hukum islam dan undang-undang nomor 1 tahun 1974? …

8
, , . 469 WALl TIDAK MERUPAKAN SYARATUNTUK SAHNYA PERKAWINAN DITINJAU DARI SEGI , . , . HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974? Oleh: Mohd. Idris Ramulyo, S.H. _____ _ Pendahuluan Apakah wali merupakan syarat un- tuk sahnya nikah? Pertanyaan ini sudah lama menjadi bahan perdebatan di antara para faqih (ahli ilmu fiqh), sejak lahirnya madzhab Syafii yang di- dirikan oleh Iman Abu Hanifah. Perdebatan karena perbedaan pen- dapat itu bukanlah perselisihan ptmda- pat. Oleh karena itusetahu penulis belun, pernah ada baik diskusi, semi- nar maupun lokakarya atau simpo- sium tentang: "Apakah wali merupa- kan sahnya suatu perkawinan atau ti- dak", Hal itu bisa terjadi karena di Indo- nesia pada umumnya Umat Islam menganut paham madzhab Syafii yang . menganggap wali adalah salah satu sya- rat untuk sahnya nikah. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengungkapkan secara deskriptip per- bedaan antara dua pendapat dari se- kian banyak pendapat di Indonesia tentang masalah wali nikah, yaitu pendapat madzhab Syafii di satu pi- ha:;: dan madzhab Hanafi. Maliki dan . . Hambali di pihak lain, Fungsi Wall Nikah Dalam Perka- wman Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk syahnya per- kawinan (Nikah) menurut Hukum Is- lam. Wali Nikah adalah hal yang sangat pen- ting dan menentukan, bahkan menurut Syafii tidak syah Nikah tanpa adanya wali bagi pihak penganten perempuan; sedangkan bagi calon pengantin laki- laki tidak diperlukan wali Nikah untuk syahnya Nikah tersebut. Menurut madzhab Hanafi yang didi- rikan oleh Imam Abu Hanifah, wali itu sunnah saja hukumnya. Di samping itu ada pendapat yang menyatakan bahwa wali Nikah itu sebenarnya tidak perlu apabila yang l mengucapkan ikrar ijab · dalam proses aqad Nikah ialah pihak laki-Iaki. Tetapi kenapa dalam praktek selalu pihak wan ita yang ditugaskan mengucapkan ijab (penawaran), sedang menganten lakiclaki yang diperintah- kan mengucapkan ikrar qabul (pene- rimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrah) adalah pemalu (i,tin- J awa), maka pengucapan .ij.ab itu perlu diwakilkan kepada walfnya, Gadi wali- mya), jadi wali itu sebenarnya wakil dari penganten perempuan biasanya di- wakili oleh ayahnya, bilamana tidlik ada ayah, dapatdigantikan oleh kakek- 'nya (ayah dari a,yah). Wali Nikah yang demikian itu disebut Wali Nikah yang Memaksa' maksudnya di sini ialah lah (ayah) yang berhak menjadi Wali Nikah untuk menikahkan anak perem- puannya. Bila tidak ada ayah (Bapak) mungkin karena meninggal atau ghaib (hilang tak tentu hutan rim banya) ,

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974? …

,

• •

• •

,

. 469

WALl TIDAK MERUPAKAN SYARATUNTUK SAHNYA PERKAWINAN DITINJAU DARI SEGI ,

• • . , . HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974?

Oleh: Mohd. Idris Ramulyo, S.H. _____ _

Pendahuluan

Apakah wali merupakan syarat un­tuk sahnya nikah? Pertanyaan ini sudah lama menjadi bahan perdebatan di antara para faqih (ahli ilmu fiqh), sejak lahirnya madzhab Syafii yang di­dirikan oleh Iman Abu Hanifah.

Perdebatan karena perbedaan pen­dapat itu bukanlah perselisihan ptmda­pat. Oleh karena itusetahu penulis belun, pernah ada baik diskusi, semi­nar maupun lokakarya atau simpo­sium tentang: "Apakah wali merupa­kan sahnya suatu perkawinan atau ti­dak",

Hal itu bisa terjadi karena di Indo­nesia pada umumnya Umat Islam menganut paham madzhab Syafii yang

. menganggap wali adalah salah satu sya­rat untuk sahnya nikah.

Dalam tulisan ini penulis mencoba mengungkapkan secara deskriptip per­bedaan antara dua pendapat dari se­kian banyak pendapat di Indonesia tentang masalah wali nikah, yaitu pendapat madzhab Syafii di satu pi­ha:;: dan madzhab Hanafi. Maliki dan

. . Hambali di pihak lain,

Fungsi Wall Nikah Dalam Perka-• • wman Dari sekian banyak syarat-syarat

dan rukun-rukun untuk syahnya per­kawinan (Nikah) menurut Hukum Is­lam.

Wali Nikah adalah hal yang sangat pen­ting dan menentukan, bahkan menurut Syafii tidak syah Nikah tanpa adanya

wali bagi pihak penganten perempuan; sedangkan bagi calon pengantin laki­laki tidak diperlukan wali Nikah untuk syahnya Nikah tersebut.

Menurut madzhab Hanafi yang didi­rikan oleh Imam Abu Hanifah, wali itu sunnah saja hukumnya. Di samping itu ada pendapat yang menyatakan bahwa wali Nikah itu sebenarnya tidak perlu

apabila yang lmengucapkan ikrar ijab · dalam proses aqad Nikah ialah pihak laki-Iaki. Tetapi kenapa dalam praktek selalu pihak wan ita yang ditugaskan mengucapkan ijab (penawaran), sedang menganten lakiclaki yang diperintah­kan mengucapkan ikrar qabul (pene­rimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrah) adalah pemalu (i,tin­J awa), maka pengucapan .ij.ab itu perlu diwakilkan kepada walfnya, Gadi wali-

mya), jadi wali itu sebenarnya wakil dari penganten perempuan biasanya di­wakili oleh ayahnya, bilamana tidlik ada ayah, dapatdigantikan oleh kakek­

'nya (ayah dari a,yah). Wali Nikah yang demikian itu disebut Wali Nikah yang

Memaksa' maksudnya di sini ialah lah (ayah) yang berhak menjadi Wali Nikah untuk menikahkan anak perem­puannya. Bila tidak ada ayah (Bapak) mungkin karena meninggal atau ghaib (hilang tak tentu hutan rim banya) ,

Page 2: HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974? …

470

maka ayah -dari ayahlah (Kakek) yang berhak tampil menjadi Wali Nikah dari cucu perempuannya. Apabila tidak ada Bapak atau Kakek maka dapat diwakil­kan lagi kepada saudara laki-Iaki kan­dung dari pengantin perempuan (Sau­dara laki-Iaki) yang menjadi Wali itu harus sudah aqil baliq (dewasa dan ber­akal), laki-Iaki beragama Islam dan

adil. Bila tidak ada Saudara laki-laki, maka dapat pula diwakilkan kepada Saudara laki-laki dari Bapak (Paman),

dari si wanita yang akan menikah itu, wali sesudah Bapak' dan Kakek itu di­sebut w'ali Nasab biasa (tidak memak­sa).

Kadangkala keempat jenis laki-laki yang berhak menjadi Wali Nikah pe­rempuan tersebut di atas tadi tidak ada, mungkin sudah meninggal atau ghaib, atau mungkin juga ada tetapi tidak memenuhi syarat-syarat Wali Ni­kah, misalnya karena belum dewasa, maka dapat ditunjuk sebagai wali Saudara laki-laki ibu yang menguasai hukum-hukum munakahat (hukum-hu­kum Nikah) wali demikian disebut Wa­Ii Hakim. Dapat juga diangkat sebagai wali Nikah terse but orang lain yang terpandang, disegani luas ilmu fiqhnya terutama ten tang munakahat (hukum­hukum Nikah), berpandangan luas, adil, Islam dan laki-laki, dise but waH muhakam. Apabila tidak ada sarna se­kali wali yang disebutkan di atas, maka berdasarkan Undang-undang No­mor 22 Tahun 1946 jo. Undang-un­dang Nomor 32 Tahun 1954, dapat bertindak sebagai wali atas perminta­an pihak mempelai perempuan ialah WaH Hakim, yaitu Pejabat Pencatat Nikah/Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mewilayahi perem­puan itu bertempat tinggal. J adi wali Hakim ialah pejabat yang diangkat oleh Pemerintah Khusus untuk menca­tat . pendaftaran nikah dan menjadi WaH Nikah bagi wanita yang tidak

Hukum dan Pembangunan

mempunyai atau wanita yang akan me­nikah itu berselisih paham dengan wa­linya.

Menurut Madzhab Syafii ,

Imam Idris as Syafii beserta para penganutnya bertitik tolak dari Hadits Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al Tarmidzi berasal dari Siti Aisyah (isteri Rasulul­lah) berbunyi seperti di bawah ini :

Barang siapa di an tara perempuan yang nikah dengan tidak seizin walinya, nikah· nya itu batal. 1)

Dalam hadits Rasulullah terse but •

terlihat bahwa seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan ha­rus memakai wali, berarti tanpa waH, nikah itu batal menurut Hukum Islam atau Nikahnya tidak syah. Dari Hadits Rasulullah yang lain Ra­wahul Imam Ahmad, dikatakan oleh Rasulullah, bahwa:

1)

Tidak syah Nikah melainkan dengan wali dan 2 (dua) orang saksi yang adil. z:,

- Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan diri­nya (Rawahul Daruquthny) diriwa­yatkan lagi oleh Ibnu Majah. 3)

- Tiap·tiap wan ita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal, batal, batal, (tiga kali kata-kata batal itu diucapkan oleh Rasulullah untuk menguatkan kebatalan Nikah tanpa izin wali ' pihak perempuan (berasal dari isteri Rasulullah; Siti Aisyah).4)

- Apabila mereka berselisih paham ten­tang wali, maka Wali Nikah bagi wa­nita itu adalah "Sulthan" atau Wali

Rasyid H. Sulaiman, Fiqh Islam, Ja-karta Atthaniriyah 1955, hal. 362.

z:, Ibid., hal. 368 3) Ibid., hal. 363.

4) Ibid., hal. 363

Page 3: HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974? …

. Wali/syarat perkawinan

Hak;m, begitupun apabi/a bagi wan ita itu tidak ada wali sama sekali, (Rawa­hul Abu Daud, Al Termidzi Ibnu Ma­jah dan Imam Ahmad). )

Apabila wanita itu telah disetubuhi, maka bagi wanita yang tidak pakai wa­Ii itu, wajib dibayarkan kepadanya ma­

har mitsil dengan mahar itu dianggap halal melakukan hubungan seksual de­ngannya .

Tidaklah wan ita menikahkan wanita dan ti­daklah wan ita menikahkan dirinya sendiri, bahwa wanita yang menikahkan dirinya sen­diri adalah wanita pezina, Hadits Rasul dari Abu Hurairah Rawahul Iimu Majah Al Daru-quth dan Al Baihagi. 6) .

Di sam ping alasan-alasan berdasar­kanHadit3 Rasul terse but di atas oleh Imam Syafii dikemukakan pula alasan menurut Al Qur'an antara lain:

1 Q.xXIV (AI Nuur) ayat : 32. Dan Nikahkanlah orang-orang yang sen­dirian di an tara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba saha­yamu yang laki-Iaki dan hamba sahaya­mu yang perempuan. 7)

II. Q.II (AI Baqarah)ayat : 221. Dan janganlah kami Nikahkan wanita­wanita musyrik dengan wanita-wanita

. mukmin, sebelum mereka beriman. a:>

Kedua ayat Qur'an terse but ditujukan kepada wali, mereka diminta menikah­kan orang-orang yang tidak bersuami dan orang-orang yang tidak beristeri , di satu pihak dan melarang wali itu menikahkan laki-Iaki muslim dengan wanita non muslim, sebaliknya wanita muslim dilarang dinikahkan denganla-

... tki-laki non muslim sebelum mereka beriman. Andaikata wanita itu berhak

) Ibid., hal. 368 6) Hosen Ibrahim, K.H. Fiqh Perban-

dingan Islam Masalah Talaq , Jakarta, Ihya U/umuddin, 1977 hal. 102.

') Ibid., hal. 549.

a:> Ibid., hal. 53.

471

secara langsung menikahkan dirinya dengan seorang laki-Iaki, tanpa wall maka tidak ada artinya Khittah ayat terse but ditujukan kepada wali, semes­tinya ditujukan kepada wanita itu, ka­rena urusan Nikah (Perkawinan) itu adalah urusan wali, maka perintah dan larangan untuk menikahkan wanita itu ditujukan kepada wali, seperti halnya juga wanita menikahkan wanita atau wanita menikahkan dirinya sendiri Ha­ram hukumnya (dilarang).

Menurut Madzhab Hanafi Menurut Hanafi Nikah (Perkawin­

an) itu tidak merupakan syarat harus pakai wali. Hanafi dan beberapa peng­anutnya mengatakan bahwa akibat Ijab (penawaran), aqad Nikah yang di­ucapkan oleh wanita yang dewasa dan berakal (aqil baliq) adalah syah secara mutlak, demikian juga menurut Abu Jusub, Imam Malik dan riawayat Ibnu Qasim. 9

)

Beliau itu mengemukakan pendapat­nya berdasarkan analisa dari Qur'an dan Hadits Rasul sebagai berikut di bawah ini.

Menurut Al Qur'an 1. Q.II (AI Baqarah) ayat : 230

Apabila suami mentalaq isterinya (is­teri-isteri) sesudah talaq yang kedua , maka perempuan itu tidak halai lagi baginya, sehingga dia (perempuan) itu menikahi calon suami mereka yang baru .

2. Q.II (Ai Baqarah) ayat : 232

Apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya janganiah kami (para wali) , menghalangi mereka nikah lagi dengan calon suaminya.10

)

~ Ibid., hal. 102. 10\

) Departemen Agama, Al Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta Bumi Restu 1974, hal. 55.

September .1984

Page 4: HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974? …

472

Oleh Hanafi ditinjau asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya Q.II : 230 dan Q.II : 232) , mengemukakan contoh dari kasus Ma 'qil bin Yasar, yang me­nikahkan Saudara perempuannya ke- ' pada seorang laki-laki muslim. Bebe­rapa lama kemudian laki-laki itu men­ceraikan perempuan tersebut.

Setelah habis tenggang waktu me­nunggu (tenggang waktu iddah), maka kedua bekas suami-isteri itu ingin kem­bali lagi bersatu sebagai suami-isteri de­ngan jalan menikah lagi, tetapi Ma'qil bin Yasar tidak memperkenankan kembali menjadi suami daTi Saudara

• perempuannya laki-Iaki muslim itu. Se-telah disampaikan orang berita ini ke­pada Rasulullah, maka turunlah Qur­'an surah II ayat 232, yang mengatur dan melarang wali menghalangi mereka menikah lagi dengan bekas suaminya tadi (Rawahul Al Bukhari, Abu Daud , dan Termidzi).1 1) .

Al Qur'an surat II ayat 232 demi­kian juga Qur'an II : 230 terdapat ka­ta-kata Yankihna dan kata kerja tan­khiha yang terjemahannya menikah - ' di sini pelakunya adalah wanita bekas isteri itu tadi. Pekerjaan mana dalam isnad haqiqi (riwayat) semestinya di­kerjakan langsung oleh pelaku aslinya, tegasnya tidak dikerjakan orang lain

sebagaimana halnya pada isnad majazi (kiasan). Demikian juga dilihat dalam Q.II: 234 , terdapat kata kerja "fa 'al­na" yang artinya mengerjakan atau perbuatan pelakunya (failnya) adalah wanita-wanita yang kematian suami.

3. Quran II : 234

Bahwa aqad nikah yangdilakukan oleh wan ita dan segala sesuatu yang diker­jakannya tanpa menggantungkannya kepada wali atau izinnya adalah syah.

Shaleh, K.H. Qamaruddin dkk., Asba­bun Nuzuul, Jakarta, Diponegoro, tanpa tahun hal. 78.

.

Hukum dan Pembangunan

Jadi wanita mempunyai hak penuh ter­hadap urusan dirinya termasuk meni­kah tanpa bantuan wali.

4. Hadits Rasul

Perempuan janda lebih berhak terha­dap dirinya daTi pada walinya, dan anak gadis diminta izinnya mengenai dirinya, sedangkan izinnya adalah diamnya (Rawahul-J ama'ah Ahli Ha­dits , kecuali Bukhori. Diriwayatkan juga oleh Abu Daud dan Al Nasai).

S. Hadits Rasul

Dari Ummu Salamah, meriwayatkan bahwa tatkala Rasulullah s.a.w. memi-

• • nang¥:nya untuk dinikahi dia berkata kepada Rasulullah.

Tiada seorangpun hal Rasulullah di an tara wali-waliku yang hadir , maka bersa bda Rasulullah:

Tidak seorangpun walimu baik yang ha­dir, maupun yang tidak hadir (ghaib) , menolak perkawinan kita. Berdasarkan Al Qur'an dan Hadits Rasul tersebut, menurut Hanafi memberikan hak sepenuhnya kepada wan ita mengenai urusan dirinya dengan meniadakan cam­pur tangan orang lain (wali) dalam urus­an pernikahan. .

Pertim bangan rational lbgis oleh Hana­fi tentang tidak wajibnya wali Nikah bagi perempuan yang hendak menikah.

Bahwa ijab menurut lazimnya da­lam suatu akad Nikah diucapkan oleh wanita, jadi penganten wanitalah yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki, seda~gkan qa­bul (penerimaan) ikrar nikah diucap­kan oleh penganten laki-Iaki, seperti contoh di bawah ini:

- Ijab dari Penganten Perempuan:

Aku nikahkan diriku kepada laki­laki nama A bin B bayar maharnya seribu rupIah kontan.

- Qabul dari Penganten Laki-laki :

Aku terima nikahmu wanita C binti

Page 5: HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974? …

Walijsyarat perkawinan

D dengan maharnya seribu rupiah kontan.

Oleh karena wanita fitrahnya ada­lah sangat pemalu (isin = Jawa), maka dia harus' diwakili oleh orang tuanya yang bertindak sebagai wali (wakil pe­nganten perempuan).

Tetapi bila ditinjau secara juridis apa alasan atau dasar hukumnya pe­rempuan yang mengucapkan ijab laki­laki mengucapkan qabul ? Hampir semua firman Allah dalam Qur'an ten tang baik perintah maupun larangan perkawinan (nikah)ditujukan kepada laki-laki bukan kepada wanita,

bahkan poliyandri atau wanita yang bersuami dua larangan tetap ditujukan kepada laki-laki.

1. J angan kamu nikahi wanita yang te­lah bersuami (Q.lV : 24).12)

2. Jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh bapak ka­mu, perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji (Q.IV : 22).13)

3. - Diharamkan kamu menikahi ibu kamu ,

Saudara-saudaramu yang perem­puan,

Saudara-saudara ibumu yang pe­rempuan,

Anak-anak perempuan dari Sau­dara-saudaramu yang perempuan

. 14) dst. dst. (Q.IV : 23).

Semua ayat-ayat Al Qur'an terse but la­rangannya selalu ditujukan kepada la­ki-laki , seyogyanya ijab itu diperintah­kan pula kepada laki-laki dan qabul ke­pada wanita , sehingga wanita yang mengucapkan qabul cukup dengan

12)

13)

Departemen Agama, Al Qur'an dan Terjemahamiya, Jakarta, Proyek Peng­adaan Kitab Suci Al Qur'an 19 78, hal. 120.

Ibid., hal. 120.

14) Ibid ., hal. 120.

473

anggukan saja, seperti sabda Rasulullah diam nya wanita itu adalah izinnya atau persetujuannya.

Kesimpulan menurut madzhab Ha­nafi bahwa wali Nikah itu tidak meru­pakan syarat unyuk ayahnya nikah, tetapi baik itu laki-laki maupun wa­nita yang hendak menikah sebaiknya mendapat restu atau izin orang tua.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawin­an

Menurut Undang-undang NomOI 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan, aqad nikah dilakukan oleh wali sendiri at au diwakilkan kepada pegawai pencatat nikah atau P.3 N.T .R. atau orang lain yang menuru t Pegawai Pencata t Nikah (P.3 NTR) dianggap memenuhi syarat.

Aqad Nikah dilangsungkan di ha­dapan Pegawai Pencatat Nikah (P.3 NTR), yang mewilayahi tempat tinggal calon isteri dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Apabila aqad nikah dilaksanakan di luar ketentuan di atas, maka calon penganten atau walinya harus mem­beritahukan kepada Pegawai Penca­tat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal calon isteri (pasal 23 P.M.A . No .3 Tahun 1975) .15)

Dalam pasal 25 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tersebut diatur lagi sebagai berikut:

1 ~

Pada waktu aqad Nikah, calon sua­mi dan Wali Nikah datang sendiri menghadap P.P .N. (P.3 NTR).

Apabila calo n suami atau wali Ni-kah tidak hadir pada waktu aqad Nikah disebabkan keadaan memak­sa, maka dapat diwakili oleh orang lain.

, Saleh K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta Ghalia Indonesia 1980 hal. 99.

September 1984 •

Page 6: HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974? …

474

.

Sekarang tim bul pertanyaan apakah wali menurut Peraturan Menteri Aga­rna Nomor 3 Tahun 1975 , ini? Kita harus mempelajarinya· secara sistematis

, dari pasal t Undang"undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan yang mengatur sebagai berikut:

- Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tua. (pasal 6 ayat 2).

- Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua tdah mehinggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cu­kup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua

• •

yang mampu menyatakan kehen-daknya (pasal 6 ayat 3).

- Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keada­an tidak mampu menyatakan ke­hendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubung­an darah dalam garis lurus ke atas selama mereka masih hidup dan da­lam keadaan dapat menyatakan ke­hendaknya.

Sekarang tim bul pertanyaan lagi siapa wali nikah yang diatur oleh pa­sal 23 dan 25 PMA Nomor 3 Tahun 1975 itu? Apakah orang tua calon mempelai (bapak at au ibu) ataukah orang lain yang memelihara anak yang ~enikah itu karena orang tuanya meninggal dunia atau dalam kea,daan tak mampu menyatakan kehendaknya, tidak diperoleh penjelasan karena pen­jelasan dari pasal terse but secara resmi mengatakan cukup jelas, pada hal be­lum jelas. Demikian juga dalam pasal 6 Undang-undang Nomor I Tahun 1974, yang harus diteliti oleh Pengawas Pen­catat Nikah tidak ada keharusan izin

Hukum dan Pembangunan

orang tua atau wali Nikah. Sedangkan menurut Hukum Islam

WaH Nikah itu adalah Bapak , bilamana tidak ada bapak, kakak (Bapak dari Bapak) yang kedua-duanya merupakan wali Nikah yang mujbir (memaksa) , jadi salah seorang dari orang tua yaitu Bapak bukan kedua orang tua .

Oleh karena itu menurut penulis Undang-undang Nomor I Tahun 1974, tentang Perkawinan, mengang­gap bahwa WaH bukan merupakan sya­rat untuk ayahnya nikah, yang diper­lukan hanyalah izin dari orang tua, itu­pun bila calon mempelai baik laki-Iaki , maupun wanita yang belum dewasa (di bawah umur 21 tahun), bila telah dewasa 21 (dua puluh satu) tahun ke a tas tidak iagi diperlukan izin dari orang tua.

Beberapa Pu tu san Pengadilan . •

Agama Tentang Fasid Nikah Ka-rena Tidak Ada Wall

Beberapa putusan Pengadilan Aga­rna yang disajikan di bawah ini ten tang fasidnya (batalnya) nikah karena tidak ada wali Nikah atau ada wali tetapi ti­dak memenuhi syarat-syarat sebagai wali.

I. Putusan Pengadilan Agama Jakarta •

Barat tanggal 22 Pebruari 1984, nomor 32 Tahun 1984, telah mene­tapkan fasid (rusak) Nikah saudara M. Arsad So bur bin Abdullah Sobur dengan . isterinya Hasanah binti Mahbub, yang dilakukan pada tang­gal 25 Nopember 1968, di bawah tangan di hadapan Ustadz K.H.M. Sarban, sebagai wali, sedangkan Us­

tadz K.H.M. Sarban tersebut tidak berhak menjadi wali, walaupun suami isteri itu telah beritikad baik waktu menikah dan telah dikarunia 7 (tujuh) orang anak.

Page 7: HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974? …

Wali/syarat perkawinan

Pertimbangan Hukum Pengadilan Agama tersebut adalah sebagai beri­kut: a) bahwa perkawinan tersebut ti­

dak dilaksanakan dengan wali yang syah, walaupun telah me­menuhi kewajiban membayar mahar Rp. 1.000,-

b) bahwa perkawinan tersebut telah melanggar Ketentuan Un dang­undang Nomor 22 Tahun 1946, jo. Undang-undang No.32 Tahun 1954, pasal I ayat (1) dan pasal 3 ayat (I), akan tetapi perkawin­an itu tidaklah berarti menjadi batal dengan sendirinya (tidak syah), karena tujuan Undang-un­terse but dimaksudkan hanya ter­tib administrasi saja.

c) bahwa perkawinan tersebut telah •

melanggar ketentuan pasal I ayat (I) jo. pasal 2 ayat (1) P.M.A. Nomor I Tahun 1952 tentang Wali Hakim.

d) Hadits Rasul rrienyatakan bahwa tidak syah Nikah kecuali dengan wali yang syah dan dua orang saksi yang adil (Rawahul Ahmad bin Ham bali).

2. Pengadilan Agama Jakarta Timur, tanggal4Juni 1981 Nomor 175 Ta­hun 1981, membatalkan pernikah­an Termohon I Mansyurdin dengan Termohon II Ny. Nurhayati binti Nurdin yang dilakukan pada tanggal 26 Pebruari 1981, di tempat ke­diaman A. Wahab, karena dianggap tidilk syah, dengan alasan-alasan se­bagai berikut:

a) bahwa Wali Nikah A. Wahab bu-\ kan Kepala Kantor Urusan Aga-

rna Kecamatan, melanggar P.M.A. Nomor 1 Tahun 1952 pasal 2 ayat (1).

b) bahwa melanggar hukum-hukum syaraq , yaitu tidak ada wali yang

,

475

syah dari Termohon II, sedang­kan ayah kandungnya Termohon II masih hidup dan ada di Pa­dang sedangkan tidak ada perse­tujuan tertulis dari walinya yang syah itu.

c) melanggar pasal 4 ayat (1) U.U. No.1 Tahun 1974, jo. P.O. No.9 Tahun 1975 Bab 4, tentang izin beristeri Ie bih dari seorang.

3. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan , tanggal 13 September 1983, Nomor 344 ' Tahun 1983, memfasidkan Nikah an tara Ny. Ro­sita Hamzah dengan T.B. Iwan Su­wandi bin T.B. Uteng Marta Sudar­rna yang dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 1974, walaupun telah dikarunia 4 (empat) orang anak la­ki-Iaki dan 3 (tiga) orang anak pe­rempuan dan nikah dilakukan se­cara resmi di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Baru, tetapi tidak dipenuhinya salah satu per­syaratan menurut Hukum Islam ya­itu Wali Nikah, yang menjadi Wali Nikah hanya Bapak Angkat yang te­lah mengangkat Ny. Rosita Hamzah sebagai anak syah sejak dia berumur 1 (satu) bulan sedangkan Bapaknya sampai dia mau menikah ghaib (hi­lang tidak diketahui di mana dia berada).

4. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 9 Pebruari 1984, No­mor 48 Tahun 1984 mem batalkan Nikah Termohon I Bernadette Rina SD. binti Richard Harisno dengan Termohon II Any Pribadi bin Su­giono yang dilaksanakan pada tang­gal 30 Oktober 1983, yang dilaku­kan Termohon III H.,Mohd. Nasir bin H. Madinah umur 46 tahun pe-

kerjaan dagang, walaupun walinya Richard Harisno bin Sugondo (wali mujbir) tidak berhak menjadi wali karena beragama KatoJilc, demikian

September 1984

Page 8: HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974? …

476

juga Wali Hakim tidak memenuhi syarat karen a bukan kepala K.U.A. setempat.

5. Putusan Pengadilan Agama Jakarta , Utara, Nomor 96 Tahun 1984, tanggal 31 Januari 1984 membatal­kan nikah antara Hasnah binti Ha­nan umur 21 tahun dengan Permin bin Sardi umur 25 tahun, yang di­langsungkan pada tanggal 14 Okto­ber 1982, karena tiqak ada wali, walaupun baik Bapak maupun ka­kak dan saudara dari ayah dan sau­dari pamah tidak ada, dan nikah terse but tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama Ciomas de­ngan No. 802/234/1982. sebagai­mana dijelaskan dengan suratny <1

Kepala KUA tersebut Nomor K-04/ •

A.020 1/804/1983 berarti syah ni-kahnya menurut hukum.

6. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara tanggal 8 Maret 1983 No.69/ 1983, telah membatalkan pernikah­an antara Rusli bin Sarimin dengan Dasri binti Darin, yang dilaksana­kan di Lagoa pada tanggal 24 Peb-. , ruari 1981, karena tanpa adanya wali Nikah, tanpa .setahu keluarga dan tidak didaftar pada Kantor Pen­catat Nikah (K.U.A. Kecamatan) di­mana mereka bertempat tinggal.

Seharusnya Pengadilan Agama mem-pertimbangkan juga pendapat Madz­hab Hanafi tentang Wali Nikah , yang

• •

.

.

Hukum dan Pembangunan

menyatakan bahwa wanita dewasa ti­dak perlu pakai wali, demikian juga pendapat Abu Jusuf, Imam Malik dan Ibnu Qasim.16

)

Karena syarat-syarat perkawinan lainnya sudah terpenuhi, yang lebih penting lagi demi kemaslahatan dan keharmonisan hid up sang anak yang telah 7 (tujuh) orang. Akibat hukum apa yang ditimbulkan terhadap anak­anak, isteri, hubungan seksual selama ini iktikad baik, harta bersama dan lain-lain sebagainya.

Kesimpulan Bahwa menurut Madzhab . Syafii,

wali merupakan syarat syahnya nikah, apabila wanita menikah tanpa wali, maka nikahnya batal, batal, batal.

Menurut madzhab Hanafi, wali ti­dak merupakan syarat untuk syahnya nikah, tetapi sunnah saja hukumnya boleh ada wali boleh tidak ada , yang penting harus ada izin orang tua pad a waktu menikah, baik dia itu pria mau­pun wanita.

Sedangkan menurut Undang-un­dang Nomor 1 Tahun 1974, tidakjelas mengatur tentang wali Nikah, tetapi disyaratkan harus ada izin orang tua bagi yang menikah apabila belum ber­umur 2 1 (dua puluh satu) tahun.

16) Hasen Ibrahim K.H. Fiqh Perban­dingan dalam Masalah Talaq , Jakarta, lhya Ulumuddin, 1971, hal. 102.

i

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Departemen 'Agama, Al Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta, Bumi Restu, 1974.

2. Hosen Ibrahim, K.H. Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Talaq, Jakarta, Ihya Uiumuddin, 1972.

3. Rasyid H. SuJaiman, Fiqh [slam, Jakarta, Attahiriyah 1955.

4. Sholeh K.H. Qamaniddin dkk, Asbabun Nuzuul, Jakarta, Diponegoro, tanpa tahun.

5. Saleh K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980 .