yogya dan ingatan-ingatan kita tentangnya · 2020. 1. 8. · seni budaya yogyakarta matajendela,...

23
VOLUME XIV NOMOR 4 2019 YOGYA DAN INGATAN-INGATAN KITA TENTANGNYA SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Upload: others

Post on 06-Aug-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

VOLUME XIV NOMOR 4 2019

YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitAtEntAnGnYA

SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Page 2: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

SENI BUDAYA YOGYAKARTA

MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali.Redaksi menerima tulisan dari penulis, kritikus, dan pemerhati seni budaya.

Pen

gend

ara

sepe

da m

otor

, yan

g ki

an

bany

ak ju

mla

hnya

di Y

ogya

, mel

inta

s be

rgeg

as

di p

erem

pata

n W

irosa

ban.

Dok

umen

tasi

: An

Ism

anto

.TI

M M

ATA

JEN

DE

LAV

OLU

ME

XIV

N

OM

OR

4

20

19

Diterbitkan oleh Taman Budaya YogyakartaJl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123Telp. (0274) 523512, 561914 Fax. (0274) 580771

Diproduksi di YogyakartaKertas Sampul: Aster, Kertas Isi: Matte PaperHuruf: Avara, Alte Haas Grotesk, Helvetica Neue, Teen

Yogya dan Ingatan-Ingatan Kita Tentangnya Lisistrata Lusandiana

Festival Rasa Tempo Doeloe Anne Shakka

Godaan Untuk Kembali “Nyetadion” Hanz Salvatore

Ruang Memori Bernama Fotografi Daru Tunggul Aji

MUSEUM WAYANG UKUR: Telusur Pertanyaan yang Tak Pernah Usai

Aik Vela P.

Suara Dengarkanlah Aku: Yogyakarta dan Bangunan Bebunyian di Dalamnya

Irfan Darajat

Jogjakarta, Kota Nostalgis? Febrian Adinata Hasibuan

EDITORIAL

JENDELA

LINTAS

2

6

12

18

26

30

36

Penanggung Jawab UmumAris Eko Nugroho, S.P., M.Si.

Penanggung Jawab TeknisDrs. Diah Tutuko Suryandaru

EditorDra. SiswatiLawung Panji Sadewa

LayouterMaria Inarita Uthe

SekretariatTrimuryaniWagiyantoSuprayitno Rudi S.BejaBayu Adi WijayaJoko Purwanto

RedakturSatmoko Budi SantosoStanislaus YangniLatief S. NugrahaLisistrata LusandianaAn Ismanto

[email protected]

Page 3: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

5

matajendela

4

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Yogya dan ingatan-ingatan Kita tentangnya

Ketika Mata Jendela edisi ini disusun, kondisi negeri ini membuat hati kita semakin hancur. Berbagai produk legislasi yang dihasilkan oleh DPR di

penghujung masa kerjanya menuai kritik dan mendorong demonstrasi besar-besaran, tidak terkecuali di kota Jogja. Melalui ajakan turun ke jalan #GejayanMemanggil, mobilisasi massa besar-besaran terjadi. Sebagai alumni kampus Sanata Dharma, hati saya langsung berdebar ketika membaca #GejayanMemanggil.

Gejayan begitu lekat dengan jalan Moses Gatotkaca yang berada tepat di sebelah kampus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Hampir setiap hari semasa kuliah, jalan tersebut selalu kami susuri untuk sekadar beli makanan, fotokopi, cetak foto, dan lain-lain. Dari situ, secara tidak langsung ingatan kita dibangun sedikit demi sedikit untuk lekat dengan Peristiwa Gejayan, yang terjadi pada 8 Mei 1998, saat kekerasan aparat menyebabkan ratusan korban luka dan satu orang meninggal dunia, yakni Moses Gatotkaca. Meskipun tidak ingat detail peristiwanya, setidaknya kita ingat bahwa pernah ada darah yang tumpah karena kekerasan aparat di atas tanah Gejayan dan ada perjuangan yang harus dilanjutkan.

Bagaimana ingatan kolektif itu dipupuk melalui hal-hal

yang sifatnya sangat keseharian di level sadar maupun tak sadar tampak dari gambaran di atas. Bagaimana penamaan jalan, salah satunya, telah menjadi instrumen yang memupuk ingatan bersama kita akan sebuah perjuangan, tanpa semen maupun bangunan. Cukup penamaan.

Di sudut lain dari kota ini, terdapat berbagai macam ingatan yang terus hidup dengan beragam daya dan kepentingan. Kehadirannya juga ditopang oleh berbagai macam instrumen yang beraneka ragam, mulai dari instrumen fisik berupa bangunan monumental, museum, patung atau instalasi di ruang publik, lagu, perayaan, dan festival hingga melalui mitos maupun cerita-cerita yang dipercaya sekaligus tidak. Banyak hal yang tidak jarang terkesan remeh hadir di sekitar kita, yang sesungguhnya memiliki daya dalam membangun ingatan yang bekerja untuk beragam kekuasaan yang hidup di kota ini. Jika kita berangkat dari makna yang sedemikian luas, bisa dikatakan bahwa sesungguhnya monumen kita tidak hanya berupa institusi dan bangunan fisik, tetapi juga dalam beragam bentuk yang berceceran di mana-mana.

Pada salah satu edisi sebelumnya, dengan judul Monumen dan Monumentalisasi, Mata Jendela juga telah memuat berbagai ulasan yang menggarisbawahi upaya

monumentalisasi, yang tidak hanya berlangsung di kota Jogja, utamanya menyoroti institusinya. Di edisi ini, kami lebih menitikberatkan pada upaya monumentalisasi atau proses konstruksi ingatan, baik melalui materialitasnya maupun melalui cara kerja dan wacana yang hidup di sekitarnya.

Jika kita dudukkan di atas konteks sosial kota Jogja, kiranya relevan untuk mengaitkannya dengan berbagai kecenderungan yang belakangan menentukan arah kota ini, mulai dari rencana pusat atau pemerintah hingga tren bisnis yang mengikutinya, dari pembangunan bandara yang dipaksakan hingga kemunculan banyak penginapan dan hotel. Kecenderungan ini juga dibarengi dengan pertumbuhan festival maupun beragam event kebudayaan yang tidak kalah membuat Jogja semakin terlihat ramai dari luar, yang menunjukkan daya pikatnya sebagai Kota Wisata Budaya. Di tengah situasi demikian, kali ini kami menyoroti berbagai instrumen pembangun ingatan kolektif beserta cara kerjanya, yang terutama dari ranah kultural dan dengan mekanisme yang juga sangat keseharian hingga masuk dalam sistem ketidaksadaran kolektif.

Pada saat yang sama, institusi GLAM (Gallery, Library, Archive, Museum) juga masih banyak dibicarakan di

berbagai forum, terutama antar pegiat maupun penelitinya. Mengevaluasi peran sosial dari institusi di atas tentu saja masih penting, meskipun persoalannya sering kali terbentur pada birokrasi (jika yang kita bicarakan adalah institusi pemerintah), juga benturan ekonomi (jika yang kita bicarakan adalah institusi swasta). Rasanya cukup melelahkan jika semangat kita untuk menggali dan membangun politik kebudayaan sering dibenturkan dengan kerumitan birokrasi dan ekonomi.

Dengan latar belakang tersebut, Mata Jendela edisi kali ini lebih banyak mengambil berbagai fenomena keseharian sebagai titik pijak serta ruang pembentukan memori yang tidak terbatas pada bangunan dan institusi. Meskipun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata dengan keberadaan festival yang secara kuantitas semakin marak hadir di sekitar kita, baik di wilayah kota maupun kabupaten di DIY. Kehadirannya tentu saja akan banyak mengubah wajah kota Jogja ini, baik ke dalam maupun ke luar. Bagaimana Jogja dilihat dan melihat dirinya sendiri tentu saja tidak bisa dilepaskan dari fenomena festivalisasi ini. Untuk itu, di edisi ini kami juga tidak melewatkan hal tersebut.

Memori sebagai Ruang Kontestasi

OLEH LISISTRATA LUSANDIANA

EDITORIAL Yogya dan Ingatan-Ingatan Kita Tentangnya

“Bagaimana ingatan kolektif itu dipupuk melalui hal-

hal yang sifatnya sangat keseharian di level sadar

maupun tak sadar tampak dari gambaran di samping.

Bagaimana penamaan jalan, salah satunya, telah

menjadi instrumen yang memupuk ingatan bersama

kita akan sebuah perjuangan, tanpa semen maupun

bangunan. Cukup penamaan.”

5

Page 4: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

7

matajendela

6

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Seperti yang telah saya uraikan di paragraf sebelumnya, hubungan kita (masyarakat) dan kota banyak diperantarai oleh berbagai hal, salah satunya adalah ingatan. Ingatan merupakan penghubung sekaligus pembuat jarak, pengatur kohesi sosial serta disintegrasi kelompok masyarakat. Di titik ini, kita sekali lagi diingatkan bahwa ingatan memiliki watak yang politis.

Dari salah satu esai yang membahas perihal suara yang umum kita dengar sebagai warga Jogja, Irfan Darajat menggarisbawahi betapa suara merupakan instrumen yang membangun ingatan kita tentang Jogja, dengan segala ragam kepentingan yang ada di dalamnya. Suara apa dan bagaimana ia dijadikan sebagai alat politik, pada suara apa kita merasa tidak happy, hingga suara apa yang sesungguhnya kita perjuangkan menjadi rangkuman

pertanyaan yang pada akhirnya akan tetap menggelitik kita untuk lebih peka pada segala macam suara yang ada di sekitar kita.

Dari sudut ingatan yang lain, kita juga menemukan romantisme kota Jogja yang banyak diulang-ulang oleh lagu Katon Bagaskara maupun iklan pariwisata, yang melekatkan Jogja pada kata “rindu”. Kerinduan yang hadir kali ini bukan dipantik oleh makanan atau suasana di tengah kota dan suasana wisata, melainkan oleh hasrat untuk menjadi bagian dari kerumunan suporter sepak bola. Fenomena ini memang sangat romantis, tetapi secara de facto ia hadir dan menjawab ketakutan sebagian dari masyarakat kita tentang fundamentalisme agama yang juga mampu menjadi penggerak kerumunan.

Masih terkait dengan romantisme

yang hadir di kota ini, dengan seperangkat atribut modern dan urban, yang dilihat dari lintasan perjalanan hadirnya fotografi, ditelisik oleh Daru Aji. Daru mengulik soal fotografi yang tidak semata mengabadikan kejadian atau lanskap kota sesungguhnya, atau soal membekukan kenyataan, tetapi juga bagaimana fotografi di Jogja berada dalam hubungan kausalitas yang turut membentuk modernitas.

Selain kerinduan, kata “nostalgia” juga cukup melekat pada kota Jogja. Hal ini tampak jelas dari tulisan tentang festival makanan atau jajanan lawas yang kental dengan nuansa nostalgia. Sementara tulisan lain, yang mengulas buku Mata Air, Air Mata Kota juga mendekatkan kota Jogja dengan kata “nostalgia”, meskipun kali ini ulasan buku tersebut justru mempertanyakannya. Selain makanan, tentu kita juga

Lisistrata LusandianaRedaksi Mata Jendela

bisa menambah daftar jumlah festival yang mengolah kerinduan dan nostalgia akan masa lalu. Hal ini bisa kita anggap wajar, tetapi juga bisa jadi sebuah gejala sosial yang menunjukkan ketidakbahagiaan kolektif atas arah perubahan kota yang semakin menggeser pemaknaan kita akan ruang dan waktu.

Sebagai kota sejuta nuansa, rasanya tidak adil jika kita tidak menyuguhkan sebuah inisiatif yang menjadi denyut nadi dinamika budaya Jogja, yakni inisiatif sekelompok seniman untuk membangun Museum Wayang Ukur Sigit Sukasman. Inisiatif semacam ini tentu saja menarik untuk kita beri perhatian, mengingat dinamika seni budaya kota Jogja banyak ditentukan oleh bermacam inisiatif dari bawah seperti ini, mulai dari ranah seni kontemporer hingga seni tradisi. Kehadiran inisiatif semacam ini tidak hanya mampu menjadi peringatan keras bagi instansi pemerintah terkait permuseuman, tetapi juga menjaga gerak kebudayaan di tingkat bawah.

Apa yang kami coba hadirkan di edisi kali ini ialah rentang wacana yang muncul dari ranah perayaan hingga ranah keseharian, dari level institusi hingga individu. Tujuannya tidak untuk memberi jawaban final atas berbagai problem tentang museum kita yang

hampir pasti berjarak dengan publiknya, namun justru menebalkan pertanyaan kita akan relevansi kehadiran museum di negara bekas jajahan seperti Indonesia, serta membuka sensitivitas sosial kita pada berbagai hal keseharian yang justru berperan efektif membangun ingatan kolektif kita.

Hal-hal keseharian yang memiliki daya untuk membangun ingatan tersebut juga tidak bisa lepas dari watak politiknya, meskipun, di sisi lain, mengerikan memang untuk mengetahui bahwa setiap jengkal aspek dalam hidup kita adalah ruang pertarungan. Tidak ada yang netral, segala hal politis, semua memiliki motif dan kepentingan di level yang bahkan paling intim dan personal. Berbagai kepentingan itu pun juga tidak jarang tumpang tindih atau kadang mengadakan dan meniadakan. Namun, justru di situlah barangkali letak seni.

EDITORIAL LISISTRATA LUSANDIANA

76

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Yogya dan Ingatan-Ingatan Kita Tentangnya

“Seperti yang telah saya uraikan di paragraf

sebelumnya, hubungan kita (masyarakat) dan

kota banyak diperantarai oleh berbagai hal, salah

satunya adalah ingatan. Ingatan merupakan

penghubung sekaligus pembuat jarak, pengatur

kohesi sosial serta disintegrasi kelompok

masyarakat. Di titik ini, kita sekali lagi diingatkan

bahwa ingatan memiliki watak yang politis.”

“Hal-hal keseharian yang memiliki daya untuk membangun

ingatan tersebut juga tidak bisa lepas dari watak politiknya,

meskipun, di sisi lain, mengerikan memang untuk mengetahui

bahwa setiap jengkal aspek dalam hidup kita adalah ruang

pertarungan. Tidak ada yang netral, segala hal politis, semua

memiliki motif dan kepentingan di level yang bahkan paling

intim dan personal. Berbagai kepentingan itu pun juga

tidak jarang tumpang tindih atau kadang mengadakan dan

meniadakan. Namun, justru di situlah barangkali letak seni. ”

Page 5: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

9

matajendela Festival Rasa Tempo Doeloe

8

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA ANNE SHAKKA

Festival Rasa tempo doeloe

Di persimpangan langkahku terhenti Ramai kaki lima Menjajakan sajian khas berselera Orang duduk bersila (Yogyakarta-Kla Project)

Yogyakarta yang Dikenang

Yogyakarta lekat dengan imaji sebagai kota yang berisi angkringan atau rumah makan lesehan tempat orang-orang duduk bersama dengan mengobrol

satu sama lain dengan akrabnya. Imaji lebih jauh yang bisa kita bayangkan adalah orang-orang yang mengobrol tersebut menggunakan surjan lurik dan blangkon, atau kebaya kutu baru untuk para perempuannya sebagaimana yang sering kita lihat dalam sinetron dengan latar belakang Yogyakarta—imaji yang juga berusaha diwujudnyatakan dalam festival kuliner tahunan Pasar Kangen.

Tanggal 12 sampai dengan 20 Juli 2019 lalu, untuk ke-12 kalinya gelaran Pasar Kangen diadakan di Taman Budaya Yogyakarta1. Pasar Kangen adalah festival yang menjual berbagai produk kuliner tradisional atau yang diistilahkan sebagai “jajanan tempo dulu”. Para pedagang diseleksi dengan ketat, dari varian dagangan yang diperjualbelikan sampai dengan asal bahan dan metode pembuatannya. Harus yang lokal dan tradisional. Tidak terkecuali juga

dekorasi dan penampilan dari pedagangnya yang diharuskan berpenampilan tradisional. Hal ini kemudian diwujudkan dengan gubuk yang beratapkan daun kelapa dan dihiasi dengan tampah berwarna-warni, termasuk juga aturan bagi para pedagangnya yang diharuskan hadir dengan busana yang setema, yaitu lurik atau kebaya.

Di Pasar Kangen kemarin memang ada banyak penganan tradisional yang bisa kita temukan. Dari yang bisa kita temukan di banyak tempat seperti nasi pecel, apem, nasi angkringan, jamu, sate kere, sampai dengan makanan yang jarang saya temui sehari-hari di Yogyakarta, seperti walang, tolpit, rambut nenek, dan berbagai macam penganan lainnya.

Pasar Kangen adalah satu dari banyak perayaan makanan di Yogyakarta. Ada festival jajanan kekunoan beberapa tahun yang lalu yang dihelat di JEC2, Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta yang juga diadakan setiap tahun setelah Imlek, Festival Kesenian Yogyakarta, dan ada juga festival kuliner lain seperti yang disponsori oleh salah satu produk kecap nasional. Menariknya, semua festival yang diadakan di Yogyakarta ini selalu ramai dipadati pengunjung dan menjadi agenda wajib yang harus dikunjungi setiap tahunnya.

Tradisi kuliner sendiri memang menjadi bagian dari perayaan dalam masyarakat Jawa, juga di Yogyakarta. Terdapat makanan-makanan khusus yang memang

OLEH ANNE SHAKKA

dimasak untuk menandai peristiwa tertentu, baik peristiwa yang bertema perayaan umum seperti Suran (memperingati tahun baru Jawa), Grebeg Maulud, Sekaten, Nyadran, maupun yang bersifat menandai peristiwa hidup seseorang seperti Tedak Siten, Mitoni, atau upacara pernikahan. Dalam setiap acara tersebut, terdapat makanan khususnya masing-masing seperti Bubur Sura, Sega Wiwit, atau Tumpeng. Beberapa jenis makanan lain seperti jajanan pasar digunakan untuk kepentingan ritual atau sesaji. Biasanya sesaji tersebut berisi jajan pasar yang disertai dengan kembang sunduk3, sirih pinang atau suruh ayu, dan seperangkat pisang raja dan pisang raja pulut4.

Yogyakarta dalam perkembangannya sebagai melting pot yang berisi warga dari banyak daerah, terutama mahasiswa, memungkinkan tumbuhnya berbagai makanan dari berbagai daerah di Indonesia maupun dunia. Yogyakarta menjadi kosmopolitan dengan berkembangnya sedemikian banyak produk kuliner internasional yang tumbuh dan menjamur. Bisa jadi, sekarang lebih mudah untuk menemukan french fries daripada geblek, tteokbokki daripada grontol jagung. Tren makanan berputar dengan begitu cepat, baik yang datang maupun yang tiba-tiba hilang.

Bisa kita ingat beberapa tahun yang lalu ada tren es krim pot yang kemudian disusul dengan menjamurnya para pedagang yang menjual es krim seperti pot bunga lengkap dengan serbuk coklat menyerupai tanah, cacing jeli, dan bunga plastik. Kemudian berturut-turut juga banyak yang menjual es kepal milo, indomie donat, thai tea, dan yang terbaru adalah boba, minuman yang disajikan dengan bola-bola tapioka. Tren seperti ini akan dengan mudah kita lihat dalam festival-festival di mana stand yang ada akan didominasi penganan kekinian tersebut, sebagaimana juga Pasar Kangen beberapa tahun yang lalu sebelum pemilihan dagangannya menjadi lebih selektif dan mengkhususkan diri pada makanan lokal.

1 https://www.tagar.id/pasar-kangen-jogja-hadirkan-kuliner-tempo-dulu

2 http://wartawirausaha.com/2015/10/wirausaha-kuliner-tempo-dulu-di-festival-jajanan-kekunoan/#axzz60M5CdTrF

3 Satu bungkus bunga tabur mawar, melati, kenanga, dan kantil yang dibungkus dan disemat dengan disisakan tangkainya yang memanjang kemudian sisa tangkai tersebut diberi beberapa jenis makanan manis yang dirangkaikan (Gardjito, 2016, hlm. 80)

4 Murdijati Gardjito, dkk. (2016) Kuliner Yogyakarta Pantas Dikenang Sepanjang Masa.

5 Massimo Montanari, Food is Culture (2004:67)

6 Massimo Montanari, Food is Culture (2004:68)

7 Massimo Montanari, Food is Culture (2004:61)

Gambar 1. Festival Makanan Tempo Doeloe. Dokumentasi oleh Taman Budaya Yogyakarta

Festival Rasa Tempo Doeloe

9

Page 6: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

11

matajendela Festival Rasa Tempo Doeloe

10

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA ANNE SHAKKA

Makanan lokal atau yang dianggap autentik di suatu daerah sebenarnya juga menjadi tren baru yang tidak hanya berkembang di Yogyakarta, melainkan juga di Eropa5. Makanan yang dianggap sebagai makanan lokal dan bersejarah menjadi menu yang banyak dicari, terutama oleh para turis yang datang ke suatu kota. Pun di Yogyakarta, tempat gudeg dan bakpia diburu oleh para pelancong yang mengunjunginya.

Apakah keberadaan dari makanan yang mendaku diri autentik atau tempo dulu ini apakah memang benar demikian? Saat ini, ketika bahan-bahan makanan yang ada berbeda dari apa yang biasa ditemui beberapa puluh tahun yang lalu, orang yang membuatnya berbeda, dan bagaimana pengenalan kita akan rasa juga sudah berubah.6 Lalu, apakah yang membuat makanan tempo dulu menjadi sesuatu yang saat ini diburu dan dirayakan dalam festival?

Pembangunan suasana tempo dulu dan penguatan identitas keyogyakartaan juga menjadi sesuatu yang diselenggarakan jika tidak mau dikatakan dirayakan oleh para pembuatnya. Warga Yogyakarta sendiri bisa merasakan bagaimana menjadi Yogyakarta pada masa lalu dengan makan walang atau jajan mie pentil. Hal yang sama juga ditawarkan kepada para pendatang yang tidak memiliki kenangan masa lalu tentang Yogyakarta, atau bagi para turis. Mereka mendapatkan janji untuk merasakan menjadi penghuni Keraton dengan merasakan makanan kesukaan Raja, merasakan menjadi Yogya yang autentik sebelum masuknya makanan waralaba Amerika atau Indomie, yang bisa jadi menyiratkan bahwa Yogya itu tidak pernah ada.

Indonesia, dengan sejarah yang panjang sebagai penghasil berbagai rempah-rempah dengan garis laut yang luas, sudah sejak lama menjadi kosmopolitan dengan banyaknya pertemuan manusia dari berbagai belahan dunia. Salah dua yang menjadi pengaruh

dominan dalam budaya kuliner kita saat ini tentu saja Tiongkok dan Eropa—Belanda khususnya. Mari sebut saja bakpia, bakmi, dan kecap, yang merupakan pengaruh kuliner yang datang dari Tiongkok. Di sisi lain, budaya makan menggunakan sendok dan garpu, atau makanan Yogyakarta yang mencerminkan makanan Keraton, Sangga Buwana—kue sus yang berisi ragut, telur rebus, dan disajikan dengan mayones—jelas merupakan makanan hasil percampuran dengan budaya Belanda pada masa kolonial.

Makanan menjadi bagian yang dibentuk dan membentuk budaya kita sehari-hari, bukan lagi sekadar menjadi sarana untuk membikin kenyang dan bertahan hidup saja. Saat ini, menjadi sangat mudah mendapatkan makanan atau bahan makanan yang berasal dari berbagai daerah dengan berbagai gaya yang bisa dinikmati. Lidah kita berlatih untuk merasakan makanan dalam berbagai varian bentuk dan rasa yang tidak bisa dialami generasi sebelum kita. Makanan menjadi cara kita untuk

Menjadi Yogyakarta dalam Rasa

Makanan tidak hanya melulu soal enak atau tidak enak. Rasa adalah hal yang juga kita kenali bukan dari lidah, melainkan dari otak kita yang kita pelajari dari budaya maupun sejarah diri yang terkait dengan ruang dan waktu.7 Gudeg yang manis dan terasa enak untuk orang Yogyakarta bisa jadi tidak demikian ketika dimakan oleh orang dari daerah lain yang terbiasa makan nasi dengan rasa lauk yang asin. Makanan tempo dulu banyak dipilih untuk membuat orang yang menikmatinya merasa terkenang dengan apa yang pernah dirasakan pada masa kecilnya dengan segala asosiasi yang menyertai. Makan es serut dengan sirup berwarna-warni atau rambut nenek yang biasa kita beli ketika pulang sekolah menjadi cerita yang bisa kita bicarakan dan kita rasakan ulang pada saat sekarang ini walaupun bisa jadi rasanya sudah tidak lagi sama persis dengan apa yang pernah kita rasakan.

JENDELA ANNE SHAKKA

1110

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Festival Rasa Tempo Doeloe

Gambar 2. Festival Makanan Tempo Doeloe. Dokumentasi oleh Taman Budaya Yogyakarta.

“Makanan menjadi bagian yang dibentuk dan membentuk

budaya kita sehari-hari, bukan lagi sekadar menjadi

sarana untuk membikin kenyang dan bertahan hidup saja.

Saat ini, menjadi sangat mudah mendapatkan makanan

atau bahan makanan yang berasal dari berbagai daerah

dengan berbagai gaya yang bisa dinikmati. Lidah kita

berlatih untuk merasakan makanan dalam berbagai varian

bentuk dan rasa yang tidak bisa dialami generasi sebelum

kita. Makanan menjadi cara kita untuk mengingat dan

mengidentifikasi diri.”

Page 7: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

13

matajendela Festival Rasa Tempo Doeloe

12

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA ANNE SHAKKA

mengingat dan mengidentifikasi diri. Banyak gaya hidup yang bisa didefinisikan dengan apa yang kita makan. Misalnya, makanan organik menjadi usaha untuk menunjukkan gaya hidup yang berpihak kepada alam dan kesehatan. Atau kuliner Korea, yang sekarang mulai menjamur, yang bisa jadi membuat penikmatnya mengidentifikasi diri dengan para artis Korea: merasakan hal yang sama dengan apa yang kita lihat di layar. Hal yang sama juga berlaku dengan makanan tempo dulu yang disajikan dalam Pasar Kangen—Kangen dengan Yogyakarta yang sudah hilang.

Di luar sisi romantisme akan apa yang bisa kita kenang dari apa yang kita rasakan, kita juga tidak boleh lupa untuk melihat bagaimana tren wisata dan globalisasi membawa budaya makanan ini selangkah lebih jauh. Yogyakarta sendiri juga mengalami booming ini belum terlalu lama. Awal dekade duaribuan, saat pertama kali saya menginjakkan kaki di Yogyakarta, tidak banyak makanan asing yang bisa ditemukan. Gajah Wong bisa saja menjadi salah satu dari sedikit pilihan restoran internasional yang menjajakan menu western. Saat ini, kita bisa menemukan makanan Jepang, Korea, India, Italia, dan Amerika hanya dalam satu mall. Hal ini berkembang

seiring dengan bertumbuhnya industri wisata yang menjadi masif seiring dengan berkembangnya generasi Instagram yang mengejar gambar sebagai konten. Banyak orang mencari sesuatu yang baru, yang jarang ditemukan, atau yang cantik untuk diambil gambarnya. Pengalaman dicari sekadar bisa untuk dibekukan dan diunggah ke layar dan menjadi sumber afirmasi keberadaan diri dengan like dan komentar di dalamnya.

Tidak terkecuali dengan Pasar Kangen yang memutuskan untuk menghadirkan kembali “kenangan” akan Yogyakarta—keberadaan yang sebenarnya tidak pernah hilang dan masih selalu bisa kita temukan di banyak pasar tradisional di sekeliling kita. Menjadikannya sebagai sebuah festival merupakan suatu undangan yang seakan mengharuskan orang-orang untuk datang dan bersama-sama merayakan kenangan itu. Ini adalah suatu hal yang akan diiyakan beramai-ramai oleh para pengejar pengalaman yang memiliki ketakutan akan melewatkan suatu momen untuk diabadikan.

Pada akhirnya, memilih makanan yang saat ini ada, baik makanan tempo dulu atau makanan modern, ayam geprek produk waralaba atau warmindo, dipengaruhi oleh banyak faktor, entah dari selera

Gambar 3. Festival Makanan Tempo Doeloe. Dokumentasi oleh Taman Budaya Yogyakarta.

“Pada akhirnya, memilih makanan yang saat ini

ada, baik makanan tempo dulu atau makanan

modern, ayam geprek produk waralaba atau

warmindo, dipengaruhi oleh banyak faktor, entah

dari selera makanan yang disuka, kepemilikan

uang, lingkungan tempat kita bergaul, gaya hidup,

gengsi, atau identitas yang ingin kita adopsi dengan

memilih makanan kita.”

makanan yang disuka, kepemilikan uang, lingkungan tempat kita bergaul, gaya hidup, gengsi, atau identitas yang ingin kita adopsi dengan memilih makanan kita.

Yogyakarta yang dahulu terkenal dengan angkringan, gudeg, dan deretan rumah makan lesehan, tidak lagi dikenal dengan cara demikian terutama bagi para penghuni tetapnya. Akan tiba saatnya Yogya dikenal dengan berbagai makanan kekinian waralaba yang banyak kita temukan di pusat perbelanjaan, atau malah dikenal dengan mudahnya menemukan makanan murah di warmindo yang bisa kita temukan di mana saja, tergantung pada sisi mana kita berada.

Daftar Bacaan

Gardjito, Murdijati, dkk. (2016) Kuliner Yogyakarta Pantas Dikenang Sepanjang Masa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Holtzman, Jon D. (2006). Food and Memory in The Annual Review of Anthropology p. 361-378 di http://anthro.annualreviews.org

Ichijo, Atsuko and Ranta, Ronald, (2016). Food, National Identity and Nationalism From Everyday to Global Politics. UK: Kingston University

Montanari, Massimo, (2004). Food is Culture. New York: Columbia University Press

Anne Shakka Mahasiswa program Doktoral Kajian Seni dan Masyarakat, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Festival Rasa Tempo Doeloe

13

Page 8: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

15

matajendela

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

Godaan Untuk Kembali “Nyetadion”

Godaan Untuk Kembali “nyetadion”

“Ayo nyetadion”

“Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja”

Potongan lirik dari lagu Adihitia Sofyan yang berjudul “Sesuatu di Jogja” itu mengingatkan saya

pada kisah persahabatan dengan seorang teman yang berasal dari daerah Magelang, yang pada saat ini telah merantau di luar Jogja.

Persahabatan kami terjalin berawal ketika kami satu kelas di salah satu universitas di kota Yogyakarta. Hubungan kami semakin dekat ketika kami mengetahui bahwa kami mempunyai kegemaran yang sama, yaitu sepak bola. Di setiap pertemuan, kami selalu membahas pertandingan sepak bola luar negeri maupun dalam negeri. Akhirnya, teman saya mengajak saya untuk menonton pertandingan sepakbola di Stadion.

Ajakan “Ayo nyetadion nonton PSS Sleman” adalah godaan yang tidak dapat ditolak. Tanpa pikir panjang, saya langsung menyambut ajakan teman saya ini.

Kami berdua mencari informasi terkait pertandingan PSS Sleman. Informasi pada saat itu memang agak sulit bagi kami, orang yang baru menginjakkan kaki di Yogyakarta. Media sosial belum seramai pada saat ini. Walaupun sudah ada Facebook dan Friendster, tapi belum bisa memberikan informasi secara detail. Lalu kami bertemu dengan teman, sebut saja bernama Zanoel, seorang Slemania dari Kalibawang yang memberikan informasi akan ada pertandingan PSS Sleman berhadapan dengan PSIR Rembang dalam lanjutan Divisi Utama Liga Esia pada tahun 2009.

Hari pertandingan yang ditunggu akhirnya datang. Kami berdua berangkat menuju stadion

OLEH HANS SALVATORE

Maguwoharjo. Pada waktu itu, suasana cukup ramai dengan suporter, dan didominasi warna hijau yang identik dengan warna jersey PSS dan Slemania. Karena ingin sama dengan suporter Slemania, kami akhirnya membeli baju Slemania yang bertuliskan Suka Hijau di lapak pedagang di area stadion Maguwoharjo. Setelah memakai baju Slemania, kami merasakan menjadi bagian dari mereka. Namun, pada waktu itu juga kami juga bingung, di mana kami harus membeli tiket pertandingan? Lalu kami membeli tiket dari calo. Tentu saja harga yang diberikan lebih mahal dari harga resminya. Maklum ini pengalaman pertama saya menonton secara langsung pertandingan sepak bola di stadion.

Setelah mengantre cukup lama untuk masuk ke dalam stadion, akhirnya kami bisa merasakan atmosfer stadion yang biasanya hanya kami nikmati lewati televisi. Kami berdua larut

dalam suasana yang diciptakan di dalam stadium. Kami ikut bernyanyi, ikut dalam gerakan tangan yang dikomandani oleh seseorang yang berdiri di depan, kami ikut berteriak “gol” ketika pemain mencetak gol di gawang PSIR, kami ikut misuh-misuh ketika pemain PSS dilanggar oleh pemain PSIR, tak lupa juga kami membeli jajanan khas stadion, arem-arem dan tahu asin, sebagai pengganjal perut. Pada waktu itu kami merasakan sebagai bagian dari suporter PSS Sleman, bagian dari warga Sleman, walaupun kami berdua adalah warga pendatang.

Momen-momen awal melihat pertandingan sepak bola menjadikan kami ketagihan untuk menonton pertandingan sepak bola PSS Sleman. Sering kali kami menyempatkan untuk menonton pertandingan sepak bola di Stadion Maguwoharjo atau sekadar menonton mereka latih tanding di stadion Tridadi.

Sepak Bola Menjadi Bagian Hidup Sehari-hari

Pengalaman di atas menunjukkan bahwa sepak bola telah menjadi keseharian bagi kaum muda di Yogyakarta. Memang pada waktu itu kami sangat tergila-gila dengan sepak bola, sehingga di setiap pertemuan entah di angkringan, warung kopi atau burjo pasti kami membahas tentang sepak bola, terutama klub sepak bola PSS Sleman. Banyak hal dibahas dalam setiap kami bertemu, dari hasil pertandingan hingga jalannya pertandingan.

Ketika PSS Sleman mengalami kemenangan kami akan memuji para pemain, kami akan membahas gol-gol yang tercipta dari pertandingan tersebut. Kebalikannya, jika mengalami kekalahan, kami akan menyoroti pemain, strategi yang dimainkan oleh pelatih, sampai menyalahkan wasit yang memimpin

jalannya pertandingan. Kejadian yang terjadi di dalam stadion pun tidak luput dari pembahasan kami. Di luar pertandingan, biasanya kami membahas tentang transfer pemain, dan menebak siapa pemain yang masuk dan yang keluar dari skuad PSS Sleman.

Terkadang, di dalam pembicaraan, kami juga mengeluarkan keluh kesah tentang performa PSS yang angin-anginan, serta membahas keuangan klub PSS Sleman yang mengalami kesulitan keuangan. Pada tahun 2009, PSS Sleman tidak mendapat kucuran dana dari DPRD Sleman. Alasannya, karena tidak adanya regulasi yang membenarkan untuk membiayai klub sepak bola. Sehingga alokasi akan dipakai untuk tambahan buat dana pendidikan dan jaminan kesehatan bagi warga miskin. Pada tahun itu, memang muncul surat edaran dari Menteri Dalam Negeri yang melarang alokasi ABPD untuk pembiayaan klub profesional.

14

JENDELA

15Gambar 1. Koreografi dibuat oleh suporter BCS, Pada pertandingan PSS Sleman melawan Persibangga Purbalingga pada tanggal 9 Maret 2013. Foto ini di ambil dari tribun hijau. Koreografi adalah salah satu pertunjukan yang dilakukan oleh suporter, dan menjadi pertunjukan yang selalu di tunggu oleh suporter dan penonton sepak bola lainya.

Godaan Untuk Kembali “Nyetadion”

Page 9: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

17

matajendela

16

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA Godaan Untuk Kembali “Nyetadion”HANS SALVATORE

Mencintai klub bukan hanya mendukung di setiap pertandingan berlangsung, atau sekadar membicarakannya, namun juga membeli jersey dan pernak-pernik klub seperti syal dan atribut lainya yang berhubungan dengan klub. Pada waktu itu, kami memang membeli barang-barang KW, yang dijual di lapak di area Stadion Maguwoharjo, atau membuat kaos bareng-bareng bersama komunitas Slemania. Ketika mengenakan jersey atau identitas klub, kami seakan-akan menjadi bagian mereka. Ada kebanggaan tersendiri. Namun, terkadang dengan memakai identitas klub, kita merasa waspada ketika terjadi konflik dengan suporter rival, atau masuk di daerah suporter rival. Ada perasaan takut bahwa ketika memakai kaos tersebut, kita bisa diserang atau dihajar.

Pengalaman-pengalaman ini telah menjadi bagian dari kehidupan suporter. Seolah-olah “keseharian” ini menjadi kewajiban yang harus dilakukan. Jila tidak, akan merasa kurang di dalam kehidupan tersebut. Ini adalah sebuah penanda bahwa keseharian ini seakan menjadi sebuah ingatan kolektif yang sudah terbentuk di dalam diri para suporter Yogyakarta.

Ada yang Tertinggal dari Jogja

Tahun 2013, kami akhirnya lulus. Teman saya melanjutkan petualangan untuk mencari rezeki di luar Jogja, tepatnya di daerah Kalimantan, dan saya sendiri masih tinggal di Jogja untuk

melanjutkan studi. Hal yang menarik dari hal ini adalah teman saya merasa ada sesuatu yang hilang dan tertinggal dari Jogja ketika dia meninggalkan Jogja.

Dia merasakan kerinduan untuk hadir nyetadion dan mendukung PSS Sleman di Stadion Maguwoharjo. Pernah dia mencoba mengobati rasa rindu nyetadion, dengan menonton pertandingan Borneo FC di Stadion Segiri Samarinda, namun dia merasakan ada yang kurang. Atmosfer yang dirasakan tidak seperti yang dia rasakan di Stadion Maguwoharjo.

Saya pernah mencoba bertanya, apa yang menjadi spesial dari suporter PSS Sleman dibandingkan dengan suporter lain, sehingga atmosfer yang dirasakan berbeda? Dia menjawab, gemuruh dan pertunjukan lewat koreografi adalah hal yang membedakan, apalagi Stadion Maguwoharjo adalah stadion penuh kenangan bagi dia

selama mendukung PSS Sleman. Kenangan sedih, marah, senang, takut semua pernah dialami di stadion tersebut. Perasaan-perasaan inilah yang tidak dapat tergantikan dan akan terus membekas di dalam benaknya.

Rasa kangen terhadap PSS bisa sedikit terobati ketika bisa mengakses media sosial yang berhubungan dengan PSS Sleman, seperti YouTube maupun Instagram. Ketika melihat video pertandingan PSS Sleman dan menyanyikan anthem “Sampai Kau Bisa”, dia merasakan seakan hadir di dalam pertandingan tersebut walaupun hanya lewat dunia maya. Bahkan dia bercerita dia rela menghabiskan banyak kuota untuk bisa menyaksikan live streaming pertandingan PSS Sleman agar dia bisa memberikan dukungan walaupun hanya sebagai suporter dunia maya.

Di setiap kesempatan, ketika dia pulang ke Jawa, dan bertepatan dengan pertandingan PSS Sleman, dia akan menyempatkan diri untuk menonton langsung di Stadion Maguwoharjo. Walaupun jarak dari kota Magelang dan Sleman lumayan jauh, bukan halangan buat dia untuk menonton pertandingan PSS Sleman. Hal yang paling ditunggu adalah merasakan suasana yang tercipta di stadion seperti melihat koreografi, mendengarkan nyanyian, melihat gerakan tangan, melihat permainan yang disajikan, dan tentu saja menyanyikan anthem “Sampai Kau Bisa” di dalam Stadion Maguwoharjo. Hal-hal seperti ini bisa menjadi kepuasan tersendiri, seakan-akan bagian yang hilang dari hidupnya muncul kembali.

Rasa untuk memenuhi kebutuhan yang kurang dalam dirinya seolah-olah terpenuhi ketika bergabung menjadi suporter PSS Sleman. Ini mampu mengalahkan logika dalam hidupnya. Sebenarnya, ingatan-ingatan kolektif yang muncul dari dalam dirinya dan hal pemenuhan apa yang kurang dalam hidupnya adalah bagian dari sebuah konsumsi. Berbicara tentang konsumsi, tidak hanya berhubungan dengan membeli sesuatu, namun juga melihat dan menjadi sebuah ingatan dan diceritakan, itu juga merupakan bagian dari sebuah praktik konsumsi.

Ingatan-ingatan tentang klub PSS Sleman serta suasana yang dibangun di dalam Stadion Maguwoharjo adalah bagian dari konsumsi. Suporter bukan bagian akhir dari

Gambar 2. Koreografi pada pertandingan PSS VS Persiba Bantul pada tanggal 16 Maret 2013, diambil dari tribun merah.

Gambar 3. Salah satu sudut stadion Maguwoharjo, di mana suporter tim tamu (Kconk) berbaur dengan suporter PSS Sleman. Foto diambil pada pertandingan PSS Vs Madura United tanggal 29 September 2019.

17

Godaan Untuk Kembali “Nyetadion”

Page 10: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

19

matajendela

18

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA Godaan Untuk Kembali “Nyetadion”HANS SALVATORE

konsumsi, melainkan bagian dari sebuah produksi budaya konsumsi. Nantinya, proses produksi tersebut dikonsumsi oleh penggemar lainnya lewat media sosial, imajinasi, atau lewat percakapan. Hal ini terlihat ketika suporter PSS Sleman melakukan pertunjukan dalam pertandingan lewat gerakan tangan, nyanyian, dan koreografi.

Para suporter yang berkontribusi di media sosial, tulisan di media massa yang membahas tentang klub sepak bola, pembuat video di akun YouTube maupun Instagram, adalah bagian dari sebuah produksi konsumsi, yang nantinya akan dikonsumsi oleh suporter yang melihatnya. Di sisi lain, menjadi seorang suporter akan selalu dipenuhi tanda konsumsi, seperti papan sponsor yang terdapat di dalam stadion, atau sponsor yang terdapat pada jersey. Pemakaian media sosial jelas-jelas adalah bentuk konsumsi yang terlihat. Orang akan mengeluarkan banyak biaya, belum lagi melihat banyak iklan di dalamnya. Itu bagian dari sebuah konsumsi, yang selama ini tidak kita sadari.

Jogja menggoda orang untuk kembali lagi, bukan hanya dari suasana, makanan, maupun budayanya. Selain dari itu, godaan untuk nyetadion dan merasakan suasana atmosfer

suporter Jogja, khususnya suporter PSS Sleman, juga merupakan hal yang dirindukan oleh banyak orang yang pernah terlibat menjadi seorang suporter di Jogja.

Mungkin bagi sebagian orang hal ini sangat lucu dan aneh, namun “godaan” ini memang terjadi dan dialami oleh suporter yang meninggalkan Jogja walaupun tanpa disadari “godaan” tersebut tidak netral tanpa disadari oleh suporter tersebut. Godaan-godaan itu berbentuk kerinduan yang terbentuk dari ingatan kolektif dan akan terpenuhi ketika kita mengonsumsi sesuatu. Ingatan kolektif yang selama ini dibentuk oleh suporter sepak bola adalah bagian dari sebuah produksi konsumsi yang terus-menerus diproduksi dan dikonsumsi oleh suporter sepak bola.

Hans Salvatore Pengamat dan penikmat sepak bola dalam maupun luar negeri.

“Hal yang paling ditunggu adalah merasakan suasana yang

tercipta di stadion seperti melihat koreografi, mendengarkan

nyanyian, melihat gerakan tangan, melihat permainan yang

disajikan, dan tentu saja menyanyikan anthem “Sampai Kau

Bisa” di dalam Stadion Maguwoharjo. Hal-hal seperti ini bisa

menjadi kepuasan tersendiri, seakan-akan bagian yang hilang

dari hidupnya muncul kembali.”

Gambar 4. Salah sudut dari stadion Maguwoharjo, foto di ambil saat pertandingan PSS VS Madura United, dari Tribun Merah.29 September 2019.

Page 11: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

21

matajendela Ruang Memori Bernama Fotografi

20

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA DARU TUNGGUL AJI

Ruang Memori Bernama Fotografi

OLEH DARU TUNGGUL AJI

Konten dari setiap foto adalah sejarah, begitu kata Tim Dant & Graeme Gilloch dalam Pictures of the Past: Benjamin and Barthes on Photography and

History (2002). Atas dasar tingkat akurasi dalam merekam dan menghadirkan kembali peristiwa, alam, arsitektur maupun benda-benda, rasanya cukup beralasan jika kita posisikan fotografi sebagai dokumen realitas.

Perbincangan mengenai fotografi tidak bisa dilepaskan dari aspek kultural dan selalu berhubungan dengan jiwa zaman. Gaya estetis sebuah foto lahir bukan semata lantaran kecanggihan perangkat kamera, namun ada andil cara pandang seseorang dalam melihat realitas. Selain itu, secara tersirat, material yang dirancang dalam sebuah foto berdaya dalam menegaskan status sosial seseorang.

Sejak pertama kali dirancang, penemuan-penemuan dalam fotografi membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Fotografi memberikan banyak perubahan terhadap pola-pola komunikasi maupun cara berpikir seseorang. Terkait dengan hal tersebut, perbincangan mengenai fotografi tidak bisa dilepaskan dari wacana maupun unsur intrinsik dan ekstrinsiknya.

Dalam membincang foto, kita bisa berangkat dari asumsi bahwa fotografi bukan sekadar alat komunikasi visual. Di balik lahirnya sebuah foto terdapat ragam kepentingan ideologis maupun relasi kuasa. Fotografi menjadi semacam instrumen: bagaimana foto itu digunakan, dihadirkan oleh dan untuk siapa. Apakah para fotografer merespons realitas, dan respons tersebut berbentuk foto? Saya rasa pertanyaan ini menarik diajukan, mengingat unsur-unsur visual dalam fotografi tidak hanya bicara mengenai efek visual saja, namun juga bicara mengenai kepentingan-kepentingan seperti apa yang hadir dalam sebuah foto.

Menyoal relasi kuasa dalam fotografi, kita bisa runut jauh ke belakang. Pada era kolonial, tema dalam fotografi banyak mengangkat persoalan yang berhubungan dengan antropologi, etnografi, dan antropometri. Pada waktu itu, cara pandang ideologis dalam fotografi tidak hanya digunakan sebagai riset dan dokumentasi, namun atas dasar “penilaian” yang eksotis dan yang primitif, foto-foto tersebut menjadi komoditas yang banyak menarik minat orang Eropa. Kesenangan atas gambaran-gambaran tersebut bukan dikarenakan efek visual yang estetis dari sebuah foto, melainkan daya pukau yang didasari oleh rasa superioritas yang dimiliki oleh orang Eropa.

Gambar 1. Seorang pemain wayang topeng di Jawa. Karya Woodburry & Page. Dipublikasikan 1868. Sumber: Image Collection (KITLV). https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Page 12: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

23

matajendela Ruang Memori Bernama Fotografi

22

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA DARU TUNGGUL AJI

Tema-tema dalam fotografi terus berkembang seiring berkembangnya perangkat dan hadirnya modernitas. Sebagai perangkat yang mampu merespons fenomena sosial, dokumen-dokumen fotografis mampu berfungsi sebagai ruang memori, arsip, dan alat kontrol sosial. Ketika berada di depan lensa, seseorang mampu membentuk dirinya yang lain dan membentuk struktur ideal dalam hidupnya. Melalui kamera, seseorang mampu membangun panggung lengkap dengan pertunjukan-pertunjukannya.

Sebagai arena interdisipliner, fotografi hidup sesuai semangat zamannya. Ia dibicarakan dalam mode perspektif apa pun. Yang jelas, sifat dasar foto yang dokumentatif menjadi dasar yang tak terbantahkan. Foto “hidup” sesuai semangat zamannya, namun dapat “dihidupkan” kapan pun. Dalam artian, memandang foto adalah proses interaksi dengan memori.

Saya percaya, sebelum sebuah foto dilahirkan, memori akan terlebih dahulu hadir. Setidaknya, memori seseorang akan peristiwa, tokoh, bangunan, lokasi, fesyen, bahkan ekspresi dan suasana tempat mampu memberikan andil terhadap foto yang dihasilkan. Pun ketika seseorang memandang sebuah foto. Bagi saya, memandang sebuah foto adalah proses membaca peristiwa.

Dalam memandang sebuah foto, setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda, sehingga imaji yang terbangun pun akan berbeda. Ingatan mengenai fakta peristiwa akan kembali muncul. Foto menjadi seolah “berbicara” dan berdialog dengan dirinya. Mengutip pendapat Seno Gumira Ajidarma dalam Kisah Mata: Fotografi Antara Dua Subyek: Perbincangan Tentang Ada (2016) bahwa fotografi adalah proses yang dihidupkan oleh waktu, tindakan memotret disebut sebagai tindakan mengabadikan, bukan dalam arti bahwa waktu terbekukan dalam foto, melainkan bahwa waktu akan menghidupkan foto tersebut dari saat ke saat, dan penafsiran ini akan terus menghidupkan foto dengan pergeseran makna-makna dalam perjalanan waktu. Ingatan seseorang selalu terkait dengan lingkungan sosialnya. Interaksi-interaksi antar individu ketika menyaksikan foto-foto mampu menghadirkan apa yang disebut sebagai memori kolektif.

Gambar 2. Topeng Hoedo dan seorang wanita di depan sebuah rumah di Apo Kayan, karya Jean Demmeni. Dipublikasikan antara 1898-1900. Sumber: Image Collection (KITLV) https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Gambar 3. Dua orang lelaki membuat ukiran kayu dari batang pohon di Mahakam Hulu, Karya Jean Demmeni. Dipublikasikan antara 1898-1900. Sumber: Image Collection (KITLV) https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Gambar 4. Perempuan Melayu di Batavia, mungkin pelayan, karya Woodburry & Page. Dipublikasikan 1870. Sumber: Image Collection (KITLV). https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Ruang Kota, Memori (Visual) Kolektif

Kehadiran fotografi dalam sejarah modern manusia ternyata bukan perkara visual semata. Ia juga menimbulkan cara pandang baru atas realitas dan eksistensi manusia (Svarajati, 2013). Maka, hubungan antara kota dan fotografi menyiratkan relasi yang resiprokal. Fotografi berkontribusi dalam pembentukan kota, begitu kata Jullian Stallabrass. Sebaliknya, komposisi kota beserta kehidupannya mampu menumbuhkan genre baru dalam fotografi. Materi visual dalam street photography, misalnya, hampir selalu merespons kehidupan sosial perkotaan.

Kota menjadi latar tempat yang cukup berdaya dalam membangun imaji-imaji tentang masa lalu dan sesuatu yang nostalgis. Kota menjadi semacam arena pertunjukan. Sudut-sudut kota, bangunan-bangunan, dan segala aktivitas masyarakat kota beserta landmark-nya menjadi penuh sesak oleh imaji-imaji fotografis. Yah, kita bisa melihat bagaimana dalam setiap peristiwa-peristiwa penting, orang-orang hadir dengan membawa kamera. Bukan sekadar mengabadikan, namun juga melakukan proses dialogis antara dia, dirinya, dan sosialnya.

“Dalam membincang foto, kita bisa berangkat

dari asumsi bahwa fotografi bukan sekadar alat

komunikasi visual. Di balik lahirnya sebuah foto

terdapat ragam kepentingan ideologis maupun

relasi kuasa. Fotografi menjadi semacam instrumen:

bagaimana foto itu digunakan, dihadirkan oleh dan

untuk siapa.”

Page 13: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

25

matajendela Ruang Memori Bernama Fotografi

24

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA DARU TUNGGUL AJI

Gambar 5. Pertunjukan tari, mengisahkan kisah Dewi Renggo Wati. Karya Kassian Cephas, dipublikasikan tahun 1884. Sumber: Image Collection (KITLV) https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Gambar 6. Taman di Yogyakarta, dengan pohon beringin besar di tengah, terlihat dari benteng pertama Benteng Vredeburg. Karya Kassian Cephas, dipublikasikan tahun 1896. Sumber: Image Collection (KITLV) https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

“Namun, atas andil fotografi, yang hilang akan

tetap hidup dan bahkan melalui fotografi kita bisa

terus memelihara ingatan. Mengingat menjadi

proses dialogis, bukan hanya melibatkan diri dengan

objek yang diamati, namun juga dengan lingkungan

dan masyarakat pada kurun waktu tertentu.

Ikatan yang kuat mengenai ingatan peristiwa,

dan simbol-simbol yang ada, menjadi dasar

dalam perbincangan memori kolektif. Fotografi

menjembatani antar individu akan suatu topik,

melalui fotografi pula kita mampu membangun

ingatan akan suatu hal.”

Gambar 7. Toko-toko di Malioboro di Yogyakarta, terlihat juga studio fotografer Kinosita, dipublikasikan tahun 1931. Sumber: Image Collection (KITLV) https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Gambar 8. Wajang Koelit di Yogyakarta selama Sekaten. Karya Kassian Cephas, dipublikasikan tahun 1986. Sumber: Image Collection (KITLV) https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Page 14: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

27

matajendela Ruang Memori Bernama Fotografi

26

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA DARU TUNGGUL AJI

Daru Tunggul Aji Dosen Desain Komunikasi Visual, ISI Yogyakarta.

Sebuah kota bisa berbenah kapanpun, mungkin jejaknya akan hilang, berganti dengan penataan baru. Namun, atas andil fotografi, yang hilang akan tetap hidup dan bahkan melalui fotografi kita bisa terus memelihara ingatan. Mengingat menjadi proses dialogis, bukan hanya melibatkan diri dengan objek yang diamati, namun juga dengan lingkungan dan masyarakat pada kurun waktu tertentu. Ikatan yang kuat mengenai ingatan peristiwa, dan simbol-simbol yang ada, menjadi dasar dalam perbincangan memori kolektif. Fotografi menjembatani antar individu akan suatu topik, melalui fotografi pula kita mampu membangun ingatan akan suatu hal.

Melalui buku Indonesia: 500 Early Postcards (2005), karya Haks dan Wachlin kita bisa melihat pemandangan alam, arsitektur maupun foto-foto studio pada masa lampau. Buku foto tersebut menyajikan foto-foto yang berasal dari perusahaan studio foto Woodburry & Page di Batavia, salah satu studio foto paling terkenal pada kisaran 1858-1910. Selain itu, buku tersebut juga banyak memuat karya-karya Kassian Cephas. Cephas sendiri merupakan fotografer Keraton Yogyakarta. Menurut catatan Gerrit Knaap dalam Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan (1999), Kassian Cephas mulai ditunjuk sebagai pelukis istana dan fotografer Keraton pada awal 1871-an, setelah belajar memotret selama 10 tahun (1861-1871) dari Simon Willem Cammerik. Selama menjadi fotografer Keraton, Cephas banyak memotret aktivitas di dalam Keraton, bangunan-bangunan, arsitektur maupun pergelaran wayang dan tari-tarian.

Apa yang telah dihasilkan Cephas, seperti foto pertunjukan wayang, busana Keraton, maupun arsitektur, mampu membuka cara pandang saat ini mengenai kondisi pada waktu itu. Cephas banyak menghadirkan gambaran mengenai Jogja beserta ragam kebudayaannya pada masa lalu.

Antara Ingatan dan Daya Pukau

Tino Djumini dalam Indonesian Dreams Reflection on Society, Relevations of Self (2008) bercerita mengenai pengalamannya tinggal di sudut Jalan Affandi (dahulu bernama Gejayan). Ia melakukan penelitian di Jalan

Moses, berbicara dengan orang yang lalu-lalang, pemilik toko, dan sering duduk selama berjam-jam mengamati dan membuat foto sebanyak mungkin. Semua ini dengan harapan agar dapat menangkap segala perubahan yang begitu cepat terjadi di jalan-jalan Yogyakarta, sambil merasakan semangat baru yang sedang muncul di sini dan di kota-kota perguruan tinggi lainnya (Djumini, 2008:8). Dari apa yang disampaikan oleh Djumini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa fotografi bukan hanya menyangkut soal perbincangan estetika semata, namun menyoal bagaimana fotografi mampu merespons fenomena dan menghubungkan jarak sekaligus menjadi catatan perubahan antar periode.

Melalui internet, saya sering kali mendapati komparasi foto zaman dulu dengan zaman sekarang, atau bagaimana ruang-ruang kota di Yogyakarta diberdayakan sebagai latar belakang foto. Pemilihan latar belakang sebagai setting atau latar tempat mampu memberikan efek secara visual sekaligus sosial. Melalui latar tempat itulah gaya hidup modern seseorang dikonstruksi. Meskipun seseorang mengambil setting tempat yang klasik sekalipun, kamera mampu membangun efek modernitas dan gaya hidup melalui pencahayaan yang dihasilkan.

Usaha menyandingkan dua suasana yang berbeda ini menarik. Melihat struktur kota dan masyarakatnya dari dua waktu yang berbeda seperti tengah memutar mesin waktu, seperti yang disampaikan oleh Svarajati (2013) bahwa pada hakikatnya foto adalah jejak-jejak ingatan dari suatu masyarakat penyanggahnya, pada suatu masa. Foto, dengan kata lain, adalah sekumpulan relik memori kolektif. Namun demikian, tidak jarang sebuah foto hanyalah kaca benggala personal.

Sementara melalui foto-foto karya Cephas kita bisa melihat kebudayaan, pergelaran maupun kebudayaan masa lampau, dan melalui catatan yang disusun oleh Tino Djumini kita bisa melihat bagaimana “semangat” perubahan di ruas Jalan Affandi, melalui catatan etnografi yang disusun oleh Karren Strassler (2003), kita bisa menyimak bagaimana kemunculan foto-foto populer serta bagaimana masyarakat Jawa membangun imajinasi mengenai “gaya hidup” modern melalui atribut dalam studio foto, seperti backdrop dan properti lainnya: televisi, vas bunga, maupun kendaraan dan juga tampilan busana yang menyimbolkan ikon-ikon modernitas.

Fotografi memang berhasil membawa perubahan secara kultural. Imaji mengenai modernitas tidak lagi dikonstruksi melalui studio foto, namun merambah dalam ruang kota. Material historis suatu tempat mampu didayakan dalam sebuah foto, bukan sekadar dihadirkan, namun ditautkan untuk menghasilkan nilai-nilai estetis yang ditunjang oleh “kekuatan” sebuah tempat. Ada relasi antara ingatan akan suatu tempat dengan kepentingan-kepentingan fotografis. Yang berdaya pukau adalah yang populer dan tentu saja yang populer tersebut mampu membangun konstruksi mengenai diri di depan kamera.

Sebagai tujuan pariwisata, Yogyakarta memiliki banyak tempat dengan nilai-nilai historis yang tinggi. Sebut saja Malioboro dan Titik Nol. Kedua tempat tersebut menyimpan memori yang cukup panjang: dari sosial, budaya, hingga politik. Ketika foto terus-menerus dirancang dalam ragam genre, dipublikasikan dan dibagikan antarindividu, maka dari situlah daya visual mampu mengarahkan pada ingatan kolektif seseorang. Selain itu, realitas fotografis yang tak lagi sama dengan realitas yang sesungguhnya mampu melahirkan nostalgia. Alhasil, mungkin betul, kata Svarajati bahwa “Memotret adalah ekspresi gaya hidup urban: (seakan) upaya mengada”.  

Sumber Rujukan

Ajidarma, Seno Gumira. 2016. Kisah Mata Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan Tentang Ada (edisi 2). Yogyakarta: Galang Press

Djumini, Tini. 2008. Indonesia Dreams Reflection on Society, Relevations of Self. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Knaap, Gerrit. 1999. Chepas, Yogyakarta: Photography in the Service of Sultan. Leiden: KITLV

Strassler, Karen. 2010. Refracted Vision: Popular Photography and National Modernity in Java. London: Duke University Press

Svarajati, Tubagus, 2013. Photagogos Terang Gelap Fotografi Indonesia. Semarang: Suka Buku

Tim Dant & Graeme Gilloch. 2002. Pictures of the Past: Benjamin and Barthes on Photography and History. European Journal of Cultural Studies, (2002) Vol. 5 (1): 5-25 – ISSN 1367-5494

Sumber Gambar: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Gambar 10. Sumber: Strasler, 2010Gambar 9. Sumber: Strasler, 2010

Page 15: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

29

matajendela

28

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA MUSEUM WAYANG UKUR: Telusur Pertanyaan yang Tak Pernah Usai

AIK VELA P.

MUsEUM WAYAnG UKUR:telusur Pertanyaan yang tak Pernah Usai

OLEH AIK VELA P.

Dunia seni rupa yang sulit adalah menggambarkan manusia. Tapi kenapa justru hal yang sulit itu tidak dididik di sekolah? - Sigit Sukasman.

Pertanyaan itu barangkali satu dari pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan Sigit Sukasman, pencetus Wayang Ukur. Nama

besarnya sebagai seniman pembaharu telah diakui di skala nasional dan internasional. Kecerdasannya dalam mengembangkan hukum-hukum seni rupa yang menempel pada wayang kulit telah memberi hawa baru pada perkembangan seni kontemporer dunia. Sebagai seorang seniman yang selalu gelisah, pertanyaannya tidak pernah usai dalam mencari dan memaknai wayang. Hingga akhir hayatnya, pertanyaan baru muncul: siapakah yang akan meneruskan kegelisahannya? Inilah yang selanjutnya memanggil seorang kurator seni rupa, Sigit Pius Kuncoro, untuk berinisiatif mendirikan Museum Wayang Ukur Sigit Sukasman.

Kenapa Mas Pius menggerakkan semesta untuk menilik kembali Mbah Kasman?

Ya, kita punya warisan kayak gini, tapi ditolak, gak ana sing gelem ngopeni. Berarti kan ana masalah. Semua orang mengakui Sukasman seniman yang hebat, tapi kenapa warisannya tidak ada yang mau mengelola. Kan berarti ada masalah karo peneruse. Wayang diakui sebagai warisan dunia, tapi kok anak muda menjauhinya. Berarti ada masalah.

Sejak kapan Mas Pius berpikir bahwa anak muda menjauhi wayang?

Ya bukan cuma aku, Mbah Kasman juga berpikiran seperti itu. Wayang disebut warisan, tapi kok anak muda tidak menggemari wayang, justru menggemari seni dari Barat. Makanya dia mencoba mendekatkan wayang kepada anak muda. Kan ana masalah kuwi. Sing diwarisi ora gelem nampa. Kenapa sing diwarisi ora gelem nampa? saiki umpamane bali nang kowe, kok kowe wegah

nonton wayang kenapa? Apakah karena wes ora dong bahasane? Apakah karena pertunjukannya terlalu lama? Apakah karena begitu lagi begitu lagi?

Apa saja tindakan yang sudah dilakukan Mbah Kasman untuk mendekatkan seni wayang kepada generasi muda?

Mbah Kasman sudah mengupayakan. Kalau bahasanya itu susah dipahami, wis pentase nganggo basa Indonesia wae, ben dipahami cah enom. Nek pertunjukane terlalu panjang, wes digawe pertunjukan sing pendek. Sudah terpenuhi. Terus, harus ada terobosan, tidak menjenuhkan, tidak mengulang yang sudah pernah dibuat. Mbah Kasman selalu eksplorasi. Tiga persoalan itu sudah dijawab, tapi kok cah enom masih belum menggemari wayang, lebih tertarik untuk belajar seni Barat.

Kemudian kita masuk ke para pelaku seninya. Yang dikeluhkan apa ketika berusaha mengembangkan wayang? Ternyata aturannya ki akeh, yang tidak semua aturan itu bisa dijelaskan. Kenapa gambare wayang kaya ngene iki? Makane mbah Kasman kemudian mencari nalare piye? Bentuke wayang kok kaya ngunu kui nalare piye? Mbah Kasman pun sudah berusaha untuk menjelaskan apa yang susah dimengerti tersebut nganggo nalare cah enom saiki. Pendekatan Mbah Kasman untuk menjelaskan wayang sudah dengan pendekatan pengetahuan anak muda zaman sekarang. Dengan menggunakan teori seni rupa Barat. Menjelaskan kepada anak muda pelaku seni sekarang. Tapi, ternyata yo, belum mengubah keadaan. Berarti ada masalah yang lain lagi. Ternyata ada alasan karena para pelaku seni yang lebih senior, lebih tua, sudah menganggap wayang sebagai sesuatu yang disakralkan, sudah dianggap adiluhung. Itulah satu faktor yang menjadikan anak muda takut untuk mengeksplorasi lebih lanjut tentang wayang, karena nanti ada kutukannya.

Nah, Mbah Kasman juga sudah mencoba untuk membuat wayang tidak menjadi sakral. Dia sudah melakukan desakralisasi wayang dengan memecah fungsi dari dalang. Yang sebelumnya dia (dalang) melakukan semua hal, dia bercerita, dia nyanyi, dia menjadi semua aktor. Kemudian dia menjadi tokoh

center di situ. Artinya dia adalah yang kuasa dalam satu pertunjukan. Dalam produk wayang ukurnya Mbah Kasman itu (fungsi dalang) kan dipecah. Dalang itu cuma memainkan wayang, memainkan ratu. Kemudian yang menjadi naratornya, sebagai aktor, itu banyak. Sehingga fungsi dalang itu terbagi, perannya terbagi di situ. Oleh karenanya, dalam kerja seperti itu kemudian Mbah Kasman lebih mengandalkan naskah. Dibandingkan sebelumnya, model tradisi nalarnya dalang itu seperti hukum yang tahu semua hal, ketika di aWayang Ukur kekuatan sudah ada pada naskah. Artinya, sudah punya kitab suci yang jadi pegangan oleh macam-macam pelaku. Nah, di sini Wayang Ukur sudah menggunakan pendekatan yang lebih sesuai dengan zamannya saat ini. Kemudian, pilihan-pilihan ceritanya pun sudah diambil dari zaman Republik. Sejarah sudah di tangan rakyat, bukan lagi sejarah raja. Nah, Mbah Kasman juga lebih memilih dalam cerita-ceritanya ada tokoh-tokoh yang terpinggirkan. Jadi bukan center pada penguasanya.

Jadi semua itu sudah dilakukan Mbah Kasman untuk mencoba supaya wayang itu lebih dipahami generasi yang sekarang ini. Tapi, kenyataannya setelah Mbah Kasman itu tidak ada, nasibnya juga menjadi sama. Menjadi ditinggalkan juga. Jadi wayangnya ditinggalkan, anak muda enggan untuk mengelolanya. Kan berarti ada problem di situ. Wong capaiannya Mbah Kasman itu sudah diakui pemerintah, sudah mendapat penghargaan tertinggi pula. Tetapi kok nyatanya masih seperti sekarang yang kita lihat. Tempatnya bahkan tampak wingit.

Mengapa museum dipilih sebagai salah satu upaya menelusuri problematika seputar Wayang Ukur dan relasinya dengan generasi muda?

Ketika ada problem di sini kan perlu dicurigai. Jangan-jangan asumsinya Mbah Kasman yang juga kurang tepat. Dia mengambil tindakan bukan pada apa yang harusnya diberi tindakan. Kan kalau sesuatu itu harus diubah, berarti dibutuhkan satu tindakan. Tapi, kalau tindakannya salah, berarti hanya mengulang-ulang kesalahan yang sama. Jadi tidak mengubah keadaan. Jadi masih ada PR di situ, masih problem di situ, sing wingi masih menjadi

Page 16: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

31

matajendela

30

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA MUSEUM WAYANG UKUR: Telusur Pertanyaan yang Tak Pernah Usai

AIK VELA P.

misteri. Problemnya itu di mana? Jadi pertanyaan-pertanyaan itu sudah dijawab. Berarti kan pasti harus muncul pertanyaan yang lain.

Tapi, bagaimana pun pencarian Mbah Kasman tidak bisa dikatakan tidak berhasil. Walaupun belum bisa mengubah keadaan, itu juga sebagai satu capaian, itu juga satu hasil. Artinya apa yang dilakukan Mbah Kasman itu perlu juga kita mengerti, bahwa kalau usahanya belum berhasil jangan anak muda mengulang kesalahan yang sama. Karena kalau sekarang pun juga tanya kepada anak-anak muda yang juga berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi wayang, mungkin punya asumsi yang sama dengan Mbah Kasman, dan melakukan usaha-usaha yang sama seperti Mbah Kasman. Pertunjukannya dibuat lebih singkat, bahasanya diubah, terus menggunakan teknik tata panggung yang baru. Itu sesuatu yang sama. Padahal, Mbah Kasman sudah melakukannya, belum ada hasil, yang lebih muda mestinya juga tidak mengulang kesalahan yang sama. Yang dilakukan Mbah Kasman itu juga bukan merupakan kesalahan. Tidak lantas karena belum berhasil, berarti salah. Tetapi, mbah Kasman belum mencapai sesuatu yang diharapkan. Artinya masih ada pertanyaan-pertanyaan lain sebenarnya, masih ada problem-problem yang lain, yang itu mestinya harus dipecahkan bersama. Dan jalannya bisa jadi melalui pembentukan museum ini. Selain itu, masih banyak kerja Mbah Kasman yang belum selesai, meski pertanyaan-pertanyaan dasar telah dijawab. Dan harusnya tugas kita menjawab pertanyaan yang lain, bukan mengulang kegelisahan yang sudah dipikirkan Mbah Kasman.

Proses pembentukan museum sendiri sekarang sudah sampai mana?

Secara tahapan kita sedang melakukan inventarisasi, autentifikasi, dan kemudian menyelesaikan persoalan-persoalan hukumnya, artinya sebagai warisan itu juga menjadi jelas kedudukan hukumnya. Sehingga ketika semua jelas, pengelolaannya juga menjadi jelas. Warisannya banyak. Wayang ada sekitar 700, sketsa ada sekitar 5000, pakaian tari itu saya belum menghitung karena kalau stel ada kombinasi-kombinasi, belum bisa menghitungnya. Relief wayang ada sekitar

30-an, karya patung kuda dan gajah itu juga ada 7-8. Kemudian catatan prosesnya dan naskah gubahan banyak sekali. Kita sudah mendigitalkan. Secara legal juga telah kita upayakan berdirinya sebuah yayasan yang akan menaungi aktivitas pengembangan berikutnya. Harapannya setelah legalitas lembaga terbentuk, ruang ini menjadi milik publik yang dapat diakses dan dikelola lebih luas.

Ketika proses melakukan tahapan tersebut, adakah kendala yang dihadapi dari pertemuan dengan orang-orang muda?

Yang anak muda sampai saat ini belum berminat membuka catatan-catatan pikirannya Mbah Kasman. Tidak banyak yang menanyakan itu. Barangkali anak-anak muda sekarang punya pikirannya sendiri dan ingin melakukan dengan caranya sendiri. Mungkin juga yang bersangkutan lebih percaya pada proses untuk mencoba dulu. Namun, itu cukup menarik. Mereka menjadikan dirinya model orang-orang yang belajar dari kesalahan. Ya melu ngerasakke kaya sing sakdurunge. Dadi model yang sing ora pingin digurui, tapi pingin nemokke dewe. Dan itu sebenarnya juga hal yang menarik, artinya akan ada capaian-capaian yang mungkin bisa sejajar dengan Mbah Kasman suatu saat nanti, yang bentuknya akan berbeda. Mungkin akan muncul Mbah Kasman-Mbah Kasman yang lain karena mau nggak mau dengan hadirnya Mbah Kasman dan capaiannya yang sebelumnya itu sudah memotivasi anak muda untuk lebih berani. Oh, bisa kok diginiin! Enggan belajar dari Mbah Kasmannya, tetapi ingin menemukan dengan caranya sendiri. Artinya, mereka suatu saat bisa menjadi seperti Mbah Kasman yang lain dengan wayangnya yang lain. Hanya saja pertanyaan untuk mereka selanjutnya, apakah dalam kerja eksplorasi itu mereka melakukan deformasi atau reformasi pada wayang? Karena kalau reformasi kan memberi nilai tambah pada capaian yang sudah ada sebelumnya, tetapi kalau deformasi kan justru menurunkan nilai dari yang sebelumnya. Nah, pertanyaannya, apakah wayang-wayang kreasi baru itu memberi nilai tambah pada capaian sebelumnya? Atau dia justru menurunkan nilai capaian sebelumnya? Pertanyaannya, kalau menurunkan, apakah dia punya kemarahan terhadap wayang yang sebelumnya, sehingga dia tidak boleh atau

mendapatkan banyak tantangan untuk mengeksplor wayang klasik yang dianggap sudah capaian yang adiluhung itu.

Menghadapi kegelisahannya Mbah Kasman yang tidak pernah berhenti terhadap wayang dan berbagai bentuk penolakan atas capaiannya, apakah tantangan dalam mengelola Museum Wayang Ukur kelak?

Sebenarnya Mbah Kasman juga tidak menerima semua sepenuhnya. Banyak hal yang Mbah Kasman tolak. Dia orang yang juga penuh penolakan, kemarahan, dan keputusasaan. Semua jadi satu. Hanya orang yang penuh penolakan, kemarahan, dan keputusaasaan itu yang memiliki cara berpikir: bagaimana melakukan satu tindakan gila yang bisa membalikkan keadaan? Nah, untuk bisa membalikkan keadaan, muncul kemudian tindakan-tindakan gila. Sesuatu yang dianggap di luar nalar, sesuatu yang dianggap tidak mungkin. Sehingga untuk mengelola ini pun kemudian dibutuhkan satu kegilaan. Dibutuhkan tindakan gila untuk membalik keadaan.

Tindakan gila membalik keadaan yang telah dilakukan Sigit Sukasman ternyata meninggalkan jejak pertanyaan baru bagi generasi muda yang sedang bergumul dalam ruang kreatifnya. Apakah sedianya anak muda kini memiliki kegelisahan yang hadir dari pemaknaan mendalam atas kondisi sekitarnya? Bagaimana selanjutnya memperlakukan kegelisahan itu untuk mengurai pengetahuan baru? Museum Wayang Ukur Sigit Sukasman nantinya barangkali bisa menjelma menjadi langkah-langkah kecil generasi muda berikutnya, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru demi cita-cita bersama yang tak akan pernah usai.

Aik Vela P. Bergerak sebagai aktor, pegiat seni, dan penulis fiksi. Pendiri kelompok seni Hidup dan menginisiasi kegiatan seni bertajuk Padang Bulan di Parangtritis, Yogyakarta (2015 hingga sekarang).

Page 17: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

33

matajendela

32

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA Suara Dengarkanlah Aku: Yogyakarta dan Bangunan Bebunyian di DalamnyaIRFAN DARAJAT

suara dengarkanlah Aku1:Yogyakarta dan Bangunan Bebunyian di dalamnya

OLEH IRFAN DARAJAT

Angin berembus menerpa dedaunan dan seolah-olah membuat berbisik, lalu terdengar “tuktiktaktiktuk” langkah kaki kuda. Sejenak sang

kuda meringkik, roda andong yang terbuat dari kayu berbantal karet ban terdengar beradu dengan tanah yang dilaluinya.

“Kata bapakku, suara-suara seperti ini dulu sering kali menghiasi sudut-sudut kota di Yogyakarta. Bisa nggak ya suasana Yogya kembali seperti ini, nyaman, tanpa polusi?” ucap seorang narator perempuan yang berbicara dengan diiringi suara gamelan. Setelah dua detik hening, muncul suara seorang lelaki berkata, “Geronimo Fm, The Real Sound of Yogya”.

Ilustrasi suara laki-laki tersebut adalah bumper sebuah radio yang mengawali, sebelum sebuah lagu diputar dalam sebuah siaran radio. Dalam bumper tersebut, unsur-unsur lanskap suara disusun dan dihadirkan kembali untuk membicarakan ingatan seseorang tentang sebuah kota. Karena media yang digunakan dalam hal ini adalah radio, tentu saja satu-satunya unsur yang dapat dihadirkan untuk menyampaikan pesan di sana adalah suara.

Ilustrasi tersebut tidak menghadirkan apa-apa selain nostalgia dan harapan romantis tentang kota yang dianggap layak untuk ditinggali. Di tengah derasnya arus pembangunan dan gempuran kebudayaan visual di sekitar kita, dapatkah kita membayangkan lanskap suara yang ideal bagi lingkungan kehidupan kita? Bagaimana suara dapat membangun ingatan tentang kota ini? Adakah “suara” lain yang dapat kita maknai dari bangunan bebunyian yang kita terima sehari-hari dengan melekatkannya pada konteks sosial dalam kehidupan kita?

Ning Nong Neng Gung

Pada akhir 2006, seorang kawan pernah menuturkan pengalamannya mendengar sayup-sayup suara gamelan yang tidak jelas asalnya dari mana. Suara tersebut muncul pada kisaran waktu pukul 12 malam. Saat itu, dia menetap di indekos di sekitaran jalan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Seseorang yang lain menyatakan mendengar suara iring-iringan marching band pada kisaran waktu dan tempat yang lebih kurang sama.

Fenomena tersebut dianggap ganjil oleh kedua kawan saya. Keganjilan tersebut akhirnya menuntun kepada sebuah jawaban tentang bagaimana kedua suara tersebut dimaknai di kota ini. Cerita-cerita tersebut rupanya kerap dialami oleh orang banyak yang tinggal di Yogyakarta dan telah menjadi semacam mitos yang terus-menerus direproduksi. Sebagaimana sifat mitos itu sendiri, ia selalu dapat diyakini dan diragukan sekaligus.

Pemaknaan yang didapatkan dari pengalaman tersebut adalah jika seseorang mendengar suara tersebut, maka dia akan kerasan dan nyaman tinggal di kota ini, dan dia diterima dengan baik di kota ini. Salah satu penjelasan atas mitos ini adalah suara tersebut berasal dari iring-iringan bregada Nyi Rara Kidul yang sedang berarak menuju Keraton Yogyakarta atau Gunung Merapi. Rombongan tersebut tidak kasat mata, namun kasat telinga. Penjelasan yang demikian itu kemudian menuntun kita pada pengetahuan lain tentang kota ini, tentang bagaimana laut selatan, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu, dan Gunung Merapi memiliki satu garis imajiner yang terbentang lurus. Garis tersebut menunjukkan sumbu filosofis yang melambangkan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan

sesama manusia, serta manusia dengan alam.

Rasionalisasi atas fenomena tersebut juga terus dilakukan hingga saat ini. Ada yang mengungkapkan bahwa suara marching band berasal dari pasukan TNI Angkatan Udara yang berlatih di pagi buta2. Akan tetapi, penuturan lain mengungkapkan hal yang membantah penjelasan tersebut. Seseorang yang penasaran mencari asal suara tersebut bercerita bahwa yang dia dapati ketika dia mendatangi suatu tempat yang dianggapnya sebagai asal suara, mendadak suara tersebut seperti berpindah ke tempat yang lain3.

Ada beberapa hal yang dapat kita catat bersama dari runtutan cerita tersebut. Pertama, narasi keramahan kota ini dalam menyambut pendatang adalah dengan menggunakan unsur suara. Kedua, dari fenomena yang berbasis suara, seseorang dapat dituntut untuk menelusuri lebih lanjut pengetahuan tentang kota ini. Misalnya, dari fenomena tersebut, seorang pendatang mesti menelusuri situs-situs yang dianggap sakral dan penting dalam kota ini dan apa filosofinya.

Dikenal sebagai Kota Kesenian dan Kebudayaan membuat

“Kedatangan manusia dalam jumlah yang banyak membuat

kota ini terdorong untuk membangun. Membangun tempat

mukim, membangun tempat ibadah, membangun kedai-kedai

kopi, membangun warung dan rumah makan, membangun

pusat perbelanjaan, membangun jalan, dan membangun

unsur-unsur bebunyian yang semakin beraneka ragam,

sekaligus semakin seragam, dan yang pasti muncul juga:

suara pembangunan dan suara kendaraan bermotor.

Mungkinkah seseorang akan tidak bisa mengingat apa pun dari

kota ini selain bunyi kendaraan bermotor?”

Page 18: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

35

matajendela

34

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA Suara Dengarkanlah Aku: Yogyakarta dan Bangunan Bebunyian di DalamnyaIRFAN DARAJAT

Yogyakarta dipenuhi dengan keragaman seni dan budaya yang dapat dinikmati oleh publik. Berbagai pertunjukan kesenian seperti wayang kulit, festival tari, festival gamelan, dan festival kesenian secara umum terus hadir dan berkembang. Modernisasi dan festivalisasi atas jenis kesenian tersebut tentu memungkinkan pemaknaan lain atas fenomena bebunyian tersebut. Akan tetapi, mitos-mitos atas bebunyian tersebut terbukti dapat bertahan dari proses amplifikasi dan kemeriahan yang ditampilkan dalam sebuah festival (yang umumnya telah diadakan sejak pertengahan hingga akhir 1990-an).

Namun, bagaimana jika fenomena suara ini kemudian dihadapkan dengan pembangunan di Yogyakarta? Begitu banyak jumlah institusi pendidikan di kota ini yang kemudian mengundang banyak orang untuk bermukim di dalamnya. Belum lagi tawaran situs-situs pariwisata yang menyajikan pengalaman lain dalam menghayati kota ini, baik sementara atau selamanya.

Kedatangan manusia dalam jumlah yang banyak membuat kota ini terdorong untuk membangun. Membangun tempat mukim, membangun tempat ibadah, membangun kedai-kedai kopi, membangun warung dan rumah makan, membangun pusat perbelanjaan, membangun jalan, dan membangun unsur-unsur bebunyian yang semakin beraneka ragam, sekaligus semakin seragam, dan yang pasti muncul juga: suara pembangunan dan suara kendaraan bermotor. Mungkinkah seseorang akan tidak bisa mengingat apa pun dari kota ini selain bunyi kendaraan bermotor?

Reng Teng Teng

Pada hari-hari menjelang pemilihan umum bulan April lalu, sering kali terdengar sayup-sayup suara yang mendengung pada siang hingga sore hari. Kadang dengungan itu mendekat, kadang menjauh. Suara itu mendengung persis seperti sekumpulan lebah yang terusir dari sarangnya, atau seperti suara gergaji mesin yang menebang pohon.

Rupanya suara tersebut adalah praktik konvoi kendaraan kampanye partai politik yang tengah merayakan pesta demokrasi. Meskipun motif perayaan semacam ini telah banyak dikecam oleh beberapa orang, akan tetapi praktik konvoi kendaraan bermotor ini terus saja digunakan. Sepertinya harus ada cara baca yang lain untuk dapat memahami apa yang sebenarnya hadir dalam dengung konvoi kendaraan bermotor ini.

Satu hal yang tidak dapat dilepaskan ketika membicarakan kendaraan bermotor adalah jalan raya, sebuah sarana yang menawarkan lintasan bagi manusia untuk mencapai suatu tempat ke tempat yang lain dengan lebih mudah. Jalan raya dibangun untuk menampung kendaraan yang menampung manusia untuk bergerak.

Sependek pengamatan saya, belum pernah ada penelitian yang secara spesifik

mengamati konvoi kendaraan bermotor sebagai metode kampanye terbuka pada pemilihan umum. Sejak kapan modus ini digunakan dan mengapa memilih modus tersebut? Konvoi kendaraan tersebut menggunakan kendaraan bermotor beroda dua, dengan spesifikasi pipa pembuangan udara (knalpot) yang dimodifikasi sedemikian rupa (blombongan) sehingga dapat mengeluarkan suara yang membikin pekak.

Ketika pada mulanya konvoi ini digunakan sebagai modus perayaan kampanye politik, barangkali (jalur) jalan raya belum sebanyak dan sepadat hari ini. Berkeliling kota dengan menggunakan kendaraan bermotor mungkin akan menjadi lebih menghidupkan suasana perayaan apa yang disebut sebagai pesta demokrasi. Suara-suara knalpot yang didengung-dengungkan bisa jadi adalah perpanjangan dari suara mulut manusia yang sedang merayakan pesta tersebut.

Namun, bagaimana dengan keadaan hari ini, ketika akses terhadap kendaraan bermotor semakin mudah dengan mekanisme kredit, kendaraan bermotor (roda dua maupun roda empat) melimpah ruah, dan jalan raya terasa semakin penuh sesak? Kondisi tersebut memaksa orang-orang mengubah ritme kehidupannya, dari dulu yang serba dekat dan cepat, menjadi sekarang yang serba sesak dan mampat. Semua menjadi merasa terburu-buru. Orang-orang sering kali keliru meramalkan waktu kedatangan mereka karena masih menggunakan patokan waktu lama yang telah berubah semenjak kendaraan bermotor di jalan raya terus menerus beranak-pinak. Semua hal tersebut berkumpul di jalan raya.

Oleh karena itu, kecepatan menjadi barang yang langka. Seseorang/sekelompok orang dapat menggunakan jalan raya sebagaimana yang ia kehendaki dengan suatu keistimewaan tertentu. Misalnya, pada mobil ambulans yang memiliki situasi darurat, atau rombongan pejabat yang juga memiliki kondisi harus didahulukan. Namun, keistimewaan ini bukan hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kondisi darurat semata. Rombongan konvoi motor besar bisa memiliki keistimewaan itu bahkan dengan pengawalan polisi. Dari semua keistimewaan yang dimiliki oleh kendaraan tersebut, semuanya menggunakan instrumen suara untuk meminta jalan yang lebih lapang dari pengguna jalan lainnya: sirene.

Praktik-praktik menyingkirkan pengguna jalan lain dengan

menggunakan instrumen suara ini dapat dibaca juga sebagai pameran kekuasaan. Protes atas ketimpangan kekuasaan yang terjadi di jalan raya ini pernah dilakukan oleh seorang pengemudi sepeda yang tidak rela atas praktik tersebut4.

Jalan raya juga tidak pernah menjadi infrastruktur yang mati. Ia adalah arena pertarungan dan perebutan kekuasaan. Dalam iring-iringan motor gede, terdapat suatu pameran kekuasaan dengan membelah jalan, menerobos lampu lalu lintas, dan dengan suara sirine yang meraung-raung meminta untuk diberikan jalan. Pengguna motor gede menempati kelas sosial yang berbeda dengan kebanyakan pengguna jalan lainnya. Dari sini lahir kesenjangan.

Di sisi jalan yang lain, klub motor (yang bukan klub motor gede) mempraktikkan hal yang lebih kurang sama dalam setiap jadwal berkumpul klub tersebut. Kebanyakan klub motor berkumpul pada akhir pekan. Mereka berkeliling kota, meminta diberi jalan dengan mem-bleyer knalpot, dilengkapi dengan seorang pemimpin jalan yang membawa tongkat menyala yang menyerupai pengawalan polisi. Dalam hal ini, klub motor yang memiliki kelas di bawah motor gede kemudian mereproduksi pameran kekuasaan ini.

Hal ini barangkali yang dapat digunakan sebagai rasionalisasi bagaimana suara di jalan raya dapat menjadi suatu instrumen kekuasaan. Praktik konvoi kampanye pemilu yang membisingkan dan menyingkirkan pengguna jalan lain tidak semata-mata hadir tanpa sebab. Ia barangkali disusun atas beberapa aspek yang telah diungkapkan sebelumnya: oleh kapitalisme yang memadatkan ruang jalan raya, oleh ketimpangan kelas sosial, dan hasrat ingin berkuasa. Semuanya memiliki momentum untuk memamerkan kekuasaannya masing-masing.

Sementara di sisi jalan yang lain, di pesisir pantai barat laut Yogyakarta, sekelompok paguyuban petani yang bertahan hidup mempertahankan tanahnya dari penggusuran merayakan hari lahir paguyubannya dengan cara yang sama. Sebelum turut dalam rombongan tersebut, saya diberi sebuntal kapas, yang lantas saya pisahkan menjadi dua dan saya sumpalkan masing-masing ke dalam telinga saya. Knalpot mulai di-bleyer sekuatnya, dan didengungkan di sepanjang jalan Daendels. Motif suara

1 Judul tulisan ini diambil dari kalimat refrain lagu berjudul Suara milik kelompok musik Hijau Daun. Penulis menganggap kalimat tersebut memiliki pemaknaan yang dapat diproblematisasi ketika suara seharusnya didengarkan, tapi dalam kalimat ini dibalik menjadi suara yang harus mendengarkan. Tulisan ini adalah preliminary notes dari penelitian lebih lanjut yang akan dikerjakan oleh penulis terkait suara dan demokrasi.

2 https://www.hipwee.com/travel/menguak-suara-misterius-drum-band-di-jogja-pada-dini-hari-begini-penjelasan-yang-harus-kamu-tahu/

3 https://www.tanahnusantara.com/urban-legend-suara-gamelan-dan-drum-band-di-kota-jogja/

4 https://www.rappler.com/indonesia/102793-yogya-elanto-menghadang-konvoi-moge

5 https://www.smithsonianmag.com/smart-news/earths-quietest-place-will-drive-you-crazy-in-45-minutes-180948160/

Page 19: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

37

matajendela

36

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

JENDELA Suara Dengarkanlah Aku: Yogyakarta dan Bangunan Bebunyian di DalamnyaIRFAN DARAJAT

yang keluar dari konvoi paguyuban petani dengan konvoi kendaraan kampanye pemilu relatif sama, namun artikulasi politik mereka jelas sangat jauh berbeda.

Kembali ke kota, ritme jalan raya berangsur-angsur melambat dan macet. Kelangkaan atas kecepatan di jalan raya semakin tidak sebanding dengan gaya hidup serba cepat. Sepeda Motor terus memutakhirkan teknologinya untuk menambah kecepatan mesin pendukungnya. Budaya modifikasi motor juga semakin digemari oleh semua kalangan masyarakat, bahkan presiden pun mendukung budaya tersebut dengan menampilkan motor kustom miliknya, diikuti dengan pemajangan instalasi foto presiden di atas sepeda motor yang terpampang di beberapa bandar udara di Indonesia. Saya tidak sedang mengatakan soal benar-salah, namun apa yang ditampilkan memiliki konsekuensinya masing-masing.

Di luar jalan raya, orang-orang menuntut koneksi internet yang lebih cepat, memesan makanan dari ponsel, dan menginginkan pesanannya datang dengan cepat. Pemerintah melakukan proyek percepatan pembangunan, jalan-jalan diperbaiki, kemudian digali kembali, jalan-jalan raya bebas hambatan diperbanyak dengan logika kecepatan. Seperti ada obsesi tentang kecepatan yang tengah dimiliki masyarakat kita. Lantas di mana tempat

untuk alon-alon waton kelakon?

Fenomena suara di jalan raya ini begitu dominan sehingga mampu merembes dalam produk musik populer seperti dalam lagu berjudul “Reng Teng Teng” yang dibawakan oleh Shodiq. Di dalam lagunya, Shodiq membicarakan keamanan berkendara di jalan raya, dan membuat judul dari bunyi knalpot dari motor bermerek “RX KING” yang menjadi sebuah onomatope. Sementara itu, lagu milik Kill The DJ yang berjudul “GAS GAS GAS” sebagian disusun dari sampel dari knalpot motor, dan lagu ini merupakan lagu resmi dari perhelatan Kustomfest 2019. Jika suara kendaraan bermotor telah mendominasi lingkungan kita, lantas di mana letak keheningan?

Ssssshhhh

Keheningan (silence) kerap disandingkan sebagai kebalikan dari kebisingan. Beberapa orang kerap menghubungkan kenyamanan dan ketenangan dengan situasi keheningan. Dengan kondisi dikepung kebisingan, keheningan sering kali hadir sebagai tawaran untuk melepaskan kepenatan, sebagai kemewahan kelas menengah perkotaan dalam wujud ke desa yang sepi Irfan Darajat

Peneliti LARAS Studies of Music in Society.

dan nyaman, tempat hunian yang hening dan nyaman, dan lain sebagainya. Keheningan yang ditawarkan oleh pengembang bisnis hunian tentu saja dapat kita sebut sebagai salah satu bentuk komodifikasi keheningan.

Namun, apa yang sebenarnya kita maksud dengan keheningan? Apakah absennya semua suara dari telinga kita, atau sebuah keadaan hampa suara? Atau suara-suara yang disusun oleh ilustrasi dalam awal tulisan ini? Keheningan memiliki kompleksitasnya sendiri sebagai suatu bagian yang tidak bisa dilepaskan dari bebunyian.

John Biguenet (2015) mengeksplorasi kompleksitas keheningan dalam wujudnya yang berbeda-beda. Keheningan dalam penjara tentu tidak akan sama menenangkannya dengan keheningan dalam penginapan mewah di sebuah desa. Sebuah bangunan di Orfield’s Laboratory di Minnesota menyediakan sebuah ruang yang sangat hening dan tingkat suara latarnya mencapai -9.4 dBA. Orang hanya mampu bertahan di dalamnya selama 45 menit. Keheningan yang sangat membuat suara nafas, kerucuk perut, dan degup jantung diri kita sendiri terdengar. Ketika berada dalam ruang yang hampa suara, maka diri kita sendirilah yang menjadi sumber suara5.

Keheningan juga kerap muncul dalam ekspresi kebudayaan di Yogyakarta, melalui ritual Tapa Bisu Lampah Mubeng Benteng yang digelar setiap malam satu Sura. Atau, sebagai ekspresi penyampaian aspirasi masyarakat Yogyakarta dalam Tapa Pepe yang merupakan bentuk protes tanpa bersuara dalam bentuk bicara.

Setiap tempat memiliki lanskap suaranya sendiri. Bangunan bebunyian yang menempati ruang tersebut setidaknya dapat diidentifikasi dari ragam sumbernya. Dalam kajian Soundscape Ecology, asal sumber suara dapat dibedakan menjadi tiga. Suara yang berasal dari organisme selain manusia disebut sebagai biophony, suara yang berasal dari fenomena alam non-biologis disebut sebagai geophony, dan suara yang berasal atau diciptakan manusia yang disebut sebagai antrophony. Salah satu novel yang paling baik dalam menggambarkan ini adalah novel berjudul Manusia Bebas yang ditulis oleh Suwarsih Djojopuspito yang mengeksplorasi unsur-unsur pembangun suasana dalam cerita menggunakan bunyi.

Bangunan bebunyian yang menyusun tempat tinggal seseorang yang berdekatan dengan stasiun kereta api

tentu akan berbeda dengan bangunan bebunyian yang ada pada seseorang yang menempati hunian di kaki gunung atau pesisir pantai. Bangunan bebunyian ini melekat dengan konteks ruang fisik dan ruang sosialnya. Bangunan inilah yang menyusun ingatan kita atas ruang, waktu, dan peristiwa tertentu. Dapat dipastikan kita akan selalu hidup dalam kepungan bebunyian. Hanya saja, apakah itu merupakan bebunyian yang menyamankan atau mencemaskan?

Barangkali lingkungan yang kita diami sekarang masih memiliki saat-saat tertentu untuk menikmati keheningan. Keheningan yang semakin lama semakin mahal dan mewah. Mungkin kita masih bisa menikmati suara jangkrik, bisikan dedaunan yang tertiup angin, beriringan dengan suara percakapan tetangga dan dengung kulkas atau perabotan elektronik lainnya. Sementara itu, hunian perkotaan semakin mahal, dan pembangunan semakin mepet dengan pemukiman. Masa kita hidup kali ini rupanya lebih banyak bertumpu pada keputusan-keputusan manusia yang memengaruhi perubahan alam sekitar.

Apakah bangunan bebunyian yang kita idamkan hanya bermukim dalam ingatan masa lalu? Lantas bangunan bebunyian semacam apa yang akan kita perjuangkan?

Bahan Bacaan

Biguenet, John. 2015. Silence. New York: Bloombury Publishing Inc.

Lefebvre, Henri. 2004. Rhythmanalysis: Space, Time and Everyday Life. London: Continuum.

Mrazek, Rudolf. 2002. Engineers of Happy Land, Technology and Nationalism in a Colony. New Jersey: Princeton University Press.

Ferdiansyah Thajib, Yogya yang Cepat dan Semakin Cepat http://kunci.or.id/articles/yogya-yang-cepat-dan-semakin-cepat-oleh-ferdiansyah-thajib/

Gambar 1. Pengendara sepeda motor, yang kian banyak jumlahnya di Yogya, melintas bergegas di perempatan Wirosaban. Dokumentasi: An Ismanto.

Page 20: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

39

matajendela

38

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

LINTAS Jogjakarta, Kota Nostalgis?FEBRIAN ADINATA HASIBUAN

Jogjakarta, Kota nostalgis?

OLEH FEBRIAN HASIBUAN

Kehadiran novel Mata Air, Air Mata Kota (2019) karya G. Budi Subanar cukup berarti buat orang yang awam tentang Jogjakarta, seperti saya yang tumbuh

dan besar jauh dari luar teritori. Saya juga bukan seorang sejarawan yang bergumul dengan arsip-arsip masa lalu, serta tidak punya pemahaman yang baik dan fasih tentang kota ini. Sungguh, semua itu jauh. Kecuali pengalaman hidup karena kepentingan studi, dan sesekali bertamasya keliling kota.1 Betapa pun demikian, novel ini menambah daftar bacaan mengenai biografi kota Jogjakarta.

Mata Air, Air Mata Kota menjadi media mendekati-mengenali Jogjakarta tempo dulu secara kreatif dan menyenangkan: cerita. Cerita tentang Jogjakarta dilihat melalui pengalaman hidup Pak dan Mbok Suro dan ketiga anaknya, yaitu Bagus, Gendhuk, dan Rio, dalam melakoni getir manisnya kehidupan. Kisah keluarga Suro mem(di)bingkai dari masa transisi, masa perubahan sosial besar-besaran, seperti terkonfigurasi pada babnya: “Jogjakarta 1970-an” dan Jogjakarta 1980-an”. Kedua bagian tersebut berjalan linier membingkai sejarah Jogjakarta: “Makanya, saya undang kalian ke sini [...] Sinau, belajar nyawang urip. Belajar sejarah” (Subanar, 2019: 8), dan membuat hukum kausalitas sendiri, meski tidak selalu presisi dan proporsional terkait narasi sejarah kebanyakan: “cuma” novel.

Setelah proses pemaparan novel-sejarah Jogjakarta, saya diantar dan dibawa masuk mendengarkan denyut kota dari beberapa tokoh. Masing-masing tokoh memaknai Jogjakarta berbeda satu sama lain, tidak jarang mengundang tanya, intrik, pertentangan, dan emosi dalam berbagai penilaiannya. Singkatnya, tidak beraspal mulus seperti imajinasi kita saat membayangkan sketsa Jogjakarta “tempo doeloe”, bahkan bisa jadi sebaliknya. Melalui mereka, identifikasi hubungan kota dan masyarakat (dan saya) terbaca dan terefleksikan.

Gejolak Jogja Tempo Dulu

Sekilas, Mata Air, Air Mata Kota seperti navigator atau tour guide, membimbing kita menerawang panorama Jogja tempo dulu. Sodoran arsip kota yang diuraikan secara kental—kadang terkesan seperti laporan etnografi atau mungkin sejarah alternatif kota—menjadi salah satu kekuatan tersendiri. Dari tokoh Pak Suro, Lanang, dan narator (aku-novel), saya hendak dibimbing dan diajak jalan-jalan melihat arsitektur kota, melewati ruas-ruas jalan Nol Kilometer-Gondomanan-Pekuncen-Patangpuluhan-Pasar Gedhe, gang-gang

desa di luar tembok keraton, deras alir Sungai Code, patung taman, juru taman, buruh batik rumahan, dan para bajingan (penarik gerobak), dst., yang menghidupi kota Jogjakarta.

Rumah Pak Suro terlihat nyempil, berada paling sudut di antara deretan gedung-gedung, dinaungi pohon waru besar dan terlihat kontras di antara bangunan-bangunan kokoh. Rumahnya itu hanya terbuat dari kayu, terselip di antara perempatan besar Jalan Senopati dan Jalan Gondomanan. [...] Sepotong tanah itu wilayah mereka. Sebelum masa Republik, tanah itu merdeka dari kekuasaan Kompeni Belanda karena menjadi pembatas antara kompleks militer di sekitar tangsi Benteng Vredeburg dan permukiman masyarakat sipil Belanda di sekitar Loji Kecil [...]

“Anak-anak saling berebut perhatian, mana bunga yang lebih muram, antara kenanga (Cananga odorata) atau melati (Jasminum sambac) [...] Melati tumbuh menjalar, maka diberi tiang dan tempat menjalar. Sedang kenanga yang dan bunganya hijau muda didekatkan dengan pohon kol banda (Pisonia alba) yang warna daunnya hijau muda. Indah kan jadinya!” (Subanar, 2019: 10-13).

39

Jogjakarta, Kota Nostalgis?

Page 21: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

41

matajendela

40

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

LINTAS Jogjakarta, Kota Nostalgis?FEBRIAN ADINATA HASIBUAN

Di titik tertentu, alih-alih mengambil efek memenuhi perasaan nostalgis, retorika narator dan Pak Suro terkesan kontradiktif dan berlebihan: ke-pintar-an (terlalu pintar) menamai varian bunga dalam bahasa sains (latin). Terlebih, melihat latar belakang Pak Suro (kelas bawah), batas pengetahuan (pengetahuan lokal), dan konteks zaman (akses terhadap pengetahuan ilmiah pada tahun itu terbatas pada kalangan priyayi dan elit). Di samping itu, gambaran harmonis, guyub, dan tenteram cukup stereotipikal dalam representasi kota atau desa pada tahun 70-an. Kesan itu dapat kita rasakan dari struktur Ronggeng Dukuh Paruk2, ketika mengeksplorasi tema desa Paruk dan isu komunisme: aman-tenteram dan berujung bencana. Meski premis awalnya sama, Subanar beranjak masuki konflik perkotaan di Jogjakarta.

Kendati demikian, dengan mengambil setting Jogjakarta tempo dulu, kisah masyarakat luar Keraton diurai lebih lanjut. Penyejajaran setting dan tokoh mensyaratkan hubungan personifikasi keluarga dan kota. Citra kota Jogjakarta harmonis-nostalgis disejajarkan dengan keluarga Suro: gairah hidup Pak Suro melakoni dharma juru taman, kebahagiaan Mbok Suro membatik sambil momong kedua anaknya (Gendhuk dan Rio), kegirangan Bagus menjelajahi lingkungan sekitar. Semua terasa harmonis meski secara ekonomis rentan.

Keharmonisan keluarga Suro tiba-tiba berubah menjadi mencekam. Masyarakat luar tembok Keraton sekejap berubah tintrim akibat geger ’65. Di luar dugaan, rantai produksi batik Mbok Suro lesu, masyarakat ngampet bicara, hanya ada bisik-bisik tetangga, sebagian tetangga hilang diciduk sosok tak dikenal, mata saling menaruh curiga, kebiasaan Bagus jelajah kampung terhenti, adiknya mendapat pengawasan ketat, mayat-mayat tersangkut di gejlik (pintu air). Situasi tidak menentu. Kerumitan konflik (pertentang elit politik) dan perubahan di luar sana tidak dipahami, dan cara protes tidak biasa bagi mereka. Beruntung, keluarga Suro selamat, berbekal ilmu titen, mengamati-mencermati penuh berhati-hati pada masa tintrim.

Sejak tintrim berhenti, yang ditandai banjir lumpur merapi, wajah Jogjakarta perlahan berubah. Kisah harmonis kota tinggal cerita. Perubahan bertahan lebih lama dari sebelumnya. Pembangunan proyek pom bensin memaksa Pak dan Mbok Suro mengabdi sebagai petugas keamanan dan penjual nasi rames dan anak-anak terpaksa ikut membantu bekerja mencukupi kebutuhan keluarga. Di sisi lain, televisi masuk dan mendongengi anak-anak, populasi kendaraan bermesin meningkat, gedung-gedung baru diproduksi, perbaikan jalan dilakukan, institusi pendidikan tumbuh, taman sebagai ruang publik tempat para bajingan berinteraksi dan tidak ketinggalan berita hilang, perilaku dan gaya hidup masyarakat pun berubah. Pak Suro kembali niteni situasi: “zaman sekarang kok rasanya banyak yang berubah” (Subanar, 2019: 123).

Singkatnya, wajah Jogjakarta berganti menjadi “modern”. Pendidikan jadi perhatian banyak orang. Hal itu terlihat dari bagaimana ketiga anak Pak dan Mbok Suro memproyeksikan hidupnya: Bagus kuliah mengambil jurusan

geologi, Gendhuk mendalami ilmu keguruan, dan Rio menjadi seorang perupa. Meski Pak Suro tidak mengerti ilmu yang didalami ketiga anaknya, ia tetap menerima:

“Jalan hidup bapakmu dari dulu seperti ini. Meneruskan pekerjaan simbahmu. Paklikmu pulang kampung ke menoreh, jadi tukang kayu. Kamu dan adimu juga beberapa kali prei, liburan ke sana biar ingat asal-usul. Hidup mereka ya tentrem dengan istri dan anaknya. Simbahmu di Imogiri dan keluarga besar di sana, sebagian juga bertani dan membatik. Malahan kamu sekarang wis lulus sekolah. Gendhuk di SMP juga kamu yang nggeret, mengajaknya dan ikut ngragati” (Subanar, 2019: 125-126).

Pergeseran dan perubahan tahap modernisasi ruang kota umumnya digambarkan bersifat oposisional, antara orang tua (kuno, kolot, dan antiperubahan) dan anak muda kota (melek pendidikan, “liberal”, dan modern). Secara mengejutkan, Pak Suro berusaha mengalir mengikuti arus dan memantapkan posisi, tidak paternalistik seperti dalam kebanyakan representasi “ayah-tradisi”. Sebut saja babeh dalam film Si Doel Anak Sekolahan yang konservatif, tidak boleh meninggalkan bahkan kehilangan kampung, yang merupakan sikap oposisi terhadap modernitas3. Menyikapi perubahan tersebut, Pak Suro cenderung terbuka, tidak otoritatif mengatur dan tidak antagonis.

Sikap mapakke awak atau menempatkan diri Pak Suro sebagai antisipasi perubahan kota merupakan salah satu resep menjalani kehidupan. Begitu pun ketika ia terusir dari kota Jogjakarta, lewat simbolisasi adegan gara-gara Dalang Ki Hadi Sugito: [...] Ri pada-pada soyung, Mboke Rara/cepak cepaka tanjung, mbokerara/ana tanjung dening kembang, mboke rara (Subanar, 2018: 180). Ia tahu, hidup adalah permainan, dan cara menjalani dan menikmati hidup adalah tergantung dirinya menempatkan diri. Di akhir kisah, ia kembali ke kampung halamannya.

Demikianlah kisah Jogjakarta dan Pak Suro yang penuh gejolak, dinamis, saling menegasi, dan berseberangan. Dharma juru taman, tidak mengejar materi, lencana penghargaan, bahkan status sosial ternyata berseberangan dengan visi Jogjakarta, yang butuh pom bensin, jalan halus, produktivitas ekonomi, dan pencitraan kota.

Antara Menerima dan Menolak

Menarik dicermati betapa penulis mengamati detail perubahan kota Jogjakarta dan para tokoh. Selanjutnya, Pak Suro, Putri, dan Rio menjadi fokus bagian ini. Mereka

1 Selain kebutuhan studi, mengenali Jogjakarta biasa dilakukan dengan belajar bahasa Jawa-Jogja, ngobrol di angkringan, plesir ke objek wisata, men-gunjungi pasar kangen, hingga menghadiri agenda-agenda seni

2 Suasana ini juga ditemukan di novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, desa tentram dan eksotis, dan berujung kekacauan dan sengkarut politik elit, tepatnya ketika orang-orang yang disebut PKI da-tang mempropagandakan ideologi komunis di Dukuh Paruk. Kekacauan tidak hanya dirasakan masyarakat, tapi juga kekacauan hati Srintil. Eka Kurniawan, Salihara.

3 Keluarga Si Doel digambarkan direpresentasikan dilema masyarakat perkotaan melalui gempuran kapitalisme, konstruksi identitas, dan marjinalisasi penduduk ‘Betawi Asli’ di tengah arus zaman. Budianta, Melani (2008). Representasi Kaum Pinggiran dan Kapitalisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

4 Di balik kota Bali yang eksotis nan menawan tersimpan sejarah kelam tentang peperangan antar kerajaan, peran kolonial Belanda, pembantaian, dan kepentingan pariwisata. Namun, sederet peristiwa itu pernah muncul ke permukaan publik. Robinson, Geoffrey (2006). Sisi Gelap Pulau Dewata. Yogyakarta: Lkis.

“Menarik dicermati betapa penulis mengamati detail

perubahan kota Jogjakarta dan para tokoh. Selanjutnya,

Pak Suro, Putri, dan Rio menjadi fokus bagian ini. Mereka

adalah salah satu dari sekian tokoh yang menarik

dalam memandang Jogja. Latar belakang, motivasi,

pengalaman hidup, dan bersikap pada Jogjakarta

selalu bersifat personal (dan mungkin kolektif). Lebih

lanjut, saya hendak berbicara bahwa penerimaan dan

penolakan adalah drama menegangkan.”

41

Jogjakarta, Kota Nostalgis?

Page 22: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari

42

SE

NI B

UD

AY

A Y

OG

YA

KA

RTA

LINTAS FEBRIAN ADINATA HASIBUAN

adalah salah satu dari sekian tokoh yang menarik dalam memandang Jogja. Latar belakang, motivasi, pengalaman hidup, dan bersikap pada Jogjakarta selalu bersifat personal (dan mungkin kolektif). Lebih lanjut, saya hendak berbicara bahwa penerimaan dan penolakan adalah drama menegangkan.

Seperti dipaparkan di atas, semula Pak Suro diterima (masyarakat) dan menerima (menjadi masyarakat) sepenuhnya di kota Jogjakarta. Namun, di akhir cerita ia disingkirkan secara langsung oleh Dinas Pertanahan: “[...]dari keputusan pengadilan, akta dari notaris serta Surat Tanah berstatus HGB dengan nama pemilik baru.[...]” (Subanar, 2019: 175). Eksplisit, penyingkiran Pak Suro dari kota Jogjakarta, tidak lain adalah sistem regulasi: habisnya status kontrak tanah (rumah) yang masih HGB di bawah payung Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG), dan pihak pemerintah menutup taman kota dan mendirikan pom bensin. Jika kita kaitkan dengan konteks nasional tahun-tahun tersebut, Orba sedang ketiban rezeki nomplok Oil Boom (sebagai anggota OPEC) dan menopang agenda Repelita. Dua alasan besar itu merujuk pada dua kata kunci: profesi usang dan (dihitung) non-pribumi.

Sementara itu, tokoh Putri, mahasiswa migran dari Kalimantan dan kekasih Bagus, dengan cukup kritis menilai Jogjakarta. Pengalaman hidup Puti di kota Jogjakarta tidak kalah rumit, kadang menolak dan menerima. Ia menaruh perhatian besar pada sistem pengelolaan ekonomi-budaya pembatik yang dikerjakan bukan buat modal panjat sosial, melainkan menjadi modal keterampilan untuk menopang hidup seperti Mbok Suro. Selain itu, dirinya juga tidak sepakat terhadap Jogjakarta, seperti diwakili logika berpikir Bagus ketika menceritakan kotanya:

“Putri tak mau berbantah. Cara Bagus bertutur masih terlalu pusat pada kekuasaan yang dibangun oleh penguasa, bukan berlawanan yang dibangun dari bawah. Padahal Bagus sendiri seorang pelaku berjuang dari bawah. Putri mengagumi dan mencintai Bagus karena perjuangannya.” (Subanar, 2019: 156)

Dari sudut lain, perantauannya ke Jogjakarta menciptakan kisah hidup tak terlupakan. Selain pengetahuan formal yang didapatkan dari perguruan tinggi, ia memperoleh wawasan tentang kesamaan pengalaman dan nasib ketika melihat pohon-pohon ditebang atas nama HPH atau

sambutan hangat keluarga Suro, bahkan memperoleh tambatan hatinya.

Posisi lain diambil tokoh Rio. Meski porsi penceritaannya tidak begitu besar, dia menjadi salah tokoh menarik dalam kaitan penerimaan atas kota. Lahir dan tumbuh besar di masa transisi, ketika televisi berpadu padan dengan batik dan arsitektur kota Jogjakarta, tidak terlalu bertolak belakang dan kehidupan urban dan tidak bersifat antagonis. Sebaliknya, pertemuan masing-masing justru menjadi bekal referensi visual melukisnya. Lalu ia memutuskan bergabung di Kelompok PIPA, Kepribadian Apa, gerakan seni rupa yang sedang menjadi tren di kalangan anak muda saat itu. Aktivitas melukis menjadi alasan besar ia tetap tinggal di Jogjakarta dan sejauh itu kisahnya tidak ada pertentangan. Sosok ini agaknya diidealkan oleh penulis sesuai konteks zaman: “satu langkah membentuk masyarakat yang kritis” (Subanar, 2019: 173). Ya, barangkali seni lebih mudah diterima daripada juru taman atau bahkan kekuasaan (?).

***

Selesai membaca Mata Air, Air Mata Kota, (sekali lagi) saya memperoleh perspektif baru: betapa memaknai Jogjakarta tidak semudah membaca ensiklopedi, brosur wisata, dan bahkan ke Pasar Kangen. Di balik nostalgia tempo dulu, Jogjakarta sarat pertentangan-pertentangan, air mata, sengketa batin, penyingkiran, dan darah yang dibiarkan tersimpan rapi dalam memori seseorang. Imaji nostalgis Jogjakarta tempo dulu, meminjam kata-kata Robinson, adalah “surga terakhir”4 yang dilanggengkan dan dieksploitasi sebagai alat melapangkan kepentingan tertentu. Sayangnya, problem dalam pemandangan itu sampai hari ini tak kunjung ditemukan jalan keluarnya.

Febrian Adinata Hasibuan pernah tinggal di Jogajakarta. Kini tinggal di Banjarnegara.

Page 23: YOGYA dAn inGAtAn-inGAtAn KitA tEntAnGnYA · 2020. 1. 8. · SENI BUDAYA YOGYAKARTA MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari