review panen lontar james fox

43
TUGAS REVIEW “PANEN LONTAR Perubahan Ekologi dalam kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu” Prof. Dr. James J. Fox 1996 AFIF FUTAQI 0606096585 Perbedaan Ekonomi Dalam tipologi sistem-sistem ekologi Indonesia yang diuraikan di dalam Agricultural Involution, Clifford Geertz menarik perbedaan antara pertanian sawah di Pulau-Pulau Indonesia bagian dalam yang padat penduduknya dan

Upload: afif-futaqi

Post on 11-Jun-2015

1.038 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Review Panen Lontar James Fox

TUGAS REVIEW

“PANEN LONTAR

Perubahan Ekologi dalam kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu”

Prof. Dr. James J. Fox

1996

AFIF FUTAQI

0606096585

Perbedaan Ekonomi

Dalam tipologi sistem-sistem ekologi Indonesia yang diuraikan di dalam

Agricultural Involution, Clifford Geertz menarik perbedaan antara pertanian sawah di

Pulau-Pulau Indonesia bagian dalam yang padat penduduknya dan perladangan berbagai

tanaman di Pulau-Pulau di bagian luar yang kurang padat. Tipologi ini mengenal berbagai

gabungan yang mungkin dibentuk berdasarkan kedua sistem tersebut, dan lebih penting

lagi, penyesuaian kedua sistem itu, di dalam pengolahan basil bumi untuk perekonomian

pasar. Sistem ketiga yang menjadi makin penting tetapi dalam tipologi ini diabaikan,

adalah sistern ekologi di Pulau-Pulau di bagian luar Indonesia. Sistem ini bukan suatu

bentuk pertanian lain, tetapi suatu kegiatan meramu yang sangat menarik: pemanfaatan

sejenis potion palem yang sangat produktif. Tujuan dari penelitian ini adalah menyelidiki

Page 2: Review Panen Lontar James Fox

pemanfaatan khusus dari potion palem dan meninjau implikasinya terhadap perkembangan

yang sedang berlangsung di busur luar Kepulauan Nusa Tenggara di Indonesia Timur.

Hampir diseluruh pulau timor padaumumnya di wilayah busur luar kepulauan nusa

tenggara, perladangan makin merosot disebabkan karena keadaan iklim yang sanagt

buruk yaitu (a) musim hujan tidak teratur dengan curah hujan rata-rata rendah(b) musim

kemarau panjang, sebagai akibat dari angin barat, yang kering dan siklon tropis; dan (c)

tanah margalit yang sulit diresapi air dan mudah tererosi, menjadi sangat kering selama

musim kemarau yang panjang. Timor merupakan Pulau yang kering dan gersang. Curah

hujan rata-rata untuk seluruh Timor Barat dibawah 1.500 mm tiap tahun, sehingga Timor

merupakan salah satu Pulau yang terkering di Indonesia. " Banyaknya curah hujan berbeda-

beda. Daerah pedalaman yang lebih tinggi mendapat lebih banyak hujan daripada daerah

pantai, dan pantai selatan lebih banyak hujan daripada pantai utara, yang diperkirakan curah

hujan setiap tahun rata-rata kurang dari 775 mm. Faktor kritis dalam keadaan ini adalah

ketidakpastian musim hujan, yang mungkin mulai turun setiap saat antara bulan November

sampai Januari, dan curah hujan dari musim ke musim sangat berbeda. Kadang-kadang

hujan tidak turun dalam beberapa tahun, dan "musim hujan" tidak banyak atau sama sekali

tidak membawa hujan. Ketika hujan benar-benar turun, air tidak dapat meresap ke dalam

tanah dan langsung mengalir ke sungai-sungai menuju ke laut. Pulau ini mengalami erosi yang

hebat sehingga hanya terdapat bekas-bekas hutan primer dan pe tak-petak hutan

sekunder yang luas. Pulau itu telah menjadi padang sabana berbukit-bukit yang

ditumbuhi pohon-pohon palem, E:ucaliplus (kayu putih), akasia dan cemara.

Di ujung barat dari busur luar Kepulauan Kepulauan Nusa Tenggara, terletak

Pulau Sumba. Sebagian besar Pulau Sumba terdiri dari dataran yang berumput dengan

beberapa hutan di antaranya; di daerah pantai selatan lebih banyak terdapat daerah

pegunungan yang terputus-putus, sedangkan pantai utara merupakan dataran rendah yang

kering. Dibandingkan dengan PulauPulau tropi yanglebihsuburdilndonesia,Pulau ini

sangatgersang. Bagian barat tidak banyak dipengaruhi olch angin kering dari Australia,

danlebihbanyakmendapathujanselamarnusimanginbarat, sehingga lebih cocok untuk

pertanian sawah. Makin ke ti mur, keadaan Pulau ini makin kering

Page 3: Review Panen Lontar James Fox

Sebagian besar penduduk Sumba dan hampir seluruh penduduk Sumba Timur

bercocok tanam lading.Padi, jagung dan kadangkadang jewawut ditanam di ladang dalam

jumlah yang berbedabeda, menurut keadaan tanah dan banyaknya hujan. Padi sawah

ditanam dengan luas di Sumba Barat, sedangkan cantel (sorghum) hanya ditanam di

daerah-daerah yang miskin dan kering dari Pulau itu. Suatu faktor yang sangat

mempengaruhi perekonomian tradisional ini adalah perdagangan kuda yang berkembang

dengan pesat pada abad ke sembilan belas. Kuda-kuda itu dipelihara di dataran tinggi

di pedalaman dan dijual kepada pedagang-pedagang Arab melalui dataran rendah di

pantai sebelah timur. Perdagangan ini sudah mulai berkembang sebelum pemerintah

Belanda menguasai Pulau Sumba. Seperti halnyadi Timor, peternakan di Pulau ini

merupakan hak istimewa dari raja-raja setempat, dan kekayaan yang meningkat tidak

mempunyai akibat langsung terhadap pola-pola mata pencahari penduduk. Sejak tahun

1930 Sumba telah mengalami beberapa perubahan seperti yang terjadi di Timor. Tidak

terdapat kota sebesar Kupang di Pulau ini, dan dalam hubungannya dengan Timor,

tampaknya makin terpencil. Walaupun peternakan telah menggantikan perdagangan kuda

sebagai sumber pendapatan dari luar, namun kesulitan pengangkutan antarpulau cenderung

menghambat ekspor.

Di antara Sumba dan Timor terletak Pulau-Pulau Rote, Ndao dan gugusan Sawu.

Semua faktor iklim yang mempengaruhi Timor dan belahan timur Sumba itu, lebih hebat

pengaruhnya di Pulau-Pulau ini. Kedua Pulau ini gundul, mengalami erosi dan terbagi-

bagi oleh bukit-bukit kapur dan tanah liat.Keadaan di Pulau Sawu lebih parah. Se:orang

komentator pada abad ke sembilan belas, secara berlebih-lebihan menggambarkan kesan

pertamanya mengenai pulau ini sebagai berikut: "Tidak ada daun-daunan yang hijau, tidak

ada tanaman atau pohon-pohon. Sawu hanya merupakan sebungkah batu di tengah lautan

luas. Wainwright, dalam penyelidikan mengenai Sawu, menyimpulkan bahwa bagian

utara dan timur Pulau itu mungkin mendapat curah hujan kira-kira antara 700 dan 1,000

mm, sedangkan di bagian barat daya, curah hujan lebih sedikit, kira-kira dari 500 mm

sampai 800 mm. Tidak diragukan lagi bahwa dalam hal curah hujan, keadaan di Rote dan

Sawu jauh lebih buruk daripada Timor keadaan ini menyerupai Sumba bagian timur.

Page 4: Review Panen Lontar James Fox

Perekonomian Lontar di Rote dan Sawu

Kehidupan penduduk Rote dan Sawu tergantung pada pemanfaatan pohon lontar,

sejenis palem Borassus (Borassus sundaicus Beccari). Jenis pohon palem lain

yangdimanfaatkanjuga adalah pohon gewang yang banyak sekali tumbuh di Pulau Rote,

tetapi tidak terdapat di Pulau Sawu. Penduduk Rote dapat memanfaatkan berbagai hasil

pohon gewang seperti hasil-hasil potion lontar, sedangkan penduduk Sawu hanya khusus

menggunakan lontar. Hampir seluruh hasil lontar tersebut dimanfaatkan.

Lontar adalah pohon palem yang berbatang tunggal, berjenis kelamin ganda,

daunnya berbentuk kipas dan tingginya mencapai 25 sampai 30 meter dengan garis tengah

60 sampai 90 cm. Pohon gewang hampir sama dengan lontar, tetapi lebih tinggi,

batangnya lebih besar, dan berjenis kelamin tunggal. Daunnya berbentuk kipas juga tetapi

lebih berkembang dan ujung-unjungnya panjang mencuat keluar seperti tombak. Di puncak

potion lontar tumbuh mayangmayang yang besar. Pada mayang lontar jantan, tumbuh

tunas-tunas yang secara teknis disebut rachillae, cabang-cabang tajam yang berpasangan,

masing-masing terkulai dari puncak seperti phallus panjang. Mayang lontar betina

menghasilkan tandan-tandan yang berat dengan buah-buah. Mayang-mayang itu mulai

tumbuh waktu pohon lontar masih muda. Dalam hal ini gewang sangat berbeda. Pohon

gewang tumbuh lebih dari seratus tahun, baru menghasilkan mayang tunggal yang sangat

besar seperti menara yang indah, dan berbunga pada waktu yang sama dengan gewang-

gewang lain yang tersebar di daerah luas, lalu mati.

Dari kedua jenis mayang tersebut, dapat disadap nira yang manis. Kehidupan

penduduk Rote dan Sawu tergantung pada hasil tahunan dari pohon lontar, namun

penduduk Rote selalu siap menyadap pohon gewang, sekalipun kesempatan itu sangat

jarang. Potion lontar berbunga dua kali setahun, dan baik jantan maupun betina

menghasilkan banyak nira. Untuk menyadap lontar jantan, tunas mayang yang terkulai itu

di potong ujungnya sesudah berkuncup, dan bagian yang bersabut di hancurkan agar mulai

mengalirkan nira. Untuk menyadap lontar betina, mayang harus diremas dengan kuat dan

Page 5: Review Panen Lontar James Fox

dipotong ujungnya sebelum mulai berbuah.

Nira dari pohon lontar itu dikumpulkan dua kali sehari di dalam semacam timba

yang dibuat dari daun lontar. Ujung mayang setiap kali harus dipotong tipis agar niranya

terus mengalir. Nira yang segar dari pohon dapat langsung diminum. Selama musim

penyadapan, penduduk Rote dan Sawu terutama hidup dari nira. Nira sangat cepat menjadi

asam, oleh karena itu semua nira yang tidak terminum harus segera dimasak (biasanya

di atas tungku tanah liat yang ditanam di tanah) menjadi syrup kental yang berwarna

hitam atau coklat muda; sirup itu tahan lama dan dapat disimpan dalam periuk dan guci di

dalam rumah. Bila diperlukan, sirup itu dicampur dengan air dan merupakan minuman yang

manis. Diminum beberapa kali sehari, biasanya sebagai pengganti makanan utama,

minuman ini merupakan makanan bagi penduduk Rote dan Sawu bila nira yang segar

tidak ada. Sirup ini dapat juga dihablurkan menjadi semacam gula batu yang berbentuk

persegi berwarna coklat, atau diragikan menjadi semacam tuak. Sebagai hasil

selanjutnya, penduduk Rote (bukan penduduk Sawu) menyuling tuak menjadi arak manis.

Pohon lontar termasuk tanaman penghasil gula yang paling efisien di dunia. Sebatang

pohon lontar dapat menghasilkan paling sedikit selama tiga sampai lima bulan, meskipun

baik di Rote maupun Sawu penyadapan secara intensif dilakukan terutama dalam masa

dua bulan selama musim kemarau. Perubahan dari nira menjadi sirup tergantung pada

proses pemasakan. Misalnya orang Sawu memasak nira lebih lama daripada orang Rote

dan menghasilkan sirup yang lebih kental dan hitam.

Pohon lontar ini bukan hanya merupakan sumber mata pencaharian, tetapi lebih

berarti bagi penduduk Pulau-Pulau tersebut. Pohon lontar dan juga gewang, walaupun

tidak seperti pohon lontar, memenuhi banyak sekali kebutuhan hidup sehari-hari. Daun

lontar yang berbentuk kipas digunakan untuk atap rumah, yang dari luar hanya seperti suatu

tumpukan daun lontar. Daun lontar yang utuh dapat dibentuk menjadi alat bunyi-bunyian

yang berbentuk setengah bola, di dalamnya dipasang tabung bambu yang direntangi senar.

Alat ini disebut sesandu, suatu alat musik khas bagi orang Rote. Daun lontar yang dibelah

panjang-panjang seperti pita dianyam untuk membuat keranjang, karung, kantung pelana,

tikar, kipas, atau dibuat topi (tanda pengenal orang Rote), ikat pinggang, sarung pisau,

Page 6: Review Panen Lontar James Fox

mainan anak-anak, alas kaki yang sederhana, bahkan kalau diserut lebih tipis menjadi kertas

rokok yang kasar. Serat dari daun gewang yang panjang dapat dipintal menjadi

semacam benang kemudian ditenun menjadi bahan pakaian yang kasar dan kuat. Di

Pulau Rote, bahan ini sudah tidak bersaing dengan bahan katun, tetapi pada masa yang

lampau bahan pakaian ini tersebar luas, dan kini masih dipakai oleh pria dan wanita untuk

bekerja di ladang. Sampai awal abad ini, penduduk Rote menggunakan kain gewang

yang tebal itu untuk layar perahu, sangat kuat dan tahan lama, dan banyak dijual kepada

pelaut-pelaut pribumi lain yang datang mengunjungi Pulau itu. Tangkai daun gewang dan

lontar yang panjang dan berserat dibelah, dikerat dan dipintal menjadi bermacam-macam tali,

selempang, pakaian kuda, dan kekang. Tangkai-tangkai daun yang utuh dijalin untuk

pagar atau diikat untuk dinding dan papan pemisah dalam rumah. Tangkai-tangkai daun

lontar yang kering dijadikan kayu api. Kayu dari kedua batang pohon itu dapat dijadikan

papan meskipun kurang baik untuk bangunan, sedangkan batang kedua pohon itu dapat

juga dilubangi untuk tempat makanan ternak atau untuk tempat pendingin dalam

penyulingan. Akhirnya, hampir semua orang Rote dikuburkan dalam peti mati yang

dibuat dari kayu lontar, sedangkan mayat orang Sawu biasanya di bungkus tikar daun

lontar. Jika seorang Rote meninggal, dibuat anyaman dari daun lontar, yang berbentuk

seperti garpu berkaki tiga yang disebut maik atau ola. Anyaman itu merupakan lambang

dari arwahnya dan digantung di dalam rumah bersama dengan anyaman lain yang serupa.

Maik lain yang merupakan lambang dari leluhur, digantung di tempat-tempat yang

dianggap memerlukan perlindungan - dekat tungku api, di ladang-ladang yang mulai

masak, dan di dekat kandang ternak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penduduk

Rote dan Sawu benar-benar tergantung pada basil pohon lontar; makanan, kebutuhan

sehari-hari, pakaian dan bahkan sesudah mati pun dikuburkan dan dikenang dengan

hasil-hasil dari pohon lontar.

Penyadapan dan pemangkasan daun-daun dan tangkainya di lakukan

pada bulan-bulan yang kering, yaitu bulan April sampai Nopember. Penyadapan dilakukan

selama masa tersebut, tetapi ada dua masa puncak, yang pertama pada awal musim

kemarau, bulan April dan Mei dan yang kedua menjelang akhir musim yaitu bulan

September dan Oktober. Oleh karena itu, perekonomian penduduk Rote dan Sawu sangat

Page 7: Review Panen Lontar James Fox

luwes. Penggunaan hasil potion lontar ini adakalanya lebih besar dalam tahun-tahun yang

lebih kering dan berkurang dalam tahun-tahun yang banyak turun hujan. Pemanfaatan

lontar hanya merupakan inti dari suatu perekonomian rumit yang saling berkaitan. Salah

satu keuntungan dari waktu terluang di musim kemarau adalah kesempatan bagi pria

maupun wanita untuk pergi menangkap ikan di lepas pantai dengan teratur. Penangkapan

ikan dalam masa yang singkat itu merupakan bagian dari kegiatan sehari-hari bagi sebagian

besar penduduk Rote. Tidak ada orang yang bertempat tinggal lebih jauh daripada jarak

yang dapat ditempuh dengan jalan kaki dari pantai. Pasang surut terjadi dalam siklus

bulanan berdasarkan waktu dan jauhnya air surut. Penduduk Rote menangkap ikan pada

waktu yang berlainan pada siang hari dan menggunakan suluh pada malam hari, sesuai

dengan perputaran pasang surut. Setiap orang Rote mengetahui waktu pasang surut.

Pengumpulan rumput laut juga sama pentingnya. Dalam waktu pasang surut, penangkapan

ikan mungkin berhasil atau tidak, tetapi selalu dapat dikumpulkan satu atau dua bakul

rumput laut. Di pulau-pulau ini jelas kekurangan sayur-sayuran sehingga rumput taut

merupakan tambahan makanan sehari-hari. Suatu hal yang biasa di Pulau Rote, bila seluruh

keluarga makan besar yang terdiri dari dua haik berisi enam liter nira, dan rumput laut

hijau yang asin dan keasam-asaman. Kombinasi asam manis yang khusus ini mungkin

tidak menarik bagi setiap orang, tetapi bagi mereka yang sudah terbiasa akan dinikmati

dengan lahap. Makanan lain yang merupakan suatu hidangan bagi penduduk Ndao dan

Sawu adalah se jenis "cacing laut" kecil yang disebut nyale. Cacing-cacing itu muncul

dalam jumlah besar pada waktu-waktu tertentu setiap tahun di pantai selatan. Diasami

dengan cuka lontar, nyale adalah makanan yang sedap.

Dua kegiatan lain yang erat hubungannya dengan perekonomian lontar adalah

pemeliharaan babi yang semi intensif dan pengumpulan madu dalam jumlah yang besar.

Kadang-kadang babi diberi makan buah lontar betina; sering diberi nira lontar segar dan

selalu mendapat sisa-sisa dan busa sirup yang meluap dalam proses pemasakan; sering

diberi kelebihan sirup yang dicampur dengan air. Pemberian sirup lebih banyak dilakukan

di Pulau Sawu dari pada di rote. Babi-babi disembelih untuk pesta pada hari-hari raya, tetapi

tidak pernah disembelih secara besar-besaran. Juga tidak di ekspor dalam jumlah yang besar.

Babi hanya merupakan tambahan protein bagi makanan pokok. Dengan adanya puluhan

Page 8: Review Panen Lontar James Fox

ribu pohon palem yang meneteskan cairan bergula dari puncaknya, jumlah lebah di Pulau

Rote dan Sawu sangat banyak. Menurut adat kebiasaan, sehari dalam seminggu penduduk

Rote membiarkan lebah-lebah untuk minum tanpa diganggu. Satu-satunya yang

menghambat lebah-lebah itu adalah angin taufan tropis yang menyerang Pulau itu dan

menghalau lebah-lebah ke laut. Karena Pulau-Pulau ini sudah mempunyai persedian pangan

gula yang berlebihan, maka penduduk Rote dan Sawu tidak menganggap madu sebagai

suatu makanan yang lezat. Tetapi sejak masa Persekutuan Dagang Hindia Belanda, madu

merupakan bahan ekspor yang sangat berharga.

Bentuk Pertanian dan Peternakan

Penduduk Rote dan Sawu adalah peramu dalam arti mereka "mengumpulkan

hasil" pohon palem untuk memenuhi bagian terbesar dari kebutuhan mereka. Mereka juga

petani yang bercocok tanam di tanah yang sangat buruk keadaannya. Berbeda

dengan penduduk timor dan sumba. Sekalipun bentuk perkampungan penduduk Rote

dan Sawu berbeda, namun mereka mempunyai persamaan yaitu kebutuhan sumbcr air yang

dekat dan pohon lontar yang cukup. Pohon lontar berIcbihan, sehingga kebutuhan yang

kedua tidak merupakan kesulitan. Kebanyakan tempat-tempat kediaman itu terletak di

tempat-tempat dimana banyak tumbuh pohon-pohon lontar. Dengan menggunakan daun

lontar dan pupuk hewan, pada batas tertentu penduduk Rote dan Sawu telah dapat mengatasi

masalah kesuburan yang menghambat pertanian di Timor dan Sumba. Dengan berbagai

cara, mereka juga telah dapat mengatasi kesulitan yang menyangkut pengolahan tanah.

Perbedaan yang terutama bukan dalam teknik yang digunakan, bahan pangan yang

ditanam, atau binatang yang dipelihara, tetapi terutama dalam hal kepentingan relatif,

proporsi dan organisasi dalam suatu sistem keseluruhan. Dengan demikian, terdapat

variasi yang nyata dalam keseluruhan sistem ini di berbagai daerah di Pulau Rote.

Perbedaan utama antara Rote dan Sawu adalah adanya beberapa sumber air alam yang balk

letaknya di Rote, terutama di bagian tengah dan selatan.1' Hal ini memungkinkan

perkembangan pertanian sawah. Penduduk Rote sendiri mengakui hal ini, dan

menghubungkan persamaan ini dengan pengaruh penduduk Sawu di daerah itu pada masa

yang lampau. Kemungkinan persamaan ini ada pula hubungannya dengan perkembang-an

Page 9: Review Panen Lontar James Fox

sistematik dalam pemanfaatan pohon lontar.

Pembuatan pagar sangat penting bagi pertanian di seluruh pulau busur luar ini dan

mempunyai akibat yang penting dalam perekonomian. Di Pulau Timor pada umumnya

dibuat pagar yang kokoh dari batang-batang pohon dijalin dengan dahan-dahan yang berat.

Pagar ini hampir setinggi manusia dan harus diperbaiki dan diperkuat setiap tahun untuk

mencegah ternak mencari makan di ladang. Pemagaran di Pulau Rote dan Sawu sangat

berbeda dengan pemagaran di Pulau Timor. Kebanyakan pagar di Pulau Rote dibuat dari

bahan yang tersedia: terutama tangkai daun gewang dan kemudian daun lontar. Pemagaran

di Pulau Sawu tampaknya lebih baik dan menghemat tenaga. Walaupun dapat

digunakan tangkai-tangkai daun dan dinding batu, penduduk Sawu lebih suka

menggunakanyangdisebut"pagarhidup". Orang-orang Sawu melindungi ladang-ladang

mereka dengan menanam pohon kahi dengan jarak yang berdekatan. Jika batang-batang

pohon itu sudah berakar dan tumbuh, sela-sela di antaranya dengan mudah ditutup dengan

dahandahan lain atau dengan tangkai daun lontar menjadi pagar yang kuat.

Dalam hubungan ini, organisasi sosial tenaga kerja di Rote dan Sawu sama

pentingnya dengan teknik, bahan, dan alasan dari pemagaran itu sendiri. Di Pulau

Rote terdapat kelompok usaha pemagaran tetap yang dikenal dengan nama lala. Lala ini

mempunyai dari 10 sampai 50 orang atau lebih, tergantung pada keadaan tanahnya.

Setiap bidang tanah di dalam lingkungan lala dimiliki, ditanami dan diambil hasilnya

secara perorangan, tetapi setiap anggota wajib memelihara sebagian dari pagar

bersama. Anggota yang gagal melakukan kewajiban itu akan kehilangan hak mena-

nami ladangnya. keanggotaannya dari kelompok ini terbuka untuk setiap orang yang

mewarisi, membeli atau mendapat tanah dalam kompleks tersebut, atau memperpanjang

pagar untuk memasukkan tanah yang dibuka. Ualam hal tanah yang diairi (baik sawah

maupun kebun buahbuahan), para anggota menggunakansumber air yang sama. Setiap

sumber air "dimiliki" oleh marga tertentu. Pemilikan ini merupakan suatu hak dalam adat,

untuk menunjuk seorang yang akan melakukan upacara pengorbanan bagi suatu lala yang

diairi dari cumber air atau sungai yang sama. Para anggota menunjuk orang-orang dari

kalangan anggotanya sendiri untuk satu atau dua jabatan dalam lala (yaitu manake

Page 10: Review Panen Lontar James Fox

"pemutus" yaitu "yang mengambil keputusan", dan manakila-oe "pembagi air"); kedua

orang itu memutuskan segala sesuatu yang berlaku dalam lala, mengeluarkan perintah

untuk bekerja dan membagi air secara adil kepada setiap lahan. Setelah lahan ditanami,

lala tertutup bagi semua anggota kecuali anggota yang mempunyai jabatan, dan

hanya merekalah yang menentukan bilamana lala itu boleh dibuka untuk panen, atau dalam

hal kebun buah-buahan, untuk dipetik. Mengenai tanah-tanah kering yang masih banyak

terdapat di Pulau itu, pada dasarnya tetap berlaku susunan yang sama, akan tetapi

hanya diatur oleh seorang manake. Keadaan di Pulau ini telah mencapai tahap dimana tidak

banyak lagi hutan primer yang dapat dibuka. Perpindahan yang terjadi hanya dari satu

tanah lala yang kering ke lala yang lain dan sejauh mungkin (dalam siklus paling

sedikit tujuh atau delapan tahun), angota-angota lala yang lama dikumpulkan kembali

untuk membersihkan semak belukar yang tumbuh di lahan-lahan mereka dan mendirikan

kembali pagar bersama.

Organisasi social tenaga kerja pertanian di Pulau Sawu jauh lebih besar daripada di

Pulau Rote. Sampai saat ini, setiap daerah (rai) di Sawu adalah organisasi yang terbentuk

menurut adat keagamaan dan bertujuan ke arah tindakan bersama dalam pertanian dan pe-

nyadapan. Setiap daerah mempunyai sistem kependetaan dan keagamaan yang rumit

berdasarkan kalender bulan, dan walaupun dalam hal-hal utama upacaranya serupa,

tetapi masing-masing daerah mengadakan kegiatan sendiri dalam perputaran yang berta-

hap sepanjang tahun.32 Nama bulan-bulan dalam kalender, membedakan berbagai kegiatan

musiman, para pendeta dari tiap daerah, ber-sama dengan pembantu dan petugasnya,

menentukan dan mengatur usaha-usaha pertanian bersama. Keadaan di Pulau Rote dan

Sawu berbeda. Pertama, pemeliharaan babi secara intensif di kedua Pulau itu, tidak ada

tandingannya di Pulau Timor dan Sumba. Kedua, peternakan yang lebih kecil penting sekali

- tidak hanya kambing tetapi juga domba. Berbeda dengan kambing yang bergerak

bebas, domba harus digembala. Dalam perekonomian seperti di Pulau Sumba dan

Timor, di mana binatang peternakan dibiarkan bebas mencari makan, dan tenaga kerja

dipusatkan untuk melindungi ladang-ladang, domba merupakan suatu masalah. Di antara

Pulau-Pulau busur luar itu, hanya penduduk Rote dan Sawu yang berternak domba

sedemikian rupa sehingga hal itu dikenal sebagai ciri khas dari kedua penduduk tersebut.

Page 11: Review Panen Lontar James Fox

Karena itu, rencana Belanda memasukkan sapi Bali ke Timor dan kemudian Sumba,

gagal di Pulau Sawu dan Rote. Kerbau masih tetap tidak digantikan oleh sapi.

Banyak faktor yang jelas menyebabkan kerbau di Pulau Sawu dan Rote tetap

bertahan. Status kerbau sebagai emas kawin tidak memberikan penjelasan yang

memadai. Di Timor bagian timur, misalnya, emas kawin dinilai dengan kerbau

betina, sedangkan di bagian barat dinilai dengan oma (suatu satuan emas setempat).

Namun di seluruh Rote emas kawin dapat dibayar dengan kambing atau domba. Hal yang

sama tampaknya berlaku pula di Sawu, dimana kerbau merupakan alat pertukaran yang

penting tetapi tidak khusus.

Cara pemeliharaan ternak di kepulauan ini tidak memungkinkan ternak makan

rumput dengan sembarangan. Cara yang umum adalah selama musim bercocok tanam,

ternak di ikat, dipelihara atau digembalakan siang hari dan di kandangkan pada malam

hari. Faktor-faktor tak tetap yang kritis dalam perekonomian pribumi di kePulauan busur

luar ini meliputi pemagaran dan penggembalaan. Di satu pihak, di Pulau Timor kawanan

ternak terlalu banyak menghabiskan rumput sehingga diperlukan banyak tenaga untuk

memagari ladang-ladang yang sering berpindah-pindah, dan pekerj aan yang sangat

memakan waktu ini hanya dilakukan oleh sekelompok kerabat kecil. Sebaliknya di Pulau

Sawu masalah pagar sudah sangat disederhanakan bahkan di beberapa tempat sudah

ditiadakan, dengan cara mengumpulkan semua ternak di dalam kandang atau halaman

berpagar selama tanaman sedangtumbuh, dan kegiatan bersama di atur oleh pemimpin

agama setempat.

Perbedaan ciri-ciri perekonomian Rote dan Sawu yang berpusat pada palem, dan

perekonomian ladang di pulau-pulau yang berdekatan (contohnya Timor)

Rote dan Sawu Timor

1. Penggunaan palem yang intensif. 1. Pertanian ladang yang merosot

2. Pengumpulan madu dalam jumlah besar. 2 Pengumpulan madu yang terbatas.

3. Peternakan semi-intensif yang berpusat pada babi 3. tidak intensif.

Page 12: Review Panen Lontar James Fox

dan kerbau.Kambing dan domba sangat penting

4. Penangkapan ikan di lepas pantai dengan ekstensif 4. tidak ada penangkapan ikan

dan pengumpulan rumput laut mentah

5. Peralihan dari pertanian ladang ke perkebunan 5.ladang meningkat

semi-permanen dan dimana ada kemungkinan

mengembangkan pertanian sawah

6. Ditiadakannya pemagaran dan usaha bersama 6. membutuhkan banyak tenaga

untuk membangun pagar yang kuat.

Kecenderungan untuk memelihara hewan

dalam kandang atau halaman yang berpagar

7. Organisasi kerja sama yang tetap dan tidak hanya 7. hanya terdiri dari anggota keluaga

terdiri dari anggota keluarga

8. Penggunaan daun lontar dan pupuk 8. tidak digunakan pupuk hewa

hewan sebagai penyubur pekarangan

9. Waktu terluang untuk melakukan 9.waktu yang terluang digunakan

kegiatan-kegiatan lain untuk memelihara ladang

Hubungan antara Manusia dengan Ternak

Perbedaan pokok antara perekonomian lontar, seperti yang terdapat di Pulau-Pulau

Rote, Ndao, dan Sawu, dan perekonomian ladang yang terdapat di Timor (dan Sumba),

sudah jelas. Dinilai sebagai suatu sistem yang umum, sampai tingkat khusus tertentu,

perekonomian Timor tampaknya merupakan suatu sistem yang berstruktur. Karena tidak

terdapat cara-cara produksi lain, dalam penyesuaian dengan lingkungannya - keadaan

iklim, kesuburan tanah yang makin menurun, erosi yang menyebar luas dan tekanan

penduduk yang makin padat - penduduk Timor sangat tergantung pada perladangan.

Penggunaan waktu dan tenaga kerja ini hanya untuk mempertahankan suatu sistem yang

tidak mempunyai masa depan clan pada saat ini tidak ada pilihan lain. Peternakan yang

diperkenalkan dengan tujuan untuk menganekaragamkan perekonomian, membawa akibat

Page 13: Review Panen Lontar James Fox

yang sebaliknya. Peternakan hanya memberikan keuntungan pada pemiliknya, pedagang

dan perantara, tetapi mendesak para petani ladang yang merupakan golongan mayoritas.

Sebaliknya perekonomian lontar adalah suatu perekonomian yang tidak lazim, bukan

hanya karena cara produksinya yang khusus tetapi juga karena sifatnya yang beraneka

ragam. Kebanyakan penduduk Rote dan Sawu adalah penyadap, petani, nelayan dan juga

pemelihara ternak, sedangkan penduduk Ndao, di samping penyadap, mereka mempunyai

pekerjaan sebagai pandai emas. Pohon lontar adalah poros perekonomian tersebut. Tanpa

pohon lontar, mungkin mata pencaharian mereka juga akan sangat sulit seperti di Timor.

Produksi lontar memberikan (a) waktu untuk melakukan berbagai kegiatan, (b) kemampuan

untuk mengubah aspek-aspek lain dari perekonomian tersebut, dengan resiko tertentu, dan

dengan kemampuan ini (c) memperoleh sarana untuk menyesuaikan berbagai sub-sistem itu

dengan keadaan yang sedang berubah, dalam waktu yang singkat. Perekonomian lontar

bukan merupakan satu sistem tunggal yang menyeluruh, tetapi merupakan serangkaian

sub-sistem

Untuk tujuan analisis ini kambing dan domba digolongkan menjadi satu karena oleh

penduduk pribumi kedua jenis hewan itu dianggap satu golongan. Bagi penduduk Rote

keduanya disebut bii sedangkan di Sawu kii. Kambing dianggap sebagai hewan yang "se-

benarnya" atau "asli'° (bii-hik/kii hawuu) dan domba sudah dimasukkan dalam kategori

kambing (bii-lopo/ki djawa). Domba tidak berbulu tebal dan memang tampaknya

seperti kambing. Kedua ternak itu dipelihara untuk dagingnya. Kambing dan domba memer-

lukan padang rumput, tetapi mereka tidak harus mendapat - memang tidak ada - padang

rumput yang bagus. Hewan ternak itu makan rum-put di tanah yang gundul dan penuh batu-

batu. Domba harus di gembala. Kambing berkeliaran lebih bebas, walaupun jika sudah

besar, kambing jantan kadang-kadang diikat. Baik kambing maupun domba berkeliaran

mencari makan, biasanya tidak jauh satu sama lain dalam padang yang sama, dan tidak

cenderung untuk berkumpul di dekat air seperti kerbau. Dengan demikian, anggapan

penduduk asli bahwa kambing dan domba dapat mencari makan di tanah yang gersang di

mana binatang lain tidak dapat hidup, sesungguhnya dapat dibenarkan. Tanah-tanah yang

disebut "tanah kambing dan domba" itu biasanya hampir tidak dapat digunakan untuk

Page 14: Review Panen Lontar James Fox

lainnya. Dengan menghilangkan faktor luas tanah dalam populasi hewan dan manusia dan

menghubungkan satu sarna lain, hubungan sangat berarti yang timbul adalah antara babi

dan manusia.

Bentrokan Ekonomi

Perekonomian di Sumba timur dan sebagian besar Timor barat sangat tergantung

pada perladangan yang ciri-cirinya antara lain: masa pemberaan tanah yang panjang,

pembukaan tanah dengan cara pembakaran, dan pembuatan pagar yang panjang untuk

melindungi ladang dari hewan yang berkeliaran. Pada mulanya, baik Sumba maupun

Timor mempunyai hewan yang kira-kira sama. Tetapi kemudian, untuk mendorong

perekonomian yang asli, kedua Pulau itu mulai memelihara hewan untuk ekspor, yaitu

kuda pada awal abad kesembilan belas di Pulau Sumba, dan sapi pada awal abad

kedua puluh di Timor dan kemudian Sumba. Cara ternak itu diperkenalkan, cara

perdagangan ekspor dan susunan masyarakat di Pulau-Pulau itu, semuanya membantu

perkembangan daerahdaerah yang dikuasai oleh golongan atas yang kaya dan sangat ber-

kuasa tanpa mengubah dasar mata pencaharian penduduk. Hewanhewan yang dipelihara

untuk ekspor itu sesungguhnya lebih membebani dan mendesak sektor pertanianyang

merupakan mata pencaharian pokok.

Sebaliknya, Pulau-Pulau yang kecil, bahkan lebih kering, lebih banyak diserang

angin, dan lebih banyak mengalami erosi daripada Pulau-Pulau yang lebih besar. Mata

pencaharian penduduknya yang sangat tergantung pada hasil pohon palem itu telah

menimbulkan perekonomian campuran: yaitu pengolahan sawah, perladangan,

perkebunan, peternakan, penangkapan ikan dan berbagai kegiatan meramu.

Dua hal yang sangat penting dalam perekonomian ini adalah ketergantungan pada

pohon lontar dan ketrampilan penduduk dalam memanfaatkan keadaan sekelilingnya. Di

lain pihak, dalam perekonomian ini jelas terdapat kecenderungan ke arah spesialisasi yang

besar dalam hubungannya dengan perkembangan penduduk. Penyadapan lontar adalah

Page 15: Review Panen Lontar James Fox

kegiatan padat karya, selama masih cukup banyak palem untuk disadap, perekonomian ini

mampu menyerap tenaga baru.

Akhirnya, terdapat faktor yang penting dalam organisasi sosial tenaga kerja.

Dalam sejarah, semua pulau busur luar terbagi dalam kerajaan-kerajaan kecil yang

luasnya berbeda-beda. Dalam masa jaya perdagangan kayu cendana dan sebelum

kedatangan orang Eropa, terutama di Pulau Timor terdapat kerajaan-kerajaan yang besar.

Sudah jelas terdapat hubungan erat antara penyadapan dan pemangkasan daun. Terlalu

banyak pemangkasan akan menghambat penyadapan dan mungkin memperpendek masa.

di Pulau Rote dan Sawu. Penyadapan lontar, kegiatan yang sangat penting bagi mata

pencaharian itu, dapat dikatakan masih terbatas pada kerja sama di antara satu atau dua

rumah tangga. Akan tetapi di Pulau Rote dan Sawu hal in telah berkembang, dalam

bentuk-bentuk yang berlainan, organisasi sosial yang mengatur tenaga kerja sudah

memiliki keanggotaan yang lebih luas dari kelompok kerabat. Lala (badan usaha

pemaggaran) di Rote biasanya terdiri dari sekelompok perorangan yang saling terikat

hubungan keluarga. Tetapi menurut peraturan keanggotaan, lala boleh dan hampir selalu

meliputi anggota-anggota yang bukan kerabat. Demikian pula, jabatan pendeta di Pulau

Sawu ditentukan oleh anggota-anggota suku, tetapi peraturan-peraturan pertanian dan

tugas-tugas yang diberikan oleh para pendeta itu menyangkut setiap orang di daerahnya,

tanpa mengingat hubungan kerabat. Walaupun terdapat perbedaan budaya yang jelas,

Pulau Rote dan Sawu yang padat penduduknya mempunyai persamaan bukan hanya

dalam perekonomian palem tetapi juga dalam tingkat dan kerumitan pranata sosialnya.

Dalam situasi yang sedemikian itu tampaknya timbul suatu kebalikan yang

menarik. Rupanya keadaan iklim yang kini diras akan oleh seluruh kePulauan busur luar itu,

lebih dahulu membawa akibat kepada Pulau-pulau kecil Rote dan Sawu yang lebih rendah

dan tidak terlindung. Dari cerita rakyat yang ada dapat diketahui bahwa penduduk Rote dan

Sawu mula-mula adalah petani ladang seperti penduduk Timor dan Sumba. Pertanian yang

makin memburuk, tampaknya telah menimbulkan sabana palem yang dibutuhkan oleh suatu

bentuk perekonomian baru. Karena penduduk Rote dan Sawu yang pertama-tama

mengalami perubahan itu, maka merekalah yang memperoleh kesempatan pertama untuk in

Page 16: Review Panen Lontar James Fox

engembangkan perekonomian palem yang intensif. Letak Pulau-pulau yang mula-mula

sangat tidak menguntungkan itu telah memberikan keuntungan yang baru.

Cara penyadapan yang sederhana itu adalah sama dengan caracara yang digunakan

di seluruh Indonesia Timur dan wilayah lainya. Pengetahuan tentang cara penyadapan itu

mungkin sebelumnya telah mencapai Pulau-Pulau tersebut melalui berbagai cara. Cerita-

cerita rakyat setempat pada umumnya menerangkan bahwa caracara mereka itu adalah

suatu penemuan, oleh nenek moyangnya yang datang dari barat.3? Dari berbagai adat

kebiasaan seperti itu mungkin dapat dibentuk serangkaian hubungan yang menerangkan

penyebaran cara penyadapan lontar dari Raijua ke Sawu, dari Sawu

Dengan menggunakan analogi keadaan lingkungan untuk menjelaskan perubahan

sejarah yang pelik, dapat mengaburkan atau menjelaskan apa yang telah terjadi di

Kepulauan ini. Tanpa diragukan lagi, beberapa proses pergantian ekologi telah terjadi dan

dapat dicatat sebagai peristiwa dalam sejarah. Penduduk Rote dan Sawu mempunyai

keuntungan dan kemampuan di dalam keadaan lingkungan yang sama, oleh karena itu

tampaknya mereka berusaha menghindari persaingan dengan mengarahkan

perpindahannya ke pulau-pulau yang berlainan. Tetapi jelas bahwa faktor sejarah yang

mengarahkan perpindahan mereka telah menciptakan relung-relung barn bentuk

pekerjaan barn terutama di kota Kupang yang telah menjadi tempat birokrasi pemerintah

dan pusat perdagangan. Di Kupang, di kalangan atas, orang Rote dan Sawu saling bersaing,

tetapi di lain pihak juga bekerjasama. Membicarakan pergantian lingkungan di Kupang

berarti memaksakan analogi yang sederhana. Peristiwa sejarah yang memunculkan

Kupang telah menciptakan kesempatan barn yang memerlukan penyesuaian diri pula.

Proses ini masih terus berlangsung. Penyadap palem tidak lagi semata-mata mengandalkan

pada palemnya dan petani ladang tidak lagi tergantung pada ladang keringnya.

Sejumlah faktor baru mengambil bagian.

Kebudayaan dan Ekonomi

Page 17: Review Panen Lontar James Fox

Unsur utama dalam perkembangan keadaan sekarang di wilayah busur luar itu,

adalah kedatangan orang Eropa pada abad keenam belas dan ketujuh belas, dan dengan

berangsur-angsur dimasukkannya pulau-pulau tersebut ke dalam wilayah penjajahan.

akibatnya yang sangat mempengaruhi keadaan, adanya campur tangan asing ini telah

memberikan catatan yang tak ternilai harganya mengenai perkembangan selama tiga ratus

tahun. Walaupun tidak selalu dapat menjawab pertanyaan yang diajukan, catatan sejarah in]

memberikan keterangan yang cukup untuk memperkirakan peristiwa-peristiwa sejarah di

wilayah itu beserta pengaruhnya yang saling berkaitan. Dengan demikian dapat ditinjau

faktor-faktor lebih lengkap yang ikut menciptakan keadaan yang sekarang, dan bukan

hanya sekedar perkiraan yang berdasarkan suatu model keadaan lingkungan.

Kebanyakan penduduk Timor dan Sumba mempunyai sif<it, yang tertutup, pasif

dan sangat pendiam. Selalu ada penguasa atau perantara yang bertindak atas nama

mereka. Pada umumnya, penduduk Timor dan Sumba menunjukkan rasa hormat dan

sangat patuh terhadap pemimpinnya. Sebaliknya menurut beberapa pengamat, penduduk

Sawu clan Rote mempunyai sifat yang kasar, tidak sopan, provokatif dan kadang-kadang

sangat angkuh. Balk penduduk Sawu maupun Rote selalu mengelakkan perilaku sopan

santun dan bahkan mempunyai kebiasaan mencemohkan perilaku yang dianggap sebagai

penghormatan yang tidak perlu. Baik para pemimpinnya maupun pemerintah penjajah

tidak mampu menguasai sifatsifatnya yang keras. Melalui hubungan-hubungan mereka

dengan orang Belanda, orang-orang Sawu dan Rote mulai menyadari sifatsifat mereka

sendiri clan bahwa hal itu mempengaruhi hubungan mereka dengan penduduk lain di

wilayah itu. Setelah melihat kenyataan yang benar, kedua penduduk itu menyatakan

dirinya sebagai "progresif' dibandingkan dengan penduduk Timor dan Sumba. Tidak

demikian halnya di Pulau Rote, misalnya, sering terdengar berulang-ulang kata-kata:

Makanan tidak putus. Hal itu bukan berarti bahwa panen tidak pernah gagal, tetapi

bahkan sebaliknya yang terjadi. Selalu diharapkan bahwa setiap tahun beberapa hasil

panen akan gagal dan persediaan makanan akan berkurang. Perhitungan selalu dilakukan

untuk menghadapi kegagalan dan mereka beranggapan bahwa dengan adanya berbagai

persedian makanan, kegagalan tidak akan terjadi. Di samping itu ada jaminan bahwa

palem tidak akan pernah gagal, bersama dengan adanya keyakinan bahwa kalau mereka

Page 18: Review Panen Lontar James Fox

penduduk Rote dan Sawu kehilangan sumbersumber pangan yang lain, seperti pada masa

penjajahan Jepang, mereka masih mempunyai persediaan nira lontar dan sirup. Dengan

adanya makanan yang bermacam-macam, selalu akan ada makanan untuk

melangsungkan hidup. Dalam tahun-tahun yang buruk, mungkin kehidupan tidak

menyenangkan, tetapi tetap berlangsung.

Latar belakang Hubungan Antar Pulau Yang Rumit

Pertama- tama harus diperhatikan, apa yang menarik orang-orang eropa datang

kewilayah ini., sifat keterlibatan mereka satu dengan yang lain dan keterlibatan mereka

dengan raja-raja pribumi, kondisi yang harus dihadapi, dan perubahan pertanian.

Masa Awal Hubungan orang Eropa Di kepulauan Nusa Tenggara timur

Selama berabad-abad, hash yang menarik para pedagang ke wilayah Timor adalah

kayu cendana putih (Santalum album L.) yang bermutu tinggi. Mula-mula pulau Timor

adalah pusat dari perdagangan tersebut. Pulau Sumba, yang oleh ahli peta Eropa di

sebut "Sandalwood Island" (Pulau Cendana) sesungguhnya tidak banyak menghasilkan

kayu cendana dan tidak pernah menarik para pedagang seperti Pulau Timor. Pada

abad ketujuh, Timor sudah terkenal karena kayucendananya yan gbaik. Orang

Indonesia dari pulau lain dan orang Cina mengadakan perdagangan langsung dengan

rajaraja di Timor, yang menguasai penebangan kayu cendana di daerah pedalaman.

Suatu dokumen Cina dari tahun 1436 memberitakan bahwa di Timor terdapat "dua

belas pelabuhan atau perusahaan dagang,

Pada tahun 1613, di bawah pimpinan Apollonius Scotte, orang Belanda muncul

di wilayah ini dan setelah pengepungan selama tiga bulan, berhasil merebut benteng

di Solor, setelah seribu dari penduduk setempat pindah ke Larantuka, yang terletak di

sudut timur laut pulau Flores. Sejarah lima puluh tahun berikutnya sangat kacau,

karena catatan yang ada terputus-putus. Persekutuan Dagang Hindia Belanda (VOC)

terus memperkuat cengkeramannya atas perdagangan di Hindia Belanda. Ketika Be landa

Page 19: Review Panen Lontar James Fox

merebut Malaka dari Portugis pada tahun 1641, Raja Muda Goa yang berkuasa langsung

atas golongan yang berbahasa Portugis di Timor, makin berkurang pengaruhnya.

Meskipun dianggap sebagai Portugis, orang-orang Topas merupakan suatu kekuatan ter-

sendiri di daerah ini. Berasal dari keturunan campuran, termasuk keturunan pelarian

Belanda, mereka menetap di kepulauan ini, kawin dan bercampur dengan penduduk

setempat, berbahasa daerah pribumi dan dapat mengadakan hubungan efektif dengan raja-

raja di daerah-daerah Timor dan Flores. Dari Larantuka, melalui daerahdaerah kantong di

pantai utara tengah Timor, golongan Portugis Hitam dapat menggunakan pengaruhnya yang

kuat untuk memperoleh bagian terbesar dari perdagangan kayu cendana. Pada tahun 1656,

sesudah berjuang selama tiga tahun mempertahankan bentengnya di Kupang, Kompeni

Belanda mengirim ekspedisi besar ke Timor untuk menghancurkan kekuasaan Portugis Hi-

tam. Kompeni menunjuk Arnold de Vlaming van Oudshoorn, salah seorang panglimanya

yang terkenal untuk segera menyelesaikan Portugis Hitam dan sekutu-sekutunya di

Timor. Pada tahun 1769, seorang Gubernur Portugis di Lifao dikepung oleh golongan

Topas, dan akhirnya memindahkan pasukannya dan seluruh penduduk Lifao ke Dili,

suatu tempat di pantai timur laut Timor, jauh dari daerah-daerah kekuasaan Topas.

Secara berangsur-angsur Portugis memperluas kekuasaannya dari ibukota yang

baru ini ke seluruh bagian timur Pulau Timor; golongan Topas dan keturunannya tetap

kuat berpengaruh di daerah-daerah pantai di bagian tengah. Namun, pada saat itu

perdagangan kayu cendana sudah makin menurun dan sebagian besar dari sisanya jatuh ke

tangan pedagang Cina yang oleh Kompeni diijinkan mengekspor kayu cendana dari

Kupang berdasarkan komisi, dan dari Atapupu tanpa pengawasan yang ketat.

Akhirnya, menjelang akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, dalam

perundingan diplomatik antara Portugal dan Belanda ditentukan perbatasan Timor Timur

yang diakui sampai sekarang. Bagian barat pulau itu menjadi bagian pemerintah Hindia

Belanda, yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia

Dasar Hubungan Belanda di Wilayah Timor

Belanda mulai menanamkan kekuasaannya di Timor dari tahun 1613, pada waktu

kunjungan Apolonius Scotte yang pertama kali ke pulau itu. Raja Kupang, penguasa suku

Page 20: Review Panen Lontar James Fox

bangsa Helong, bersedia menerima orang Belanda seperti waktu menerima orang Portugis

sebelumnya. Scotte menulis bahwa ia "menawarkan untuk membangun benteng di

daerahnya dan menyatakan kesediaannya untuk memeluk agama Kristen”.

Menurut anggaran dasarnya, Persekutuan Dagang Hindia Belanda adalah suatu

usaha perdagangan. Dalam teori, para pejabat persekutuan itu berusaha menjalin hubungan

yang menguntungkan dengan raja-raja setempat demi kepentingan perdagangan. Tetapi

dalam kenyataan, tujuan utama Belanda adalah untuk menguasai seluruh perdagangan.

Satu-satunya masalah yang berulangulang dinyatakan, sejak penempatan wakil

Kompeni yang pertama di Timor adalah tidak adanya sumber yang dapat dimanfaatkan.

Laporan pemerintah akhir-akhir ini juga membicarakan Timor se bagai daerah

minus, sama dengan tiga ratus tahun yang lalu; pada tahun 1656, seorang Gubernur

Jenderal secara rahasia menyimpulkan bahwa "di wilayah Solor dan Timor tidak banyak

yang dapat kami lakukan di masa depan, tidak ada kayu cendana untuk diperdagangkan, dan

bagi Kompeni lebih banyak pengeluaran daripada keuntungan". Ciri-ciri yang menentukan

di Timor adalah kemiskinan dan keadaan lingkungan yang tidak memenuhi syarat.

Perubahan Bentuk Pertanian di Wilayah Timor

Perubahan yang lebih mendalam daripada kehancuran kayu cendana, terjadi pula di

Timor. Harus diakui bahwa pertanian "tradisional" dewasa ini - terutama di daerah

perladangan di Sumba dan Timor - sebagian besar adalah pertanian yang dimulai setelah

kedatangan Belanda. Perubahan pertanian yang berangsur-angsur terjadi selama lebih

dart tiga ratus tahun itu, adalah akibat dari diperkenalkannya tanaman-tanaman pangan

yang baru. Yang utama adalah jagung, dan kemudian ubi kayu dan ubi jalar, bersamaan

dengan itu labu, bawang merah, bawang putih, terung dan - dalam dua abad terakhir ini –

tomat. Di antara semua tanaman itu, penyebaran jagung telah mempengaruhi pertanian di

seluruh wilayah Timor. Jagung, yang kini merupakan sumber utama bagi kehidupan dari

sebagian penduduk Sumba Timur dan Timor Barat, telah menggantikan tanaman pa -

ngan sebelumnya, dan dalam proses mengubah sifat pertanian di pulau-pulau itu. Untuk

Page 21: Review Panen Lontar James Fox

memahami proses ini, barns disebutkan tanaman-tanaman pangan yang lebih penting dan

juga dasar sistem pertanian sebelumnya. Di beberapa daerah di pulau-pulau besar dan di

daerah-daerah luas di pulau-pulau yang lebih kecil, karena keadaan lingkungannya tidak

sesuai, jagung tidak berkembang, di daerahdaerah itu masih terdapat bukti-bukti dari

sistem pertanian yang sebelumnya.

Jenis tanaman pertama, yaitu padi (Oryza sativa) dan juwawut (Setaria italica)

sudah tidak asing lagi. Nasi adalah golongan pangan pertama. Tetapi juga merupakan

makanan sehari-hari bagi segolongan kecil penduduk - terutama golongan bangsawan.

Sorgum (Andropogon sorghum Brot.), seperti jewawut, tidak banyak memerlukan hujan

dan oleh karena itu dapat tumbuh di daerah kering yang tidak dapat atau sulit ditumbuhi

tanaman lain. Karena tahan kering, tanaman ini menjadi sangat penting di daerah yang

paling kering di Timor.

Sejak pertengahan abad ketujuh belas, Rote sudah mempunyai reputasi yang

membangkitkan minat Batavus Drystubble. Meskipun penduduk Sawu lebih tergantung

pada pohon lontar, tetapi dalam kepustakaan tidak pernah terkenal seperti Pulau Rote.

Bagi Kompeni dan pemerintah penjajahan Belanda yang harus berurusan dengan

penduduk kedua pulau itu, pohon lontar merupakan lambang dari perekonomian mereka.

Sebagai lambang dari cara kehidupan baik penduduk Rote maupun Sawu, pohon lontar

telah berhasil mengelabuhi perbedaan yang besar di antara kedua penduduk itu.

Latar Belakang Sosial Hubungan antara Penduduk Roti dan Sawu dengan Belanda

Hubungan dengan Belanda yang pertama-tama, telah menimbulkan berbagai pola

di dalam kedua pulau itu. Dengan sikap selalu sedia dan siap bertindak, karena menyangka

bahwa setiap perlawanan timbul karena hasutan dari Portugis, Belanda dengan cepat dan

efektif mengakhiri permusuhan di Pulau Rote. Pada pertengahan abad kedelapan belas

mereka berhasil mengadakan perdamaian di antara berbagai kerajaan kecil di pulau itu.

Sesudah tahun 1756, walaupun selalu terjadi perselisihan mengenai perbatasan, tetapi

tidak terjadi peperangan dan hanya sekali-kali timbul perselisihan antara daerah-daerah

Page 22: Review Panen Lontar James Fox

setempat. Sebaliknya di Pulau Sawu, selama abad kesembilan belas, terns menerus

terjadi peperangan, dan barn pada abad kedua puluh semua peperangan dapat dihentikan.

Namun, yang membedakan antara penduduk Rote dan Sawu bukan hanya

bahasanya yang berlainan. Cara bahasa digunakan di kedua pulau itu pun sangat penting.

Pola dan penilaian bicara menunjukkan kebudayaan yang sangat berbeda. Di Sawu dan

Raijua hanya terdapat satu bahasa, dengan ucapan yang agak berbeda antara daerah

yang satu dengan lainnya. Sedangkan bahasa-bahasa daerah di pulau Rote sangat berbeda

dan sangat penting dalam kebudayaan. Karena adanya perubahan yang terus menerus.

Dalarn kenyataan, orang Rote sendiri merasa bangga dengan adanya perbedaan itu. Mereka

menggunakan hal-hal yang kecil seperti perbedaan cara berbicara dan gaya pakaian daerah,

nuansa dalam hukum adat, serta upacara adat untuk menon,jolkan bahwa kehidupan sosial

dan politik mereka berbeda-beda. Sikap ini mencerminkan perbedaan dalam penerimaan

budaya dari penduduk Rote dan Sawu.

Bagi orang Rote, bicara adalah suatu daya tarik dalam kehidupan dan perdebatan

merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Fokus kebudayaan ini bukan merupakan

suatu hal yang baru terjadi akhir-akhir ini.

Di Pulau Rote, Belanda menghadapi sistem pemerintahan setempat dengan

politiknya yang picik yang kadang-kadang sangat menjengkelkan. Namun, tradisi

pemerintahannya dapat dipahami oleh orang-orang asing dan terbuka bag-i campur tangan

dari luar. Di Pulau Sawu, Belanda menghadapi suatu sistem yang tertutup, yang selama

sejarah hubungan mereka, tetap tidak dapat dipahami. Jadi, di Pulau Rote, Belanda terlibat

dalam politik dari bagian-bagian pulau itu, sedangkan di Pulau Sawu, karena tidak adanya

saling pengertian, maka Belanda hanya berurusan dengan pulau itu sebagai suatu kesatuan,

walaupun pembagian di pulau itu sebenarnya juga merupakan suatu hal yang pokok..

Organisasi sosial di Pulau Sawu berbeda dalam beberapa hal dengan organisasi

sosial di pulau Rote. Di Sawu, kelompok keturunan "marga" disebut udu. Kelompok itu

berdasarkan atas urutan nama-nama laki, seperti nama-nama dalam leo di Pulau Rote.

Page 23: Review Panen Lontar James Fox

Setiap udu mengenal suatu desa asal. Beberapa udu, terbagi lagi dalam kelompok-

kelompok kekerabatan yang disebut kerogo, yang beberapa diantaranya adalah keturunan

"pendatang". Kerogo utama dari suatu udu, biasanya mendiami desa asal, sedangkan

kerogo yang lain mendiami desa-desa yang mempunyai ikatan keagamaan dengan

desa ash. Walaupun ada orang-orang yang tinggal diluar desanya, balk dalam kenyataan

maupun dalam teori, suatu desa biasanya sama dengan marganya. Nama suatu desa

seringkali sama dengan nama udu, atau disebut dengan nama udu-nya. Namun, berbeda

dengan Pulau Roti, perkampungan di Sawu terletak di desa-desa yang mempunyai nama.

Para anggota udu tidak hidup bercampur satu sama lain, dan penduduk patuh mengikuti

upacara-upacara keagamaan yang merupakan bagian dari seluruh sistem upacara. Di

samping kelompok "laki-laki" yang kesatuannya berdasarkan daerah, penduduk Sawu

terbagi dalam dua paroh masyarakat (moieti) "wanita" yaitu Hubi Ae `Bunga besar" dan

Hubi Iki "Bunga kecil". Selanjutnya hubi dibagi lagi kedalam wini "benih". Keanggotaan

dari satu diantara dua hubi itu ditentukan dari garis ibu. Jadi setiap orang Sawu adalah

warga udu dan juga warga hubi. Hubi merupakan suatu sistem diseluruh pulau itu, dan

adanya hubi yang sangat penting itu, membantu mengatasi kepatuhan terhadap

kewajiban-kewajiban yang ketat dalam udu,seperti halnya pada pulau rote.

Perkembangan Agama Kristen dan Pendidikan

Penduduk Rote menerima agama Kristen dan pendidikan dengan cepat. Namun,

perubahan itu, bukanlah perubahan yang dikehendaki oleh Belanda pada abad kedelapan

belas di pulau itu. Kompeni bertugas untuk berdagang; bertanggung jawab atas semua

anggotanya, agar tetap menganut agama Kristen, tetapi tidak bertugas untuk

memajukan agama Kristen. Sehingga perubahan orang Rote menjadi Kristen itu

diragukan kebenarannya. Penyebaran agama Kristen di Pulau Rote tidak seperti penye-

baran agama di pulau-pulau lain di wilayah Timor. Karena orang Rote telah memeluk

agama Kristen pada abad kedelapan belas, rnaka campur tangan para penginjil dalam

masalah keagamaan itu dianggap tidak perlu. Hampir semua kegiatan para penginjil,

hanya dilaksanakan dari Kupang dan semuanya tergantung pada orang Rote sendiri.

Beberapa kali, penginjil dari Jerman dan Belanda dikirim untuk berdiam di pulau itu,

Page 24: Review Panen Lontar James Fox

tetapi kebanyakan dari mereka mengakui bahwa mereka tidak berhasil dalam usahanya

untuk memperbaharui dan meningkatkan kondisi gereja-gereja di Pulau Rote. Di antara

para penginjil yang berturut-turut ditugaskan pada abad kesembilan belas, hanya satu atau

dua yang tahan tinggal di pulau itu selama dua tahun. Iklim yang panas, angin kering, malaria

atau hanya karena kegagalan berhubungan dengan orang Rote yang selalu menghalangi

usaha-usaha dari misi tersebut.

Sebagai contoh dari yang tidak berhasil adalah penginjil yang pertama berdiam di

pulau itu. Seorang Belanda muda bernama J.K. ter Linder, yang ditunjuk oleh Le Bruijn

pada tahun 1827. Kedatangannya disambut oleh para raja dan kemana pun dia pergi diiringi

oleh banyak orang. Suratnya yang pertama kepada Lembaga Penginjil, penuh dengan

kegembiraan.

Dalam duapuluh tahun berikutnya, diadakan usaha-usaha untuk membuka kembali

sekolah-sekolah di bawah pengawasan para penginjil. satu-satunya pulau di Indonesia

Timur, yang berhasil mempertahankan tradisi sekolah-sekolahnya yang bebas,

yang mengajarkan bahasa Melayu, selama dua ratus tahun, walaupun beberapa kali terhenti.

Di samping itu, Pulau Rote adalah satusatunya pulau yang berhasil mempertahankan adat

kebiasaan asli atas nama agama. Pada abad kedua puluh, sejumlah pendeta Rote yang

ditasbihkan, berhasil mempertahankan adat kebiasaan untuk membayar emas kawin dan

adat pemakaman di kalangan orang Kristen, dan dengan tegas memperjuangkan agar

perpaduan antara adat kebiasaan ash dan agama Kristen yang sudah berkembang di pulau

itu diterima.

Setelah ditutupnya sekolah-sekolah misionaris di Pulau Rote pada tahun 1851,

selama beberapa tahun sekolah-sekolah itu secara tidak resmi diselenggarakan oleh masing-

masing kerajaan setempat. Kemudian pada tahun 1855, S.N. Buddingh mengunjungi Pulau

Rote selama sepuluh hari dalam rangka peninjauan sekolah-sekolah oleh pemerintah. Sama

sekali tidak mengetahui pengalaman yang lain, yang mengadakan kunjungan singkat

sebelumnya, ia sangat terkesan oleh sambutan dan kesungguhan orang Rote yang menga-

jukan permintaan untuk membuka kembali sekolah-sekolah di pulau itu. Sebagai penutup

Page 25: Review Panen Lontar James Fox

laporannya, ia mencantumkan "orang Rote gemar belajar, pandai dan cerdas dan dari sudut

kecerdasan dan budi pekertinya, mereka pantas mendapat tempat yang layak di antara

orang-orang di daerah tropis."I Usul tersebut diterima. Dengan keputusan pemerintah

pada tanggal 8 Mei 1875, Rote diberi anggaran tahunan sebanyak 4,380 rupiah belanda,

untuk membeayai delapan belas sekolah, satu sekolah untuk setiap kerajaan. Dengan

adanya dorongan itu, sistem pendidikan di Pulau Rote makin berkembang. Sejak

semula, guru sekolah (mese dari bahasa Belanda meester) mempunyai kedudukan khusus

dan sangat dihargai. Bahkan sampai kini, mereka masih disamakan dengan kepala marga

atau bangsawan tinggi.

Penggunaan Bahasa Melayu oleh Penduduk Rote

Sepanjang sejarah mereka, sekolah-sekolah di Pulau Rote dibangun

berdasarkan prinsip-prinsip yang sangat sederhana dengan menggunakan bahan-

bahanyang sederhana. Seperti rum ah-rumah orang Rote, sekolah-sekolah dan

perlengkapannya dibangun dari hasil pohon lontar. Apa yang tidak diperoleh dari

Belanda, dibuat dengan bahan yang ada. Sebagai batu tulis, digunakan papan yang

dibuat dari kayu didite; sebagai tinta digunakan tauk (indigo) atau tinta yang dibuat

dari daun dodoa; penggaris dibuat dari bambu. Bukubuku sekolah Melayu dipakai

untuk bacaan; di sekolah-sekolah yang tidak memiliki buku itu, pelajaran membaca

diambil dari Alkitab bahasa Melayu. Sekolah terdiri dari enam tingkat, dan murid-

muridnya terdiri dari anak laki-laki dan perempuan. Pelajaran dilakukan kira-kira

empat jam setiap hari, dan kenaikan ke tingkat yang lebih tinggi tidak secara

otomatis pada akhir tiap tahun, dengan demikian, usia murid-murid di sekolah itu

antara dua sampai delapan belas tahun. Raja-raja menentukan penerimaan murid,

setiap anak harus membayar dengan seekor kerbau atau kuda, agar dapat

menyelesaikan pendidikannya. Rupanya raja-raja itu saling bersaing untuk

memperoleh jumlah murid yang terbanyak dalam sekolah masing-masing.

Pemakaian bahasa Melayu inilah yang dikecam oleh para penginjil dan guru-guru

di semua sekolah dan gereja-gereja di Rote. Namun sejak hubungan dengan Belanda yang

Page 26: Review Panen Lontar James Fox

pertama-tama, bahasa Melayu adalah suatu sarana yang sangat penting bagi perhubungan

dengan dunia luar. Bagi Kompeni, dalam berurusan dengan orang Rote, harus digunakan

bahasa Melayu sebagai bahasa perantara. Mula-mula mereka mengirim orang Rote ke

Kupang untuk belajar bahasa Melayu.

Pada abad keduapuluh, agama Kristen dan bahasa Melayu sudah merupakan suatu

paduan, suatu kenyataan yang menghambat perubahan menjadi Kristen. Raja-raja dan

bangsawan tinggi mendapat kesempatan pertama untuk menjadi Kristen dan beruntung

menikmati pendidikan dalam bahasa Melayu. Dan keuntungan ini sampai ke kalangan

rakyat hanya dengan berangsur-angsur. Pada tahun 1900 Le Grand melaporkan bahwa

kurang dari seperenam rakyat yang resmi menjadi Kristen. Perubahan menjadi Kristen

berlangsung dengan lambat. Dalam suatu kumpulan catatan gereja dari awal abad kedua

puluh, terdapat catatan mengenai suatu percakapan penting dengan seorang Rote yang

tidak beragama Kristen. Mula-mula, dengan tegas ia menentang puteranya untuk menjadi

Kristen. Hanya setelah anak itu mempelajari bahasa Melayu di sekolah, ia berpendapat

bahwa puteranya sudah layak menjadi orang Kristen. Hal yang sedemikian itu terjadi di

seluruh pulau. Pada tahun 1950, ketika kampanye pemberantasan buta huruf yang

diadakan oleh Presiden Soekarno berakhir, pulau itu dinyatakan bebas buta huruf dalam

bahasa Indonesia (bahasa Melayu modern yang digunakan oleh seluruh bangsa). Pada

waktu itulah terjadi perubahan menjadi Kristen secara besar-besaran. Pada waktu itu

Pulau Rote tergabung dalam suatu negara baru, dan suatu keuntungan bagi Rote,

karena alat komunikasi yang dipakai adalah suatu unsur lama dari adat kebiasaannya

sendiri.

Page 27: Review Panen Lontar James Fox