· web viewuntuk dapat memecahkan masalah seperti penyakit, kesulitan rumah tangga, ternak yang...

98
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai sebuah negara yang besar terkenal dengan keanekaragaman suku dan kebudayaan. Kepulauan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai dengan Merauke didiami oleh berbagai suku yang memiliki kebudayaan sendiri-sendiri. Kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional merupakan keseluruhan kebudayaan etnik yang hidup dan keseluruhan kebudayaan baru yang muncul di Indonesia (Sibarani, 2004:22). Pada hakikatnya kebudayaan yang merupakan hasil “budi” dan “daya” manusia itu, mengangkat derajat manusia sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi di antara makhluk–makhluk Tuhan yang lain, seperti binatang dan tumbuh–tumbuhan. Dengan kebudayaan kita dapat mengetahui tingkat peradaban manusia pendukungnya. Namun demikian perlu disadari bahwa tingkat kebudayaan dan peradaban itu banyak ditentukan oleh kemampuan manusia itu sendiri dalam menghadapi tantangan alam sekitar atau lingkungan di mana mereka tinggal dan hidup. Dalam hal ini nyata bahwa alam sekitar memberi

Upload: lyliem

Post on 03-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai sebuah negara yang besar terkenal dengan keanekaragaman suku dan

kebudayaan. Kepulauan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai dengan Merauke didiami

oleh berbagai suku yang memiliki kebudayaan sendiri-sendiri. Kebudayaan bangsa atau

kebudayaan nasional merupakan keseluruhan kebudayaan etnik yang hidup dan keseluruhan

kebudayaan baru yang muncul di Indonesia (Sibarani, 2004:22).

Pada hakikatnya kebudayaan yang merupakan hasil “budi” dan “daya” manusia itu,

mengangkat derajat manusia sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi di antara makhluk–makhluk

Tuhan yang lain, seperti binatang dan tumbuh–tumbuhan. Dengan kebudayaan kita dapat

mengetahui tingkat peradaban manusia pendukungnya. Namun demikian perlu disadari bahwa

tingkat kebudayaan dan peradaban itu banyak ditentukan oleh kemampuan manusia itu sendiri

dalam menghadapi tantangan alam sekitar atau lingkungan di mana mereka tinggal dan hidup.

Dalam hal ini nyata bahwa alam sekitar memberi batas kemampuan manusia untuk berbuat dan

melakukan sesuatu sesuai dengan “akal” atau “budi” dan “dayanya”.

Menurut Koentjaraningrat (1980:217) setiap kebudayaan yang dimiliki oleh manusia itu

mempunyai 7 unsur kebudayaan yang bersifat universal. Unsur kebudayaan itu adalah : bahasa,

sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata

pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.

Kebudayaan ini telah ada sejak manusia berkreasi dan berkarya. Hasil dari kebudayaan

tersebut dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain: norma, adat istiadat (tradisi), gagasan,

2

sastra baik sastra tulis maupun sastra lisan. Ciri–ciri Tradisi lisan hampir sama dengan ciri–ciri

folklor, yang di dalamnya juga terdapat pula tradisi lisan. Hampir seluruh tradisi lisan memenuhi

kriteria folklor. Tradisi lisan cakupannya sangat luas di mana tidak hanya terbatas pada cerita

rakyat, mite, dan legenda saja, melainkan berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap misalnya

seluruh sejarah hukum adat, praktik hukum, dan pengobatan tradisional. Tradisi lisan juga

berkaitan dengan folklor dan tradisi. Keterkaitan dengan folklor dapat dilihat dari segi etimologi.

Folk berarti rakyat, dan lore artinya tradisi. Folk adalah kelompok atau kolektif yang memiliki

ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakan dengan kelompok lain. Lore merupakan wujud

tradisi dari folk. Tradisi tersebut diturunkan secara lisan dan turun-temurun. Folklor berarti

tradisi rakyat dan sebagian tradisi ada yang disampaikan secara lisan, kelisanan menjadi pijakan

folklor.

Mantra Ritual pagar diri merupakan bagian dari kajian ilmu folklor. Upacara tradisional

pada tradisi ini termasuk dalam foklor yang berbentuk folklor sebagian lisan, unsur lisan berupa

mantra-mantra yang diucapkan pada saat prosesi ritual dilaksanakan, sedangkan unsur bukan

lisan dapat berupa gerak dan bunyi isyarat yang dikeluarkan saat prosesi ritual dilaksanakan.

Oleh karena itu untuk mengetahui bagaimana bentuk tradisi ritual tersebut maka perlu diadakan

pendekatan folklor.

Ritual pagar diri merupakan sebuah upacara tradisional yang di dalamnya mengandung

nilai-nilai dan adat istiadat yang masih dipertahankan dan dijalankan oleh masyarakat

pendukungnya. Adapun salah satu contoh masyarakat pendukungnya adalah seorang pejabat

yang ingin mempertahankan jabatannya agar tidak tergeser oleh orang lain, maka ia harus

memagar dirinya dengan mendatangi bomoh atau dukun, atau seorang pengusaha atau pedagang

agar usahanya tidak diganggu orang maka ia harus memagar dirinya yaitu dengan cara

3

melakukan ritual dan sebagainya. Ritual pagar diri memiliki fungsi tersendiri. Ritual pagar diri

ini juga memiliki bentuk, dan nilai untuk diteliti, bukan hanya sekadar tradisi yang dilaksanakan

secara turun-temurun, namun dilaksanakan untuk maksud-maksud tertentu. Ritual pagar diri

dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya sampai sekarang, dan berkembang seiring dengan

perkembangan zaman. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya pengunjung yang datang.

Adanya ritual pagar diri ini dalam rangka meminta kesejahteraan, keselamatan, dan berkah, serta

kekayaan. Ritual pagar diri merupakan sebuah gejala sosial yang perlu mendapat perhatian. Hal

ini juga yang melatarbelakangi penelitian lebih lanjut mengenai ritual pagar diri beserta nilai-

nilai yang terkandung di dalamnya.

Kehidupan sosial suatu masyarakat diatur oleh nilai–nilai budaya yang bersumber pada

adat dan tradisi yang berlaku pada masyarakat tersebut. Keterikatan warga masyarakat terhadap

adat istiadat tercermin dalam kehidupan mereka sehari–hari. Dalam menghadapi segala

permasalahan yang timbul dalam masyarakat, selalu diselesaikan secara adat untuk mencapai

mufakat. Keturunan, kepandaian, dan kekayaan merupakan penentu status seseorang dalam

masyarakat. Jabatan–jabatan dalam masyarakat tersebut merupakan jabatan yang turun temurun.

Hampir seluruh penduduk Ujung Gading Julu secara resmi merupakan penganut agama Islam,

namun sisa–sisa dari kepercayaan sebelum kedatangan islam masih terlihat sebagai unsur–unsur

kepercayaan nenek moyang (Rudini, 1992 : 95).

Desa Ujung Gading Julu terletak di Kecamatan Simangambat, Kabupaten Padang Lawas

Utara. Desa Ujung Gading Julu sebelah Utara berbatasan dengan Desa Simangambat Jae, sebelah

Selatan berbatasan dengan Desa Jambu Tonang, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pasir

Putih, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ujung Gading Jae. Adapun luas Desa Ujung

Gading Julu ± 3860 Ha, yang terdiri dari 5 lorong/RW, yaitu Lorong Kampung Lama, Lorong

4

Pasar Dua, Lorong Pasar Mujur, Lorong Rimba Baru, Lorong Simpang Durian. Desa Ujung

Gading Julu terletak di dataran perbukitan, karena itu beriklim dingin. Adapun jumlah penduduk

Ujung Gading Julu ± 2215 Jiwa, sedangkan mata pencaharian penduduk yang utama adalah tani.

Walaupun penduduknya telah menganut agama Islam, akan tetapi masih terdapat

kepercayaan terhadap kekuatan–kekuatan gaib, yang dianggap menguasai alam yang

mempengaruhi kehidupan mereka. Kekuatan gaib tersebut harus diperhatikan atau

diperhitungkan dengan baik agar ia tidak menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan (Kadir

dkk, 1985 : 12).

Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang

dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para

anggota suatu masyarakat ( Horton dkk, 1999:58).

Sastra lama atau sastra daerah baik lisan maupun tulisan, umumnya kurang dikenal oleh

masyarakat modern karena belum digarap (direkam,dibukukan,diterjemahkan) secara sungguh-

sungguh menjadi bacaan masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat sastra memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah fungsi

religius yang berarti sastra pun menghadirkan karya–karya yang mengandung ajaran agama yang

dapat diteladani para penikmat atau pembaca sastra (Sulistiono dkk, 2008 : 282).

Segala jenis seni kata yang diwariskan turun temurun secara lisan disebut “tradisi lisan”.

Kegiatan kesenian yang menampilkan tradisi lisan tersebut antara lain mencakup jenis mantra,

pantun, lagu dolanan anak–anak, dongeng dan gosip. Karena tidak terekam dalam tulisan, mantra

atau dongeng senantiasa mengalami perubahan dalam pilihan kata maupun panjang pendeknya.

5

Jenis tradisi lisan yang boleh jadi paling tua adalah “mantra” yang dalam beberapa bahasa di

Indonesia dikenal juga sebagai “jampi–jampi” (Syukur dkk, 2005: 68).

Tradisi lisan maupun tradisi tulis tidak punya kaitan dengan ada atau tidak ada sistem

aksara sendiri yang dimiliki oleh suatu masyarakat bahasa, juga tidak punya kaitan dengan

modern atau tradisional kehidupan suatu masyarakat bahasa. Dengan kata lain, semua

masyarakat bahasa, punya aksara sendiri atau tidak, modern atau tradisional, mengembangkan

tradisi lisan masing–masing. Tradisi lisan itu adalah totalitas pertemuan antara penutur bahasa

dan khalayak, seperti yang terjadi dalam upacara agama dan adat, pengucapan pantun, syair,

mantra, pengungkapan perasaan dan ratap, penutur dongeng, kisah dan penguraian silsilah.

Rumusan inipun belum sempurna, karena seseorang yang meratap misalnya : tidak harus punya

khalayak (kecuali dirinya sendiri dapat disebut khalayak juga), akan tetapi peristiwa tersebut

adalah bagian dari tradisi lisan (Simbolon, 1999:84).

Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat. Masyarakat adalah

makhluk sosial yang hidup secara berkelompok dalam suatu kawasan dan mereka membuat suatu

organisasi yang dapat saling tolong menolong antara satu dengan yang lain. Kearifan lokal

dalam mantra tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal dapat ditemukan dalam

mantra-mantra, jampi-jampi, nyayian, pepatah, petuah, kitab-kitab kuno, dll. kearifan lokal dapat

dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta (makrokosmos) dan alam kesadaran manusia

(mikrokosmos). Tidak ada sesuatu benda dan kejadian di jagat raya ini yang bisa berdiri sendiri,

semuanya saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Menurutnya, selarasnya alam dan

manusia adalah syarat utama terjadinya harmoni semesta.

6

Di Sumatera, kearifan lokal juga tercipta, masyarakat Sumatera Barat (baca

Minangkabau) yang hidup di dataran tinggi pulau Sumatera, mempunyai kearifan tentang

hubungan alam dan manusia. Dalam petuah adatnya di sebutkan: ”ka lauik babungo karang, ka

sungai babungo pasia, ka darek babungo kayu.” (Ke laut berbunga karang, ke sungai berbunga

pasir, ke darat berbunga kayu). Tapi, biarpun laut berbunga karang dan darat berbunga kayu

mereka tidak boleh semena-mena dalam memanfaakannya, ada aturannya dan itu di sebut ”alur

dan patut,”. Mereka harus menjaga karena manusia dan alam mempunyai saling keterikatan

untuk menjaga, seperti ”aur dengan tebing.”

Contoh kerifan lokal dalam bacaan mantra:Bintang tujuh di mata akuBintang berayun di dagu akuBulan purnama di kening akuSemut beriring di bibir akuGajah sekawan di gigi akuOmbak beralun di lidah akuSuara aku seperti suara Nabi DaudRupa aku seperti rupa Nabi Yusuf(Borhan Kamin dalam Haron 2001)

Mantra merupakan ucapan gaib digunakan dalam semedi dan pemujaan untuk

memungkinkan terjadinya hubungan langsung antara dewata dan pemuja. Mantra telah lama

digunakan di dunia Melayu sebagai cara mempengaruhi kekuatan dikodrati agar berpihak kepada

si pemohon (Mc Glynn dkk, 2002 : 124).

Mantra seperti karya sastra lisan lainnya, sukar dipastikan siapakah penciptanya. Dalam

hal ini pencipta mantra diduga terdiri dari orang – orang yang berwibawa dalam masyarakat dan

mempunyai pengetahuan yang luas dalam banyak bidang, terutama alam ghaib dan alam nyata.

Alam ghaib adalah semua kuasa dan makhluk yang tidak dapat dilihat dengan mata kasar

meliputi malaikat, makhluk halus seperti jin, iblis dan hantu, kayangan, surga dan neraka.

Sedangkan alam nyata adalah semua makhluk yang dapat dilihat dengan panca indra, dan semua

7

benda yang ada di bumi dan di langit. Dengan demikian pencipta mantra juga berfungsi sebagai

penghubung antara manusia dengan alam ghaib, dan orang tersebut biasanya disebut bomoh /

pawang / dukun.

Dukun telah menjadi bagian integral dari masyarakat kita yang majemuk. Di satu sisi, dia

merupakan sosok yang banyak dicaci masyarakat karena dianggap “sesat”dan “membodohi”, di

sisi lain, dukun justru dijadikan “tempat mencari petunjuk” disaat orang–orang tertentu

mengalami kebingungan dan kebuntuan yang tidak dapat dia temukan jawabannya dalam teori-

teori ilmiah maupun analisis para pakar dibidang tertentu (Ruslani, 2005 : 104).

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah “dukun” diartikan sebagai “ orang yang

mengobati, menolong orang sakit, atau memberi jampi–jampi”. Untuk dapat memecahkan

masalah seperti penyakit, kesulitan rumah tangga, ternak yang sakit, atau kehilangan harta benda

dilakukan upacara melalui perantara roh (Fox dkk, 2002 : 105).

Dengan adanya wujud berbagai interaksi sosial itu akan menimbulkan berbagai tindakan

yang dianggap dan dipercayai masyarakat. Misalnya ada tindakan bersama yang intinya untuk

kepentingan bersama pula dalam masyarakat. Maka diadakan upacara ritual, seperti memohon

keselamatan terhadap malapetaka atau meminta rezeki kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Salah satu dari sekian banyak ritual yang kita kenal dan yang paling sering digunakan

orang adalah ritual “pagar diri”. Mantra “Pagar diri” adalah mantra yang berfungsi untuk

melindungi diri dari musuh manusia, makhluk halus, binatang, penyakit dan sebagainya. Mantra

“Pagar diri” biasanya selalu dibarengi dengan mantra “pemanis atau penglaris” yang

kesemuanya itu berfungsi untuk memperlancar usaha serta terhindar hari hal–hal yang tidak

diinginkan atau orang–orang yang dengki pada kita. Contoh mantra :

8

Mantra Pagar DiriBismillahirrahmanirrahimAllah payung akuJibrail kota akuMalaikat empat puluh empat pagar akuAku berjalan dengan kuasa allahAku berlenggang dengan lenggang MuhammadBukan kata aku, kata AllahBerkat doaLa ilaha illa ‘Illah Muhammadar Rasulullah(Saidin Said Taiping dalam Haron 2001)

Mantra Pemanis Bismi’llahi ‘I-Rahmani ‘I-RahimMatahari empat, bulan lima, Bintang tujuh di mata akuBintang berayun di dagu akuBulan purnama di kening akuSemut beriring di bibir akuGajah sekawan di gigi akuOmbak beralun di lidah akuSuara aku seperti suara Nabi DaudRupa aku seperti rupa Nabi YusufBerkat aku memakai pemanis budak Sama jadi dengan aku Dengan berkatLa ilaha illa’llah, Muhammadar Rasulullah.(Borhan Kamin dalam Haron 2001)

Mantra penglarisBismi’llahi ‘I-Rahmani ‘I-RahimAku puja ilmuku Si Semar senyumSenyumanku bagaikan semarSenyumanku kegembiraan kedatangankuNgiling-ngiling sedih sepeninggalankuDatang belas datang kasihOrang sealam semesta ini Semua kasih kepada akuKasih dengan kehendak AllahBerkat doaLa ilaha illa’llah, Muhammadar Rasulullah.(Mat Aris Mat Alor Setar dalam Haron 2001)

Kepercayaan warisan adalah kepercayaan yang menjelaskan bahwa sebagian persoalan

hidup manusia dipengaruhi kuasa–kuasa luar biasa yang dinamakan penunggu, semangat, roh,

9

hantu dan jin. Kepercayaan itu bercampur aduk dengan kepercayaan yang diterima dari India,

yaitu keramat dan sihir.

Ritual merupakan kebudayaan yang dianggap masyarakat tersebut sebagai hasil

kelakuan/tindakan yang berisikan model–model kognitif yang berperanan menjadi kerangka

pegangan untuk pemahaman. Hasil pemahaman itu dapat menjadi aturan yang berlaku dalam

masyarakat. Dipelihara dan dipertahankan secara turun-temurun. Jadi, ritual ini dapat menjadi

petunjuk yang mengatur, menyeleksi kelakuan/tindakan masyarakat. Ritual itu pula

merangkaikan simbol–simbol yang diseleksi dan diakui secara bersama–sama oleh masyarakat

untuk mengidentifikasi tujuan agar tercapai dengan sebaik–baiknya.

Untuk mengetahui hubungan yang berkaitan dengan ritual “pagar diri”, dan sekaligus

mengetahui makna–makna unsur ritual tersebut akan dipaparkan pada bagian analisis semiotik

mantra dalam ritual “pagar diri”.

1.2 Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang dan identifikasi masalah tersebut dalam penelitian ini,

maka permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah versi proses ritual “pagar diri” tersebut dilakukan?

2. Bagaimanakah interpretasi makna mantra ritual “pagar diri” di Desa Ujung Gading

Julu?

3. Bagaimanakah semiotika perlengkapan yang digunakan dalam ritual “pagar diri” di

Desa Ujung Gading Julu ?

4. Bagaimanakah kearifan lokal dalam mantra tersebut?

10

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan tahap–tahap pelaksanaan ritual “pagar diri” pada masyarakat Desa

Ujung Gading Julu.

2. Mendeskripsikan semiotik dan bentuk lingual mantra dalam ritual “pagar diri” di

Desa Ujung Gading Julu.

3. Mendeskripsikan semiotika perlengkapan yang digunakan dalam ritual “pagar diri”

tersebut.

4. Mendeskripsikan kearifan lokal yang terdapat dalam mantra tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis dan praktis.

Manfaat teoretisnya adalah sebagai sumbangan fikiran dalam dunia pendidikan guna kemajuan

pembelajaran memotivasi mutu pendidikan pada umumnya dan pembelajaran tradisi lisan pada

khususnya.

Manfaat praktisnya adalah

1. Penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan rujukan bagi penelitian lanjutan dan

dapat pula digunakan sebagai bahan perbandingan untuk melakukan kajian yang lebih

lanjut.

2. Diharapkan penelitian semiotik ini dapat menemukan sesuatu yang baru, yang selama ini

belum pernah dilakukan.

3. Dapat pula memperkaya khazanah telaah semiotik sastra, bahasa, dan budaya Indonesia

umumnya, daerah pada khususnya.

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Semiotik

Istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Semiotik adalah

ilmu yang mempelajari sistem tanda: bahasa, kode, sistem sinyal dan lain–lain. Semiotik juga

merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan

manusia. Semiotik adalah studi tentang tanda, dan tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu

yang lain dalam batas – batas tententu (Pudentia, 2008 : 322).

Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan.

Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai

alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang

lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.

Menurut Junus (Pradopo, 2003:118), Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik

merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Alasannya adalah karya sastra itu

merupakan struktur tanda–tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda dan

maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra (karya sastra) tidak dapat dimengerti

maknanya secara optimal. Culler (dalam Ratna, 2004:97) menyebutkan strukturalisme dan

semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya

sedangkan semiotika pada tanda. Ilmu bahasa merupakan suatu jenis dari semiotik. Ilmu bahasa

adalah satu segi kajian tentang makna (Halliday dkk, 1992:14). Bahasa adalah satu sistem

semiotik sosial dan hidup dalam konteks. Sebagai sistem semiotik, bahasa bersosialisasi dengan

sistem-sistem semiotik lain sekaligus juga meminjam sistem–sistem semiotik tersebut antara lain

12

sistem semiotik konteks. Hubungan bahasa dengan konteks adalah realisasi bahasa sebagai

sebuah sistem semiotik sosial. Dengan kata lain, bahasa wujud dalam konteks dan tiada bahasa

tanpa konteks sosial (Sinar, 2008:53).

Bahasa dan budaya adalah milik suatu kelompok masyarakat. Dari sisi bahasa, kelompok

dimaksud disebut guyup tutur/masyarakat bahasa (speech community), sedangkan dari sisi

budaya disebut guyub budaya/kelompok etnik (ethnic group).

Dari sisi hakikat, bahasa dan budaya bersifat arbitrer/manasuka. Sifat kemanasukaan itu

dapat menyebabkan persepsi yang berbeda, bahkan bertentangan antara guyup tutur dan guyup

budaya yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya sifat kemanasukaan itu, maka khusus

untuk penelitian terhadap pemakaian bahasa dalam dimensi budaya diperlukan pendekatan

gabungan antara etik-emik.

Pendekatan etik-emik ini menganut prinsip bahwa yang paling mengetahui budaya suatu

kelompok etnik adalah kelompok etnik itu sendiri. Meskipun demikian, pemilik budaya kadang-

kadang tidak tuntas menjelaskan muatan budaya yang dimilikinya itu. Atas dasar dikotomi

pemahaman budaya oleh pendukungnya itu, diperlukan pendekatan yang dapat menjadi jalan

keluar dalam penelitian linguistik kebudayaan, yakni pendekatan etik-emik. Etik mengacu pada

hal-hak yang berkaitan dengan budaya yang menggambarkan klasifikasi dan fitur-fiturnya menurut

temuan pengamat/ peneliti. Sementara emik mengacu pada sudut pandang suatu masyarakat dalam

memperlajari dan memberi makna terhadap satu tindakan, atau membedakan dua tindakan. Etik adalah

apa yang dipahami peneliti, sementara emik adalah apa yang ada dalam benak anggota guyup budaya

(Pudentia, 2008:297).

Teori struktural dan semiotik merupakan teori kritik sastra objektif. Abrams (Pradopo,

2003:140) menjelaskan ada empat pendekatan terhadap karya sastra yaitu pendekatan :

13

1. Mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan)

2. Pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai

tujuan tertentu.

3. Pendekatan ekspresif, yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan,

pikiran dan pengalaman penyair (sastrawan).

4. Pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom,

terlepas dari alam sekitarnya, pembaca dan pengarang.

2.2 Landasan Teori

Teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini adalah teori semiotik yang

dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1857–1913) dan Charles Sanders Pierce (1839–1914).

Selain Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce, ada juga pendapat beberapa ahli

tentang defenisi semiotik yang menjadi acuan dan pendukung dalam penelitian ini, yaitu Roland

Barthes (1915–1980) dan M.A.K. Halliday.

Penggunaan teori yang dilakukan oleh Charles Sander Pierce menegaskan bahwa kita

hanya dapat berpikir dengan sarana tanda yang sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat

berkomunikasi. Sedangkan Ferdinand de Saussure menegaskan bahwa sistem tanda yang disebut

bahasa itu hanyalah satu di antara sekian banyak sistem tanda yang ada. Roland Barthes

menegaskan bahwa komponen–komponen tanda, penanda dan petanda terdapat juga pada tanda-

tanda bukan bahasa antara lain terdapat pada mite yakni keseluruhan sistem citra dan

kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya.

Selanjutnya Barthes menggunakan teori tanda dan penanda yang dikembangkan menjadi teori

14

tentang metabahasa dan konotasi. Sedangkan Halliday memandang bahasa sebagai alat dalam

proses komunikasi atau sistem semiotik. Dalam komunikasi bahasa terlibat adanya konteks, teks,

dan sistem bahasa.

2.2.1 Charles Sanders Peirce

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga

elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk

fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk

(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol

(tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan

Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut

objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau

sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993 : 10), (Pudentia, 2008:323).

Objek

Representamen Interpretan

Bagan I segitiga makna

Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar

yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang

penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang

dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat,

segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis

1 1 1

2

2

2

33

3

4 4

4

5

5

5

6

6

6

7

7 7

8

8

8

9 9

9

10 10000 10

15

penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis

petandanya seperti yang tertera dalam bagan 2 dan bagan 3 berikut.

Ground / representamen : tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum.

Objek / referent : yaitu apa yang diacu.

Interpretant : tanda – tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.

Qualisign : terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, mis : “keras” suara sebagai tanda. Warna hijau.

Ikon : tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Mis : foto, peta.

Rheme : tanda suatu kemungkinan / konsep, yaitu yang memungkinkan me nafsirkan berdasarkan pilihan, mis : “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.

Sinsign / tokens : terbentuk melalui realitas fisik. Mis : rambu lalu lintas.

Index : hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Mis: asap dan api.

Dicent sign : tanda sebagai fakta / pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.

Legisign : Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, mis : suara wasit dalam pelanggaran.

Symbol : hubungan tanda dan objek karena kesepakatan / suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Mis : bendera, kata – kata.

Argument : tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar bahar dengan alasan kesehatan.

Bagan 2 pembagian tanda

Ground Object Interpretant

Qualisign Icon Rheme

Sinsign Index Dicent

16

Legisign Symbol Argument

Bagan 3 hubungan tanda

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan

tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang

tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah

bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat

berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak

memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat

representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan

tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen (R), Object (O), dan

Interpretant (I). (R) adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang

merujuk pada sesuatu yang diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang

menafsikan hubungan antara (R) dan (O).

Contoh: Apabila ditepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam

kognisinya ia merujuk pada “ larangan untuk berenang”(O), selanjutnya ia menafsirkan bahwa

“adalah berbahaya untuk berenang disitu”(I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan

antara R dan O bersifat konvensional.

2.2.2 Ferdinand De Saussure

Pohontangkal

Sign / symbol

Signifier Signified

17

Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori

ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda

(signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya

arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi

dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure

adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi.

Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah

sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat

memaknai tanda tersebut (Culler, 1996 :7). Bagan berikut tentang tanda(sign) yang dikemukakan

oleh Ferdinand de Saussure (dalam Djajasudarma, 1993:23).

Signifiant (signifier) “yang menandai” (citra bunyi) mis : pohon [p o h o n]

Signe

Signifie (signified) “yang ditandai” (pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran).

Contoh :

Bagan 4 tentang tanda

“Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa (signe linguistique atau signe) bersifat arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-k-a-l di dalam bahasa Sunda atau w-i-t di dalam bahasa Jawa”“Signifiant bersifat linear, unsur – unsurnya membentuk satu rangkaian (unsur yang satu mengikuti unsur lainnya)”

18

---------- signification --------------

Bagan 5 tentang hubungan tanda

Menurut Saussure (Chaer, 2003 : 348), tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar,

disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut

signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang

objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut

“referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan

object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan

menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang

menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda

kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified” merupakan kesatuan,

tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.”

Bahasa merupakan sistem tanda, di mana setiap tanda yang ada terdiri dari dua bagian

yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau gagasan. Sementara signified

adalah kata – kata atau tulisan yang menyampaikan konsep, ide, atau gagasan tersebut. Kedua

unsur ini tidak dapat dipisahkan, suatu signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa–apa

sebaliknya suatu signifier tanpa signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia

yang masih sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier.

Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified “bayi”.

2.2.3 Roland Barthes

Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes

mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.

Epenanda

Cpetanda

Epenanda

Cpetanda

Epenanda

Cpetanda

Epenanda

Cpetanda

19

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada

realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan

yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak

eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Barthes, 2007 : 82).

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks

pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik

pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada

orang yang berbeda situasinya. Menurut Saussure (dalam Aminuddin, 1995: 168) hubungan

antara simbol dan yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya

memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara asosiatif

juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan dan sebagainya.

Konsep mental ini kemudian menjadi perhatian Barthes yang mengembangkan konsep

tanda Saussure dengan menambahkan konsep ‘relasi’. Relasi yang dimaksud adalah penghubung

penanda (disebut expression ‘ungkapan’ dilambangkan dengan E) dan petanda (disebut contenu/

content ‘isi’ dilambangkan dengan C). Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi (R).

Gabungan atau kesatuan tingkatan–tingkatan tersebut dan relasinya itu membentuk satu sistem

ERC. Sistem ini terdapat dalam bentuknya sendiri, dan menjadi unsur sederhana dari sistem atau

bentuk kedua yang membina bentuk yang lebih luas. Oleh Barthes sistem ini dapat dipilah

menjadi dua sudut artikulasi. Konotasi–Denotasi satu sudut, metabahasa dan objek bahasa di

sudut lain, seperti bagan berikut ini (Pudentia, 2008:335).

1. Denotasi Objek bahasa

2. Konotasi Metabahasa

Jin Makhluk halus

Jin berkecimpung

Jin Bermain air / mandi

Jin Bergembira menerima persembahan

20

Bagan 6 konotasi dan metabahasa

Contoh : Tempat jin turun berkecimpung

E C

Denotasi

Konotasi E C

E C

Objek bahasa

Metabahasa

E C

2.2.4 M.A.K. Halliday

Teori bahasa fungsional sistemik dikembangkan seorang pakar linguistik Prof M.A.K

Halliday seorang pakar bahasa yang berasal dari Inggris dan kini tinggal di Australia sebagai

guru besar di Universitas Sydney. Kata sistemik adalah suatu teori yaitu tentang makna. Bahasa

merupakan semiotik sistem (Halliday dkk, 1992 : 4). Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua

jenis yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti

Bahasa

Ideologi/ideology

Budaya /genre

Situasi/register

21

direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan

semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memilki bentuk.

Dalam pemakaian bahasa sistem semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa

dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya dan faktor situasi sebagai

semiotik konotatif, pemakaian bahasa menujukkan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh

karena itu, semiotik meminjam budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh

budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjutnya konteks situasi meminjam

semiotik yang berada dibawahnya yaitu bahasa. Jadi konteks situasi direalisasikan oleh bahasa

yang mencakupi semantik, tata bahasa dan fonologi.

Bahasa dalam pandangan semiotik sosial menandai jenis pendekatan yang dilakukan oleh

Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai semiotik, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti

dan ekspresi, berbeda dengan semiotik biasa sebagai semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain

yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti,

bentuk dan ekspresi. Arti (semantic atau discourse semantics) direalisasikan bentuk (grammar

atau lexicogrammar) dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh ekspresi (phonology/graphology)

(Saragih, 2000 :1).

Proses semiotik adalah suatu proses pembentukan makna dengan melakukan pemilihan.

Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas semiotik denotatif dan semiotik konotatif yang memiliki

arti dan bentuk. Bahasa merupakan semiotik denotatif dengan pengertian bahwa semantik

sebagai arti direalisasikan oleh lexicogrammar sebagai bentuk dan selanjutnya lexicogrammar

diekspresikan oleh phonology (bahasa lisan) atau graphology (bahasa tulisan).

22

Semiotik

KonteksKonotatif Semiotik

Linguistik

Denotatif

Bagan 7 susunan semiotik bahasa

2.3 Tradisi

Tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang secara historis keberadaannya dan

keberlangsungannya bersifat turun temurun. Tradisi masyarakat dapat berupa adat atau budaya

masyarakat setempat (Koentjaraningrat,1997:9). Menurut Koentaraningrat (1984:187)

mengatakan bahwa tradisi sama dengan adat istiadat, konsep serta aturan yang mantap dan

terintegrasi kuat dalam sistem budaya di suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam

bidang sosial budaya. Tradisi adalah adat istiadat, kebiasaan turun temurun (nenek moyang) yang

masih dijalankan di masyarakat, penilaian atau tanggapan bahwa cara-cara yang telah ada

merupakan cara yang paling baik dan benar (KBBI, 1996:958). Tradisi (lisan) bercirikan verbal

(berupa kata–kata), tanpa tulisan, milik kolektif rakyat, memiliki makna fundamental,

ditransmisikan dari generasi ke generasi (Endraswara :2009:26).

Tradisi budaya merupakan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun

temurun yang dijalankan oleh masyarakat dan menjadi kebiasaan yang bersifat rutin, contohnya

tradisi melaksanakan acara selamatan dikalangan masyarakat awam dan tradisi di lingkungan

kerajaan. Tradisi pada masyarakat awam antara lain, upacara kehamilan, kelahiran, dan

sebagainya. Tradisi merupakan bagian dari keberadaan masyarakat yang dipelihara oleh

masyarakat, seperti halnya pada ritual pagar diri di Desa Ujung Gading Julu.

23

2.4 Pengertian Tradisi Lisan

Tradisi lisan dan atau sastra lisan merupakan tradisi sastra yang mencakup ekspresi

kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan dari mulut ke

mulut. Tradisi lisan ini pada umumnya berkembang pesat di dalam masyarakat yang belum atau

sedikit mengenal tulisan, yaitu masyarakat pedesaan. Hal itu bukan berarti bahwa tradisi lisan

tidak berkembang di dalam masyarakat perkotaan yang pada umumnya mengenal tulisan tetapi

peranan tradisi lisan ini dalam komunitas kota pada umumnya relatif kecil dan kurang signifikan

(Endraswara, 2008:151). Karena tradisi lisan merupakan ekspresi lisan sebuah komunitas budaya

suatu kelompok masyarakat atau kolektif yang tersebar di berbagai kelompok suku bangsa yang

bersifat pluralitas, maka wujud, bentuk, tema, dan fungsinya pun berbeda-beda.

Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara

turun temurun (Endraswara : 2008: 151). Adapun ciri – ciri dari sastra lisan yakni :

1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional.

2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tak jelas siapa penciptanya.

3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka dan pesan mendidik.

4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu

5. Sastra lisan banyak mengungkapkan kata–kata atau ungkapan–ungkapan klise

6. Sastra lisan sering bersifat menggurui.

Dalam pandangan Teeuw (dalam Endraswara, 2008:151), memang kelisanan masih

terdapat di berbagai pelosok masyarakat. Kelisanan di daerah terpencil, biasanya lebih murni.

Karena itu, sastra lisan di daerah yang belum mengenal alat komunikasi dan teknologi canggih,

justru menarik untuk diteliti.

24

Sastra sering memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu. Dalam masyarakat primitif,

kita tidak dapat membedakan puisi dari ritual, sihir, kerja atau bermain. Sastra mempunyai fungsi

sosial atau “ manfaat” yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi, permasalahan studi sastra

menyiratkan atau merupakan masalah sosial: masalah tradisi, konvensi, norma, jenis sastra

(genre), symbol, dan mitos (Wellek Werren dkk,1989:109)

Dalam karya sastra dikenal beberapa aliran di antaranya aliran simbolisme dan aliran

mistikisme. Aliran simbolisme adalah aliran dalam sastra yang menampilkan simbol–simbol

(isyarat) dalam karyanya, hal ini dilakukan pengarang untuk mengelabui maksud yang

sesungguhnya. Sedangkan aliran mistikisme adalah aliran dalam sastra yang melukiskan

pengalaman dalam mencari dan merasakan nafas ketuhanan dan keabadian (Sulistiono dkk,

2008:290). Anggapan atau asumsi dasar bahwa karya sastra merupakan keseluruhan bagian

masalah teori yang sering kali dibahas, baik dalam ilmu sastra maupun filsafat, dengan istilah

lingkaran hermeneutik. Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi karya sastra dan

ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya (Teeuw, 2003 : 102).

Sastra lama atau sastra daerah baik lisan maupun tulisan, umumnya kurang dikenal oleh

masyarakat modern karena belum digarap (direkam, dibukukan, diterjemahkan) secara

sungguh–sungguh menjadi bacaan masyarakat. Sastra daerah (lisan dan tulisan) itu

menggambarkan ide-ide yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan kebudayaan daerah yang

menjadi unsur kebudayaan nasional yang sekarang ini.

Sastra lama atau sastra daerah yang tidak dipelihara akan punah (Teeuw, 2003:271)

karena sebagian besar masih tersimpan dalam pikiran orang yang telah tua usianya. Sastra daerah

25

ini akan punah bila tidak ada pemeliharaan terarah, misalnya jika tidak dijadikan sebagai mata

ajaran disekolah (dasar)atau disebarkan sebagai buku bacaan sastra daerah .

Terdapat varitas yang sangat mengejutkan dari sastra lisan yang bertahan hidup di antara

orang-orang pra-aksara, dan sebagaimana kata-kata tertulis muncul dalam sejarah, menunjukkan

bahwa semua genre penting sastra yang muncul pada awal masyarakat beradab adalah: epos

heroik, nyanyian pujaan untuk pendeta dan raja, cerita misteri dan supernatural, lirik cinta,

nyanyian pribadi hasil meditasi, kisah cinta, kisah petualangan dan heroisme rakyat jelata, yang

berbeda dari epos heroik kelas atas, satir, satir pertempuran, balada, dogeng tragedi rakyat dan

pembunuhan, cerita rakyat, fabel, teka-teki, pepatah, falsafah hidup, himne, mantra-mantra,

nyanyian misteri para pendeta, dan mitologi.

Dari berbagai varitas di atas, genre sastra lisan dapat klasifikasikan ke dalam sub-sub

genre yang terdiri atas puisi lisan, prosa lisan, dan drama lisan. (Pudentia, 1998:4) menyusun

sebuah gradasi dari sastra lisan yang paling murni sastra hingga ke pertunjukan teater yang

paling lengkap media pengungkapannya, yakni: murni pembacaan sastra (mebasan dan

macapatan); pembacaan sastra disertai gerak sederhana dan atau iringan musik terbatas

(cekepung dan kentrung); penyajian cerita disertai gerak tari (randai); dan penyajian cerita

melalui aktualisasi adegan, dialog dan tarian pemeran, dan iringan musik (wayang wong,

makyong, wayang gong, dan lain-lain).

Sastra lisan merupakan istilah yang dipergunakan di Indonesia untuk menyebut sastra

yang disampaikan secara lisan. Istilah ini merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “oral

literature”, yang pada hakikatnya bermakna pada kesusastraan yang mencakup ekspresi

26

kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan dari

(mulut ke mulut).

Sastra lisan merupakan khazanah kebudayaan paling luas sekaligus paling kaya. Melihat

penyebarannya yang sangat luas, khazanah kultural ini tidak pernah terdeteksi secara pasti, yang

pasti adalah bahwa tradisi tersebut makin lama makin berkurang dengan berkurangnya

masyarakat pendukung sebagai akibat mobilitas dan globalisasi. Tradisi lisan adalah tradisi

komunikasi langsung, di mana di mungkinkan terjadinya interaksi antara pengirim dengan

penerima (Ratna,2005:276).

Sastra lisan berfungsi sebagai alat untuk menghibur dan sebagai karya yang mengandung

hal yang berguna. Horace (dalam Wellek dan Austin Warren,1989 :30) mengatakan bahwa sastra

lisan berfungsi dulce et utile (sweet and useful). Sastra lisan sebagai alat dulce berfungsi

menghibur, memberi kenikmatan, kegembiraan, kepuasan atau kelegaan pada hati pendengar.

Sastra lisan sebagai utile berfungsi atau mendidik, memberi nasehat, memberi pengetahuan,

membimbing bermoral, memberi gambaran kebiasaan tata cara kehidupan atau memberi

pengetahuan tentang asal usul, peristiwa atau jasa masyarakat lama.

Menurut Hutomo (dalam Endraswara,2008:151) bahan sastra lisan dapat dibedakan

menjadi 3 bagian :

1. Bahan yang bercorak cerita :a. cerita–cerita biasa (tales), b.mitos (myths), c. legenda

(legends), d. epic (epics), e. cerita tutur (ballads), f. memori (memorates).

27

2. Bahan yang bercorak bukan cerita yaitu : a. ungkapan (folk speech), b. nyanyian (songs),

c.peribahasa (proverbs),d. teka teki (riddles), e. puisi lisan (rhymes), f. nyanyian sedih

pemakaman (dirge), g. undang–undang peraturan adat (law).

3. Bahan yang bercorak tingkah laku (drama) yaitu a. drama panggung , b. drama arena.

Mitos merupakan cerita-cerita yang bersifat kudus, amat akrab, malah terangkum dalam

sistem kepercayaan sesuatu bangsa. Mitos berkaitan dengan tindakan atau perlakuan Tuhan

dalam hubungannya dengan penciptaan manusia, makhluk dan alam. Ia menceritakan sejarah

sakral sesuatu suku bangsa atau ras. Kejadian mitos berlaku pada awal seluruh kejadian, dalam

ruang masa mitos yang bersifat imeless, yaitu masa sebelum masa objektif. Sehingga, mitos tidak

lagi dicipta dalam zaman modern, kerana kerja-kerja Tuhan dianggap sudah selesai, lalu tidak

memerlukan penciptaan yang baru.

Melalui ritual dan perlakuan manusia, mitos diulang, diperbaharui, dan dilanjutkan ke

masa depan. Taslim (2000:4-5) mengatakan bahwa mitos ialah cerita tradisional yang pelakunya

makhluk yang luar biasa (supernatural) dengan latar tempat suci dan waktu masa purba. Di

dalamnya terdapat peristiwa yang membayangkan kejadian luar biasa berkenaan penciptaan alam

semesta dan isinya, perlakuan manusia atau makhluknya yang dianggap asal; diikuti perubahan

dan kehancuran dunia. Masyarakat pendukung atau pemilik mitos biasanya menganggap cerita

itu sebagai suatu yang dipercayai. Oleh yang demikian, mitos adalah cerita tradisional yaitu

bukan cerita ciptaan zaman sekarang. Para penutur cerita terlebih dahulu telah mendengar cerita

itu daripada generasi orang tuanya malah daripada generasi saudara-saudara tuanya.

Para pelaku dalam mitos berasal atau mempunyai hubungan dengan dunia atas, yaitu

kedewataan atau kayangan; dan juga “dunia bawah” yang bermaksud di bawah bumi, di dalam

28

laut, selain mayapada atau alam manusia. Misalnya dunia bawah termasuk ikan besar yang

kemudiannya menjelma menjadi manusia atau seorang gadis yang mengganggu pria dan

akhirnya menjadi isteri pria tersebut; peristiwa, adat, kepercayaan dan lain-ain, misalnya

bagaimana awal cerita terjadinya mas kahwin, mengapa lelaki dilarang ke dapur dan mengapa

pasangan kekasih merenung sambil melihat bulan untuk melepaskan rindu.

Hakikatnya manusia sebagai homo ludens (yang gemar bermain) dan homo fabulans

(makhluk yang gemar bercerita atau bersastra), sering mempengaruhi dirinya lebih tertarik pada

sastra lisan. Kelisanan yang didapati dalam berbagai mantra boleh dilihat dalam satu kontinum.

Termasuk di dalamnya invokasi nama–nama suci, melafazkan kata–kata yang kadangkala tidak

bermakna, cerita dan dialog, perulangan nama–nama terkenal yang didapati dalam agama, dan

penggunaan tulisan yang berupa tanda serta simbol–simbol. Sifat kelisanan mantra yang dapat

diperjelas dengan menganalisis struktur komponen mantra.

Hal yang penting dalam pengamatan mantra adalah keyakinan kepada orang yang

mengucapkan mantra tersebut, biasanya bomoh atau pawang yang dipercayai ada kuasa untuk

berhubungan dengan makhluk–makhluk gaib. Keyakinan itu memperlihatkan ‘extra sensory

practice’ berdasarkan semacam ‘bio energy’ yang digunakan oleh bomoh atau pawang yang

mahir dalam seni ini. Dengan kata lain psikodinamika mantra dipengaruhi oleh sikap,

kepercayaan, cara berpikir dan rangsangan yang merupakan ciri–ciri masyarakat tradisi lisan.

2.5 Pengertian Ritual

Di Indonesia adat di tiap–tiap daerah tidak sama. Hal ini disebabkan kebudayaan dan

sifat–sifat dari tiap–tiap kelompok masyarakat tersebut berbeda–beda. Adat senantiasa tumbuh

dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan

29

masyarakat tempat adat itu berlaku. Dalam hal ini tidak mungkin dibuat suatu adat yang baru bila

adat tersebut bertentangan dengan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Seperti di Jerman

kebebasan spiritual masuk kedalam pikiran bangsa yang masih sederhana, yang belum terbentuk,

semata–mata tentang pemilihan ide akan kebebasan sebagai suatu konsepsi religius

(Hegel,2002 : 471).

Menurut FD.Hellman (dalam Parmono,2009:102) adat di Indonesia mempunyai 4 sifat

umum yang merupakan satu kesatuan. Salah satu di antaranya adalah sifat religio magis

(magisch-religiuos) yang merupakan pembulatan atau pembedaan kata yang mendukung unsur

beberapa sifat atau cara berpikir seperti frelogika, animisme, ilmu gaib dan lain–lain.

Ritual menurut Spence (dalam Pudentia, 2008:359) adalah “suatu perbuatan keagamaan

atau upacara yang dengan perbuatan itu manusia bekerja sama dengan dewa–dewa untuk

kemajuan mereka atau untuk keuntungan kedua belah pihak”.

Dalam Kamus Istilah Antropologi, upacara (ritual/ceremony) diartikan sebagai “system

aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam

masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi

dalam masyarakat yang bersangkutan” (Koentjaraningrat,1984:190).

Sedangkan Huizinga (dalam Pudentia, 2008:359) mengatakan,“ Ritual menggambarkan

suatu peristiwa atau kejadian dalam proses alami. Ritual juga merupakan suatu pertunjukan,

suatu penyajian dramatis, penggambaran imajinatif dari suatu perwujudan pengganti.

2.6 Pengertian Mantra

30

Pada hakikatnya mantra adalah doa dan permintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk

bagian dari pengobatan maknawi atau pengobatan spiritual (Al-Qaradhawi,2005:165). Mantra

bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap

mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi

kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Semakin dalam kita menyelam

ke dalam misteri kehidupan, semakin kita menemukan bahwa seluruh rahasianya tersembunyi

pada apa yang kita sebut kata–kata. Semua praktik ilmu klinik dan mistik didasarkan pada ilmu

kata atau suara. Karena kata berarti ekspresi, ekspresi dalam suara, dalam kata, dalam bentuk,

dalam warna, dalam garis, dalam gerakan yang semuanya tergabung dalam satu hal dan itulah

sisi esoteric dari ilmu kebatinan (Khan, 2002 : 337).

Dalam sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur,

cuca, puja, seru dan tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di

masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif,

karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan bomoh (dukun). Menurut

orang Melayu, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu

meraih tujuan-tujuan tertentu. Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis

berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu: (1) mantra untuk pengobatan (2) mantra untuk ‘pakaian’

atau pelindung diri (3) mantra untuk pekerjaan dan (4) mantra adat-istiadat (Haron, 2001:83).

Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi

bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari

segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Adakalanya,

dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya

31

memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya. Dari segi penggunaan, mantra

sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggap keramat dan

tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada

keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun.

Dalam bahasa Jawa Modern, menurut Marjusman et al. (dalam Haron, 2001:18) mantra

disebut “mantro” yang berarti doa, jampi dan pesona. Sedangkan masyarakat Minangkabau di

Sumatera Barat menyebut mantra sebagai “manto” Djamaris (dalam Haron, 2001:19)

menegaskan bahwa mantra adalah merupakan media manusia untuk berhubungan dengan

kekuatan yang ghaib. Mohd. Taib Osman (dalam Sikana, 2009:25) menganggap jampi serapah

sebagai puisi karena “ ikatan-ikatan yang berbagai ragam dalam pemakaian bahasa puisi”. Inti

katanya berunsur magis. Geerz (dalam Haron, 2001:19) mengatakan jampi adalah sejenis mantra

yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit yang biasanya dibaca pada obat, air, minyak dan

sebagainya. Sedangkan serapah digunakan untuk mengusir makhluk halus seperti jin, hantu,

syaitan Maryati (dalam Haron, 2001:19). Namun pada kenyataannya perkataan jampi atau lebih

tepat lagi menjampi boleh digunakan untuk maksud perbuatan membaca mantra.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang arti dari mantra tersebut, maka istilah mantra

paling tepat digunakan karena ia mencakup maksud dari “jampi, serapah, tawar, sembur, sihir

dan magik” yang menggunakan kata–kata dan perumpamaan.

Harun Mat Piah (dalam Haron, 2001:20) dalam kajiannya, memahami mantra sebagai :

“ semua jenis pengucapan dalam bentuk puisi atau prosa, yang mengandung tujuan dan konotasi magik, pengubatan, dan perbomohan……merangkumi semua nama

dan jenis pengucapan yang sama fungsinya seperti…..jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru, tangkal dan lain–lain”.

32

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mantra perlu diucapkan seperti bentuk

puisi atau prosa, yang ucapan itu hendaknya berkonotasi magik dan ia diucapkan untuk tujuan

perbomohan, pakaian diri dan sebagainya.

2.7 Pengertian Pagar Diri

Manusia secara naluriah tidak ingin terkena musibah, di antara bencana yang menimpa

manusia adalah gangguan roh halus, sihir dan lain-lain. Dikarenakan gangguan seperti di atas

tidak dapat diperhitungan secara kasat mata, maka orang-orang pun mencari alternatif

pencegahan diluar akal sehat, adapun jenis–jenisnya bermacam–macam diantaranya ada yang

menaruh besi tapak kaki kuda di angin-angin pintu masuk, ada yang menaruh sesajen dan lain-

lain.

Amalan pagar diri adalah amalan untuk keselamatan atau pageran badan. Amalan ini

nampaknya memang sederhana, tetapi khasiatnya sangat luar biasa. Amalan ini sangat penting

untuk mereka yang sering bergelut dengan dunia kekerasan.

Ilmu pagar diri terbagi dua bagian yaitu : Ilmu pagar diri halus dan ilmu pagar diri kasar.

Yang dimaksud dengan pagar diri halus adalah memagar diri agar terhindar dari gangguan ghoib,

syeitan atau santet atau guna–guna. Sedangkan pagar diri kasar adalah pagar diri agar kita

terhindar dari gangguan nyata manusia atau malapetaka, artinya terlindung dari kekerasan benda

tajam, perampokan, atau dari kecelakaan. Contoh mantra pagar diri :

Mantra Pagar DiriBismillahirrahmanirrahimAllah payung akuJibrail kota akuMalaikat empat puluh empat pagar akuAku berjalan dengan kuasa allahAku berlenggang dengan lenggang Muhammad

33

Bukan kata aku, kata AllahBerkat doaLa ilaha illa ‘Illah Muhammadar Rasulullah (Saidin Said Taiping dalam Haron 2001)

2.8 Kegunaan Mantra dalam Ritual

Ritual sering dikaitkan dengan upacara atau istiadat. Upacara merupakan segala

persembahan yang dilaksanakan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh anggota

masyarakat, seperti upacara pelantikan, upacara perkawinan, upacara dalam permainan dan

perobatan dan sebagainya. Mohd. Taib Osman (dalam Haron,2001:16) yang mengaitkan ritual

dengan peranan pawang dalam masyarakat menyatakan bahwa ritual adalah perlakuan tertentu

yang ingin merubah suatu keadaan sakit menjadi sehat dan sebagainya dengan menggunakan

kuasa luar biasa seperti hantu dan jamblang.

Misalnya ritual yang sering diadakan setiap tahun seperti puja pantai. Permainan puja

pantai berakhir dengan ritual menghantar persembahan atau jamuan kepada hantu laut pada hari

terakhir. Jamuan itu terdiri dari kerbau putih dan bahan–bahan lainnya.

Mantra yang digunakan untuk menjaga diri sering juga disebut penangkal, tangkal atau

azimat, biasanya dibacakan pada benda tertentu. Setelah pembacaan mantra, benda tersebut

diyakini akan memiliki kekuatan gaib yang mampu melindungi pemakainya. Jadi, bisa

disimpulkan bahwa, pembacaan mantra pada benda tertentu yang akan dijadikan tangkal

merupakan bagian dari cara untuk mentransformasikan energi atau kekuatan ke dalam benda

tersebut. Selanjutnya, kekuatan yang terkandung dalam benda tersebut akan melindungi

pemakainya. Tangkal atau penangkal ini merupakan bagian dari upaya masyarakat untuk

mengatasi tantangan internal dan eksternal yang mereka hadapi, dan jenisnya cukup banyak di

antaranya: penahan atau penguat; pelindung; penunduk ; pemanis dan pengasih ; pembenci dan

sebagainya.

34

Berkembangnya mantra-mantra dalam sistem pengobatan tradisional berkaitan erat

dengan persepsi mereka terhadap makna penyakit. Menurut mereka, penyakit tidak hanya

disebabkan oleh faktor-faktor nyata, tapi terkadang juga disebabkan oleh faktor/hal yang tidak

nyata atau gaib. Dalam konteks ini, keberadaan mantra berfungsi sebagai pemutus hubungan

antara penyakit dengan faktor gaib yang menjadi penyebabnya. Selain itu, pembacaan mantra

juga diyakini dapat memperkuat keampuhan dan efektifitas obat, sehingga proses pengobatan

yang berlaku selalu diawali dengan pembacaan mantra pada obat-obat yang akan diminum.

Orang yang berwenang atau memiliki otoritas untuk membaca mantra adalah dukun atau bomoh

yang telah mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Mantra itu bisa dalam berbagai macam bahasa. Tergantung di mana keberadaan jin itu

berada. Jin memiliki bahasa sendiri, tetapi dia juga mengerti bahasa manusia di tempat mana dia

tinggal. Mantra itu bisa hasil buatan manusia (ciptaan para Waliyullah, ahli hikmah atau bahkan

dukun), tetapi ada juga yang buatan jin yang diberikan ke manusia. Maksudnya, jin membuat

mantra atau kata-kata yang berfungsi sebagai cara untuk memanggilnya. Ingat, jin berusia

panjang, karenanya dia ingin memiliki semacam password untuk mengundang dirinya. Itulah

yang dikenal sebagai mantra.

Sebagai contoh, Misteri mendapatkan sebuah mantra pemanggil jin yang berasal dari

Bugis, Sulawesi Selatan. Tetapi uniknya, jin yang didatangkan ini tergolong jin baik karena

berguna untuk membantu memulihkan kesehatan seseorang.

“Pada masa lalu, orang-orang yang biasa bekerja di ladang atau mencari kayu di hutan

tentu sangat menguras tenaga,” untuk memulihkan tenaganya, mereka biasanya mendatangi

dukun pijat”.

35

Rupanya, dukun pijat (urut) ini dalam kerjanya tidak sekadar dengan kemampuannya

sendiri, melainkan juga mendatangkan jin. Ternyata hasil pijatan dengan bantuan jin ini lebih

maksimal. Jin itu akan merasuk ke dalam raga sang dukun pijat tersebut. Seketika saja, sang

dukun akan memijat pasien dengan kemampuan maksimal.

Mantra ternyata mempunyai fungsi yang bersifat kepentingan individu dan kepentingan

kelompok dalam masyarakat. Kepentingan mantra kepada individu lebih bertumpu kepada

mantra jenis pakaian diri, misalnya untuk menjadikan seseorang tersebut kebal dengan senjata

tajam, dan sebagainya. Kepentingan mantra kepada kelompok dalam masyarakat merupakan

kepentingan bersama anggota masyarakat misalnya persembahan kepada dewa laut untuk

menghindari bencana bagi para nelayan dan sebagainya.

2.9 Peranan Dukun bagi Masyarakat Pedesaan

Dukun atau perdukunan merupakan kata yang tidak asing di telinga masyarakat kita,

khususnya di Indonesia. Bahkan seorang dukun atau praktik perdukunan seakan menjadi tempat

dan tujuan masyarakat untuk menyelesaikan semua persoalan hidup. Keadaan seperti ini semakin

menempatkan seseorang dukun pada posisi terhormat dan dimuliakan sehingga seolah-olah tidak

ada yang salah dalam perilaku dan tindakannya, walaupun dalam banyak kasus sering terjadi

penipuan, pencabulan dan tindakan kriminalitas yang dilakukan seorang dukun.

Selanjutnya Al-qaradhawi mengutip perkataan Al-khathabi (dalamTambusai, 2010:498),

“dukun-dukun itu adalah orang-orang yang memiliki pikiran tajam, berjiwa jahat, berkarakter

panas (api) lalu mereka dijinakkan oleh setan-setan karena adanya kecocokan di antara mereka

36

dalam masalah-masalah tersebut dan setan itu juga memberikan pertolongan kepada mereka

dengan segala kemampuan yang mereka miliki.

Dukun merupakan warga masyarakat yang dipandang memiliki pengetahuan dalam hal

ilmu gaib yang sering disebut oleh orang desa sebagai orang yang punya ilmu. Orang yang punya

ilmu dalam kehidupan sehari–hari lebih banyak sifat negatifnya yang berpengaruh di masyarakat.

Orang segan kepadanya bukan karena hormat akan tetapi karena ditakuti. Sebab takut dapat

penyakit (diguna–guna) bila salah langkah atau salah tingkah dihadapan seorang dukun.

Dengan kepandaiannya itu, sang dukun dapat memberikan obat dan beberapa bantuan

lainnya, yang dapat dihubungkan dengan perdukunan. Menurut Hamidi (dalam Muhammad,dkk:

1991: 37) ilmu gaib memberikan pendirian yang kokoh kepada pribadi seseorang, sehingga

dia dapat menempatkan dirinya ditengah–tengah masyarakat tanpa ragu. Dengan ilmu gaib

dianya merasa terkawal keselamatan dirinya. Hal ini dapat dilihat dalam hal–hal yang luar biasa

dimana bila seseorang berniat untuk membalas kejahatan seseorang dengan bantuan dukun.

Dengan memperlihatkan kelebihan–kelebihan ini, maka seorang dukun dapat menjadikan

dirinya seorang penguasa yang terselubung didesanya. Dimana dia mau tidak mau terpaksa

dibawa berunding untuk setiap kegiatan di pedesaan. Seorang dukun akan tampil kepermukaan

dengan dua wajah, pertama wajah yang disenangi dan kedua wajah yang ditakuti atau dibenci.

Dalam wajah yang disenangi dukun merupakan tempat tumpuan harapan dari keputus asaan.

Kekuatan gaib yang dimiliki seorang dukun dilihat dari hubungan manusia dengan alam,

dapat pula dipandang sebagai suatu usaha manusia untuk berkomunikasi dengan alam. Untuk itu

37

diperlukan mantra atau jampi–jampi. Dengan mantra manusia menemukan jalan untuk membuat

suatu terobosan ke alam gaib, alam yang tidak dapat dimasukinya dalam keadaan biasa.

Dalam keadaan setengah sadar (kesurupan) misalnya, seorang dukun dapat memanggil

orang halus langganannya, kemudian melalui orang halus ini dukun tersebut dapat menemukan

penyakit yang diderita si sakit.

2.10 Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya mengenai “Upacara Tradisional Yang Berkaitan Dengan Peristiwa

Alam dan Kepercayaan Daerah Riau” (Daud Kadir dkk, 1985) upacara ini masih dilakukan

karena sangat berkaitan dengan kehidupan, baik yang berkaitan dengan pengobatan,

keselamatan, dan sistem mata pencaharian. Untuk mendapatkan keselamatan, ketenangan, dan

kebahagiaan hidup perseorangan maupun bersama, salah satu yang harus ditempuh ialah

menyelenggarakan upacara tradisional tersebut. Apabila upacara itu telah dilaksanakan, setiap

orang akan merasa aman, tenteram bahwa kehidupan mereka akan dilindungi dan dibantu oleh

makhluk-makhluk halus yang mereka yakini hidup berkeliaran di sekitar mereka. Mantra

Melaut Suku Bajo Interpretasi Semiotik Riffaterre (tesis Aniawati 2007) Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemaknaan yang dilakukan terhadap mantra melaut suku Bajo

merepresentasikan konstruksi realitas dan identitas dalam kehidupan masyarakat suku Bajo.

Masyarakat suku Bajo sebagai penutur mantra melaut memperlihatkan adanya multietnis yang

tumbuh dalam lingkungannya melaui teks-teks yang digunakan dalam mantra melaut, yakni etnis

Bugis dan Arab. Mantra melaut adalah suatu bentuk identitas masyarakat suku Bajo sebagai

“tokoh” yang paling mengenal laut. Kajian intertekstual terhadap mantra melaut suku Bajo

38

memperlihatkan adanya hubungan dengan teks Al-Quran yang merepresentasikan isi mantra

pada wacana religius keislaman. Secara keseluruhan, makna yang terkandung dalam sepuluh

(10) mantra melaut suku Bajo menggambarkan pula kepercayaan masyarakat suku Bajo terhadap

Tuhan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, keberadaan nabi-nabi, dan adanya mahluk gaib dan

kekuatan gaib. Analisis Semiotik Syair – Syair Upacara Kematian Etnis China di Kota Medan

(tesis Sabriandi Erdian 2008) kehidupan yang dilakukan oleh masyarakat etnis China sangatlah

terikat dengan ajaran-ajaran leluhur nenek moyang mereka, sehingga dalam menjalankan

kehidupan mereka harus berpegang teguh dengan ajaran tersebut agar untuk kehidupan di dunia

aman dan begitu pula harapan mereka setelah kematian. Seperti halnya dengan tradisi dan

kebudayaan etnis China tentang kematian, bahwa untuk kematian masih ada ajaran-ajaran

leluhur yang mengandung nilai-nilai religi dan budaya yang begitu besar dalam kehidupan

mereka,ini terbukti dari tahapan-tahapan yang dilakukan dalam upacara kematian. Makna dan

Nilai Yang Terkandung dalam Teks Legenda Dayak Ngaju (Tesis Maria Arina Luardini,2008)

Dengan menggunakan teori semiotik, makna dan nilai-nilai dalam teks-teks legenda Dayak

Ngaju (LDN) dengan latar sungai tersebut dapat dipersepsikan melalui budaya dan kepercayaan

masyarakat DN. Dari sistem tanda (penanda/ ungkapan dan petanda/ isi), didapatkan makna

konotatif kekuatan dan kekuasaan manusia, binatang dan tumbuhan di/ dekat dengan sungai;

makna konotatif kekayaan yang berada di/ dekat sungai, identitas yang berhubungan dengan

sungai; makna konotatif sifat sosial; dan makna konotatif sifat religius masyarakat DN. Di

samping itu, dari pemaknaan-pemaknaan tersebut dapat ditarik nilai-nilai yang terdapat pada

masyarakat DN, yaitu nilai sejarah, nilai sosial, dan nilai religius.

39

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pendekatan Penelitian Kualitatif

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. analisis

kualitatif adalah data–data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering

menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.

Fungsi analisis deskriptif adalah untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah

diperoleh. Gambaran umum ini bisa menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang kita

peroleh.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata dan kalimat (teks mantra).Metode

ini berdasarkan pada penggunaan data yang murni dan alamiah sehingga diperoleh hasil

penelitian yang menjelaskan realita yang sebenarnya. Berdasarkan metode ini pula akan

dianalisis data yang diperoleh, sehingga dapat memberikan hasil secara positif dan setepat

mungkin. Dengan demikian metode deskripsi mampu memberikan penjelasan secara

sistematis, aktual dan akurat mengenai data, sifat–sifat serta hubungan fenomena–fenomena

40

yang diteliti dan pada akhirnya menghasilkan gambaran data yang ilmiah (Djajasudarma,

1993: 8).

3.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan, diperoleh dari sumber dukun

atau bomoh yang terdapat di Desa Ujung Gading Julu, yang diharapkan dapat mewakili para

dukun ataupun bomoh yang tersebar di Kabupaten Padang Lawas Utara. Data tersebut diambil

dari beberapa mantra dari beberapa orang dukun untuk melihat versinya.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Secara umum diketahui bahwa teknik pengambilan data ada dua yaitu : teknik

pengumpulan data secara perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field

research).

Di dalam penelitian kali ini, data yang peneliti inginkan diperoleh dari para nara

sumber dengan cara maupun tahapan–tahapan sebagai berikut :

1. Pengamatan yaitu merupakan pengamatan langsung ke lokasi tempat

penelitian yaitu di Desa Ujung Gading Julu. Dari pengamatan ini dapat

diketahui keadaan umum daerah itu, terutama mengenai data ritual “pagar

diri”. Pengamatan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif,

kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya (Moleong,

2000 : 126 ).

2. Pencatatan yaitu data yang diperoleh akan dicatat langsung melalui

percakapan langsung dengan narasumber. Dalam hal ini, pencatatan itu dapat

41

menggunakan salah satu dari tiga macam transkripsi yang ada, yaitu transkripsi

ortografis, fonemis, atau fonetis, sesuai dengan objek sasarannya (Sudaryanto,

1988 : 5 ).

3. Rekaman yaitu dengan rekaman itu hasilnya dipergunakan untuk mengecek

kembali kesesuaian data yang diperoleh melalui percakapan.

4. Metode kepustakaan yaitu untuk mendapatkan informasi mengenai sesuatu

yang berkaitan dengan penelitian ini. Misalnya adanya penelitian lain yang sama

atau bagian upacara ritual pagar diri yang belum dilakukan oleh peneliti sebelum

ini.

3.4 Analisis Data

Dalam menganalisis data ada beberapa langkah–langkah yang harus dilakukan. Sesuai

dengan metode analisis yang akan digunakan, maka peneliti akan menempuh prosedur dengan

tahapan sebagai berikut :

1. Merekam data pada saat ritual “pagar diri” berlangsung.

2. Menterjemahkan kata–kata mantra ke dalam bahasa Indonesia.

3. Mengidentifikasi setiap tanda-penanda dalam mantra “pagar diri”.

4. Menguraikan bagian–bagian ritual “pagar diri” mulai dari awal persiapan hingga

selesai.

5. Mencari makna yang terkandung dari setiap unsur ataupun bagian–bagian yang

menjadi tanda ataupun benda–benda yang digunakan dalam ritual tersebut sehingga

memperoleh hasil yang positif dan tepat.

42

BAB IV

DESKRIPSI UPACARA RITUAL “PAGAR DIRI”

4.1 Nama dan Pelaksanaan Ritual “ Pagar Diri ”

Ritual pagar diri di Desa Ujung Gading Julu biasa juga disebut dangan ritual buko jagat,

buko dagang, atau buko jodoh. Pelaksanaan ritual “pagar diri” di Desa Ujung Gading Julu

dilaksanakan umumnya karena adanya permintaan dari seseorang untuk melakukan ritual, guna

kepentingannya, yang meminta bantuan mbah, datuk, atau dukun.

4.2 Dukun Ritual “ Pagar Diri ”

Situasi pengobatan di Indonesia adalah merupakan sebuah ciri penting di mana berbagai

cara pengobatan yang berbeda–beda hadir secara berdampingan. Yang paling dominan di

antaranya adalah pengobatan asli Indonesia (yaitu sistem pengobatan etnik tiap daerah yang pada

umumnya termasuk humoral medicine dan memiliki elemen-elemen magis) dan pengobatan

biomedis (Barat). Sistem pengobatan yang umum membawa persoalan budaya, yaitu sistem

kesehatan yang resmi (Puskesmas, Rumah Sakit, Pendidikan kedokteran di Universitas, dan

sebagainya) hampir seutuhnya berpegang pada sistem biomedis, yang umumnya memerlukan

dana yang relatif besar, oleh karena itu masyarakat ekonomi menengah ke bawah, termasuk

43

pedesaan mencari alternatif pengobatan lain, di antaranya ritual pagar diri. Sedangkan sistem

pengobatan yang paling dikenal dalam masyarakat tetaplah pengobatan asli Indonesia

(tradisional). Adapun yang disebut pengobatan asli Indonesia tersebut adalah mencakup praktek–

praktek pengobatan alternatif dan perdukunan ataupun kepercayaan terhadap tempat–tempat

tertentu yang memiliki efek penyembuhan.

Dukun menurut Purwadarminta (1994:246) adalah orang yang mengobati, menolong

orang sakit, atau memberi jampi–jampi. Ada tiga kelompok yang termasuk dalam kategori dukun

menurutnya, yaitu : 1. Dukun beranak yaitu dukun yang pekerjaannya menolong perempuan

melahirkan, 2. Dukun klenik yaitu dukun membuat dan memberi guna–guna atau kekuatan gaib

lainnya, 3. Dukun tenung yaitu dukun yang memiliki atau mampu menggunakan kekuatan gaib

terhadap manusia.

Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa istilah “orang pintar” yang lebih dikenal dengan

panggilan dukun, menurut masyarakat Desa Ujung Gading Julu bukan hanya ditujukan kepada

orang yang mampu mengusir atau membujuk jin dan roh jahat saja. Sebagian besar masyarakat

mempercayai seorang dukun dapat menyembuhkan orang yang patah tulang, yaitu dukun patah.

Apabila seseorang bekerja sebagai tukang urut disebut dukun urut atau dukun kusuk. Selanjutnya

orang perempuan yang bekerja membantu perempuan bersalin disebut dukun beranak.

Masyarakat Ujung Gading Julu masih ada yang lebih percaya kepada dukun beranak dari

pada dengan bidan atau dokter. Mereka mempercayai bahwa dukun beranak mempunyai

kemahiran ganda, yaitu membantu perempuan bersalin dan juga menguasai magis atau ilmu gaib.

Menurut kepercayaan mereka bahwa perempuan yang akan dan sesudah melahirkan anak selalu

mendapat gangguan makhluk halus.

44

Walaupun kemampuan untuk menjadi seorang dukun sebahagian berasal dari warisan

orang tua, dan sebahagian lagi diperoleh lewat belajar. Ilmu yang dipelajari berbeda–beda antara

satu dukun dengan dukun yang lain.

Kepercayaan pada dewa-dewa ini, biarpun tidak bersifat kepercayaan seperti kepada

Tuhan, tetapi dalam beberapa hal masih dianggap adanya dewa–dewa. Bomoh ataupun dukun

yang masih berpegang kepada mistik, dalam jampi-jampinya masih mengucapkan kata–kata

“batara guru” dan sebagainya. Kepercayaan kepada makhluk halus ini masih meluas sekali.

Bahkan seluruh dunia percaya akan adanya alam gaib dan juga tentang mistik ataupun

perdukunan. Untuk menjaga diri agar supaya jangan diganggu oleh makhluk–makhluk halus ini,

bomoh atau dukun selalu memberikan masyarakat tangkal–tangkal. Tangkal–tangkal ini

bermacam–macam pula bentuknya, ada yang digantungkan di leher (biasanya anak–anak),

diikatkan dipinggang atau dilengan. Disamping itu besi dianggap mempunyai kekuatan yang

dapat juga dijadikan tangkal.

Ritual tersebut dilakukan secara turun temurun dari masa ke masa. Ritual “pagar diri” itu

merupakan suatu permintaan dari seseorang yang membutuhkan akan perlunya sesuatu sebagai

pegangan atau azimat agar tidak digangngu oleh orang ataupun makhluk halus, yang tujuannya

untuk keselamatan diri. Untuk pelaksanaan ritual “pagar diri” dapat dilakukan di rumah orang

yang bersangkutan ataupun dirumah dukun atau bomoh tersebut.

Pelaksanaan ritual “pagar diri” masyarakat Ujung Gading Julu dapat dibagi menjadi

beberapa bahagian yaitu : pertama tahap melihat penyakit atau masalah yang dihadapi sehingga

ia datang menemui bomoh atau dukun untuk meminta obat ataupun solusinya sekaligus bertanya

tentang bahan–bahan ataupun benda–benda yang dibutuhkan sebagai persyaratan untuk

45

pelaksanaan ritual. Dan yang kedua adalah tahap pelaksanaan ritual “pagar diri” tersebut.

Adapun waktu yang dianggap baik adalah pada saat bulan purnama, karena waktu itu para jin

dan mambang, para keramat sedang bersuka cita, sehingga segala permintaan akan cepat

dikabulkannya. Pada malam senin dan malam kamis, karena hari itu dianggap hari memberi

rezeki, sehingga apapun yang diminta akan dapat terkabul. Untuk hari–hari lainnya tidaklah

ditentukan, maksudnya upacara boleh dilakukan dan boleh pula tidak dilakukan. Adapun waktu

yang dilarang adalah pada malam Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan juga hari selasa. Hari

selasa dianggap sebagai “hari keras”, yakni hari yang selalu mendatangkan naas atau bencana.

4.3 Perlengkapan Ritual “ Pagar Diri ”

Perlengkapan ritual “pagar diri” telah dipahami seluruh warga masyarakat. Keseluruhan

benda yang akan dipersembahkan pada ritual tersebut mempunyai kekuatan, dan tujuan masing–

masing.

Perlengkapan yang dipersembahkan dalam ritual “pagar diri” kebanyakan masyarakat

menyebutkannya ramuan. Benda–benda yang dipersembahkan mengandung makna tertentu dan

sesuai dengan jenis kebutuhannya. Adapun benda–benda tersebut adalah :

1. Ayam

2. Bunga macan kera

3. Kembang telon

4. Kemenyan

5. Minyak duyung

6. Batu cincin

7. Sisir

46

8. Bedak

9. Kunyit

10. Asam jawa

11. Nasi sebakul

12. Hati ayam & darah ayam

13. Candi dalam bumi

14. Bubur merah putih

15. Mancis

Masyarakat Ujung Gading Julu mempercayai seluruh alam dikuasai oleh makhluk halus,

yaitu jin dan roh jahat. Pada pandangan masyarakat Ujung Gading Julu keseluruhan alam nyata

itu terbentuk dari pada empat unsur yaitu tanah, air, api dan angin yang mempunyai sifat sejuk,

lembab, panas dan kering. Alam gaib menurut yang difahami oleh masyarakat Ujung Gading

Julu adalah alam yang dipercayai wujud di dalam satu ruang dan mempunyai bentuk tetapi tidak

dapat dilihat dengan mata kasar.

Masyarakat Ujung Gading Julu pada umumnya adalah petani dan pedagang yang

berharap mendapatkan hasil yang banyak. Untuk itu perlu diadakan ritual “pagar diri” sekaligus

untuk memperlaris usahanya guna untuk memohon agar mendapat rezeki yang banyak.

4.4 Pantangan-pantangan yang Perlu Ditaati

Dalam pelaksanaan ritual pagar diri, terutama pada saat ritual dilakukan ada ketentuan-

ketentuan yang merupakan larangan atau pantangan-pantangan bagi mereka yang terlibat

langsung. Pantangan yang dimaksud adalah tidak boleh berbicara selama ritual berlangsung,

puasa selama 7 (tujuh) hari berturut-turut, tidak boleh makan tulang, kopi dan jagung. Setelah

47

ritual pagar diri berakhir bomoh ataupun dukun memberitahukan tentang larangan–larangan, dan

larangan–larangan tersebut harus dipatuhi oleh setiap orang yang berobat.

4.5 Semiotika Perlengkapan Ritual “ pagar diri ”

Semiotika dalam ritual persembahan adalah menjelaskan tentang benda, gerak, isyarat

dan larangan–larangan untuk menunjukkan hubungannya. Benda persembahan ritual “ pagar

diri”. Meliputi benda–benda dari beberapa jenis saja. Setiap persembahan ritual disediakan jenis

tumbuhan sebagai ramuan. Ramuan jamuan tersebut mengandung semiotika sebagai berikut :

1. Ayam

Ayam dianggap sebagai persembahan istimewa kepada roh-roh halus yang akan

membantu pekerjaan bomoh mewujudkan keinginan orang yang meminta/pemohon

untuk melakukan ritual “pagar diri”, ayam tersebut akan disembelih dan melambangkan

kalau si pemohon benar-benar ingin melakukan ritual tersebut, ia berharap agar apa yang

diinginkannya segera terwujud, walaupun harus berkorban jiwa dan raga. Fungsinya

adalah untuk pengobatan, penglaris dagangan, buang sial, sulit jodoh, pemikat lawan

jenis, dan lain-lain. Ayam tersebut dipotong, darahnya ditampung. Ayam dimasak sesuai

selera, sedangkan darah dan hatinya digoreng.Pada saat ritual ayam dibuat untuk tumbal

atau sajen/sajian. setelah itu di suguhkan/dipersembahkan sebagai tumbal mahluk ghaib

atau istilah nya untuk mengusir roh jahat sebagai syarat agar apa yang diinginkan dapat

terwujud dan berjalan lancar serta terhindar dari malapetaka dan marabahaya lainnya,

48

tumbal tersebut sebagai penangkal dari ganguan mahluk halus, seperti kesurupan dan

guna-guna dan sebagainya.

2. Bunga macan kera

Bunga macan kera, lazimnya 7 warna, melambangkan bahwa “mayo” manusia itu terdiri

dari 7 macam.

3. Kembang telon

Kembang talon adalah bunga tiga jenis, yaitu bunga Kenanga, bunga Mawar Putih dan

Bunga Melati/kantil. Kembang ini secara fisik sangat bagus, baunya harum. Bunga ini

sangat disenangi oleh makhluk-makhluk gaib. Kembang Telon sarat akan kekuatan

mistis, yang bertujuan untuk mengobati, menarik benda-benda, mencari jodoh, atau

memperlancar rejeki serta mencari jabatan.

4. Kemenyan

Kemenyan adalah getah wangi yang berasal dari pohon kemenyan. Asap kemenyan

tersebut sebagai tanda komunikasi akan berlangsung antara makhluk halus dengan bomoh

atau dukun. Kemenyan dipercaya sebagai tahi Mata Raja Alam. Wangian asap kemenyan

juga menyatakan untuk menyampaikan kepada makhluk halus bahwa ritual telah dimulai

dan agar mereka mau mengabulkan permintaan bomoh atau dukun. Kemenyan juga

dipercaya berasal dari pohon yang disandari oleh Baginda Rasulullah ketika tetap dalam

suatu peperangan. Asap kemenyan sebagai ikatan para makhluk halus dengan para

pemimpinnya juga merupakan lambang kesenangan mereka.

5. Minyak duyung

Fungsinya untuk membuang sial dari susah jodoh dan untuk pengasihan yang disiramkan

keatas perdupaan,agar wanginya tercium oleh para mambang.

49

6. Batu Cincin

Sebagai tanda untuk meminta obat dan diletakkan dalam mangkuk limau. Maksud batu

cincin ini adalah sebagai ‘jaminan’ kepada yang gaib atau para mambang, bahwa bomoh

atau dukun benar–benar minta obat untuk pemilik batu cincin tersebut.

7. Sisir

Sisir yang biasa digunakan oleh si pemohon

8. Bedak

Bedak yang biasa digunakan oleh si pemohon

9. Kunyit

Kegunaan kunyit ini untuk membuang sial atau firasat buruk pada diri manusia. Kunyit

tersebut sebagai pengganti diri orang yang dibuang firasatnya. Firasat yang dibuang atau

dihilangkan biasanya firasat akan mendapat musibah kecelakaan atau pertanda adanya

anggota keluarga yang akan meninggal. Firasat tersebut diperoleh dari mimpi atau

berdasarkan penglihatan orang pintar.

10. Asam jawa

Asam Jawa merupakan tanaman obat-obatan yang digunakan kurang lebih di 23 Negara.

Daging buah rasanya segar dan merupakan obat pencahar ringan. Buah tua (asem kawak)

berguna sebagai obat karena mengandung minyak yang tidak termasuk minyak terbang

(madu asem). Asem kawak bila dicampur air biasanya digunakan sebagai obat gugur.

Bagian lain tumbuhan ini juga digunakan sebagat obat.

11. Nasi sebakul

50

Untuk menghormati para leluhur yang telah mau bekerja sama membantu si mbah dalam

mewujudkan keinginan orang yang meminta pertolongannya.

12. Hati ayam & darah ayam

khusus dimakan oleh si pemohon yang maknanya agar siapapun yang melihat, atau

mengingatnya akan memiliki rasa atau orang akan merasa kalau si pemohon tersebut

lebih berharga dari apapun yang seharusnya ia lakukan.

13. Candi dalam bumi

sebagai saksi alami bukan buatan manusia. bahwa apa yang dilakukan oleh si mbah dan

pemohon benar apa adanya.

14. Bubur merah putih

sebagai rasa hormat dan bakti kepada orang tua

15. Mancis

untuk menghidupkan perdupaan

Setelah dukun atau bomoh selesai membacakan mantra tersebut, si mbah dan pemohon

mencuci mukanya dengan asap perdupaan yang tujuannya untuk menghormati para leluhur. ia

lalu memberikan seluruh persembahan ritual kepada pasiennya dan menyarankan agar ia

memandikan bunga yang sudah dibacakan mantra oleh dukun atau bomoh, dan memakai azimat

yang juga telah diisi oleh mantra pagar diri.

4.6 Jenis-jenis Batu yang Digunakan Sebagai “Pagar Diri”

Badan Jasmani dan Rohani ibarat pusaka yg lama tidak dirawat sehingga berkarat dan

kusam maka kalau mandi garam untuk mengasah biar lebih tajam, sedang mandi bunga ibarat

memberi minyak–nya, biar lebih terawat, mengkilap, menarik dan tahan lama. Karena dalam

51

setiap bunga dipercaya oleh ahli kebatinan selalu ditunggu oleh bangsa rijallul ghoib atau sima

tertentu, dan juga banyak mengandung filosofi dengan baunya yang harum semerbak sangat

disukai oleh kodam putih, juga sebagai pencerahan batin.

Menurut bomoh/dukun bunga melati adalah bunga yang memiliki aura tertinggi di

banding bunga manapun. Sehingga siapapun yang menggunakan bunga melati, diyakini mampu

mendapatkan aura setinggi melati. Dengan harapan hidup menjadi lebih sukses, berkarisma, dan

menebarkan wangi seperti melati.

Sebut saja misalnya untuk buang sial badan, bomoh/dukun menggunakan bunga setaman.

Sementara untuk buang penyakit ia menggunakan bunga macan kera dan 9 jenis jeruk kemudian

untuk mendongkrak jabatan dan karir ia menggunakan kembang telon.

Dizaman  teknologi serba canggih dan kehidupan modern dewasa ini kejahatan sihir

santet, teluh, guna-guna tidaklah bisa dianggap enteng. Selama Iblis dan Syetan masih eksis,

sampai dunia kiamat nanti kejahatan sihir masih tetap akan hadir ditengah kehidupan manusia.

Kita perlu mewaspadai kejahatan model ini, karena pelakunya sulit dijangkau oleh hukum

manusia seperti aparat kepolisian dan aparat hukum lainnya.

Penyakit yang muncul akibat sihir biasanya tidak bisa dideteksi secara medis, tanpa sebab

yang jelas seseorang merasa sakit diseluruh tubuhnya. Di periksa secara medis tidak ditemukan

adanya kelainan, semua berjalan normal. Dari badan atau anggota tubuh  sisakit muncul benda

aneh, seperti paku, silet, potongan logam, rambut dan lain sebagainya. Ada pula sihir yang

digunakan untuk mempengaruhi perasaan seseorang untuk mencintai lawan jenis (pelet). Ada

pula yang digunakan untuk menghancurkan usaha atau perdagangan dari lawan bisnisnya.

52

Batu cincin yang digunakan sebagai azimat bisa sembarang jenis batu. Namun di antara

jenis-jenis batu cincin yang ada, yang paling sering digunakan orang untuk azimat adalah : batu

kecubung, batu Kristal, batu kunco warna, batu akik/giok.

1. Batu kecubung.

Batu kecubung fungsinya adalah untuk : ketulusan, mengendalikan amarah, pelindung

peminum minuman keras, penyebar bibit budi pekerti yang mulia, mendatangkan rasa

kasih sayang, pemberi ketenangan dalam menempuh ujian, pemberi semangat untuk

mengatasi segala macam kesulitan, mengobati penyakit jantung dan penolak bahaya

racun. contoh batu kecubung.

2. Batu Kristal.

Batu Kristal dapat pula dimanfaatkan untuk memperkuat pusat-pusat energi dalam tubuh.

Kristal amethyst, misalnya, bersifat menyejukkan dan menenangkan pikiran, memberikan

kegembiraan, membantu mengatasi stres. Batu ini efektif untuk membantu mengatasi

sakit kepala, migrain, gangguan sulit tidur (insomnia), dan stroke. Contoh batu Kristal :

53

3. Batu Kunco Warna

Batu kunco warna berfungsi untuk memacu niat, stabilitas, percaya diri dan sikap positif ;

membantu penyerapan informasi, membantu pemahaman atas kejadian sehari2 ;

meningkatkan kepekaan semua indra ; mengontrol cairan tubuh, bagus untuk sistem

kekebalan tubuh, penyerapan gizi dan pembuangan kotoran. Contoh batu kunco warna

adalah :

4. Batu Akik/Giok.

Akik dapat membantu untuk hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian secara

fisik dan emosional. Legenda mengatakan bahwa pemakai Akik akan dilindungi dari

bahaya dan memberkahi pemakainya dengan keberanian. Akik dipercayai dapat

menyembuhkan penyakit Insomnia (kesulitan untuk tidur yang parah), memberikan

mimpi indah dan memberi kontribusi bagi keseimbangan tubuh.

54

Giok dikatakan dapat membantu seseorang untuk relax dan bijaksana. Disebut

sebagai batu dengan keseimbangan yang sangat baik, menolong seseorang untuk

menyelaraskan pikiran dan tindakan serta mengatasi kekurang praktisan cara berpikir.

Giok adalah intisari dari cinta, dihargai sebagai batu yang spesial. Dipercayai bahwa

beberapa rahasia kebajikan akan menyerap ke dalam tubuh. Legenda mengatakan bahwa

penjelajah Spanyol ke Amerika Tengah menggunakan jimat dari Jadeit untuk mencegah

serta menyembuhkan sakit pinggul dan ginjal. Kegunaan lain bagi kesehatan yaitu

meningkatkan penyembuhan pada organ-organ vital. Contoh batu akik dan giok adalah :

4.7 Kearifan Lokal Mantra “Pagar Diri”

Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat. Masyarakat adalah

makhluk sosial yang hidup secara berkelompok dalam suatu kawasan dan mereka membuat suatu

organisasi yang dapat saling tolong menolong antara satu dengan yang lain. Kearifan lokal

dalam mantra tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal dapat ditemukan dalam

mantra-mantra, jampi-jampi, nyayian, pepatah, petuah, kitab-kitab kuno, dll. kearifan lokal dapat

dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta (makrokosmos) dan alam kesadaran manusia

(mikrokosmos). Tidak ada sesuatu benda dan kejadian di jagat raya ini yang bisa berdiri sendiri,

semuanya saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Menurutnya, selarasnya alam dan

manusia adalah syarat utama terjadinya harmoni semesta.

55

kearifan lokal mantra pagar diri terdapat dalam kata-kata berikut ini :

Wong sak bono, asih maring akuLeluhur nang dunio ikiLeluhur nang segoro kidulLeluhur nang laut

BAB V

ANALISIS SEMIOTIK MANTRA RITUAL “PAGAR DIRI”

DI DESA UJUNG GADING JULU KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA

5.1 Bunyi Mantra Ritual “Pagar diri”

Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim

Niat ingsun aku arak sisiran

Sari kemulu ati lubuku

Yen jadiku alisku koyo tanggal sipisan

Teko alas teko asih

Wong sak bono, asih maring aku

Niat ingsun aku arak wedakan, wedakanku koyok nabi

Ali-ali

Kaki datuk kaki danyang

Hasan Husen balas patih pagemmatrim

Kaki danyang bobo dino bobo kuoso

56

Leluhur nang dunio iki

Sadulur papat limo pancar

Sing cedek tanpa senggolan

Ado tanpa wangenan

Kaki mong nyaimong

Raden Mas Sudarsono sekoro kidul

Dewi Siti Rohani

Leluhur nang segoro kidul

Joko bodo, Joko Budek, Joko Klintung

Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting

Leluhur nang laut

Berkat doa

La ilaha illa ‘Illah Muhammadar Rasulullah

(sumber : Sugiman;bomoh/dukun)

5.2 Deskripsi Semiotik Mantra Ritual “Pagar diri”

Data yang ditemukan dalam ritual “pagar diri” berupa mantra dapat dianalisis dengan

menggunakan teori semiotik sebagai pendekatan dalam penelitian. Penelitian semiotik terhadap

mantra ritual “pagar diri” adalah untuk mengungkapkan tanda dan penanda dalam mantra

tersebut. Adapun bentuk mantra pagar diri tersebut adalah sebagai berikut:

Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim

Niat ingsun aku arak sisiran

Sari kemulu ati lubuku

Yen jadiku alisku koyo tanggal sipisan

57

Teko alas teko asih

Wong sak bono, asih maring aku

Niat ingsun aku arak wedakan, wedakanku koyok nabi

Ali-ali

Kaki datuk kaki danyang

Hasan Husen balas patih pagemmatrim

Kaki danyang bobo dino bobo kuoso

Leluhur nang dunio iki

Sadulur papat limo pancar

Sing cedek tanpa senggolan

Ado tanpa wangenan

Kaki mong nyaimong

Raden Mas Sudarsono sekoro kidul

Dewi Siti Rohani

Leluhur nang segoro kidul

Joko bodo, Joko Budek, Joko Klintung

Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting

Leluhur nang laut

Berkat doa

La ilaha illa ‘Illah Muhammadar Rasulullah

Dalam mantra ritual pagar diri yang tertera diatas, maka permohonan tanda dan penanda

akan dapat ditelusuri dengan konteks situasi yang dirinci atas tiga bahagian, yaitu (1) medan

(field), yakni apa-what yang dibicarakan dalam interaksi, (2) pelibat (tenor), yakni siapa-who

yang terkait atau terlibat dalam interaksi, dan (3) cara(mode), yakni bagaimana-how interaksi

58

dilakukan. Adapun yang menjadi apa yang dibicarakan dalam interaksi tersebut adalah suatu

permohonan dalam pembahasan di bawah ini.

Apa, siapa dan bagaimana dalam mantra ritual pagar diri dapat di telusuri bomoh/dukun

dan pemohon kepada Tuhan. Seperti kalimat

Kaki mong nyaimong (jalan jangan sampai jatuh, bicara jangan sampai salah)

Kalimat di atas dapat dikatakan suatu permohonan dalam ritual pagar diri bahwa apa

yang terjadi antara bomoh/dukun dan pemohon kepada Tuhan akan dapat di tanda dan

penandakan. Kalimat di atas merupakan suatu permohonan yang dilakukan oleh bomoh/dukun

dan pemohon kepada Tuhan saat ritual berlangsung semoga apa yang dialami oleh si pemohon

dapat ditolong oleh Tuhan. Bomoh/dukun meminta kepada Tuhan agar apa yang diinginkan oleh

si pemohon dikabulkan dan dipelihara. Artinya jika si pemohon seorang pejabat maka ia ingin

agar supaya jabatannya tidak tergeser atau mengalami gangguan-gangguan, dan berharap agar

supaya dalam berbicara ia kelihatan berkharisma dan selalu santun di mata semua orang.

Siapa yang terlibat dalam ritual pagar diri tersebut antara lain antara bomoh/dukun dan

pemohon kepada Tuhan, dapat dilihat di bawah ini dalam ungkapan mantra yang sesuai dengan

teks terjemahan.

Teko alas teko asih

Wong sak bono, asih maring aku

Bomoh/dukun dan pemohon, memohon kepada Tuhan yang tertera dengan kalimat di atas

bahwa bomoh/dukun memohon kepada Tuhan semoga memberikan belas asih sejagat kepada si

pemohon, sehingga siapa pun dan dalam kondisi yang seperti apa pun keadaannya, Tuhan akan

59

selalu melindunginya. Artinya kapan pun dan di mana pun si pemohon berada, maka orang akan

selalu mengasihi atau simpati terhadapnya berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Esa.

Bagaimana permohonan bomoh dan pemohon kepada Tuhan dalam mantra ritual pagar

diri dalam bentuk permohonan akan dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini.

Hasan Husen balas patih pagemmatrim

Raden Mas Sudarsono

Dewi Siti Rohani

Joko bodo, Joko Budek, Joko Klintung

Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting

Mantra-mantra itu diucapkan oleh bomoh/dukun tersusun dengan kata-kata pilihan antara

lain : Hasan Husen balas patih pagemmatrim, Raden Mas Sudarsono, Dewi Siti Rohani, Joko

bodo, Joko Budek, Joko Klintung, Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting. Semua

cara yang dilakukan melalui sasaran (memiliki makna magic) dengan harapan memberi

kekuatan, keberhasilan, keselamatan bagi si pemohon.

5.3 Interpretasi Mantra Ritual “Pagar Diri”

Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim

Niat ingsun aku arak sisiran

Sari kemulu ati lubuku

Yen jadiku alisku koyo tanggal sipisan

Teko alas teko asih

Wong sak bono, asih maring aku

Niat ingsun aku arak wedakan, wedakanku koyok nabi

Ali-ali

Kaki datuk kaki danyang

Hasan Husen balas patih pagemmatrim

Kaki danyang bobo dino bobo kuoso

60

Leluhur nang dunio iki

Sadulur papat limo pancar

Sing cedek tanpa senggolan

Ado tanpa wangenan

Kaki mong nyaimong

Raden Mas Sudarsono sekoro kidul

Dewi Siti Rohani

Leluhur nang segoro kidul

Joko bodo, Joko Budek, Joko Klintung

Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting

Leluhur nang laut

Berkat doa

La ilaha illa ‘Illah Muhammadar Rasulullah

Mantra ini merupakan mantra pendinding atau pagar diri. Mantra ini dilafazkan dalam

rangka untuk meminta keselamatan, kesejateraan, atau dijauhkan dari segala halangan dan

rintangan yang dapat mempersulit segala aktivitas orang tersebut. Mantra pagar diri selalu

dibarengi dengan mantra penglaris dan pemanis, yang tujuannya untuk selain melindungi diri

dari segala macam mara bahaya baik yang kasat mata atau pun yang tidak kasat mata, juga

menjadikan kita lebih disegani orang baik dari tutur katanya maupun dari pancaran yang keluar

dari aura tubuhnya. Sedangkan bagi pengusaha akan membuat usahanya semakin maju sehingga

tercapai apa yang dicita-citakan. Seperti pada umumnya mantra pagar diri, mantra ini pun

dimulai dengan basmalah. Hal ini menunjukkan bahwa segala usaha dan upaya yang dilakukan

oleh pengguna mantra diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan Allah SWT. Baris pertama,

Bismillahirrahmanirrahim berarti “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi

Maha Penyayang”. Allah adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia

sebagai yang Maha Kuasa atau Maha Perkasa. Kata Allah dalam bahasa Arab adalah sebutan

untuk Sang Khalik atau Sang Pencipta sebagai pujian atau sembahan manusia. Kata ini kemudian

61

digunakan dalam penggunaan mantra. Dalam bahasa Inggris, kata Allah sepadan dengan kata

god.

Baris kedua, Niat ingsun aku arak sisiran. Kata niat ingsun aku arak sisiran berarti

maksud hati/pengungkapan rasa keinginan/cara pengungkapan keinginan dengan cara yang

sangat halus dan tujuannya adalah untuk sisiran, artinya dengan harapan agar supaya hasil yang

dipancarkan dari sisiran tersebut dapat memberikan kebaikan bagi orang yang melakukannya.

Dengan hanya melihat sisirannya saja bisa membangkitkan kharisma yang sangat luar biasa di

mata orang lain.

Baris ketiga, Sari kemulu ati lubuku. Kata sari kemulu ati lubuku maksudnya ibarat

berselimutkan kembang, seseorang akan terlihat begitu indah hingga kedalam hatinya. Kapan

pun dan di mana pun ia berada, tetap orang melihatnya tidak cacat, ibarat kita melihat kembang

setaman, maka kita akan merasakan indah, teduh dan nyaman di dekatnya.

Baris keempat, Yen jadiku alisku koyo tanggal sipisan. Maksudnya, agar terlihat lebih

indah dipandang orang, maka ia mengibaratkan alisnya seperti tanggal yang disusun oleh angka-

angka secara beraturan mulai dari angka satu sampai seterusnya, dan bukan secara acak,

sehingga menjadikan wajahnya terlihat begitu sempurna dengan alis yang tertata rapih. Artinya

siapapun yang melihatnya maka orang akan merasa kalau ia tidak mempunyai kekurangan fisik

sedikitpun, dan orang merasa tenang, tentram, nyaman bila memandangnya.

Baris kelima, Teko alas teko asih. kata teko alas teko asih berarti pengharapan belas

kasih. Artinya pengguna mantra tersebut mengharapkan belas kasih dari siapa pun yang

melihatnya dan yang dekat dengannya. Mungkin selama ini orang-orang yang ada di

62

sekelilingnya tidak begitu suka padanya, tapi setelah adanya mantra ini maka orang-orang di

sekelilingnya akan menjadi sayang dan kasih padanya bahkan mungkin akan segan padanya.

Baris keenam, Wong sak bono, asih maring aku. Kata Wong sak bono berarti orang

sejagad/sedunia. Artinya semua orang yang ada di jagad ini/dunia ini, tanpa mengenal suku,

agama, ras, maupun golongan semuanya sama. asih maring aku artinya kasih padaku.

Maksudnya, siapa pun orang di dunia ini yang melihat pengguna mantra tersebut tanpa

membedakan suku, agama, ras,golongan dan jenis kelamin akan selalu merasa sayang, kasih,

simpati, segan, hormat dan sebagainya.

Baris ketujuh, Niat ingsun aku arak wedakan, wedakanku koyok nabi. Kata niat ingsun

aku arak wedakan berarti maksud hati/pengungkapan rasa keinginan/cara pengungkapan

keinginan dengan cara yang sangat halus dan tujuannya adalah untuk bedakan, artinya dengan

harapan agar supaya hasil yang dipancarkan dari bedakan tersebut dapat memberikan kebaikan

bagi orang yang melakukannya. Wedakanku koyok nabi. Artinya pengguna mantra berharap agar

orang yang melihatnya, seperti melihat seorang Nabi. Dari pancaran wajah yang telah dibedaki

tersebut terpancar kharisma yang luar biasa layaknya kharisma seorang Nabi/Rasul. sehingga

siapapun yang melihatnya pasti akan senang, suka dan segan kepadanya. Dengan hanya melihat

wajahnya saja bisa membangkitkan kharisma yang sangat luar biasa di mata orang lain.

Baris kedelapan, Ali-ali. Kata ali-ali berarti mengingat. Maksudnya bomoh/dukun

mengingatkan kembali kepada perantara roh tentang maksud dan tujuan dari si pemohon.

Dengan adanya batu cincin, maka bomoh/dukun meminta kepada roh untuk mengisi batu cincin

tersebut dengan semua kekuatan yang diminta, yang nantinya bertugas untuk menjaga si pemilik

cincin agar terhindar dari segala mara bahaya, serta selalu sukses dalam karirnya.

63

Baris kesembilan, Kaki datuk kaki danyang.( kakek datuk, kakek eyang).Baris kesepuluh,

Hasan Husen ( penguasa bumi ) balas patih ( panas bumi ) pagemmatrim ( penguasa pasar ).

Baris kesebelas, Kaki danyang ( kakek eyang ) bobo dino bobo kuoso ( yang berkuasa atas hari

penentu). Baris keduabelas, Leluhur nang dunio iki ( nenek moyang di dunia ini ). Maksud dari

baris kesembilan sampai dengan baris keduabelas adalah bomoh/dukun meminta kepada

penguasa yang ada di darat seperti penguasa bumi, panas bumi, penguasa pasar dan sebagainya

untuk menjaga sepemohon dari segala macam marabahaya yang ada di dunia ini khususnya di

darat, baik kejahatan yang tampak oleh mata misalnya perampokan, maupun kejahatan yang

dilakukan gaib misalnya hipnotis dan sebagainya.

Baris ketigabelas, Sadulur papat limo pancar. Baris keempatbelas, Sing cedek tanpa

senggolan. Baris kelimabelas, Ado tanpa wangenan. Baris keenambelas, Kaki mong nyaimong.

Baris ketigabelas sampai dengan baris keenambelas maksudnya walaupun kita hidup di dunia ini

bersaudara namun keberhasilan diri adalah menjadi tujuan utama. Artinya walaupun dalam suatu

lingkungan pekerjaan, lingkungan usaha, atau lingkungan masyarakat kita sama, namun sudah

menjadi hukum alam kalau kita menginginkan sesuatu yang lebih dari apa yang ada di sekeliling

kita atau di lingkungan kita. Misalnya, bila kita seorang pejabat, maka kita ingin agar pangkat

kita lebih tinggi dari orang yang ada di dekat kita atau sahabat kita. Bila kita seorang pedagang,

maka kita ingin agar usaha dagangan kita laris melebihi usaha dagangan yang di sekitar kita dan

sebagainya. Sing cedek tanpa senggolan, Ado tanpa wangenan. Maksudnya walaupun kita sama-

sama bersaing namun tidak membuat kita saling menyakiti satu sama lain, saling membenci,

bahkan saling ejek dan saling dendam. Artinya walaupun kita berdekatan atau berjauhan namun

tidak saling menjatuhkan misalnya dalam persaingan di kantor, kita tidak akan membuka aib

sahabat kita sendiri kepada orang lain hanya demi ingin mendapatkan rasa simpatik dari atasan

64

atau orang lain, atau dalam usaha dagang, kita tidak akan mengatakan kepada pembeli kalau

dagangan sahabat kita itu tidak bagus, tidak enak, atau penjualnya menuntut ilmu (ngelmu)

dengan tujuan agar pembeli tidak datang lagi kepadanya. Kaki mong nyaimong artinya kemana

pun arah tujuan kita untuk menjadi orang yang sukses kiranya jangan sampai lupa diri, artinya

agar pandai-pandailah menempatkan diri kapan pun dan di mana pun kita berada, jangan sampai

kita salah langkah dan tergelincir oleh perbuatan dan ucapan kita sendiri yang nantinya akan

membawa kita jatuh masuk kembali ke lembah kesengsaraan.

Baris ketujuhbelas, Raden Mas Sudarsono sekoro kidul. Baris kedelapanbelas, Dewi Siti

Rohani. Baris kesembilanbelas, Leluhur nang segoro kidul. Baris keduapuluh, Joko bodo, Joko

Budek, Joko Klintung. Baris keduapuluhsatu, Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting.

Baris keduapuluhdua, Leluhur nang laut. Maksud dari baris ketujuhbelas sampai dengan baris

keduapuluhdua, adalah bomoh/dukun meminta kepada penguasa yang ada di laut selatan seperti

Raden Mas Sudarsono, Dewi Siti Rohani, Joko bodo, Joko budek, Joko klintung, Nogo tap molo,

Nogo geni, Nogo balu klinting, dan sebagainya untuk menjaga sipemohon dari segala macam

marabahaya yang ada di dunia ini khususnya di laut. Artinya semua nama yang telah disebutkan

oleh bomoh/dukun di atas adalah nama-nama penguasa yang ada di laut selatan, bomoh/dukun

meminta kepada penguasa laut selatan untuk melindungi, menjaga, memberikan keberkahan

rejeki yang berlimpah, serta jauh dari segala macam marabahaya.

Baris keduapuluhtiga, Berkat doa. Baris keduapuluhempat, La ilaha illa ‘Illah

Muhammadar Rasulullah. Maksudnya tiada daya dan upaya manusia atas apa yang telah ia

perbuat selama hidup di dunia ini tanpa seizin Allah SWT. Karena sekuat apa pun manusia,

sehebat dan semashur apa pun bomoh/dukun yang melakukan ritual tersebut, tetap saja hanya

Allah yang menentukan segala-galanya suatu keberhasilan/kesuksesan yang dicapai oleh

65

bomoh/dukun dalam menjalankan tugas dan kewajibannya untuk membatu masyarakat yang

membutuhkan pertolongannya, dan hanya pengakuannya atas Rasulullah lah yang akan

menyelamatkannya nanti di akhirat, Amin.