ayomenulisfisip.files.wordpress.com · web viewapakah masih relevan untuk abad sekarang, kita baca...

23
SUBASITA Oleh Iwan Muljono Subasita adalah unggah-ungguh, tatakrama atau sopan santun. Orang yang tidak tahu subasita dikatakan sebagai orang yang “degsura” atau kurang ajar, tidak tahu tatakrama. Pada umumnya orang Jawa dianggap sopan-santunnya tinggi. Sampai ada banyolan, khususnya ditujukan orang Jogja, dalam memberitahu orang yang menginjak kakinya pun masih pakai “nuwun sewu”. Mengenai “Subasita Jawa” saya baca di “Serat Subasita” yang dikarang oleh Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, terbitan Pangecapan (Percetakan) Budi Utama di Surakarta pada tahun 1914. Ada di di www.sastra.org dan telah telah saya link di “pages” pada kolom sebelah kanan laman blog ini. Isinya adalah kumpulan tatakrama Jawa yang dalam pendahuluan disebutkan oleh Ki Padmasusastra sebagai berikut: Sêrat Subasita punika kalêmpaking tatakrama Jawi sawatawis campuripun kalihan tatakrama Walandi supados kenging kapirit ingkang taksih pantês kalêstantunakên utawi botên, awit kêncênging tatakramanipun tiyang Jawi kêndho dening pasrawungan kalihan tatakramanipun tiyang Walandi, punika ingkang murba misesa panggêsanganipun têtiyang Jawi, wajib dipun lampahi. Pengertiannya kurang-lebih adalah tatakrama Jawa bagaimanapun terpengaruh oleh tatakrama Belanda. Mengingat orang Jawa (saat itu tahun 1914) kehidupannya dikuasai Belanda, maka tatakrama Belanda juga perlu diikuti. Bagaimanapun harus dipilah tatakrama Jawa yang masih bisa dilestarikan karena sebagian telah luntur akibat pergaulan dengan orang Belanda. Menurut pendapat saya memang ada beberapa bagian dalam Serat Subasita yang sudah tidak bisa dipakai pada abad 21 ini. Misalnya dalam hal menghormat orang yang lebih tinggi kapan kita harus berdiri, kapan kita harus jongkok. Rasanya sekarang sudah tidak ada lagi orang Jongkok. Jaman saya kecil memang pembantu di rumah

Upload: buikhue

Post on 30-Aug-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SUBASITA

Oleh Iwan Muljono

Subasita adalah unggah-ungguh, tatakrama atau sopan santun. Orang yang tidak tahu subasita dikatakan sebagai orang yang “degsura” atau kurang ajar, tidak tahu tatakrama. Pada umumnya orang Jawa dianggap sopan-santunnya tinggi. Sampai ada banyolan, khususnya ditujukan orang Jogja, dalam memberitahu orang yang menginjak kakinya pun masih pakai “nuwun sewu”.

Mengenai “Subasita Jawa” saya baca di “Serat Subasita” yang dikarang oleh Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, terbitan Pangecapan (Percetakan) Budi Utama di Surakarta pada tahun 1914. Ada di di www.sastra.org dan telah telah saya link di “pages” pada kolom sebelah kanan laman blog ini. Isinya adalah kumpulan tatakrama Jawa yang dalam pendahuluan disebutkan oleh Ki Padmasusastra sebagai berikut:

Sêrat Subasita punika kalêmpaking tatakrama Jawi sawatawis campuripun kalihan tatakrama Walandi supados kenging kapirit ingkang taksih pantês kalêstantunakên utawi botên, awit kêncênging tatakramanipun tiyang Jawi kêndho dening pasrawungan kalihan tatakramanipun tiyang Walandi, punika ingkang murba misesa panggêsanganipun têtiyang Jawi, wajib dipun lampahi.

Pengertiannya kurang-lebih adalah tatakrama Jawa bagaimanapun terpengaruh oleh tatakrama Belanda. Mengingat orang Jawa (saat itu tahun 1914) kehidupannya dikuasai Belanda, maka tatakrama Belanda juga perlu diikuti. Bagaimanapun harus dipilah tatakrama Jawa yang masih bisa dilestarikan karena sebagian telah luntur akibat pergaulan dengan orang Belanda.

Menurut pendapat saya memang ada beberapa bagian dalam Serat Subasita yang sudah tidak bisa dipakai pada abad 21 ini. Misalnya dalam hal menghormat orang yang lebih tinggi kapan kita harus berdiri, kapan kita harus jongkok. Rasanya sekarang sudah tidak ada lagi orang Jongkok. Jaman saya kecil memang pembantu di rumah selalu bersimpuh di lantai kalau dipanggil Ibu. Sekarang mana ada pembantu jongkok di lantai.

Demikian pula ada beberapa hal yang harus disesuaikan, misalnya mengenai pakaian. Kapan kita berpakaian a la Belanda, kapan kita berpakaian a la Jawa. Dua-duanya bagus. Berpakaian seperti Belanda kelihatan “bregas” (gagah) sedangkan berpakaian Jawa dikatakan “merak ati” (manis, menarik).

Urusan tatakrama batuk, bersin, buang ingus dan meludah sudah menjadi perhatian, dikaitkan dengan sopan santun dan kesehatan. Hal tersebut masih menjadi masalah pada masa ini. Ketika pandemi “Influenza H1N1 Baru” yang dikenal umum sebagai Flu Babi merajalela di dunia, kita benar-benar susah payah memberikan penyuluhan etika batuk dan bersin yang benar.

Hal lain yang menarik adalah budaya Jawa sebenarnya menghormati wanita. Salah satunya adalah: Dilarang merokok di dekat wanita. Alasannya sederhana saja, tidak sopan dan membuat sesak napas. Pada masa itu (tahun 1914) belum ada pengetahuan bahwa wanita yang merokok aktif atau merokok pasif (tidak merokok tetapi terexpose asap rokok, bisa karena dekat suaminya yang perokok ada berada di tempat umum yang penuh asap rokok) berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (di bawah 2500 gram).

Subasita Jawa juga bersifat akomodatif. Maksudnya, kalau ada orang dengan budaya lain maka harus kita hormati.

Saya coba untuk pilah dan pilih hal-hal yang masih relevan untuk diangkat lagi pada jaman sekarang. Saya coba kelompokkan dalam 9 posting. Sementara saya tambah satu tentang "semu" dalam kaitan dengan subasita.

SUBASITA JAWA (1): MENGANTUK DAN MENGUAP

Mengantuk dan menguap adalah penyakit harian yang pasti kita alami dimana saja dan kapan saja. Bila abad 21 kita sebut sebagai abad rapat dan seminar maka di tempat itu lah akan kita jumpai orang mengantuk, menguap bahkan tidur. Karena abad 21 juga abad informatika maka foto orang ngantuk apalagi kalau yang ngantuk itu orang penting cepat sekali beredar kemana-mana.

Manusia setampan atau secantik apapun kalau sedang menguap tampak jelek sekali. Cobalah sekali-sekali kalau sedang mengikuti pertemuan minta ke salah satu teman untuk memotret kalau kebetulan kita menguap. Wah, kita akan terkagum-kagum sendiri melihat wajah kita. Tetapi sepertinya penyakit mengantuk termasuk penyakit yang tidak bisa dicegah.

MENGANTUK

Menurut “subasita” Jawa mengantuk saat hadir dalam “pasamuwan” (pertemuan) dikatakan “saru”. Kalau kita kehilangan kemampuan komunikasi dalam pertemuan karena ngantuk sebaiknya pulang saja, tidur! Lebih celaka lagi kalau dalam pertemuan kita tak pernah lepas dari kantuk, tetapi tatkala hidangan keluar kantuk pun hilang. Kita makan, bahkan dalam porsi besar seolah mata dan mulut berdiri sendiri-sendiri. Selesai makan, kantuk hilang diganti tidur. Kenapa kita tidak kasihan kepada diri kita sendiri?

MENGUAP

Dalam bahasa Jawa menguap disebut “Angob”. Menguap terkait erat dengan kantuk. Tidak ada kuap tanpa kantuk demikian pula tidak ada kantuk tanpa kuap. Menguap juga merupakan perilaku tidak sadar orang yang bosan.

Oleh sebab itu kalau kita sedang menerima tamu baik di rumah maupun di kantor jangan sekali-sekali menguap. Hal ini sama saja mengusir secara halus. Tentu saja yang bisa merasakan hanya tamu yang “tanggap ing sasmita” dari bahasa tubuh tuan rumah. Bila kita sebagai tuan rumah merasa akan “angob” carilah trik supaya tidak ketahuan tamu kita. Apakah berdiri, pura-pura mengambil sesuatu di tempat lain atau cara lain yang pas.

Tamu juga jangan sampai menguap di depan tuan rumah. Orang Jawa mengatakan “degsura” atau kurang ajar.

CATATAN

Sumber tulisan ini adalah “Serat Subasita” karangan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, tahun 1914, hampir 100 tahun yang lalu. Apakah jaman memang sudah berubah sehingga pada abad 21 ini banyak orang tidak malu “angob” dan “ngantuk” di muka umum? Termasuk melihat wajah jelek kita kalau sedang “angob?” Sumangga (IwMM)

SUBASITA JAWA (2): PERILAKU JARI DAN TANGAN

Anggota badan bagian atas kita adalah bagian yang banyak dilihat orang selain kepala. Lebih khusus lagi adalah tangan dan jari-jari kita. Tiap hari kita ketemu orang dan tiap hari pula kita bersalaman dengan orang. Oleh sebab itu banyak diantara kita yang mengecat kuku dan menghiasi jari-jemari kita dengan cincin. Bahkan tidak cuma satu cincin saja di jari manis. Sayangnya perilaku jari-jari kita sering tidak semahal hiasan yang bertengger disitu.

Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, dalam Serat Subasita, 1914 menyampaikan seperti di bawah ini. Apakah masih relevan untuk abad sekarang, kita baca bersama:

KUKU HITAM

Ujung kuku yang hitam kotor membuat tidak nyaman orang yang melihat. Sebaiknya dipotong pendek, jangan biarkan kuku menjadi panjang karena pasti lebih mudah kemasukan kotoran. Kalau memang piara kuku panjang ya harus rajin membersihkan. Orang bertamu kalau kelihatan kukunya kotor dianggap “degsura” (kurang ajar).

PERILAKU JARI-JARI TANGAN

Tidak boleh garuk-garuk di depan umum apalagi di pertemuan. Bisa disangka tubuh kita banyak kutu atau jamur oleh orang yang melihat. Kalau ada yang terasa gatal dan ingin menggaruk, menyingkirlah sebentar ke tempat lain, atau ditekan saja pada pakaian di tempat yang gatal dengan jari.

Perilaku lain dari jari-jari tangan kita yang sering di luar kesadaran adalah menggosok-gosok mata (Jawa: ucek-ucek). Mungkin ada yang mengganjal, atau terasa gatal, atau ada kotorannya (Jawa: blobok). Orang yang melihat merasa tidak enak. Kalau terpaksa, gunakan saputangan atau tissue bersih.

Demikian pula lubang telinga, merupakan sasaran tidak sadar jari-jari kita. Mengorek lubang telinga dengan jari memang nyaman bagi si empunya jari. Lobang telinga memang sering gatal. Mungkin karena ada kotorannya (Jawa: Cureg). Orang yang melihat, rasanya pasti “eneg”, kata orang Jawa.

Satu lagi lobang yang amat sering jadi tujuan jari adalah lobang hidung. Kita sering membersihkan kotoran di hidung (Jawa: upil) dengan jari.Ini juga perilaku “degsura” yang kira-kira paling banyak kita lakukan di luar kesadaran. Sampai ada “cangkriman” Jawa: Apa sing mlebune lenceng metune bengkong? (apa yang masuknya lurus keluarnya bengkok? Jawabannya tentusaja orang mencari “upil”. Demikian pula pernah saya baca teka-teki bahasa Indonesia, mengapa kayu di bagian bawah meja permukaannya kasar? Jawabannya: Karena banyak upil dileletkan disitu.

Yang ini mungkin tidak terlalu menjijikkan tetapi tidak sopan. Yaitu bila muka kita terasa berminyak kemudian kita usap pakai tangan. Pakailah saputangan atau tissue. Sedapat mungkin sebelum kita bertemu seseorang kalau muka kita berminyak, kita bersihkan dulu. Saya ingat pernah mendampingi pimpinan ke suatu desa di atas bukit yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Sebelum masuk rumah pak Kades, boss saya bilang: “Bersihkan muka dulu, sisir rambut, supaya tidak kelihatan nggilani”.

Perilaku di atas menunjukkan hal-hal yang tidak pantas karena ada unsur “menjijikkan”. (Blobok, Cureg, Upil). Bayangkan saja kita sedang bincang-bincang dengan orang, orang itu kuku jarinya kotor, kemudian selama perbincangan dia sempat uthik-uthik upil”. Selesai bicara, dia berpamitan, mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Mau tidak diterima, kita yang jadi tidak sopan (degsura), kalau diterima kita merasa jijik.

MEMBERIKAN SESUATU

Memberikan sesuatu yang ada pegangan atau pangkalnya maka yang kita hadapkan pada si penerima adalah bagian pangkal atau pegangan. Bagian ujung atau bagian tajam menghadap ke diri kita. Bila kita melakukan sebaliknya, termasuk perilaku “degsura”, tidak sopan. Contoh: memberikan pisau, tongkat, payung.

GERAK TANGAN SAAT BICARA

Dalam budaya Jawa, berbicara dengan tangan bergerak kesana-kemari (Jawa: tangan srawean) dianggap perilaku tidak sopan. Mungkin ini agak spesifik Jawa karena di tempat lain hal ini tidak menjadi masalah. Dalam hal ini kita tidak boleh begitu saja “nggebyah uyah” bahwa orang yang bicara dengan tangan “srawean” adalah orang “degsura”.

MENUNJUKKAN SESUATU

Menunjukkan sesuatu sebaiknya dengan ibu jari (jempol) jangan dengan jari telunjuk, karena hal ini termasuk perilaku “degsura”. Apalagi dengan mengacungkan kaki, amat tidak sopan. Sering kita tidak sadar, saat sedang berdiri sementara tangan masih pegang sesuatu, kemudian kita menunjukkan sesuatu yang letaknya di lantai dengan ... ujung kaki kita.

Bulan Maret lalu ada reuni teman-teman FK UGM yang usianya sebagian besar di atas 55 tahun. Ada yang iseng mengumpulkan foto “olah jari” mereka. Ternyata banyak yang menggunakan “jari telunjuk” untuk menunjukkan sesuatu. Komentarnya kurang-lebih: Perilaku jari orang yang pernah jadi boss. Sayang saya tidak hadir waktu itu. (IwMM)

SUBASITA JAWA (3): KENTUT, BERAK DAN KENCING

Sumber tulisan ini adalah “Serat Subasita” karangan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, tahun 1914. Apakah orang Jawa kira-kira 100 tahun yang lalu perilaku toiletnya masih amburadul sehingga dimasukkan dalam buku tentang sopan-santun, entahlah. Dalam penulisannya, ki Padmasusastra juga mengaitkan dengan perilaku orang Belanda pada saat itu

KENTUT

Kalau ada cangkriman: “Nembak mengisor kena mendhuwur” (nembak ke bawah kena di atas) tidak ada jawaban lain selain kentut. Kentut merupakan kebutuhan. Orang yang tidak bisa kentut akan berurusan dengan dokter, sementara orang yang “ngentutan” akan berurusan dengan “subasita” walaupun bisa lucu juga.

Kalau kita terpaksa “kebrojolan” kentut apalagi keluar bunyi, cepat-cepatlah mohon maaf pada teman di dekat kita. Jangan diam-diam saja. Mereka pasti memaafkan walaupun dalam hati berkata “asem kecut”. Wanita sering malu mengakui padahal kentut tidak membedakan gender.

Bangsa kita barangkali termasuk tukang kentut (mungkin pengaruh makanan kita) yang malu mengakui (padahal kentut kita amat bau apalagi kalau suka makan pete). Sehingga di internet banyak kita jumpai banyolan tentang kentut, salah satunya adalah ini:

Sikap dan perilaku orangdari berbagai negara kalau kentut: Orang Amerika bilang “Excuse me”; orang Inggris bilang “Pardon me”; Orang Singapura bilang “I am sorry”; orang Indonesia pasti bilang “Not me, not me”. lelucon bertopik kentut ini masih banyak di internet, silakan cari sendiri.

BERAK

Kebelet berak juga sesuatu yang tidak bisa ditahan. Dalam “subasita” Jawa termasuk tidak sopan, tetapi mau tidak mau, suka tidak suka, kalau sedang bertamu kita harus berterusterang, minta ijin dan mohon maaf pada tuan rumah. Bila kita menjadi tuan rumah harus cukup arif untuk memberi ijin. Oleh sebab itu WC kita harus selalu bersih. Sehingga kalau ada tamu kita tidak malu mempersilakan tamu kita untuk menggunakannya.

KENCING

Tatakrama Jawa masih membolehkan bila kita bertamu dan kebelet pipis, mohon ijin kepada tuan rumah untuk menggunakan kamar kecilnya. Walau demikian sedapat mungkin, sebelum bertamu kita selesaikan dulu urusan perkencingan ini sehingga tidak perlu mengganggu toilet yang empunya rumah.

Dikaitkan dengan tatakrama Belanda pada masa itu, masalah toilet adalah rahasia. Tidak ada orang Belanda pamit kencing. Jadi kita harus empan papan. Kalau bertamu ke rumah orang Belanda, ya jangan pamit kencing.

Rumus umum, kalau bertamu selain bawa oleh-oleh kalau bisa jangan meninggalkan kotoran di rumah yang kita datangi (IwMM)

SUBASITA JAWA (4): YANG KELUAR DARI MULUT DAN HIDUNG

Segala sesuatu yang keluar dari mulut dan hidung kita, bisa benda atau bunyi, amat tidak mengenakkan bagi orang yang mellihat atau mendengarnya. Apa yang keluar, bisa akibat penyakit, bisa pula karena perilaku. Bila karena penyakit, mestinya kita tak usah keluar apalagi bertamu. Bila karena perilaku seharusnya bisa diperbaiki. Apa yang ditulis oleh Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, tahun 1914, dalam Serat Subasita rasanya masih relevan untuk saat ini.

MELUDAH

Di negara kita ini masih banyak orang meludah sebarang tempat, tetapi tidak ada tanda larangan meludah (Jawa: Idu) sebarangan plus denda seperti halnya di Cina. Meludah sembarangan disamping tidak sopan juga memudahkan penularan penyakit. Tatakrama Jawa masih mengijinkan kita meludah (dikaitkan dengan kebiasaan “nginang” pada masa itu). Tetapi harus meludah di tempat yang telah ditetapkan (disebut paidon). Waktu meludah mulut dilindungi dari samping dengan tangan. Dikaitkan dengan budaya Belanda yang tidak mengijinkan meludah, maka kalau sedang bersama orang Belanda (Serat Subasita ditulis tahun 1914) upayakan untuk tidak meludah.

BUANG INGUS

Terkait dengan tatakrama dan penularan penyakit, jangan buang ingus (Jawa: Ingus = umbel dan tindakan membuang ingus = sisi) sembarang tempat dan suasana. Memang

perilaku yang “nggilani” apalagi didukung bunyi “sentrap-sentrup” dari hidung karena kita berupaya mengisap ingus yang mau keluar. Ketika daya tampung rongga hidung sudah maksimal kita buang dengan memijat hidung pakai ibu jari dan jari telunjuk lalu udara kita dorong keras-keras melalui hidung. Ingus yang tertampung di tangan kita kibaskan dan sisa yang tertinggal kita usapkan ke baju atau dinding atau apa saja yang dekat dengan kita. Kenapa tidak pakai saputangan atau tissue dan kita keluarkan dengan bunyi minimal. Syukur kalau bisa menyingkir dulu dari orang banyak, baru sisi untuk membuang umbel.

BERSIN

Bersin (Jawa: wahing) bisa terjadi karena banyak hal. Rangsangan debu halus, alergi atau sakit flu. Bersin juga terkait dengan penularan penyakit dan tatakrama. Bila kita bersih sebaiknya menoleh ke samping kiri atau kanan yang tidak ada orang dan mulut kita lindungi dengan telapak tangan. Bila keluar ingus bersihkan dengan saputangan atau tissue. Bersin kalau terjadi memang sulit dicegah dan ditahan, tetapi sedapat mungkin upayakan supaya suaranya tidak terlalu membuat orang lain tidak nyaman.

BATUK

Batuk juga amat terkait dengan penularan penyakit dan tatakrama. Penyakit Tuberkulosis amat terkait dengan batuk. Sakit Influenza mempunyai gejala batuk, juga bersin, keluar ingus dan pasti meludahkan dahak (Jawa: riak). Ketika tahun 2009 dunia mengalami pandemi Influenza H1N1 yang secara salah kaprah disebut “Flu Babi”. Kementerian Kesehatan melancarkan kampanye penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat besar-besaran, khususnya mengenai “Cough Ethics”, tatakrama batuk. Batuk dan bersin sedapat mungkin menoleh, lindungi dengan tangan atau lengan baju. Masih ditambah “pakai masker” supaya apa yang kita batukkan atau bersinkan tidak mengenai orang lain.

DEHEM

“Dehem” adalah batuk-batuk ringan dan buatan ... ehemm, ehemm. Biasanya orang bertamu, Assalamualaikum, belum ada sahutan lalu dehem dehem. Sekedar menunjukkan kalau di luar ada orang, supaya tuan rumah keluar. Tidak disebut sebagai perbuatan tidak sopan. Dehem yang tidak sopan adalah dehem bila kita sedang berada di dekat atau berpapasan dengan wanita. Hal ini dianggap menggoda dan termasuk perilaku “degsura”.

BERSENDAWA

Lain bangsa lain budaya. Walaupun dalam budaya Jawa glegeken atau antob dianggap kurang sopan, di tempat lain ada yang berlaku sebaliknya. Jadi dalam masalah sendawa, kita harus bijak, lihat-lihat dulu sedang bersama siapa.

CEGUKAN

Cegukan (hiccup) bisa karena tersekat makanan atau penyakit, tidak bisa berhenti maupun dicegah. Walaupun suaranya tidak mengenakkan, orang yang melihat orang lain cegukan reaksinya bisa tertawa sampai kasihan. Orang yang cegukan sebaiknya menyingkir dahulu sampai cegukannya berhenti. Kalau berkepanjangan lebih baik pulang saja.

PENUTUP

Semua yang keluar dari mulut dan hidung kita, terkait dengan dua hal: penyakit dan “subasita”. Penyakit bisa menular (Influenza, Tuberculosis) bisa tidak menular (cegukan). Adab dalam hal batuk, bersin, meludah dan buang ingus dan dikaitkan dengan subasita Jawa sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi sampai sekarang masih harus diingatkan. Selama bangsa kita masih menganggap “Flu itu sakit biasa” maka batuk dan bersin akan dianggap biasa pula. Dulu waktu sekolah di Amerika Serikat, saya pernah batuk beberapa kali di kelas. Dosen selesai mengajar mendatangi saya: “Iwan kalau kamu sakit, pulang saja, istirahat satu dua hari”. Saya tahu maksudnya, supaya tidak menulari yang lain. Memang benar demikian. Kalau kita batuk dan bersin kemudian meludah dan buang ingus, ingatlah etikanya harus bagaimana. Tapi kalau sakit, pulang dan istirahat di rumah. Ini juga tatakrama (IwMM)

SUBASITA JAWA (5): MARAH

Apa yang ditulis oleh Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, 1914 dalam Serat Subasita mengenai “marah” adalah tatakrama bila kita menerima tamu atau bertamu. Intinya: Menahan diri, jangan marah.

MARAH SAAT MENERIMA TAMU

Bila sedang menerima tamu jangan marah kepada siapapun. Bila ada salahnya, biarkanlah dulu, marahlah atau luruskan kesalahannya setelah tamu pulang. Marah saat menerima tamu akan membuat tamu merasa tidak nyaman, bahkan bisa merasa diusir secara halus, sehingga tamu pamit pulang. Apa kita tidak menyesal?

Sebuah pitutur yang aneh barangkali. Mungkinkah kita marah saat menerima tamu? Bisa saja. Banyak hal bisa membuat kita marah. Oleh sebab itu Ki Padmasusastra mengingatkan kita semua. Sering juga kita sudah tahu tetapi lupa. Sebagai contoh, saat pembantu rumah tangga membawa minuman teh panas dalam gelas, yang mestinya dalam cangkir, maka istri kita ngamuk hebat. Mestinya tunda dulu marahnya setelah tamu pulang. Kepada tamu sampaikan maaf bahwa pembantu kita masih baru, belum tahu unggah-ungguh. Pembantu kalau masih baru, mana tahu bedanya bahwa teh panas harus disajikan dalam cangkir sedangkan es teh dalam gelas. Apalagi dia juga kita buat bingung karena tidak tahu reasoningnya mengapa untuk tukang kebun kita suruh buatkan teh dalam gelas yang besar, bukan cangkir.

IKUT MARAH SAAT BERTAMU

Demikian pula bila kita sedang bertamu. Jangan ikut memarahi kalau tamu sedang marah kepada seseorang. Misalnya tuan rumah memarahi anaknya, pembantunya atau orang lain yang pas datang saat kita bertamu. Disamping membuat orang yang dimarahi tidak senang kepada kita, belum tentu tuan rumah suka kalau kita ikut campur urusannya. Biarkanlah ia marah dan sikap terbaik kita adalah pura-pura tidak tahu.

CATATAN

Di atas adalah adab marah saat bertamu atau menerima tamu yang berlaku pula di pergaulan yang lebih luas. Dalam Pitutur Kumpulan 4 dapat dibaca bahwa kalau kita harus marah maka: kendalikan dulu hati yang panas, kalau bisa yang mau kita marahi kita suruh menyingkir atau kita yang menyingkir (supaya tidak keluar amarah) dan kalau harus marah jangan berlebihan (jangan kehilangan akal sehat). IwMM

SUBASITA JAWA (6): BICARA

Benar kata peribahasa “Berbicara peliharalah lidah” atau “Mulutmu harimau kamu”, maknanya kita harus hati-hati dengan pembicaraan kita. Dalam “Serat Subasita” bukan “isi” pembicaraan yang dibahas melainkan “cara” kita bicara

Apa saja yang termasuk “degsura” dalam cara kita bicara?

Pertama, adalah “bicara dengan suara keras”. Tatakrama Jawa memang mengajarkan agar kita tidak bicara keras-keras, apalagi kalau posisi kita dekat dengan teman bicara kita.

Ke dua, adalah “bicara dengan berbisik-bisik” apalagi kalau ada orang lain lagi disamping teman bisik-bisik kita. Ada peluang kita disangka “ngrasani” orang itu. Kalau memang ada pembicaraan yang bersifat rahasia, keluar dulu ke tempat lain supaya tidak dicurigai bicara yang bukan-bukan.

Ke tiga, jangan bicara sambil tertawa karena termasuk degsura. Tidak bolehkan kita tertawa? Boleh-boleh saja kalau memang ada yang lucu, tapi bukan kita tertawa sambil bicara. Sudah semestinya pula kita tidak tertawa atas apa yang kita bicarakan. Yang tertawa mestinya teman bicara kita. Kalau toh kita harus tertawa, ya setelah selesai bicara. Tertawa dalam pitutur Jawa harus “empan papan”

Ke empat, bicara “celometan” didepan orang tua dan wanita adalah “degsura”. Wanita boleh mengusir laki-laki yang bicara “celometan”.

Ke lima, tidak bicara multitafsir di depan wanita. Multitafsir berarti mengandung rahasia, konotasinya hati kita tidak bersih. Walaupun wanita itu sudah akrab seperti saudara, tetap dianggap “murang tata”.

Ke enam, memotong pembicaraan orang lain. Jadi dengarkan dulu sampai orang selesai bicara, baru menimpali. Memotong atau menyela apalagi kemudian mengambil alih adalah tindakan degsura. Bila kita terlanjur memotong kemudian sadar akan kesalahan kita, cepat-cepatlah mohon maaf.

Ada teman orang Jawa juga, bertanya: Apa orang Jawa kalau ngomong harus ditata ya. Sebenarnya juga tidak tetapi ada tatakrama dalam bicara khususnya menghadapi orang yang lebih tua dan wanita. Walau demikian sifat anteng, meneng dan jatmika adalah yang lebih baik, paling tidak menurut ukuran dulu.

SUBASITA JAWA (7): MENJAGA PANCA INDRA

Pancaindera adalah Penglihatan (mata), pendengaran (telinga), Pengecap (lidah), Penciuman (hidung) dan perasaan (perabaan). Yang ditulis oleh Ki Padmasusastra dalam Serat Subasita, 1914 adalah empat hal yang tersebut pertama, sedang yang terakhir “perasa” yang umum kita kenal sebagai rasa “raba” diganti rasa “hati”.

PENGLIHATAN

Kalau berbicara dengan wanita supaya membersihkan diri dari pikiran kotor, anggap saja bicara dengan sesama pria. Mata adalah jendela jiwa. Jadi hati-hati bicara dengan wanita. Melirik adalah pantangan besar karena melirik dianggap sebagai cerminan hasrat tidak baik yang tersembunyi dan dipancarkan melalui perilaku tidak sopan dari mata.

PENDENGARAN

Bila ada orang berbicara rahasia, jangan tergelitik untuk ikut mendengarkan. Jangan dengarkan atau kalau kita masih terangsang untuk mendengar, lebih baik menyingkir. Sesuai dengan peribahasa ana catur mungkur

PENGECAP

Kalau mendapat suguhan makanan atau kue jangan terlalu lahap tetapi juga jangan kelihatan enggan. Terlalu lahap sepertinya menunjukkan kita ini orang rakus. Apalagi sudah ikut makan masih bawa pulang. Tindakan nucuk ngiberake ini memalukan. Makan terlalu sedikit juga tidak sopan. Masih lebih baik bila tidak ambil samasekali. Tapi jangan sampai kita mencela bahwa makanannya tidak enak.

PENCIUMAN

Penciuman disini terkait dengan bau badan. Menarik bahwa pada tahun 1914 Ki Padmasusastra sudah menjelaskan bahwa menggunakan wewangian termasuk tatakrama. Bahkan sudah menjelaskan tentang bedanya parfum pria dan parfum wanita. Disebutkan bahwa pria menggunakan pendel enz dan wanita menggunakan melati enz. Maksudnya supaya orang tahu sebelum melihat: Yang datang pria atau wanita. Barangkali pengaruh Belanda.

PERASAAN HATI

Memelihara perasaan orang yang kita datangi adalah amat penting. Perasaan hati adalah yang paling penting dalam memelihara hubungan silaturahmi kita dengan sesama manusia. Satu catatan yang perlu diperhatikan kalau kita bertamu, bagaimanapun gayengnya jangan sampai tuan rumah bosan lebih dahulu. Lebih baik kita pamit sebelum tuan rumah merasa cukup. Hal ini tidak merugikan kedua belah pihak, justru mengawetkan tali persaudaraan.

CATATAN

Dalam berhubungan dengan sesama manusia, kita memang harus menggunakan pancaindera secara optimal sesuai norma kemasyarakatan yang berlaku. Ki Padmasusastra tidak memasukkan indera perabaan dan mengganti dengan perasaan hati karena perabaan memang hanya kita gunakan satu kali maksimum dua kali yaitu saat bersalaman ketemu dan bersalaman berpisah (IwMM).

SUBASITA JAWA (8): MEROKOK

Yang dibahas dalam Serat Subasita, karangan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, 1914 adalah sopan santun orang merokok saat bertamu. Bukan larangan merokok. Bagaimanapun tidak merokok adalah yang paling baik. Saya tulis karena rasanya masih ada yang relevan untuk jaman sekarang, walaupun tinjauannya hanya dari sisi tatakrama, bukan dari sisi kesehatan. Tetapi kalau diperhatikan, orang yang menggunakan etika ini dalam urusan merokok, sebenarnya nyaris tidak ada peluang untuk merokok, kecuali dia sendirian dan tidak ada orang lain di dekatnya. BERTAMU

Merokok saat bertamu merupakan perilaku “degsura”. Kalau dalam perjalanan kita merokok, kemudian sampai di rumah yang kita tuju rokok masih panjang, jangan sayang membuang jauh-jauh puntung yang masih panjang itu (matikan dulu apinya). Jangan sampai kita masuk rumah atau kantor orang dalam keadaan kebal-kebul merokok.

Jangan merokok rokok kita sendiri, tunggulah sampai ditawari rokok oleh tuan rumah. Jadi kalau tuan rumah tidak merokok ya jangan merokok. Pada jaman sekarang masih

banyak perokok yang tidak bisa menahan diri kalau bertamu baik di rumah/kantor sesama perokok maupun bukan perokok. Tuan rumah yang perokok barangkali tidak memasalahkan tetapi yang bukan perokok pasti merasa tidak senang walaupun tidak diungkapkan.

Setelah rokok suguhan habis, jangan terus mentang-mentang boleh merokok lalu menyalakan rokoknya sendiri. Hal ini tidak sopan karena dianggap meremehkan suguhan. Kalau masih ingin merokok ya tunggu sampai tuan rumah menawari lagi. Mudah-mudahan saja tuan rumahnya perokok berat dan menawari lagi, sehingga bisa sambung-menyambung dengan lancar.

Kalau yang ditawarkan cerutu, sedangkan kita tidak kuat merokok cerutu, maka kita boleh menolak dengan alasan bahwa cerutu terlalu berat, kemudian mohon ijin merokok rokok kita sendiri. Tetapi kalau tuan rumah kemudian menyodorkan rokok yang bukan cerutu, tidak ada alasan bagi kita untuk merokok punya kita sendiri.

MENERIMA TAMU

Eyang saya dulu pegawai Belanda dan perokok. Setelah merdeka pun di rumahnya masih menyediakan cerutu, rokok putih dan tembakau shag maupun pipa. Bila ada tamu, yang ditawarkan adalah cerutu dan rokok putih yang tersimpan dalam kotak bagus.

Dalam Serat Subasita disebutkan bila kita punya cerutu dan rokok putih tersimpan dalam satu “slepen” (tempat rokok), pilih yang bagus, ditarik sedikit supaya mudah mengambilnya, kemudian lebih sopan kalau menawarkan cerutunya lebih dahulu.Habis itu nyalakan sekali rokoknya. Kalau tamu memilih sigaretnya, itu cerita lain. Boleh-boleh saja.

MEROKOK DI DEPAN WANITA

Unggah-ungguh Jawa pada dasarnya menghormati wanita. Kita tidak boleh merokok di dekat wanita. Tidak hanya membuat sesak napas tetapi juga tidak sopan. Saat itu orang barangkali belum tahu bahwa orang yang tidak merokok kalau dekat dengan orang yang sedang merokok sebenarnya termasuk merokok juga, yang disebut perokok pasif. Perokok pasif pun berisiko untuk terkena kanker paru. Demikian pula untuk wanita hamil sebagai perokok pasif pun punya risiko  melahirkan  bayi dengan berat badan rendah

Budaya Belanda pada masa itu membolehkan merokok di dekat wanita, asal minta ijin dan diberi ijin. Dengan catatan asap tidak boleh lari ke arah wanita di dekat kita. Kalau mengarah ke wanita di dekat kita, asap tersebut harus kita usir. Entah dengan tangan atau dengan alat lain. Ya kalau begitu lebih baik tidak usah merokok

CATATAN

Jangan lupa ini adalah tulisan tahun 1914. Jaman sekarang aturan mengenai rokok sudah semakin ketat. Penyuluhan mengenai bahaya rokok untuk diri sendiri maupun orang lain juga sudah cukup gencar. Ancaman denda besar untuk orang yang merokok di tempat larangan merokok juga sudah ada, tapi dimana-mana masih banyak orang merokok.

Subasita  merokok di atas, kalau kita terapkan demi keselamatan orang lain, sebenarnya  bisa membatasi hasrat orang ingin merokok, kalau ia mau melaksanakan. Contohnya:

(1) Pasti tidak akan ada orang merokok di dalam kendaraan umum, karena disitu pasti ada wanita, berarti tidak boleh merokok. (2) Ketika bertamu, kalau hitungan kasar persentase perokok adalah 30 persen maka peluang kita untuk merokok kira-kira hanya satu banding tiga. Itupun kalau ditawari. Kalau tidak ditawari, ya ngaplo karena dilarang merokok rokoknya sendiri (IwMM).

SUBASITA JAWA (9): MAKAN

Makan adalah hal penting. Dalam hubungan dengan makan bersama orang lain, baik kita sedang bertamu disuguhi makanan, sebagai tuan rumah menyuguhkan makanan maupun makan bersama teman-teman di restoran, rumusnya hanya satu, jangan sampai kita membuat orang lain merasa tidak nyaman. Perilaku-perilaku yang bisa membuat orang lain kehilangan nafsu makan atau perilaku tidak sopan ditulis oleh Ki Padmasusastra Ngabehi wirapustaka di Surakarta, 1914 dalam Serat Subasita sebagai berikut:

MENGUNYAH MAKANAN

Dikunyah pelan pelan dan jangan menimbulkan bunyi (Jawa: kecap). Orang yang kalau makan “kecap” disamping “saru” juga membuat “enek” orang lain. Apalagi kalau yang dimasukkan mulut terlalu banyak kemudian nasi yang kita kunyah kelihatan dari luar. Oleh sebab itu kalau mengunyah makanan jangan sambil bicara dan bibir harus tertutup.

MENGGIGIT MAKANAN

Jangan menggigit daging kemudian ditarik dengan tangan. Atau memotong (Jawa: nyuwil) dengan kedua tangan. Potongan daging jangan besar-besar. Yang pas dengan mulut kita sehingga tidak sulit mengunyahnya. Perhatian bagi yang suka “mengeremus” tulang muda, kalau makan bersama orang lain sebaiknya tunda dulu hasrat “mengeremus” tulang muda. Hal ini amat tidak sopan.

TUSUK GIGI

Hati-hati menggunakan tusuk gigi. Mencukil makanan yang terselip jangan demonstratif, tutuplah dengan tangan. Makanan yang tercungkil (Jawa: slilit) sebaiknya ditelan saja (toh sama dengan yang barusan kita makan). Sekali-kali jangan kita tiup keluar dan jatuh entah kemana. Bisa saya tahu-tahu nempel di jidat orang di seberang kita. Meletakkan cukilan makanan di piring pun bisa membuat mual sebelah kita kalau ia sensitif.

BERSENDAWA

Bersendawa sebenarnya diperbolehkan, tetapi kalau kita makan bersama orang banyak yang berbeda adat istiadatnya hendaknya kita mampu menahan diri.

MENGAMBIL MAKANAN DAN MENYELESAIKAN MAKAN

Jangan meraih lauk yang jauh dari kita walaupun enak. Ambil yang dekat-dekat saja, kecuali ditawarkan dan tempat lauk didekatkan ke kita. Mengambil nasi dan lauk jangan terlalu banyak. Disamping tidak sopan kalau kemudian tidak habis akan semakin memalukan. Upayakan kita bisa menyelesaikan makan bersama-sama dengan yang lain, walaupun tatakrama tuan rumah, ia menyelesaikan makan setelah yang lain selesai.\

KULIT BUAH

Bila hidangan penutup adalah buah yang masih lengkap dengan kulitnya, misal Pisang, jeruk, duku, klengkeng, salak, dll buanglah kulit di piring atau di tempat yang telah disediakan. Jangan diletakkan di taplak meja atau dibuang begitu saja.

KEPERCAYAAN

Budaya Jawa akomodatif terhadap kepercayaan orang lain. Mengenai sisa makanan pun setidaknya ada dua aliran yang dianut orang Jawa. Pertama kalau kita makan harus bersih. Artinya jangan ada sisa nasi sebutirpun. Nanti Dewi Sri menangis. Hal ini saya tulis dalam Dewi Sri: Ikut mendidik anak. Yang kedua, disisakan sekitar satu suap. Simbol untuk tidak menghabiskan “kamukten” atau simbol supaya anak cucu masih bisa menikmati rejeki. Bisa juga sengaja disisakan karena sisa makanan (utamanya orang besar) dipakai untuk ngalap berkah oleh orang kecil. Tentang piring bersih atau disisakan tidak ada yang memasalahkan. Yang penting kalau disisakan ya ditata yang rapi di pinggir, jangan berserakan

CATATAN

Pitutur di atas bukan “table manners” atau etiket makan yang dikaitkan juga dengan peralatan makan. Kalau bicara tentang “table manners” tentunya masih banyak yang harus kita patuhi. Kita bisa bingung memilih sendok, garpu, pisau, dan mungkin piring atau gelas yang harus kita pakai. Saya suka menyebut pitutur di atas sebagai etiket makan saja tanpa memperhatikan alat makan. Tetapi dalam urusan makan ternyata

lebih nyaman makan di rumah bersama keluarga. Etiket dijaga tetapi ketika harus “ngrokoti” tulang atau “ngremus” kepala ikan, melonggarkan sopan santun dapat dihilangkan sejenak (IwMM)

MEMAHAMI “SEMU” DALAM PITUTUR SUBASITA JAWA

Tatakrama atau subasita Jawa pada umumnya kita terima dari orang tua atau yang dituakan secara verbal. Bisa disampaikan oleh bapak ibu kita, Kakek dan nenek, Pak Dhe dan Budhe, Pak Lik dan Bu Lik, dan juga guru setelah kita masuk sekolah. Yang sering kita terima adalah: Apa yang harus dilakukan supaya kita tidak dianggap “murang tata”, tetapi tidak dijelaskan “mengapa harus demikian” Bagi anak yang “mbangun turut” sama orang tua karena wajibnya orang muda adalah mematuhi apa dhawuhnya orang tua, tidak ada kata lain kecuali “ngestokaken dhawuh”. Bagi anak yang berpikiran kritis, mereka akan merasa bahwa tindak tanduknya serba tidak benar tanpa alasan yang jelas. Untuk pola pikir jaman sekarang memang sulit   dimengerti. Mengapa pitutur saja disamarkan seperti “cangkriman” (teka-teki) yang ujung-ujungnya malah bikin bingung.

PITUTUR PARA SEPUH BERDASAR PENGALAMAN TURUN-TEMURUN

Orang tua memberi pitutur karena ia pernah mengalami, seperti ditulis Ki Padmasusastra dalam Serat Madubasa (1912). Disebutkan pula, kalau orang tua dalam memberi pitutur hanya sekedar menggerakkan bibir saja sementara kelakuannya pada masa muda justru kebalikannya, lebih baik tidak usah memberi pitutur. Anak muda yang mau mengikuti petunjuk orang tua dijamin tidak akan kecewa. Lengkapnya sebagai berikut:

Pituturing wong tuwa marang wong ênom, sayogya dilakoni, amarga si tuwa wis tau ngalami yèn lakune si ênom mangkana iku nyimpang saka garising bênêr, bakal tumiba marang luput, balik si tuwa ênggone awèh pitutur aja mung saka gampange ngobahake lambe bae, yèn kalakuane dhèk ênom, mangan, nginum, madon, madat sarta main durung dimarèni, sayoga ora pitutur bae, dene wong ênom kang anduwèni watêk kaya watêke wong tuwa, iku musthikaning budi, amêsthi bakal ora kêduwung uripe.

CONTOH SEDERHANA: TULADHA DARI “BERJALAN DAN BERBICARA" Ada pitutur sebagai berikut: “Yen mlaku aja rikat-rikat” (kalau berjalan jangan cepat-cepat). Disisi lain juga ada pitutur: “Yen lumaku aja rindhik-rindhik” (kalau berjalan jangan pelan-pelan). Jadi jangan terlalu cepat, sekaligus jangan terlalu pelan. Kesimpulannya langkah sedang. Lalu ukuran sedang itu seperti apa? Ya dirasakan sendiri.  

Apa sih salahnya berjalan terlalu cepat? Kalau dipikir ada benarnya juga pitutur tersebut. Bisa-bisa orang yang melihat kita jalan terlalu cepat akan mengira bahwa kita buru-buru karena ada masalah. Dalam hal ini kita telah membuat orang lain kaget. Saya sendiri terbiasa jalan cepat. Saat saya mengikuti Diklatpim, ada teman yang memberi pitutur (bukan orang Jawa): “Mas, anda akan kelihatan lebih anggun kalau kecepatan jalannya dikurangi”. Saya pelankan langkah: “Lha kenapa Bang?” Alasan teman saya enteng saja: “Supaya nggak dikira kebelet berak”. Sejak saat itu kalau saya merasa jalan terlalu cepat, saya ingat teman saya yang satu ini.  Lalu apa jeleknya berjalan terlalu lambat? Ada teman wanita yang gregeten melihat laki-laki yang jalannya lambat-lambat: “Rasanya ingin nendang pantatnya”. Alasannya masuk akal juga. Kalau jalan terlalu lambat seperti tidak kelihatan greget, atau semangatnya. Bagaimana dia bisa memotivasi bawahannya kalau klelar-kleler klelat-klelet gitu. Benar juga pikir saya.  Demikian pula dengan berbicara. “Yen omong aja seru-seru” dan “yen omong aja lirih-lirih”. Banyak orang Jawa yang kalau ngomong lirih, barangkali maunya seperti Raden Harjuna. Saya dulu juga biasa bicara lirih. Volume bicara saya keraskan sejak saya mengawali tugas sebagai dokter puskesmas di Maluku Utara. Umur saya belum 27 tahun waktu itu. Pada hari pertama bekerja Pak mantri puskesmas yang usianya dua kali umur saya memberi nasihat: “Pak dokter di sini jangan bicara seperti orang Jawa. Nanti dikira penakut”. Saya jawab: “Nanti kalau terlalu keras jangan-jangan dikira tidak sopan”. Pak mantri melanjutkan: “Maksud saya, pak dokter bicaranya yang keras, bukan berteriak”. Setelah saya pertimbangkan, betul juga ucapan pak mantri tua tadi. Terlalu lirih menunjukkan kelemahan.  Berteriak menunjukkan kemarahan. Jadi yang sedang-sedang saja. Kembali ke ukuran sedang itu seperti apa? Jawabnya supaya dirasakan sendiri.

NGGUTUK LOR KENA KIDUL dan KROSAK ING KENE GEDEBUG ING KANA

Ada orang yang sebenarnya mau menasihati atau nyindir (nyemoni) si A tetapi ngomongnya ditujukan kepada si B. Mungkin ia sungkan ngomong langsung ke si A. Dengan bicara ke si B ia berharap si A bisa menangkap apa yang ia maksud. Dalam paribasan Jawa hal seperti ini disebut NGGUTUK LOR KENA KIDUL (memukul ke utara kena yang di selatan) atau KROSAK ING KENE GEDEBUG ING KANA (suara di sini jatuhnya di sana).

Cara seperti ini agak susah untuk sampai ke alamat sebenarnya. Sudah ngomongnya semu, masih tidak langsung ke orangnya. Bisa saja si alamat tahu tetapi pura-pura tidak tahu, bisa juga ia termasuk orang yang tidak tanggap ing sasmita.

LIDING DONGENG 

Mengapa orang tua Jawa memberi pitutur sering tidak langsung tanpa penjelasan, kemungkinan karena sudah terbawa watak Jawa yang memang demikian. “Jawa panggonane semu”. Apa ya orang Jawa harus kehilangan “semu”. Jaman memang sudah berubah. “Semu” tidak harus berubah. Penerapannya saja yang perlu “empan papan” (IwMM)