) Diharapkan bahwa tata ikatan pada reseptor bagi sederetan obat yang sekeluarga hendaklah sama dengan tata aktivitas klinis atau setidak-tidaknya aktivitas in vivo.. Sebagai penguji metodologi, harus dimasukkan juga obat tak-khas ke dalam deretan itu.3. Teori klasik tentang hubungan kadar-respons

Teori klasik diperlukan, yaitu berdasarkan pada pengukuran efek akhir kerja obat - suatu efek yang timbul beberapa langkah sebelum proses ikatan obat-reseptor. Karena itu, pendekatan modern lebih mengikuti tingkat molekul, sedangkan metodologi farmakologi kuno bekerja pada tingkat sel dan organisme. Tentu saja kedua jalan itu mempunyai keuntungan dan kerugian.

Teori pendudukan Clark yang klasik didasarkan pada anggapan bahwa obat berantaraksi dengan sisi ikatan bebas yang sama, lalu mengaktifkannya, dan menghasilkan respons hayati yang sebanding dengan jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk. Respons ini berhenti bila kompleks tersebut berdisosiasi. Dengan menganggap reaksi itu reaksi dwimolekul, kita dapat menuliskan

Gambar 2.1 Kurva dosis-respons dengan skala semilogaritma, yang menunjukkan definisi

ED50 = KDPersamaan (8) menyatakan hubungan hiperbola antara efek dan kadar obat bebas. Karena itu, ED50 sama dengan KD (gambar 2.1). Kebetulan persamaan (8) serupa dengan hubungan Michaelis-Menten dalam kinetika enzim; Emaks menggantikan Vmaks. Kurva dosis-respons (seperti pada gambar 2.2) biasanya menunjukkan efek dan logaritma kadar obat seluruhnya [DT), dengan menganggap kadar obat yang terikat demikian kecil sehingga dapat diabaikan dan [DT) kira-kira sama dengan [D]. Akan tetapi, jika kadar reseptor [RT] menjadi nisbi besar terhadap KD, maka

ED50 = KD + 0,5 [RT] (9)yang berarti bahwa pada kadar obat-terikat yang tinggi, kadar obat seluruhnya dapat melebihi KD dengan jumlah yang sama dengan separuh kadar reseptor seluruhnya. Tampaknya keadaan ED50 = KD tidak begitu lazim.

Gambar 2.2 Bagan kurva dosis-respons memperlihatkan respons terhadap kadar obat seluruhnya (log [DT]). Kurva a dan b (dengan nilai ED50 berbeda) memperlihatkan kerja obat dalam deretan yang sama yang bekerja terhadap sisi reseptor yang sama tapi dengan aktivitas intrinsik berbeda. Kurva c merupakan agonis persial pada deretan yang sama. Kurva a' adalah kerja a bersama-sama dengan antagonis pesaing; d dan D adalah kadar obat yang diperlukan untuk respons yang sama tanpa atau dengan antagonis pesaing (Menurut Hollenberg, 1985)Jika pendudukan beberapa reseptor sudah cukup untuk mendapatkan respons maksimum, seperti biasanya terjadi, akan terdapat reseptor cadangan dan ED50/KD < 1

dan harga sebenarnya untuk KD (dan dengan demikian afinitas obat terhadap reseptor) akan ternilai rendah. Keadaan ini menunjukkan terjadinya 'kesesuaian terimbas', karena tampak bahwa sejumlah kecil molekul agonis dapat memicu perubahan konformasi pada banyak reseptor, dan mengakibatkan pengaktifan sejumlah besar reseptor, melebihi yang diperlukan (Colquhoun, 1973, h. 159). Konsep reseptor 'cadangan' dapat dikaitkan dengan gagasan kemanjuran atau aktivitas intrinsik, yang berarti bahwa ada obat yang dapat mengaktifkan sedikit reseptor dibandingkan obat lain untuk mendapatkan efek farmakologi sepenuhnya, dan dengan demikian obat itu disebut lebih 'manjur.Reseptor cadangan itu dinyatakan dalam kurva dosis-respons untuk aktivitas beberapa hormon peptida, seperti terlihat dalam gambar 2.3. Diagram sederhana ini membandingkan efek farmakologi hormon peptida pertumbuhan dengan ikatannya terhadap biakan sel manusia tempatnya bekerja. Efek seratus persen tercapai dengan baik sebelum reseptor jenuh. Sistem lain - misalnya insulin dalam adiposit (sel penyimpanan lemak) - menunjukkan juga perilaku serupa. Penyimpangan dari prakiraan teori seperti itu memperlihatkan bahwa kadar reseptor bisa penting dalam menilai data dosis-respons, seperti pentingnya kadar enzim pada kinetika enzim. Jika diperlukan 'ambang' pendudukan minimum untuk mendapatkan efek hayati, ED50 akan melampaui KD sebenarnya.

Gambar 2.3 Bagan tentang efek hayati faktor pertumbuhan epidermis (garis penuh) dan persen ikatan maksimum (garis putus-putus) terhadap fibroblast manusia. Tidak berhipitnya kedua kurva itu menggambarkan konsep reseptor cadangan: efek farmakologi maksimum (pada kira-kira 1,8 nM) tercapai pada kurang dan 100 % pendudukan reseptor (pada kira-kita 5 nM) (Diubah-suai dari Hollenberg, 1985)Walaupun demikian, semua agonis yang menghasilkan kurva dosis-respons yang sejajar dan dengan maksimum yang sama, dianggap bekerja pada sisi yang sama tapi dengan afinitas berbeda (gambar 2.2). Ikatan nonreseptor pada 'sisi merugikan' (sering disebut reseptor 'diam') dengan demikian dapat dibedakan dari ikatan yang benar. Schild meluaskan penggunaan gagasan ini untuk memerikan efek bila ada antagonis pesaing (A).Jika Y merupakan bagian reseptor yang diduduki, yaitu jika Y = [DR] / [RT] (10)dan kompleks AR tidak aktif, maka

KD/[D] = (1 + [A] KA)Y / (1 Y) (11)Ka adalah tetapan asosiasi antagonis. Jika respons hayati yang sama dicapai pada kadar obat yang lebih rendah [d] tanpa adanya antagonis, maka KD [d] = Y / (1 - Y) (12)Persamaan (11) dibagi dengan (12) :

[D] / [d] = 1 + [A]KA (13)Maka terdapatlah persamaan Schild. [D]/[d] adalah 'nisbah dosis', seperti terlihat pada gambar 2.2. Dari persamaan (13), [A]2, yaitu kadar antagonis yang mengharuskan penduakalian kadar agonis untuk mencapai efek agonis murni, adalah [A]2 = 1 / KA dan pA2 = - log KAIni memberikan metode percobaan yang mudah untuk mengukur 'aktivitas' antagonis. Sudah barang tentu ini analog dengan konsep pD2 = - log KD . Efek inhibitor pesaing dapat juga dinyatakan sebagai tetapan afinitas inhibitor (KI) dengan merajahkan kadar inhibitor terhadap kebalikan kecepatan reaksi, atau terhadap kebalikan kadar liganda bertanda (agonis bertanda isotop yang digantikan oleh antagonis). Perpotongan garis yang dihasilkan adalah KI.

KI = IC50 / 1 + [L*] / K*IC50 adalah kadar inhibitor yang menggantikan 50% liganda bertanda, [L*] adalah kadar liganda bertanda, dan K* adalah tetapan disosiasinya. Ini adalah metode yang tepat untuk percobaan ikatan in vitro; tetapi tidak tepat untuk kajian sediaan organ atau hewan utuh. Hasil percobaan yang maju pesat dan yang memperhitungkan percobaan ikatan in vitro, mendukung teori pendudukan yang diubah tentang aktivitas obat. Namun, ada gejala yang tak dapat dijelaskan dengan teori pendudukan, yaitu:1. ketakmampuan agonis parsial untuk memberikan respons penuh sewaktu merintangi efek obat yang lebih aktif;2. adanya beberapa obat yang pada mulanya merangsang, kemudian merintangi efek;3. pengawapekaan atau tachyphylaxis - penurunan efek agonis karena pengaruh berulang antagonis atau pemberian antagonis dalam kadar yang lebih tinggi;4. konsep tentang reseptor cadangan.Untuk menampung sebagian atau semua gejala ini, beberapa pilihan teori pendudukan telah dikemukakan. Tak ada satu pun yang betul-betul memuaskan, dan ada pula yang tidak mempunyai dasar fisikokimia.Teori laju Paton, yang diubah-suai oleh Paton dan Rang, menolak anggapan bahwa respons itu berbanding lurus dengan reseptor yang diduduki, dan sebagai gantinya mengusulkan hubungan respons dengan laju pembentukan kompleks obat-reseptor. Menurut pandangan ini, lamanya pendudukan reseptor menentukan apakah molekul itu agonis, agonis parsial, atau antagonis. Dengan demikian, konsep aktivitas intrinsik tidak diperlukan lagi.Teori laju memberikan keterangan yang cukup tentang kemampuan beberapa antagonis untuk memicu respons sebelum merintangi reseptor, dan juga menerangkan tentang pengawapekaan. Namun, tidak ada dasar fisikokimia yang masuk akal, dan bertentangan dengan beberapa fakta yang diperoleh dengan percobaan (misalnya, lambatnya laju disosiasi agonis).Teori kesesuaian-terimbas, yang mulanya dikembangkan oleh Koshland untuk enzim, menyatakan bahwa morfologi sisi ikatan tidak perlu sesuai dengan konformasi liganda - bahkan dengan konformasi yang 'diunggulkan' sekali pun. Menurut teori ini, pengikatan menyebabkan pencetakan plastis timbal-balik antara liganda dan reseptor sebagai suatu proses dinamis. Perubahan konformasi yang dipicu oleh kesesuaian-terimbas timbal-balik dalam reseptor makromolekul ditafsirkan menjadi efek hayati. Teori gangguan makromolekul Belleau, erat hubungannya dengan teori kesesuaian-terimbas. Dikemukakan bahwa agonis mengimbaskan ketertiban khusus bila terikat pada reseptor, dan menyebabkan gangguan konformasi khusus pada reseptor makromolekul. Sebaliknya, antagonis menyebabkan efek ketaktertiban yang tak-khas. Walaupun hanya diperagakan dengan obat kolinergik alkilamonium, gagasan Belleau mempunyai dasar fisikokimia yang kokoh, dan data termodinamiknya mendukung hipotesis itu. 4. Konsep molekul tentang fungsi reseptor

Kerumitan yang besar pada sistem hidup dan sangat jauhnya jarak antara penyebab dan efek (yaitu pemberian obat dan kerja farmakologi) menimbulkan banyak hal yang ruwet dalam pengkajian hubungan dosis-respons pada jaringan atau sediaan organ. Karena itu, para ahli farmakologi molekul dan fisikawan mencari jalan untuk menyederhanakan sistem percobaan itu. Mereka menghilangkan beberapa faktor yang tidak perlu dan tidak ada hubungannya, seperti pengangkutan obat dan metabolisme, serta melaksanakannya pada tingkat yang dapat terjangkau dengan percobaan molekul dan metode fisikokimia yang saksama. Sasaran ini makin disadari sebagai metodologi percobaan ikatan kuantitatif pada sediaan membran dan kemudian menjadi lebih canggih, saksama, dan sederhana pada reseptor terisolasi. Senyawa bertanda isotop dengan aktivitas sangat tinggi memungkinkan kita bekerja dengan kadar liganda faali serendah tingkat pikomol (10-12 M). Hal ini membuka jalan untuk melakukan percobaan langsung pada sisi reseptor dan mengembangkan beberapa model reseptor komplementer. Ariens, Burgen, Changeux, Colquhoun, Cuatrecasas, Hollenberg, Karlin, Seeman, Snyder, Yamamura, dan banyak rekan-rekannya termasuk di antara ahli farmakologi molekul yang berada di garis depan dalam kemajuan 'reseptorologi' yang hebat dan mengagumkan semenjak permulaan tahun 1970an. 4.1 Sifat molekul pada reseptor obatModel reseptor pada mulanya lebih didasarkan pada data farmakologi daripada pengukuran ikatan-liganda langsung. Model tersebut menyatakan bahwa agonis dan antagonis sebagai saingannya terikat pada sisi reseptor yang sarna sampai 'memenuhinya'. Pandangan ini sebagian didasarkan pada penemuan dalam bidang enzimologi, di sini konsep tersebut pada umumnya sahih untuk persaingan metabolit-antimetabolit dan pada kajian aktivitas vitamin dan hormon. Kemiripan struktur yang sangat dekat antara agonis dan antagonis dalam kelompok ini dijadikan bukti langsung bahwa sisi ikatannya sama. Namun, tidak adanya korelasi struktur antara kebanyakan neurotransmiter dan zat perintangnya menjadi sebab untuk memulai peninjauan kembali hipotesis ikatan kompetitif atau ikatan pesaing.Pada umumnya, liganda dan sisi reseptornya adalah komplementer menurut pengertian konsep kesesuaian-terimbas; ini menyatakan bahwa terjadi saling peleburan antara obat dan makromolekul yang memanfaatkan' sepenuhnya antaraksi stereo-elektronik. Pada keadaan terbaik, energi yang dilepaskan saat pengikatan dapat mencapai 40-50 kJ/mol, suatu angka yang setara dengan tetapan keseimbangan ikatan sekitar 10-8 - 10-9 M, yang menyatakan afinitas tinggi.Sifat komplementer yang berkaitan dengan kesesuaian-terimbas, mengacu pada sifat plastis reseptor makromolekul, dalam arti mampu untuk mengalami perubahan konformasi dan untuk bergabung dengan liganda. Dalam keadaan aktif (yaitu konformasi berbeda), reseptor dapat berantaraksi dengan molekul efektor, yang kemudian meneruskan impuls saraf atau tanda lainnya ke jaringan lain. Sifat komplementer ini juga menentukan keselektifan reseptor. Untuk ikatan khas-ruang atau stereo-spesifik, pada umumnya dianggap bahwa liganda harus mempunyai tiga substituen yang berbeda; hal ini dianggap cukup untuk keselektifan tinggi. Ariens memperkirakan bahwa jika terdapat tiga sisi ikatan yang berbeda (misalnya ikatan hidrogen, sisi ion, dan sisi antaraksi hidrofob), masing-masing dalam lima bentuk mandiri (berkenaan dengan jarak masing-masing sisi ikatan berpasangan), maka reseptor akan terikat dengan afinitas kuat pada hanya satu dari antara sejuta senyawa yang bermacam-macam itu. Semua bentuk mandiri' pada sisi reseptor tentulah hasil kelentukan reseptor itu.Kemampuan reseptor untuk berada dalam berbagai bentuk geometri molekul tanpa perubahan berarti dalam fungsinya, mungkin suatu keharusan untuk dapat memahami sifat majemuk kebanyakan reseptor. Secara faali dan menurut struktur tidak ada alasan untuk menerima bahwa jenis reseptor tertentu secara mutlak sama dalam seluruh organisme. Reseptor tertentu itu mungkin suatuStruktur kompleks, terdiri atas banyak subunit yang merupakan bagian dari kerangka membran yang lebih rumit lagi. Mautner mengatakan pada tahun l967 (Mautner, l980), Jauh sebelum struktur reseptor obat diketahui secara rinci, bahwa ahli kimia medisinal akan berhadapan dengan konsep 'isoreseptor, seperti halnya ahli enzim menerima adanya isozim. Walaupun pengetahuan kita sekarang tentang struktur reseptor masih dangkal, rasanya ciri-ciri fungsi dan struktur reseptor yang tepat, misalnya opiat dalam sistem saraf dan dalam ileum, mungkin tidak sama. Tidak saja peranannya masing-masing berlainan sebagai unsur peserta dalam neuromodulasi dan pengaturan peristaltik, tapi juga kira-kira berbeda dalam arti morfologi: reseptor neuromodulasi dianggap prasinaptik atau terletak dalam membran prasinaptik akhir, di depan lekukan sinaps, sedangkan reseptor yang lain adalah reseptor pascasinaptik klasik, yang terletak di dalam membran pascasinaptik sel efektor atau pada urat saraf berikutnya.Dalam hal pertama, reseptor memodulasi pelepasan neurotransmiter, dan dalam hal kedua, reseptor mungkin mengaktifkan enzim seperti adenilat siklase, atau memicu potensial kerja. Nanti akan kita lihat bahwa hampir semua neurotransmiter menunjukkan kemajemukan reseptor. Ahli kimia medisinal berhadapan dengan empat subjenis reseptor adrenergik dan tiga sampai empat reseptor opiat yang berlainan, sekadar menyebut dua contoh saja.Kelentukan reseptor dapat melandasi ciri urnum reseptor majemuk. Misalnya, walaupun keempat isoreseptor adrenergik tadi serupa, reaksinya terhadap neurotransmiter umum, yaitu norepinefrin, secara kuantitatif berlainan. Reaksinya terhadap suatu obat juga khas, dan beragam dalam berbagai organ serta berbeda dalam berbagai jenis hewan. Dalam bab-bab selanjutnya dalam buku ini, terbukti sekali bahwa kemajemukan reseptor lebih nyata sebagai keharusan daripada perkecualian. Kita harapkan bahwa pada saatnya nanti, dengan membandingkan berbagai struktur molekul isoreseptor, akan diperoleh kriteria yang tepat untuk membeda-bedakannya. Ariens dan kelompoknya (1979, h. 59-64) memperluas dan membahas secara rinci berbagai pemikiran yang dinyatakan di atas tadi.

Keseberagaman reseptor atau sisi pengenalan untuk agonis dan antagonis sudah didokumentasikan dengan baik. Kita dapat membedakan (1) sisi ikatan agonis, (2) sisi ikatan antagonis pesaing (sisi pelengkap), dan (3) sisi ikatan antagonis bukan-pesaing atau teratur (sisi alosterik).Sisi ikatan agonis merupakan pokok bahasan sinambung, dan berkisar mulai dari pendekatan yang murni fisika sampai pembahasan sifat biokimia jika ini diketahui. Dalam pembahasan ini sudah termasuk pembicaraan tentang masing-masing tempat pada makromolekul reseptor: berbagai asam amino khusus, lipid, atau nukleotida yang dijaga dalam konfigurasi geometri yang tepat oleh kerangka sisa molekul, maupun oleh lingkungan supramolekul seperti membran. Pada hakikatnya, kebanyakan reseptor obat adalah bagian membran plasma yang lipoprotein, dan karena itu bersifat amfifil. Tentu ada perkecualian, seperti reseptor hormon steroid; di sini steroid terikat pada reseptor bebas dalam sitosol dan kompleks itu kemudian diangkut.Antagonis pesaing pada mulanya dianggap terikat pada sisi ikatan agonis dan dengan sesuatu cara menggantikan dan mengeluarkan agonis tadi karena afinitasnya sangat tinggi, tetapi tidak mempunyai aktivitas intrinsik. Ini mengakibatkan pergeseran dosis-respons secara sejajar, seperti terlihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Kurva dosis-respons untuk suatu agonis pada saat terdapat B, antagonis pesaing, dengan kadar menaik (berlipat dua) (MenurutTriggle, 1978)Gambar 2.5 membandingkan struktur beberapa pilihan contoh senyawa tersebut. Dengan sekilas dapat terlihat bahwa walaupun beberapa agonis mempunyai struktur serupa, diperlukan analisis yang berhati-hati untuk membedakan hubungan pasangan agonis-antagonis atau bahkan antara antagonis segolongan. Seperti biasanya, terlihat perkecualian dalam hal ini. Umpamanya, analgetika opiat dan antagonisnya sangat mirip strukturnya, tapi jika kita perhatikan hubungan antara peptida 'opiat' endogen yang dikenal sebagai enkefalin, dengan antagonis opiat, ketidakmiripan mencolok antara kedua golongan tadi menjadi lebih nyata.

Sifat antagonis yang sangat nyata adalah afinitasnya pada reseptor sangat besar, sering kali dua atau empat kali orde besaran lebih tinggi dibandingkan dengan agonis (tabel 2.2). Pemeriksaan sekali lagi mengungkapkan bahwa semua agonis dalam tabel itu mempunyai gugus nonpolar besar, umumnya cincin aromatik. Karena itu, sisi ikatan tambahan harus ada pada reseptor guna menampung gugus hidrofob yang besar itu. Sisi ini merupakan tambahan bagi sisi ikatan agonis, yang biasanya polar; keadaan asetilkolin dan antagonisnya, propantelin, terlihat pada gambar 2.6. Sisi tambahan itu mungkin sekali tergabung dengan antar-muka lipid-protein di dalam membran atau dengan celah hidrofob protein. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa terdapat beberapa senyawa yang bersifat antagonis dalam lebih dari satu sistem. Difenhidramin (gambar 4.40) misalnya, bekerja sebagai antihistamin maupun sebagai antikolin.

Gambar 2.6 Gambar bagan ikatan asetilkolin dan obat antikolinergik propantelin pada reseptor kolinergik. Sistem cincin trisiklik pada propantelin terikat pada sisi ikatan tambahan. (Direproduksi seizin Ariens dkk., (1979), Plenum press, New York)Antagonis pesaing dapat ditinjau menurut dua cara. Menurut cara yang satu, sisi ikatan antagonis dianggap berdekatan letaknya dengan sisi agonis dan mungkin bertumpang-tindih sebagian. Karena itu antagonis akan mengganggu agonis mencapai reseptor, walaupun ia tidak perlu menduduki sisi agonis dan sisi tambahan, seperti terlihat pada gambar 2.5. Sebaliknya, antagonis dalam fungsinya dapat menghalangi pencapaian oleh agonis dengan mengubah afinitas reseptor. Ini sangat sejalan dengan penghambatan alosterik, yang akan dibahas di bawah ini.Dengan demikian, sisi tambahan merupakan sisi yang lebih penting bagi antagonis, dan sisi ikatan untuk agonis dan antagonis tidak sama, walaupun kedua-duanya terdapat pada reseptor lipoprotein yang sama, dan walaupun dia menunjukkan kecenderungan yang tinggi pada agonis maupun antagonis. Keadaan ini, digabung dengan berbagai afinitas dari bermacam-macam bentuk atau keadaan reseptor, menuju kepada pengembangan reseptor dengan model dua-muka.4.2 Model molekul reseptorRodbard dan rekan-rekannya (De Lean dkk, 1979) mengusulkan model reseptor 'subsisi ganda' yang menarik dan dapat menerangkan kerjasama reseptor, kurva dosis, respons dwifase, antagonisme pesaing dan bukan pesaing, dan adanya agonis parsial. Model ini mengemukakan bahwa agonis terikat pada dua subsisi dan dengan demikian memicu respons reseptor-efektor, sedangkan antagonis hanya terikat pada salah satu subsisi, termasuk sisi alosterik atau tambahan, dan dengan demikian tidak menyebabkan terjadinya bentuk R reseptor (lihat di bawah).Sisi alosterik agak jauh dari sisi agonis dan bahkan mungkin terletak pada protomer reseptor yang lain dalam kompleks reseptor-efektor itu. Pendudukannya oleh penghambat alosterik menghasilkan perubahan konformasi yang merambat sampai ke sisi agonis dan mengubah afinitasnya. Maka terjadilah pendesakan timbal-balik antara agonis dan antagonis alosterik. Lagi pula, model farmakologi klasik tidak dapat membedakan penghambatan bersaing dan penghambatan alosterik. Efektor alosterik belum tentu merupakan penghambat. Sama seperti dalam enzimologi, ada yang mengaktifkan, dan ada pula yang mentakaktifkan keadaan reseptor.4.2.1 Model reseptor dua-mukaModel reseptor dua-muka (juga dikenal sebagai model Monod-Wyman-Changeux) dikembangkan menurut dasar kinetika penghambatan bersaing dan alosterik maupun melalui penafsiran hasil percobaan ikatan langsung. Model ini mempostulatkan bahwa lepas dari ada atau tidak adanya liganda, reseptor berada dalam dua keadaan tersendiri: keadaan R (rileks, aktif, atau 'hidup') dan T (tegang, takaktif, atau 'mati'), yang berada dalam keadaan keseimbangan. Agonis (obat, D) mempunyai afinitas tinggi terhadap keadaan R dan akan menggeser keseimbangan ke kanan; antagonis (penghambat, I) lebih menyukai keadaan T dan akan memantapkan kompleks TI: Agonis parsial mempunyai afinitas kira-kira sama untuk kedua bentuk reseptor itu.Sebagian anggota populasi reseptor berada dalam keadaan R, bahkan tanpa adanya satu agonis pun. Jadi, reseptor dapat diumpamakan mempunyai 'tegangan' seperti otot yang sedang beristirahat. Nisbah keadaan ditentukan oleh tetapan keseimbangan KL, KT, dan KR (untuk obat D atau penghambat I), dan memberikan makna fisikokimia sebenarnya pada konsep aktivitas intrinsik. Ariens dkk. (1979) dan Triggle (1978) secara rinci menurunkan kinetika transformasi antara kedua keadaan itu. Gambar 2.7 memperlihatkan model dua-muka suatu reseptor yang tergabung dengan saluran ion, yang mengatur daya hantar membran. Disamping keadaan R dan T, diperlihatkan juga keadaan tak-peka. Dalam keadaan terakhir ini, sisi pengenal dilepaskan dari sisi efektor (dalam hal ini, ionofor), seperti terlihat pada kadar obat yang sangat tinggi atau setelah perangsangan berulang-ulang. Penglepasan (juga disebut desentisisasi atau pengawapekaan, pemudaran, atau jika khas-reseptor, takhifilaksis), dapat juga ditafsirkan dalam hubungannya dengan daur-ulang reseptor.Berbeda dengan anggapan yang dipakai dalam teori pendudukan klasik, agonis dalam model dua-muka tidak 'mengaktifkan' reseptor, akan tetapi menggeser keseimbangan ke arah bentuk R. Hal ini menerangkan mengapa jumlah reseptor yang diduduki tidak sama dengan jumlah reseptor yang diaktifkan.Pergeseran dari bentuk R ke bentuk T (dari ikatan agonis ke ikatan antagonis) suatu reseptor dapat juga diimbas oleh pengatur alosterik. Untuk ini contoh yang paling nyata adalah pada reseptor opiat. Di sini Na+ atau Li+ (tapi bukan K+), yang bekerja sebagai pengatur, menggeser protein reseptor ke bentuk T (antagonis), sedangkan dalam dapar yang bebas-Na+ reseptor lebih suka

Gambar 2.7 Model reseptor dua-muka yang dihubungkan dengan saluran ion. Reseptor yang belum diduduki (panah tengah) dapat berada pada muka-T yang tertutup (kiri) atau muka-R yang terbuka (kanan). Keduanya berada dalam kesetimbangan yang mempunyai tetapan kesetimbangan KL. Kedua muka ini dapat mengikat zat penghambat (l) atau obat (D), tetapi hanya kesesuaian yang cocok yang menjamin kemantapan muka-T atau muka-R. Pada reseptor yang diawapekakan (bawah), sisi pengenalan terlepas dari saluran ion (Diubah-suai dari Hollenberg, 1985)mengikat agonis. Karena efek itu dapat diukur pada kadar Na+ sekecil 5 mM, yang jauh di bawah kadar natrium faali yang 150 rnM, reseptor mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap antagonis in vivo daripada in vitro. Juga akan diperlukan lima sampai sepuluh kali lebih banyak agonis dibandingkan dengan antagonis untuk ED50 karena reseptor berada dalam konformasi antagonis.Sifat kerjasama reseptor, yang banyak ditelaah pada reseptor hormon dan ionofor, dapat diterangkan dengan perluasan lebih jauh model dua-muka tadi. Dianggap bahwa kerjasama beberapa protomer reseptor diperlukan untuk sesuatu efek seperti pembukaan saluran ion, dan semua protomer ini harus mencapai keadaan R atau T agar dapat membuka atau menutup pori. Ini berarti bahwa sisi ikatan atau protomer reseptor tempat sisi itu berada, harus berantaraksi, dan dengan melakukan itu, afinitasnya berubah sebagai fungsi bagian reseptor keadaan-R dalam kumpulan itu. Ini juga berarti bahwa kompleks obat-reseptor dapat memicu peralihan reseptor tetangga yang tidak diduduki dari keadaan T ke keadaan R. Bila suatu liganda memperlancar pengikatan atau efek reseptor, sifat kerjasama itu positif, jika ia menghalanginya, sifat kerjasama itu negatif (misalnya dalam reseptor insulin). Sifat kerjasama negatif dapat juga menyebabkan reseptor cadangan yang banyak terlihat pada beberapa sistem. Karena reseptor menggerundul selama masa daur metabolismenya sendiri, maka pendudukan liganda yang rendah dalam gerundul itu masih dapat menyebabkan perubahan besar dalam konfigurasi gerundul, yang menghasilkan efek sempurna tanpa nisbah 1:1 untuk ikatan liganda-reseptor.Perilaku kerjasama hemoglobin dan beberapa enzim dibahas dalam hipotesis Monod-Wyman-Changeux, yang menganggap bahwa peralihan bersama terjadi serentak dalam semua subunit kumpulan reseptor. Dalam model Koshland-Nemethy-Filmer, hanya subunit pengikat yang mengalami perubahan konformasi, dengan mengubah antaraksinya dengan tetangganya dan menghasilkan perubahan berantai. Sukar untuk membedakan kedua model ini dengan percobaan; penerapannya untuk reseptor obat dibahas secara rinci oleh Triggle (1978) dan Colquhoun (1973).Seperti telah terbukti pada pembahasan terdahulu, efektor atau sistem penguat adalah bagian reseptor oligomer yang menunjukkan bahwa suatu obat telah terikat pada reseptor (atau, bahwa telah terjadi perubahan konformasi ke keadaan R atau T), dengan memberi isyarat kepada mata rantai berikutnya dalam rantai reseptor-efektor yang akhirnya memicu efek hayati. Di samping untuk memulai tahap kerja obat, efektor biasanya juga penguat, dengan memperbesar peristiwa awal yang tidak menonjol seperti pengikatan beberapa ribu molekul liganda pada kadar 10-9 10-10 M. Penguatan ini dapat berbentuk riam, seperti dalam hal epinefrin atau glukagon yang terkenal: hormon ini memulai glikogenolisis melalui serentetan langkah pengaktifan enzim, seperti terlihat dalam gambar 2.8, yang menyebabkan efek awal itu diperbesar kira-kira 100 juta kali. Kita kagum pada keberadaan enzim adenilat siklase (AS) di mana-mana, yang bekerja sebagai penguat pertama atau efektor dalam sejumlah besar riam yang diawali oleh obat maupun dalam sejumlah peristiwa rantai biokimia dalam enzimologi. AMPs yang dihasilkan selanjutnya, mengaktifkan beberapa kinase, yang memfosforilasi berbagai protein dan bekerja sebagai efektor terakhir. Karena kebanyakan reseptor tempatnya di dalam membran sel, rangkaian peristiwa ini merupakan perhubungan antar sel.

Riam sejenis dikenal melalui efek hormon steroid yang melenyapkan penekan khas dari ADN dan memicu transkripsi mARN, dan ini menghasilkan sintesis protein besar-besaran.Jenis efektor lain adalah ionofor membran yang dapat terangsang, yang dalam konformasi R-nya (terbuka) dapat melalukan kira-kira 10.000-20.000 ion dalam satu impuls, dan menghasilkan depolarisasi atau polarisasi membran, serta beberapa kemungkinan gejala faali.

4.2.2 Model reseptor bergerakModel reseptor bergerak diusulkan oleh Cuatrecasas dan oleh De Haen (Hollenberg, 1985) dalam upaya untuk menjelaskan mengapa begitu banyak macam obat, hormon, dan neurotransmiter dapat mengaktifkan adenilat siklase. Menurut konsep klasik, sisi pengenalan tetap selalu dikaitkan dengan sisi efektor, dan akan mengatur kerjanya atas dasar satu lawan satu atau atas dasar stokhiometri lain. Sisi pengenalan sudah barang tentu bersifat khas.Jika hipotesis ini diterapkan pada masalah adenilat siklase, harus diterima salah satu dari dua keadaan berikut, yaitu bahwa jumlah isozim adenilat siklase sama-banyak dengan reseptor yang bekerja dengan perantaraannya; atau adenilat siklase memerlukan begitu banyak macam sisi pengenalan yang dapat melayani liganda yang banyak. Kemungkinan kedua ini menyatakan tidak adanya keselektifan. Meskipun demikian, tidak ada bukti untuk masing-masing pengandaian itu.Konsep reseptor bergerak memberikan penyelesaian untuk masalah ini, dengan mengingat bahwa membran lipid adalah cairan dua dimensi, dan protein yang tertanam di dalamnya dapat mengalami gerakan lateral cepat atau 'translasi' dengan laju 5 - 10 m/menit, suatu jarak yang besar sekali jika diukur dengan skala molekul (Poo, 1985). Karena itu protomer pengenalan senyawa kompleks reseptor tidak perlu selalu dihubungkan dengan molekul efektor, jadi hubungan stokhiometri tidak diperlukan. Yang terjadi, seperti terlihat dalam gambar 2.10, protomer pengenalan dapat mengalami gerakan lateral cepat, dan bila diaktifkan ke keadaan R, dapat dipakai untuk hal yang dijuluki 'pasangan benturan'. Reseptor dalam keadaan R mempunyai konformasi yang tepat untuk memicu aktivitas efektor, yang dapat merupakan pembukaan ionofor atau pengaktifan adenilat siklase. Karena itu, berbagai sisi pengenalan dapat mengaktifkan molekul adenilat siklase yang sama pada berbagai waktu melalui mekanisme yang sama. Begitu pula, satu sisi pengenalan dapat mengaktifkan beberapa molekul adenilat siklase atau sistem efektor lain selama masa aktifnya. Pasangan benturan ganda itu dapat dilihat sebagai keterangan tingkat molekul tentang kekerjasamaan positif dan konsep tentang cadangan reseptor. Tidak ada gunanya mengharapkan beberapa sisi pengenalan pada enzim atau sejumlah isoenzim, cukup pemisahan fisik sisi pengenalan dan efektor serta gabungannya yang berpotensi banyak. Meskipun demikian, barangkali benar bahwa sisi pengenalan yang mengelola gerbang ion lebih kekal tergabung dengan ionofor dibandingkan dengan reseptor obat atau hormon yang bekerja melalui adenilat siklase atau sistem fosfatidilinositol. Pilihan lain di samping hipotesis pasangan benturan diusulkan oleh Levitzki (1982,1986), tetapi percobaan kinetika tidak menunjang adanya mekanisme lain.4.3 Metabolisme dan dinamika reseptor

Seperti semua protein, reseptor dan subunit reseptor mempunyai sandi gen yang sesuai, ditranskripsi pada mARN, ditranslasi, dan selanjutnya diproses ke dalam retikulum endoplasma kasar. Proses pascatranslasi terdiri atas 1. Penghilangan rangkaian peptida pemandu 2. N-glikosilasi asparagin

Setelah protein reseptor dibungkus dalam alat Golgi, beberapa karbohidrat dihilangkan dan lainnya ditambahkan pada oligosakarida bercabang berbentuk 'antena'; proses ini dinamakan 'capping'. Oligosakarida pada reseptor glikoprotein agaknya merupakan unit pengenal yang diperlukan untuk pengikatan liganda berafinitas-tinggi, dan juga sebagai pelindung terhadap penguraian proteolitik dini. Gabungan reseptor supramolekul itu kemudian dimasukkan ke dalam membran sel sebagai protein intrinsik, yang biasanya merentang sepanjang lebar dwilapisan lipid. Karena itu ia dapat berhubungan dengan ruang luar-sel maupun dengan dalam-sel, dengan demikian berperan sebagai penyampai isyarat transmembran.Sebagai akibat konsep reseptor gerak, penelitian akhir-akhir ini mengungkapkan bahwa reseptor yang terikat pada membran mengalami proses dinamis yang berfungsi untuk mekanisme pengendalian (Hollenberg, 1985a, 1985b; Hanover dan Dickson, 1985). Ada beberapa kategori mekanisme pengendalian; bedanya terutama dalam kecepatan respons: ada yang sangat cepat (milidetik sampai detik), ada yang lebih lambat dan tertunda.

Sehubungan dengan itu, kita mengenal mekanisme berikut: 1. Pengendalian pada tingkat genetik, 2. Pengendalian oleh liganda, 3. Modifikasi kovalen atau nonkovalen, 4. Perpindahan reseptor dalam membran (pembentukan belak), 5. perpindahan reseptor ke ruang-dalam sel (penyusupan) dan pengembalian berpotensi ke dalam membran plasma, dan 6. Penyusupan dan penguraian proteolitik.4.3.1 Pengendalian pada tingkat genetikPengendalian pada tingkat genetik sering terlihat pada hormon yang dapat mengatur laju sintesis reseptornya sendiri maupun reseptor lain dengan fungsi bersesuaian (misalnya, pengendalian sintesis reseptor oksitosin dalam rahim oleh estrogen)4.3.2 Pengendalian oleh ligandaPengendalian reseptor oleh liganda dapat merupakan pengendalian-sendiri (homospesifik) atau pengendalian-silang (heterospesifik). Dalam hal pertama, pengikatan liganda dapat mencetuskan penyusupan kompleks liganda-reseptor, dengan menghilangkan reseptor dari permukaaan sel dan menurunkan jumlah reseptor yang tersedia (seperti halnya pada reseptor insulin). Pengendalian heterospesifik terlihat misalnya pada histamin, yang pada kadar tinggi dapat mengaktifkan reseptor asetilkolin, dan pada anksiolitika golongan benzodiazepin (trankuilaiser), yang mengendalikan reseptor GABA.4.3.3 Modifikasi kovalenModifikasi kovalen pada reseptor terjadi dengan fosforilasi, reaksi redoks sulfhidril-disulfida, dan pembelahan proteolitik, dengan cara yang sama seperti untuk kebanyakan enzim. Setelah ikatan liganda, reseptor dapat memfosforilasi dirinya pada sisa tirosin atau serin, atau perubahan konformasi yang disebabkan oleh lganda dapat membuat reseptor sebagai substrat untuk fosforilase kinase. Akibat semua reaksi ini belum sepenuhnya dipahami. Reaksi redoks sulfhidril seperti terlihat pada kolinoseptor nikotinik, mengubah kepekaan nisbi liganda: pada reseptor insulin, terjadi perubahan afinitas. Jadi. modifikasi kovalen pada reseptor. baik homospesifik maupun heterospesifik. mempunyai arti biokimia untuk istilah farmakologi 'afinitas' dan aktivitas intrinsik'.

4.3.4 Modifikasi nonkovalen Modifikasi nonkovalen pada reseptor dapat melibatkan antaraksi dengan liganda kecil (ion, nukleotida) atau makromolekul (seperti pada model reseptor gerak), dan menyebabkan perubahan alosterik. Modifikasi ini juga dapat mempengaruhi lingkungan reseptor, dan mengubah potensial membran atau penyebaran reseptor (penggerundulan, pembelakan). Contoh yang mencolok adalab efek ion Na+ pada afinitas nisbi reseptor opiat terhadap agonis dan antagonis, atau efek nukleotida guanin terhadap sejumlah reseptor, yang akan dibahas dalam pasal berikut. Gerak lateral kompleks liganda-reseptor, suatu gejala yang masih belum dipahami, dikendalikan selanjutnya oleh perubahan fluiditas membran yang dipicu oleh kompleks liganda-reseptor itu sendiri.4.3.5 Penggerundulan reseptorPenggerundulan reseptor, walaupun merupakan antaraksi nonkovalen, sungguh-sungguh merupakan mekanisme pengendalian tersendiri. Khususnya reseptor hormon peptida diketahui dapat membentuk gerundul yang terlihat di bawah mikroskop pada pemeriksaan reseptor berfluoresensi. Penggerundulan adalah prasyarat yang perlu, tapi belum cukup, untuk mendapatkan efek farmakologi. Pengikatan liganda pada reseptor yang tergerundul dalam beberapa keadaan masih diperlukan untuk mengaktifkan sel seperti lipolisis yang diperantarai oleh reseptor insulin pada adiposit (sel lemak). Seperti dinyatakan sebelumnya, penggerundulan mungkin dapat menerangkan kekerjasamaaan reseptor dalam arti positif maupun negatif. Secara teori, dimerisasi mungkin menyebabkan penurunan 30% afinitas ikatan, dan dengan demikian mempengaruhi respons seluruh sistem.4.3.6 Penyusupan reseptorPenggerundulan reseptor juga menyebabkan penyusupan reseptor. Gejala ini. bcrdasarkan endositosis melalui lubang bersalut (Dickson, 1985; Carpentier dkk., 1986). Lubang ini terlihat dalam mikrograf elektron sebagai sarung membran yang disalut pada bagian dalamnya (sitoplasma) dengan jaringan protein klatrin. Pernah dikemukakan bahwa protein reseptor tertentu mempunyai daerah dalam struktur yang memungkinkannya untuk bereaksi dengan lubang tersalut (gambar 2.9). Gerundul reseptor dalam lubang tersalut (daerah 4) dapat segcra terendositosis, dan menyebabkan terbentuknya gelembung (endosom) (daerah 5) yang kemudian diangkut ke bagian dalam sel itu. Seperti terlihat dalam gambar 2.9, reseptor internal mengalami salah satu dan beberapa nasib. Barangkali peran terpenting pada penyusupan ini adalah mengambil reseptor dari membran plasma, yaitu penekanan populasi reseptor. Seperti diuraikan

Gambar 2.9 Penggerundulan dan penyusupan reseptor. Reseptor dalam membran plasma (1) mengikat liganda (L) (2)dan/atau terfosforilasi oleh protein kinase C(3), untuk mempersiapkan pembentukan belak yang melibatkan penggerundulan dalam lubang tersalut (4) yang dilapisi bagian dalamnya oleh protein kiatrin (XXX). Lubang tersalut, bersama-sama dengan kompleks reseptor-liganda, terlepas dan membentuk endosom (5); liganda dapat dilepaskan ke dalamnya. Dari endosom, reseptor dapet kembali ke bentuk T dan kembali ke permukaan sel (6); dalam hal ini liganda dilepaskan ke sel bagian dalam (8); sebagai kemungkinan lain, reseptor dapat diserahkan kepada lisosom (7) dan diuraikan, atau diangkut ke inti bersama-sama liganda (9)penekanan adrenoseptor adalah cara kerja obat antidepresan. Beberapa reseptor internal (seperti lipoprotein kerapatan-rendah pembawa-kolesterol) melepaskan ligandanya (daerah 8) dan kembali ke permukaan sel, dan dengan demikian menjalankan peranannya sebagai pengangkut protein (daerah 6). Reseptor lainnya mengalami disosiasi yang disebabkan oleh pH rendah dalam endosom, dan banyak lagi akan terurai sepenuhnya dalam lisosom (daerah 7), dan dengan demikian menyempurnakan jalur metabolisme bagi reseptor. Juga pemah dihipotesiskan bahwa endosom mungkin adalah wahana yang mengantarkan kompleks hormon-reseptor kepada inti sel (daerah 9), suatu proses yang biasa bagi hormon steroid, dan terjadi dengan mekanisme yang belum diketahui.

4.4 Pengiriman isyarat lewat membranBagan umum tentang pengisyaratan dimulai dengan datangnya 'pemberita pertama' dari luar sel-neurotransmiter, hormon, atau zat endogen lain, atau liganda eksogen seperti obat atau toksin bakteri. Antaraksi reseptor-liganda terjadi di luar sel, dalam kebanyakan hal liganda tidak memasuki sitoplasma. Namun, tentu ada perkecualian, seperti yang dibahas dalam pasal terdahulu tentang penyusupan reseptor. Pada umumnya, isyarat yang dikirim oleh liganda diteruskan ke bagian dalam sel oleh kompleks reseptor-liganda, yang berantaraksi dengan transduser. Kompleks tiga serangkai reseptor-liganda-transduser kemudian berantaraksi dengan penguat, biasanya enzim, yang mengeluarkan zat yang mengaktifkan efektor dalam (biasanya fosforilase kinase); kemudian efektor kinase memfosforilasi-sambil mengaktifkan atau mentakaktifkan-enzim sisi khusus yang mengatur respons akhir sel. Kita mengenal tiga sistem, yang menggunakan berbagai transdusen; 1. sistem adenilat siklase, 2. sistem guanilat siklase, dan 3. sistem inositol trifosfa t-diasilgliserol.4.4.1 Sistem adenilat siklaseSistem ini telah dijelaskan oleh sejumlah peneliti selama masa yang nisbi panjang. Sutherland dan Rall menemukan AMPs dalam tahun 1958, Rodbell dan kawan-kawannya memperlihatkan perlunya GTP dalam proses ini dalam tahun 1971, dan urutan peristiwa itu secara lengkap dipetakan oleh A. G. Gilman dan kelompoknya pada waktu yang lebih akhir lagi. Rangkaian reaksi tersebut diperlihatkan dalam gambar 2.10. Ada dua jenis reseptor yang berperan serta dalam sistem ini: reseptor perangsang Rs dan reseptor penghambat Ri. Jadi, reseptor membran yang bekerja melalui adenilat siklase melakukannya dengan mengaktifkan penguat (lihat di bawah) ataupun dengan menghambatnya. Bila reseptor terisi oleh ligandanya, dia membentuk: kompleks sementara dengan protein pengikat guanil nukleotida, yang terisi oleh GDP. Transduser protein ini - baik perangsang (Gs) maupun penghambat (Gi)menjadi aktif dalam proses pengikatan ini. Dalam kompleks tiga serangkai liganda-reseptor-GGDP, GDP digantikan oleh GTP, yang memicu pelepasan subunit dari protein trimer Gs. Subunit dan juga dilepaskan. Kemudian subunit yang aktif bergabung dengan enzim adenilat siklase (AS) (penguat), dan menghasilkan AMPs, yaitu pemberita kedua. AS pernah dimurnikan secara homogen (Pfeuffer dkk., 1985). Keadaan Gs aktif diakhiri oleh GTPase yang diaktifkan oleh liganda, dengan menghidrolisis GTP yang terikat menjadi GDP. Diperkirakan bahwa kemudian protein Gs dibentuk kembali dari ketiga subunit dalam bentuk inaktif, dan siap untuk daur ikatan berikutnya dengan reseptor terisi. Transduser penghambat Gi dapat bertindak langsung, dengan cara yang sama seperti protein Gs berlaku, atau mungkin secara tak langsung. Bila tak langsung, subunit yang dilepaskan dari protein Gi mungkin bergabung dengan subunit s yang dilepaskan dari protein Gs, dan dengan demikian membentuk kembali trimer yang takaktif. Gagasan ini ditunjang oleh fakta bahwa protein Gi rnempunyai afinitas lebih tinggi untuk GTP daripada Gs, dan karena itu trimer Gi lebih mudah terdisosiasi. Hendaklah diingat bahwa reseptor, protein G, dan siklase berantaraksi dalam sistem gerak secara pemasangan benturan, dan dengan demikian banyak ragam reseptor dapat mengaktikan populasi protein G dan siklase yang sama.Jika GTF digantikan oleh analog sintetik yang tak dapat terhidrolisis, yaitu guanil-5'-il-imidodifosfat (Gpp(NH)p; oksigen anhidrida digantikan oleh gugus NH), maka reaksi itu tidak dapat dihentikan, dan AMPs akan terus terbentuk. GTPase, yang biasanya dapat mengakhiri keadaan aktif, dapat juga ditakaktifkan oleh toksin kolera. Diare berat yang dapat mematikan dan kehilangan elektrolit yang terjadi pada kolera menceminkan keadaan bahwa AMPs adalah pengaktif sekresi cairan dalam usus. Sebaliknya, toksin pertusis (yang menyebabkan batuk rcean) merintangi pengaktifan G olen GTP, dan mungkin menyebabkan penyempitan saluran napas. Senyawa lain dari alam, yaitu diterpena forskolin (2-1), diisolasi dari akar Coleus forskohlii, mengaktifkan adenilat siklase secara langsung (Seamon, 1984). Senyawa ini pemah dipakai di India sebagai obat rakyat untuk gangguan pernapasan, tak bisa tidur, dan sawan. Juga merupakan obat penurun tekanan darah yang manjur dan pelebar saluran napas serta menurunkan tekanan dalam mata pada glaukoma.Perkembangan yang paling mengesankan dalam pengiriman isyarat adalah kenyataan bahwa protein yang dibentuk oleh onkogen (gen penyebab kanker) adalah juga protein pengikat GTP.

Gambar 2.10 Contoh pengaktifan adenilat siklase. 1. Reseptor, dalam konformasi kaku (mati) (RT) mengikat Iiganda (L), dan membentuk 2. kompleks liganda-reseptor aktif (RR-L), yang sekarang dapat menjalani pemasangan benturan dengan trimer protein pengikcat guanil-nukteotida perangsang (Gi). 3. Kompleks tiga serangkai itu (L-RR-GJ diaktifkan dengan menukar ikatan GDP pada protein G dengan GTP, 4. Kompleks tiga serangkai tadi terdisosiasi menjadi reseptor takaktif (RT), liganda (L), subunit pada protein G, dan 5. subunit aktif protein G. 6. Subunit s aktif mengikat adenilat siklase (AS) dan mengaktifkannya serta mengawali sintesis AMPs dari ATP, 7. Subunit s drtakaktifkan dengan menghidrolisis GTP menjadi GDP dan fosfat anorganik (Pi); kompleks subunit s-GDP pulih kembali dengan bergabung dengan subunit Tahap akhir pengiriman isyarat adalah tindakan AMPs terhadap subunit pcngatur pada enzim, yaitu protein kinase. Kemudian enzim ini, yang ada di mana-mana, memfosforilasi dan mengaktifkan enzim dengan fungsi khusus , untuk berbagai sel dan organ. Dalam sel lemak, protein kinase A mengaktifkan lipase yang mengerahkan asam-asam lemak; dalam sel hati dan otot, dia mengatur glikogenolisis dan sintesis glikogen. Lebih banyak lagi terdapat contoh pengaktifan (Berridge, 1985). Sebaliknya, jika ada reseptor penghambat (misalnya -adrenoseptor) berantaraksi dengan protein Gi, maka penguraian lipid akan berkurang, karena pembentukan AMPs menurun.

4.4.2 Sistetn guanilat siklaseJenis kedua tentang pengiriman isyarat adalah dengan menggunakan GMP siklik (GMPs) dan bukan AMPs sebagai pemberita kedua. Semula disangka bahwa jalur ini tidak langsung berhubungan dengan reseptor yang terikat dengan membran, dan hanya dapat bekerja dengan cara merangsang saja, mungkin dengan mengaktifkan protein kinase G. GMPs berperan dalam perilaku serangga, tetapi juga dalam selaput jala manusia dan dalam kegiatan faktor natriuretik serambi jantung, yaitu hormon yang baru ditemukan yang dihasilkan oleh jantung dan mengatur tekanan darah. Pada hal terakhir ini, harus diterima adanya keterlibatan reseptor. Mungkin sekali GMPs juga bekerja lewat Ca2+ sebagai pemberita ketiga dalam mengaktifkan protein kinase yang tergantung pada Ca (Schulman, 1984).4.4.3 Sistem inositol trifosfat-diasilgliserol

Jalur pengisyaratan ketiga yang luas pemakaiannya didasarkan pada fosfatidilinositol, unsur normal membran sel. Seperti terlihat pada gambar 2.11, isyarat luar-sel diterima oleh reseptor yang terikat pada membran dan berantaraksi dengan protein Gs, mengaktifkan fosfolipase C (fosfatidilinositol

Gambar 2.11 Sistem isyarat fosfatidilinositol, 1. Reseptor kaku dan takaktif (RT) mengikat liganda (L) dan berubah ke keadaan lemas dan aktif (rr). 2. Reseptor ini berantaraksi dengan protein G, dan dengan cara yang kira-kira sama dengan pengaktifan AS, mengaktifkan fosfolipase C (PL-C) atau fosfodiesterase. 3. Fosfatidilinositol (PI) dibelah menjadi diasilgliserol (DG), yang tetap dalam membran dan mengaktifkan protein kinase C (PK-C): 4. PK-C dapat pula diaktifkan langsung oleh ester forbol 5. Inositol trifosfat (IP3) berdifusi ke daJam sitoplasma dan membebaskan ion Ca2+ dari penyimpanannya. 6. Kemudian Ca2+ langsung atau bekerjasama dengan kalmodulin (CM), mengaktifkan protein kinase. 7. Kinase ini, maupun PK-C, mengfosforilasi protein, dan mengawali proses faali. Kedua cabang ini dapat bekerja bebas satu sama lain

difosfat [PIP2] fosfodiesterase), suatu enzim yang membelah fosfat diester. Kedua hasil pada reaksi pembelahan ini adalah inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DG); kedua-duanya bertindak sebagai pemberita kedua, tetapi dalam kompartetnen sel yang berlainan (Berridge, 1985; Hokin, 1985).Inositol trifosfat larut dalam air dan karena itu dapat berdifusi ke dalam sitoplasma; di sini dia menggiatkan kalsium dari tempat penyimpanannya dalam mikrosom atau retikulum endoplasma. Ion Ca2+ kemudian mengaktifkan kinase yang tergantung pada Ca (seperti troponin C dalam otot) secara langsung atau terikat pada protein pengikat-Ca yang ada di mana-mana, yaitu kalmodulin dan mengaktifkan kinase yang tergantung pada kalmodulin. Kinase ini, selahjutnya, mengfosforilasi enzim yang khas untuk sel (Klee.dkk. 1980; West, 1982; Garrison, 1985).Sebaliknya, diasilgliserol larut dalam lipid dan tinggal di dalam dwilapisan lipid dalam membran. Di situ dia mengaktifkan protein kinase C (PKC), suatu enzim yang sangat penting dan luas penyebarannya (Nishizuka, 1986). Enzim ini, melalui fosforilasi, melayani banyak sistem: neurotransmiter (asetilkolin, 1-dan -adrenoseptor, serotonin), hormon peptida (insulin, hormon pertumbuhan epiderm, somatomedin), dan sejumlah fungsi sel (metabolisme glikogen, kerja otot, protein tubuh, dsb.). Diasilgliserol juga berantaraksi dengan guanilat siklase (Garrison, 1985). Selain diasilgliserol, diperlukan pula lipid membran normal yang lain, yaitu fosfalidilserin, untuk mengaktifkan PKC. Semua cabang DG-IP3 pada jalur tersebut biasanya bergerak serentak.Tanpa mekanisme fosfatidilinositol, protein kinase dapat diaktifkan oleh ester forbol penggalak tumor (2-2). Senyawa alami ini dan penggalak tumor lainnya menyebabkan pengaktifan kekal protein kinase C; minat peneliti terhadap mekanisme pengaktifan ini amat besar karena mekanisme tersebut dapat lebin jauh menerangkan tumorigenesis: pemberian bersama ester forbol dan ionofor-kalsium dapat memicu sintesis protein. Karena pengaktifan PKC dalam hal ini kekal, maka mekanisme pengisyaratan sel mungkin cukup terganggu, sehingga menyebabkan pertumbuhan yang tidak terkendali, yaitu kanker.Berbagai efek pengaktifan PKC dapat diterangkan dengan fakta bahwa enzim ini dihasilkan oleh berbagai keluarga gen, agaknya sebagai isozim yang mempunyai struktur agak berlainan tapi pada pokoknya mempunyai mekanisme kerja yang sama dalam berbagai jenis sel (Parker dkk., 1986).Jalur fosfatidilinositol disempurnakan oleh regenerasi fosfolipid dari IP3 dan DG, seperti terlihat dalam gambar 2.12 (lihat juga Majerus dkk., 1986). Yang menarik adalah bahwa IP3 berturut-turut didefosforilasi menjadi inositol. Tahap terakhir urutan mi dapat dihambat oleh ion Li, dengan demikian merintangi

sintesis fosfetidilinositol. Garam Li dipakai untuk mengendalikan gejala penyakit tekanan jiwa atau depresi manik, yaitu suatu gangguan emosi. Dengan demikian orang akan tertarik untuk mcnghubungkan rcaksi terakhir jalur PI ini dalarn asal-muasal penyakit tadi.4.5 Mekanisme patofisologi pada pengiriman isyaratHasil terakhir dalam bidang pengiriman isyarat yang banyak diteliti ini mulai menyikapkan beberapa penemuan luar biasa tentang peranan sistem PI dalam patofisologi. Sistem PI ini dikaitkan dengan berbagai onkogen, yaitu gen yag selalu ada, tetapi jika diaktifkan, menyebabkan perubahan bentuk ganas pada sel. Seperti telah disebutkan terlebih dahulu, protein yang disandikan oleh ras dari sel (tak ganas) mungkin merupakan bagian utuh pada sistem PI; protein G (Helmreich dan Pfeuffer, 1985) meningkatkan penggabungan antara reseptor faktor pertumbuhan dengan fosfolipase C. Mutasi titik-yaitu substitusi satu asam amino tunggal dengan yang lain- menyebabkan perubahan onkogen. Jika sekarang onkogen ras yang termutasi dan ganas dimasukkan ke dalam sel, akan terbentuk IP3 walaupun tidak ada faktor pertumbuhan. Hal ini penting karena walaupun tidak ada faktor pertumbuhan yang normal, onkogen memicu perangsangan sel secara berkelanjutan; pertumbuhan berkelanjutan yang tak terkendali itu serupa dengan pembentukan sel ganas. Hasil jadi onkogen fos dan myc rupanya rnengatur perilaku gen lain dan karena itu mungkin mampu menimbulkan perubahan kekal dalam sel yang biasanya tanggap terhadap faktor pertumbuhan.Beberapa onkogen lain yang terkait pada sistem PI menyandi tirosin kinase, yang mengaktifkan protein dengan cara memfosforilasi gugus hidroksilnya pada tirosin. Banyak reseptor faktor pertumbuhan (misalnya faktor pertumbuhan epiderm, EGF; faktor pertumbuhan turunan lempeng darah, PDGF; dan faktor pertumbuhan mirip-insulin), dan semuanya bekerja sebagai tirosin/serin kinase. Hubungan antara onkogen dengan faktor pertumbuhan diperkuat dengan penemuan bahwa virus onkogenik yang menghasilkan sarkoma (tumor pada jaringan penghubung) membuat sandi untuk protein yang menurut struktur dan fungsinya homolog dengan reseptor EGF dan IGF. Perbedaan. antara reseptor faktor pertumbuhan dan produk onkogen rupanya terletak pada bagian C-akhir, yang bagannya diperlihatkan pada gambar 2.13. Pada molekul reseptor EGF, dalam keadaan normal dan takaktif, C-akhir menghalangi sisi aktif (fosforilase). Jika diaktifkan oleh molekul EGF, protein reseptor mengalami autofosforilasi flan selanjutnya perubahan konformasi, serta menyingkapkan sisi aktifnya dan menyebabkan perkembangbiakan sel oleh mekanisme yang belurn diketahui.

Gambar 2.13 Hubungan antara reseptor faktor pertumbuhan epiderm dengan stnjktur onkogen erb-B. Ujung-akhir karboksi pada reseptor EGF menghalangi sisi aktrf kinase; sisi itu hanya dapat berfungsi jika reseptor diaktifkan oleh EGF, mengaiami autofosforilasi pada tirosin, dan berubah konformasinya. Reseptor tertkendali. Onkogen erb-B adalah homolog reseptor EGF, tetapi tidak mempunyai rantai akhir C; dengan tidak adanya sesuatu zat pengatur, tirosin kinase tetap selalu berfungsi (Diubah-suai dari R. Schatzman, ACS Medicinal Chemistry Symposium, Juni 1986, Chapel Hill, NC)Hasil onkogen erb-B adalah homolog reseptor EGF (Antoniades dan Pantazis,1986), tetapi hasil tersebut tidak mempunyai C-akhir seperti homolog reseptorEGF itu, sehingga sisi aktifnya selalu terbuka dan dapat berfungsi; karena itutidak mengikuti peraturan normal. Jadi, aktivitas tirosin kinase pada onkogenvirus yang tak terkendali akan meruasak pengisyaratan transmembran normal.Perubahan onkogenik lain yang lebih rumit dan berhubungan tak langsungdengan hormon dapat pula dikhayalkan (Hollenberg. 1985).Sekarang dapat dilihat bagaimana pelbagai onkogen bekerja(sekarang sudah dikenal sekitar 25 onkogen): beberapa di antaranya (sis)membuat sandi untuk faktor pectumbunan (PDGF) yang mengaktifkan gen lain(myc dan fos), yaitu yang menetapkan zat tertentu rnengatur pembagian sel danpertumbuhan, melalui fungsi khusus dalam inti sel. Bila faktor pertumbuhandiubah menjadi onkogen, fungsi pengaturannya jadi kacau dan tak terrkendali,dan hasilnya adalah kanker (Salomon dan Perroieau, 1986).Somatostatin (SS, faktor penghambat pelepasan hornon-pertumbuhan) temyata bukan hanya menghambat kerja hormon pertumbuhan, tetapi juga semua proses yang diperantarai EGF (DeFeudis dan Moreau, 1986) pada kadar yang sangat rendah (pikomolar hingga nanomolar) dengan menghentikan pemisahan sentrosom. la juga menggalakkan aktivitas fosfoprotein fosfatase (enzim yang menghidrolisis ester fosfat); dengan perkataan lain, ia menentang efek, tirosin kinase. Hasil peroobaan pada berbagai kanker ganas sangat memuaskan, tetapi SS mempunyai waktu-paro sangat pendek, dan karena itu harus dicari analog yang lebih mantap.Definisi peristilahan ikatan farmakologiAgonis adalah zat yang berantaraksi dengan bagian khusus pada sel, yaitu reseptor, dan memberikan respons yang dapat diamati. Agonis dapat merupakan zat faali endogen seperti neurotransmiter atau hormon, atau dapat juga obat sintetik.Agonis parsial yang bekerja pada reseptor yang sama seperti agonis lain pada kelompok liganda (molekul pengikat) atau obat. Namun, berapa pun dosisnya, mereka tidak dapat menghasilkan respons hayati tertinggi yang sama seperti agonis sempuma (Ariens, 1983).Aktivitas intrinsik suatu agonis adalah tetapan kesepadanan tentang kemampuan agonis untuk mengaktifkan reseptor dibandingkan dengan senyawa paling aktif dalam deretan yang ditelaah. Aktivitas intrinsik, maksimum satu untuk agonis sempurna dan minimum nol untuk antagonis, Aktivitas intrinsik dapat disamakan dengan Km pada enzim.Afinitas adalah kemarnpuan obat untuk bergabung dengan reseptor, ini sebanding dengan tetapan keseimbangan ikatan KD. Liganda berafinitas rendah memerlukan kadar yang lebih tinggi untuk menghasilkan efek yang sama seperti liganda berafinitas tinggi. Agonis dan antagonis mempunyai afinitas terhadap reseptor. Antagonis menghambat efek agonis, tetapi tidak mempunyai aktivitas hayati sendiri dalam sistem tertentu itu. Dia dapat bersaing untuk sisi reseptor yang sama yang diduduki agonis, atau dapat bekerja pada sisi alosterik, yang berbeda dengan sisi obat-reseptor. Pada penghambatan alosterik, ikatan antagonis mengubah reseptor, dan mencegah agonis berikatan deogan reseptor itu; antagonis mengubah afinitas reseptor terhadap agonis.Dosis efektif rata-rata (ED50) adalah jumlah obat yang diperlukan untuk mencapai efek separuh-maksimum, atau yang menghasilkan efek dalam 50% kelompok hewan percobaan; biasanya dinyatakan dengan mg/kg bobot badan. ED50 in vitro hendaknya dinyatakan sebagai kadar molar (EC50), bukan sebagai jumlah mutlak. Kadar penghambat rata-rata (IC50) adalah kadar tatkala antagonis memberikan efek separuh-maksimum.Istilah pD2 menunjukkan logaritma negatif dosis molar agonis yang diperlukan untuk mencapai efek separuh-maksimum. Jadi, pD2 merupakan ukuran afinitas dalam keadaan ideal (yaitu hubungan dosis-respons linier).pA2 adalah logaritma negatif kadar molar antagonis yang memerlukan dosis agonis dua kali lipat untuk menangkal efek antagonis itu dan mengembalikan respons awal. . ,

PAGE 7