09_166pengaruhrinitisalergi

4
HASIL PENELITIAN CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008 405 PENDAHULUAN Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitivitas tipe 1 yang di- perantarai oleh Ig E pada mukosa hidung dengan gejala karakteristik berupa bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan hidung gatal 1 . Berdasarkan atas saat pajanan rinitis alergi diklasifikasikan menjadi rinitis alergi musiman (seasonal) dan rinitis alergi tahunan (perennial) . ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerja sama dengan WHO 2001 membuat klasifikasi baru rinitis alergi ber- dasarkan parameter gejala dan kualitas hidup penderita. Berdasar- kan atas lama dan beratnya penyakit, rinitis alergi diklasifikasi- kan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten ringan dan persisten sedang berat 1 . Rinitis alergi berdampak pada penurunan kualitas hidup pende- ritanya, penurunan produktifitas kerja, prestasi di sekolah, akti- fitas sosial dan malah pada penderita dengan alergi berat dan lama dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi 2,3,4 . Rinitis alergi juga dapat mengganggu fungsi fisiologik tuba Eustachius 5 . Gangguan fungsi ventilasi tuba menyebabkan peruba- han tekanan udara telinga tengah menjadi tekanan negatif. Mekanisme gangguan fungsi tuba Eustachius pada rinitis alergi didasari atas kesamaan antara mukosa rongga hidung, nasofaring, tuba Eustachius dan telinga tengah, sehingga proses inflamasi alergi di mukosa hidung dapat berlanjut ke mukosa nasofaring dan tuba Eustachius 6 . Gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius dapat dideteksi melalui pemeriksaan timpanometri. Dengan melihat tekanan udara dengan compliance maksimum pada timpanogram maka tekanan telinga tengah dapat ditentukan. Jika dalam batas normal berarti fungsi ventilasi tuba Eustachius dikatakan normal sebab tuba Eustachius dapat menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara sekitarnya. Jika tuba Eustachius tersumbat, maka akan terjadi tekanan negatif tinggi dalam telinga tengah akibat absorpsi gas oleh mukosa telinga tengah. Tekanan negatif lebih dari -100 mm H 2 O menandakan adanya gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius 7-10 . Pada membran timpani adesiva atau ruang telinga tengah dipenuhi cairan pada otitis media serosa, maka tidak ada titik compliance maksimum sehingga timpanogramnya menjadi mendatar. Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA WHO 2OO1) terhadap Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius I Wayan Karya, Aminuddin Aziz, Sutji Pratiwi Rahardjo, Nani Iríani Djufri Bagian / SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, Indonesia ABSTRAK Latar Belakang : Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya. Salah satu akibat rinitis alergi adalah gangguan fungsi tuba Eusta- chius. Tujuan Penelitian: Mengetahui pengaruh rinitis alergi sesuai klasifikasi ARIA WHO 2001 terhadap fungsi ventilasi tuba Eustachius dan membandingkannya dengan kelompok kontrol. Metode Penelitian : Dilakukan pemeriksaan timpanometri pada 30 orang penderita rinitis (ARIA WHO 2001) dan 30 orang kontrol normal. Seluruh penderita rinitis alergi sebelumnya menjalani tes cukit kulit dengan alergen inhalan. Hasil : Di kelompok kasus hanya ditemukan 1 orang (3,3%) dengan timpa- nogram tipe B, 3 orang (10,0%) tipe C dan sisanya 26 orang (86,7%) tipe A. Sedangkan di kelompok kontrol hanya ditemu- kan timpanogram tipe A. Hanya pada rinitis alergi persisten sedang berat didapat timpanogram tipe B dan C. Kesimpulan : Rinitis alergi (ARIA WHO 2001) berpengaruh tidak signifikan terhadap gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius. Kata Kunci: rinitis alergi, ventilasi tuba Eustachius, timpanometri

Upload: abang-keluang

Post on 08-Aug-2015

43 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: 09_166Pengaruhrinitisalergi

TINJAUAN PUSTAKA

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008404

SARANAsma bronkial dengan GERD harus bersama-sama diobati untuk menghindari komplikasi yang lebih berat karena pengo-batan terhadap refluks mempunyai efek pada fungsi paru dan juga mengurangi dosis obat asmanya.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

DAFTAR PUSTAKAA Dina Abidin Mahdi. Penatalaksanaan penyakit alergi. Airlangga University

Press 1997.

Lapova M et al. Gastroesophageal reflux as the basis of recurent and chronic

respiratory diseases II, Destha Klinika 2. Lekar le fakulty university karlovy aFN,

Praha motal 1 lesk pediatry 1991 mar 46(3) 142-145. (Article in Czech)

Field KSM et al. Prevalence of gatroesophageal reflux symptons in asthma.

Chest 1996; 109:316-322.

Fenerty MB. Extraesophageal GERD : Presentation and approach to treatment GI

in the next century, clinical advances in esophageal and gastro intestinal

disorder. AGA. Post Graduate Course, Orlando, Florida 1999.1-10.

Field SK, Sutherland. Does medical antireflux therapy improve asthma in

asthmatic with gastroesophageal reflux. A critical review of literature. Chest

1998;115: 654-9.

Juwanto, Chudahman Manan. Clinical manifestation and management of

extraesophageal gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology Hematology

and Digestive Endoscopy 2002;3(2):17-23.

Hudviks datter et al. Habitual coughing and its assosiations with asthma, anxiety

and gastroesophageal reflux. Chest 1996.109.1262-7.

Meier MJH et al. Does omeprazole improve respiratory function in asthmatic

with gastroesophageal reflux ? Digestive disease and science 1994.39:2127-33.

Plattova Z, Dolina et al. Pathologic gastroesophageal reflux in patients with

bronchial asthma. Interni gastroenterologicka klinika FNBno, proeoviste

Bohunice. Vintr hek,2001 Jul 47 (7 ) : 450-3. (Article in Czech)

Snajdouf S et al. Hate result after surgical treatment of gastroesophageal reflux

in childhood. Klinikal desthe chirurgic FN molal 2 LFUK, subkatedra desthe

chirurgic, IPVZ, Praha. Rozl chir 1997, Agust, 76(8): 370-3. (Article in Czech)

HASIL PENELITIAN

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008 405

PENDAHULUANRinitis alergi merupakan penyakit hipersensitivitas tipe 1 yang di- perantarai oleh Ig E pada mukosa hidung dengan gejala karakteristik berupa bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan hidung gatal1.

Berdasarkan atas saat pajanan rinitis alergi diklasifikasikan menjadi rinitis alergi musiman (seasonal) dan rinitis alergi tahunan (perennial). ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerja sama dengan WHO 2001 membuat klasifikasi baru rinitis alergi ber- dasarkan parameter gejala dan kualitas hidup penderita. Berdasar- kan atas lama dan beratnya penyakit, rinitis alergi diklasifikasi-kan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten ringan dan persisten sedang berat1.

Rinitis alergi berdampak pada penurunan kualitas hidup pende- ritanya, penurunan produktifitas kerja, prestasi di sekolah, akti- fitas sosial dan malah pada penderita dengan alergi berat dan lama dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi 2,3,4. Rinitis alergi juga dapat mengganggu fungsi fisiologik tuba Eustachius5. Gangguan fungsi ventilasi tuba menyebabkan peruba-han tekanan udara telinga tengah menjadi tekanan negatif.

Mekanisme gangguan fungsi tuba Eustachius pada rinitis alergi didasari atas kesamaan antara mukosa rongga hidung, nasofaring, tuba Eustachius dan telinga tengah, sehingga proses inflamasi alergi di mukosa hidung dapat berlanjut ke mukosa nasofaring dan tuba Eustachius6.

Gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius dapat dideteksi melalui pemeriksaan timpanometri. Dengan melihat tekanan udara dengan compliance maksimum pada timpanogram maka tekanan telinga tengah dapat ditentukan. Jika dalam batas normal berarti fungsi ventilasi tuba Eustachius dikatakan normal sebab tuba Eustachius dapat menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara sekitarnya. Jika tuba Eustachius tersumbat, maka akan terjadi tekanan negatif tinggi dalam telinga tengah akibat absorpsi gas oleh mukosa telinga tengah. Tekanan negatif lebih dari -100 mm H2O menandakan adanya gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius7-10. Pada membran timpani adesiva atau ruang telinga tengah dipenuhi cairan pada otitis media serosa, maka tidak ada titik compliance maksimum sehingga timpanogramnya menjadi mendatar.

Pengaruh Rinitis Alergi(ARIA WHO 2OO1)

terhadap Gangguan Fungsi VentilasiTuba Eustachius

I Wayan Karya, Aminuddin Aziz, Sutji Pratiwi Rahardjo, Nani Iríani DjufriBagian / SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, Indonesia

ABSTRAK

Latar Belakang : Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat

berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya. Salah satu akibat rinitis alergi adalah gangguan fungsi tuba Eusta-

chius. Tujuan Penelitian: Mengetahui pengaruh rinitis alergi sesuai klasifikasi ARIA WHO 2001 terhadap fungsi ventilasi tuba

Eustachius dan membandingkannya dengan kelompok kontrol. Metode Penelitian : Dilakukan pemeriksaan timpanometri

pada 30 orang penderita rinitis (ARIA WHO 2001) dan 30 orang kontrol normal. Seluruh penderita rinitis alergi sebelumnya

menjalani tes cukit kulit dengan alergen inhalan. Hasil : Di kelompok kasus hanya ditemukan 1 orang (3,3%) dengan timpa-

nogram tipe B, 3 orang (10,0%) tipe C dan sisanya 26 orang (86,7%) tipe A. Sedangkan di kelompok kontrol hanya ditemu-

kan timpanogram tipe A. Hanya pada rinitis alergi persisten sedang berat didapat timpanogram tipe B dan C. Kesimpulan :

Rinitis alergi (ARIA WHO 2001) berpengaruh tidak signifikan terhadap gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius.

Kata Kunci: rinitis alergi, ventilasi tuba Eustachius, timpanometri

Page 2: 09_166Pengaruhrinitisalergi

HASIL PENELITIAN

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008406

Penelitian mengenai gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi telah dilaporkan oleh Lazo Saenz dkk. Pada 60 orang penderita rinitis alergi dan 50 orang normal dilakukan pemeriksaan timpanometri. Di kelompok penderita rinitis alergi didapatkan 15,5% dengan timpanogram abnormal ( 13% tipe C dan 3% tipe B) sedangkan di kelompok kontrol seluruhnya dengan timpanogram tipe A11. Kudelska dkk. melakukan pemeriksaan audiometri dan timpanometri pada 30 penderita rinitis alergi seasonal dan 30 penderita rinitis alergi perennial. Hasilnya pada penderita rinitis alergi perennial ditemu-kan gangguan pendengaran tipe konduktif 26,7% dengan gambaran timpanogram tipe B dan tipe C masing-masing 20% sedangkan pada penderita rinitis alergi seasonal ditemukan gangguan pendengaran tipe konduktif 10% dengan gambaran timpanogram tipe B 3,33% dan tipe C 6,67% 12.

Mempertimbangkan dampak gangguan tuba Eustachius akibat rinitis alergi pada telinga tengah, maka perlu dilakukan deteksi fungsi ventilasi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi.

BAHAN dan CARAPenelitian ini menggunakan rancangan cross sectional study. Sampel penelitian terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kontrol adalah penderita rinitis alergi yang datang ke Poliklinik THT-KL RS. Perjan Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar dengan hasil prick test alergen inhalan positif, berusia 17 sampai 60 tahun, membran timpani utuh, bebas obat antihistamin, kortikosteroid dan dekongestan minimal 5 hari, dan tidak pernah mendapat imunoterapi.

Penderita rinitis alergi dengan infeksi saluran nafas atas, deviasi septum nasi berat, polip nasi stadium 2 dan 3, riwayat operasi telinga tengah, hidung, nasofaring dan tumor di sinonasal serta nasofaring tidak diikutkan dalam penelitian ini. Kelompok kontrol adalah orang tanpa kelainan THT secara klinis. Pengambilan sampel menggunakan tehnik purposive sampling. Pada pen- derita rinitis yang datang ke poliklinik THT dilakukan anamnesis, pemeriksaan THT, tes alergi, dan pemeriksaan timpanometri dengan alat impedance audio traveler tipe AA 222, dengan serial no. 128998 dan software version 1.09116 kalibrasi tahun 2005.

HASIL PENELITIAN Sampel penelitian berjumlah 30 orang terdiri dari laki-laki 14 (46,7%) dan perempuan 16 (53,3%), berumur antara 17 - 60 tahun, rerata umur 27,9 tahun. Kelompok umur paling banyak adalah ≤ 20 tahun.

Pada kelompok kasus 14 orang (46,7%) termasuk rinitis alergi persisten sedang berat, 11 orang (36,7%) persisten ringan, 4 orang (13,3%) intermiten ringan dan 1 orang (3,3%) intermiten sedang berat.

Gambaran tipe timpanogram berdasarkan derajat rinitis alergi dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 dengan gambaran timpanogram terbanyak adalah tipe A. Tipe B hanya ada 1 (3,3%) dan tipe C 3 (10 %). Berdasarkan derajat rinitis alergi, semua kelainan timpanogram ada di kalangan penderita rinitis alergi persisten sedang berat.

Tabel 1. Distribusi tipe timpanogram telinga kanan pada kelompok kontrol dan kelompok kasus

A28 4 9 1 11 25

93,3% 100,0% 81,8% 100,0% 78,7% 83,3%

As2 0 2 0 1 3

6,7% 0,0% 18,2% 0,0% 7,1% 10,0%

B0 0 0 0 0 0

0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0%

C0 0 0 0 2 2

0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 14,2% 6,7%

Total30 4 11 1 14 30

100,0%

p = 0,698

100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

TipeTimpano

gramKontrol

Intermitenringan

Persistenringan

Intermitensedang berat

Persistensedang berat

Total

K a s u s

www.kalbe.co.id

Page 3: 09_166Pengaruhrinitisalergi

HASIL PENELITIAN

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008 409

Tabel 2. Distribusi tipe timpanogram telinga kiri pada kelompok kontrol dan kelompok kasus

Tabel 3. Distribusi hasil tes Valsava telinga kanan pada kelompok kontrol dan kelompok kasus

Tabel 4. Distribusi hasil tes Valsava telinga kiri pada kelompok kontrol dan kelompok kasus

Tes Valsava positif pada telinga kanan kelompok kontrol 15 orang (50,0%) sedangkan pada kelompok kasus hanya 7 orang (23,3%). Penderita rinitis alergi intermiten ringan 1 orang (25,0%) dengan tes Valsava positif dan 3 orang (75,0%) negatif. Pada rinitis alergi persisten ringan 3 orang (27,3%) dengan tes Valsava positif dan 8 orang (72,7%) negatif. Hasil tes Valsava pada rinitis alergi persisten sedang berat didapat hanya 2 orang (14,7%) positif dan 12 orang (85,3%) negatif.

Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa tes Valsava positif pada telinga kiri kelompok kontrol 13 orang (43,3%) dan hanya 7 orang (23,3%) pada kelompok kasus. Penderita rinitis alergi intermiten ringan dan intermiten sedang berat semuanya (100,0%) dengan tes Valsava negatif. Pada rinitis alergi persisten ringan 3 orang (27,3%) dengan tes Valsava positif, 8 orang (72,7%) negatif. Hasil tes Valsalva pada persisten sedang berat adalah 4 orang (28,6%) positif dan 10 orang (71,4%) negatif.

TesValsalva Kontrol Intermiten

ringanPersistenringan

Intermitensedang berat

Persistensedang berat Total

K a s u s

Positif15 1 3 1 2 7

50,0% 25,0% 27,3% 100,0% 14,7% 23,3%

Negatif15 3 8 0 12 23

50,0% 75,0% 72,7% 0,0% 85,3% 76,7%

Total30 4 11 1 14 30

100,0%

p = 0,258

100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

TesValsalva Kontrol Intermiten

ringanPersistenringan

Intermitensedang berat

Persistensedang barat Total

K a s u s

Positif13 0 3 0 4 7

43,3% 0,0% 27,3% 100,0% 28,6% 23,3%

Negatif17 4 8 1 10 23

56,7% 100,0% 72,7% 0,0% 71,4% 76,7%

Total30 4 11 1 14 30

100,0%

p = 0,608

100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

A26 3 11 1 11 26

86,7% 75,0% 100,0% 100,0% 78,7% 86,7%

As4 1 0 0 1 2

13,3% 25,0% 0,0% 0,0% 7,1% 6,7%

B0 0 0 0 1 1

0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 7,1% 3,3%

C0 0 0 0 1 1

0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 7,1% 3,3%

Total30 4 11 1 14 30

100,0%

p = 0,787

100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

TipeTimpano

gramKontrol Intermiten

ringanPersistenringan

Intermitensedang berat

Persistensedang berat Total

K a s u s

Page 4: 09_166Pengaruhrinitisalergi

HASIL PENELITIAN

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008410

PEMBAHASANSampel dalam penelitian ini adalah 30 orang penderita rinitis alergi dan 30 orang kontrol berusia antara 17 - 60 tahun dengan rerata (mean) umur 27,97 tahun. Perempuan sedikit lebih banyak daripada laki-laki, terbanyak di kelompok umur ≤ 20 tahun; paling sedikit kelompok umur 51 - 60 tahun.

Sesuai klasifikasi ARIA WHO 2001, penderita rinitis alergi persisten sedang berat merupakan sampel terbanyak pada penelitian ini yaitu 46,7% kemudian rinitis alergi persisten ringan (36,7%), intermiten ringan (13,3%) dan rinitis alergi intermiten sedang berat (3,3%). Alimah Y (2005) dalam penelitiannya juga men- dapatkan rinitis alergi persisten sedang berat yang paling banyak yaitu 57,5% dari seluruh sampel. Hal ini karena rinitis alergi umum- nya dianggap bukan penyakit yang amat serius bahkan sering diabaikan. Biasanya penderita baru datang memeriksakan diri apabila gejala-gejala rinitis alergi sudah berlangsung lama dan mengganggu aktifitas sehari-hari seperti ada gangguan tidur, kegiatan di sekolah / pekerjaan, bersantai maupun berolahraga atau telah timbul komplikasi rinitis alergi.

Pada penelitian ini dilakukan timpanometri terhadap kedua kelompok sampel. Hasilnya menunjukkan bahwa pada penderita rinitis alergi didapatkan 1 orang (3,3%) timpanogram tipe B dan 3 orang (10,0%) timpanogram tipe C. Sedangkan pada kelompok kontrol semuanya dengan timpanogram tipe A dan tipe As. Angka ini hampir sama dengan hasil penelitian Lazo-Saenz,dkk. yang melakukan pemeriksaan timpanometri pada 80 orang rinitis alergi dan 50 orang normal sebagai kontrol, didapatkan 3% kelompok rinitis alergi dengan timpanogram tipe B dan 13% tipe C sedangkan pada kelompok kontrol semua dengan timpa-nogram tipe A.

Bila dilihat dari klasifikasi rinitis alergi, timpanogram tipe B dan tipe C hanya didapatkan pada penderita rinitis alergi persisten sedang berat (4 orang -13,3%). Ini menunjukkan bahwa penderita tersebut telah mengalami gangguan ventilasi tuba Eustachius. Keadaan ini akibat proses inflamasi alergi di mukosa nasofaring dan tuba Eustachius yang berlangsung lama dan berat sehingga tuba tidak mampu menyeimbangkan tekanan telinga tengah dengan tekanan udara sekitarnya. Hasil uji statistik (Chi-Square, p < 0,05) antara tipe timpanogram dengan rinitis alergi (ARIA WHO 2001) pada telinga kanan dan kiri didapatkan nilai p yang tidak bermakna (kanan p = 0,698 dan kiri p = 0,787 ).

Tabel 3 menunjukkan tes Valsava lebih banyak yang gagal di kelompok kasus (76,7%). Ini berarti tuba Eustachius pada penderita rinitis ini tidak mampu menyeimbangkan tekanan telinga tengah dengan udara sekitarnya yang lebih tinggi. Pada kedua pemeriksaan tes fungsi tuba ini, kegagalan proses ekualisasi karena obstruksi oleh edema mukosa tuba Eustachius dan muara tuba di nasofaring.

Uji statistik (Chi-Square) antara tes Valsava kelompok kontrol dan kelompok kasus pada kedua telinga menghasilkan nilai p yang tidak bermakna (kanan p =0,258 dan kiri p =0,608). Selain itu, dilakukan juga pengujian terhadap klasifikasi, tipe timpanogram, tes Toynbee, dan tes Valsava antara telinga kanan dan telinga kiri. Dengan uji statistik Chi-Square didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara telinga kanan dan telinga kiri pada rinitis alergi ( ARIA WHO 2001) dengan tipe timpanogramnya. Demikian pula pada tes Toynbee dan tes Valsava tidak didapatkan perbe-daan yang bermakna antara telinga kanan dan telinga kiri. Semua nilai p yang tidak bermakna tersebut mungkin karena besar sampel penelitian yang merupakan jumlah minimal yang dapat digunakan untuk penelitian.

SIMPULANRinitis alergi (ARIA WHO 2001) tidak berpengaruh bermakna terhadap gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius diband-ingkan dengan kelompok kontrol.Berbagai derajat rinitis alergi (ARIA WHO 2001) tidak berpen-garuh bermakna terhadap gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius.

SARANMeskipun ditemukan pengaruh yang tidak bermakna, penga-ruh rinitis alergi terhadap gangguan fungsi ventilasi tuba tidak dapat diabaikan.Penanganan rinitis alergi jangan hanya difokuskan pada gejala di hidung saja tetapi perlu juga diingat komplikasinya terhadap fungsi tuba Eustachius. Perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dengan metode dan alat lain untuk mendapat hasil yang lebih akurat.

KEPUSTAKAANBousquet J, Cauwenberge P V, Khaltaev N. ARIA Workshop Group. WHO. Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma. J Allergy Clin Immunol. 2001, 108 (5 suppl); S147-S276.Quraishi SA, Davies MJ, Craig TJ. Inflammatory Responses in Alergic Rhinitis: Traditional Approaches and Novel Treatment Strategies. JAODA 2004; 104 (5suppl):57-S15.Roland P, McCluggage CM, Sciinneider GW. Evaluation and Management of Allergic Rhinitis: a Guide for Family Physicians. Texas Acad. Fam. Physicians 2001, 1- 15.Virant FS. Allergic Rhinitis, Immunol. Allerg. Clin. North Am. 2000;20(2):265-282.Mandel E, Casselbrant M, Fireman P. Otitis Media. In: Atlas of Allergies and Clinical Immuno-logy 3th ed, Fireman P (ed.) Philadelphia: Mosby, Elsevier, 2002, 79 -93.Restuti RD, Sosialisman. Otitis Media Efusi kaitannya dengan Rinitis Alergi. Dalam: Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa penyakit Penyerta Rinitis Alergi. Malang. 2006, 1-9.Ghosh MS, Kumar A. Study of Middle Ear Pressure in Relation to Eustachian Tube Patency. Ind J Aerospace Med 2002;46(2): 27-31.O

,Connor AF. Exanination of The Ear. In: Scott-Brown

,s Otolaryngology, 6th ed. Kerr AG.(ed.)

Butterworth; London: 1997 , p.20-23.Peck JE. Audiology. In: Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery 8th ed. Lee KJ (ed.) New York:McGraw-Hill, 2003, p.24-64.Bluestone CD, Klein JO. Otitis Media. Atelectasis and Eustachian Tube Dysfunction, in Pediatric Otolaryngology 3th, vol 1. Bluestone et al. (eds.) Philadelphia:WB. Saunders Co. 1996.p.388-450Lazo-Saenz JG, Galvan-Aguilera AA, Martinez-Ordaz VA et al. Eustachian Tube Dysfunction in Allergic Rhinitis. Otolaryngol Head and Neck Surg. 2005;132(4): 626-9.Kudelska, Poludniewska B, Biszewska J, Silko, Godlewska. Assessment of the Hearing Organ in the Patients with Perennial and Seasonal Allergic Rhinitis. Otolaryngol Pal. 2005;59(1): 97-100.Cauwenberge PV, Wang D. Rhinitis and Otitis. In: Rhinitis Mechanisms and Management. Naclerio et al.(eds.) New York: Marcel Dekker. 1999.p. 447- 458Sweetow RW, Bold JM. Eustachian Tube Dysfunction Test. Available at www. audiologyonline.com, accessed 3/24/2007

1.

2.

1.

2.

3.

1.

2.

3.

4.5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

TINJAUAN PUSTAKA

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008 411

PENDAHULUANKesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral kesehatan secara keseluruhan dan perihal hidup sehingga perlu dibudi- dayakan diseluruh masyarakat (Yuyus. R, 1996). Gigi yang sehat adalah gigi yang rapi, bersih, bercahaya dan didukung oleh gusi yang kencang dan berwarna merah muda. Pada kondisi normal, dari gigi dan mulut yang sehat tidak tercium bau tidak sedap. Kondisi ini hanya dapat dicapai dengan perawatan yang tepat (1, Lesmana, 1999). Keadaan oral hygine yang buruk seperti adanya kalkulus dan stain, banyak karies gigi, keadaan tidak bergigi atau ompong dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari√hari (2).

Karies gigi adalah penyakit jaringan keras gigi yang ditandai dengan terjadinya mineralisasi bagian anorganik dan deminer-alisasi substansi organik (3). Karies dapat terjadi pada setiap gigi yang erupsi, pada tiap orang tanpa memandang umur, jenis kelamin, bangsa, maupun status ekonomi (4).

Periodontium adalah jaringan penyangga gigi yang terdiri dari jaringan gusi, tulang alveolar, ligamentum periodontal dan cementum yang melekat pada akar gigi (5,Lesmana, 1999). Marshall-Day menyatakan umumnya keradangan gingiva pada usia muda rata-rata mencapai 75% atau lebih dan akan meningkat mendekati 100% (6,7.8).

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : kelainan gigi dan mulut tersering manakah yang dapat ditemui dan adakah perbedaan antara tahun 1994 dan 2004 ?

METODE PENELITIANJenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian ini semua adalah pasien yang datang berobat ke poliklinik gigi dan mulut RSUD dr Muwardi pada tahun 1994 dan 2004. Data yang dikumpulkan berupa macam kelainan gigi dan tindakan pada tahun 1994 dan 2004.

HASIL PENELITIANBerikut hasil penelitian yang dilakukan di RSUD dr Muwardi Solo seperti yang disajikan dalam gambar berikut:

ABSTRAK

Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral kesehatan secara keseluruhan dan perihal hidup. Gigi yang sehat adalah

gigi yang rapi, bersih, bercahaya dan didukung oleh gusi yang kencang dan berwarna merah muda. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui macam kelainan dan tindakan yang dilakukan di RSUD dr Muwardi Solo. Jenis Penelitian ini adalah

observasional dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian ini adalah pasien yang datang berobat ke poliklinik Gigi

dan Mulut RSUD dr Muwardi, Surakarta. Jumlah sampel adalah semua pasien yang datang ke poliklinik selama 1 tahun pada

tahun 1994 dan 2004. Data berupa macam kelainan gigi dan mulut dan tindakan. Data yang terkumpul dianalisis dengan

analisa kuantitatif dan disajikan dalam gambar. Kesimpulan penelitian ini adalah ada perbedaan dalam macam kelainan gigi

dan mulut dan ada perbedaan tindakan antara tahun 1994 dan 2004. Ada kenaikan jumlah pada macam kelainan dan tinda-

kan yang nyata.

Kata kunci : Kelainan Gigi; Kelainan Jaringan Pendukung Gigi; Tindakan; Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut

Kelainan Gigi dan JaringanPendukung Gigi yang Sering Ditemui

Adi PrayitnoBagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta /

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Muwardi Surakarta.

Gambar 1. Menunjukkan macam kelainan gigi dan jaringan pendukung gigi tahun 1994