file · web viewjuga, al-hafidz jalaluddin as-suyuthi, asbabul wurud al-hadist (proses...
TRANSCRIPT
ASBABUL WURUD
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah Ulumul Hadis
Dosen pengampu: Lukman Fauroni
Oleh:
HERU SAPUTRO
(26.10.3.1.078)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2 0 1 1
BAB I
PENDAHULUAN
Hadist atau sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi
SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan, dalam hal ini hadist
dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber kedua setelah al-Qur'an,
sebab hadist ini adalah penjelasan dari al-Qur'an itu sendiri.
Ketika kita mencoba memahaminya tidak cukup hanya melihat teks
hadistnya saja, melainkan juga harus melihat konteksnya (asbabul wurud).
Dengan kata lain, untuk menggali pesan moral dari suatu hadist, perlu
memperhatikan konteks historisitasnya, kepada siapa hadist itu disampaikan,
dan dalam kondisi sosial-kultur yang bagaimana Nabi menyampaikannya.
Tanpa memperhatikan konteks (asbabul wurud) tersebut seseorang akan
kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu hadist, bahkan ia
akan terperosok dalam pemahaman yang keliru. Itulah mengapa asbabul
wurud menjadi sangat penting dalam ilmu hadist, seperti pentingnya asbabun
nuzul dalam kajian tafsir al-Qur'an,
Maka makalah ini secara khusus akan membahas tentang asbabul wurud,
dari definisi, urgensi, sampai kepada implikasinya dalam penetapan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara etimologis asbabul wurud merupakan susunan idhofah (kata
majemuk) yang berasal dari kata asbab dan wurud. Kata asbab adalah bentuk
jamak dari sabab, yang berarti segala sesuatu yang dapat menghubungkan
kepada sesuatu yang lain, atau penyebab terajadinya sesuatu. Sedangkan kata
wurud merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstark) dari warada-
yuridu-wurudan, yang berarti sampai atau datang.1
Menurut suyuthi2 secara terminologis asbabul wurud diartikan sebagai
berikut;
أو خصوص أو عموم من الحديث من المراد لتحديد طريقا يكون ما أنه
أو تقييد أو إطالقذلك نحو أو نسخ
"sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan maksud suatu hadist
yang bersifat umum,atau khusus mutlak atau muqoyyad, dan untuk
menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadist".
Secara kritis definisi ini, lebih mengacu kepada fungsi asbabul wurud.
Menurut Hasbi As-Siddiqie, beliau mendefinisikan asbabul wurud
sebagai berikut;
به جاء الذي والزمان الحديث الجله ورد الذي السبب به يعرف علم
"ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan
masa-masa Nabi SAW menuturkannya".
1 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 602 dan 1551.2 Prof. Dr. H. Said Agil Husain Munawwar, MA dan Abdul Mustaqim, MAg, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadist Nabi Pendekatan Sosio-HIstoris-Konstektual), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 7-8
Adapula ulama yang mendefinisikan seperti asbabun nuzul yaitu;
وقوعه أيام الحديث ورد ما
"sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang
terjadi pada waktu hadist itu disampaikan oleh Nabi".
Dari ketiga definisi tersebut, bisa kita simpulkan bahwa asbabul wurud
merupakan latar belakang atau sebab-sebab munculnya hadist Nabi SAW.
yang berfungsi untuk menentukan apakah hadist itu bersifat umum atau
khusus, mutlak atau muquyyad, nasakh atau mansukh. Perlu diketahui bahwa
asbabul wurud bukan cara satu-satunya untuk mengetahui sebab kemunculan
suatu hadist.
Menurut As-suyuthi3 asbabul wurud itu bisa dikatagorikan menjadi 3
macam, diantaranya;
1. Sebab yang berupa ayat Al-Qur'an;
Allah berfirman;4
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". (Q.S. al-An'am:82)
Dahulu para sahabat beranggapan bahwa "adz-dzulmu" berarti "aj-jaur" yaitu berbuat aniyaya atau melanggar aturan, kemudian Nabi SAW. Menjelaskan
3 Ibid, hal.9.Lih. Juga, Al-hafidz Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabul Wurud Al-Hadist (Proses Lahirnya Sebuah Hadist) terjemahan, ( Bandung: Penerbit Pustaka, 1986) hal. 16.4 Al-Qur’an & tarjamah, (Jakarta: CV Darus sunnah edisi tahun 2002), hal.139
bahwa "adz-dzulmu" yang dimaksud adalah "asy-syirku" kemudian Allah berfirman;5
"Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (Q.S. al-Luqman:13)
2. Sebab yang berupa hadist;
Nabi bersabda;
األرض في بما أدم بني ألسنة علي ينطق األرض في مالئمكة تعالي الله أن
منشر أو أى خير
" sesungguhnya Allah SWT. Memiliki para malaikat di bumi, yang
dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan
keburukan seseorang," (HR.Hakim).
Ternyata para sahabat merasa kesulitan dalam memahami hadist
ini, maka mereka bertanya: ya Rosul!!, bagaimana hal itu terjadi?.
Maka Nabi SAW menjelaskan lewat hadist lain sebagaimana yang
diriwayatkan Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan
rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian
memberikan pujian, seraya berkata "jenazah itu baik", mendengar
pujian tersebut Nabi SAW bersabda: "wajabat" (pasti masuk surga) tiga
kali. Kemudian Nabi bertemu kembali dengan rombongan yang
membawa jenazah yang lain, ternyata para sahabat mencelanya, seraya
berkata "dia orang jahat", mendengar pertanyaan itu, Nabi seraya
bersabda: "wajabat", (pasti masuk neraka).
Maka seketika mereka berkomentar: ya Rosullulah mengapa
demikian. Rasul menjawab; Ya benar, lalu beliau bersabda kepada Abu
Bakar.
" sesungguhnya Allah SWT. Memiliki para malaikat di bumi, yang
dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan
keburukan seseorang," (HR.Hakim).
5 Ibid, hal.413
Dengan demikian, yang disebut para malaikat di bumi, yang dapat
berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan
seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan
bahwa jenajah ini baik dan jenazah ini jahat.
3. Sebab yang berupa perkara yang berkaitan dengan para pendengar
dikalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat
Syuraid bin Suwaid ats-Saqafi. Pada waktu fathul makkah, beliau
dating kepada Rasul seraya berkata: " saya bernadzar akan shalat di
Baitul Makdis". Lalu Nabi bersabda: "shalat di Masjidil Haram itu
lebih utama". Dan juga dersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, seandainya kamu shalat disini (masjid al-Haram), maka
sudah mencukupi bagimu untuk memenuhi nadzarmu". Lalu bersabda
lagi: "shalat di mesjid ini, yaitu di mesjid Haram lebih utama dari
100.000 kali shalat selain di mesjid haram". (H.R.Abdurrozaq dalam
kitab al-Mushanafahnya)
Dengan kata lain, macam-macam kategori tersebut merupakan
bayan atau penjelasan bagi al-Quran, hadist itu sendiri dan juga bayan
dari segala permasalahan para sahabat pada zaman itu.
B. Cara mengetahui
Cara mengetahuinya hanya dengan periwayatan.
C. Urgensi mempelajarinya
Memahami hadist dengan mengabaikan asbabul wurud akan cendrung
bersifat kaku, literalis-sekriptualis, bahkan terasa akomodatif terhadap zaman,
maka mempelajari asbabul wurud menjadi sangat urgen dalam mempelajari
dan memahami hadist tersebut, adapun urgensi asbabul wurud menurut as-
Suyuthi6, adalah:
1. Menunjukan adanya takhsis hadist yang bersifat umum
6 Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail, Hadist Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal.112
Yaitu untuk menentukan adanya takhsis terhadap suatu hadist yang
'am, misalnya hadist yang berbunyi;
صالة القاعد على النصف من صالة القائم"shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang
shalat berdiri''
Pengertian shalat dalam hadist tersebut masih umum. Artinya
dapat berarti shalat fardhu dan shalat sunnah. Jika ditelusuri melalui
asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud
"shalat" dalam hadist diatas adalah shalat sunnah, bukan shalat fardhu.
Inilah yang dimaksud takhsis yaitu menentukan kekhususan suatu
hadist yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbabul
wurudnya.
Asbabul wurud hadist tersebut adalah bahwa ketika itu di
Madinah dan penduduknya sedang dijangkit suatu wabah penyakit.
Maka kebanyakan para sahabat lali melakukan shalat sunnah sambil
duduk, pada waktu itu, Nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka
suka melakukan shalat sunnah sambil duduk. Maka Nabi kemudian
bersabda; "shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari
orang yang shalat berdiri''. Mendengar pernyataan Nabi tersebut,
akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnah sambil
berdiri.
2. Membatasi pengertian hadist yang masih mutlak
Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang membatasi pengertian
yang mutlak adalah hadist yang berbunyi;
من أجورهم مثل أجره كان بعده بها عمل حسنة سنة سن من
بها فعمل سيئة سنة سن ومن شيأ أجورهم من ينقص أن غير
من ينقص أن غير من أوزارهم ومثل وزره عليه كان بعده من
شيأ أوزارهم
''barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku
yang baik), lalu sunnah itu dilakukan orang-orang sesudahnya, maka
ia akan mendapatkan pahala seperti pahala yang mereka lakukan,
tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula
sebaliknya, barang siapa melakukan suatu sunnah sayyi'ah (tradisi
atau perilaku yang buruk), lalu sunnah itu dilakukan orang-orang
sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa dari mereka, tanpa
mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh''
Kata ''sunnah'' masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh
penjelasan tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah dan juga sunnah
sayyi'ah. Sunnah merupakan kata yang mutlak baik yang mempunyai
dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul wurud hadist tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang
bersama-sama sahabat. Tiba-tiba datanglah orang yang sangat susah
dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang miskin. Melihat fenomena
itu, Nabi SAW. wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba
dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama
Bilal agar mengumandangkan adzan dan iqomah untuk melakukan
shalat jama'ah. Setelah selesai jama'ah shalat, Nabi SAW. kemudian
berpidato, yang inti pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa
kepada Allah SWT. Dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk
sekelompok orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran tersebut, maka salah seorang dari sahabat sahabat
Anshar lalu keluar membawa satu kantomg bahan makanan lalu
memberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh sahabat
Anshar tersebut diikuti oleh pera sahabat yang lain, maka kemudian
bersabda;
حسنة سنة اإلسالم في سن من
Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan sunnah dalam hadist tersebut adalah sunnah yang
baik.
3. Menentukan ada tidaknya nasakh-mansukh dalam suatu hadist
والمحجوم ة الحاحم أفطر''Puasa orang yang berbekam (chantuk) dan yang meminta dibekam
adalah batal'' (H.R. Imam Ahmad)
إحتجم من وال إحتلم من وال قاء من ينطق ال''Tidak batal puasa orang yang muntah, orang yang bermimpi keluar
sperma dan orang yang berbekam" (H.R. Abu Daud)
Kedua hadist tersebut tampak saling bertentangan, hadist pertama
menerangkan bahwa orang yang di bekam dan membekam batal
puasanya, akan tetapi di hadist kedua menyata kebalikannya.
Menurut pendapat imam as-Syafi'I dan imam Ibn Hazm, hadist
pertama sudah dinasakh oleh hadist kedua, karena hadist pertama
datang lebih awal dari hadist kedua.
Asbabul wurudnya adalah, pada waktu siang hari di Bulan
Ramadhan, Nabi kebetulan melewati oreng yang bekam, dan juga
mereka sedang mengumpat tentang kejelekan orang. Melihat kejadian
tersebut Nabi bersabda;
والمحجوم ة الحاحم أفطر''Puasa orang yang berbekam (chantuk) dan yang meminta dibekam
adalah batal'' (H.R. Imam Ahmad)
Akan tetapi, kalau dilihat secara kritis dari konteks asbabul wurudnya,
hadist tersebut tidak mansukh, karena yang dimaksud dengan batal
puasa dalam hadist tersebut adalah menggunjing kejelekan orang.
4. Menjelaskan maksud suatu hadist yang masih musykil (sulit difahami)
Seperti yang telah dibahas diatas tentang adanya malaikat Allah di
bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan
dan keburukan seseorang.(Lih. H.2-3 dalam makalah ini)
5. Menjelaskan ilat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum
6. Mentafsil (Merinci) hadist yang masih global
Jadi asumsinya, pemahaman yang mengabaikan asbabul wurud,
cenderung dapat terjebak pada arti tekstual saja dan bahkanakan mendapat
pemahaman yang keliru.
D. Implikasinya dalam penetapan hukum
Untuk menentukan al-sunnah dilihat dari wurudnya7, ulama telah
menyusun berbagai kaidah dan metode penelitian khusus yang mampu dan
menetapkan, apakah hadist berstatus mutawatir atau ahad, dan hadist ahad
berstatus shohih atau tidak. Penelitian tidak ditujukan kepada sanadnya saja,
tetapi ditujukan juga kepada matan. Dengan demikian, upaya menentukan
sunnah dari status wurudnya, tidak banyak kesulitan yang dihadapi.
Hubungan sunnah dengan dalil-dalil naqli lainnya juga perlu
diperhatiakan, mungkin saja terjadi hubungan nasakh-mansukh, ataupun
sebagainya. Dengan mengetahui hubungan tersebut, maka akan dapat
ditentukan sunnah yang berkedudukan ma'mul bih (yang diamalkan) atau
ghoiro ma'mul bih ( yang tidak diamalkan).
Jadi dengan mengetahui asbabul wurudnya, kita bisa mengetahui juga
status hukum suatu hadist, apakah hadist itu layak untuk dikerjakan ataupun
tidak.
E. Kitab-kitab yang membahasnya
Ilmu mengenai asbabul wurud sebenarnya telah ada sejak zaman para sahabat.
Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis, dalam bentuk kitab,
Namun para ulama hadist merasakan perlunya disusun suatu kitab secara
tersendiri mengenai asbabul wurud.kitab-kitab yang berbicara tentang asbabul
wurud antara lain8:
1. Asbabul Wurud al-Hadist karya Abu Hafs al-Ukbari (w.339 H.).
7 Ibid, hal.1058 Prof. Dr. H. Said Agil Husain Munawwar, MA dan Abdul Mustaqim, MAg, op.cit.
hal.19
2. Asbabul Wurud al-Hadist Karya Abu Hamid Abdul Jalil al-Jabari.
3. Asbabul Wurud al-Hadist atau yang disebut juga al-Luma' fi, karya
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab ini telah ditahqiq oleh
Yahya Ismail Ahmad.
4. Al-Bayan wa Ta'rif. Karya Ibn Hamzah al-Husaini ad-Damasqi
(w.1110 H.)
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Asbabul wurud al-hadist merupakan latar belakang munculnya sutu hadist, dapat
berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat hadist itu disampaikan
Nabi SAW.
2. Agar tidak terjebak dalam teks suatu hadist, maka diperlukannya pemahaman
hadist dengan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis. Dengan kata lain
kita perlu melihat kembali background yang melatari munculnya hadist tersebut,
karena setiap hadist tentu berbeda latar dan seting kemunculannya.
3. Urgensi asbabul wurud yaitu untuk menentukan maksud suatu hadist yang bersifat
umum, atau khusus mutlak atau muqoyyad, dan untuk menentukan ada tidaknya
naskh (pembatalan) dalam suatu hadist
Daftar pustaka
Husain Munawwar, Said Agil, Prof, Dr, H, MA dan Mstaqim, Abdul, MAg,
Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadist Nabi Pendekatan Sosial-Historis-
Konstekstual) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Mei, 2001.
Ismail, Syuhudi, Prof, Dr, H, M, Hadist Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan
Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Munawwir, A, W, Kamus Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Progressif, cet. Ke-14, 1997.
Al-Qur’an & tarjamah, Jakarta, CV Darus sunnah, edisi tahun 2002
As-Suyuti, Jalaluddin, Al-Hafidz, Asbabul Wurud Al-Hadist (Proses Lahirnya
Sebuah Hadist) Tejemahan , Bandung: Penerbit pustaka, 1986.