perceraian di luar pengadilan agama menurut perspektif undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan...

206
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan fitrah manusia, yang dengan melakukan hal tersebut seorang (suami) diwajibkan memikul amanah tanggung jawab yang sangat besar di dalam dirinya terhadap orang-orang yang berhak mendapat perlindungan dan pemeliharaan. Hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subjek yang mengikatkan diri dalam perkawinan tersebut yakni antara seorang pria dengan seorang wanita. Dalam membina bahtera rumah tangga sering kali dijumpai berbagai keluhan yang dapat saja berujung pada terjadinya perceraian yang kemudian menyebabkan bubarnya hubungan perkawinan. Dewasa ini kian marak pergeseran makna dari hubungan antara pernikahan dan perceraian. Jika pada masa lalu proses perceraian dalam pernikahan merupakan suatu hal yang tabu dan aib, kini sudah umum dan perceraian telah menjadi

Upload: ameersabry

Post on 13-Aug-2015

1.079 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan fitrah manusia, yang dengan melakukan hal

tersebut seorang (suami) diwajibkan memikul amanah tanggung jawab yang

sangat besar di dalam dirinya terhadap orang-orang yang berhak mendapat

perlindungan dan pemeliharaan. Hakikat perkawinan adalah merupakan

hubungan hukum antara subjek yang mengikatkan diri dalam perkawinan

tersebut yakni antara seorang pria dengan seorang wanita.

Dalam membina bahtera rumah tangga sering kali dijumpai berbagai

keluhan yang dapat saja berujung pada terjadinya perceraian yang kemudian

menyebabkan bubarnya hubungan perkawinan. Dewasa ini kian marak

pergeseran makna dari hubungan antara pernikahan dan perceraian. Jika pada

masa lalu proses perceraian dalam pernikahan merupakan suatu hal yang tabu

dan aib, kini sudah umum dan perceraian telah menjadi suatu fenomena yang

biasa di masyarakat. Setiap orang pasti menginginkan yang terbaik dalam

hidupnya, termasuk dalam kehidupan rumah tangganya. Namun realita

menunjukkan sebaliknya, angka perceraian semakin meningkat setiap

tahunnya.

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dianggap

sebagai suatu perjanjian (persetujuan) asalkan kata perjanjian diambil dalam

arti yang luas. Sebab untuk melangsungkan perkawinan diperlukan kehendak

Page 2: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

2

yang bersesuaian antara seorang pria dengan seorang wanita serta keterangan

tentang adanya kehendak tersebut.1

Perkawinan selain harus memenuhi syarat sahnya perkawinan

menurut Agama dan kepercayaannya masing-masing sebagaimana yang

diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, juga

harus dilakukan pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan

setempat. Pada saat perkawinan yang dilangsungkan itu tidak dilakukan

pencatatan maka oleh masyarakat sekarang ini sering disebut dengan

pernikahan sirri.

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya baik

itu perkawinan monogami maupun poligami. Ini sebenarnya yang

dikehendaki oleh Agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-

hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan

perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini

Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha

melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu merupakan

jalan keluar yang baik.2

Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor Tahun 1974 dinyatakan

bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.3

1 Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1992, hal. 80.2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. I, Jakarta, Prenada

Media, 2006, hal. 190.3 Departemen Agama R.I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), hal.

Page 3: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

3

Definisi di atas menunjukan bahwa suatu perkawinan mencakup

ikatan lahir dan batin antara suami istri. Ikatan lahir disini dimaksudkan

bahwa adanya perpaduan antara hak dan kewajiban suami dalam susunan

kehidupan rumah tangga secara nyata, sedangkan yang yang dimaksud

dengan ikatan batin ikatan yang bersifat atau berupa perasaan cinta dan kasih

sayang dalam mencapai kebahagiaan dan kedamaian dan rumah tangga.

Kebahagian dan kedamaian dalam rumah tangga akan dapat tercapai

apabila ada rasa saling pengertian dan rasa kasih sayang antara suami dan istri

serta di dukung oleh beberapa faktor . Faktor-faktor tersebut oleh Faried

Ma’ruf Noor, diperinci sebagai berikut:

1. Setiap anggota rumah tangga atau keluarga memahami dan menjalani fungsinya masing-masing

2. Terciptanya suasana keagamaan dan kehidupan rumah tangga sehari-hari

3. Terciptanya kebutuhan ekonomi rumah tangga 4. Terciptanya fungsi pendidikan keluarga terutama bagi anak-anak.4

Apabila diperhatikan definisi pekawinan yang tercantum dalam pasal

1 di atas, Undang-undang tersebut menghendaki agar suatu perkawinan yang

sudah dilangsungkan dapat terlaksana dengan bahagia antara suami

istri,Tujuan ini dapat tercapai tergantung pada pergaulan yang baik pasangan

tersebut. Hubungan yang baik dan sangat tergantung pada pemenuhan hak

dan kewajiban masing-masing pihak.

Berdasarkan uraian di atas nyatalah bahwa tujuan perkawinan adalah

untuk terwujudnya hubungan yang kekal antara suami dan istri. Namun

14.4 Faried Ma’ruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera dan Bahagia, (Jakarta: Bulan Bintang,

1983), hal. 51.

Page 4: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

4

tujuan mulia tersebut tidak selamanya dapat tercapai dalam suatu perkawinan,

bahkan tidak jarang timbul permasalahan, perselisihan atau pertengkaran

yang terus menerus antara suami dan istri. Itu ini memberi peluang kehidupan

rumah tangga menjadi tidak harmonis, sehingga harus di akhiri dengan suatu

perceraian.

Secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan membagi sebab-

sebab putusnya perkawinan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu seperti yang

tercantum dalam Pasal 38 yakni sebagai berikut:

a. Karena kematian salah satu pihak;

b. Perceraian; dan

c. Atas putusan pengadilan;

Putusnya perkawinan karena perceraian dalam istilah ahli Fiqh disebut

talak atau furqah. Arti dari talak adalah membuka ikatan, membatalkan

perjanjian, sedangkan furqah artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul.

Kemudian kedua kata tersebut dipakai oleh ahli fiqh sebagai satu istilah, yang

berarti bercerai antara suami isteri. Meskipun Islam tidak melarang

perceraian, tetapi bukan berarti Agama Islam menyukai terjadinya perceraian

dalam satu perkawinan. Dan perceraianpun tidak boleh dilaksanakan setiap

saat sebagaimana dikehendaki.

Walaupun diperbolehkan, Agama Islam memandang bahwa

perceraian adalah sesuatu yang tidak disukai. Hal tersebut bisa dilihat dalam

Page 5: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

5

hadist Nabi yang artinya “Yang halal yang paling dibenci Allah adalah

perceraian”. (HR. Abu Daud dan dinyatakan shaheh oleh Al-Hakim).

Bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Rasullullah

SAW bersabda yang artinya: “Apakah yang menyebabkan salah seorang

kamu mempermainkan hukum Allah, ia mengatakan: Aku sesungguhnya

telah mentalak (isteriku) dan sesungguhnya” (HR. An-Nasa’i dan Ibnu

Majah).

Perceraian apapun bentuknya dapat membawa akibat terhadap suami

isteri itu sendiri maupun terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu. Akibat

yang sangat terasa adalah terhadap anak baik secara psikis maupun yuridis.

Dari segi psikis anak akan menjadi minder, kurang tenang, kurang kasih

sayang, dan kurangnya pengawasan dari orang tua yang kesemuanya itu

menyebabkan perkembangan mental anak terganggu.

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memuat berbagai

ketentuan tentang perceraian. Salah satu pasal dari Undang-undang tersebut

menyebutkan bahwa perceraian di bebani berbagai persyaratan sebagaimana

di tentukan dalam pasal 39 ayat (2) yang berbunyi:

1. Perceraian hanya dapat di lakukan di dalam sidang pengadilan setelah sidang yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu dapat akan hidup rukun sebagai suami istri.

3. Tata cara perceraian di depan siding pengadilan di utus perundangan tersendiri.

Page 6: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

6

Selanjutnya alasan yang di sebut pada ayat (2) pasal 39 tersebut di atas

di perinci kembali dalam pasal 19 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.5

Dari ketentuan di atas memperluas suatu perceraian hanya dapat di

lakukan melalui bantuan pengadilan dan untuk melakukannya harus ada

alasan yang cukup da rasional sehingga dapat di jadikan landasan yang wajar

bahwa antara suami dan istri tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama

sebagai suami istri.

Pada perinsipnya tidak ada seorangpun yang menginginkan

perkawinannya berakhir dengan perceraian, tidak ada anggota atau

masyarakat yang mengharapkan keluarganya berakhir dengan perceraian.

Hukum Islam mengajarkan bahwa perceraian merupakan suatu perbuatan

halal tetapi sangat dibenci oleh Allah. Salah satu azas dalam Undang-Undang

perkawinan adalah mempersulit terjadinya perceraian,6 cara mempersulit ini

5 Departemen Agama, Undang-undang, hal. 77.6 Lihat huruf e angkan 4 Penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang

Perkawinan.

Page 7: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

7

antara lain dengan menetapkan syarat-syarat tertentu seperti ikrar cerai harus

diucapkan di depan sidang pengadilan. Kebijakan tersebut dijabarkan oleh

hakim antara lain dengan menyelenggarakan beberapa kali sidang, untuk

menggali permasalahan dan memberi kesempatan kepada suami dan isteri

untuk merenungkan niatnya untuk bercerai. Akan tetapi langkah hakim ini

sering dirasakan oleh pencari keadilan sebagai memperpanjang prosedur.

Pengadilan Agama pilar utama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, dan dalam upaya menekan angka perceraian khususnya serta

pembinaan keluarga sejahtera pada umumnya.

Masalah perceraian merupakan masalah yang cukup komplex.

Keluarga yang mempunyai masalah cenderung merahasiakan masalah-

masalah yang dihadapi keluarganya dan berupaya memecahkannya sendiri.

Pada umumnya ketika permasalahannya sudah cukup kronis. Disamping itu

juga diakui bahwa nasehat oleh BP4 dan usaha perdamaian yang dilakukan

oleh pengadilan cenderung kurang metodologis, kurang profesional.7

Pembinaan kehidupan keluarga, penasehatan calon pengantin dan

penasehatan keluarga yang bermasalah pada hakikatnya adalah kegiatan

pendidikan yang merubah kondisi yang kurang baik kepada keadaan yang

lebih baik. Untuk kegiatan tersebt sangat tepat dilakukan melalui pendidikan,

persuasif, psikologis dan sebagainya.8

7 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hal.48.

8 Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan undang-undang Perkawinan, Cet. I, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama R.I, 2001, hal. 78.

Page 8: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

8

Dewasa ini, perceraian yang dilakukan oleh suami tanpa pengetahuan

pengadilan dianggap perceraian liar, ketentuan ini diberlakukan semenjak

disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dengan demikian urusan perceraian tidak lagi menjadi urusan pribadi suami

melainkan harus ada campur tangan pengadilan/pemerintah.

Dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang perkawinan disebutkan:

”Perceraian hanyan dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak”. Ketentuan di atas menunjukkan bahwa setiap pasangan

suami isteri yang akan melakukan perceraian tidak bisa disembarang tempat,

mereka diharuskan oleh Undang-Undang untuk melaksanakan perceraian di

depan hakim dalam sebuah acara persidangan di pengadilan. Meskipun

pasangan suami isteri tersebut melakukan nikah siri namun mereka wajib

memenuhi hukum yang mengharuskan suatu perceraian dilakukan di depan

persidangan. Tentunya dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 dapat mengarahkan masyarakat kepada suatu tatanan hukum

yang lebih tertib, sekaligus dapat mengatasi terjadinya perceraian yang

dilakukan oleh suami secara semene-mena terhadap isterinya tanpa

mempertimbangkan akibatnya. Kecenderungan penulis dalam membahas tesis

ini supaya perceraian yang dilakukan harus melalui prosedur hukum

Page 9: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

9

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penelitian ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut :

1. Apakah sah perceraian di luar Pengadilan agama (Mahkamah Syar’iyah)

menurut perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI ?

2. Apa saja akibat yang ditimbulkan dalam perceraian yang dilakukan di

luar Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) menurut Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI ?

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sah atau tidak sah perceraian di luar Pengadilan

Agama (Mahkamah Syar’iyah) menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 dan KHI.

2. Untuk mengetahui konsekwensi hukum yang timbul dari perceraian di

luar Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) menurut Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI.

Adapun kegunaan hasil penelitian ini sebagai berikut:

Page 10: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

10

1. Secara teoritis: Hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala

pengetahuan dan pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta

hukum perdata pada khususnya.

2. Secara Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

yang berarti bagi instansi pemerintah, praktisi hukum, dan masyarakat

dalam penyelesaian masalah hukum yang timbul sehubungan dengan

perceraian.

D. Keaslian Penelitian

Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap berbagai literatur dan

hasil penelitian pada Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas

Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, terdapat 8 (delapan) penelitian

yang berhubungan dengan Perceraian. Pada Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Syiah Kuala diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh

Saudara Abdul Manan Hasyim yang berjudul “Eksekusi Putusan Cerai

Talak Dalam Kaitannya Dengan Gugatan Rekonpensi (Studi Kasus Pada

Mahkamah Syar’iyah Jantho Tahun 2006)”. Penelitian ini menitik

beratkan pada pelaksaksanaan eksekusi terhadap putusan cerai talak yang

dimohonkan gugatan rekonpensi. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh

Saudara Teuku Muhammad Firmansyah yang berjudul “Suatu Tinjauan

Terhadap Faktor Penyebab Cerai Gugat dan Dampaknya (Penelitian di

Kota Sabang Tahun 2006)”. Penelitian ini menitikberatkan pada faktor yang

menjadi penyebab tingginya kasus cerai gugat dan berbagai permasalahan

yang terkait lainnya di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Kota Sabang.

Page 11: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

11

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Saudara Tasmijan yang berjudul

“Cerai Gugat Suatu Tinjauan Yuridis Normatif dan Sosiologis di

Wilayah Hukum Takengon Tahun 2008)”. Penelitian ini menitikberatkan

pada faktor penyebab terjadinya cerai gugat dan pertimbangan hakim dalam

memutuskan perkara cerai gugat. Kemudian Penelitian yang dilakukan oleh

Saudara Muhammad Raihan yang berjudul “Pemeriksaan Oleh Hakim

Terhadap Penggabungan Gugatan Perceraian dan Harta Bersama (Studi

Kasus di Mahkamah Syar’yah Banda Aceh Tahun 2011)”. Penelitian ini

menitikberatkan terhadap alasan bagi hakim melakukan penggabungan

pemeriksaan perkara perceraian dengan harta bersama dan pertimbangan

hakim menentukan kebijakan pemeriksaan perkara tertutup untuk umum.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Saudari Nurasiah yang berjudul

“Kajian Yuridis Tentang Perceraian di Bawah Tangan Menurut Hukum

Islam dan Hukum Positif Tahun 2011”. Penelitian ini menitikberatkan

pada konsep perceraian dan bentuk perlindungan hukum terhadap isteri/anak

yang mengalami perceraian di bawah tangan menurut hukumIslam dan

hukum positif. Sedangkan Penelitian yang dilakukan pada Program

Pascasarjana IAIN Ar-Raniry diantaranya adalah penelitian yang dilakukan

oleh Saudara Muhammad Nasir yang berjudul “Cerai Talak dan Cerai

Gugat (Studi Kasus di Mahkamah Syar’iyah Jantho Tahun 2010)”.

Penelitian ini menitikberatkan terhadap ketetapan hukum Islam dan hukum

positif tentang cerai talak dan cerai gugat serta proses penyelesaian kasusnya.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Saudara Murdani yang berjudul “

Page 12: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

12

Zina Sebagai Alasan Perceraian (Studi Kasus Pada Mahkamah

Syar’iyah Sabang Tahun 2011)”. Penelitian ini menitikberatkan terhadap

alasan perceraian di dalam pandangan fiqh, Undang-Undang Perkawinan,

KHI, dan penyelesaian kasusnya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh

Saudara Said Rizal yang berjudul “Tinjauan Terhadap Putusan Hakim

Tentang Perceraian PNS Tanpa Izin Pejabat (Studi Kasus di Mahkamah

Syar’iyah Banda Aceh Tahun 2011)”. Penelitian ini menitikberatkan pada

kekuatan hukum izin pejabat dalam proses penyelesaian perkara perceraian

PNS, bagaimana sikap hakim dalam menyelesaikan perkara, dan apa dasar

hukumnya. Maka berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, bahwa

penelitian atas permasalahan yang ditulis oleh penulis tersebut belum pernah

dilakukan sehingga dengan demikian penelitian dan tulisan ini dapat

dinyatakan asli.

E. KERANGKA PIKIR

1. Teori Negara Hukum

Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah

yang dikenal dalam bahasa Jerman yaitu Rechtsstaat, ”Recht” berarti

hukum atau hak yang juga diadopsi ke dalam bahasa Belanda dalam arti yang

serupa.9

Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah,

sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti

9 Jimly Asshiddiqie, Nomokrasi Modern : Konsep Negara Hukum Yang Demokratis, dikutip dari buku Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002, hal. 82.

Page 13: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

13

sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami

secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui

gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang

mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum.10 Selain itu

Pemikiran tentang Negara Hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua

dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri11 dan

pemikiran tentang Negara Hukum merupakan gagasan modern yang multi-

perspektif dan selalu aktual. 12

Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia,

yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut

Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut

dengan Rule of Law. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental, istilah

rechtsstaat juga disebut dengan concept of legality atau etat de droit,

sedangkan istilah the rule of law menjadi polpuler setelah diterbitkan buku

Albert Venn Dicey pada tahun 1985.13

Jimly Asshiddiqie14 menyatakan, ada sembilan prinsip pokok yang

menjadi pilar utama sebuah Negara Hukum, yaitu : (1) Supremasi hukum; (2)

Persamaan dalam hukum; (3) Asas Legalitas; (4) Pembatasan kekuasaan; (5)

Peradilan yang bebas dan tidak memihak; (6) Peradilan tata usaha negara; (7)

10 S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997, hal. 9.

11 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2001, hal.25.

12 A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004, hal. 48.

13 Faisal A. Rani, Fungsi dan Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka Sesuai dengan Paham Negara Hukum, Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 2009, hal. 33.

14 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hal. 85-93.

Page 14: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

14

Perlindungan hak asasi manusia; (8) Bersifat demokratis; dan (9)

Transparansi dan kontrol sosial.

Di samping konsep negara negara hukum dengan istilah rechtsstaat

dan the rule of law, juga dikenal adanya konsep negara hukum yang bersifat

Nomokrasi Islam yang bersumber pada al-Qur an dan Sunnah dengan unsur-

unsur pokok kekuasaan adalah amanah, musyawarah, keadilan, persamaan,

pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, peradilan yang

bebas, perdamaian, kesejahteraan dan ketaatan rakyat pada hukum yang

sumber tertingginya pada al-Qur an, as-Sunnah dan al-Ra’yu (ijtihad).15

Sebelum amandemen UUD RI 1945 asas Negara hukum tidak diatur

dalam pasal-pasal atau batang tubuh UUD RI 1945 melainkan diatur dalam

bagian Penjelasan UUD RI 1945 dengan istilah yang sedikit berbeda, yakni

“negara berdasar atas hukum (Rechtsstaat)”. Akan tetapi pasca amandemen

UUD RI 1945, asas Negara Hukum sudah diatur secara tegas di dalam batang

tubuh, yaitu dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah

negara hukum”.

Dalam kepustakaan Indonesia, penyebutan negara hukum dan juga

dalam penyebutan demokrasi dalam hubungannya dengan Negara Republik

Indonesia, sering diberikan atribut ”Pancasila” sehingga banyak ditemui

istilah ”Negara Hukum Pancasila” dan ”Demokrasi Pancasila”.16 Hal ini

dikaitkan dengan dasar/falsafah negara Republik Indonesia yaitu Pancasila.

15 Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini , Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal. 73.

16 Faisal A. Rani, Op.Cit. hal. 34.

Page 15: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

15

Oemar Seno Adji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia

memiliki ciri khas tersendiri, karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar

pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula

dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara

hukum pancasila ialah adanya jaminan terhadap kebebasan beragama

(freedom of religion). Akan tetapi kebebasan beragama di negara hukum

Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tidak ada tempat bagi

ateisme atau propaganda anti agama di bumi Indonesia. Ciri pokok lainnya

dari negara hukum Indonesia adalah tidak ada pemisahan yang mutlak antara

agama dan negara, karena antara agama dan negara berada dalam hubungan

yang harmonis. 17

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian yang

mendasar dari negara hukum adalah bahwa kekuasaan harus tunduk pada

hukum dan semua orang sama di hadapan hukum (equality before the law).

Negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan segala

tindakan warga negara harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

2. Teori Kepastian Hukum

Manusia sebagai makhluk sosial saling berhubungan antara satu

dengan lainnya untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam

hubungan antara satu dengan lainnya kadangkala timbul perselisihan karena

dalam mengerjakan kebutuhan hidupnya merugikan pihak lain. Perselisihan

yang timbul dapat mengganggu keseimbangan hidup masyarakat. Dalam

17 Oemar Seno Adji, Pengadilan Bebas Negara Hukum, Airlangga, Jakarta, 1980, hal. 16.

Page 16: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

16

menjaga keseimbangan hidup masyarakat dan mengatasi perselisihan

diperlukan aturan yang mengaturnya. Aturan yang mengatur hidup

masyarakat disebut norma atau kaedah. Kaedah tersebut dapat berupa kaedah

agama, kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun dan kaedah hukum.

Kaedah hukum yang berlaku dalam masyarakat dapat berupa

perundang-undangan dan kebiasaan atau adat istiadat. Menurut Sunnaryati

Hartono hukum adalah rangkaian kaedah, peraturan-peraturan, tata aturan

baik tertulis maupun tidak tertulis yang menetapkan dan mengatur hubungan

antara para anggota masyarakat.18 Hukum adalah keseluruhan peraturan atau

kaedah dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi.19

Hukum adalah perangkat kaedah-kaedah dan asas-asas yang mengatur

kehidupan manusia dalam masyarakat. Salah satu fungsi terpenting dari

hukum adalah tercapainya keteraturan hidup manusia dalam masyarakat. Hal

ini yang menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian, artinya orang

dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan

bermasyarakat karena ia dapat mengadakan perhitungan tentang apa yang

terjadi atau apa yang bisa ia harapkan.20

Demikian pentingnya fungsi hukum dalam masyarakat, sehingga ada

yang menyamakan fungsi dengan tujuannya. Dikatakan bahwa tujuan hukum

agar terpelihara dan terjamin keteraturan (kepastian) dan keterlibatan. Tanpa

18 Sunnaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni Bandung, 1991. hal. 8.

19 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003. hal. 40.

20 Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000. Hal. 49.

Page 17: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

17

kepastian dan ketertiban, Kehidupan manusia yang wajar tidak mungkin

terwujud. Oleh karena itu pandangan yang menyatakan tujuan hukum

menjamin kepastian dan ketertiban, pandangan tersebut tidak terlalu salah.21

Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum

mempunyai tujuan atau sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok

hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan

ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam

masyarakat diharapkan kepentingan manusia terlindungi. Dalam mencapai

tujuan itu hukum menentukan hak dan kewajiban antara perorangan di dalam

masyarakat, mengatur cara memecahkan masalah hukum dan memelihara

kepastian hukum.22

Menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Soerojo Wignjodipoero,

hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Ada

dua macam kepastian hukum yaitu kepastian oleh hukum dan kepastian

dalam atau demi hukum. Kepastian oleh hukum, misalnya daluarsa (Pasal

1946 KUH Perdata). Kepastian dalam hukum tercapai apabila hukum itu

tidak saling bertentangan. Peraturan perundang-undangan itu dibuat

berdasarkan keadaan yang sungguh-sungguh dan di dalamnya tidak terdapat

istilah-istilah multi-tafsir.23

Hukum sebagai salah satu kaedah yang berlaku dalam masyarakat,

bertugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain

21 Ibid. hal. 50.22 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. hal. 77.23 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Ilmu Hukum. Haji Masagung, Jakarta, 1988. hal.

77.

Page 18: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

18

itu dapat pula dikatakan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar setiap

orang tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran

hukum terhadap dirinya. Setiap perkara yang timbul harus diselesaikan

melalui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan

hukum yang berlaku.24

3. Kedudukan Mahkamah Syar’iyah Dalam Sistem Peradilan Nasional

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam (selanjutnya disebut dengan NAD) telah memberikan otonomi

khusus untuk Provinsi NAD dalam rangka pengembangan otonomi daerah

dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pemberian

otonomi tersebut adalah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan

bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Hal tersebut

diwujudkan dengan peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya

nasional yang berkeadilan serta memberikan perimbangan keuangan antara

pusat dan daerah sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Selain tujuan

tersebut, ada kebijakan politik hukum dari pemerintah Indonesia untuk

mengapresiasi aspirasi masyarakat Aceh yang sudah lama tertekan dengan

konflik bersenjata dan operasi militer oleh Tentara Nasional Indonesia dan

Polisi Republik Indonesia (TNI/ POLRI) yang telah menimbulkan

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Selain itu terutama juga untuk

24 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. hal. 45.

Page 19: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

19

meredam tuntutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin melepaskan

diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).25

Di dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001

disebutkan bahwa peradilan Syari`at Islam di Provinsi NAD sebagai bagian

dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah yang

bebas dari pengaruh pihak manapun. Kemudian dalam Pasal 26 ayat (1)

disebutkan bahwa Mahkamah Syar`iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal

25 ayat (1) terdiri atas Mahkamah Syar`iyah Kabupaten/Kota sebagai

pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Syar`iyah Provinsi sebagai

pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Provinsi NAD.

Sedangkan untuk tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung RI.26

Berpijak atas dasar ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2001 inilah embrio Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian

dari sistem peradilan nasional di Indonesia mulai tumbuh dan mengalami

proses pencarian bentuk yang evolutif. Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk

proses pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh semakin intensif

dilakukan dan dipersiapkan dengan cermat dan seksama oleh pihak

pemerintah (pusat dan daerah) bersama seluruh elemen masyarakat lainnya

yang meliputi peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia, dan

prasarana pendukungnya.

25 http://www.advokateyurnal.com,, Yurnal, Mahkamah Syar’iyah dan Kekuasaan Kehakiman, diakses pada tanggal 21 Desember 2010.

26 Lihat Pasal 26 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam.

Page 20: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

20

Tindak lanjut pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2001 tersebut di atas, disahkan pula Qanun Provinsi NAD Nomor

10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam yang di dalamnya mengatur

tentang kedudukan dan kewenangan serta struktur organisasi Mahkamah

Syar’iyah.

Di dalam Pasal 2 Qanun Provinsi NAD Nomor 10 Tahun 2002

tersebut ditegaskan bahwa Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga peradilan

yang dibentuk untuk melaksanakan Syari`at Islam dalam wilayah Provinsi

NAD, yang merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada

sebelumnya. Dalam melaksanakan kewenangannya Mahkamah Syar`iyah

bebas dari pengaruh dari pihak manapun.27

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Qanun tersebut dapat dipahami bahwa

kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh adalah sebagai pengganti dari

Pengadilan Agama yang sudah berlaku. Hal tersebut ditegaskan kembali

dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2003

tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi

NAD yang menyebutkan bahwa Pengadilan Agama yang telah ada di

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar`iyah.

Oleh karenanya proses beracara dan hukum acara di Mahkamah Syar’iyah

27 Rumusan lengkap isi Pasal 2 Qanun Provinsi NAD Nomor 10 Tahun 2002 sesbagai berikut :

(1) Mahkamah Syar`iyah adalah Lembaga Peradilan yang dibentuk dengan Qanun ini serta melaksanakan Syari`at Islam dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(2) Dalam melaksanakan kewenangannya Mahkamah Syar`iyah bebas dari pengaruh dari pihak manapun.

(3) Mahkamah Syar`iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada.

Page 21: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

21

pada hakekatnya adalah  sama seperti yang berlaku dalam proses beracara

yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama.

Eksistensi Mahkamah Syar’iyah di Aceh kemudian diakomodasikan

di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam

Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa

peradilan Syariah Islam di Provinsi NAD merupakan pengadilan khusus

dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut

kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam

lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut

kewenangan peradilan umum.28

Menurut Bagir Manan, oleh karena dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004, dengan tegas disebutkan ”pengadilan khusus

hanya dapat dibentuk dalam satu lingkungan peradilan”, maka pengadilan

khusus merupakan bagian (kamar) dari suatu lingkungan peradilan. Jika

bunyi ayat (2) ini diterapkan,  akan terdapat dua pengadilan Syar’iyah, yaitu

di lingkungan peradilan umum dan di lingkungan peradilan agama. Hal ini

mengakibatkan tidak ada Pengadilan Syar’iyah yang berdiri di luar peradilan

agama dan peradilan umum. Yang ada adalah peradilan Syar’iyah sebagai

bagian dalam lingkungan pengadilan agama dan pengadilan Syar’iyah

sebagai bagian dalam lingkungan peradilan umum (untuk perkara pidana).

28 Lihat juga ketentuan Pasal 3A UU No. 3 tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan penjelasannya.

Page 22: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

22

Hal ini bertentangan dengan tujuan pembentukan Pengadilan Syar’iyah

sebagai pengadilan yang berdiri sendiri.29

Dalam menanggapi tulisan Bagir Manan tersebut, Yurnal menyatakan

bahwa Bagir Manan terasa seperti tidak bisa berbuat apa-apa ketika dia

mengatakan “demikianlah kenyatannya” padahal dia juga mengakui bahwa

pembentukan Pengadilan Syar’iyah itu sendiri tidak sejalan dengan ketentuan

pasal  15 Undang-Undang  Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.30

Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa di Aceh tidak ada lagi

Pengadilan Agama. Semua kedudukan, tugas, wewenang Pengadilan Agama

dialihkan menjadi tugas, wewenang Mahkamah Syar’iyah. Sementara itu, 

untuk perkara Jinayat (pidana), berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah

Agung RI Nomor KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 telah

diselenggarakan pula penyerahan sebahagian wewenang dari peradilan umum

kepada Mahkamah Syar’iyah Aceh dan sejak saat itu pula Mahkamah

Syar’iyah di Aceh mulai menerima pelimpahan perkara-perkara jinayat dan

mengadili serta memutuskannya.

Perkembangan berikutnya mengenai Mahkamah Syar’iyah di Aceh

terlihat pasca penandatanganan MoU antara Pemerintah RI dan Pimpinan

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinky-Finladia pada tanggal 15

Agustus 2005. Setahun kemudian yakni pada tanggal 1 Agustus 2006 telah

29 Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 152-153.

30 Yurnal, Log.Cit.

Page 23: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

23

diundangkan pula Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, yang di dalamnya mengatur satu bab khusus tentang

Mahkamah Syar’iyah yaitu dalam Bab XVIII. Di dalam Pasal 128 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa Peradilan Syari'at

Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan

peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar'iyah yang bebas dari

pengaruh pihak manapun.

Dengan dimuatnya ketentuan yang tegas tentang Mahkamah Syar’iyah

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, secara yuridis semakin

menguatkan eksistensi dan kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai

salah satu sub sistem dari sistem peradilan nasional di Indonesia.

4. Kompetensi Mahkamah Syar’iyah di Aceh

Tugas pokok pengadilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman

adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap

perkara yang diajukan kepadanya.31 Pengadilan mana yang berwenang untuk

memeriksa akan ditentukan oleh kewenangan mengadili dari setiap

pengadilan.

Kata ”kompetensi” yang berasal dari bahasa Belanda ”Competentie”,

kadang-kadang diterjemahkan dengan ”kewenangan” dan terkadang dengan

”kekuasaan”.32Kompetensi atau Kewenangan mengadili suatu lembaga

31 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 75.32 Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk.

Barat dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 137.

Page 24: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

24

peradilan dapat dibedakan kepada dua yaitu kompetensi relatif dan

kompetensi absolut.

a. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif artinya kewenangan suatu pengadilan dalam

menangani perkara tertentu yang berhubungan dengan batas wilayah hukum

dari suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama dan satu

tingkatan. Roihan A. Rasyid menyatakan bahwa kekuasaan relatif diartikan

sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam

perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama

tingkatannya.33

Kompetensi relatif mempertanyakan Pengadilan Agama atau

Mahkamah Syar’iyah dalam daerah hukum manakah yang berwenang untuk

mengadili suatu perkara. Misalnya antara Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

dengan Mahkamah Syar’iyah Jantho, atau Pengadilan Negeri Bireuen dengan

Pengadilan Negeri Lhokseumawe.

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dengan Mahkamah Syar’iyah

Jantho sama-sama lingkungan peradilan agama dan sama-sama pengadilan

tingkat pertama, tetapi memiliki batas wilayah hukum masing-masing. Begitu

pula halnya antara Pengadilan Negeri Bireuen dengan Pengadilan Negeri

Lhokseumawe, sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama

pengadilan tingkat pertama, tetapi memiliki batas wilayah hukum masing-

masing.

33 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, (Edisi Baru), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 25.

Page 25: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

25

Secara umum mengenai kompetensi relatif Pengadilan Agama diatur

dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang

menyebutkan “Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu

kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau

kabupaten”.

Ketentuan secara khusus menyangkut kompetensi relatif dari

Mahkamah Syar’iyah diatur dalam Pasal 2 Keppres. Nomor 11 Tahun 2003,

yang menyebutkan bahwa daerah hukum Mahkamah Syar’iyah adalah daerah

hukum eks Pengadilan Agama yang bersangkutan. Untuk Mahkamah

Syar’iyah Aceh, daerah hukumnya adalah daerah hukum eks Pengadilan

Tinggi Agama Banda Aceh.

b. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan

dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat pengadilan, dalam

perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau dengan

tingkatan pengadilan lainnya.34 Misalnya, Pengadilan Agama berwenang

mengadili perkara perkawinan, gugatan waris bagi orang-orang yang

beragama Islam, sedangkan perkara menyangkut dengan hutang piutang,

pencurian dan pembunuhan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri.

Dalam hal lain, Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili

perkara pada tingkat pertama, artinya perkara yang menjadi kompetensi

Pengadilan Agama tidak langsung diajukan ke tingkat banding (Pengadilan

Tinggi Agama) atau ke Mahkamah Agung. Demikian juga dengan banding

34 Ibid, hal. 25.

Page 26: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

26

dari Pengadilan Agama harus diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama bukan

ke Pengadilan Tinggi.

Di dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan pula bahwa, ”Kekuasaan dan

kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi adalah

kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi

Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan

dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan

dalam qanun”.

Dengan demikian untuk mengetahui kewenangan absolut Mahkamah

Syar’iyah harus diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi kewenangan

absolut pengadilan agama dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan

Qanun.

Kewenangan absolut pengadilan agama disebutkan dalam Pasal 49

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:

”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama

Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,

shadaqah, dan ekonomi syari'ah”.

Selanjutnya secara lebih rinci, mengenai sengketa-sengketa yang

menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadilinya

diterangkan dalam penjelasan Pasal 49 tersebut sebagai berikut:

”Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah,

Page 27: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

27

melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya. Yang dimaksud dengan

"antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan

hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada

hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama

sesuai dengan ketentuan Pasal di bawah ini:

Dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, huruf a

disebutkan:

Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain: 1. izin beristri lebih dari seorang; 2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia

21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;

3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak; 12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak

bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;

13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;

14. putusan tentang sa h tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal

kekuasaan seorang wali dicabut; 18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum

cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;

19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;

Page 28: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

28

20. penetapan asal -usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;

21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;

22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Kemudian dalam Huruf b Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 disebutkan:

Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi

ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian

masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta

peninggalap tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan

seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan

bagian masing-masing ahli waris.

Selanjutnya dalam Huruf c Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 disebutkan:

Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang

memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau

lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut

meninggal dunia.

Selanjutnya dalam Huruf d Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 disebutkan:

Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara

sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada

orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.

Page 29: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

29

Selanjutnya dalam Huruf e Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 disebutkan:

Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau

sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan

sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau

untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna

keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.

Selanjutnya dalam Huruf f Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 disebutkan:

Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan

oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang

muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang

berhak menerimanya.

Selanjutnya dalam Huruf g Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 disebutkan:

Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang

memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan,

baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki

(karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan

rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.

Selanjutnya dalam Huruf h Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 disebutkan:

Page 30: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

30

Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang

memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum

secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah

tertentu dengan me ngharap ridha Allah Subhanahu Wata'ala dan

pahala semata.

Selanjutnya dalam Huruf i Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 disebutkan:

Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau

kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain

meliputi:

a. Bank syari'ah; b. Lembaga keuangan mikro syari'ah; c. Asuransi syari'ah; d. Reasuransi syari'ah; e. Reksa dana syari'ah; f. Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. Sekuritas syari'ah; h. Pembiayaan syari'ah; i. Pegadaian syari'ah; j. Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. Bisnis syari'ah;Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Mahkamah Syar’iyah

di Provinsi Aceh merupakan pengganti Pengadilan Agama yang sebelumnya

memang sudah ada. Oleh karena itu maka kewenangan absolut pengadilan

agama tersebut di atas dengan sendirinya menjadi kewenangan absolut

Mahkamah Syar’iyah.

Secara spesifik, kompetensi Mahkamah Syar’iyah di atur dalam Pasal

49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 yang menyebutkan Mahkamah Syar’iyah

Page 31: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

31

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-

perkara pada tingkat pertama, dalam bidang :

a. Ahwal al-syakhsyiah;

b. Mu’amalah;

c. Jinayah;

Kompetensi Mahkamah Syar’iyah tersebut kemudian dipertegas lagi

dalam Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh yang menyebutkan Mahkamah Syar'iyah berwenang

memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi

bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata),

dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari'at Islam.

5. Pengertian Perceraian

a. Menurut Al Qur’an

Allah SWT telah menetapkan ketentuan dalam Al-Quran bahwa kedua

pasangan suami isteri harus segera melakukan usaha antisipasi apabila tiba-

tiba timbul gejala-gejala dapat diduga akan menimbulkan ganggungan

kehidupan rumah tanganya, yaitu dalam firman-Nya yang artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka jangalah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34).

Page 32: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

32

Selanjutnya Allah SWT dalam firman-Nya, yaitu Surat An-Nisa’ ayat

128 yang artinya:

“Dan jika seorang wanita khawatir akan Nusyu’ atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari Nusyu’ dan sikap tidak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Apabila usaha antisipasi melalui ayat-ayat tersebut tidak berhasil

mempertahankan kerukunan dan kesatuan ikatan perkawinan dan tinggallah

jalan satu-satunya terpaksa harus bercerai dan putusnya perkawinan, maka

ketentuan yang berlaku adalah Surat Al-Baqarah ayat 229 yang artinya:35

“Talaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang tidak kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim” (Surat Al-Baqarah ayat 229).

Makna yang terkandung dalam Surat Al-Baqarah ayat 229 adalah

sebagai berikut:

1. Sebenarnya perceraian itu bertentangan dengan makna perkawinan itu sendiri, sehingga jika terjadi perceraian, maka sangat wajar sekali jika seandainya mereka yang bercerai ini bersedia untuk rukun dan rujuk kembali menyusun kesatuan ikatan perkawinan mereka lagi;

2. Perceraian yang boleh rujuk kembali itu hanya dua kali, yaitu talaq ke-satu dan talaq ke-dua saja. Oleh karena itu terhadap tlaq le-tiga tidak ada rujuklagi, kecuali setelah dipenuhinya persyaratan khusus untuk ini;

35 Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhab: Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali, (Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1989), hlm. 163-167.

Page 33: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

33

3. syarat atas kedua orang suami-isteri yang bercerai dengan talaq tiga, untuk bisa melakukan rujuk kembali itu di dalam Surat Al-Baqarah ayat 230;

4. Jika terjadi perceraian, maka suami dilarang mengambil harta yang pernah diberikan kepada isterinya yang dicerai itu, kecuali atas dasar alasan yang kuat;

5. Jika isteri mempunyai alasan syari’at yang kuat, maka dapat dibenarkan isteri meminta cerai dengan cara khulu’, yaitu suatu perceraian dengan pembayaran tebusan oleh isteri kepada suami;

6. Allah SWT sudah mengatur segala sesuatunya, termasuk masalah perkawinan dan hubungannya dengan berbagai macam masalahyang terkait;

7. Barang siapa yang melanggar hukum Allah SWT, sebenarnya dia itu bahka menyiksa diri sendiri dengan perbuatan zhalim;36

b. Menurut Al-Hadist

Menurut asalnya Thalaq itu hukumnya makruh berdasarkan Hadist

Rasulullah SAW, yaitu Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah

thalaq. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim). Selanjutnya dalam hadist lain

Rasulullah SAW bersabda Perempuan mana saja yang meminta kepada

suaminya untuk cerai tanpa ada alasan apa-apa, maka haram atas dia baunya

surga. (HR. Turmudzi dan Ibnu Ma’jah).

c. Menurut Peraturan Perundang-Undangan

Meskipun perkawinan dimaksudkan untuk membentuk rumah tangga

yang sakinah, mawaddah, dan rahmat bagi pasangan suami isteri yang

memeluk agama Islam, namun dalam perjalanan kehidupan rumah tangganya

juga dimungkinkan timbulnya permasalahan yang dapat mengakibatkan

terancamnya keharmonisan ikatan perkawinannya. Bahkan apabila

permasalahan tersebut tidak memungkinkan untuk dirukunkan kembali,

sehingga keduanya sepakat untuk memutuskan ikatan perkawinannya melalui

36 Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 202.

Page 34: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

34

perceraian. Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (UUP) berlaku, perkawinan diatur dalam Buku I Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) termasuk ketentuan tentang putusnya

perkawinan (perceraian). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan dalam Buku I Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang perkawinan tidak

berlaku. Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

maupun Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

terdapat pengertian tentang perceraian, hanya mengatur tentang putusnya

perkawinan serta akibatnya. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan mengatur tentang putusnya perkawinan yang menyatakan

bahwa: perkawinan dapat putus karena:

a. Kematian;

b. Perceraian;

c. Atas putusan Pengadilan;

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan hanya mengatur tentang tata cara perceraian, yaitu dalam Pasal

14 yang menyatakan bahwa: “seorang suami yang telah melangsungkan

perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya,

mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi

pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan

Page 35: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

35

alasan-alasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang

untuk keperluan itu”.

Alasan-alasan yang dimaksud dalam Pasal 14 tersebut adalah sebagai

berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUP, yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pinak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah

lepasnya ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan.37

d. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal

ini sesuai ketentuan Pasal 113 KHI, yang mengatur bahwa putusnya

perkawinan dapat dikarenakan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:

1) Kematian;

2) Perceraian;

3) Putusan Pengadilan.

37 Loc. It.

Page 36: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

36

Menurut Pasal 114 KHI menyatakan bahwa putusnya perkawinan

yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau

gugatan perceraian oleh isteri. Selanjutnya menurut Pasal 115 KHI

menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

Selanjutnya dalam Pasal 116 KHI alasan-alasan terjadinya perceraian

pasangan suami isteri dapat disebabkan karena:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, atau lain sebagainya yang sulit disembuhkan;

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama, 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

6) Terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri secara terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya;

7) Suami melanggar taklik-talak. Adapun makna taklik-talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang;

8) Terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Perceraian yang terjadi karena talak suami isterinya ditandai dengan

adanya pembacaan ikrar talak, yaitu ikrar suami di hadapan sidang

Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dan

Page 37: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

37

dilakukan sesuai tata cara perceraian yang diatur dalam Pasal 129, 130, dan

131 KHI.

Sedangkan macam-macam perceraian yang dikarenakan talak suami

terdiri dari:38

1) Talak Raj’i yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah (Pasal 118 KHI).

2) Talak Ba'in yang dapat dibedakan atas talak Ba'in shughraa dan talak Ba'in kubraa (Pasal 119 KHI):a) Talak ba'in shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi

diperbolehkan akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam masa iddah.Adapun jenis talak ba'in shughraa dapat berupa:(1) Talak yang terjadi dalam keadaan qabla al dukhul (antara suami

isteri belum pernah melakukan hubungan seksual selama perkawinannya).

(2) Talak dengan tebusan atau khuluk, yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan (iwad) kepada suaminya atas persetujuan suami pula.

(3) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.b) Talak Ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.

Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali, kecuali apabila pernikahan itu setelah mantan isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya (Pasal 120 KHI).

3) Talak Sunny, yaitu talak yang diperbolehkan dan talak tersebut dijatuhkan isteri yang sedang suci serta tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut (Pasal 121 KHI).

4) Talak Bid'i, yaitu talak yang dilarang, karena talak tersebut dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Pasal 122 KHI).

5) Talak Li'an yaitu talak yang terjadi karena suami menuduh isterinya berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang sudah lahir dari kandungan isterinya, sedangkan isterinya menolak atau mengingkari tuduhan tersebut. Jenis talak Li'an ini menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya (Pasal 125 dan Pasal 126 KHI).

Mengingat putusnya perkawinan yang dikarenakan talak suami

terhadap isterinya terdapat beberapa macam yang tidak seluruhnya dapat

38 Muhammad Idrus Ramulya, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 154.

Page 38: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

38

dirujuk kembali, sehingga diperlukan pertimbangan yang bersifat prinsipal

bagi seorang suami sebelum menjatuhkan talaknya.

Demikian halnya dalam ajaran agama Islam, talak meupakan

perbuatan halal tetapi dibenci oleh Allah SWT. Oleh karena itu menurut

Mahmud Junus diperlukan alasan-alasan bagi suami untuk menjatuhkan

talaknya terhadap isterinya yang diperbolehkan dan tidak dibenci oleh Allah

SWT, terdiri dari:39

1) Isteri berbuat zina;2) Isteri nusyuz, setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya;3) Isteri suka mabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang

mengganggu keamanan rumah tangga;4) Sebab-sebab lain yang sifatnya berat sehingga tidak memungkinkan

untuk mendirikan rumah tangga secara damai dan teratur.

6. Tata Cara Perceraian

Tata cara perceraian yang didasarkan atas talak suami terhadap

isterinya sesuai ketentuan KHI adalah sebagai berikut:

a. Seorang suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya, terlebih dulu mengajukan permohonan secara lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal isteri dan disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan tersebut (Pasal 129 KHI);

b. Pengadilan Agama yang bersangkutan dapat mengabulkan ataupun menolak permohonan talak tersebut, dan keputusannya dapat dimintakan upaya hukum tingkat banding maupun kasasi (Pasal 130 KHI).

Lebih lanjut sesuai ketentuan Pasal 131 KHI teknis penyelesaian

perkara permohonan talak tersebut melalui tahapan berikut:

a. Pengadilan Agama setelah mempelajari, permohonan talak, maka dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil peinolion (suami) dan

39 Mahmud Junus, Op. Cit., hal. 113.

Page 39: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

39

isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan maksud menjatuhkan talak;

b. Setelah Pengadilan Agama (Hakim) tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, maka Pengadilan Agama, menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya;

c. Setelah keputusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hokum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya;

d. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 bulan terhitung sejak Putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talaknya gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh;

e. Setelah sidang penyaksian ikrar talak dilaksanakan, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang Terjadinya Talak sebanyak rangkap 4 yang merupakan bukti perceraian bagi mantan suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah di wilayah .tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helaikedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada mantan suami isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

Dengan demikian perceraian menurut KHI merupakan salah satu

sebab putusnya perkawinan antara suami-isteri, di samping sebab-sebab lain

karena kematian atau putusan pengadilan. Terjadinya perceraian tersebut

dapat didasarkan atau dijatuhkannya oleh suami terhadap isterinya maupun

atas dasar gugatan isteri terhadap suaminya.

Alasan perceraian dapat disebabkan karena salah satu pihak berzina,

berperilaku buruk, meninggalkan pihak lainnya selama 2 tahun, dipidana 5

tahun atau lebih, berbuat kejam, cacat fisik, terjadi perselisihan suami isteri,

suami melanggar taklik-talak, dan peralihan againa. Perceraian terjadi setelah

ada putusan hakim Pengadilan Agama, yang sebelumnya telah dilakukan

upaya perdamaian antara suami isteri oleh hakim dan ternyata tidak tercapai

kata sepakat.

Page 40: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

40

G. METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis. Deskriptif dalam arti

bahwa penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian yang berupaya

untuk mendeskripsikan atau menggambarkan penerapan suatu peraturan

hukum dalam kontek teori-teori hukum dan pelaksanaannya dalam

masyarakat. Sedangkan analitis dalam arti bahwa penelitian ini akan

berupaya menguraikan penjelasan secara cermat, menyeluruh dan sistematis

aspek-aspek hukum mengenai pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan

Agama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI

Dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode pendekatan

yuridis empiris,40 yaitu penelitian tentang keberlakuan aturan-aturan hukum

bila dilihat dari segi kenyataan. Dalam penelitian ini menggunakan data

empiris mengenai mekanisme pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan

Agama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI.

2. Lokasi dan Populasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi dalam wilayah

hukum Kabupaten Aceh Besar (Mahkamah Syar’iyah Jantho), karena data di

Kabupaten ini dirasakan cukup representatif untuk melihat pelaksanaan

perceraian di luar pengadilan yang dilaksanakan setelah berlakunya Undang-

40 Pendekatan penelitian yuridis-empiris pada prinsipnya adalah penggabungan antara pendekatan yuridis normatif dengan penambahan unsur-unsur empiris. Perbedaan yang paling prinsip terletak pada sasaran penelitian yaitu fakta empiris. Lihat dalam Soekanto, Soerjono, Maoedji, Azwar dan Bruce, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Radjawali, 1985, hal. 44.

Page 41: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

41

Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI, karena memiliki masalah perceraian

cukup banyak pasca terjadi konflik bersenjata dan tsunami di Aceh.

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah penetapan-penetapan

Mahkamah Syar’iyah Jantho dalam perkara perceraian pada umumnya dan

khususnya terhadap perceraian di luar pengadilan Agama yang dilaksanakan

setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI sebagai

sampel penelitian dan dari sampel inilah ditetapkan responden yaitu para

Hakim yang memeriksa dan memutus perkara dimaksud lalu diperoleh data

yang akurat mengenai landasan yuridis dari para pihak yang melakukan

perceraian sehingga diketahui alasan mereka melakukan perceraian di luar

Pengadilan Agama tersebut.

3. Metode Penentuan Sampel

Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan cara kelayakan

(purposive sampling) yaitu memilih para informan yang terkait langsung

dengan permasalahan yang diteliti, untuk memperoleh data dan informasi

yang akurat serta diharapkan dapat mewakili seluruh populasi penelitian,

yaitu :

a. Informan

- Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho : 1 orang;

- Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho : 3 orang;

- Kepala KUA Dalam Wilayah Aceh Besar : 3 orang;

- Tokoh Agama Islam : 5 orang;

4. Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data

Page 42: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

42

Data yang diperlukan untuk penelitian ini adalah berupa data primer

dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan, yaitu dengan

mewawancarai responden dan informan.

b. Data Sekunder

Data skunder dapat diperoleh dengan menelusuri beberapa bahan

hukum, yaitu sebagai berikut:41

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat. Dimana

dalam penelitian ini data dari bahan hukum primer akan diperoleh

melalui pembahasan tentang peraturan perundang-undangan.

2. Bahan hukum skunder, yaitu bahan-bahan hukum yang

mempelajari penjelasan mengenai bahan hukum primer, dimana

dalam hal ini, data tersebut diperoleh dari makalah-makalah

mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, buku-buku hukum

khususnya dalam ruang lingkup hukum tata negara.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum skunder, yang berupa kamus baik itu Kamus Bahasa

Indonesia maupun Kamus Hukum.

Untuk memperoleh data sekunder yang diperlukan dalam

penelitian ini dilakukan melalui metode penelitian kepustakaan (library

reseach), yaitu dengan cara mengumpulkan dan mempelajari bahan-bahan

41 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986, hal 10

Page 43: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

43

kepustakaan, baik berupa buku-buku, majalah, literatur-literatur,

yurisprudensi, peraturan perundang-undangan, putusan Mahkamah Syar’iyah,

hasil-hasil penelitian terdahulu dan dokumen-dokumen kepustakaan lainnya

serta analisis kasus.

5. Alat Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan alat

pengumpulan data, yang terdiri dari kuisioner dan wawancara. Data dari

responden diperoleh dengan menggunakan kuisioner yang sifatnya terbuka

dan tertutup dan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara,

sedangkan dengan informan dilakukan melalui wawancara.

Kemudian sesuai dengan data yang diperoleh, baik data primer

maupun data sekunder akan dianalisis dengan mengklasifikasikan masing-

masing sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah data primer dan

data sekunder terkumpul, maka kemudian diolah dengan melalui tahap

editing, ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya data

yang kurang lengkap juga untuk menentukan data yang benar-benar

diperlukan dan yang tidak diperlukan agar mudah dianalisis.

Selanjutnya setelah semua data yang terkumpul diseleksi, diklasifikasi

ditabulasi, akan dianalisis dengan mengunakan metode kualitatif deskriptif,

yaitu suatu metode analisis yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran

keadaan yang sebenarnya, kemudian disusun dengan sistematis sehingga pada

akhirnya diperoleh suatu kesimpulan sekaligus memberikan saran-saran yang

konstruktif.

Page 44: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

44

G. SISTEMATIKA PENULISAN TESIS

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Bab I yaitu bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, keaslian penelitian,

kerangka pikir, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II terkait tinjauan kepustakaan yaitu tinjauan umum tentang

perceraian. Terdiri dari pengertian perceraian dan dasar hukumnya,

perceraian menurut hukum perdata Indonesia, alasan perceraian, akibat

putusnya perceraian.

Bab III mengenai objek penelitian yaitu perceraian di luar pengadilan

agama, yang terdiri dari perceraian di luar pengadilan agama, dasar hukum

yang dipergunakan, faktor penyebab perceraian, pelaksanaan perceraian,

pandangan undang-undang nomor 1 tahun 1974 terhadap perceraian di luar

pengadilan agama, dan tata cara perceraian di pengadilan agama.

Bab IV mengenai pembahasan yaitu perceraian di luar pengadilan

agama menurut perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam, yang meliputi sah perceraian di luar pengadilan

agama, dan akibat hukum dari perceraian di luar pangadilan agama.

Bab V adalah penutup yang mencakupi kesimpulan, dan saran.

Page 45: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

45

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya

Perceraian adalah salah satu langkah urgen yang dilalui oleh para

pihak untuk mengakhiri perkawinan. Akibat dari pemutusan tersebut dapat

berasal dari suami maupun dari istri, atas dasar dan pertimbangan yang jelas.

Selain itu, tuntutan dari akibat perceraian adalah putusnya hak dan kewajiban

suami istri dalam bingkai rumah tangga, dan memilih kehidupan masing-

masing.

Page 46: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

46

Menurut Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan

putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.42

Disamping itu Heppy Marpaung dalam bukunya masalah perceraian,

memberikan perumusan tentang perceraian yaitu pembubaran perkawinan

ketika pihak-pihak masih hidup dengan alasan yang benar dan ditetapkan

dengan suatu putusan pengadilan.43

Dari kedua pengertian di atas dapat dipahami bahwa perceraian adalah

suatu penghapusan dan pembubaran perkawinan dari pihak suami isteri ketika

mereka masih hidup. Menyangkut pengertian perceraian dapat diketahui

bahwa, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang

Hukum Perdata tidak diatur secara tegas dalam satu Pasal pun, namun

keadaan ini tidak berarti bahwa kedua Undang-Undang tersebut tidak

memberikan kemungkinan akan terjadi perceraian atau putusnya perkawinan.

Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan

bahwa perkawinan dapat putus karena:

1. Kematian

2. Perceraian

3. Atas putusan pengadilan

Ketentuan di atas mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan

oleh kematian tidak menjadi pembahasan dalam tesis ini. Akan tetapi yang

dibahas adalah putusnya perkawinan karena cerai hidup dan dilakukan di luar

pengadilan.

42 Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata, CV. Pembimbing, Jakarta, hal. 18.43 Happy Marpaung, Masalah Perceraian, Tonis Bandung, tt., hal. 15.

Page 47: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

47

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 39

menyebutkan bahwa suatu perceraian baru dapat dilakukan apa bla terdapat

alasan yang cukup, sehingga dapat dijadikan landasan dasar bahwa antara

suami isteri tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama sebagai suami isteri,

berikut Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, memberikan

rumusan perceraian adalah pemutusan perkawinan ketika suami isteri masih

hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh Undang-Undang dan

ditetapkan suatu putusan pengadilan.44

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, Purwadarminta menyebutkan

tentang perceraian adalah:

1. Perpisahan

2. Perihal bercerai dan

3. Perpecahan.45

Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa setiap terjadinya

perceraian dari perkawinan yang sah antara suami isteri dan harus dengan

alasan yang benar serta harus ditetapkan dengan putusan pengadilan.

Menurut Undang-Undang Perkawinan dan peraturan hukum Islam

dikenal bahwa jenis perceraian ada dua macam yaitu cerai talak dan cerai

gugat. Dalam hukum Islam, cerai talak diartikan sebagai melepaskan dari

rantaiannya. Menceraikan isteri berarti juga membebaskannya dari ikatan

perkawinan.46

44 Rushan Ismail, Tinjauan Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Hubungannya Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Thesis, 1987, hal. 102.

45 Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1961, hal. 124.

46 Arifin Bey, Pokok-Pokok Hukum Islam I, Tintamas, Jakarta, hal. 129.

Page 48: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

48

Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fikiqh Alai Madhalibi Arba’ah

memberikan definisi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau

mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.47

Selanjutnya, Assayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah memberikan

perumusan bahwa yang dimaksud dengan talak adalah melepaskan tali

perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.48

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa perceraian dengan talak

menurut hukum Islam merupakan perceraian yang dilakukan oleh pihak

suami terhadap isterinya dengan menggunakan kata-kata tertentu yang dapat

mengakibatkan pemutusan hubungan perkawinan antara suami isteri.

Disamping itu mengenai cerai gugat, dalam hubungannya dengan

cerai gugat, K. Wancik Saleh dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia

memberikan perumusan bahwa yang dimaksud dengan cerai gugat adalah

perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan terlebih dahulu oleh

salah satu pihak kepada pengadilan, dan perceraian itu terjadi dengan suatu

putusan pengadilan.49

Menurut hukum Islam dikenal berbagai jenis perceraian yang dapat

dikatakan terletak dalam tangan isteri, yaitu seperti fasakh, tetapi biasanya

dilakukan melalui proses hukum. Fasakh artinya “rusak atau putus”.

47 Departemen Agama, ilmu Fiqh, Jilid II, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Jakarta, 1984, hal. 275

48 Ibid, hal. 276.49 Wanchik saleh. K, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Ichtiar Baru, 1976, hal. 40.

Page 49: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

49

Maksudnya ialah perceraian dengan merusak atau merombak hubungan nikah

antara suami isteri.50

Selain fasakh, ada juga jenis perceraian lain yang juga dapat

digolongkan terletak dalam tangan isteri yaitu khuluk. Walaupun pada

hakekatnya baru sah bila pihak suami bersedia menerimanya. Jadi, jenis

perceraian ini lebih tepat dikatakan jenis perceraian yang termasuk dalam

bentuk persetujuan bersama antara suami isteri. Khuluk adalah suatu

perbuatan yang dilakukan oleh isteri berupa pengembalian mas kawin kepada

suami agar dengan demikian perkawinan tersebut menjadi bubar.

Berdasarkan praktek jenis ini sukar dilakukan, sebab pengembalian

mas kawin itu harus diterima oleh suami. Jika mas kawin diterima, maka akan

sama halnya seperti suami memberi talak. Selain itu ada juga jenis perceraian

yang terletak ditangan pihak ketiga, yaitu “Syiqaq” atau pembatalan

perkawinan oleh pengadilan atau Hakam. Yaitu perceraian yang terjadi

karena perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus yang tidak dapat

didamaikan lagi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa perceraian itu ada

beberapa macam cara yang dilakukannya, dan perceraian itu adalah

merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh suami atau isteri

dengan tujuan untuk mengakhiri hubungan perkawinan ketika keduanya

masih hidup.

B. Perceraian Menurut Hukum Perdata Indonesia

50 Mohd. Rifai, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, CV. Toha Putra Semarang, Tanpa Tahun, hal. 490.

Page 50: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

50

Hampir di seluruh negara Islam maupun negara yang mayoritas

penduduk beragama Islam, permasalahan mengenai perceraian antara suami

isteri telah dikenal atau bahkan telah dihukum positifkan. Begitu juga di

Indonesia hukum Islam tentang talak atau perceraian ini telah diqanunkan

menjadi sebuah hukum positif yang merupakan rujukan dan kepastian hukum

bagi umat Islam di Indonesia, yaitu sebagaimana termaktub dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1

Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Ada dua hal yang sangat penting untuk dipikirkan dengan adanya

perceraian ini. Pertama adalah penyebab perceraian dan yang kedua adalah

akibat perceraian. Langkah pertama yaitu melakukan analisa secara

komprehensif terhadap penyebab perceraian, sehingga perceraian mungkin

dapat dicegah atau setidaknya angka perceraian dapat diminimalkan. Langkah

kedua adalah melihat dan menganalisa fakta yang terjadi akibat dari

perceraian, sehingga dapat melengkapi ketentuan hukum dalam kaitannya

dengan akibat perceraian. Dengan kata lain, pendekatan politik hukum dapat

diterapkan dalam aktifitas ini.

Kata hukum perdata yaitu segala hukum pokok yang mengatur

kepentingan-kepentingan perseorangan.51 Senada dengan Abdul Kadir

Muhammad mengartikan hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang

mengatur hubungan antara orang satu dengan orang lain.52 Dalam

terminology Islam perdata ini sepadan dengan pengertian mu’amalah.

51 R. Sobekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 9.52 Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya

Bakri, Bandung, 1993, hal. 1.

Page 51: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

51

Hukum perdata adalah hukum yang bertujuan menjamin adanya

kepastian di dalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain

kedua-duanya sebagai anggota masyarakat dan benda dalam masyarakat.

Istilah hukum perdata dapat meliputi hukum formil atau disebut pula dengan

hukum acara perdata dan hukum perdata materil.53

Bahwa sejalan dengan perkembangan peradaban manusia sekarang,

batas-batas yang jelas antara hukum publik dan hukum privat semakin sulit

ditentukan karena terjadinya proses sosialisasi di dalam hukum sebagai akibat

dari makin banyaknya bidang kehidupan masyarakat yang walaupun pada

dasarnya menyangkut kepentingan perorangan, ternyata memperlihatkan

adanya unsur kepentingan umum atau masyarakat yang perlu dilindungi dan

dijamin serta makin banyaknya ikut campur negara dalam bidang kehidupan

yang sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan dapat

disimpulkan bahwa hukum perdata merupakan segenap peraturan hukum

yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang

lainnya dengan titik berat pada kepentingan perseorangan atau pribadi.

Seperti halnya dengan perkara perceraian yang juga diatur dalam

KUHPerdata.

Di Indonesia dengan keharusan mengucapkan talak di depan sidang

pengadilan, praktisis konsep talak tiga yang dijatuhkan sekaligus juga tidak

berlaku lagi. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak

53 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 1.

Page 52: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

52

wanita.54 Perceraian yang dimaksud dengan hukum perdata adalah perceraian

yang dilangsungkan pada pengadilan agama atau Mahkamah Syar’iyah.

Sesuai dengan kedudukannya sebagai pengadilan negara Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa peradilan agama

merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur

dalam Undang-Undang.55

Berbeda yang berlaku di pengadilan negeri, orang yang mengajukan

gugatan perceraian tidak dibolehkan menggabungkan dengan gugatan harta

bersama, baru setelah ada putusan perceraian yang mempunyai kekuatan

hukum tetap gugatan harta bersama dapat diajukan atau dikenal dengan

komulasi gugat.56 Untuk lebih sederhana, proses ini menurut Yahya Harahap

tidak lain bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana.57 Secara

sistematis ilmu pengetahuan hukum didasarkan kepada perkembangan sikrus

kehidupan manusia, yakni dari lahir, dewasa (kawin), cari harta (nafkah

hidup), dan mati (pewarisan).58

Selanjutnya dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia

kelihatannya lebih sepadan dengan isyarat-isyarat Al-Qur’an dan fiqh dan

juga lebih sesuai dengan kondisi saat ini, mungkin perumusan Undang-

Undang tempo dulu mempertimbangkan dari aspek munasid. Sedangkan fiqh

54 Mudzhar, M. Antho’, Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam, Dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 1 Nomor 1 Tahun 1999, hal. 116.

55 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1996/1997, hal. 20.

56 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 102.57 Ibid, hal. 104.58 Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, hal. 17.

Page 53: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

53

yang begitu mudah dalam menjatuhkan talak sepertinya saat ini kurang

relevan karena kurang sesuai dengan prisip Al-Qur’an yang begitu selektif

dan ketat dalam menjatuhkan talak karena ini menyangkut aspek rumah

tangga yang mana keutuhannya harus dipertahankan.59 Sebagaimana

termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia bahwa perceraian

dibolehkan bila terdapat alasan yang dapat sebagaimana dijelaskan dalam

Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan terdiri dari 3 ayat dengan

rumusan:

1. Perceraian hanya dapat di lakukan di dalam sidang pengadilan setelah sidang yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu dapat akan hidup rukun sebagai suami istri.

3. Tata cara perceraian di depan siding pengadilan di utus perundangan tersendiri.

Dalam hukum positif dikatakan bahwa beberapa hal yang merupakan

alasan untuk menjatuhkan cerai adalah sebagai berikut:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga

g) Suami melanggar taklik talak

59 Wahbah Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa As-Syariah wa al-Minhaj, Dar al-Fikr al-Ma’asir, Beirut, 1991, hal. 230.

Page 54: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

54

h) Peralihan agama/murtad.60

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, semua tata

cara perceraian yang berlaku di lingkungan peradilan agama mengacu kepada

ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

sehingga hukum acara tentang perceraian yang diberlakukan di lingkungan

peradilan agama sama dengan yang diberlakukan di lingkungan peradilan

umum. Sementara itu menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

mengenai perkawinan, bagi yang akan melakukan perkawinan harus memiliki

satu agama dan bagi orang Islam yang bercerai pengadilan agama ditunjuk

sebagai tempat bercerai, sedangkan pengadilan umum untuk kaum non

muslim.

Namun setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

terdapat beberapa ketentuan khusus yang tidak ditemukan dalam Peraturan

Pemerintah, salah satunya adalah ketentuan yang mengatur tentang kebolehan

menggabungkan gugatan perceraian dengan beberapa gugatan lain

sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1) Undang-

Undang tersebut. Kedua Pasal ini membolehkan seorang suami atau isteri

yang mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan agama sekaligus

mengajukan gugatan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta

bersama.

Selain kedua ketentuan ini terdapat pengaturan lain yang dikhususkan

bagi orang Islam yaitu yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam dan

60 Tim Penulis, Seluk Beluk Hukum Perkawinan Dalam Islam, KANWIL DEPAG NAD, Banda Aceh, 2007, hal. 36.

Page 55: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

55

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang

dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sebelum lahirnya

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, semua tata cara perceraian yang

berlaku di lingkungan peradilan agama mengacu kepada ketentaun yang ada

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sehingga hukum acara

tentang perceraian yang diberlakukan di lingkungan peradilan agama sama

dengan yang diberlakukan di lingkungan peradilan umum.

Berbeda dengan yang berlaku di pengadilan negeri, orang yang

mengajukan gugatan perceraian tidak dibolehkan menggabungkan dengan

gugatan harta bersama, baru setelah ada putusan perceraian yang mempunyai

kekuatan hukum tetap gugatan harta bersama dapat diajukan.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Pasal 14 dinyatakan

bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama

Islam, yang akan menceraikan isterinya atau cerai talak, mengajukan surat

kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia

bermaksud menceraikan isterinya dengan alasan-alasannya serta meminta

kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.61

Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan

untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila

memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19

Peraturan Pemerintah ini, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami

isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun

lagi dalam rumah tangga. Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan

61 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum.., Op., Cit., hal. 337.

Page 56: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

56

sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal

14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal

19 adalah sebagai berikut:1-6

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga

Tata cara pengajuan percerian sebagaimana dalam Pasal 20 adalah

sebagai berikut:

1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuwasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat

2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat

3. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan RI setempat.

Pasal 21 adalah sebagai berikut:

1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat

2. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah

3. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Page 57: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

57

Berkaitan dengan gugatan perceraian sebagaimana dimaksudkan

dalam Pasal 22 adalah Sebagai berikut:

1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman tergugat

2. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengan pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu.

Pasal 23 mengatakan gugatan perceraian karena alasan salah satu dari

suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih berat dari

itu. Adapun dalam Pasal 24 menyatakan bahwa mengenai akibat-akibat yang

akan ditimbulkan dari perceraian sebagaimana tersebut dalam Pasal ini adalah

sebagai berikut:

1. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat:a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan

pendidikan anak.c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya

barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

Pasal 25 berkaitan dengan gugatan perceraian sebagaimana dimaksud

adalah gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum

adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Peraturan

Pemerintah dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang

Page 58: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

58

bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam

rumah tangga, walaupun sebelumnya telah ada perjanjian.62

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa suatu perkawinan bubar

Karena perceraian. Sebelumnya perceraian bukan merupakan satu-satunya

penyebab bubarnya perkawinan. Menurut kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata), yang dapat dikatakan sebagai penyebab bubarnya

sebuah perkawinan adalah sebagai berikut:

1. Karena kematian2. Karena keadaan tidak hadir suami atau isteri, selama sepuluh tahun,

diikuti dengan perkawinan baru isterinya/suaminya3. Karena putusan hukum setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan

pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam register catatan sipil.

4. Karena perceraian.Melihat ketentuan di atas, tidaklah heran apabila perkawinan selalu

dihantui oleh perceraian. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk

mengukur kuantitas perceraian adalah dengan melihat angka perceraian itu

sendiri, tampaknya hal ini pun berlaku pula di Indonnesia. Perceraian di

Indonesia tiap tahun semakin bertambah banyak jumlahnya, terbukti dalam

beberapa tahun ini, angka permohonan di pengadilan, baik pengadilan negeri

maupun pangadilan agama semakin meningkat. Apabila melihat pemberitaan

di televisi, perceraian artis yang sedang menjadi sorotan semakin banyak

jumlahnya.

Meskipun hal ini bukan data yang tepat untuk menentukan suatu

kesimpulan yanh valid, akan tetapi setidaknya hal tersebut merupakan

parameter bahwa fakta perceraian dikalangan artis pada khususnya dan

62 Moch Khaidir Ali, Pengertian Elemen Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, 1993, hal. 12.

Page 59: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

59

umumna bagi masyarakat semakin tinggi. Dengan begitu, secara de facto

perceraian dapat dikatakan telah merajalela.

Dengan melihat hal di atas, menimbulkan pertanyaan bagi banyak

kalangan yang salah satunya adalah bagaimana bagaimana memenimalkan

angka perceraian tersebut, karena secara sosiologi perceraian membawa

dampak global yang negative. Sebetulnya, apabila melihat secara

komprehensif ke dalam peraturan perundang-Undangan yang ada, perceraian

pada umumnya dapat di atasi. Karena di dalam peraturan Perundang-

Undangan terdapat hal-hal yang mempersulit seseorang untuk melakukan

perceraian.

Sebagai contoh dalam Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1983

tentang Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, yang

merupakan produk hukum aplikatif dari Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan. Dalam Peraturan Pemerintha itu disebutkan bahwa

seorang pegawai negeri yang ingin melakukan perceraian harus mendapatkan

izin tertulis dari atasannya. Hal ini merupakan bentuk hambatan dalam rangka

menurunkan angka perceraian. Akan tetapi hal ini menjadi mubazir, apabila

tidak dibarengi dengan pengadaan hukum yang tepat.

Akibat yang ditimbulkan dengan adanya percerian terutama

dampaknya bagi anak hasil perkawinan, antara lain:

a. Perwalian bagi anak

Maksud dari perwalian bagi anak disini belaku apabila anak dari

hasil perkawinan tersebut masih berada di bawah umur, yang artinya

Page 60: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

60

anak tersebut belim dewasa secara hukum. Ada dualism arti dewasa

dimata hukum, pertama menurut hukum perdata, seseorang dikatakan

dwasa apabila telah mencapai umur 21 tahun, kedua menurut Undang-

Undang Perkawinan, seseorang dikatakan dewasa apabila mencapai umur

16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki atau telah melakukan

perkawinan.

Mengenai perwalian ini, KUHPerdata pun tidak ketinggalan oleh

karena KUHPerdata sebagai ius geralis dan undang-Undang Perkawinan

sebagai ius specialis yang sama-sama mengatur tentang perwalian. Maka

berlakulah asas lex specialis derogate legi generali. Artinya apabila

terjadi pertentangan ketentuan diantara dua produk hukum tersebut, maka

yang digunakan adalah ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan.

Maka dari itu tidak perlu terjadi kekawatiran adanya dualisme ketentuan

yangdalam hal yang sama oleh kedua produk hukum yang membahas

mengenai persoalan dimaksud.

Dalam hal perwalian, Pasal 359 KUHPerdata menyebutkan

bahwa yang berhk menjadi wali dalam perwalian anak adalah seorang

nyang dikatakan oleh pengadilan negeri, setelah mendengar atau

memanggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda. Biasanya

yang menjadi wali adalah salah satu dari kedua orang tua kandungnya

yang telah bercerai tersebut, baik ibu maupun bapak. Dalam praktek

biasanya hakim menentukan ibu sebagai wali bigi anak yang masih

Page 61: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

61

dibawah umur dan apabilaanak sudah dewasa menurut hukum, maka

pilihan diserahkan kepada kehendak anak tersebut.

Ketentuan serupa sebagimanaterrebut di atas juga tersurat di

dalam Undang-Unang perkawinan. Di dalam Pasal 41 huruf a dan b

Undang-Undang perwalian menimbulkan konsekuensi bagi kedua orang

tua yang bercerai sebagai berikut:

- Baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, dan bila mana terdapat perselihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang member keputusan.

- Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bila mana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya.

Perbedaan yang muncuk disini adalah adanya kewajiban terhadap

anak bagi orang tua yang telah berceri berdasarkan ketentuan Undang-

undang perkawinan, kewajiban sebagaimana telah disebutkan di atas itu

tetap berlangsung terus sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri

sendiri. Artinya kewajiban tersebut dapat berakhir apabila anak sudah

dewasa dimata hukum.

b. Pembagian Harta bersama

Yang dimaksud dengan harta persatuan disini adalah harta yang

diperoleh pada waktu perkawinan berlangsung, tidak termasuk harta asal

yang dibawa masing-masing pihak, baik dari bapak maupun dari ibu.

Secara umum, harta perkawinan dikenal sebagai harta gono gini,

perbedaan istilah mengenai harta perkawinan dapat dilihat sebagai

berikut:

Page 62: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

62

1. Munurut Undang-Undang Perkawinan, harta persatuan disebut

sebagai harta bersama bersama

2. Menurut hukum Islam, harta persatuan disebut sebagai harta

kekayaan suami isteri

3. Menurut hukum adat, harta persatuan disebut sebagai harta

perkawinan.

Perbedaan istilah di atas tidak secara siknifikan merubah arti dari

harta persatuan atau disebut juga harta bersama sehingga tidak

menghambat jalannya penegakan hukum dalam kaitannya dengan harta.

c. Pewarisan

Yang dimaksud dengan pewarisan disini adalah terjadinya

pewarisanoleh karena harta persatuan yang telah dibagi maupun harta

asal untuk si anak. Separti diketahui juga bahwa warisan terjadi hanya

urusan kematian, itu artinya si anak berhak akan harta pewarisan apabila

pewaris sudah meninggal dunia. Selama anak tersebut adalah anak secara

biologis yang lahir disaat maupun di luar pekawinan terjadi,

dimungkinkan bagi sianak untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya

ang telah bercerai.

Khusus untuk anak yang berstatus anak angkat, tetap

mendapatkan warisan tetapi tidak termasuk harta asal. Tentu saja ada

pengecualian untuk dapat disebut sebagai ahli waris. Bagi si anak,

pengecualian tersebut adalah sebagi berikut:

Page 63: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

63

1. Apabila anak telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris

2. Apabila anak dengan putusan hukum pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris ialah suatu pengaduan telah melakukan suatu kejahatan yang teracaam dengan hukuman penjara 5 tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat

3. Apabila anak dengan kekerasa atau perbuatan telah mencegah pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya

4. Apabila anak telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.

Oleh karenanya perceraian atau putusnya perkawinan baiakkarena

cerai talak maupun cerai gugat sebagaimana disampaikan dalam hukum

perdata atau KUHPerdata sebagai landasan yuridis terhadap suami isteri

yang ingin melangsungkan gugatan cerai dengan berbagai konsekuensi

yang ditimbulkan akibat dari perceraian dimaksud.

C. Alasan perceraian

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, di dalam salah satu Pasalnya

dinyatakan bahwa suatu perceraian baru dapat dilakukan apabila terdapat

alasan yang cukup, sehingga dapat dijadikan landasan yang wajar bahwa

antara suami isteri tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama sebagai suami

isteri (Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Alasan tersebut secara terperinci disebutkan dalam penjelasan Pasal

39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan diulangi lagi

menyebutkan dengan bunyi yang sama dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975, sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.

Page 64: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

64

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga

Ad. 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan

sebagainya yang sukar di sembuhkan.

Pengertian zina pada perumusan alasan perceraian merupakan zina

menurut konsepsi agama. Karena setiap agama memandang perbuatan

tersebut sebagai perbuatan yang terkutuk dan dilaknat oleh Tuhan. Oleh

sebab itu cukuplah beralasan apabila perbuatan zina itu dijadikan salah

satu alasan untuk melakukan gugatan perceraian.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tidak memberikan perumusan tentang

apa yang dimaksud dengan zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain-lain

yang sukar disembuhkan. Menurut bahasa Indonesia, zina diartikan

sebagai perbuatn persetubuhan yang tidak sah, seperti bersundal,

bermukah, bergendok, dan sebagainya.63 Dalam hukum perdata, zina

adalah hubungan sexual oleh orang yang telah kawin dengan orang lain.64

63 W.J. Poerwadarminta, Op. Cit., hal. 1121.64 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian Munurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 126.

Page 65: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

65

Zina menurut kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah

persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah

kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya

dan perbuatan itu dilakukan dengan suka sama suka serta tidak boleh ada

paksaan dari salah satu pihak.65 Selain itu, juga terdapat pengertian zina

menurut hukum Islam, yaitu persertubuhan yang dilakukan antara orang

yang satu dengan lainnya tidak dalam ikatan yang sah.66

Dari beberapa perumusan di atas dapat diketahui bahwa yang

dimaksud dengan zina adalah setiap persetubuhan bukan dengan isteri atau

suami sendiri dan dilakukan secara sadar. Disamping perbuatan zina yang

jelas terkutuk dan dilaknat itu, juga perbuatan menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, merupakan perbuatan yang sangat tercela, yang tidak saja

merugikan bagi diri pelaku tetapi juga dapat menimbulkan keresahan

bahkan kerugian masyarakat. Oleh karena itu sudah sepantasnya perbuatan

tersebut dicantumkan dalam Undang-Undang sebagai salah satu alasan

untuk melakukan perceraian.

Dalam Undang-Undang perkawinan tidak dijelaskan lebih lanjut

tentang ukuran atau batasan dari perbuatan tersebut, sehingga dapat

dijadikan alasan untuk bercerai. Dalam hal ini sudah barang tentu

memerlukan suatu penilaian secara kasuistis dan memang sukar untuk

disembuhkan.67

65 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Karya Nusantara, Bandung, 1981, hal. 181.

66 Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, 1963, hal. 24.

67 Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1976, hal. 57.

Page 66: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

66

Ad. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar

kemampuanya.

Untuk dapat dijadilkan alasan perceraian seperti tersebut di atas,

bahwa meninggalkan pihak lain itu haruslah benar-benar tanpa izin dan

tanpa alasan yang sah. Dan pihak yang meninggalkan itu tetap

menunjukkan sikap untuk tidak mau kembali kepada pihak yang

ditinggalkan.

Apabila salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain disebabkan

hal-hal dalam rumah tangga suami isteri yang kurang baik, sehingga

dianggap layak salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya, maka hal

tersebut tidak merupakan alasan bagi pihak yang ditinggalkan untuk

melakukan perceraian. Bila pihak yang meninggalkan tersebut masih

bersedia kembali lagi kepada pihak yang ditinggalkan sesudah hal-hal

yang tidak baik itu hilang.68

Ad. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman

lebih berat setelah perkawinan berlangsung

Dalam kehidupan rumah tangga, suami isteri mempunyai hak dan

kewajiban satu sama lain, kewajiban itu harus dilaksanakan sebagaimana

mestinya sesuai menurut kemampuan para pihak.

68 Jamil Latif. M, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1962, hal. 94.

Page 67: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

67

Apabila salah satu pihak menjalani hukuman 5 (lima) tahun atau

hukuman lebih berat, sudah barang tentu pihak yang menjalani hukuman

tidak akan lagidapat melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya,

sehingga dapat mengakibatkan kehilangan sebahagian yang merupakan

hak dari pihak yang tidak terhukum. Oleh karena itu sepantasnya apabila

alasan tersebut dijadikan dasar untuk melakukan perceraian. Sebab jangan

sampai kepentingan pihak yang tidak terhukum dikorbankan karena

perbuatan atau kesalahan pihak lain yang menjalani hukuman 5 (lima)

tahun atau lebih dalam penjara.

Ad. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang

membahayakan pihah lain

Perbuatan kekejaman atau penganiayaan berat terhadap salah satu

pihak oleh suami isteri adalah sangat bertentangan dengan tujuan suatu

perkawinan yang dijalin oleh perasaan cinta dan kasih saying yang selalu

harus ada untuk menjadi fundasi kerukunan dan kebahagiaan dalam suatu

rumah tangga.

Yang demikian sudah menjadi kewajiban apabila salah satu pihak

melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak

lain, kemudian dijadikan sebagai alasan untuk melakukan perceraian oleh

pihak yang dianiaya.

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tidak

memberikan penjelasan lebih lanjut tentang ukuran perbuatan kekejaman

atau penganiayaan dimaksud. Untuk penilaian diperlukan surat keterangan

Page 68: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

68

dari dokter (visum et repertum) yang menyatakan bahwa perbuatan

kekejaman atau penganiayaan. Selain itu juga diperlukan keterangan dari

orang-orang yang melihat dan atau mendengar secara langsung kekejaman

atau penganiayaan tersebut dilakukan.69

Ad. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

menjalankan kewajibannya sebagai suami istri

Dalam Undang-Undang Perkawinan juga tidak terdapat penjelasan

yang lebih lanjut tentang jenis cacat badan atau penyakit yang diderita oleh

salah sutu pihak, sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai

suami isteri.

Alasan ini merupakan alasan perceraian yang sangat relavatif

sekali. Oleh karena itu untuk menjadi penilaiannya diperlukan

pertimbangan tentang jenis cacat yang diderita oleh salah satu pihak serta

adanya keterangan dari dokter yang menjelaskan tentang cacat badan atau

penyakit yang menyebabkan pihak lain tersebut memang tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri dalam rumah tangga.70

Ad. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga

Alasan perceraian ini merupakan alasan yang tepat dan layak untuk

dijadikan alasan dalam melakukan perceraian. Sebab perselisihan dan

pertengkaran yang terus menerus antara suami isteri dapat mengakibatkan

69 Heppy Marpaung, Op. Cit., hal. 33.70 Ruslan Ismail, Op. Cit, hal. 114.

Page 69: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

69

rumah tangga tidak harmonis, masing-masing mereka tersiksa. Jauh dari

rasa ketenteraman dan kebahagiaan. Keadaan yang demikian sudah barang

tentu antara suami isteri tidak terdapat lagi sikap yang baik dalam

mengatur rumah tangganya.

Apabila hal tersebut ditinjau dari segi tujuan perkawinan, yaitu

untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana tercantum dalam

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka

perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dalam suatu rumah

tangga, merupakan suatu keadaan yang sangat prinsipil yang terhambat

tercapainya tujuan perkawinan, apabila usaha perdamaian tidak mungkin

tercapai, maka sudah sewajarnya kedua suami isteri yang bersangkutan

harus bercerai demi kepentingan masing-masing mereka dan masa depan

anak-anaknya.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak terdapat

penjelasan tentang cara penggunaan alasan-alasan tersebut, dapat

digunakan secara alternatif dan kualitatif. Akan tetapi dari uraian alasan-

alasan perceraian di atas dapat diketahui bahwa semua alasan perceraian

tersebut merupakan bentuk-bentuk perbuatan dan keadaan yang dapat

mempengaruhi tercapainya tujuan perkawinan. Dengan demikian tidak ada

alasannya jika digunakan lebih dari satu alasan, yang penting mempunyai

alasan yang cukup bahwa antara suami isteri tidak dapat hidup rukun lagi

sebagai suami isteri.71

71 Ibid, hal. 115.

Page 70: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

70

D. Akibat Putusnya Perceraian

Sebagaimana diuraikan pada uraian terdahulu, bahwa perceraian

merupakan tindakan yang terakhir ikhtiar dan segala daya upaya yang telah

dilakukan guna perbaikan kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan

lain lagi kecuali hanya dengan perceraian antara suami isteri. Untuk sahnya

suatu perceraian harus memenuhi berbagai persyaratan dan alasan serta harus

dilaksanakan menurut prosedur yang telah diperuntukkan untuk itu.

Dalam Undang-Undang perkawinan ditentukan bahwa suatu

perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak. Untuk melakukannya harus memenuhi alasan bahwa

antara suami isteri.

Dengan adanya ketentuan tersebut, maka sejak berlakunya Undang-

Undang Perkawinan secara efektif, yaitu sejak tanggal 1 Oktober 1975, suatu

perceraian tidak dapat dibenarkan lagi dilakukan secara sewenang-wenang.

Tetapi harus dilaksanakan menurut prosedur tertentu dan dilakukan di depan

sidang pengadilan. Untuk melakukan harus didasarkan kepada alasan yang

dibenarkan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang

perkawinan yang berbunyi:

1. Perceraian hanya dapat di lakukan di dalam sidang pengadilan setelah sidang yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu dapat akan hidup rukun sebagai suami istri.

3. Tata cara perceraian di depan siding pengadilan di utus perundangan tersendiri.

Page 71: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

71

Undang-Undang perkawinan dan peraturan pelaksananya, tidak

memuat secara jelas tentang syarat sah suatu perceraian. Namun demikian

apabila diperhatikan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 18 dan 34 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo Pasal 30 ayat (5) Peraturan

Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan keabsahan menurut jenis perceraian dan kepercayaan yang dianut

oleh pihak yang melakukan perceraian.

Terhadap cerai talak yang dilakukan oleh suami yang beragama Islam

terhadap isterinya, baru dianggap terjadi dan sah hukumnya, terhitung sejak

pernyataan ikrar talak diucapkan di depan sidang mahkamah syar’iyah.

Terhadap cerai gugat, apabila perceraian itu dilakukan oleh isteri yang

beragama Islam, maka perceraian tersebut baru dianggap terjadi dan sah

hukumnya terhitung sejak jatuh putusan mahkamah syar’iyah yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan perceraian yang dilakukan

oleh suami isteri yang beragama selain Islam, terhitung sejak saat pendaftaran

pada daftar pencatatan oleh pegawai pada kantor catatan sipil. (Pasal 30 ayat

(4) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975).

Di dalam hukum Islam terdapat beberapa syarat untuk menentukan

sah tidaknya suatu perceraian yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya.

Beberapa syarat tersebut adalah sudah dewasa, berpikiran sehat, mempunyai

kehendak bebas, dan masih mempunyai hak talak.72

72 Jamil Latif, Op. Cit., hal. 44.

Page 72: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

72

Ketiadaan salah satu dari syarat yang telah disebutkan di atas, maka

perceraian yang telah dilakukan oleh suami terhadap isterinya dianggap tidak

sah, oleh karena itu ia tidak mempunyai akibat hukum apapun.

Apabila seorang suami yang berpikiran sehat, dengan tanpa ada suatu

paksaan melafalkan talak kepada isterinya adalah sah hukumnya. Seperti

suami berkata kepada isterinya, kamu telah kuceraikan atau saya telah

menceraikan kamu mulai sekarang. Perceraian seperti itu berlaku sejak

diucapkan.73

Selain dari pada itu, Islam juga mengakui sah suatu perceraian yang

dilakukan dengan kata-kata kiasan dan atau secara tulisan yang disampaikan

kepada isterinya. Pada pelaksanaan perceraian seperti itu, pada saat

pengucapan lafal talak, harus disertai dengan niat yang bahwa suami akan

menceraikan isterinya. Begitu pula halnya jika dilakukan dengan tulisan, jika

tidak diniatkan, maka perceraian dengan kata-kata kiasan atau tulisan tidak

sah hukumnya.

Islam memang mengakui bahwa hak untuk menjatuhkan talak ada

pada suami. Suami dapat menjatuhkan talak satu atau dua bahkan tiga

sekaligus terhadap isterinya dan dapat dianggap sah apabila memenuhi

persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan di atas. Akan tetapi Islam

tidak membenarkan suatu talak dilakukan secara semena-mena tanpa suatu

sebab yang dapat dibenarkan. Hal ini dapat dimengerti dari Hadits Nabi

Muhammad SAW yang menyatakan tidak suatu yang halal yang amat dibenci

73 Arifin Bey, Op. Cit., hal. 192.

Page 73: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

73

oleh Allah SWT selain dari pada talak.74 Dalam hadits yang lain disebutkan

perempuan yang meminta cerai dari suaminya tanpa suatu sebab, maka haram

baginya bau syurga.75

Selain kedua hadits tersebut di atas, Allah juga mengwahyukan, yang

artinya sebagai beikut:

1. Isteri-isteri yang kamu khawatir melalaikan kewajibannya, hendaknya kamu nasehati.

2. Apabila nasehat itu tidak mampan, Pisahlah dari tempat tidur mereka.3. Bila tidak mampan juga pukullah mereka.4. Kemudian apabila mereka mentaati kamu janganlah kamu mencari-cari

jalan untuk menyusahkannya.

Bertitik tolak dari firman Allah tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa apabila timbul perselisihan antara suami isteri, suami berkewajiban

meneguri isterinya agar tidak lagi melalaikan kewajibannya atau membuat

hal-hal yang tidak disenangi oleh suaminya. Nasehat tersebut dimaksudkan

bertujuan agar pihak yang melalaikan kewajiban itu benar-benar sadar akan

kesalahannya.

Apabila nasehat tersebut tidak diperhatikan atau diabaikan oleh isteri,

suami dapat bertindak lebih jauh lagi dengan tujuan memberikan nasehat

kepada pihak isteri supaya sadar akan kesalahannya, tetapi tetap berada dalam

satu rumah.

Bilamana langkah kedua ini masih belum membawa hasil, suami

dapat mengambil langkah selanjutnya yaitu menasehati isteri dengan

74 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1956, hal. 112.

75 Ibid, hal. 113.

Page 74: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

74

menggunakan kata-kata yang keras, sekaligus isteri dapat menyadari akan

kesalahannya.

Setelah beberapa upaya tersebut dilakukan, suami belum boleh

mentalak isternya, tetapi harus terlebih dahulu menghadiri 2 (dua) orang

hakam atau hakim yang disebut hakamain, satu terdiri dari keluarga pihak

suami dan satu lagi dari pihak keluarga isteri. Hal ini sebagaimana ditentukan

dalam Al-Quran Surat An-Nas ayat 35 yang artinya sebagai berikut: “Kalau

terjadi persengketaan yang hebat antara suami isteri, maka haruslah seorang

hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.

Jika kedua hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah

memberi petunjuk kepada kedua suami isteri itu”.76

Apabila kedua hakam tersebut berpendapat bahwa tidak cukup alasan

untuk bercerai, maka perceraian tidak dapat dilaksanakan. Tetapi bila mana

menurut pertimbangan hakim memang terdapat alasan yang cukup dan tidak

dimungkinkan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga, barulah boleh

suami isteri menjatuhkan talak terhadap isterinya.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Islam menghendaki untuk

melakukan perceraian, sebenarnya harus dilakukan dihadapan dan atau

putusan hakim setelah upaya perdamaian yang dilakukan tidak berhasil dan

tidak dibenarkan melakukan secara sewenang-wenang tanpa suatu sebab yang

dibenarkan.

Apabila ketentuan tersebut dihubungkan dengan ketentuan yang

terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka keharusan

76 Ibid, hal. 114.

Page 75: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

75

melakukan perceraian di depan sidang mahkamah syar’iyah menurut Undang-

Undang tersebut adalah selaras dengan ajaran Islam, hanya saja segi

keabsahannya yang berbeda. Sebab Islam mengakui sebagai perbuatan yang

sah apabila suami telah mengucapkan suatu perceraian terhadap isterinya dan

memenuhi syarat sebagaimana telah disebutkan di atas, walaupun pengucapan

itu tidak dilakukan di depan sidang Mahkamah Syar’iyah.

Page 76: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

76

BAB III

PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA

A. Perceraian di Luar Pengadilan Agama

Pada dasarnya masalah perceraian adalah perbuatan yang sangat

dicegah, baik dalam hukum adat maupun dalam hukum agama, sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

yang Maha Esa.

Dalam kenyataannya, meswkipun melalui pemilihan yang sangat

selektif sebelum ima perkawinan, melalui cara dan kriteria tertentu

(agamanya, keturunannya, kecantikannya, dan hartanya). Namun demikian,

perceraian yang merupkan perbuatan yang sangat dibenci terkadang tidak

dapat dihindarkan.

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa perceraian

ini harus dilakukan di depan sidang engadilan agama berdasarkan alasan-

alasan yang telah ditentukan oleh Perundang Undangan. Namun demikian

masih banyak kasus-kasus perceraian yang dilakukan oleh sebagian

masyarakat tidak melalui pengadilan, seperti yang terjadi di Desa Blang

Krueng Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar. Pada tahun 2010 ada

Page 77: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

77

2 kasus, tahun 2011 ada 2 kasus, tahun 2012 ada 1 kasus, yang perceraiannya

tidak melalui pengadilan.77

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diterangkan

bahwa suatu perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua

belah pihak.

Pembentukan Undang-undang tersebutdan Undang-Undang pada

umumnya tidak terlepasdari perhatian terhadap kenyataan-kenyataan sosial

dalam masyarakat tempat dimana Undang-Undang tersebut diberlakukan.

Berdasarkan hal itu, Undang-Undang perkawinan memberikan jaminan

bahwa ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi penganut agama di Indonesia,

tidak akan dilecehkan baik secara formil maupun materil sebagaimana yang

tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan yang menyatkn

bahwa sahnya perkawinan jika berlangsung menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya.

Berdasarkan penjelasan dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan

peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, penulis berkesimpulan bahwa

suami yang melkukan perceraian tanpa mengucapkan ikrar talak di depan

sidang pengadilan berarti perceraian tersebut belum mempunyai kekuatan

hukum. Oleh karenanya, perceraian semacam itu tidak sah menurut

administrasi atau disebut juga dengan perceraian liar. Jadi, pengertian

77 Wawancara dengan Khairul Huda, Keuchik Gampong Blang Krueng Kec. Baitussalam Kab. Aceh Besar , Tanggal 13 Januari 2013.

Page 78: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

78

perceraian di luar pengadilan adalah perceraian yang dilakukan bukan

menurut prosedur sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang.

Walaupun undang-Undang perkawinan dan mazhab Syafi’i berbeda

dalam menetapkan hukum, namun penulis berpendapat demi kemaslahatan

dan kebaikan dari undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur

tentang perceraian harus diamalkan sehingga suami tidak semena-mena dapat

menjatuhkan talak terhadap isterinya.

B. Dasar Hukum Yang Dipergunakan

Suatu perceraian tidak saja dapat terjadi di depan sidang pengadilan,

akan tetapi juga dapat terjadi di luar sidang pengadilan yang dilakukan

menurut kebiasaan yang berlaku dalam masysarat tersebut dilakukan dengan

melakukan talak, baik secarablisan maupu tulisan yang disampaikan kepada

isterinya dengan maksud melakukuan perceraian.

Dasar hukum yang dipergunakan dalam melakukan perceraian

tersebut adalah ketentuan hukum menurut salah satu mazhab, yaitu Syafi’i.

Karena menurut ketentuan mazhab Syafi’i, suatu perceraian yang diucapkan

oleh suami terhadap isterinya sudah dianggap terjadi dan sah menurut

hukumnya sejak diikrarkan dan memenuhi persyaratan untuk itu.

Mazhab yang empat yaitu, Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali

sependapat bahwa suatu talak atau perceraian dapat dijatuhkan dengan

mengikrarkan secara lisan.78 Lafadz talak ada yang diucapkan dalam bentuk

sarih dan ada yang diucapkan dalam bentuk kinayah.

78 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali, Cet. XIII, Hidakarya Agung,Jakarta, 1991, hal. 115.

Page 79: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

79

Dalam bentuk sarih, yaitu lafadz talak yang diikrarkan oleh suami

dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas serta dapat

dipahamisebagai persyaratan talak. Seperti suami berkata kepada

isterinya,”aku talak engkau (dengan talak satu) atau aku cerai engkau (dengan

satu cerai)”.79

Apabila suami telah mengucapkan atau mengikrarkan talak terhadap

isterinya dengan lafadz talak sarih, seperti yang tersebut di atas, dan

diucapkan dalam keadaan sadar serta atas kemauan sendiri, maka jatuhlah

talak itu sejak saat ia mengucapkannya. Sedangkan talak dalam bentuk

kinayah, yaitu talak yang diucapkan oleh suami kepada isterinya dengan

menggunakan kata-kata sindiran, atau samar-samar, seperti suami berkata

kepada isterinya, “pergilah engkau dari rumah ini sekarang juga, atau

pulanglah ke rumah orang tuamu”. Ucapan seperti itu apabila ddisertai

dengan niat cerai atau talak, maka terjadilah talak atau perceraianantara suami

isteri tersebut. Tetapi apabila tidak disertai dengan niat, maka tidak terjadi

talak atau perceraian suami kepada isterinya.

Disamping talak lisan sebagaimana tersebut di atas, talak juga dapat

dilakukan dengan tulisan yang disampaikan oleh suami dengan maksud untuk

menceraikan isteri. Dalam melakukan talak atau perceraian dengan tukisan,

menurut Syafi’i, pada saat pembuatan surat untuk maksud tersebut harus

disertai dengan niat bahwa suami ingin menceraikan isterinya. Jika tidak

disertai dengan niat, maka tidak jatuh talak tersebut. Jadi menurut imam

Syafi’i, tulisan itu diartikan sebagai kiasan atau kinayah.

79 Ibid, hal. 115.

Page 80: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

80

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dasarhukum yang

dilakukan untuk melakukan perceraian di luar sidang pengadilan agama yang

terjadi dalam masyarakat adalah berdasarkan ketentuan yang dianut oleh

suatu mazhab tertentu sebagai hukum yang dianut oleh masyarakata setempat.

C. Faktor Penyebab Perceraian

Perceraian yang terjadi di luar pengadilan agama disebabkan oleh

perselihan suami isteri, dipengaruhi oleh beberapa masalah yang dapat

merusak keharmonisan/ketenteraman dalam rumah tangga. Diantara beberapa

faktor sebab terjadinya perceraian di luar pengadilan agama, secara garis

besarnya disebabkan oleh beberapa masalah berikut:

1. Masalah ekonomi

2. Masalah moral

3. Masalah campur tanggan pihak ke tiga

4. Masalah perkawinan baru (dimadu)80

Masing-masing masalah tersebut, biasanya tidaklah berdiri sendiri

secara utuh, akan tetapi saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain.

1. Masalah ekonomi

Yang dimaksud masalah ekonomi sebagai penyebab terjadinya

perceraian di luar pengadilan agama, adalah keterbatasankemampuan

biaya suami isteri dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya.

80 Wawancara dengan Khairul Huda, Keuchik Gampong Blang Krueng Kec. Baitussalam Kab. Aceh Besar , Tanggal 13 Januari 2013

Page 81: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

81

Keterbatasan kemampuan ekonomi tersebut disebabkan karena suami

isteri tersebut tidak mempunyai pekerjaan atau pendapatan yang tetap.

Disamping itu juga dapat dikatakan masih tergolong belum cukup

dewasa baik dari segi usia maupun pemikirannya untuk membina suatu

rumah tangga. Dengan demikian kesulitan ekonomi yang disebabkan

pendapatan tidak tetap itu belum mampu diatasi, sehingga

menimbulkan perselisihan dalam rumah tangga yang berakhir dengan

perceraian.

2. Masalah moral

Yang dimaksud dengan masalah moral sebagai penyebab

terjadinya perceraian adalah setiap tindakan dan perbuatan suamiisteri

yang bertentangan dengan agama,adat kebiasaan, dan norma

kehidupan berumah tangga. Masalah moral ini, pada umumnya

dilakukan oleh pihak suami, sehingga dapat memberikan pengaruh

negative terhadap salah seorang diantara keduanya. Seperti sikap

suami yang terlalu kejam, tidak bertanggungjawab, dan suka main

perempuan.

Dilain pihak, sikap isteri yang kurang tanggap terhadap urusan

rumah tangga atau isteri melakukan penyelewengan dengan laki-laki

lain. Disebabkan perbuatan dan tindakan yang demikian, menimbulkan

perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga yang berakhir

dengan perceraian.

3. Masalah campur tanggan pihak ke tiga

Page 82: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

82

Selain masalah perceraian yang telah diurutkan di atas, masalah

camput tanggan pihak ketiga juga turut mempengaruhi terjadinya

perceraian di luar pengadilan agama. Camput tangan pihak ketiga ini,

adakalanya datang dari pihak keluarga suami dan ada kalanya datang

dari pihak keluarga isteri yang mencampuri urusan rumah tangga

mereka.

Akan tetapi masalah ini biasanya baru timbul diawali oleh

masalah lain, seperti masalah ekonomi dan masalah moral

sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

4. Masalah perkawinan Baru (dimadu)

Disamping berbagai macam penyebab perceraian yang telah

diuraikan di atas, masalah perkawinan baru (dimadu) juga merupakan

salah satu penyebab yang sering mempenguruhi terjadinya perselisihan

dan pertengkaran dalam rumah tangga suami isteri yang berakhir

dengan perceraian.

Perkawinan baru ini, biasanya dilakukan oleh suami tanpa

sepengetahuan dan persetujuan isteri pertama dan biasanya dilakukan

tidak menurut prosedur perkawinan yang berlaku. Pada umumnya

perkawinan baru ini disebabkan tempat tinggal suami dan isteri

terpisah karena melakukan pekerjaan ditempat lain yang jauh letaknya

dari kediaman isteri.

Dari berbagai macam masalah tersebut, masalah moral dan masalah

ekonomi merupakan yang banyak menimbulkan perselisihan dalam rumah

Page 83: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

83

tangga yang berakhir dengan perceraian. Sedangkan yang disebkan oleh

campur tangan pihak ketiga dan perkawinan baru tidak begitu banyak.

Perselisihan dalam rumah tangga sebagaimana yang telah diuraikan di

atas, biasanya bukan perselisihan yang terus menerus sehingga suami isteri

tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Akan tetapi perselisihan

biasa sebagai akibat dari hal-hal yang dapat merusak keharmonisan rumah

tangga seperti yang telah disebutkan di atas. Jadi dapat diketahui bahwa

perselisihan semacam ini, sering menjadi penyebab terjadinya kasus

perceraian di luar pengadilan agama. Sedangkan perceraian yang disebabkan

oleh perselisihan terus menerus dapat dikatakan jarang terjadi.

Sehubungan dengan uraian di atas, dapat dinilai bahwa penyebab

perceraian seperti diuraikan di atas merupakan perceraian yang belum dapat

dipertanggungjawabkan menurut Undang-Undang perkawinan yang berlaku.

Dikatakan demikian, karena perselisihan yang terjadi bukanlah

perselisihan yang terus menerus sehingga tidak dapat hidup rukun lagi dalam

rumah tangga. Akan tetapi hanya perselisihan biasa yang disebabkan oleh hal-

hal yang dapt merusak keharmonisan rumah tangga, dengan emosi yang tidak

terkendali, suami terlalu cepat mengambil keputusan pada pemutusan

perkawinan.

Oleh sebab itu, jika dihubungkan dengan ketentuan yang diatur dalam

Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan

alasan-alasan perceraian yang tercantum dalam Pasal 19 huruf f, Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka perceraian tersebut belum memenuhi

Page 84: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

84

persyaratan sebagaimana yang dimaksudkan Undang-Undang,

Pelaksanaannya juga tidak menurut prosedur yang telah ditentukan.

Adapun penyebab enggannya masyarakat untuk melakukan perceraian

dipengadilan agama yaitu kurangnya pengetahuan dan pemahaman sebagian

masyarakat tentang tata cara berperadilan di pengadilan agama.81 Selain dari

pada itu, penyebab yang lain adalah bahwa ada anggapan dari sebagian

masyarakat yang menganggap biaya untuk persidangan membutuhkan biaya

yang besar, pada hal menurut ketentuan mahkamah syar’iyah Kabupaten

Aceh Besar, besar kecilnya biaya tersebut tergantung domisili para pihak.82

Selain dari alasan-alasan di atas, yang membuat sebagian masyarakat merasa

enggan melakukan perceraian di pengadilan agama adalah kurangnya

kesadaran masyarakat terhadap akibat hukum yang ditimbulkan akibat

perceraian di luar pengadilan agama bagi kedua belah pihak terutama isteri.

Ada juga yang disebabkan karena pernikan mereka tidak tercatat di KUA atau

kawin sirri sehingga tidak dapat diproses melalui pengadilan agama.

Untuk menanggulangi masalah perceraian liar ini, diperlukan

komitmen pemerintah supaya Undang-Undang yang telah ditetapka dapat

berjalan ditengan masyarakat dengan baik, perlu diadakan penyuluhan-

penyuluhan hukum kepada masyarakat secara berkelanjutan dengan

melibatkan pihak-pihak terkait seperti kementerian agama, dinas syari’at

Islam, mejelis permusyawaratan ulama, dan lain-lain.83

81 Wawancara dengan Khairul Huda, Keuchik Gampong Blang Krueng Kec. Baitussalam Kab. Aceh Besar , Tanggal 13 Januari 2013

82 Wawancara Dengan Juwaini, Hakim Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar, Tanggal 18 Januari 2013.

83 Wawancara Dengan Juwaini, Hakim Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar, Tanggal 18 Januari 2013.

Page 85: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

85

Selain dari pihak itu, sudah sepantasnya pemerintah memberikan

sanksi tertentu kepada pihak yang melakukan praktek perceraian liar, agar

memberikan efek takut dan jera kepada masyarakat dengan tujuan Undang-

Undang yang telah diterapkan pemerintah tersebut dapat berjalan dengan

baik. Sebagaimana kita ketahui perceraian liar masih saja terjadi disebabkan

tidak adanya sanksi tegas secara langsung kepada pihak yang melanggar

ketentuan Undang-Undang yang telah ditetapkan tersebut.

D. Pelaksanaan Perceraian

Sebagaimana telah diuraikan pada bab di atas, bahwa perceraian yang

dilakukan di luar sidang pengadilan agama, pada umumnya adalah perceraian

yang dilangsungkan cerai talak oleh suami terhadap isterinya. Perceraian

tersebut dilakukan menurut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam

pelaksanaannya tidak terdapat prosedur tertentu, akan tetapi tergantung pada

bentuk peristiwa yang terjadi.

Pelaksanaan Perceraian di luar pengadilan agama, biasanya sering

dilakukan dalam 2 (dua) katagori pelaksanaannya yaitu:

1. Pelaksanaan perceraian dilakukan secara lisan saja.

2. Pelaksanaan perceraian yang dilakuan secara diam-diam tanpa memberi

nafkah.84

Ad. 1. Pelaksanaan perceraian dilakukan secara lisan saja

84 Wawancara dengan Khairul Huda, Keuchik Gampong Blang Krueng Kec. Baitussalam Kab. Aceh Besar , Tanggal 13 Januari 2013

Page 86: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

86

Dalam pelaksanaa seperti ini, biasanya diucapkan cerai dilakukan

oleh suami pada saat atau sesaat setelah terjadi perselisihan dalam rumah

tangga. Setelah perceraaian tersebut terjadi, suami, isteri, atau keluarga

dari keduanya, member tahu kepada kepala desa atau imam mesjid bahwa

kedua suami isteri tersebut telah bercerai.

Prihal apabila suami isteri yang telah bercerai itu masih berada di

tempat kediaman bersama, maka setelah mendapat informasi tersebut,

kepala desa dan imam mesjid memanggil kedua suami isteri dan

keluarganya untuk bermusyawarah mencari jalan keluar yang baik.

Musyawarah tersebut, kepala desa beserta anggota badan

musyawarah lainnya, mengajak suami isteri yang telah bercerai untuk

berdamai kembali. Apabila berhasil didamaikan, maka imam mesjid

melakukan perujukan terhadap suami isteri, yang disaksikan oleh keluarga

musyawarah lainnya dan keluarga kedua belah pihak selanjutnya

memberikan pandangan dan nasehat kepada suami isteri tersebut untuk

membina rumah tangga di masa yang akan datang dengan lebih baik lagi.

Dalam hal pihak suami isteri tetap mempertahankan prinsipnya untuk

bercerai, maka perceraian yang telah diucapkan oleh suami terhadap isteri

dianggap sah hukumnya. Setelah itu kepaladesa menganjurkan kepada

kedua belah pihak untuk menyelesaikan administrasi talak melalui

pengadilan agama.

Ad. 2. Perlakukan perceraian secara diam-diam dengan tanpa memberi nafkah.

Page 87: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

87

Dalam perlakukan perceraian semacam ini, suami meninggalkan

isteri tanpa member nafkah dan tidak member kabar apapun kepada isteri,

apakah dia telah menceraikan isterinya atau tidak, yang jelas ia tidak

pernah pulang lagi pada isterinya. Jika dapat diketahui bahwa pelaksanaan

perceraian di luar sidang pengadilan agama masih mengikuti kebiasaan

berlaku dalam sebagian masyarakat setempat. Ketentuanyang telah diatur

dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang

mengharuskan suatu perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan, kurang mendapat perhatian dari sebahagian masyarakat.

Hal ini disebabkan sebahagian masyarakat beranggapan bahwa

dalam melakukan perceraian tidak perlu bersusah payah yang penting

perceraian sah hukumnya menurut agama (Islam). Sedangkan keharusan

melakukan perceraian melalui pengadilan agama, hanya merupakan

prosedur administrasi saja.

E. Pandangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Terhadap Perceraian

di Luar Pengadilan Agama

Untuk mendapatkan gambaran tentang posisinya dari Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, penulis mengawali dengan

meninjau secara ringkas beberapa peraturan yang pernah berlaku di Indonesia

berkenaan perkawinan, yaitu:

1. Peraturan perkawinan campuran (Regeling Opde Gemen de

Huwelijhen) yang sering disebut dengan nama GHR, staatsblad 1989

Nomor 158

Page 88: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

88

2. Undang-Undang orang Indonesia Kristen, yang disebut dengan HOCI,

staatsblad 1933 Nomor 74

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya

Undang-Undang tentang pencatatan nikah, talaq, rujuk, lembaran

negara 1954 Nomor 32

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, lembaran

negara RI 1974 Nomor 1

Dengan berlakunya undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka

semua peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perkawinan

dibatalkan. Khusus putusnya perkawinan dalam hal “talak liar” Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberi pengertian bahwa seorang suami

yang menceraikan isterinya di luar pengadilan agama, dianggap tidak sah.

Semestinya, suami atau isteri harus mengajukan permohonan perceraiannya

ke pengadilan agama setempat, agar perceraian tersebut mempunyai

kekuatan hukum tetap.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memandang bahwa perceraian

di luar pengadilan agama merupakan perbuatan melanggar hukum. Ini dapat

dilihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang pada prinsipnya

seorang suami “harus” mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan.

Dalam pengertian lain apabila terjadi perceraian di luar sidang

pengadilan agama atau cerai liar yaitu suatu cerai yang terjadi tidak melalui

prosedur yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang ini, maka mereka tidak

Page 89: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

89

dapat menuntut hak-haknya kepada negara melalui pengadilan, seperti

melakukan pernikahan berikutnya, perwalian anak, dan pembagian harta

gono gini. Dalam hal perwalian anak dan harta gono gini, apabila

penguasaannya dikuasai secara sepihak oleh salah satu pihak, maka pihak

yang lain akan sulit untuk mendapatkan haknya secara adil sebagaimana

yang diatur dalam Undang-Undang.

Sedemikian komplitnya permasalahan perceraian ini, Undang-Undang

Nomo 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah memberikan cara

pengelompokan pola sebab-sebab peceraian. Pengadilan agama melakukan

inovasi sebab-sebab perceraian. Tetapi temuan sebab-sebab perceraian yang

diperoleh pengadilan agama masih bersifat umum atau masih perlu

ditelusuri lebih mendalam. Sehingga pemanfaatan informasi sebab-sebab

perceraian dari pengadilan agama tersebut kurang dapat dipergunakan untuk

penasehatan bagi pasangan suami isteri yang bermasalah. Untuk

memperoleh bahan penasehatan yang lebih baik, diperlukan kajian khusus

tentang sebab-sebab perceraian yang terjadi dalam masyarakat.85

Salah satu pendekatan yang perlu dilakukan adalah memisahkan

antara sebab langsungnya dengan sebab tidak langsung. Sebab langsung

adalah yang bersifat sangat individual, kasuistis, seperti salah satu pihak

tidak mencintai, tidakmempercayai atau mencurigai pihak lain. Atau salah

satu pihak sudah mencintai laki-laki/perempuan lain. Adapun sebab-sebab

85 Moh. Zahid, Dua Puluh Lima, .. Op., Cit., hal. 79.

Page 90: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

90

tidak langsung dapat berupa pandangan hidup, nilai-nilai yang dianut

sekelompok masyarakat dimana seseorang menjadi anggotanya.86

F. Tata Cara Perceraian di Pengadilan Agama.

Undang-Undang perkawinan mengatur tata cara perceraian dalam

Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal 36.

Bersandar pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal-Pasal

tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perceraian itu ada dua

macam, yaitu:

1. Cerai talaq

2. Cerai gugat

Baik cerai talaq maupun cerai gugat, keduanya harus menggunakan

salah satu alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah

Tahun 1975 sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga

86 Ibid, hal. 79.

Page 91: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

91

Memiliki alasan-alasan perceraian tersebut di atas dan ketentuan

bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, maka dapat

dikatakan bahwa walaupun Undang-Undang perkawinan memandang

perceraian sebagai sesuatu yang wajar dan dibolehkan. Tetapi oleh Undang-

Undang tidak diperkenankan begitu saja terjadi perceraian tanpa alasan yang

kuat. Dengan perkataan lain, undang-undang perkawinan mempersulit

terjadinya perceraian, dan hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri

yang menentukan bahwa perkawinan pada dasarnya adalah untuk selama-

lamanya.

Ad. 1. Cerai talak

Tata cara seorang suami yang hendak menjatuhkan talak

kepada isterinya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 dalam Pasal 14 sampai Pasal 18, yang pada dasarnya sebagai

berikut:

a. Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut

agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat

kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi

pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya

dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar

diadakan sidang untuk itu.

Disini ditegaskan bahwa pemberitahuan itu harus secara tertulis

dan diajukan oleh suami bukan surat permohonan, tetapi surat

pemberitahuan. Isi surat tersebut memberitahukan bahwa ia akan

Page 92: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

92

menceraikan isterinya dan untuk itu iam meminta kepada

pengadilan agar mengadakan sidang untuk menyaksikan

perceraian tersebut. Setelah terjadi perceraian di pengadilan, ketua

pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya

perceraian tersebut, bukan surat penetapan atau putusan.

b. Kemudian ketua pengadilan member surat keterangan tentang

terjadinya perceraian tersebut, dan surat keterangan tersebut

dikirim kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi

untuk diadakan pencatatan perceraian.

c. Perceraian itu terjadi mulai dihitung pada saat perceraian

dinyatakan di depan pengadilan.

Ad. 2. Cerai Gugat

Yang dimaksud dengan cerai gugat adalah perceraian yang

disebabkan oleh adanya suatu gugatan dahulu oleh salah satu pihak

kepada pengadilan dan perceraian dan perceraian itu terjadi dengan

suatu putusan pengadilan.87 Tentang tata cara gugatan perceraian

gugat diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam

Pasal 20 sampai dengan Pasal 36, yang pada dasarnya adalah sebagai

berikut:

a. Pengajuan gugatan

87 K. Wantik, Hukum Perkawinan Idonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 40.

Page 93: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

93

1. Gugatan cerai diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya

kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

tergugat.

2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak

diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap,

begitu juga tergugat berkediaman di luar negari, gugatan

diajukan kepada pengadilan ditempat kediaman tergugat.

3. Demikian juga gugatan cerai dengan alasan salah satu pihak

meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain

diluar kemampuannya, gugatan diajukan kepada pengadilan

di tempat tergugat.

b. Pemanggilan

1. Pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi yang

bersangkutan yang apabila tidak dapat dijumpai, pengadilan

disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan

dengannya. Panggilan dilakukan setiap kali akan diadakan

persidangan.

2. Yang melakukan penggilan tersebut adalah petugas yang

ditunjuk oleh pengadilan agama.

3. Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut

dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya selambat-

lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. Panggilan

Page 94: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

94

kepada tergugat harus dilampirkan dengan salinan surat

gugat.

4. Panggilan bagi tergugat yang tempat kediamannya atau tidak

mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan

dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan

pengumuman di pengadilan dan mengumumkan melalui satu

atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang

ditetapkan oleh pengadilan yang dilakukan 2 (dua) kali

dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan antara pengumuman

pertama dengan pengumuman yang ke 2 (dua).

5. Apabila tergugat berdiam di luar negari, panggilan dilakukan

melalui perwakilan RI setempat.

c. Persidangan

1. Persidangan untuk memeriksa gugatan cerai harus dilakukan

oleh pengadilan selambat-lambatnya 30 (tiga Puluh) hari

setelah diterimanya surat gugatan di kepaniteraan. Khusus

bagi gugatan yang tergugatnya bertempat kediaman di luar

negeri, persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam)

bulan terhitung sejak dimasukkan gugatan cerai.

2. Para pihak yang berperkara dapat menghadiri sidang atau

didampingi oleh kuasa hukumnya atau sama sekali

menyerahkan kepada penguasanya dengan membawa surat

Page 95: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

95

nikah/rujuk, akta perkawinan dan surat keterangan lain yang

diperlukan.

3. Apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil sepatutnya,

maka gugatan itu dapat diterima tanpa hadirnya tergugat

terkecuali bila tidak beralasan

4. Pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam

sidang tertutup.

d. Perdamaian

1. Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah

pihak, baik sebelum maupun selama persidangan sebelum

gugatan diputuskan

2. Apabila terjadi perdamaian, maka tidak boleh diajukan

gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada

sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh tergugat pada

saat tercapainya perdamaian

3. Dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak, pengadilan

dapat meminta bantuan kepada orang lain atau badan lain

yang dianggap perlu.

e. Putusan

1. Pengucapan putusan pengadilan harus dilakukan dalam

sidang terbuka

Page 96: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

96

2. Putusan dapat dijatuhkan walaupun tergugat tidak hadir, asal

gugatan itu didasarkan pada alasan yang telah ditetapkan

3. Perceraian dianggap terjadi dengan segala akibatnya terdapat

perbedaan antara yang beragama Islam dan yang lainnya.

Bagi yang beragama Islam Perceraian dianggap terjadi sejak

jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap. Sedangkan bagi yang beragama lain

terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan

kantor pencatatan sipil oleh pegawai pencatat

Dalam hal apabila setelah waktu 14 (empat belas) hari

semenjak dibacakan hasil sidang oleh hakim, atau semenjak

hasil sidang tersebut disampaikan dan telah diterima oleh

tergugat apabila ia tidak hadir pada pembacaan hasil sidang,

tidak ada banding dari tergugat, cerai talak atau cerai gugat

tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila

perkara yang disidangkan itu adalah perkara cerai talak (yang

diajukan oleh suami), maka hasil sidangnya berupa

“penetapan”. Adapun apabila kasus yang disidangkan adalah

masalah cerai gugat (yang diajukan oleh isteri), maka hasil

sidangnya berupa “putusan”. Adapun masa iddahnya

terhitung semenjak putusan atau penetapan tersebut

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Page 97: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

97

BAB IV

PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Page 98: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

98

A. Sah Perceraian di Luar Mahkamah Syar’iyah Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Huhum Islam di Indonesia

1. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Hukum perkawinan nasional yang telah dicantumkan dalam

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 jo Undang-Undang Paradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989,

juga mengatur masalah perceraian. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa

Pasal, antara lain Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974. Pasal

ini menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian,

perceraian, atau atas putusan pengadilan.

Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan

bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut

agama Islam, kalau ingin menceraikan isterinya, harus terlebih dahulu

mengajukan surat kepada mahkamah syar’iyah di tempat tinggalnya.

Surat tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud akan

menceraikan isterinya yang disertai dengan alasan-alasannya, dan

meminta kepada pengadilan/mahkamah syar’iyah agar diadakan sidang

untuk keperluan tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, juga ditemui ketentuan yang mengatur masalah perceraian.

Misalnya pada Pasal 65 yang menyatakan bahwa perceraian hanya dapat

dilakukan di ddepan sidang mahkamah syar’iyah, setelah mahkamah

Page 99: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

99

yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua

belah pihak.

Pasal ini sejalan dengan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor

1 tahun 1974 yang secara tegas menyatakan, perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang mahkamah. Kemudian Pasal 66 ayat (1)

Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan

bahwa seorang suami muslim yang akan menceraikan isterinyaharus

mengajukan surat permohonan kepada mahkamah untuk mengadakan

sidang guna menyaksikan ikrar talak. Pasal ini isinya sama dengan Pasal

14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, hanya saja Pasal ini tidak

menyebutkan kata-kata ikrar talak, sedangkan Pasal 66 ayat (2) Undang-

Undang Peradilan Agama menyebutkannya.

Dari Pasal-Pasal di atas dapat diketahui bahwa pengertian

perceraian menurut hukum perkawinan nasional belum dinyatakan secara

ekplisit. Namun dapat dipahami perceraian itu adalah salah satu faktor

penyeban putusnya hubungan perkawinan, seperti yang telah dinyatakan

dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pengertian perceraian (talak) secara ekplisit baru ditemui dalam

kompilasi hukum Islam di Indonesia pada Pasal 117. Pasal ini

menyatakan bahwa talak adalah “ikrar suami di depan pengadilan agama

(sekarang mahkamah syar’iyah) dan menjadi salah satu sebab putusnya

perkawinan”. Ketentuan Pasal ini sejalan dengan Pasal 39 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa

Page 100: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

100

perceraian itu hanya dapat dilakukan di depan sidang mahkamah.

Ketentuan yang sama akan dapat ditemui pada Pasal 16 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Pasal 65 Undang-Undang

Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989. Dengan demikian tampak

dengan jelas singkronisasi antara kompilasi hukum Islam sebagai hukum

materil dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun, dan Undang-Undang Peradilan Agama.

Apabila dicermati dengan seksama dapat kita temukan bahwa

menurut hukum perkawinan nasional cerai itu bukan lagi dipandang

sebagai hak absolute bagi suami, sebab dalam pengertian talak terdapat

kata-kata”ikrar suami di depan sidang pengadilan agama”.konsekuensi

logis dari ketentuan ini, suami tidak lagi memiliki haka absolute seperti

dalam perspektif ulama fikih masa lalu. Sehingga betapapun suami talak

ingin menceraikan isterinya, tanpa melalui proses mahkamah syar’iyah,

tidak mungkin talak itu dapat dijatuhkan secara sah menurut pandangan

Perundang-Undangan yang berlaku.

Dalam uraian tentang pengertian talak (perceraian) dalam

perspektif hukum perkawinan nasional, telah dinyatakan bahwa Undang-

Undang tidak pernah memberikan definisi talak, kecuali dalam kompilasi

huku, Islam. Sejalan dengan ini, tidak pula ditemui uraian yang sifatnya

eksplisit tentang rukun dan syarat-syarat talak, namun ditemuirincian

tentang alasan-alasan perceraian.

Page 101: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

101

Bardasarkan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 alasan perceraian itu ada apabila suami isteri tidak akan dapat hidup

rukun sebagai suami isteri. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 alasan ini dijelaskan secara detail sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemampuanya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau

hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang

berat yang membahayakan pihah lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah

tangga

Alasan-alasan perceraian di atas diulang kembali dengan redaksi

yang sama tanpa ada penambahan atau pengurangan satu katapun dalam

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan dalam

penjelasannya dikatakan dengan ungkapan cukup jelas. Dalam Undang-

Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 tidak ditemui adanya

Page 102: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

102

pengulangan alsan-alasan perceraian tersebut, tetapi hanya disinggung

secara sepintas.

Misalnya dalam Pasal 70 ayat (1) dinyatakan bahwa pengadilan

menetapkan permohonan cerai suami isteri setelah keduanya tidak

mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan. Pasal 74 menjelaskan

bahwa gugatan perceraian yang didasarkan atas salah satu pihak

mendapat pidana penjara, penggugat cukup menyampaikan salinan

putusan pengadilan yang berwenang. Pasal 75 menjelaskan bahwa

gugatan perceraian yang didasarkan atas cacat badan atau penyakit

dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami,

diperlukan adanya surat keterangan dari dokter. Sedangkan alasan cerai

yang didasarkan atas alasan syiqaq, harus didengar keterangan saksi-

saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan

suami isteri.

Penjelasan-penjelasan yang ada dalam Undang-Undang Peradilan

Agama tersebut tampak lebih berfokus pada hukum acaranya dari pada

hukum materilnya, dan ini logis karena Undang-Undang Peradilan

Agama merupakan hukum acara pengadilan agama. Tambahan dari

alasan-alasan cerai seperti yang ada dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975, dapat ditemui dalam kompilasi hukum Islam Pasal

116. Pasal ini pada mulanya mengulang semua alasan-alasan perceraian

yang sudah ada, namun setelah itu memberikan dua tambahan. Tambahan

Page 103: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

103

pertamanya adalah pelanggaran terhadapt taklik talak dan tambahan

keduanya karena murtad.

Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa hukum perkawinan

nasional tidak memakai istilah (term) rukun dan syarat-syarat talak

seperti yang ada dalam fikih mazhab. Hukum perkawinan nasional juga

tidak memakai (term) sah dan tidak sah dalam perceraian. Bahasa yang

dipakai tampakcukup jelas dan lugas, seperti yang dinyatakan dalam

Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni

“perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak”. Ungkapan ini secara implicit sebenarnya sudah

mengan dung makna sah dan tidak sah. Ketentuan Pasal ini dapat

dikatakan sebagai unsur yang sangat esensial untuk menentuka legalitas

suatu perceraian, dan ini dapat disebut sebagai rukun, sebab perceraian

tidak dapat terjadi tanpa di depan sidang pengadilan.

Disamping itu juga masih ada ketentuan lain yang dapat

dikatakan sebagai unsur penting dalam rangka mewujudkan perceraian,

yaitu adanya alasan-alasan perceraian seperti yang telah dikemukakan di

atas. Kemudian unsure lainnya adalah pemenuhan administrasi, seperti

adanya surat gugatan yang ditujukan kepada pengadilan di tempat

tinggalnya. Kedua unsur ini persyaratan utama untuk dapat terlaksananya

perceraian di depan mahkamah syar’iyah, ini tampaknya dapat

dikatagorikan sebagai syarat. Dengan demikian dapat dinyatakan setidak-

Page 104: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

104

tidaknya ada tiga unsur penting (rukun dan syarat) untuk terlaksananya

9legal atau illegalnya) perceraian menurut hukum pekawinan nasional.

Tiga unsur penting ini adalah (1) dilaksanakan di depan sidang

mahkamah syar’iyah, (2), terdapat satu atau beberapa alasan perceraian,

(3), memenuhi persyaratan administrasi.

Perceraian merupakan peristiwa pengakhiran ikatan antara suami

dan isteri disebabkan oleh tidak dapat mempertahankan kembali

keutuhan rumah tanga atau dengan kata lain sebagai penghapusan

perkawinan. Dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam

perkawinan.88 Juga disebut sebagai pembubaran ikatan perkawinan

ketika pihak-pihak masih hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan

ditetapkan dengan suatu putusan pengadilan.89

Oleh karena perkawinan juga merupakan bentuk dari suatu

perikatan, maka ketika perikatan itu berakhir timbul berbagai akibat

hukum sebagaimana lazimnya suatu perikatan. Namun demikian, karena

perkawinan merupakan bentuk perikatan yang bersifat sangat khusus

berupa ikatan batiniah, maka pengaturannya tidak tunduk kepada

ketentuan perikatan pada umumnya, melainkan diatur secara khusus

dalam sebuah Undang- Undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai

peraturan pelaksananya.

88 Sobekti, Pokok-Pokok,.. Op., Cit., hal. 42.89 Happy Marpaung, Masalah Perceraian,Tems, Bandung, 1983, hal. 24.

Page 105: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

105

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur berbagai

ketentuan hukum materil perkawinan dengan segala sesuatu yang terkait

dengannya, sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

mengatur tata cara perkawinan dan perceraian, sekaligus merupakan

hukum acara dalam menyelesaikan sengketa rumah tangga (perceraian).

Selain kedua ketentuan ini terdapat pengetahuan lain yang dikhususkan

bagi orang beragama Islam yaitu terdapat dalan kompilasi hukum Islam

dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang akan

dijelaskan pada uraian selanjutnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 14 seorang

suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,

yang akan menceraiakan isterinya, maka mengajukan surat kepada

pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia

bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta

meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pada Pasal 15 pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang

dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari

memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan

tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian.

Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 menyetakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan

sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan

Page 106: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

106

tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan batalnya perkawinan

sebagaimana pada Pasal 37 diputuskan oleh pengadilan, aturan ini

berbeda dengan kitab-kitab figh klasik yang menyatakan bahwa talak

dapat terjadi dengan persyaratan sepihak oleh suami baik secara lisan

maupun tertulis secara bersungguh-sungguh atau bersenda gurau.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapakan bahwa perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang mahkamah syar’iyah setelah

mahkamah syar’iyah tersebut telah berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan. Apabila tidak tercapai perdamaian maka pemeriksaan

gugutan perceraian dilaksanakan dalam sidang tertutup sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 33.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditetapkan

percerian baik diminta oleh suami atau isteri hanya dapat dilakukan

dengan alasan sebagai berikut: pertama, Salah satu pihak berbuat zina

atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di

sembuhkan.90 Kedua, Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama

dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah

atau karena hal lain di luar kemampuanya.91 Ketiga, Salah satu pihak

mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah

perkawinan berlangsung.92 Keempat, Salah satu pihak melakukan

kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah

90 Pasal 19 Butir a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Lihat Juga Pasal 87 jo Pasal 88 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

91 Pasal 19 Butir b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.92 Pasal 19 Butir c jo Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Lihat Juga

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

Page 107: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

107

lain.93 Kelima, Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit

dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.94

Keenam, Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah

tangga.95

Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 menyatakan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak. aturan ini berbeda dengan

kitab-kitab figh klasik yang menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan

persyaratan sepihak oleh suami baik secara lisan maupun tertulis secara

bersungguh-sungguh atau bersenda gurau.96

Pada Pasal 38 ayat (1) permohonan pembatalan suatu perkawinan

diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya

perkawinan, atau tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Dan dalam ayat (2) tentang tata cara pengajuan permohonan pembatalan

perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengujuan gugatan. Ayat

(3) hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan

93 Pasal 19 Butir d Peraturan Pemerintah Tahun 1975.94 Pasal 19 Butir e Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Lihat Juga Pasal 75

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.95 Pasal 19 Butir f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, Alasan Keenam Dikenal Dengan Istilah Syiqaq: Lihat Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Beserta Penjelasan Pasal Demi Pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

96 Mudzhar, M. Antho’, Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam Dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 1 Nomor 1 Tahun 1999, hal. 116.

Page 108: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

108

perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara

tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah.

Setelah menerima putusan perceraian, maka untuk selanjutnya bagi

seorang wanita harus memperhatikan masa tunggu yang telah ditetapkan

dalam Pasal 39 sebagai berikut:

Pada ayat (1) waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud

dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang ditentukan adalah:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu

ditetapkan 130 hari

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi

yang masih haid ditetapkan 3 kali suci dan sekurang-kurangnya 90

hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari

c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan

hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Pada ayat (2) tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus

perkawinan karena perceraian sedangkan antara janda tersebut dengan

bekas suaminya belum pernah terjaadi hubungan. Sedangkan dalam ayat

(3) bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu

tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum yang tetap, sedang bagi perkawinan yang putus karena

kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian.

Page 109: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

109

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia

Penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan di

pengadilan agama selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang

digunakan oleh pengadilan agama senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri

dari berbagai aliran pemikiran (mazhab), yang berakibat munculnya

keragaman keputusan pengadilan terhadap perkara serupa. Untuk

mengatasi masalah tersebut, maka dalam suatu lokakarya yang

diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991 mendapat legalisasi

pemerintah dalam bentuk instruksi presiden kepada menteri agama untuk

digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang

memerlukan. Kompilasi hukum Islam disusun dan dirumuskan untuk

mengisi kekosongan hukum substansial (mencakup perkawinan,

kewarisan, dan pewakafan). Dengan diberlakukannya kompilasi hukum

Islam, kekosongan hukum itu telah terisi dan kerisauan para petinggi

hukum teratasi.97

Pengajuan cerai talak/gugat ke mahkamah syar’iyah, baik yang

dilakukan oleh suami atau isteri sangat erat kaitannya dengan hak dan

kewajiban suami isteri sebagai landasan keluarga yang jauh dari noda

dan nista untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah warahmah.

Pelanggaran terhadap hak dan kewajiban suami isteri itulah yang

menyebabkan ketidak harmonisan keluarga, sehingga dalam satu Pasal

disebutkan yang terdapat pada Bab XII bagian kesatu umum tentang hak

97 Lihat Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Pamulang Timur, PT. Logos Wacana ilmu, 1999, hal. 1-2.

Page 110: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

110

dan kewajiban suami isteri Pasal 77 Nomor 5 yaitu “jika suami atau isteri

melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan

kepada pengadilan agama (mahkamah syar’iyah)”. Dengan demikian

terjadilah perceraian di mahkamah syar’iyah.

Pada Pasal 77 dimaktubkan bahwa kewajiban suami isteri tersebut

sebagai berikut:

1. Suami isteri mimikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi

sendi dasar dari susunan masyarakat.

2. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,

setia, dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang

lain

Takkala rasa cinta telah memudar antara suami isteri dan tidak

menghormati lagi kesucian akad nikah serta kesetiaan telah hilang

dengan melakukan perzinaan atau perselingkuhan dengan orang lain,

maka masing-masing mereka berhak mengajukan permohonan cerai

kepada mahkamah syar’iyah. Karena mereka juga telah melanggar Pasal

77 Nomor 4 ”suami isteri wajib memelihara kehormatannya”. Dengan

melakukan perzinaan atau perselingkuhan, maka jelas mereka tidak lagi

memelihara kehormatan mereka sebagai kewajiban masing-masing suami

isteri.

Seorang suami sebagai pembimbing terhadap isteri yang wajib

memberikan pendidikan agama dan member kesempatan belajar

Page 111: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

111

pengetahuan yang berguna, telah diambang kegagalan apabila isterinya

nusyuz, walaupun suami dapat member sanksi kepada isterinya berupa

tidak memberikan nafaqah lahir dan batin sebagaimana tersebut dalam

Pasal 80 Nomor (4), (5), dan (7), yaitu:

(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman isteri

b. Biaya rumah tangga, biaya perewatan, dan biaya pengobatan bagi

isteri dan anak

c. Biaya pendidikan anak.

(5) Kewajiban suami terhadap isteri, seperti tersebut pada ayat (4) huruf

a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari

isterinya.

(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri

nusyuz.

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh suami tersebut, boleh juga

dilakukan oleh isteri, apabila suami melanggar kewajiban. Karena dalam

Pasal 79 Nomor 3 menyebutkan “masing-masing pihak berhak untuk

melakukan perbuatan hukum”. Pihak disini adalah suami isteri. Jadi

suami atau isteri boleh melakukan perbuatan hukum, karena hak dan

kedudukan suami isteri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga

dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Keretakan rumah tangga diawali dengan perbuatan melanggar hak

dan kewajiban suami isteri, bahkan sampai melakukan hubungan

Page 112: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

112

perzinaan atau perselingjuhan dengan pasangan lain, masing-masing

mereka dapat melakukanperbuatan hikum berupa pengajuan cerai

talak/gugat ke mahkamah syar’iyah, dengan alasan salah satu atau

keduanya melakukan perbuatan zina. Hal ini jelas termaktub dalam Pasal

116 sebagai berikut:

Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga

Pada Pasal 116 huruf a jelas tertera, boleh diceraikan dengan

alasan ssalah satu atau keduanya melakukan perbuatan zina. Apa yang

termaktub dalam kompilasi hukum Islam tentang alasan-alasan dapat

diceraikan, tidak ada beda yang terdapat dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974. Telah menjadi ketentuan hukum bahwa

kompilasi hukum Islam merupakan hukum Islam yang diundangkan

Negara di zaman orde baru. Kompilasi hukum Islam disusun berdasarkan

keputusan bersama ketua mahkamah agung dan menteri agama, pada

tanggal 21 Maret 1985. Penyusunan Kompilasi hukum Islam selama 6

tahun (1986-1991), dan pada tanggal 10 Juni 1991 berdasarkan intruksi

Page 113: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

113

presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991, kompilasi hukum Islam

dikukuhkan sebagai pedoman tersendiri dalam bidang hukum materil

bagi para hakim di lingkungan peradilan agama di seluruh Indonesia.

Kompilasi hukum Islam merupakan respon pemerintah terhadap

timbulnya berbagai keresahan di masyarakat akibat beragamnya

keputusan pengadilan agama untuk suatu kasus yang sama. Keberagaman

itu merupakan konsekuensi logis dari beragamnya sumber pengambilan

hukum, berupa kitab-kitab fiqh yang dipakai oleh para hakim dlam

memutuskan suatu perkara. Karena itu, muncul suatu gagasan mengenai

perlunya suatu hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai

landasan rujukan bagi para hakim agama sekaligus sebagai langkah awal

untuk mewujudkan kodifikasi hukum nasional.

Solusi yang diambil pemerinth dengan lahirnya kompilasi hukum

Islam mengandung dua hal, disatu sisi memudahkan kerja para hakim

agama dan pihak-pihak lainnya yang akan mencari rujukan hukum, tetapi

disisi lain berarti memangkas kreativitas dan upaya-uoaya ijtihad dalam

hukum keluarga. Persoalan-persoalan baru bermunculan mengikuti

dinamika masyarakat, seprti persolan kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT) sementara rujukan hukum tidak berubah, hal ini pada gilirannya

menimbulkan kesulitan baru bagi para hakim itu sendiri dalam

melaksanakan tugas merela di lapangan.

Adapun pengaturan tentang perceraian dalam kompilasi hukum

Islam diatur dalam Bab XVI putusnya perkawinan Pasal 113 sampai

Page 114: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

114

Pasal 148. Beberapa Pasal yang prinsipil dalam talak di Indonesia adalah:

Pasal 113 perkawinan dapat putus karena:

a. Kematian

b. Perceraian, dan

c. Putusan penadilan.98

Pasal 114 putusnya perkawinan yang disebabkan karena

perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan

perceraian. Pasal 115 perceraian hanya dapar dilakukan di depan sidang

pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 116 Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai

berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihah lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga

g. Suami melanggar taklik talak

98 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 117 Pengertian Talak Adalah Ikrar Suami Dihadapan Sidang Pengadilan Agama Yang Menjadi Sebab Salah Satu Putusnya Perkawinan. Dengan Cara Sebagaimana dimaksud Pada Pasal 129, 130, dan 131. Lihat Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama RI, 2000), hal. 57.

Page 115: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

115

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.99

Kompilasi hukum Islam menetapkan perceraian boleh didasarkan

alasan bahwa seorang suami melanggar taklik talak atau peralihan agama

atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah

tangga. Dalam masalah putusnya hubungn perkawinan (percerian)

keputusan untuk bercerai atau tidak sangat tergantung kepada laki-laki

(suami). Suami dapat menjatuhkan kata-kata cerai kepada isterinya kapan

saja dan dimana saja. Kemudian, hak talak yang berada ditangan

suami,100 syar’i tidak membenarkan suami menggunakan haknya itu

dengan gegabah dan sesuka hati melakukannya.101 Bahkan dianggap

makruh bila tanpa sebab.102 Maka tidak boleh mentalak isteri bila tanpa

alasan yang dikehendaki oleh syar’i yaitu adanya nusyuz dari pihak

isteri.103

Selain itu, kompilasi hukum Islam menetapkan bahwa seorang

suami dapat menegakkan kewajiban isterinya nusyuz. Dalam keadaan

bahwa seorang isteri melalaikan keawajibannya, dia dapat dianggap

nusyuz.104 Selama dia nusyuz, seorang suami tidak wajib member nafkah,

kiswah, tempat kediaman maupun biaya rumah tangga, biaya perawatan

99 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hal. 140-141.

100 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 215.101 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 212.102 Ibn Hajar, Fath al-Bari…….. hal. 445.103 Ibid, 491.104 Pasal 83 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam

Page 116: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

116

dan pengobatan untuk isterinya.105 Ketentuan seorang suami terhadap

adanya nusyuz wajib didasarkan bukti yang sah.106

Namun demikian, ada juga yang berpendapat mengatakan bahwa

kedua belah pihak perkawinan boleh dianggap nusyuz. Kalau seorang

suami dianggap nusyuz, isterinya berhak membuat perjanjian yang

dimaksud untuk memperbaiki hubungan dengan suaminya. Kalau

seorang isteri dianggap nusyuz, suaminya wajib bertindak sebagai

berikut: Pertama, seorang suami menasehati isterinya dengan baik.

Kedua, jika isteri tersebut tidak memperhatikan suaminya, mereka harus

berpisah tidur. Ketiga, jika isterinya tersebut masih tidak memperhatikan

suaminya, dia boleh memukul isterinya dengan pukulan yang tidak berat.

Atas semua bentuk harta tersebut suami dan isteri mempunyai hak

sempurna untuk melakukan perbuatan hukum.107 Suami isteri masih

berhak mengubah ketentuan tersebut melalui perjanjian perkawinan.108

Harta suami isteri masing-masing tidak dapat menutup keberadaan harta

bersama.109 Harta bersama diperbolehkan dalam berbagai bentuk. Hak

suami dan hak isteri terhadap harta bersama dilindungi, yaitu seorang

suami atau isteri tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama

tanpa persetujuan pihak lain.110 Lagi pula, harta bersama hanya boleh

menjadi barang jaminan untuk salah satu pihka atas persetujuan pihak

105 Pasal 84 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam106 Pasal 84 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam107 Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam108 Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam109 Pasal 85 kompilasi Hukum Islam. Untuk Harta Bersama Dalam Perkawinan Yang

Bersifat Isteri Lebih Dari Seorang Lihat Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam. 110 Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam

Page 117: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

117

lainnya.111 Harta bersama dibagi pada masa putusnya perkawinan.112

Kedua pihak perkawinan bertanggungjawab sendiri maupun bersama

untuk menjaga harta masing-masing maupun harta bersama.113

Argumen yang dikeluarkan untuk masalah ini tetap menggunakan

argument tafsir ayat tentang keunggulan laki-laki (afdhaliyah al rajul)

dan kekuasaan ekonomi; laki-laki rosional dan penuh pertimbangan,

sementara perempuan cepat emusional, laki-laki menafkahi, perempuan

dinafkahi, laki-laki membayar mas kawin dan kebutuhan lainnya,

perempuan penerima semuanya, dst. Ini benar-benar bias gender. Jika

relasi suami isteri adalah relasi privacy, maka perlindungan hukum bagi

perempuan menjadi sangat sulit dan tertutup. Dengan begitu,

keselamatan perempuan dari tindakan suami untuk suatu perceraian

sangat tergantung pada tingkat moralitas suaminya yang tentu saja sangat

subjektif. Dalam rangka menghindari terjadinya perceraian sepihak yang

tidak terkontrol, subjektif dan sering merugikan perempua, sejumlah

negara Islam telah melakukan pembaharuan hukum melalui proses

perceraian di pengadilan termasuk dalam hal ini adalah rumusan dalam

kompilasi hukum Islam Indonesia.

Baik pernikahan maupun perceraian menurut kitab-kitab fiqh

dinyatakan sah sepanjang memenuhi persyaratan dan rukunnya.

Pencatatan di kantor urusan agama (KUA) bukanlah merupakan

kewajiban dan bukan pula bagian dari rukun perkawinan.

111 Pasal 91 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam112 Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam113 Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam

Page 118: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

118

Pertanggungjawaban dan pembuktian hukum atas berlangsungnya

perkawinan sudah dianggap cukup memadai melalui kesaksian dua orang

yang adil (jujur). Dalam hal perceraian keadaannya jauh lebih sederhana

lagi yaitu bukan hanya tidak diperlukan pencatatan bahkan juga tidak

wajib adanya kesaksian. Kesaksian dapat dipenuhi sebagai anjuran

belaka (mustahab).

Ketentuan-ketentuan fiqh seperti itu sesungguhnya dapat

dipahami ketika kejujuran merupakan tradisi masyarakat. Dengan kata

lain….. bisa diterima hanya untuk masyarakat yang menjujung tinggi

kejujuran sedemikian rupa sehingga kesaksian dua orang yangjujur

dipercaya sebagai dasar pembuktian perkawinan. Konteks sosial budaya

masyarakat hari ini tampaknya telah berubah. Kesaksian dua orang tidak

lagi cukup sebagai dasar pembuktian yang kuat dan menentukan. Dalam

syitem hukum modern dimanapun pembuktian selain keterangan saksi

diperlukan pembuktian tertulis. Maka ketika pencatatan oleh negara tidak

dilakukan, manipulasi pernikahan sangat mungkin terjadi. Dalam

keadaan seperti ini, perempuan (isteri) sering kali menjadi korban dengan

berbagai akibat yang ditimbulkannya.

Sejalan dengan prinsip pernikahan dalam Islam bahwa pernikahan

untuk selamanya, maka dalam masalah talak Islam memberikan langkah-

langkah pendahuluan sebagai berikut:

a. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, terlebih dahulu

sedapat mungkin diselesaikan sendiri

Page 119: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

119

b. Apabila tidak dapat diselesaikan, hendaklah mengangkat hakim

(wasit) dari keluarga suami dan isteri

c. Apabila terpaksa perceraian tidak bisa dihindari, haruslah

dijatuhkan talak satu, sehingga bagi suami isteri itu masih ada

kemungkinan untuk rujuk.

Menyimak alasan-alasan yang harus dipahami sebelum

dijatuhkannya talak atau cerai, anjuran untuk menempuh langkah-

langkah tertentu sebelum benar-benar memutuskan ikatan pernikahan,

dapatlah dipahami bahwa hukum positif dan hukum agama sangat tidak

menghendaki terjadinya perceraian.

B. Akibat Hukum Dari Perceraian di Luar Pengadilan Agama

Perceraain di luar pengadilan agama, membawa akibat putusnya

hubungan hukum antara suami isteri yang bersangkutan, status suami berubah

menjadi duda, dan isteri menjadi janda. Selanjutnya dengan putusnya

hubungan itu, menyebabkan hilangnya hak dan kewajiban suami isteri dalam

rumah tangga. Keduanya harus menjalani hidup secara terpisah dan tidak

mempunyai hubungan lagi satu sama lain. Masing-masing pihak bebas

menentukan sikapnya untuk tetap dalam status duda atau janda atau kawin

lagi.

Selain akibat tersebut, perceraian di luar pengadilan agama, juga dapat

menimbulkan akibat lanjut sebagai berikut:

1. Akibat terhadap isteri

a. Tidak dapat melakukan perkawinan dengan orang lain melalui KUA.

Page 120: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

120

Salah satu akibat hukum yang dialami oleh bekas isteri, bahwa ia tidak

dapat melakukan perkawinan dengan orang lain, karena perceraian yang

telah terjadi dengan suaminya di luar sidang pengadilan agama tidak

dapat dibuktikan secara otentik dan perceraian tersebut belum dapat

diakui keabsahannya menurut Undang-Undang perkawinan yang berlaku.

Oleh karena, jika bekas isteri ingin melakukan perkawinan dengan pihak

lain, maka akan mendapat kesulitan bahkan tidak dapat dilaksanakan

melalui KUA.

b. Tidak dapat menuntut biaya hidup melalui pangadilan agama

Bekas isteri tidak dapat melakukan penuntutan biaya hidup dari bekas

suaminya melalui pengadilan agama. Hal ini terjadi karena perceraian

antara suami isteri yang bersangkutan tidak dapat dibuktikan secara

otentik dan tidak diakui keabsahannya menurut Undang—Undang

perkawinan yang berlaku.

c. Berakhirnya tanggungjawab terhadap biaya pemeliharaan anak

Disamping beberapa akibat yang telah dikemukakan di atas, isteri juga

mempunyai tanggungjawab yang berat terhadap pemeliharaan anak-anak

yang hidup bersamanya. Sedangkan bekas suaminya kurang

memperhatikan biaya tersebut.

d. Akibat terhadap harta kekayaan

Setelah perceraian terjadi, harta kekayaan suami isteri yang diperoleh

selama perkawinan diadakan pembagian. Pembagian dilakukan menurut

hukum adat yang berlaku dalam masyarakat setempat. Pembagian yang

Page 121: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

121

dimaksud, dilakukan dengan membagikan harta bersama suami isteri

menjadi dua bagian. Satu bagian untuk bekas suami dan satu bagian lagi

untuk bekas isteri.

Cara pembagiannya, yaitu dengan terlebih dahulu mengalkulasikan

semua harta kekayaan yang ada dalam jumlah uang. Kemudian setelah

dikurangi untuk perlunasan hutang kedua belah pihak jika ada dan segala

biaya untuk keperluan tersebut, sisanya dibagi kepada suami isteri yang

masing-masing mendapat satu bagian.

e. Akibat terhadap anak

Akibat berakhirnya rumah tangga yang dibina oleh suamiisteri,

sering kali membawa goncangan dan penderitaan bagi anak-anaknya.

Anak-anak tidak dapat lagi merasakan kasih sayang dan perhatian

sebagaimana diharapkan, yang sesuai dengan kebutuhan kejiwaan

mereke. Anak-anak yang sudah sejak lahir tergantung dan hanya

mengenal ayah dan ibunya yang selama ini mencurahkan kasih sayang

penuh terhadap mereka telah tiada sebagaimana semula.

Bukan hanya itu saja, juga ayah atau ibunya kawin lagi dalam

rumah tangga baru, maka anak-anak akan terasa asing dalam hidupnya.

Apalagi kalau mereka ikut bersama ayah atau ibu tirinya, mereka

mungkin tidak merasa ketenteraman dan nyaman dengan keadaan

demikian. Kadang-kadang membuat anak-anak lebih memilih tempat

tinggal bersama orang lain seperti paman atau nenek/kakeknya.

Sebenarnya sudah tidak terbatas bahkan suami bertanggungjawab

Page 122: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

122

mengurus masa depan anak-anaknya. Secara khusus, kewajiban suami

untuk memberikan mareri kepada anak-anaknya lebih diperioritaskan,

jika dalam kenyataannya suami tidak dapat memenuhi kewajibannya itu,

pengadilan dapat menentukan bahwa ibunya turut memikul biaya

tersebut ( Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975).

Uraian di atas dapat memberikan gambaran bahwa pembubaran

perkawinan suami isteri membawa akibatnya yang tidak baik bahkan

anak-anak. Apalagi perceraian itu tidak dilakukan melalui pengadilan

agama, maka bekas isteri akan menemukan jalan buntu, karena

perceraian yang terjadi atas dirinya tidak dapat diakui keabsahannya

menurut Undang-Undang perkawinan yang berlaku. Dengan demikian

kepastian hukum terhadap status dirinya tidak dapat dibuktikan secara

Perundang-Undangan yang berlaku.

Berdasarkan uraian di atas sebelumnya berkenaan dengan perceraian

baik dalam hukum Islam sebagaimana telah diuraikan melalui nas Al-Qur’an

dan Hadits serta pendangan ulama dan ulama mazhab terhadap permasalah

cerai, secara umum dalam pandangan dan analisis ulama terdapat beberapa

perbedaan terhadap penetapan hukum dan akibat yang ditimbulkan oleh

perceraian. Begitu juga halnya dalam hukum positif yang telah diatur dalam

Pasal demi Pasal berkaitan dengan perceraian, tentunya kedua pandangan

hukum yang ada ini bertujuan dalam upaya memberikan kemaslahatan bagi

umat dalam rangka melaksanakan perceraian.

Page 123: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

123

Ketika perkara perceraian diajukan kepengadilan, pada umumnya

kondisi rumah tangga mereka sudah mengalami keretakan yang serius dan

kedua belah pihak tidak ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya

sehingga mereka berharap segera terjadi perceraian. Dengan disegerakannya

penyelesaian perceraian ini, maka masing-masing pihak dapat segera

membina rumah tangga kembali dengan pasangan lain yang lebih cocok.

Namun adakalanya keretakan rumah tangga mereka belum sampai taraf yang

serius sehingga mereka bisa didamaikan, bahkan ada juga yang semula sudah

sama-sama menghendaki perceraian dan telah telah diputus oleh pengadilan

agama ternyata ketika perkaranya masih dalam upaya hukum

(banding/kasasi) mereka rukun kembali, hanya saja kasus terakhir ini

persentasenya sangat kecil.

Memperhatikan kasus demikian, maka hakim dapat memperhatikan

kondisi rumah tangga mereka serta sikap mereka dalam mempertahankan

keutuhan rumah tangga. Apabila salah satu pihak tidak menghendaki

perceraian dan keretakan rumah tangga mereka belum terlalu parah, maka

cara yang lebih baik diputus secara bersama. Melalui cara ini diharapkan,

apabila pihak yang keberatan bercerai melakukan upaya hukum, maka waktu

penantian putusan ini dapat digunakan untuk intropeksi sehingga masing-

masing menyadari akan kesalahan dan pada akhirnya rukun kembali.

Tetapi jika kedua belah pihak sudah tidak menghendaki untuk

membina keutuhan rumah tangga dan memandang perceraian sebagai

alternatif yang terbaik, maka cara yang lebih baik diputuskan secara terpisah

Page 124: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

124

dengan mendahulukan gugatan cerainya agar segera ada kepastian. Begitu

juga halnya apabila kedua belah pihak sama-sama sudah tidak ingin

mempertahankan rumah tangga mereka sementara secara lahiriah rumah

tangga mereka belum terlalu parah, apakah lebih baik diputuskan secara

bersama-sama atau secara terpisah, sebab jika diputus secara terpisah seperti

boleh jadi dengan masih sederhananya konflik rumah tangga dan tidak

menutupi kemungkinan bisa rukun lagi.

Dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum berkaitan dengan

perceraian baik pedoman dalam perceraian, maka dapat menjadi sebagai

pedoman dan rujukan bagi suami isteri yang rumah tangganya tidak

mengalami kerukunan dan selalu terjadi pertengkaran dan perbedaan antara

kedua belah pihak, sehingga keinginan untuk melangsungkan cerai dapat

dilangsungkan pada lembaga pengadilan agama ataupun mahkamah syar’iyah

sebagai lembaga legal dan resmi serta diakui oleh pemerintah.

Page 125: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

125

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Untuk melakukan suatu perceraian harus terdapat alasan yang cukup

sehingga dapat dijadikan landasan yang wajar apabila antara kedua suami

isteri tidak dapat rukun lagi dan harus dilaksanakan menurut prosedur

yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Sahnya perceraian harus

memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang.

Terhadap cerai talaq, baru dianggap terjadi dan sah hukumnya sejak

diikrarkan di depan sidang mahkamah syar’iyah dan ketetapan hakim

telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan terhadap cerai gugat,

perceraian baru dianggap sah hukumnya sejak putusan mahkamah

syar’iyah mempunyai kekuatan hukum tetap.

2. Pemicu utama terjadinya perceraian di luar mahkamah syar’iyah adalah

keterbatasan pengetahuan sebagian masyarakat tentang tata cara beracara

di mahkamah syar’iyah. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa

pelaksanaan perceraian melalui mahkamah syar’iyah sebagaimana yang

diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, hanya

merupakan prosedur administrasi saja dan tidak berpengaruh terhadap

keabsahan perceraian yang telah dilakukan. Sistem pelaksanaan

perceraian di luar mahkamah syar’iyah yang dilakukan dikalangan

masyarakat, dapat dinilai masih mengikuti kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat. Perceraian dilakukan dengan melafazdkan talak, baik secara

Page 126: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

126

lisan ataupun tulisan yang disampaikan kepada isterinya. Pelaksanaan

perceraian yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang

mengharuskan suatu perceraian dilakukan di depan sidang Mahkamah

Syar’iyah.

B. Saran-saran

1. Supaya sebuah perceraian tercatat dan sah hukumnya, maka perceraian

tersebut harus dilakukan di depan sidang Mahkamah Syar’iyah. Untuk

mencegah atau sekurang-kurangnya memperkecil terjadinya perceraian di

luar mahkamah syar’iyah, maka hendaknya pemerintah konsisten

mengadakan penyuluhan hukum kepada masyarakat guna untuk

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman sehingga meningkatkan

kesadaran hukum masyarakat dengan melibatkan instansi-instansi terkait,

seperti Kementerian Agama, Dinas Syari’at Islam, dan lain-lain dalam

setiap kesempatan.

2. Agar masyarakat tertarik untuk melakukan perceraian melalui Mahkamah

Syar’iyah, hendaknya pihak mahkamah syar’iyah memberikan bantuan

tertentu untuk memudahkan masyarakat dalam mengurus perceraian

selama bantuan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Kepada warga

masyarakat yang telah melakukan perceraian dengan cara melafazdkan

talak, baik secara lisan ataupun tulisan di luar sidang Mahkamah

Syar’iyah, agar perceraian kedua suami isteri tersebut dapat diselesaikan

menurut Perundang-Undangan yang berlaku.

Page 127: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

127

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Jakarta: Prenadya Paramita, 1987.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta Pustaka Fakultas Hukum: UII, 1995.

Agusni Yahya dkk., Hak dan Kewajiban Perempuan Sebagai Isteri, Banda Aceh: Yayasan Flower Aceh, 2002.

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003.

Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004.

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006.

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. I, Jakarta, Prenada Media, 2006.

---------, Hukum Pekawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006.

Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2005.

Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk. Barat dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, Kencana, Jakarta, 2006.

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluh Hukum, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1996/1997

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1999.

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001

Page 128: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

128

Departemen Agama R.I, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004).

Faried Ma’ruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera dan Bahagia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).

Faisal A. Rani, Fungsi dan Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka Sesuai dengan Paham Negara Hukum, Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 2009.

Happy Marpaung, Masalah Perkawinan, Bandung: Tonis, tt.

----------, Masalah Perceraian, Bandung: Tems, 1983.

Hamid Sarong, dkk, Fiqh, Editor Soraya Devi, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009.

Ibrahim Hoesin, Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak, dan Rujuk, Jakarta: Ihya Ulumuddin, 1971.

Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departeman Agama RI, 2000.

Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekostruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Cet. I, Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Jaih Mubarok, Modifikasi hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Jimly Asshiddiqie, Nomokrasi Modern : Konsep Negara Hukum Yang Demokratis, dikutip dari buku Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002.

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali, Cet. XIII, Jakarta: Hidakarya Agung, 1991.

Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.

----------, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, Hidakarya Agung, 1996.

Page 129: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

129

Muhammad Jawad Maghniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terjemahan Masykur AB. dkk, Jakarta, Lentera, 1998.

M. Antho Mudzhar, Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam Dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 1 Nomor 1, 1999.

Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Cet. I, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama R.I, 2001.

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

Muzakkir dan Ahmad (ed), Seluk Beluk Hukum Perkawinan Dalam Islam, Banda Aceh: Bidang Urusan Agama Islam KANWIL DEPAG NAD, 2007.

Oemar Seno Adji, Pengadilan Bebas Negara Hukum, Airlangga, Jakarta, 1980.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi III, cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2006.

R. Sobekti, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Intermasa, 1979.

---------, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Bina Cipta, 1989.

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, (Edisi Baru), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Cet. IV, Jilid2, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1983.

Soerjono S, Maoedji, Azwar dan Bruce, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Rajawali, 1985.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986.

----------, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1987.

Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Saudara, 1995.

S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997.

Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Page 130: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

130

Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2001.

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Terjemahan, M. Adul Ghafar, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001.

Tim Penyusun, Kompilasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama RI, 2000.

Tarmizi M. Jakfar, Poligami dan Talak Liar Dalam Perspektif Hukum Agama di Indonesia, Editor Maskur Samir dan Munzir, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1981.

Wahbah Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa As-syariah wa al-Minhaj, Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’asir, 1991.

Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1992.

Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Cet. I, Medan: Zahir Trading, 1975.

-----------------, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993).

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama.

Page 131: PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

131

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2003 Tentang Mahkamah Syar`iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/070/SK/X/2004 Tanggal 06 Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan umum kepada Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.