pakasril.files.wordpress.com …  · web viewkrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai...

25
STUDI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU Oleh: Asril Dt. Paduko Sindo 1 A. PENGANTAR Krisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian terhadap agama dalam upaya mencari solusi bagi berbagai persoalan aktual yang dihadapi. Perhatian itu terlihat semakin meningkat secara signifikan, baik dalam bentuk ide, gagasan, pemikiran maupun gerakan. Banyak orang kembali mengkaji dan mendiskusikan agama sebagaimana halnya juga semakin banyak orang yang meningkat komitmen dan kepatuhannya terhadap agama. Seiring dengan itu, bidang studi agama menemukan momentumnya untuk menjadi idola ilmuwan dalam berbagai bidangnya. Meskipun sebagai suatu disiplin ilmu yang saintifik, studi agama dikatakan masih tergolong muda 2 , namun pembahasan tentang agama bukanlah sesuatu yang baru. Kegiatan ini boleh dikatakan seumur dengan agama itu sendiri. Studi agama telah mengalami pasang surut seiring dengan dinamika kehidupan dan perkembangan keberagamaan masyarakat manusia. Kadangkala ia muncul ke permukaan, meledak-ledak, dan menjadi bahan pembicaraan di mana- 1 Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 M. Amin Abdullah, Pengantar dalam, Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, th. 2000, hal. 11 1

Upload: others

Post on 31-Dec-2019

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

STUDI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU

Oleh: Asril Dt. Paduko Sindo1

A. PENGANTAR

Krisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong

umat manusia untuk kembali memberikan perhatian terhadap agama dalam upaya mencari

solusi bagi berbagai persoalan aktual yang dihadapi. Perhatian itu terlihat semakin meningkat

secara signifikan, baik dalam bentuk ide, gagasan, pemikiran maupun gerakan. Banyak orang

kembali mengkaji dan mendiskusikan agama sebagaimana halnya juga semakin banyak orang

yang meningkat komitmen dan kepatuhannya terhadap agama. Seiring dengan itu, bidang studi

agama menemukan momentumnya untuk menjadi idola ilmuwan dalam berbagai bidangnya.

Meskipun sebagai suatu disiplin ilmu yang saintifik, studi agama dikatakan masih

tergolong muda2, namun pembahasan tentang agama bukanlah sesuatu yang baru. Kegiatan ini

boleh dikatakan seumur dengan agama itu sendiri. Studi agama telah mengalami pasang surut

seiring dengan dinamika kehidupan dan perkembangan keberagamaan masyarakat manusia.

Kadangkala ia muncul ke permukaan, meledak-ledak, dan menjadi bahan pembicaraan di mana-

mana. Sementara di lain kesempatan , ia berjalan dengan tenang dan diam-diam di bawah

permukaan.

Dalam beberapa dekade terakhir, studi agama semakin menggairahkan dan menarik

perhatian berbagai pihak. Yang terlibat dalam studi agama tidak hanya para agamawan dan

ilmuwan dengan berbagai bidangnya, tetapi juga para politisi dan pemegang kebijakan di

berbagai lingkungan. Studi agama dipandang sudah menjadi kebutuhan yang mutlak diperlukan

dalam tatanan kehidupan modern yang semakin komplek. Banyak pakar menggantungkan

1 Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2 M. Amin Abdullah, Pengantar dalam, Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, th. 2000, hal. 11

1

Page 2: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

harapan pada intensifikasi dan ekstensifikasi kajian agama guna mewujudkan kehidupan sosial

yang harmonis di era globalisasi ini.

Dalam uraian berikut, penulis berusaha untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan

studi agama sebagai suatu disiplin ilmu, terutama berkaitan dengan pengertian, ruang lingkup

kajian, tujuan dan motivasi, serta sejarah singkat perkembangannya. Di samping itu, pada bagian

akhir uraian ini, akan dikemukakan, secara khusus, perkembangan studi Islam di Indonesia.

B. PENGERTIAN STUDI AGAMA

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan studi agama, ternyata, tidak sesederhana

yang dibayangkan. Hal itu terlihat dengan jelas, di antaranya, pada sebutan atau nama yang

digunakan. Dalam mengantar sekumpulan tulisan yang dieditnya, Ahmad Norma Permata

menegaskan: “mungkin tidak ada cabang ilmu yang memiliki sedemikian banyak nama yang

sama-sama popular dan digunakan luas secara internasional, selain ilmu studi agama”3. Di

antara nama-nama yang digunakan untuk ilmu ini ialah Study of Religion atau Study of World’s

Religions, Comparative Religions atau Comparative Study of Religion4, History of Religions,

Phenomenology of Religion, Sociology of Religion, Anthrophology of Religion, dll. Tentu saja,

masing-masing sebutan ini punya sejarah pemakaian dan penekanan makna sendiri-sendiri,

seiring dengan latar belakang, sudut pandang, dan motivasi para penulis dan pemakai yang

menggunakannya.

Persoalan ini menjadi tambah rumit ketika para ilmuwan dan penulis memahami agama

dengan arti yang juga beraneka ragam. Mereka menggunakan bermacam-macam rumusan

untuk menyatakan apa itu yang dimaksud dengan agama. Dalam berbagai uraian, para penulis

3 Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, hal. 19 4 Sebutan Perbandingan Agama atau Ilmu Perbandingan Agama ditolak oleh sebagian tokoh. Ini

terlihat antara lain dalam uraian J.B. Banawiratma, SJ yang berjudul “Ilmu Perbandingan Agama atau Ilmu Agama-agama”. Lihat, W.A.L. Stokhof, Ilmu Perbadingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), INIS, Jakarta, Seri INIS jilid VII, hal. 28-29. Penolakan ini disebabkan antara lain; perbandingan memberi kesan adanya maksud untuk memilih mana yang benar dan mana yang kurang benar. Padahal tujuan Ilmu ini, katanya, bukan untuk itu.

2

Page 3: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

mencampuradukkan antara pengertian agama dan keberagamaan. Padahal, keduanya dapat

dan harus dibedakan artinya agar tidak terjadi kerancuan dalam pemahaman. Menurut hemat

penulis, kerancuan dalam pembicaraan mengenai agama sering ditimbulkan oleh karena

kegagalan dalam membedakan pengertian/definisi agama dan keberagamaan. Lebih jauh, tentu

hal ini juga akan mengakibatkan tidak jelas batasan antara studi agama dengan studi

keberagamaan.

Bagi penulis, agama bukanlah keberagamaan. Sebaliknya, keberagamaan tidak dapat

disamakan dengan agama itu sendiri. Secara definitif, agama ialah ajaran yang diyakini oleh

penganutnya berasal dari dzat ghaib yang maha kuasa, yang harus menjadi panduan dalam

menjalani kehidupan sehari-hari. Setiap penganut agama yakin dan percaya bahwa ada ajaran,

aturan, ketentuan, hukum, atau petunjuk yang berasal dari suatu kekuatan ghaib (sang Pencipta

dan pengatur kehidupan manusia) yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan melebihi

kekuasaan manusia. Ajaran itu diberikan oleh dzat ghaib tersebut sebagai pedoman bagi

manusia sebagai ciptaan dalam melaksanakan berbagai aktivitas hidup sehari-hari. Karena itu,

penganut suatu agama yang setia tidak akan berani menolak dan mengingkari agama yang

dianutnya.5 Misalnya, seorang Muslim mempercayai bahwa ada ajaran yang mengharuskan ia

berpuasa dalam bulan Ramadhan. Ia yakin bahwa perintah tersebut berasal dari dzat ghaib yang

maha kuasa. Karena itu, meskipun ia dalam keadaan sendirian, tidak ada orang lain di sekitanya,

ia akan tetap puasa sebab yang mengawasi adalah kekuatan ghaib. Pada agama-agama besar,

ajaran tersebut dikompilasi sedemikian rupa ke dalam satu atau beberapa kitab suci yang

diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Sementara pada sebagian agama,

ajaran itu dipelihara dalam ingatan penganutnya serta diwariskan secara lisan kepada generasi

berikutnya.

5 Itu sebabnya prosesi awal seseorang menganut suatu agama diawali dengan syahadat atau persaksian/ pengakuan bahwa ia mempercayai kebenaran dari ajaran agama yang bersangkutan betul-betul berasal dari Dzat Yang Maha Kuasa, Maha Mencipta, dan Maha Mengetahui. Pengakuan inilah yang “memaksa” seseorang penganut agama untuk melakukan segala ketentuan agama yang dianutnya. Seseorang berhak memilih untuk mengakui atau tidak. Namun, ketika ia sudah mengakui maka tak ada pilihan lain kecuali mengikutinya. Seseorang yang di hatinya menyatakan pengakuan, tetapi dalam praktik hidupnya tidak taat pada agamanya dikatakan kafir (membangkang atau bandel). Sementara mereka yang hanya menyatakan pengakuan secara verbal, tidak di hatinya, lalu bertindak sesuai dengan kata hatinya, disebut munafik, lain di mulut lain di hati dan tindakan.

3

Page 4: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

Sementara keberagamaan adalah pemahaman dan pengamalan seseorang terhadap

ajaran dari suatu agama tertentu. Agama berisi teks, kalimat-kalimat, pernyataan-pernyataan

yang harus dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman seseorang

terhadap agama yang dianutnya bersifat subjektif dalam arti sangat ditentukan oleh berbagai

hal yang terkait dengan orangnya. Dua orang yang menganut agama yang sama sering

mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap satu teks tertentu dari agama mereka.

Perbedaan pemahaman tentu akan membawa perbedaan pula pada pengamalannya. Oleh

karena itu, keberagamaan dua orang penganut agama yang sama sering terlihat berbeda. Yang

berbeda adalah keberagamaannya, bukan agamanya.6

Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa studi agama yang berkembang

selama ini punya dua wilayah atau objek kajian yang sangat berbeda, yaitu studi tentang agama

itu sendiri, yaitu tentang ajaran-ajaranya, dan studi tentang keberagamaan, yaitu tentang

pemahaman dan pengamalan ajaran tersebut oleh para pengikutnya. Dengan demikian, studi

agama adalah kajian tentang agama sebagai norma atau doktrin yang diyakini kebenarannya

oleh penganutnya serta kajian tentang keberagamaan sebagai pemahaman dan pengamalan

ajaran suatu agama yang mempengaruhi pola kehidupan suatu masyarakat beragama.

Sejalan dengan itu, Friedrich Max Muller (1823-1900M) yang dipandang sebagai bapak

studi agama modern menggunakan sebutan Religionswissenschaft, pengetahuan tentang

agama, yang mengandung makna pengetahuan dalam arti science dan pengetahuan dalam arti

knowledge tentang agama7. Muller menggunakan ungkapan wissenschaft karena menyadari

bahwa studi agama meliputi dua wilayah kajian; saintifik dan non-saintifik. Namun, kesulitan

mencari padanan kata ini dalam bahasa Inggeris, apalagi ditambah dengan kegandrungan

ilmuwan moderen dengan kajian saintifik yang empirik, membuat banyak ilmuwan lebih

6 Tidak ada agama yang tak melahirkan “perpecahan internal” yang menyebabkan penganutnya terkotak-kotak ke dalam berbagai aliran, madzhab, dan sekte. Namun, betapa pun terpecahnya suatu agama, kita tetap bisa melihat “rumpunya” yang satu. Islam misalnya terpecah menjadi berbagai aliran, Sunny-Syi’ah, Mu’tazilah-Ahl al-Sunnah, dst. Harus diakui bahwa semua adalah Islam, bersumber dari Islam yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Demikian pula, Kristen Protestan-Katholik dengan puluhan sekte dan aliran yang ada di dalamnya sesungguhnya adalah satu agama yang berasal dari ajaran Isa as. Demikian seterusnya pada agama-agama lain.

7 Ibid., hal. 20

4

Page 5: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

memperhatikan segi empirik dari suatu agama. Studi agama dalam arti sains meniscayakan

objek kajiannya bersifat empiris dan historis. Ini berarti bahwa bahasannya berkaitan dengan

pengalaman beragama seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan sosialnya. Padahal,

kajian agama tidak hanya berbicara tentang hal-hal yang empiris dan historis, tetapi juga

membahas hal-hal yang berada di luar jangkauan sains (non empiris), yang bersifat metafisis dan

ghaib. Ini menunjukkan bahwa studi agama juga membahas doktrin atau ajaran dari suatu

agama sebagaimana diyakini oleh penganutnya. Muller juga menggunakan sebutan Comparative

Religions. Sebutan Perbandingan Agama termasuk nama yang cukup populer di Indonesia untuk

mengungkapkan bidang studi agama. Dalam pengertian ini, wilayah kajian studi agama

mencakup hal-hal yang bersifat empiris (realitas keberagamaan umatnya) dan juga hal-hal yang

bersifat metafisis (ajaran atau doktrin yang diyakini kebenarannya oleh umatnya).

Dalam pengertian sejarah agama, studi agama dipahami sebagai kajian filosofis

terhadap agama sebagai sesuatu yang mendasari semua fenomena historis berbagai agama. Di

sini, berbagai aspek agama dijumpai dan dipelajari dengan menggunakan metode

perbandingan.8 Fokus kajian di sini, sesungguhnya, bukanlah agama, melainkan fenomena

sosiologis dari suatu masyarakat yang beragama. Yang dibicarakan adalah peran dari suatu

agama dalam kehidupan sosial suatu masyarakat atau sebaliknya peran kebudayaan suatu

masyarakat terhadap perkembangan agama tertentu dalam perjalanan sejarah. Paling tidak,

seperti yang dikatakan W.C. Smith, meskipun studi terhadap agama adalah studi terhadap

pribadi seseorang, namun ia menangani wilayah yang lebih personal yang tak selalu dapat

ditangkap, ia mengkaji sesuatu yang tidak secara langsung dapat diamati. Pengetahuan ini

bukan untuk mengkaji benda-benda seperti yang dilakukan para saintis, melainkan mengkaji

kualitas kehidupan pribadi.9

Studi agama yang membatasi diri hanya pada kajian ilmiah lebih tepat disebut studi

keberagamaan, bukan studi agama. Hal ini terlihat dengan jelas pada pernyataan Ninian Smart,

dalam uraiannya yang berjudul Batas-batas Studi Agama Ilmiah. Ia menulis sbb.:

8 Joseph M.Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam ibid., hal. 123 9 W.C.Smith, “Perkembangan dan Orientasi Ilmu Perbandingan Agama”, dalam ibid., hal. 76

5

Page 6: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

“Kemudian, apa studi ilmiah agama itu? Untuk menjawab secara ringkas dan dalam pola yang agak tajam, adalah sebuah upaya yang bersifat aspectual, polimetodis, pluralistic, dan tanpa batas yang tegas. Ia bersifat aspectual dalam arti bahwa agama harus diperlakukan sebagai salah satu aspek dari eksistensi. Orang bersikap dan bereaksi secara religious, inilah yang diangkat oleh studi agama; sebagaimana ekonomi mengangkat perilaku ekonomi manusia. Studi agama bersifat polimetodis dalam arti bahwa berbagai metode atau disiplin yang berbeda digunakan untuk menangani aspek di atas. Oleh karena itu, orang perlu menangani agama dengan metode sejarah, penyelidikan sosiologis, fenomenologis, dan sebagainya. Ia pluralistic karena ada banyak agama-agama dan tradisi keagamaan, dan akan tampak bahwa tidak ada studi agama yang dilaksanakan dengan penuh yang tidak tertarik kepada lebih dari satu tradisi. Perlu ditekankan fakta elementer ini karena, pada masa lalu, teologi cenderung membatasi diri pada satu tradisi saja. Studi agama bersifat tanpa batas yang tegas, karena tidak mungkin atau tidak realistis untuk mengeneralisasi definisi yang baku tentang agama, atau lebih tepatnya. Berbagai definisi akan mencakup tentang kemiripan-kemiripan, sebagaimana diindikasikan oleh Wittgenstein.”10

Dengan tegas dinyatakan di sini bahwa yang diangkat dalam studi agama ilmiah ialah

sikap dan reaksi religius manusia, bukan ajarannya yang terlepas dari manusianya. Sikap dan

reaksi religius tersebut sesungguhnya bukanlah agama melainkan keberagamaan dari para

penganutnya. Ia merupakan respons manusia baik secara individu maupun berkelompok

terhadap suatu agama yang mereka anut. Studi agama ilmiah inilah yang melahirkan sebutan-

sebutan Islam Santri dan Islam Abangan, Islam Ekstrim dan Islam Moderat, Islam Inklusif dan

Islam Ekslusif dan berbagai sebutan lainnya. Semua atribut ini seharusnya tidak dilekatkan pada

Islam, melainkan pada orang/penganutnya. Yang bersifat santri atau abangan, ekstrim atau

moderat, inkslusif atau ekslusif, dan lain-lainya adalah orang/penganutnya bukan ajarannya.

Atribut ini semua berkaitan dengan penganutnya bukan dengan agamanya. Suatu agama

tertentu tak mungkin mengandung sekaligus sifat-sifat ekstrim dan moderat, fundamental dan

permisif, dst.

C. RUANG LINGKUP KAJIAN STUDI AGAMA

Bertolak dari pengertian studi agama sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dipahami

bahwa lapangan kajian ilmu ini mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan agama dan

keberagamaan umatnya. Kajian tentang agama merupakan bahasan tentang ajaran dari

10 Ninian Smart, “Batas-batas Studi Agama Ilmiah”, dalam ibid., hal. 1

6

Page 7: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

suatu agama sebagaimana diyakini oleh penganutnya, yang meliputi sejarah awalnya dan

pokok-pokok ajaran yang harus dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-

hari oleh setiap penganutnya. Pada kajian ini, yang dibicarakan ialah berbagai ajaran dan

ketentuan yang harus ditaati oleh pengikutnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Dengan kata lain, yang menjadi objek kajian di sini adalah isi dari kitab suci yang diyakini

kebenarannya, bukan pemahaman dan pengamalan oleh penganut agama tersebut. Karena

acuan dari kebenaran kitab suci masing-masing agama bergantung pada keyakinan

penganutnya, maka studi agama pada wilayah ini bersifat subjektif. Masing-masing

penganut agama pasti akan mengklaim bahwa agama yang dianutnya pasti benar. Betapa

pun orang lain mengatakan bahwa agama yang dianutnya salah dan tidak benar, ia pasti

akan menolaknya dengan cara apa pun. Kajian ini sering dikatakan bersifat doktriner karena

tujuan utamanya ialah indokrinasi kepada para penganutnya. Studi agama dalam pengertian

ini biasanya dilakukan oleh penganutnya sendiri.

Beberapa persoalan penting yang menjadi kajian di sini, antara lain, konsepsi agama

tentang Tuhan, manusia dan kehidupannya, hubungan antara agama dengan tindakan dan

prilaku manusia, pahala dan dosa, kehidupan dunia dan akhirat. Berbagai pertanyaan yang

muncul di sini misalnya; bagaimana wujud Tuhan dan atribut yang dapat dilekatkan

padanya, apa makna hidup bagi manusia serta bagaimana menjalaninya, bagaimana

manusia harus mengimplementasikan pengabdiannya kepada Tuhan, dan lain-lain.

Sementara kajian tentang keberagamaan meliputi bahasan tentang pemahaman dan

aktualisasi ajaran agama tertentu oleh penganutnya dalam kehidupan nyata atau biasa juga

disebut kajian tentang pengalaman beragama dari suatu masyarakat penganut agama

tertentu. Setiap agama dipahami dan diimplementasikan oleh penganutnya dengan pola

dan cara yang beraneka ragam. Karena itu, setiap agama melahirkan sikap keberagamaan

yang berbeda-beda. Masing-masing penganut agama merespons agama yang dianutnya

dengan sikap dan pandangan yang berbeda-beda. Itu sebabnya, setiap agama pasti

melahirkan bermacam-macam madzhab atau aliran yang berbeda antara satu dengan yang

lainnya. Yang menjadi sasaran kajian di sini adalah sikap dan praktik keberagamaan dari

penganut agama tertentu, bukan ajaran agamanya. Studi agama dalam pengertian ini

ditujukan pada prilaku manusia yang beragama atau pengalaman beragama dari suatu

7

Page 8: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

masyarakat atau individu. Sorotan pertama ditujukan pada fenomena tingkah laku dan

tindakan manusia penganut agama tertentu, lalu dicari realitas lain yang ada di balik

fenomena tersebut. Itu sebabnya kajian ini bersifat empirik, sehingga sering diklaim objektif.

Masalah pokok yang menjadi objek kajian studi keberagamaan ialah pengalaman

beragama, respons atau tanggapan manusia terhadap realitas mutlak yang bersifat

imperatif, menggerakkan manusia untuk berbuat dan bertindak. Respons tersebut

mencakup wilayah pikiran dan tindakan, baik individual maupun berkelompok dalam

kehidupan sosial. Keberagamaan pada tingkat pikiran terlihat pada berbagai paham, ide,

gagasan, dan keyakinan-keyakinan tentang sesuatu. Sementara itu, keberagamaan pada

tingkat tindakan muncul dalam bentuk praktik peribadatan dalam berbagai wujudnya serta

berbagai sikap dan prilaku hidup dalam bidang-bidang ekonomi, politik, budaya, dll. Gejala

inilah yang selalu diberi berbagai atribut yang menggambarkan adanya kelompok-kelompok

dalam suatu agama tertentu.

Dengan kata lain, studi agama memusatkan perhatiannya pada konsep ideal (das sollen)

yang diajarkan oleh suatu agama, sesuatu yang diharapkan menjadi acuan dan pedoman

bagi manusia dalam menjalani hidupnya. Sementara itu, studi keberagamaan mejadikan

realita (das sein) sebagai pusat perhatiannya, pengalaman beragama dari sekelompok orang,

sesuatu yang empirik dan dapat diamati seperti objek-objek kajian ilmiah lainnya.

D. TUJUAN DAN MOTIVASI STUDI AGAMA

Kehadiran studi agama pada suatu tempat dan waktu tertentu tak bisa lepas dari

kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat yang bersangkutan. Secara alamiah, tentu saja,

studi agama timbul disebabkan kebutuhan dari penganut agama yang bersangkutan untuk

memahami dan mengamalkan ajaran agama yang mereka anut. Studi tentang suatu agama

tertentu juga bisa dilakukan oleh mereka yang menganut agama lain dengan berbagai

tujuan dan motivasi. Perkembangan studi agama dilatarbelakangi oleh aneka ragam

motivasi, tujuan, dan kebutuhan.

8

Page 9: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

Secara singkat dapat dikemukakan beberapa tujuan dan motivasi studi agama yang

telah berkembang dalam perjalanan sejarahnya. Di antaranya:

1. Untuk kepentingan penganut agama itu sendiri. Mengingat agama adalah pedoman

hidup, tentu setiap penganut agama pasti merasa terpanggil untuk memahami berbagai

ketentuan yang diatur oleh agamanya agar ia hidup sesuai dengan panduan tersebut.

Suatu generasi akan mewariskan kepada generasi berikutnya agama yang mereka anut

dengan cara mengajarkannya. Kajian inilah yang sering disebut kajian normatif yang

bersifat doktriner.

2. Untuk menciptakan saling pengertian di antara penganut agama yang berbeda, baik

yang berbeda agamanya maupun yang berbeda paham keagamaannya. Sudah menjadi

realitas yang tak dapat dielakkan bahwa penduduk bumi ini terkotak-kotak ke dalam

berbagai agama yang berbeda satu dengan lainnya. Bahkan, penganut satu agama

tertentu juga terbelah-belah menjadi kelompok aliran/madzhab/sekte yang beraneka

ragam. Dalam situasi seperti ini, disadari bahwa salah satu langkah strategis untuk

menekan potensi konflik di antara penganut agama/madzhab yang berbeda ialah

dengan membuka pintu dialog sehingga tercipta kondisi saling memahami kondisi dan

posisi masing-masing.

3. Untuk kepentingan politik dan ekonomi. Studi agama juga sering dimanfaatkan untuk

kepentingan politik dan ekonomi. Misalnya, C. Snouck Hourgronje, seorang ahli Islam

Belanda, melakukan kajian dan mendalami ajaran Islam tak bisa dilepaskan dari

kepentingan politik Belanda guna menguasai Indonesia. Keberadaan studi agama seperti

inilah yang sering menimbulkan kecurigaan dan sak wasangka, yang menyebabkan studi

agama ditolak.

4. Untuk mencari kelemahan pihak lain yang berbeda agama atau alirannya. Studi agama,

terutama dalam bentuk perbandingan agama atau madzhab, juga dapat dimanfaatkan

untuk mencari-cari dan menunjukkan kelemahan agama atau madzhab lain. Seorang

penganut suatu agama atau suatu madzhab tertentu mengkaji agama atau madzhab lain

sebagai upaya untuk menunjukkan keunggulan dan kebenaran agama/madzhab yang

9

Page 10: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

dianutnya. Di antara penganut agama-agama yang ada dapat dipastikan ada saja yang

melakukan kajian agama dengan tujuan seperti ini.

5. Murni untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Kita tak dapat pula menutup mata dari

realita bahwa diantara para pelaku studi agama, ada yang melakukannya sebagai wujud

dari aktivitas keilmuan. Kajian mereka dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap

sesuatu sebagaimana adanya demi kepentingan ilmu pengetahuan. Tidak ada pada

mereka niat untuk mencari kelemahan agama lain dan menunjukkan kelebihan agama

yang ia anut. Mereka hanya konsern dengan realitas sebagai yang mereka amati dan

pahami.

E. AGAMA DI MATA SAINTIS

Pandangan para saintis terhadap agama jelas berbeda dengan pandangan para

agamawan. Seorang penganut agama memandang agama yang dianutnya sebagai sesuatu

yang harus diyakini dan diterima sebagai sesuatu yang benar. Sementara itu, para saintis

atau ilmuwan berbicara agama sebagai suatu objek kajian yang diperlakukan sama dengan

objek-objek kajian lainnya. Para saintis mengkaji dan memandang agama sesuai dengan

bidang ilmunya masing-masing. Secara paksa, mereka menerapkan konsep-konsep yang

berlaku dalam bidang ilmu yang digelutinya untuk membicarakan berbagai persoalan yang

terkait dengan agama. Dengan kata lain, sesungguhnya para pakar di luar ilmuwan agama

tidak berbicara tentang agama tertentu, melainkan mereka berbicara tentang peran dan

fungsi atau pengaruh dari agama terhadap objek kajiannya.

Hal itu terlihat dengan jelas misalnya pada para ahli Sosiologi, yaitu ilmuwan yang

mencurahkan perhatiannya pada segi-segi sosial dari kehidupan masyarakat. Ketika sosiolog

berbicara tentang agama, perhatian utama mereka adalah bagaimana suatu agama

mewarnai dan membentuk pola-pola dan struktur kehidupan sosial masyarakat yang

bersangkutan. Mereka pada dasarnya tak peduli dengan agama apa pun yang dianut oleh

masyarakat yang bersangkutan. Begitu juga para Psikolog yang konsern dengan prilaku dan

segi-segi kejiwaan manusia ketika berbicara tentang agama, tentu perhatiannya lebih

tertuju pada gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan atau dipengaruhi oleh agama

10

Page 11: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

yang dianut oleh masyarakat tertentu. Demikian seterusnya, para saintis seperti ini, selalu

akan berbicara mengenai keberagamaan seseorang atau suatu masyarakat, bukan berbicara

agama seperti yang dilakukan oleh pakar agama.

F. PENDEKATAN DAN METODE STUDI AGAMA

Secara garis besar, bentuk pendekatan dalam kajian agama ada dua: pendekatan teologi

yang bersifat normatif-doktriner dan pendekatan sejarah yang bersifat empiris-sosiologis.

Pendekatan pertama berangkat dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-masing

agama. Ia bercorak literalis, tekstualis, atau skripturalis. Sementarra pendekatan kedua

berangkat dari realitas sosial yang tumbuh dan berkembang dalam perjalanan sejarah. Ia

melihat agama sebagai sesuatu yang dinamis seiring dengan dinamika kehidupan umat

manusia yang menganut agama yang bersangkutan.

Studi agama dengan pendekatan sejarah bukanlah sededar membicarakan sejarah dari

agama yang bersangkutan. Kajian sejarah agama seperti Sejarah Islam, biasanya, hanya

berbicara tentang pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek tertentu dari suatu agama,

misalnya aspek politik, ekonomi, social, dan lain-lain. Tidak jarang sejarah Islam dipahami

sebagai sejarah orang (umat), bukan sejarah agamanya.

Dalam studi agama dengan pendekatan sejarah, yang dibahas ialah bagaimana suatu

agama dipahami dan diaktualisasikan oleh individu atau masyarakat penganutnya pada

rentangan atau periode waktu tertentu atau bagaimana suatu individu atau masyarakat

tertentu dipengaruhi da dikuasai oleh suatu ajaran agama tertentu. Dari kajian seperti ini

akan diketahui juga bagaimana kehidupan individu dan masyarakat mempengaruhi ajaran

agama yang bersangkutan. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa antara agama sebagai sebuah

ajaran terdapat hubungan timbal balik dan simbiosis dengan prilaku hidup manusia sehari-

hari, baik yang b ersifat individual maupun yang bersifat social.

Oleh karena itu, studi agama dengan pendekatan sejarah dapat dipandang sebagai

upaya untuk menelusuri asal-usul pertumbuhan pemikiran-pemikiran dan lembaga-lembaga

keagamaan pada periode-periode perkembangan sejarah tertentu, serta untuk memahami

peranan agama dalam kehidupan masyarakat pada periode-periode tersebut

11

Page 12: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

Studi agama dengan pendekatan historis yang bersifat empirik dan sosiologis ini telah

dikembangkan oleh para pakar dari berbagai bidang ilmu, seperti sosiologi, antropologi,

psikologi, dan lain-lain. Penjelasan psikologis terhadap agama misalnya telah diusahakan

oleh Wilhelm Wundt (1832-1920M), William James (1842-1910M), dan Sigmund Freud

(1856-1939M). Fenomenologi agama menemukan otoritas pertamanya dalam diri Gerardus

van der Leew (1890-1950).11

Masing-masing pendekatan, normatif dan historis, dinilai punya kelemahan sendiri-

sendiri. Karena itu, studi agama tidak mungkin hanya dengan mengkaji aspek doktrinal

tanpa keterkaitan dengan aspek sosio-praksis yang menyertainya. 12 Lebih jauh dikatakan

bahwa untuk menolong melerai atau setidaknya menjernihkan bercampuraduknya dimensi

doktrinal-teologis dan kultural-historis, diperlukan refleksi-kritis yang biasa diwakili oleh

pendekatan kritis-filosofis.

G. SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN STUDI AGAMA

Mircea Eliade, dalam tulisannya Kronologi Studi Agama sebagai Cabang Ilmu,

menegaskan bahwa ilmu ini mulai dirintis dari abad ke-1913. Ia mencatat bahwa Max Muller

(1823-1900M) adalah perintis pertama ilmu ini. Pernyataan ini tentu saja tidak berarti

bahwa sebelum itu tidak/belum ada studi agama. Bahkan, Mukti Ali menegaskan bawah

yang meletakkan dasar-dasar ilmu perbandingan agama adalah Ali ibn Hazm (994-1064)

dengan kitabnya al-Fashl fi al-Milal w-al-Ahwa’ w-al-Nihal, atau Muhammad Abd al-Karim

al-Syahrastani (1071-1153) dengan kitabnya al-Milal w-al-Nihal.14

Dokumen tentang studi agama untuk pertama kali dijumpai di kalangan masyarakat

Yunani sekitar 5 abad sebelum Masehi. Herodotus (484-425 sM), seorang sejarawan Yunani

Kuno, tercatat sebagai orang pertama yang menaruh minat dan memperhatikan agama-

agama yang dianut oleh orang-orang di luar Yunani. Untuk itu, ia mengunjungi lebih dari 50

11 Mircea Eliade, hal. 72.

12 Amin Abdullah, hal.8

13 Hal.6114H.A.Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia”, dalam W.A.L. Stokhof, ibid, hal.5

12

Page 13: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

bangsa dan suku bangsa serta membuat catatan tentang adat kebiasaan mereka, termasuk

tentang keberagamaannya. Dalam uraiannya, ia telah mengemukakan berbagai kesamaan

yang ada di antara agama-agama bangsa Mesir, Persia, dan Asiria dengan agama orang-

orang Yunani. Herodotus diakui telah mempergunakan teknik yang banyak, yang sampai

saat ini masih dianggap penting dalam studi agama. Ia melakukan kajiannya secara empiris

dan bersikap objektif.15

Lebih jauh dijelaskan bahwa Jurusan Sejarah Agama-agama di universitas didirikan

pertama kali di Jenewa, Swiss, pada th. 1873; kemudian pada tahun 1876 diikuti dengan

pembukaan empat jurusan di Belanda, lalu pada tahun 1879 dibuka lagi satu jurusan di

College de France, dan pada tahun 1885 berdiri lagi sebuah seksi khusus Ilmu-ilmu Agama di

Ecole des Hautes Etudes di Sorbone.

Ketertarikan kepada agama-agama asing juga telah bangkit di Barat selama Abad

Pertengahan dengan kehadiran Islam yang mengancam. Tahun 1141 Peter the Venerable

telah memiliki al-Quran yang diterjemahkan oleh Robert de Retines, dan sekolah untuk

kajian bahasa Arab didirikan tahun 1250. Saat itu, Islam telah memiliki karya-karya penting

dalam kajian agama Pagan. Al-Biruni (973-1048M) telah memberikan uraian yang cukup

berharga mengenai agama dan Filsafat India; Syahrastani (w. 1153M) adalah penulis buku

tentang aliran-aliran dalam Islam; Ibn Hazm (994-1064M) telah menyusun buku yang sangat

besar dan berharga, di mana ia membahas tentang Mazdaen dan Dualisme Manichean,

Brahmanisme, Yahudi, Kristen, atheisme, dan berbagai sekte dalam Islam. 16

Di antara sarjana Yahudi Abad Pertengahan, ada dua yang harus disebutkan: Saadia

(892-942M), penulis Book of Beliefs and Conviction yang berisi uraian tentang agama

Brahma, Kristen, dan Islam, serta Maimonides (1135-1204M) yang melakukan kajian

perbandingan agama-agama.

Penemuan geografis pada abad ke-15 dan ke-16 membuka cakrawala baru bagi

pengetahuan tentang keberagamaan manusia. Kisah dari pengelana awal dimuat bersama

15 Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Direktorat Pembinaan PTAI, Jakarta, 1982/1983, hal. 3

16 Hal. 68

13

Page 14: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

dalam koleksi Voyages dan telah memberikan pengaruh luas di kalangan masyarakat

terdidik di Eropa.17

Studi agama berkembang sedemikian rupa seiring dengan kebutuhan dan tuntutan

kehidupan umat manusia dalam pergaulan internasional dalam berbagai bidangnya;

ekonomi, politik, social-budaya, dll. Kehadiran studi agama dirasakan semakin dibutuhkan,

baik untuk kebutuhan fungsionalisasi dari masing-masing agama bagi pemeluknya maupun

untuk kepentingan kehidupan yang ramah dan harmonis dalam pergaulan internasional. Era

globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi informatika telah menyatukan manusia

dalam suatu kehidupan sosial yang tanpa batas. Sekat-sekat ideologi, teritorial, etnis,

budaya dan lain-lain tak mampu lagi membatasi pergaulan manusia.

H. STUDI AGAMA ISLAM DI INDONESIA

Di Indonesia, studi agama dalam arti studi perbandingan agama sudah berlangsung

sejak lama. Syekh Nuruddin al-Raniri (w. 1658) telah menulis sebuah buku yang diberinya

judul Tibyan fi Ma`rifat al-Adyan, Petunjuk dalam Memahami Berbagai Agama. Karya ini

ditulisnya atas permintaan Sultanah Safiatuddin (Aceh) yang ingin mengetahui berbagai

agama. Selanjutnya, beberapa perguruan di Sumatera Barat pada dekade ke-4 abad kedua

puluh telah mengajarkan perbandingan agama kepada para siswanya. Tercatat misalnya, al-

Jami`ah al-Islamiah di Sungayang, Batusangkar (1931), Normaal Islam di Padang (1931),

Training College di Payakumbuh (1934), memasukkan mata pelajaran Ilmu Agama-agama

dalam kurikulumnya. Begitu pula, pada tahun 1951, Pesantren Perstuan Islam menetapkan

“Mengenal Agama-agama Lain” sebagai mata pelajaran yang harus diikuti para santrinya.18

Sementara itu, studi agama dalam arti khusus studi agama Islam, tentu saja sudah

dilakukan sejak masa-masa yang jauh sebelumnya. Semuanya terjadi dengan latar belakang,

motivasi, dan tujuan yang seiring dengan perkembangan kehidupan keberagamaan

masyarakat pada masa-masa tertentu. Studi Islam di Indonesia dengan berbagai pendekatan

17 Hal. 6918 W.A.L.Stokhof, ibid., hal xviii

14

Page 15: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

dan metodenya telah dilakukan tidak hanya oleh para pakar Muslim, tetapi juga oleh para

pakar dari berbagai negara dan bidang keilmuan.

Prof. A. Mukti Ali dan Prof. Harun Nasution merupakan dua tokoh yang membawa fase

baru bagi studi agama di Indonesia. Yang pertama dipandang sebagai perintis studi agama di

IAIN Sunan Kalijaga dengan pembukaan jurusan Perbandingan Agama pada tahun 1961. Di

sini, studi agama tidak lagi semata-mata menggunakan perspektif teologis, melainkan juga

dengan perspektif ilmiah dengan memanfaatkan pendekatan ilmu-ilmu sejarah, psikologis,

sosiologis, dan filsafat.19 Tokoh ini banyak menulis tentang Ilmu Perbandingan Agama.

Sementara tokoh kedua sewaktu menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memperkenalkan mata kuliah baru dengan nama Pengantar Ilmu Agama Islam, yang

kemudia menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam

di Indonesia.

Dengan Ilmu Perbandingan Agama yang dikembangkan oleh Prof. A. Mukti Ali, studi

agama diarahkan pada harmonisasi hubungan antar umat yang berbeda agama. Upaya ini

semakin berkembang setelah beliau diangkat menjadi Menteri Agama RI sejak tahun 1971

s/d 1978. Gerakan ini kemudian mendorong terciptanya kerukunan hidup antar umat

beragama.

Sementara Prof. Harun Nasution lebih memusatkan perhatiannya pada studi Islam yang

dapat menciptakan kerukunan internal umat Islam. Tokoh ini mengajak terutama

mahasiswanya untuk membuka wawasan dengan melakukan kajian terhadap berbagai

aliran dan praktik keagamaan Islam yang berkembang sepanjang sejarahnya. Dalam hal ini,

ia menulis buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya sebanyak dua jilid. Melalui buku ini,

Prof. Harun mengajak mahasiswanya tidak hanya mengenal Islam sebagaimana harusnya,

tetapi juga memperhatikan bagaimana ia dipahami dan dipraktikkan oleh umatnya

sepanjang sejarah. Dengan demikian, ia mengajak mahasiswanya untuk memahami kondisi,

peristiwa, dan motivasi yang melatarbelakangi realitas Islam pada saat ini. Dengan kata lain,

upaya yang dilakukan Prof. Harun adalah menciptakan sarjana yang memiliki akidah yang

kuat serta wawasan yang luas dan sikap yang luwes. Langkah ini dipandang strategis untuk

menyikapi perbedaan madzhab dan aliran yang berkembang di kalangan umat Islam sendiri.

19 Ahmad Norma Permata, hal. 24.

15

Page 16: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

Meskipun berbagai kritik, bahkan serangan, banyak ditujukan terhadap pengembangan

studi agama yang dikembangkan belakangan ini, namun tak dapat diingkari bahwa gerakan

ini telah menciptakan suasana dialogis di kalangan umat beragama, baik dalam lingkungan

internal umat Islam sendiri maupun di antara umat Islam dengan penganut agama lain.

Suasana demikian telah membuka peluang bagi penciptaan hubungan yang harmonis antar

penganut agama yang berbeda agama atau pun punya agama yang sama tetapi berbeda

madzhab dan alirannya. Penciptaan hubungan yang harmonis ini tentu saja merupakan

suatu keniscayaan di era globalisasi.

I. PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terlepas dari pro-kontra yang memang tak

bisa dielakkan, studi agama telah menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan masyarakat

modern disebabkan antara lain adanya kebutuhan akan terciptanya hubungan yang

harmonis dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Meskipun motivasi dan tujuan orang

melakukan studi agama bisa beragam, namun tak mungkin dipungkiri bahwa

pengembangan studi agama merupakan salah satu langkah yang sangat strategis dan efektif

untuk memenuhi tuntutan hidup rukun dan harmonis di era global.

Demikian tulisan ini disusun dengan harapan kiranya bermanfaat bagi mereka yang

berkepentingan.

Jakarta, medio Oktober 2013

Penulis,

Asril Dt. Paduko Sindo

16

Page 17: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

17

Page 18: pakasril.files.wordpress.com …  · Web viewKrisis multi dimensi yang muncul dalam berbagai bentuknya di era global ini mendorong umat manusia untuk kembali memberikan perhatian

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, th. 1996

Ali, H.A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1987

Buchori, Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam, Penerbit Granada Sarana Pustaka, Bogor, tahun 2005

Daradjat, Zakiah, et.all., Perbandingan Agama, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Depag RI., tahun 1981/1982

Jurnal Islamia, Penerbit Khairul Bayan, Jakarta, vol III No. 1 Tahun 2006

Jurnal Ulumul Qur`an, Penerbit LSAF dan ICMI, Jakarta, Nomor 3. Vol. V Tahun 1994

Muhaimin, dkk. , Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Penerbit Prenada Media, Jakarta, Cet. I, tahun 2005

Nasr, Seyyed Hossein, Islam; Agama, Sejarah, dan Peradaban, Terj. Koes Adiwidjajanto, Penerbit Risalah Gusti, Surabaya, tahun 2003

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. V , tahun 2000

Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Terj. Abdul Muis Naharong, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, th. 1985

Permata, Ahmad Norma (ed.), Metodologi Studi Agama, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, tahun 2000

W.A.L. Stokhof, Ilmu Perbadingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), INIS, Jakarta, Seri INIS jilid VII

18