xa.yimg.comxa.yimg.com/kq/groups/86529852/1121167506/name/bab+ii.docx · web viewpada dasarnya,...

27
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN Tujuan pengobatan TB adalah: 3 1. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas. 2. Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya. 3. Mencegah kekambuhan. 4. Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain. 5. Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya. Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi guidelines program penanggulangan TB nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO. Menurut ISTC terdapat 7 standar dalam pengobatan TB (standar 7-13). STANDAR 7 Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi lebih lanjut dan terjadinya resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib memberikan panduan obat yang memadai tapi juga memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan sarana lain, jika memungkinkan, untuk menilai kepatuhan pasien serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi . 3,4 STANDAR 8 Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Dosis obat anti TB yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) sangat direkombinasikan. 3,4

Upload: vankhuong

Post on 26-Mar-2018

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

Tujuan pengobatan TB adalah:3

1. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas.2. Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya.3. Mencegah kekambuhan.4. Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain.5. Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya.

Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan.

International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi guidelines program penanggulangan TB nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO. Menurut ISTC terdapat 7 standar dalam pengobatan TB (standar 7-13).

STANDAR 7

Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi lebih lanjut dan terjadinya resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib memberikan panduan obat yang memadai tapi juga memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan sarana lain, jika memungkinkan, untuk menilai kepatuhan pasien serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi.3,4

STANDAR 8

Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Dosis obat anti TB yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) sangat direkombinasikan.3,4

Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:2

1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap Awal (Intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Tabel 1. Pengelompokan OAT2

Tabel 2. Jenis, Sifat, dan OAT Lini Pertama2

Paduan OAT yang Digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:

o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)o Kategori Anak: 2HRZ/4HRo Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia

terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamycin, capreomisin, levofloksasin, ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak.Adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniasid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.

3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

Paduan OAT Lini Pertama dan Peruntukannya

A. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

Pasien baru TB paru BTA positif. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif. Pasien TB ekstra paru

Tabel 3. Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori 12

Tabel 4. Dosis Paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 12

B. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 5. Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 22

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 22

Catatan:

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.

Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest

sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.(1ml = 250mg).

C. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 7. Dosis KDT untuk Sisipan2

Tabel 8. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan2

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.

STANDAR 9

Untuk meningkatkan serta mengevaluasi kepatuhan terhadap pengobatan, dilakukan pendekatan yang berfokus pada pasien, didasari oleh kebutuhan pasien serta adanya hubungan yang saling menghargai di antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Supervisi dan dukungan yang dilakukan seharusnya menaruh perhatian khusus pada gender dan kelompok usia, serta harus pula sesuai dengan intervensi yang dianjurkan, termasuk di dalamnya edukasi dan konseling pasien.

Elemen yang utama pada pendekatan ini adalah penggunaan pengukuran untuk menilai, meningkatkan kepatuhan berobat, dan mendeteksi ketidakpatuhan. Adapun pengukuran ini dibuat secara khusus sesuai keadaan masing – masing individu dan dapat diterima oleh baik pasien maupun pemberi pelayanan. Salah satu metode yang dipakai adalah pengawasan

langsung minum obat oleh seorang PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggung jawab kepada pasien dan sistem kesehatan.3,4

Kepatuhan Berobat dan Faktor yang Mempengaruhinya

Esensi yang secara jelas diungkapkan pada standar ini adalah pentingnya hubungan seorang pasien dengan penyedia layanan kesehatan untuk berkolaborasi dan berusaha meningkatkan kepatuhan pengobatan. Dengan mengasumsikan tatalaksana telah diresepkan secara tepat, hal ini adalah salah satu faktor kritikal untuk keberhasilan terapi.

Akan tetapi, pada kenyataannya, kepatuhan sering menjadi sebuah masalah besar dalam perjalanan terapi mengingat durasi pengobatan yang umumnya panjang (minimal 6 bulan). Tanpa dilakukannya sistem dukungan yang baik, seringkali pasien menghentikan pengobatan, terutama dengan alasan telah merasa sembuh ataupun karena adanya efek samping obat. Sebagai akibatnya, justru terjadi infeksi yang berkepanjangan, perburukan penyakit, atau bahkan resistensi obat.

Kepatuhan pasien untuk menjalani pengobatan tuberkulosis berkaitan dengan banyak hal, misalnya penyedia layanan kesehatan, interpretasi dan persepsi pasien mengenai konsep sehat dan sakit, beban ekonomi, pengetahuan, sikap, dan tingkah laku, hukum dan kebijakan yang berlaku, efek samping pengobatan, keluarga dan lingkungan sekitar, serta beragam faktor lainnya.4

Bila ditelaah lebih lanjut, kepatuhan pada dasarnya adalah sebuah fenomena multi dimensional yang mencakup 5 faktor utama, yaitu:

Faktor terkait sosial ekonomi.

Beberapa kondisi sosial ekonomi yang diketahui dapat mempengaruhi kepatuhan pada pengobatan tuberkulosis antara lain tidak adanya sistem dukungan yang efektif, lingkungan tidak stabil, faktor budaya sekitar, stigma, mahalnya biata medikasi, mahalnnya biaya transportasi, dan lain – lain.

Untuk mengatasinya, diperlukan sistem dukungan sosial yang baik, disediakannya sarana transportasi yang memadai untuk keperluan terapi, dikembangkannya organisasi berbasis komunitas, dukungan rekan sebaya, dukungan pada keluarga dan komunitas, serta edukasi pada komunitas dan penyedia layanan kesehatan untuk mengurangi stigma.

Faktor terkait sistem layanan kesehatan.

Bila ternyata pelayanan kesehatan sangat buruk, tidak terdapat hubungan yang baik antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan, petugas yang kurang terlatih, serta ketidakberadaan ahli, kepatuhan pasien juga dapat berubah.

Oleh karena itu, masalah di atas diatasi dengan memperbaiki availabilitas petugas, melakukan pelatihan dan manajemen untuk meningkatkan kualitas penyedia layanan, supervisi intensif pada petugas, dan pelayanan yang multidisipliner.

Faktor terkait kondisi.

Beberapa kondisi khusus yang dialami oleh pasien dapat memberikan pengaruh buruk pada kepatuhan meminum obat, misalnya kasus asimtomatik, penurunan kesadaran akibat penyalahgunaan obat, stres psikologis, dan depresi.

Di lain pihak, bila seorang pasien memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai TB serta pengobatannya, nilai kepatuhan pun akan membaik.

Oleh karenanya, pemberian edukasi mengenai penyakit maupun tatalaksana yang akan dilakukan baik jangka pendek maupun jangka panjang pada dasarnya adalah wajib.

Faktor terkait terapi.

Terapi pada TB dapat dikatakan kompleks, tidak jarang menimbulkan efek samping, dan dapat pula menimbulkan efek toksik sebagai akibat dari seringnya konsumsi. Terkait dengan faktor terapi ini, usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan adalah penjelasan mengenai setiap obat dan efek sampingnya, penggunaan preparat kombinasi fixed dose, pengobatan yang disesuaikan dengan kondisi pasien / tailored, dan monitor serta penilaian secara ketat.

Faktor terkait pasien.

Pada dasarnya, seluruh aspek kepatuhan dikembalikan kembali pada sifat dari pasiennya. Kepatuhan yang buruk akan ditemui pada pasien pelupa, pasien dengan penyalahgunaan obat, depresi, stres, maupun pasien yang terasingkan sebagai akibat dari stigma yang ada. Kondisi berbeda akan ditemui pada pasien yang telah telah mendapatkan motivasi yang cukup ataupun percaya benar pada efektivitas terapi.

Untuk mengatasinya, dibutuhkan adanya tenaga yang siap mengingatkan pasien baik dengan cara kunjungan langsung maupun pengingat melalui telepon.4

Hal yang penting untuk diingat adalah setiap terapi dan dukungan yang akan dilakukan kembali harus disesuaikan karena kombinasi kelima faktor tadi akan berbeda untuk setiap individu, atau dengan kata lain dijalankan terapi yang bersifat tailor made / berfokus pada pasien. Melihat adanya kelima faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kepatuhan bukanlah semata – mata berurusan hanya dengan pasien, akan tetapi merupakan persoalan kompleks yang juga harus ditinjau dari berbagai faktor lainnya.

Directly Observed Therapy

Meskipun masih menjadi kontroversi karena bervariasinya temuan hasil penelitian, salah satu strategi terkini yang diyakini dapat berdampak positif pada tatalaksana tuberkulosis adalah pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung (Directly Observed Therapy / DOT), sesuai dengan poin ke tiga pada DOTS.3,4

Pengawasan pada pasien dengan tuberkulosis dapat dilakukan pada saat rawat jalan oleh seorang paramedis bila pasien dapat datang secara rutin atau oleh seorang petugas rumah sakit bila pasien dirawat. Di samping itu, orang lain seperti kader maupun tokoh masyarakat dapat saja berperan menjadi seorang Pengawas Minum Obat (PMO) asalkan memenuhi persyaratan:

Bersedia dengan sukarela membantu pasien tuberkulosis hingga sembuh selama pengobatan dengan OAT, serta menjaga kerahasiaan penderita HIV / AIDS.

Diutamakan seorang petugas kesehatan, tetapi dapat pula kader kesehatan ataupun anggota keluarga yang disegani oleh pasien.3

Dalam pelaksanaan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan bahwa alasan ditunjuk seorang PMO, yang harus pula hadir pada kesempatan tersebut. Adapun secara umum tugas dari seorang PMO ke depannya antara lain:

Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik Melakukan pengawasan minum obat terhadap pasien Mengingatkan pasien untuk memeriksa ulang dahaknya sesuai dengan jadwal yang

telah ditentukan Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai Mengenai efek samping minor akibat obat dan menasihati pasien agar tetap mau

meminum obat Merujuk pasien bila efek samping berat muncul Melakukan kunjungan rumah Menganjurkan anggota keluarga lain untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala

untuk tuberkulosis.3

Poin yang membuat strategi ini digemari adalah keberadaan supervisi yang ketat. Dengan adanya jaminan bahwa obat telah secara pasti diminum oleh pasien, dengan kembali mengasumsikan bahwa tidak terdapat kesalahan diagnosis ataupun pemilihan regimen, maka tentu hasil akhir dari terapi yang diberikan akan memuaskan dan hanya terdapat risiko minimal untuk resistensi. Bila terjadi efek samping, dapat pula dilakukan deteksi dini. Di samping itu, pendekatan yang berfokus pada pasien ini juga dapat meminimalisir terjadinya stigma dan faktor psikologis lain yang juga dapat mempengaruhi kepatuhan.4

STANDAR 10

Respon terhadap terapi pada pasien TB paru harus dimonitor dengan pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) waktu fase inisial selesai (dua bulan). Jika apus dahak positif pada akhir fase inisial, apus dahak harus diperiksa kembali pada tiga bulan dan, jika positif, biakan dan uji resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin harus dilakukan. Pada pasien TB ekstra paru dan pada anak, penilaian respons pengobatan terbaik adalah secara klinis.3,4

STANDAR 11

Penilaian pada kecenderungan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, paparan pada organisme yang mungkin menyebabkan resistensi, dan prevalensi resistensi pada komunitas harus dilakukan pada seluruh pasien. Tes efektivitas obat harus dilakukan pada awal terapi bagi seluruh pasien.

Pada pasien yang masih menunjukkan hasil BTA positif setelah tiga bulan pengobatan, gagal berobat, atau kambuh, harus dilakukan penilaian resistensi obat. Bila kecurigaan terhadap resistensi besar, maka dilakukan kultur dan tes resistensi untuk isoniazid dan rifampisin. Konseling serta edukasi pasien harus dimulai sesegera mungkin untuk meminimalisir potensi transmisi. Demikian pula dengan pengendalian infeksi.3,4

Resistensi obat pada dasarnya adalah salah satu konsekuensi serius yang dapat muncul sebagai akibat dari regimen dan tatalaksana yang suboptimal.4 Pada kasus resistensi, terdapat setidaknya lima faktor yang saling berkolaborasi, yaitu:

Faktor mikrobiologik

Resistensi dapat terjadi secara natural maupun didapat, sebagai akibat dari virulensi kuman yang tinggi, serta penularan kuman yang telah resisten.3 Pasien dengan resistensi obat dapat menularkan kuman yang telah resisten tersebut kepada orang lain yang berkontak dengan dirinya, seperti yang ditemui pada banyak penderita TB dengan HIV, sesama yang tinggal dalam penjara, atau tempat penampungan lainnya.4

Faktor klinik, sebagai akibat dari penyelenggara kesehatan, obat, maupun pasien.

Faktor penyelenggara kesehatan yang berperan adalah terjadinya keterlambatan diagnosis, pengobatan yang tidak mengikuti pedoman, penggunaan OAT yang tidak adekuat baik dari jenis obat atau telah terjadinya resistensi, tidak adanya pedoman yang tersedia, buruknya organisasi program nasional TB, tidak adanya pelatihan TB, tidak ada supervisi, serta fenomena addition syndrome, yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal sehingga memperpanjang deretan jumlah obat yang resisten.3

Faktor klinik dari obat adalah lamanya pengobatan yang harus dijalankan sehingga cenderung membosankan, munculnya efek samping/efek toksik, kegagalan penyerapan obat akibat kesalahan waktu meminum obat atau diare, kualitas obat kurang baik, serta dosis yang tidak tepat.3,4

Faktor pasien yang berperan adalah tidak optimalnya atau bahkan tidak adanya PMO, kurangnya informasi atau penyuluhan, ketidakpatuhan berobat, kurangnya dana untuk obat, kesulitan sarana dan prasarana transportasi, dan masalah sosial.3

Faktor program, di antaranya tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan, keterbatasan stok obat, harga obat yang tidak terjangkau, pengadaan obat yang terputus, tidak dijalankannya program atau tidak maksimalnya program yang berjalan.

Faktor HIV / AIDS dan kondisi komorbid lainnya, antara lain malabsorbsi, diare, infeksi HIV, penggunaan obat anti jamur.

Faktor kuman, terutama untuk kuman dengan sifat super strain, yang biasanya sangat virulen dan memiliki daya tahan hidup lebih tinggi.3

Dari seluruh kemungkinan yang ada, faktor terkuat yang dapat menyebabkan adanya resistensi obat adalah pengobatan anti tuberkulosis sebelumnya.4 Secara umum, resistensi pada obat TB dapat diklasifikan menjadi:

Resistensi primer, bila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan

Resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah telah terdapat riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau memang belum pernah sebelumnya

Resistensi sekunder, bila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT lebih dari 1 bulan.3

Resistensi obat TB ini kembali dapat diklasifikasikan ke dalam lima jenis resistensi, yaitu:

Mono resisten, bila hanya kebal terhadap satu jenis OAT. Poli resisten, bila terdapat kekebalan pada lebih dari satu OAT selain kombinasi

isoniazid dan rifampisin. Resistensi obat ganda (multi drug resistance), didefinisikan dengan kuman yang telah

resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya.3

Resistensi obat ekstensif (extensive drug resistance), yaitu kriteria MDR ditambah kekebalan terhadap satu obat golongan fluorokuinolon, dan setidaknya salah satu dari OAT injeksi lini ke dua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).3,4

Resistensi obat total, baik dengan lini pertama maupun ke dua, sehingga tidak ada lagi obat yang dapat dipakai.3

Adapun secara umum penilaian untuk resistensi obat perlu dilakukan bila terdapat kondisi berikut:

Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1. Pasien TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2 dibuktikan dengan rekam

medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu. Pasien TB paru dengan gagal konversi setelah sisipan dengan kategori 1. Pasien TB paru dengan gagal konversi setelah sisipan dengan kategori 2. Pasien TB yang pernah mendapatkan terapi dari fasilitas non DOTS, termasuk pada

penggunaan terapi lini ke dua seperti kuinolon dan kanamisin. TB paru kasus kambuh setelah dinyatakan sukses terapi. Pasien TB yang kembali setelah lalai / default pada pengobatan kategori 1 maupun 2 Suspek TB dengan keluhan, yang sering berkontak atau tinggal dekat dengan pasien

TB – MDR yang telah terkonfirmasi. TB-HIV.3,4

Seluruh suspek TB-MDR dalam hal ini akan diperiksa dahaknya di laboratorium yang telah dijamin mutunya. Kemudian, akan dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan untuk

OAT lini pertama.3,4 Bila terdapat riwayat pemakaian obat lini ke-2, dilakukan pula uji kepekaan untuk OAT lini ke-2 tersebut.3

STANDAR 12

Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita TB yang disebabkan oleh kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti TB lini kedua. Paduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitivitas obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti. Paling tidak digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi biakan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan.3,4

Penyebab tersering MDR adalah gagal dalam memberikan pengobatan efektif, ketidakpatuhan minum obat, terlambat mengedukasi pasien yang tidak patuh, dosis obat yang tidak adekuat, menambahkan satu obat baru dalam pengobatan yang gagal, dan gagal mengidentifikasi resistensi obat yang ada. Tiga strategi yang direkomendasikan oleh WHO adalah regimen terstandarisasi, regimen empiris, dan regimen pengobatan untuk masing-masing individu. Pemilihannya harus berdasarkan ketersediaan obat lini kedua, pola resistensi obat di tempat tersebut, dan riwayat penggunaan obat lini kedua sebelumnya. Penggunaan minimal adalah 6 hari dalam seminggu dan dosis obat ditentukan oleh berat badan pasien, penggunaan agen injeksi (aminoglikosida dan kapreomisin). Sambil menunggu hasil DST (Drug Susceptibility Testing), dapat diberikan terapi empiris untuk mencegah kerusakan dan transmisi.4

Adapun kelompok OAT yang digunakan dalam pengobatan TB resisten obat adalah:

1. Kelompok 1: OAT lini 1 yaitu isoniazid (H), rifampisin (R), etambutol (E), pirazinamid (Z), dan rifabutin (Rfb).3

2. Kelompok 2: obat suntik berupa kanamisin (Km), amikasin (A), kapreomisin (Cm), dan streptomisin (S).3

3. Kelompok 3: Fluorokuinolon berupa moksifloksasin (Mfx),levofloksasin (Lfx), dan ofloksasin (Ofx). Moksifloksasin memiliki konsentrasi hambat minimal paling rendah. Sedangkan siprofloksasin harus dihindari pemakaiannya karena menimbulkan efek samping berat pada kulit berupa fotosensitif. Disamping itu, ditemukan pula resistensi silang antara etionamid dengan aminoglikosida, fluorokuinolon, sikloserin, dan terizidon.3

4. Kelompok 4: bakteriostatik OAT lini kedua yaitu etionamid (Eto), protionamid (Pto), sikloserin (Cs), terzidone (Trd), dan PAS.3

5. Kelompok 5: obat yang belum diketahui efektivitasnya yaitu klozamin (Cfz), linezoid (lzd), amoksiklav (amx/clv), tiosetazone (Thz), imipenem/ cilastin (Ipm/cln), H dosis tinggi, dan klartitromisin (Clr).3

Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs.Z: Pirazinamid, E:etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs: Sikloserin. Etambutol tidak diberikan jika terbukti resisten.3 Pemberian obat suntik berdasarkan hasil konversi dimana obat suntik diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur pertama menjadi negative. Disamping itu, keadaan klinis dan foto toraks dapat membantu dalam menentukan penghentian obat suntik. Namun, berdasarkan rekomendasi, pengobatan harus dilanjutkan hingga minimal 18 bulan. Pengobatan yang lebih lama hingga 24 bulan dapat diberikan pada TB kasus kronik.3

Selain pengobatan, tatalaksana tersering TB MDR adalah reseksi. Akan tetapi, pembedahan tidak direkomendasikan untuk TB dengan gangguan paru luas bilateral. Oleh karena itu, pembedahan lebih diindikasikan untuk kelainan satu lobus atau paru unilateral. Pembedahan baru dapat dilakukan setelah 2 bulan menggunakan obat yang bertujuan untuk menurunkan infeksi paru. Obat tetap diberikan 12-24 bulan pasca pembedahan.3

Tabel 9. Pengobatan TB Lini Kedua5

Pada pasien non-HIV, konversi terjadi pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus. Kunci utama dalam pencegahan MDR adalah pemberian OAT yang benar dan pengawasan yang baik.3

STANDAR 13

Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek samping seharusnya disimpan untuk pasien.3,4

Keberlangsungan OAT seperti yang disebutkan pada DOTS poin keempat dimana pengadaan OAT harus secara berkesinambungan baik untuk lini pertama maupun kedua. Dalam pengadaan tersebut, dibutuhkan perencanaan yang terstruktur sehingga distribusi obat merata dan tanggung jawab dari pemerintah daerah maupun pusat. Distribusi obat berdasarkan tanggal kadaluarsa, atas permintaan dari obat ke gudang kabupaten, kota, atau provinsi sesuai dengan perencanaan tahunan. Selanjutnya, dengan menggunakan formulir TB 13 diberikan laporan triwulan mengenai penerimaan dan pemakaian obat OAT. Selanjutnya, dinas kesehatan provinsi akan merekapitulasi formulir tersebut dan melaporkannya kepada kementerian kesehatan. Setelah sampai di tempat tujuan, obat harus disimpan dengan baik untuk memelihara mutu barang, menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab, menjaga kelangsungan persediaan, dan memudahkan pengawasan.2

Adapun cara penghitungan kebutuhan OAT adalah: Kebutuhan OAT= Konsumsi OAT per bulan dalam satuan paket x periode perencanaan dan pengadaan dalam satuan bulan + (stok dalam satuan paket – (stok sekarang dalam satuan paket + stok dalam pesanan pasti dalam satuan paket)).2

Contoh Alur Permintaan, Distribusi, dan Pelaporan Logistik

Bagan 1. Alur permintaan, Distribusi, dan Pelaporan Logistik2

Dengan kata lain, hal yang perlu dilakukan dalam menjamin keberlangsungan pengobatan adalah:

Memfasilitasi perusahaan obat lokal dalam proses pra-kualifikasi (white listing). Memastikan ketersediaan obat dan logistik non-OAT (reagen, peralatan dan suplai

laboratorium) yang kontinyu, tepat waktu dan bermutu di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS, termasuk di fasilitas yang melayani masyarakat miskin dan rentan.

Menjamin sistem penyimpanan dan distribusi obat TB yang efektif dan efisien, termasuk kemungkinan untuk bermitra dengan pihak lain.

Menjamin distribusi obat yang efisien dan efektif secara berjenjang sesuai kebutuhan. Menjamin terlaksananya sistem informasi manajemen untuk obat TB (termasuk

sistem alert elektronik dan laporan pemakaian dan stok OAT).2

OBAT ANTI-TUBERKULOSIS6,7,8

1. ISONIAZID (INH)

Saat ini Isoniazid merupakan obat paling aktif dalam pengobatan penderita TB. Isoniazid adalah asam isonikotinat hidrazid (INH). Obat ini merupakan molekul sederhana yang kecil (BM 137) dan bebas larut dalam air. Struktur kimia obat ini mirip piridoksin.

Aktivitas Antimikobakterium

In vitro, INH menghambat kebanyakan basil tuberkel pada konsentrasi 0,2µg/ml atau kurang. INH juga bersifat bakterisidal untuk basil tuberkel yang tumbuh secara aktif. Mekanisme kerja INH terlibat dalam penghambatan enzim yang esensial untuk sintesis asam mikolat dan dinding sel mikobakterium. INH dan piridoksin strukturnya analog. INH bersifat antagonis kompetitif pada reaksi yang dikatalisis piridoksin.

Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi berhubungan dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. Resistensi tampaknya berkaitan dengan penghapusan suatu gen (katG) yang memberi kode untuk enzim katalase dan peroksidase mikobakterium. Namun demikian, penelitian lain menunjukkan bahwa masalah gen tersebut masih tanda tanya, dan faktor – faktor lain mungkin terlibat. Penggunaan INH juga dapat menyebabkan timbulnya strain baru yang resisten. Perubahan sifat dari sensitif menjadi resisten biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah pengobatan dimulai.

Farmakokinetik

INH mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Pemberian dosis biasa (5mg/kg/hari) menghasilkan konsentrasi puncak plasma 3-5 µg/ml dalam 1 – 2 jam. INH berdifusi segera ke dalam seluruh cairan tubuh dan jaringan. Konsentrasi di SSP dan CSP lebih kurang 1/5 dari kadar plasma. Kadar obat di intraseluler dan ekstraseluler sama.

Di hati, INH terutama mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik, ada ras yang merupakan asetilator cepat (orang Eskimo, Jepang), ada pula yang merupakan asetilator lambat (orang Skandinavia, Kaukasia Afrika Utara). Pada pasien yang tergolong asetilator cepat, kadar INH dalam sirkulasi berkisar antara 30-50% kadar pada pasien dengan asetilasi lambat. Masa paruh rata – rata pada asetilator cepat hampir 70 menit, sedangkan nilai 2 – 5 jam adalah khas untuk asetilator lambat. INH diekskresikan terutama dalam urin –sebagian besar dalam bentuk obat utuh, sebagian dengan bentuk asetilasi, dan sebagian sebagai konyugat lain.

Efek Samping

Insiden beratnya efek samping dari INH berkaitan dengan dosis dan lama pemberiannya.

a. Reaksi Alergi : demam, kulit kemerahan, hepatitis sering terjadib. Toksisitas langsung

Efek toksik yang paling sering (10-20%) terjadi pada sistem saraf perifer dan pusat. Hal tersebut disokong dengan adanya defisiensi piridoksin, mungkin merupakan hasil kompetisi INH dengan piridoksal fosfat terhadap enzim apotriptofanase. Reaksi – reaksi toksik ini termasuk neuritis perifer, insomnia, lesu, mulut terasa kering, retensi urin, bahkan konvulsi serta episode psikotik. Kebanyakan dari komplikasi ini dapat dicegah dengan pemberian piridoksin.

INH berkaitan dengan hepatotoksisitas, dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Penggunaan obat ini pada pasien yang menunjukkan adanya kelainan fungsi hati akan menyebabkan bertambah parahnya kerusakan hati. Hal ini mungkin disebabkan oleh asetilhidrazin, suatu metabolit isoniazid, dapat menyebabkan kerusakan hati. Kerusakan hati jarang terjadi pada pasien yang berumur di bawah 35 tahun. Kelainan yang banyak ditemui adalah meningkatnya aktivitas enzim transaminase. Pasien yang mendapat INH hendaknya selalu diamati dan dinilai kemungkinan adanya gejala hepatitis, kalau perlu diperiksa aktivitas SGOT. Pemberian obat dihentikan bila aktivitas enzim transaminase melebihi 5 kali normal.

2. RIFAMPIN

Rifampin merupakan obat besar (BM 823), turunan kompleks rifamisin semisintetik, suatu antibiotika yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. In vitro, obat ini aktif terhadap beberapa kokus gram positif dan negatif.

Aktivitas Antimikobakterial dan Farmakokinetik

Rifampin berikatan secara kuat dengan RNA polimerase yang bergantung pada DNA serta menghambat sintesis RNA bakteri dan klamidia. RNA polimerase manusia tidak dipengaruhi. Bila diberikan bersama INH, rifampin selalu bersifat bakterisidal terhadap mikobakterium dan cendrung mensterilisasi jaringan yang terinfeksi. Rifampin mempenetrasi sel fagositik dengan baik serta membunuh mikobakterium intraselular dan organisme lain.

Rifampin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral dan diekskresikan melalui hati ke dalam empedu. Obat ini kemudian mengalami resirkulisasi enterohepatik, dengan sejumlah besar diekskresikan dalam tinja dan sebagian kecil melalui urin. Dosis biasa menghasilkan kadar obat dalam serum 5 -7 µg/ml. Rifampin didistribusikan secara meluas ke seluruh cairan dan jaringan tubuh.

Efek Samping

Rifampin menimbulkan warna oranye yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air mata, dan lensa mata. Efek samping yang sering terjadi termasuk kulit kemerahan, trombositopenia, nefritis, dan gangguan fungsi hati. Rifampin biasanya menyebabkan proteinuria rantai ringan dan mungkin mengganggu respons antibodi. Bila obat ini diberikan kurang dari 2x seminggu, rifampin dapat menyebabkan ’flu like syndrome’ dan anemia. Rifampin menginduksi enzim mikrosomal, sehingga obat ini dapat meningkakan eliminasi antikoagulan dan kontrasepsi.

3. ETAMBUTOL

Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik, larut dalam air, senyawa yang stabil dalam keadaan panas. Secara in vitro, banyak strain M. tuberculosis dan mikobakteria lain dihambat oleh etambutol dengan konsentrasi 1-5 µg/ml. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik. In vivo, sukar menciptakan resistensi terhadap etambutol dan timbulnya pun lambat, tetapi resistensi ini timbul bila etambutol digunakan tunggal.

Farmakokinetik

Etambutol diabsorpsi dengan baik dari usus. Kadar puncak obat dalam darah berkisar 2 - 5 µg/ml yang dicapai dalam waktu 2 – 4 jam. Kadar etambutol dalam eritorsit 1 – 2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu, eritrosit dapat berperan sebagai depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke dalam plasma.

Dalam waktu 24 jam, lebih kurang 20% obat ini diekskresikan dalam tinja dan 50% di urin dalam bentuk utuh. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah-otak.

Efek Samping

Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Efek samping yang paling penting adalah gangguan penglihatan, biasanya bilateral. dapat berupa turunnya tajam penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapang pandang. Insidens efek samping ini makin tinggi sesuai dengan peningkatan dosis, tetapi bersifat mampu pulih. Selain itu, terapi etambutol menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada 50% pasien. Hal ini disebabkah oleh penurunan ekskresi asam urat melalui ginjal. Efek samping lainnya yaitu ruam kulit, demam, pruritus, nyeri sendi, halusinasi. Karena jarang menimbulkan efek samping yang berbahaya, etambutol dalam paduan terapi tuberkulosis mencegah timbulnya resistensi kuman terhadap antituberkulosis lain.

4. PIRAZINAMID

Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat ini tidak larut dalam air.

Aktivitas Antibakteri

Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. In vitro, pertumbuhan kuman TB dalam monosit dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 µg/ml.

Farmakokinetik

Pirozinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 µg/ml pada 2 jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini 10- 16 jam.

Efek Samping

Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Gejala pertama adalah peningkatan SGOT dan SGPT. Jika jelas timbul kerusakan hati, terapi pirazinamid harus dihentikan. Obat ini menghambat ekskresi asam urat. Efek samping lain ialah artralgia, anoreksia, mual dan muntah, disuria, dan demam.

5. STREPTOMISIN

Aktivitas Antibakteri

In vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman TB.

Farmakokinetik

Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Streptomisin diekskresi melalui filtrasi glomerulus. Kira – kira 50-60% streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal antara 2 – 3 jam, dan dapat sangat memanjang pada gagal ginjal. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu.

Efek Samping

Umumnya streptomisin dapat diterima dengan baik. Kadang – kadang terjadi sakit kepala sebentar atau malaise. Parestesi di muka terutama di sekitar mulut. Reaksi hipersensitivitas biasanya terjadi dalam minggu – minggu pertama pengobatan.

Streptomisin bersifat neurotoksin pada saraf kranial VIII, bila diberikan dalam dosis besar dan lama. Obat ini juga bersifat nefrotoksik. Ototoksitas dan nefrotoksisitas ini sangat tinggi kejadiannya pada kelompok usia di atas 65 tahun, oleh karena itu obat

tidak boleh diberikan pada kelompok usia tersebut. Efek samping lain ialah reaksi anafilaktik, agranulositosis, anemia aplastik, demam.

EFEK SAMPING OBAT

Tabel 10. Pendekatan Berdasarkan Masalah untuk Penatalaksanaan OAT2