wisanggeni sang burokjhnan

Upload: deny-ined

Post on 09-Jan-2016

167 views

Category:

Documents


41 download

DESCRIPTION

hjkh

TRANSCRIPT

Wisanggeni, Sang Buronan

19

Wisanggeni, Sang Buronan Sebuah Novel Pastische Karya Seno Gumira Ajidarma(Suatu Telaah Postmodernisme)Oleh Trisna Gumilar

PendahuluanWisanggeni, Sang Buronan (selanjutnya disebut WSB) adalah novel(et) karya Seno Gumira Ajidarma, yang tokoh serta ceritanya didasarkan pada cerita wayang. Wisanggeni adalah nama tokoh dalam pewayangan. Ia merupakan anak Arjuna dari Dewi Dresanala, seorang putri kayangan. Kisah mengenai Wisanggeni sebenarnya terdapat dalam epik Bharatayuda Satu epos yang diambil dari Mahabharata, disebut juga Bharatayuda Jayabinangun, dari buku Bharatayuda karya Wawan Susetya (2007), kisah peperangan dalam dunia pewayangan.

Cerita wayang telah begitu lekat pada masyarakat Indonesia terutama masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Banyak penyair dan pengarang yang menjadikan cerita wayang sebagai sumber rujukan bagi ceritanya. Menurut Nurgiyantoro (2003:1) munculnya unsur cerita wayang dan bentuk-bentuk transformasinya pada karya fiksi Indonesia baru terlihat pada pertengahan tahun 70-an, yaitu dengan terbitnya cerpen panjang Sri Sumarah karya Umar Kayam, dan beberapa tahun sebelumnya Danarto menulis cerpen Nostalgia yang bersumber pada cerita Abimanyu Gugur. Setelah itu karya-karya berikutnya menyusul seperti Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), Burung-burung Manyar dan Durga Umayi (Mangunwijaya), Canting (arswendo Atmowiloto), Para Priyayi (Umar Kayam), Perang (Putu Wijaya), dan sebagainya.Selanjutnya menurut Nurgiyantoro (2003:1) pengangkatan cerita wayang tersebut tidak sama bentuk dan intensinya. Ada karya yang mengambil secara samar, tetapi menyangkut inti hakikat, ada pula karya yang secara nyata memfungsionalkannya dalam jalinan cerita. Pentransformasian pada karya-karya yang disebut belakangan bisa jadi menghasilkan karya yang bersifat campur aduk, sastra hibrida, antara sastra Indonesia modern dengan sastra tradisional.Mulyono (dalam Nurgiyantoro, 2003:1) menganggap cerita wayang merupakan karya seni yang adiluhung, monumental dan amat berharga, bukan saja karena kehebatan cerita, keindahan penyampaian, ketegasan pola karakter, melainkan juga nilai filosofi dan ajaran-ajaran-nya yang tidak ternilai dan masih saja relevan dengan keadaan kini. Estetika modernis membuat pagar pemisah antara yang disebut seni murni (high art) atau adiluhung dari seni yang biasa-biasa atau sekadar seni pop. Posmodernisme menolak pandangan estetika modernis itu. Postmodernisme membongkar pagar pemisah seni tinggi dan seni pop, dan menganggap seni tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi, politik, dan sosial. Apakah seni tinggi atau seni rendah, sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi kehidupan sosial. (http://nurulhuda.wordpress.com/2007/05/15)WSB, karya Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya disebut SGA) adalah salah satu novel fiksi yang tokoh-tokoh serta ceritanya diambil dari cerita wayang. Dalam kemunculannya, WSB telah mengalami perubahan dan modifikasi. Perubahan-perubahan ini akan dijadikan kajian berdasarkan teori posmodernisme.

Sekilas Wisanggeni, Sang BuronanWisanggeni adalah anak Arjuna dari Dewi Dresanala. Lahir karena Dresanala bersikukuh tidak menggugurkan kandungannya sebagaimana tujuh bidadari lain yang juga hamil oleh Arjuna. Arjuna sendiri dapat mengawini para bidadari atas izin bahkan anugrah para dewa. Arjuna berjasa kepada para dewa karena telah membebaskan kahyangan dari raksasa Niwatakacana. Sang raksasa mengobrak-abrik Kahyangan karena menginginkan Dewi Supraba.

Pada saat lahirnya, Wisanggeni membuat ontran-ontran di Kahyangan karena hendak dibunuh oleh kakeknya Betara Brama atas perintah Sang Hyang Giri Nata atau Batara Guru karena lahirnya Wisanggeni dianggap menyalahi kodrat. Akan tetapi karena Wisanggeni adalah titisan Sang Hyang Wenang, dia luput dari bala tersebut.Wisanggeni tumbuh dibesarkan oleh Batara Baruna (Dewa Penguasa Lauatan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar Bumi), yang menjadikan Wisanggeni punya kemampuan yang luar biasa. Di jagat pewayangan, dia bisa terbang seperti Gatutkaca dan masuk ke Bumi seperti Antareja dan hidup di laut seperti Antasena.Setelah dewasa Wisanggeni, keluar dari perut bumi dan berkelana mencari arjuna (ayahnya) dan Dewi Dresanala (Ibunya). Pencariannya ini banyak dirintangi oleh dewa yang ingin membunuhnya, karena ia dianggap sebagai manusia setengah dewa, menyalahi kodrat. Tentu saja berbagai rintangan dengan mudah dapat dilaluinya. Dewa kewalahan dan meminta bantuan Semar. Dengan siasat Kresna, akhirnya Wisanggeni terusir keluar dari dunia pewayangan.PostmodernitasPostmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern (yang mengutamakan rasio, objektivitas, dan kemajuan). Postmodern mengkritik modernism yang dianggap telah menyebabkan desentralisasi di bidang ekonomi dan teknologi, apalagi hal ini ditambah dengan pengaruh globalisasi. Selain itu, postmodern menganggap media yang ada saat ini hanya berkutat pada masalah yang sama dan saling meniru satu sama lain (www.wikipedia.com).

Post-modernisme menurut Jencks (1989:7) adalah campuran antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Post-Modernisme adalah kelanjutan dari modernisme, sekaligus melampaui modernisme. Ciri khas karya-karyanya adalah makna ganda, ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi, karena heterogenitas sangat memadai bagi pluralisme. Salah satu tehnik campuran yang sering digunakan adalah "collage". "Collage" menawarkan suatu cara alamiah untuk mencampurkan bahan-bahan yang saling bertentangan. "Collage" menjadi wahana kritik postmodern terhadap mitos pengarang/seniman tunggal. Teknik lainnya adalah "bricolage", yaitu: penyusunan kembali berbagai objek untuk menyampaikan pesan ironis bagi situasi masa kini. PastichePastiche adalah praktek peniruan atau imitasi mentah-mentahan atas sesuatu yang asli tanpa maksud-maksud tersembunyi apapun, tanpa motif kritik maupun parodi (Sean Homer: 104). Contoh yang baik dalam kasus ini adalah produksi dan distribusi film-film nostalgia bikinan Hollywood. Film-film ini sebenarnya diproduksi atas dasar konsep pastiche yang hanya mengcopy dan meniru saja peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu. Apa yang ditekankan film-film ini adalah sekadar bentuk dan kualitas citra/gambar (image) dengan isi yang dibentuk seolah nyata. Padahal jenis konsumsi budaya semacam ini tidak mereferensikan kompleksitas konstekstualnya, dalam artian film semacam itu sama sekali tidak menunjuk pada realitas konteks yang sesungguhnya melainkan hanya mengeksploitasi pencitraan dan stylization yang hampa makna, yang ditujukan untuk komodifikasi dan konsumsi. Menurut Jameson fenomena stylization atau pastiche ini merupakan gejala runtuhnya historisitas, suatu keterputusan dengan sejarah, dan sekaligus gejala ketidakmampuan kita merepresentasikan pengalaman kekinian kita sendiri (Jameson, 1991: 21).

Pastiche menyusun elemen-elemen yang dipinjam dari pelbagai pengarang atau seniman masa lalu. Karena itu, pastiche bisa mempunyai konotasi negatif yakni miskin orisinalitas. Menurut Linda Hutcheon, pastiche adalah bentuk imitasi murni, tanpa pretensi politis seperti parodi. Ia mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari pelbagai keping sejarah, mencabutnya dari semangat zamannya, dan menempatkannya dalam konteks masa kini. Pastiche merupakan apa yang disebut Baudrillard sebagai titik balik sejarah. Fredric Jameson mangatakan Pastiche sebagai penggunaan topeng sejarah, pengungkapan bahasa yang telah mati. (Piliang, 1994:110)

AnalisisImitasi, Interstyle, dan Anakronisme

Menurut Hutcheon (Piliang,2003: 190), pastiche merupakan imitasi, tidak saja dari satu teks, akan tetapi dari kemungkinan teks-teks yang tak berhingga, yang pengombinasiannya disebut oleh Hutcheon dengan interstyle (istilah ini harus dibedakan dengan dari interteks). Tujuan dari imitasi adalah menekankan persamaan ketimbang perbedaan. Karena terdiri dari kemungkinan berbagai teks, maka dalam novel pastiche juga terjadi anakronisme. Hal ini tidak dapat dihindari akibat adanya interstyle. Novel ini merupakan novel yang anakronis. Wisanggeni digambarkan sebagai seorang ksatria dengan penampilan baru: bercambang, memakai kasut, pakaiannya kumal, dan memakai caping. Penampilan seperti itu mengingatkan kita pada kisah-kisah silat atau komik silat, seperti Si Buta dari Gua Hantu atau Panji Tengkorak, atau seperti pendekar-pendekar dalam film kungfu.Ia masuk sambil membuka capingnya. Orang-orang tampak merasa risi oleh pakaian dan bau badannya yang kurang sedap, namum para pelayan wanita segera terpesona oleh ketampanan tersembunyi dibalik berewoknya yang lebat... (WSB hal. 3)

Ia berkelana mencari Arjuna dan Dewi Dresanala, ayah ibunya. Dalam petualangannya ini, ia mendapat rintangan dari para dewa. Akan tetapi, berkat kesaktiannya yang luar biasa, ia mampu mengalahkan pendekar-pendekar utusan dewa tersebut dengan mudah.

Membekukku? Sembilan utusan Dewa telah jadi abu ditanganku. Pulanglah ke Suralaya! (WSB hal. 6)

Tampaknya, novel ini telah mencampur latar cerita antara dunia pewayangan dengan dunia dalam komik atau film-film silat, bahkan dunia nyata masa kini. Misalnya ketika Wisanggeni melewati pasar. Pasar adalah tempat orang berjual beli. Pasar yang dilewati oleh Wisanggeni sama seperti pasar tradisional yang sering kita temui di sekitar kita, kumuh dan tidak teratur.Pada hari pasar yang meriah tentu tak ada seorangpun yang memperhatikan kehadiranya. Ia menyelip disela-sela orang banyak yang sibuk melakukan tawar menawar. Sepanjang jalan adalah pasar. Di gang-gang, di pojok-pojok jalan, dimuka pintu setiap rumah, di mana saja, orang berjualan. Gelang perak! Kalung perak! Ukiran Pancala! Jual murah! Siapa beli?Sutera Magada! Ditanggung halus dan tahan lama! Cocok untuk dipakai ke pesta!Buah labu, buah durian , dan buah kurma! Sudah diawetkan! Asli dari Jawa dan timur Tengah!......Babi panggang! Sudah diawetkan! Asli dari Tiongkok!.......... Gading Muangthai, Ukiran Bali! (WSB hal. 2)

Pencampuran ini, memungkinkan suatu identitas lintas dunia: batas antara dunia nyata dan dunia fiksi dirusak, atau apa yang oleh McHale (dalam Allen, 2004:188) disebut skandal ontologis. Dunia wayang adalah dunia fiksional yang terstruktur dan mempunyai pakem yang jelas. Dengan mencampurkan dunia yang terstruktur itu dengan dunia kekinian yang fiksional membentuk anakronisme kreatif. Dalam hal ini, dunia wayang akan dianalogikan sebagai dunia historis.Anakronisme adalah suatu trangresi halus antara bidang acuan eksternal dan bidang acuan internal melalui diperkenalkannya tokoh-tokoh historis ke dalam suatu teks fiksi, atau diperkenalkannya tokoh-tokoh fiksi ke dalam situasi historis yang sebenarnya. Ini suatu transgresi yang diupayakan agar halus dan tidak ada jahitannya, yang sejauh mungkin menghindari anakronisme dan yang mencocokkan struktur bagian dalam novel itu dengan struktur dunia yang dibayanginya. Fiksi historis pascamodernis melakukan yang sebaliknya: jahitan itu dikedepankan, sejarah resmi dirusak dan sejarah dipadukan dengan fantasi (Allen, 2004:187).Anakronisme ini memungkinkan hal-hal yang tidak terbayangkan atau yang mustahil muncul ke permukaan. Misalnya saja dalam WSB wayang menertawakan dalang, Wisanggeni menonton wayang.Dia tidak usah dikhawatirkan, adikku. Wisanggeni tahu benar peranannya di dunia ini; dan ia tidak menuntut lebih dari apa yang ada pada dirinya. Berbahagialah kau, adikku, mempunyai putra seikhlas itu yang melenyapkan dirinya untuk menjaga kelancaran sejarah yang akan datang.Sejarah yang akan datang?Tapi, apakah ia rela, o, Kresna, Kakakku yang bijak?Aku tak tahu Arjuna. Hanya Wisanggeni yang tahu.Tiba-tiba diantara penonton yang mulai terbangun semuanya itu terdengar suara terbahak-bahak. Para penonton yang terganggu menoleh dan segera tampak seoranglelaki gondrong yang pakaiannya seperti pengemis, ia terus saja tertawa terbahak-bahak dengan berangasan (WSB hal. 89)

Pahlawan cerita WSB yang memegang peran sentral dalam novel ini, juga dalam lakon yang dibawakan ki dalang, tiba-tiba hadir ditengah para penonton yang sedang menunggu nasib sang hero ditentukan oleh ki dalang, dan ia menertawakan ki dalang yang dianggapnya sok tahu tentang takdirnya. Hal ini merupakan ironi yang memberikan perenungan. Tak dapat disangkal bahwa WSB melakukan subversi terhadap grand narative Mahabarata. Maka, ironi yang tampaknya main-main ini, yang bermain di permukaan makna, tak urung menimbulkan dua permasalahan yakni kelucuan dan perenungan.Selain pemanfaatan tempat-tempat gelap, tempat di luar konteks cerita perwayangan, WSB juga memberikan narasi yang filmis dan atau ala komik. Contohnya ketika Wisanggeni disatroni oleh munculnya utusan dewa yang hendak membunuhnya seperti adegan berikut:Dan ia mengayunkan pedangnya ke depan. Dan angin yang keras dan tajam meluncur ke arah lelaki yang tidur itu; namun si kumal lebih cepat karena ia telah berguling dan melenting secepat kilat sehingga serangan itu mengenai pohon. Tapi akibatnya luar biasa, baru kena angin yang berkesiur saja pohon itu menjadi hangus dan terbakar. Huahahaha, tidak adakah orang yang lebih sakti yang tidak perlu membokongku? Huahahaha, tawa lelaki kumal itu menggelegar, ikatan rambutnya terlepas sehingga terurai, gondrong dan awut-awutan. (WSB, hal. 5-6)

Meskipun demikian, tokoh-tokoh yang dipinjam dari teks aslinya tetap disakralkan, artinya, mereka tetap memerankan dirinya sendiri. WSB hanya melakukan peniruan yang kemudian direduksi, diasimilasi, dan dimanipulasi. Dalam khasanah kesusasteraan Indonesia, telah banyak pengarang yang memakai cerita wayang sebagai hipogram untuk novel-novel atau cerpen-cerpennya, misalnya Burung-burung Manyar, Durga Umayi (Mangunwijaya), sri sumarah (Umar kayam), Perang (Putu Wijaya) Baca misalnya Pamela Allen; Membaca, dan Membaca Lagi. Menurut Nurgiyantoro (2003: 9-10) pengangkatan cerita wayang ke dalam karya sastra Indonesia modern juga terdapat dalam aspek penokohan. Pengaktualan penokohan paling tidak meliputi (1) pengambilan tokoh wayang; (2) penghipograman perwatakan dan penamaan sekaligus; (3) penghipograman perwatakan tanpa penamaan; (4) penghipograman penamaan tanpa perwatakan.Dalam novel WSB ini, SGA melakukan penghipograman perwatakan dan penamaan dengan semangat atau jiwa jaman kekinian. Kekinian dalam WSB ini, bukan seting tempat atu seting waktu, tetapi pada tehnik penceritaan dan tehnik permukaan. Posmodern sendiri, ditandai dengan kedangkalan yang disebabkan oleh realitas pencitraan. Produk kultural posmodernisme dipenuhi dengan citra-citra (image) yang dangkal dan tidak memuat kedalaman makna di dalamnya.Simbolisasi pada grand narative merupakan makna yang universal yang dikenali oleh masyarakat sebagai suatu pakem Baca misalnya dalam Bharata yuda karya wawan Susetya (2007) . Perebutan makna universal menjadi makna idividual (fiksasi) kemudian menjadi makna universal yang baru (apropriasi) merupakan gejala yang telah lama berlangsung. Dalam novel posmo semua itu merupakan hal yang biasa disebabkan oleh adanya semangat permainan (game). Estetika posmodern bersifat lebih populis karena hilangnya batas-batas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass/popular culture). Populisme ini bukan hanya tampak dalam estetika arsitektural, melainkan juga dalam bentuk budaya massa atau barang budaya komersial yang diproduksi secara massal dalam suatu industri budaya dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat. (http://nurulhuda.wordpress.com/2007/05/15/ )Dalam pewayangan, setiap gerak, setiap ciri, ucapan, pakaian seorang tokoh mempunyai simbol tertentu yang sangat khas dan mandiri. Dengan atribut baru, Wisanggeni dalam WSB mengalami kedangkalan citra, menjadi sosok yang akrab, sosok yang kita temui dalam novel-novel silat seperti Wiro Sableng Novel cerita silat karya Bastian Tito. Kresna, salah satu tokoh yang sangat agung dan provokatif , dalam WSB juga berubah penampilan mejadi sosok yang akrab dan bijaksana. Sosok yang manusiawi.Tercium bau sedap dari asap lele yang dibakar Sri Kresna. Wisanggeni memperhatikan lelaki itu dengan kagum. Ia bisa muncul sebagai apa saja di dunia ini, sedangkan aku hanya bisa menjadi seorang Wisanggeni yang ditolak, tidak bisa tidak. Kresna mengangkat kayu yang memanggang lele itu. Memang cukup besar untuk mereka berdua.Ayolah kita bersantap, Wisanggeni, kamu tentu lapar, ujar Sri Kresna. 79-80

Melihat kutipan di atas, meskipun terlihat lucu, akan tetapi tidak merupakan parodi, atau menurut Jameson (Piliang, 2003: 188) hanya merupakan parodi kosong (blank parody), yaitu parodi tanpa cemoohan, tanpa sense of humour. Representasi tokoh Kresna dan wisanggeni pada kutipan di atas, hanya dimaksudkan untuk membuat citra atau image yang akrab dan manusiawi.Dalam cerita aslinya Baratayuda Seno mengambil cerita ini dari komik karya RA. Kosasih. Dalam hal seri Wisanggeni, yang saya judulkan menjadi Wisanggeni, Sang Buronan, babonnya adalah Lahirnya Bambang Wisanggeni (Bandung: PT Melodi, 1970, 4 jilid a 82 halaman). (SGA, ix), Karakter Wisanggeni adalah mungkak kromo (tidak menggunakan bahasa kromo ketika bicara dengan siapapun) seperti halnya Bima. Dan dia punya kemampuan Weruh sadurungin winarah (mampu melihat hal yang belum terjadi). (http://id.wikipedia.org/w/index.php).Dalam WSB, Wisanggeni menjadi lelaki yang santun, oleh karena bahasa Indonesia sendiri tidak memiliki tingkat bahasa (undak usuk). Menurut Jameson fenomena stylization atau pastiche ini merupakan gejala runtuhnya historisitas, suatu keterputusan dengan sejarah, dan sekaligus gejala ketidakmampuan kita merepresentasikan pengalaman kekinian kita sendiri (Jameson, 1991: 21).Ketidakmampuan merepresentasikan pengalaman kekininian itu sendiri diakui oleh pengarang (narator), misalnya bagaimana bahasa yang dipergunakan oleh Hanoman dan Kresna. Hanoman pun duduk di atas batu dan memulai ceritanya. Tapi, o, maafkanlah si penulis yang bodoh ini kalau tak mampu menceritakan kembali dengan baik kehalusan budi dan cakap bicara sang Hanoman telah pinandhita itu. Kecakapan sastra sang Hanoman telah begitu tinggi sementara kemampuanku sebagi penulis cerita picisan tak ada seujung kuku dan sungguh tak patut mewakili sang hanoman untuk mengulang kembali ceritanya. Jadi sudilah pembaca mengandaikan bahwa yang tertulis ini hanyalah sebutir pasir yang dibanding kenyataan sastra dalam kejadian sesungguhnya. (WSB, hal. 26)

Hal seperti di atas, juga merupakan strategi kepengarangan, bukan semata-mata ketidakmampuan tetapi juga merupakan semangat Game atau permainan. Kejadian yang sama diulang lagi, seperti dalam kejadian berikut:Dan Sri Kresna memulai kisahnya, tapi, o maafkanlah segala kelancanganku ini. Kata-kata Sri Kresna sesungguhnya tak bisa dituliskan oleh siapa pun. Bahkan penyair-penyair yang agung pun akan menyisihkan karas dan lontarnya karena merasa berdosa berani berbuat lancang. O, pembaca yang mulia, ampunilah aku penulis yang begitu rendah sehingga syairnya hanya berharga sesuap nasi. O, anggaplah kata-kataku tak ada artinya dibanding keindahan dan keanggunan kata-kata Sri Kresna yang sesungguhnya. (WSB, hal. 38)

Imitasi dan ImageTeks-teks pastiche menjadikan masa lalu sebagai patron atau apa yang dikatakan oleh Levi-Strauss sebagi semangat bricolage, atau apa yang dimaksud Baudrillard semangat simulasi - yang menekankan sifat-sifat yang nampak, atau permukaan dari objek-objek sejarah ketimbang sisi transendentalnya (Piliang, 1994: 188)Dewa-dewa, dalam cerita pewayangan, adalah mereka yang mengatur kehidupan ini. Dewa-dewa tinggal di Suralaya, di atas langit yang tak akan terjangkau oleh manusia biasa. Sebagai penentu kehidupan, mereka mengatur putaran roda dunia, menghidupkan dan mematikan manusia. Apa jadinya ketika dewa digugat oleh manusia?Wisanggeni adalah anak Arjuna dari Dewi Dresanala. Lahir karena Dresanala bersikukuh tidak menggugurkan kandungannya. Perkawinan antara Arjuna dan Dewi Dresanala adalah anugerah Dewa kepada Arjuna yang telah membebaskan kahyangan dari raksasa Niwatakacana karena menginginkan Dewi Supraba. Dewa mengijinkan pernikahan itu dengan syarat mereka tidak boleh punya anak. Oleh karena itu, para dewa menganggap kelahiran wisanggeni sebagai menyalahi kodrat. Sebagai pengatur kehidupan dewa dapat melakukan apa saja, akan tetapi Dewa Brahma misalnya tidak dapat membunuh bayi kecil hasil perkawinan Arjuna dan Dresanala tersebut, cucunya. Ia menggigit bayi tersebut, meyebarkan bisa di sekujur tubuh jabang bayi, dan membuangnya ke laut. Oladalah, bayi suci anak sang takdir, ratap Batara Brahma dengan lirih, lakon apakah yang menyertai hidupmu, o, cucuku, sampai-sampai kakekmu sendiri mendapat tugas membunuhmu?(WSB, hal. 39)

Bayi yang kemudian diberi nama Wisanggeni tersebut tumbuh dibesarkan oleh Batara Baruna (Dewa Penguasa Lautan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar Bumi), yang menjadikan Wisanggeni punya kemampuan yang luar biasa. Di jagat pewayangan, dia bisa terbang seperti Gatutkaca dan masuk ke Bumi seperti Antareja dan hidup di laut seperti Antasena.Petualangan pencarian jati diri dan asal usul diri Wisanggeni ini yang kemudian dipenggal oleh Seno Gumira Ajidarma menjadi novel yang utuh, dengan ending yang terbuka. Salah satu ciri yang menonjol dalam estetika postmodernis adalah fragmentaris. Di dalam narasi Baratayuda, Wisanggeni tinggal di Kahyangan Daksinapati bersama ibunya. Dan meninggal menjelang perang Baratayudha bersama Antasena atas permintaan Batara Kresna, sebagai tumbal untuk kemenangan Pendawa atas perang tersebut. Dalam WSB, Kresna berperan untuk memperpanjang takdir Wisanggeni dan meletakannya di luar kehidupan dunia pewayangan.Namun lelaki itu tidak bisa menahan tawanya. Ia ngakak sampai keluar air matanya; dan rebah di lantai sambil memegangi perutnya. Orang banyak mulai tidak bisa menahan kesabaran. Gamelan berbunyi; dan Ki Dalang mulai bersuluk meskipun sempat juga menoleh, ingin tahu. (WSB, hal.89)

Suluk ki dalang masih terdengar dati luar, diiringi lirih gamelan dengan suara rebab yang menyayat-nyayat.

Anak gembala di tengah kelam, o!Meniup seruling berabad-abadTerkenang nasib WisanggeniBunga rumput membaca ayatDan musim pun lewatBayang-bayang menguap, o! (WSB, hal.90)

*

WSB di antara idiom-idiom estetik historis

Baratayuda yang menjadi patron WSB adalah fragmen dari kitab Mahabarata. Akan tetapi, yang dijadikan babon WSB, adalah Baratayuda versi komik karya RA. Kosasih. Dalam hal seri Wisanggeni, yang saya judulkan menjadi Wisanggeni, Sang Buronan, babonnya adalah Lahirnya Bambang Wisanggeni (Bandung: PT Melodi, 1970, 4 jilid a 82 halaman). (SGA, 2000: ix)

Imitasi dalam WSB tidak hanya terjadi terhadap tokoh dan garis besar cerita, tetapi juga pada idiom estetik. Untuk mendukung alur cerita, sebagai hiasan, dan juga semangat bermain, SGA menempatkan potongan sajak sebagai pengganti suluk di hampir setiap awal bab, kadang-kadang pada akhir episode tertentu, atau di akhir bab atau sekuen. Novel WSB ini dimulai dengan potongan sajak di bawah ini;Tembang kiai yang gugur, oSate babi dan tongseng anjingO, minyaknya menetes-netesDan teratai merekahPada danau logamMenanti cinta sang buronan, o! (WSB, hal. 1)Serta diakhiri oleh potongan sajak-berikut;Anak gembala di tengah kelam, o!Meniup seruling berabad-abadTerkenang nasib WisanggeniBunga rumput membaca ayatDan musim pun lewatBayang-bayang menguap, o! (WSB, hal. 90)Terkadang isi sajak tersebut berisi ironi atau sindiranDan layar wayang pun terbakarBayang-bayangnya hilangLakonmu muksa, o!Dikubur bulan madu pengantin O, ki dalang, hidungnya caranganBerapa bayaranmu semalam? (WSB, hal. 23)

Sajak-sajak tadi merupakan bentuk sajak masa kini, jadi peniruan ini lebih menekankan pada kesamaan penampilan antara cerita wayang dan novel, atau sekedar duplikasi permukaan, bukan sifat-sifat transedennya. Bentuk duplikasi seperti ini menurut Jenk (Piliang, 2003: 189) adalah revivalisme, yaitu... satu bentuk substitusi, yaitu, pengambilalihan posisi satu periode yang dipertahankan, bukan dalam bentuk kontinuitas yang kreatif dari tradisi, bukan pula duplikasi murni.WSB melakukan duplikasai terhadap tokoh-tokoh, alur cerita, serta bentuk-bentuk estetik lain, mencampurnya dengan semangat jaman sekarang. Modifikasi-modifikasi yang dilakukan WSB terhadap patronnya menimbulkan teks baru yang segar, ironik, dan ringan, tanpa kehilangan konteks ceritanya.

SimpulanNovel Wisanggeni, Sang Buronan merupakan novel Pastiche, karena tokoh-tokoh dan ceritanya hanya diduplikat sedemikian rupa. Akan tetapi, peniruan ini pun tidak merupakan jiplakan yang murni. WSB mengalami interstyle yang lebih menekankan pada persamaan daripada perbedaan.

WSB adalah teks kolase, antara cerita wayang, gaya komik atau film kungfu, gaya bahasa ringan a la novel remaja, tetapi tetap mempertahankan peran tokoh-tokohnya. Berbagai elemen pinjaman tersebut menjadikan WSB cerita wayang dalam konteks masa kini. Elemen-elemen tersebut mempermudah pembacaan kembali sepenggal teks historis dan menariknya pada kawasan masa kini yang bisa dikonsumsi dengan mudah oleh siapa saja.Pastiche, menurut Jameson, adalah estetika posmodernisme, merupakan gejala runtuhnya historisitas, suatu keterputusan dengan sejarah, dan sekaligus gejala ketidakmampuan kita merepresentasikan pengalaman kekinian kita sendiri. Oleh sebab itu, Jameson menyebut postmodernisme sebagai logika kapitalis lanjutan (late capitalism). Kenyataan ini sesuai dengan WSB yang dapat dinikmati dalam napas masa kini, tanpa kehilangan aroma cerita wayang. WSB telah menjadi novel yang enak dibaca sekaligus penuh imajinasi dan ornamen-ornamen yang bercampur baur.

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 2000. Wisanggeni, Sang Buronan. Yogyakarta: BentangAllen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi. Re interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995. Terjemahan Bakdi Soemanto. Mgelang: Indonesia Tera.Jameson, Fredric. 1991. Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism .Durham: Duke University Press Jencks, Charles. 1989. What is Post-Modernisme? 3d ed. New York: St Martin's Press.Malpas, Simon. 2005. The Postmodern. London and New York: Routledge. Nurgiyantora, Burhan. 2003. Wayang dalam Fiksi Indonesia. Dalam Humaniora volume XV no.1/2003. Yogyakarta.

Piliang, Yasraf Amir. 1994. Tamasya di antara keeping-keping Masa Lalu. Seni pada Titik Balik Modernitas. Dalam Kalam, Edisi 2 1994. Jakarta: Yayasan Kalam.

---------- 2003. Hipersemiotika:Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Sarup, Madan. 2003. Post-structuralism and Postmodernism. Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan Medhy Aginta Hidayat .Yogyakarta: Jendela.

Susetya, Wawan. 2007. Bharatayuda. Ajaran Simbolisasi Filosofi dan Maknanya bagi Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Kreasi Wacana.