05. makalah ekonomi islam zaman kebangkitan (1).doc

47
EKONOMI ISLAM ZAMAN KEBANGKITAN (Fase Kedua pada Abad ke-11 sampai ke-15 M) MAKALAH Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam yang dibimbing oleh: .................................................... .......................... Oleh: Oleh: DAUD ROSIDI NIM .................................. 0

Upload: dabiken

Post on 21-Nov-2015

57 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

EKONOMI ISLAM ZAMAN KEBANGKITAN(Fase Kedua pada Abad ke-11 sampai ke-15 M)MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam yang dibimbing oleh:

..............................................................................

Oleh: Oleh:

DAUD ROSIDINIM ..................................PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGAPROGRAM PASCA SARJANA

STAIN JEMBER

Nopember, 2014EKONOMI ISLAM ZAMAN KEBANGKITAN

(Fase Kedua pada Abad ke-11 sampai ke-15 M)Oleh: Daud RosidiA. LATAR BELAKANGIslam memberikan tuntunan bagaimana seharusnya beribadah kepada Tuhan serta bagaimana juga berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat (muaamalah) baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bernegara, berekonomi, dan sebagainya. Sebagai agama universal, Islam memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan manusia, maka termasuk bagaimana manusia mempertahankan hidupnya, Islam juga telah memberikan tuntunan berekononomi secara Islami.

Memang ekonomi sebagai sebuah ilmu maupun aktivitas dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah sesuatu hal yang sebenarnya memang ada begitu saja. Karena upaya memenuhi kebutuhan hidup bagi seorang manusia adalah suatu fitrah. Seperti halnya, kita berlogika terhadap upaya Adam as, mencoba bertemu dengan Hawa, ketika diturunkan kebumi dalam interval jarak yang cukup jauh dan hanya ada dua orang di muka bumi ini. Tentunya upaya mempertahankan hidup sejak itu juga telah dilakukan. Begitu pula dengan anak dari Adam dan Hawa, ketika keduanya, Habil dan Qobil mencoba memenuhi kebutuan hidupnya dengan saling bertukar akan potensi yang telah mereka berdua miliki masing-masing.Kemunculan ekonomi Islam di Era kekinian, telah membuahkan hasil dengan banyak diwacanakan kembali ekonomi Islam dalam teori-teori, dan dipraktekkannya ekonomi Islam di ranah bisnis modern sepertihalnya lembaga keuangan syariah bank dan non bank.

Ekonomi Islam yang telah hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba datang begitu saja. Ekonomi Islam sebagai sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktik tentunya telah hadir secara bertahap dalam periode dan fase tertentu.

Dewasa ini perekonomian Islam mulai dipergunakan diberbagai negara, banyak negara-negara maju yang mulai menengok perekonomian Islam untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Semua itu tentu tidak lepas dari pemikiran-pemikiran ekonom Islam terdahulu. Banyak para pakar ekonomi Islam yang menyatakan pendapatnya, diantaranya Abu yusuf, Imam As-Syaibani, Abu Ubaid, Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun dan masih banyak yang lain. Namun dalam pembahasan makalah ini akan membahas Fase kedua dimulai pada abad ke-11 sampai ke-15 M. dengan tokoh Pemikir Ekonomi dalam fase ini adalah Al- Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun dimana pemikiran mereka sungguh sangat tidak kalah menarik dengan pemikir terdahulu.

B. PEMBAHASAN

1. Pemikiran Ekonomi Islam

Para sejarawan barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai contoh, Sejarawan ekonom terkemuka, Joseph Schumpeter sama sekali mengabaikan peranan pemikir muslim. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filsuf Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M). Adalah hal yag sangat sulit untuk dipahami mengapa para ilmuwan barat tidak menyadari bahwa sejarah pengetahuan merupaka suatu proses yang berkesinambungan, yang di bangun diatas fondasi yang diletakan para ilmuwan generasi sebelumnya. Jika proses evolusi ini disadari dengan sepenuhnya, menurut Chapra, Schumpeter mungkin mengasumsikan adanya kesenjangan yang besar selama 500 tahun, tetapi mencoba menemukan fondasi di atas nama para ilmuwan Skolastik dan Barat mendirikan bangunan intelektual mereka.

Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, pemikir muslim tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India dan Cina. Hal ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendikiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran islam. Sejalan dengan ajaran islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada Al Quran dan Hadist Nabi, konsep dan teori ekonoi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendekiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.

Berdasarkan praktik dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw dan Khulafa al Rasyidun merupakan contoh empiris yang dijadikan pijakan bagi para cedekiawan Muslim dalam melahirkan teoro-teori ekonominya. satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal..Perkembangan pemikiran ekonomi islam dapat di bagi dalam tiga fase utama, yaitu: Fase pertama, pemikiran-pemikiran ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11 Masehi. Pada tahap ini pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada umumnya bukanlah dibahas oleh para ahli ekonomi, melainkan dirintis fuqaha, sufi, teolog, dan filsuf Muslim. Pemikiran ekonomi Islam pada tahap ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab turats (peninggalan ulama). Fase kedua, fase ini berlangsung dari abad 11- 15 M. Fese kedua ini disebut sebagai fase cemerlang atau kebangkitan dikarenakan peninggalan warisan intelektual yang sangat kaya Pada masa ini para fuqaha, sufi, filsuf, dan teolog, mulai menyusun bagaimana seharusnya umat Islam melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi. Tidak hanya merujuk pada Al-Quran dan Hadist, tapi juga mulai mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri. Pemikiran tentang ekonomi pada masa ini diawali oleh Al-Ghazali. Sedangkan tokoh-tokoh pemikir Ekonomi Islam dalam fase kebangkitan ini antara lain adalah al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun.2. Pemikiran Ekonomi Islam Al-Ghazali Sebagaimana halnya para cendekiawan muslim terdahulu, perhatian Al- Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.Pemikiran ekonomi Al- Ghazali didasarkan pada pendekatan Tasawuf. Corak pemikiran ekonominya tersebut dituangkan dalam kitab Ihya Ulum al-Din, al- Mustashfa, Mizan Al- Amal, dan At- Tibr al Masbu fi Nasihat Al- Muluk. Dengan memperhatikan para perilaku individu yang dibahasnya menurut perspektif Al-Quran, sunnah dan fatwa sahabat tabiin serta petuah- petuah para sufi terkemuka.

Menurut Mustafa Anas Zarqa, Al-Ghazali merupakan cendikiawan muslim pertama yang merumuskan konsep fungsi kesejahteraan (maslahah) sosial yang pertama.Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang disebut sebagai Fungsi Kesejahteraan Sosial Islami. Menurut Al-Ghazali kesejahteraan dari semua masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharan lima tujuan dasar atau maqashid as-syariah. Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat (maslahat al-dinwa al-dunya).

Al-Ghazali mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam sebuah kerangka hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartie yakni Daruriat, Hajiyat dan Tahsiniyat. Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan oridinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang- barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang- barang psikis.

Mayoritas pembahsan Al-Ghazali mengenai berbagai permasalahan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya Ulum al-Din. Beberapa tema ekonomi yang dapat diangkat dari pemikiran Al-Ghazali diantaranya mencakup pertukaran sukarela dan evolusi pasar, aktivitas produksi, barter dan evolusi uang, serta peran negara dan keuangan publik.

a. Pertukaran Sukarela dan Evolusi PasarPasar merupakan suatu tempat bertemunya antara penjual dengan pembeli. Proses timbulnya pasar yang beradasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba. Tidak disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya membangun dasar-dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai Semangat Kapitalisme.

Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari hukum alam segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Al- Ghazali jelas-jelas menyatakan mutualitas dalam pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan sumber daya.

1) Permintaan, Penawaran, Harga, dan LabaSepanjang tulisannya, Al-Ghazali berbicara mengenai harga yang berlaku seperti yang ditentukan oleh praktek- praktek pasar, sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai al-tsaman al-adil (harga yang adil) dikalangan ilmuan muslin atau equilibrium price (harga keseimbangan) dari kalangan Eropa kontemporer.

Beberapa paragraf dari tulisannya juga jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang naik dari kiri bawah ke kanan atas dinyatakan oleh dia sebagai jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah. Sementara untuk kurva permintaan yang turun dari kiri atas ke kanan bawah dijelaskan oleh dia sebagai harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan.

2) Etika Perilaku PasarDalam pandangan Al-Ghazali, pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral pelakunya.secara khusus memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun makanan dan barang- barang lainnya, memberikan informasi yang salah mengenai berat, jumlah dan harga barangnya.

b. Aktivitas ProduksiImam Al-Ghazali mengklasifikasikan aktivitas produksi menurut kepentingan sosialnya serta menitikberatkan perlunya kerjasama dan koordinasi. Fokus utamanya adalah tentang jenis aktivitas yang sesuai dengan dasar- dasar etos Islam.

1) Produksi Barang-barang Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban SosialDalam hal ini, pada prinsipnya , negara harus bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap barang- barang kebutuhan pokok. Disamping itu Al- Ghazali beralasan bahwa ketidakseimbangan antara jumlah barang kebutuhan pokok yang tersedia dengan yang dibutuhkan masyarakat cenderung akan merusak kehidupan masyarakat.

2) Hierarki Produksi

Klasifikasi aktivitas produksi yang diberikan Al-Ghazali hampir mirip dengan klasifikasi yang terdapat dalam pembahasan kontemporer, yakni primer(agrikultur), sekunder (manufaktur), dan tersier(jasa). Secara garis besar, ia membagi aktivitas produksi kedalam tiga kelompok berikut:

a) Industri dasar, yakni industri- industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia.

b) Aktivitas penyokong, yakni aktivitas yang bersifat tanbahan bagi industri dasar.

c) Aktivitas komplementer, yakni yang berkaitan dengan industri dasar.3) Tahapan Produksi , Spesialisasi, dan Keterkaitannya

Al-Ghazali mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk dikonsumsi. Selanjutnya, ia menyadari kaitan yang sering kali terdapat dalam mata rantai produksi sebuah gagasan yang sangat dikenal dalam pembahasan kontemporer.

Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi dan kerja sama. Ia juga menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga.

c. Barter dan Evolusi UangTampaknya Al-Ghazali menyadari bahwa salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah uang. Ia menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari pertukaran barter.

1) Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap UangAl-Ghazali mempunyai wawasan yang sangat kompherhensif mengenai berbagai problema barter yang dalam istilah modren disebut sebagai:

a) Kurang memiliki angka penyebut yang sama( lack of common denominator)b) Barang tidak dapat dibagi- bagi(indivisibility of goods) dan

c) Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)Walaupun dapat dilakukan, pertukaran barter menjadi sangat tidak efisien karena adanya perbedaan karakteristik barang- barang ( seperti unta dengan kunyit).

Fungsi uang menurut Ghazali adalah:

a) Sebagai satuan hitung (unit of account)b) Media penukaran (medim of exchange)c) Sebagai penyimpan kekayaan (store of value)Adapun fungsi uang yang ketiga ini menurutnya adalah bukan fungsi uang yang sesungguhnya. Sebab, ia menganggap fungsi tersebut adalah sama saja dengan penimbunan harta yang nantinya akan berakibat pada pertambahan jumlah pengangguran dalam kegiatan ekonomi dan hal tersebut merupakan perbuatan zalim

2) Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan Dengan Ilahi

Dalam hal ini, Al-Ghazali menekankan bahwa uang tidak di inginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan dalam suatu pertukaran. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tujuan satu-satunya dari emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang (dinar dan dirham). Ia mengutuk mereka yang menimbun kepingan- kepingan uang atau mengubahnya menjadi bentuk lain.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang melakukan penimbunan uang merupaka orang yang berbuat zalim dan menghilangkan hikmah yang terkandung dalam penciptaannya. Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 24: dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih3) Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang

Dalam hai ini ia membolehkan kemungkinan uang representatif (token money), seperti yang kita kenal dengan istilah modern- sebuah pemikiran yang mengantarkan kita pada apa yang disebut sebagai teori uang feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli penguasa feodal.

4) Larangan Riba

Al-Ghazali menyatakan bahwa menetapkan bunga atas utang piutang berarti membelokkan uang darifungsi utamanya, yakni untuk mengukur kegunaan objek pertukaran. Oleh karena itu, bila jumlah uang yang diterima lebih banyak dari pada jumlah uang yang diberikan, akan terjadi perubahan standar nilai. Perubahan ini terlarang.

d. Peranan Negara dan Keuangan PublikDalam hal ini, ia tidak ragu- ragu menghukum penguasa. Ia menganggab negara sebagai lembaga yang penting, tidak hanya bagi berjalannya aktifitas ekonomi dari suatu masyarakat dengan baik, tetapi juga untuk memenuhi kewajiban sosial sebagaimana yang diatur oleh wahyu. Ia menyatakan:

Negara dan agama adalah tiang- tiang yang tidak dapat dipisahkan darisebuah masyarakat yang teratur. Agama adalah fondasinya, dan penguasa yang mewakili negara adalah penyebar dan pelindungnya; bila salah satu dari tiang ini lemah, masyarakat akan ambruk.

1) Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian dan StabilitasAl-Ghazali menitikberatkan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi, negara harus menegakkan keadilan, kedamaian dan keamanan, serta stabilitas. Ia menekankan perlunya keadilan serta aturan yang adil dan seimbang.

Al-Ghazali berpendapat negara bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi yang layak untuk meningkatkan kemakmuran dan pembangunan ekonomi. Disamping itu , ia juga menulis panjang lebar mengenai lembaga al-Hisbah, sebuah badan pengawasan yang dipakai di banyak negara Islam pada waktu ini. Fungsi utama badan ini adalah untuk mengawasi praktik- raktik pasar yang merugikan.

Gambaran Al-Ghazali mengenai peranan khusus yang dimainkan oleh negara dan penguasa dituliskan dalam sebuah buku tersendiri yang berjudul Kitab Nasihat Al- Muluk.

2) Keuangan Publik

Al-Ghazali memberikan penjelasan yang rinci mengenai peran dan fungsi keuangan publik. Ia memperhatikan kedua sisi anggaran , baik sisi pendapatan maupun sisi pengeluaran.

a) Sumber-sumber Pendapatan Negara

Berkaitan dengan berbagai sumber pendapatan negara, Al-Ghazali memulai dengan pembahasan mengenai pendapatan yang seharusnya dikumpulkan dari seluruh penduduk, baik muslim maupun non muslim, berdasarkan hukum Islam. Al-Ghazali menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan yang halal adalah harta tanpa ahli waris pemiliknya, tidak dapat dilacak, ditambah sumbangan sedekahah atau wakaf yang tidak ada pengelolanya.

Pajak-pajak yang dikumpulkan dari non muslim berupa Ghanimah, Fai ,jaziyah dan upeti atau amwal al masalih. Ghanimah adalah pajak atas harta yang disita setelah atau selama perang. Fai adalah kepemilikan yang diperoleh tanpa melalui peperangan. Jaziyah dikumpulkan dari kaum non muslim sebagai imbalan dari dua keuntungan: pembebasan wajib militer dan perlindungan hak- hak sebagai penduduk.

Disamping itu, Al-Ghazali juga memberikan pemikiran tentang hal- hal lain yang berkaitan dengan permasalahan pajak seperti administrasi pajak dan pembagian beban diantara para pembayar pajak.

b) Utang Publik

Dengan melihat kondisi ekonomi, Al-Ghazali mengzinkan utang publik jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang. contoh utang seperti ini adalah revenue bonds yang digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.

c) Pengeluaran Publik

Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang direkomendasikan Al-Ghazali bersifat agak luas dan longgar , yakni penegakan keadlan dan stabilitas negara, serta pengembangan suatu masyarakat yang makmur.

Mengenai pembangunan masyarakat secara umum Al- Ghazali menunjukkan perlunya membangun infrastruktur sosioekonomi. Al-Ghazali mengakui Konsumsi bersama dan aspek spill-over dari barang-barang publik. Di lain tempat ia menyatakan bahwa pengeluaran publik dapat diadakan untuk fungsi- fungsi seperti pendidikan, hukum dan administrasi publik, pertahanan dan pelayanan kesehatan.

3. Pemikiran Ekonomi Islam Ibnu Taimiyaha. Mekanisme PasarPasar dalam pengertian ilmu ekonomi adalah pertemuan antara permintaan dan penawaran. Dalam pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan fisik. Adapun mekanisme pasar adalah proser penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Pertemuan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) dinamakan equilibrium price (harga seimbang). Ibnu Taimiyah juga memiliki pandangan tentang pasar bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Ia mengatakan: naik turunnya harga tak selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dilakukan oleh seseorang. Sesekali alasannya adalah karena adanya kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jadi, jika kebutuhan terhadap jumlah barang meningkat, sementara kemampuan menyediakannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan penyediaan barang meningkat dan permintaan menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan ketidak adilan. Atau sesekali bisa juga disebabkan oleh ketidak adilan. Maha besar Allah, yang menciptakan kemauan pada hati manusia. Dari pernyatan diatas terdapat indikasi kenaikan harga yang terjadi disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para penjual. Perbuatan ini disebut manipulasi yang mendorong terjadinya ketidak sempurnaan pasar. Tetapi pernyataan ini tidak bisa disamakan dalam segala kondisi, karena bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh kekuatan pasar. Tampaknya ada kebiasaan yang terjadi di zaman Ibnu Taimiyah, kenaikan harga terjadi akibat ketidakadilan atau malapraktek dari para penjual, sehingga kata yang digunakan adalah zulm, yang berarti pelanggaran hukum atau ketidakadilan.

Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber persediaan, yakni produksi lokal dan import barang-barang yang diminta (ma yukhlaq aw yujlab min dzalik al-mal al-matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap barang tertentu, ia mengguanakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah. Perubahan dalam supply digambarkannya sebagai kenaikan atau penurunan dalam persediaan barang-barang, yang disebabkan oleh dua faktor, yakni produksi lokal dan impor. Pernyataan Ibnu Taimiyah diatas menunjuk pada apa yang kita kenal sekarang sebagai perubahan fungsi penawaran dan permintaan, yakni ketika terjadi peningkatan permintaan pada harga yang sama dan penurunan pada harga yang sama atau, sebaliknya, penurunan permintaan pada harga yang sama dan pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan persediaan disertai dengan kenaikan permintaan, harga-harga dipastikan akan mengalami kenaikan, dan begitu pula sebaliknya.

Namun demikian, kedua perubahan tersebut tidak selamanya beriringan. Ketika permintaan meningkat sementara persediaan tetap, harga-harga akan mengalami kenaikan. Ibnu Taimiyah menjelaskan, Apabila orang-orang menjual barang dagangannya dengan cara yang dapat diterima secara umum tanpa disertai dengan kezaliman dan harga-harga mengalami kenaikan sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah barang (qillah al-syai), atau peningkatan jumlah penduduk (katsrah al-khalq), hal ini disebabkan oleh Allah SWT.

Ibnu Taimiyah memberikan penjelasan yang rinci tentang beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan tingkat harga. Berikut faktor-faktor tersebut:

1) Permintaan masyarakat (al-ragabah) yang sangat bervariasi (peoples desire) terhadap barang. Faktor ini tergantung pada jumlah barang yang tersedia (al-matlub). Suatu barang akan semakin disukai jika jumlahnya relatif kecil (scarce) dari pada yang banyak jumlahnya.

2) Tergantung kepada jumlah orang yang membutuhkan barang (demander/consumer/tullab). Semakin banyak jumlah peminatnya, semakin tinggi nilai suatu barang.

3) Harga juga dipengaruhi oleh kuat lemahnya kebutuhan terhadap suatu barang, selain juga besar dan kecilnya permintaan. Jika kebutuhan terhadap suatu barang kuat dan berjumlah besar, maka harga akan naik lebih tinggi jika dibandingkan dengan jika kebutuhannya lemah dan sedikit.

4) Harga juga akan bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-muawid). Jika pembeli merupakan orang kaya dan terpercaya (kredibel) dalam membayar kewajibannya, maka kemungkinan ia akan memperoleh tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak kredibel (suka menunda kewajiban atau mengingkarinya).

5) Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis uang yang digunakan sebagai alat pembayaran. Jika menggunakan jenis mata uang yang umum dipakai, maka kemungkinan harga relatif lebih rendah jika dibandingakan dengan menggunakan mata uang yang tidak umum atau kurang diterima secara luas.

6) Hal di atas dapat terjadi karena tujuan dari suatu transaksi haruslah menguntungkan penjual dan pembeli. Jika pembeli memiliki kemampuan untuk membayar dan dapat memenuhi semua janjinya, maka transaksi akan lebih mudah atau lancar dibandingkan dengan jika pembeli tidak memiliki kemampuan membayar dan mengingkari janjinya. 7) Kasus yang sama dapat diterapkan pada orang yang menyewakan suatu barang. Kemungkinan ia berada pada posisi sedemikian rupa, sehingga penyewa dapat memperoleh manfaat dengan tanpa tambahan biaya apapun. Akan tetapi, kadang-kadang penyewa tidak dapat memperoleh manfaat ini jika tanpa tambahan biaya, seperti yang terjadi di desa-desa.b. Mekanisme Harga

Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik menarik antara konsumen dan produsen baik dari pasar output (barang) ataupun input (faktor-faktor produksi). Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu.

Ada dua tema yang sering kali ditemukan dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga, yakni kompensasi yang setara/adil (iwad al-mitsl) dan harga yang setara/adil (tsaman al-mitsl). Menurut Ibnu Taimuyah Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-adl).

1) Iwad al-mitsl adalah penggantian sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan, disinilah esensi dari keadilan.

2) Tsaman al-mitsl adalah nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.

Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip la dharar yakni tidak melukai dan tidak merugikan orang lain. Maka dengan berbuat adil akan mencegah terjadinya kezaliman. Konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil dan harga yang adil, memiliki dasar pengertian yang berbeda.

c. Regulasi HargaRegulasi harga adalah pengaturan terhadap harga barang-barang yang dilakukan oleh pemerintah. Regulasi ini bertujuan untuk memelihara kejujuran dan kemungkinan penduduk biasa memenuhi kebutuhan pokoknya.

Ibnu taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.

Pada kondisi terjadinya ketidak sempurnaan pasar, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah. Misalnya dalam kasus dimana komoditas kebutuhan pokok yang harganya naik akibat adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-dorongan monopoli. Maka dalam keadaan seperti inilah, pemerintah harus menetapkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli.

d. Hak KekayaanHak kekayaan sama halnya dengan hak milik. Sebagaimana dari literatur yang penulis lihat dalam bukunya Euis Amalia, beliau membahasakannya dengan hak milik. Namun dalam literatur lain penulis temukan konsep kepemilikan juga disebut dengan kekayaan. Seperti yang dijelaskan oleh Abdul Azim Islahi dalam bukunya Economic Concepts of Ibn Taimiyah. Beliau menyatakan Ibnu Taimyah membagi hak kekayaan pada tiga bagian, yaitu kekayaan individu, kekayaan kolektif dan kekayaan negara.

1) Kekayaan Individu

Penggunaan kekayaan individu disesuaikan dengan apa yang ditetapkan oleh syariah. Setiap individu dapat menggunakan kekayaan yang dimilikinya secara produktif, memindahkannya, dan menjaganya. Penggunaan kekayaan individu ini tetap pada batas-batas yang wajar, tidak boros, atau membelanjakannya di jalan yang dilarang oleh syariat.

2) Kekayaan Kolektif

Kekayaan kolektif yang disebutkan oleh hadis adalah air, rumput, dan api. Jika kekayaan ini dikuasai oleh individu, maka akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat. Air, rumput, dan api hanya sebagai contoh saja, hal-hal lain yang serupa dengan itu dapat dimasukkan sebagai kategori. Semua bahan mineral yang berasal dari tanah bebas seperti nafta, emas, garam, minyak dan lain-lain juga termasuk kekayaan kolektif. 3) Kekayaan Negara

Negara berhak untuk mendapatkan sumber-sumber penghasilan dan kekuatan yang diperlukan untuk melaksanakan kewajibannya. Sumber utama dari kekayaan Negara adalah zakat, ghanimah, dan fai. Selain dari sumber ini, negara juga bisa menambah pemasukannya dengan menerapkan pajak-pajak lain ketika kebutuhan mendesak muncul. Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum (publik), kepala negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkannya guna kepentingan publik.

e. Peranan Pemerintah Dalam Kebijakan EkonomiIbnu Taimiyah, seperti halnya para pemikir Islam lainnya menyatakan bahwa pemerintah merupakan institusi yang sangat dibutuhkan. Ia memberikan dua alasan dalam menetapkan negara dan kepemimpinan negara seperti apa adanya. Penekanan dari pembahasannya lebih pada karakter religius dan tujuan dari sebuah pemerintahan; Tujuan terbesar dari negara adalah mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan dan mencegah mereka berbuat munkar.

Fungsi ekonomi dari negara dan berbagai kasus dimana negara berhak melakukan intervensi terhadap hak individual untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. Bahwa kebijakan pemerintah dalam regulasi harga dilakukan dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Pemerintah berhak menetapkan harga demi keseimbangan harga pasar. Tujuan yang lebih jelas sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah agar tidak terjadinya monopoli dari pihak tertantu dalam penetapan harga, sehingga masyarakat kecil dapat melakukan kegiatan mikro ekonominya dengan lancar.

f. Uang dan Kebijakan Moneter1) Karakteristik dan Fungsi Uang

Secara khusus, Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda, Ia menyatakan:Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (miyar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.

Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas yaitu :a) Uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. b) Komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp.100.000,- yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya sama.

c) Komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di showroom. Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa.

Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang. 2) Pencetakan Uang Sebagai Alat Tukar Resmi

Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka. 3) Penurunan Nilai Mata Uang

Setelah sadar akan kesalahan yang dilakukannya, Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai fulus ditentukan berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan fulus dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Untuk mendapatkan tembaga saat itu memang sangat mudah dan murah. Di tengah penggunaan fulus secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan dirham semakin sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk. Dampak pemberlakuan fulus sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga.Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan membeli tembaga serta mencetaknya menjadi mata uang dan kemudian berbisnis dengannya. Ia juga menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang beredar ditangan masyarakat. Bahkan, penguasa seharusnya mencetak mata uang sesuai dengan nilai riilnya tanpa bertujuan untuk mencari keuntungan apa pun dari percetakannya tersebut agar kesejahteraan masyarakat (al-maslahah al-ammah) tetap terjamin. 4) Mata Uang yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang yang Baik

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia mengambarkan hal ini sebagai berikut: Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki.. 4. Pemikiran Ekonomi Islam Ibn KhaldunMenurut Ibnu Khaldun Sebuah Negara berbudaya terbentuk melalui pembangunan atau penaklukan kota-kota oleh masyarakat primitif yang memiliki solidaritas yang kuat. Tujuan pembentukan Negara adalah untuk mewujudkan keinginan-keinginan alamiah, dan mengaktualisasikan potensi-potensi dan kesempurnaan hidup mereka. Seperti halnya pada aspek-aspek lain kebudayaan yang berperadaban (civilized culture), begitu Negara berbudaya tercipta, maka niscaya ia mengikuti hukum alam tentang pertumbuhan, kedewasaan, dan kemerosotan, Ibn Khaldun sering mengibaratkan dengan siklus kehidupan manusia: Bayi, Anak-anak dan remaja, dewasa, tua, renta dan mati.

a. Teori ProduksiDalam pemikiran ekonominya Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu Negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di suatu Negara, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi Negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif (konsekuensi alamiah dari tingkat produksi yang tinggi) . Bisa saja suatu Negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bila hal itu bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, uang yang melimpah itu tidak ada nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja dan menimbulkan permintaan atas faktor produksi lainnya. Bagi Ibn Khaldun produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan secara sosial dan internasional.

1) Tabiat Manusiawi dari Produksi

Pada satu sisi, manusia adalah binatang ekonomi, tujuannya adalah produksi Manusia dapat didefinisikan dari segi produksi. Manusia di bedakan dari makhluk hidup lainnya dari segi upayanya mencari penghidupan dan perhatiannya pada berbagai jalan untuk mencapai dan memperoleh sarana-sarana (kehidupan). Pada Sisi lainnya, faktor produksi yang utama adalah tenaga kerja manusia. Laba (produksi) adalah nilai utama yang di capai dari tenaga kerja manusia. Manusia mencapai produksi dengan tanpa upayanya sendiri, contohnya lewat perantara hujan yang menyuburkan ladang dan hal hal lainnya. Namun demikian ,hal hal ini hanyalah pendukung saja. Upaya m,anusia sendiri harus di kombinasikan dengan hal-hal tersebut. Karena itu, manusia harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan hidupnya, dan produksi berasal dari tenaga manusia.

2) Organisasi Sosial dari ProduksiMelakukan produksi juga penting bagi manusia. Jika manusia ingin hidup, mencari nafkah, manusia harus makan dan ia harus memproduksi makanannya. Hanya tenaganya yang mengizinkannya untuk tetap dapat makan. Namun demikian manusia tidak dapat sendirian memproduksi cukup makanan untuk hidupnya. Jika ia ingin bertahan ia harus mengorganisasikan tenaganya.

Setiap makanan memerlukan sejumlah kegiatan dan setiap kegiatan memerlukan peralatan dan keahlian. Organisasi sosial dari tenaga kerja ini harus di lakukan melalui spesialisasi yang lebih tinggi dari pekerja. Upaya manusia menjadi berlipat ganda. Produksi agregat yang di hasilkan oleh manusia yang bekerja secara bersama-sama adalah lebih besar di bandingkan dengan jumlah total produksi individu dari setiap orang yang bekerja sendiri-sendiri. Oleh karena itu, Ibn Khaldun menganjurkan sebuah organisasi sosial dari produksi dalam bentuk suatu spesialisasi kerja.3) Organisasi Internasional dari Produksi Pembagian kerja internasional ini tidak didasarkan kepada sumber daya alam dari negeri-negeri tersebut, tetapi didasarkan kepada keterampilan penduduk-penduduknya, karena bagi Ibn Khaldun, tenaga kerja adalah faktor produksi yang paling penting. Karena itu, semakin banyak populasi yang aktif, semakin banyak produksinya. Sejumlah surplus barang dihasilkan dan dapat diekspor, dengan demikian meningkatkan kemakmuran kota tersebut. Pada pihak lain, semakin tinggi kemakmuran, semakin tinggi permintaan penduduk terhadap barang dan jasa, yang menyebabkan naiknya harga-harga barang dan jasa tersebut, dan juga naiknya gaji yang dibayarkan kepada pekerja-pekerja terampil.

Ibn Khaldun menguraikan sebuah teori ekonomi tentang pembangunan yang berdasarkan atas interaksi permintaan dan penawaran, serta lebih jauh, tentang pemanfaatan dan pembentukan modal manusia. Landasan pemikiran dari teori ini adalah pembagian internasional dan sosial yang berakibatkan pada suatu proses komulatif yang menjadikan negeri-negeri yang kaya semakin kaya dan menjadikan yang miskin semakin lebih miskin lagi.

Teori Ibn Khaldun merupakan embrio suatu teori perdagangan internasional, dengan analisis tentang syarat-syarat pertukaran antara negara-negara kaya dengan Negara-negara miskin, tentang kecenderungan untuk mengekspor dan mengimpor, tentang pengaruh struktur ekonomi terhadap perkembangan, dan tentang pentingnya modal intelektual dalam proses pertumbuhan.

b. Teori Nilai, Uang, dan Harga1) Teori NilaiBagi Ibn Khaldun, nilai suatu produk sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya. Laba yang dihasilkan manusia adalah nilai yang terealisasi dari tenaga kerjanya.2) Teori UangBagi Ibn khaldun, dua logam yaitu emas dan perak, adalah ukuran nilai. Logam-logam ini diterima secara alamiah sebagai uang dimana nilainya tidak dipengaruhi oleh fluktuasi subjektif. Ibn Khaldun mendukung penggunaan emas dan perak sebagai standar moneter. Baginya, pembuatan uang logam hanyalah merupakan sebuah jaminan yang diberikan oleh penguasa bahwa sekeping uang logam mengandung sejumlah kandungan emas dan perak tertentu. Percetakannya adalah sebuah kantor religius, dan karenanya tidak tunduk kepada aturan-aturan temporal. Jumlah emas dan perak yang dikandung dalam sekeping koin tidak dapat diubah begitu koin tersebut sudah dimulai (diterbitkan).

3) Teori Harga

Bagi Ibn Khaldun, harga adalah hasil dari hukum permintaan dan penawaran. Pengecualian satu-satunya dari hukum ini adalah harga emas dan perak, yang merupakan standar moneter. Semua barang-barang lainnya terkena fluktuasi harga yang tergantung pada pasar. Bila suatu barang langka dan banyak diminta, maka harganya tinggi. Jika suatu barang berlimpah, maka harganya rendah. Karena itu, Ibn Khaldun menguraikan suatu teori nilai yang berdasarkan tenaga kerja, sebuah teori tentang uang yang kuantitatif, dan sebuah teori tentang harga yang ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran.

c. Teori DistribusiHarga suatu produk terdiri dari tiga unsur: gaji, laba, dan pajak. Gaji adalah imbal jasa bagi produser, laba adalah imbal jasa bagi pedagang, dan pajak adalah imbal jasa bagi pegawai negeri dan penguasa.

1) Pendapat Tentang Penggajian Elemen-Elemen Tersebuta) Gaji, Karena nilai suatu produk adalah sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya, gaji merupakan unsur utama dari harga barang-barang. Harga tenaga kerja adalah basis harga suatu barang.

b) Laba, Laba adalah selisih antara harga jual dengan harga beli yang diperoleh oleh pedagang. Namun selisih ini bergantung pada hukum permintaan dan penawaran, yang menentukan harga beli melalui gaji dan menentukan harga jual melalui pasar. Bagi Ibn Khaldun perdagangan adalah membeli dengan harga murah dan menjual dengan harga mahal.

c) Pajak, Pajak bervariasi menurut kekayaan penguasa dan penduduknya. Karenanya, jumlah pajak ditentukan oleh permintaan dan penawaran terhadap produk, yang pada gilirannya menentukan pendapatan penduduk dan kesiapannya untuk membayar.

2) Eksistensi Distribusi Optimum

Besarnya ketiga jenis pendapatan ini ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Menurut Ibn Khaldun pendapatan ini memiliki nilai optimum.

a) Gaji, Bila gaji terlalu rendah, pasar akan lesu dan produksi tidak mengalami peningkatan. Jika gaji terlalu tinggi, akan terjadi tekanan inflasi dan produsen kehilangan minat untuk bekerja.

b) Laba, Jika laba sangat rendah, pedagang terpaksa melikuidasi saham-sahamnya dan tidak dapat memperbaruinya karena tidak ada modal. Jika laba terlalu tinggi, para pedagang akan melikuidasi saham-sahammnya pula dan tidak dapat memperbaruinya karena tekanan inflasi.

c) Pajak, Jika pajak terlalu rendah, pemerintah tidak dapat menjalani fungsinya. Jika pajak terlalu tinggi, tekanan fiskal menjadi terlalu kuat, sehingga laba para pedagang dan produsen menurun dan hilanglah insentif mereka untuk bekerja.d. Teori SiklusBagi Ibn Khaldun, produksi bergantung kepada penawaran dan permintaan terhadap produk. Namun penawaran sendiri tergantung kepada jumlah produsen dan hasratnya untuk bekerja, demikian juga permintaan tergantung pada jumlah pembeli dan hasrat mereka untuk membeli. Variabel penentu bagi produksi adalah populasi serta pendapatan dan belanja Negara, keuangan publik.

1) Siklus PopulasiProduksi ditentukan oleh populasi. Semakin banyak populasi, semakin banyak produksinya. Demikian pula, semakin besar populasi semakin besar permintaannya terhadap pasar dan semakin besar produksinya. Namun populasi sendiri ditentukan oleh produksi. Semakin besar produksi, semakin benyak permintaan terhadap tenaga kerja dipasar. Hal ini menyebabkan semakin tinggi gajinya, semakin banyak pekerja yang berminat untuk masuk ke lapangan tersebut, dan semakin besar kenaikan populasinya. 2) Siklus Keuangan Publik

Negara juga merupakan faktor produksi yang penting. Dengan pengeluarannya, Negara meningkatkan produksi, dan dengan pajaknya Negara membuat produksi menjadi lesu.

a) Pengeluaran Pemerintah

Bagi Ibn Khaldun, sisi pengeluaran keuangan publik sangatlah penting. Pada satu sisi, sebagian dari pengeluaran ini penting bagi aktivitas ekonomi. Tanpa infrastruktur yang disiapkan oleh Negara, mustahil terjadi populasi yang besar. Tanpa ketertiban dan kestabilan politik, produsen tidak memiliki insentif untuk berproduksi. Oleh karenanya, semakin banyak yang dibelanjakan oleh pemerintah, semakin baik akibatnya bagi perekonomian.

b) Perpajakan

Uang yang dibelanjakan oleh pemerintah berasal dari penduduk melalui pajak. Pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya hanya jika pemerintah menaikkan pajaknya, tapi tekanan fiskal yang terlalu tinggi akan melemahkan semangat kerja orang. Akibatnya, timbul siklus fiskal. Pemerintah harus menasionalisasi perusahaan-perusahaan, karena produsen tidak memiliki insentif laba untuk menjalankannya.

Jadi bagi Ibn Khaldun, terdapat optimum fiskal tapi juga mekanisme yang tidak dapat dibalik, yang memaksa pemerintah untuk membelanjakan lebih banyak dan memungut lebih banyak pajak, yang menimbulkan siklus produksi. Dengan demikian, Ibn Khaldun menguraikan sebuah teori dinamik yang berdasarkan hukum populasi dan hukum keuangan publik. Menurut hukum yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, suatu negeri tidak dapat tidak harus melalui siklus-siklus perkembangan ekonomi dan depresi.

C. KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah ini dapat disimpulkan bahwa masa kebangkitan ekonomi Islam pada Fase kedua, fase ini berlangsung dari abad 11- 15 M. Fese kedua ini disebut sebagai fase cemerlang atau kebangkitan dikarenakan peninggalan warisan intelektual yang sangat kaya Pada masa ini para fuqaha, sufi, filsuf, dan teolog, mulai menyusun bagaimana umat Islam melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi. Tidak hanya merujuk pada Al-Quran dan Hadist, tapi juga mulai mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri. Pemikiran tentang ekonomi pada masa ini diawali oleh Al-Ghazali. Sedangkan tokoh-tokoh pemikir Ekonomi Islam dalam fase kebangkitan ini antara lain adalah al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun.Menurut pemikiran ekonomi islam al-Gazali bahwa seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Seluruh aktivitas sehari-hari termasuk aktivitas dalam bidang ekonomi, harus dilaksanakan sesuai dengan syariah Islam. Ghozali bisa menoleransi pengambilan pajak jika pengeluaran untuk pertahanan dan lain sebagainya tidak dapat tercukupi oleh kas pemerintah. Ia juga mengemukakan tentang pelarangan riba, karena hal tersebut melanggar sifat dan fungsi uang, serta mengutuk mereka yang melakukan penimbunan uang dengan alasan uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan pertukaran. Secara garis besar, ekonomi dapat dikelompokkan menjadi: pertukaran dan evolusi pasar, produksi, barter, evolusi uang serta peranan negara dan keuangan publik.Ibnu Taimiyah membahas masalah perekonomian ditinjau dari segi sosial maupum hukum fiqh. Beliau telah membahas pentingnya persaingan dalam pasar bebas, perananmarket supervisordan lingkup dari negara. Dalam transaksi ia juga mensayaratkan kesepakatan antara semua pihak,kesepakatann ini harus berdasarkan informasai yang akurat dan memadai. Hal ini ditujukan agar transaksi menjadi lebih bermakna. Moralitas yang diperintahkan agama diharuskan tanpa adanya paksaan sedikitpun. Sehingga dengan demikian syariat bisa berjalan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Negara harus mempraktekkan aturan perekonomian yang Islami hingga para pelaku ekonomi melakukan transaksi-transaksi mereka dengan jujur dan ridho satu sama lain. Negara juga harus mengawasi pasar dari tindakan-tindakan merugikan yang memanfaatkan kelemahan pasar.Ibnu Khaldun menekankan sistem pasar yang bebas, ia bahkan menentang intervensi negara terhadap masalah ekonomi dan percaya akan sistem pasar yang bebas. Ia juga membahas pertumbuhan dan penurunan ekonomi dapat saja berbeda antara satu negara dengan negara lain. Perkembangan dan penurunan ekonomi dapat terjadi dengan faktor utama yaitu pemasukan dan pengeluaran negara yang kadang berimbang, dan kadangkala berat sebelah antara keduanya. Ibnu Khaldun mengungkapkan analisisnya tentang perdagangan internasional dan hubungan internasional.

Penduduk merupakan faktor utama pendorong perdagangan dan perekonomian internasional. Jika jumlah penduduk besar maka akan terjadi pemerataan tenaga kerja sesuai dengan keahlian masing-masing, sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya surplus dan perdagangan internasional. Pembagian tenaga kerja internasional akan lebih bergantung pada keahlian masing-masing individu dari padanatural endowment.DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azim Islahi, Abdul Azim, 1988. Economic Concepts of Ibn Taimiyah, London: Islamic Foundation.

Al- Ghazali, Abu Hamid. tt. Ihya Ulum al-Din. Beirut: Dar al- Nadwah. Juz 2.

Al-Ghazali, 1964. Book of Counsel for king (Nasihat al- Mulk), New York and London: Oxford University Press..Amalia, Euis. 2005. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Asatruss.

Ar. 2010. Diperlukan intervensi pemerintah untuk atasi tingginya gejolak harga, http://bataviase.co.id/node, diakses tgl 1 Juni 2014.

Azra, Azyumardi. 2002 Historiografi Islam Kontemporer. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Azwar, Karim Adirawan. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo.

Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hoetoro, Arif. 2007. Missin link dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi. Unibraw: BPFE.

Islahi, Abdul Azim. 1988. Economic Concepts of Ibn Taimiyah, London: Islamic Foundation.

Misanan, Munrokhim, dkk., Text Book Ekonomi Islam, Yogyakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII).P3EI dan Bank Indonesia, 2008. Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Raja grafindo Persada.

S.ToddLowry, 1987. The Archeology of Economic Ideas: The Classied Greek Tradition. Durham: Duke University Press.Sudarsono, Heri. 2002. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta: EkonisiaUmarudin, M, tt. Ibnu Taimiyah: Pemikiran dan Pembaharuan dalam Buku Mihrajan Ibnu Taimiyah.

Arif Hoetoro, Missin link dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi, (Unibraw: BPFE, 2007), hlm. 39

Adirawan Azwar Karim Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Raja Grafindo jakarta. hlm. 8-10

P3EI dan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008), hlm,. 105

Abu Hamid Al- Ghazali, Ihya Ulum al-Din ( Beirut: Dar al- Nadwah,t.t.),Juz 2, hlm.109

S.ToddLowry, The Archeology of Economic Ideas: The Classied Greek Tradition (Durham: Duke University Press,1987),hlm.220.

Adiwarman A Karim. Sejarah pemikiran ekonomi islam. (jakarta: raja grafindo persada, 2010) hal 322

Ibid ,hlm.323

Ibid ,hlm.325

Adiwarman A Karim. Ekonomi islam suatu kajian kontemporer. (jakarta: gema insani press, 2004) hal.158

Ibid, hlm.328

Abu Hamid Al- Ghazali, Ihya,Op.Cit, hlm. 83

Ibid ,Juz 1,hlm.17. lihat juga karya Al-Ghazali lainnya, Mizan,Op.Cit,hlm.297dan Book of Counsel for king(Nasihat al- Mulk) (New York and London: Oxford UniversityPress,1964),hlm.59.

Abu Hamid Al- Ghazali , Ihya,Op.Cit,Juz 2,hlm.312-315

Kata Al-Ghazali berasal dari Ghazzal atau pemintal benang dinisbatkan pada pekerjaan ayahnya. Kata tersebut juga berasal dari Ghazalah yang dinisbatkan pada nama kampung kelahirannya.

Umarudin, M, Ibnu Taimiyah: Pemikiran dan Pembaharuan dalam Buku Mihrajan Ibnu Taimiyah, hlm. 725-726., lihat juga dalam, Nur Chamid, Op.cit., hlm. 233

Adiwarman Azwar Karim, Op.cit., hlm. 356

Ibid., hlm. 172

Adiwarman Azwar karim, Op.cit., hlm. 364-365

Ibid., hlm. 365

Ibid., hlm. 365

Munrokhim Misanan dkk., Text Book Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII), hlm. 155-156.

Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), Cet.1, hlm 167.

Ibid., hlm. 169

Adiwarman Azwar karim, sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006), Ed. 3., hlm. 172.

Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), Cet. 1., hlm, 116.

Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,.. hlm. 236

Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah, (London: Islamic Foundation, 1988), hlm. 116

Ibid hlm. 117

Euis Amalia, Op.cit., hlm. 179

Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah, (London: Islamic Foundation, 1988), hlm. 117

Adiwarman Azwar Karim, Op.cit., hlm. 373

Ar. 2010. Diperlukan intervensi pemerintah untuk atasi tingginya gejolak harga, HYPERLINK "http://bataviase.co.id/node"http://bataviase.co.id/node, diakses tgl 1 Juni 2014

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 414.

Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam,(Yogyakarta:Ekonisia, 2002), 144.

Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 358-364

Ibid, hlm. 367-371

Ibid, hlm. 371-377.

27