06_pengukuranklirensginjalobat

Upload: may-asyari

Post on 12-Jul-2015

44 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pengukuran Klirens Ginjal ObatDra Sri Suryawati AptBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

PENDAHULUAN Dalam menentukan dosis obat suatu individu, seringkali perhatian khusus perlu diberikan, sehubungan dengan kemampuan tubuh individu untuk mengeliminasi obat yang diberikan. Ini dapat dijumpai misalnya pada individu dengan usia lanjut, bayi, kelainan fungsi alat-alat eliminasi, atau karena terjadi interaksi dengan obat lain sehingga eliminasinya terhambat l-2 Untuk mengetahui kemampuan tubuh mengeliminasi obat tertentu, pengukuran parameter -parameter kinetika eliminasi merupakan metoda yang telah banyak dikenal dan dipergunakan. Pengukuran parameter - parameter ini meliputi kecepatan eliminasi (kel), waktu paro biologik (t0,5) dan klirens tubuh total (Cl) yang memerlukan pengambilan sampel darah secara serial selama waktu tertentu. Tentu saja ini merupakan metode yang rumit dan kurang menyenangkan bagi pasien. Untuk obat-obat tertentu, terutama yang mengalami eliminasi dengan cara ekskresi melalui ginjal, dengan mengukur nilai klirens ginjal kita telah mendapatkan gambaran kemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat tersebut. Ini berdasarkan asumsi bahwa :Cl total= Cl renal + Cl nonrenal

Cl r = Q r x Er (volume/unit waktu), sedangkan E r adalah selisih kadar obat dalam plasma arteri dan vena per kadar obat dalam plasma arteri, atau

Dapat dikatakan pula, sebenarnya nilai klirens ginjal tersebut merupakan tetapan yang menggambarkan hubungan antara kecepatan ekskresi obat pada waktu t (= dAe/dt) dengan konsentrasi obat dalam plasma Dada waktu t (= C). atau

Apabila ekskresi ginjal merupakan cara eliminasi utama untuk suatu obat, maka :Cl total = Cl renal

Klirens ginjal suatu obat didefinisikan sebagai volume darah yang dapat dibersihkan dari obat tersebut oleh ginjal per satuan waktu, sehingga sebenarnya nilai klirens ginjal ini merupakan suatu ukuran yang menggambarkan kemampuan ginjal untuk membersihkan obat dari tubuh. Secara lebih sederhana klirens ginjal dapat didefinisikan, dalam hubungannya dengan pembuangan obat melalui ginjal, sebagai hasil dari kecepatan aliran darah ginjal (Q r ) dan extraction ratio ginjal (E r );Disajikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simposium Farmakokinetla Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.

Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya klirens ginjal merupakan hasil dari proses -proses filtrasi glomeruler dan sekresi maupun reabsorpsi di sepanjang tubuli renis. Banyak manfaat yang dapat diambil dari pengukuran kadar obat dalam urin. Keterbatasan kemampuan ekskresi ginjal suatu obat misalnya, dapat diketahui dari nilai klirens ginjal yang terukur setelah pemberian dosis bertingkat. Manfaat yang sangat besar dalam hubungannya dengan terapi obat itu untuk mengetahui kemampuan tubuh mengeliminasi obat yang diberikan, bila obat tersebut dieliminasi terutama dengan ekskresi ginjal. Untuk obat-obat ini, perubahan kemampuan ekskresi ginjal akan memberikan akibat yang nyata pada efek farmakologiknya. Selain itu, pengukuran klirens ginjal juga bermanfaat untuk kepentingan monitoring terapi obat, terutama pada keadaan-keadaan dimana overdosis perlu dicurigai, mengingat :

dimana t0,5 adalah waktu paro obat, kel adalah tetapan kecepatan eliminasi, dan k r adalah tetapan kecepatan ekskresiCermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 21

ginjal. Selain hal di atas, untuk obat-obat yang eliminasi utamanya adalah ekskresi ginjal ini, pengukuran jumlah obat dalam urin dapat memberikan gambaran kemampuan absorpsinya tanpa harus memberikan obat secara intravenosa. MEKANISME EKSKRESI Ekskresi obat melalui ginjal dipengaruhi oleh sifat-sifat fisiko-kimia obat, ikatan dengan protein plasma dan faal ginjal. Nefron merupakan unit utama fungsi ginjal, terdiri atas glomerulus, tubulus proksimalis, ansa Henle, tubulus distalis dan duktus kolektikus. Glomerulus menyaring darah dan filtrat mengalir ke tubulus. Hampir semua air dari filtrat direabsorpsi, dan hanya 12 ml/menit saja yang menjadi urin. Sementara itu terjadi pula sekresi dan reabsorpsi di sepanjang tubuli proksimalis dan distalis. Jumlah obat yang diekskresi ke dalam urin merupakan hasil filtrasi, sekresi dan reabsorpsi. Filtrasi dan sekresi memperbesar jumlah obat, sedangkan reabsorpsi mengurangi. Dengan kata lain :

Sekresi aktif Filtrasi berlangsung terus. Sekresi dapat diketahui bila ternyata kecepatan ekskresi melebihi kecepatan filtrasi obat. Mengingat persamaan :

sehingga

maka terlihat, apabila nilai klirens ginjal ternyata melebihi klirens yang disebabkan filtrasi, tentu terjadi pula sekresi. Mungkin pula terjadi reabsorpsi, namun lebih kecil daripada sekresinya. Reabsorpsi Reabsorpsi diduga pasti terjadi, apabila klirens ginjal yang terukur ternyata nilainya lebih kecil daripada klirens yang disebabkan filtrasi glomeruler (yang ditunjukkan dengan nilai klirens kreatinin). Mungkin pula berlangsung sekresi aktif, namun besarnya tidak melebihi reabsorpsi. Reabsorpsi dapat bervariasi dari nol sampai sempurna. Reabsorpsi aktif terjadi pada beberapa senyawa endogen misalnya vitamin -vitamin, elektrolit, glukosa dan asam-asam amino, namun untuk kebanyakan obat reabsorpsi berlangsung secara pasif. Derajat reabsorpsi tergantung pada sifat-sifat obat, misalnya polaritas, derajat ionisasi dan berat molekulnya. Obat-obat yang sangat lipofilik akan mengalami reabsorpsi sempurna. Reabsorpsi dipengaruhi pula oleh faktor - faktor fisiologik seperti misalnya pH dan kecepatan pembentukan urin. PENGUKURAN KLIRENS GINJAL Untuk mengukur klirens ginjal suatu obat, dikenal dua metode dengan kelebihan dan kelemahan masing - masing. Dasar ke dua metode ini adalah pengertian yang telah dijelaskan di muka, hahwa :

Filtrasi giomeruler Kira-kira 25% volume semenit jantung, yaitu 1,2 1,5 liter darah permenit, mengalir ke ginjal. Sepuluh persen dari jumlah tersebut difiltrasi di glomerulus. Hanya obat dalam bentuk bebas yang terfiltrasi. Molekul obat yang terikat pada makromolekul atau sel-sel darah tak dapat melalui membran glomeruler. Dengan demikian filtrat mengandung obat dengan kadar yang identik dengan kadarnya di cairan plasma, yaitu fraksi obat yang bebas (= Cb). Kecepatan filtrasi pada orang dewasa normal adalah sebesar kira-kira 125 ml/menit, dan disebut sebagai kecepatan filtrasi glomeruler atau GFR (glomenilar filtration rate), sehingga :

Mengingat hanya obat dalam bentuk bebas yang dapat terfiltrasi, dan fraksi obat yang bebas sebesar f b , maka : kecepatan filtrasi = fb x GFR x C C adalah kadar obat di dalam darah. Bila ekskresi obat ke dalam urin terutama dengan menggunakan cara filtrasi glomeruler, dan mengingat bahwa

Metode I Karena tidak mungkin untuk mengukur kecepatan ekskresi obat ke dalam urin pada waktu sesaat, persamaan di atas dijabarkan menjadi :

dianggap bahwa kecepatan ekskresi ginjal sama dengan k.ecenatan filtrasi. sehingga :

yaitu berdasarkan pengukuran yang dilakukan dalam interval waktu tertentu. A Ae/ A t adalah kecepatan ekskresi ginjal obat yang diukur selama A t, dan Cmid adalah konsentrasi obat dalam plasma pathpertengahan interval waktu tersebut.

Kreatinin, suatu senyawa endogen dan inulin, suatu polisakarida eksogen, tidak terikat pada protein plasma dan tidak mengalami sekresi maupun reabsorpsi. Dikatakan bahwa jumlah yang terfiltrasi, seluruhnya berada dalam urin sehingga nilai klirens ginjal kedua obat ini dapat digunakan untuk mengukur besarnya kecepatan filtrasi glomeruler.22 Cumin Dunia Kedokteran No. 37 1985

A Ae/ A t dapat dihitung dari : A Ae/ A t = sehingga :

Q u x Cu

Q u adalah kecepatan pembentukan win dalam interval waktu tertentu dan Cu adalah kadar obat (dalam bentuk babas) dalam sampel win tersebut.

Nampaknya metode ini sangat sederhana dan praktis untuk dilaksanakan, namun sebenarnya banyak hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada pelaksanaannya. Penyimpangan hasil pengukuran klirens ginjal dapat terjadi misalnya pada pengambilan sampel. Pada pengambilan sampel darah misalnya, idealnya diambil dari arteri 4 . Penggunaan darah venosa perifer akan memberikan kadar obat yang lebih rendah daripada arteri, sehingga nilai klirens yang terukur lebih besar. Namun tentunya sangat sulit untuk mengambil sampel darah arteri sehingga umumnya digunakan darah venosa perifer. Kesulitan lain yaitu dalam mengumpulkan urin, terutama bila tidak menggunakan kateter. Untuk melancarkan produksi urin, dapat diberikan minum air putih 400 ml 12 jam sebelum minum obat, 200 ml pada waktu minum obat dan diteruskan dengan 200 ml tiap 1 jam. Perhatian khusus perlu diberikan pada penentuan interval pengambilan sampel urin, karena tergantung pada sifat-sifat farmakokinetika masing-masing obat. Pengambilan sampel urin dilakukan pada fase eliminasi (pada model satu kompartemen), atau fase terminal (pada model dua kompartemen). Pengukuran klirens yang dilakukan pada fase absorpsi maupun distribusi akan memberikan hasil yang menyesatkan. Selain hal di atas, lama interval pengumpulan urin juga perlu dipertimbangkan. Bila kecepatan ekskresi obat mengikuti orde 1, interval sepanjang waktu paro obat pun tidak akan memberikan kesalahan yang berarti. Untuk obat-obat yang ekskresi ginjalnya tidak mengikuti orde 1, kesalahan pengukuran dapat diperkecil dengan cara memperpendek interval pengumpulan urin. Namun perlu diperhatikan bahwa interval di bawah 0,5 jam akan memberikan hasil yang kurang tepat. Metode II Telah diterangkan di muka, metode ini berdasarkan penger __ tian bahwa Cl r = dA dt, maka pada waktu 0 sampai t C

urin yang terlewatkan, tetapi mudah dikerjakan karena tidak direpotkan dengan kesalahan-kesalahan misalnya karena pengosongan kandung kencing yang tidak sempurna, kurang tepatnya interval dan lain-lain yang kadang-kadang sulit untuk diatasi. Analisis kadar obat dalam urin Ketepatan pengukuran klirens ginjal obat sangat dipengaruhi metode yang digunakan untuk penetapan kadar obat dalam sampel. Perlu diperhatikan pula stabilitas obat tersebut dalam sampel urin maupun plasma, karena seperti telah dikatakan di muka, klirens dihitung berdasarkan kadar obat tak berubah. Metabolit-metabolit yang tidak stabil, misalnya konjugat glukuronida 3 memberikan hasil pengukuran yang kurang tepat. Selain itu diperlukan pula metode analisis yang cukup sensitif untuk membedakan obat dengan metabolitmetabolitnya. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA EKSKRESI GINJAL Hemodinamika ginjal Perubahan kecepatan aliran darah ginjal umumnya akan mempengaruhi proses-proses filtrasi glomeruler, sekresi maupun reabsorpsi tubuler, meskipun perubahan di bawah 10 20% mungkin tidak akan memperlihatkan akibat yang nyata Pengurangan konsumsi natrium mungkin dapat menurunkan aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomeruler, sedang pemberian infus larutan salin dan diuretik osmotik dapat memperbesar aliran darah ginjal dan ekskresi air5 . Tentu saja hal ini akan berpengaruh pada proses reabsorpsi obat. Beberapa obat diketahui dapat menurunkan kecepatan aliran darah ginjal, misalnya propranolol 6 . Dalam gambar 1 terlihat bahwa pemberian propranolol 1 jam sebelumnya, menyebabkan turunnya nilai klirens kreatinin dari 70,9 ( SEM 5.3) ml/menit menjadi 58,6 ( SEM 3.4) ml/menit. Untuk obat-obat yang ekskresinya tergantung pada kecepatan aliran darah ginjal, seperti misalnya salisilat dosis tinggi, penurunan kecepatan aliran darah ginjal menyebabkan turunnya nilai klirens ginjal obat tersebut. Pada gambar 2 dapat dilihat, pra pemberian propranolol mengakibatkan menurunnya klirens ginjal salisilat (setelah pemberian aspirin 1000 mg) dari 4,6 ( SEM 0.56) ml/menit menjadi 3,26 ( SEM 0.35) ml/menit 6 . Usia Kemampuan ekskresi ginjal pada umumnya lebih rendah pada bayi dan anak-anak7, dan pada usia lanjut 8 bila dibandingkan dengan orang dewasa normal. Ini disebabkan karena lebih rendahnya kemampuan filtrasi glomeruler pada anakanak dan usia lanjut, ditambah dengan belum sempurnanya sistem sekresi pada bayi baru lahir, meskipun hal ini diimbangi dengan ikatan protein yang lebih rendah dan juga rendahnya kemampuan reabsorpsi 5 . pH urin Untuk obat-obat yang bersifat elektrolit lemah, klirens ginjal sangat dipengaruhi oleh pH urin. Untuk asam lemah misalnya, lingkungan urin yang asam akan mengakibatkan berkurangnya jumlah obat yang diekskresi, karena reabsorpsi tubuli meningkat. Sebaliknya, suatu basa lemah akan mengalami kenaikan ekskresi dalam lingkungan urin yang sama.Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 23

Aet adalah jumlah obat yang telah diekskresi dalam bentuk tetap ke urin sampai waktu t, dan AUC t adalah luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam plasma versus waktu dari 0 sampai t. Pada waktu 0 sampai tak terhingga, maka Ae~ adalah jumlah total obat dalam bentuk tetap yang ditemukan kembali di urin, dan AUCt adalah luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam plasma versus waktu dari 0 sampai tak terhingga. Ae~ dapat dihitung berdasarkan volume urin yang ditampung dari waktu 0 sampai kira-kira 10 kali waktu paro obat, dikalikan kadar obat dalam sampel urin tersebut. Bila semua dosis obat yang diberikan masuk sirkulasi sistemik dan ekskresi ginjal merupakan cara eliminasi utama, maka : Metode pengukuran ini jelas memerlukan waktu yang lebih panjang daripada metode I, dan sedikitpun tidak boleh ada

Dalam gambar 3 dapat dilihat bahwa ekskresi ginjal metamfetamin ternyata lebih banyak pada lingkungan urin asam bila dibandingkar dengan lingkungan alkalis 9 Ikatan dengan protein plasma Seperti telah diterangkan di muka, jumlah obat yang mengalami filtrasi ditentukan oleh besarnya fraksi obat bebas dalam plasma. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa apabila filtrasi glomeruler merupakan mekanisme ekskresi utama, makin besar fraksi obat yang terikat dengan protein plasma, makin kecil nilai klirens ginjalnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan perbedaan nilai klirens ginjal antara sulfadiazin (ikatan protein 40 60%) dan sulfametazin (ikatan protein 8090%) 10 . Pada gambar 4 terlihat bahwa nilai klirens ginjal sulfametazin jauh lebih rendah daripada sulfadiazin. Perlu diperhatikan, selain ikatan protein yang besar pada sulfametazin, obat ini eliminasi utamanya adalah dengan asetilasi. Ketergantungan dosis Pada umumnya, kecepatan ekskresi ginjal suatu obat proporsional dengan kadarnya di dalam plasma, sehingga peningkatan dosis akan menaikkan nilai klirens ginjal. Namun pada beberapa obat, pada dosis tertentu akan mengalami kejenuhan dalam mekanisme ekskresinya, sehingga kenaikan dosis justru akan mengakibatkan menurunnya nilai klirens ginjal. Sebagai contoh adalah salisilat dan sulfadiazin 10 Dalam gambar 5 dapat dilihat bahwa klirens ginjal salisilat lebih rendah pada dosis aspirin 1000 mg dibandingkan dengan dosis aspirin 500 mg. Dalam gambar 6 dapat dilihat pula penurunan klirens ginjal sulfadiazin pada pemberian dosis 1000

Gambar 4. Nilai klirens ginjal sulfametazin dan sulfadiazin setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral (dari : Suryawati & Santoso, 1985 a).

24

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

Gambar 5. Nilai klirens ginjal salisilat setelah pemberian aspirin dosis 500 mg dan 1000 mg per oral. (dari : Suryawati & Santoso, 1985 a).

Gambar 6. Nilai klirens ginjal sulfadiazin setelah pemberian dosis 500 mg dan 1000 mg per oral. (dari : Suryawati & Santoso, 1985 a).

mg dibandingkan dengan dosis 500 mg. Sedangkan pada sulfametazin, kenaikan dosis tidak menyebabkan penurunan nilai klirens ginjal (gambar 7) 10

Kelainan fungsi ginjal Umumnya nilai klirens kreatinin dianggap sebagai ukuran untuk mengetahui fungsi ginjal, meskipun sebenarnya nilai ini hanya menggambarkan kemampuan ultrafiltrasi glomeruler saja. Mengingat bahwa klirens tubuh total merupakan jumlah klirens ginjal dan klirens non ginjal, maka apabila fungsi ginjal menurun : a) Obat-obat yang eliminasi utamanya adalah ekskresi ginjal, kecepatan eliminasi akan berkurang sehingga mengakibatkan memanjangnya waktu paro obat, dan mungkin sekali terjadi akumulasi pada pemberian berulang. b) Obat-obat yang eliminasi utamanya tidak melalui ginjal, penurunan fungsi ginjal tidak akan berpengaruh nyata pada eliminasinya. c) Untuk obat-obat yang dieliminasi dengan kedua cara tersebut, penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan menurunnya kecepatan eliminasi, tergantung seberapa besar ekskresi ginjal berperan.KEPUSTAKAAN1. Breimer DD & Danhof M. Interindividual differences in pharmacokinetics and drug metabolism. Dalam: Breimer DD (ed.). Towards Gambar 7. Nilai klirens ginjal sulfametazin setelah pemberian per oral dosis 500 mg dan 1000 mg. (dari : Suryawati & Santoso, 1985 a). (Bersambung ke halaman 61)

Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985

25