05 memahami beban kerja guru1

14
Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung 1 PEMBERDAYAAN GURU MELALUI VITALISASI BEBAN KERJA Momon Sudarma Abstraksi Upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan dipengaruhi oleh produktivitas dan profesionalisme guru dalam memberikan layanan pendidikan. Oleh karena, beban kerja guru sejatinya diorientasikan sebagai bagian dalam upaya memberdayakan baik bagi guru, lembaga pendidikan, maupun siswa. Pada konteks inilah telaah mengenai beban guru perlu dilakukan. Kata kunci : guru, beban kerja, tatap muka, profesional Pendahuluan Salah satu problem dalam dunia pendidikan adalah menghitung dan menerapkan kewajiban kerja tenaga pendidik pada satuan pendidikan atau dalam undang-undang disebut dengan istilah “beban kerja”. Jumlah dan jenis beban kerja sesungguhnya sudah dikenal dan sudah dimaklumi oleh setiap tenaga pendidik atau para penyelenggara pendidikan. Kendatipun pada umum mereka kurang paham dan kurang memperhatikan aspek legal, kepatutan atau kondisi empiric yang ada di lingkungan pendidikan. Hal ini dicontohkan dengan adanya persepsi bahwa “tugas piket” bagi seorang guru merupakan bagian dan atau beban tambahan untuk menggenapkan beban kerja guru yang tidak mencapai target beban kerja sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundangan. Persepsi dan kebijakan pimpinan sekolah tersebut, bukan hanya salah tetapi sesungguhnya tidak memecahkan masalah menegnai kebuntuan dalam meningkatkan produktivitas kerja guru dan kualitas layanan guru pada setiap satuan pendidikan. Seiring hal ini, maka upaya untuk menjelaskan beban kerja guru menjadi satu hal penting, baik dilihat dari sisi filosofis, yuridis maupun praktis profesi keguruan. Dengan kata lain, bila khilaf dalam membincangkan masalah beban kerja guru atau salah menafsirkan mengenai beban kerja guru sangat dimungkinkan tujuan pencapaian pendidikan nasional tidak dapat dengan mudah diwujudkan. Oleh karena itu, menafsirkan beban kerja guru merupakan langkah awal dalam meningkatkan produktivitas guru dan peningkatan pelayanan pendidikan bagi peserta didik. Guru memiliki peran yang amat penting bagi proses pendidikan. Demikian penting sampai John Goodlad, Ketua Asosiasi Kepala Sekolah di Amerika Serikat berujar, "manakala guru sudah masuk ke ruang kelas dan menutup pintu kelas itu, dialah yang akan menentukan apakah proses belajar hari itu berjalan dengan baik atau tidak, dapat mencapai tujuan atau tidak." Lebih-lebih di sekolah dasar, guru memiliki peran yang amat penting dalam proses pendidikan bagi para siswa di usia yang amat menentukan bagi pendewasaan mereka (dalam Suyanto, 2004). Meski banyak pihak mengakui peran penting guru dalam proses pendidikan, hingga saat ini guru belum sepenuhnya mendapatkan perhatian

Upload: abdi-azhim-zauli-azra

Post on 24-Jun-2015

195 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

1

PEMBERDAYAAN GURU MELALUI VITALISASI BEBAN KERJAMomon Sudarma

Abstraksi

Upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan dipengaruhi oleh produktivitas danprofesionalisme guru dalam memberikan layanan pendidikan. Oleh karena, beban kerjaguru sejatinya diorientasikan sebagai bagian dalam upaya memberdayakan baik bagi guru,lembaga pendidikan, maupun siswa. Pada konteks inilah telaah mengenai beban guruperlu dilakukan.

Kata kunci : guru, beban kerja, tatap muka, profesional

PendahuluanSalah satu problem dalam dunia

pendidikan adalah menghitung danmenerapkan kewajiban kerja tenagapendidik pada satuan pendidikan ataudalam undang-undang disebut denganistilah “beban kerja”. Jumlah dan jenisbeban kerja sesungguhnya sudahdikenal dan sudah dimaklumi oleh setiaptenaga pendidik atau parapenyelenggara pendidikan. Kendatipunpada umum mereka kurang paham dankurang memperhatikan aspek legal,kepatutan atau kondisi empiric yang adadi lingkungan pendidikan. Hal inidicontohkan dengan adanya persepsibahwa “tugas piket” bagi seorang gurumerupakan bagian dan atau bebantambahan untuk menggenapkan bebankerja guru yang tidak mencapai targetbeban kerja sebagaimana yangditentukan dalam peraturanperundangan. Persepsi dan kebijakanpimpinan sekolah tersebut, bukan hanyasalah tetapi sesungguhnya tidakmemecahkan masalah menegnaikebuntuan dalam meningkatkanproduktivitas kerja guru dan kualitaslayanan guru pada setiap satuanpendidikan.

Seiring hal ini, maka upaya untukmenjelaskan beban kerja guru menjadisatu hal penting, baik dilihat dari sisi

filosofis, yuridis maupun praktis profesikeguruan. Dengan kata lain, bila khilafdalam membincangkan masalah bebankerja guru atau salah menafsirkanmengenai beban kerja guru sangatdimungkinkan tujuan pencapaianpendidikan nasional tidak dapat denganmudah diwujudkan. Oleh karena itu,menafsirkan beban kerja gurumerupakan langkah awal dalammeningkatkan produktivitas guru danpeningkatan pelayanan pendidikan bagipeserta didik.

Guru memiliki peran yang amatpenting bagi proses pendidikan.Demikian penting sampai John Goodlad,Ketua Asosiasi Kepala Sekolah diAmerika Serikat berujar, "manakala gurusudah masuk ke ruang kelas danmenutup pintu kelas itu, dialah yangakan menentukan apakah proses belajarhari itu berjalan dengan baik atau tidak,dapat mencapai tujuan atau tidak."Lebih-lebih di sekolah dasar, gurumemiliki peran yang amat penting dalamproses pendidikan bagi para siswa diusia yang amat menentukan bagipendewasaan mereka (dalam Suyanto,2004).

Meski banyak pihak mengakuiperan penting guru dalam prosespendidikan, hingga saat ini guru belumsepenuhnya mendapatkan perhatian

Page 2: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

36

yang layak baik dilihat dari sisikesejahteraan maupun peningkatanprofesionalisme. Salah satu masalahyang melilit profesi guru itu adalahmengenai beban kerja guru. Danproblema ini ternyata, terkait puladengan adanya “problem’ pada tingkatperaturan, serta hambatan dalamkonteks sosiologis. Kedua persoalan ini,secara terkait potensial menjadipenghambat berlakunya undang-undangan sisdiknas secara sempurna.

Pada UUGD Pasal 35 ayat 1,dinyatakan bahwa “beban keja gurumencakup kegiatan pokokmerencanakan pembelajaran,melaksanakan pembelajaran, menilaihasil pembelajaran, membimbing danmelatih peserta didik, sertamelaksanakan tugas tambahan”.Kemudian pada ayat 2, dinyatakan“beban kerja guru sebagaimanadimaksud pada ayat (1) adalahsekurang-kurangnya 24 (dua puluhempat) jam tatap muka dan sebanyak-banyak 40 (empat puluh) jam tatap mukadalam 1 minggu”. Sementara pada ayat3 dikemukakan bahwa penjelasan danpengaturan terhadap jam ini akan diaturdalam peraturan pemerintah.

Seiring dengan hal ini, wacanayang akan dikembangkan saat ini,adalah berusaha memahami apa yangdimaksud dengan beban kerja guru, danbagaimana mengimplementasikannya.

Dalam menggenapkan analisaini, penulis mencoba memberikan arahanteoritis mengenai konsep konseppemberdayaan, yang kemudian dikaitkandengan makna kerja dari sisi psikologisdan sosiologis. Dengan pendekatanseperti ini, diharapkan makna bebankerja tersebut menjadi dapat disikapidengan bijak sesuai dengan kebutuhankontekstualnya.

Mengenal Profesi Guru

Guru adalah salah satupekerjaan profesi yang diakui dimasyarakat. Profesi ini setara denganprofesi-profesi lainnya di Indonesia.Sebagai lembaga profesi, pendidikan,pembinaan dan jenjang karier gurusebenarnya telah tersusun secarasistematis. Dalam hal ini, Pemerintahtelah membuat beberapa peraturanpemerintah tentang pola pembinaankarier profesi guru.

Dalam konteks pendidikan, gurumerupakan kunci dalam peningkatanmutu pendidikan dan mereka beradapada titik sentral dari setiap usahareformasi pendidikan yang diarahkanpada perubahan-perubahan kualitatif.Bahkan, secara tegas Brandtsebagaimana dikutip Supriadi dan Jalal(2001:262) menyatakan bahwapembaharuan kurikulum, pengembanganmetode-metode mengajar, penyediaansarana dan prasarana hanya akanberarti apabila melibatkan guru.Urgensinya peran dan posisi guru ini,senada dengan Babari dan Prijono (1996: 79) yang menyatakan bahwa guru dandosen adalah faktor kunci dalam prosespemberdayaan dalam duniapendidikan. Dengan kata lain, kualitaspendidikan Indonesia sangat ditentukanoleh faktor guru sebagai unsur dinamisdalam proses pendidikan. Oleh karenaitu, perhatian terhadap guru sebagaiprofesi atau pribadi, menjadi satu bagianpenting dalam proses peningkatan mutulayanan dan kualitas lulusan pendidikan.

Pendidikan sebagai strategipemberdayaan dapat ditelusuri daripemikirannya Paulo Freire (Freire,1984).Dalam pandangan Freire, pendidikan itumerupakan sarana penyadaran terhadapeksistensi diri sebagai manusia yangbebas dari segala keterbatasan, baik

Page 3: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

37

terbatas karena adanya kebijakan politikyang menindas atau pun keterbatasankarena salah didik terhadap mentalnyasendiri. Pemikiran kritis seperti ini,memberikan sebuah arahan bahwasemangat pemberdayaan atau semangatpembebasan dari keterbatasan menjadifungsi praktis guru dalam memberikanpendidikan.

Berbalikan dengan harapan danpemikiran Freire, di tataran empirismasih terlihat sejumlah guru yang ruang-gerak hidupnya serba terbatas. Untukbekerja di luar profesi pendidikan (selainjadi guru) tidak mampu, sementarakeinginan untuk meningkatkan profesikeguruannya kurang modal. Akhirnyamereka mengambil sikap menungguatau menanti tibanya giliran untukmendapatkan jatah pembinaan ataupelatihan dalam jabatan (in job training)yang diselenggarakan Pemerintah baikPemerintah Pusat maupun PemerintahDaerah.

Sikap fatalisme ini merupakansalah satu penyebab ketidakberdayaanguru di Indonesia. Oleh karena iturasional, bila menjelaskan fungsipendidikannya Freire berobsesi untukmengembangkan pendidikan sebagaisebuah proses yang membebaskanatau pendidikan yang memanusiakan(dalam Naomi, 2001: 4334-462). Denganpengertian bahwa semestinyapendidikan itu adalah sebuah saranauntuk memanusiakan manusia baikuntuk individu guru itu sendiri maupunbagi para peserta didik. Dengan katalain, pendidikan sebagai saranapemberdayaan yang holistik perlumemperhatikan aspek pihak tenagapendidik yang perlu memberdayakantenaga peserta didik, juga tenagapendidik itu sendiri.

Strategi ini menjadi penting,khususnya terkait dengan kebutuhan

peningkatan produktivitas dan kualitasguru sebagai agen pengembangkurikulum. Pengembangan danpemberdayaan guru sebagai katalispeningkatan kualitas pendidikan menjadisangat penting, terlebih lagi denganadanya kebijakan peraturanperundangan baru yangmempersyaratkan guru dan dosen untukmendapatkan sertifikat profesi. Denganlandasan pemikiran seperti ini,pemberdayaan dalam kontekspemberdayaan guru, meminjam analisaBabari dan Prijono (1996:72) dapatdiartikan sebagai proses belajarmengajar yang merupakan usahaterencana dan sistematis yangdilaksanakan secara berkesinambunganbaik bagi individu maupun kolektif, gunamengembangkan daya (potensi) dankemampuan yang terdapat dalam diriindividu dan kelompok masyarakatsehingga mampu melakukantransformasi sosial.

Sebagaimana dikemukakanSupriadi dan Jalal (2001:340-342) bahwapaling sedikitnya ada empat kategoriketidakberdayaan guru. Pertama,ketidakberdayaan karir. Kedua,ketidakberdayaan dalam kemampuan.Ketiga, ketidakberdayaann psikologis.Keempat, ketidakberdayaan dalamkesejahteraan. Untuk kategoriketidakberdayaan yang kedua danketiga, bisa didekati dengan upaya-upaya peningkatan mutu guru danpemberian ruang gerak untuk aktualisasidiri. Pada sisi inilah, educationalapproach sebagai sarana pemberdayaanmenjadi penting untuk diaplikasikan dilapangan.

Keempat kategoriketidakberdayaan tersebut, tidak hanyaterjadi pada guru-guru yang berstatussukwan (tenaga wiyata bhakti), tetapijuga terhadap mereka yang masih

Page 4: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

38

berstatus PNS. Oleh karena itu,kelompok ini dapat diberdayakan melaluipendekatan pendidikan sesuai dengankondisinya. Sudah barang tentu,sebagaimana visi dan misi pendidikan itusendiri, proses dan content pendidikanberbeda antara guru Sukwan dan guru-guru PNS.

Meminjam penjelasan yangdikemukakan Ginanjar Kartasasmita(Kartasasmita, 1996) bahwapemberdayaan adalah sebuah upayaproteksi terhadap individu atau kelompokmasyarakat dari perlakuan yang tidakadil. Makna ini relevan untukdikembangkan menjadi satu pendekatanbahwa pemberdayaan guru dapatdidekati dari sisi hukum atauperlindungan terhadap hak-hak asasiguru secara umum.

Ketiadaan hukum yang jelas danpasti akan mempengaruhi terhadap (a)hak guru dalam menerima kompensasiterkait kegiatan-kegiatan profesionalnya,(b) hak guru dalam mendapatkanperlakuan yang sama sebagai tenagaprofesi guru, dan (c) hak guru untukmendapatkan perlakuan yang layak daripengelola atau pemiliki satuanpendidikan/Yayasan.

Sehubungan dengan hal ini, lahirnyaUU Sisdiknas dan UU Guru dan DosenNomor 14 Tahun 2005 merupakan anginsegar yang dapat dirasakan oleh gurudan dosen. Namun demikian, masih adasejumlah persoalan hukum danimplementasi terkait dengan peraturanperundangan tersebut. Salah satumasalah tersebut, yaitu penafsiran danpenerapan beban kerja guru di tingkatsatuan pendidikan.

Beban Kerja : Apa itu Kerja ?

Sebagaimana dikemukakansebelumnya, bahwa guru adalah sebuah

profesi. Oleh karena itu, tugas dan jenispekerjaan ini menuntut adanyaketerampilan tertentu sesuai denganketentuan-ketentuan yang berlaku dalamprofesi kependidikan. Seiring denganbeban kerja atau fungsi kerja seorangtenaga profesional, seperti halnyaseorang guru, haruslah mendukung padausaha pemberdayaan guru itu sendiri(self-teacher) dan juga peserta didik.

Seiring dengan hal ini, untukmendapatkan pemahaman dan analisayang kritis terhadap beban kerja guru,tepat kiranya untuk sedikit menjelaskanmengenai falsafah kerja. Analisa kritisterhadap makna kerja ini diharapkandapat memberikan sumbangan dalammenjelaskan falsafah pemberian bebankerja guru sebagaimana yangdikemukakan dalam undang-undangguru dan dosen tersebut.

Munculnya pembahasanmengenai beban kerja, bisa disebabkanadanya fakta bahwa (a) guru tidak efektifdalam memberikan layanan pendidikandi sekolah, (b) rendahnya produktivitasguru sebagai tenaga profesi, (c) adanyaguru yang bekerja separuh waktu, (d)tingginya kemungkinan guru untukmemiliki tempat pekerjaan lebih dari satulokasi dengan alasan untuk mencukupikebutuhan hidup. Dengan berbagaialasan tersebut, menyebabkan adakecenderungan guru kurang betah disekolah atau kurang betah menghadapianak di dalam kelas. Implikasi praktisdari persoalan seperti ini, sudah tentuakan berpengaruh langsung terhadapkualitas layanan dan mutu lulusanpendidikan.

Berdasarkan pemikiran sepertiini, maka secara sistematis dan legalpemerintah memberikan rambu-rambubeban kerja dengan tujuan untukmemberdayakan peran dan fungsi gurudi dalam kelas atau di dunia pendidikan

Page 5: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

39

dengan harapan terjadinya sebuahloncatan prestasi anak didik. Namundemikian, sekali lagi kita bertanya,apakah dengan beban kerja seperti yangdiminta UU saat ini dapat memberikanruang pemberdayaan bagi guru ? apamakna dan falsafah kerja bagi seorangguru ? Untuk menjawab pertanyaan ini,perlu ada ulasan kritis terhadap maknakerja.

Dalam menggenapkanpemahaman ini, akan dilihat makna kerjadari perspektif sosial. Pertama, dimasyarakat (khususnya di desa) masihtumbuh persepsi bahwa yang dimaksudpekerjaan adalah ”menjadi seorangpegawai negeri sipil (PNS)”, sementarapekerjaan-pekerjaan di luar PNSdianggapnya sebagai bentuk pekerjaankelas dua. Pada sisi lain, profesi gurumemiliki karakteristik yang berbedadengan bekerja di sebuah lembagaekonomi (perusahaan) atau lembagapemerintah. Bila dalam sebuah lembagapemerintah atau lembaga ekonomi,mereka cenderung mengerjakan sesuatuhal yang lebih bersifat administratif dantidak berhadapan langsung denganmanusia. Sedangkan dalam profesiseorang guru didominasi dengankomunikasi atau interaksi langsungdengan manusia.

Jumlah jam kerja guru mayoritasmerupakan sebuah jam tatap mukadengan anak didik secara langsung dandilaksanakan pada ruang kelas. Di lainpihak, beban kerja guru yang jarangdiperhatikan publik adalah pekerjaanguru yang tidak tampak dan tidakdikerjakan di ruang kelas. Pekerjaantersembunyi ini, diantaranya adalahmembuat perencanaan, menyusunbahan ajar, dan melaksanakan penilaian.Kegiatan-kegiatan seperti ini, merupakansebuah pekerjaan yang tidak dapatditemukan dalam bentuk pekerjaan di

lembaga pemerintahan atau diperusahaan. Oleh karena itu, bebankerja dan atau tugas seorang guru dapatdikatakan (a) secara formal terbatas diruang kelas, namun (b) karena jenispekerjaan yang tersembunyi banyakdilakukan di luar kelas maka secarakumulatif beban kerja guru itu hampirmendekati jumlah 24 jam.

Fakta yang terakhir inilah, yangkemudian melahirkan pemikiran kritisterhadap jam dan beban kerjasebagaimana yang dituntut undang-undang Sisdiknas atau undang-undangyang berlaku saat ini.

Kedua, Moh As’ad (1981:45)mengatakan bahwa bekerjamengandung arti melaksanakan suatutugas yang diakhiri dengan buah karyayang dapat dinikmati oleh manusia yangbersangkutan. Dengan kata lainpekerjaan memiliki usia yang samatuanya dengan kehidupan manusia itusendiri. Dari setiap sejarahperkembangan peradaban manusia ituhanya berbeda sifat dan jenis pekerjaanitu sendiri. Mc.Gregor, sebagaimanadikutip Smit dan Wakeley (As’ad.1981:46) mengatakan bahwa bekerjamerupakan satu bentuk refleksi bawaanuntuk aktif manusia untuk mengerjakansesuatu. Lebih lanjut Gregormenguraikan bahwa bekerja ini miripatau tidak jauh berbeda dengankegiatan-kegiatan manusia yang lainnya,seperti bermain atau beristirahat.

Ketiga, pekerjaan sebagai statussosial. Sebuah pekerjaan yang dilakukanindividu, memiliki relasi ’nilai’ dengannilai dan norma sosial yang tumbuh dimasyarakat. Orang yang mengangguratau belum mendapatkan pekerjaantetap, akan mendapat sorotan sosial darimasyarakat sekitarnya bahkankadangkala dianggap sebagai orangyang memiliki ’cacat sosial’.

Page 6: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

40

Pada sisi lain, dalam masyarakatberkembang persepsi tentang jenispekerjaan, yaitu (a) persepsi mengenaiadanya keterkaitan antara jenjangpendidikan dengan jenis pekerjaan, (b)bekerja (pekerjaan) sebagai identitaskhas manusia (Suseno, 1999:89), (c)pekerjaan menggambarkan tentangstatus kompetensi sosial. Daripandangan Amartya Sen (1975:11),Ulrich (1983) dan Frases (1992) dapatdisimpulkan bahwa perkembanganindustri di jaman modern diikuti olehadanya perkembangan teknologisasidalam kehidupan manusia, dan (d)pekerjaan sebagai gambaran kualitasseseorang dalam memenangkankompetensi sosial, baik secara ekonomimaupun nilai sosial budaya.

Terakhir, dalam batasantertentu, jenis pekerjaan menjadi bentukkehormatan politis bagi negara danbangsa. Indonesia dikenal sebagainegara penyuplai TKI dipersepsikanlebih rendah dibandingkan dengan statusnegara pemiliki lapangan kerja (lihatAbdoellah, PPs UNPAD : 2002).

Amartya Sen (1975:32),menyatakan bahwa suatu aktivitas bisadikatakan sebagai sebuah pekerjaan,dilihat dalam tiga aspek, yaitu (1)pendekatan produksi (the productionapproach), artinya sebuah aktivitasdapat disebut sebagai sebuah pekerjaan,jika dapat menghasilkan satubarang/produk, (2) pendekatanpendapatan (the income approach),artinya kendatipun yang diproduksinyasedikit, tetapi melahirkan income yangbesar atau tinggi, (3) pendekatanpenghargaan (the recognition approach),yaitu sebuah pendekatan jasa.

Dengan merujuk padapemikiran-pemikiran tersebut, ditemukanbeberapa simpul pemikiran, yaitu (1)bekerja adalah upaya untuk

mempertahankan hidup, (2) bekerjaadalah aktivitas untuk menghasil karya,baik berbentuk jasa ataupun bendaekonomi, (3) bekerja adalah aktivitaspsikologis manusia, layaknya kegiatanbermain dan istirahat, (4) bekerjasebagai aktivitas aktualisasi diri sebagaimanusia, baik sebagai makhluk individudan makhluk sosial. Implikasi pemikirankritis tersebut, maka falsafahmemberikan beban kerja terhadap gurusejatinya harus mempertimbangkankeempat aspek tersebut.

Sudut kuantitatifHal yang perlu dikemukakan lebih

awal, yaitu ditemukan sebuah faktabahwa dalam peraturan atau perundang-undangan mengenai kependidikankhususnya yang menyangkut masalahbeban kerja guru atau alat ukur yangdigunakan itu adalah pendekatankuantitatif.

Angka atau jumlah merupakanindikator utama dalam menunjukkankinerja atau produktivitas beban kerjaseorang guru. Hal ini dapat dilihat dalamUndang-Undang Guru dan Dosen Pasal35 yang menyatakan bahwa jumlahbeban kerja guru itu sekurang-kurangnyaadalah 24 jam tatap muka dansebanyak-banyaknya 42 jam tatap muka.

Sebelum lahirnya UUGD, ditingkat satuan pendidikan sudah dikenalada juklah dari dinas pendidikan ataukantor wilayah departemen agama yangmenyatakan bahwa jumlah beban kerjaguru adalah 18 jam. “Permainan” angka-angka seperti ini kemudian dijadikanlandasan untuk pembagian tugas paratenaga pendidik yang ada pada satuanpendidikan tersangkut. Namun sangatdisayangkan, kebanyakan guru atautenaga pendidik tidak memiliki akseslangsung untuk melihat peraturan atauperundangan yang menerangkan beban

Page 7: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

41

kerja terseburt. Alih-alih bisa menangkapfilosofis dari angka 18, untuk sekedarmelihat peraturan perundangannya punsangat jarang dapat dilakukan oleh paraguru. Beberapa kasus yang terjadi, lebihcenderung mengalami nasib hanyamendengar dari penyelenggarapendidikannya ketika menjelaskanmengenai beban kerja guru dalam rapatdinas di awal tahun akademik. Dengandemikian, upaya untuk membangunkesadaran hukum yang berlandaskanpada sumber hukum menjadi sesuatu halyang sulit dilakukan. Kecenderunganyang ada yaitu terbangunnya kesadaranbirokratik dengan merujuk padaperaturan sesuai dengan persepsipejabatnya masing-masing.

Kondisi yang terakhir tadi sudahtentu merupakan sebuah kondisi empirikyang kurang menguntungkan untukupaya pencapaian budaya sadarkonstitusi. Karena dalam budaya sadarkonstitusi seseorang dapat terjadimanakala mampu memiliki aksesinformasi dan mampu membanguninterpretasi terhadap sumber hukum,bukan pada persepsi seorang pejabattentang sumber hukum. Oleh karena itu,sosialisasi sumber hukum (misalnyaperaturan dan perundang-undangan)menjadi sesuatu hal yng mutlak harusdilakukan untuk memberikan ruangakses yang terbuka bagi masyarakatsehingga dapat membangunpengetahuan hukum, pemahamanhukum dan perilaku yang sesuai denganhukum. Akumulasi dari pengetahuan,pemahaman, dan sikap tersebut menjadibahan dasar dalam menunjukkanbudaya hukum (kesadaran berkonstitusi)di masyarakat termasuk dalam duniapendidikan.

Implikasi dari pendekatankuantitatif ini, maka bila ada seorangguru yang tidak mendapatkan tugas

sesuai dengan jumlah beban kerja guruyang ditentukan, mereka akanmengalami kesulitan dalam prosespengumpulan kredit point untuk kenaikanpangkat/golongan. Karena kenaikanpangkat/golongan sangat dipengaruhioleh ketuntasan seseorang dalammenjalankan tupoksi (tugas pokok danfungsi) sebagai guru sesuai denganbeban kerja.

Mengenai jam tatap muka

Selain masalah kuantivikasi daribeban kerja guru, ada konsep lain yangjuga turut mempengaruhi makna bebankerja guru yaitu konsep ‘jam tatap muka’.

Seiring dengan hal ini, mengenaimakna konsep “jam tatap muka’tampaknya ada dua sudut pandang yangberbeda. Dari perbedaan sudut pandangtersebut, kemudian memunculkankontroversi dalam mengimplementasikandan memaknai konsep ‘jam tatap muka’.Kedua sudut pandang ini, yaitu satupihak memberikan makna “jam tatapmuka” sebagai indikator dan ‘jam tatapmuka’ sebagai inisial generik.

Konsep tatap muka dianggapsebagai indikator, bila yangdimaksudkannya itu adalah seorang guruharus melaksanakan beban kerja secaralangsung dengan peserta didik di dalamkelas (live, langsung). Maka pernyataan24 jam tatap muka itu dimaknai sebagaisatu hal mutlak yang harus dilakukandalam bentuk tatap muka dalam kelas.Makna ini pun dipertegas lagi bahwajam kerja dalam bentuk piket sekolahatau membuat perencanaan, tidakdikategorikan sebagai beban tugasdalam hitungan 24 jam tersebut.

Padangan ini merupakan tafsirantekstual terhadap UUGD yaitumengartikan “tatap muka” dengan‘bertemu langsung antara guru dengan

Page 8: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

42

peserta didik dalam ruang kelas’,sehingga yang dimaksud dengan“sekurang-kurangnya 24 (dua puluhempat) jam tatap muka dan sebanyak-banyak 40 (empat puluh) jam tatap mukadalam 1 minggu” itu adalah prosesbelajar mengajar dalam kelas. Dengankata lain, tugas “(1) merencanakanpembelajaran, (2) menilai hasilpembelajaran, (3) membimbing dan (4)melatih peserta didik, serta (5)melaksanakan tugas tambahan” tidakdapat dikategorikan sebagai jam tatapmuka.

Terhadap tafsiran seperti ini, adabeberapa hal yang perlu dijelaskan lebihlanjut.

Sebagaimana dimaklumibersama, bahwa dalam undang-undangguru dan dosen memang tidak adapenjelasan mengenai istilah ‘jam tatapmuka’. Hal serupa terjadi pada padakonsep ‘jam pembelajaran’. Keduakonsep ini, tidak ada penjelasan lebihlanjut. Dari kondisi seperti ini, sudahtentu menyebabkan lahirnya berbagaipersepsi termasuk apa yang sedang kitakemukakan saat ini.

Namun demikian, kita dapatmemberikan telaahan awal mengenaisalah satu tafsir mengenai apa yangdimaksudkan oleh kedua istilah tersebut,yaitu dengan melihat permendiknastentang standar isi. Pada penjelasanpermendiknas tersebut, potensialmengandung kesamaan makna antarakonsep ‘jam tatap muka’ dengan ‘jampembelajaran’.

Sebagai contoh kasus, dalamPeraturan Menteri Pendidikan NasionalNo. 22 Tahun 2006 dinyatakan bahwamata pelajaran sosiologi di berikan dikelas X sebanyak 2 jam pembelajaran.Istilah “dua jam pembelajaran” secaraempirik adalah dua jam tatap muka.Sepanjang pengalaman menjadi tenaga

pendidik, baik di SD, SLTP maupunSMA/SMK, arti “dua jam pembelajaran”sama dengan dua jam tatap muka.Dengan kata lain, bila dua jampembelajaran tidak sama dengan duajam tatap muka, mata pelajaran sosiologibisa diberikan hanya satu jam tatapmuka dan sisanya di luar jam tatapmuka. Pola tafsir yang terakhir initampaknya tidak memiliki pijakansosiologis di dunia pendidikan Indonesia.Mayoritas dunia pendidikan mengartikanbahwa dua jam pembelajaransebagaimana dicantumkan dalam KTSPdiimplementasikan dalam bentuk 2 jamtatap muka.

Implikasinya bila dua ‘jam tatapmuka’ pada UUGD itu dimaknai sebagai‘dua jam proses belajar di kelas’, makasecara yuridis seorang guru harusmelaksanakan PBM di kelas sebanyak24 jam tatap muka. Dengan kata lain bilaada mata pelajaran memiliki bobot 2 jampembelajaran, maka seorang gurutersebut setara mengajar di 12 kelas.

Rasio dari peraturan tersebutminimal jumlah kelas pada satuanpendidikan (SLTP-SMA) terkait adalahadalah satuan pendidikan yang memiliki4 ruang kelas untuk setiap tingkatannya.Selain itu, pada sekolah tersebut tidakboleh ada guru lebih dari 1 untuk setiapbidang studi. Karena bila hal ini terjadi,maka dia tidak akan mampu memenuhikebutuhan minimal beban kerjanyasebagai seorang guru.

Sebagai kritik terhadap pemikiranini, yaitu tidak adanya penjelasanmengenai penghargaan institusi atauNegara terhadap beban kerja guru dalambidang (1) merencanakan pembelajaran,(2) menilai hasil pembelajaran, (3)membimbing dan (4) melatih pesertadidik, serta (5) melaksanakan tugastambahan. Padahal beban kerjatersebut, kadang memakan waktu yang

Page 9: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

43

lebih lama dari jam tatap muka dankadang dilakukan dengan cara klasikalatau tatap muka pula.

Pada sisi lain, ditemukan adamakna “jam tatap muka” sebagai inisialgenerik. Artinya, konsep inimenunjukkan hitungan waktu yangberbeda dengan konsep ‘jam’ yangsudah dipahami secara umum(konvensional) di masyarakat. Untuksekedar contoh, 1 (satu) jampembelajaran di SD/MI adalah 35 menit,1 (satu) jam pembelajaran di SMP/MTsadalah 40 menit, dan 1 (satu) jampembelajaran di SMA/MA/MAK adalah45 menit. Jadi yang dimaksud denganjam tatap muka atau jam pembelajaranadalah hitungan waktu yang secarakonvensional dipahami di duniapendidikan, dan bukan sebagaimanayang dipahami masyarakat padaumumnya yang menyatakan bahwa 1jam sama dengan 60 (enam puluh)menit.

Berdasarkan pemikiran seperti itu,maka yang dimaksud dengan ‘jam tatapmuka’ atau ‘jam pembelajaran’ hanyalahsebuah inisial generik untuk memberikanpembobotan kepada beban kerja gurupada bidang lain. Hal ini berlaku pula dilingkungan kerja yang lainnya. Bilaseorang karyawan di beri tugas dinasluar, maka biaya akomodasi yangdiberikan kepadanya adalah sesuaidengan ‘rasio jam kerja’ dalammenjalankan tugas tersebut. Misalnyabila berjalan di dalam kota hanyadihitung 3 jam kerja, atau semaknadengan itu. Hal ini dapat terjadi pula dilingkungan pendidikan. Oleh karena itu,beban kerja guru dalam bidangmerencanakan pembelajaran, menilaihasil pembelajaran, membimbing danmelatih peserta didik, sertamelaksanakan tugas tambahan, (catatselain melaksanakan pembelajaran tatap

muka) dapat dinilai dengan bobot 2 ‘jamtatap muka’. Pemberian bobot ini, bukanberarti bahwa pelaksanaan kegiatantersebut harus dilaksanakan dalambentuk pertemuan langsung denganpeserta didik karena istilah ‘tatap muka’di sana lebih sekedar menunjukkaninisial generik dalam memberikan bobotnilai beban kerja seorang guru.

Pada UUGD Pasal 35 ayat 1,dinyatakan bahwa “beban keja gurumencakup kegiatan pokokmerencanakan pembelajaran,melaksanakan pembelajaran, menilaihasil pembelajaran, membimbing danmelatih peserta didik, sertamelaksanakan tugas tambahan”.Kemudian pada ayat 2, dinyatakan“beban kerja guru sebagaimanadimaksud pada ayat (1) adalahsekurang-kurangnya 24 (dua puluhempat) jam tatap muka dan sebanyak-banyak 40 (empat puluh) jam tatap mukadalam 1 minggu”. Sementara pada ayat3 dikemukakan bahwa penjelasan danpengaturan terhadap jam ini akan diaturdalam peraturan pemerintah.

Merujuk pada makna kata “bebankerja guru sebagaimana dimaksud padaayat (1)” maka yang dimaksud“sekurang-kurangnya 24 (dua puluhempat) jam tatap muka dan sebanyak-banyak 40 (empat puluh) jam tatap mukadalam 1 minggu” tersebut adalahmengacu kepada seluruh beban kerjayang dinyatakan dalam ayat 1, yaitu“mencakup kegiatan pokokmerencanakan pembelajaran,melaksanakan pembelajaran, menilaihasil pembelajaran, membimbing danmelatih peserta didik, sertamelaksanakan tugas tambahan”, bukanpada salah satu diantara apa yangdicantumkannya. Dengan kata lainbeban kerja 24 jam tersebut bukandialamatkan untuk menunjukkan tugas

Page 10: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

44

mengajar di dalam kelas semata,melainkan untuk seluruh kegiatan yangmenjadi beban kerja guru sebagaimanadinyatakan dalam ayat 1.

Seluruh beban kerja sebagaimanadinyatakan dalam ayat (1) perlumendapat pembobotan dan minimaltugas yang harus diemban oleh guruadalah 24 jam tatap muka. Misalnya saja(1) merencanakan pembelajaran, (2)melaksanakan pembelajaran, (3) menilaihasil pembelajaran, (4) membimbing dan(5) melatih peserta didik, serta (6)melaksanakan tugas tambahan. Denganasumsi bahwa (a) setiap beban tugasdiberi bobot 2 jam pelajaran, dan (b) ayatdalam UU tersebut dirincikan seperti itu,maka seorang guru setidak-tidaknyadalam satu tahun pembelajaran wajibmengajar di dua kelas dengan jumlahjam pelajaran minimal 2. Bila rasio inidihitung maka jumlah beban kerja gurutersebut adalah 24 jam (6 tugas x 2kelas x 2 jam pelajaran).

Argumentasi tentang perlunyapemberian bobot pada (1)merencanakan pembelajaran, (2) menilaihasil pembelajaran, (3) membimbing dan(4) melatih peserta didik, serta (5)melaksanakan tugas tambahan, sebagaijam tatap muka dilatari oleh alasanbahwa (a) pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut menyita waktu, tenaga,dan pemikiran, serta (b) pelaksanaankegiatannya kadang dilakukan dalambentuk tatap muka. Oleh karena itu,pemberian bobot 2 jam pembelajaranpada setiap beban kerja tersebut,merupakan sesuatu hal yang rasional.

Dengan pola pikir seperti ini,maka sebuah sekolah yang memilikijumlah kelas 3 ruangan dari semuatingkat (kelas X sebanyak 1 ruang, kelasXI sebanyak 1 ruang, kelas XII sebanyak1 ruang) pun sudah cukup memenuhikebutuhan seorang guru dalam

mencapai beban kerja sebagaimanayang ditentukan Undang-UndangSisdiknas tersebut. Selain itu, rasiopenghitungan seperti ini lebih mendekatipada rasio-normal (walaupun belumideal) tentang tanggungjawab perhatianguru terhadap siswa. Rasio beban kerjaseperti ini lebih mendekati pada rasiosmall-class, karena guru hanyamemperhatikan kurang lebih 80 siswa(dengan asumsi satu kelas 40 siswa).Mari renungkan rasio guru-siswa bila diaharus mengajar di 12 kelas ?

Pesan moral berikutnya, dalamundang-undang ini seorang guru diberikewajiban untuk memberikan waktutatap muka dengan peserta didiknyauntuk memberikan layanan pendidikanseluruh beban kerja (5 beban kerja yanglainnya) selain pelaksanaanpembelajaran.

Pesan moral tersebut, kadangkurang tertangkap oleh banyak orang.Bahkan kadangkala guru-guru lebihmengutamakan tatap mukapembelajaran di kelas, dibandingkandengan tatap muka jam tambahan,memberikan tugas pelatihan, ataumemberikan penilaian. Padahal antarasatu dengan lima beban kerja yanglainnya, merupakan rangkaian tugasyang holistik yang perlu ditunaikanseorang guru. Oleh karena itu, selainmengajar di kelas, seorang guru perlumemiliki jam bertemu dengan anak untukmenunaikan tugas-tugas yang lainnya.

Yang Lainnya

Selain yang dikemukakantersebut, ada pemikiran lain yang jugamemiliki referensi sosiologis dan yuridisbisa dipertanggungjawab. Atausetidaknya, pandangan ini sejalandengan apa yang tengah terjadi saat ini.

Page 11: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

45

Pertanyaan ini bermula darisebuah pertanyaan, bolehkah seorangguru memiliki tempat kerja lebih dari satu? adakah landasan hukum yangmemberikan larangan pada kebutuhanhal tersebut ?

Untuk menjawab pertanyaan ini,ada satu pandangan yang perludiperhatikan oleh masyarakat padaumumnya. Pandangan ini dikemukakanoleh Ciprianoes, anggota Komisi X DPRRI kepada “PR” saat ditemui di sela-selaperingatan hari guru Sedunia yangberlangsung di Gedung IndonesiaMenggugat, Bandung, Kamis (5/10).

melalui PP Guru dan Dosen,guru akan mendapatkanhaknya sebagai pekerjaprofesional.

Selama ini, hak-hak gurusering terabaikan.Pengesahan RPP menjadiPP, memiliki implikasi positifterhadap peningkatankesejahteraan guru.

Dalam hal ini, guru akanmendapatkan haknya, selaingaji, juga sejumlahtunjangan, seperti tunjanganprofesi. Tunjangan profesidiberikan kepada guru yangmemenuhi persyaratan, diantaranya memenuhipersyaratan akademiksebagai guru sesuaiUndang-Undang Nomor 14Tahun 2005 tentang Gurudan Dosen, melaksanakantugas sebagai guru tetapyang diangkat olehpemerintah, pemerintahdaerah, atau satuanpendidikan yang

diselenggarakan masyarakatdan bertugas sebagai gurupada satuan pendidikanyang memiliki izinoperasional dari pemerintahatau pemerintah daerahdengan beban mengajar,minimal 6 jam tatap mukaperminggu pada satuanpendidikan di mana diadiangkat sebagai guru tetap;serta minimal 24 jam tatapmuka dan maksimal 40 jamtatap muka per minggu padasatu atau lebih satuanpendidikan yang memilikiizin operasional daripemerintah atau pemerintahdaerah.

Pada pemikiran tersebut, wakilrakyat tadi mengartikan beban kerja gurubukan hanya pada satu tempat kerja.Dalam pandangannya, jumlah bebankerja 24 jam itu bisa dilakukan pada satutempat kerja atau lebih. Pandangantersebut masih mengacu pada maknajam tatap muka sebagai indicator, namunmengartikannya dalam konteks lintassatuan pendidikan.

Implikasi dari pemikiran ini,sesungguhnya melahirkan variasipemikiran yang cukup tinggi. Pertama,seorang tenaga pendidikan diberipeluang untuk bekerja di tempat lain.Kedua, jumlah beban kerja di tempatlain, dihitung sebagai bagian dari bebankerja di tempat kerja inti. Ketiga, seorangguru diharapkan memiliki jumlah bebankerja produktif selama 24 jam.

Dalam pandangan yang ketiga ini,sesungguhnya tidak memiliki perbedaanyang nyata dengan makna jam tatapmuka sebagai indikator, namun memilikilatar belakang sosiologis yang nyata,yaitu adanya kecenderungan tenaga

Page 12: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

46

pendidik yang bekerja di lebih satutempat.

Simpul pemikiran

Hemat kata, ada 4 (empat) tafsirmengenai beban kerja guru ini, yaitu (1)24 jam tatap muka diartikan di dalamkelas, (2) didistribusi sesuai denganenam tugas guru, (3) beban kerja gurudapat dilaksanakan di luar satuanpendidikan induk, (4) beban kerjatersebut dapat dilaksanakan seiringdengan diberlakukannya layanankesejahteraan dan anggaran pendidikan20 %.

Berdasarkan analisis ini, dapatdiajukan simpul pemikiran bahwapemerintah dituntut untuk segeramensosialisasikan peraturan pemerintahyang baru yang mendukung pada usahaimplementasi Undang-undang SistemPendidikan Nasional tersebut. Hal-halyang perlu diperhatikan tersebut,diantaranya yaitu kondisi empirik, bahwatidak semua sekolah memiliki jumlahkelas ideal, sebagaimana yangdimungkinkan oleh pandangan kedua.Selain itu, dalam sebuah satuanpendidikan, kadangkala distribusi guru,jumlah guru tidak merata. Sehinggakadang kala, ada seorang gurukendatipun ditugaskan pada sebuahsekolah yang memiliki jumlah ruangkelas sebanyak 10 ruang untuk setiaptingkatannya, namun karena jumlahtenaga pengajar di sana melebihi kuotayang semestinya (ingat ada perubahanjumlah beban kerja dari 18 ke 24 jam)maka dia belum (tentu) memiliki jumlahjam kerja sebagaimana yang diinginkanoleh pandangan kedua.

Berdasarkan catatan ini, dapatdikemukakan beberapa simpul pemikiranterkait dengana beban kerja guru.

a. Sebuah UU perlu dimaknaidalam ‘satu nafas’. Dengankata lain, pasal tertentuharus dikaitkan denganpasal lainnya bahkandengan peraturanperundang-undangan yangterkait. Oleh karena itu,beban kerja 24 jamsesungguhnya merupakan‘desahan napas’ lanjutandari kewajiban Negara untukmemberikan anggaranpendidikan 20 %. Dengandemikian, maka kewajibanguru untuk ‘hadir’di sekolahselama 5 atau 6 hari tidakakan menjadi penyebabresahnya ‘dapur’ (ekonomi)seorang guru. Oleh karenaitu, bila pemerintahberkehendak memaknai jamtatap muka secara indikatormaka kewajiban untukmemberikan jaminankesejahteraan perludilaksanakan denganseksama.

b. Hal yang lebih rasional,empirik, dan proporsionaladalah memberikanpenghargaan terhadaptugas-tugas gurusebagaimana yangdicantumkan dalam ayat 1Pasal 35 sebagai bagiandari tugas jam kerja. Hal ini,selain logis juga memilikisandaran empiris dengankondisi satuan pendidikanyang ada di Indonesia saatini.

c. Hal yang paling strategislagi, dengan beban kerjasebagaimana dikemukakandalam sudut pandang

Page 13: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

47

pertama, maka seorang gurumemiliki peluang yang luasuntuk mengembangkankompetensi dan aktualisasidirinya. Dan mereka tidakterjebak oleh rutinisme yangbisa mematikanidealismenya sebagaitenaga pendidik.

d. Sebagai sebuah profesi,pada dasarnya beban kerjaseorang guru tersebut,bukan hanya diorientasikanuntuk memberikan layananpendidikan, tetapi juga harusmenjadi saranapemberdayaan diri danmasyarakat. Oleh karena itu,sekali lagi perlu ditekankanbahwa beban kerja guruharus memiliki maknasebagai sarana untukmenghasilkan jasa danmateri, makna psikologisdan aktualisasi diri.

e. Hal yang paling prinsip,pemberian beban kerja perludilandaskan pada upayapemberdayaan, bukanpengerangkengan ruanggerak guru. Terlebih lagikarena sesungguhnya perandan posisi guru itu bukantugas administrasi yangmenuntut rutinisme-formalistik, melainkan lebihbersifat dinamis. Olehkarena itu, ruang gerakuntuk mendinamisir diri perludiciptakan, sehingga setiapguru tidak memilikikemandegan dalammengembangkankemampuan intelektual dankariernya. Pada konteksinilah, pemberlakuan beban

kerja dan jam tatap mukaperlu memperhatikan aspek‘ruang terbuka’m bagiaktualisasi diri seorang guru.

f. Pemerintah wajibmemberikan perhatianterhadap beban kerja di luarjam belajar mengajar secaraproporsional. Karenasesungguhnya 5/6 daribeban kerja sebagaimanadinyatakan dalam UUGDmerupakan kegiatan di luarkegiatan kelas.

g. Perlu ada regulasi dalambidang pendidikan yangmemperhatikan aspeksosiologis dan visipemberdayaan guru sebagaiprofesi, bukan guru sebagaibirokrasi. Pendekatan gurusebagai profesi akanmemberikan ruang yangluas dalam peningkatanlayanan pendidikan bagidunia pendidikan.

Berdasarkan pemikiran seperti ini,maka penulis merasa yakin bahwa jikaruang aktualisasi guru terbuka denganbaik, maka pekerjaan sebagai gurubenar-benar dapat dimaknai sebagaisebuah profesi fungsional dan bukansebagai birokrat pendidikan. Begitu pulasebaliknya, bila tuntutan beban kerjalebih ke indicator kehadiran makadikhawatirkan guru akan menjadi tenagabirokrat yang lebih bersifat administrativebelaka.

-o0o-

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Oekan S 2002. ”TanggungJawab Sosial Masyarakat IlmiahDalam Menata Lingkungan Masa

Page 14: 05 Memahami Beban Kerja Guru1

Di muat pada Jurnal Educare. Vol 1 Tahun I Januari – Juli 2007. UPI Bandung

48

Depan : Upaya MenitiPembangunan Berkelanjutan”.Bandung : PPs UNPAD.

Albrech, Ulrich. 1983. “Teknologi danBentuk Masyarakat”. DalamTeknologi dan DampakKebudayaannya. YB.Mangunwijaya (ed.) Jakarta :YOB. 1983.

As’ad, Moh. 1981. Psikologi Industri.Yogyakarta : Liberti.

Babari, J dan Onny S. Prijono. 1996.“Pendidikan Sebagai SaranaPemberdayaan”. DalamPemberdayaan : Konsep,Kebijakan dan Implementasi.Onny S.Prijono dan AMWPranarka (ed.). Jakarta : CSIS.

Frases, T.M. 1992. Stres & KepuasanKerja. Jakarta : PPM – PT.Binaman Pressindo.

Freire, Paulo. 1984. Pendidikan sebagaiPraktek Pembebasan. Jakarta :Gramedia.

Honour, TF. dan R.M. Mainwaring. 1988.Sosiologi dan Bisnis. Jakarta :Bina Aksara.

Kartasasmita, Ginanjar. 1996.Pembangunan Untuk Rakyat :

Memadukan Pertumbuhan dan

Pemerataan. Jakarta : CIDES.

Naomi, Omi Intan. (penyunting). 2001.Menggugat Pendidikan :Fundamentalis, Konservatif,Liberal, Anarkis. Yogyakarta :Pustaka Pelajar.

Sen, Amrtya. 1975. Employment,Technology and Development.Oxford : Clarendon Press.

Supriadi, Dedi dan Fasli Jalal (ed.).2001. Reformasi PendidikanDalam Konteks Otonomi Daerah.Yogyakarta : Adi Cita Karya Nusa.

Suseno, Frans Magnis. 1999. PemikiranKarl Marx ; Dari sosialisme Utopiske Perselisihan Revisionisme.Jakarta : Gramedia.

Suyanto “Mobilitas Horizontal bagi GuruBermutu” ( 2004-12-30 10:10:54 ).http://smp.alkausar.org/detail-artikel.php?id=114

UU Nomor 20 tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional.

UU Nomor 2 tahun 1989 tentang SistemPendidikan Nasional.

UU Nomor 14 tahun 2005 tentang GuruDan Dosen.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun2005 tentang Standar NasionalPendidikan

Peraturan Menteri Pendidikan NasionalNo. 22 Tahun 2006 tentangStandar Isi untuk SatuanPendidikan Dasar dan Menengah.

“Kesejahteraan Guru Jangan SekedarWacana” yang dimuat pada HUPikiran Rakyat. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/102006/07/0701.htm