://lama.elsam.or.id/downloads/1266658659_kliping... · web viewtak ada umat beragama yang rela...

18
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/27312/MK-Gunakan- Perspektif-Keindonesiaan-Terkait-Penodaan-Agama MK: Gunakan Perspektif Keindonesiaan Terkait Penodaan Agama Rabu, 17 Peb 2010 15:35:41| Hukum | Dibaca 17 kali Jakarta - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki mengatakan, uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama agar menggunakan perspektif keindonesiaan. "Saya mohon menggunakan perspektif ke-Indonesia-an," kata Achmad Sodiki dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama yang digelar di Gedung MK di Jakarta, Rabu. Sebelumnya, kuasa hukum pemohon uji materi UU Penodaan Agama, Uli Parulian Sihombing, mengemukakan, bahwa UU terkait dengan penghujatan agama di sejumlah negara seperti Inggris dan AS telah dicabut. Wakil Ketua MK menjelaskan, pentingnya perspektif ke- Indonesia-an antara lain karena ada perbedaan tata nilai misalnya dengan prinsip kebebasan beragama di Amerika Serikat. Di AS, ujar dia, pengajaran kurikulum agama di sekolah negeri negara adidaya tersebut tidak diperbolehkan dengan mengatasnamakan nilai-nilai sekuler dalam kebebasan beragama. Bagi AS, lanjutnya, kebebasan beragama berarti dimaknakan antara lain dengan tidak bolehnya seseorang didorong untuk mempercayai agama tertentu melalui pendidikan di

Upload: others

Post on 29-Jan-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

http://www.antarajatim.com/lihat/berita/27312/MK-Gunakan-Perspektif-Keindonesiaan-Terkait-Penodaan-AgamaMK: Gunakan Perspektif Keindonesiaan Terkait Penodaan AgamaRabu, 17 Peb 2010 15:35:41| Hukum | Dibaca 17 kali

Jakarta - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki mengatakan, uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama agar menggunakan perspektif keindonesiaan.

"Saya mohon menggunakan perspektif ke-Indonesia-an," kata Achmad Sodiki dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama yang digelar di Gedung MK di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya, kuasa hukum pemohon uji materi UU Penodaan Agama, Uli Parulian Sihombing, mengemukakan, bahwa UU terkait dengan penghujatan agama di sejumlah negara seperti Inggris dan AS telah dicabut.

Wakil Ketua MK menjelaskan, pentingnya perspektif ke-Indonesia-an antara lain karena ada perbedaan tata nilai misalnya dengan prinsip kebebasan beragama di Amerika Serikat.

Di AS, ujar dia, pengajaran kurikulum agama di sekolah negeri negara adidaya tersebut tidak diperbolehkan dengan mengatasnamakan nilai-nilai sekuler dalam kebebasan beragama.

Bagi AS, lanjutnya, kebebasan beragama berarti dimaknakan antara lain dengan tidak bolehnya seseorang didorong untuk mempercayai agama tertentu melalui pendidikan di sekolah negeri.

Hal tersebut, menurut Achmad, sejalan dengan perspektif Barat yang membolehkan seseorang untuk memilih untuk mempercayai salah satu agama tertentu atau tidak mempercayai agama sama sekali.

Penerapan kebebasan beragama di AS, kata dia, bisa dinilai tidak sejalan dengan Indonesia yang terdapat kurikulum pendidikan agama yang diterapkan di seluruh sekolah negeri di Tanah Air.

Sementara itu, hakim konstitusi lainnya Muhammad Alim mempertanyakan apakah uji materi UU Penodaan Agama ini menghendaki agar Indonesia lebih kepada asas

teosentrik (semua hal berpusat pada Illahi) atau asas antroposentrik (semua hal berpusat pada manusia).

Alim mengingatkan, bagian Mukadimah atau pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa negara Indonesia antara lain berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pemohon uji materi UU Penodaan Agama antara lain terdiri atas tujuh LSM yakni Imparsial, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Para pemohon menilai bahwa pasal-pasal dalam UU Penodaan Agama menunjukkan adanya kebijakan yang diskriminatif antaragama, bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka, membatasi serta bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama seperti yang terdapat dalam UUD 1945.

http://www.nonblok.com/bloknasional/hukum/20100217/7444/mk.gunakan.perspektif.keindonesiaan.terkait.penodaan.agamaMK: Gunakan Perspektif Keindonesiaan Terkait Penodaan AgamaJakarta | Wednesday, 17/02/2010 15:23 WIB | Oleh: K-005 | Ali Ikhwan

Achmad Sodiki

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki mengatakan, uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama agar menggunakan perspektif keindonesiaan.

"Saya mohon menggunakan perspektif ke-Indonesia-an," kata Achmad Sodiki dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama yang digelar di Gedung MK di Jakarta, Rabu (17/2).

Sebelumnya, kuasa hukum pemohon uji materi UU Penodaan Agama, Uli Parulian Sihombing, mengemukakan, bahwa UU terkait dengan penghujatan agama di sejumlah negara seperti Inggris dan AS telah dicabut.

Wakil Ketua MK menjelaskan, pentingnya perspektif ke-Indonesia-an antara lain karena ada perbedaan tata nilai misalnya dengan prinsip kebebasan beragama di Amerika Serikat.

Di AS, ujar dia, pengajaran kurikulum agama di sekolah negeri negara adidaya tersebut tidak diperbolehkan dengan mengatasnamakan nilai-nilai sekuler dalam kebebasan beragama.

Bagi AS, lanjutnya, kebebasan beragama berarti dimaknakan antara lain dengan tidak bolehnya seseorang didorong untuk mempercayai agama tertentu melalui pendidikan di sekolah negeri.

Hal tersebut, menurut Achmad, sejalan dengan perspektif Barat yang membolehkan seseorang untuk memilih untuk mempercayai salah satu agama tertentu atau tidak mempercayai agama sama sekali.

Penerapan kebebasan beragama di AS, kata dia, bisa dinilai tidak sejalan dengan Indonesia yang terdapat kurikulum pendidikan agama yang diterapkan di seluruh sekolah negeri di Tanah Air.

Sementara itu, hakim konstitusi lainnya Muhammad Alim mempertanyakan apakah uji materi UU Penodaan Agama ini menghendaki agar Indonesia lebih kepada asas teosentrik (semua hal berpusat pada Illahi) atau asas antroposentrik (semua hal berpusat pada manusia).

Alim mengingatkan, bagian Mukadimah atau pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa negara Indonesia antara lain berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pemohon uji materi UU Penodaan Agama antara lain terdiri dari tujuh LSM yakni Imparsial, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Para pemohon menilai bahwa pasal-pasal dalam UU Penodaan Agama menunjukkan adanya kebijakan yang diskriminatif antaragama, bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka, membatasi serta bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama seperti yang terdapat dalam UUD 1945.

http://www.gatra.com/2010-02-18/artikel.php?id=135033Sidang Penodaan AgamaMK: Gunakan Perspektif Keindonesiaan

Jakarta, 17 Pebruari 2010 13:10Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki mengatakan, uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, agar menggunakan perspektif keindonesiaan.

"Saya mohon menggunakan perspektif keindonesiaan," kata Achmad Sodiki dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama yang digelar di Gedung MK di Jakarta, Rabu (17/2).

Sebelumnya, kuasa hukum pemohon uji materi UU Penodaan Agama, Uli Parulian Sihombing, mengemukakan, bahwa UU terkait dengan penghujatan agama di sejumlah negara seperti Inggris dan AS telah dicabut.

Wakil Ketua MK menjelaskan, pentingnya perspektif ke-Indonesia-an antara lain karena ada perbedaan tata nilai misalnya dengan prinsip kebebasan beragama di Amerika Serikat.

Di AS, ujar dia, pengajaran kurikulum agama di sekolah negeri negara adidaya tersebut tidak diperbolehkan dengan mengatasnamakan nilai-nilai sekuler dalam kebebasan beragama.

Bagi AS, lanjutnya, kebebasan beragama berarti dimaknakan antara lain dengan tidak bolehnya seseorang didorong untuk mempercayai agama tertentu melalui pendidikan di sekolah negeri.

Hal tersebut, menurut Achmad, sejalan dengan perspektif Barat yang membolehkan seseorang untuk memilih untuk mempercayai salah satu agama tertentu atau tidak mempercayai agama sama sekali.

Penerapan kebebasan beragama di AS, kata dia, bisa dinilai tidak sejalan dengan Indonesia yang terdapat kurikulum pendidikan agama yang diterapkan di seluruh sekolah negeri di Tanah Air.

Sementara itu, hakim konstitusi lainnya Muhammad Alim mempertanyakan apakah uji materi UU Penodaan Agama ini menghendaki agar Indonesia lebih kepada asas teosentrik (semua hal berpusat pada Illahi) atau asas antroposentrik (semua hal berpusat pada manusia).

Alim mengingatkan, bagian Mukadimah atau pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa negara Indonesia antara lain berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pemohon uji materi UU Penodaan Agama antara lain terdiri dari tujuh LSM yakni Imparsial, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, dan Yayasan Lembaga Bantuan

Hukum Indonesia (YLBHI).

Para pemohon menilai bahwa pasal-pasal dalam UU Penodaan Agama menunjukkan adanya kebijakan yang diskriminatif antaragama, bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka, membatasi serta bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama seperti yang terdapat dalam UUD 1945. [TMA, Ant]

Pinter tapi keblinger (akbarna55@gm..., 18/02/2010 09:37)Saat ini banyak elemen bangsa ini yang seolah telah kehilangan common of sensenya, kurang bisa membedakan antara satu dasar substansi dgn dasar substansi lainnya. Ya contohnya antara substansi kebebasan beragama dengan substansi penodaan agama. Itu adalah hal yang sangat berbeda !Jati diri Indonesia tidak sama dengan bangsa lain (herm_sus18@ya..., 17/02/2010 17:37)Kita orang Indonesia dan mencontoh apa yg dilakukan bangsa lain yg sama sekali berbeda. Apakah LSM-2 yang ada di Indonesia orang asing atau orang asli Indonesia. Indonesia punya jati diri kebangsaan dan toleransi. Bangsa lain didunia yg mayoritas selalu menekan yg minoritas, tapi lain di Indonesia mereka minoritas mendapat hak sama dgn yg mayoritas. UU yg bermanfaat utk semua manusia mengapa harus dicabut. Apakah LSM itu pantas menyuarakan utk kepentingan asing dengan dalil kebebasan beragama, d... <123 huruf lagi>

http://koran.republika.co.id/koran/14/104414/Gunakan_Perspektif_KeindonesiaanKamis, 18 Februari 2010 pukul 10:04:00

Gunakan Perspektif Keindonesiaan Oleh Prima Restri Ludfiani

Tak ada umat beragama yang rela agamanya dinodai.

JAKARTA -- Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Achmad Sodiki, mengatakan, uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, menggunakan perspektif keindonesiaan. ''Saya mohon menggunakan perspektif keindonesiaan,'' katanya di gedung MK, Jakarta, Rabu (17/2).

Sebelumnya, kuasa hukum pemohon uji materiil, Uli Parulian Sihombing, dalam sidang uji materiil undang-undang tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama itu, menyatakan, undang-undang terkait penghujatan agama di sejumlah negara seperti Inggris dan Amerika Serikat (AS), telah dicabut.

Namun, Achmad menegaskan, pentingnya perspektif keindonesiaan antara lain karena ada perbedaan tata nilai. Misalnya, ada perbedaan antara kebebasan beragama antara di Indonesia dan prinsip kebebasan beragama yang ada di AS. Ia mengatakan, di AS, pengajaran kurikulum agama di sekolah negeri, tak diperbolehkan.

Langkah ini, ujar Achmad, mengatasnamakan nilai-nilai sekuler dalam kebebasan beragama. Bagi AS, kebebasan beragama antara lain dimaknai dengan tidak bolehnya seseorang didorong untuk memercayai agama tertentu melalui pendidikan di sekolah negeri. Hal itu, sejalan dengan perspektif Barat.

Menurut Achmad, mereka membolehkan seseorang memercayai salah satu agama tertentu atau tidak memercayai agama sama sekali. ''Penerapan kebebasan beragama di AS, bisa dinilai tak sejalan dengan Indonesia, yang terdapat kurikukum pendidikan agama yang diterapkan di seluruh sekolah negeri di Tanah Air,'' katanya seperti dikutip <I>Antara<I>.

Ketua Umum DDII, Syuhada Bahri, menegaskan, UU Nomor 1/PNPS/1965, tak bertentangan dengan UUD 1945. Undang-undang ini, sejalan dengan UUD 1945 yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan beragama yang damai, toleran, dan saling menghormati. Ia pun menyatakan, tak ada umat beragama yang rela jika agamanya dinodai.

Syuhada mengatakan, DDII tak akan membiarkan jika ada orang yang mengaku dirinya sebagai tuhan selain Allah SWT. Menurut dia, DDII pun tak akan membiarkan jika ada orang yang meragukan Alquran. ''Apa kita akan membiarkan hal-hal seperti itu terjadi atas nama kebebasan?'' tanyanya.

Menurut Syuhada, DDII tak ingin membiarkan Indonesia menjadi arena tinju tanpa wasit. Sejak Orde Lama dan Orde Baru keberadaan undang-undang itu telah mendukung keberagaman agama. Orde Reformasi juga mendukung undang-undang

itu, dengan menjunjung tinggi kebebasan yang tak berdasarkan prinsip hedonistik.

Parisada Hindu Darma pun memberikan dukungan atas keberadaan undang-undang itu. ''Pasal-pasal yang tersusun dalam undang-undang tersebut melindungi kelompok minoritas dari kelompok mayoritas. Undang-undang ini perlu dipertahankan, sebagai langkah awal penodaan terhadap agama,'' kata Wakil Sekrtaris II Sabha Wakala, Parisa Hindu Dharma.

PermasalahanKetua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, dalam sidang uji materiil, mengatakan, undang-undang ini memiliki beberapa permasalahan, terkait dengan penghormatan negara terhadap masyarakat dalam menjalankan agama. Menurut dia, undang-undang inipun mendorong penafsiran bahwa negara bisa masuk ke forum internum atau aspek hubungan internal.

Yaitu, hubungan individu dengan dirinya terhadap suatu kepercayaan. Ifdhal mengatakan, merujuk pada HAM forum internum ini tak boleh dimasuki oleh negara karena menyangkut kebebasan setiap masyarakat. Hal ini tidak sejalan dengan tanggung jawab negara untuk melindungi hak kebebasan beragama.

Ifdhal menyinggung Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/ 1965 yaitu setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan agama itu.

Menurut Ifdhal, perlu melihat kembali tafsir dari pasal 1 itu terkait kesempatan mendefinisikan jaminan kebebasan beragama. Ia pun menyoroti pasal 4 yang dinilai perlu dirumuskan ulang. Namun, terkait pasal itu Komnas HAM setuju jika ada pemidanaan dalam usaha menanamkan kebencian terhadap suatu agama atau kelompok. ed: ferry(-)

http://matanews.com/2010/02/17/penodaan-agama-dan-perspektif-keindonesiaan/Penodaan Agama dan Perspektif Keindonesiaan

Headlines | Wed, Feb 17, 2010 at 17:18 | Jakarta, matanews.com

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki mengatakan, uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama agar menggunakan perspektif keindonesiaan.

“Saya mohon menggunakan perspektif ke-Indonesia-an,” kata Achmad Sodiki dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama yang digelar di Gedung MK di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya, kuasa hukum pemohon uji materi UU Penodaan Agama, Uli Parulian Sihombing, mengemukakan, bahwa UU terkait dengan penghujatan agama di sejumlah negara seperti Inggris dan AS telah dicabut.

Wakil Ketua MK menjelaskan, pentingnya perspektif ke-Indonesia-an antara lain karena ada perbedaan tata nilai misalnya dengan prinsip kebebasan beragama di Amerika Serikat.

Di AS, ujar dia, pengajaran kurikulum agama di sekolah negeri negara adidaya tersebut tidak diperbolehkan dengan mengatasnamakan nilai-nilai sekuler dalam kebebasan beragama.

Bagi AS, lanjutnya, kebebasan beragama berarti dimaknakan antara lain dengan tidak bolehnya seseorang didorong untuk mempercayai agama tertentu melalui pendidikan di sekolah negeri.

Hal tersebut, menurut Achmad, sejalan dengan perspektif Barat yang membolehkan seseorang untuk memilih untuk mempercayai salah satu agama tertentu atau tidak mempercayai agama sama sekali.

Penerapan kebebasan beragama di AS, kata dia, bisa dinilai tidak sejalan dengan Indonesia yang terdapat kurikulum pendidikan agama yang diterapkan di seluruh sekolah negeri di Tanah Air.(*an/z)

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=128349Menguji Undang-undang Harus Perspektif IndonesiaUU No. 1 Tahun 1965 Harus Dilihat dari Sejarah

JAKARTA, (PR).18 _Feb 10Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama diharapkan menggunakan perspektif keindonesiaan. Selain itu, pertimbangan sejarah dan hukum juga diharapkan diuji secara menyeluruh sehingga bisa terjawab relevansi UU itu dengan kondisi sosial dan demokrasi masa kini.

Berbagai hal tersebut menjadi pokok pembahasan dalam sidang pleno ketiga untuk menguji materi UU Nomor 1/1965 Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, dan Pasal 4. Sidang dilakukan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jln. Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (17/2).

Sidang itu beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari pemohon yaitu Luthfi Assyaukanie dan keterangan ahli dari pemerintah yaitu Mudzakkir, Buya Bagindo Letter, dan Prof. Dr. Atho Mudzhar. Selain itu, MK juga menghadirkan ahli Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim dan saksi dari pihak terkait yaitu Yanto Jaya dari Parisada Hindu Darma serta Abdul Rahman Tardjo dan Herman Kadir dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Setelah mendengar keterangan para ahli, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menyatakan, pengujian atau penilaian itu diharapkan menggunakan perspektif Indonesia. Dengan cara itu, pengujian bisa dilakukan untuk menilai apakah pasal-pasal itu bertentangan atau tidak dengan UUD 1945.

“Karena di Indonesia, proses mengajarkan agama itu wajib dilakukan sekolah. Akan tetapi, kalau di Amerika Serikat, tidak,” ujar Sodiki dalam persidangan.

Dikatakan, Indonesia merupakan negara yang didasarkan pada Pancasila yang isinya menyatakan Indonesia adalah negara yang berketuhanan yang maha esa.

Sementara, Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempertanyakan apakah uji materi UU itu menghendaki agar Indonesia didasarkan atas asas teosentrik (semua hal berpusat pada Ilahi) atau asas antroposentrik (semua hal berpusat pada manusia). Ia mengatakan, mukadimah atau pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, negara memang seharusnya bersikap pasif dalam hal masyarakat memilih keyakinannya. Negara bisa bersikap aktif untuk melindungi empat hal, yaitu ketertiban umum, moralitas masyarakat, hak, dan kebebasan orang lain untuk berkeyakinan, serta mencegah penyebarluasan kebencian.

Ifdhal menegaskan, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi setiap warga negaranya memilih dan menjalankan suatu keyakinan tertentu yang diyakininya. Hal berkeyakinan itu, kata dia, adalah subjektif seseorang yang tidak bisa diintervensi negara.

“Akan tetapi, rumusan pasal di UU ini memasuki ruang yang tidak boleh dimasuki

negara, yaitu forum internum,” ucapnya. Oleh karena itu, ia menganggap uji materi itu bisa memberikan kesempatan negara Indonesia untuk mendefinisikan kembali sejauh mana kebebasan beragama masuk struktur hukum yang berkembang sejak reformasi yang memberikan jaminan perlindungan HAM.

“Forum internum itu absolut, intervensi negara tidak bisa dilakukan karena akan bertentangan dengan Pasal 28 (i) UUD 1945. Forum internum itu ada di dalam alam kesadaran orang. Dia baru bisa dilarang bila ekspresinya menyebarkan kebencian atau melakukan penghinaan,” tuturnya.

Sementara menurut Yanto Jaya dari Parisada Hindu Darma, UU Nomor 1/1965 patut dipertahankan untuk memberikan perlindungan. Bila UU itu tidak dipertahankan, tetapi belum ada gantinya, maka dikhawatirkan menimbulkan anarki.

“Tapi memang perlu revisi karena ada yang relevan dan ada yang tidak. Pemerintah bertanggung jawab mengatur kehidupan beragama karena itu menyangkut kehidupan sosial," ujar Yanto. (A-160)***Penulis:

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3731Kamis, 18 Februari 2010Uji UU PNPS: Antara Menjaga Stabilitas dan Legitimasi Melakukan Kekerasan

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan Uji Materi UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di ruang sidang pleno MK, Rabu (17/02). Agenda sidang perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 kali ini mendengarkan keterangan Pihak Terkait, Saksi, dan Ahli.

Dewan Dakwah Islamiyah sebagai Pihak Terkait dalam persidangan menyatakan bahwa UU PNPS ini tidak bertentangan dengan UUD 1945. "Setiap agama pasti tidak akan rela dinodai oleh orang lain ataupun agama lain. Mereka pasti akan mereaksi dengan cepat. Ajaran agama memberikan petunjuk yang benar," kata Azam.

Menurut Azam, UU PNPS ini penting untuk mencegah tindakan anarkis. Pokok-pokok agama harus dilindungi negara agar stabilitas terjaga. "Hal ini menghindari agar di negara ini tidak terjadi arena tinju bebas tanpa aturan dan pertarungan itu akan terhenti setelah ada yang mati. Upaya untuk membatalkan UU PNPS ini lebih buruk daripada orde baru," tuturnya.

Selanjutnya, Pihak Terkait dari Komnas HAM memberikan keterangan bahwa negara memiliki tanggung jawab atas kebebasan beragama karena hal itu diamanatkan dalam UUD 1945. "Hak itu tidak boleh dicabut oleh siapapun. Kebebasan beragam memiliki status yang tinggi dalam HAM," kata Ifdhal Kasim.

Ahli dari Pemerintah, Mudzakkir, sedang memaparkan keterangannya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang memimpin sidang uji UU Penodaan Agama, Rabu (17/2), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Gani)

Ifdhal Kasim melanjutkan bahwa terkait kebesan itu ada dua aspek. Pertama, aspek internal yang tak boleh diintervensi yakni kebebasan tiap individu untuk memilih, meyakini, dan berfikir. Kedua, aspek eksternal yakni mekanisme pengekspresiannya melalui dakwah, pendidikan, mewariskannya kepada keluarga, dan sarana yang lainnya.

Namun menurutnya, meski demikian ada pembatasan menyangkut keamanan, ketertiban, dan moral masyarakat. Alat ukurnya harus melalui mekanisme hukum. "Hal ini dikaitkan dengan tanggung jawab pemerintah antara lain pemenuhan HAM yang meliputi mekanisme aturan yang jelas, perlindungan hak warga negara, dan keaktifan memproteksi aturan yang berlaku," terang Ifdhal Kasim.

Ahli dari Pemohon, Luthfi Assyaukanie menyatakan UU PNPS memiliki beberapa permasalahan terkait kebebasan beragama. "Menurut Karl Popper, negara merupakan kejahatan dan berlipat ganda tatkala memenjarakan masyarakatnya karena permasalahan perbedaan agama. Negara terlihat terlalu banyak hal yang diurusi sampai agamapun dicampuri. Negara tidak boleh mencampuri agama," tuturnya.

Ia memberikan ilustrasi kalau ajaran agama itu penuh dengan tafsir sehingga banyak aliran dalam realitanya. Sebagai contoh adalah aliran Muktazilah. Banyak sekali ulama-ulama yang dipenjarakan saat itu karena tidak sesuai dengan tafsir agama versi negara yang dikuasai aliran Muktazilah. "Muktazilah memilik majelis ulama seperti MUI kalau di Indonesia. Imam Hambali, imam madzab yang dipegang mayoritas oleh kaum Sunni, pernah dirantai kemudian dimasukkan penjara. Di sisi lain setelah kekuasaan Muktazilah runtuh dan kelompok Sunni berkuasa, maka Sunni membalasnya dan banyak memenjarakan ulama Muktazilah," ceritanya.

Menurut Luthfi, ini semua terkait dengan kekuasaan. "Artinya, mereka yang dekat dengan kekuasaan maka selamat dan yang tidak dekat, jadi sial nasibnya," pungkasnya.

Sementara itu Majelis Sidang Pleno memberikan tanggapan bahwa apakah negara Indonesia tidak boleh memiliki campur tangan dalam agama. Di Barat memang agama bisa dianggap racun dan sekolah bahkan melarang adanya ajaran agama karena tidak boleh mempengaruhi dalam pendekatan agama.

"Tetapi melihat sejarahnya, Indonesia sejak awal didirikan berdasarkan Pancasila di mana negara dapat turut campur dalam masalah agama. Buktinya, Indonesia mewajibkan pelajaran agama di sekolah," terang Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.

Menaggapi hal tersebut, Luthfi menerangkan bahwa hubungan agama dan negara kompleks. "Indonesia memang unik. Garis tegas negara dan agama adalah negara harus menindak kelompok-kelompok yang membuat keonaran dan kekerasan atas nama agama. UU PNPS ini selain diskriminatif, juga seringkali digunakan legitimasi dalam melakukan kekerasan," jawabnya. (RN Bayu Aji)