repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · web viewmodel...

50
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Guru Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 menyebutkan “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” 1 Menurut Suprihatiningrum (2016, h. 17), pengertian guru ditegaskan dalam pepatah Jawa yaitu sosok yang melekat pada dirinya beberapa sifat seperti digugu omongane lan ditiru kelakuane (dipercaya ucapannya dan diikuti tindakannya). Oleh sebab itu, seorang guru adalah sosok yang dituntut untuk menjaga citra, wibawa, keteladanan, integritas dan kredibilatasnya; ia tidak hanya dihadapkan dalam tugasnya mengajar di depan kelas tetapi diwajibkan untuk dapat memberikan pendidikan, bimbingan, tuntunan, pembentukan karakter moral yang baik untuk siswa-siswanya. Demikian pula, menurut Wilberg (1990, h. 45) it is the teacher’s attitudes, and the way they manifest themselves to the student, which are probably the single most important influence on the success or failure of the teaching (Adalah sikap guru dan bagaimana ia menunjukkannya kepada siswa yang akan menjadi satu-satunya pengaruh paling penting terhadap keberhasilan atau kegagalan pengajaran). Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2005, pandangan Suprihatiningrum dan Wilberg terkait guru di atas, dapat terlihat bahwa guru merupakan sosok sentral dalam dunia pendidikan yang tidak hanya memiliki peran atau tugas dalam mendidik tetapi juga tugas pemberian contoh atau teladan bagi anak didiknya melalui sikap-sikapnya. Oleh sebab itulah, guru yang baik adalah yang tidak hanya dapat menyampaikan pelajaran yang dipahaminya namun juga dapat membimbing dan menjadi contoh bagi para anak didiknya sehingga kelak mereka akan berhasil dalam proses belajaranya. Sejalan dengan UU No. 14 Tahun 2005, pendapat Suprihatiningrum dan Wilberg di atas, Saroni (2011, h. 204) berpendapat bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan yang 1 Salinan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 5

Upload: others

Post on 24-Dec-2019

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

BAB IIKAJIAN TEORI

A. Pengertian Guru Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1

menyebutkan “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”1

Menurut Suprihatiningrum (2016, h. 17), pengertian guru ditegaskan dalam pepatah Jawa yaitu sosok yang melekat pada dirinya beberapa sifat seperti digugu omongane lan ditiru kelakuane (dipercaya ucapannya dan diikuti tindakannya). Oleh sebab itu, seorang guru adalah sosok yang dituntut untuk menjaga citra, wibawa, keteladanan, integritas dan kredibilatasnya; ia tidak hanya dihadapkan dalam tugasnya mengajar di depan kelas tetapi diwajibkan untuk dapat memberikan pendidikan, bimbingan, tuntunan, pembentukan karakter moral yang baik untuk siswa-siswanya.

Demikian pula, menurut Wilberg (1990, h. 45) it is the teacher’s attitudes, and the way they manifest themselves to the student, which are probably the single most important influence on the success or failure of the teaching (Adalah sikap guru dan bagaimana ia menunjukkannya kepada siswa yang akan menjadi satu-satunya pengaruh paling penting terhadap keberhasilan atau kegagalan pengajaran).

Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2005, pandangan Suprihatiningrum dan Wilberg terkait guru di atas, dapat terlihat bahwa guru merupakan sosok sentral dalam dunia pendidikan yang tidak hanya memiliki peran atau tugas dalam mendidik tetapi juga tugas pemberian contoh atau teladan bagi anak didiknya melalui sikap-sikapnya. Oleh sebab itulah, guru yang baik adalah yang tidak hanya dapat menyampaikan pelajaran yang dipahaminya namun juga dapat membimbing dan menjadi contoh bagi para anak didiknya sehingga kelak mereka akan berhasil dalam proses belajaranya.

Sejalan dengan UU No. 14 Tahun 2005, pendapat Suprihatiningrum dan Wilberg di atas, Saroni (2011, h. 204) berpendapat bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan yang berkaitan erat dengan transfer of knowledge, attitude, dan skill. Sebab itu, hanya orang orang terpilih dan terlatih saja yang dapat melakukan pekerjaan ini; mungkin semua orang memang dapat menjadi guru yang mampu melakukan transfer of knowledge kepada anak didiknya, namun hanya beberapa saja yang dapat melakukan transfer of attitude dan transfer of skill.

Dari pengertian di atas, dapat terlihat bahwa profesi guru tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Hanya orang-orang yang memiliki niat dan keluhuran budi pekerti yang baik yang dapat melakukan profesi ini. Selain itu, Ben-Perets (2009, h. 55) menyebutkan bahwa The teacher’s role in education is most complex and demands flexibility and adaptation to situational changes, both global and local, as well as to classroom settings (Peran guru dalam pendidikan merupakan peran yang komplek dan membutuhkan fleksibilitas dan adaptasi terhadap perubahan situasional, baik itu global maupun local, di samping juga dalam hal latar ruang kelas). Berdasarkan pendapat Ben-Perets di atas, guru dituntut menjadi sosok yang dinamis dan fleksibel. Ia tidak boleh menutup dirinya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik itu secara global maupun lokal. Oleh sebab itu, guru dituntut untuk memperharui dan memperkaya keilmuannya sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi.

Selanjutnya, menurut Djaramah (2005: 45) guru sebagai pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan berbagai macam hal yang

1Salinan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

5

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

6

baru dan sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar dan mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal, hanya saja ruang lingkupnya guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta.

Sedangkan menurut Huda (2001: 10), menjelaskan bahwa pengertian guru dapat dilihat dari dua sisi. Pertama secara sempit, guru adalah ia yang berkewajiban mewujudkan program kelas, yakni orang yang kerjanya mengajar dan memberikan pelajaran di kelas. Sedangkan secara luas diartikan guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak dalam mencapai kedewasaan masing-masing.

Selain pengertian di atas, Imran (2011: 23) juga menambahkan bahwa guru adalah jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus dalam tugas utamanya seperti mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah.

Berdasarkan, pengertian-pengertian tentang guru di atas, maka dapat disimpulkan bahwa guru merupakan pekerjaan yang tidak mudah, hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki keahlian khusus yang dapat menjalankannya. Dalam hal ini, tugas utamanya untuk mengajar dan mendidik siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah, yang tujuan utamanya untuk mencerdaskan bangsa dalam semua aspek. Selain itu, guru yang profesional adalah guru yang dapat membimbing, mengarahkan, mendidik, dan mengevaluasi peserta didiknya, serta ia mampu menjadi teladan bagi anak-anak didiknya. Selain itu seorang guru dituntut untuk mampu memperharui ilmunya sehingga ia mampu mengikuti dan menyesuaikan dirinya sesuai dengan perkembangan zaman.

B. Peran GuruGuru memiliki peran yang sangat penting dalam pembelajaran. Peserta didik

memerlukan peran seorang guru untuk membantunya dalam proses perkembangan diri dan pengoptimalan bakat dan kemampuan yang dimiliki peserta didik. Tanpa adanya seorang guru, mustahil seorang peserta didik dapat mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Hal ini berdasar pada pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang selalu memerlukan bantuan orang lain untuk mencukupi semua kebutuhannya.

Menurut Daryanto dan Tasrial (2015, hh. 9-14) terdapat beberapa peran yang melekat pada diri seorang guru yang di antaranya adalah sebagai berikut:

a) pendidikguru yang berperan sebagai pendidik dapat digambarkan dengan tugas yang melibatkan tumbuh dan berkembangnya anak didik yang diharapkan untuk dapat meraih pengalaman-pengalaman yang berarti dalam hidupnya; selain itu, dalam hal ini guru bertugas dalam mengawasi dan mengarahkan anak-anak didik untuk tetap berpegang pada norma-norma yang berlaku.

b) pengajarguru yang berperan sebagai pengajar dideskripsikan dengan tugasnya dalam proses belajar dan mengajar di ruang kelas dimana ia dituntut agar dapat menjelaskan dan menjawab persoalan-persoalan dalam pelajaran secara terampil.

c) pembimbingguru yang berperan sebagai pembimbing dapat melaksanakan perannya ini bila ia melengkapi dirinya dengan kemampuan dalam perencanaan tujuan yang hendak dicapai, pelibatan peserta didik, pemaknaan kegiatan pembelajaran, melakukan penilaian, dan memimpin.

Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

7

d) pengelola pembelajaranguru yang berperan sebagai pengelola pembelajaran diwajibkan untuk memiliki kemampuan dalam menguasai berbagai macam metode pembelajaran dan melengkapi dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan baru.

e) model dan teladanguru yang berperan sebagai model dan teladan harus memperhatikan beberapa hal seperti sikap, gaya bicara, kebiasaan bekerja, pakaia, dan gaya hidup karena hal-hal tersebut sangat berpengaruh terhadap peserta didiknya.

f) anggota masyarakatguru yang berperan sebagai anggota masyarakat diharuskan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang ada di masyarakat sekitarnya.

g) administratorguru yang berperan sebagai administrator berkaitan dengan tugasnya dalam pembuatan rencana pengajaran, pencatatan hasil belajar anak didik dan dokumen-dokumen lain penunjang kegiatan pembelajaran.

h) penasehatguru yang berperan sebagai penasehat dalam hal ini guru dituntut untuk memahami psikologi kepridian dan ilmu kesehatan mental yang sesuai dengan peserta didiknya sehingga ia akan mampu membantu anak didiknya ketika menemui kesulitan dalam membuat keputusan.

i) pembaharu (inovator)guru yang berperan sebagai innovator memerlukan kemampuan untuk memfasilitasi pembelajaran anak didiknya sesuai dengan tuntutan zaman.

j) pendorong kreativitasguru berperan dalam pendorong kreativitas anak didiknya sehingga menjadi pribadi yang kreatif. Dimana dalam hal ini kreativitas dapat ditunjukkan dengan adanya usaha untuk menciptakan hal yang baru yang sebelumnya belum ada.

k) emansipatorguru yang berperan sebagai emansipator memiliki tugas untuk menaikkan kembali self-esteem anak didiknya sehingga mereka menjadi pribadi yang percaya diri dalam menghadapi berbagai kesulitan.

l) evaluatorguru berperan sebagai evaluator berkaitan dengan penilaian yang dilakukannya dalam proses dan kegiatan belajar mengajarnya dengan memperhatikan kaidah-kaidah atau tekhnik dan prosedur yang jelas.

m) kulminatorguru yang berperan sebagai kulminator berkaitan dengan tugasnya membimbing peserta didik secara bertahap dari awal hingga akhir sehingga anak didiknya tersebut dapat mengetahui kemajuan belajarnya; dalam hal ini, perannya sebagai kulminator berjalan berdampingan dengan perannya sebagai evaluator.Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa guru merupakan seorang

pemimpin yang mempunyai peran dan fungsi teramat besar dalam mempengaruhi prestasi belajar anak didik.Oleh karena itu diperlukan pemikiran kreatif dan inovatif dari guru agar dapat mewujudkan perang dan fungsinya itu secara efektif.

C. Kompetensi Guru

Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

8

Sebagaimana dimaksud dalam Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 8 bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Adapun macam-macam kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai tenaga pendidik profesional adalah:

1. Kompetensi pedagogik yaitu suatu kompetensi yang dapat mencerminkan kemampuan mengajar seorang guru. Untuk dapat mengajar dengan baik maka yang bersangkutan harus menguasai teori dan praktek pedagogik dengan baik. Misalnya memahami karakter peserta didik, dapat menjelaskan materi pelajaran dengan baik, mampu memberikan evaluasi terhadap apa yang sudah diajarkan, juga mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi:a. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial,kultral,

emosional dan intlektual.b. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yangmendidik.c. Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidangpengembangan yang

mendidik.d. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.e. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan

penyelenggaraan kegiatan pengembangan yangmendidik.f. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan

berbagai potensi yang dimilikinya.g. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun denganpeserta didik.h. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasilbelajar.i. Memanfatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.j. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.

2. Kompetensi kepribadian, yaitu suatu kompetensi yang mencerminkan kepribadian seorang guru terkait dengan profesinya. Dalam hal kepribadian ini seorang guru hendaknya memiliki sifat dewasa (tidak cengeng), berwibawa, berakhlak mulia, cerdas, dan dapat diteladani masyarakat utamanya anak didik. Tanpa memiliki sifat seperti ini boleh jadi kompetensi guru layak dipertanyakan. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang meliputi:a. Bertindak sesuai dengan norma agama, sosial dan kebudayaan nasional

Indonesia.b. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur dan berakhlakmulia dan teladan

terhadap peserta didik dan masyarakat.c. Menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif danbijaksana.d. Menunjukkan etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi, rasabangga menjadi

guru dan percaya diri.e. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

3. Kompetensi sosial, yaitu kompetensi guru untuk berkomunikasidan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik,sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat luas.Misal, berkomunikasi lisan dan tulisan, menggunakan teknologikomunikasi dan informasi secara fungsional. Kompetensi sosialmerupakan kemampuan pendidik sebagai bagian di masyarakat diantaranya; guru, di mata masyarakat dan siswanya merupakanpanutan yang dicontoh dan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah tokoh yang diberi tugas membina dan membimbingmanusia pada umumnya dan para siswanya pada khususnya kearah norma yang berlaku di lingkungan sosial oleh karena itu guruperlu membekali dirinya dengan kemampuan sosial denganmasyarakat sekitar dalam

Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

9

rangka penyelenggaraan pembelajaranyang efektif dan efisien di mana hubungan antara sekolah denganmasyarakat akan berlangsung lancar. Jenis-jenis kemampuansosial tersebutseperti berikutini(Syah,2000: 181-182):a. Bersifat inklusif, bertindak objektif, tidak diskriminatif.b. Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun.c. Beradaptasi ditempat tugas.d. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesiorang lain secara

lisan dan tulisan.4. Kompetensi profesional, yaitu kemampuan guru dalampenguasaan materi pelajaran

secara luas dan mendalam.Kompetensi profesional juga dapat berarti kewenangan dankemampuan guru dalam menjalankan profesinya. Adapun yangtermasuk komponen kompetensi profesional (Syah, 2000: 229-230) antara lain:a. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuanyang mendukung

mata pelajaran yang diampu.b. Menguasai Standar Kompetenasi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) mata

pelajaran yang diampu.c. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan denganmelakukan

tindakan reflektif.d. Memanfaatkan teknologi informasi dengan baik.

D. Prinsip Profesionalitas GuruPrinsip profesionalitas guru dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yaitu sebagai berikut :1. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, serta idealisme;2. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan,

dan akhlak yang mulia;3. memiliki kualifikasi akademik atau latar belakang pendidikan sesuai dengan

bidang tugasnya;4. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya;5. memiliki tanggungjawab dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan;6. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;7. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalannya secara

berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;8. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas

keprofesionalan; dan9. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang

berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.Selanjutnya, untuk meningkatkan profesionalitas guru dibutuhkan sertifikasi.

Oleh karena itu proses sertifikasi dipandang sebagai bagian esensial dalam upaya memperoleh sertifikat kompetensi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sertifikasi guru merupakan uji kompetensi bagi calon atau guru yang ingin memperoleh pengakuan dan/atau meningkatkan kompetensi sesuai profesi yang dipilihnya. Representasi pemenuan standar kompetensi yang telah ditetapkan dalam sertifikasi kompetensi adalah sertifikasi kompetensi pendidik. Sertifikasi ini sebagai bukti pengakuan atas kompetensi guru atau calon guru yang memenuhi standar untuk melakukan pekerjaan profesi dan jenjang pendidikan tertentu.

Upaya menjamin mutu guru agar tetap memenuhi standar kompetensi, diperlukan adanya suatu mekanisme yang memadai. Penjaminan mutu guru ini perlu dikembangkan berdasarkan pengkajian yang komperensif untuk menghasilkan landasan yang konseptual dan empirik, melalui system sertifikasi.

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

10

Dalam Undang-undang republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dikemukakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. sedangkan sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional. Berdasarkan pengertian tersebut, sertifikasi guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Dengan demikian dapat kita lihat dari Undang -undang Nomor 14 tahun 2005 Bab IV pasal 8 bahwa guru wajib memiliki akaemik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasioanl. Jadi dapat kita katakana bahwa guru harus memiliki standar kompetensi yang sangat kuat didalam meningkatkan tingkat mengajar yang akan diberikan oleh peserta didik.

Berikut ini adalah syarat sertifikasi guru yang akan diberikan apabila telah terpenuhi persyaratan berikut: 1) Kualifikasi akademik; 2) Pendidikan dan pelatihan; 3) Pengalaman mengajar; 4) Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; 5) Penilaian dari atasan dan pengawas; 6) Prestasi akademik; 7) Karya pengembangan profesi; 8) Keikutsertaan dalam forum ilmiah; i) Pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial; serta 9) Penghargaan yang relevan dalam bidang pendidikan (Muslich, 2007: 79).Hal ini juga sebagaimana ditegaskan kembali dalam Pasal 28 ayat (1) PP. RI No. 19 Tahun 200 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan Pasal 8 UU. RI. No. 14 Tahun 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4/S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, yan meliputi kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, da sosial. Kompetensi guu sebagai agen pembelajaran secara form al dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui pendidikan tinggi, dan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah lulus ujian sertifikasi.

Adapun sertifikasi guru bertujuan untuk meningkatkan tingkat kelayakan seorangguru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan tingkat kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi (Samani, dkk, 2006: 27).

Menurut Wibowo, (dalam Mulyasa, 2013: 34), mengatakan bahwa sertifikasi dalam kerangka makro adalah upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan bertujuan untuk hal-hal sebagai beriku1. Melindungi profesi pendidik dan tenaga kependidikan2. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten, sehingga merusak

citra pendidik dan tenaga kependidikan3. Membantu dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan, dengan

menyediakan rambu-rambu dan instrument untuk melakukan seleksi terhadap pelamar yang kompeten

4. Membangun citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan5. Memberikan solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidik dan tenaga

kependidikanMenurut buku panduan dari Kemendiknas, tujuan diadakannya sertifikasi guru

dijelaskan sebagai berikut:1. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran

dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

11

2. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan.3. Meningkatkan martabat guru.4. Meningkatkan profesionalisme guru.

Sendangkan manfaat dai sertifikasi guru tidak hanya terkait hanya terkait dengan kualitas semata, lebih jauh lagi dari itu, sertifikasi guru juga berakses pada peningkatan kesejahtraan guru yang selama ini banyak disindir sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tapa imbalan uang untuk kesejahtraannya yang layak dan juga tanpa bintang dari pemerintah, inilah beberapa manfaat sertifikasi guru (Zulaekha, 2011: 11):1. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat

merusak citra profesi guru2. Melindugi masyarakat dari praktik praktik pendidikan yang tidak professional dan

tidak berkualitas3. Meningkatkan kesejahtraan guru.

Tujuan sertifikasi guru sebagaimana disebutkan di atas, akan dijadikan dasar kajian untuk meneliti evaluasi dampak kebijakan sertifikasi guru. Dampak kebijakan tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu dampak yang dikehendaki dandampak actual. Dampak yang dikehendaki akan dilihat berdasarkan aspek kemampuan dan kompetensi guru menjadi lebih baik, guru lebih professional dan disiplin, serta meningkatkan kesejahteraan dan martabat guru. Sedangkan dampak aktual akan dilihat melalui meningkatknya beban mengajar guru, dan gaya hidup konsumtif para guru sertifikasi.

E. Kewajiban dan Hak GuruKata kewajiban merujuk pada segala sesuatu yang harus dilakukan sedangkan

hak merujuk pada hasil yang diterima setelah sesuatu sudah dilakukan. Dalam hal ini, guru sebagai profesi memiliki kewajiban dan hak yang diatur dalam dalam undang-undang (Suprihatiningrum, h. 32). Berikut ini adalah kewajiban dan hak guru berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

1. Kewajiban Guru terdapat dalam pasal 20 dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang isinya adalah sebagai berikut: a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang

bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akadernik dan kompetensi

secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan

e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. 2. Hak guru terdapat dalam pasal 14 dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005

tentang Guru dan Dosen, yang isinya adalah sebagai berikut: a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan

kesejahteraan sosial;b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi

kerja; c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan

intelektual; d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

12

e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;

f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/ atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang--undangan;

g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselarnatan dalam melaksanakan tugas;

h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan

pendidikan;j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan

kualifikasi akademik dan kompetensi; k. memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.Selanjutnya terkait hak yang didapat guru dalam bentuk tunjangan, terdapat

beberapa tunjangan yang berdasarkan Pasal 16, 17, 18, 19 dielaborasikan sebagai berikut:a. Tunjangan Profesi

1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat;

2) tunjangan profesi diberikan setara dengan 1(satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama; dan

3) tunjangan profesi dialokasikan dalam APBN dan/atau APBD.b. Tunjangan Fungsional

1) pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan tunjangan fungsional kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah;

2) pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan subsidi tunjangan fungsional kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang- undangan; dan

3) tunjangan fungsional dan subsidi tunjangan fungsional dialokasikan dalam APBN dan/atau APBD.

c. Tunjangan Khusus1) pemerintah memberikan tunjangan khusus kepada guru yang bertugas di

daerah khusus; 2) tunjangan khusus diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru

yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama; dan

3) guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.

d. Tunjangan Kemaslahatan Tambahan1) maslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh

dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

13

bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain; dan

2) pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan tersebut.

F. Pengertian KebijakanKebijakan merupakan istilah yang sering kali kita dengar dalam berbagai

konteks, seperti pemerintahan atau perpolitikan. Istilah kebijakan memiliki cakupan yang sangat luas. Kata kebijakan atau dalam bahasa Inggris “policy” memiliki arti mengurus masalah atau kepentingan umum, atau berarti juga administrasi pemerintah (Hasbullah, 2015: 37).

Selanjutnya, menurut Tilar dan Nugroho (2009: 16) istilah kebijakan sering kali dicampuradukkan dengan kebijaksanan. Kedua istilah ini memang hampir sama dari segi pengucapan. Namun sebenarnya kedua istilah ini mempunyai makna yang sangat jauh berbeda. Kebijakan didasari oleh pertimbangan akal dalam proses pembuatannya. Akal manusia merupakan unsur yang dominan di dalam mengambil keputusan dari berbagai opsi dalam pengambilan keputusan kebijakan.Sedangkan kebijaksanaan lebih terpengaruh faktor emosional dalam prosesnya. Suatu kebijaksanaan bukan berarti tidak mengandung unsur-unsur rasional di dalamnya. Barangkali faktor-faktor tersebut belum tercapai pada saat itu atau merupakan intuisi.

Selain itu, kebijakan yang dibuat hendaklah sesuai dengan kehendak masyarakat atau publik yang menjadi subjek dari kebijakan yang diterapkan seperti yang dijelaskan oleh Kay (2006, h. 8) bahwa policy should achieve a desired change in the wider population (Kebijakan harus mencapai perubahan yang dikehendaki dalam populasi yang lebih besar).

Lebih lanjut, kebijakan dapat dikategorikan menjadi kebijakan yang dapat menyasar atau memengaruhi langsung terhadap publik dan ada yang tidak langsung mempengaruhi publik dalam implementasinya; dalam hal ini, Adams (2007, h. 10) menjelaskan policies differ in how they impact citizens. Some policies have a direct impact on citizens’ lives and have clear implications for how they live on a day-to-day basis. Other policies are more obscure, may have nebulous effects, and may only indirectly influence citizens’ daily routines (Kebijakan dapat berbeda dalam hal pengaruhnya terhadap warga negara. Beberapa kebijakan memiliki pengaruh langsung terhadap warga negara dan memiliki implikasi yang jelas sebagai dasar dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan kebijakan yang lainnya bersifat lebih samar dan memiliki pengaruh yang tidak langsung terhadap warga negara).

Selanjutnya terkait konsep kebijakan, Ball (2006, hh. 44-48) memiliki pandangan berbeda dengan pendapat Adams di atas, dalam hal ini kebijakan dapat dimaknai kedalam dua bentuk yaitu:

a. Policy as text (Kebijakan sebagai teks)Policy as text associated with literary theory, we can see policies as representations which are encoded in complex ways (via struggles, compromises, authoritative public interpretations and meaning in relation to their history, experiences, skills, resources and context). A policy is both contested and changing, always in a state of ‘becoming’, of 'was’ and ‘never was not quite’… The texts are product of compromises at various stages (at points of initial influence, in the micropolitics of legislative formulation, in the parliamentary process and in the politics and micropolitics of interest group articulation). (Kebijakan sebagai teks diasosiasikan dengan teori sastra, kita memandang melihat kebijakan sebagai representasi yang tertulis secara kompleks (melalui

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

14

perjuangan, kompromi, interpretasi dan arti otoritas publik yang berhubungan dengan sejarah, pengalaman, keterampilan, sumber dan konteks). Sebuah kebijakan dapat diperlombakan dan dirubah, selalu dalam keadaan ‘sedang menjadi’, ‘berlalu’ dan ‘tidak pernah cukup’. Teks merupakan produk dari keputusan bersama pada berbagai jenjang (pada titik pengaruh awal, dalam mikropolitik pada perumusan legislatif, dalam proses parlemen, dan dalam politik dan mikropolitik pada artikulasi kelompok berkepentingan)).

b. Policy as discourse (Kebijakan sebagai wacana)In this sense, policy ensembles, collections of related policies, exercise power through a production of’ truth’ and ‘knowledge’ as discourses. Discourses are about what can be said and thought, but also about who can speak, when, where and with what authority. (Dalam hal ini, kebijakan merupakan sekumpulan kebijakan-kebijakan terkait, penggunaan kekuasaan melalui pembuatan ‘kebenaran’ dan ‘pengetahuan’ sebagai wacana. Wacana ialah tentang apa yang dapat dikatakan dan dipikirkan, namun juga berkaitan dengan tentang siapa yang berbicara, kapan, dimana dan dengan kewenangan apa)

Sedangkan menurut Alek (dalam Emzir dan Chan, 2010, h. 8) kebijakan pendidikan diasosiasikan dengan kebijakan publik dimana kebijakan dijabarkan sebagai suatu keputusan yang memiliki karakteristik adanya konsistensi dan iterasi dalam hal perilaku dari para pembuat kebijakan dan dari mereka yang terlibat untuk taat terhadap kebijakan tersebut.

Selain itu, senada dengan pendapat Alek di atas, menurut Munadi dan Barnawi (2011, h. 9) kebijakan publik dimaknai sebagai keputusan yang diambil berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak-pihak yang terlibat seperti pemerintah dan orang-orang yang berada di luar pemerintah serta melibatkan pertimbangan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut apakah dapat diimplementasikan atau tidak bagi masyarakat. Masih dalam Munadi dan Barnawi, kebijakan tersebut dapat mencakuo anggaran pendidikan, kurikulum, rekrutmen tenaga kependidikan, pengembangan professional staf, tanah dan bangunan, pengelolaan dan sumber daya, dan kebijakan lain yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pendidikan.

Selanjutnya, menurut Hasbullah (2015, hh. 47-48) kebijakan pendidikan merupakan produk sistem dan politik pendidikan, oleh karenanya stratifikasi kebijakan pada dasarnya sangat luas dan beragam, dari yang bersifat makro seperti UUD 1945, Keputusan atau Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Pendidikan, hingga yang bersifat mikro seperti Peraturan Desa, peraturan sekolah, dan lain-lain. Secara garis besar terdapat dua strata dalam stratifikasi kebijakan pendidikan yang teridiri atas:

a. Kebijakan pendidikan di tingkat pusat dimana kebijakan ini diimplementasikan oleh intitusi pemerintah yang ada di tingkat pusat dan memiliki ruang lingkup nasional, dan oleh sebab itulah kebijakan ini berlaku di semua wilayah NKRI; bentuk kebijakan pada stratat ini dapat dilihat seperti pelaksanaan Selekesi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Ujian Nasional (UN).

b. Kebijakan pendidikan di tingkat daerah dimana yang menetapkan kebijakan ini adalah pemerintah daerah yang memiliki ruang lingkup daerah, oleh sebab itulah kebijakan ini hanya berlaku pada daerah tertentu saja yakni hanya daerah yang menetapkan keputusan atau kebijakan tersebut. Contoh dari kebijakan pada strata ini adalah Perda (peraturan daerah) dimana kebijakan ini dirumuskan oleh eksekutif (Bupati/Walikota) dan legislatif (DPRD) dan Keputusan/Peraturan Bupati/Walikota tentang pendidikan.

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

15

Selain itu, menurut Kennet (2008, h. 16) Public policy is located within an increasingly complex, multiple and overlapping network of interactions which are embedded in a transnational and subnational politic and economy. (Kebijakan publik terdapat pada hubungan jejaring yang makin kompleks, berlipatan dan tumpang tindih, yang mengikat dalam ekonomi dan politik trans nasional dan sub nasional).

Kemudian dalam hal pengembangan profesi atau karier, setidaknya ada beberapa fungsi atau peran dari suatu kebijakan dalam hal ini lebih jelasnya menurut Gatss (2000, hh. 5-6) the potential roles of public policy in relation to career development services fall into four categories: legislation, remuneration, exhortation, and regulation (peran kebijakan publik terkait pengembangan karier dibagi menjadi empat kategori: legislasi, renumerasi, peringatan, dan regulasi).

Lalu, Schultz (2004, h. 350) menyebutkan policy refers to rules, management strategies, processes, and plans allowed by the public to address their areas of concern (Kebijakan merujuk pada aturan-aturan, strategi manajemen, proses, dan rencana yang dikehendaki oleh publik yang digunakan untuk menunjukkan perhatian publik).

Berdasarkan pandangan dan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan suatu aturan, strategi, atau keputusan dari hasil kesepakatan bersama yang sifatnya dapat langsung atau tidak langsung menyasar pada publik. Suatu kebijakan yang diterapkan dituntut untuk mampu memfasilitasi dan mengakomodasi kepentingan publik atau subjek dimana kebijakan itu diimplementasikan. Dalam pengembangan karier atau profesi, setidaknya kebijakan dapat mencakup beberapa hal seperti legislasi, renumerasi, peringatan, dan regulasi.

G. Objek Studi Analisis KebijakanMenurut Irianto (2012: 51) analisis kebijakan dalam pendidikan dilakukan secara

komprehensif, yang mencakup rumusan, implementasi, dan dampak kebijakan, tetapi fokusnya pada implementasi kebijakan. Proses analisis sebetulnya harus beranjak dari kajian terhadap rumusan kebijakan.

Analisis terhadap kondisi implementasi dari setiap rumusan kebijakan merujuk gambaran ideal pelaksanaan kebijakan pada semua tingkatan pelaku kebijakan sebagaimana tertuang dalam rumusan kebijakannya. Kemudian, permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan tersebut, dikaji sampai pada ditemukannya faktor-faktor yang menyebabkan hambatan, halangan, gangguan dalam mengimplementasikan kebijakan yang dimaksud. Analisis selanjutnya diarahkan pada kajian implikasi-implikasi keilmuan untuk membangun paradigma baru dalam konsep dan teori kebijakan pendidikan. Pada tahapan ini, kebijakan dimaksudkan untuk menemukan konsep-konsep dalam rangka profesionalisasi manajemen pendidikan.

Implikasi-implikasi terhadap substansi manajemen pendidikan, perlu ditelusuri dari komponen-komponen yang melekat pada sistem pendidikan nasional, yang saat ini memikul beban berat dalam menanggulangi krisis multidimensional. Jika berangkat dari filosofi demokratisasi, pelayanan, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan yang diwujudkan dalam misi dan tugas lembaga pendidikan, diperlukan suatu kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kebijakan tersebut merupakan standar, spesifikasi dan model normatif ini, dipakai untuk menseleksi bahan masukan untuk diproses sehingga menghasilkan keluaran sebagaimana keinginan, kebutuhan dan harapan masyarakat dan bangsa (Hasbullah, 2015: 63).

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

16

H. Implementasi KebijakanMenurut Gorton dan Scheneider (1991: 65) “Implementing inolves administrators

in the process of making sure that the plant is carried out as intended.” Artinya implementasi melibatkan seorang administrator pada proses memastikan rencana berjalan sesuai yang dikehendaki. Pada dasarnya proses implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat menentukan. Tolok ukur keberhasilan kebijakan pendidikan dapat dilihat pada tahap implementasi. Sebaik apapun kebijakan pendidikan yang sudah dibuat jika tidak diimplementasikan maka tidak akan dapat dirasakan manfaatnya.

Proses implementasi kebijakan pendidikan melibatkan perangkat politik, sosial, hukum, maupun administratif atau organisasi dalam rangka mencapai suksesnya implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan pendidikan merupakan proses yang tidak hanya menyangkut perilaku-perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan kepada kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut faktor-faktor hukum, politik, ekonomi, sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat dalam program.

Implementasi kebijakan merupakan salah satu komponen dalam proses kebijakan. Melaksanakan kebijakan berarti melaksanakan pilihan yang telah ditetapkan dari berbagai alternatif dalam perumusan dan perundangan yang berlaku, didukung oleh personil yang profesional, serta sarana dan prasarana yang tersedia.

Proses implementasi kebijakan pendidikan melibatkan perangkat politik, sosial, hukum, maupun administratif atau organisasi dalam rangka mencapai suksesnya implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan pendidikan merupakan proses yang tidak hanya menyangkut perilaku-perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan kepada kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut faktor-faktor hukum, politik, ekonomi, sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat dalam program.

Sebuah kebijakan perlu dijabarkan secara operasional tujuan umum menjadi tujuan khusus yang lebih spesifik. Dalam penjabaran kebijakan itu perlu adanya pengaturan sumber dana, sumber daya, serta perangkat organisasi lainnya. Dalam konteks pelaksanaan kebijakan, Hasbullah (2015: 93) mengutip pendapat Siagian yang mengemukakan perlu perhatian terhadap hal-hal yang berpengaruh antara lain; (1) manusia, (2) struktur, (3) proses administrasi dan manajemen, (4) dana, (5) daya. Lima faktor tersebut dapat dijadikan sebagai faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi kebijakan.

Suatu tindakan administratif sangat diperlukan untuk upaya pelaksanaan kebijakan. Agar implementasi kebijakan dalam pendidikan dapat berjalan lancar dan sukses, maka perlu dianalisis tentang peraturan yang dapat mendukung kebijakan, keuangan, personil, dan prasarana lainnya yang dapat mendukung suatu pelaksanaan kebijakan. Banyak pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan seperti: kelompok formal, informal, suprastruktur, infrastruktur, dan fungsional. Semua itu saling terkait dan sangat menentukan akan keberhasilan dalam implementasi kebijakan.

Secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Proses penetapan kebijakan bisa mulai apabila tujuan dan sasaran telah diperinci.

Proses implementasi kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program. Untuk mencapai

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

17

keberhasilan implementasi kebijakan perlu adanya kesamaan pandangan atas tujuan yang hendak dicapai dan komitmen semua pihak untuk memberikan dukungan bagi pelaksanaannya.

Keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari terjadinya kesesuaian antara pelaksanaan dengan rumusan kebijakan, tujuan, dan sasaran yang telah ditetapkan. Apabila kebijakan tidak sesuai dengan rumusan, tujuan, dan sasaran maka dapat dikatakan implementasi kebijakan tersebut adalah kurang berhasil, keberhasilan implementasi kebijakan juga dapat dilihat dari dampak positif kebijakan tersebut bagi pemecahan masalah yang dihadapi.

I. Kendala dalam Implementasi Kebijakan PendidikanKeberhasilan dalam implementasi kebijakan merupakan sesuatu hal yang

sangat diharapkan dalam tatanan kebijakan. Karena implementasi kebijakan merupakan proses yang sifatnya sangat penting. Dapat diibaratkan implementasi kebijakan adalah penentu suatu kebijakan dapat dikatakan berhasil atau gagal. Namun proses implementasi kebijakan tidak selamanya berjalan tanpa hambatan. Terdapat beberapa kendala dalam proses implementasi kebijakan.

Kendala-kendala dalam implementasi kebijakan yang oleh Dunsire yang dikutip hasbullah, dinamakan sebagai “implementation gap” yaitu suatu keadaan dalam proses kebijakan selalu terbuka untuk kemungkinan akan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai (sebagai hasil atau prestasi dari pelaksanaan kebijakan).

Menurut Pieters sebagaimana yang dikutip oleh Hasbullah bahwa sangat diperlukan instrumen untuk mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan kebijakan, yaitu (Hasbullah, 2015: 102):

a) HukumHukum menjadi instrumen yang berpengaruh dalam keberhasilan

implementasi kebijakan. Karena dalam hukum terdapat unsur paksaan dari pihak yang berkuasa. Pihak yang berkuasa memiliki legitimasi untuk dapat melaksanakan suatu kebijakan yang dapat memaksa setiap anggota atau warga sekolah untuk mentaatinya. Sebagai instrumen kebijakan, hukum mempunyai kegunaan untuk mengatur kedudukan warga negara/ sekolah dan hukum merupakan alat pengatur kehidupan warga negara/ sekolah.

b) ServiceDalam implementasi kebijakan, birokrasi atau pemerintah dapat

melakukannya dengan memberikan fasilitas ataupun layanan pendidikan. c) Dana

Ketersediaan dana merupakan instrumen penting yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Dengan adanya sumber daya finansial yang cukup maka kebijakan akan berjalan dengan baik itu pada tahap makro maupun mikro.

d) SituasiApabila semua instrumen di atas gagal digunakan oleh pemerintah, maka

pemerintah dapat menggunakan keyakinan moral untuk mempengaruhi masyarakat. Karena kedudukan pemerintah dan lembaga politik lain, sepanjang mereka masih memiliki legitimasi masyarakat, mereka mempunyai posisi yang menguntungkan untuk menumbuhkan keyakinan dalam mempengaruhi masyarakat, sebab mereka memiliki akses untuk berbicara atas nama kepentingan umum

J. Karakteristik dan Model Kebijakan Pendidikan

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

18

Kebijakan publik adalah alat untuk mencapai tujuan publik, bukan tujuan orang perorang atau golongan dan kelompok. Meskipun sebagai alat (tool) keberadaan kebijakan publik sangat penting dan sekaligus krusial. Penting karena keberadaannya sangat menentukan tercapainya sebuah tujuan, meskipun masih ada sejumlah prasyarat atau tahapan lain yang harus dipenuhi sebelum sampai pada tujuan yang dikehendaki. Krusial karena sebuah kebijakan yang di atas kertas telah dibuat melalui proses yang baik dan isinya juga berkualitas, namun tidak otomatis bisa dilaksanakan kemudian menghasilkan sesuai yang selaras dengan apa yang dinginkan oleh pembuatnya. Juga krusial karena sebuah kebijakan bisa - dan seringkali terjadi - diperlakukan seolah lebih penting atau sejajar dengan tujuan yang hendak dicapai, padahal ia hanyalah sekedar alat, meskipun alat yang sangat penting (Rusli, 2013:9).

Tidak jarang, bagi sebagian orang atau kelompok tertentu, kebijakan ditempatkan sedemikian penting, sehingga melupakan esensi dasarnya. Tarik menarik dalam perjuangan menyusun dan menetapkan kebijakan seolah lebih penting dari upaya lain yaitu bagaimana mencari cara yang lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan. Biaya besar yang dikeluarkan untuk menyusun kebijakan adalah cerminan betapa pentingnya sebuah kebijakan dan sekaligus cerminan akan perlakuan berlebihan seolah hadirnya kebijakan lebih penting dari upaya pencapaian tujuan yang sebenarnya (Rusli, 2013:9).

Dikarenakan kebijakan yang dibahas dalam hal ini berfokus pada kebijakan pendidikan tentunya ciri-ciri atau karakteristik yang melekat dalam kebijakan itu berkaitan erat dengan pendidikan. Dalam hal ini Madjid (2018: 13-15) menyebutkan beberapa karakteristik kebijakan pendidikan yanag secara detail dijelaskan sebagai berikut:1. Memiliki tujuan pendidikan

Ciri utama yang ada dalam kebijakan pendidikan adalah adanya tujuan; yang dalam hal ini karena kebijakan tersebut berfokus pada bidang pendidikan tentunya tujuannya pun harus sejalan dan memiliki sumbangsis terhadap pendidikan

2. Memiliki aspek legal-formalCiri ini berkaitan dengan legitimasi kebijakan itu sendiri. Dimana dalam hal ini, kebijakan yang ditetapkan harus mendapat pengakuan dari wilayah yang telah ditentukan dan tentunya memenuhi syarat konstitusional dan sesuai dengan hirarki konstitusi.

3. Memiliki konsep operasionalDalam artian ini kebijakan yang bersifat operasional adalah kebijakan yang dalam penerapannya dapat dibuat oleh yang berwenang, dapat dievaluasi, dan memiliki sistematika.

Disamping terdapat karakteristik tentunya ada berbagai macam model kebijakan pendidikan. Adapun model pendekatan yang diperlukan dalam menetapkan suatu kebijakan pendididikan antara lain sebagai berikut:1. Model Deskriptif.

Model pendekatan deskriptif adalah suatu prosedur atau cara yang digunakan oleh penelitian dalam ilmu pengetahuan (baik ilmu pengetahuan murni maupun terapan) untuk menerangkan sesuatu gejala yang terjadi di dalam masyarakat (suryadi, 1994: 46).

Menerangkan kebenaran tentang suatu gejala bukanlah merupakan hal yang mudah karena gejala yang terjadi di dalam masyarakat atau sekolah selalu dapat ditafsirkan secara subjektif, dan sangat bergantung kepada pandangan subyek yang sedang menyoroti gejala tersebut. Sehingga tujuan model pendekatan deskriptif ini ialah mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah mengenai gejala

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

19

kemasyarakatan (sekolah) agar dapat diperoleh kesepakatan umum mengenai suatu permasalahan yang sedang disoroti.

2. Model NormatifMenetapkan dan pengambilan suatu putusan atau kebijakan dengan

menggunakan model normatif di mulai dari mengindentifikasi apa yang dilakukan oleh kepala sekolah atau pemimpin yang baik, dam kemudian memberikan pedoman tentang bagaimana seorang pemimpin itu mengambil keputusan. Pendekatan dengan model normatif dalam menganalisis dan menetapkan kebijakan dimaksudkan untuk membantu para pengambil kebijakan/keputusan dalam memberikan gagasan hasil pemikiran agar para pengambil kebijakan /keputusan tersebut dapat memecahkan suatu masalah kebijakan. Informasi yang normatif atau persepektif ini biasanya berbentuk alternatif kebijakan sebagai hasil dari analisis data. Informasi jenis ini dihasilkan dari metodologi yang sepenuhnya bersifat rasional yang sesuai, baik dengan argumentasi teoritis maupun data dan informasi.

Tujuan pendekatan ini ialah membantu mempermudah para pemakai dalam menentukan atau memilih salah satu dari beberapa pilihan cara atau prosedur yang paling efisien dalam menangani atau memecahkan suatu masalah. Pendekatan model normatif yang digunakan analisis kebijakan adalah yang dapat membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum. Model normatif tidak hanya memungkinkan analis atau pengambil kebijakan memperkirakan nilai masa lalu, masa kini, dan masa datang. Tetapi pendekatan ini dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan/kebijakan (Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Kepala Sekolah) memberikan gagasan hasil pemikiran agar para pengambil keputusan dapat memecahkan suatu masalah kebijakan (Sagala, 2009: 105).

Pendekatan normative ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang (aksi) yang dapat menyelesaikan masalah-masalah pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat pada semua jenjang dan jenis pendidikan.

3. Model Verbal.Model verbal ( Verbal models) dalam kebijakan diekspresikan dalam bahasa

sehari-hari, bukan bahasa logika simbolis dan matematika sebagai masalah substantif. Pengambil kebijakan ( analis) menggunakan model ini bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi (Sagala, 2009: 106). Penilaiaan nalar inilah yang menghasilkan argumen kebijakan, bukan berbentuk nilaia-nilai angka pasti.

Keterbatasan model verbal, walaupun mudah dikomunikasikan dan biayanya lebih murah adalah bersifat implisit atau tersembunyi sehingga sulit dipahami, memeriksanya secara kritis argumen-argumen tersebut sebagai keseluruhan karena tidak didukung oleh informasi atau fakta yang mendasarinya.

4. Model SimbolisDalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan dengan pendekatan model

simbolis berarti menggunakan simbol-simbol matematis untuk menerangkan hubungan antara variabel-variabel kunci yang dipercaya menciri suatu masalah. Prediksi atau solusi yang optimal dari suatu masalah kebijakan diperoleh dari model-model simbolis dengan meminjam dan menggunakan metode-metode matematika, statistik, logika (Sagala, 2009: 106).

Model simbolis dapat memperbaiki keputusan kebijakan, tetapi hanya jika premis-premis sebagai pijakan penyusun model dibuat eksplisit dan jelas. Model simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para pembuat kebijakan, dan bahkan diantara para ahli sering terjadi kesalah pahaman tentang elemen-elemen dasar dari model simbolis tersebut. Kelemahan

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

20

praktis model simbolis ini adalah hasilnya tidak mudah diinterpretasikan, bahkan diantara para spesialis, karena asumsi-asumsinya tidak dinyatakan secara memadai. Oleh karena itu penentuan kebijakan atas dasar angka-angka kuantitatif (simbolis) tidak cukup memadai untuk melakukan prediksi sehingga masih perlu fakta-fakta atau data kualitatif yang riil sebagai pertimbangan prediksi dan juga penentuan kebijakan.

5. Model Prosedural.Model prosedural menampilkan hubungan yang dinamis antara

variabelvariabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prediksi dan solusisolusi aptimal diperoleh dengan mensimulasikan dan meneliti, seperangkathubungan yang mungkin terjadi Model procedural adalah mensimulasikan hubunganantara anatara variabel-variabel kebijakan dan hasil. (Sagala, 2009: 107).

Model prosedural berbeda dengan model simbolis yang menghubungkan antara variabel kebijakan dengan hasil. Model prosedural juga dapat ditulis dalam bahasa nonteknis yang mudah dipahami sehingga memperlancar komunikasi antara orang-orang awam, sifatnya kreatif tetapi biayanya relatif tinggi dibanding dengan verbal dan simbolis.

6. Model sebagai Pengganti dan Perspektif.Pendekatan model perspektif merupakan upaya ilmu pengetahuan

menawarkan suatu norma, kaidah atau resep yang dapat digunakan oleh pemakai memecahkan suatu masalah khususnya masalah kebijakan. Model bentuk perspektif juga biasanya berbentuk alternatif kebijakan sebagai hasil dari analisis data (suryadi, 1994: 47).

Model pengganti diasumsikan sebagai pengganti dari masalah-masalah substantif. Model pengganti mulai disadari atau tidak dari asumsi bahwa masalah formal adalah representasi yang sah dari masalah yang substantif. Sedangkan model perspektif didasarkan pada asumsi bahwa masalah formal tidak pernah sepenuhnya mewakili secara sah masalah substantif. Hal ini penting karena pemecahan masalah pendidikan ini harus dilakukan dengan tepat, jika tidak tentu akan mendapatkan kerugian baik waktu, material, dan juga penyimpangan dari tujuan yang telah ditentukan.

K. Pendekatan dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan Menurut Rohman (2012: 110-114) ada empat pendekatan dalam implementasi kebijakan pendidikan yaitu:1. Pendekatan Struktural (Structural Approach)

Pendekatan ini memandang bahwa kebijakan pendidikan harus dirancang, diimplementasikan, dikendalikan, dan dievaluasi secara struktural. Pendekatan ini bersifat top-down atau dari atas ke bawah dan pendekatan ini lebih menekankan pentingnya komando dan pengawasan menurut tahap atau tingkatan dalam struktural masingmasing organisasi. Kelemahan dari pendekatan struktural ini adalah proses pelaksanaan implementasi kebijakan pendidikan menjadi kaku, terlalu birokratis, dan kurang efisien.

2. Pendekatan Prosedural dan Manajerial (Procedural and Managerial Approach)Pendekatan prosedural dan manajerial tidak mementingkan penataan

struktur-struktur birokrasi pelayanan yang cocok bagi implementasi program, melainkan dengan upaya mengembangkan proses-proses dan prosedur-prosedur

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

21

yang relevan. Termasuk prosedur-prosedur manajerial beserta teknik-teknik manajemen yang tepat.

3. Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach)Pendekatan perilaku meletakan dasar semua orientasi dari kegiatan

implementasi kebijakan pada prilaku manusia sebagai pelaksana, bukan pada organisasi sebagaimana pendekatan structural atau pada teknik manajemennya sebagaimana pendekatan procedural dan manajerial di atas.

Pendekatan perilaku ini berasumsi bahwa upaya implementasi kebijakan yang baik adalah bila perilaku manusia beserta segala sikapnya juga harus dipertimbangkan dan dipengaruhi agar proses implementasi kebijakan tersebut dapat berlangsung dengan baik dan sesuai tujuan. Beberapa kejadian sering terjadi dimana program kebijakan baik, peralatan dan organisasi pelaksananya juga baik, namun di tengah jalan banyak terjadi penolakan-penolakan (resistance) di masyarakat. Bahkan beberapa anggota pelaku pelaksanannya merasa pasif dan sedikit acuh tak acuh. Hal ini menunjukan bahwa aspek perilaku manusia sangat penting diperhatikan.

4. Pendekatan Politik (Political Approach)Pendekatan ini lebih melihat pada faktor-faktor politik atau kekuasaan yang

dapat memperlancar atau menghambat proses implementasi kebijakan. Pendekatan politik dalam proses implementasi kebijakan, memungkinkan digunakannya paksaan dari kelompok dominan. Proses implementasi kebijakan tidak bisa hanya digunakan dengan komunikasi interpersonal saja sebagaimana disyaratkan oleh pendekatan prilaku, bila problem konflik dalam organisasi tadi bersifat endemik.

Maka hadirnya kelompok dominan dalam organisasi akan sangat membantu, apalagi kelompok yang berkuasa/dominan tadi dalam kondisi tertentu mau melakukan pemaksaan, tentu akan sangat diperlukan. Apabila tidak ada kelompok dominan, mungkin implementasi kebijakan akan berjalan secara lambat dan bersifat inkremental.

L. Teori Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan adalah merupakan langkah terakhir dari suatu proses

kebijakan. Sebagai contoh salah satu aktivitas fungsional, evaluasi kebijakan tidakhanya dilakukan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas sebelumnya, yaitu pengesahan (formulasi) dan pelakanaan (implementasi) kebijakan. Namun dapat terjadi pada seluruh aktivitas-aktivivtas fungsional yang lain dalam proses kebijakan. Evaluasi kebijakan dapat mencakup tentang isi kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan dampak kebijakan. Jadi evaluasi kebijakan bisa dilakukan pada faseperumusan masalah, formulasi usulan kebijakan, implementasi kebijakan,legitimasi kebijakan dan seterusnya.

Dampak kebijakan merupakan keseluruhan efek yang timbulkan olehsuatu kebijakan dalam kondisi kehidupan nyata (Dye, 1981:367). Menurut Dye(1981:367) dan Anderson (1984:138), semua bentuk manfaat dan biaya kebijakan,baik yang langsung maupun yang akan datang, harus diukur dalam bentuk efeksimbolis atau efek nyata yang ditimbulkan. Output kebijakan adalah berbagai halyang dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, pembangunan dan rehabilitas jalanraya, pembayaran tunjangan profesi, penangkapan terhadap tindak criminal, ataupenyelenggaraan sekolah umum.

Informasi mengenai outcome atau dampak kebijakan publik, untuk menentukan outcome kebijakan publik perlu diperhatikan perubahan yang terjadidalam lingkungan atau sistem politik yang disebabkan oleh aksi politik. Menurut

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

22

sebagian pakar, seperti Dye (1981:366) dan Anderson (1984:136-139), terdapatsejumlah dampak (manfaat) kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam evaluasikebijakan, yakni:

1. Dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok target.Oobjek yang dimaksud sebagai sasaran kebijakan harus jelas, efek yang dituju oleh kebijakan juga harus ditentukan.

2. Dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok lain selain situasiatau kelompok kelompok target.

3. Dampak kebijakan terhadap kondisi sekarang dan kondisi masa depan.4. Biaya langsung kebijakan, dalam bentuk sumber daya dan dana (uang)

yang telah digunakan dalam program.5. Biaya tidak langsung kebijakan, yang mencakup kehilangan peluang

melakukan kegiatan-kegiatan lain.6. Sulit mengukur manfaat tidak langsung dari kebijakan terhadap komunitas

yang dituju oleh suatu program kebijakan.Moekijat (dalam Ridha 2016:107) mengemukakan “Evaluasi ditujukan

pada usaha-usaha untuk menyelidiki apakah program yang dilaksanan sesuaidengan apa yang diinginkan ataukah tidak”, Menurut Bryant & white (dalamRidha 2016:107) mendefinisikan “evaluasi sebagai upaya untuk mendokumentasikan apa yang terjadi dan juga mengapa hal itu terjadi”. Idealnyasuatu proyek dirancang untuk menentukan hubungan sebab-akibat itu, dan denganpemikiran ke depan mengenai evaluasi merupakan upaya mengetahui apakahkaitan itu sungguh-sungguh ada.

Evaluasi merupakan usaha-usaha untuk menyelidiki apakah program yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang diinginkan atau tidak. Kegiatan evaluasi inidalam beberapa hal mirip dengan pengawasan, pengendalian, penyeliaan, supervisi, kontrol dan pemonitoran. Dimana pelaku utamanya adalah pemerintah.Seringkali pelaku yang lain seperti lembaga penelitian yang independen, partaipolitik dan tokoh-tokoh masyarakat juga melakukan evaluasi. Selain dari ituevaluasi juga dilakukan untuk menunjukkan ketidakadilan yang melekat padakebijaksanaan tersebut.

Dunn (2003) mengemukakan bahwa:Dalam evaluasi dampak kebijakan membedakan konsekuensi kebijakan menjadi dua jenis, yaitu ouput dan dampak. Output adalah barang, jasa atau fasilitas lain yang diterima oleh sekelompok masyarakat tertentu, baik kelompok sasaran maupun kelompok lain yang tidak dimaksudkan untuk disentuh oleh kebijakan. Sedangkan dampak adalah kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan.

Dari uraian di atas, evaluasi dampak memberikan perhatian yang lebihbesar kepada output dan dampak kebijakan dibandingkan kepada proses pelaksanaan kebijakan itu sendiri Kaitannya dengan dampak kebijakan, perludipahami akan adanya dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan mengandung pengertian bahwa Ketikakebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja yang akan terjadi. Diantara dampak - dampak yang diduga akan terjadi dalam

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

23

pelaksanaan kebijakan, ada dampak yang diharapkan dan ada yang tidak diharapkan. Lebih dari itu, pada akhir implementasi kebijakan muncul pula dampak-dampak yang tak terduga, yang diantaranya ada yang diharapkan dan tak diharapkan, atau yang diinginkan dan tidak diinginkan.

Tujuan pokok dari evaluasi kebijakan menurut Dunn dan Ripley dalamWibawa (1993:10-11) menyatakan bahwa fungsi dari evaluasi kebijakan adabeberapa yaitu Eksplanasi, kepatuhan, auditing dan akunting. Adapun penjelasandari poin-poin tersebut dapat dilihat sebagai berikut:1. Explanation. Melalui evaluasi kebijakan maka dapat dipotret realitas

pelaksanaan program dan dapat dibuat sutu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas.

2. Kepatuhan. Melalui kebijakan maka dapat diketahui apakah tindakan yang akan dilakukan oleh para pelaku baik birokrasi maupun pelaku lain sesuai dengan standar maupun prosedur yang telah ditetapkan.

3. Auditing. Melalui evaluasi kebijakan maka dapat diketahui apakah output benar-benar telah sampai pada kelompok sasaran maupun penerima lain.

4. Accounting. Melalui evaluasi kebijakan maka dapat diketahui apakah social ekonomi dari kebijakan tersebut meningkat atau tidak.

Nachimas seperti yang dikutip Howlett dan Remesh (dalam Ridha 2016:108) menyatakan bahwa evaluasi kebijakan sebagai tujuan yang sistematika,pemahaman empiric terhadap berbagai dampak dari kebijakan-kebijakan yangsedang berlangsung dan target program publik mereka sendiri, dalam pengertianuntuk mencapai tujuan-tujuan.)

Menurut Abidin (2006: 211) evaluasi secara lengkap mengandung tigapengertian yaitu:1. Evaluasi awal, sejak dari proses perumusan kebijakan sampai saat sebelum

dilaksanakan (ex-ante evaluation)2. Evaluasi dalam proses pelaksanaan atau monitoring3. Evaluasi akhir, yang dilakukan setelah selesai proses pelaksanaan kebijakan

(ex-post evaluation)Evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan mencapai hasil

sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Kebijakan seringkali terjadi kegagalan dalam meraih maksud dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Selanjutnya, untuk mengevaluasi suatu kebijakan, terdapat berbagai model. House dalam Soenarko (1996: 45) dikutip dari Suaib (2016: 113) mengemukakan model evaluasi kebijakan publik antara lain:a. The Adversary Model. Menurut model ini para evaluator di kelompokkan

dalam dua tim, yakni tim advokasi yang bertugas menyajikan hasil evaluasi program yang positif, hasil dan dampak yang dinilai efektif dan baik; serta tim yang berperan menemukan hasil evaluasi program yang negative, yang gagal, yang tidak dapat tepat sasaran dan tidak efektif. Pembentukan kelompok ini untuk menjamin netralitas dan objektivitas proses evaluasi. Temuan dari kedua kelompok ini kemudian dilakukan penelitian sebagai hasil evaluasi. Menurut model ini tidak ada efesiensi data yang dihimpun;

b. The transaction model. Model ini lebih mengutamakan penggunaan metode study kasus yang cenderung bersifat naturalistik, model ini memiliki dua

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

24

macam, yakni evaluasi responsive (responsive evaluation) yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan secara informal, berulang-ulang, mengamati setiap aksi agar program yang dilakukan dapat digambarkan secara akurat, serta evaluasi iluminatif (illuminative evaluation) yang bertujuan untuk mengkaji program inovatif dengan memberikan deskripsi dan interpretasi terhadap pelaksanaan suatu program/kebijakan. Jadi evaluasi ini berusaha untuk mengungkapkan dan mendokumentasikan pihak-pihak yang berpastisipasi didalam program.

c. Goal free model. Evaluasi model ini bertujuan untuk mencari dampak aktual dari suatu program kebijakan dan bukan hanya sekedar menentukan dampak yang diharapkan yang telah ditetapkan dalam program. Dalam upaya mencari dampak aktual ini evaluator tidak perlu mengkaji secara luas dan mendalam mengenai tujuan program yang telah dtetapkan, sehingga evaluator berada pada kondisi bebas tujuan agar dapat menjaga/mempertahankan objektivitas dan kebebasan penilaian.

M. Guru Honorer dan Tinjauan Kebijakan yang MengikatnyaTerkait pembahasan guru honorer, terdapat beberapa regulasi yang mengaturnya.

Pertama berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2005 Pasal 1 ayat 1, menyebutkan:

Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.2

Berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2005 di atas maka dapat disintesiskan bahwa guru honorer dapat dimaknai sebagai guru yang terikat langsung statusnya dengan pemerintah karena diangkat oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang, yang dalam hal ini adalah instansi pemerintah dalam bidang kepegawaian, yang tugas dan penghasilannya ditentukan langsung oleh pemerintah.

Selanjutnya pada Pasal 3 ayat 2 dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 menjelaskan juga terkait perihal terkait pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil dengan beberapa kualifikasi sebagai berikut:

1. Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan mempunyai masa kerja 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara terus menerus.

2. Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan mempunyai masa kerja 10 (sepuluh) tahun atau lebih sampai dengan kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara terus menerus.

3. Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 40 (empat puluh) tahun dan mempunyai masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih sampai dengan kurang dari 10 (sepuluh) tahun secara terus menerus.

4. Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun dan mempunyai masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih sampai dengan kurang dari 5 (lima) tahun secara terus menerus.

Selanjutnya, pengangkatan menjadi calon pegawai negeri sipil tersebut diaksanakan dengan menjalani serangkaian seleksi seperti administrasi, disiplin,

2 Salinan Peraturan Pemerintah RI No. 48 Tahun 2005.

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

25

integritas, kesehatan, dan kompetensi; kemudian aka nada prioritas dari pemerintah dalam hal usia dan lamanya masa kerja (PP Nomor 48 Tahun 2005 Pasal 4).

Berjalannya waktu, berdasarkan evaluasi pemerintah, PP Nomor 48 Tahun 2005 di atas mengalami revisi. Pertama di tahun 2007, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 43 Tahun 2007 yang isi revisinya antara lain adalah mengenai penghasilan tenaga honorer, yang secara detail sebagai berikut:

Penghasilan tenaga honorer dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah penghasilan pokok yang secara tegas tercantum dalam alokasi belanja pegawai/upah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Dalam hal penghasilan tenaga honorer tidak secara tegas tercantum dalam alokasi belanja pegawai/upah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, maka tenaga honorer tersebut tidak termasuk dalam pengertian dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Misalnya, dana bantuan operasional sekolah, bantuan atau subsidi untuk kegiatan/ pembinaan yang dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau yang dibiayai dari retribusi.

Selain itu, dalam PP tersebut juga menyebutkan penentuan pengangkatan teanga honorer menjadi pegawai negeri sipil yang direncanakan selesai pada Tahun anggaran 2009 dengan memprioritaskan tenaga honorer yang pengahasilannya dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; Pasal 6 ayat 2 secara rinci menjelaskannya sebagai berikut:

Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, baru dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil apabila semua tenaga honorer yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah seluruhnya secara nasional telah diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebelum Tahun Anggaran 2009.

Dengan demikian, apabila masih terdapat tenaga honorer yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah belum diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sampai Tahun Anggaran 2009, maka tenaga honorer yang tidak dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tidak dapat diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil.

Apabila sebelum Tahun 2009 secara nasional tenaga honorer yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah telah selesai seluruhnya diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, maka tenaga honorer yang tidak dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang bekerja pada instansi pemerintah dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kebijakan nasional, berdasarkan formasi, analisis kebutuhan riil, dan kemampuan keuangan negara.

Selanjutnya dalam upaya pemetaan tenaga honorer yang sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005 dan No. 43 Tahun 2007, maka pada tahun 2010 dikeluarkanlah Surat Edaran

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

26

No. 05 Tahun 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer yang bekerja di lingkungan instansi pemerintah. Regulasi ini dikeluarkan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia.

Berdasarkan Surat Edaran tersebut tenaga honorer dibagi menjadi dua kategori, yang secara detail dijelaskan sebagai berikut:

1. Kategori I Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dengan kriteria:a) Diangkat oleh pejabat yang berwenang;b) Bekerja di instansi pemerintah; c) Masa kerja minimal 1 (satu) tahun pada 31 Desember 2005 dan sampai saat

ini masih bekerja secara terus menerus; d) Berusia sekurang-kurangnya 19 tahun dan tidak boleh lebih dari 46 tahun per

1 Januari 2006. 2. Kategori II

Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dengan kriteria : a) Diangkat oleh pejabat yang berwenang; b) Bekerja di instansi pemerintah; c) Masa kerja minimal 1 (satu) tahun pada 31 Desember 2005 dan sampai saat

ini masih bekerja secara terus menerus; d) Berusia sekurang-kurangnya 19 tahun dan tidak boleh lebih dari 46 tahun per

1 Januari 2006.3

Selanjutnya, terkait pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil ini pemerintah di tahun 2014 mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Di Pasal 6 dalam regulasi tersebut dijelaskan bahwa aparatur sipil Negara dibagi menjadi dua, yaitu PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Selanjutnya secara detail mengenai status dari dua kategori pegawai tersebut dijelaskan dalam Pasal 7 (lihat Lampiran 9).

N. Penelitian Relevan TerdahuluTerdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan penelitian di atas yang

telah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun terdapat perbedaan waktu maupun setting. Berikut beberapa penelitian yang relevan:

Pertama, penelitian dengan judul Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dalam Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru SD melalui Pendidikan Tinggi Jarak Jauh di Wilayah Kabupaten Belitung. Penelitian ini dilakukan oleh Sofjan Arifin (2010: 35-43).Terdapat beberapa temuan dari penelitian tersebut di antaranya adalah berbagai kendala dalam pelaksanaanya tidak dapat dihindari, hal ini sebagai konsekuensi daerah kepuluan tetapi bukan untuk menyurutkan pencapaian realisasi program yang sudah direncanakan. Melalui kerjasama dengan UT sebagai penyelenggara PTJJ, rencana tersebut dapat terealisasikan sesuai target yang ditentukan dengan tetap menjamin kualitas lulusan sesuai dengan kompetensinya.

3 Salinan Surat Edaran Nomor 05 Tahun 2010 Tentang Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja Di Lingkungan Instansi Pemerintah.

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

27

Kemudian, studi berikutnya yang membahas tentang kebijakan dalam ruang lingkup pendidikan adalah studi yang dilakukan oleh Lia Nurmalia (2014) dengan judul Kebijakan Pendidikan di Kota Tangerang. Penelitian tersebut menggunakan instrument dokumen, wawancara dan pengamatan subjek yang diteliti. Dari temuan yang didapat menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kualitas pendidikan dan adanya peningkatan dukungan Pemerintah Daerah terhadap dunia pendidikan di Kota Tangerang. Dari temuan tersebut direkomendasikan bahwa pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan pemantauan terhadap pelaksana perda-perda yang diimplementasikan agar dapat berjalan secara maksimal.

Selanjutnya, studi terdahulu terkait guru honorer selanjutnya berjudul Motivasi Kerja Guru Honorer dalam Mengajar di SDN Gondosari III Pacitan. Studi tersebut dilakukan oleh Andri Kurniawan. Variabel yang terdapat dalam penelitian tersebut adalah Motivasi kerja guru, yang dalam hal ini lebih difokuskan pada guru honorer. Dalam penelitian tersebut, tekhnik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Wawancara, dokumentasi, dan observasi digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini. Hasil penelitian diperoleh (1) administrasi dan kebijakan yang ada disekolah antara guru PNS dengan guru honorer adalah sama, (2) gaji setiap subjek tidak sama. Hal ini terhadi dikarenakan tugas dan tanggung jawab subjek tidak sama, (3) adanya hubungan kekeluargaan yang sangat baik. Guru honorer yang rata-rata masih muda sangat menghormati para guru senior, (4) kepala SDN Gondosari III merupakan orang yang bijaksana dan menerima masukan maupun kritikan dari bawahannya, (5) Lingkungan kerja yang kondusif dan kooperatif serta suasana yang menyenangkan membuat responden di tempat kerjanya, (6) Seorang guru harus bisa menarik simpati agar menjadi idola para siswa dan disukai sehingga siswa senang belajar dengan guru, (7) subjek diberikan kesempatan untuk maju seperti guru PNS, (8) Subjek melaksanakan semua yang telah menjadi tanggung jawabnya di dunia pendidikan, (9) Subjek merasa bangga atas keberhasilan anak didiknya dalam meraih cita-cita. Setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, (10) Keberhasilan melaksanakan tugas merupakan motivasi subjek untuk terus mengembangkan potensi diri subjek, menambah wawasan dan pengetahuan subjek baik melalui media massa maupun media elektronik.

Penelitian terdahulu yang relevan berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Aos Nuari (2012: vii) dengan judul Analisis Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Palmerah Jakarta Barat . Dalam penelitian ini Nuari menggunakan teori analisis implementasi kebijakan dari George Edward III dengan pendekatan kuantitatif.Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan sertifikasi guru pada setting penelitian telah berjalan dengan baik, namun masih terdapat hambatan-hambatan yang diantaranya adalah kurangnya dana operasional, pola perekrutan staf diserahkan kepada pimpinan seksi masing-masing sehingga dapat terjadi nepotisme, kompetensi staf honorer kurang baik, lokasi yang kurang strategis dan tidak adanya pengawas independen dalam pelaksanaan sertifikasi guru. Dengan melihat hasil yang didapat maka saran untuk pelaksana kebijakan sertifikasi guru adalah dengan meningkatkan dana operasional merubah pola perekrutan staf menjadi berbasis latar belakang pendidikan, memberikan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi, memilih lokasi yang strategis dan dibentuknya pengawas independen dalam pelaksanaan sertifikasi guru.

Selanjutnya, penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kebijakan terhadap guru dilakukan oleh Bahral Djirimu (2016, h. 74) dengan judul Implementasi Kebijakan Kompetensi Guru di SD Muhammadiyah 2 Palu. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mmenentukan dan menjelaskan alasan tidak terpenuhinya kompetensi guru di SD Muhammadiyah 2 Palu, Palu Timur, dan untuk menentukan factor-faktor yang

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

28

memengaruhi kebijakan-kebijakan yang dinilai berdasarkan model implementasi kebijakan publik Edward III dengan menggunakan variable 1) komunikasi, 2) sumber daya, 3) disposisi atau sikap eksekutor, 4) struktur birokrasi. Penelitian yang termasuk kualitatif ini menentukan subjek penelitiannya dengan tekhnik purposive sampling dengan mengambil 5 subjek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan kompetensi di SD Muhammadiyah 2 Palu tidaklah optimal, khususnya dalam hal kompetensi kepribadian dan professional, karena 1) komunikasi antara pelaku kebijakan dalam hal ini adalah kepala sekolah dan guru belum intensif, 2) sumber daya manusia dan finansial tidak mencukupi sehingga implementasi kompetensi guru di SD Muhammadiyah 2 Palu tidak optimal.

Kemudian, studi terdahulu terkait guru honorer berikutnya adalah Sistem Rekrutmen dan Manajerial Kompetensi Guru Honorer yang dilakukan oleh Asep Sunandar (hh. 36-45). Pada penelitian ini, ditarik kesimpulan bahwa manajerial kompetensi guru honorer merupakan strategi untuk menegaskan kualitas yang harus dimiliki guru honorer sekaligus program dalam peningkatan kompetensi guru honorer. Penilaian negatif atas kinerja guru terjadi di berbagai daerah, mereka dianggap hanya bisa menuntut namun belum mampu memberikan jawaban meyakinkan setelah tuntutannya dipenuhi. Konsep ini merupakan jawaban baik untuk personal guru honorer itu sendiri, lembaga pengguna jasa guru dan siswa serta orang tua siswa sebagai konsumen pendidikan. Kompetensi guru tidak hanya berkenaan dengan kemampuan yang diperlukan dalam proses pembelajaran, kompetensi guru juga meliputi penerapan etika, perilaku dan contoh yang baik. Jenis-jenis kompetensi yang harus dimiliki guru akan selalu berkembang seiring dengan kemajuan peradaban manusia. Implementasi manajerial kompetensi guru dapat menjadi solusi di tengah miringnya persepsi tentang kinerja guru dan rendahnya penghargaan terhadap guru.

Penelitian selanjutnya, Meha dan Ismanto (2013: 46-58) yang melakukan penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penempatan Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Sumba Timur. Penelitian ini hamper sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuari dalam hal analisis kebijakannya, yaitu menggunakan variabel yang terdapat pada model Edward III, yang terdiri atas komunikasi, sumber, kecenderungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Temuan penelitian menunjukkan selain persolaan jarak yang harus ditempuh oleh anak didik pada saat hendak ke sekolah, ketersediaan guru di sekolah yang akan mendidik dan mengajarkan mereka suatu pengetahuan juga masih sangat kurang, dengan jumlah guru yang kurang pada setiap sekolah tentu akan mempengaruhi proses belajar anak didik yang tidak maksimal.Selain itu, secara kualifikasi akademik yang dimiliki oleh guru-guru sekolah dasar di Kabupaten Sumba Timur secara keseluruhan belum memenuhi standar kualifikasi akademik yang harus dimiliki seorang tenaga pendidik/guru pada tingkat satuan pendidikan dasar. guru yang berpedidikan S1 hanya sebanyak 184 orang, DIII 6 orang, DII 552 orang, DI 6 orang dan SLTA sebanyak 555 orang, atau sebanyak 86% guru PNS sekolah dasar di Kabupaten Sumba Timur belum memenuhi standarminimum sebagai syarat seorang pengajar bila dilihat dari kualifikasi akademik. Ironisnya lagi sebagian guru yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik, mereka hanyalah lulusan SMA yaitu sebanyak 43%, sedangkan jumlah guru sekolah dasar yang memiliki standar kualifikasi akademik S1 hanya sebesar 14% dari keseluruhan guru PNS yang ada di Kabupaten Sumba Timur.Selanjutnya temuan dalam penelitian tersebut mengungkap bahwa distribusi guru pada tiap sekolah dasar tidak merata.

Studi terdahulu yang relevan berikutnya adalah Memahami Subjective Well-Being Guru Honorer Sekolah Dasar Negeri. Penelitian ini dilakukan oleh Balqis dan Masykur

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

29

(2016: 223-228). Penelitian ini bertujuan untuk memahami subjective well-being guru honorer Sekolah Dasar Negeri. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang dengan karakteristik guru honorer Sekolah Dasar Negeri yang telah mengajar lebih dari sepuluh tahun dan mendapat honor dibawah UMR. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan catatan lapangan. Peneliti menggunakan model analisis eksplikasi data yaitu proses mengeksplikasikan ungkapan responden yang masih tersirat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek menikmati profesinya saat ini. Motivasi kerja yang ada pada individu memberikan efek pada kepuasan kerja individu. Kegagalan dalam seleksi CPNS tidak lantas membuat terpuruk karena ketiga subjek resiliensi yang baik. Subjective well-being ketiga subjek dipengaruhi oleh cara pandang terhadap profesinya. Subjek memandang guru adalah suatu pekerjaan yang mulia, membanggakan, menyenangkan, dan membawa berkah. Kesabaran, rasa syukur yang tinggi, serta dukungan sosial juga turut membantu ketiga subjek dalam mengurangi emosi negatif sehingga lebih mudah untuk mencapai kepuasan dalam hidup dan pekerjaan.

Selanjutnya, penelitian berjudul Kesejahteraan Subjektif pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Yogyakarta dilakukan oleh Marliani (2017: xiv). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran dan makna kesejahteraan subjektif pada guru honorer sekolah dasar di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-fenomenologis dengan metode pengumpulan data observasi dan wawancara (semi terstruktur). Informan dalam penelitian ini terdiri dari dua orang guru honorer sekolah dasar yaitu guru honorer laki-laki dan guru honorer perempuan. Hasil temuan penelitian ini mengungkapkan gambaran dan makna kesejahteraan subjektif pada kedua informan. Gambaran kesejahteraan subjektif pada kedua informan meliputi perasaan bahagia dan sejahtera dengan memiliki anak dan suami/istri, anak didik dan dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, serta merasa bersyukur dengan apa yang sudah diperoleh. Gambaran kesejahteraan subjektif pada kedua informan, merupakan hasil kolaborasi antara latar belakang menjadi guru, kehidupan guru honorer di masa sekarang, kehidupan guru honorer di masa depan, dan factor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada kedua informan meliputi ilma factor yaitu faktor hubungan social, faktor pekerjaan dan lapangan pekerjaan, faktr aktivitas di waktu luang, faktor kepribadian, dan faktor agama. Terdapat perbedaan makna kesejahteraan subjektif yang dijalani kedua informan. Masing-masing informan memiliki makna kesejahteraan subjektif yaitu subjek pertama mempunyai keyakinan terhadap Allah, menjadi manusia lebih baik dan bermanfaat untuk orang lain, sedangkan subjek kedua merasa bersyukur, menikmati menjadi guru dan peduli dengan orang lain. Makna kesejahteraan subjektif kedua guru honorer sekolah dasar di Yogyakarta dalam penelitian ini yaitu adanya keyakinan terhadap Allah, menjadi manusia lebih baik, dan bermanfaat untuk orang lain.

Studi relevan terkait guru di Tangerang Selatan adalah studi yang dilakukan oleh Andi Dewi Puspita Sari (2015) dengan judul Pengaruh Kompetensi Profesional Guru dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran di SMPN 03 Tangerang Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan kompetensi profesional guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran di SMPN 03 Tanggerang Selatan. Pendekatan kuantitatif deskriptif untuk menjawab permasalahan mengenai pengaruh kompetensi profesional guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran di SMPN 03 Tanggerang Selatan. Penelitian ini memusatkan perhatian pada pengaruh kompetensi guru terhadap mutu pembelajaran di SMPN 03 Tanggerang Selatan. Hasil Penelitian menunjukan korelasi Product moment, hubungan antara kompetensi profesional guru dengan mutu pembelajaran terdapat hubungan yang positif, dengan “rxy” sebessar 0.406. Sedangkan

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

30

rtabel pada taraf signifikan 5% di peroleh dari rtabel 0,250, dan jika di tafsirkan hasil tersebut dalam tabel product moment maka angka tersebut menunjukkan korelasi yang positif, walaupun hubungan positif tersebut itu hanya pada tingkat sedang atau cukup.

Studi terdahulu berikutnya adalah berjudul Politik Guru Honorer yang dilakukan oleh Ngabiyanto (2018). Penelitian ini meneliti tentang bagaimana aspirasi yang disampaikan oleh guru honorer pada pemerintah Kota Semarang. Penelitian ini menarik sebab kajian politik pendidikan dalam hal ini politik guru honorer merupakan studi yang masih memiliki referensi terbatas. Tujuan jangka panjang dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan riset tentang politik guru honorer di kota Semarang. Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat melengkapi kajian ilmiah terhadap guru honorer di Indonesia. Dalam penelitian ini masalah yang diangkat adalah 1) Bagaimana dinamika sosial, politik dan ekonomi guru honorer di Kota Semarang, 2) Bagaimana strategi perjuangan guru honorer di kota Semarang dalam peningkatan status dan kesejahteraannya, 3) Langkah-langkah apa yang dilakukan oleh pemerintah kota Semarang untuk mengatasi permsalahan guru honorer. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Focus Group Discussion, wawancara, survey dan dokumentasi (studi kepustakaan). Temuan dalam peneltian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa simpulan. Pertama, terdapat guru-guru honorer yang memikiki masalah dalam status kepegawaiannya, yakni terdapat dari mereka yang belum diangkat melalui peraturan perudang-undangan, namun hanya sebatas kontrak kerja yang mana bekerja hanya dalam kurun waktu tertentu dan dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh satuan unit pendidikan tempat dimana ia bekerja. Kemudian studi berikut berjudul Analisa Status, Kedudukan, dan Pekerjaan Pegawai Tidak Tetap dalam uu no. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang dilakukan oleh Jati (2015: 100). Studi ini bertujuan untuk menganalisis tentang status dan kedudukan pegawai tidak tetap baik dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. Analisa yang ditampilkan berlokus kepada tugas pokok fungsi maupun status/kedudukannya dalam manajemen kepegawaian negara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi evolusi dalam menganalisis pegawai tidak tetap dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 hingga yang terbarukan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. Ketidakjelasan mengenai status, kedudukan, nasib yang selama ini belum diakomodir dalam Undang-Undang Kepegawaian sebelumnya, kini sudah diperjelas semuanya dalam Undang-Undang ASN 2014 ini.

Studi terdahulu berkutnya berjudul Profesionalitas Kerja Guru Ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Masa Kerja, dan Status Kepegawaian, yang dilakukan oleh Tri Ningsih (2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan profesionalitas kerja guru ditinjau dari tingkat pendidikan, perbedaan profesinalitas kerja guru ditinjau dari masa kerja dan perbedaan profesionalitas kerja guru ditinjau dari status kepegawaian. Penelitian ini menggunakan metode survei. Subjek dari penelitian ini dalah guru-guru di Sekolah Menengah Atas di Kota Yogyakarta yang berjumlah 317 orang. Digunakan tekhnik purposive sampling dalam penentuan sampelnya. ANOVA digunakan falam menganalisis data dalam penelitian ini. Temuan hasil penelitian ini menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan profesionalitas kerja guru ditinjau dari tingkat pendidikan, masa kerja, dan status kepegawaian.

Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Armawati (2015) yang berjudul Kebijakan Peningkatan Kualitas Profesionalisme Guru Tingkat Sekolah Dasar Pasca Otonomi Daerah di Kabupaten Sumbawa. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kebijakan peningkatan kualitas profesionalisme guru tingkat sekolah dasar pasca otonomi daerah di Kabupaten Sumbawa serta implementasi kebijakan tersebut melalui programprogram. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

31

penelitian ialah Kepala Seksi Peningkatan Mutu Pendidik dan Kependidikan TK&SD dan 5 kepala sekolah. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumen. Analisis data menggunakan model Hubberman&Milles yang meliputi reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan. Uji keabsahan data menggunakan triangulasi sumber. Hasil penelitian sebagai berikut: 1) Kebijakan peningkatan kualitas profesionalisme guru sekolah dasar di Kabupaten Sumbawa yakni pembinaan gugus dan peningkatan kualifikasi pendidik. 2) Implementasi kebijakan berupaprogram peningkatan Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan (SKGJ) telah tercapai 78,02%. Implementasi menggunakan teori Grindle yakni keberhasilan kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan meliputi: mempengaruhi guru, kepala sekolah dan siswa, meningkatkan kualitas pendidikan, guru menjadi aktif, kreatif, dan inovatif, kebijakan dibuat dengan menerima aspirasi dan usulan, dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Sumbawa, guru, dan kepala sekolah, mengerahkan sumber daya manusia serta sarana prasarana. Konteks implementasinya meliputi: kebijakan diimplemetasikan dengan baik dan tepat sasaran, Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Sumbawa terbuka terhadap kebijakan yang senantiasa berubah dan menerima masukan dari berbagai pihak, serta mendapat respon yang baik dari guru. 3) Faktor pendukung program meliputi: peran aktif Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Sumbawa berupa pendampingan secara material maupun moril, dan antusiasme guru. 4) Faktor penghambat: jarak tempuh jauh dan faktor usia guru. 5) Dampak program yakni guru lolos sertifikasi sebagai pendidik profesional.

Studi selanjutnya adalah Kebijakan Kepala Sekolah dan Kinerja Guru (StudiTerhadap Perspektif Pembinaan SMA Negeri 1 Watang Pulu Kabupaten Sidrap) yang dilakukan oleh Rasyid (2010). Pokok masalahnya adalah implementasi kebijakan kepala sekolah dan kinerja guru.Tujuan penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui proses implementasi kebijakan kepala sekolah SMA Negeri 1 Watang Pulu Kabupaten Sidrap, kendala-kendala dan solusinya, 2) untuk mengetahui hasil implementasinya berupa kinerja guru. Sumber data adalah guru yang berjumlah 35 orang. teknik pengumpulandatanya adalah teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. data kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian, menunjukkan bahwa: 1. proses implementasi kebijakan kepala sekolah dilakukan dengan cara; mengadakan rapat awal tahun, pembagian tugas, mengadakan rapat koordinasi, dan diterbitkannya surat keputusan pembagian tugas. 2. Bentuk-bentuk kebijakan kepala sekolah ada dua yaitu kebijakan makro (program) berupa instruksi kepala sekolah agar membuat rencana pembelajaran dan melakukan kontrak belajar dengan peserta didik. membentuk tim pengembang kurikulum, menggiatkan MGMP di sekolah, pemanfaatan media pembelajaran, mengadakan bimbingan belajar, mengadakan kerjasama dengan lembaga lain, mengadakan training bagi guru dan pegawai, mengadakan studi banding. mengadakan pembinaan bakat, dan membantu guru untuk melanjutkan studinya. Kebijakan mikro (tindakan) berupa memberikan tambahan waktu bagi guru yang terlambat untuk menyetor RPP, menyiapkan guru pengganti apabila guru yang bersangkutan terlambat datang mengajar, menyiapkan guru mata pelajaran lain bilaguru tiba-tiba tidak bisa mengajar, dan mengganti kegiatan kepanitian pada kegiatan berikutnya, guru yang tidak mencukupi jam mengajarnya diizinkan mengajar ditempat lain. 2) Hasil implementasi kebijakan terlihat pada kinerja guru yang meliputi: (1) Persiapan mengajar, (2) Pelaksanaan proses pembelajaran, (3) Evaluasi, (4) Pengembangan profesi, dan (5). Kedisiplinan yang berjalan efektif. Adapun implikasi penelitian ini adalah; 1) Kepala sekolah perlu meningkatkan program peningkatan kompetensi guru dan peningkatan komunikasi personal, kemampuan memahami kondisi, inspirasi, dan motivasi guru dan pegawainya. 2) Guru secara pribadi perlu meningkatkan

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

32

semua kompetensinya untuk mendukung kebijakan-kebijakan kepala sekolah dan sebaliknya kepala sekolah perlu meningkatkan kegiatan penunjang yang mendukung kegiatan guru dalam melibatkan lembaga eksternal untuk mendukung program sekolah.

Studi berikutnya adalah studi yang dilakukan oleh Suhartina (2017) dengan judul Evaluasi Dampak Kebijakan Sertifikasi Pada Guru SD 209 Tanete Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan sertifikasi pada guru SD 209 Tanete Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan terdiri atas reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kebijakan sertifikasi pada Guru SD 209 Tanete Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba telah memberikan dampak yang sejalan dengan tujuan sertifikasi guru yaitu menciptakan guru yang professional. Secara khusus hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Dampak yang dikehendaki dari kebijakan sertifikasi guru menunjukkan bahwa sertifikasi guru telah meningkatnya kemampuan dan kompetensi guru dalam menciptakan suasana lingkungan belajar yang efektif. Guru lebih professional menjaga ketepatan waktu masuk kelas dan memulai pelajaran sesuai prosedur dan roster pelajaran yang ditetapkan, dan disiplin dalam mempersiapkan seluruh perangkat pembelajaran. Sertfikasi guru juga telah meningkatknya kesejahteraan dan martabat guru sebagai konsekuensi atas tunjangan 1 kali gaji pokok setiap bulannya, 2) Dampak aktual sertifikasi guru telah menjadikan gaya hidup guru menjadi lebih konsumtif dan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya, namun hal tersebut menjadi wajar dan manusiawi dengan beban mengajar 24 jam/minggu yang menuntut para guru untuk total fokus di sekolah.

Kemudian, studi terdahulu berikutnya adalah Pengaruh Kepuasan dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Guru Honorer Tingkat SMA/SMK di Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh Astiti (2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja guru honorer di SMA/SMK Kota Yogyakarta. (2) Pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja guru honorer di SMA/SMK Kota Yogyakarta. (3) Pengaruh kepuasan kerja dan motivasi kerja terhadap kinerja guru honorer di SMA/SMK Kota Yogyakarta. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian survey, di mana instrument penelitian ini berupa kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah guru honorer di SMA/SML Kota Yogyakarta sebanyak 343 guru honorer. Teknik pengambilan sampel dengan cara Simple Random Sampling. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 210. Uji validitas instrumen menggunakan Confirmatory Faktor Analysis sedangkan uji reliabilitasnya menggunakan Cronbach Alpha. Alat ukur terbukti vallid dan reliabel untuk instrumen penelitian. Analisis regresi berganda digunakan untuk uji hipotesis penelitian ini. Hasil penelitian menemukan bahwa : (1) Kepuasan kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru di SMA/SMK Kota Yogyakarta (2) Motivasi kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru di SMA/SMK Kota Yogyakarta (3) Kepuasan kerja dan,motivasi kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru di SMA/SMK Kota Yogyakarta. Kontribusi kepuasan kerja dan motivasi kerja terhadap kinerja guru.

Studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah studi yang dilakukan oleh Padmawati (2010). Studinya berjudul Kajian Yuridis Status Hukum Tenaga Guru Honorer Pemerintah Kota Surakarta pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta Menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam penelitian ini ada dua masalah pokok yang dikaji yaitu: (1) tentang pengaturan tenaga guru honorer Pemerintah Kota Surakarta pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

33

Pokok Kepegawaian, dan (2) tentang status hukum tenaga guru honorer Pemerintah Kota Surakarta pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Pertama, pengaturan mengenai tenaga honorer dalam hal ini profesi guru dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian terdapat dalam Pasal 2 ayat (3) yang menyebutkan bahwa di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap. Dalam rumusan pasal tersebut pengaturan mengenai tenaga honorer lebih dirinci dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS yang pelaksanaannya telah diselesaikan pada tahun 2009 yang lalu. Padahal masih banyak tenaga honorer khususnya profesi guru yang belum diangkat menjadi CPNS. Untuk mengatasi masalah tersebut, saat ini pemerintah bersama DPR tengah membahas perubahan rancangan peraturan pemerintah yang diharapkan mampu menjadi solusi yang terbaik dalam menyelesaikan pengangkatan tenaga honorer khususnya untuk profesi guru. Kedua, status hukum tenaga honorer dalam hal ini profesi guru dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian tidak diatur secara jelas bahkan menjadi bias dan cenderung terpilah karena keberadaan peraturan pemerintah mengenai pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya pengakuan secara hukum oleh pemerintah mengenai keberadaan tenaga honorer tersebut. Selanjutnya dalam penelitian ini disebutkan juga beberapa saran atau rekomendasi yang antara lain: 1) Diharapkan pemerintah dalam hal ini untuk segera melakukan revisi dan memperjelas rancangan peraturan pemerintah, tentang definisi tenaga honorer yang menimbulkan perpecahan karena adanya diskriminatif antara instansi swasta dan instansi negeri khususnya yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional dari mulai Tingkat Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi, serta keberadaanya didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; 2) Diharapkan pemerintah segera mengesahkan Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara tentang pengangkatan tenaga honorer yaitu KEPMENPAN Nomor 5 Tahun 2010 menjadi peraturan pemerintah yang baru yang lebih menyeluruh dan tidak menimbulkan diskriminasi dan permasalahan baru khususnya tentang pengangkatan pegawai yang diangkat dari pegawai tidak tetap yang telah bekerja pada dinas ataupun instansi baik negeri maupun swasta khususnya profesi guru.

Selain itu, studi tentang tenaga honorer juga dilakukan oleh Rusmayanti (2013) dengan judul Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Bone. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Bone. Untuk itu, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif yaitu penelitian yang menggunakan wawancara dan studi dokumen untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dari responden dan informan agar dapat mendeskripsikan Pengangkatan Tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Bone. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengangkatan Tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Bone telah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini telah mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS. Hal ini dibuktikan dengan

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46545... · Web viewModel simbolis ini memang agak sulit dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para

34

dipenuhinya seluruh indicator persyaratan pengangkatan seperti ketentuan jenis jabatan, masa kerja dan usia oleh tenaga honorer yang diangkat menjadi CPNS pada periode tahun 2008 sampai tahun 2010.

O. Kerangka KonsepSupaya dapat memberikan gambaran general yang lebih sederhana terkait

penelitian ini, maka dibuat kerangka konseptual yang meliputi latar belakang masalah, solusi dalam penanganannya dan tujuan penelitian ini.

Pertama, penelitian ini dilator belakangi dengan adanya persoalan yang menyangkut guru honorer. Persoalan-persoalan tersebut mencakup beberapa hal. Di antaranya adalah tentang kesejahteraan, dimana banyak guru honorer yang kesejahteraannnya masih kurang dari bila dibandingkan dengan guru berstatus PNS. Selanjutnya permasalahan kompetensi, dimana guru-guru di Indonesia masih dirasa kurang yang dapat diindikasikan dari nilai Uji Kompetensi Guru yang secara rata-rata nasionalnya di bawah standar. Masalah berikutnya adalah terkait dengan perlindungan, masih kurangnya perlindungan terhadap profesi guru, tidak sedikit guru yang mendapat masalah dengan muridnya yang akhirnya berakhir di lembaga pemasyarakatan. Persoalan berikutnya yaitu tentang jumlah distribusi guru yang tidak merata; sehingga ada banyak sekolah yang kekurangan guru di daerah tertentu. Selain itu, tidak tersediamya sarana dan prasarana penunjang pembelajaran yang mencukupi.

Selanjutnya, solusi yang mungkin dapat dilakukan sebagai alternatif untuk menangani persoalan terkait guru honorer di atas adalah dengan mengevaluasi kebijakan guru yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengadakan perbaikan-perbaikan yang dirasa perlu serta memaksimalkan peran organisasi guru seperti PGRI sebagai wadah untuk menampung segala aspirasi guru dan menjembataninya dengan pemerintah selaku penyelenggara pendidikan.

Kemudian, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memberikan hasil analisa yang mendalam terhadap kebijakan guru, khususnya guru honorer dan menanggulanginya yang pada akhirnya dapat memberikan dampak positif yang bagi capaian pendidikan di Indonesia.

Secara garis besar, kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan pada Gambar 2.1 di berikut ini:

Gambar 2. 1Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.1 di atas menunjukkan bahwa dalam penelitian ini akan berfokus pada kebijakan guru honorer yang diterapkan di madrasah-madrasah negeri yang ada di Kota Tangerang Selatan. Selanjutnya, berdasarkan kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan pengkajian terhadap masalah-masalah yang muncul dan dihadapi oleh para guru honorer. Dengan mengetahui, permasalahan-permasalahan yang muncul, diharapkan dapat ditemukan rekomendasi dan solusi yang mungkin bisa dijadikan masukan bagi pembuat kebijakan yang dalam hal ini terkait dengan guru-guru honorer di madrasah-madrasah yang ada di Kota Tangerang Selatan.

Kebijakan Guru Honorer Permasalahan Guru Honorer Solusi dan rekomendasi yang mungkin terhadap Permasalahan Guru Honorer