bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/problemati... · web...

26
PROBLEMATIKA PENGAJARAN BAHASA & SASTRA INGGRIS DI PERGURUAN-TINGGI DI INDONESIA*) Bachrudin Musthafa Universitas Widyatama ABSTRAK Pengajaran Bahasa dan Sastra Inggris di Indonesia menyimpan banyak tantangan yang memerlukan penyiasatan yang cerdik bila dikehendaki bahwa pengajaran sastra dapat berfungsi sebagai wahana pencerdasan mahasiswa. Artikel ini membahas berbagai isu dan dilema yang dihadapi program studi bahasa dan sastra Inggris di Indonesia dan mengajukan usulan reorientasi pengajaran sastra ke arah penumbuhkembangan literasi kesastraan. Pertama akan disajikan berbagai pendekatan pembelajaran sastra yang telah lazim diadopsi di Indonesia. Dalam pembahasan pendekatan pembelajaran ini akan ditemukan titik-titik kritis yang menjadi tantangan dan masalah yang harus diatasi. Selanjutnya pembahasan akan difokuskan pada berbagai dilemma krusial dan kemungkinan jalan-keluar yang dapat dipilih, Tulisan ini akan ditutup dengan usulan penggunaan konsep “literasi kesastraan” sebagai fokus pembelajaran sastra Inggris dalam statusnya sebagai bahasa asing di Indonesia Kata kunci: literasi kesastraan, sastra Inggris di Indonesia (* an earlier version of this paper was presented in CONAPLIN international conference—in English—in Bandung, 2015) [AUTHOR NAME] 1

Upload: vuongtruc

Post on 19-May-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

PROBLEMATIKA PENGAJARAN BAHASA & SASTRA INGGRIS DI

PERGURUAN-TINGGI DI INDONESIA*)

Bachrudin Musthafa

Universitas Widyatama

ABSTRAK

Pengajaran Bahasa dan Sastra Inggris di Indonesia menyimpan banyak tantangan yang memerlukan penyiasatan yang cerdik bila dikehendaki bahwa pengajaran sastra dapat berfungsi sebagai wahana pencerdasan mahasiswa. Artikel ini membahas berbagai isu dan dilema yang dihadapi program studi bahasa dan sastra Inggris di Indonesia dan mengajukan usulan reorientasi pengajaran sastra ke arah penumbuhkembangan literasi kesastraan. Pertama akan disajikan berbagai pendekatan pembelajaran sastra yang telah lazim diadopsi di Indonesia. Dalam pembahasan pendekatan pembelajaran ini akan ditemukan titik-titik kritis yang menjadi tantangan dan masalah yang harus diatasi. Selanjutnya pembahasan akan difokuskan pada berbagai dilemma krusial dan kemungkinan jalan-keluar yang dapat dipilih, Tulisan ini akan ditutup dengan usulan penggunaan konsep “literasi kesastraan” sebagai fokus pembelajaran sastra Inggris dalam statusnya sebagai bahasa asing di Indonesia

Kata kunci: literasi kesastraan, sastra Inggris di Indonesia

(* an earlier version of this paper was presented in CONAPLIN international conference—in English—in Bandung, 2015)

PENDAHULUAN

Tak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang “dibina” dan “dikontrol” dengan sangat detil, Kemendikbud (cq Ditjen Dikti) hanya memberi rambu-rambu umum tentang matakuliah apa saja (dan apa cakupannya) yang harus dipenuhi program studi (prodi), khususnya yang mengajarkan bahasa dan sastra Inggris sebagai bahasa asing. Kelonggaran ruang gerak ini mungkin menumbuhkan kreativitas bagi sekelompok pengembang prodi bahasa dan sastra Inggris di sejumlah kecil perguruan tinggi di Indonesia. Namun bagi sebagian besar kelompok pengembang prodi di perguruan tinggi yang lainnya, kebebasan ini dapat sangat membingungkan. Gambaran kebingungan massal ini terasa sangat jelas ketika para pimpinan prodi dan fakultas dari 54 perguruan tinggi berbagi masalah dalam acara “Simposium dan Rapat Pembentukan Asosiasi Studi Inggris se-Indonesia” yang diselenggarakan di FIB-UI Depok pada tanggal 11 September 2014 yang lalu.

[Author Name] 1

Page 2: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

Pada acara yang diinisiasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI) ini, selain terjadi pembentukan formasi kepengurusan asosiasi prodi Inggris se-Indonesia, juga ada “curhat akademik” di antara para pimpinan prodi Bahasa dan Sastra Inggris. Banyak keluh-kesah terjadi dalam forum intelektual-praktisi pengelola prodi “sastra Inggris” ini.

Pada garis besarnya, masalah utama yang mencuat adalah kegamangan para pengelola program sehubungan dengan keadaan faktual prodinya masing-masing, dan sehubungan dengan gagasan pengaturan yang yang datang dari Ditjen Dikti, termasuk penggunaan nomenklatur penamaan prodi (misalnya “Bahasa dan Sastra Inggris”) dan sebutan gelar lulusannya (yakni “Sarjana Sastra”/SS), dan gradasi akses terhadap fasilitas perizinan dan dukungan dana pengembangan yang datang berbarengan dengan status akreditasi dan komposisi latar pendidikan pengajar dan pengelola prodi Inggris yang beraneka itu.

Artikel ini selanjutnya akan membahas berbagai isu dan dilemma yang berkaitan dengan disparitas kualitas program studi Inggris se-Indonesia yang luas itu. Pertama-tama akan disajikan kelaziman tujuan pengajaran bahasa dan sastra Inggris sebagai bahasa asing di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, dan juga dibahas opsi pendekatan yang tersedia bagi pengajaran sastra Inggris sebagai bahasa asing. Dari sini akan diidentifikasi berbagai isu dan dilema yang merupakan fungsi dari tujuan pengajaran yang beraneka dan pendekatan pembelajaran yang dipilih serta ketersediaan sumber daya (SDM dan berbagai fasilitas fisik dan akademik) yang mendukungnya. Berdasarkan problematika yang dihadapi program studi sastra Inggris dalam ikhtiarnya mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing kepada mahasiswa di Indonesia, usulan kemudian diajukan untuk menggunakan gagasan “literasi kesastraan” (literary literacy) sebagai pemandu pengajaran bagi semua prodi bahasa dan sastra Inggris sehingga misi prodi dapat ditegakkan dan komparabilitas antarprodi bahasa dan sastra Inggris se-Indonesia dapat mulai dibangun.

KELAZIMAN TUJUAN PENGAJARAN SASTRA INGGRIS DI PERGURUAN-

TINGGI DI INDONESIA

Pengajaran sastra Inggris sebagai bahasa asing telah memiliki sejarah yang panjang yang memungkinnya menghimpun pengalaman yang relatif komprehensif. Dari akumulasi pengalaman ini, bidang Pengajaran Sastra Inggris sebagai Bahasa Asing telah secara sistematis mengembangkan pemahaman mengapa sastra perlu diajarkan.

Carter & Long (1991) and Lazar (1993), misalnya, mengajukan tiga alasan utama mengapa sastra Inggris sebagai bahasa asing perlu diajarkan, dan setiap justifikasi pengajaran ini memiliki sasaran pengajaran yang berbeda. Ketiga jenis justifikasi

[Author Name] 2

Page 3: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

yang dimaksud adalah: (1) alasan kultural, (2) alasan bahasa-kesastraan, dan (3) alasan pengembangan diri sebagai pembaca dan penulis.

Para pengajar sastra yang menganut model kultural menghargai sastra karena sastra sarat akan kearifan cultural yang terpilih (accumulated wisdom) -- “the best that has been thought and felt within a culture” ( Carter & Long, 1991:2). Oleh karena itu, sastra berbahasa Inggris dalam konteks bahasa asing, dalam hal ini, diharapkan mendorong pemahaman dan apresiasi peserta-didik terhadap nilai-nilai kultural dan ideologi yang terkandung dalam teks sastra yang dibacanya.

Sementara model kultural mendukung pengajaran sastra Inggris karena potensinya dapat memfasilitasi mahasiswa dalam memahami dan mengapresiasi kandungan nilai-nilai budaya dan ideologi dalam teks sastra yang dibaca peserta-didik, para pendukung “bahasa kesastraan” (the language model) memandang bahasa sastra sebagai lokus otentik yang dapat berfungsi sebagai sumber belajar perbendaharaan kata dan berbagai aspek struktur bahasa Inggris. Dari pengalaman bertransaksi dengan teks sastra ini, diharapkan peserta-didik kelak memperoleh wawasan yang memungkinkannya berpikir dan berbahasa secanggih para penulis sastra. Atau dalam bahasa yang digunakan Carter dan Long, diharapkan kelak pembelajar sastra mampu menyadap “ways into a text in a methodological way” (Carter & Long, 1991:2)

Sementara kedua model terdahulu masing-masing mengajukan “nilai kultural dan ideologi” dan “nilai potensi bahasa sastra qua model bagi pembelajar” untuk menunjukkan pentingnya pengajaran sastra, para pendukung model perkembangan personal (personal growth model) meyakini perlunya mendorong agar mahasiswa mendekati sastra sebagai karya estetik dan melakukan pembacaan estetik (aesthetic reading). Dengan membaca sastra secara estetik (aesthetic reading) diharapkan mahasiswa dapat menikmati bacaan sastra dengan melibatkan dirinya secara lahir-batin dengan segala kontur emosinya. Dan, dari pengelaman estetis ini, diharapkan akan tumbuh kecintaan terhadap membaca sastra sehingga, untuk selanjutnya, rasa “cinta-baca” ini mendorong para peserta-didik bertumbuh menjadi pembaca mandiri dan pembelajar sepanjang hayat.

Pertanyaannya sekarang menjadi: bagaimana keyakinan dan niat baik di balik pengajaran sastra Inggris sebagai bahasa asing ini dapat direalisasikan ke dalam kegiatan belajar-mengajar sastra di kelas? Hal ini merupakan isu “pendekatan pembelajaran”, yang akan didiskusikan pada bagian berikut.

[Author Name] 3

Page 4: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

PENDEKATAN PENGAJARAN SASTRA INGGRIS SEBAGAI BAHASA ASING

DI INDONESIA

Menyintesiskan gagasan dari berbagai sumber, Musthafa (2015) mengidentifikasi empat pendekatan pengajaran sastra yang selama ini telah lazim digunakan dalam pengajaran sastra Inggris sebagai bahasa asing: language-based approach, literature as content, literature for personal enrichment, dan literature as a resource for empowerment.

1. Pendekatan berbasis-bahasa-sastra (language-based approach)Didasari asumsi bahwa mempelajari teks sastra berbahasa Inggris dapat membantu mengintegrasikan silabus pelajaran bahasa dan pelajaran sastra Inggris, program studi sastra Inggris yang menganut pendekatan ini akan memfokuskan isi perkuliahan pada analisis gaya ungkap (stylistics) yang dipakai para penulis karya sastra yang dibaca mahasiswa. Dengan demikian, program studi sastra Inggris yang seperti ini mengusung misi mendorong mahasiswa untuk mendayagunakan pengetahuan gaya-ungkap teks sastra untuk menimbang kualitas dan mengapresiasi karya sastra yang dibacanya.Para pendukung model “pendekatan berbasis-bahasa-sastra” ini mungkin akan memanfaatkan teks sastra untuk mengajarkan peristilahan teknis (registers) tertentu (misalnya ketika ditemukan dalam bacaan kritik sastra), dan gaya-ungkap (writing styles) pengarang-pengarang tertentu.

Dengan demikian, fokusnya adalah pada studi teks, dan mahasiswa didorong untuk memperlakukan teks sastra sebagai modal untuk belajar bahasa Inggris. Pada tahap ini, sejauh para mahasiswa pembelajar sastra Inggris ini difasilitasi dalam memahami dan mengapresiasi karya sastra yang dibacanya, urusan pengajaran bahasa dan sastra Inggris dapat dianggap beres.

Akan tetapi, apabila dalam proses belajar-mengajar sastra Inggris ini bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia (alih-alih bahasa Inggris yang merupakan bahasa sasaran pemelajaran), maka—pada hakikatnya—kesempatan mempelajari bahasa Inggris (sebagaimana yang tertuang dalam karya sastra Inggris yang tengah dibaca) tengah “digembosi” oleh instrukturnya sendiri. Yang menjadi masalah di sini adalah konsistensi penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa instruksional karena, untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris mahasiswa, dedahan/pajanan/paparan (exposure) terhadap penggunaan bahasa Inggris fungsional merupakan komponen krusial bagi keberhasilan pengajaran sastra Inggris khususnya di dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa asing seperti di Indonesia ini.

[Author Name] 4

Page 5: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

2. Sastra sebagai bidang kajian (literature as content)

Seperti tercermin dalam makna frasa “bidang kajian” di atas, pendekatan ini memperlakukan teks sastra sebagai materi utama untuk belajar bahasa Inggris. Menggunakan sastra sebagai bidang kajian, para instruktur sastra Inggris melibatkan para peserta-didik dalam kegiatan membaca sekumpulan teks-sastra (literature text sets) dan bacaan kritik-sastra yang relevan dan berkaitan dengan teks yang tengah dibaca. Bidang atau topik kajian—dalam model pendekatan pembelajaran sastra ini—dapat diorganisasikan ke dalam genre teks sastra (semisal prosa imajinatif, puisi, dan drama), majas dan gaya-ungkap retorika sastra, sejarah dan karakteristik gerakan/babakan sastra, dan kategori lainnya,

Memperlakukan sastra sebagai bidang kajian berarti memusatkan perhatian pada sastra sebagai “tubuh pengetahuan” (body of knowledge) yang mencakup detil seperti genre dan subgenre teks sastra, karakteristik babakan periode sastra tertentu, dan fitur-fitur formal teks sastra yang menyifati babak sastra tertentu. Program studi sastra Inggris yang mengambil opsi pendekatan pembelajaran semacam ini mengarahkan mahasiswanya menjadi sarjana sastra dalam bahasa Inggris sebagai bahasa asing.

Mampukah mahasiswa Indonesia menjadi “sarjana sastra Inggris” (Spiro 1993) yang hebat? Saya cenderung meragukan ketercapaian misi program semacam ini mengingat dua alasan utama. Pertama, karena rendahnya minat dan kebiasaan membaca mahasiswa kita—khususnya membaca sastra (apalagi dalam bahasa Inggris yang notabene bahasa asing). Alasan ke dua adalah bahwa, secara umum, kemampuan mahasiswa Indonesia dalam menggunakan bahasa Inggris masih di bawah standar minimal. Perhatikan gambaran nasionalnya. Misalnya, sebagai contoh, rata-rata nilai TOEFL mahasiswa bahasa Inggris di Universitas Widyatama (Bandung) adalah 450, di Universitas Andalas (Padang) fluktuatif antara 370 dan 400, dan di UNJ (Universitas Negeri Jakarta)—menurut tulisan ketua prodinya-- “cenderung masih rendah.”

Yang menjadi persoalan di sini adalah bahwa ketika materi ajar dianggap terlalu kompleks (misalnya ketika mempelajari “kritik sastra” dan “gaya ungkap puisi”) kemampuan bahasa Inggris yang di bawah standar minimal seperti itu cenderung tak mampu dijadikan modal belajar mandiri dalam bahasa Inggris. Materi yang terlalu rumit dapat memfrustasikan peserta-didik. Selain itu, tantangan bagi instruktur sastra juga besar: ketika menjelaskan konsep-konsep yang di luar lingkup pengetahuan dan pengalaman kultural peserta-didik, ada tarikan besar untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Kalau hal ini terjadi-- yakni para instruktur sastra Inggris

[Author Name] 5

Page 6: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

ramai-ramai menggunakan bahasa selain bahasa Inggris dalam mengajar sastra Inggris-- pada waktu itu, pada hakikatnya, pencapaian tujuan program pengajaran satra Inggris sedang ditekan ke titik minimal.

3. Sastra sebagai wahana pemerkaya batin individu (literature for personal enrichment)

Mendasari pendekatan pembelajaran ini adalah anggapan bahwa karya sastra merupakan perangkat jitu untuk memancing pengungkapan pengalaman pribadi, gejolak perasaan, dan pendapat pembelajar sebagai pembaca sastra. Materi ajar dalam model pendekatan pembelajaran sastra ini dapat dipilih berdasarkan dugaan relevansinya dengan minat dan pengalaman pembelajar serta tingkat kemampuan pemahamannya. Dan pengorganisasiannya ke dalam sesi-sesi pembelajaran sastra dapat dilakukan secara tematik bersama dengan materi non-sastra yang membahas topik yang serupa.

Teks-teks kesastraan, dalam pendekatan pembelajaran ini, diperlakukan terutama sebagai wahana bagi perkembangan individu peserta-didik, khsusnya sebagai pembaca dan penulis teks sastra. Secara teoretis perlakuan semacam idak salah. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya di kelas, pendekatan pembelajaran sastra Inggris ini mungkin mengalami hambatan, khususnya ketika pengajarnya tidak paham benar tentang metode dan teknik pengembangan keterampilan baca-tulis teks sastra, dan bentuk-bentuk desain tugas—yang pada akhirnya memegang kendali keberhasilan pencapaian tujuan instruksional baca-tulis sastra.

Tantangan utamanya di sini adalah menemukan (atau menyiapkan) instruktur sastra yang mampu berfungsi sebagai teladan langsung sebagai pembaca dan penulis sastra yang baik untuk ditiru peserta-didik. Instruktur sastra ini haruslah mampu menunjukkan perilaku baca-tulisnya dan mampu mengomentari perilakunya sendiri (walk the talk) sehingga peserta-didik dapat mengobservasinya dan belajar mengikuti jejak keteladanannya. Dengan cara ini, peserta-didik memperoleh pelajaran penting bagi perkembangannya sebagai pembaca dan penulis sastra berbahasa Inggris.

[Author Name] 6

Page 7: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

4. Sastra sebagai modal pemberdayaan (literature as a resource for empowerment )

Menggunakan teks sastra sebagai modal berarti memperlakukan teks sastra sebagai lokus untuk mengundang respons personal tertinggi dari mahasiswa sebagai penikmat sastra. Teks sastra dijadikan alat utk pelibat lahir-batin mahasiswa; karya sastra dijadikan “pemikat” untuk mengundang keterlibatan lahir-batin pembaca.

Tak seperti memperlakukan sastra sebagai bidang garapan yang cenderung secara eksklusif memfokuskan seluruh energi pada pemerolehan pengetahuan tentang sastra (misalnya sebagai akumulasi fakta tentang konteks kelahiran karya sastra, titimangsa, pengarang, judul karya sastra, dst), memperlakukan karya sastra sebagai modal memiliki tujuan menanamkan kemampuan menikmati karya sastra dan mencintai sastra.

Dalam kenyataan praktik di kelas, memosisikan teks sastra sebagai modal untuk pemberdayaan dapat berarti menunjukkan kepada mahasiswa pembelajar sastra bagaimana dosen sebagai instruktur sastra menikmati karya sastra dan bagaimana dosen penikmat sastra yang canggih ini berkembang, Yang menjadi tantangan di sini adalah apakah dosen sastra Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia mampu dengan meyakinkan memperkenalkan seluk-beluk sastra (“ways with literature”) sehingga para peserta-didik dapat mengembangkan minat yang tulus terhadap kegiatan membaca-dan-menulis teks sastra, serta mengembangkan keterampilan yang berguna dalam mengolah pengalaman sastra dan menanggapinya dengan cara yang literat.

ISU DAN DILEMA DALAM PENGAJARAN SASTRA INGGRIS SEBAGAI

BAHASA ASING DI INDONESIA

Pengajaran sastra Inggris dalam konteks Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing dililit masalah dari berbagai lini pedagogi utama, termasuk dari sisi pengajar, peserta-didik, materi ajar, tugas pembelajaran, pengelolaan kegiatan proses belajar-mengajar, dan asesmen hasil belajar dan pengalaman sastra. Isu dan masalah ini akan dibahas secara berturut-turut dalam paragraf berikut.

Ada apa dengan pengajar sastra Inggris?

Dari paparan keadaan prodi sastra Inggris yang disampaikan para kaprodi dari 41 universitas yang menyerahkan dokumen tertulis kepada FIB UI sebagai

[Author Name] 7

Page 8: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

penyelenggara symposium (2014) terlihat dengan jelas bahwa latarbelakang akademik dan pengalaman kesastra-inggrisan pengajar sastra di Indonesia bermasalah. Masalah utama yang perlu segera diselesaikan adalah kekurangan personil dosen yang memiliki latarbelakang pendidikan formal yang sesuai (S2 dan S3 kesastraan) dan ketimpangan jumlah instruktur yang aktif mengampu mata-matakuliah inti kesastra-Inggrisan dibanding dengan instruktur yang berlatarbelakang studi linguistik.

Gambaran menyedihkan ini berlaku umum di seluruh perguruan tinggi yang wakilnya turut hadir dalam simposium tersebut termasuk UI (Universitas Indonesia), UNJ (Universitas Negeri Jakarta), Universitas Atma Jaya, UTama (Universitas Widyatama), UNPAD (Universitas Padjadjaran), UGM, UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), USD (Universitas Sanata Dharma), UNSOED, UNES (Universitas Negeri Semarang), UNDIP, UNAIR, UNESA (Universitas Negeri Surabaya), Universitas Kristen Petra (Surabaya), Universitas Brawijaya (Malang), UNP (Universitas Negeri Padang), Unand (Universitas Andalas), Unsrat (Universitas Sam Ratulangi), UNIPA (Universitas Papua) dan universitas lainnya yang relatif masih muda dan memiliki jumlah mahasiswa yang kecil.

Bila diinginkan bahwa pengajaran sastra Inggris sebagai bahasa asing di universitas-universitas se-Indonesia ini berhasil sesuai visi dan misi prodi sastra Inggris masing-masing, mutu dosen perlu segera ditingkatkan baik melalui studi lanjut (S3) dalam bidang studi sastra maupun pemutakhiran dan/atau pengayaan metodologi pengajaran sastra melalui pelatihan terstruktur sehingga mutu pengajaran di program sastra Inggris yang berkesan mewah ini terurus dengan baik.

Profil peserta-didik sastra Inggris dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa

asing

Banyak ketua prodi yang mengeluhkan bahwa mahasiswa yang memilih masuk ke prodi sastra Inggris memiliki kesiapan yang rendah dan mereka bukanlah peminat sastra Inggris yang serius. Secara umum dikeluhkan para kaprodi bahwa mayoritas mahasiswa berkemampuan bahasa Inggris yang berada di bawah standar minimal dan mereka bukan pembaca-dan-penulis yang gandrung sastra (berbahasa Inggris).

Bila diinginkan bahwa mahasiswa kita bertumbuh menjadi penikmat sastra (berbahasa Inggris) aspek perasaan harus dikedepankan dalam arti bahwa aktivitas pembacaan karya sastra diarahkan pada pengalaman estetik (melalui aesthetic reading). Fokus diskusi sastra juga diarahkan kepada bertumbuhnya tanggapan dan interpretasi pribadi yang dikemas dalam kerangka kemajemukan perspektif (dalam community of literary interpreters). Cara pandang dan teknik membaca dan

[Author Name] 8

Page 9: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

berdiskusi ini belum banyak dikenal di kalangan instruktur bahasa dan sastra di Indonesia karena respons pembaca—selama ini—tak/atau belum diberi tempat yang memadai dalam program pendidikan guru di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, yang umumnya didominasi para pendukung aliran “studi teks” yang merajakan metode pembacaan cermat (close reading) ala “Kritik Baru” (New Criticism).

Soal bagaimana mahasiswa diajari menikmati dan membicarakan pengalaman sastra ini krusial bagi tumbunhkembang peserta-didik sebagai pembaca dan penulis teks kesastraan karena—selama ini-- pendekatan yang akademik yang diagung-agungkan aliran “kritik baru” itu telah disinyalir membuat karya sastra jadi terasa membosankan, “gelap” dan “garing” bagi mahasiswa (lihat, misalnya, Grainger, Goouch, dan Lambirth, 2005)

Materi ajar sebagai peserta dalam proses belajar-mengajar sastra

Walaupun materi ajar tidak termasuk yang digambarkan secara eksplisit oleh para ketua prodi sastra Inggris dalam deskripsi yang disiapkannya, inferensi dapat ditarik dari tawaran mata-matakuliah inti (bidang keahlian). Ada kesan yang kuat bahwa di sejumlah besar prodi sastra Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia materi kesastra-Inggrisannya sangat minimal dan sebagian besar sumberdaya (dalam hal ini “sks’) dicurahkan pada kajian-kajian non-sastra seperti studi tentang kewilayahan negara berbahasa Inggris seperti USA, Britania Raya, Australia, Kanada dan Selandia Baru.

Ketika fokus perhatian diberikan pada rentang topik yang meluas seperti ini, kesempatan dan kualitas kontak mahasiswa dengan teks-teks kesastraan berbahasa Inggris secara otomastis menjadi berkurang. Dan ketika dedahan/pajanan/paparan (exposure) terhadap teks sastra tidak diberi waktu yang memadai, pengetahuan dan keterampilan kesastra-Inggrisan mahasiswa menjadi terbatas pula.

Bila diinginkan bahwa pengajaran sastra Inggris sebagai bahasa asing di universitas-universitas se-Indonesia ini berhasil sesuai visi dan misi prodi sastra Inggris masing-masing, kurikulum yang ada sekarang perlu segera direvisi dan porsi jumlah sks untuk mata-matakuliah sastra Inggris perlu diperbanyak sehingga mahasiswa memperoleh kesempatan lebih banyak dalam membaca, menikmati, dan menelaah teks sastra berbahasa Inggris sehingga pengetahuan dan keterampilan bertransaksi dengan teks sastra Inggris mahasiswa menjadi lebih baik.

[Author Name] 9

Page 10: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

Tugas pembelajaran sebagai jembatan pedagogis antara ekspektasi pengajar dan pemahaman peserta-didik

Meski latar pengetahuan dan pengalaman pedagogi kesastra-Inggrisan tidak secara eksplisit dilaporkan dalam deskripsi program yang diserahkan kepada panitia simposium di FIB UI, dari komposisi staf pengajar yang ada terlihat bahwa mayoritas staf pengajar sastra di prodi sastra Inggris belum tercelup secara intensif dan ekstensif dalam pengalaman belajar sastra di lingkungan berbahasa Inggris karena gelar yang dipegangnya kebanyakan MHum (Magister Humaniora) yang—dalam konteks kepascasarjanaan di Indonesia-- hampir identik dengan studi linguistik. Dari pengalaman belajar beberapa matakuliah sastra dalam program-program studi yang tidak-berkomitmen-khusus mengajarkan sastra (misalnya prodi linguistik terapan, prodi budaya, prodi humaniora) kecil kemungkinan instruktur sastra yang ada sekarang akrab dengan desain-desain tugas yang dikembangkan belakangan seperti teknik-teknik pengajaran yang bertalian dengan pembacaan estetik (aesthetic reading), dan penugasan-penugasan yang diarahkan untuk mengembangkan ketarampilan baca-tulis sastra, serta penugasan-penugasan yang mengasah keterampilan menanggapi teks sastra (reader response) (lihat, misalnya, Delanoy 1993).

LITERASI KESASTRAAN SEBAGAI MUARA PENGAJARAN SASTRA

Mengingat komposisi kepakaran dan jumlah instruktur pengampu mata-natakuliah kesastraan yang tidak menguntungkan bagi penyelenggaraan program studi sastra Inggris yang benar-benar mengutamakan pengembangan kepakaran sastra Inggris, saya cenderung mengusulkan penggunaan konsep “literasi kesastraan” sebagai pemandu arah pelaksanaan dan pengembangan prodi yang memiliki misi utama pengajaran sastra Inggris.

Apa itu literasi kesastraan (literary literacy)?

Mengutip Mingshui Cai dan Rick Traw (1997), Lehman (2007) mengisyaratkan bahwa “literasi kesastraan” merupakan kemampuan fungsional berkaitan dengan pemelajaran teks sastra. Lebih jauh Lehman menyatakan bahwa literasi kesastraan merupakan suatu komposit yang mengandung beberapa kemampuan utama termasuk (1) kemampuan membaca dengan tujuan mengejar isi (efferent reading) dan tujuan menikmati ( aesthetic reading), yang keduanya ini dapat berada dalam suatu kontinuum; (2) memiliki kemampuan membahasakan dan menggunakan strategi yang tepat untuk mengartikulasikan respons terhadap bacaan sastra, (3) mengenali dan memahami bahwa kritik sastra merupakan salahsatu jenis respons pembaca, dan (4) membangun pola-pola dan intertekstualitas dari karya sastra yang dibaca

[Author Name] 10

Page 11: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

Membaca untuk mengejar isi (efferent reading ) dan membaca untuk menikmati (aesthetic reading)

Orientasi membaca, menurut Rosenblatt (1978), secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua: efferent dan aesthetic. Kita melakukan pembacaan efferent ketika tujuan utama kita ingin memperoleh informasi dari yang kita baca. Misalnya ketika kita membaca karya fiksi untuk menjawab pertanyaan “siapa tokoh utama cerita ini?”, “orangnya seperti apa?”, “mengapa dia melakukan apa yang dilakukannya?” dan pertanyaan sejenis itu yang mengarahkan perhatian pada isi informasi atau fakta-fakta yang terkandung dalam karya yang dibaca.

Sebagai kontras, kita melakukan pembacaan estetis (aesthetic reading) ketika tujuan utama kita membaca karya sastra adalah untuk ikut larut ke dalam cerita; ketika tujuan kita membaca terutama ingin menikmati karya yang kita baca; ketika sikap batin kita menerima dan pasrah kepada apa yang disajikan pengarang…

Pembaca sastra yang canggih dapat menggunakan kedua orientasi membaca ini sesuai keperluan dan tujuan yang hendak dicapai melalui aktivitas membaca karya sastra ini. Keterampilan ini dapat dilatihkan dan ditumbuhkembangkan kepada peserta-didik pembelajar sastra melalui pembimbingan dan pembiasaan yang dilakukan di matakuliah sastra.

Membahasakan respons dan menggunakan strategi respons pembaca

Apa yang membedakan pembaca sastra yang terdidik dengan pembaca awam? Dua hal utama dapat disebut di sini: kemampuan melakukan pembacaan karya sastra sesuai tujuan efferent atau aesthetic, dan kemampuan membahasakan respons dan menggunakan strategi yang tepat dalam merespon karya sastra yang dibacanya. Kemampuan menggunakan bahasa yang tepat untuk merespon bacaan dan menggunakan strategi tertentu untuk membidik apa yang pantas ditanggapi dalam karya sastra merupakan kemampuan khusus yang berharga. Kemampuan “berpartisipasi” dalam menanggapi karya sastra ini dapat diajarkan dan ditumbuhkembangkan sebagai suatu kebiasaan literat kesastraan.

Pengajaran sastra seyogianya membekali peserta-didik dengan pengetahuan dan keterampilan fungsional yang memungkinkannya dapat membaca karya sastra dan membicarakan dengan literat apa yang telah dibacanya serta melakukan apa yang harus dilakukannya dalam menanggapi karya sastra yang dibacanya. Dengan kemampuan mengomentari apa yang dibacanya, pembelajar sastra akan merasa “berdaya” baik sebagai penikmat maupun penulis sastra.

[Author Name] 11

Page 12: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

Memahami bahwa kritik sastra merupakan suatu bentuk respons pembaca terhadap karya yang dibacanya

Salahsatu hasil belajar sastra yang berharga adalah bertumbuhkembangnya pemahaman bagaimana pembaca yang berbeda-beda dapat merepons apa yang dibacanya dengan cara yang berbeda-beda pula. Seorang pembaca dapat memilih menggunakan teori tertentu (misalnya teori pascakolonial) ketika membaca karya sastra dan melalui perspektif yang digunakannya pembaca ini menanggapi karya sastra yang dibacanya. Praktik ini sah adanya. Namun hal ini bukanlah satu-satunya cara yang berterima. Cara lain juga dapat sama benarnya. Misalnya, seorang pembaca yang lain dapat juga menanggapi karya sastra yang dibacanya dengan menggunakan pengetahuan dan pengalamannya tentang kehidupan serta emosinya. Respons pribadi (personal response) semacam ini sah adanya dan sama berharganya.

Pengajaran kritik sastra yang produktif seyogianya memampukan peserta-didik untuk mengakuisi sebanyak mungkin cara terdidik untuk menanggapi karya sastra yang dibacanya dan pengalaman kesastraan yang dilaminya. Dengan demikian, orang yang memiliki kemampuan literasi kesastraan tidak akan “mati langkah” dalam bertransaki dengan karya sastra dan dalam berinteraksi dalam majelis pembaca dan pengalam sastra (community of literary interpreters and experiencers).

Membangun pola dan interkoneksi (jejaring makna) dari karya sastra yang dibacanya

Karya sastra dibangun atas tegangan antara konvensi dan invensi—demikian adagium terkenal dalam studi sastra. Melalui konvensi-konvensi yang telah ada pembelajar sastra mengakuisi berbagai bentuk dan “kerangka” yang mengatur bangun genre teks sastra (misalnya, prosa imajinatif, puisi, dan drama). Pengetahuan tentang “struktur batin” karya sastra inilah yang memungkinkan pembaca sastra terdidik mampu membaca dan membangun pola-pola dalam karya sastra yang dibacanya. Dalam dunia cerita—misalnya-- ada istilah “story grammar” yang dapat memandu pembaca memahami dan menikmati cerita.

Selain itu, melalui pengetahuan tentang konvensi kesastraan, pembaca sastra terdidik dengan aktif menyumbangkan makna dengan cara membanguan interkoneksi dari apa yang dibacanya dengan pengalaman hidupnya (text to life connection); atau pembaca yang sama itu juga mengaitkan karya sastra yang tengah dibacanya dengan teks lain yang pernah dibacanya (text to text connection); atau pembaca itu membawa latar pengelaman dan pengetahuannya tentang berbagai hal ke dalam proses pemaknaan terhadap karya sastra yang tengah dinikmatinya (life to text connection)

Kemampuan membangun pola dan mengembangkan jejaring makna ini sangat vital bagi pembentukan kebiasaan membaca dan mengalami sastra, dan kemampuan ini dapat diajarkan dan ditumbuhkembangkan melalui aktivitas literasi kesastraan yang

[Author Name] 12

Page 13: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

terbimbing dengan baik dalam komunitas pembaca, pengalam dan penafsir sastra (interpretive community)

APA YANG HARUS DILAKUKAN AGAR DAPAT KELUAR DARI LILITAN MASALAH INI?

Pertama perlu dilakukan penertiban istilah, khususnya sekaitan dengan ketentuan yang digariskan Ditjen Dikti untuk menggunakan gelar “Sajana Sastra” (SS) untuk melabeli lulusan program studi Bahasa dan Sastra Inggris jenjang S1. Sedikitnya ada dua penjelasan tentang urgensi penertiban nomenklatur ini.

(1) Gelar kesarjanaan SS (Sarjana Sastra) tidak konsisten dengan nama gelar lanjutannya pada jenjang “spesialis” (S2) yang lazimnya disebut MHum (Magister Humaniora). Untuk meluruskan kerancuan ini perlu dibuka kemungkinan menggunakan nomenklatur “Sarjana Humaniora”/atau “Sarjana Budaya” (mengingat di S3 ada program studi budaya di bawah Fakultas Ilmu Budaya, semisal yang berlaku di Universitas Indonesia).

(2) Program studi Bahasa Inggris yang tidak menawarkan konsentrasi pada “sastra Inggris” harus diperbolehkan menggunakan nama lain yang sesuai kenyataan fokus studinya (misalnya Program Studi Linguistik Bahasa Inggris)

Setelah masalah nomenklatur yang rancu ini ditertibkan, para pengelola program studi bahasa dan sastra Inggris perlu segera menentukan sikap dan merumuskan visi dan misi program studinya serta mereviu dan merevisi kurikulumnya sesuai dengan fokus dan arah pengembangan program studi yang diinginkan. Nama Program Studi (Linguistik) Bahasa Inggris dapat diambil bila program studi ini ingin memusatkan diri pada bidang keahlian kebahasaan/linguistik bahasa Inggris. Sebaliknya, bagi program studi yang berkeinginan mengonsentrasikan diri pada studi sastra Inggris, maka program studi seperti ini dapat menamakan dirinya Program Studi Sastra Inggris. Dengan demikian, ada konsistensi antara nama dengan fokus kepakaran yang diusung program studi. Sementara itu, komposisi matakuliah dan jumlah distribusi sks secara konsisten juga mengikuti penamaan yang dimaksud.

Selain itu, pengembangan staf pengajar perlu juga ditertibkan dalam arti harus lebih memperhatikan bidang keahlian sesuai tuntutan program studi. Pengembangan staf pengajar harus memperhatikan dua hal: optimasi tingkat pendidikan formal (usahakan semua individu pengajar memperoleh pendidikan doktor pada bidang keahlian yang ditawarkan prodi) dan pemutakhiran metodologi pengajaran, pengayaan teknik penyampaian materi pembelajaran dan desain tugas.

Upaya perbaikan program dan penguatan dukungan sumberdaya manusia ini dimaksudkan—pada akhirnya—untuk diaplikasikan ke dalam proses belajar-

[Author Name] 13

Page 14: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

mengajar dengan mahasiswa pembelajar sastra sehingga, pada tataran komunitas penikmat dan pengalam sastra terjadi transformasi dari kecenderungan memperlakukan teks sastra sebagai artifak sasaran tindakan analitis mengarah ke pembacaan estetik yang melibatkan segenap emosi dan citarasa keindahan. Dalam praktiknya, seluruh upaya transformatif ini harus dilakukan secara sistemik sehingga seluruh komponen infrastruktur secara sinergis mendukung tumbuhkembang komunitas penikmat dan pengalam sastra yang literat.

SIMPULAN

Dengan menggunakan 41 set deskripsi program studi sastra Inggris dari 41 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia sebagai basis data awal, artikel ini telah mendiskusikan situasi problemastis yang melingkupi prodi sastra Inggris dari berbagai sisi utama termasuk orientasi pengajaran, komposisi kurikulum dan distribusi kepakaran staf pengajar yang mendukung program studi yang menyandang label “sastra Inggris” yang notabene dalam konteks bahasa asing ini. Pertama, pada tataran kebijakan disarankan agar dilakukan penertiban nomenklatur bagi penggunaan gelar “Sarjana Sastra” (SS) bagi lulusan program studi “bahasa dan sastra Inggris” agar tidak menimbulkan kegamangan orientasi pengembangan program selanjutnya.

Kedua, melalui analisis situasi telah ditunjukkan bahwa karena keterbatasan sumberdaya pendukung (yakni sumberdaya manusia, infra struktur, serta fasilitas akademik) visi dan misi program yang mengarah pada “penyiapan sarjana sastra Inggris” dirasakan terlalu muluk.

Selanjutnya, sebagai opsi alternatif bagi arah pengajaran dan visi-misi program telah diajukan konsep “literasi kesastraan” sebagai muara arah capaian pengajaran, yang pada intinya mencakup pengetahuan dan keterampilan fungsional untuk memampukan mahasiswa menikmati karya sastra dan menanggapi pengalaman kesastraan serta teks sastra yang dibacanya. Sasaran ini dipandang lebih realistis dan bermanfaat bagi perkembangan mahasiswa baik sebagai orang-perorang maupun sebagai anggota komunitas penikmat dan penafsir karya sastra.

Meskipun demikian, problematika pengajaran sastra Inggris di Indonesia tidak serta-merta dapat diatasi dengan menetapkan “literasi kesastraan” sebagai muara arah upaya implementasi dan pengembangan prodi sastra Inggris itu. Oleh karena itu, disarankan agar prodi sastra Inggris di seluruh perguruan tinggi di Indonesia mulai menata dengan lebih baik program pengembangan dosen-nya agar komposisi kepakarannya memenuhi kebutuhan program studi sastra Inggris dan keterampilan pedagogisnya berdayaguna untuk menumbuhkembangkan kemampuan mahasiswa

[Author Name] 14

Page 15: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

menikmati karya sastra dan mengolah lanjut pengalaman estetik kesastraannya ke dalam berbagai bentuk aktivitas literat yang bermanfaat.

*****DAFTAR PUSTAKA

Brumfit, C. (Ed.) (1993). Assessment in Literature Teaching. London: MacMillan Publishers Limited.

Carter, R., & Long, M. (1991). Teaching Literature. New York: Longman.

Delanoy, W. (1993). Assessing Textual Understanding and Literature Learning in ESL. In C.J. Brunfit (Ed) (1993), Assessment in Literature Teaching (pp.106-119). London: MacMillan Publishers Limited.

Grainger, T., Goouch, K., and Lambirth, A. (2005). Creativity and Writing: Developing voice and verve in the classroom.New York: Routledge.

Lazar, G. (1993). Literature and Language Teaching: A Guide for Teachers and Trainers. New York: Cambridge University Press.

Lehman, B.(2007). Children’s Literature and Learning: Literary Study across the Curriculum. New York: Teachers College Press.

Musthafa, B. (2015). Seven Issues and Dilemmas in Literature Teaching in EFL Context: Lessons from Indonesia. To appear in Indonesian Journal of Applied Linguistics

Rosenblatt, L.M. (1978).The reader, the text, the poem: The transactional theory of the literary work. Carbondale, IL: Southern Illinois University Press.

Spiro, J. (1993). Assessing Literature: Four Papers. In C.J. Brumfit (Ed.), Assessment in Literature Teaching (pp. 16-83). London: Macmillan Publishers Limited.

[Author Name] 15

Page 16: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

[Author Name] 16

Page 17: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

Penulis: Bachrudin Musthafa, PhD., dekan Fakultas Bahasa, Universitas

Widyatama Bandung 40125

Alamat email: [email protected]

[Author Name] 17

Page 18: bachrudinmusthafa.staf.upi.edubachrudinmusthafa.staf.upi.edu/files/2016/05/PROBLEMATI... · Web viewTak seperti yang terjadi pada pendidikan jenjang sekolah dasar dan menengah yang

[email protected]

Jln. Cikutra No. 204A, Bandung 40125

[Author Name] 18