1 burnout pada agen call center firman adi hariono 10505069

24
1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069 Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma A. Abtraksi Hadirnya Seluler digital Global System For Mobile Comunication (GSM) dan Code Multiple Access (CDMA) membuat teknologi komunikasi semakin pesat, sehingga bermuculan Provider seluler yang membuat persaingan semakin ketat. Hal ini memaksa provider membuat divisi baru yaitu agen call center. Agen call center adalah salah satu pekerjaan yang berhubungan secara terus-menerus dengan penerima pelayanan (pelanggan) dan memiliki beban tinggi. Inilah salah satu penyebab peneliti ingin meneliti burnout pada agen call center. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran burnout, faktor-faktor penyebab terjadinya, dan proses terjadinya burnout pada agen call center. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan subjek 2 agen call center yang berusia antara 21-28 tahun, dan telah bekerja 1-3 tahun. Data yang diperoleh burnout pada agen call center meliputi tiga dimensi yaitu: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Faktor-faktor penyebab burnout yang terjadi pada agen call center yaitu karakteristik individu, lingkungan kerja, dan keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan (pelanggan). Proses terjadinya burnout pada agen call center terdapat tiga tahap yaitu pertama munculnya stres, lalu terjadinya strain atau tegangan, dikarenakan stres mengacam, kemudian coping atau mencari penyelesaian masalah, pada proses penyelesaian masalah secara intrapsikis yang pemecahan masalahnya yang aktif dilakukan tidak berhasil maka muncul burnout . Kata kunci : Burnout, Agen Call Center B. Pendahuluan

Upload: lamtu

Post on 10-Dec-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

1

Burnout Pada Agen Call Center

Firman Adi Hariono

10505069

Fakultas Psikologi

Universitas Gunadarma

A. Abtraksi

Hadirnya Seluler digital Global System For Mobile Comunication (GSM) dan Code

Multiple Access (CDMA) membuat teknologi komunikasi semakin pesat, sehingga

bermuculan Provider seluler yang membuat persaingan semakin ketat. Hal ini memaksa

provider membuat divisi baru yaitu agen call center. Agen call center adalah salah satu

pekerjaan yang berhubungan secara terus-menerus dengan penerima pelayanan (pelanggan)

dan memiliki beban tinggi. Inilah salah satu penyebab peneliti ingin meneliti burnout pada

agen call center. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran burnout, faktor-faktor

penyebab terjadinya, dan proses terjadinya burnout pada agen call center. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan subjek 2 agen call center

yang berusia antara 21-28 tahun, dan telah bekerja 1-3 tahun. Data yang diperoleh burnout

pada agen call center meliputi tiga dimensi yaitu: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan

penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Faktor-faktor penyebab burnout yang terjadi pada

agen call center yaitu karakteristik individu, lingkungan kerja, dan keterlibatan emosional

dengan penerima pelayanan (pelanggan). Proses terjadinya burnout pada agen call center

terdapat tiga tahap yaitu pertama munculnya stres, lalu terjadinya strain atau tegangan,

dikarenakan stres mengacam, kemudian coping atau mencari penyelesaian masalah, pada

proses penyelesaian masalah secara intrapsikis yang pemecahan masalahnya yang aktif

dilakukan tidak berhasil maka muncul burnout .

Kata kunci : Burnout, Agen Call Center

B. Pendahuluan

Page 2: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

2

Dewasa ini kemajuan teknologi komunukasi semakin pesat, ini memungkinkan

untuk mendapatkan informasi dengan cepat, mudah, dan murah. Salah satu produk teknologi

komunikasi adalah telepon seluler. Menurut Johan dan Hasiana (2005) di Indonesia,

teknologi telekomunikasi mulai mendapat perhatian dari masyarakat, salah satunya adalah

telepon seluler, yang mendapat perhatian dari masyarakat dengan hadirnya seluler digital

Global System For Mobile Comunication (GSM) pada tahun 1995, setelah sebelumnya

pernah ada jenis telepon yang menggunakan sistem analog, yaitu teknologi Advances Mobile

Phone System (AMPS). Beberapa perusahaan layanan telekomunikasi yang mengunakan

GSM antara lain Satelindo, Telkomsel, Exelkom, IM3. Pada tahun 2003 Satelindo dan IM3

bergabung, sehingga keduanya berada di dalam naungan Indosat. Pada bulan Juni 2003 di

Indonesia muncul teknologi telekomunikasi yang lainnya, dikenal dengan Code Division

Multiple Access (CDMA), ditandai peluncuran berbagai provider seluler, antara lain flexi,

esia, dan mobile-8.

Semakin beragamnya provider yang bermunculan, maka provider teknologi

komunikasi bersaing untuk mendapatkan pelanggan sebanyak mungkin, dan banyak pula

permasalahan yang timbul, diantaranya persaingan harga yang kompetitif, dan dampaknya

jika provider tidak dapat bersaing maka mendapatkan keuntungan atau profit yang kecil,

sehingga berdampak pada perkembangan perusahaan. Untuk menunjang hal tersebut

perusahaan provider tersebut merasa perlunya divisi atau bagian dari tubuh perusahaan yang

dapat mencerminkan perusahaannya dan dapat dengan mudah diakses untuk mambantu para

calon pelanggan ataupun pelanggannya. Dalam hal ini, didirikanlah divisi contact center atau

yang lebih dikenal sebagai call center, dimana hal ini diharapkan dapat mempermudah,

mempercepat dan membantu semua proses pelayanan terhadap pelanggan, untuk menunjang

kinerja divisi tersebut maka direkrut sejumlah SDM untuk menempati posisi sebagai agen

call center.

Menurut Dell (dalam Oktarina, 2006) call center atau jasa pelayanan adalah suatu

kemampuan organisasi atau perusahaan untuk secara konstan dan konsisten memberikan apa

yang diinginkan pelanggan. Agen call center sendiri memiliki kompetensi yang berbeda-

beda antara satu perusahaan dengan lainnya, namun ada benang merah diantara semua agen

Page 3: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

3

call center, yaitu sikap yang baik dan ramah adalah hal yang mendasar yang harus dimiliki

oleh setiap agen call center, di tangan merekalah semua pertaruhan nama perusahaan berada.

Jika para agen tidak mampu melayani pelanggan dengan baik, maka akan tercipta

kekecewaan para pelanggan, sehingga bisa menyebabkan pelanggan pindah ke provider

lainnya, yang bisa menyebabkan kebangkrutan. Hal inilah yang menyebabkan betapa

pentingnya sebuah provider memiliki agen call center yang terbaik. Pelanggan sendiri

memiliki beragam sifat ataupun karakter, ada yang menurut, kritis, emosional bahkan ada

yang lambat untuk mengerti akan suatu informasi.

Dengan beragam hal tersebut, maka sangat diperlukan individu yang tangguh

secara emosional dan fisik untuk menjadi seorang call center. Rutinitas kerja agen call center

sebenarnya memiliki beban keja yang lumayan tinggi, selain agen call center harus melayani

pelanggan dengan baik, agen call center juga memiliki keterbatasan waktu dalam melayani

pelanggan, memiliki target call setiap harinya, memiliki target untuk login timenya dan

banyak lagi lainnya. Untuk kedua hal tersebut sebelumnya, agen call center harus memiliki

ketangguhan dalam fisik dan metal, sehingga agen call center dapat memenuhi target mereka

dan juga dapat meningkatkan produktifitas agen call center, sehingga citra perusahaan dapat

terjaga.

Dalam mewujudkan hal itu sungguhnya tidaklah mudah, pada umumnya agen call

center memiliki keterbatasan daya tahan dalam melayani pelanggan. Umunnya setelah

bekerja selama empat jam agen call center mulai berkurang kosentrasinya, untuk itu

diberlakukan waktu istirahat untuk agen call center, selain itu bagi agen call center yang

telah bekerja tahunan, akan mengalami dampak psikologis yang antara lain cemas, lekas

marah, ketakutan, rasa bosan, jenuh, dan burnout.

Menurut Cooper dkk, (2001) dampak psikologis yang paling beresiko besar terjadi

adalah burnout, hal ini dikarenakan agen call center memiliki keterbatasan sumber daya dan

memiliki tuntutan dari pelanggan yang tinggi misalnya pelanggan yang kritis, emosional,

sinis, nada tinggi dan bawel. Hal tersebut menyebabkan agen call center stres walaupun telah

banyak dilakukan program untuk mengatasi hal tersebut. Stres tersebut merasa mengacam

agen call center, sehingga agen call center memecahkan masalah (coping) secara aktif

seperti berdiskusi dan bertanya. Memecahkan masalah (coping) secara aktif tersebut tidak

dapat menyelesaikan masalah tersebut, sehingga agen call center mengalami kelelahan. Hal

Page 4: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

4

ini menyebabkan agen call center memecahkan masalahnya (coping) secara intrapsikis,

disinilah timbul burnout.

Sebuah artikel bertajuk “Membunuh Burnout, Memanfaatkan Stres” pada harian

Republika, 5 Agustus 1993 ( dalam Sutjipto, 2008) dijelaskan bahwa burnout merupakan

kondisi emosional dimana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik

sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Menurut Chermis (1980) Burnout sebagai

respon terhadap stres yang berlebihan atau akibat ketidakpuasan dalam pekerjaan. Sumber

burnout dapat muncul pada individu yang memiliki kecenderungan kepribadian perfeksionis

atau menginginkan kesempurnaan pada setiap pekerjaannya (Caputo, 1991). Selain itu faktor

jenis kelamin juga mempengaruhi. Menurut Faber (1991) individu laki-laki lebih beresiko

terkena burnout dibanding individu wanita karena individu wanita lebih mampu menahan

tekanan yang lebih besar secara emosional. Burnout ini jelas merugikan, karena akan

mengurangi kemampuan dan efektifitas kerja agen call center.

Burnout juga dapat berdampak buruk dimana dapat mempengaruhi pekerjaan dan

pekerja itu sendiri, seperti keengganan untuk pergi kerja, marah dan dendam, perasaan

bersalah, adanya perasaan gagal, kecil hati dan masa bodoh (ignoring). Selain dampak diatas,

burnout juga dapat menimbulkan kecenderung menyalahkan, merasa lelah dan letih setiap

hari, mengisolasi dan menarik diri negativisme. Serta dapat juga kehilangan positif terhadap

pelanggan setelah masa kontak dengan pelanggan berakhir, kelelahan yang berat setelah

bekerja, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau mendengarkan apa yang dikatakan klien,

sinis terhadap pelanggan, bersikap menyalakan, perasaan dilumpuhkan, serta kaku dalam

berpikir serta bertahan untuk tidak berubah (Cherniss, 1980).

Penelitian yang dilakukan oleh Shwart dan Will (dalam Sarafino,1998),

menemukan adanya perubahan perilaku pada pasien rumah sakit jiwa dimana para

pekerjanya mengalami burnout kondisi ini menyebabkan kondisi pasien mengalami

kemunduran menjadi mudah cemas, depresi dan terdapat kecenderungan melakukan tindakan

bunuh diri. Dengan demikian, pekerja yang mengalami burnout menghabiskan waktu serta

biaya yang tinggi bagi institusi maupun individu itu sendiri bahkan dapat mempengaruhi

prestasi kerja.

Gejala burnout muncul dalam simtom yang sangat bervariasi. Secara umum dapat

dikelompokan menjadi tiga dimensi. Menurut Maslach (1982) gejala burnout yaitu pertama :

Page 5: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

5

kelelahan emosional (emotional exhaustion), individu merasa lelah dan tidak bertenaga,

frustrasi, kehilangan energi, kehilangan semangat serta tidak mampu memberikan pelayanan

dengan baik secara psikologis. Kedua: depersonalisasi (depersonalization), dimensi kedua ini

merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional (emotional exhaustion), dan

yang ketiga: penurunan hasyrat pencapaian prestasi diri (law personal accomplishment).

Bila dilihat dari gambaran diatas maka, fenomena yang terjadi pada agan call

center seperti call center kurang baik dalam melayani kemauan dan keluhan pelanggan, atau

kurangnya interaksi call center dengan pelanggan, serta kesalahan-kesalahan lain yang

dilakukan agen call center, hal ini bisa disebabkan karena agen call center mengalami

burnout akibat sumber daya call center terkuras habis dan juga situasi kerja call center yang

menuntut secara emosi terus-menurus serta, kuantitas pelanggan yang terlalu banyak. Jika

tidak diambil tindakan nyata, maka cepat atau lambat permasalahan ini tentu akan memiliki

dampak yang tidak menyenangkan baik bagi agen call center itu sendiri, dan pihak

perusahaan maupun bagi seluruh anggota keluarga.

Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti ingin memperdalam informasi terkait rasa

burnout pada call center.

C. Tinjauan Pustaka

Burnout

Istilah Burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh

Herbet Freudenberger pada tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologis klinis

pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Ia

mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil

pengamatannya, ia laporkan dalam sebuah jurnal psikologi professional pada tahun 1973

yang disebut sebagai sindrom burnout (Faber,1991). Menurutnya, para relawan tersebut

mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan

berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang

dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis

(burned-out).

Page 6: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

6

Freudenberger menggunakan istilah burnout yang pada awalnya digunakan pada

tahun 1960-an untuk merujuk pada efek-efek penyalahgunaan obat-obat terlarang yang

kronis (dalam Sutjipto, 2001). Freudenberger (dalam Sutjipto, 2001) menjelaskan burnout

sebagai suatu keadaan lelah atau frustrasi yang disebabkan oleh karena cara hidup atau

hubungan yang gagal untuk mendapatkan apa yang diharapkan. Jenis individu yang seperti

ini pada awalnya memiliki komitmen penuh dan berdedikasi tinggi kepada pekerjaannya.

Ketika individu berusaha untuk mencapai harapan-harapan yang ideal dan kadang

kurang realistik, individu lalu bekerja amat keras untuk orang lain, sedangkan yang ia

peroleh dari kerja kerasnya hanya sedikit sekali dan juga harapannya itu tidak semuanya

dapat terpenuhi, bahkan mungkin jauh dari yang diharapkan. Bila individu tersebut

memaksakan untuk memenuhinya harapannya, maka gejala seperti hilangnya vitalitas, energi

maupun gangguan lainnya akan timbul dan hal tersebut bisa mengakibatkan burnout.

Cherniss (1980) mendefinisikan burnout sebagai tindakan penarikan diri secara

psikologis sebagai respon terhadap stres yang berlebihan atau ketidakpuasan dalam

pekerjaan. Individu memandang pekerjaanya sebagai sesuatu yang mulia dan berharga pada

awalnya, juga antusiasme tinggi dalam bekerja, tetapi akibat ketidakpuasan yang

menghasilkan stres yang berlebihan mempengaruhi langsung terhadap perubahan motivasi,

menurunnya antusiasme dan berkurangnya ketertarikan terhadap pekerjaan. Menarik diri dari

pekerjaan, seperti menghindar dari klien yang seharusnya ditangani, sikap menyalahkan

klien, maupun menurunnya sikap positif terhadap klien merupakan salah satu gambaran

perubahan tingkah laku dan sikap menurut Cherniss.

Tokoh lainnya yang merupakan salah satu ahli yang mempelajari tentang burnout

lebih lanjut melalui melalui penelitian-penelitian yang dilakukannya adalah Maslach (1993).

Maslach (1993) melakukan wawancara, survey, maupun observasi langsung terhadap guru,

polisi, perawat, psikoterapis, konselor, psikiater dan pekerja sosial dalam penelitiannya.

Maslach mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang terdiri atas kelelahan emosional

(emotional exhaustion), depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi diri (reduced

personal accomplishment ), yang dialami oleh individu yang bekerja memberikan pelayanan

bagi orang lain. Menerangkan juga bahwa burnout merupakan respon terhadap ketegangan-

ketegangan emosional yang muncul karena berhubungan secara intensif dengan orang lain.

Page 7: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

7

Berdasarkan beberapa definisi diatas, penulis menyimpulkan burnout sebagai suatu

gejala yang terjadi pada tingkat individu, yang merupakan pengalaman internal yang bersifat

psikologis karena melibatkan perasaan, sikap, motif, dan harapan-harapan yang

menyebabkan keadaan kelelahan secara fisik, emosi, dan mental yang disebabkan oleh

keterlibatan seseorang dalam pekerjaan pelayanan akibat hubungan yang tidak seimbang

antara pemberi dan penerima pelayanan.

Menurut Maslach (dalam Farber, 1991) bahwa burnout merupakan suatu pengertian

yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom psikologi yang terdiri atas tiga dimensi,

yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan reduced personal accomplishment atau

penurunan pencapaian diri individu.

a. Emotional exhaustion (kelelahan emosional).

Kelelahan emosional merupakan inti dari sindrom burnout. Kelelahan emosional ditandai

dengan terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya persaan frustrasi, putus asa,

sedih, dan tidak berdaya, tertekan, mudah tersinggung dan mudah marah tanpa alasan

yang jelas.

b. Depersonalisasi.

Merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Gambaran depersonalisasi

adalah adanya sikap negatif, kasar, menjaga jarak, dengan penerima pelayanan,

menjauhnya seseorang dari lingkungan sosial, dan cenderung tidak peduli dengan

lingkungan serta orang-orang disekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan

idealisme, berpendapat negatif dan bersikap sinis.

c. Reduced Personal Accomplishment (penurunan hasrat pencapaian diri).

Disebabkan perasaan bersalah karena telah memberi pelayanan yang tidak baik, karena

sebagai pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku yang positif.

Menurut Caputo (1991) timbulnya burnout disebabkan oleh beberapa faktor yang

diantaranya yaitu :

a. Karakteristik Individu

Sumber dari dalam diri individu merupakan salah satu penyebab timbulnya burnout.

Sumber tersebut dapat digolongkan atas dua faktor yaitu :

1) Faktor demografi, mengacu pada perbedaan jenis kelamin antara wanita dan pria. Pria

rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita. Orang

Page 8: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

8

berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika dibandingkan dengan pria, karena

dipersiapkan dengan lebih baik atau secara emosional lebih mampu menangani

tekanan yang besar (Farber, 1991). Tetapi menurut Maslach (dalam Sutjipto, 2001)

menemukan bahwa pria yang burnout cenderung mengalami depersonalisasi

sedangkan wanita yang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional.

2) Faktor perfeksionis, yaitu individu yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai

sangat sempurna sehingga akan sangat mudah merasakan frustrasi bila kebutuhan

untuk tampil sempurna tidak tercapai. Karena, menurut Caputo (1991) individu yang

perfeksionis rentan terhadap burnout.

b. Lingkungan kerja dapat menentukan kemungkinan munculnya burnout seperti beban

kerja yang berlebihan, konflik peran, jumlah individu yang harus dilayani, tanggung

jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin dan yang bukan rutin, ambiguitas peran,

dukungan sosial dari rekan kerja yang tidak memadai, dukungan sosial dari atasan tidak

memadai, control yang rendah terhadap pekerrjaan dan kurangnya stimulasi dalam

pekerjaan.

c. Keterlibatan emosional dengan penerimaan pelayanan atau pelanggan, bekerja melayani

orang lain membutuhkan banyak energi karena harus bersikap sabar dan memahami

orang lain dalam keadaan krisis, frustrasi, ketakutan dan kesakitan. Pemberi dan

penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang

melibatkan emosional, dan secara tidak sengaja dapat menyebabkan stres secara

emosional kerena keterlibatan antar mereka dapat memberikan penguatan positif atau

kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya.

Proses burnout sendiri merupakan suatu proses transaksional yang meliputi hubungan

(transaksi) antara stres pekerjaan, ketegangan (Strain), dan coping (Cherniss, 1980). Proses

terjadinya burnout sendiri melalui tiga tahap, yaitu :

a. Tahap Pertama adalah stres.

Adanya hubungan yang tidak seimbang antara sumber daya yang dimiliki

individu dengan tuntutan dari lingkungan akan menyebabkan ketegangan.

b. Tahap kedua adalah Strain.

Individu biasanya secara tidak sadar memilah ketegangan (strain), dilihat

sejauhmana sumber ketegangan tersebut dirasa mengancam.

Page 9: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

9

c. Tahap ketiga adalah coping, terdapat dua jenis coping yaitu coping pemecahan

masalah secara aktif dan intrapsikis. Cherniss (1980) berpendapat jika stres dan

strain tidak dapat dikurangi melalui coping pemecahan masalah secara aktif

individu cenderung akan menggunakan jenis coping intrapsikis. Bentuk coping

intrapsikis tersebut antara lain menarik diri, menjauhkan diri, menghindar,

menurunnya usaha pencapaian tujuan, dan menyalahkan orang lain (Chernis,

1980).

Cherniss menggambarkan proses diatas dalam sebuah bagan sebagai berikut:

STRES STRAIN COPING

Caputo (1991) menjelaskan proses terjadinya burnout juga bisa dijelaskan dengan

mengunakan teori GAS ( General Adaptation Syndrome ) dari Selye’s diantaranya :

a. Alarm reaction dari system saraf otonom, termasuk peningkatan sekresi adrenalin,

detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap bisa diartikan sebagai

pertahanan tubuh.

b. Resistance (adaptasi yang didalamnya termasuk berbagai macam respon coping

secara fisik).

c. Exhaustion (kelelahan) akan terjadi kemudian apabila secara intens dan dalam jangka

waktu yang cukup lama, dan jika usaha –usaha perlawanan gagal untuk

menyelesaikan secara adekuat. Disinilah burnout muncul.

Cherniss (1980) membuat daftar simpom dan gejala burnout ini, hal ini digarisbesarkan

dari bervariasinya definisi-definisi yang ada, yaitu :

a. Keengganan untuk pergi kerja.

b. Adanya perasaan gagal.

c. Marah dan dendam.

d. Perasaan bersalah dan cenderung menyalahkan.

Tuntutan

Sumber-sumber individu

Didasarkan pada derajat ancaman jika tuntutan tidak terpenuhi.

Pertahanan intrapsikis (Burnout).

Pemecahan masalah aktif.

Page 10: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

10

e. Kecil hati dan masa bodoh (ignoring).

f. Negativisme.

g. Mengisolasi dan menarik diri.

h. Merasa lelah dan letih setiap hari.

i. Sering terpaku pada waktu (frequent clock watching).

j. Kelelahan yang sangat setelah bekerja.

k. Kehilangan perasaan positif terhadap klien.

l. Setelah masa kontak dengan klien berakhir, menolak panggilan dari klien serta untuk

datang kekantor.

m. Stereotyping client

n. Ketidakmampuan berkosentrasi atau mendengarkan apa yang dikatakan klien.

o. Perasaan dilumpuhkan.

p. Sinis terhadap klien; bersikap menyalahkan.

q. Kaku dalam berpikir serta bertahan untuk tidak berubah

r. Curiga dan paranoia.

s. Menghindari berdiskusi tentang pekerjaan.

t. Sering sakit kepala, pilek dan flu (Cherniss dalam Sutjipto, 2008).

Maslach (1998) menjelaskan dampak-dampak burnout secara umum berpengaruh pada

individu, orang lain dan orang terdekat, penjelasannya adalah :

a. Dampak burnout pada individu tampak secara fisik, seperti penurunan kekebalan

tubuh individu sehingga rentan terhadap penyakit antara lain demam dan sakit kepala.

Sedangkan dampak secara psikis menyebabkan individu menilai dirinya rendah dan

bila berlanjut dapat menyebabkan depresi. Mereka juga menarik diri dari kehidupan

sosial dan terlibat dalam penyalahgunaan obat-obatan untuk mengatasi masalah.

Sedangkan fungsi kognitif mengalami penurunan dalam konsentrasi dan kemampuan

pemecahan masalah (Maslach, 1998).

b. Dampak burnout pada orang lain disarankan oleh penerima pelayanan dan keluarga.

Perubahan sikap memberi pelayanan ternyata berdampak negatif terhadap kondisi

penerima pelayanan. Sedangkan terhadap keluarga dampak burnout dapat

mempengaruhi hubungan individu dengan keluarga, sehingga konflik perkawinan

Page 11: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

11

dengan keluarga meningkat, bahkan pada situasi tertentu dapat menyebabkan

perceraian.

c. Dampak burnout menurut Cherniss (1980) mempengaruhi efektifitas dan efisiensi

orang yang mengalami burnout, misalnya ketidakhadiran individu yang terlampau

sering sehingga menghambat penerapan program pelayanan pada akhirnya terjadi

pemborosan finansial

d. Muldary (1983) mengemukakan bahwa dampak dari burnout antara lain angka

kehadiran kerja yang rendah, terjadinya pergantian kerja, sering beristirahat pada jam

kerja. Saat pulang ke rumah sering terjadi percekcokan dalam keluarga. Pekerja

mengalami insomnia, penyalahgunaan obat-obatan, alkohol dan mudah mengalami

psikomatik. Dengan demikian, pekerja yang mengalami burnout menghabiskan waktu

serta biaya yang tinggi baik institusi maupun individu itu sendiri.

Pengertian Agen Call Center

Menurut Andi (2009) agen call center adalah seorang petugas yang bekerja di suatu pusat

pelayanan jarak jauh yang dilakukan melalui media komunikasi telepon, dimana pelanggan dapat

berkomunikasi secara real-time dengan petugas pelayanan. Lain halnya menurut Call Center

Council of Singapore (dalam Djoko, 2003) agen call center adalah orang yang bekerja di pusat

informasi yang mempunyai sumber informasi yang akurat, terupdate setiap saat dan dapat

informasikan.

Jadi agen call center adalah orang yang bekerja di pusat pelayanan yang menghubungkan

antara pelanggan dengan perusahaan untuk berkomunikasi secara real-time, baik untuk

mendapatkan pelayanan informasi, mendapatkan penyelesaian dari masalah yang dihadapi,

menyampaikan keluhan atas masalah produk, menyapaikan saran maupun melakukan pembelian

produk atau jasa.

Menurut Nugroho (2007) tugas utama agen call center adalah memberikan pelayanan dan

membina hubungan baik dengan masyarakat, sehingga harus ditekuni dengan penuh

kemampuan, kecekatan dan kesabaran. Seorang agen call center juga harus bertanggung jawab

dari awal sampai selesainya suatu pelayanan atau keluhan.

Menurut Andi (2009) fungsi agen call center antara lain:

a. Peningkatan pelayanan pelanggan.

Page 12: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

12

Keberhasilan call center diukur berdasarkan tingkat pelayanan yang diberikan ke

pelanggan.

b. Membangun Relationshif dan Loyalitas pelanggan.

Keberhasilan call center dapar diukur berdasarkan dukungannya dalam membangun

Image perusahaan, serta meningkatkan loyalitas pelanggan.

c. Meningkatkan pedapatan.

Keberhasilan call center juga diukur berdasarkan kontribusi yang diberikan terhadap

pendapatan perusahaan, serta penggunaan biaya operasional yang lebih murah.

d. Efisiensi biaya operasional.

Dengan adanya call center perusahaan bisa menghemat biaya operasional.

D. Metodelogi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bermaksud mendeskripsikan hasil

penelitian dan berusaha menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu keadaan.

Pendekatan ini dilakukan untuk mengembangkan pemahaman dalam mengerti dan

menginterprestasikan apa yang ada dibalik peristiwa, latar belakang pemikiran manusia

yang terlibat didalamnya serta bagaimana manusia meletakan makna pada pemikiran yang

terjadi tersebut (Sarantakos dalam Poerwandari ,2005).

Dalam penelitian kualitatif akan dilakukan penggalian data secara mendalam dan

menganalisa secara intensif interaksi faktor-faktor yang terlibat didalamnya. Adapun ciri-

ciri penelitian kualitatif menurut Muluk (dalam Basuki, 2006), adalah sebagai berikut:

1. Penelitian kualitatif merupakan penelitian dengan konteks dan setting apa adanya atau

alamiah (naturalistic), bukan melakukan eksperimen yang dikontrol secara ketat atau

memanipulasi variable.

2. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang

masalah-masalah manusia atau sosial dengan menginterpretasikan bagaimana subjek

memperoleh makna dari lingkungan dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi

perilaku mereka, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas seperti

yang dilakukan peneliti dengan positifismenya.

Page 13: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

13

3. Agar peneliti bisa mendapatkan pemahaman yang mendalam bagaimana subjek

memaknai dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku subjek, peneliti perlu

melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti.

4. Tidak seperti peneliti kuatitatif, peneliti kualitatif tidak membuat perlakuan (treatment),

memanipulasi variabel, dan menyusun definisi operasional variabel. Untuk mencapai

tujuan penelitian kualitatif, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data tidak

terbatas pada observasi dan wawancara saja, tetapi juga dokumen, riwayat hidup subjek,

karya-karya tulis subjek, publikasi teks, dan lain-lain.

5. Tidak seperti penelitian kuantitatif yang bebas nilai, peneliti kualitatif justru menggali

nilai yang terkandung dari suatu perilaku. Peneliti kualitatif meyakini bahwa perilaku

tidak mungkin bebas dari nilai yang dihayati individu yang diteliti.

6. Peneliti kualitatif bersifat fleksibel, tidak terpaku pada konsep, fokus, teknik

pengumpulan data yang direncanakan pada awal penelitian, tetapi dapat berubah di

lapangan mengikuti situasi dan perkembangan peneliti.

7. Tidak seperti peneliti kuatitatif dimana untuk mencapai objektivitas dengan melakukan

pengukuran (measurement) secara kuatitatif, peneliti kualitatif mendapatkan akurasi

data dengan melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti dalam konteks

dan setting yang alamiah (naturalistic).

Karekteristik subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Agen call center Telkom yang telah bekerja selama satu sampai tiga tahun, hal ini

didasarkan atas pengalaman yang telah didapatkan.

b. Agen call center yang berusia 21 sampai 28 tahun, hal ini didasarkan atas usia

produktif

c. Subjek dalam penelitian ini adalah Agen call center berjenis kelamin wanita atau pria

Menurut Margono (1992) jumlah subjek tidak memiliki aturan pasti jumlah subjek yang

harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek tergantung pada apa yang ingin

diketahui oleh peneliti, apa yang dianggap paling bermanfaat dalam waktu dan keadaan sumber

daya yang tersedia. Dalam penelitian ini subjek adalah dua orang agen call center.

Teknik Pengumpulan Data

Metode Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai

tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan untuk memperolah pengetahuan tentang makna-

Page 14: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

14

makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti didalam upaya

melakukan eksplorasi terhadap isi tersebut (Banister dkk, dalam Poerwandari, 2005).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur,

dimana pewawancara menggunakan daftar pertanyaan atau daftar isian sebagai penuntun selama

proses pewawancara. Hal ini akan memungkinkan peneliti untuk memiliki panduan dalam

mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan hal yang diteliti, namun saat yang bersamaan

tetap fleksibel, itu semua tergantung pada perkembagan dan situasi dalam wawancara.

Metode Observasi

Istilah observasi diturunkan dari bahasa latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”.

Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara aktual, mencatat fenomena yang

muncul, dan mempertimbangkan hubungan yang terjadi antara aspek dalam fenomena tersebut.

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2005) observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian

psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun dalam

konteks alamiah (natural).

Keakuratan Penelitian

Keakuratan penelitian dicapai dengan melakukan triangulasi. Patton (dalam Poerwandari,

2001) mengemukakan empat macam triangulasi sebagai teknik untuk mencapai keakuratan yaitu

:

1. Triangulasi Data

Triangulasi data menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil

wawancara, hasil observasi, atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek

yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda. Peneliti membandingkan data

hasil wawancara subjek, selain itu juga membandingkan data hasil wawancara dengan

observasi.

2. Triangulasi Pengamat

Triangulasi pengamat merupakan adanya pengamat diluar peneliti yang turut

memeriksa hasil pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing

bertindak sebagai pengamat yang memberikan masukkan terhadap hasil pengumpulan

data.

3. Triangulasi Teori

Page 15: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

15

Triangulasi teori yaitu penggunaan teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data

yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori telah

dijelaskan pada BAB II untuk digunakan dan menguji terkumpulnya data tersebut.

4. Triangulasi Metode

Triangulasi metode yaitu penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal seperti

metode wawancara, dan metode observasi dalam penelitian.

Peneliti ini menggunakan triangulasi dengan jenis data, pengamat, teori dan metode.

Triangulasi data dilakukan dengan mewawancarai subjek dengan siqnificant others-nya,

triangulasi dengan pengamat dilakukan dengan memanfaatkan pengamatan lain dalam peneliti

ini adalah dosen pembimbing. Tringulasi teori dilakukan dengan memeriksa derajat keprcayaan

dengan satu teori atau lebih teori yaitu dengan menggunakan teori dari berbagai tokoh.

Tringulasi metode dilakukan dengan menggunakan metode wawancara yang ditunjang dengan

metode observasi pada saat wawancara dilaksanakan.

Teknik Analisa Data

Adapun proses analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini akan dianalisa dengan

teknik data kulitatif yang diajukan oleh Marshall dan Rossman (dalam Moleong, 2004), dalam

menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan. Tahap-tahap

tersebut adalah :

1. Mengorganisasikan Data

Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam, yaitu

dengan memperhatikan pola-pola atau tema-tema tertentu yang muncul secara

konsisten pada saat wawancara yang dimana data direkam dengan tape recorder dan

dibantu dengan alat tulis. Kemudian dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil

wawancara dari berbentuk tertulis secara verbatim setelah selesai menemui subjek.

Data dibaca berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah

didapat.

2. Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema, dan Pola Jawaban

Dalam tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data. Perhatian yang

penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul diluar apa yang ingin digali.

Berdasarkan kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan

Page 16: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

16

coding. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip

wawancara dan melakukan coding.

Dalam penelitian ini, analisis dilakukan pertama-tama terhadap masing-masing kasus,

peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal yang

diungkapkan oleh respoden. Data yang telah dikelompokkan tersebut oleh peneliti

dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata

kuncinya, sehingga peneliti dapat mengungkapkan pengalaman. Permasalahan an

dinamika yang terjadi pada subjek.

3. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada Terhadap Data

Setelah kategori dan pola tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut

terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini ketegori

yang telah didapat melalui analisis ditinjau kembali berdasarkan landasan teori yang

telag dijabarkan dalam BAB II, sehingga dapat dicocokan apakah ada kesamaan

landasan teori dengan asumsi-asumsi mengenai hubungan antara konsep-konsep dan

faktor-faktor yang ada.

4. Mencari Alternatif Penjelasan Bagi Data

Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud, penulis masuk

ke tahap penjelasan. Berdasarkan pada kesimpulan yang telah ada didapat dari kaitan

tersebut, penulis perlu mencari suatu alternatif penjelasan lain tentang kesimpulan

yang telah didapat, sebab dalam penelitian kualitatif memang selalu ada alternatif

penjelasan lain. Dari analisis, ada kemungkinan terdapat hal-hal yang menyimpang

dari asumsi yang tidak terpikirkan sebelumnya. Dalam ini akan dijelaskan dengan

alternatif lain melalui refleksi atau teori-teori lain. Alternatif ini akan sangat berguna

pada bagian kesimpulan, diskusi, dan saran.

5. Menulis Hasil Penelitian

  Penulisan analisa data subjek telah berhasil dikumpulkan , merupakan suatu hal yang

membantu penulis untuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang dibuat telah

selesai. Dalam penelitian ini, penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan

wawancara mendalam dan observasi dengan tiap-tiap subjek. Proses dimulai dari

data-data yang telah diperoleh dari tiap membaca berulang kali sampai penulis

mengerti benar permasalahannya lalu dianalisa secara perorangan, sehingga

Page 17: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

17

didapatkan gambaran mengenai penghayatan pengalaman masing-masing subjek.

Selanjutnya dilakukan interpretasi secara keseluruhan kesimpulan dari hasil penelitian

ini.

E. Hasil

1. Gambaran burnout pada agen call center

Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan maka dapat terlihat gambaran

burnout pada kedua subjek. Menurut maslach (dalam Farber, 1991) bahwa burnout

merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom

psikologi yang terdiri dari, kelelahan emosional, depersonalisasi dan low personal

accomplishment (menurunya hasrat berprestasi pada individu). Pada subjek ke-1 burnout

dapat terlihat pada kecenderung melakuan perilaku-perilaku negatif ketika melakukan

pelayanan kepada pelanggan seperti terlihat badmood terhadap pelanggan, menggunakan

nada tinggi ketika melayani pelanggan, tidak terlalu banyak bertanya tentang keluhan

pelanggan dan memberikan solusinya. Sedangkan pada subjek ke-2 dapat dilihat melalui

aspek penurunan hasrat pencapaian diri seperti subjek sering terlambat masuk kerja, males

melayani pelanggan. Serta aspek depersonalisasi yaitu subjek cuek terhadap keluhan

pelanggan, dan melakukan kesewenang-wenangan.

Berdasarkan wawancara dapat disimpulkan bahwa kedua subjek mengalami

kelelahan dan stres yang tinggi secara fisik dan psikis atau emosional, dan kelelahan

emosional dan stres terjadi saat kedua subjek melakukan pekerjaan hal ini merupakan

beberapa bentuk dari kelelahan emosional. Kedua subjek juga melakukan bentuk-bentuk

perilaku depersonalisasi antara lain melakukan kesewenang-wenang terhadap pelanggan

tetapi walaupun kedua subjek tidak mengakui sedangkan menurut SO 1 dan SO 2, kedua

subjek pernah melakukan kesewenang-wenangan. Kedua subjek juga mulai berkurang

dalam hal hasrat atau berkeinginan pencapaian prestasi diri, karena menurut kedua subjek

tidak perlu adanya pencapaian prestasi hanya membuat kedua subjek menjadi tertekan dan

pusing.

Menurut maslach (dalam Farber, 1991) bahwa burnout merupakan suatu pengertian

yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom psikologi yang terdiri dari, kelelahan

Page 18: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

18

emosional, depersonalisasi dan low personal accomplishment (menurunya hasrat

berprestasi pada individu). Kelelahan emosional merupakan ketidakseimbangan antara

tuntutan dan sumber daya dalam keterlibatan dengan klien yang dihadapi serta setting

pekerjaan yang dapat menimbulkan perasaan negatif pada subjek. Akumulasi perasaan dan

pengalaman emosional negatif menjadi suatu kelelahan emosional. Kelelahan emosioanal

ini dapat berbentuk perasaan terjuras dan lelah secara emosional seperti marah yang

berlebihan, merasa kurang dihargai, perasaan kesal dan jengkel, tidak berkonsentri pada hal

yang dikerjakan, sedih, helplees, serta sering muncul perasaan jenuh. Lain halnya menurut

Cherniss (1980) mendefinisikan burnout sebagai tindakan penarikan diri secara psikologis

sebagai respon terhadap stres yang berlebihan atau ketidakpuasan dalam pekerjaan.

2. Faktor-faktor penyebab terjadinya burnout pada agen call center

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa kedua

subjek pada segi karakteristik individu yang bekerja sebagai agen call center dapat dilihat

subjek ke-2 lebih rentan terhadap burnout karena subjek seorang laki-laki, dibandingkan

subjek ke-1 yang berjenis kelamin perumpuan, menurut Caputo (1991) pria lebih retan

terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita, serta individu yang

perfeksionis mudah sekali mengalami burnout. Sumber burnout pada kedua subjek yang

sebagai agen call center datang dari pelanggan yang dilayani dan keragaman karakter atau

tipe pelanggan yang subjek layani menjadi beban bagi kedua subjek.

Kedua subjek memiliki pendidikan yang membantu dalam pekerjaanya

memiliki sifat emosional. Beban kerja kedua subjek berasal dari manajemen perusahaan

dan Banyak pelanggan menyebabkan pelayanan subjek terhadap pelanggan menjadi lama

dan kurang maksimal hal ini menjadi beban tersendiri bagi kedua subjek dan hal ini

menjadi faktor penyebab burnout.

Pengamatan dari hasil wawancara, terdapat faktor-faktor internal pada subjek

ke-1 sebagai sumber burnout, subjek memiliki locus of control yang rendah artinya subjek

dikuasai kecemasan dan ketakutan dari luar dirinya pada akhirnya subjek memandang

dirinya harus mengikuti hal-hal dari luar tadi. Hasil observasi subjek ke-2 juga

menjelaskan jumlah pelanggan yang dilayani setiap harinya oleh subjek ke-2 juga menjadi

salah satu penyebab burnout bagi diri subjek, dari hasil wawancara juga menggambarkan

terjadi ketidaksanggupan subjek dalam melayani pelanggan. Sedangkan dari hasil

Page 19: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

19

wawancara, terdapat faktor-faktor internal pada subjek sebagai sumber burnout, yaitu

kurangnya rasa percaya diri, dan tidak optimis.

Menurut Caputo (1991); Farber (1991) terdapat beberapa hal yang dapat

menjadi faktor penyebab burnout pada individu, dapat dilihat dari segi karakteristik

individu, lingkungan kerja, dan keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan. Semua

hal tersebut dapat menentukan berkembangnya burnout.

3. Proses terjadinya burnout pada agen call center

Proses burnout menurut Cherniss (1980) merupakan suatu proses transaksional

yang meliputi hubungan (transaksi) antara stres pekerjaan, ketegangan (strain), dan

coping.Terdapat dua jenis coping yaitu pemecahan masalah secara aktif dan intrapsikis.

Jika stres dan strain tidak dapat dikurangi melalui coping intrapsikis. Menarik diri ,

menjauhkan diri, menghindar, menurunnya usaha pencapaian tujuan adalah beberapa

bentuk coping intrapsikis.

Proses burnout yang terjadi pada subjek ke-1 dimulai ketika subjek merasa

sumber daya yang dimiliki terkuras akibat tidak seimbang dengan tuntutan dari luar

kepadanya, pelayanan yang maksimal harus subjek ke-1 lakukan sebagai seorang agen call

center akan tetapi kuantitas pelanggan yang dilayani membuat subjek ke-1 harus

mengeluarkan sumber daya subjek ke-1 dengan lebih secara terus-menerus, hal ini dirasa

subjek ke-1 menjadi hal yang tidak menyenakan dan membuat tertekan.

Jika subjek ke-1 tertekan maka subjek akan mencari pemecahan permasalahan

yang subjek hadapi, akan tetapi pemecahan masalahan tersebut cendrung negatif yaitu

membolos kerja, menceritakan kepada orang lain, dan melakukan kesewenang-wenangan

dalam melakukan pelayanan terhadap pelanggan. Dari hasil wawancara diketahui juga

bahwa subjek ke-1 merasa tertekan atas keluhan-keluhan dari pelanggan, disinilah subjek

ke-1 melakukan penarikan diri secara psikologi kemudian munculah burnout pada subjek

ke-1.

Lain halnya dengan subjek ke-2 proses burnout yang terjadi pada subjek ke-2

dimulai ketika subjek merasa sumber daya yang dimiliki terkuras akibat memberikan

pelayanan kepada pelanggan hal ini membuat subjek ke-2 merasa tertekan. Ketika subjek

ke-2 merasa tertekan (tegang) subjek ke-2 mencoba mencari permasalahan masalah yang

dihadapi tadi, dan subjek ke-2 memecahkan masalah dengan hal yang positif yaitu dengan

Page 20: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

20

berdiskusi atau bertanya, tetapi walaupun begitu subjek ke-2 juga pernah melakukan

kesewenang-wenangan dalam melakukan pelayanan terhadap pelanggan. Subjek ke-2 juga

pernah melakukan perilaku –perilaku negatif lainnya seperti sering terlambat masuk kerja.

Menurut Capito (1989)menyebutkan proses terjadinya burnout juga bisa

dijelaskan mengunakan teori GAS (General Adaption Syndrome) dari Selye’s yaitu alarm

reaction dari system syaraf otonom, termasuk peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung,

tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini diartikan sebagai pertahanan tubuh.

Selanjutnya adalah resistance atau adaptasi yang didalamnya termasuk berbagai macam

respon coping secara fisik. Dan yang terakhir adalah exhaustion (kelelahan) akan terjadi

apabila secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha-usaha

perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat. Disinlah burnout muncul.

Pada subjek ke-1 dan subjek ke-2 terjadi alarm reaction yaitu terjadi pusing

atau sakit kepala, stres dan kelelahan secara emosional yang dirasakan saat bekerja, dan hal

ini tidak terjadi hanya sekali waktu saja. Rasa tidak nyaman ini mengindikasikan adanya

tekanan atau tuntutan dari pekerjaan dan tugas subjek lakukan, dikarenakan seorang agen

call center juga memiliki keterbatasan sumber daya maka timbulah stres. Secara tidak

sadar agen call center memilah stres berdasarkan sejauhmana stres mengacam dirinya, hal

ini dinamakan dengan strain.Tentunya sebagai agen call center jika mendapatkan suatu

masalah atau mengalami stres maka agen call center akan mencari penyelesaian masalah

(coping) terhadap stres yang mengacam tersebut. Penyelesaian masalah yang digunakan

yaitu penyelesaian secara aktif (coping aktif) terhadap stres atau keluhan yang dirasakan

mengacamnya, akan tetapi stres atau keluhan itu bertahan lama serta terjadi terus-menerus,

dan usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua subjek tidak ada satu pun yang dapat

menyelesaikan maka kedua subjek mengalami exhaustion atau kelelahan, yang akhirnya

kedua subjek melakukan pemecahan masalahnya secara intrapsikis. Disinilah burnout pada

kedua subjek muncul menjadi bagian pemecahan masalah intrapsikis yang negatif.

F. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pada kedua subjek dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

Page 21: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

21

1. Burnout yang terjadi pada kedua subjek yang sebagai agen call center meliputi tiga

dimensi yaitu: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan hasrat pencapaian

prestasi diri. Kelelehan emosional, capek, dan lelah yang dirasa secara mental,

merupakan beberapa bentuk dari kelelahan emosional. Kedua subjek yang sebagai agen

call center juga melakukan bentuk-bentuk depersonalisasi antara lain ignoring terhadap

pelanggan yang dilayani, marah-marah, dan berkomunikasi dengan nada yang tinggi.

Kedua subjek juga melakukan kesewenang-wenang dalam melakukan pemeriksaan

kepada pelanggannya. Kedua subjek juga tidak memiliki berkurangnya hasrat

pencapaian diri dalam prestasi kerja. Dari hasil observasi terhadap kedua subjek

sebagai agen call center dapat terlihat gambaran burnout adalah subjek ke-1 cenderung

melakuan perilaku-perilaku negatif ketika melakukan pelayanan kepada pelanggan

seperti terlihat badmood terhadap pelanggan, menggunakan nada tinggi ketika melayani

pelanggan, tidak terlalu banyak bertanya tentang keluhan pelanggan dan memberikan

solusinya. Sedangkan subjek ke-2 pada aspek penurunan hasrat pencapaian diri seperti

subjek sering terlambat masuk kerja, males melayani pelanggan.

2. Faktor-faktor penyebab burnout pada kedua subjek yang sebagai agen call center antara

lain yang berkaitan dengan karakteristik individu, lingkungan kerja, keterlibatan

emosional dengan penerima pelayanan (pelanggan). Aspek-aspek yang berkaitan

dengan karakteristik yaitu kedua subjek yang bekerja sebagai agen call center dapat

dilihat bahwa subjek ke-2 lebih rentan terhadap burnout karena subjek seorang laki-

laki, dibandingkan subjek ke-1 yang berjenis kelamin perumpuan, menurut Caputo

(1991) pria lebih retan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita,

serta individu yang perfeksionis mudah sekali mengalami burnout. Sumber burnout

pada subjek ke-1 dan subjek ke-2 yang sebagai agen call center datang dari pelanggan

yang dilayani dan keragaman karakter atau tipe pelanggan yang subjek layani menjadi

beban bagi kedua subjek. Beban kerja kedua subjek berasal dari manajemen perusahaan

dan Banyak pelanggan menyebabkan pelayanan subjek terhadap pelanggan menjadi

lama dan kurang maksimal hal ini menjadi beban tersendiri bagi kedua subjek dan hal

ini menjadi faktor penyebab burnout. Sedangkan hasil dari Pengamatan wawancara,

terdapat faktor-faktor internal pada subjek ke-1 sebagai sumber burnout, subjek ke-1

memiliki locus of control yang rendah artinya subjek dikuasai kecemasan dan

Page 22: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

22

ketakutan dari luar dirinya pada akhirnya subjek memandang dirinya harus mengikuti

hal-hal dari luar tadi. Hasil observasi subjek ke-2 juga menjelaskan jumlah pelanggan

yang dilayani setiap harinya oleh subjek ke-2 juga menjadi salah satu penyebab burnout

bagi diri subjek, dari hasil wawancara juga menggambarkan terjadi ketidaksanggupan

subjek dalam melayani pelanggan. Sedangkan dari hasil wawancara, terdapat faktor-

faktor internal pada subjek ke-1 sebagai sumber burnout, yaitu kurangnya rasa percaya

diri, dan tidak optimis

3. Proses terjadinya burnout pada agen call center secara garis besar ada tiga tahap yaitu

tahap pertama adalah munculnya stress, terjadinya strain atau tegangan karena stres

dirasa mengacam, kemudian coping atau mencari penyelesaian masalah, secara aktif

atau intra psikis. Stres pada kedua subjek terjadi karena kedua subjek merasa sumber

daya yang dimiliki terkuras akibat memberikan pelayanan kepada pelanggan serta

pelayanan yang diberikan harus maksimal akan tetapi kuantitas pelanggan yang

dilayani tidak seimbang membuat kedua subjek harus mengeluarkan sumber daya

dengan lebih secara terus-menerus sehingga terjadi alarm reaction yaitu terjadi pusing

atau sakit kepala, stres dan kelelahan secara emosional yang dirasakan saat bekerja, dan

hal ini tidak terjadi hanya sekali waktu saja. Rasa tidak nyaman ini mengidikasikan

adanya tekanan dari pekerjaan dan tugas subjek lakukan. Sebagai agen call center

kedua subjek dapat menyelesaikan pemasalahan sendiri terhadap keluhan yang

dirasakan (coping aktif), akan tetapi keluhan itu bertahan lama serta terjadi terus-

menerus, dan usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua subjek tidak ada satu pun yang

dapat menyelesaikan maka kedua subjek mengalami exhaustion atau kelelahan, yang

akhirnya kedua subjek melakuakn pemecahan masalahnya secara intrapsikis. Disinilah

burnout pada kedua subjek muncul menjadi bagian pemecahan masalah intrapsikis

yang negatif.

G. DAFTAR PUSTAKA

Andi. (2009). Sukses mengelolah call center manajemen kinerja. Jakarta : Telexindo Bizmedia.

Page 23: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

23

Basuki, A. M. H. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta:Gunadarma.

Caputo, J. S. (1991). Stress and burnout in library service.Canada : the Oryx Press Cherniss, C. (1980). Staf burnout : Job stress in human services. Baverly Hills ; Sage

Publication. Cooper. (1991). Personality and stress :Individual differentcess in the stress process.New

York : McGrew Hill. Djoko, (2003). Membangun mobile government melalui layanan sms gateway. Jakarta :

Gramedia. Farber, B. A. (1991). Crisis in education ; Stress management (7th.ed). New York : America. Johan dan Hasiana. (2005). Kepuasan konsumen dengan loyalitas merek pada pengguna

layanan telepon seluler pra-bayar simpati. Jurnal Telekomunikasi Indonesia ,25 (7): 95-98.

Margono, S. (1992). Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta ; Rineka Cipta. Margono, S. (2003). Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta ; Rineka Cipta. Maslach, C. (1993). Burnout : A multidimensional perspective. Washington DC; Taylor &

Francis. Maslach, C. (1998). Burnout : A multidimensional theory of burnout : In theories of

organizational stress.(Editor : C. L. Cooper). Oxford : University Press. Moleong, L. J. (2004). Metodelogi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Muldary, T. W. (1983). Burnout and health professional : Manifestations and management.

California : Capistrano Publication. Oktarina. (2006). Sukses melalui call center. Palembang. Maxikom. Poerwandari, E. K. Pengantar, Hasan F. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian

perilaku manusia. Jakarta; Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia.

Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta;

Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia.

Page 24: 1 Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069

24

Sarafino, E. P. (1990) Heltyh psychology biopsychology interaction. New York : John Wiley & Son.

Sutjipto, (2001). Burnout, studi mengungkap psikologi dunia kerja. Semarang; GI gema

Insani offset. Sutjipto. (2008). Apakah anda mengalami burnout www/depdiknas.go.id / jurnal/ 32/

apakah_anda_mengalami_burnout. Htm . Diakses Rabu, 31 Desember 2008.