yulianamargareta.files.wordpress.com … · web viewperan infrastruktur dalam pembangunan dapat...
TRANSCRIPT
MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / KEPALA BAPPENAS
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PERMUKIMAN
Materi Kuliah Disampaikan Pada Studium General
Institut Teknologi Bandung
Yang terhormat para Guru besar, Pimpinan Fakultas dan Jurusan, serta para dosen dan
mahasiswa di lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan yang kami banggakan dan cintai.
Sungguh merupakan kehormatan bagi kami menerima undangan dari suatu lembaga pendidikan tinggi
sains, teknologi dan seni yang prestisius seperti ITB ini untuk menyampaikan paparan dalam program
Studium General ini. Sesuai dengan permintaan, kami akan memaparkan materi yang berjudul
“Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur dan Permukiman” yang akan dimulai dengan bahasan
pertama mengenai peran infrastruktur, yang kemudian dilanjutkan dengan uraian permasalahan utama
dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur. Bahasan berikutnya adalah mengenai langkah-
langkah menuju reformasi dan restrukturisasi bidang infrastruktur, dan diakhiri dengan bahasan tentang
alternatif sumber pendanaan.
I. PERAN INFRASTRUKTUR
Saya hanya akan membatasi pembahasan kepada pembangunan infrastruktur ekonomi dan
infrastruktur permukiman. Pembangunan permukiman merupakan bidang kerja yang sangat luas
mencakup pembangunan perkotaan, perdesaan, keterkaitan desa–kota dan pengembangan wilayah
pada umumnya. Salah satu komponen dasar dalam pembangunan permukiman adalah pembangunan
prasarana dan sarana permukiman. Sampai sekarang masih ada semacam dikotomi antara
pembangunan perkotaan dan perdesaan. Seharusnya dikotomi semacam ini tidak perlu terjadi karena
pembangunan perdesaan dan perkotaan harus dilandasi oleh konsep yang menyeluruh dan terpadu.
Kita tidak bisa mengelak dari proses urbanisasi baik yang berjalan secara alamiah mengikuti kekuatan
pasar maupun yang terencanakan. Dengan laju pertumbuhan penduduk perkotaan sekitar 4,4 persen
per tahun, pada tahun 2025 sekitar 60 persen penduduk Indonesia atau 167 juta orang akan berada di
wilayah perkotaan. Strategi yang kita perlukan adalah urbanisasi yang terkendali (managed
urbanization), yaitu menghindari penumpukan atau konsentrasi penduduk hanya di beberapa kota
metropolitan dan kota besar saja. Kita harus lebih banyak memberdayakan kota sedang dan kota kecil,
bahkan pusat-pusat pertumbuhan desa. Kita harus menggunakan pendekatan “bring the cities to the
people” bukan “bring the people to the cities”. Dalam hal ini pembangunan infrastruktur akan
mempunyai peran yang sangat penting dan strategik bagi upaya mengurangi kesenjangan kemajuan
antara perkotaan dan perdesaan.
Pengertian infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur yang terdiri dari infrastruktur fisik dan
jasa layanan yang diperoleh darinya untuk memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup
seperti transportasi, telekomunikasi, kelistrikan, dan irigasi. Sedangkan infrastruktur permukinan adalah
infrastruktur yang terdiri dari infrastruktur fisik dan layanan yang diperoleh darinya untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia dan meningkatkan kualitas hidup seperti air bersih dan perumahan.
Peran infrastruktur dalam pembangunan dapat dilihat dari sumbangan terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kontribusinya terhadap peningkatan kualitas hidup. Secara ekonomi makro ketersediaan
dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, Sedang dalam
tingkat ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan
biaya produksi.
Kontribusi infrastruktur terhadap peningkatan kualitas hidup dapat ditunjukkan oleh terciptanya
amenities dalam lingkungan fisik, terjadinya peningkatan kesejahteraan, (peningkatan nilai konsumsi,
peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan
kemakmuran nyata), terwujudnya stabilisasi makro ekonomi (keberlanjutan fiskal, berkembangnya
pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja).
Infrastruktur juga memiliki dua matra, yaitu matra fisik dan matra pelayanan. Seringkali dalam
perencanaan pembangunan infrastruktur kita lebih memberikan prioritas pada matra fisiknya saja,
padahal peran matra jasa pelayanan perlu lebih banyak memperoleh perhatian.
II. PERMASALAHAN UTAMA
Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menuntut reformasi menyeluruh di segala
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
penyediaan, kualitas pelayanan jasa serta efektivitas pengelolaan infrastruktur.
Krisis ekonomi menurunkan kemampuan penyediaan jasa pelayanan sarana dan prasarana,
terutama karena berkurangnya kemampuan pendanaan dalam memenuhi kebutuhan operasi dan
pemeliharaan jaringan sarana dan prasarana fisik yang telah ada. Hal ini dapat dilihat dari kondisi di
masing-masing subsektor infrastruktur berikut ini:
2.1 Irigasi
Sekitar 1,5 juta ha dari 6,7 juta ha jaringan irigasi dalam kondisi rusak ringan dan berat.
Pemerintah hanya mampu menyediakan 40-50 persen biaya operasi dan pemeliharaan. Selain itu,
sekitar 15 ribu – 20 ribu ha per tahun lahan pertanian beririgasi teknis beralih fungsi (konversi) menjadi
lahan non pertanian. Terjadinya degradasi 62 dari 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) secara konsisten
antara lain akibat dari penebangan hutan yang tidak terkendali dari hulu sungai. Kerusakan jaringan
irigasi akan menurunkan kinerja penyediaan air irigasi sehingga dapat menurunkan luas areal tanam
padi, dan bila tidak diantisipasi secara serius akan mengganggu pemenuhan produksi beras nasional.
Kerusakan jaringan irigasi mencapai 22,4 persen dari total jaringan dan 73,4 persen di antaranya berada
di P. Sumatera dan Jawa yang merupakan lumbung padi nasional. Pengaturan peran dan batasan
wewenang pengelolaan sungai antara kabupaten, kota, propinsi, dan pusat masih belum jelas. Belum
tersedianya database irigasi dan sungai per kabupaten/kota hingga saat ini menjadi kendala bagi
perencanaan.
2.2 Jalan
Pada tahun 2000, sepanjang 140 ribu km jalan (atau 48 persen dari 291,5 ribu km) dalam
keadaan rusak ringan dan berat, termasuk jalur urat nadi perekonomian seperti Pantura (Jawa) dan
Lintas Timur Sumatera. Sepanjang 8.798 km jalan nasional dan jalan propinsi berada dalam kondisi rusak
pada tahun 2000. Untuk jalan kabupaten kerusakan mencapai panjang 134.443 km. Biaya pemakai jalan
(social dan economic user costs) diperkirakan mencapai Rp200 triliun, jauh melampaui kemampuan
investasi pemerintah di sektor jalan. Sejak tahun 1993/94, jalan kabupaten tidak pernah berada dalam
keadaan baik dan mantap, rata-rata separuhnya berada dalam kondisi rusak baik ringan maupun berat .
Oleh karena biaya pemeliharaan yang jauh dari mencukupi, maka terjadi backlog maintenance
sehingga pada tahun 2001 panjang jalan nasional dan propinsi yang rusak secara cepat menjadi dua kali
kondisi tahun 2000 (16.740 km) sedangkan panjang jalan kabupaten yang rusak diperkirakan sudah
mencapai sekitar 150.000 km. Selain tidak memadainya dana APBN, beberapa faktor lain menjadi
penyebab, antra lain adalah excessive overloading, rendahnya kualitas konstruksi jalan, bencana alam,
serta belum tumbuhnya kesadaran memelihara aset publik yang berbentuk jalan. Sementara itu
pengaturan desentralisasi fiskal melalui dana alokasi umum (DAU) dalam bentuk block grant ke daerah,
serta dihilangkannya alokasi dana Inpres Jalan Kabupaten, penanganan jalan kabupaten semakin tidak
jelas.
2.3 Perkereta-apian
Perkeretaapian berada dalam kondisi memprihatinkan dari hampir segenap aspek: manajemen,
kapasitas lintas, kondisi lokomotif dan gerbong penumpang, kondisi jalan rel, kurangnya biaya
pemeliharaan, dan operasi, kualitas pelayanan, keselamatan, serta citra perusahaan. Belum efektifnya
koordinasi peran dan fungsi Departemen Perhubungan (regulator), Meneg BUMN (pemilik), Departemen
Keuangan (pembiayaan), dan PT. KAI (operator). Selama 136 tahun, panjang rel tidak bertambah secara
berarti. Penurunan kapasitas lintas dan keandalan sarana dan prasarana mengakibatkan menurunnya
keselamatan kereta api.
2.4 Angkutan Laut dan Armada Pelayaran Nasional
Perusahaan pelayaran nasional tidak mampu bersaing menghadapi perusahan pelayaran asing.
Akibatnya, angkutan laut internasional untuk ekspor impor selama lebih dari 13 tahun belakang ini
secara konsisten dan pasti dikuasai oleh kapal-kapal asing, yaitu sekitar rata-rata 97 persen pangsa pasar
nasional. Demikian pula angkutan laut domestik antar pulau sudah dikuasai oleh kapal-kapal asing
sekitar 50 persen. Defisit transaksi berjalan akibat dominasi kapal-kapal asing dalam angkutan
internasional mencapai sekitar US$ 2-4 miliar per tahun. Agen-agen pelayaran asing menarik biaya
bongkar muat peti kemas dari eksportir dan importir Indonesia dengan menerapkan Terminal Handling
Charges (THC) mencapai US$ 676 juta per tahun, Sementara itu inefisiensi terjadi dalam pengelolaan
jasa kepelabuhanan dalam bentuk pungutan yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
2.5 Kelistrikan
Rasio elektrifikasi masih rendah yaitu sekitar 58 persen pada tahun 2001. Di sisi lain, tidak
adanya investasi baru di bidang perlistrikan (pembangkit baru) mengakibatkan 28 daerah di luar Jawa-
Bali mengalami kritis listrik.. Rasio elektrifikasi desa KBI sebesar 91 persen sedangkan KTI masih 66
persen. Kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik KBI sebesar 92 persen sedangkan KTI masih
sebesar 8 persen. Di KTI belum memungkinkan dibangun sistem interkoneksi yang efisien seperti di KBI
karena tingkat persebaran penduduk yang tidak merata. Kondisi demografi dan pusat beban (sumber
energi) yang tersebar mengharuskan dioperasikannya sistem terpisah (isolated sytem) di KTI, yang pada
akhirnya menyebabkan HPP (harga pokok produksi) di KTI lebih besar dari tarifnya (sementara HPP di
KBI mendekati nilai tarifnya). Komponen biaya PLN sebesar 80 persen dalam ekivalen valas sedangkan
pendapatan dalam rupiah. Selain itu depresiasi Rupiah belum dapat diimbangi dengan kenaikan Tarif
Dasar Listrik (TDL). Krisis listrik Jawa Bali, jika tidak ada pembangkit baru, diperkirakan terjadi pada
tahun 2005 ketika beban puncak sama dengan kapasitas terpasang.
2.6 Telekomunikasi
Saat ini di seluruh Indonesia hanya terdapat 8,8 juta sambungan telepon atau sekitar 3
sambungan per 100 penduduk. Sebanyak 86 persen terletak di KBI. UU Telekomunikasi mengamanatkan
kompetisi penuh penyelenggaraan telekomunikasi namun pelaksanaannya masih sangat lamban. Tidak
ada penambahan jaringan baru untuk fixed lines sejak terjadinya krisis. Duopoly PT Telkom dan PT
Indosat mengusai pasar Full Service Network Providers (FSNP). Oleh karenanya pembangunan prasarana
telekomunikasi domestik saat ini sangat bergantung pada kemampuan Telkom dan Indosat. Belum
adanya kebijakan Universal Service Obligation untuk melaksanakan pembangunan telekomunikasi di
daerah-daerah yang kurang profitable, sehingga pemerataan pembangunan prasarana telekomunikasi
dapat terjamin.
2.7 Energi
Pipa gas transmisi masih sangat kurang dan hanya ada di Kawasan Barat Indonesia (Jawa, Bali,
dan Sumatera). Upaya pemanfaatan energi alternatif seperti gas perlu ditingkatkan karena pemakaian
BBM sebagai energi final masih sekitar 73 persen. Subsidi BBM pada tahun 2001 masih cukup besar,
yaitu sekitar Rp68,3 triliun, walaupun jumlah ini akan terus menurun mencapai nol dalam waktu dekat
ini. Selama 5 tahun terakhir impor minyak mentah mengalami kenaikan rata-rat 10.5 persen per tahun.
Jumlah impor minyak mentah selama tahun 2000 mencapai 80 juta barel.
2.8 Air Bersih
Menurunnya kuantitas dan kualitas air baku. Sistem dan jaringan prasarana dan sarana masih
terbatas. 65 persen PDAM saat ini mempunyai utang sebesar Rp4,46 triliun. 187 PDAM beroperasi di
tingkat kabupaten dan kota melayani sekitar 39 persen total penduduk dengan 4 juta sambungan.
Penentuan tarif lebih ditekankan oleh pertimbangan politik dan sosial. Belum terbentuknya corporate
plan dan masih adanya intervensi pemerintah daerah. Tingkat kebocoran manajemen dan teknis
mencapai rata-rata 35 persen.
2.9 Perumahan
Harga rumah makin mahal dan semakin tidak terjangkau oleh daya beli rakyat, serta semakin
berkurangnya subsidi rumah murah dan terbatasnya ketersediaan kredit perumahan murah dari
pemerintah dan perbankan. Perumahan kumuh di perkotaan meningkat tajam. Akumulasi defisit
mencapai 4,3 juta unit rumah. Anggaran yang diperlukan untuk menutup defisit mencapai Rp675 triliun,
terlalu besar untuk dapat dibiayai oleh APBN ataupun lembaga keuangan.
Selain adanya krisis ekonomi, diperparah pula dengan masih dimonopolinya sebagian besar
pembangunan dan pelayanan infrastruktur oleh pemerintah melalui departemen sektoral dan BUMN.
Hal ini mengakibatkan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur sangat tergantung pada dana
pemerintah yang terbatas. Unsur monopoli tersebut cenderung mengakibatkan inefisiensi pelayanan
(tidak ada kompetisi).
Keterbatasan dana tersebut tambah diperparah lagi dengan adanya kebocoran dalam
penggunaan dana melalui KKN dan tidak adanya transparansi dan akuntabilitas. Pada saat yang sama
terjadi proses demokratisasi yang tidak kurang dahsyatnya, yang pada hakekatnya menuntut
peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kebijakan di segala bidang
kehidupan. Salah satu wujud dari proses demokratisasi tersebut adalah kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah yang mempunyai implikasi besar terhadap pengelolaan infrastruktur di daerah
III. LANGKAH-LANGKAH MENUJU REFORMASI DI BIDANG INFRASTRUKTUR
Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat penyediaan jasa pelayanan sarana
dan prasarana menghadapi tiga dimensi permasalahan. Pertama, pembangunan sarana dan prasarana
tidak mudah karena mencakup penggunaan kapital yang sangat besar, waktu pengembalian modal yang
panjang, penggunaan lahan yang cukup luas, pemanfaatan teknologi tinggi, perencanaan dan
implementasi perlu waktu panjang untuk mencapai skala ekonomi yang tertentu. Di lain pihak
kemampuan ekonomi nasional pada saat ini sangat terbatas, baik dana yang berasal dari pemerintah
maupun swasta. Kedua, pembangunan sarana dan prasarana merupakan prakondisi bagi
berkembangnya kesempatan dan peluang baru di berbagai bidang. Peningkatan jumlah penduduk
mendorong perlunya tambahan pelayanan sarana dan prasarana. Ketiga, menghadapi persaingan global
dan sekaligus memenuhi permintaan masyarakat akan jasa pelayanan sarana dan prasarana
memerlukan restrukturisasi dalam penyelenggaraan usaha pelayanan jasa sarana dan prasarana.
Untuk mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia, pembangunan sarana dan prasarana
beserta jsa pelayanannya dilaksanakan dengan mempertimbangkan kriteria sebagai berikut:
1. menciptakan banyak lapangan kerja, langsung maupun tidak langsung;
2. menunjang pembangunan ekonomi wilayah;
3. menciptakan manfaat ekonomis sebesar-besarnya pada masyarakat di sekitar proyek
infrastruktur; dan
4. layak secara ekonomis dan finansial sehingga menarik investor dalam maupun luar negeri.
Kebijakan pokok yang ditempuh dalam pembangunan infrastruktur adalah:
1. kebijakan mempertahankan tingkat jasa pelayanan infrastruktur;
2. kebijakan melanjutkan restrukturisasi dan reformasi di bidang infrastruktur;
3. kebijakan peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan infrastruktur.
Tujuan kebijakan mempertahankan tingkat jasa pelayanan infrastruktur adalah untuk
mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana dan prasarana yang telah ataupun sedang dibangun
agar tingkat pelayanannya dapat dipertahankan dan ditingkat sesuai dengan kualitas yang memadai,
serta tetap dapat dioperasikan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka menunjang sektor-
sektor produktif. Untuk itu diprioritaskan infrastruktur yang sudah dibangun ataupun sedang dalam
proses pembangunan, diupayakan pemeliharaannya agar nilai ekonomisnya tidak menurun. Sedangkan
untuk peningkatan dan pembangunan infrastruktur diarahkan hanya untuk menunjang pertumbuhan
permintaan jasa pelayanan yang telah melebihi kapasitasnya (bottleneck) dan untuk menunjang ekspor.
Sasaran kebijakan ini adalah:
1. tersedianya pelayanan jasa infrastruktur yang mampu memenuhi kebutuhan minimum dalam
pemulihan ekonomi
2. terjaganya kondisi konstruksi maupun peralatan infrastruktur yang belum selesai pembangunan
konstruksinya atau belum beroperasi dengan sempurna
3. terlaksananya peninjauan ulang atas disain ataupun rencana konstruksi infrastruktur fisik, dan
4. tersedianya data serta informasi bagi landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Upaya untuk mencapai sasaran tersebut dilaksanakan melalui perencanaan rehabilitasi,
pemeliharaan dan menyelesaikan pembangunan infrastruktur dengan mempertimbangkan efektivitas
biaya dan kendala waktu serta faktor lainnya seperti modal, teknologi dan konsumen yang dilayani. Di
samping itu, harus dipertimbangkan kesesuaian dengan peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku, seperti pelaksanaan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat-daerah.
Dalam pemulihan jasa pelayanan infrastruktur ke tingkat keadaan sebelum krisis akan ditempuh
tindakan rehabilitasi dan perbaikan infrastruktur yang dimiliki, berdasarkan pertimbangan keekonomian.
Tindakan ini memberi peluang pemanfaatan secara maksimal serta efisien kapasitas yang ada untuk
jangka waktu yang lebih panjang serta dapat mempertahankan kualitas dan kontinuitas pelayanan
secara optimal.
Prioritas utama akan diarahkan pada langkah-langkah penyediaan jasa infrastruktur yang
mendukung kegiatan produksi dan peningkatan ekspor serta memperluas lapangan kerja dan
kesempatan berusaha, terutama bagi golongan ekonomi lemah di perdesaan, antara lain melalui
perbaikan jaringan irigasi, penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan di perdesaan serta penyediaan
energi. Listrik perdesaan termasuk energi alternatif terbarukan di perdesaan merupakan kegiatan yang
diprioritaskan. Bantuan teknis penyediaan prasarana dalam usaha meningkatkan kemampuan ekonomi
rakyat juga harus dilaksanakan secara nyata.
Tujuan dilakukannya restrukturisasi dan reformasi di bidang infrastruktur adalah menciptakan
iklim yang kondusif bagi investasi maupun usaha di bidang jasa pelayanan infrastruktur serta
menyehatkan dan meningkatkan kinerja sektor dan perusahaan yang bergerak di bidang infrastruktur.
Sasarannya adalah: pertama, pulihnya kelayakan keuangan (financial feasibility). Kedua, terciptanya
kompetisi dan pengaturan dalam pembangunan infrastruktur. Ketiga, meningkatnya efisiensi
pemanfatan dan ketersediaan sumber pendanaan baru sejalan dengan peningkatan peran swasta.
Keempat, meningkatnya transparansi dan efisiensi pemerintah dalam pengelolaan sarana dan prasarana
sejalan dengan berkurangnya peran pemerintah.
Untuk mencapai sasaran kelayakan keuangan, kompetisi, transparansi, dan partisipasi swasta
diperlukan perubahan yang mendasar. Beberapa perubahan telah dimulai, tetapi kecepatannya akan
ditingkatkan, dan ruang lingkup perubahannya diperluas. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran
tersebut, akan dilakukan enam langkah-langkah kegiatan menuju restrukturisasi secara penuh, sebagai
berikut:
1. restrukturisasi industri dan pemecahan sistem (unbundling system);
2. pengembangan hubungan komersial dan memperkenalkan kompetisi;
3. pendekatan baru dalam penetapan tarif berdasarkan mekanisme pasar dan subsidi
4. rasionalisasi dan ekspansi partisipasi swasta;
5. memperjelas peran pemerintah; dan
6. memperkuat fungsi pengaturan;
7. pengembangan kerangka hukum baru.
Secara rinci langkah-langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Memilah sistem infrastruktur kedalam komponen-komponen yang berbeda merupakan tahap
awal dari pengenalan kompetisi pada masing-masing bidang. Selanjutnya, tingkat perlakuan yang sama
dalam berusaha (level playing field) untuk semua pelaku (stakeholders) juga harus diciptakan untuk
dijadikan dasar bagi kompetisi yang adil. Subsidi silang yang secara tradisional membebani konsumen
komersial dan menurunkan kemampuan kompetisi terhadap captive market akan dihilangkan, dan
peraturan kompetisi secara hati-hati akan diterapkan.
Pemecahan aktivitas (unbundling activity) terdiri atas dua jenis, yaitu pemecahan secara
geografis dan fungsional. Pemecahan geografis didasarkan pada keragaman wilayah Indonesia.
Pemecahan secara fungsional didasarkan pada kenyataan usaha jasa pelayanan prasarana terdiri atas
sub-sub usaha. Pemecahan dari aktivitas-aktivitas ini akan memperjelas akuntabilitas dan memberikan
dasar kompetisi.
Selanjutnya, peningkatan kompetisi diperlukan untuk menjamin efisiensi. Kompetisi dapat
menurunkan biaya serendah mungkin melalui efisiensi sehingga memungkinkan pembagian keuntungan
efisiensi antara produsen dan konsumen, mendorong adanya pembagian resiko, dan mengurangi beban
pemerintah untuk merencanakan dan mengatur. Peningkatan kompetisi dilakukan dengan
mengembangkan pasar kompetisi penuh secara langsung atau bertahap.
Sementara itu, untuk mempromosikan transparansi, maka penyediaan infrastruktur dapat
dilaksanakan berdasarkan atas prinsip komersial oleh swasta. Sedangkan, misi sosial termasuk juga misi
strategis tetap ditangani oleh Pemerintah melalui pemberian sistem subsidi (public service obligation-
PSO) dan insentif lainnya secara transparan. Dalam kaitan itu, pemerintah akan menerapkan program
rasionalisasi tarif secara komprehensif. Secara bertahap tarif akan dinaikkan agar dapat mengembalikan
biaya (full cost-recovery), kecuali untuk pemerataan pembangunan dan melindungi masyarakat tidak
mampu, tetap akan diberikan subsidi. Namun demikian subsidi tersebut akan diberikan secara eksplisit
dan transparan. Mekanisme kenaikan tarif akan diberlakukan sehingga merupakan insentif untuk lebih
efisien, dan juga untuk mencegah subsidi yang makin besar di masa datang, serta untuk mendukung
struktur industri yang baru.
Peningkatan partisipasi swasta dilakukan sebagai bagian dari proses restrukturisasi yang
mendalam. Pelaksanaannya tidak boleh mengabaikan kelayakan keuangan dan kelayakan ekonomi,
serta diiringi dengan peningkatan kompetisi dan transparansi. Dalam kaitan itu, khususnya privatisasi
dilakukan dengan tetap memperhatikan dan menjamin:
I. tingkat pelayanan (level of service) tetap terpenuhi,
II. keterjangkauan (affordability) masyarakat dalam mendapatkan pelayanan jasa prasarana,
dan
III. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Selanjutnya, peran dan fungsi pemerintah sebagai pemilik, pembuat kebijakan, pengatur, dan
operator yang saat ini masih bercampur-baur secara bertahap akan dipisahkan untuk mendorong
adanya kejelasan dan transparansi dalam meletakkan bidang infrastruktur pada pijakan yang sehat. Di
masa datang, peran pemerintah akan lebih diarahkan dan diperkuat sebagai pembuat kebijakan,
pengatur dan fasilitator.
Sejalan dengan langkah-langkah tersebut diatas, dilakukan langkah-langkah untuk memperkuat
kerangka hukum dalam pembangunan prasarana. Hal ini untuk mendorong terwujudnya pasar
kompetitif, dan tersedianya prinsip-prinsip dasar penetapan tarif dan pemberian subsidi. Kerangka
hukum tersebut akan diwujudkan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan untuk
mengakomodasi pasar transisi kompetisi parsial dan pasar kompetisi penuh yang merupakan tujuan dari
restrukturisasi dan reformasi.
Tujuan meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana
adalah memperluas jangkauan jasa pelayanan infrastruktur sampai ke daerah-daerah terpencil,
pedalaman dan perbatasan. Perluasan jaringan infrastruktur tersebut diprioritaskan untuk menyediakan
infrastruktur yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, termasuk telekomunikasi,
tenaga listrik dan irigasi.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah
1. melaksanakan usaha perintisan di daerah-daerah terisolasi, terpencil dan kawasan tertinggal;
2. memperluas jangkauan pelayanan infrastruktur ke seluruh lapisan masyarakat; dan
3. memperkuat dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan.
Untuk menunjang tersedianya pelayanan jasa sarana dan prasarana di daerah-daerah terisolasi,
terpencil, dan kawasan tertinggal akan dilakukan intervensi pemerintah melalui upaya-upaya perintisan.
Upaya perintisan tidak semata-mata didasarkan atas pertimbangan kelayakan ekonomi semata, tetapi
merupakan upaya pemerintah dalam membuka isolasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di
daerah-daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya, pemerintah akan menyediakan fasilitas
infrastrukturnya, sedangkan untuk pengoperasiannya akan ditunjang melalui kebijakan subsidi dari
pemerintah. Selanjutnya, seiring dengan meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat akan
dilakukan penghapusan subsidi secara bertahap dan sistimatis, agar harga tarif untuk pelayanan jasa
sarana dan prasarana dapat dilaksanakan secara komersial oleh badan usaha milik negara/daerah,
swasta, koperasi dan masyarakat.
VI. ALTERNATIF SUMBER PENDANAAN
Sebelum krisis ekonomi, kebutuhan investasi di bidang infrastruktur diperkirakan sebesar 6,8
persen dari PDB untuk menunjang pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Pada waktu itu sektor
publik melalui anggaran pembangunan APBN mampu menyediakan sekitar 3,0 sampai 3,4 persen dari
PDB. Berarti kekurangannya harus ditutupi dari sektor swasta. Saat ini kemampuan APBN kita dalam
menyediakan dana untuk infratruktur jauh menurun, hanya sekitar 1-1,2 persen saja dari PDB. Dengan
demikian kita sudah menderita backlog kapasitas infratruktur yang cukup besar untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Apalagi sejak krisis, investasi swasta sama sekali tidak ada, sehingga
dikhawatirkan saat ini backlog tersebut sudah terakumulasi cukup besar. Bahkan bila seluruh belanja
APBN yang sebesar 20 persen dari PDB digunakan sepenuhnya untuk pembangunan infratruktur masih
jauh dari mencukupi.
Oleh karena itu langkah-langkah kebijakan yang disampaikan tadi, khususnya yang memenuhi
kebutuhan restrukturisasi dan reformasi sektor dan korporasi di bidang infratruktur adalah langkah-
langkah yang strategis untuk menciptakan iklim investasi yang menarik dan kondusif bagi meningkatnya
peranserta dunia usaha dan swasta dalam pembangunan infratruktur. Kerangka regulasi atau aturan
main yang jelas akan menciptakan resiko yang lebih rendah bagi swasta, karena ada kepastian dan
kejelasan dalam prosedur dan mekanismenya. Biaya investasi oleh swasta saat ini tinggi karena
resikonya tinggi, terutama yang melibatkan pinjaman jangka panjang. Resiko yang membebani antara
lain dalam hal penyesuaian tarif dan kewajiban menghasilkan kinerja layanan yang ditetapkan dalam
kontrak. Apabila pemerintah tidak dapat memberikan jaminan (guarantee) kemungkinan besar hal ini
akan meningkatkan premium resiko yang lebih tinggi. Premium yang lebih tinggi berarti financial return
yang lebih tinggi agar dapat melaksanakan kewajiban membayar utang dengan baik (debt service). Ini
akan mengakibatkan tarif jasa layanan yang lebih tinggi yang akan memberatkan konsumen. Akibatnya,
sedikit sekali atau hampir tidak ada proyek infratruktur yang secara finansial viable. Kerangka regulasi itu
juga diperlukan untuk memberikan kepastian pemecahan masalah manakala terjadi
perselisihan/pertikaian.
Dengan demikian untuk dapat menciptakan iklim investasi yang menarik
berbagai upaya reformasi dan restrukturisasi sektor dan korporasi di bidang
infratruktur mutlak perlu dilakukan. Dengan kerangka regulasi yang kredibel serta
didukung oleh kebijakan makroekonomi yang stabil, kita harapkan:
1. terjadinya peningkatan investasi di bidang infratruktur melalui peranserta dunia usaha dan
swasta yang lebih besar;
2. menurunnya biaya bagi investasi tersebut;
3. terwujudnya jasa pelayanan infrastruktur yang lebih banyak dan meningkatnya manfaat
ekonomi; serta
4. menurunnya biaya dalam pembiayaan investasi (financing investment).
Berbagai alternatif pembiayaan dapat diperoleh dengan melakukan langkah-langkah antara lain
privatisasi, kemitraan pemerintah dan swasta, investasi swasta dalam negeri, foreign direct investment,
penerbitan obligasi (seperti municipal bond), restrukturisasi pembiayaan proyek, rekayasa finansial,
penggalangan dana melalui tabungan dalam negeri dan pensiunan dan sebagainya.
Dengan sendirinya apabila iklim investasi yang kondusif ini tercipta, maka diharapkan fungsi
intermediasi perbankan dalam memberikan kredit bagi dunia usaha dan swasta untuk investasi di
bidang infratruktur dapat pulih kembali. Namun seperti kita ketahui, semenjak krisis ekonomi kita
mengalami krisis terparah di sektor keuangan dan perbankan. Sementara itu kemampuan pembiayaan
pembangunan infrastruktur makin terbatas dari sektor publik oleh karena besarnya utang luar negeri
dan dalam negeri (obligasi) pemerintah. Utang dalam negeri (obligasi) per Juli 2002 adalah Rp707.5
triliun, utang luar negeri per Desember 2001 adalah US$ 73,6 miliar (sekitar Rp662,5 triliun dengan
Rp9.000/US$). Jumlah utang sekitar Rp1.370 triliun (belum termasuk bunga), atau sekitar 80 persen dari
PDB tahun 2002 yang sebesar Rp1.716,5 triliun, dapat mengancam kesinambungan fiskal dan menguras
keuangan pemerintah di masa depan. Akibatnya, APBN sangat sulit diharapkan untuk membiayai secara
memadai pemeliharaan dan rehabilitasi infrastruktur seperti jalan, kereta api, serta pengairan dan
irigasi, apalagi pembangunan baru.
Surat utang pemerintah yang diterbitkan untuk merekapitulasi bank-bank yang rusak kita kenal
dengan sebutan Obligasi Rekap (OR). Jumlahnya sebesar Rp430 triliun. Kalau setiap lembar OR dibayar
tepat pada tanggal jatuh temponya, bunga yang harus dibayar seluruhnya berjumlah Rp600 triliun.
Dengan demikian jumlah kewajiban pembayaran oleh pemerintah yang berhubungan dengan OR
seluruhnya menjadi Rp1.030 triliun
Tetapi kalau ada obligasi yang pada tanggal jatuh temponya tidak dapat dibayar karena
pemerintah tidak mempunyai uang tunai, pembayaran OR yang jatuh tempo dapat dijadwalkan. Artinya
pembayarannya ditangguhkan atau diundur. Dalam hal seperti ini, jumlah pokok tidak jadi dibayar
sekarang, tetapi bunganya berjalan terus. Maka kewajiban pembayaran bunganya akan membengkak
melebihi Rp600 triliun, sehingga seluruh kewajiban pembayaran jumlah pokok dan bunga OR juga akan
melebihi jumlah sekitar Rp1000 triliun.
Membengkaknya menjadi beberapa? Tergantung berapa besar dari jumlah pokok jatuh tempo
yang tidak dibayar tepat waktu (karena tidak mempunyai uang tunai), dan harus ditunda
pembayarannya dengan berapa lama. Karena itu jumlah keseluruhan kewajiban pembayaran OR beserta
bunganya bervariasi antara Rp1.000 triliun dan Rp7.000 triliun. Jumlah kewajiban seluruhnya menjadi
Rp7.000 triliun kalau setiap obligasi yang jatuh tempo pembayarannya ditunda dengan satu termin
(tenor) saja.
Kesemuanya ini adalah hasil perhitungan dari Divisi Perencanaan dan Sekretariat dari BPPN,
yang melakukan perhitungan tentang dampak dari perlindungan nilai obligasi terhadap inflasi (hedge
bond). Skenario terburuk (semua obligasi dijadwalkan dengan satu termin) menghasilkan jumlah
kewajiban membayar OR beserta bunga dan jaminan terhadap inflasi membengkak menjadi Rp14.000
triliun. Kalau kita mengambil nilai rupiah terhadap dollar adalah Rp10.000 per dollar AS, ini setara
dengan 1,4 triliun US dollar.
Kalau tidak ada rencana atau pikiran sedikitpun dari pemerintah untuk mengambil tindakan
drastis yang kreatif, inovatif dan tidak konvensional, skenario yang paling ringan tetapi realistis tidak
dapat kurang dari Rp3.000 triliun. Jelas sekali bahwa keuangan pemerintah tidak akan
berkesinambungan. IMF dan Tim Ekonomi Pemerintah berpendapat bahwa semuanya memang harus
dibayar tanpa boleh mengembangkan upaya untuk menarik OR dari bank (yang dimiliki oleh
pemerintah) sebelum dijual kepada swasta.
Buktinya sudah ada, yaitu penjualan BCA. Lama sebelum BCA dijual sudah diketahui bahwa BCA
sudah menunjukkan laba di laporan keuangan per 31 Desember 2001 (belum diaudit) sebesar Rp3
triliun. CAR mencapai angka 32,6 persen sedangkan yang disyaratkan adalah 8 persen. Kalau memang
ada kemauan baik untuk menarik OR, CAR bisa diturunkan sampai 8 persen. Kalau CAR diturunkan
sampai menjadi 8 persen, modal sendiri bisa diturunkan dengan jumlah Rp4,8 triliun. Jadi Modal Sendiri
bisa didebet dengan Rp4,8 triliun, dan sebagai pembukuan lawannya, yang dikredit adalah pos OR.
Dengan demikian dalam pembukuan, OR musnah dengan Rp4,8 triliun, sehingga OR-nya secara fisik
dapat diserahkan kembali kepada pemerintah. Toh ini tidak dilakukan. Bahkan IMF memaksakan OR
tidak boleh ditarik kembali sebelum bank rekap dijual. Dalam hal BCA, OR yang melekat padanya
sejumlah Rp60 triliun ikut terjual kepada swasta (Farralon). Dengan demikian tagihan kepada
pemerintah dalam bentuk OR beralih kepada swasta, sehingga pada tanggal jatuh temponya harus
dibayar. Transaksi tidak dapat dimengerti oleh bagian terbesar dari manusia yang berpikir. Kalau
transaksi kita anggap mencakup 100 persen dari BCA (untuk mempertajam kekonyolannya), maka orang
membeli BCA dari pemerintah dengan harga Rp10 triliun. Dia mendapat BCA yang mempunyai tagihan
kepada pemerintah sebesar Rp60 triliun. Selama pemerintah belum dapat membayar utangnya ini, BCA
menerima pembayaran bunga saja lebih dari Rp10 triliun per tahun.
Dalam rencananya sampai saat ini, Bank Niaga, Bank Danamon, dan semua bank rekap akan
dijual dengan pola seperti BCA. Karena itu, tagihan kepada pemerintah berupa OR dengan jumlah total
sebesar Rp430 triliun plus bunga Rp600 triliun akan menjadi kenyataan. Juga akan menjadi kenyataan
bahwa jumlah ini akan membengkak, karena juga telah terbukti bahwa sudah masuk dalam rencana
pemerintah untuk menunda pembayaran jumlah pokok dari OR yang jatuh tempo (lihat RABPN 2003).
Lebih parah lagi, pemerintah telah memutuskan dan telah diumumkan akan menciptakan pasar
sekunder. Artinya, OR itu akan dijual kepada masyarakat melalui Bursa Efek Jakarta. Dengan demikian,
OR itu akan beralih kepada para anggota masyarakat yang banyak sekali diantaranya orang awam dalam
liku-liku keuangan seperti ibu-ibu rumah tangga. Ini akan lebih gawat lagi, karena kalau mereka nanti
menagih jumlah OR yang dipegangnya pada tanggal jatuh temponya dan pemerintah tidak punyai uang,
akan terjadi keonaran seperti di Argentina. Menteri Keuangan dan IMF telah menyatakan bahwa OR
beserta bunganya memang harus dibayar betulan. Maka kalau demikian sikap Tim Ekonomi dan IMF
sampai saat ini, jelas bahwa fiskal atau APBN kita tidak sustainable.
Lepas daripada urusan fiskal, apa yang dibela sampai pemerintah harus bersedia membayar
ribuan triliun rupiah bank-bank rekap? Kita bandingkan dengan sempitnya kondisi keuangan kita untuk
hal-hal yang lebih mendesak untuk kepentingan manusia Indonesia, terutama bagian terbesar dari
rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Selain itu telah pula dikorbankan infrastruktur
yang sudah hancur dan tidak ada dananya, TNI/Polri yang sudah porak poranda persenjataan maupun
pendapatannya, kaum pengungsi yang terpaksa dibiarkan karena tiada dananya. Setiap tahun APBN
defisit. Kita harus berutang untuk tetap dapat menjalankan roda pemerintahan. Tetapi untuk tahun
2003, jumlah pokok OR yang jatuh tempo sekitar Rp27 triliun dan bunga yang yang jatuh tempo sekitar
Rp55 triliun. Bagaimana menggarapnya ke dalam APBN tahun 2003 penuh dengan liku-liku yang sulit
dipahami orang awam.
Pertanyaan terbesar adalah bagaimana memecahkannya? Ini urusan pemerintah yang harus
melakukan apa saja, karena yang dihadapi bukan urusan kecil, tetapi urusan “hidup atau matinya”
keuangan negara. Cara memecahkannya banyak sekali, kalau kita mau berpikir secara kreatif, inovatif
dan mengambil langkah-langkah yang tidak konvensional.
Saudara civitas academica Fakultas Teknis Sipil dan Perencanaan dan hadirin yang budiman,
demikianlah paparan yang kami sampaikan tentang pembiayaan pembangunan infrastruktur dan
permukiman, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat dikaji lebih lanjut berbagai isu yang belum
terjawab dengan memuaskan sampai saat ini termasuk upaya-upaya untuk mencari sumber-sumber
pendanaan bagi pembangunan infrastruktur.
Atas perhatian dan kesabarannya kami ucapkan terima kasih...
Bandung, 20 September 2002
Meneg PPN/Kepala Bappenas,
ttd
Kwik Kian Gie