isi - appendicitis
DESCRIPTION
refrat apendisitisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermiformis,
dan merupakan penyebab yang paling sering pada abdomen akut. Appendiks
disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan
digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu
sebenarnya adalah caecum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa
fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali
menimbulkan masalah kesehatan.
Appendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun
perempuan. Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.
Insidensinya meningkat pada pubertas dan mencapai puncaknya pada usia remaja
dan pada usia 20 tahun. Insiden terbanyak appendisitis akut berada pada
kelompok usia 20-40 tahun. Namun angka kejadian perforasi dari kasus
apendisitis justru lebih sering terjadi pada kelompok usia <12 tahun dan >65
tahun. Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis. Keadaan ini menghasilkan angka appendiktomi
negatif sebesar 20 % dan angka perforasi sebesar 20-30 %.
Di Amerika Serikat terjadi penurunan jumlah kasus appendisitis dari 100
kasus menjadi 52 kasus setiap 100.000 penduduk dari tahun 1985 - 2001. Keadaan
ini menambah komplikasi pascaoperasi, seperti adhesi, konsekuensi beban sosial-
ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan produktivitas. Berdasarkan US
Census Bureau, International Data Base tahun 2004, di benua Asia negara Cina
dan India masih menempati urutan pertama dan kedua insidensi terbanyak kasus
appendisitis akut, sedangkan Indonesia menempati urutan ketiga. Insiden
appendisitis akut di Indonesia masih sangat tinggi. Pada tahun 2004 terdapat
596.132 insiden dari 283.452.952 populasi masyarakat Indonesia.
Tingkat akurasi diagnosis appendisitis akut berkisar 76 - 92 %. Pemakaian
laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning (CT-scan),
merupakan upaya untuk meningkatkan akurasi diagnosis appendisitis akut
1
maupun kronis. Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar masih banyak
digunakan dalam diagnosis penunjang appendisitis akut. Jumlah sel leukosit, dan
hitung jenis neutrofil (differential count) adalah penanda yang sensitif bagi proses
inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah untuk Rumah Sakit di
daerah.
Tidak ada gejala dan tanda maupun tes diagnostik tunggal yang dapat
mengkonfirmasi diagnosis appendisitis secara akurat pada semua kasus. Telah
banyak upaya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat, salah
satunya adalah dengan skor Alvarado. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat
sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan
laboratorium. Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak
adalah klasifikasi klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan gejala klinis dan temuan durante operasi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Appendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis. karena
tersumbatnya lumen oleh fecalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan
cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi
membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba
histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis. Appendisitis akut
merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk
mencegah komplikasi yang lebih buruk. Jika telah terjadi perforasi, maka
komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, abses, dan komplikasi
pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi.
Gambar 1. Appendisitis
2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI
Saluran pencernaan pada dasarnya adalah suatu saluran (tabung) dengan
panjang sekitar 30 kaki yang berjalan melalui mulut sampai ke anus. Saluran
pencernaan mencakup organ-organ berikut dari mulut, faring, esophagus,
lambung, usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum), usus besar (caecum,
apendiks, kolon dan rectum) dan anus.
3
Gambar 2. Anatomi appendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit pada ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu
dibelakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon
asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikut arteri mesenterika
superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami ganggren.
4
Gambar 3. Vaskularisasi appendiks
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan
serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang
merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke
ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari
jaringan ikat longgar dan jaringan elastis membentuk jaringan saraf, pembuluh
darah dan limfe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat limfonodi. Mukosa
terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut
crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan caecum (inner
circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan
ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior
digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks.
Menurut Wakeley (1997) lokasi appendiks adalah sebagai berikut:
retrosekal (65,28%), pelvikal (31,01%), subsekal (2,26%), preileal (1%) dan
postileal serta parakolika kanan (0,4%).
Letak basis appendiks berada pada posteromedial caecum pada pertemuan
ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga taenia tersebut
terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda untuk mencari basis
appendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila diproyeksikan ke
5
dinding abdomen, terletak di kuadran kanan bawah yang disebut dengan titik Mc
Burney.
Appendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing, dan
apeksnya menempel pada caeum. Diameter lumen appendiks antara 0,5 - 15 mm.
Lapisan epitel lumen appendiks seperti pada epitel kolon tetapi kelenjar
intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Appendiks mempunyai lapisan muskulus
dua lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari
lapisan muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal
yang dibentuk oleh fusi dari 3 taenia koli diperbatasan antara sekum dan
appendiks. Appendiks vermiformis (umbai cacing) terletak pada puncak caecum,
pada pertemuan ke-3 tinea coli yaitu taenia libra, taenia omentalis, dan taenia
mesokolika
Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan
limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu
setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah
sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu,
mengalami atropi dan menghilang pada usia 60 tahun.
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang
terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A
(Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu
mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi
enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika
dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.
2.3 ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO
Penyebab belum diketahui secara pasti. Berikut ini adalah faktor-faktor
yang mempengaruhi :
2.3.1 Obstruksi
- Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)
6
- Fekalit (35%), masa feses yang membatu
- Corpus alienum (4%), biji – bijian
- Striktur lumen (1%), kinking, karena mesoappendiks pendek, adesi.
2.3.2 Infeksi
Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misalnya pneumonia,
tonsillitis, dsb. Jenis kuman yang sering menginfeksi antara lain E. Coli dan
Streptococcus.
Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya
apendisitis akut diantaranya obstruksi lumen apendiks, obstruksi bagian distal
kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat. Pada keadaan klinis, faktor
obstruksi ditemukan dalam 60 - 70% kasus, 60% obstruksi disebabkan oleh
hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5%
disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain.
2.4 PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
Appendiks juga berperan sebagai sistem imun pada sistem gastrointestinal.
Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues
(GALT) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol
proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan
antigen intestinal lainnya. Tetapi peran apendiks sebagai sistem imun tidak begitu
penting. Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek
pada sistem imunologi.
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya
beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam
apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan
peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap
apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak
ditemukan. Ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus,
Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Sebagian besar
penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi ditemukan bakteri
anaerobik terutama Bacteroides fragilis. Bakteri ini menginvasi mukosa,
7
submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan oedem, hiperemis dan kongesti
lokal vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis
pada vasa dengan nekrosis dan perforasi.
Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu: akumulasi
cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi sirkulasi vena,
stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, dan hipoksia jaringan, serta
terjadinya infeksi anaerob. Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses
inflamasi.
Obstruksi pada bagian distal kolon akan meningkatkan tekanan intralumen
sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan terhambat keluar, sehingga tekanan
intra lumen meningkat mengakibatkan gangguan drainage pada:
- Limfe
Terjadi oedem, jika terjadi invasi bakteri maka akan terjadi ulserasi mukosa
mengakibatkan terjadinya apendisitis akut.
- Vena
Terjadi trombus-iskemi dan invasi bakteri dapat mengakibatkan timbulnya
pus hingga menjadi apendisitis supuratif.
- Arteri
Terjadi nekrosis hingga invasi kuman dapat mengakibatkan terjadinya
apendisitis gangrenosa ataupun perforasi yang mengakibatkan terjadinya
peritonitis umum.
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum,
yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah
serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses memadat, lebih lengket dan
makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lebih
lama. Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam
kolon, tetapi juga dapat mengubah kandungan bakteri.
Appendiks menghasilkan mukus 1-2 ml perhari. Mukus itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Karena apendiks
merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen yang sempit dan secara
normal berisi bakteri, resiko stagnasi dari isi apendiks yang terinfeksi selalu ada.
8
Resiko ini akan bertambah hebat dengan adanya suatu mekanisme valvula pada
pangkal apendiks yang dikenal dengan valvula Gerlach.
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangrene atau terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang
9
disebut infiltrate appendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang.
Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi appendisitis yang
dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu
24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi
proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular. Didalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, appendisitis akan sembuh dan massa periappendikular akan
menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada
orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis.
Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya appendisitis diawali adanya
sumbatan dari lumen appendiks. Apendisitis yang berhubungan dengan obstruksi
yang disebabkan hiperplasia jaringan limfoid submukosa disebutkan lebih banyak
terjadi pada anak-anak, sementara obstruksi karena fekalit atau benda asing lebih
banyak ditemukan pada orang dewasa. Adanya fekalit dihubungkan dengan
hebatnya perjalanan penyakitnya. Bila terdapat fekalit (appendikolit) pada pasien-
pasien dengan gejala akut kemungkinan apendiks telah mengalami komplikasi
yaitu gangren.
Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting. Pada
penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka akan terjadi
reaksi radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi sehingga
mengakibatkan penyumbatan lumen apendiks.
10
Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab
dan mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Penggunaan yang berlebihan
dan terus menerus dari laksatif pada kasus konstipasi akan memberikan kerugian
karena hal tersebut akan merubah suasana flora usus dan akan menyebabkan
terjadinya keadaan hiperemia usus yang merupakan permulaan dari proses
inflamasi. Bila sakit perut yang dialami disebabkan apendisitis maka pemberian
purgative akan merangsang peristaltik yang merupakan predisposisi untuk
terjadinya perforasi dan peritonitis.
2.5 KLASIFIKASI APENDISITIS
2.5.1 Appendisitis akut tanpa komplikasi (cataral appendisitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa saja. Appendiks
kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendiks tersebut
dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan.
Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limfoid ke dalam dinding
appendiks. Karena lumen appendiks tak tersumbat, maka hal ini hanya
menyebabkan peradangan biasa (simple appendicitis) ataupun dapat menjadi
appendisitis supuratif jikaterjadi infeksi dari bakteri piogenik .
Bila jaringan limfoid di dinding apendiks mengalami oedema, maka akan
mengakibatkan obstruksi lumen apendiks, yang akan mempengaruhi vaskularisasi
sehingga terjadi gangren, atau hanya mengalami perforasi (mikroskopis), dalam
hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin post apendisitis akut,
kadang-kadang terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa
membentuk sumbatan pula.
2.5.2 Appendisitis akut dengan komplikasi
Komplikasi dapat berupa peritonitis, infiltrat, atau abses periapendikular.
Merupakan apendisitis yang berbahaya, karena appendiks menjadi lingkaran
tertutup yang berisi fecal material, yang telah mengalami dekomposisi. Perubahan
setelah terjadinya surnbatan lumen appendiks tergantung dari isi sumbatan. Bila
lumen appendiks kosong, appendiks hanya mengalami distensi yang berisi cairan
mukus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab biasanya
11
merupakan flora normal lumen usus berupa bakteri aerob (gram positif dan atau
gram negatif) dan anaerob.
Appendiks yang telah menjadi gangren dapat mengalami perforasi ataupun
ruptur. Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensasi
dengan proses pembentukan dinding oleh jaringan sekitar, misal omentum dan
jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat (mass), atau proses pustulasi yang
mengakibatkan abses periapendiks.
2.5.3 Apendisitis Periapendikular
Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular.
2.5.4 Klasifikasi Klinikopatologi Cloud
Klasifikasi appendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut
adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Cloud,
klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :
- Appendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi appendisitis dengan
apendiks tampak normal atau hiperemi ringan dan edema, belum tampak
adatya eksudat serosa.
- Appendisitis Supurativa (grade Il): Sering didapatkan adanya obstruksi,
apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,
mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen
pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini
mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus
dan mesenterium didekatnya.
- Appendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda supurasi
didapatkan juga adanya dinding appendiks yang berwarna keunguan,
kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah
terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen
dengan bau busuk.
12
- Appendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur
appendiks, umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak
obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.
- Appendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,
abses terbentuk disekitar appendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka
kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis
bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.
Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud, apendisitis akut grade I dan II
belum terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut grade III,
IV, dan V telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).
2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 ANAMNESIS
Variasi pada posisi appendiks, usia pasien, dan derajat inflamasi menjadikan
presentasi klinis dari appendisitis menjadi tidak konsisten.
Gejala utama appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Pada mulanya terjadi
nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul tumpul dengan sifat nyeri
ringan sampai berat, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten. Hal tersebut
timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama,
maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan
periumbilikal. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, distensi dari lumen apendiks ataupun
karena tarikan dinding appendiks yang mengalami peradangan. Apabila telah
terjadi inflamasi (>6 jam), nyeri akan beralih dan menetap di kuadran kanan
bawah. Pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah
terjadi rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam,
terlokalisir, serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan. Pasien
biasanya lebih menyukai posisi supine dengan paha kanan ditarik ke atas, karena
suatu gerakan akan meningkatkan nyeri.
Muntah merupakan rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Anoreksia,
nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan
13
dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada
pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis
appendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan
vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya
sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan appendiks
dekat dengan vesika urinaria. Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi
sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal
tersebut timbul biasanya pada letak appendiks pelvikal yang merangsang daerah
rektum. Obstipasi dapat pula terjadi karena penderita takut mengejan.
Variasi lokasi anatomi appendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik
yang beragam. Sebagai contoh appendiks yang panjang dengan ujung yang
mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah
tersebut, nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila appendiks yang
meradang terletak di anterior, appendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri
flank area atau punggung, appendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada
suprapubik dan appendiks retroileal bias menyebabkan nyeri testikuler, mungkin
karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter. Urutan kejadian gejala
mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% appendisitis
akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdomen dan baru
diikuti oleh vomitus.
Peningkatan temperatur jarang lebih dari 1oC, yaitu antara 37,50 - 38.50C.
Frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya perubahan atau peninggian
yang besar menunjukkan telah terjadi komplikasi seperti perforasi atau diagnosis
lain yang perlu diperhatikan.
Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11,
Tl2, meskipun bukan penyerta yang konstan tetapi sering didapatkan pada
appendisitis akut.
14
2.6.2 PEMERIKSAAN FISIK
Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada
tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah.
a. Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit.
Perut kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada
appendikuler abses. Pasien tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi
pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri.
b. Palpasi
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri, kemudian secara
perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Status lokalis abdomen
kuadran kanan bawah, antara lain:
- Nyeri tekan Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan maksimal pada kuadran kanan
bawah atau titik Mc.Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis. Oleh
Mc.Burney titik ini dinyatakan terletak antara 1,5 - 2 inchi dari spina iliaca
anterior superior (SIAS) pada garis lurus yang ditarik dari SIAS ke
umbilikus.
- Rebound tenderness
Nyeri lepas adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc. Burney karena rangsangan
atau iritasi peritoneum.
- Defans muskuler
Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale pada m.Rektus
abdominis. Tahanan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan
derajat proses peradangan, yang pada awalnya terjadi secara volunter seiring
dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan spamus otot,
sehingga kemudian terjadi secara involunter.
15
- Rovsing sign
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah. Hal ini dikarenakan
tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakan
peritoneum sekitar appendik yang meradang (iritasi peritoneal).
- Psoas sign
Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign.
Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks letak retrocaecal.
Ada 2 cara pemeriksaan :
1. Aktif: Pasien posisi supine, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien diminta memfleksikan articulatio coxae kanan, dikatakan
positif jika menimbulkan nyeri perut kanan bawah.
2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiper-ekstensikan oleh
pemeriksa, dikatakan positif jika timbul nyeri perut kanan bawah.
- Obturator Sign
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium.
c. Perkusi
Nyeri ketok abdomen positif
d. Auskultasi
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis.
Peristaltik biasanya normal, tetapi jika sudah terjadi peritonitis generalisata akibat
appendisitis perforata maka bunyi usus menurun ataupun tidak terdengar bunyi
peristaltik usus.
e. Rectal Toucher
Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12
16
2.6.3 GEJALA DAN TANDA PADA KOMPLIKASI APPENDISITIS
a. Perforasi
Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Perforasi appendiks paling
sering terjadi di distal obstruksi lumen appendiks sepanjang tepi antimesenterium.
Oleh sebab itu pada perforasi appendiks jarang didapatkan gambaran udara bebas
ekstralumen pada pemeriksaan foto polos abdomen.
Appendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi
dengan gejaladan tanda sebagai berikut:
- Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri bertambah
hebat dan mulai dirasakan menyebar.
- Demam tinggi > 38,50C
- Leukositosis (leukosit > 14.000)
- Dehidrasi dan asidosis
- Distensi
- Menghilangnya bising usus
- Nyeri tekan kuadran kanan bawah
- Rebound tenderness sign
- Rovsing sign
b. Peritonitis
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendisitis
yang telah mengalami gangren. Sedangkan peritonitis umum merupakan
kelanjutan dari peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans
muskuler yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik merupakan
gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala
sepsis menunjukkan peritonitis yang makin berat.
c. Abses atau Infiltrat
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang
nyeri di region iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa
atau abses apendikuler. Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik
maupun penunjang. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dengan karsinoma
17
caecum, penyakit Crohn, amuboma dan Lymphoma maligna intra abdomen. Perlu
juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan
kelainan ginekolog seperti Kehamilan Ektopik Terganggu (KET), Adneksitis dan
Kista Ovarium terpuntir . Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang
khas.
2.6.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.6.4.1 LABORATORIUM
Pada pasien dengan appendisitis akut, 70-90% menunjukkan peningkatan
jumlah leukosit terutama neutrofil (shift to the left), walaupun hal ini tidak
spesifik untuk appendisitis.
Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik
appendisitis akut, akan ditemukan adanya leukositosis 11.000-14.000/mm3. Jika
jumlah leukosit >18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan
peritonitis. Namun beberapa penderita dengan apendisitis akut terkadang memiliki
jumlah leukosit dan granulosit normal.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa
sangat penting pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan
atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendisitis yang
menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis dapat
ditemukan jumlah sel leukosit 10-15 sel/lapangan pandang.
2.6.4.2 SISTEM SKOR ALVARADO
Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan
dengan mudah, cepat, dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat
sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan
laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk
menilai derajat keparahan apendisitis.
Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam sistem
skor Alvarado maka dapat diasumsikan bahwa semakin lengkap gejala, tanda dan
pemeriksaan laboratorium yang muncul atau keberadaannya positif maka skor
18
Alvarado akan semakin mendekati 10, dan ini mengarahkan kepada apendisitis
akut atau apendisitis perforasi. Demikian pula sebaliknya jika semakin tidak
lengkap maka skor Alvarado semakin mendekati 1, ini mengarahkan kepada
apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Alvarado merekomendasikan untuk
melakukan operasi pada semua pasien dengan skor ≥ 7 dan melakukan observasi
untuk pasien dengan skor 5 atau 6.
Tabel 1. Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut:
Gejala dan tanda Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2
Rebound tenderness 1
Peningkatan suhu tubuh 1
Leukositosis > 10.000 sel/mm3 2
Shift to the left (persentase neutrofil > 75%) 1
2.7 PENCITRAAN RADIOLOGI APENDISITIS
Banyak pasien dengan gejala klinis yang khas dilakukan operasi segera
tanpa pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologi dilakukan pada pasien
dengan keadaan klinis tak jelas. atau menampilkan komplikasi.
2.7.1 FOTO POLOS ABDOMEN (SINAR-X)
Saat ini foto polos abdomen dianggap tidak spesifik dan tidak
direkomendasikan kecuali ada kelainan yang membutuhkan pemeriksaan foto
polos abdomen (seperti perforasi, obstruksi usus atau batu utereter). Kurang dari
50% pasien dengan apendisitis akan menampakkan tanda spesifik apensisitis pada
foto polos abdomen. Temuan spesifik pada foto polos abdomen adalah adanya
apendikolith. Apendikolith terkalsifikasi tercatat pada ± 1/5 sampai 1/3 pada anak-
anak dan kurang lebih 10% pada dewasa. Apendikolith tarnpak soliter, oval,
densitas kalsifikasi pada kuadran bawah kanan, ukurannya dapat mencapai 2 cm.
terkadang dapat berbentuk shell like atau laminated.
19
Temuan lain adalah ketidakjelasan otot psoas kanan, colon cut off sign,
distensi/dilatasi terisolasi pada loop terminal ileum, caecum, dan kolon asenden
(kurang sering) dengan air fluid level. Atoni dinamakan Ileus sekal, hasil dari
iritasi peritoneurn dengan edema lokal dan retensi cairan. Terutama dengan
apendiks retrosekal, edema dinding sekum dapat menyebabkan penebalan haustra
danthumbprinting. Atoni usus biasa terjadi apabila sudah teriadi abses atau
perkembangan dari peritonitis mengikuti perforasi. Udara yang mengisi apendiks
dapat terlihat pada apendisitis, temuan ini sangat mendukung inflamasi.
Perforasi dari appendiks jarang menyebabkan pneumoperitoneum. karena
appendiks biasanya obliterasi dan sisi yang terinflamasi terlokalisir dengan reaksi
peritoneum. Apabila terjadi perforasi appendiks atau perisekal abses dapat terlihat
gambaran gelembung udara atau kumpulan gelembung udara kecil. Pada perforasi
inkomplet berhubungan dengan kumpulan cairan perikolom, dapat menyebabkan
terpisahnya kolon asenden dari dinding lateral abdomen atau dengan deformitas
dinding lateral kolon asenden.
Tanda dari apendisitis akut:
Kalsifikasi apendiks (0,5-6cm), Sentinel loop-pelebaran ileum atonik
berisi air fluid level. Dilatasi caecum Preperitoneal fat line yang melebar dan /
kabur. Kaburnya region kanan bawah, mengacu pada cairan dan edema. Skolisis
konkaf ke kanan. Massa kuadran bawah kanan yang mendesak sekum. Kaburnya
batas muskulus psoas kanan (tidak khas) Udara pada apendiks (tidak khas).
20
Gambar 4. Foto polos abdomen tampak apendikolith (panah)
2.7.2 APPENDIKOGRAFI
Appendikografi adalah Teknik pemeriksaan radiologi untuk
memvisualisasikan appediks dengan menggunakan kontras media positif barium
sulfat . Dapat dilakukan secara oral dan anal.
Apendikografi secara oral dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4
serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 dan diminum sebelum
pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk
dewasa, hasil apendikogram diexpertise oleh dokter spesialis radiologi.
Temuan appendikografi pada appendisitis:
- Non filling appendiks
- Irregularitas nodularitas dari appendiks yang memberikan gambaran
edema mukosa yang disebabkan oleh karena inflamasi akut.
- Efek massa pada sekum serta usus halus yang berdekatan
21
Gambar 5. Appendikografi tampak apendiks normal
2.7.3 ULTRASONOGRAFI (USG)
Pemeriksaan radiologi yang sekarang dianggap mempunyai akurasi tinggi,
bersifat non invasif, relatif murah, tidak mempunyai efek radiasi, aman terutama
pada anak-anak dan wanita hamil untuk diagnosis appendisitis adalah
pemeriksaan ultrasonografi (USG). Tetapi kenyataannya pemeriksaan USG ini
mempunyai beberapa kekurangan karena nilai diagnostiknya sangat dipengaruhi
oleh pemeriksa maupun kondisi pasien.
Beberapa hal yang mempengaruhi nilai diagnostik USG diantaranya:
ketrampilan pemeriksa, sulit dilakukan pada pasien dengan abdominal pain yang
luas karena kesakitan bila transducer diletakkan pada permukaan abdomen,
letak/posisi appendix yang bervariasi pada setiap orang sehingga membutuhkan
teknik khusus untuk pemeriksaan USG, pemeriksaan terbatas pada pasien dengan
udara usus yang prominent dan pasien obese. Kekurangan pemeriksaan USG
seperti ini menyebabkan nilai diagnostik USG menjadi rendah.
Teknik kompresi bertahap pada pemeriksaan sonografi dari apendiks
dijelaskan oleh Julien Puylaert pada 1986. Menggunakan probe minimal 7 MHz
pada titik nyeri maksimum pada region iliaka kanan, tekanan ditingkatkan secara
bertahap mencapai area dimana terjadi pendesakan usus halus. Apendiks dapat
terlihat diatas muskulus psoas. Teknik graded kompresi dengan Adjuvant teknik
pemeriksaan USG dependent operator yaitu: Teknik manual posterior, teknik
kompresi bertahap ke arah atas, teknik perubahan posisi Left Oblique Lateral
Decubitus, penggunaan transducer konveks frekuensi rendah (terutama untuk
22
orang yang obese dan wanita hamil), kombinasi USG gray scale dengan CDU
dapat meningkatkan nilai akurasi diagnostik appendicitis (sensitifitas, spesifisitas
dan akurasi hampir 99%).
Beberapa teknik Adjuvant tersebut yang mempunyai nilai diagnostik
tertinggi adalah teknik kompresi manual posterior, sedang yang terendah adalah
teknik perubahan posisi tubuh (Left Oblique Lateral Decubitus). Gambaran
ultrasonografi pada apendisitis non perforasi yaitu: diameter apendiks > 6 mm,
non compressible, aperistaltik, peningkatan aliran darah pada pemeriksaan CDU
di daerah appendix, dinding yang hipoechoic dengan tebal > 2 mm, fecolith atau
cairan yang terlokalisir. Gambaran pada apendisitis perforasi yaitu target sign
dan struktur tubular (blind ending) dengan adanya lapisan dinding yang hilang
(inhomogen), cairan bebas perivesical atau pericaecal .
Beberapa operator berpengalaman menuntut menemukan apendiks normal,
tetapi kebanyakan operator sulit terlihat. Meskipun diagnosis dapat ditegakkan
ketika apendiks abnormal terlihat, apendisitis tidak dapat disingkirkan ketika
apendiks tidak dapat ditemukan. Bagaimanapun, ada beberapa kondisi yang
menyerupai apendisitis secara klinis dan dapat didiagnosis dengan sonografi perut
dan pelvis. Seperti yang sering pada kelainan ginekologis, hal tersebut perlu
dipikirkan pada wanita muda dengan curiga apendisitis. Sonografi juga
direkomendasikan pada anak-anak dan wanita hamil pada kondisi ini.
Dari 62 penelitian retrospektif dengan curiga apendisitis yang mendapatkan
apendiktomi. Bendeek dkk menemukan bahwa menguntungkan melakukan
pencitraan sebelum operasi terutama pada wanita. Hal ini dibuktikan dengan
didapatkannya hasil yang signifikan secara statistic untuk menghindari
appendiktomi negative pada kasus nyeri perut kanan bawah. CT scan dan
sonografi untuk pasien apendisitis. Pada beberapa institusi mereka memilih
pemeriksaan sonografi untuk pasien kurus, dan CT-Scan untuk pasien yang
gemuk3Apendiks normal kompresibel dengan tebal dinding sama atau kurang dari
3 mm. Jefrry dkk menyimpulkan bahwa ukuran apendiks dapat membedakan
apendiks normal dari apendiks dengan inflamasi akut. Pemeriksaan color Doppler
juga memberikan peranan, memperlihatkan hyperemia pada dinding pada
apendisistis akut terinflamasi.
23
Inflamasi dari apendiks yang terletak dalam pelvis sejati dapat terlihat pada
sken suprapubis. Sesuai dengan pengalaman. Hal ini lebih sering dijumpai pada
wanita, kemungkinan berkaitan dengan luasnya pelvis, dan presentasi sering
menyerupai penyakit inflamasi pelvis. Kelainan ini dapat diperiksa secara optimal
dengan pemeriksaan sonografi transvaginal karena apendiks berkaitan erat dengan
uterus dan atau ovarium. Gambaran sonografi diperlukan untuk penegakkan
diagnosis, meskipun gambaran apendiks timbul dari dasar sekum mustahil untuk
ditemukan dan kompresi tak dapat dilakukan. Meskipun demikian identifikasi
ujung buntu dari apendiks dengan peningkatan diameter, distensi lumen,.
Inflamasi lemak sekitar nyata. Jika terjadi rupture dari apendiks dalam pelvis
dapat teridenttifikasi terlebih dahulu pada sonografi. Identifikasi abses pelvis
tanpa identifikasi apendiks dapat mengakibatkan kecurigaan lain dari sumber
inflamasi pelvis.
Beberapa penelitian mendokumentasikan bahwa sonografi mempunyai
sensitivitas 85-90% dan spesifisitas 92-96%. Sedangkan pada anak-anak
sensitivitas 85%-95% dan spesifitas 47-96%. Pada kasus dengan perforasi
sensitivitas 35% dan spesifitas 98%. Meskipun sensitivitas dari sonografi untuk
diagnosis apendisitis menurun dengan adanya perforasi, namun secara statistic
gembarannya berkaitan dengan adanya cairan terlokalisasi pada
perisekal,phlegmon atau abses, lemak perisekal atau periapendiks yang prominen,
dan hilangnya gambaran melingkar dari lapisan submukosa dari apendiks.
Tanda apendisitis akut pada sonografi.
- Indentifikasi apendiks
- Struktur tubuler dengan ujung buntu pada titik nyeri
- Non-kompresibel
- Diameter 6 mm atau lebih
- Tidak adanya peristaltic
- Apendikolith dengan bayangan akustik
- Ekogenesitas tinggi non-kompersibel disekitar lemak
- Cairan disekitar lesi atau abses
- Edema dan ujung sekun
24
- Gambaran sonografi dari perforasi apendiks
- Cairan perisekal terlokalisir
- Phelgmon
- Abses
- Lemak perisekal yang prominen
- Hilangnya gambaran melingkar dari lapisan submukosa
Gambaran sonografi dari tahapan apendisitis
Apendisitis supuratif: Pada potongan longitudinal tampak apendiks
teriflamasi aperistaltik, tidak terkompresi, ujung buntu, struktur tubuler dengan
dinding berlapis dari dasar sekum . Pada potongan transeval, apendiks abnormal
sering dengan gambaran target dan diameter luar lebih dari 6 mm pada kuadran
perut kanan bawah. Perlu dipikirkan tebal dinding apendiks lebih dari 3 mm
dievaluasi sebagai suatu keadaan patologis.
Apendisitis gangrene : Hilangnya ekogenitas lapisan submukosa dinding
apendiks baik secara fokal maupun umum dan ekogenesitas lemak yang
prominen.
Apendisitis perforasi: Dapat tidak tampak pada region perut kanan bawah
irregularitas dan kerusakan kontur apendiks dengan adanya cairan periapendiks
dan lemak perisekal yang prominen dapat didiagnosis sebagai perforasi.
Gelembung udara dalam kumpulan cairan pada kasus perforasi sebagai hasil dari
terbentuknya udara dari organisme. Perforasi local dari ujung apendiks juga
memperlihatkan kantung udara pada lokasi perforasi .
Phlegmon peripendiks dan abses : Phlegmon tampak sebagai kumpulan
cairan, yang dilingkupi oleh omentum majus yang berdekatan dan loop usus
halus. Abses tampak sebagai massa hipoekoik berdekatan dengan sekum atau
apendiks.
25
Gambar 6. USG Appendiks normal
Gambar 7. USG Apendisitis ;Tampak penebalan pada dinding apendiks
Gambar 8. USG Apendisitis dengan apendikholik (tanda panah)
26
Gambar 9. USG Apendisitis dengan apendikholik
Gambar 10. USG Apendisitis dengan apendikholik
Gambar 11. USG Apendisitis dengan apendikholik
27
Gambar 12. USG Apendisitis dengan apendikholik
Gambar 13. USG Apendisitis dengan apendikholik
Gambar 14. USG Apendisitis dengan apendikholik
28
Gambar 15. USG Apendisitis dengan apendikholik, adanya inflamasi di
mesentrikun dan berisi cairan
Gambar 16. USG appendisitis kronis
29
Gambar 17. USG Appendisitis Perforasi
Gambar 18. USG Appendisitis Perforasi
Gambar 19. USG Appendisitis Perforasi
30
Gambar 20. USG Appendisitis Perforasi
Gambar 21. USG Appendisitis Perforasi
Sonography of ruptured appendix. Sonography of the right iliac fossa reveals 1)
distended swollen appendix containing hypoechoic (purulent) fluid with 2)
anechoic (fluid) collection anterior to the appendix, with 3)echogenic material
(possibly phlegmon) within the fluid. 4) There is evidence of rupture of the
proximal part of the appendicular wall. These ultrasound images suggest rupture
or perforation of the acutely inflamed appendix. These sonographic images were
taken with a Toshiba Xario ultrasound machine, courtesy of Dr. Gunjan Puri,
Surat, India.
31
2.7.4 SONOGRAFI COLOUR DOPPLER
Sonografi Colour Doppler bermanfaat sebagai evaluasi inflamasi dari
saluran cerna
Appendiks normal sering terlihat hyperemia ringan pada sonografi
Doppler. Pada appendiks terinflamasi tampak peningkatan aliran dibangdingkan
dengan normal, dan pewarnaan melingkar dari dinding appendik merupakan
appendisitis akut. Penelitian Patriquin dkk, nilai resistive index (RI) diukur pada
aliran diastolic akhir dan signal (RI = 9.85-1.00). Pada appendisitis akut tak tak
terkomplikasi alirannya tinggi (RI = 0.40-0.77) ; mean 0,54
Gambar 22. SCD Apendisitis supuratif. Apendiks terinflamasi (panah) dengan
pewarnaan melingkar, indikasi kuat apendisitis
Gambar 23 . SCD Appendisitis akut
32
Gambar 24. SCD Appendisitis. Tampak Peningkatan vaskular pada appendisitis
Gambar 25. Oblique section Power Doppler image
Gambar 26. Cross section (transverse section)- Markedly vascular appendiks
33
2.7.5 CT-SCAN
CT-Scan sekarang dipertimbangkan sebagai pemeriksaan diagnostik paling
akurat untuk meyingkirkan appendisitis. Telah dilaporkan keakuratan diagnosis
CT-Scan rata-rata antara 93% dan 98 % dengan sensitifitas 90-98% dan spesifitas
83-98%; diagnosis alternative 48% - 80% Variasi dari tehnik CT-Scan pada
pasien dengan kecurigaan appendisitis dapat dievaluasi dengan beberapa tehnik,
termasuk CT-Scan perut dan pelvis dengan atau tanpa kontras , CT-Scan
konvensional dan helical, CT-Scan penuh dan terbatas pada abdominopelvik, dan
kombinasi bervariasi materi kontras.
Tabel. 2 Perbandingan Sonografi dan CT dalam mendiagnosis apendisitis
sonografi Ct- scanSensitifitas 85 % 90 – 100 %Spesifitas 92 % 95 – 100 %penggunaan Evaluasi pasien dengan kecurigaan
diagnosis apendisitisEvaluasi pasien dengan kecurigaan apendisitis
keuntungan AmanRelatif lebih murahDapat menyingkirkan penyakit pelvis Pada wanitaLebih baik pengguaan padaAnak- anak
Lebih akuratLebih baik mengidentifikasi plegmon dan absesLebih baik mengidentifikasi apendiks normal
Kerugian Ketergantugan operator secara tehknik pemeriksaan tidak adekuat terhadap gasnyeri
Harga lebih mahalEfek radiasi pegionPenggunaan kontras
Tanda CT-Scan dari apendiks termasuk ukuran diameter apendiks lebih dari
6mm, kegagalan apendiks terisi dengan kontra oral atau udara untuk mencapai
ujungnya, apendikolith dan penyangatan dari dinding dengan kontras intravena.
Disekelilingnya dapat ditemukan perubahan inflamasi, termasuk peningkatan
atenuasi lemak, cairan, inflamasiphlegm on, penebalan sekum, abses , gas
intraluminal dan pembesaran limfe. Terkadang lumen dari sekum dapat dilihat
sebagai tunjuk bagian apendiks terbuka yang terobstruksi.
34
Dalam Gambar 28. CT- Scan aksial tampak inflamasi perisekum ( panah ) dan
cairan bebas minimal pasien dengan rupture apendiks akut(atas). CT-Scan aksial
apendiks terinflamas dengan apendikolith ( panah ) dan cairan periappendesial
dan perisekum(bawah).
2.7.6 MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)
MRI juga dipergunakan untuk mendiagnosis appendisitis, namun demikian
MRI mempunyai keterbatasan dalam mendeteksi appendikolith. Pada pemberian
kontras tampak penyangatan dari dinding appendiks yang terinflamasi
mengindikasikan appendisitis.
MRI dengan kontras gadoliniumfat-suppressed merupakan pemeriksaan
sensitive (97%) dan akurat (95%) dalam mendeteksi appendisitis bagaimanapun
pemeriksaan ini tidak rutin dipergunakan. MRI tanpa kontras juga dipergunakan
dalam mendeteksi appendisitis dengan akurasi 100%. Berdasarkan penelitian
Hormann dan Incesu dkk MRI tanpa kontras ditemukan lebih memadai sebagai
modalitas pencitraan.
35
Gambar 29. MRI Appendisitis
2.8 DIAGNOSIS BANDING
a. Gastroenteritis
b. Limfedenitis Mesenterika
c. Demam Dengue
d. Infeksi Panggul
e. Gangguan alat kelamin perempuan
f. Kehamilan di luar kandungan
g. Divertikulosis Meckel
h. Ulkus Peptikum yang Perforasi
i. Batu Ureter
2.9 PENATALAKSANAAN
2.9.1 Tindakan Umum
Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena
perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif. Pasien memerlukan perawatan
intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa
nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi
abdomen dan mencegah muntah dan pasien dipuasakan.
Jika pasien dalam keadaan syok hipovolemik akibat dehidrasi ataupun
sepsis maka diberikan cairan ringer laktat 20 mg/kgBB secara intravena,
36
kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah
pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan
kekurangan cairan, serta pantau output urin.
Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien
dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan
sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi
suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,
massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan
appendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak
kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak
membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Untuk menurunkan demam diberikan antipiretik. Jika suhu di atas 380C
pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk
mengontrol demam. Berikan pula analgesik dan antiemetik parenteral untuk
kenyamanan pasien. Tetapi tidak dianjurkan pemberian analgetik pada pasien
dengan akut abdomen yang penyebabnya belum diketahui karena dapat
mengaburkan penegakkan diagnosis. Berikan pula antibiotik intravena pada
pasien yang menunjukkan tanda-tanda sepsis dan pada pasien yang akan
menjalani prosedur pembedahan laparotomi.
2.9.2 Appendektomi
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Apendektomi dapat dicapai melalui insisi Mc Burney.
Indikasi dari apendektomi antara lain:
1. Appendisitis akut (apendektomi Chaud)
2. Appendisitis kronis (apendektomi Froid)
3. Peri-appendikular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)
37
4. Appendiks terbawa pada laparotomi operasi kandung empedu
5. Appendisitis perforasi
2.9.3 Terapi medikamentosa
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua pasien dengan
appendisitis. Antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi
apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan.
Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman.
Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus
perforasi apendisitis. Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau
melihat kondisi klinis penderita.
Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob
spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin
(100 mg/kgBB), gentamisin (7,5 mg/kgBB) dan klindamisin (40 mg/kgBB) dalam
dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan
menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidazol aktif terhadap
bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan.
2.10 KOMPLIKASI
Bila tidak ditangani dengan baik maka appendisitis akut dapat mengalami
perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi yang
paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami pendindingan (Walling off)
sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan mesoapendiks, appendiks,
sekum dan lengkung usus yang disebut sebagai massa periapendikuler.
Terjadinya massa periappendikuler bila appendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan lengkung usus. Pada
massa periappendikuler yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum saat terjadi perforasi, akibatnya
akan terjadi peritonitis umum.
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu
trombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi
38
appendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan abses
hepatik.
Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya adalah
infeksi. Infeksi setelah pembedahan sering terjadi pada apendisitis perforasi atau
gangrenosa. Meskipun infeksi bisa terjadi di sejumlah lokasi, infeksi yang terletak
di lokasi pembedahan adalah yang paling sering, yaitu pada luka subkutan dan
dalam rongga abdominal. Insidensi kedua komplikasi ini bervariasi tergantung
pada derajat apendisitis, umur penderita, kondisi fisiologis dan tipe penutupan
luka. Obstruksi intestinal bisa terjadi setelah pembedahan pada kasus appendisitis,
hal ini disebabkan oleh abses, phlegmon intraperitoneal atau adhesi. Infertilitas
dapat terjadi pada perempuan dengan appendisitis perforasi.
Komplikasi lain, di antaranya:
- Nekrosis dinding appendiks
- Perforasi dinding appendiks dan pus masuk ke kavum peritonii
- General peritonitis
- Periappendikular infiltrat atau Phlegmon atau Periappendicular abses
- Sepsis
- Appendisitis kronis
39
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermiformis,
dan merupakan penyebab yang paling sering pada abdomen akut. Bila tidak
ditangani dengan baik maka appendisitis akut dapat mengalami perforasi dan
berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum.
Pemeriksaan radiologi yang sekarang dianggap mempunyai akurasi tinggi,
bersifat non invasif, relatif murah, tidak mempunyai efek radiasi, aman terutama
pada anak-anak dan wanita hamil untuk diagnosis appendisitis adalah
pemeriksaan ultrasonografi (USG).
Apendisitis perforasi pada USG tampak pada region perut kanan bawah
irregularitas dan kerusakan kontur appendiks dengan adanya cairan periapendiks
dan lemak perisekal yang prominen dapat didiagnosis sebagai perforasi.
Gelembung udara dalam kumpulan cairan pada kasus perforasi sebagai hasil dari
terbentuknya udara dari organisme. Perforasi local dari ujung apendiks juga
memperlihatkan kantung udara pada lokasi perforasi .
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent
edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies.
Enigma an Enigma Electronic Publication.
2. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran
UNAIR. Surabaya.
3. Lugo,. V.H., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update.
Vol.23 No.03 September 2004.
4. Sedlak M, Wagner OJ, Wild B, Papagrigoriades S, Exadaktylos AK. Is
there still a role for rectal examination in suspected appendicitis in
adults?. Am J Emerg Med. Mar 2008;26(3):359-60.
5. Shakhatreh HS. The accuracy of C-reactive protein in the diagnosis of
acute appendicitis compared with that of clinical diagnosis. Med
Arh. 2000;54(2):109-10.
6. Yang HR, Wang YC, Chung PK, Chen WK, Jeng LB, Chen
RJ. Laboratory tests in patients with acute appendicitis. ANZ J Surg. Jan-
Feb 2006;76(1-2):71-4.
7. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa
Aksara. Jakarta.
8. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American
Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science
Center, Temple, Texas
9. Tundidor Bermudez AM, Amado Dieguez JA, Montes de Oca Mastrapa
JL. Urological manifestations of acute appendicitis. Arch Esp
Urol. Apr 2005;58(3):207-12.
41
10. Harswick C, Uyenishi AA, Kordick MF, Chan SB. Clinical guidelines,
computed tomography scan, and negative appendectomies: a case
series. Am J Emerg Med. Jan 2006;24(1):68-72
11. Malone AJ Jr, Wolf CR, Malmed AS, Melliere BF. Diagnosis of acute
appendicitis: value of unenhanced CT. AJR Am J
Roentgenol. Apr 1993;160(4):763-6.
12. Poortman P, Oostvogel HJ, Bosma E, Lohle PN, Cuesta MA, de Lange-de
Klerk ES, et al. Improving diagnosis of acute appendicitis: results of a
diagnostic pathway with standard use of ultrasonography followed by
selective use of CT. J Am Coll Surg. Mar 2009;208(3):434-41.
13. Tzanakis NE, Efstathiou SP, Danulidis K, et al. A new approach to
accurate diagnosis of acute appendicitis. World J
Surg. Sep 2005;29(9):1151-6, discussion 1157.
14. Alvarado A. A practical score for the early diagnosis of acute
appendicitis. Ann Emerg Med. May 1986;15(5):557-64.
15. Eriksson S, Granstrom L. Randomized controlled trial of appendicectomy
versus antibiotic therapy for acute appendicitis. Br J
Surg. Feb 1995;82(2):166-9.
16. Bickell NA, Aufses AH, Rojas M. How time affects the risk of rupture in
appendicitis. J Am Coll Surg. Mar 2006;202(3):401-6.
17. Abou-Nukta F, Bakhos C, Arroyo K, et al. Effects of delaying
appendectomy for acute appendicitis for 12 to 24 hours. Arch
Surg. May 2006;141(5):504-6; discussioin 506-7.
18. Liang MK, Lo HG, Marks JL. Stump appendicitis: a comprehensive
review of literature. Am Surg. Feb 2006;72(2):162-6.
42
19. Liberman MA, Greason KL, Frame S, et al. Single-dose cefotetan or
cefoxitin versus multiple-dose cefoxitin as prophylaxis in patients
undergoing appendectomy for acute nonperforated appendicitis. J Am Coll
Surg. Jan 1995;180(1):77-80.
20. Lin HF, Wu JM, Tseng LM, et al. Laparoscopic versus open
appendectomy for perforated appendicitis. J Gastrointest
Surg. Jun 2006;10(6):906-10.
21. Orr RK, Porter D, Hartman D. Ultrasonography to evaluate adults for
appendicitis: decision making based on meta-analysis and probabilistic
reasoning. Acad Emerg Med. Jul 1995;2(7):644-50.
22. Rao PM, Rhea JT, Rao JA, et al. Plain abdominal radiography in clinically
suspected appendicitis: diagnostic yield, resource use, and comparison
with CT. Am J Emerg Med. Jul 1999;17(4):325-8.
23. Schwerk WB, Wichtrup B, Rothmund M, et al. Ultrasonography in the
diagnosis of acute appendicitis: a prospective
study. Gastroenterology. Sep 1989;97(3):630-9.
24. Thomas SH, Silen W. Effect on diagnostic efficiency of analgesia for
undifferentiated abdominal pain. Br J Surg. Jan 2003;90(1):5-9.
25. Webster DP, Schneider CN, Cheche S, et al. Differentiating acute
appendicitis from pelvic inflammatory disease in women of childbearing
age. Am J Emerg Med. Nov 1993;11(6):569-72.
26. Kalesaran, Laurens. Diagnosis Sistem Skoring pada appendicitis akut.
Undip Semarang. Nov 1996
43