1-8

24
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Jumlah konsumsi energi nasional cenderung bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Tercatat pada tahun 2009, konsumsi energi Indonesia setara dengan 133.6 juta ton minyak. Jumlah ini meningkat sebesar 11,37 % menjadi setara dengan 148.8 juta ton minyak pada tahun 2010. Pada tahun 2011 kebutuhan energi Indonesia turun menjadi setara dengan 148,2 juta ton minyak. Hingga pada tahun 2011, hampir 44% kebutuhan energi di Indonesia dipasok dari minyak bumi, sumber energi yang tak terbarukan. Hal ini tentu menimbulkan banyak masalah, karena jumlah produksi minyak bumi Indonesia cenderung menurun. Tercatat pada tahun 2010, produksi minyak bumi Indonesia berada pada angka 1003 ribu barel perhari dan pada tahun 2011, jumlah tersebut turun sebesar 5,6% menjadi 942 ribu barel perhari. (BP Statistical Review of World Energy 2012) Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Indonesia telah menyusun roadmap penggunaan energi alternatif guna memenuhi kebutuhan energi nasional yang cenderung meningkat. Berdasarkan buku putih terbitan ristek tahun 2005, direncanakan penggunaan bio-fuel, salah satunya 1

Upload: muhamad-fadli-arsyada

Post on 30-Jul-2015

125 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

apa

TRANSCRIPT

Page 1: 1-8

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Jumlah konsumsi energi nasional cenderung bertambah seiring dengan

bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Tercatat pada tahun 2009, konsumsi

energi Indonesia setara dengan 133.6 juta ton minyak. Jumlah ini meningkat

sebesar 11,37 % menjadi setara dengan 148.8 juta ton minyak pada tahun 2010.

Pada tahun 2011 kebutuhan energi Indonesia turun menjadi setara dengan 148,2

juta ton minyak. Hingga pada tahun 2011, hampir 44% kebutuhan energi di

Indonesia dipasok dari minyak bumi, sumber energi yang tak terbarukan. Hal ini

tentu menimbulkan banyak masalah, karena jumlah produksi minyak bumi

Indonesia cenderung menurun. Tercatat pada tahun 2010, produksi minyak bumi

Indonesia berada pada angka 1003 ribu barel perhari dan pada tahun 2011, jumlah

tersebut turun sebesar 5,6% menjadi 942 ribu barel perhari. (BP Statistical Review

of World Energy 2012)

Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Indonesia telah menyusun roadmap

penggunaan energi alternatif guna memenuhi kebutuhan energi nasional yang

cenderung meningkat. Berdasarkan buku putih terbitan ristek tahun 2005,

direncanakan penggunaan bio-fuel, salah satunya etanol terus meningkat dari 15

% total konsumsi Bahan Bakar Minyak pada periode 2011-2015 menjadi 20%

total konsumsi Bahan Bakar Minyak pada periode 2016-2025.

Bioetanol merupakan salah satu jenis renewable energy yang berasal dari produk

pertanian dan perkebunan yang banyak mengandung selulosa. Etanol merupakan

salah satu sumber energi alternatif yang mempunyai beberapa kelebihan,

diantaranya sifat etanol yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan karena emisi

CO2 yang dihasilkan relatif rendah (Jeon, 2007). Etanol dapat digunakan sebagai

bahan campuran bensin yang kemudian dinamakan gasohol, dan juga dapat

digunakan secara langsung sebagai bahan bakar (McKetta, 1983)

1

Page 2: 1-8

Selain berbagai macam kelebihan etanol yang telah disebutkan diatas, terdapat

masalah yang cukup besar dalam pengembangan etanol sebagai salah satu

renewable energy pengganti Bahan Bakar Minyak. Masalah tersebut adalah

terbentuknya campuran azeotrop sistem etanol air pada 78,2oC dengan komposisi

89,4 mol% etanol dan 10,6 mol % air. Sementara itu, etanol yang dapat digunakan

sebagai campuran bahan bakar adalah etanol anhidrat dengan kadar etanol

minimal 99.5% vol etanol (Kumar, 2010).

Berbagai macam solusi sudah ditawarkan untuk meningkatkan kadar kemurnian

etanol diatas titik azaetropnya, salah satunya dengan distilasi azaetropic dengan

penambahan entrainer yang dapat meningkatkan kadar kemurnian ethanol

melewati titik azaetrop.

Pada penelitian ini, akan dipelajari kesetimbangan campuran etanol, air dan etil

asetat sebagai langkah dasar perkembangan pemurnian ethanol dengan metode

penambahan etil asetat sebagai entrainer.

B. TUJUAN

1. Mempelajari kesetimbangan cair-cair, Liquid Liquid Equilibrium (LLE)

dalam campuran etanol, air, dan etil asetat.

2. Mendapatkan model termodinamika yang paling mendekati untuk Liquid

Liquid Equilibrium (LLE) dalam keadaan operasi penggunaan etil asetat

sebagai entrainer.

C. TINJAUAN PUSTAKA

Bioetanol

Bioetanol merupakan salah satu contoh dari bio-fuel yang dalam proses

produksinya membutuhkan bahan baku dari hasil produksi dari sektor pertanian

dan perkebunan. Produk-produk pertanian dan perkebunan yang dapat diolah

lebih lanjut menjadi bietanol adalah produk-produk yang banyak mengandung

gula, selulosa dan pati. (Gnansounou E,2005). Proses pembuatan bioetanol dari

gula merupakan proses yang paling sederhana, karena hanya diperlukan proses

2

Page 3: 1-8

fermentasi untuk mendegradasi gula secara langsung. Sedangkan proses produksi

bioetanol dari selulosa maupun pati mengharuskan untuk dilakukannya hidrolisa

terlebih dahulu untuk membentuk gula yang kemudian dapat difermetasi lebih

lanjut untuk membentuk bioetanol. (Turk, 1996).

Selama ini pemanfaatan etanol dengan kadar kemurnian tinggi banyak digunakan

dalam reagen bahan kimia, pelarut organik dan bahan baku utama untuk berbagai

macam produk kesehatan dan kosmetik. Selain itu, etanol dengan kadar

kemurnian tinggi dapat digunakan untuk menjadi pengganti Bahan Bakar Minyak

ataupun menjadi bahan campuran Bahan Bakar Minyak. Adapun perbandingan

dari etanol dan Bahan Bakar Minyak disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 1. Perbandingan Sifat Fisis dan Sifat Kimia Dari Etanol dan Gasoline

Kondisi Gasoline EthanolSpecific gravity at 15.55 0C 0.72–0.75 0.79Distillation temperature (0C) 32-210 78.4Flash point (0C) 13 12Kinematic viscosity (mm2/s) 0.6 1.5Reid vapor pressure at 37.8 8C (kPa) 35-60 17Octane number    A)research 91-100 111B)motor 82-92 92Oxygen content (wt.%) 0 34.7Stochiometric air/fuel ratio (w/w) 14.6 8.97Net heat of combustion in    (a) MJ/dm3 32.2 21.2(b) MJ/kg 43.5 27Heat of vaporization in    (a) MJ/dm3 0.25 0.66(b) kJ/kg 400 900Water solubility 0  Vapor flammability limits (vol.%) 0.6-8 3.5-15Colour colourless colourlessVapor toxicity moderate Toxic in largeFlame temperature at 101.325 kPa (0C) 392 478Maximum flame speed (m/s) 0.4 0.33

3

Page 4: 1-8

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa etanol memiliki angka oktan tinggi

yang akan membantu mesin untuk dapat bekerja lebih optimal. Tidak hanya itu,

temperatur titik nyala dari etanol lebih rendah daripada bahan bakar minyak, hal

ini akan berakibat pada dihasilkannya emisi NOx yang lebih rendah. Etanol juga

menghasilkan emisi CO yang lebih rendah daripada bahan bakar, hal ini

disebabkan adanya kandungan O2 sebesar 34.7% berat di etanol. Namun, nilai

panas dari etanol lebih rendah daripada Bahan Bakar Minyak, sekitar 68%-nya.

(Kumar,2010)

Azeotrop

Masalah terbesar dalam pemanfaatan etanol sebagai renewable energy yang dapat

digunakan untuk menggantikan Bahan Bakar Minyak adalah terbentuknya

campuran azaetrop antara air dengan etanol. Campuran etanol air akan

membentuk larutan azaetrop pada komposisi etanol 89,4% mol dan air 10,6%

mol pada suhu 780C. Padahal untuk dapat digunakan menjadi substitusi maupun

campuran BBM, etanol diharuskan memiliki kadar kemurnian sebesar 99,5% Vol.

Melihat fenomena yang ada, perlu dirancang cara-cara untuk mendapatkan etanol

melebihi kadar azaetropnya. Hingga saat ini ada beberapa cara yang telah

dilakukan untuk memurnikan etanol melebihi kadar azeotropnya, salah satunya

adalah distilasi azaetrop.

Azeotropic distillation process

Salah satu dari beberapa cara tersebut adalah azaetropic distillation dengan

menggunakan entrainer. Distilasi azaetrop sudah sering dilakukakan dalam skala

industri untuk memisahkan campuran etanol air. Proses ini berhasil

menghilangkan air dalam campuran etanol air sehingga sehingga dihasilkan kadar

kemurnian etanol mencapai 99,5% Volume. Distilasi azaetrop ini dapat dilakukan

dengan bantuan komponen ketiga yang disebut dengan entrainer, dimana nantinya

entrainer dapat di recycle untuk kemudian digunakan kembali.

4

Page 5: 1-8

Ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi suatu bahan kimia untuk dapat

digunakan menjadi entrainer dalam distilasi azaetrop campuran etanol air,

diantaranya:

1. Entrainer harus memiliki relative volatility yang nilainya berada diantara 2

komponen yang ada dalam campuran.

2. Entrainer harus memiliki nilai volatilitas yang kecil sehingga akan

didapatkan sebagai produk bawah distilasi untuk kemudian dapat di

recycle dan dipakai ulang.

3. Entrainer harus stabil terhadap perubahan suhu.

4. Entrainer harus bersifat inert terhadap komponen yang ada dalam

campuran.

5. Entrainer harus larut dalam kedua komponen dalam campuran

Selain aspek-aspek yang telah disebutkan di atas, ada aspek –aspek operasional

lain yang perlu diperhatikan untuk menentukan entrainer yang akan gunakan

dalam proses distilasi azaetrop sehingga didapatkan kondisi yang paling aman dan

ekonomis. Aspek-aspek operasional tersebut antara lain:

1. Tingkat bahaya suatu komponen

2. Ketersediaan dan harga

3. Dampak Lingkungan

(Seader, 2006; Bieker et al., 1993)

Etil asetat:

Penjelasan kenapa etil asetat dipilih jadi entrainer

Residual curve dan ternary maps

5

Page 6: 1-8

Ketika sebuah entrainer ditambahkan dalam suatu campuran biner, maka akan

dihasilkan sebuah campuran terner. Keseimbangan fasa dari campuran terner ini

penting untuk diperhatikan karena sangat berguna untuk digunakan dalam

memprediksi kemungkinan produk atas dan produk bawah dari proses distilasi

campuran tersebut.

Residual curve mendeskripsikan tentang perubahan komposisi dari fase cair untuk

sebuah campuran bahan kimia dengan suatu kondisi tertentu. Berbagai macam

residual curve untuk suatu campuran dengan berbagai keadaan selanjutnya

disebut sebagai Residual curve maps.

Ternary maps adalah peta dengan skema segitiga samasisi yang menggambarkan

komposisi suatu campuran dengan tiga komponen pembentuk.

Residual curve maps dan ternary maps berfungsi untuk mengetahui kelayakan

dalam proses pemisahan suatu campuran, sehingga residual curve maps dan

ternany maps merupakan dasar yang penting untuk diperhatikan dalam mendesign

sebuah proses distilasi. Residue curve maps dan ternary maps biasanya digunakan

untuk menganalis suatu campuran terner yang tidak dapat dipisahkan secara

mudah dengan distilasi karena terbentuk azetrop.

D. LANDASAN TEORI

Liquid-Liquid Equilibrium atau kesetimbangan cair-cair adalah data yang

menunjukkan fraksi mol berbagai komponen dalam fase cair-cair. Berbagai data

Liquid-Liquid Equilibrium (LLE) dari sistem terner ini sangat penting untuk

simulasi, desain, dan optimalisasi suatu proses pemisahan.

Perhitungan untuk Liquid Liquid Equilibrium pada tekanan dan temperature tetap

ditunjukkan dengan persamaan berikut:

Dengan:

γiα : koefisien aktivitas alfa

γiβ : koefisien aktivitas betha

xiα : Fraksi mol dari komponen alfa

6

Page 7: 1-8

xiβ: Fraksi mol dari komponen betha

Dalam penelitian ini, akan dicari kesetimbangan cair-cair terner dari cmapuran

etanol, air dan etil asetat dalam berbagai variasi komposisi umpan sehingga di

dapatkan hasil berupa ekstrak dan rafinat yang nantinya akan di plot dalam grafik

kesetimbangan. Percobaan pemisahan dilakukan dalam corong pemisah sehingga

akan didapatkan ekstrak di bagian bawah dan rafinat di bagian atas.

Dalam menentukan titik-titik kesetimbangan tersebut, digunakan tiga pendekatan,

yaitu dengan model UNIFAC,UNIQUAC, dan NRTL.

Persamaan NRTL, UNIQUAC, dan UNIFAC sudah secara luas digunakan untuk

meperkirakan keadaan fase liquid dari campuran terner. Hal ini dikarenakan oleh

sifat dari persamaan-persamaan tersebut yang cukup fleksibel. NRTL,

UNIQUAC, dan UNIFAC dapat diaplikasikan dalam sistem polar maupun sistem

yang nonpolar. Tidak hanya itu, persamaan-persamaan ini juga dapat

memprediksi keadaan campuran berbagai komponen dengan menjadikan keadaan

campuran biner sebagai parameternya. Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai

persamaan model termodinamika di atas.

1. UNIFAC (UNIversal Functional Activity Coefficient)

Model termodinamika ini digunakan untuk memprediksi estimasi aktivitas

non-elektrolit di dalam campuran non-ideal. UNIFAC menghitung

koefisien aktivitas dengan menggunakan kelompok fungsional yang ada

pada molekul yang membentuk campuran cairan. Adapun korelasi untuk

model UNIFAC ditunjukkan sebagai berikut:

7

Page 8: 1-8

Dengan:

γC = Koefisien aktivitas kombinasi.

γR = Koefisien aktivitas

ϴi= Berat Molekul

Фi= area fractional component

Li= compound parameter dari r z dan q

Model UNIFAC ini biasanya digunakan untuk memprediksi sistem tanpa

data keseimbangan fase. Korelasi pada model UNIFAC digunakan dengan

tujuan untuk mengurangi jumlah interaksi biner yang diukur untuk

meprediksi keadaan sistem.

2. UNIQUAC (UNIversal QUAsiChemical)

Model koefisien aktivitas yang digunakan untuk mendeskripsikan

kesetimbangan fase cair-cair. Model UNIQUAC disebut juga dengan

model kisi dan telah diturunkan dari pendekatan orde pertama dari

permukaan molekul yang berinteraksi dalam termodinamika statistik.

Namun, model ini tidak sepenuhnya konsisten secara termodinamika

karena pendekatan dua campuran cair. Persamaannya:

Dengan,

γC = Koefisien aktivitas kombinasi.

γR = Koefisien aktivitas

V = fraksi volum per fraksi mol campuran.

8

Page 9: 1-8

F = Fraksi area permukaan per fraksi molar campuran.

3. NRTL (Non-Random Two-Liquid)

Model koefisien aktivitas yang mengkorelasikan koefisien aktivitas dari

senyawa i dengan fraksi mol dalam fasa cair yang bersangkutan. Model ini

sering diterapkan dalam bidang teknik kimia untuk menghitung

kesetimbangan fasa.

dengan,

α = Parameter ketidakacakan.

T = Temperatur, K.

A,B,C,D = Konstanta termodinamika.

Selanjutnya dicari nilai SSE (Sums of Square Error) yang akan

menunjukkan model termodinamika yang paling sesuai untuk entrainer

tersebut. Rumus SSE yang digunakan ialah:

E. HIPOTESIS

Kesetimbangan cair-cair campuran etanol-air-etil asetat akan mengikuti

model UNIQUAC. Hal ini

9

Page 10: 1-8

BAB II

METODE PENELITIAN

A. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Etanol 90%, diperoleh dari Laboratorium Proses Pemisahan Jurusan

Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.

b. Aquadest, diperoleh dari Laboratorium Proses Pemisahan Jurusan Teknik

Kimia Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.

c. Etil asetat, diperoleh dari Laboratorium Proses Pemisahan Jurusan Teknik

Kimia Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.

B. Rangkaian Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini telah tersedia di Laboratorium

Proses Pemisahan Jurusan Teknik Kimia FT UGM. Rangkaian alat dapat

dilihat seperti gambar berikut :

Keterangan :

1. Corong pemisah

2. Rafinat

3. Ekstrak

4. Labu Erlenmeyer

5. Statif

Gambar 1. Rangkaian Alat Penelitian

10

1

2

3

4

5

Page 11: 1-8

C. Cara Penelitian

Penelitian ini dijalankan dalam tiga tahap, yaitu :

Tahap Pemilihan Kandidat Model Termodinamika

Tahap persiapan dilakukan dengan menjalankan simulasi dengan

menggunakan program Aspen. Pada tahap ini akan diamati kecenderungan

kurva LLE (Liquid Liquid Equilibrium) berdasarkan berbagai model

termodinamika untuk mendapatkan ternary diagram yang menghasilkan

Tahap Pengambilan Data Kesetimbangan Cair-Cair

Tahap ini dilakukan dengan mencampur air, etanol dan etil asetat dengan

komposisi tertentu. Campuran di gojog selama 10 menit sebelum

kemudian didiamkan pada corong pemisah sesuai dengan gambar (1).

Setelah 10 menit, akan didapatkan ekstrak sebagai hasil bawah dan rafinat

sebagai hasil atas yang kemudian akan diambil sampel dari keduanya

untuk dianalisis dengan Gas Cromatography.

Dari hasil analisis dengan Gas Cromatography, akan diperoleh konsentrasi

kesetimbangan antara rafinat dan ekstrak yang merupakan tie line pada

Liquid Liquid Equilibrium.

Langkah-langkah tersebut dilakukan untuk berbagai konsentrasi campuran

air etanol dan etil asetat yang berbeda-beda.

Tahap Penentuan Model Terbaik

11

Page 12: 1-8

D. Analisis Data

a. Menentukan kadar etanol dan entrainer mula-mula.

Dengan, xeth = fraksi mol ethanol.

xen = fraksi mol entrainer.

C = kadar lautan ethanol.

Ve = volume larutan ethanol, (mL)

pe = densitas larutan ethanol, (g/mL)

Mre= massa jenis ethanol, (g/mol)

Va = volume larutan akuades (mL)

Pa = densitas larutan akuades, (g/mL)

Mra= massa jenis akuades, (g/mol)

Ven = volume larutan entrainer, (mL)

pe n = densitas larutan enrtainer, (g/mL)

Mren= massa jenis entrainer, (g/mol)

b. Menghitung fraksi mol ethanol dan entrainer dari model.

Perhitungan fraksi massa ethanol berdasarkan model (xeth model) dan

fraksi massa entrainer berdasarkan model (xen model) dilakukan dengan

bantuan program bantu ASPEN.

c. Menghitung SSE.

12

Page 13: 1-8

JADWAL PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA

http://www.aiche.org/uploadedFiles/Students/

DepartmentUploads/thermodynamics.pdf

UNIQUAC needs only two interaction parameters per binary, v/s three

per binary for NRTL.  This may seem unimportant, except that for a

binary liquid-liquid system, it is theoretically impossible to estimate

three interaction parameters for an activity coefficient model from LLE

data alone.  This issue alone is a huge theoretical disadvantage for

NRTL compared to UNIQUAC.

Also, there is no evidence that supports any contention that UNIQUAC

is not a "good model" or that NRTL is generally more accurate.  NRTL is

just simpler algebraically.  Of course, in a given system, the accuracy

of fitted parameters for one model over another is determined only

statistically (least squares fit).  For accurate data, differences in fitting

accuracy are usually minor.  Finally, it must be noted that UNIQUAC

provides the theoretical framework for the widely used UNIFAC group

contribution method.

In my own professional practice for over 25 years, I have done

hundreds of side-by-side regression evaluations between UNIQUAC and

NRTL for VLE, LLE, and VLLE systems and have never found any basis

to support your preference.  There is also the extensive DECHEMA

compilation of regressed VLE and LLE parameters using van Laar,

13

Page 14: 1-8

Wilson, NRTL, and UNIQUAC - for each of several thousand binary

systems - that would illustrate this point.  Besides, for LLE regression

work with a binary system, one is forced to assume the third NRTL

parameter, alpha, arbitrarily.  To get around this difficulty, Tassios (at

NJIT, circa 1980s) found that even a fixed value of -1 provides

acceptable numerical results, although others have questioned the

theoretical validity of a negative value for alpha.

Therefore, I would state that there is considerable support in the

literature for asserting that UNIQUAC should be preferred over NRTL.

tipu144:

I believe you need to access the Aspen Plus Data Regression System

(DRS) to find the desired interaction parameters by regression.  Also,

as noted in my post of 5 January, please use interaction parameters

based solely on excess enthalpy of mixing data with great care for

anything other than enthalpy calculations.  For example, if your

components are compounds for which the UNIFAC group contribution

method applies, and you are also interested in VLE predictions, you will

likely be much better off using infinite dilution activity coefficients

(based on UNIFAC for VLE) than using interaction parameters based on

excess enthalpy of mixing data.  I assume, of course, that measured

VLE data are not available; otherwise, you would do a simultaneous

regression of VLE and excess enthalpy of mixing data and use a single

set of interaction parameters.

(Besides, note that it is possible to use different models for VLE and

excess enthalpy in a given simulation in Aspen Plus.  In fact, it is

possible even to use one set of UNIQUAC model parameters for VLE

and another for enthalpy in a given simulation problem.  This requires

creating a new thermo SYSOP.)

14

Page 15: 1-8

Please keep us posted on your experiences, as this is a very interesting

area even today.

siretb:

Re. the NRTL v/s UNIQUAC issue, I would respectfully make the

following points:

(1) The UNIQUAC r and q parameters are available readily for all

significant molecular groups and also are tabulated for almost all the

organic compounds you are ever likely to encounter (over 2000) in the

DIPPR databank.  Every worthwhile process simulator provides these,

so the need to specify them is hardly a disadvantage for UNIQUAC.

(2) I wrote a thesis on the subject of Wilson v/s NRTL v/s UNIQUAC over

25 years ago.  My conclusions have not changed after studying many

hundreds of additional systems.  Also, there is plenty of additional

support for choosing UNIQUAC in the literature.  If you study the

DECHEMA data collection (which contains regressions for the major

activity coefficient models for the TOTALITY of the world's published

VLE and LLE data sets), I believe you will be able to verify this for

yourself at any library.

(3) There is absolutely no theoretical or practical basis for your

statement that the third NRTL parameter gives an engineer "an

additional chance", presumably to improve things over UNIQUAC.  A

theoretically sounder model can do a lot better than its competitors

even if they have a lot more adjustable parameters.  (For example,

compare the Antoine equation with its three parameters versus a sixth

order polynomial for vapor pressure.)  There is plenty of evidence that,

in VLE work, simultaneous adjustment of alpha with the other two NRTL

parameters does NOT improve the quality of the fit noticeably over

UNIQUAC, unless you have a statistical quirk caused by inaccurate

measurements.

(4)  In fact, engineers often end up mis-specifying the third NRTL

parameter in LLE work, simply because there is no way theoretically to

estimate alpha using LLE data alone: you just have to pick a number

15

Page 16: 1-8

for alpha based on some sort of “rule”, hardly an acceptable

situation.  How would you propose then to overcome discrepancies

caused by poor choices of alpha when making VLE predictions for a

multicomponent mixture?

(5) With good data, the quality of the fits from both models is

equivalent.  Therefore, the question that must be answered is: why

insist on using a model that requires 50% more regression parameters

to be estimated than the other?  This can be a pain with a large

number of components.

(6) UNIQUAC has been shown to reduce to both the NRTL and Wilson

models when you make the appropriate simplifying assumptions.  This

is very telling, as it explains why the refinements in UNIQUAC are

indeed worthwhile from a theoretical and practical point of view.

(7) No one will disagree that all available data should be used to

improve modeling of phase equilibria.  However, that is not the issue in

this discussion.

UNIQUAC needs only two interaction parameters per binary, v/s three

per binary for NRTL.  This may seem unimportant, except that for a

binary liquid-liquid system, it is theoretically impossible to estimate

three interaction parameters for an activity coefficient model from LLE

data alone.  This issue alone is a huge theoretical disadvantage for

NRTL compared to UNIQUAC.

Also, there is no evidence that supports any contention that UNIQUAC

is not a "good model" or that NRTL is generally more accurate.  NRTL is

just simpler algebraically.  Of course, in a given system, the accuracy

of fitted parameters for one model over another is determined only

statistically (least squares fit).  For accurate data, differences in fitting

accuracy are usually minor.  Finally, it must be noted that UNIQUAC

provides the theoretical framework for the widely used UNIFAC group

contribution method.

16

Page 17: 1-8

In my own professional practice for over 25 years, I have done

hundreds of side-by-side regression evaluations between UNIQUAC and

NRTL for VLE, LLE, and VLLE systems and have never found any basis

to support your preference.  There is also the extensive DECHEMA

compilation of regressed VLE and LLE parameters using van Laar,

Wilson, NRTL, and UNIQUAC - for each of several thousand binary

systems - that would illustrate this point.  Besides, for LLE regression

work with a binary system, one is forced to assume the third NRTL

parameter, alpha, arbitrarily.  To get around this difficulty, Tassios (at

NJIT, circa 1980s) found that even a fixed value of -1 provides

acceptable numerical results, although others have questioned the

theoretical validity of a negative value for alpha.

Therefore, I would state that there is considerable support in the

literature for asserting that UNIQUAC should be preferred over NRTL.

17