1-8
DESCRIPTION
apaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jumlah konsumsi energi nasional cenderung bertambah seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Tercatat pada tahun 2009, konsumsi
energi Indonesia setara dengan 133.6 juta ton minyak. Jumlah ini meningkat
sebesar 11,37 % menjadi setara dengan 148.8 juta ton minyak pada tahun 2010.
Pada tahun 2011 kebutuhan energi Indonesia turun menjadi setara dengan 148,2
juta ton minyak. Hingga pada tahun 2011, hampir 44% kebutuhan energi di
Indonesia dipasok dari minyak bumi, sumber energi yang tak terbarukan. Hal ini
tentu menimbulkan banyak masalah, karena jumlah produksi minyak bumi
Indonesia cenderung menurun. Tercatat pada tahun 2010, produksi minyak bumi
Indonesia berada pada angka 1003 ribu barel perhari dan pada tahun 2011, jumlah
tersebut turun sebesar 5,6% menjadi 942 ribu barel perhari. (BP Statistical Review
of World Energy 2012)
Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Indonesia telah menyusun roadmap
penggunaan energi alternatif guna memenuhi kebutuhan energi nasional yang
cenderung meningkat. Berdasarkan buku putih terbitan ristek tahun 2005,
direncanakan penggunaan bio-fuel, salah satunya etanol terus meningkat dari 15
% total konsumsi Bahan Bakar Minyak pada periode 2011-2015 menjadi 20%
total konsumsi Bahan Bakar Minyak pada periode 2016-2025.
Bioetanol merupakan salah satu jenis renewable energy yang berasal dari produk
pertanian dan perkebunan yang banyak mengandung selulosa. Etanol merupakan
salah satu sumber energi alternatif yang mempunyai beberapa kelebihan,
diantaranya sifat etanol yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan karena emisi
CO2 yang dihasilkan relatif rendah (Jeon, 2007). Etanol dapat digunakan sebagai
bahan campuran bensin yang kemudian dinamakan gasohol, dan juga dapat
digunakan secara langsung sebagai bahan bakar (McKetta, 1983)
1
Selain berbagai macam kelebihan etanol yang telah disebutkan diatas, terdapat
masalah yang cukup besar dalam pengembangan etanol sebagai salah satu
renewable energy pengganti Bahan Bakar Minyak. Masalah tersebut adalah
terbentuknya campuran azeotrop sistem etanol air pada 78,2oC dengan komposisi
89,4 mol% etanol dan 10,6 mol % air. Sementara itu, etanol yang dapat digunakan
sebagai campuran bahan bakar adalah etanol anhidrat dengan kadar etanol
minimal 99.5% vol etanol (Kumar, 2010).
Berbagai macam solusi sudah ditawarkan untuk meningkatkan kadar kemurnian
etanol diatas titik azaetropnya, salah satunya dengan distilasi azaetropic dengan
penambahan entrainer yang dapat meningkatkan kadar kemurnian ethanol
melewati titik azaetrop.
Pada penelitian ini, akan dipelajari kesetimbangan campuran etanol, air dan etil
asetat sebagai langkah dasar perkembangan pemurnian ethanol dengan metode
penambahan etil asetat sebagai entrainer.
B. TUJUAN
1. Mempelajari kesetimbangan cair-cair, Liquid Liquid Equilibrium (LLE)
dalam campuran etanol, air, dan etil asetat.
2. Mendapatkan model termodinamika yang paling mendekati untuk Liquid
Liquid Equilibrium (LLE) dalam keadaan operasi penggunaan etil asetat
sebagai entrainer.
C. TINJAUAN PUSTAKA
Bioetanol
Bioetanol merupakan salah satu contoh dari bio-fuel yang dalam proses
produksinya membutuhkan bahan baku dari hasil produksi dari sektor pertanian
dan perkebunan. Produk-produk pertanian dan perkebunan yang dapat diolah
lebih lanjut menjadi bietanol adalah produk-produk yang banyak mengandung
gula, selulosa dan pati. (Gnansounou E,2005). Proses pembuatan bioetanol dari
gula merupakan proses yang paling sederhana, karena hanya diperlukan proses
2
fermentasi untuk mendegradasi gula secara langsung. Sedangkan proses produksi
bioetanol dari selulosa maupun pati mengharuskan untuk dilakukannya hidrolisa
terlebih dahulu untuk membentuk gula yang kemudian dapat difermetasi lebih
lanjut untuk membentuk bioetanol. (Turk, 1996).
Selama ini pemanfaatan etanol dengan kadar kemurnian tinggi banyak digunakan
dalam reagen bahan kimia, pelarut organik dan bahan baku utama untuk berbagai
macam produk kesehatan dan kosmetik. Selain itu, etanol dengan kadar
kemurnian tinggi dapat digunakan untuk menjadi pengganti Bahan Bakar Minyak
ataupun menjadi bahan campuran Bahan Bakar Minyak. Adapun perbandingan
dari etanol dan Bahan Bakar Minyak disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Perbandingan Sifat Fisis dan Sifat Kimia Dari Etanol dan Gasoline
Kondisi Gasoline EthanolSpecific gravity at 15.55 0C 0.72–0.75 0.79Distillation temperature (0C) 32-210 78.4Flash point (0C) 13 12Kinematic viscosity (mm2/s) 0.6 1.5Reid vapor pressure at 37.8 8C (kPa) 35-60 17Octane number A)research 91-100 111B)motor 82-92 92Oxygen content (wt.%) 0 34.7Stochiometric air/fuel ratio (w/w) 14.6 8.97Net heat of combustion in (a) MJ/dm3 32.2 21.2(b) MJ/kg 43.5 27Heat of vaporization in (a) MJ/dm3 0.25 0.66(b) kJ/kg 400 900Water solubility 0 Vapor flammability limits (vol.%) 0.6-8 3.5-15Colour colourless colourlessVapor toxicity moderate Toxic in largeFlame temperature at 101.325 kPa (0C) 392 478Maximum flame speed (m/s) 0.4 0.33
3
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa etanol memiliki angka oktan tinggi
yang akan membantu mesin untuk dapat bekerja lebih optimal. Tidak hanya itu,
temperatur titik nyala dari etanol lebih rendah daripada bahan bakar minyak, hal
ini akan berakibat pada dihasilkannya emisi NOx yang lebih rendah. Etanol juga
menghasilkan emisi CO yang lebih rendah daripada bahan bakar, hal ini
disebabkan adanya kandungan O2 sebesar 34.7% berat di etanol. Namun, nilai
panas dari etanol lebih rendah daripada Bahan Bakar Minyak, sekitar 68%-nya.
(Kumar,2010)
Azeotrop
Masalah terbesar dalam pemanfaatan etanol sebagai renewable energy yang dapat
digunakan untuk menggantikan Bahan Bakar Minyak adalah terbentuknya
campuran azaetrop antara air dengan etanol. Campuran etanol air akan
membentuk larutan azaetrop pada komposisi etanol 89,4% mol dan air 10,6%
mol pada suhu 780C. Padahal untuk dapat digunakan menjadi substitusi maupun
campuran BBM, etanol diharuskan memiliki kadar kemurnian sebesar 99,5% Vol.
Melihat fenomena yang ada, perlu dirancang cara-cara untuk mendapatkan etanol
melebihi kadar azaetropnya. Hingga saat ini ada beberapa cara yang telah
dilakukan untuk memurnikan etanol melebihi kadar azeotropnya, salah satunya
adalah distilasi azaetrop.
Azeotropic distillation process
Salah satu dari beberapa cara tersebut adalah azaetropic distillation dengan
menggunakan entrainer. Distilasi azaetrop sudah sering dilakukakan dalam skala
industri untuk memisahkan campuran etanol air. Proses ini berhasil
menghilangkan air dalam campuran etanol air sehingga sehingga dihasilkan kadar
kemurnian etanol mencapai 99,5% Volume. Distilasi azaetrop ini dapat dilakukan
dengan bantuan komponen ketiga yang disebut dengan entrainer, dimana nantinya
entrainer dapat di recycle untuk kemudian digunakan kembali.
4
Ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi suatu bahan kimia untuk dapat
digunakan menjadi entrainer dalam distilasi azaetrop campuran etanol air,
diantaranya:
1. Entrainer harus memiliki relative volatility yang nilainya berada diantara 2
komponen yang ada dalam campuran.
2. Entrainer harus memiliki nilai volatilitas yang kecil sehingga akan
didapatkan sebagai produk bawah distilasi untuk kemudian dapat di
recycle dan dipakai ulang.
3. Entrainer harus stabil terhadap perubahan suhu.
4. Entrainer harus bersifat inert terhadap komponen yang ada dalam
campuran.
5. Entrainer harus larut dalam kedua komponen dalam campuran
Selain aspek-aspek yang telah disebutkan di atas, ada aspek –aspek operasional
lain yang perlu diperhatikan untuk menentukan entrainer yang akan gunakan
dalam proses distilasi azaetrop sehingga didapatkan kondisi yang paling aman dan
ekonomis. Aspek-aspek operasional tersebut antara lain:
1. Tingkat bahaya suatu komponen
2. Ketersediaan dan harga
3. Dampak Lingkungan
(Seader, 2006; Bieker et al., 1993)
Etil asetat:
Penjelasan kenapa etil asetat dipilih jadi entrainer
Residual curve dan ternary maps
5
Ketika sebuah entrainer ditambahkan dalam suatu campuran biner, maka akan
dihasilkan sebuah campuran terner. Keseimbangan fasa dari campuran terner ini
penting untuk diperhatikan karena sangat berguna untuk digunakan dalam
memprediksi kemungkinan produk atas dan produk bawah dari proses distilasi
campuran tersebut.
Residual curve mendeskripsikan tentang perubahan komposisi dari fase cair untuk
sebuah campuran bahan kimia dengan suatu kondisi tertentu. Berbagai macam
residual curve untuk suatu campuran dengan berbagai keadaan selanjutnya
disebut sebagai Residual curve maps.
Ternary maps adalah peta dengan skema segitiga samasisi yang menggambarkan
komposisi suatu campuran dengan tiga komponen pembentuk.
Residual curve maps dan ternary maps berfungsi untuk mengetahui kelayakan
dalam proses pemisahan suatu campuran, sehingga residual curve maps dan
ternany maps merupakan dasar yang penting untuk diperhatikan dalam mendesign
sebuah proses distilasi. Residue curve maps dan ternary maps biasanya digunakan
untuk menganalis suatu campuran terner yang tidak dapat dipisahkan secara
mudah dengan distilasi karena terbentuk azetrop.
D. LANDASAN TEORI
Liquid-Liquid Equilibrium atau kesetimbangan cair-cair adalah data yang
menunjukkan fraksi mol berbagai komponen dalam fase cair-cair. Berbagai data
Liquid-Liquid Equilibrium (LLE) dari sistem terner ini sangat penting untuk
simulasi, desain, dan optimalisasi suatu proses pemisahan.
Perhitungan untuk Liquid Liquid Equilibrium pada tekanan dan temperature tetap
ditunjukkan dengan persamaan berikut:
Dengan:
γiα : koefisien aktivitas alfa
γiβ : koefisien aktivitas betha
xiα : Fraksi mol dari komponen alfa
6
xiβ: Fraksi mol dari komponen betha
Dalam penelitian ini, akan dicari kesetimbangan cair-cair terner dari cmapuran
etanol, air dan etil asetat dalam berbagai variasi komposisi umpan sehingga di
dapatkan hasil berupa ekstrak dan rafinat yang nantinya akan di plot dalam grafik
kesetimbangan. Percobaan pemisahan dilakukan dalam corong pemisah sehingga
akan didapatkan ekstrak di bagian bawah dan rafinat di bagian atas.
Dalam menentukan titik-titik kesetimbangan tersebut, digunakan tiga pendekatan,
yaitu dengan model UNIFAC,UNIQUAC, dan NRTL.
Persamaan NRTL, UNIQUAC, dan UNIFAC sudah secara luas digunakan untuk
meperkirakan keadaan fase liquid dari campuran terner. Hal ini dikarenakan oleh
sifat dari persamaan-persamaan tersebut yang cukup fleksibel. NRTL,
UNIQUAC, dan UNIFAC dapat diaplikasikan dalam sistem polar maupun sistem
yang nonpolar. Tidak hanya itu, persamaan-persamaan ini juga dapat
memprediksi keadaan campuran berbagai komponen dengan menjadikan keadaan
campuran biner sebagai parameternya. Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai
persamaan model termodinamika di atas.
1. UNIFAC (UNIversal Functional Activity Coefficient)
Model termodinamika ini digunakan untuk memprediksi estimasi aktivitas
non-elektrolit di dalam campuran non-ideal. UNIFAC menghitung
koefisien aktivitas dengan menggunakan kelompok fungsional yang ada
pada molekul yang membentuk campuran cairan. Adapun korelasi untuk
model UNIFAC ditunjukkan sebagai berikut:
7
Dengan:
γC = Koefisien aktivitas kombinasi.
γR = Koefisien aktivitas
ϴi= Berat Molekul
Фi= area fractional component
Li= compound parameter dari r z dan q
Model UNIFAC ini biasanya digunakan untuk memprediksi sistem tanpa
data keseimbangan fase. Korelasi pada model UNIFAC digunakan dengan
tujuan untuk mengurangi jumlah interaksi biner yang diukur untuk
meprediksi keadaan sistem.
2. UNIQUAC (UNIversal QUAsiChemical)
Model koefisien aktivitas yang digunakan untuk mendeskripsikan
kesetimbangan fase cair-cair. Model UNIQUAC disebut juga dengan
model kisi dan telah diturunkan dari pendekatan orde pertama dari
permukaan molekul yang berinteraksi dalam termodinamika statistik.
Namun, model ini tidak sepenuhnya konsisten secara termodinamika
karena pendekatan dua campuran cair. Persamaannya:
Dengan,
γC = Koefisien aktivitas kombinasi.
γR = Koefisien aktivitas
V = fraksi volum per fraksi mol campuran.
8
F = Fraksi area permukaan per fraksi molar campuran.
3. NRTL (Non-Random Two-Liquid)
Model koefisien aktivitas yang mengkorelasikan koefisien aktivitas dari
senyawa i dengan fraksi mol dalam fasa cair yang bersangkutan. Model ini
sering diterapkan dalam bidang teknik kimia untuk menghitung
kesetimbangan fasa.
dengan,
α = Parameter ketidakacakan.
T = Temperatur, K.
A,B,C,D = Konstanta termodinamika.
Selanjutnya dicari nilai SSE (Sums of Square Error) yang akan
menunjukkan model termodinamika yang paling sesuai untuk entrainer
tersebut. Rumus SSE yang digunakan ialah:
E. HIPOTESIS
Kesetimbangan cair-cair campuran etanol-air-etil asetat akan mengikuti
model UNIQUAC. Hal ini
9
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Etanol 90%, diperoleh dari Laboratorium Proses Pemisahan Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.
b. Aquadest, diperoleh dari Laboratorium Proses Pemisahan Jurusan Teknik
Kimia Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.
c. Etil asetat, diperoleh dari Laboratorium Proses Pemisahan Jurusan Teknik
Kimia Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.
B. Rangkaian Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini telah tersedia di Laboratorium
Proses Pemisahan Jurusan Teknik Kimia FT UGM. Rangkaian alat dapat
dilihat seperti gambar berikut :
Keterangan :
1. Corong pemisah
2. Rafinat
3. Ekstrak
4. Labu Erlenmeyer
5. Statif
Gambar 1. Rangkaian Alat Penelitian
10
1
2
3
4
5
C. Cara Penelitian
Penelitian ini dijalankan dalam tiga tahap, yaitu :
Tahap Pemilihan Kandidat Model Termodinamika
Tahap persiapan dilakukan dengan menjalankan simulasi dengan
menggunakan program Aspen. Pada tahap ini akan diamati kecenderungan
kurva LLE (Liquid Liquid Equilibrium) berdasarkan berbagai model
termodinamika untuk mendapatkan ternary diagram yang menghasilkan
Tahap Pengambilan Data Kesetimbangan Cair-Cair
Tahap ini dilakukan dengan mencampur air, etanol dan etil asetat dengan
komposisi tertentu. Campuran di gojog selama 10 menit sebelum
kemudian didiamkan pada corong pemisah sesuai dengan gambar (1).
Setelah 10 menit, akan didapatkan ekstrak sebagai hasil bawah dan rafinat
sebagai hasil atas yang kemudian akan diambil sampel dari keduanya
untuk dianalisis dengan Gas Cromatography.
Dari hasil analisis dengan Gas Cromatography, akan diperoleh konsentrasi
kesetimbangan antara rafinat dan ekstrak yang merupakan tie line pada
Liquid Liquid Equilibrium.
Langkah-langkah tersebut dilakukan untuk berbagai konsentrasi campuran
air etanol dan etil asetat yang berbeda-beda.
Tahap Penentuan Model Terbaik
11
D. Analisis Data
a. Menentukan kadar etanol dan entrainer mula-mula.
Dengan, xeth = fraksi mol ethanol.
xen = fraksi mol entrainer.
C = kadar lautan ethanol.
Ve = volume larutan ethanol, (mL)
pe = densitas larutan ethanol, (g/mL)
Mre= massa jenis ethanol, (g/mol)
Va = volume larutan akuades (mL)
Pa = densitas larutan akuades, (g/mL)
Mra= massa jenis akuades, (g/mol)
Ven = volume larutan entrainer, (mL)
pe n = densitas larutan enrtainer, (g/mL)
Mren= massa jenis entrainer, (g/mol)
b. Menghitung fraksi mol ethanol dan entrainer dari model.
Perhitungan fraksi massa ethanol berdasarkan model (xeth model) dan
fraksi massa entrainer berdasarkan model (xen model) dilakukan dengan
bantuan program bantu ASPEN.
c. Menghitung SSE.
12
JADWAL PENELITIAN
DAFTAR PUSTAKA
http://www.aiche.org/uploadedFiles/Students/
DepartmentUploads/thermodynamics.pdf
UNIQUAC needs only two interaction parameters per binary, v/s three
per binary for NRTL. This may seem unimportant, except that for a
binary liquid-liquid system, it is theoretically impossible to estimate
three interaction parameters for an activity coefficient model from LLE
data alone. This issue alone is a huge theoretical disadvantage for
NRTL compared to UNIQUAC.
Also, there is no evidence that supports any contention that UNIQUAC
is not a "good model" or that NRTL is generally more accurate. NRTL is
just simpler algebraically. Of course, in a given system, the accuracy
of fitted parameters for one model over another is determined only
statistically (least squares fit). For accurate data, differences in fitting
accuracy are usually minor. Finally, it must be noted that UNIQUAC
provides the theoretical framework for the widely used UNIFAC group
contribution method.
In my own professional practice for over 25 years, I have done
hundreds of side-by-side regression evaluations between UNIQUAC and
NRTL for VLE, LLE, and VLLE systems and have never found any basis
to support your preference. There is also the extensive DECHEMA
compilation of regressed VLE and LLE parameters using van Laar,
13
Wilson, NRTL, and UNIQUAC - for each of several thousand binary
systems - that would illustrate this point. Besides, for LLE regression
work with a binary system, one is forced to assume the third NRTL
parameter, alpha, arbitrarily. To get around this difficulty, Tassios (at
NJIT, circa 1980s) found that even a fixed value of -1 provides
acceptable numerical results, although others have questioned the
theoretical validity of a negative value for alpha.
Therefore, I would state that there is considerable support in the
literature for asserting that UNIQUAC should be preferred over NRTL.
tipu144:
I believe you need to access the Aspen Plus Data Regression System
(DRS) to find the desired interaction parameters by regression. Also,
as noted in my post of 5 January, please use interaction parameters
based solely on excess enthalpy of mixing data with great care for
anything other than enthalpy calculations. For example, if your
components are compounds for which the UNIFAC group contribution
method applies, and you are also interested in VLE predictions, you will
likely be much better off using infinite dilution activity coefficients
(based on UNIFAC for VLE) than using interaction parameters based on
excess enthalpy of mixing data. I assume, of course, that measured
VLE data are not available; otherwise, you would do a simultaneous
regression of VLE and excess enthalpy of mixing data and use a single
set of interaction parameters.
(Besides, note that it is possible to use different models for VLE and
excess enthalpy in a given simulation in Aspen Plus. In fact, it is
possible even to use one set of UNIQUAC model parameters for VLE
and another for enthalpy in a given simulation problem. This requires
creating a new thermo SYSOP.)
14
Please keep us posted on your experiences, as this is a very interesting
area even today.
siretb:
Re. the NRTL v/s UNIQUAC issue, I would respectfully make the
following points:
(1) The UNIQUAC r and q parameters are available readily for all
significant molecular groups and also are tabulated for almost all the
organic compounds you are ever likely to encounter (over 2000) in the
DIPPR databank. Every worthwhile process simulator provides these,
so the need to specify them is hardly a disadvantage for UNIQUAC.
(2) I wrote a thesis on the subject of Wilson v/s NRTL v/s UNIQUAC over
25 years ago. My conclusions have not changed after studying many
hundreds of additional systems. Also, there is plenty of additional
support for choosing UNIQUAC in the literature. If you study the
DECHEMA data collection (which contains regressions for the major
activity coefficient models for the TOTALITY of the world's published
VLE and LLE data sets), I believe you will be able to verify this for
yourself at any library.
(3) There is absolutely no theoretical or practical basis for your
statement that the third NRTL parameter gives an engineer "an
additional chance", presumably to improve things over UNIQUAC. A
theoretically sounder model can do a lot better than its competitors
even if they have a lot more adjustable parameters. (For example,
compare the Antoine equation with its three parameters versus a sixth
order polynomial for vapor pressure.) There is plenty of evidence that,
in VLE work, simultaneous adjustment of alpha with the other two NRTL
parameters does NOT improve the quality of the fit noticeably over
UNIQUAC, unless you have a statistical quirk caused by inaccurate
measurements.
(4) In fact, engineers often end up mis-specifying the third NRTL
parameter in LLE work, simply because there is no way theoretically to
estimate alpha using LLE data alone: you just have to pick a number
15
for alpha based on some sort of “rule”, hardly an acceptable
situation. How would you propose then to overcome discrepancies
caused by poor choices of alpha when making VLE predictions for a
multicomponent mixture?
(5) With good data, the quality of the fits from both models is
equivalent. Therefore, the question that must be answered is: why
insist on using a model that requires 50% more regression parameters
to be estimated than the other? This can be a pain with a large
number of components.
(6) UNIQUAC has been shown to reduce to both the NRTL and Wilson
models when you make the appropriate simplifying assumptions. This
is very telling, as it explains why the refinements in UNIQUAC are
indeed worthwhile from a theoretical and practical point of view.
(7) No one will disagree that all available data should be used to
improve modeling of phase equilibria. However, that is not the issue in
this discussion.
UNIQUAC needs only two interaction parameters per binary, v/s three
per binary for NRTL. This may seem unimportant, except that for a
binary liquid-liquid system, it is theoretically impossible to estimate
three interaction parameters for an activity coefficient model from LLE
data alone. This issue alone is a huge theoretical disadvantage for
NRTL compared to UNIQUAC.
Also, there is no evidence that supports any contention that UNIQUAC
is not a "good model" or that NRTL is generally more accurate. NRTL is
just simpler algebraically. Of course, in a given system, the accuracy
of fitted parameters for one model over another is determined only
statistically (least squares fit). For accurate data, differences in fitting
accuracy are usually minor. Finally, it must be noted that UNIQUAC
provides the theoretical framework for the widely used UNIFAC group
contribution method.
16
In my own professional practice for over 25 years, I have done
hundreds of side-by-side regression evaluations between UNIQUAC and
NRTL for VLE, LLE, and VLLE systems and have never found any basis
to support your preference. There is also the extensive DECHEMA
compilation of regressed VLE and LLE parameters using van Laar,
Wilson, NRTL, and UNIQUAC - for each of several thousand binary
systems - that would illustrate this point. Besides, for LLE regression
work with a binary system, one is forced to assume the third NRTL
parameter, alpha, arbitrarily. To get around this difficulty, Tassios (at
NJIT, circa 1980s) found that even a fixed value of -1 provides
acceptable numerical results, although others have questioned the
theoretical validity of a negative value for alpha.
Therefore, I would state that there is considerable support in the
literature for asserting that UNIQUAC should be preferred over NRTL.
17