karyatulisilmiah.com · web viewappendicitis adalah peradangan pada organ appendix vermiformis atau...

47
Bab I Pendahuluan Appendicitis adalah peradangan pada organ appendix vermiformis atau yang dikenal juga sebagai usus buntu. Berdasarkan onsetnya, appendicitis dibagi menjadi beberapa macam, dari appendicitis akut hingga kronis. Appendicitis akut sendiri adalah salah satu penyebab keadaan bedah emergensi terbanyak, yang ditandai dengan gejala berupa nyeri perut pada ulu hati / epigastrium yang menjalar ke kuadran kanan bawah. Hingga saat ini penyebab keadaan akut abdomen di negara – negara (Negara berkembang dan negara maju) terbanyak adalah appendicitis akut ini. Peradangan pada appendix ini dapat ditemukan pada masyarakat dari berbagai usia, dan juga dari berbagai kalangan yang berbeda pula. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitisyang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6 – 10 tahun. Di Indonesia sendiri belum ada data pasti yang menyatakan jumlah insiden appendicitis, namun insiden terbanyak terjadi pada usia 10 – 30 tahun, dengan jumlah penderita pria lebih banyak daripada wanita. Walaupun appendicitis ini dapat ditemukan pada berbagai usia, namun angka komplikasi tertinggi ada pada penderita pada rentang usia muda (anak – anak) dan usia tua, di mana angka komplikasi berupa perforasi appendix diikuti dengan peritonitis generalisata cukup tinggi. Sejalan dengan waktu, insiden appendicitis ini terus meningkat, hal ini diduga berkaitan dengan pola makan yang

Upload: nguyennhi

Post on 10-Apr-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Bab I

Pendahuluan

Appendicitis adalah peradangan pada organ appendix vermiformis atau yang

dikenal juga sebagai usus buntu. Berdasarkan onsetnya, appendicitis dibagi menjadi

beberapa macam, dari appendicitis akut hingga kronis. Appendicitis akut sendiri adalah

salah satu penyebab keadaan bedah emergensi terbanyak, yang ditandai dengan gejala

berupa nyeri perut pada ulu hati / epigastrium yang menjalar ke kuadran kanan bawah.

Hingga saat ini penyebab keadaan akut abdomen di negara – negara (Negara

berkembang dan negara maju) terbanyak adalah appendicitis akut ini.

Peradangan pada appendix ini dapat ditemukan pada masyarakat dari berbagai

usia, dan juga dari berbagai kalangan yang berbeda pula. Terdapat sekitar 250.000 kasus

appendicitisyang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada

anak usia 6 – 10 tahun. Di Indonesia sendiri belum ada data pasti yang menyatakan

jumlah insiden appendicitis, namun insiden terbanyak terjadi pada usia 10 – 30 tahun,

dengan jumlah penderita pria lebih banyak daripada wanita. Walaupun appendicitis ini

dapat ditemukan pada berbagai usia, namun angka komplikasi tertinggi ada pada

penderita pada rentang usia muda (anak – anak) dan usia tua, di mana angka komplikasi

berupa perforasi appendix diikuti dengan peritonitis generalisata cukup tinggi.

Sejalan dengan waktu, insiden appendicitis ini terus meningkat, hal ini diduga

berkaitan dengan pola makan yang semakin rendah serat, di mana menyebabkan

terbentuknya faeses yang keras dan kemudian menyebabkan sumbatan pada lumen

appendix sehingga terjadi peradangan.

Terapi definitif dari appendicitis, baik akut maupun kronis adalah dengan

melakukan pengangkatan appendix yang meradang. Tindakan ini dilakukan secara

bedah, dan dapat dilakukan dengan beberapa metode, baik laparotomy, laparoscopy,

maupun dengan simple appendectomy (insisi pada McBurney) sesuai dengan

indikasinya. Appendicitis akut yang tidak ditangani dengan adekuat / definitif maka

akan dapat menyebabkan perforasi diikuti dengan peritonitis yang dapat menyebabkan

shock dan akhirnya bisa menyebabkan kematian. Namun dengan penanganan segera dan

cepat maka prognosis dari appendicitis adalah sangat baik.

Bab II

Tinjauan Pustaka

II.1 Anatomi Appendix

Appendix vermicularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang

lebih 6 – 10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen

yang sempit pada bagian proximal dan melebar pada bagian distal, kapasitas appendix

sendiri kurang lebih 0,1 ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan

bagian integral dari GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissue). Lokasi appendix

terbanyak berasal dari bagian posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction.

Appendix sendiri memiliki mesenterium yang mengelilinginya, yang disebut

mesoappendix, yang berasal dari bagian posterior mesenterium yang mengelilingi ileum

terminalis. Posisi terbanyak dari appendix sendiri adalah retrocaecal, namun demikian

ada variasi dari lokasi appendix ini.

65% dari posisi appendix terletak intraperitoneal sementara sisanya

retroperitoneal. Di sini variasi posisi appendix menentukan gejala yang akan muncul

saat terjadi peradangan. Beberapa variasi posisi appendix terhadap caecum adalah

sebagai berikut :

1. Retrocaecal (65%)

2. Pelvinal

3. Antecaecal

4. Preileal

5. Postileal

Gambar 1. Variasi Posisi Appendix

Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi appendix dapat ditemukan

dengan menelusuri ketiga taenia yang terdapat pada caecum (dan colon), yaitu taenia

colica, taenia libera, dan taenia omental.

Vaskularisasi appendix berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang dari

arteri mesenterika superior. Cabang arteri ileokolika ini disebut arteri appendicularis,

dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali ke vena

mesenterika superior. A. appendicularis ini tidak memiliki kolateral sehingga ketika

terjadi oklusi apapun penyebabnya, maka mudah terjadi iskemia dan gangren, hingga

akhirnya perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti

a. mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan persarafan simpatis berasal

dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar

umbilicus.

II.2 Fisiologi Appendix

Appendix menghasilkan lendir / mucus setiap harinya sejumlah 1 – 2 cc per hari,

di mana kelebihan dari mucus akan mengalir dari lumen ke caecum. Adanya obstruksi

pada jalur inilah yang menyebabkan terjadinya peradangan pada appendix.

Salah satu hal lain yang dilakukan appendix adalah menghasilkan

Immunoglobulin sekretoar, yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)

yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendix, yaitu IgA.

Immunoglobulin berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi. Namun demikian,

pengangkatan appendix tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan

limfoid disini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di

seluruh tubuh, sehingga hilangnya appendix tidak menimbulkan perubahan yang

bermakna.

II.3 Insiden & Epidemiologi Appendicitis

Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitisyang terjadi di Amerika Serikat

setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih

banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2.

Bangsa Kaukasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya.

Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas.

Insidensi Appendicitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara

berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun, sementara di

negara berkembang juga terus meningkat. Appendicitis dapat ditemukan pada semua

umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi

pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-

laki dan perempuan umumnya sebanding, dengan jumlah penderita pria lebih banyak

sedikit daripada wanita.

II.4 Etiologi Appendicitis

Penyebab appendicitis yang terutama adalah infeksi bakteri yang didahului

dengan obstruksi pada lumen appendix. Obstruksi ini menyebabkan stasis cairan dan

distensi dari appendix sehingga menyebabkan pendarahan terganggu akibat vena dan

arteri tertekan oleh distensi dan edema yang terjadi. Akibatnya terjadi stasis mucus dan

penurunan suplai darah appendix yang memudahkan terjadinya infeksi sekunder oleh

bakteri yang kemudian menyebabkan terjadinya peradangan appendix. Penyebab

obstruksi lumen appendix antara lain adalah :

Fecalith

Parasit

Benda – benda asing

Hiperplasia jaringan limfoid

Insidensi terjadinya appendicitis yang berhubungan dengan hyperplasia

jaringan limfoid biasanya disebabkan oleh reaksi limfatik baik lokal atau

general, misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat

invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,

Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi

virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus.

Tumor / Carcinoid tumor

Adalah neoplasma yang sering ditemui pada usus halus dan appendix,

bila carcinoid tumor ini mengobstruksi lumen appendix maka dapat terjadi

appendicitis juga.

Obstruksi dari hal – hal ini menyebabkan terjadinya stasis dan penimbunan

mukus pada lumen appendix yang kemudian menyebabkan gejala – gejala, di mana

biasanya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, bakteri yang sering dapat ditemukan

antara lain adalah :

Tabel 1. Bakteri yang diisolasi / sering ditemui pada appendicitis

Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob

Escherichia coli

Viridans streptococci

Pseudomonas aeruginosa

Enterococcus

Bacteroides fragilis

Peptostreptococcus micros

Bilophila species

Lactobacillus species

Jadi etiologi terbanyak dari appendicitis adalah obstruksi, namun bukan tidak

mungkin terjadi proses inflamasi yang tidak melibatkan obstruksi lumen terlebih dahulu,

hal in dapat terjadi jika memang ada penyebaran infeksi langsung ke appendix misalnya,

baik virus maupun bakteri.

II.5 Patofisiologi & Patogenesis Appendicitis

Pada dasarnya, obstruksi yang terjadi pada lumen appendix (apapun

penyebabnya) akan menyebabkan terjadinya distensi appendix, hal ini karena kapasitas

appendix untuk menampung mucus hanya sekitar 0.1 – 0.2 ml, sementara sekresi mucus

perharinya mencapai 1 – 2 ml. Hal ini menyebabkan distensi lumen yang diikuti dengan

penekanan pada drainase limfe dan akhirnya terjadi stasis cairan pada appendix,

biasanya akan terbentuk edema juga. Hal ini yang disebut sebagai appendicitis akut

fokal, di sini distensi dari appendix menyebabkan adanya respon nyeri visceral yang

tidak spesifik, sehingga biasanya gejala yang dialami pasien adalah nyeri epigastrium

yang sulit untuk dideskripsikan dan dilokalisasi.

Distensi yang terus terjadi akan menyebabkan tekanan intra-lumen terus

meningkat, hal ini akan diikuti dengan penekanan terhadap sistem vena appendicular

sehingga drainase vena terganggu, akibatnya terjadi translokasi dan proliferasi bakteri

pada appendix, edema yang sudah terbentuk juga mempermudah terjadinya proses

infeksi, akibatnya terjadilah infeksi dan inflamasi pada appendix, inflamasi pada

appendix ini akan menyebabkan gejala nyeri perut pada kuadran kanan bawah saat

inflamasinya meluas dan mengenai peritoneum setempat. Tahap ini disebut sebagai

appendicitis akut supuratif.

Ketika obstruksi lumen terus berlanjut, maka tekanan intra lumen juga akan terus

meningkat, hal ini menyebabkan tidak hanya obstruksi vena yang terjadi akibat

penekanan, namun juga menyebabkan obstruksi arteri appendicular karena edema dan

tekana intra lumen yang terus meningkat mendesak dan menekan sistem arteri. Karena

sistem arteri yang mendarahi appendix tidak memiliki sistem kolateral, maka akan

terjadi iskemia jaringan, yang bila berlanjut akan menyebabkan terjadinya nekrosis

jaringan dan gangren, hal ini dikenal sebagai appendicitis gangrenous, di mana

appendix yang sudah dalam keadaan seperti ini sangat mudah mengalami perforasi yang

dapat menyebabkan perluasan infeksi ke peritoneum (akibatnya terjadilah peritonitis).

Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses

peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup appendix dengan omentum, dan usus

halus, sehingga terbentuk massa periappendikuler yang dikenal dengan istilah

appendicitis infiltrat. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang

dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan

sembuh dan massa periappendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan

mengurai diri secara lambat. Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek,

appendix yang lebih panjang, dan dinding appendix yang lebih tipis, serta daya tahan

tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,

perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.

Gambar 2. Angka Perforasi Appendicitis berdasarkan Usia

Appendix yang pernah mengalami inflamasi tidak akan sembuh dengan

sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya

perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Perlekatan tersebut dapat kembali menimbulkan

keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami

peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. Keadaan di mana

appendix telah mengalami fibrosis dan pembentukan jaringan parut ini disebut sebagai

appendicitis kronis, di mana biasanya hal ini ditandai dengan nyeri kanan bawah yang

hilang timbul, dan riwayat nyeri pertama kali yang tidak ditangani dengan terapi bedah,

di mana nyerinya kemudian berkurang dan menjadi hilang timbul. Pada pemeriksaan

USG juga akan nampak appendix yang mengalami penebalan dan fibrosis.

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Appendicitis

II.6 Gejala & Manifestasi Klinis Appendicitis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik appendicitis adalah nyeri

samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium, di sekitar umbilikus atau periumbilikus.

Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual dan muntah, dan pada umumnya nafsu

makan menurun / anorexia. Kemudian dalam beberapa jam (4 – 6 jam), nyeri akan

beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik McBurney (Migratory pain). Di titik ini nyeri

terasa lebih tajam dan jelas  letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

Terkadang appendicitis juga disertai dengan low-grade fever sekitar 37,5 -38,5 0C.

Biasanya urutan gejala juga berpengaruh, di mana pada 95% kasus urutannya adalah

sebagai berikut : Anorexia ==> Abd. pain ==> Vomiting / muntah, walaupun

demikian urutan gejala ini bukanlah patokan untuk penegakan diagnosa.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat

dari appendicitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak appendix ketika

meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.

1. Bila letak appendix retrocaecal – retroperitoneal, yaitu di belakang caecum

(terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan

tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau

nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam,

batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor

yang menegang dari dorsal.

2. Bila appendix terletak di rongga pelvis :

Bila appendix terletak di dekat  atau menempel pada rektum, akan timbul

gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,

pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

Bila appendix terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat

terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala appendicitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan

diagnosis, dan akibatnya appendicitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga

biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana

gejala appendicitis tidak jelas dan tidak khas :

Anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak

tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- 

muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini,  sering

appendicitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % appendicitis baru

diketahui setelah terjadi perforasi.

Orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh

penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

Wanita

Gejala appendicitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya

serupa dengan appendicitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi),

radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia

kehamilan trimester, gejala appendicitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah,

dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan

pada kehamilan lanjut, sekum dan appendix terdorong ke kraniolateral, sehingga

keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih  ke regio lumbal kanan.

Gambar 4. Perubahan Posisi Appendix pada Wanita Hamil

Tabel 2. Gejala Appendicitis Akut

Gejala Appendicitis AkutFrekuensi

(%)

Nyeri perut 100

Anorexia 100

Mual 90

Muntah 75

Nyeri berpindah 50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah

kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu

50

tinggi)

*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

II.7 Penegakan Diagnosa Appendicitis

II.7.1 Anamnesis

Urutan kejadian gejala mempunyai kemaknaan diagnosis banding

yang besar, lebih dari 95% apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala

pertama, diikuti oleh nyeri

abdominal dan baru diikuti oleh vomitus.

a) Nyeri/Sakit perut

Keluhan utama pada pasien apendistis akut ialah nyeri

perut. Gambaran klinisnya yang umum ialah nyeri perut dibagian

tengah yang seiring waktu berpindah ke daerah fosa iliaka kanan.

Gambaran klasik ini pertama kali dideskripsikan oleh Murphy

namun hanya terjadi pada setengah kasus apendistis akut. 4

Khasnya, nyeri awalnya muncul disekitar umbilikus dan semakin

lama semakin meningkat intensitasnya selama 24 jam pertama.

Nyeri kemudian berpindah dan menetap di fosa iliaka kanan.

Nyeri yang pertama kali dirasakan pasien merupakan nyeri

alih akibat inervasi visceral dari usus tengah (midgut). Nyeri ini

terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan

terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral

dirasakan pada seluruh perut (tidak pin-point). Selain itu nyeri

juga timbul oleh karena kontraksi apendiks, distensi dari lumen

apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami

peradangan. Nyeri visceral ini merupakan nyeri yang sifatnya

hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus

dengan sifat nyeri ringan sampai berat.

Nyeri yang terlokalisir kemudian disebabkan oleh

peradangan (>6 jam) dan iritasi langsung peritoneum parietalis

akibat proses peradangan lebih lanjut. Biasanya penderita dapat

menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik. Nyeri ini

memiliki sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan

lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.1,4

b) Mual dan muntah

Muntah terjadi akibat rangsangan terhadap nervus vagus.

Anoreksia, nausea, dan vomitus biasanya muncul beberapa jam

setelah nyeri abdomen. Anoreksia hampir selalu dijumpai pada

pasien dengan apendisitis akut sehingga sangat penting ditanyakan

pada anamnesis. Meskipun demikian ketiadaan anoreksia tidak

menyingkirkan diagnosis apendisitis. Hampir 75% penderita

disertai dengan muntah, namun jarang berlanjut menjadi berat dan

kebanyakan muntah hanya sekali atau dua kali. Muntah yang berat

mungkin menandakan onset awal peritonitis generalisata akibat

perforasi apendiks. Sebaliknya muntah jarang dijumpai pada

apendiks nonperforasi.4

c) Obstipasi

Obstipasi biasanya terjadi karena penderita takut mengejan.

Keluhan obstipasi biasanya muncul sebelum rasa nyeri dan

beberapa penderita sebaliknya dapat mengalami diare. Diare

biasanya timbul pada letak apendiks pelvikal yang merangsang

daerah rektum.

d) Demam (infeksi akut)

Keluhan demam biasanya muncul apabila appendicitis

disertai komplikasi. Gejalanya adalah demam yang tidak terlalu

tinggi, yaitu suhu antara 37,5-38,50C. Demam tinggi biasanya

dijumpai pada kasus apendisitis yang diduga telah terjadi perforasi

Tabel 3. Gejala Appendicitis Akut.6

Umumnya posisi anatomis apendiks dan manifestasi klinis akibat

peradangannya

ialah sebagai berikut:6

1. Retrocaecum atau retrokolik (75%): Pada posisi ini sering ditandai

dengan nyeri inguinal kanan disertai dengan nyeri tekan saat

dilakukan palpasi. Rigiditas muskuler dan nyeri tekan saat

dilakukan palpasi dalam sering tidak dijumpai oleh karena

apendiks terlindungi oleh sekum. Otot psoas seringkali mengalami

iritasi akibat proses peradangan apendiks didekatnya dan

mengakibatkan fleksi pinggul dan nyeri yang bertambah hebat saat

dilakukan ekstensi pinggul. Tanda ini dikenal sebagai psoas

stretch sign.

2. Subcaecum dan pelvis (20%): Gejala klinis yang menonjol pada

posisi ini ialah nyeri suprapubik dan urinary frequency. Diare

dapat timbul oleh karena iritasi pada rectum. Nyeri tekan abdomen

mungkin jarang ditemukan namun nyeri tekan disebelah kanan

pada pemeriksaan colok dubur dan colok vagina mungkin dapat

dijumpai. Pada pemeriksaan urin lengkap mungkin dapat dijumpai

hematuria mikroskopik dan leukosituria.

3. Preileal dan post ileal (5%): Pada posisi ini gejala dan tanda yang

muncul dapat sangat minimal. Biasanya muntah lebih menonjol

dan diare dapat muncul akibat iritasi ileum distal.

Untuk apendisitis akut yang telah mengalami komplikasi, seperti

perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti

dibawah ini:1

a) Perforasi : Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa

nyeri bertambah dasyat dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi

(rata-rata 38,30C). Jumlah lekosit yang meninggi merupakan tanda

khas kemungkinan sudah terjadi perforasi.

b) Peritonitis : Peritonitis lokal merupakan akibat dari

mikroperforasi dari apendisitis yang telah mengalami gangren.

Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut

daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri,

defans muskuler yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus

paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam

makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan

peritonitis yang makin berat.

c) Abses/infiltrat : Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba

masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas

karena perforasi terjadilah “walling off” (pembentukan dinding)

oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga teraba massa

(infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-

mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga

yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan

abses ini. Untuk masa atau infiltrat ini, beberapa ahli

menganjurkan antibiotik dulu, setelah 6 minggu kemudian

dilakukan apendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran

infeksi.

Selain posisi apendiks, gambaran klinis apendistis akut juga

dipengaruhi oleh umur pasien dan keadaan fisiologis tertentu

seprti kehamilan.4 Meskipun jarang terjadi pada anak-anak,

apendistis akut dapat menimbulkan kesulitan diagnosis pada

pasien dengan usia muda. Anak-anak terutama bayi biasanya

tidak mampu mengungkapkan keluhan yang dialaminya. Selain

itu, gejala dan tanda yang muncul juga tidak bersifat spesifik.

Oleh karena itu, diagnosis apendistis akut sering terlambat atau

bahkan sama sekali tidak dapat ditegakkan sehingga memberikan

kontribusi terhadap laju perforasi yang cukup tinggi yaitu sebesar

50% pada kelompok umur ini.6

Pasien appendicitis akut berusia lanjut memiliki laju

mortalitas paling tinggi. Pada pasien ini sering kali gejala dan

tanda apendistis akut tidak khas, berkurang, atau tidak muncul

sama sekali. Sebagai tambahan, pasien lanjut usia biasanya

keadaan umumnya agak jelek dan sering disertai dengan kondisi

komorbid lain seperti penyakit jantung, diabetes, dan ginjal.

Kombinasi kedua faktor ini memberikan kontribusi terhadap laju

mortalitas yang tinggi hingga lebih dari 5% pada kelompok usia

lanjut.1,6

Kondisi lain yang perlu mendapatkan perhatian lebih ialah

pasien apendistis akut dengan kehamilan. Pada kehamilan, posisi

apendiks mulai bergeser pada bulan keempat sampai kelima

kehamilan. Gejala-gejala yang menyertai kehamilan sering

menyerupai gejala apendisitis. Selain itu leukositosis yang sering

terjadi pada kehamilan menyebabkan pemeriksaan hitung WBC

dalam diagnosis apendistis akut menjadi kurang bermanfaat.

Meskipun laju mortalitas pada ibu cukup rendah, laju mortalitas

pada bayi yang dikandung mencapai 2-8,5% dan meningkat

menjadi 35% jika terjadi perforasi disertai peritonitis

generalisata.6

II.7.2 Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu

lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa ditemui perbedaan suhu aksila

dan rectal >= 1oC. 1

Inspeksi

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk

dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut

tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada

penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah

bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler yang besar.

Palpasi

Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan

palpasi pada pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah :1,4,6

Nyeri tekan Mc.Burney : Pada palpasi didapatkan titik nyeri

tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini

merupakan tanda kunci diagnosis.

Nyeri lepas : Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa

nyeri yang terjadi akibat rangsangan pada peritoneum.

Defans muskuler : Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh

lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan

peritoneum parietalis. Rangsangan ini kemudian menyebabkan

rangsangan pada muskulus rektus abdominis sehinggga otot ini

mengalami kontraksi.

Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan

nyeri sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut

menyebabkan organ dalam terdorong kearah kanan dan

memberikan tekanan pada apendiks yang meradang.

Blumberg Sign : nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri

dilepaskan.

Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk.

Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul

pertama kali di regio epigastrium atau di sekitar lambung,

kemudian menjalar berpindah ke regio iliaka dextra.

Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada apendiks yang

terletak retrosekal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan

m. psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks. Ada 2 cara

memeriksa :

Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan

pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxaekanan

dan nyeri dirasakan di perut kanan bawah.

Pasif : Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri

kemudian pemeriksa melakukan ekstensi pasif paha kanan

sambil menahan pinggul kanan penderita (tanda bintang).

Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi

bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah

dalam, terjadi karena peradangan appendiksmenyentuh

m.Obturator Internus yang merupakan dinding panggul kecil. Hal

tersebut menunjukkan bahwa apendiks terletak pada rongga

pelvis.

Auskultasi

Peristaltik biasanya normal, peristaltik yang menghilang akan

ditemukan pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat

perforasi apendiks. Auskultasi tidak banyak membantu dalam

menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis

maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.

Pemeriksaan Colok Dubur / Rectal Touche

Pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis, untuk menentukan

letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan

pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang

meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci

diagnosis pada appendicitis pelvika. 1,3

II.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP).

Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 –

20.000/ml ( leukositosis ) dan neutrofil diatas 75 %, sedangkan pada CRP

ditemukan jumlah CRP pada serum yang meningkat.

Pemeriksaan urin bisa dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit

dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam

menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal

yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.

Pemeriksaan Radiologi

Terdiri dari pemeriksaan radiologis, ultrasonografi dan CT-scan.

Abdominal X-Ray :

Pada appendicitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen

tidak banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada

abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi

apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.1,5 Kalau

peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada

bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa,

keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah

abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan

terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka

kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis

ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut. 1

Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak

akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang

udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.

Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan

kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak

merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak

cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang,

pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi

mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan

udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi. 1 Foto

polos abdomen supine pada abses apendiks kadang-kadang

memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi

berdiri/LLD, kalsifikasi bercak rim – like (melingkar) sekitar

perifer mukokel yang asalnya dari apendiks.

Ultrasonography :

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat

dilakukan pemeriksaan USG. Pada kasus appendicitis akut akan

nampak adanya :

1. Adanya struktur yang aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar

caecum.

2. Dinding apendiks nampak jelas, dapat dibedakan.

3. Diameter luar appendix lebih dari 6 mm.

4. Adanya gambaran “target”

5. Adanya appendicolith / fecalith.

6. Adanya timbunan cairan periappendicular

7. Tampak lemak pericaecal echogenic prominent.

Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan

distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan

atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai

dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas

intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel. 1,5

Pada wanita, USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis

banding seperti kehamilan ektopik, adneksitis, dan sebagainya.

CT – Scan :

Diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan

dinding appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement

gambaran dinding appendix. CT scan juga dapat menampakkan

gambaran perubahan inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya

inflammatory fat stranding, phlegmon, free fluid, free air bubbles,

abscess, dan adenopathy. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi yaitu 90 – 100% dan 96 – 97%, serta akurasi 94 –

100%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses

atau flegmon

Tabel 4. Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut:

Ultrasonografi CT-Scan

Sensitivitas 85% 90 – 100%

Spesifisitas 92% 95  -  97%

Akurasi 90 – 94% 94 – 100%

Keuntungan Aman Lebih akurat

relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan flegmon

lebih baik

Dapat mendignosis kelainan lain

pada wanita

Mengidentifikasi apendiks normal

lebih baik

Baik untuk anak-anak

Kerugian Tergantung operator Mahal

Sulit secara tehnik Radiasi ion

Nyeri Kontras

Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah

Gambar 5. Algoritma Diagnostik Appendicitis

Histopatologi Appendicitis Akut

Pemeriksaan histopatologi adalah salah satu standar emas (gold

standard) untuk diagnosis appendicitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat

mengenai gambaran histopatologi appendicitis akut. Perbedaan ini didasarkan

pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi

appendicitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi

apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber et al, pernah

meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut.

Tabel 5. Definisi histopatologi appendicitis akut:

1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.

2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.

3 Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.

4 Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,

dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.

5 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan

keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Apendisitis acuta dibuat skor Alvarado

dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya

dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap

jaringan Apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu:

radang akut dan bukan radang akut.

Tabel 6. Alvarado Score untuk membantu menegakkan diagnosis

ManifestasiSko

r

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Laboratoriu

mLeukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Keterangan:

0-4 : bukan appendicitis

5-6 : kemungkinan kecil

7-8 : kemungkinan besar appendicitis

9-10 : hampir pasti appendicitis

Penanganan berdasarkan skor Alvarado :

1 – 4 : observasi

5 – 6 : antibiotik/ diobservasi di rumah sakit

7 – 10 : operasi dini

II.8 Diagnosa Banding Appendicitis

Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis karena

penyakitlain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan appendisitis,

diantaranya:

- Gastroenteritis :

Ditandai dengan mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakitperut lebih

ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang

menonjol dibandingkan dengan appendisitis akut

- Limfadenitis mesenterika :

Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri

perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan perut.

- Demam dengue :

Dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil

positif untuk rumple leed, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat

- Pelvic Inflammatory Disease seperti salpingitis akut kanan sulit dibedakan

dengan appendicitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan

nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya

diserai keputihan dan infeksi urin.

- Gangguan alat reproduksi perempuan :

Folikel de Graaf yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada

pertengahan siklis menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang

dalam waktu 24 jam.

- Kehamilan ektopik :

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yangtidak jelas seperti

ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan

menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.

- Divertikulitis Meckel :

Gambaran klinisnya hampir sama dengan appendicitis akut dan sering

dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendicitis akut

sehinggadiperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.

- Ulkus peptikum perforasi

Sangat mirip dengan appendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke

daerah usus bagian kanan sekum, karena dapat menyebabkan inflamasi appendix

juga.

- Ureterolithiasis :

Jika diperkirakan berada dekat appendiks dapat menyerupai appendicitis

retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, dengan hematuria dan

demam atau leukositosis.

Gambar 6. Berbagai Penyebab Nyeri RLQ

II.9 Penatalaksanaan Appendicitis

Cito  : akut, abses & perforasi 

Elektif  : kronik  

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi.

Penundaan  apendektomi  sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses

atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.

Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Perjalanan patologis

penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh omentum dan gulungan

usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun  atas  campuran

membingungkan  bangunan-bangunan  ini  dan  jaringan granulasi, dan biasanya dapat

segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks  tidak  dapat  diatasi oleh

mekanisme tubuh, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi

segera menjadi abses yang jelas batasnya.

Urut-urutan patologis ini merupakan masalah, jika penderita ditemui lewat sekitar 48

jam, saat dilakukan operasi untuk membuang apendiks, sudah terbentuk suatu massa

dengan perlekatan yang memiliki banyak vaskularisasi, sehingga membuat operasi

pembuangan appendiks menjadi berbahaya karena struktur appendiks menjadi tidak

jelas dan resiko perdarahan bertambah. Maka pada kasus seperti ini, harus menunggu

sampai terjadi pembentukan abses yang dapat didrainase.

Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi

yang ditutupatau dibungkus oleh omentum dan lekuk usus halus. Pada massa

periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus

keseluruh rongga peritoneum jika terjadi perforasi. Oleh karena itu,massa

periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit

tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam

waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang

dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik

sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada

demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan

apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat

perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses

apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi  nadi,  bertambahnya

nyeri,  dan  teraba  pembengkakan,  massa,  serta bertambahnya angka leukosit.

Apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan

pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses

apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-

baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada

apendisitis sederhana tanpa perforasi.

Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras melakukan tindakan pembedahan,

tindakan bedah akan lebih sulit dan resiko perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila

massa apendiks  telah  terbentuk  lebih  dari  satu  minggu  sejak  serangan  sakit  perut.

Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa

peritonitis umum.

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,

wanita hamil,  dan  penderita  usia  lanjut,  jika  secara  konservatif  tidak  membaik

atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.

Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi

ditutup  lagi,  apendiks  dibiarkan  saja.

Indikasi Operasi

  Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan

yang mendukung, hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi operasi (apendektomi),

kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti halnya pada keadaan dimana masa akut telah

dilewati namun muncul komplikasi dengan terbentuknya abses. Pada beberapa kasus

dapat digunakanantibiotic sebagai terapi tunggal untuk mengurangi massa abses

tersebut. Bila  massa absestelah terbentuk di ekitar apendiks maka basis dari sekum akan

sulit untuk ditemukan, selain itu tindakan operatif secara aman akan sulit untuk

dikerjakan. 

Persiapan pre-operasi

  Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendisitis sudah

dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan harus

dipantau dengan ketat menggunakan indicator klinis seperti nadi, tekanan darah, dan

jumlah pengeluaran urine. Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan

cephalosporine generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotic

spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob

(bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotic bukan

untuk memberantas appendicitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai dengan

komplikasi, antibiotic umumnya diberikan untuk mengurangi insidens infeksi dari luka

dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi terhadap kemungkinan

terjadinya bakteremia.Pada kasus-kasus dimana telah terjadi komplikasi berupa

pembentukan abses maupun bakteremia, maka pemberian antibiotic ditujukan untuk

mengobati komplikasi tersebut. Terdapat beragam pendapat tentang pemberian

antibiotic profilaksis, namun terdapat konsensus bahwa:

1. Pemberian cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi komplikasi yang

dapat timbul oleh karena luka pada kasus non-komplikata

2. Waktu yang tepat dalam memberikan antibiotic adalah sesaat sebelum

pembedahan atau pada saat pembedahan dilakukan agar tercapai kadar yang

optimal pada saat akan dilakukan insisi.

3. Pada kasus non-komplikata, pemberian antibiotic cukup dengan dosis

tunggal.Penambahan dosis setelah operasi tidak berguna dalam menurunkan

resiko infeksi lebih lanjut

Pertimbangan Operatif 

  Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui pendekatan

secaratra disional (terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi. Terdapat berbagai

penelitian yang membandingkan antara pendekatan secara terbuka maupun dengan

laparoskopi. Berdasarkan informasi terkini dapat disimpulkan bahwa pada kasus

apendisitis tanpa disertai komplikasi, pendekatan secara laparoskopik dapat mengurangi

nyeri, kebutuhan untuk dirawat dan juga menurunkan insidens infeksi pada luka setelah

operasi. Pasien juga dapat kembali bekerja lebih awal. 

Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan

gambaran inflamasi. Hal penting yang harus diingat adalah untuk melakukan disseksi

apendiks sampai ke basis, yaitu pada pertemuan taenia di dinding sekum. Kegagalan

dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nya dapat mengingkatkan resiko

terjadinya appendicitis rekuren.

Mengingat bahwa terdapat beberapa laporan terjadinya appendicitis rekuren,

maka penting untuk tetap berwaspada terhadap  kemungkinan munculnya appendicitis

rekuren meski terdapat riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata.

Apabila diseksi secara aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun

pembentukan abses, sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam kavum

peritoneum. Tindakan ini bermanfaatuntuk mengalirkan materi fekal maupun pus

keluar sehingga mencegah tertimbunnya materi-materi tersebut kedalam kavum

peritoneum.

II.10 Appendectomy sebagai Penanganan Definitif Appendicitis

Untuk mencapai apendiks ada tiga cara yang secara operatif mempunyai

keuntungan dan kerugian, yaitu :

a. Insisi menurut Mc Burney ( grid iron incision / muscle splitting incision).

Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan

spinailiaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga

lateral (titik McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-

otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu

akan tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan)

yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari

ukurannya yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih,mempunyai haustrae

dan teania coli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai

haustrae atau taenia coli. Basis apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia

coli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak

terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum

pada alat-alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa

penyembuhannya lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas,

sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas

dengan memotong secara tajam.

b. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision)

Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatannya langsung

menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai

tampak peritoneum. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah

diperluas, sederhana, dan mudah.Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang

harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan

pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca

bedah lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi, dan

masa penyembuhan lebih lama.

c. Insisi pararektal

Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m.rektus abdominis dekstra

secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10cm. Keuntungannya, teknik

ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu

sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya, sayatan ini

tidak langsung mengarah ke apendiksatau sekum, kemungkinan memotong saraf

dan pembuluh darah lebih besar, dan untuk menutup luka operasi diperlukan

jahitan penunjang.

Setelah peritoneum dibuka dengan retractor, maka basis apendiks dapat

dicari pada pertemuan tiga taenia koli. Untuk membebaskannya dari

mesoapendiks ada dua cara yangdapat dipakai sesuai dengan situasi dan kondisi,

yaitu :

1. Apendektomi secara biasa, bila kita mulai dari apeks ke basis apendiks

untuk memotong mesoapendiks. Ini dilakukan pada apendiks yang

tergantung bebas padasekum atau bila puncak apendiks mudah

ditemukan.

2. Apendektomi secara retrograde, bila kita memotong mesoapendiks dari

basis ke arahpuncak. Ini dilakukan pada apendiks yang letaknya sulit,

misalnya retrosekal, atau puncaknya sukar dicapai karena tersembunyi,

misalnya karena terjadi perlengketan dengan sekitarnya.

 Teknik Apendektomi Mc Burney :

1. Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian

dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada perut kanan bawah

2. Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan otot-otot

dindingperut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya, berturut-turut m

rektus abdominis eksternus, m. abdominis internus, m transversus abdominis,

sampai akhirnya tampak peritoneum. 

 

3. Peritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi.

4. Sekum beserta apendiks diluksasi keluar.

5. Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari puncak

ke arah basis.

6. Semua perdarahan dirawat.

7. Disiapkan tabakzaaknad mengelilingi basis apendiks, basis apendiks kemudian

dijahit dengan catgut.

8. Dilakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut.

9. Ujung  apendiks dioleskan betadin.

10. Jahitan tabazaaknad disimpulkan dan Mesoapendiks diikat.

11. Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat di dalamnya,

semua perdarahan dirawat.

12. Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.

13. Peritoneum ini dijahit jelujur dengan chromic catgut dan otot-otot dikembalikan

14. Dinding perut ditutup/dijahit lapis demi lapis.

15. Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril

Gambar 7. Appendectomy secara Singkat

II.11 Pasca Operasi & Komplikasi Appendicitis

Kasus-kasus appendicitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan

makan segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-48 jam.

Pemberianantibiotik dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca operasi tidak rutin

dikerjakan padapasien apendisitis tanpa komplikasi. Pada kasus-kasus yang disertai

dengan peritonitis,pemberian antibiotic diberikan hingga 5-7 hari setelah operasi.  

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi

bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off  sehingga

berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, caecum dan lekuk usus halus.

Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini

tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan

mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi

aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.Tanda-tanda perforasi meliputi

meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda

peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis

semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah

terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakandengan pasti.

Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi

untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring

dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan

dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan

dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi

anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.

Bila terbentuk abses apendik, maka akan teraba massa di kuadran kanan bawah

yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan

kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau klindamisin). Dengan

sediaan ini absesakan segera menghilang, dan apendektomi dapat dilakukan 6-12

minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase.

Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasi positif

juga perlu dilakukan drainase.

Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan

komplikasiyang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis,

menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini

diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis

intra abdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.

Gambar 8. Algoritma Tata Laksana Appendicitis dengan Komplikasi

II.12 Antibiotik sebagai Pelengkap Terapi Definitif untuk Appendicitis

Tatalaksana tradisional radang usus buntu akut telah memunculkan manajemen

operasi. Pendekatan ini didasarkan pada teori bahwa, dari waktu ke waktu, appendicitis

sederhana akan berlanjut menjadi perforasi, sehingga peningkatan morbiditas dan

mortalitas. Data terakhir menunjukkan bahwa usus buntu akut dan radang usus buntu

akut dengan perforasi mungkin penyakit yang berbeda dengan patofisiologi yang

berbeda jauh. Serangkaian waktu analisis dilakukan pada satu set data 25 tahun tidak

ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara tingkat appendektomi

negatif dan perforasi.7 Sebuah studi analisis waktu untuk operasi dan perforasi

menunjukkan bahwa risiko pecah minimal dalam waktu 36 jam onset gejala. Melewati

titik ini, ada sekitar risiko 5% dari pecah dalam setiap periode 12-jam berikutnya.

Namun, pada banyak pasien penyakit ini berjalan lambat. Dalam sebuah penelitian, 10

dari 18 pasien yang tidak menjalani operasi ≥ 6 hari setelah gejala dimulai tidak

mengalami ruptur.8 Pelaut yang terkena usus buntu ketika ditempatkan di kapal selam

tidak memiliki akses untuk meminta perawatan bedah. Mereka berhasil diobati dengan

antibiotik dan cairan dari hari ke minggu setelah serangan awal sampai kapal dapat

mencapai permukaan dan mereka dapat dipindahkan ke rumah sakit untuk perawatan.

Sebuah penelitian secara acak membandingkan pengobatan antibiotik dengan

apendektomi segera. Dua ratus lima puluh dua orang berusia 18-50 tahun dengan

diagnosis presumptif radang usus buntu yang terdaftar dalam penelitian ini antara Maret

1996 dan Juni 1999. Pasien yang dipilih secara acak untuk terapi antibiotik, jika gejala

tidak membaik dalam 24 jam pertama, akan dilakukan apendektomi. Peserta dievaluasi

setelah 1 minggu, 6 minggu, dan 1 tahun. Usus buntu akut ditemukan pada 97% dari

124 pasien secara acak yang direncanakan operasi. Enam pasien (5%) memiliki

apendiks yang sudah perforasi. Tingkat kesulitan pada kelompok bedah adalah 14% (17

dari 124). Dari 128 pasien yang terdaftar dalam kelompok antibiotik, 15 pasien (12%)

menjalani operasi dalam 24 jam pertama karena kurangnya perbaikan gejala dan

peritonitis lokal tampak jelas. Pada operasi tujuh pasien (5%) memiliki perforasi.

Tingkat kekambuhan dalam waktu 1 tahun adalah 15% (16 pasien) pada kelompok yang

diobati dengan antibiotik. Dalam lima pasien usus buntu yang perforasi ditemukan saat

operasi.9