07_207hiperreaktivitas bronkus pada penyakit paru obstruktif kronik

Upload: ayu-rizky-fitriawan-ayu

Post on 09-Mar-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pdf

TRANSCRIPT

  • 579CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    PENDAHULUANPenyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian dan keterbatasan aktivitas tersering di dunia. Pada tahun 1990 angka kematian akibat PPOK di dunia adalah 2,2 juta dan diperkirakan meningkat menjadi 4,7 juta pada tahun 2020.1,2

    Data dari Amerika, didapatkan PPOK sebagai penyebab kematian keempat, lebih dari 20 juta orang menderita PPOK, lebih dari 1,5 juta kunjungan ke IGD setiap tahun, 726 ribu kasus harus dirawat, 120 ribu pasien meninggal dan lebih dari 32 milyar dollar Amerika dihabiskan tiap tahun.3

    Global Initiative on Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) menyebutkan PPOK sebagai penyakit paru yang mempunyai karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan bersifat progresif ini disebabkan infl amasi kronik akibat

    Alamat korespondensi email: [email protected]

    pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam waktu lama dengan gejala utama sesak napas, batuk dan produksi sputum.4,5 American Thoracic Society (ATS) menyebutkan bahwa PPOK merupakan penyakit ditandai dengan obstruksi saluran napas progresif pada bronkitis kronik atau emfi sema dapat disertai hiperreaktivitas saluran napas.6

    Penyakit Paru Obstruktif Kronik ditandai de-ngan penurunan nilai Volume Ekspirasi Paksa pada detik pertama (VEP1) yang ireversibel, peningkatan sesak napas atau tanda respirasi lain, penurunan status kesehatan yang progresif dan dihubungkan dengan respons infl amasi paru yang abnormal terhadap partikel gas yang merusak terutama asap rokok. Faktor risiko lain yang berhubungan dengan perkembangan PPOK adalah pekerjaan, status sosial ekonomi rendah, diet dan pajanan lingkungan pada fase awal kehidupan.7,8

    PPOK adalah proses khas akibat bronkitis kronik dan emfi sema yang menimbulkan obstruksi saluran napas. Obstruksi saluran napas tidak selalu terdapat pada tahap perjalanan penyakit. Sebagian penderita dengan penyakit dasar yang sulit ditentukan seperti asma, bronkitis kronik atau emfi sema, menunjukkan obstruksi saluran napas reversibel dengan batuk kronik produktif.

    Gejala klinis PPOK adalah sesak napas selama aktivitas dan hilang selama istirahat yang menunjukkan perburukan penyakit. Pada autopsi saluran napas penderita PPOK menunjukkan gambaran infl amasi kronik disertai pelebaran alveolus dan destruksi dinding alveolus.9

    Pemeriksaan faal paru berguna untuk membantu diagnosis, melihat perkembangan dan perjalanan penyakit serta menentukan prognosis penyakit. Pada dewasa normal usia

    Hiperreaktivitas Bronkus pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik

    Dian WisnuwardhaniPPDS I Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

    RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia

    ABSTRAKHiperreaktivitas bronkus adalah penyempitan saluran napas akibat rangsangan spesifi k atau nonspesifi k pada orang-orang yang sensitif dengan manifestasi klinis berupa batuk, sesak, atau mengi akibat meningkatnya kepekaan bronkus dan dapat dideteksi dengan menggunakan metakolin ataupun histamin challenge test. Hiperreaktivitas bronkus biasanya ditemukan pada asma namun dapat juga ditemukan pada hay fever, fi brosis kistik, bronkiektasis, infl uenza, infeksi saluran napas, dan bekas tuberkulosis paru ataupun PPOK. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah kondisi yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan bersifat progresif disertai infl amasi abnormal paru terhadap gas toksik. Hiperreaktivitas bronkus ditemukan pada sekitar 11-45% pasien PPOK. Hingga saat in, mekanisme terjadinya hipereaktivitas bronkus pada PPOK masih belum diketahui dengan jelas.

    Kata kunci: hiperreaktivitas bronkus, PPOK, uji provokasi

    ABSTRACTBronchial hypereactivity is defi ned as narrowing of the airways in sensitive individuals due to specifi c or non specifi c agents and manifest as cough, dyspnea, or wheeezing, and could be detected by metacholine or histamine challenge test. This condition commonlly found in asthma but also could be detected in hay fever, cystic fi brosis, bronchiectasis, infl uenza, respiratory tract infection , post tuberculosis or even COPD. COPD is defi ned as limitation of airways fl ows and partially irreversible and progressive with abnormal infl ammation. 11 to 45% of COPD patients were detected to have airway hyperreactivity. The mechanism underlying this condition in COPD are still unknown. Dian Wisnuwardhani, Jamal Zaini, Faisal Yunus. Bronchial Hyperreactivity in Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

    Key words: bronchial hyperreactivity, COPD, provocation test

  • CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013580

    TINJAUAN PUSTAKA

    20-60 tahun, VEP1 akan menurun sekitar 28 ml setiap tahun dan pada penderita PPOK terjadi penurunan VEP1 sekitar 80 mL setiap tahun. Penelitian terhadap 19 penderita PPOK di RS Persahabatan menunjukkan penurunan VEP1 rata-rata 52 mL pertahun. Setiap terjadi eksaserbasi akut maka akan terjadi perburukan penurunan nilai faal paru, setelah fase ini membaik, nilai faal paru tidak pernah kembali ke nilai awal karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat agar eksaserbasi akut dapat dicegah dan harus diatasi segera supaya fase ini berlangsung sesingkat mungkin mengingat semakin lama fase ini berlangsung semakin buruk faal paru penderita. Hadiarto meneliti

    30 penderita PPOK dibagi atas kelompok teratur berobat dan tidak teratur berobat selama 5 tahun. Pada kelompok yang teratur berobat, penurunan VEP1 rata-rata per tahun hanya sebesar 42,53 mL, sedangkan pada kelompok yang tidak teratur berobat penurunan VEP1 pertahun sebesar 86,90 mL. Kedua nilai ini menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik.9

    HIPERREAKTIVITAS BRONKUS Defi nisiHiperreaktivitas bronkus adalah penyempitan saluran napas akibat rangsangan spesifi k atau nonspesifi k pada orang-orang yang sensitif dengan manifestasi klinik berupa batuk,

    sesak atau mengi.10-12 Pada kepustakaan lain, disebutkan bahwa hiperreaktivitas bronkus adalah peningkatan kepekaan bronkus sehingga menimbulkan penyempitan saluran napas akibat berbagai rangsangan berupa bahan kimia, SO2, asap rokok, perubahan suhu, dan beban kerja.9

    Hiperreaktivitas secara klinis menggambarkan derajat obstruksi bronkus pada pasien yang mendapatkan agen percobaan. Pada orang normal, dosis agen yang sesuai tidak menimbulkan respons.8 Hiperreaktivitas bronkus terjadi akibat interaksi berbagai faktor yaitu peran sel infl amasi, mediator infl amasi, kerusakan epitel, kebocoran mikrovaskular dan peranan saraf sensoris. Hiperreaktivitas bronkus dapat ditemukan pada penyakit asma bronkial, hay fever, fi brosis kistik, bronkiektasis, PPOK, infl uenza, infeksi saluran napas, dan bekas tuberkulosis paru.10,11

    MekanismeHiperreaktivitas bronkus merupakan fenomena multifaktorial. Komponen yang bekerja pada hiperreaktivitas bronkus dapat berupa komponen endogen maupun eksogen. Komponen endogen terdapat seumur hidup dan kemungkinan bersifat genetik, misalnya pada pasangan kembar identik, sedangkan komponen eksogen merupakan rangsangan dari luar, seperti alergen, infeksi, obat, bahan kimia, dan rokok. Mekanisme dasar hiperreaktivitas bronkus diduga akibat9: Kontraktilitas otot polos saluran napas Gangguan pengaturan autonom saluran napas Peningkatan berbagai rangsang pada otot saluran napas.

    Kelainan yang mendasari timbulnya konstriksi otot polos saluran napas pada hiperreaktivitas bronkus dapat dibagi atas perubahan otot polos dan pengaturan saraf autonom.12 Pada otot polos saluran napas, terjadi hipertrofi dan hiperplasia karena penambahan jaringan otot yang menyebabkan tegangan lebih besar sehingga saluran napas akan semakin sempit dan menambah hiperreaktivitas bronkus. Persarafan autonom saluran napas manusia meliputi reseptor kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik. Pemberian obat perangsang saraf kolinergik atau parasimpatis, alfa adrenergik, dan agonis muskarinik dapat menyebabkan kontraksi otot polos.9,13

    Tabel 1 Penyebab konstriksi otot polos saluran napas pada hiperreaktivitas bronkus9,15

    Perubahan Jenis

    Otot polos saluran napas

    Pengaturan saraf autonom

    a. Bertambahnya massa ototb. Peningkatan kontraktilitas

    a. Peningkatan aktivitas parasimpatik b. Peningkatan aktivitas alfa atau penurunan aktivitas beta adrenergikc. Peningkatan aktivitas nonadrenergik

    Tabel 2 Beberapa faktor yang mempengaruhi hiperreaktivitas bronkus9

    Faktor Interval waktu yang dianjurkan sebelum dilakukan uji hiperreaktivitas bronkus

    Infeksi saluran napasVaksinasi infl uenzaPajanan antigen (respons lambat)Occupational sensitizersPerokokObat-obat oral

    Agonis 2-adrenergik Teofi lin Antihistamin Bronkodilator inhalasi

    17 minggu3 minggu1-6 mingguBeberapa bulan2 jam

    12 jam12-48 jam48 jam4-12 jam

    Gambar 1 Mekanisme kontraksi otot polos14

  • 581CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    Proses infl amasi berperan penting pada hiperreaktivitas bronkus. Diduga terdapat keterlibatan sel infl amasi, berbagai mediator dan saraf. Sel mast berperan pada respons tipe cepat terhadap alergen sedangkan eosinofi l dan makrofag pada respons tipe lambat. Pelepasan Major Basic Protein (MBP) oleh sel eosinofi l mengakibatkan kerusakan epitel. Zat ini memiliki efek toksik terhadap sel epitel sementara limfosit melepas limfokin (interleukin-5) yang berperan terhadap infl amasi. Sel alveolar melepas mediator-mediator tromboksan, prostaglandin dan Platelet Activating Factor (PAF). 9 Mediator histamin, prostaglandin dan leukotrien menimbulkan kontraksi otot polos saluran napas, kebocoran mikrovaskuler, menarik dan mengaktifkan sel-sel infl amasi serta melepas berbagai mediator sekunder. Mediator PAF meningkatkan hiperreaktivitas bronkus, dibentuk dari fosfolipase A2 pada membran fosfolipid dan menyebabkan bronkokonstriksi. Selain itu, PAF dihasilkan oleh sel-sel infl amasi, makrofag, eosinofi l, dan neutrofi l.13

    Hiperreaktivitas bronkus dapat disebabkan oleh gangguan pengendalian saraf autonom. Neuropeptida merupakan neurotransmiter pada saraf. Pada saluran napas dikenal neuropeptida substansi P, neurokinin, dan Calcitonin Gene Reaktane Peptide (CGRP) yang dilepas melalui refl eks akson. Neurokinin A menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan substansi P menyebabkan kebocoran mikrovaskuler dan sekresi mukus sementara CGRP menyebabkan bronkokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah bronkial. Neuropeptida tersebut meningkatkan respons infl amasi saluran napas. Kebocoran mikrovaskuler akibat mediator infl amasi menyebabkan13: Edema saluran napas sehingga meningkatkan hiperreaktivitas bronkus. Penebalan submukosa dan meningkatkan resistensi saluran napas. Kontraksi otot polos saluran napas.

    Tabel 2 memperlihatkan beberapa faktor yang mempengaruhi hiperreaktivitas bronkus dan informasi waktu yang dianjurkan sebelum dilakukan uji hiperreaktivitas bronkus.

    Gambar 1 menunjukkan mekanisme imun yang terlibat dalam hiperreaktivitas bronkus. Alergen menginduksi hiperreaktivitas

    spesifi k yang didominasi oleh mediator IgE dan tergantung pada sel mast. Metakolin menginduksi hiperreaktivitas nonspesifi k tanpa tergantung IgE. Pajanan asap rokok dapat menunjukkan peningkatan kadar IgE. Karena itu, hiperreaktivitas bronkus pada PPOK dapat merupakan kombinasi efek bergantung IgE dan tidak bergantung IgE.14

    KekerapanHiperreaktivitas bronkus terhadap histamin atau metakolin pada populasi umum ditemukan sebesar 16-30% pada anak dan sebesar 10-15% pada dewasa. Prevalensi setara juga dilaporkan pada 14% individu dengan hiperreaktivitas bronkus terhadap larutan garam hipertonik dan 16% individu terhadap inhalasi udara dingin dan terdapat hubungan positif antara gejala asma dengan hiperreaktivitas terhadap larutan garam hipertonik.15,16 Beberapa penelitian pada pertengahan tahun 1980 telah mendapatkan data bahwa hiperreaktivitas bronkus terjadi 40-53% pada penderita asma dengan zat rangsang berbeda.15 Pada penelitian terhadap anak dengan asma, didapatkan prevalensi tinggi hiperreaktivitas bronkus terhadap beban kerja.17

    Beberapa penelitian menemukan terdapat hubungan antara hiperreaktivitas bronkus

    dengan jenis kelamin dan usia walaupun hubungan ini belum dapat dijelaskan.15

    Hiperreaktivitas bronkus lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki dan pada orang dewasa dengan prevalensi sebesar 29-43%. Hal ini masih menjadi perdebatan karena Trigg dkk. menemukan hubungan negatif antara hipereaktivi bronkus dengan usia maupun fungsi dasar paru.18 Prevalensi hiperreaktivitas bronkus pada perokok didapatkan sebesar 30-40% dan pada bekas perokok tanpa obstruksi saluran napas sebesar 18-25%.14,15,18 Hubungan rokok dengan hiperreaktivitas bronkus kurang bermakna apabila dibandingkan dengan diameter saluran napas dan status atopi walaupun pada penelitian lain didapatkan pajanan terhadap asap rokok memiliki kaitan sangat erat dengan gejala klinik hiperreaktivitas bronkus pada individu.19 Hiperreaktivitas bronkus juga ditemukan pada 30% petugas pemadam kebakaran, keadaan ini dihubungkan dengan inhalasi debu anorganik.14,15

    Uji Provokasi BronkusUji provokasi bronkus saat ini banyak dipakai untuk menentukan hiperreaktivitas bronkus pada penelitian penyakit paru. Berbagai bahan dapat dipakai untuk uji provokasi bronkus yaitu bahan non alergen dan alergen.

    Gambar 2 Hubungan antara perubahan VEP1 selama 5 tahun dengan respons terhadap metakolin19

    ---------- Individu dengan obstruksi saluran napas minimal.

    ________ Individu dengan obstruksi saluran napas ringan.

    ..................... Individu dengan obstruksi saluran napas sedang.

  • CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013582

    TINJAUAN PUSTAKA

    1. Bahan nonalergen meliputi bahan tidak spesifi k yang dapat menimbulkan konstriksi otot polos saluran napas, seperti terlihat pada tabel 3. Bahan nonalergen dikelompokkan menjadi agonis kolinergik, vasoaktif amina, vasoaktif peptida, metabolit asam arakhidonat, dan bahan alami.

    Tabel 3 Bahan nonalergen penyebab konstriksi otot polos

    saluran napas12

    Jenis Bahan

    Agonis kolinergik

    Vasoaktif amina

    Vasoaktif peptidaMetabolit asam arakhidonat

    Bahan alami

    MetakolinMetilkolinKarbakolHistaminSerotoninBradikininProstaglandin F2 alfaLeukotrienDebu, latihan, uap dingin, hipoventilasi

    2. Bahan alergen meliputi rangsang spesifi k seperti alergen, bahan kimia, yang hanya sensitif terhadap individu tertentu.

    Uji provokasi bronkus dengan inhalasi histamin dan metakolin memiliki kelebihan yaitu sederhana, reproduksibel, mudah diikuti oleh subjek yang belum terlatih, hasilnya dapat membedakan kelainan atau normal dan dipakai secara luas. Zat provokasi yang biasa digunakan adalah histamin atau metakolin. Bahan-bahan lain yang dapat digunakan untuk uji provokasi adalah adenosin, serotonin, bradikinin, prostaglandin D dan F 2, leukotrien, penghambat beta adrenergik, udara dingin, hiperventilasi udara kering, dan stimulus hiperosmolar atau hipoosmolar. Cara pemberian inhalasi histamin dapat dipakai menurut Chai, Cockroft, atau Takishima. Cara Cockroft dan Takishima sering digunakan di RS Persahabatan dan kedua cara ini memperlihatkan korelasi yang linear.13

    Pengukuran derajat hiperreaktivitas bronkus harus dilakukan secara kuantitatif karena hiperreaktivitas bronkus terjadi pada hampir semua penderita asma dan non asma apabila diberikan rangsangan yang cukup kuat.9

    Terdapat beberapa uji provokasi bronkus berdasarkan jenis dan cara pemberian rangsangan. Secara umum, ada 3 macam uji provokasi bronkus13:1. Uji provokasi dengan beban kerja (exercise).

    2. Uji provokasi dengan hiperventilasi isokapnik udara dingin.3. Uji provokasi inhalasi dengan alergen, histamin, metakolin, dan prostaglandin F 2.

    Uji Provokasi InhalasiUji ini dilakukan dengan pemberian rangsangan berupa antigen spesifi k (alergen) atau non spesifi k (histamin, metakolin, prostaglandin F 2) dalam bentuk aerosol. 9

    a. Indikasi Berdasarkan antigen:1. Menjelaskan peranan alergen spesifi k pada asma, terutama bila kriteria diagnostik lain tidak adekuat.2. Alat pembanding dengan uji lain, seperti dengan uji kulit dan pemeriksaan laboratorium.3. Jika uji kulit tidak dapat dilakukan seperti pada penyakit kulit yang luas dan luka bakar.4. Evaluasi efek obat imunologis.5. Evaluasi alergen baru atau alergen tidak dikenal yang dianggap mempunyai peranan dalam penyakit asma.6. Evaluasi efek obat penghambat kerja antigen.7. Meyakinkan pasien tentang hubungan sebab akibat.

    Indikasi pemakaian metakolin, karbakol dan histamin antara lain:1. Mengidentifi kasi penderita hiperreaktivitas bronkus tanpa melihat sebab.2. Mengukur besar hiperreaktivitas bronkus.15

    b. Kontraindikasi 1. Pasien tidak stabil atau bereaksi dengan zat pelarut.2. Pasien dengan eksaserbasi asma.3. Pasien infeksi saluran napas atau infeksi lain.4. Pasien dengan faal paru rendah.

    Uji Provokasi Inhalasi dengan Histamin dan MetakolinUji provokasi inhalasi dengan histamin dan metakolin dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis. Faktor teknis berhubungan dengan cara pembentukan aerosol, cara inhalasi, pembuatan, penyimpanan zat bronkokonstriktor, cara mengukur serta menyajikan hasil. Faktor nonteknis meliputi pengaruh obat, infeksi, dan pajanan alergen.

    Hasil uji provokasi inhalasi dinilai dengan

    mengukur besar atau derajat hiperreaktivitas bronkus, secara langsung maupun tidak langsung. Penilaian yang paling tepat adalah secara langsung, yaitu dengan melihat perubahan diameter saluran napas, namun cara ini sukar dan invasif. Pengukuran secara tidak langsung dilakukan dengan melihat perubahan nilai faal paru dengan menggunakan parameter VEP1 dan konduktan saluran napas spesifi k.13

    Volume Ekspirasi Paksa pada detik pertama dinilai sebelum pemeriksaan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan reproduksibilitas, kemudian diukur kembali pada dan 1 menit setelah inhalasi suatu konsentrasi. Inhalasi diteruskan sampai nilai VEP1 berkurang 20% atau lebih di bawah nilai VEP1 sesudah inhalasi garam faal atau sampai konsentrasi zat tertinggi selesai diinhalasi. Hasil penilaian dinyatakan dengan istilah PC20, yaitu konsentrasi zat yang menyebabkan penurunan VEP1 sebesar 20% atau logaritma konsentrasi zat tersebut, yaitu PD20.

    9

    Reaktivitas metakolin berhubungan dengan rata-rata perubahan VEP1 pasca bronkodilator selama 5 tahun pada individu perokok baik dengan obstruksi saluran napas minimal, ringan dan sedang pada sebuah studi kesehatan paru. Perokok dengan saluran napas paling reaktif memiliki penurunan VEP1 tahunan paling besar. Hubungan ini tampak paling kuat pada individu obstruksi saluran napas paling berat pada awal studi.19

    Teknik uji provokasi bronkus yang dilakukan oleh Takishima menggunakan pengukuran kenaikan tahanan saluran napas (Respiratory resistance/Rrs) sebagai parameter hiperreaktivitas bronkus. Pasien diinhalasi zat pencetus secara terus-menerus dengan penambahan konsentrasi bertahap dan Rrs diukur sejalan dengan penambahan konsentrasi tersebut. Pada konsentrasi ambang zat pencetus, Rrs mulai meningkat yang menyebabkan sensitivitas bronkus, terus bertambah sehingga didapatkan grafi k pada monitor dan diukur dengan metode osilasi paksa. Teknik osilasi paksa merupakan alternatif pemeriksaan fungsi paru yang memiliki keunggulan yaitu noninvasif dan tidak tergantung teknik manuver sehingga dapat digunakan cukup mudah. Kelemahannya bila subjek tidak dapat menggunakan tabung yang dihubungkan ke mulut dengan baik

  • 583CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    sehingga terjadi kebocoran melalui mulut selama bernapas dan pada anak yang tidak dapat melakukan pernapasan biasa secara konstan selama pemeriksaan. Pemeriksaan menggunakan teknik osilasi paksa dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan tingkat keamanan, akurasi, dan reproduksibilitas yang cukup baik pada uji respons bronkodilator.17

    Berbagai penelitian menunjukkan perbedaan angka kenaikan tahanan saluran napas sesuai dengan penurunan 20% VEP1 dan nilai PC20 yang menyatakan kepositifan hiperreaktivitas bronkus. Terdapat kesulitan dalam menentukan kapan prosedur uji provokasi bronkus yang menggunakan parameter kenaikan Rrs (Takishima) pada penderita dengan hiperreaktivitas bronkus dihentikan.17 Hiperreaktivitas bronkus dianggap positif bila ditemukan PC20

  • CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013584

    TINJAUAN PUSTAKA

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Pauwels RA, Buist AS, Calverly PM, Jenkins CR, Hurd SS. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care

    Med. 2001;163:1256-76.

    2. Zielinski J, Bednarek M, Gorecka D, Viegia G, Hud SS, Fukuchi Y, et al. Increasing COPD awareness. Eur Respir J. 2006;27:833-52.

    3. Pavord I, Pizzichini M, Pizzichini E, Hargreave F. The use of induced sputum to investigate airway infl ammation. Thorax. 1997;52:498-501.

    4. World Health Organization workshop report. Global initiative on chronic obstructive lung disease. Geneva: WHO; 2001. p. 6.

    5. American Thoracic Society Statement. Standards for the diagnosis and care of patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 1995;152:S78-119.

    6. Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Abdullah A, Widjaja A, Surjanto E, dkk. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru

    Indonesia; 2004. p. vii.

    7. Anto JM, Vermeire P, Vestbo J, Sunyer J. Epidemiology of chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J. 2001;17:982-94.

    8. Nadel JA, Pauwels R, Snashal PD. Bronchial hiperresponsiveness. Blackwell Scientifi c Publications; 1987. p. 8-9.

    9. Soeratman E. Efek inhalasi beklometason dipropionat terhadap hipereaktivitas bronkus pada PPOK. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI; 1992. p. 11-53.

    10. National Institute of Health. Defi nition. In: Global strategy for asthma management and prevention. Bethesda: National Institute of Health; 2002. p. 29.

    11. American Thoracic Society. Guidelines for methacoline and exercise challenge Ujiting1999. Am J Respir Crit Care Med. 2000;161:309-29.

    12. Kusumosutoyo D. Patogenesis asma. In: Mangunnegoro H, Yunus F, Kusumosutoyo D, editors. Asma patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan. Jakarta; 1995. p. 1-21.

    13. Wirjokusumo R. Pola reaktivitas bronkus pada penderita penyakit obstruksi saluran napas. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI; 1989. p. 10-40.

    14. Grootendorst DC., Rabe KF. Mechanisms of bronchial hyperreactivity in asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc. 2004;1:77-87.

    15. Wiyono WH, Yunus F, Syaifuddin T, Mangunnegoro H. Perbandingan pengukuran hipereaktivitas bronkus antara PCO2 dengan peningkatan tahanan saluran napas. MKI. 1990;40:560-4.

    16. Muhapril E, Yunus F, Wiyono WH, Rasmin M. Tahanan saluran napas sebagai parameter uji diagnostik hipereaktivitas bronkus. Jakarta; 2007. p. 1-10.

    17. Cuttitta G, Cibella F, Bellia V, Grassi V, Cossi S, Bucchieri S, Bonsignore G. Changes in FVC during methacholine-induced bronchoconstriction in elderly patients with asthma: Bronchial

    hyperresponsiveness and aging. Chest. 2001;119:1685-90.

    18. Busquets RM, Anto JM, Sunyer J, Sancho N, Vall O. Prevalence of asthma-related symptoms and bronchial responsiveness to exercise in children aged 13-14 yrs in Barcelona, Spain. Eur

    Respir J. 1996;9:2094-8.

    19. Verhoeven GT, Hegmans JPJJ, Mulder PGH, Bogaard JM, Hoogsteden HC, Prins JB. Eff ects of fl uticasone propionate in COPD patients with bronchial hyperresponsiveness. Thorax.

    2002;57:694-700.

    20. Verma VK, Cockcroft DW, Dosman JA. Airway responsiveness to inhaled histamine in chronic obstructive airways disease. Chronic bronchitis vs emphysema. Chest. 1988;94:457-61.

    21. Gerbase MW, Schindler C, Zellweger JP, Knzli N, Downs SH, Brndli O, et al. Respiratory eff ects of environmental tobacco exposure are enhanced by bronchial hyperreactivity. Am J

    Respiratory and Critical Care Medicine. 2006;174:1125-31.

    22. Ramsdell JW, Nachtwey FJ, Moser KM. Bronchial hyperreactivity in chronic obstructive bronchitis. Am Rev Respir Dis. 1982;126:829-32.

    23. Willemse BWM, Hacken NHT, Rutgers B, Lesman-Leegte IGAT, Timens W, Postma DS. Smoking cessation improves both direct and indirect airway hyperresponsiveness in COPD. Eur Respir

    J. 2004;24:391-6.

    24. Ramsdale EH, Morris MM, Roberts RS, Hargreave FE. Bronchial responsiveness to methacholine in chronic bronchitis: Relationship to airfl ow obstruction and cold air responsiveness.

    Thorax. 1984;39:912-8.

    25. Scichilone N, Messina M, Battaglia S, Catalano F, Bellia V. Airway hyperresponsiveness in the elderly: Prevalence and clinical implications. Eur Respir J. 2005;25:364-75.