pakasril.files.wordpress.com … · web viewkrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai...
TRANSCRIPT
STUDI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU
Oleh: Asril Dt. Paduko Sindo1
A. PENGANTAR
Krisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong
umat manusia untuk kembali memberikan perhatian terhadap agama dalam upaya mencari
solusi bagi berbagai persoalan aktual yang dihadapi. Perhatian itu terlihat semakin meningkat
secara signifikan, baik dalam bentuk ide, gagasan, pemikiran maupun gerakan. Banyak orang
kembali mengkaji dan mendiskusikan agama sebagaimana halnya juga semakin banyak orang
yang meningkat komitmen dan kepatuhannya terhadap agama. Seiring dengan itu, bidang studi
agama menemukan momentumnya untuk menjadi idola ilmuwan dalam berbagai bidangnya.
Meskipun sebagai suatu disiplin ilmu yang saintifik, studi agama dikatakan masih
tergolong muda2, namun pembahasan tentang agama bukanlah sesuatu yang baru. Kegiatan ini
boleh dikatakan seumur dengan agama itu sendiri. Studi agama telah mengalami pasang surut
seiring dengan dinamika kehidupan dan perkembangan keberagamaan masyarakat manusia.
Kadangkala ia muncul ke permukaan, meledak-ledak, dan menjadi bahan pembicaraan di mana-
mana. Sementara di lain kesempatan , ia berjalan dengan tenang dan diam-diam di bawah
permukaan.
Dalam beberapa dekade terakhir, studi agama semakin menggairahkan dan menarik
perhatian berbagai pihak. Yang terlibat dalam studi agama tidak hanya para agamawan dan
ilmuwan dengan berbagai bidangnya, tetapi juga para politisi dan pemegang kebijakan di
berbagai lingkungan. Studi agama dipandang sudah menjadi kebutuhan yang mutlak diperlukan
dalam tatanan kehidupan modern yang semakin komplek. Banyak pakar menggantungkan
1 Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2 M. Amin Abdullah, Pengantar dalam, Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, th. 2000, hal. 11
1
harapan pada intensifikasi dan ekstensifikasi kajian agama guna mewujudkan kehidupan sosial
yang harmonis di era globalisasi ini.
Dalam uraian berikut, penulis berusaha untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan
studi agama sebagai suatu disiplin ilmu, terutama berkaitan dengan pengertian, ruang lingkup
kajian, tujuan dan motivasi, serta sejarah singkat perkembangannya. Di samping itu, pada bagian
akhir uraian ini, akan dikemukakan, secara khusus, perkembangan studi Islam di Indonesia.
B. PENGERTIAN STUDI AGAMA
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan studi agama, ternyata, tidak sesederhana
yang dibayangkan. Hal itu terlihat dengan jelas, di antaranya, pada sebutan atau nama yang
digunakan. Dalam mengantar sekumpulan tulisan yang dieditnya, Ahmad Norma Permata
menegaskan: “mungkin tidak ada cabang ilmu yang memiliki sedemikian banyak nama yang
sama-sama popular dan digunakan luas secara internasional, selain ilmu studi agama”3. Di
antara nama-nama yang digunakan untuk ilmu ini ialah Study of Religion atau Study of World’s
Religions, Comparative Religions atau Comparative Study of Religion4, History of Religions,
Phenomenology of Religion, Sociology of Religion, Anthrophology of Religion, dll. Tentu saja,
masing-masing sebutan ini punya sejarah pemakaian dan penekanan makna sendiri-sendiri,
seiring dengan latar belakang, sudut pandang, dan motivasi para penulis dan pemakai yang
menggunakannya.
Persoalan ini menjadi tambah rumit ketika para ilmuwan dan penulis memahami agama
dengan arti yang juga beraneka ragam. Mereka menggunakan bermacam-macam rumusan
untuk menyatakan apa itu yang dimaksud dengan agama. Dalam berbagai uraian, para penulis
3 Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, hal. 19 4 Sebutan Perbandingan Agama atau Ilmu Perbandingan Agama ditolak oleh sebagian tokoh. Ini
terlihat antara lain dalam uraian J.B. Banawiratma, SJ yang berjudul “Ilmu Perbandingan Agama atau Ilmu Agama-agama”. Lihat, W.A.L. Stokhof, Ilmu Perbadingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), INIS, Jakarta, Seri INIS jilid VII, hal. 28-29. Penolakan ini disebabkan antara lain; perbandingan memberi kesan adanya maksud untuk memilih mana yang benar dan mana yang kurang benar. Padahal tujuan Ilmu ini, katanya, bukan untuk itu.
2
mencampuradukkan antara pengertian agama dan keberagamaan. Padahal, keduanya dapat
dan harus dibedakan artinya agar tidak terjadi kerancuan dalam pemahaman. Menurut hemat
penulis, kerancuan dalam pembicaraan mengenai agama sering ditimbulkan oleh karena
kegagalan dalam membedakan pengertian/definisi agama dan keberagamaan. Lebih jauh, tentu
hal ini juga akan mengakibatkan tidak jelas batasan antara studi agama dengan studi
keberagamaan.
Bagi penulis, agama bukanlah keberagamaan. Sebaliknya, keberagamaan tidak dapat
disamakan dengan agama itu sendiri. Secara definitif, agama ialah ajaran yang diyakini oleh
penganutnya berasal dari dzat ghaib yang maha kuasa, yang harus menjadi panduan dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Setiap penganut agama yakin dan percaya bahwa ada ajaran,
aturan, ketentuan, hukum, atau petunjuk yang berasal dari suatu kekuatan ghaib (sang Pencipta
dan pengatur kehidupan manusia) yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan melebihi
kekuasaan manusia. Ajaran itu diberikan oleh dzat ghaib tersebut sebagai pedoman bagi
manusia sebagai ciptaan dalam melaksanakan berbagai aktivitas hidup sehari-hari. Karena itu,
penganut suatu agama yang setia tidak akan berani menolak dan mengingkari agama yang
dianutnya.5 Misalnya, seorang Muslim mempercayai bahwa ada ajaran yang mengharuskan ia
berpuasa dalam bulan Ramadhan. Ia yakin bahwa perintah tersebut berasal dari dzat ghaib yang
maha kuasa. Karena itu, meskipun ia dalam keadaan sendirian, tidak ada orang lain di sekitanya,
ia akan tetap puasa sebab yang mengawasi adalah kekuatan ghaib. Pada agama-agama besar,
ajaran tersebut dikompilasi sedemikian rupa ke dalam satu atau beberapa kitab suci yang
diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Sementara pada sebagian agama,
ajaran itu dipelihara dalam ingatan penganutnya serta diwariskan secara lisan kepada generasi
berikutnya.
5 Itu sebabnya prosesi awal seseorang menganut suatu agama diawali dengan syahadat atau persaksian/ pengakuan bahwa ia mempercayai kebenaran dari ajaran agama yang bersangkutan betul-betul berasal dari Dzat Yang Maha Kuasa, Maha Mencipta, dan Maha Mengetahui. Pengakuan inilah yang “memaksa” seseorang penganut agama untuk melakukan segala ketentuan agama yang dianutnya. Seseorang berhak memilih untuk mengakui atau tidak. Namun, ketika ia sudah mengakui maka tak ada pilihan lain kecuali mengikutinya. Seseorang yang di hatinya menyatakan pengakuan, tetapi dalam praktik hidupnya tidak taat pada agamanya dikatakan kafir (membangkang atau bandel). Sementara mereka yang hanya menyatakan pengakuan secara verbal, tidak di hatinya, lalu bertindak sesuai dengan kata hatinya, disebut munafik, lain di mulut lain di hati dan tindakan.
3
Sementara keberagamaan adalah pemahaman dan pengamalan seseorang terhadap
ajaran dari suatu agama tertentu. Agama berisi teks, kalimat-kalimat, pernyataan-pernyataan
yang harus dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman seseorang
terhadap agama yang dianutnya bersifat subjektif dalam arti sangat ditentukan oleh berbagai
hal yang terkait dengan orangnya. Dua orang yang menganut agama yang sama sering
mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap satu teks tertentu dari agama mereka.
Perbedaan pemahaman tentu akan membawa perbedaan pula pada pengamalannya. Oleh
karena itu, keberagamaan dua orang penganut agama yang sama sering terlihat berbeda. Yang
berbeda adalah keberagamaannya, bukan agamanya.6
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa studi agama yang berkembang
selama ini punya dua wilayah atau objek kajian yang sangat berbeda, yaitu studi tentang agama
itu sendiri, yaitu tentang ajaran-ajaranya, dan studi tentang keberagamaan, yaitu tentang
pemahaman dan pengamalan ajaran tersebut oleh para pengikutnya. Dengan demikian, studi
agama adalah kajian tentang agama sebagai norma atau doktrin yang diyakini kebenarannya
oleh penganutnya serta kajian tentang keberagamaan sebagai pemahaman dan pengamalan
ajaran suatu agama yang mempengaruhi pola kehidupan suatu masyarakat beragama.
Sejalan dengan itu, Friedrich Max Muller (1823-1900M) yang dipandang sebagai bapak
studi agama modern menggunakan sebutan Religionswissenschaft, pengetahuan tentang
agama, yang mengandung makna pengetahuan dalam arti science dan pengetahuan dalam arti
knowledge tentang agama7. Muller menggunakan ungkapan wissenschaft karena menyadari
bahwa studi agama meliputi dua wilayah kajian; saintifik dan non-saintifik. Namun, kesulitan
mencari padanan kata ini dalam bahasa Inggeris, apalagi ditambah dengan kegandrungan
ilmuwan moderen dengan kajian saintifik yang empirik, membuat banyak ilmuwan lebih
6 Tidak ada agama yang tak melahirkan “perpecahan internal” yang menyebabkan penganutnya terkotak-kotak ke dalam berbagai aliran, madzhab, dan sekte. Namun, betapa pun terpecahnya suatu agama, kita tetap bisa melihat “rumpunya” yang satu. Islam misalnya terpecah menjadi berbagai aliran, Sunny-Syi’ah, Mu’tazilah-Ahl al-Sunnah, dst. Harus diakui bahwa semua adalah Islam, bersumber dari Islam yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Demikian pula, Kristen Protestan-Katholik dengan puluhan sekte dan aliran yang ada di dalamnya sesungguhnya adalah satu agama yang berasal dari ajaran Isa as. Demikian seterusnya pada agama-agama lain.
7 Ibid., hal. 20
4
memperhatikan segi empirik dari suatu agama. Studi agama dalam arti sains meniscayakan
objek kajiannya bersifat empiris dan historis. Ini berarti bahwa bahasannya berkaitan dengan
pengalaman beragama seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan sosialnya. Padahal,
kajian agama tidak hanya berbicara tentang hal-hal yang empiris dan historis, tetapi juga
membahas hal-hal yang berada di luar jangkauan sains (non empiris), yang bersifat metafisis dan
ghaib. Ini menunjukkan bahwa studi agama juga membahas doktrin atau ajaran dari suatu
agama sebagaimana diyakini oleh penganutnya. Muller juga menggunakan sebutan Comparative
Religions. Sebutan Perbandingan Agama termasuk nama yang cukup populer di Indonesia untuk
mengungkapkan bidang studi agama. Dalam pengertian ini, wilayah kajian studi agama
mencakup hal-hal yang bersifat empiris (realitas keberagamaan umatnya) dan juga hal-hal yang
bersifat metafisis (ajaran atau doktrin yang diyakini kebenarannya oleh umatnya).
Dalam pengertian sejarah agama, studi agama dipahami sebagai kajian filosofis
terhadap agama sebagai sesuatu yang mendasari semua fenomena historis berbagai agama. Di
sini, berbagai aspek agama dijumpai dan dipelajari dengan menggunakan metode
perbandingan.8 Fokus kajian di sini, sesungguhnya, bukanlah agama, melainkan fenomena
sosiologis dari suatu masyarakat yang beragama. Yang dibicarakan adalah peran dari suatu
agama dalam kehidupan sosial suatu masyarakat atau sebaliknya peran kebudayaan suatu
masyarakat terhadap perkembangan agama tertentu dalam perjalanan sejarah. Paling tidak,
seperti yang dikatakan W.C. Smith, meskipun studi terhadap agama adalah studi terhadap
pribadi seseorang, namun ia menangani wilayah yang lebih personal yang tak selalu dapat
ditangkap, ia mengkaji sesuatu yang tidak secara langsung dapat diamati. Pengetahuan ini
bukan untuk mengkaji benda-benda seperti yang dilakukan para saintis, melainkan mengkaji
kualitas kehidupan pribadi.9
Studi agama yang membatasi diri hanya pada kajian ilmiah lebih tepat disebut studi
keberagamaan, bukan studi agama. Hal ini terlihat dengan jelas pada pernyataan Ninian Smart,
dalam uraiannya yang berjudul Batas-batas Studi Agama Ilmiah. Ia menulis sbb.:
8 Joseph M.Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam ibid., hal. 123 9 W.C.Smith, “Perkembangan dan Orientasi Ilmu Perbandingan Agama”, dalam ibid., hal. 76
5
“Kemudian, apa studi ilmiah agama itu? Untuk menjawab secara ringkas dan dalam pola yang agak tajam, adalah sebuah upaya yang bersifat aspectual, polimetodis, pluralistic, dan tanpa batas yang tegas. Ia bersifat aspectual dalam arti bahwa agama harus diperlakukan sebagai salah satu aspek dari eksistensi. Orang bersikap dan bereaksi secara religious, inilah yang diangkat oleh studi agama; sebagaimana ekonomi mengangkat perilaku ekonomi manusia. Studi agama bersifat polimetodis dalam arti bahwa berbagai metode atau disiplin yang berbeda digunakan untuk menangani aspek di atas. Oleh karena itu, orang perlu menangani agama dengan metode sejarah, penyelidikan sosiologis, fenomenologis, dan sebagainya. Ia pluralistic karena ada banyak agama-agama dan tradisi keagamaan, dan akan tampak bahwa tidak ada studi agama yang dilaksanakan dengan penuh yang tidak tertarik kepada lebih dari satu tradisi. Perlu ditekankan fakta elementer ini karena, pada masa lalu, teologi cenderung membatasi diri pada satu tradisi saja. Studi agama bersifat tanpa batas yang tegas, karena tidak mungkin atau tidak realistis untuk mengeneralisasi definisi yang baku tentang agama, atau lebih tepatnya. Berbagai definisi akan mencakup tentang kemiripan-kemiripan, sebagaimana diindikasikan oleh Wittgenstein.”10
Dengan tegas dinyatakan di sini bahwa yang diangkat dalam studi agama ilmiah ialah
sikap dan reaksi religius manusia, bukan ajarannya yang terlepas dari manusianya. Sikap dan
reaksi religius tersebut sesungguhnya bukanlah agama melainkan keberagamaan dari para
penganutnya. Ia merupakan respons manusia baik secara individu maupun berkelompok
terhadap suatu agama yang mereka anut. Studi agama ilmiah inilah yang melahirkan sebutan-
sebutan Islam Santri dan Islam Abangan, Islam Ekstrim dan Islam Moderat, Islam Inklusif dan
Islam Ekslusif dan berbagai sebutan lainnya. Semua atribut ini seharusnya tidak dilekatkan pada
Islam, melainkan pada orang/penganutnya. Yang bersifat santri atau abangan, ekstrim atau
moderat, inkslusif atau ekslusif, dan lain-lainya adalah orang/penganutnya bukan ajarannya.
Atribut ini semua berkaitan dengan penganutnya bukan dengan agamanya. Suatu agama
tertentu tak mungkin mengandung sekaligus sifat-sifat ekstrim dan moderat, fundamental dan
permisif, dst.
C. RUANG LINGKUP KAJIAN STUDI AGAMA
Bertolak dari pengertian studi agama sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dipahami
bahwa lapangan kajian ilmu ini mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan agama dan
keberagamaan umatnya. Kajian tentang agama merupakan bahasan tentang ajaran dari
10 Ninian Smart, “Batas-batas Studi Agama Ilmiah”, dalam ibid., hal. 1
6
suatu agama sebagaimana diyakini oleh penganutnya, yang meliputi sejarah awalnya dan
pokok-pokok ajaran yang harus dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-
hari oleh setiap penganutnya. Pada kajian ini, yang dibicarakan ialah berbagai ajaran dan
ketentuan yang harus ditaati oleh pengikutnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, yang menjadi objek kajian di sini adalah isi dari kitab suci yang diyakini
kebenarannya, bukan pemahaman dan pengamalan oleh penganut agama tersebut. Karena
acuan dari kebenaran kitab suci masing-masing agama bergantung pada keyakinan
penganutnya, maka studi agama pada wilayah ini bersifat subjektif. Masing-masing
penganut agama pasti akan mengklaim bahwa agama yang dianutnya pasti benar. Betapa
pun orang lain mengatakan bahwa agama yang dianutnya salah dan tidak benar, ia pasti
akan menolaknya dengan cara apa pun. Kajian ini sering dikatakan bersifat doktriner karena
tujuan utamanya ialah indokrinasi kepada para penganutnya. Studi agama dalam pengertian
ini biasanya dilakukan oleh penganutnya sendiri.
Beberapa persoalan penting yang menjadi kajian di sini, antara lain, konsepsi agama
tentang Tuhan, manusia dan kehidupannya, hubungan antara agama dengan tindakan dan
prilaku manusia, pahala dan dosa, kehidupan dunia dan akhirat. Berbagai pertanyaan yang
muncul di sini misalnya; bagaimana wujud Tuhan dan atribut yang dapat dilekatkan
padanya, apa makna hidup bagi manusia serta bagaimana menjalaninya, bagaimana
manusia harus mengimplementasikan pengabdiannya kepada Tuhan, dan lain-lain.
Sementara kajian tentang keberagamaan meliputi bahasan tentang pemahaman dan
aktualisasi ajaran agama tertentu oleh penganutnya dalam kehidupan nyata atau biasa juga
disebut kajian tentang pengalaman beragama dari suatu masyarakat penganut agama
tertentu. Setiap agama dipahami dan diimplementasikan oleh penganutnya dengan pola
dan cara yang beraneka ragam. Karena itu, setiap agama melahirkan sikap keberagamaan
yang berbeda-beda. Masing-masing penganut agama merespons agama yang dianutnya
dengan sikap dan pandangan yang berbeda-beda. Itu sebabnya, setiap agama pasti
melahirkan bermacam-macam madzhab atau aliran yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Yang menjadi sasaran kajian di sini adalah sikap dan praktik keberagamaan dari
penganut agama tertentu, bukan ajaran agamanya. Studi agama dalam pengertian ini
ditujukan pada prilaku manusia yang beragama atau pengalaman beragama dari suatu
7
masyarakat atau individu. Sorotan pertama ditujukan pada fenomena tingkah laku dan
tindakan manusia penganut agama tertentu, lalu dicari realitas lain yang ada di balik
fenomena tersebut. Itu sebabnya kajian ini bersifat empirik, sehingga sering diklaim objektif.
Masalah pokok yang menjadi objek kajian studi keberagamaan ialah pengalaman
beragama, respons atau tanggapan manusia terhadap realitas mutlak yang bersifat
imperatif, menggerakkan manusia untuk berbuat dan bertindak. Respons tersebut
mencakup wilayah pikiran dan tindakan, baik individual maupun berkelompok dalam
kehidupan sosial. Keberagamaan pada tingkat pikiran terlihat pada berbagai paham, ide,
gagasan, dan keyakinan-keyakinan tentang sesuatu. Sementara itu, keberagamaan pada
tingkat tindakan muncul dalam bentuk praktik peribadatan dalam berbagai wujudnya serta
berbagai sikap dan prilaku hidup dalam bidang-bidang ekonomi, politik, budaya, dll. Gejala
inilah yang selalu diberi berbagai atribut yang menggambarkan adanya kelompok-kelompok
dalam suatu agama tertentu.
Dengan kata lain, studi agama memusatkan perhatiannya pada konsep ideal (das sollen)
yang diajarkan oleh suatu agama, sesuatu yang diharapkan menjadi acuan dan pedoman
bagi manusia dalam menjalani hidupnya. Sementara itu, studi keberagamaan mejadikan
realita (das sein) sebagai pusat perhatiannya, pengalaman beragama dari sekelompok orang,
sesuatu yang empirik dan dapat diamati seperti objek-objek kajian ilmiah lainnya.
D. TUJUAN DAN MOTIVASI STUDI AGAMA
Kehadiran studi agama pada suatu tempat dan waktu tertentu tak bisa lepas dari
kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat yang bersangkutan. Secara alamiah, tentu saja,
studi agama timbul disebabkan kebutuhan dari penganut agama yang bersangkutan untuk
memahami dan mengamalkan ajaran agama yang mereka anut. Studi tentang suatu agama
tertentu juga bisa dilakukan oleh mereka yang menganut agama lain dengan berbagai
tujuan dan motivasi. Perkembangan studi agama dilatarbelakangi oleh aneka ragam
motivasi, tujuan, dan kebutuhan.
8
Secara singkat dapat dikemukakan beberapa tujuan dan motivasi studi agama yang
telah berkembang dalam perjalanan sejarahnya. Di antaranya:
1. Untuk kepentingan penganut agama itu sendiri. Mengingat agama adalah pedoman
hidup, tentu setiap penganut agama pasti merasa terpanggil untuk memahami berbagai
ketentuan yang diatur oleh agamanya agar ia hidup sesuai dengan panduan tersebut.
Suatu generasi akan mewariskan kepada generasi berikutnya agama yang mereka anut
dengan cara mengajarkannya. Kajian inilah yang sering disebut kajian normatif yang
bersifat doktriner.
2. Untuk menciptakan saling pengertian di antara penganut agama yang berbeda, baik
yang berbeda agamanya maupun yang berbeda paham keagamaannya. Sudah menjadi
realitas yang tak dapat dielakkan bahwa penduduk bumi ini terkotak-kotak ke dalam
berbagai agama yang berbeda satu dengan lainnya. Bahkan, penganut satu agama
tertentu juga terbelah-belah menjadi kelompok aliran/madzhab/sekte yang beraneka
ragam. Dalam situasi seperti ini, disadari bahwa salah satu langkah strategis untuk
menekan potensi konflik di antara penganut agama/madzhab yang berbeda ialah
dengan membuka pintu dialog sehingga tercipta kondisi saling memahami kondisi dan
posisi masing-masing.
3. Untuk kepentingan politik dan ekonomi. Studi agama juga sering dimanfaatkan untuk
kepentingan politik dan ekonomi. Misalnya, C. Snouck Hourgronje, seorang ahli Islam
Belanda, melakukan kajian dan mendalami ajaran Islam tak bisa dilepaskan dari
kepentingan politik Belanda guna menguasai Indonesia. Keberadaan studi agama seperti
inilah yang sering menimbulkan kecurigaan dan sak wasangka, yang menyebabkan studi
agama ditolak.
4. Untuk mencari kelemahan pihak lain yang berbeda agama atau alirannya. Studi agama,
terutama dalam bentuk perbandingan agama atau madzhab, juga dapat dimanfaatkan
untuk mencari-cari dan menunjukkan kelemahan agama atau madzhab lain. Seorang
penganut suatu agama atau suatu madzhab tertentu mengkaji agama atau madzhab lain
sebagai upaya untuk menunjukkan keunggulan dan kebenaran agama/madzhab yang
9
dianutnya. Di antara penganut agama-agama yang ada dapat dipastikan ada saja yang
melakukan kajian agama dengan tujuan seperti ini.
5. Murni untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Kita tak dapat pula menutup mata dari
realita bahwa diantara para pelaku studi agama, ada yang melakukannya sebagai wujud
dari aktivitas keilmuan. Kajian mereka dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap
sesuatu sebagaimana adanya demi kepentingan ilmu pengetahuan. Tidak ada pada
mereka niat untuk mencari kelemahan agama lain dan menunjukkan kelebihan agama
yang ia anut. Mereka hanya konsern dengan realitas sebagai yang mereka amati dan
pahami.
E. AGAMA DI MATA SAINTIS
Pandangan para saintis terhadap agama jelas berbeda dengan pandangan para
agamawan. Seorang penganut agama memandang agama yang dianutnya sebagai sesuatu
yang harus diyakini dan diterima sebagai sesuatu yang benar. Sementara itu, para saintis
atau ilmuwan berbicara agama sebagai suatu objek kajian yang diperlakukan sama dengan
objek-objek kajian lainnya. Para saintis mengkaji dan memandang agama sesuai dengan
bidang ilmunya masing-masing. Secara paksa, mereka menerapkan konsep-konsep yang
berlaku dalam bidang ilmu yang digelutinya untuk membicarakan berbagai persoalan yang
terkait dengan agama. Dengan kata lain, sesungguhnya para pakar di luar ilmuwan agama
tidak berbicara tentang agama tertentu, melainkan mereka berbicara tentang peran dan
fungsi atau pengaruh dari agama terhadap objek kajiannya.
Hal itu terlihat dengan jelas misalnya pada para ahli Sosiologi, yaitu ilmuwan yang
mencurahkan perhatiannya pada segi-segi sosial dari kehidupan masyarakat. Ketika sosiolog
berbicara tentang agama, perhatian utama mereka adalah bagaimana suatu agama
mewarnai dan membentuk pola-pola dan struktur kehidupan sosial masyarakat yang
bersangkutan. Mereka pada dasarnya tak peduli dengan agama apa pun yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan. Begitu juga para Psikolog yang konsern dengan prilaku dan
segi-segi kejiwaan manusia ketika berbicara tentang agama, tentu perhatiannya lebih
tertuju pada gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan atau dipengaruhi oleh agama
10
yang dianut oleh masyarakat tertentu. Demikian seterusnya, para saintis seperti ini, selalu
akan berbicara mengenai keberagamaan seseorang atau suatu masyarakat, bukan berbicara
agama seperti yang dilakukan oleh pakar agama.
F. PENDEKATAN DAN METODE STUDI AGAMA
Secara garis besar, bentuk pendekatan dalam kajian agama ada dua: pendekatan teologi
yang bersifat normatif-doktriner dan pendekatan sejarah yang bersifat empiris-sosiologis.
Pendekatan pertama berangkat dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-masing
agama. Ia bercorak literalis, tekstualis, atau skripturalis. Sementarra pendekatan kedua
berangkat dari realitas sosial yang tumbuh dan berkembang dalam perjalanan sejarah. Ia
melihat agama sebagai sesuatu yang dinamis seiring dengan dinamika kehidupan umat
manusia yang menganut agama yang bersangkutan.
Studi agama dengan pendekatan sejarah bukanlah sededar membicarakan sejarah dari
agama yang bersangkutan. Kajian sejarah agama seperti Sejarah Islam, biasanya, hanya
berbicara tentang pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek tertentu dari suatu agama,
misalnya aspek politik, ekonomi, social, dan lain-lain. Tidak jarang sejarah Islam dipahami
sebagai sejarah orang (umat), bukan sejarah agamanya.
Dalam studi agama dengan pendekatan sejarah, yang dibahas ialah bagaimana suatu
agama dipahami dan diaktualisasikan oleh individu atau masyarakat penganutnya pada
rentangan atau periode waktu tertentu atau bagaimana suatu individu atau masyarakat
tertentu dipengaruhi da dikuasai oleh suatu ajaran agama tertentu. Dari kajian seperti ini
akan diketahui juga bagaimana kehidupan individu dan masyarakat mempengaruhi ajaran
agama yang bersangkutan. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa antara agama sebagai sebuah
ajaran terdapat hubungan timbal balik dan simbiosis dengan prilaku hidup manusia sehari-
hari, baik yang b ersifat individual maupun yang bersifat social.
Oleh karena itu, studi agama dengan pendekatan sejarah dapat dipandang sebagai
upaya untuk menelusuri asal-usul pertumbuhan pemikiran-pemikiran dan lembaga-lembaga
keagamaan pada periode-periode perkembangan sejarah tertentu, serta untuk memahami
peranan agama dalam kehidupan masyarakat pada periode-periode tersebut
11
Studi agama dengan pendekatan historis yang bersifat empirik dan sosiologis ini telah
dikembangkan oleh para pakar dari berbagai bidang ilmu, seperti sosiologi, antropologi,
psikologi, dan lain-lain. Penjelasan psikologis terhadap agama misalnya telah diusahakan
oleh Wilhelm Wundt (1832-1920M), William James (1842-1910M), dan Sigmund Freud
(1856-1939M). Fenomenologi agama menemukan otoritas pertamanya dalam diri Gerardus
van der Leew (1890-1950).11
Masing-masing pendekatan, normatif dan historis, dinilai punya kelemahan sendiri-
sendiri. Karena itu, studi agama tidak mungkin hanya dengan mengkaji aspek doktrinal
tanpa keterkaitan dengan aspek sosio-praksis yang menyertainya. 12 Lebih jauh dikatakan
bahwa untuk menolong melerai atau setidaknya menjernihkan bercampuraduknya dimensi
doktrinal-teologis dan kultural-historis, diperlukan refleksi-kritis yang biasa diwakili oleh
pendekatan kritis-filosofis.
G. SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN STUDI AGAMA
Mircea Eliade, dalam tulisannya Kronologi Studi Agama sebagai Cabang Ilmu,
menegaskan bahwa ilmu ini mulai dirintis dari abad ke-1913. Ia mencatat bahwa Max Muller
(1823-1900M) adalah perintis pertama ilmu ini. Pernyataan ini tentu saja tidak berarti
bahwa sebelum itu tidak/belum ada studi agama. Bahkan, Mukti Ali menegaskan bawah
yang meletakkan dasar-dasar ilmu perbandingan agama adalah Ali ibn Hazm (994-1064)
dengan kitabnya al-Fashl fi al-Milal w-al-Ahwa’ w-al-Nihal, atau Muhammad Abd al-Karim
al-Syahrastani (1071-1153) dengan kitabnya al-Milal w-al-Nihal.14
Dokumen tentang studi agama untuk pertama kali dijumpai di kalangan masyarakat
Yunani sekitar 5 abad sebelum Masehi. Herodotus (484-425 sM), seorang sejarawan Yunani
Kuno, tercatat sebagai orang pertama yang menaruh minat dan memperhatikan agama-
agama yang dianut oleh orang-orang di luar Yunani. Untuk itu, ia mengunjungi lebih dari 50
11 Mircea Eliade, hal. 72.
12 Amin Abdullah, hal.8
13 Hal.6114H.A.Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia”, dalam W.A.L. Stokhof, ibid, hal.5
12
bangsa dan suku bangsa serta membuat catatan tentang adat kebiasaan mereka, termasuk
tentang keberagamaannya. Dalam uraiannya, ia telah mengemukakan berbagai kesamaan
yang ada di antara agama-agama bangsa Mesir, Persia, dan Asiria dengan agama orang-
orang Yunani. Herodotus diakui telah mempergunakan teknik yang banyak, yang sampai
saat ini masih dianggap penting dalam studi agama. Ia melakukan kajiannya secara empiris
dan bersikap objektif.15
Lebih jauh dijelaskan bahwa Jurusan Sejarah Agama-agama di universitas didirikan
pertama kali di Jenewa, Swiss, pada th. 1873; kemudian pada tahun 1876 diikuti dengan
pembukaan empat jurusan di Belanda, lalu pada tahun 1879 dibuka lagi satu jurusan di
College de France, dan pada tahun 1885 berdiri lagi sebuah seksi khusus Ilmu-ilmu Agama di
Ecole des Hautes Etudes di Sorbone.
Ketertarikan kepada agama-agama asing juga telah bangkit di Barat selama Abad
Pertengahan dengan kehadiran Islam yang mengancam. Tahun 1141 Peter the Venerable
telah memiliki al-Quran yang diterjemahkan oleh Robert de Retines, dan sekolah untuk
kajian bahasa Arab didirikan tahun 1250. Saat itu, Islam telah memiliki karya-karya penting
dalam kajian agama Pagan. Al-Biruni (973-1048M) telah memberikan uraian yang cukup
berharga mengenai agama dan Filsafat India; Syahrastani (w. 1153M) adalah penulis buku
tentang aliran-aliran dalam Islam; Ibn Hazm (994-1064M) telah menyusun buku yang sangat
besar dan berharga, di mana ia membahas tentang Mazdaen dan Dualisme Manichean,
Brahmanisme, Yahudi, Kristen, atheisme, dan berbagai sekte dalam Islam. 16
Di antara sarjana Yahudi Abad Pertengahan, ada dua yang harus disebutkan: Saadia
(892-942M), penulis Book of Beliefs and Conviction yang berisi uraian tentang agama
Brahma, Kristen, dan Islam, serta Maimonides (1135-1204M) yang melakukan kajian
perbandingan agama-agama.
Penemuan geografis pada abad ke-15 dan ke-16 membuka cakrawala baru bagi
pengetahuan tentang keberagamaan manusia. Kisah dari pengelana awal dimuat bersama
15 Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Direktorat Pembinaan PTAI, Jakarta, 1982/1983, hal. 3
16 Hal. 68
13
dalam koleksi Voyages dan telah memberikan pengaruh luas di kalangan masyarakat
terdidik di Eropa.17
Studi agama berkembang sedemikian rupa seiring dengan kebutuhan dan tuntutan
kehidupan umat manusia dalam pergaulan internasional dalam berbagai bidangnya;
ekonomi, politik, social-budaya, dll. Kehadiran studi agama dirasakan semakin dibutuhkan,
baik untuk kebutuhan fungsionalisasi dari masing-masing agama bagi pemeluknya maupun
untuk kepentingan kehidupan yang ramah dan harmonis dalam pergaulan internasional. Era
globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi informatika telah menyatukan manusia
dalam suatu kehidupan sosial yang tanpa batas. Sekat-sekat ideologi, teritorial, etnis,
budaya dan lain-lain tak mampu lagi membatasi pergaulan manusia.
H. STUDI AGAMA ISLAM DI INDONESIA
Di Indonesia, studi agama dalam arti studi perbandingan agama sudah berlangsung
sejak lama. Syekh Nuruddin al-Raniri (w. 1658) telah menulis sebuah buku yang diberinya
judul Tibyan fi Ma`rifat al-Adyan, Petunjuk dalam Memahami Berbagai Agama. Karya ini
ditulisnya atas permintaan Sultanah Safiatuddin (Aceh) yang ingin mengetahui berbagai
agama. Selanjutnya, beberapa perguruan di Sumatera Barat pada dekade ke-4 abad kedua
puluh telah mengajarkan perbandingan agama kepada para siswanya. Tercatat misalnya, al-
Jami`ah al-Islamiah di Sungayang, Batusangkar (1931), Normaal Islam di Padang (1931),
Training College di Payakumbuh (1934), memasukkan mata pelajaran Ilmu Agama-agama
dalam kurikulumnya. Begitu pula, pada tahun 1951, Pesantren Perstuan Islam menetapkan
“Mengenal Agama-agama Lain” sebagai mata pelajaran yang harus diikuti para santrinya.18
Sementara itu, studi agama dalam arti khusus studi agama Islam, tentu saja sudah
dilakukan sejak masa-masa yang jauh sebelumnya. Semuanya terjadi dengan latar belakang,
motivasi, dan tujuan yang seiring dengan perkembangan kehidupan keberagamaan
masyarakat pada masa-masa tertentu. Studi Islam di Indonesia dengan berbagai pendekatan
17 Hal. 6918 W.A.L.Stokhof, ibid., hal xviii
14
dan metodenya telah dilakukan tidak hanya oleh para pakar Muslim, tetapi juga oleh para
pakar dari berbagai negara dan bidang keilmuan.
Prof. A. Mukti Ali dan Prof. Harun Nasution merupakan dua tokoh yang membawa fase
baru bagi studi agama di Indonesia. Yang pertama dipandang sebagai perintis studi agama di
IAIN Sunan Kalijaga dengan pembukaan jurusan Perbandingan Agama pada tahun 1961. Di
sini, studi agama tidak lagi semata-mata menggunakan perspektif teologis, melainkan juga
dengan perspektif ilmiah dengan memanfaatkan pendekatan ilmu-ilmu sejarah, psikologis,
sosiologis, dan filsafat.19 Tokoh ini banyak menulis tentang Ilmu Perbandingan Agama.
Sementara tokoh kedua sewaktu menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memperkenalkan mata kuliah baru dengan nama Pengantar Ilmu Agama Islam, yang
kemudia menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam
di Indonesia.
Dengan Ilmu Perbandingan Agama yang dikembangkan oleh Prof. A. Mukti Ali, studi
agama diarahkan pada harmonisasi hubungan antar umat yang berbeda agama. Upaya ini
semakin berkembang setelah beliau diangkat menjadi Menteri Agama RI sejak tahun 1971
s/d 1978. Gerakan ini kemudian mendorong terciptanya kerukunan hidup antar umat
beragama.
Sementara Prof. Harun Nasution lebih memusatkan perhatiannya pada studi Islam yang
dapat menciptakan kerukunan internal umat Islam. Tokoh ini mengajak terutama
mahasiswanya untuk membuka wawasan dengan melakukan kajian terhadap berbagai
aliran dan praktik keagamaan Islam yang berkembang sepanjang sejarahnya. Dalam hal ini,
ia menulis buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya sebanyak dua jilid. Melalui buku ini,
Prof. Harun mengajak mahasiswanya tidak hanya mengenal Islam sebagaimana harusnya,
tetapi juga memperhatikan bagaimana ia dipahami dan dipraktikkan oleh umatnya
sepanjang sejarah. Dengan demikian, ia mengajak mahasiswanya untuk memahami kondisi,
peristiwa, dan motivasi yang melatarbelakangi realitas Islam pada saat ini. Dengan kata lain,
upaya yang dilakukan Prof. Harun adalah menciptakan sarjana yang memiliki akidah yang
kuat serta wawasan yang luas dan sikap yang luwes. Langkah ini dipandang strategis untuk
menyikapi perbedaan madzhab dan aliran yang berkembang di kalangan umat Islam sendiri.
19 Ahmad Norma Permata, hal. 24.
15
Meskipun berbagai kritik, bahkan serangan, banyak ditujukan terhadap pengembangan
studi agama yang dikembangkan belakangan ini, namun tak dapat diingkari bahwa gerakan
ini telah menciptakan suasana dialogis di kalangan umat beragama, baik dalam lingkungan
internal umat Islam sendiri maupun di antara umat Islam dengan penganut agama lain.
Suasana demikian telah membuka peluang bagi penciptaan hubungan yang harmonis antar
penganut agama yang berbeda agama atau pun punya agama yang sama tetapi berbeda
madzhab dan alirannya. Penciptaan hubungan yang harmonis ini tentu saja merupakan
suatu keniscayaan di era globalisasi.
I. PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terlepas dari pro-kontra yang memang tak
bisa dielakkan, studi agama telah menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan masyarakat
modern disebabkan antara lain adanya kebutuhan akan terciptanya hubungan yang
harmonis dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Meskipun motivasi dan tujuan orang
melakukan studi agama bisa beragam, namun tak mungkin dipungkiri bahwa
pengembangan studi agama merupakan salah satu langkah yang sangat strategis dan efektif
untuk memenuhi tuntutan hidup rukun dan harmonis di era global.
Demikian tulisan ini disusun dengan harapan kiranya bermanfaat bagi mereka yang
berkepentingan.
Jakarta, medio Oktober 2013
Penulis,
Asril Dt. Paduko Sindo
16
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, th. 1996
Ali, H.A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1987
Buchori, Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam, Penerbit Granada Sarana Pustaka, Bogor, tahun 2005
Daradjat, Zakiah, et.all., Perbandingan Agama, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Depag RI., tahun 1981/1982
Jurnal Islamia, Penerbit Khairul Bayan, Jakarta, vol III No. 1 Tahun 2006
Jurnal Ulumul Qur`an, Penerbit LSAF dan ICMI, Jakarta, Nomor 3. Vol. V Tahun 1994
Muhaimin, dkk. , Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Penerbit Prenada Media, Jakarta, Cet. I, tahun 2005
Nasr, Seyyed Hossein, Islam; Agama, Sejarah, dan Peradaban, Terj. Koes Adiwidjajanto, Penerbit Risalah Gusti, Surabaya, tahun 2003
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. V , tahun 2000
Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Terj. Abdul Muis Naharong, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, th. 1985
Permata, Ahmad Norma (ed.), Metodologi Studi Agama, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, tahun 2000
W.A.L. Stokhof, Ilmu Perbadingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), INIS, Jakarta, Seri INIS jilid VII
18