· web viewjuga telah diupayakan untuk meningkatkan jumlah koleksi spesies flora dataran rendah...

107
LINGKUNGAN HIDUP, PENATAAN RUANG DAN PERTANAHAN

Upload: lenguyet

Post on 18-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LINGKUNGAN HIDUP, PENATAAN RUANG DAN PERTANAHAN

BAB X

LINGKUNGAN HIDUP, PENATAAN RUANG DAN PERTANAHAN

A. PENDAHULUAN

Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di -kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemak -muran rakyat. Kewenangan negara untuk menguasai dan mengatur pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam tersebut telah mengilhami para pendiri bangsa untuk menetapkan berbagai pengaturan tata guna sumber-sumber alam, kelestarian fungsi lingkungan hidup, dan fungsi sosial tanah.

Pengelolaan lingkungan hidup, penataan ruang dan pelaksanaan pembangunan di bidang pertanahan telah dilakukan sejak tahun-tahun pertama kemerdekaan. Namun demikian sampai awal pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) perhatian lebih banyak dicurahkan

X/3

untuk menanggulangi permasalahan yang timbul dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang bersifat khusus dan belum ada kesatuan upaya secara terpadu, misalnya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup masih terbatas pada upaya-upaya seperti konservasi satwa, perlindungan alam, pelarangan pemanfaatan berbagai sumberdaya perikanan tertentu, larangan pendirian bangunan tanpa ijin, dan peraturan mengenai pengelolaan pengairan dan irigasi.

Berbagai bentuk perundangan, seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengeluaran dan Pemasukan Bibit Tanaman, dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1954 tentang penyerahan sebagian dari urusan Pemerintah pusat di bidang perikanan laut, kehutanan dan karet rakyat kepada Daerah-daerah Swatantra Tingkat I, masih diabdikan untuk kepentingan permasalahan sektoral tertentu dan kurang terpadu. Akibatnya dapat dipahami jika terdapat beragam kegiatan pembangunan yang tidak memperhitungkan dampaknya pada lingkungan.

Kegiatan penataan ruang yang semula lebih bersifat sebagai tata-laksana dalam pembentukan kota, terus berkembang menjadi upaya yang ditujukan untuk memadukan berbagai kegiatan pembangunan melalui analisis struktur ruang dan evaluasi potensi sumber daya alam. Dasar hukum yang digunakan untuk penataan ruang dalam perioda 1950-1959 adalah peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah pendudukan Belanda yaitu Stadsvorming Ordonantie atau SVO (Staatsblad 1948 no.168) dan Stadsvorming Verordening atau SVV (Staatsblad 1949 no.40). Upayanya ditujukan untuk memperbaiki keadaan kota-kota yang hancur atau rusak semasa terjadinya perang kemerdekaan.

Pada tahun 1951 mulai dirintis penataan ruang negara (ruimtelijke ordening) guna perencanaan dan pembangunan kota serta daerah

X/4

melalui pembentukan Djawatan Tata Ruangan Negara di bawah naungan Departemen Pekerjaan Umum. Djawatan tersebut bertugas mengatur penggunaan lahan dalam lingkup perkotaan, agar kota-kota dapat berkembang secara optimal dan efisien.

Dalam bidang pertanahan pada tahun 1960 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA meletakkan dasar-dasar kepentingan bangsa dalam mengelola kekayaan nasional yang berupa bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan UUPA dihapuskan dualisme hukum agraria dalam wujud berlakunya hukum kolonial atas tanah dan hukum adat bagi masyarakat pribumi. UUPA juga turut menjadi da s a r dari be r baga i ke b i j a k sa na a n pertanahan yang berlaku sampai saat ini.

Perhatian terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan hidup, penataan ruang dan pertanahan secara lebih terpadu, terarah dan menyeluruh makin penting dirasakan terutama sejak dimulainya pembangunan jangka panjang pertama (PJP I). Seiring dengan adanya upaya masyarakat dunia untuk mulai mengembangkan keterkaitan antara pembangunan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup, pada tahun 1972 telah dibentuk Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup dan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam sebagai persiapan dalam mengikuti Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan Manusia di Stockholm,

Untuk meningkatkan koordinasi antar kegiatan dalam pengelolaan lingkungan hidup nasional, pada tahun 1978 dibentuk lembaga Menteri Negara yang khusus menangani permasalahan lingkungan hidup yaitu M e n t e r i Negara Pengawasan P e m b a n g u n a n dan Lingkungan Hidup. Pada tahun 1982 dite tapkan Undang-Undang

X/5

Nomor 4 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjadi pedoman penting dalam mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan. Selanjutnya pada tahun 1990 dibentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan yang secara khusus menangani pengendalian dampak lingkungan dengan tugas pokok mengendalikan beban pencemaran, mencegah kerusakan lingkungan, dan memulihkan kualitas lingkungan.

Bersama dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang merupakan perangkat peraturan yang melandasi pembangunan yang berkelanjutan. Ketersediaan berbagai perangkat peraturan tersebut memberikan petunjuk bahwa masalah lingkungan hidup, penataan ruang dan aspek pertanahan disadari amat penting dan memerlukan penanganan yang terpadu dan terencana dalam keserasiannya dengan kegiatan pembangunan di semua sektor.

Selama PJP I, melalui program inventarisasi dan evaluasi sumber alam dan lingkungan hidup telah diselesaikan kegiatan pemetaan dasar mencakup 60 persen wilayah Indonesia pada berbagai skala (1 : 25.000, 1 : 50.000, dan 1 : 100.000). Di samping itu telah diselesai - kan kegiatan pemetaan sumber daya lahan pada skala 1 : 250.000 untuk seluruh Indonesia serta peta geologi bersistem untuk wilayah Jawa dan Madura. Selain itu, juga telah dilakukan kegiatan pemetaan batas luar dan batas fungsi kawasan hutan tetap sepanjang 113.852 kilometer atau 32 persen dari total 352.000 kilometer yang harus diselesaikan, serta inventarisasi hutan melalui penafsiran citra satelit yang hampir mendekati penyelesaian.

X/6

Untuk kegiatan penyelamatan hutan, tanah dan air telah ditetapkan kawasan hutan lindung seluas 18,7 juta hektare atau sekitar 61 persen dari 30 juta hektare kawasan hutan lindung yang telah ditunjuk. Dalam pembinaan dan peningkatan kawasan konservasi sumber daya alam telah dikembangkan 354 unit kawasan konservasi seluas 18,7 juta hektare atau 75 persen dari kawasan konservasi sumber daya alam yang menjadi sasaran, serta 31 unit taman nasional dengan luas keseluruhan 7,9 juta hektare. Selain itu, juga telah dilakukan kegiatan penyelamatan plasma nutfah dari berbagai spesies flora dan fauna yang harus dilindungi. Dalam pembinaan daerah pantai, telah dikembangkan kegiatan perlindungan dan pengamanan pantai di beberapa wilayah yang selalu mendapat ancaman kerusakan berat, diantaranya di Padang, Bali, Teluk Jakarta, dan pantai utara Jawa.

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1982, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang bertujuan untuk memasukkan pertimbangan lingkungan hidup di dalam penentuan kelayakan suatu proyek pembangunan. Di samping itu, untuk memberikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam menentukan baku mutu lingkungan telah ditetapkan pula berbagai peraturan seperti Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan dan Baku Mutu Limbah Cair.

Selama PJP I dalam rangka penyelamatan hutan, tanah dan air, juga telah dilakukan rehabilitasi lahan kritis di berbagai daerah aliran sungai (DAS). Pada tahun 1976 mulai dilaksanakan kegiatan rehabilitasi lahan kritis yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Upaya ini dituangkan dalam program Inpres Penghijauan dan Reboisasi, yang memberikan peluang kepada masyarakat dan

X/7

pemerintah daerah untuk berperan serta secara aktif dalam upaya tersebut. Selanjutnya, untuk lebih memantapkan pelestarian hutan produksi, sistem tebang pilih Indonesia (TPI) pada tahun 1989 disempurnakan menjadi tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), yang dalam hal ini rehabilitasi di areal hak pengusahaan hutan (HPH) menjadi salah satu kegiatan utamanya. Kegiatan reboisasi di hutan lindung, suaka alam, dan kawasan lindung lainnya telah mencapai areal seluas 1,8 juta hektare, sedangkan melalui kegiatan rehabilitasi lahan kritis di areal pertanian tanah kering telah direhabilitasi sekitar 4,5 juta hektare. Selain itu, dilakukan pula kegiatan rehabilitasi areal bekas tebangan seluas 1,8 juta hektare.

Kegiatan rehabilitasi pantai melalui penanaman hutan bakau rakyat telah dikembangkan di daerah-daerah pantai yang telah rusak, seperti di Jawa, Bali, Lombok, pantai selatan Sulawesi dan pantai timur Lampung yang mencakup areal seluas 21.000 hektare. Juga telah ditetapkan 8 unit cagar alam laut yang meliputi kawasan seluas 253.780 hektare dan taman nasional laut di Pulau Seribu, Karimunjawa, Takabonerate, Bunaken, Pulau Pombo, dan Teluk Cendrawasih seluas 2.285.000 hektare.

Untuk mengurangi kemerosotan mutu lingkungan, terutama lingkungan perairan dan udara akibat dampak negatif berbagai kegiatan pembangunan, dilakukan program pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Kegiatan yang telah dilakukan, antara lain, adalah penanggulangan pencemaran sungai melalui program kali bersih (PROKASIH) di 23 sungai di 8 propinsi. Melalui program ini telah berhasil dikurangi kadar pencemaran air sungai yang ditunjukkan oleh penurunan beban biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) di beberapa sungai yang sangat berat kadar pencemarannya, yaitu Sungai Mookervart dan Sungai Cipinang (DKI Jakarta), Sungai Bengawan Solo (Jawa Tengah), Sungai Pangubuan

X/8

dan Sungai Seputih (Lampung), dan Sungai Mahakam (Kalimantan Timur). Selanjutnya juga dilaksanakan penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak (kendaraan bermotor) dan sumber tidak bergerak (industri semen, besi dan baja, batubara, dan kertas) untuk propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur melalui Program Langit Biru. Pelaksanaan pengendalian pencemaran tersebut telah mampu menurunkan sebagian beban pencemaran yang terjadi.

Perkembangan di bidang lingkungan hidup juga diikuti dengan perkembangan yang terjadi dalam penataan ruang dan pertanahan. Tata ruang adalah wujud struktural dan poly pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Penataan ruang pada hakekatnya adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan, pemanfaatan sumber daya alam, terutama lahan dan air yang terbatas jumlahnya, perlu direncanakan dengan baik agar efektif dan efisien, untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Melalui penataan ruang, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan secara optimal dan mencegah terjadinya benturan berbagai kepentingan dalam pemanfaatan ruang yang merugikan masyarakat.

Selama periode awal kemerdekaan hingga awal PJP I telah disusun 58 rencana garis besar kota dan 9 rencana induk kota. Selain itu telah ditetapkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah daerah tingkat I (dati I) sebanyak 7 buah dan rencana tata ruang wilayah daerah tingkat II (dati II) sebanyak 4 buah. Sesuai dengan kegiatan pembangunan yang terus meningkat, dalam PJP I kegiatan penataan ruang dikembangkan dengan memperkenalkan konsep yang lebih luas cakupannya, yaitu wilayah pembangunan.

X/9

Perkembangan ini memperkuat pembangunan di sektor lain yang mempertimbangkan aspek ruang dalam perencanaannya seperti Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI) oleh Departemen Perindustrian, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) oleh Departemen Kehutanan, Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) dan Satuan Kawasan Permukiman (SKP) oleh Departemen Transmigrasi.

Pada tahun 1992 ditetapkan Undang-Undang Nomor 24 tentang Penataan Ruang yang dimaksudkan untuk terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan dan tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Untuk meningkatkan koordinasi antarkegiatan dalam penataan ruang, telah dibentuk Tim Tata Ruang Nasional, yang diikuti oleh pembentukan Tim Tata Ruang Daerah di beberapa propinsi. Tugas dan fungsi Tim Tata Ruang Nasional dan Daerah adalah melakukan koordinasi kegiatan penataan ruang di tingkat nasional dan daerah. Tim Tata Ruang Nasional pada tahun 1993 dimantapkan menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.

Menjelang akhir PJP I dimulai penataan ruang wilayah nasional dengan menyusun Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR) dan hingga saat ini masih terus disempurnakan. Untuk mengarahkan rencana pemanfaatan kawasan budidaya dan kawasan lindung di dati I dan dati II telah diterbitkan Peraturan Pemerintah no. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Keppres Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan Keppres Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah bagi Pengembangan Kawasan Industri.

Di tingkat propinsi disusun Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi (RSTRP) yang merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang bagi

X/10

pembangunan. Selama PJP I, RSTRP telah disusun di 27 propinsi dengan status: 8 RSTRP telah ditetapkan sebagai peraturan daerah dan telah disahkan oleh Menteri Dalam Negeri; 8 RSTRP telah ditetapkan sebagai peraturan daerah dan sedang dalam tahap pengesahan oleh Menteri Dalam Negeri; 3 RSTRP telah ditetapkan sebagai peraturan daerah tetapi belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri; 3 RSTRP sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I; dan 5 RSTRP siap untuk diajukan ke DPRD Tingkat I.

Di tingkat kabupaten/kotamadya Daerah Tingkat II disusun Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya (RUTRK) yang akan menjadi pedoman bagi' pemerintah daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan, menyusun program pembangunan, dan mengarahkan pemanfaatan ruang. Pada akhir PJP I, telah diselesaikan RUTRK di 243 kabupaten dengan status: 50 RUTRK telah ditetapkan sebagai peraturan daerah dan dalam tahap pengesahan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I; 19 RUTRK sedang dibahas di DPRD Tingkat II; 174 RUTRK masih berupa materi rencana yang slap diajukan ke DPRD Tingkat II. Seluruh Kotamadya (61 kodya) sudah menetapkan RUTRK dengan peraturan daerah dan telah disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. RSTRP untuk seluruh propinsi dan RUTRK untuk seluruh kabupaten/kotamadya di Indonesia dewasa ini sedang dimutakhirkan. Disamping itu juga telah disusun Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTRK) untuk kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), kawasan industri Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek), dan Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan (Gerbangkerto-susila), serta kawasan pertumbuhan Pulau Batam dan Pulau Bintan.

Dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, peristilahan dan pengertian SNPPTR,

X/11

RSTRP, RUTRK, dan RDTRK disesuaikan yaitu SNPPTR menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), RSTRP menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I (RTRW Propinsi), RUTRK menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabu-paten/Kotamadya Daerah Tingkat II (RTRW Kabupaten/Kotamadya), dan RDTRK menjadi Rencana Tata Ruang Kawasan.

Untuk mendukung pelaksanaan program penataan ruang juga telah dilakukan berbagai upaya peningkatan kemampuan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang melalui pelatihan, pengembangan sistem informasi sumber daya lahan, serta pengaturan dan pembinaan kelembagaan penataan ruang.

Kegiatan penataan pertanahan yang pada awal PJP I lebih berorientasi pada bidang keagrariaan, sejak akhir Repelita IV telah berkembang dan mengarah kepada aspek pelayanan pemberian status hukum atas tanah dan penyediaan data dasar pertanahan. Dalam tahap tersebut kebijaksanaan dalam bidang pertanahan dilaksanakan melalui program penatagunaan tanah dengan titik berat pada penyediaan informasi tentang penggunaan dan kemampuan tanah di wilayah perkotaan dan perdesaan. Kemudian program tersebut berkembang menjadi program lintas sektoral yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan serta upaya pengendalian penggunaan tanah dimana perkembangan kegiatan ini merupakan salah satu bagian penting dan tak terpisahkan dari penataan ruang. Disamping itu juga dilakukan kegiatan penyediaan informasi data penggunaan tanah serta peningkatan kualitas informasi.

Perkembangan tersebut terlihat pada kegiatan penataan pertanahan diberbagai sektor. Contohnya adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk kawasan hutan maupun kawasan bukan hutan. Kegiatan penataan pertanahan pada kawasan hutan yang bertujuan

X/12

untuk menjamin kepastian fungsi hutan telah menyelesaikan penetapan kawasan hutan tetap seluas 113 juta hektare, yang terdiri dari 30 juta hektare kawasan hutan lindung, 19 juta hektare kawasan suaka alam dan hutan wisata, 30 juta hektare kawasan- hutan produksi terbatas, dan 34 juta hektare kawasan hutan produksi tetap. Disamping itu juga telah dilaksanakan penyusunan peta dasar kehutanan skala 1:250.000 dan 1:50.000 untuk seluruh kawasan hutan, dan telah dilaksanakan penataan batas luar dan batas fungsi kawasan hutan tetap sepanjang 113.852 kilometer atau 32 persen dari total 352 .000 kilometer yang harus diselesaikan.

Selama PJP I telah dilaksanakan berbagai upaya peningkatan pelayanan informasi di bidang pertanahan yang meliputi pemetaan penggunaan tanah detail seluas 316.821.500 hektare, pemetaan penggunaan tanah di 337 kota kabupaten/kotamadya dan 1.029 kota kecamatan, pemetaan kemampuan tanah seluas 103.920.000 hektare, pemetaan tanah kawasan Puncak seluas 75.750 hektare, pemetaan daerah pertanian beririgasi seluas 143.916 hektare, penyusunan rencana persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah di 26 propinsi dan di 164 daerah tingkat II, penyusunan rencana tata guna tanah di 131 daerah tingkat II, penyusunan data pokok pertanahan di 27 daerah tingkat I dan 132 daerah tingkat II, bimbingan dan pengendalian penggunaan tanah seluas 10,556.000 hektare, pembentukan sistem manajemen informasi pertanahan di 17 propinsi, pemetaan dan perencanaan penggunaan tanah di 6 propinsi, dan pemetaan sumber daya lahan di 27 propinsi.

Dalam pengaturan penguasaan tanah, kegiatan yang utama adalah pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah melalui redistribusi tanah obyek landreform dan konsolidasi tanah. Kegiatan redistribusi tanah obyek landreform sudah dimulai sejak tahun 1961. Sementara itu pengaturan penguasaan tanah dan penggunaan tanah melalui

X/13

konsolidasi tanah perkotaan serta pertanian baru dimulai sejak tahun 1982. Selanjutnya pada tahun 1991 mulai dikembangkan redistribusi tanah dan konsolidasi tanah secara swadaya dengan melibatkan peranserta masyarakat secara aktif.

Selama PIP I telah dilakukan redistribusi tanah obyek landreform seluas 881.654 hektare, penertiban administrasi landreform untuk 124.920 kepala keluarga, pengaturan penguasaan tanah negara seluas 1.007.399 hektare, konsolidasi tanah perkotaan untuk 141 lokasi, dan konsolidasi tanah pertanian di 14 lokasi. Disamping itu juga telah dilakukan pendataan pemilikan/penguasaan tanah perdesaan di 748 kecamatan dan tanah perkotaan di 277 kelurahan, serta diselesaikan 297 kasus sengketa landreform.

Dalam rangka sertifikasi tanah, selama PJP I telah diterbitkan 203.861 Surat Keputusan (SK) Hak oleh Kantor Wilayah BPN Propinsi, 661 SK Hak Guna Usaha (HGU), 1.122.582 sertifikat untuk para transmigran, 276.450 sertifikat untuk petani peserta proyek PIR, dan 1.186.073 sertifikat untuk masyarakat golongan ekonomi lemah melalui Proyek Operasi Nasional Pertanahan (Prona) yang merupakan kegiatan pemberian sertifikat tanah secara massal dengan dana APBN maupun swadaya masyarakat. Guna mendukung upaya sertifikasi tanah tersebut selama PJP I telah dilakukan pemetaan dengan skala besar melalui pemotretan udara di 64 kota dengan hamparan seluas 200.500 hektare.

Untuk meningkatkan efektifitas pelayanan di bidang pertanahan telah dilakukan berbagai upaya pemantapan kelembagaan pertanahan. Pada tahun 1989 Direktorat Jenderal Agraria di bawah Departemen Dalam Negeri ditingkatkan kewenangan dan tanggung jawabnya menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Keputusan Presiden RI No. 26 tahun 1988 dengan tugas pokok membantu

X/14

presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi per -tanahan. Kewenangan dan tanggung jawab tersebut semakin dimantapkan dengan dibentuknya Kantor Menteri Negara Agraria melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993.

B. LINGKUNGAN HIDUP

1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Pembangunan dalam Repelita VI

Sasaran pembangunan lingkungan hidup dalam Repelita VI antara lain, adalah meningkatnya pengenalan jumlah dan mutu sumber alam dan jasa lingkungan yang tersedia di alam, pengenalan tingkat kerusakan, penggunaan, serta kemungkinan pengembangannya; terpeliharanya sumber alam dan lingkungan hidup yang masih utuh agar kesempatan bagi pembangunan yang lebih beranekaragam di masa depan tidak berkurang; terpeliharanya kawasan konservasi, hutan lindung, keanekaragaman hayati, dan fungsi ekosistem khususnya, seperti wilayah Daerah Aliran Sungai, terumbu karang dan hutan bakau; terbentuknya sistem kelembagaan lingkungan yang lebih efisien dan efektif mulai tingkat pusat sampai ke daerah, baik dalam lingkungan pemerintah, dunia usaha maupun organisasi masyarakat; terkendalinya pencemaran perairan dan udara yang disebabkan oleh kegiatan pembangunan atau cara hidup masyarakat; terkendalinya kerusakan pantai dan terpeliharanya mutu dan fungsi kawasan pantai untuk berbagai keperluan pembangunan; dan dapat direhabilitasinya lahan kritis, baik di luar maupun di dalam kawasan hutan yang dikaitkan dengan rehabilitasi daerah aliran sungai.

Berdasarkan sasaran tersebut,- kebijaksanaan pembangunan lingkungan hidup dalam Repelita VI, antara lain, adalah mengarahkan

X/15

agar dalam memilih lokasi untuk pembangunan senantiasa dijaga supaya tidak mengurangi fungsi dan mutu lingkungan; mengurangi produksi limbah; mengelola limbah secara terpusat dan memadai; menetapkan baku mutu lingkungan; melestarikan alam dan mere-habilitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan mengembang-kan kelembagaan, peranserta masyarakat, dan kemampuan sumber daya manusia.

Berbagai kebijaksanaan tersebut diwujudkan dalam enam program pokok Repelita VI, yaitu: (1) inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam dan lingkungan hidup; (2) penyelamatan hutan, tanah, dan air; (3) pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup; (4) pembinaan daerah pantai; (5) pengendalian pencemaran lingkungan hidup; dan (6) rehabilitasi lahan kritis. Selain dari program-program pokok dalam Repelita VI juga dikembangkan sembilan program penunjang, yaitu: (a) penelitian dan pengembangan lingkungan hidup; (b) pemukiman perambah hutan; (c) penerapan dan pengembangan hukum lingkungan hidup; (d) pengembangan informasi lingkungan hidup; (e) pembinaan dan pengembangan pemuda; (f) peranan wanita; (g) penataan ruang; (h) penataan pertanahan; serta (i) pengembangan meteorologi dan geofisika.

2. Pelaksanaan dan Hasil-hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI

Memasuki tahun pertama Repelita VI, aspek kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup nasional makin dikembangkan melalui pelaksanaan beberapa pembaharuan untuk makin mendorong keterpaduan antara gerak langkah pembangunan dengan kepentingan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kegiatan pembangunan lingkungan hidup yang penting dalam tahun 1994/95 ini meliputi pemantapan perangkat hukum lingkungan, peningkatan pengendalian

X/16

pencemaran, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan perluasan cakupan wilayah konservasi alam.

a. Program Pokok

1) Program Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Alam dan Lingkungan Hidup

Program ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan mutu sumber daya alam serta mengembangkan neraca dan tata guna sumber alam dan lingkungan hidup guna mengetahui daya dukung dan menjamin sediaan sumber alam yang berkelanjutan.

Peningkatan ketersediaan dan kualitas informasi tentang sumberdaya alam dan lingkungan terus diupayakan. Berkaitan dengan hal tersebut dalam tahun 1994/95 telah diselesaikan tambahan produksi peta rupa bumi sebanyak 33 nomor lembar peta (nlp) berbagai skala untuk Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan dan Sulawesi (Tabel X-1). Di samping itu dihasilkan pula peta rupa bumi untuk seluruh wilayah Indonesia dengan skala 1:2.500.000 sebanyak 3 nomor peta. Selanjutnya untuk menunjang terselenggaranya jaringan nasional sistem informasi geografi, mulai tahun 1994/95 dikembangkan pemetaan rupa bumi digital skala 1:25.000 untuk Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur yang akan selesai pada tahun 2000. Di samping pemetaan rupa bumi tersebut, telah dilakukan pula pemetaan tematik cakupan sistem lahan dan kesesuaian lahan, serta peta penggunaan lahan dan status lahan. Peta rupa bumi dan peta tematik sumber alam itu penting artinya untuk perencanaan pembangunan, baik rencana pembangunan sektoral maupun daerah.

X/17

Juga telah diupayakan untuk meningkatkan jumlah koleksi spesies flora dataran rendah basah dan kering, antara lain dari cagar biosfir Pulau Siberut dan Taman Hutan Raya di Bengkulu, sebagai hasil dari kegiatan inventarisasi dan evaluasi sumber alam dan lingkungan hidup.

Dalam tahun 1994/95 telah disempurnakan pengorganisasian dan metoda penyusunan sistem informasi sumber alam dan lingkungan hidup yang berbasiskan data Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah (NKLD). Penyempurnaan tersebut mencakup perbaikan teknik analisis keterkaitan dan identifikasi kualitas lingkungan hidup, serta keabsahan data mengenai mutu sumberdaya alam dan kualitas sumberdaya manusia. Upaya lainnya yang berkaitan dengan pengorganisasian data sumber alam dan kualitas lingkungan hidup adalah pengembangan dan pembangunan jaringan Sistem Informasi Geografi di 18 propinsi.

Dalam tahun 1994/95 telah dilakukan penataan batas luar hutan secara nasional sepanjang 16.390 kilometer atau meningkat 14,4 persen lebih panjang dibanding dengan keadaan pada tahun 1993/94. Juga telah dilaksanakan kegiatan pemeliharaan batas luar kawasan hutan sepanjang 1.500 kilometer. Selain itu, hasil penerapan teknologi penginderaan jauh melalui penafsiran citra Landsat untuk memantau luas cakupan hutan telah menghasilkan tambahan cakupan seluas 21.000.000 hektare. Batas-batas luar kawasan hutan tetap, batas fungsinya di lapangan dan tersedianya gambaran yang lebih akurat tentang potensi hutan, penting artinya bagi pengelolaan hutan yang dilanjutkan melalui pembuatan unit-unit manajemen hutan lestari baik untuk hutan produksi, hutan konservasi maupun hutan lindung.

X/18

2) Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air

Program ini mempunyai tujuan untuk melestarikan fungsi dan kemampuan sumber alam hayati dan non hayati serta lingkungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan sumber alam dan sekaligus pula merupakan lingkungan hidup. Hutan, tanah, dan air pada umumnya berkaitan erat dari satu tempat ke tempat lain dalam hubungannya dengan proses ekosistem. Oleh karena itu pengelolaan secara terarah sumber-sumber alam ini akan sangat menentukan dalam keseluruhan sistem pengendalian tata air, erosi, dan sedimentasi. Peningkatan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam baik daratan maupun lautan termasuk flora dan faunanya serta keunikan alam, dilakukan untuk melindungi dan mengawetkan keanekaragaman plasma nutfah, jenis dan ekosistemnya.

Dalam tahun 1994/95 telah diselesaikan penyusunan rencana pengelolaan hutan lindung di 5 propinsi, yaitu Sumatera Utara, Jambi, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Bali. Sampai dengan tahun 1994/95 tercatat 12 taman laut, atau ada penambahan 3 taman laut baru yaitu Takabonerate, Bala-balagan di Sulawesi Selatan, dan Bintuni di Irian Jaya. Pemantapan pola pengelolaan daerah perlindungan tersebut penting artinya untuk mengembangkan secara nyata fungsi sosial tanah dan ekosistem perairan bagi masyarakat.

Dalam upaya pencegahan kebakaran hutan telah dilakukan penyusunan peta kerawanan kebakaran hutan di 9 propinsi, serta penyempurnaan sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan sebanyak 6 paket. Selanjutnya untuk meningkatkan mutu kawasan resapan air telah dilakukan penyusunan rencana pengelolaan Taman Hutan Raya di 3 lokasi. Peranserta masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup juga makin meningkat seperti di

X/19

beberapa kawasan penyangga pada Taman Nasional Siberut di Sumatera Barat dan Ruteng di Flores. Peningkatan peranserta masyarakat di kawasan taman nasional lainnya juga terus di-kembangkan, seperti di Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Gunung Leuser, dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian dan; pemanfaatan potensi sumber daya alam yang terkandung dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam diarahkan secara fungsional dalam bentuk jasa penyediaan sumber daya genetik, obyek bioteknologi, jasa fiksasi karbon, dan stabilisator iklim mikro serta obyek wisata alam.

Peningkatan luas cakupan pembinaan ekosistem tidak terbatas pada kawasan hutan, namun juga meliputi peningkatan daya dukung ekosistem kawasan sungai. Kegiatan pengendalian sungai, pengembangan wilayah dan penanggulangan bencana alam ditujukan untuk mengendalikan daya rusak dari aliran air dalam suatu kawasan melalui berbagai upaya teknis dan sosial. Kegiatan perbaikan, pengaturan, dan pemeliharaan sungai dalam tahun 1994/95 dilaksanakan di seluruh propinsi yang keseluruhannya meliputi areal seluas 45 ribu hektare (Tabel X-2).

3) Program Pembinaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan sumber daya manusia dan kemampuan aparatur Pemerintah serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga dapat meningkatkan fungsi dan kemampuan ekosistem dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

X/20

Dalam tahun 1994/95 telah dilakukan berbagai kursus yang berkaitan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang meliputi 1.144 orang peserta Kursus Dasar AMDAL, 654 orang peserta Kursus Penyusunan AMDAL dan 268 orang peserta Kursus Penilai AMDAL. Apabila dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1993/94, maka pada tahun 1994/95 telah dihasilkan tambahan 2.066 orang lulusan peserta kursus AMDAL dari berbagai kategori (Tabel X-3). Mulai tahun 1994/95 telah dikembangkan metodologi untuk AMDAL kawasan, kegiatan terpadu, dan regional. Pada tahun 1994/95 telah dilakukan berbagai kursus yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran lingkungan seperti Kursus Pengendalian Pencemaran Air bagi 65 peserta, Pengendalian Pencemaran Udara untuk 30 orang, dan Pengelolaan Limbah B3 yang diikuti oleh 30 orang. Juga telah diselenggarakan kursus singkat penegakan Hukum Lingkungan yang diikuti oleh 35 peserta.

Pelestarian sumber-sumber alam dalam pengelolaan lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada ekosistem di daratan namun mencakup pula evaluasi terhadap ekosistem atmosfer. Dalam upaya menggalang keterpaduan dan pemahaman masyarakat mengenai masalah kerusakan lapisan ozon, pada tahun 1994/95 telah dibentuk Komite Nasional Perlindungan Ozon yang berfungsi sebagai pusat informasi penyuluhan dan pemasyarakatan teknologi pengganti Ozone Depleting Substances (ODS).

Dalam rangka penataan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup telah dibentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah di 3 lokasi, yaitu di Pakanbaru, Denpasar, dan Ujung Pandang. Dalam tahun 1994/95 dimulai pembinaan terhadap 60 laboratorium milik Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Perindustrian yang akan dikembangkan sebagai laboratorium pemantauan kualitas lingkungan daerah .

X/21

Laboratorium-laboratorium lingkungan ini merupakan simpul-simpul dalam Sistem Pemantauan Lingkungan Hidup Nasional.

Pengelolaan lingkungan hidup juga diarahkan untuk pengelolaan lingkungan perkotaan secara lebih terpadu. Adipura, sebagai bentuk penghargaan Pemerintah terhadap upaya masyarakat dalam menunjang kebersihan perkotaan, diberikan setiap tahun dengan dasar kategori kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang. Dalam tahun 1995 telah diberikan 121 Adipura, dan penghargaan pelestari lingkungan untuk perorangan berupa Kalpataru masing-masing satu orang sebagai Perintis, 3 orang sebagai Penyelamat, satu orang Pengabdi, dan satu orang sebagai Pembina lingkungan. Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai lingkungan telah dilakukan penataran pendalaman materi lingkungan hidup terhadap 648 guru Sekolah Menengah Umum (SMU) dan 220 staf pengajar perguruan tinggi.

Dalam tahun 1994/95, telah ditetapkan 2 peraturan perundangan penting yang memiliki arti strategis, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Keanekaragaman Hayati, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Perubahan Iklim Bagi Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keanekaragaman hayati dan perubahan iklim telah menjadi perhatian masyarakat dunia dalam upaya pelestarian lingkungan global.

4) Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup

Program ini bertujuan untuk mengurangi kemerosotan mutu dan fungsi lingkungan hidup perairan tawar dan Laut, tanah dan udara yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas pembangunan.

X/22

Dalam rangka itu upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup dilakukan secara terpadu antara upaya pengembangan daerah dengan kegiatan yang terdapat dalam sektor-sektor terutama pertanian dan industri. Diantaranya adalah Program Kali Bersih (PROKASIH) yang pada tahun 1994/95 mencakup 30 sungai di 15 propinsi yang telah berhasil menurunkan beban pencemaran sebesar 60 persen jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1993/94. Dalam usaha untuk meningkatkan kepedulian perusahaan industri dalam tahun 1994/95 dimulai kegiatan penilaian kinerja pengendalian pencemaran yang disebut Program Peringkat (PROPER) untuk 187 unit pabrik. Dari penilaian tersebut diketahui bahwa baru 3 persen pengelola pabrik menunjukkan upaya yang berarti dalam pengendalian pencemaran.

Upaya pengendalian pencemaran udara makin dimantapkan dengan ditetapkannya beberapa peraturan penting yang mengatur baku mutu emisi sumber daya tidak bergerak. Baku mutu emisi ini meliputi industri semen, besi dan Baja, pulp dan kertas, serta pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Pengendalian pencemaran juga dilakukan di beberapa sektor ekstraktif, misalnya pertambangan. Dalam tahun 1994/95 dilakukan beberapa kajian penting mengenai pengembangan sistem tanggap darurat akibat tumpahan minyak sekaligus pengkajian mengenai analisis resiko dan rencana tindak daruratnya.

Pengolahan limbah bahan beracun dan' berbahaya (B3) yang dilakukan di Pusat Pengolahan Limbah Industri-B3 (PPLI-B3) Cibinong di Bogor pada tahun 1994/95 berjumlah 1.530 ton dengan melibatkan 128 industri. Untuk memacu penanganan limbah B3 di Indonesia telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor .12 Tahun 1995 yang mengatur mengenai impor limbah B3 untuk diolah di Indonesia. Peraturan ini adalah untuk mencegah pembuangan limbah

X/23

B3 ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Sebagai salah satu peserta aktif dalam Konvensi Basel, penanganan limbah B3 telah ditingkatkan dan dilaksanakan secara lebih terpadu.

Dalam rangka penetapan baku mutu lingkungan yang merupakan sasaran penting dalam pembangunan lingkungan yang ingin dicapai, sampai dengan tahun 1994/95 telah disusun pedoman baku mutu limbah untuk 30 jenis kegiatan industri dan perhotelan, 10 jenis kegiatan pertambangan, serta pengelolaan rumah sakit.

Industri kecil juga dibantu dalam pengolahan limbah. Dalam tahun 1994/95 dilakukan pembinaan dan bimbingan bagi pengolahan limbah industri kecil di Garut untuk industri penyamakan kulit, di Pati untuk industri pengolahan tapioka, di Yogyakarta untuk industri batik rakyat, dan di Sidoarjo untuk industri pelapisan logam.

Pengendalian pencemaran dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengendalian pencemaran yang banyak dilakukan adalah secara tidak langsung yaitu dengan pengolahan limbah dan kegiatan daur ulang. Pengendalian yang bersifat langsung dilakukan melalui penerapan efisiensi produksi, minimisasi limbah, dan penggunaan teknologi bersih. Dalam tahun 1994/95 telah dilakukan kegiatan-kegiatan penyuluhan mengenai penggunaan teknologi bersih untuk industri prioritas. Khusus untuk industri kayu, upaya ini berkaitan dengan penerapan ekolabel untuk menjamin lestarinya ekosistem hutan sebagai sediaan sumber alam kayu.

5) Program Rehabilitasi Lahan Kritis

Tujuan umum program ini adalah meningkatkan kemampuan hutan dan tanah yang rusak agar dapat berfungsi kembali dalam produksi dan kelestarian lingkungan hidup. Kegiatan rehabilitasi

X/24

lahan-lahan kritis dikaitkan dengan upaya meningkatkan pendapatan dan kemampuan produktif masyarakat terutama dalam wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Dalam tahun 1994/95 telah dilaksanakan penghijauan tanah kritis pada lahan kering seluas 243.000 hektare di 39 DAS di 26 propinsi (Tabel X-4). Selain itu, dilakukan pula pengembangan pengelolaan untuk 34 DAS dengan penyusunan pola RLKT,(Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) untuk liputan areal seluas 6 juta hektare serta penyusunan Rencana Teknik Lapangan RLKT (RTL-RLKT) pada 34 DAS yang mencakup luasan 2,1 juta hektare. Juga telah dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu di 6 lokasi, pembinaan konservasi tanah di 16 lokasi areal HPH, 15 lokasi pertambangan dan 8 lokasi kawasan permukiman transmigrasi.

Kegiatan penanaman hutan rakyat dalam tahun 1994/95 yang dilaksanakan di 26 propinsi telah menghasilkan tambahan luas hutan rakyat sekitar 83 ribu hektare (Tabel X-5). Peningkatan rehabilitasi lahan pada hutan rakyat merupakan usaha yang terpadu untuk men-cegah perluasan tanah kritis dan memperbaiki fungsi hidro-orologis hutan. Fungsi hutan rakyat di dekat daerah perdesaan selanjutnya di-kembangkan sebagai hutan serba guna yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat yang tinggal di daerah itu untuk meningkatkan kesejah-teraannya.

Dalam upaya rehabilitasi lahan telah dibuat petak-petak percontohan pengawetan tanah. Pada tahun 1994/95 telah dilakukan pembuatan petak percontohan/demplot pengawetan tanah sebanyak 857 unit (Tabel X-6). Petak-petak percontohan tersebut merupakan upaya penyuluhan dengan masukan teknologi untuk meningkatkan kesuburan tanah dan produktivitas lahan. Dalam upaya mengurangi limpahan erosi dan sedimentasi kawasan lahan kritis telah dibuat dam-

X/25

dam pengendali. Pada tahun 1994/95 dibuat 416 unit dam pengendali (Tabel X-7).

Dalam tahun 1994/95 telah dilakukan kegiatan reboisasi pada kawasan hutan kritis seluas 33.673 hektare. Kegiatan reboisasi yang dilakukan untuk meningkatkan mutu hutan lindung dan suaka alam diharapkan dapat menahan laju kerusakan fungsi ekosistem hutan lindung (Tabel X-8).

Upaya rehabilitasi lahan kritis dilakukan juga dengan melibatkan peladang berpindah yang dalam tahun 1994/95 berjumlah 27.500 KK di 21 propinsi. Selain itu melalui kegiatan Bina Desa Hutan telah dilakukan pembinaan 26.650 KK. Dalam tahun yang sama dilakukan pula pengendalian peladang berpindah di 11 propinsi yang melibatkan 10.000 KK.

Untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi diperlukan petugas-petugas lapangan yang berfungsi membantu pelaksanaan teknis di lapangan. Sampai dengan awal Repelita VI telah dipekerjakan sejumlah 6.157 orang petugas lapangan penghijauan, 1.034 petugas lapangan reboisasi, dan 195 Petugas Khusus Penghijauan (Tabel X-9).

6) Program Pembinaan Daerah Pantai

Pembinaan daerah pantai ditujukan untuk meningkatkan pelestarian fungsi ekosistem pantai, mengendalikan kerusakan lingkungan pesisir, serta meningkatkan kemampuan masyarakat pantai dalam pengelolaan pantai dan lautan.

Dalam rangka itu, pada tahun 1994/95 dilanjutkan pengembangan kawasan pelestarian ekosistem laut di 6 lokasi taman nasional laut yaitu Pulau Seribu (DKI Jakarta), Karimunjawa (Jawa Tengah),

X/26

Takabonerate (Sulawesi Selatan), Bunaken (Sulawesi Utara), Pulau Pombo (Maluku), dan Teluk Cenderawasih (Irian Jaya). Pengem-bangan area konservasi juga dilakukan di daerah yang mudah mengalami akrasi maupun abrasi seperti wilayah pantai Pulau Bali dan. wilayah Menado dengan membangun tanggul pantai yang keseluruh-annya mencapai 6 kilometer.

Untuk perbaikan ekosistem pantai dilakukan rehabilitasi hutan bakau melalui pengadaan bibit setara dengan luas 7.365 hektare yang tersebar di 14 propinsi. Untuk lebih meningkatkan keterpaduan dalam perbaikan ekosistem bakau dalam tahun 1994/95 telah disusun rancangan rehabilitasi hutan bakau seluas 22.000 hektare dan rencana teknik lapangan (RTL) seluas 80.000 hektare.

Kegiatan inventarisasi dan evaluasi mengenai sumber alam lautan, dilanjutkan dan ditingkatkan termasuk penyusunan peta lingkungan pantai, serta pengembangan sistem tanggap darurat untuk pencemaran minyak. Dalam rangka menanggulangi pencemaran laut, dalam tahun 1994/95 dikembangkan Sistem Keamanan Lingkungan Laut (SISKAMLA) yang merupakan paduan antara usaha-usaha di berbagai sektor, seperti perhubungan laut, pertambangan, pertahanan dan keamanan.

Keikutsertaan masyarakat penting dalam pembinaan kawasan pantai. Untuk itu telah dilakukan penyuluhan pelestarian ekosistem pantai bagi 90 orang anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 102 orang petugas taman nasional laut. Penyuluhan juga dilakukan untuk 450 orang masyarakat pantai terutama dalam teknik budidaya perikanan yang berkaitan dengan pemeliharaan kelestarian fungsi hutan bakau dan terumbu karang. Usaha-usaha tersebut di-arahkan untuk menunjang keserasian antara kemampuan daya dukung

X/27

kawasan pantai dengan kebutuhan kehidupan dan perkembangan penduduk.

b. Program Penunjang

1) Program Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup

Ketersediaan sumber daya air untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pembangunan di berbagai sektor menjadi perhatian utama dalam Repelita VI. Pada tahun 1994/95 telah dilakukan kegiatan penelitian untuk pembuatan model sistem penyediaan air di daerah cekungan Semarang dan DAS Bajuin Tabanio, pengkajian lingkungan perairan Danau Toba, dan penelitian mengenai evaluasi daya dukung air beserta pemodelannya untuk wilayah Pulau Batam.

Selain itu untuk meningkatkan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan perkotaan telah dilakukan beberapa pengembangan model simulasi pengelolaan sanitasi perkotaan dan simulasi penataan lokasi industri yang berada dalam kawasan daerah aliran sungai di Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Model- model simulasi ini bermanfaat untuk mendukung kegiatan peren- canaan fungsi lingkungan hidup. Pemodelan ini juga diarahkan untuk beberapa kawasan rawan dampak banjir, gempa bumi, dan gunung berapi. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam tahun 1994/95 telah diselesaikan penelitian mengenai model klasifikasi spesifik kemampu-an lahan terhadap bahaya erosi di kawasan lereng Gunung Merapi.

2) Program Pemukiman Perambah Hutan

Program ini adalah untuk memukimkan perambah hutan yang berada di dalam kawasan hutan tetap (hutan lindung, hutan suaka,

X/28

hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap) dan membina masyarakat sekitar kawasan hutan. Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahun pertama Repelita VI antara lain adalah penyediaan areal pemukiman transmigrasi dan inventarisasi serta penyiapan prakondisi peladang berpindah dan perambah hutan.

3) Program Penerapan dan Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup

Program ini adalah untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum lingkungan dalam masyarakat, sehingga masyarakat mendapatkan pengayoman dan perlindungan akan hak-haknya, serta mengamankan keberlanjutan pembangunan. Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahun pertama Repelita VI antara lain adalah penyempurnaan, penataan, dan pembaharuan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.

4) Program Pengembangan Informasi Lingkungan Hidup

Program ini adalah untuk meningkatkan penyelenggaraan sistem informasi yang berkualitas dan pemanfaatan informasi yang handal mengenai lingkungan hidup. Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahun 1994/95 antara lain pengembangan sistem penyediaan data yang cepat, tepat dan akurat bagi kegiatan lingkungan hidup. Selain itu dilak-sanakan pengembangan informasi melalui pembentukan berbagai forum komunikasi yaitu Forum Daur Ulang, Forum Dinamika Perkotaan, Forum Kelautan, dan Forum Keanekaragaman Hayati, yang merupakan wadah untuk menciptakan perluasan akses informasi mengenai permasalahan lingkungan hidup dalam masyarakat. Selanjutnya dilakukan pula pembuatan berbagai paket untuk siaran televisi, radio dan penyebaran brosur mengenai pelestarian lingkungan hidup sebanyak 20.000 eksemplar.

X/29

5) Program Pembinaan dan Pengembangan Pemuda

Program ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan ke-terampilan pemuda, meningkatkan peranserta pemuda serta meningkatkan kepeloporan pemuda mengenai konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dalam tahun 1994/95 telah dilaksanakan pembentukan dan pengembangan Kader Konservasi, pelatihan Kelompok Pelestari Sumberdaya Alam (KPSA), dan pelaksanaan safari karya penghijauan pemuda.

6) Program Peranan Wanita

Program ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan kedudukan wanita, membuka kesempatan tenaga kerja wanita, dan mengembangkan iklim sosial budaya yang mendukung peranserta wanita di bidang lingkungan hidup. Dalam tahun 1994/95 telah diupayakan peningkatan kesadaran akan lingkungan hidup melalui kegiatan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan ketrampilan dalam berbagai forum seperti Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Lembaga Swadaya Masyarakat, Dharma Wanita, asosiasi arsitek pertamanan kota dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

7) Program Penataan Ruang

Program ini adalah untuk menyusun dan mengembangkan pola tata ruang dan mekanisme pengelolaan yang dapat menyerasikan berbagai kegiatan pemanfaatan air, tanah, dan sumber daya alam lainnya serta untuk meningkatkan keterpaduan penyelenggaraan tata guna air, tata guna lahan dan kehutanan. Pada tahun 1994/95 dilakukan kegiatan penataan ruang khususnya pada kawasan yang

X/30

TABEL X — 1

PETA RUPA BUMI NASIONAL YANG SUDAH TERSEDIA 1)1978/79, 1989/90 — 1993/94, 1994/95

Jumlah Akhir Repelita V Repelita VINo. Daerah Skala Kebutuhan

(peta)Repelita II(1978179) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/952)

1. Sumatera 1:50.000 856 190 600 600 600 600 632 632

2. Jawa dan Bali 1:25.000 877 — 103 242 485 707 707 707

3. Nusa Tenggara Barat 1:25.000 192 —— —

40 40 40 41

4. Nusa Tenggara Timur 1:25.000 525 — — — —59 109 122

5. Kalimantan 1:50.000 822 — — — — 283 292 2921:250.000 51 — — 4 10 15

6. Sulawesi 1:250.000 45 — — — — 31 31 45

7. Irian Jaya 1:100.000 209—

200 200 200 200 200 2001:250.000 43 —

8. Jumlah — 3.620 190 903 1.042 1.325 1.790 2.021 2.054

5. Nasional 1:2.500.000 3 — — — — — —3

1) Angka kumulatif.2) Angka sementara

X/31

T A B E L X - 2HASIL PELAKSANAAN USAHA

PENGENDALIAN SUNGAI, PENGEMBANGAN WILAYAH DANPENANGGULANGAN BENCANA ALAM MENURUT DAERAH TINGKAT I1)

1973/74, 1989/90 - 1993/94, 1994/95(dalam hektare )

Akhir Repelita V Repelita VINo. Propinsi Repelita I

(1973/74) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 2)

1. Daerah Istimewa Aceh 3.620 72.286 76.286 91436 98.185 100.495 102.9952. Sumatera Utara 42.350 311.625 316.625 326.425 332.827 338.420 340.2203. Sumatera Barat 2.900 13.496 15.396 19.196 22.725 29.806 31.5564. R i a u 400 13.500 14.750 15.950 16.659 17.160 17.6605. J a m b i 1.180 21.380 21.380 22.280 23.253 23.601 24.6016. Sumatera Selatan 400 40.468 41.468 42.468 43.078 43.319 44.3197. Bengkulu - 13.511 14.161 14.881 15.362 15.720 16.3208. Lampung - 10.950 11.700 12.950 13.730 14.141 14.9419. DKI Jakarta 10.200 62.617 74.117 90.667 96.041 101.514 102.51410. Jawa Barat 98.820 372.626 385.126 406.426 423.259 426.168 429.96811. Jawa Tengah 66.299 234.357 246.607 286.307 305.458 315.257 320.75712. Daerah Istimewa Yogyakarta 2.644 29.737 34.237 34.637 36.558 37.452 3931213. Jawa Timur 34.900 232.711 248.211 269.611 287.926 299.317 306.81714. Kalimantan Barat 1.295 18.562 18.562 19.122 19.494 19.733 20.67815. Kalimantan Selatan 930 20.689 20.689 21.209 21.701 21.827 22.54716. Kalimantan Timur 1.280 9.280 9.280 9.780 10.212 10.523 11.88317. Kalimantan Tengah - 8.360 8360 8.830 10.185 10.545 10.92518. Sulawesi Utara 850 7.960 7.960 8.240 8.447 8.611 10.11119. Sulawesi Tengah 1.230 38.269 39.269 40.269 40.808 42.506 43.50620. Sulawesi Selatan 14.150 46.269 47.769 51.669 54.425 65.531 67.03121. Sulawesi Tenggara 4.310 4.560 4.960 5.165 5.271 7.27122. B a l i 3.380 14.233 14.533 16.533 16.933 17.522 18.02223. Nusa Tenggara Barat 800 10.167 10.467 10.737 11.122 11.335 13.33524. Nusa Tenggara Timur 240 2.634 2.634 2.774 3.938 4.746 6.24625. Maluku 1.200 2.302 2.552 2.692 3.921 4.164 4.66426. Timor Timur - 2.074 2.274 2.424' 2.744 3.002 3.00627. Irian Jaya - 528 728 848 1.165 1.385 2.885

Jumlah 289.068 1.614.901 1.689.701 1.834.321 1.925.321 1.989.071 2.034.090

1) Angka kumulatif sejak tahun 1969/70. 2) Angka sementara.

X/32

TABEL X — 3

JUMLAH PENGIKUT KURSUS — KURSUS AMDAL 1)1983/84,1989190 — 1993/94; 1994/95

(Orang)

Akhir Repelita V Repelita VINo. Jenis Kursus Repelita III

(1983/84) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 2) 1994/95 3)

1. Dasar — dasar AMDAL 967 5332 5.522 7.234 9.375 10.581 11.725

2. Penyusunan AM DAL 39 908 1.062 1.555 2.242 2.242 2.896

3. Penilaian AMDAL — — 190 444 1.130 2.543 2.811

Jumlah 1.006 6.240 6.774 9.233 12.747 15.366 17.432

1) Angka kumulatif sejak tahun 1983/84.2) Angka diperbaiki.3) Angka sementara.

X/33

X/34

X/35

X/36

TABEL X—7PEMBUATAN DAM PENGENDALI MENURUT DAERAH TINGKAT II)

1979/80,1989/90 — 1993/94, 1994/95(buah )

Awal Repelita V Repelita VINo. Propinsi Repelita III

(1979/80) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/942)

2

1994/95 3)

1. Daerah Istimewa Aceh — 31 32 41 58 72 892. Sumatera Utara — 153 156 179 213 239 2563. Sumatera Barat — 31 34 72 89 105 1164. R i a u — 7 10 30 40 47 505. J a m b i — 8 8 13 25 38 436. Sumatera Selatan — 59 61 82 104 125 1427. Bengkulu — 20 20 32 49 63 688. Lampung — 31 34 50 76 98 1069. Jawa Barat 10 541 565 636 876 1.064 1.137

10. Jawa Tengah 8 567 597 712 950 1.207 1.27711. Daerah Istimewa Yogyakarta 2 100 104 120 146 169 176

12. Jawa Timur 11 574 657 985 1363 1542 139613. Kalimantan Barat — 2 2 4 9 17 1814. Kalimantan Selatan — 24 25 34 69 85 10115. Kalimantan Timur — — — — — 4 1016. Kalimantan Tengah — — — — — 1 017. Sulawesi Utara — 48 49 55 81 106 11218. Sulawesi Tengah — 226 230 236 248 255 25519. Sulawesi Selatan 2 124 129 150 267 327 43820. Sulawesi Tenggara — 55 56 66 78 95 10321. B a l i 1 122 122 132 144 148 16022. Nusa Tenggara Barat — 164 170 184 194, 216 22623. Nusa Tenggara Timur 2 71 73 77 148 184 19624. Maluku — 6 8 14 20 29 3525. Timor Timur — 4 5 10 38 60 026. Irian Jaya — — — — 2 6 8

Jumlah 36 2.968 3.147 3.914 5.287 6302 6.718

1) Angka kumulatif sejak tahun 1974/75.2) Angka diperbaiki.3) Angka sementara.

X/37

X/38

X/39

padat pembangunan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan hidup.

8) Program Penataan Pertanahan

Program ini adalah untuk mengupayakan peningkatan dan pengembangan sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu sehingga pemanfaatannya memperhatikan kaidah lingkungan hidup. Dalam tahun 1994/95 diupayakan kegiatan untuk mendukung program inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam dan lingkungan hidup.

9) Program Pengembangan Meteorologi dan Geofisika

Program pengembangan meteorologi dan geofisika adalah untuk meningkatkan informasi dan kemampuan dalam upaya pengendalian pencemaran udara dan pencemaran laut, serta penanggulangan bencana alam. Dalam tahun 1994/95 untuk pengelolaan ekosistem atmosfir dikembangkan inventarisasi dan penelitian kualitas lingkungan melalui pengembangan jaringan pemantauan polusi udara dan komposisi atmosfir serta pembangunan beberapa pos iklim dan meteorologi pertanian khusus. Khusus untuk pengembangan sistem pemantauan komposisi atmosfir global telah dibangun stasiun khusus di Bukit Koto Tabang Propinsi Sumatera Barat.

C. PENATAAN RUANG DAN PERTANAHAN

1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Pembangunan dalam Repelita VI

Sasaran penataan ruang dan penataan pertanahan dalam Repelita VI adalah tersedianya sistem informasi yang mendukung penataan

X/40

ruang dan penataan pertanahan; meningkatnya kesadaran dan peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam penataan ruang dan penataan pertanahan; terwujudnya lembaga dan aparatur penataan ruang dan penataan pertanahan yang berkualitas dan berkemampuan tinggi; serta terwujudnya keterpaduan penataan dan pemanfaatan ruang untuk kepentingan sosial, ekonomi, dan pertahanan keamanan.

Dalam mewujudkan sasaran penataan ruang dan penataan pertanahan dalam Repelita VI, kebijaksanaan pokok yang ditempuh adalah mengembangkan kelembagaan melalui penetapan organisasi pengelolaan yang mantap, dengan rincian tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang jelas; meningkatkan kemampuan aparatur yang dapat mendukung kegiatan penataan ruang dan penataan pertanahan di pusat dan di daerah; memasyarakatkan penataan ruang dan penataan pertanahan kepada masyarakat dan dunia usaha; memantapkan pemanfaatan rencana tata ruang sebagai acuan bagi pembangunan nasional dan daerah; dengan perhatian khusus pada kawasan cepat berkembang/andalan/strategis; memantapkan pengendalian pemanfaat-an ruang termasuk pengamanan terhadap kawasan yang memiliki aset penting negara; meningkatkan sistem informasi, pemantauan dan evaluasi dalam penataan ruang dan penataan pertanahan.

Untuk mencapai sasaran dan melaksanakan berbagai kebijak-sanaan penataan ruang seperti tersebut diatas, dalam Repelita VI dilaksanakan program penataan ruang sebagai program pokok. Program ini bertujuan untuk mengembangkan pola tata ruang dan mekanisme pengelolaan serta meningkatkan keterpaduan penye-lenggaraan tata guna air, tata guna lahan, dan kehutanan. Kegiatan utama program tersebut adalah: (a) penyempurnaan dan penjabaran rencana tata ruang nasional, daerah, dan kawasan; serta (b) pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

X/41

Disamping program pokok dilaksanakan beberapa program penunjang yang bertujuan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan program pokok penataan ruang. Dalam Repelita VI dilaksanakan beberapa program penunjang yaitu (a) program inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam dan lingkungan hidup; (b) program pemanfaatan sumber daya kelautan dan kedirgantaraan; (c) program penataan pertanahan; (d) program penerapan dan penegakan hukum; serta (e) program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan tata ruang.

Dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan efisien, di -tetapkan beberapa program pokok dan program penunjang. Program pokok adalah penataan pertanahan yang terdiri atas kegiatan : penataan penguasaan tanah, penataan penggunaan tanah, dan penyempurnaan kelembagaan serta pengembangan administrasi pertanahan. Sedangkan program penunjang meliputi: (a) program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pertanahan; (b) program penataan ruang; (c) program pengembangan informasi pertanahan; dan (d) program penerapan dan pengembangan hukum.

2. Pelaksanaan dan Hasil-hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI

a. Penataan Ruang

Upaya pembangunan dalam tahun pertama Repelita VI di bidang penataan ruang dilaksanakan melalui program-program sebagai berikut.

X/42

1) Program Pokok

a) Program Penataan Ruang

Program penataan ruang ini bertujuan mengembangkan pola tata ruang dan mekanisme pengelolaannya dalam menyerasikan berbagai tata guna sumber daya alam seperti, air, udara , lahan, dan hutan.

Untuk mencapai tujuan tersebut dilaksanakan berbagai kegiatan penataan ruang. Penyempurnaan dan penjabaran rencana tata ruang wilayah nasional, daerah, dan kawasan dilaksanakan untuk memberi pedoman bagi pemanfaatan ruang. Kegiatan ini mencakup upaya pemantapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang telah menghasilkan antara lain: (1) pola pemanfaatan ruang kawasan berfungsi lindung dan kawasan budidaya, (2) sistem kota dan permukiman serta pola infrastruktur wilayah yang terdiri dari pola transportasi, pola jaringan tenaga listrik dan pola jaringan prasarana air, (3) kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya dan kawasan tertentu, serta (4) naskah akademis rancangan peraturan pemerintah RTRWN.

Selain itu untuk melengkapi RTRWN pada tahun 1994/95 telah disusun konsep rencana tata ruang udara dan daerah pantai/laut. Dalam rangka penjabaran RTRWN telah disusun Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan.

Untuk lebih meningkatkan keterkaitan pelaksanaan pembangunan antar propinsi dalam satu pulau dan untuk menjembatani RTRWN dengan RTRWP, telah diselesaikan konsep Rencana Tata Ruang Jawa dan Bali.

X/43

Juga dilanjutkan penyusunan Rencana Tata Ruang Perbatasan antara wilayah Indonesia dengan Malaysia di Propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Kegiatan ini merupakan kerjasama pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Rencana tata ruang tersebut menunjang peran pertahanan keamanan dan perekonomian pada wilayah tersebut.

Dalam upaya menyempurnakan rencana tata ruang wilayah daerah tingkat I dan II pada tahun 1994/95 telah diselesaikan penyu -sunan RTRWP dengan status: 15 RTRWP telah disahkan oleh Menteri Dalam Negeri; 8 RTRWP sudah ditetapkan melalui peraturan daerah tingkat I dan dalam proses pengesahan oleh Menteri Dalam Negeri; 2 RTRWP sudah ditetapkan melalui peraturan daerah tingkat I tetapi belum diajukan ke Menteri Dalam Negeri; serta 2 RTRWP masih dalam proses penetapan peraturan daerah tingkat I (Tabel X-10).

Di tingkat kabupaten/kotamadya diupayakan penyusunan dan penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten daerah tingkat II, Rencana Tata Ruang Wilayah Kotamadya daerah tingkat II, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Administratip. Sampai dengan tahun 1994/95 telah diselesaikan RTRWK di 243 kabupaten dengan status: 95 RTRWK sudah ditetapkan melalui peraturan daerah; satu RTRWK masih dalam proses pembahasan rancangan peraturan daerah oleh DPRD Tingkat II; dan 147 RTRWK masih berupa materi rencana yang siap diajukan ke DPRD Tingkat II. Di samping itu 61 kotamadya sudah menetapkan RTRWK dengan peraturan daerah dan telah disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (Tabel X-11, X-12, dan X-13).

X/44

Dewasa ini sedang disusun studi percontohan penyusunan program pembangunan daerah melalui Program Jangka Menengah (PJM) sebagai penjabaran RTRW propinsi daerah tingkat I yaitu untuk RTRW Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Juga sedang dilakukan penyusunan PJM sebagai penjabaran RTRW Kabupaten yaitu untuk Daerah Tingkat II Klungkung, Batanghari, Lombok Barat, Semarang, dan Banjar. Melalui PJM tersebut diharapkan strategi pemanfaatan ruang yang telah disusun dalam rencana tata ruang dapat dijabarkan prioritasnya kedalam program pembangunan lima tahunan dan seterusnya dirinci ke dalam program pembangunan tahunan.

Untuk mendukung dan mendorong pengembangan perkotaan dilakukan berbagai kegiatan penataan ruang perkotaan terutama yang berkaitan dengan pembangunan sarana dan prasarana kota. Pada tahun 1994/95 telah selesai disusun PJM perkotaan di 20 kota dan rencana pembangunan sarana dan prasarana serta PJM kawasan andalan di 20 kawasan.

Dalam tahun 1994/95 telah disusun rencana pengembangan kawasan khusus di kawasan industri Bontang-Balikpapan-Samarinda, kawasan pelabuhan dan industri Bitung-Manado, kawasan industri Sorong, Segitiga Pertumbuhan Utara dan kawasan pariwisata. Rencana tata ruang kawasan khusus dimaksudkan untuk memberikan arahan rencana penyediaan dan peningkatan pelayanan prasarana dan sarana penunjang seperti air bersih, persampahan, pengolahan air limbah, jaringan pematusan, jaringan jalan serta sarana permukiman dan perumahan lainnya.

Peningkatan kualitas aparatur penataan ruang terus dilanjutkan dan dimantapkan melalui kegiatan pelatihan dan pembinaan teknis. Disamping itu telah disusun beberapa rancangan pedoman teknis

X/45

penataan ruang antara lain: (1) pedoman teknis penataan ruang kawasan perdesaan, (2) pedoman teknis penyusunan RTRWP dan RTRWK, (3) pedoman teknis penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan, (4) pedoman perumusan indikasi program terpadu untuk wilayah kabupaten, dan (5) pedoman teknis penyiapan pembangunan kawasan siap bangun (KASIBA).

Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) telah melakukan inventarisasi berbagai permasalahan dalam penataan ruang. Penyelesaian masalah-masalah tersebut dilakukan secara seksama melalui mekanisme yang disusun oleh BKTRN dengan kelengkapannya yaitu Kelompok Kerja. Tata Ruang Nasional dan Tim Teknis Tata Ruang Nasional. Pada tahun 1994/95 telah diselesaikan beberapa permasalahan antara lain pelarangan penggunaan lahan beririgasi teknis untuk kegiatan non pertanian dan penyelesaian beberapa konflik penggunaan lahan. Sementara itu sedang disusun beberapa pedoman, antara lain pedoman pemanfaatan lahan secara ganda atau bersama-sama dan kriteria pemanfaatan kawasan berfungsi lindung untuk dijadikan dasar dalam penyelesaian kasus-kasus tumpang tindih pemanfaatan ruang; serta pedoman pemaduserasian antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan RTRW Propinsi Daerah Tingkat I. Di samping itu sedang dilakukan upaya penyelesaian permasalahan perpetaan dalam penataan ruang dan berbagai permasalahan penataan ruang kota yang timbul akibat pembangunan atau perkembangan yang sangat cepat dalam suatu kota.

2) Program Penunjang

a) Program Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Program ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah dan mutu

X/46

informasi sumber daya alam serta mengembangkan neraca dan tata guna sumber alam dan lingkungan hidup untuk mengetahui daya dukung dan menjamin sediaan sumber alam yang berkelanjutan. Pada tahun pertama Repelita VI antara lain telah dilaksanakan kegiatan evaluasi sumber daya alam tanah di 18 propinsi.

b) Program Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Kedirgantaraan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dalam mendayagunakan dan memanfaatkan potensi kekayaan laut dan sumber daya laut serta pemanfaatan dirgantara secara seimbang bagi kepentingan kesejahteraan rakyat dan keperluan pertahanan keamanan. Pada tahun 1994/95 kegiatannya terutama adalah pemantapan Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang dengan memasukan matra laut dan matra udara. Selain itu juga dilakukan kegiatan evaluasi sumber daya laut di 27 propinsi untuk menginventarisasi dan menyediakan data dan informasi sumber daya laut dan pesisir pantai yang dibutuhkan bagi perencanaan tata ruang, khususnya yang menyangkut pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam.

c) Program Penataan Pertanahan

Tujuan program ini adalah mengupayakan peningkatan dan pengembangan sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan efisien sehingga pemanfaatan ruang dapat terkendali. Pada tahun 1994/95 antara lain melalui Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional telah dilakukan berbagai upaya penyelesaian permasalahan penataan ruang yang berkaitan dengan pertanahan.

X/47

d) Program Penerapan dan Penegakan Hukum

Program ini ditujukan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum sehingga masyarakat merasa mendapatkan pengayoman dan perlindungan akan hak-haknya, dalam hubungannya dengan pemanfaatan ruang.

Dalam upaya menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, perlu disusun 13 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), dan 2 Rancangan Undang-Undang (RUU). Dari jumlah tersebut pada tahun pertama Repelita VI telah disusun 3 konsep RPP dan satu konsep RUU, yaitu RPP tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Tata Ruang Pertahanan Keamanan; RPP tentang Pola Pengelolaan Tata Guna Tanah; RPP tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; dan RUU mengenai Penataan Ruang Udara dan Laut di Luar Batas Wilayah Daerah Tingkat I dan Tingkat II.

e) Program Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Tata Ruang

Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan tugas penataan ruang bagi aparat pemerintah dan pemahaman masyarakat mengenai tata ruang sehingga dapat berkembang kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam penataan ruang.

Pada tahun 1994/95 antara lain telah dilakukan: (1) pelatihan penataan ruang daerah dan pembinaan pengaturan teknis penataan ruang bagi aparat pemerintah daerah; (2) pelatihan operasionalisasi RTRWP; (3) pembinaan dan pengembangan teknik pembangunan kota baru; (4) pelatihan penataan ruang kawasan industri di Jakarta; serta

X/48

(5) supervisi penataan ruang daerah di 26 propinsi. Dan dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan kegiatan penyuluhan penataan ruang serta penyediaan informasi penataan ruang.

b. Penataan Pertanahan

Pembangunan di bidang pertanahan pada tahun pertama Repelita VI (1994/95) yang merupakan program-program lanjutan dari Repelita-Repelita sebelumnya, dititikberatkan pada upaya pemberian manfaat atas tanah yang sebesar-besarnya bagi pembangunan nasional. Upaya tersebut dilaksanakan melalui program pokok penataan pertanahan dan program-program penunjangnya.

1) Program Pokok

a) Program Penataan Pertanahan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif, dan efisien. Program penataan pertanahan dalam tahun 1994/95 dilaksanakan melalui kegiatan penataan penguasaan tanah, penataan penggunaan tanah dan penyempurnaan kelembagaan dan pengembangan administrasi pertanahan.

Kegiatan penataan penguasaan tanah bertujuan untuk mengem-bangkan sistem penataan, penguasaan, pemilikan, dan pengalihan hak atas tanah yang dilakukan oleh negara. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pendataan penguasaan pemilikan tanah perdesaan yang pada tahun 1994/95 mencapai luas 10.600 hektare, pendataan penguasaan pemilikan tanah perkotaan seluas 6.700 hektare, redistribusi tanah obyek landreform seluas 13.900 hektare, penertiban administrasi

X/49

landreform seluas 3.600 hektare, pembinaan 21.000 KK petani redistribusi, konsolidasi tanah pertanian beririgasi seluas 832 hektare, identifikasi dan penegasan tanah negara seluas 8.000 hektare, penyiapan konsolidasi tanah sebanyak 2.250 persil, pembinaan konsolidasi tanah sebanyak 750 persil, penerbitan Surat Keputusan (SK) hak atas tanah sebanyak 11.626 buah, penyelesaian SK hak atas tanah pertanian beririgasi seluas 19.137 hektare, penerbitan 97 SK Hak Guna Usaha (HGU), pembuatan peta dasar teknik sebanyak 9.974 bidang, pembuatan peta garis sebanyak 150.000 bidang, pemotretan udara/pemetaan fotogrametri sebanyak 157.000 hektare, dan penerbitan 67.091 sertifikat tanah melalui Proyek Operasi Nasional Pertanahan (Prona). Disamping itu di daerah transmigrasi juga telah dilaksanakan pengukuran dan pemetaan keliling batas seluas 130.732 hektare, pengukuran dan pemetaan kapling seluas 65.496 hektare, serta diterbitkan 49.207 sertifikat tanah, 21.130 SK Hak Pengelolaan, dan 48.208 SK Hak Pakai/Hak Milik (Tabel X-14).

Kegiatan penataan penggunaan tanah bertujuan untuk menyediakan informasi penggunaan tanah berupa data dan peta untuk berbagai kegiatan dalam perumusan kebijaksanaan, pembinaan, pengendalian penggunaan tanah, serta penetapan batas penggunaan tanah bagi perencanaan kegiatan pembangunan. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pemetaan dan pemutakhiran peta penggunaan tanah seluas 11.712.000 hektare, pemetaan kemampuan tanah seluas 4.512.000 hektare, pemetaan penggunaan tanah perkotaan di 42 kota kabupaten, pengendalian penggunaan tanah 101.000 hektare, inventarisasi sumber daya lahan di 17 propinsi, pemetaan penggunaan dan kemampuan tanah pertanian beririgasi seluas 192.000 hektare, pemetaan tanah khusus kawasan Puncak seluas 10.000 hektare, serta penyusunan rencana persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah di 17 dati II (Tabel X-14).

X/50

Kegiatan penyempurnaan kelembagaan dan pengembangan administrasi pertanahan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan kelembagaan pertanahan, baik yang ada di tingkat pusat maupun daerah, melalui penyempurnaan organisasi dan pelatihan bagi aparat pertanahan. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pelatihan dan peningkatan aparat pertanahan meliputi kursus dasar pertanahan untuk 82 orang, kursus administrasi pertanahan untuk 149 orang, kursus dasar pertanahan tingkat II untuk 80 orang, kursus pengukuran tanah untuk 30 petugas ukur, dan identifikasi masalah tanah di 10 propinsi (Tabel X-14).

2) Program Penunjang

Dalam rangka mendukung pelaksanaan program pokok dalam tahun 1994/95 dilaksanakan program penunjang sebagai berikut:

a) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Pertanahan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penataan pertanahan bagi aparat pemerintah dan pemahaman masyarakat mengenai masalah-masalah pertanahan serta ketentuan-ketentuan yang berlaku di bidang pertanahan. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan penyuluhan di 5 kabupaten, dan pembinaan terhadap 259 petugas penyuluh (Tabel X-14).

b) Program Penataan Ruang

Program ini bertujuan untuk mengembangkan mekanisme pengelolaan ruang yang menyerasikan berbagai kegiatan pemanfaatan air, tanah, dan sumber daya alam lainnya serta meningkatkan keterpaduan penyelenggaraan tata guna air, tata guna lahan dan hutan

X/51

yang akan mendukung penyelenggaraan kegiatan pertanahan. Dalam tahun 1994/95 antara lain Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pola pengelolaan Tata Guna Tanah yang merupakan salah satu dari Peraturan Pemerintah yang diperlukan dalam menindaklanjuti Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

c) Program Pengembangan Informasi Pertanahan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan penyediaan informasi pertanahan yang berkualitas dan andal. Program tersebut menyediakan data dasar dan informasi pertanahan yang akurat, lengkap, dan mutakhir untuk penataan pertanahan. Pada tahun 1994/95 antara lain telah dilakukan digitasi peta seluas 10.000 hektare (Tabel X-14).

d) Program Penerapan dan Pengembangan Hukum

Program ini bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum pertanahan dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa mendapatkan pengayoman dan perlindungan akan hak-haknya atas tanah. Pada tahun 1994/95 telah diselesaikan penelitian hukum adat pertanahan, penelitian pelaksanaan landreform perdesaan, penelitian Prona, penelitian pelaksanaan waskat pada kantor pertanahan, penelitian yurisprudensi pertanahan, dan penelitian kerangka dasar ilmu pertanahan di Indonesia, serta inventarisasi dan dokumentasi berbagai peraturan di bidang pertanahan (Tabel X-14).

X/52

X/53

TABEL X — 12PENYELESAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTAMADYADAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA1988/89, 1989/90 — 1993/94, 1994/95

No. Daerah Tingkat I/ Jumlah Akhir Repelita V Repelita VI Status sampai denganPropinsi Kotamadya Repelita IV

(1988/89) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 1994/95A B C D E

1. D.I. Aceh 2 — — — 1 1 — — — — — — 22. Sumatera Utara 6 6 — — — — — — — — — — 63. Sumatera Barat 6 5 — 1 1 — — — — — — — 64. Riau 2 1 — — — — — — — — — — 25. Jambi 1 1 — — — — — — — — — — 16. Sumatera Selatan 2 2 — — — — — — — — — — 27. Bengkulu 1 1 — — — — — — — — — — 18. Lampung 1 1 — — — — — — — — — — 19. DKI Jakarta 5 5 — — — — — — — — — — 5

10. Jawa Barat 5 4 — — — — 1 — — — — — 511. Jawa Tengah 6 6 1 1 — — — — — — — — 612. D.I. Yogyakarta 1 1 — — — — — — — — — — 113. Jawa Timur 8 8 — — — — — — — — — — 814. Kalimantan Barat 1 1 — — — — — — — — — — 115. Kalimantan Tengah 1 1 — — — — — — — — — — 116. Kalimantan Selatan 1 1 — — — — — — — — — — 117. Kalimantan Timur 2 2 — — — — — — — — — — 218. Sulawesi Utara 3 3 — — — — — — — — — — 319. Sulawesi Tengah 1 1 — — — — — — — — — — 120. Sulawesi Selatan 2 2 — — — — — — — — — — 221. Sulawesi Tenggara 0 — — — — — — — — — — — —22. Bali 1 1 — — — — — — — — — — 123. Nusa Tenggara Barat 1 — — 1 — — — — — — — — 124. Nusa Tenggara Timur 0 — — — — — — — — — — — —25. Maluku 1 1 — — — — — — — — — — 126. Irian Jaya 1 1 — — — — — — — — — — 127. Timor Timur 0 — — — — — — — — — — — —

Indonesia 61 55 1 3 2 1 1 0 0 0 0 0 61

Keterangan :A = Materi rencana tata ruang dalam penyempumaanB = Rancangan Perda siap diajukan ke DPRD Tk. IIC = Rancangan Perda sedang dibahas di DPRD Tk. IID = Telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda)E = Sudah disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

X/55

X/56