emilandkhosyiin.files.wordpress.com€¦  · web viewkata pengantar. by : drs. khosyi`in, m.mpd....

692
KATA PENGANTAR By : Drs. Khosyi`in, M.MPd Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam, Maha suci Kau Ya Allah telah melimpahkan rahmat dan karunai Mu Yang tiada taranya. Penyusun ucapkan kehadirat Mu, karena atas rahmat serta hidayah Engkau kami dapat menyusun dan mengkoleksi berbagai sumber teks jenis-jenis Hadist dan derajatnya (tingkatannya) serta mengdit hal-hal yang perlu disempurnakan. Walaupun masih banyak kekurangan dalam penyusunan ini, namun penyusun berharap agar koleksi hadist ini dapat dipergunakan dan di manfaatkan oleh para pembaca budiman di berbagai lapisan masyarat. Harapan kami dalam membaca teks hadist ini mohon dicermati tulisan arabnya karena kami belum sempat menata ulang atau membetulkan huruf-hurufnya secara berurutan seperti bacaan bahasa arab umumnya. Karena masih ada beberapa teks hadist yang cara membacanya perlu dibaca seperti bahasa latin ( dibaca dari kiri ke kanan bukan dari kanan ke kiri ). Oleh karena itu sekali lagi kami mohon kalau ada hadist seperti itu mohon tidak dibaca dari kanan ke kiri namun, mohon dibaca dari kiri ke kanan layaknya membaca bahasa latin. Penyusun memohon para pembaca lebih berhati-hati memahami teks hadist . karena masih banyak saudara kita yang memahami hadist secara parsial tampa di kaitkan dengan content Al-Qur`an yang konon merupakan sumber hukum yang prima. Sebagai contoh : memahami tentang hadist doi`f, . Kalau ada seseorang mengamalkan hadis doif , maka cenderung dijustifikasi sebagai orang yang mengamalkan perbuatan yang bid`ah dengan alasan karena landasan dasar hadistnya tidak kuat dan Nabi tidak pernah melakukan seperti itu lantas dicap sebagai orang ahli bid`ah. Lebih fatal lagi kalau sudah mengklaim dirinya yang benar dan orang lain dianggap salah. Dirinya yang calon masuk surga orang lain calon masuk neraka karena dianggap sesat. Sebab ada dalil hadist yang berbunyi : “ Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah, wa kulla dholalatin fin naar. : maka Sesungguhnya setiap perbuatan bid`ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu neraka tempatnya”. Mereka lupa bahwa hukum seseorang, kalau mengkafirkan orang lain atau mengatakan orang lain itu sesat, dan ternyata orang lain yang dituduhkan itu bukanlah katagori orang kafir, atau bukan orang yang sesat, maka orang yang mengkafirkan itu atau orang yang menganggap sesat orang lain itu justru dirinyalah yang terhukum kafir. Perhatikan Makna “KULLU BID’AH DHOLALAHberikut ini : Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluq hidup.Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin Iblis yang berbunyi: Khalaqtani min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.

Upload: others

Post on 28-Sep-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

By : Drs. Khosyi`in, M.MPd

Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam, Maha suci Kau Ya Allah telah melimpahkan rahmat dan karunai Mu Yang tiada taranya.

Penyusun ucapkan kehadirat Mu, karena atas rahmat serta hidayah Engkau kami dapat menyusun dan mengkoleksi berbagai sumber teks jenis-jenis Hadist dan derajatnya (tingkatannya) serta mengdit hal-hal yang perlu disempurnakan.

Walaupun masih banyak kekurangan dalam penyusunan ini, namun penyusun berharap agar koleksi hadist ini dapat dipergunakan dan di manfaatkan oleh para pembaca budiman di berbagai lapisan masyarat.

Harapan kami dalam membaca teks hadist ini mohon dicermati tulisan arabnya karena kami belum sempat menata ulang atau membetulkan huruf-hurufnya secara berurutan seperti bacaan bahasa arab umumnya. Karena masih ada beberapa teks hadist yang cara membacanya perlu dibaca seperti bahasa latin ( dibaca dari kiri ke kanan bukan dari kanan ke kiri ). Oleh karena itu sekali lagi kami mohon kalau ada hadist seperti itu mohon tidak dibaca dari kanan ke kiri namun, mohon dibaca dari kiri ke kanan layaknya membaca bahasa latin.

Penyusun memohon para pembaca lebih berhati-hati memahami teks hadist . karena masih banyak saudara kita yang memahami hadist secara parsial tampa di kaitkan dengan content Al-Qur`an yang konon merupakan sumber hukum yang prima.

Sebagai contoh : memahami tentang hadist doi`f, . Kalau ada seseorang mengamalkan hadis doif , maka cenderung dijustifikasi sebagai orang yang mengamalkan perbuatan yang bid`ah dengan alasan karena landasan dasar hadistnya tidak kuat dan Nabi tidak pernah melakukan seperti itu lantas dicap sebagai orang ahli bid`ah. Lebih fatal lagi kalau sudah mengklaim dirinya yang benar dan orang lain dianggap salah. Dirinya yang calon masuk surga orang lain calon masuk neraka karena dianggap sesat. Sebab ada dalil hadist yang berbunyi : “ Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah, wa kulla dholalatin fin naar. : maka Sesungguhnya setiap perbuatan bid`ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu neraka tempatnya”.

Mereka lupa bahwa hukum seseorang, kalau mengkafirkan orang lain atau mengatakan orang lain itu sesat, dan ternyata orang lain yang dituduhkan itu bukanlah katagori orang kafir, atau bukan orang yang sesat, maka orang yang mengkafirkan itu atau orang yang menganggap sesat orang lain itu justru dirinyalah yang terhukum kafir.

Perhatikan Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH” berikut ini :

Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluq hidup.Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin Iblis yang berbunyi: Khalaqtani min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.

Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara mutlaq dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.

Demikian juga dengan arti hadits Nabi SAW : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah di atas,. Maka harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.

Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi SAW yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man \`amila biha.

Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.

Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi SAW, dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.

Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta pembagiannya pada juz, ruku\`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.

Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya : 1. Adanya sebagian masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla. 2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan. 3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu\`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai BID`AH DHoLALAH).

Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya: Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik. Melaksanakan shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara langsung dari Nabi SAW maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat Alquran-Hadits yang memeerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.

Tetapi mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.

Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi SAW, mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.

Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi SAW, yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi SAW : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas, bahwa menhadiri majelis ta\`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam Alquran-Hadits.

Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID'AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.

Begitu pula mengenai puasa di bulan rojab, walau tidak ada dasar hadist yang shohih, tapi saudara ketahui Hal ini seperti yang dikatakan oleh Imam Nawawi bahwa tidak ada pelarangan tentang berpuasa di bulan rajab dan juga tidak ada penganjurannya karena bulan rajabnya itu sendiri akan tetapi berpuasa pada dasarnya disunnahkan. Didalam sunnan Abu Daud bahwa Rasulullah saw menganjurkan berpuasa di bulan-bulan haram dan rajab adalah salah satunya. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz VIII hal 56)

Hadits HR. Muslim no. 1151 mengatakan tentang berpuasa :

puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut,

بِهِ أَجْزِى وَأَنَا لِى فَإِنَّهُ الصَّوْمَ إِلاَّ وَجَلَّ عَزَّ اللَّهُ قَالَ ضِعْفٍ سَبْعِمِائَةِ إِلَى أَمْثَالِهَا عَشْرُ الْحَسَنَةُ يُضَاعَفُ آدَمَ ابْنِ عَمَلِ كُلُّ

الْمِسْكِ رِيحِ مِنْ اللَّهِ عِنْدَ أَطْيَبُ فِيهِ وَلَخُلُوفُ . رَبِّهِ لِقَاءِ عِنْدَ وَفَرْحَةٌ فِطْرِهِ عِنْدَ فَرْحَةٌ فَرْحَتَانِ لِلصَّائِمِ أَجْلِى مِنْ وَطَعَامَهُ شَهْوَتَهُ يَدَعُ

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).

Di dalam Al-Qor`an surat Al-Baqoroh; Q.S. Al-Baqarah: 184, Allah berfirman :

اَيَّامًا مَعْدُوْدتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَ اَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan jika kamu berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Mendalami arti surat Al-Baqoroh, Ayat : 183, Tujuan puasa diwajibkan itu adalah agar manusia menjadi hamba Allah yang taqwa ( ini prinsip dasarnya). : Lalu sampai di ayat 184, dijelaskan betapa pentingnya puasa sekalipun kita sakit tetap diwajibkan untuk mengganti di hari lain sebanyak yang kita tinggalkan dan di akhir ayat itu ditekankan وَ اَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (dan jika kamu berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.); Allah memahamkan kita . bahwa walau kita dapat ruksho/despensasi; jikakalau kita sakit, boleh tidak puasa dan harus menggantinya di hari lain sebanyak yang kita tinggalkan, namun Allah memberikan last information ( info terakhir dalam ayat tsb, bahwa jika kamu mengetahui (kehebatan puasa), walau kita sakit dan kita masih mapu mempertahankan untuk tetap berpuasa , ternyata itulah yang lebih baik menurut Allah). Karena itu puasa menurut banyak pakar kesehatan dapat menyembuhkan perbagai macam penyakit termasuk penyakit Maag, bahkan mau dioperasipun perlu berpuasa, dll,

Menyimak dari Ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa puasa itu sangat penting bagi kehidupan manusia itu sendiri, sehingga Allah mewajibkan hambaNya untuk berpuasa di bulan ramadhan. Karena itu Nabi sendiri setiap bulan di luar romadhon pun tetap berpuasa minimal 3 hari setiap bulan selain puasa senin dan kamis, sebagai contoh :

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

وِتْرٍ عَلَى وَنَوْمٍ ، الضُّحَى وَصَلاَةِ ، شَهْرٍ كُلِّ مِنْ أَيَّامٍ ثَلاَثَةِ صَوْمِ : أَمُوتَ حَتَّى أَدَعُهُنَّ لاَ بِثَلاَثٍ خَلِيلِى أَوْصَانِى

“Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”( HR. Bukhari no. 1178)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari no. 1979)

Dari Ibnu Milhan Al Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ . وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” (HR. Abu Daud no. 2449 dan An Nasai no. 2434. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,

أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)

Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.[2] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).

Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“wahai aba dzar; Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)

Puasa Nabi Daud a.s;

Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud

Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا

“Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)

Saudara ku yang budiman , sekarang ini masih banyak orang-orang yang cara berda`wanya terkesan mereduksi kaum awam untuk tidak berpuasa di bulan rojab , betapa tidak, banyak orang awwam bertanya kepada kami tentang hukum puasa di bulan rojab: “ Apakah boleh puasa di bulan rojab”?. Saya jawab; boleh. Tapi ia mengatakan,” katanya puasa di bulan rojab itu tidak ada dasarnya; semua hadist yang ada kaitanya denganh puasa rojab itu adalah doi`f dan maudu` dan itu bid`ah. setiap biah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu neraka tempanya. Lalu saya fahamkan . jadi kalau dasar hadist yang berkaitan dengan puasa dibulan rojab itu lemah dan maudhu`/ tertolak, lantas kau tidak berpuasa. Ia jawab: itu kata teman saya; ia tidak berpuasa lantaran dasar hadistnya itu lemah/ maudhu`.

Lantas aku katakan ; okay ; taruhlah hadist yang berkaitan dengan puasa rojab itu lemah , maka bukan berarti anda haram berpuasa di bulan rojab. Yang saya persoalkan: “Kenapa anda terpaku pada hadist dho`f itu”. Okay lah , taruhlah kau tidak perlu memakai dasar hadist itu, tapi masih ada dasar hadist lain yang menganjurkan kita tetap boleh berpuasa sunnah di bulan rojab seperti anjuran Nabi untuk berpuasa setiap bulan 3 hari seperti tsb di atas; yang artinya : “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)

Rajab adalah salah satu di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (Qs. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

مُتَوَالِيَاتٌ ثَلاَثَةٌ ،حُرُمٌ رْبَعَةٌمِنْهَا ،شَهْرًا عَشَرَ اثْنَا السَّنَةُ ،وَالأَرْضَ السَّمَوَاتِ خَلَقَ يَوْمَ كَهَيْئَتِهِ اسْتَدَارَ قَدِ الزَّمَانُ

جُمَادَى بَيْنَ الَّذِى مُضَرَ وَرَجَبُ ، وَالْمُحَرَّمُ الْحِجَّةِ وَذُو الْقَعْدَةِ ذُو

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada lagi faro’ dan  ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.

‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat, yang artinya :

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

Pendapat Ulama Yang Membolehkan Puasa Bulan Rajab

1.  Imam Ahmad  mengatakan kalaupun puasa di bulan Rajab sebaiknya jangan sebulan penuh. Imam Ahmad  meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., akan tetapi hukum makruhnya menjadi hilang bila shaum di bulan Rajab itu disertai dengan di bulan-bulan selainnya.

2.  Al-Mawardi berpendapat dalam kitab Iqna, “Disunanahkan shaum di bulanRajab an Sya’ban

3. Imam al-Nawawi berkata dalam Kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab :

1. “Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram) (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab Juz 6 Hal 439)

4.  Ibnu Hajar al-Haitsami dalam Kitab Al-Fatawa mengatakan :

“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi s.a.w. : “Allah berfirman, semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Daud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”( Al-Fatawa Jilid 2 Hal 53)

5. Pernyataan Mazhab Syafi’I yang membolehkan puasa sunnah bulan Rajab bisa dilihat juga pada Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah(2/53), Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah al-Muhtaj (3/211)

6. Nizhamuddin mengemukakan pendapat dari Mazhab Hanafi dalam Al-Fatawa al-Hindiyyah fii Hanafiyah  disebutkan:

“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura” Al-Fatawa al-Hindiyyah fii Hanafiyah Juz 1 Hal 202)

7. Al-Kharsyi dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil  menjelaskan puasa yang disunnahkan berkata :

“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan pengarang, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.” (Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil Juz 2 Hal 241),

8. Pernyataan Mazhab Maliki yang membolehkan puasa sunnah bulan Rajab bisa dilihat juga pada kitab al-Fawakih al-Dawani  Juz 2 Hal272, Kifayah al-Thalib al-Rabbani Juz 2 Hal 407, Syarh al-Dardir ‘ala Khalil Juz 1 Hal 513 dan Al-Taj wa al-iklil Juz 3 Hal 220.

9.Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dari Mazhab Hambali berkata dalam Kitab Al-Mughni :

“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan (Kitab al-Mughni Juz 3 Hal 53)

10. Ibnu Muflih berkata dari Mazhab Hambali berkata dalam Kitab Al-Furu’ :

“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.” Ahmad berkata: “Memukul seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar berkata: “Meskipun bulan tersebut bukan muharam  (Kitab Al-Furu’ Juz 3 Hal 118)

11. Al-Syaukani berkata dalam Kitab Nailul-Authar mengatakan :

“Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram (Rajab, Dzluqa’dah, Dzu;hijjah dan Muharam). Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”( Kitab Nailul-Authar Juz 4 Hal 291)

12. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Adapun perintah Nabi s,a,w, untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Juz 25 Hal 291)

Dan masih banyak lagi macam-macam puasa sunnah tsb,

Anda dapat mendalami hal tsb, pada koleksi saya di bawah ini di bagian bab tentang macam-macam Puasa sunnah. Nah kalau ternyata dasar hadist lain masih banyak yang menganjurkan untuk berpuasa di bulan rojab, kenapa mesti harus tidak puasa atau menganggap puasa di bulan rojab itu bid`ah dan setiap bid`ah neraka tempatnya? apa lagi sampai menganggap orang lain yang berbeda faham sebagai ahli bid`ah itu kafir ( padahal bid`ah itu ternyata ada yang dholalah dan ada pula yang hasanah ).

Hati-hati dalam berda`wa jangan mudah mengkafirkan seseorang.

Tuduhan pengkafiran itu akan Kembali Pada Si Pelaku

Konsekwensi yang harus diterima bagi orang-orang yang mudah menuduh Kafir atau Musyrik adalah meraka yang berhak menerima predikat Kafir dan Musyrik. Rasulullah Saw bersabda: "Idzaa qaala ar-rajulu 'Yaa Kaafiru' fa qad baa'a bihi ahaduhumaa", artinya: "Barangsiapa berkata kepada saudaranya 'Wahai Kafir', maka sungguh perkataan itu kembali kepada salah satunya" (HR al-Bukhari No 5638 dari Ibnu Umar)

Hadis ini diperkuat dengan hadis lain: "Laa yarmii rajulun rajulan bil fusuqi wa laa yarmiihi bil kufri illa irtaddat 'alaihi in lam yakun shaahibuhu kadzalika". Artinya: "Tidaklah seseorang menuduh kepada orang lain dengan kefasikan (dosa besar) atau dengan kekufuran, kecuali tuduhan itu kembali kepada penuduh, jika yang dituduh tidak sesuai dengan tuduhannya" (HR al-Bukhari No 5585 dari Abu Dzarr)

Bagaimana bisa tuduhan itu kembali kepada pelaku atau penuduh? Syaikh al-Qasthalani menjawab: "Sebab, jika yang menuduh itu benar, maka orang yang dituduh adalah kafir. Namun jika penuduh tersebut dusta (karena yang dituduh tidak kafir), maka penuduh tersebut telah menjadikan iman sebagai kekufuran. Dan barangsiapa yang menjadikan iman sebagai kekufuran, maka ia telah Kafir. Hal ini sebagaimana penafsiran al-Bukhari" (Irsyaad as-Saari 'ala Syarh al-Bukhaarii 9/65)

Kesimpulan Penyusun : bahwa mengenai puasa sunnah di bulan Rajab adalah banyak ulama yang berbeda pendapat . ini berarti sesuatu yang khilafiyah. “ Nabi bersabda,……; khilaful `ulama` rohmatal lil ummah ( perbedaan pendapat para ulama adalah rohmah bagi umat ), karena itu semuanya tergantung pada saudara. Anda akan mengikuti yang mana. itu semua syah .

Tapi jangan saling menghujat, apalagi mengkafirkan / membid`ahkan. Na`udzubillah mindzalik

Akhirnya kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata semoga koleksi ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi para pembaca umumnya . Sekian dari kami mengucapkan banyak terima kasih .

====================================================

“JENIS-JENIS DAN TINGKATAN (DERAJAT) HADITS RASULULLAH S.A.W.”

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perilaku dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.Secara umum pengertian Hadits Rasulullah SAW adalah catatan tentang:

1] Segala sesuatu yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW.2] Segala sesutu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.3] Perkataan atau perilaku Sahabat yang disetujui atau didiamkan saja oleh Nabi Muhammad SAW.4] Perkataan atau perilaku Sahabat yang dilarang atau dikomentari negatif oleh Nabi Muhammad SAW.

Keterangan: Ada juga catatan khusus mengenai perkataan atau perilaku beberapa Sahabat (secara pribadi dan independen tanpa melibatkan unsur Rasulullah SAW) yang juga dicatat didalam kitab-kitab hadits. Hal tersebut boleh dimanfaatkan sebagai petunjuk atau bimbingan, namun tidak bisa dikategorikan sebagai Hadits Rasulullah SAW.

Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an, Ijma Sahabat dan Qiyas Ulama, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.

Dari para Imam periwayat hadits HANYA Imam Bukhari dan Imam Muslim yang secara khusus hanya meriwayatkan hadits-hadits berderajat shohih saja. Sedangkan selain beliau berdua, para Imam periwayat hadits juga mencatat hadits-hadits yang derajatnya dibawah kriteria shohih, namun biasanya para Imam tersebut selalu menyebutkan derajat hadits yang ditulis dalam kitab sunannya apakah derajatnya shohih, atau dhoif, bahkan hadits palsu, dsb. Bahkan ada imam ahli hadits yang secara khusus menulis kitab yang hanya mengumpulkan dan membahas hadits-hadits palsu saja (dengan tujuan sebagai ‘peringatan’ bagi pembaca agar berhati-hati jangan sampai menggunakan hadits-hadits palsu tersebut).

SELAIN Hadits Qudsi (yang sengaja tidak dibahas secara khusus disini, – yaitu salah satu jenis hadits dimana perkataan Nabi Muhammad SAW disandarkan langsung kepada Allah atau dengan kata lain Nabi Muhammad SAW meriwayatkan perkataan Allah), maka ada bermacam-macam derajat hadits seperti yang diuraikan secara singkat di bawah ini.

I- HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI

I-1-Hadits Mutawatir

I-2- Hadits Ahad, terdiri dari:I-2-a- Hadits ShahihI-2-b- Hadits HasanI-2-c- Hadits Dha’if

II. MENURUT MACAM PERIWAYATANNYA

II-1 Hadits yang bersambung sanadnya:(yaitu disebut hadits Marfu’ atau hadits Maushul)

II-2- Hadits yang terputus sanadnya: II-2-a- Hadits Mu’allaqII-2-b- Hadits MursalII-2-c- Hadits MudallasII-2-d- Hadits MunqathiII-2-e- Hadits Mu’dhol

III. HADITS-HADITS DHA’IF DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI

III-a- Hadits Maudhu’III-b- Hadits MatrukIII-c- Hadits MunkarIII-d- Hadits Mu’allalIII-f- Hadits MudhthoribIII-g- Hadits MaqlubIII-h- Hadits MunqalibIII-i- Hadits MudrajIII-j- Hadits Syadz

BEBERAPA PENGERTIAN DALAM ILMU HADITS

I. HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI

I.A. Hadits Mutawatir

Yaitu hadits Rasulullah SAW (catatan tentang sesuatu hal yang dikatakan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, HANYA oleh dan dari Beliau SAW, dan TIDAK SELAIN Beliau SAW ) yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:

Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:

[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat bernada pasti. [Sifat kalimatnya Qath’iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan) ].

[2]. Sandaran penyampaiannya kepada sesuatu yang konkret, yaitu perawinya menyaksikan secara langsung dengan matanya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, atau mendengar secara langsung dengan telinganya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, seperti misalnya:

“sami’tu” = aku mendengar“sami’na” = kami mendengar“roaitu” = aku melihat“roainaa” = kami melihat

[3]. Bilangan (jumlah) perawinya banyak, sehingga menurut adat kebiasaan mustahil mereka berdusta secara berjamaah dan bersama-sama. Dan kesemuanya menyampaikan dengan nada kalimat yang bersifat Qath’iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan).

[4]. Bilangan Perawi yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad. Rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang. Perawi2 tersebut terdapat pada semua generasi yang sama. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya, kalau ada suatu hadits yang diberi derajat mutawatir itu diriwayatkan oleh 5 orang sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 orang Tabi’in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.

Catatan:Apabila satu saja dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka TIDAK BISA digolongkan sebagai hadts mutawatir.

I.B. Hadits AhadYaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah “Dhonniy”. Sebelumnya para ulama ahli hadits membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:

I.B.1. Hadits Shahih

Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

I.B-1-a. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.I.B-1-b. Harus bersambung sanadnyaI.B-1-c Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.I.B-1-d Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)I.B-1-e Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)I.B-1-f Tidak cacat walaupun tersembunyi.

I.B.2. Hadits Hasan Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.

I.B.3. Hadits Dha’if Ialah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.

II. HADITS MENURUT KUALITAS PERIWAYATANNYA

II.A. Hadits yang bersambung sanadnyaHadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu’ atau Maushul.

II.B. Hadits yang terputus sanadnya

II.B.1. Hadits Mu’allaq Hadits ini disebut juga hadits yang “tergantung”, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha’if.

II.B.2. Hadits Mursal Disebut juga hadits yang ”dikirim”, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan Sahabat yang menerima hadits itu.

II.B.3. Hadits Mudallas Disebut juga hadits yang ‘disembunyikan’ cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

II.B.4. Hadits Munqathi

Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain Sahabat dan Tabi’in.

II.B.5. Hadits Mu’dhol

Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan Tabi’in yang menjadi sanadnya.

Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas. Apabila BERTENTANGAN dengan ciri-ciri hadits Shahih maka bisa dikategorikan termasuk hadits-hadits dha’if.

III. HADITS-HADITS DHA’IF (Lemah) DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI

III.A. Hadits Maudhu’

Yang berarti ‘yang dilarang’, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.

III.B. Hadits Matruk

Yang berarti ‘hadits yang ditinggalkan / diabaikan’, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan hanya oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.

III.C. Hadits Munkar

Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh perawi yang dikenal terpercaya / jujur. Maka hadits semacam ini tidak boleh digunakan, dan sebagai gantinya harus menggunakan hadits dengan topik yang sama namun yang diriwayatkan oleh perawi lain yang dikenal terpercaya / jujur.

III.D. Hadits Mu’allal

Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat, yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Al-Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma’lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).

III.E. Hadits Mudhthorib

Artinya hadits yang kacau, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) yang kacau atau tidak sama dan berkontradiksi dengan yang dikompromikan.

III.F. Hadits Maqlub

Artinya hadits yang ‘terbalik’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang didalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).

III.G. Hadits Munqalib

Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.

III.H. Hadits Mudraj

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya, sehingga mengurangi kualitas keaslian hadits tersebut, atau bahkan merubah pengertian dari hadits tersebut.

III.I. Hadits Syadz

Hadits yang ‘jarang’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya), namun isinya bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut mayoritas ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan. 

A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA

Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni:

Ø Hadits mutawatir, dan

Ø Hadits Ahad.

1. Hadits Mutawatir

a. Pengertian Hadits mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut istilah ialah Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.

b. Pembagian Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :

Ø Hadits Mutawatir Lafzi

Hadits yang lafad-lafad para perawi itu sama, baik hukum maupun ma’nanya.

Ø Hadits Mutawatir Ma’nawy

Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.

Ø Hadits Mutawatir Amaly

Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu

2. Hadis Ahad

a. Pengertian hadis ahad

Menurut Istilah ahli hadis, pengertian hadis ahad ialah hadits yang tidak berkumpul padanya syarat-syarat mutawatir.

b. Pembagian Hadits Ahad

Pembagian hadits ahad dilihat dari jumlah periwayatannya di bagi kepada tiga tingkatan yaitu :

Ø Hadits Masyhur

Hadits yang di riwayatkan oleh tiga orang atau lebih,serta belum mencapai derajat Mutawatir.

Ø Hadits ‘Azis

Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja,kemudian setelah itu,orang-orang pada meriwayatkannya.

Ø Hadits gharib

Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATANNYA

     Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadits sahih, hadits hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.

1. Hadits Sahih

Hadits Sahih adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal.

Hadits shahih terbagi kepada dua bagian:

Ø Shahih li-dzatihi

Hadits yang sanadnya bersambung-sambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya dari orang yang sekualitas dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak mengandung cacat yang para

Ø Shahih li-ghairih

Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidh dan dhabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.

2. Hadis Hasan

Hadits Hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang yang adil yang kurang sedikit kedhobitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai kepada nabi SAW. dan tidak mempunyai ‘Illat serta syadz.

Menutut Ibnu Shalah, hadits hasan itu dapat dibagi menjadi dua:

Ø Hasan li-dzatihi

Berita Hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi hafalan dan keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits shahih.

Ø Hasan li-ghairih

Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik hafalannya dan lain-lainnya.

3. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH

hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. 

a. Hadis Maqbul

Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:

Ø Hadis sahih, baik yang lizatihi maupun yang ligairihi

Ø Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.

B. Hadis Mardud

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.

4. Hadis Daif

Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan

C. DARI SEGI TEMPAT PENYANDARANNYA

    Ditinjau dari segi kepada siapa berita itu disandarkan, apakah disandarkan pada Allah, Nabi SAW., shahabat ataukah disandarkan kepada yang lainnya, maka hadits itu dapat dibagi menjadi:

I. Hadits Qudsi

Yang disebut hadits Qudts –Qudsy atau hadits- Rabbany atau hawadits-lahi, ialah sesuatu yang dikabarkan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham , yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham tersebut dengan ungkapan kata beliau.

2. Hadits Marfu’

Hadits Marfu' adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun sanadnya itu terputus.

3. Hadits Mauquf

Hadits Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun sanadnya itu terputus.

Contoh:

4. Hadits Maqtu’

Hadits Maqtu' adalah yang disandarkan kepada tabi’in dan tabi’ut tabi’i serta orang yang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan atau lainnya.

Posted by Sri Wahyuni on Kamis, 09 Januari 2014 - Rating: 5.0

Tingkatan-tingkatan hadits

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah yang berjudul “Tingkat-tingkat Kebenaran Hadits”.

Walaupun masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,namun penulis berharap agar makalah ini dapat dipergunakan dan di manfaatkan baik di dalam kampus atau diluar kampus.

Dalam melaksanakan makalah ini banyak pihak yang terlibat dan membantu sehingga dapat menjadi satu makalah yang dapat di baca dan dimanfaatkan .

Akhirnya kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya . Sekian dari saya mengucapkan banyak terima kasih .

Cirebon, Maret 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1

DAFTAR ISI....................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUN

A.    Latar Belakang ..................................................................................................3

B.     Rumusan Masalah............................................................................................3

C.     Tujuan Penulisan..............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

A.    Hadits Shahih…….. ............................................................................................ 4

1.      Pembagian hadits shahih berdasarkan jumlah rawinya………………………………..……. 5

2.      Pembagian hadits berdasarkan bentuk dan penisbatan matan………………………. . 7

3.      Pembagian hadits berdasarkan persambungan dan keadaan sanad…………….. ….7

B.     Hadits Hasan…………………….. ............................................................................. 8

1.      Pembagian hadits hasan……………………………………………………………………………. ………8

C.     Hadits Dla’if…………………... .................................................................................9

1.      Pembagiaan hadits Dla’if……………………………………………………………………………..… …..9

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan ..................................................................................................... 11

B.     Saran .............................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA

BAB 1

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Pedoman hidup dan hokum umat islam yaitu Al-Qur’an dan AS-Sunnah atau Al-Hadits. Kita ketahui bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam di mana berisikan Firman-firman ALLAH SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, sedangkan Al-Hadits adalah segala perkataan,perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad saw yang dijadikan ketetapan atau hokum dalam agama islam.

Ilmu Hadits adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantar-kan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan). Ilmu Hadits adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan.Sanad adalah rangkaian rijal yang menghantarkan kepada matan, Matan adalah perkataan yang terletak di penghujung sanad.

Dalam ilmu hadits terdapat tingkatan-tingkatan kebenaran hadits, di dalam makalah ini kita akan membahas lebih rinci berkenaaan dengan tingkatan-tingkatan hadits. Terkadang kita sekedar mengetahui bahwa hadits itu shahih. Ternyata hadits ada tingkatan-tingkatannya dari hadits shahih sampai hadits dla’if atau lemah.

B.    Rumusan masalah

1.    Apa yang dimaksud dengan hadits?

2.    Apa yang dimaksud hadits shahih?

3.    Apa yang dimaksud hadits hasan?

4.    Apa yang dimaksud dengan hadits dla’if?

5.    Contoh hadits shahih, hasan dan dla’if?

C.   Tujuan

1.    Kita dapat mengetahui pengertia hadits

2.    Kita dapat mengetahui pengertian hadits shahih beserta contohnya

3.    Kita dapat mengetahui pengertian hadits hasan beserta contohnya

4.    Kita dapat mengetahui pengertian hadits dla’if beserta contohnya

5.    Kita dapat membedakan hadits dari tingkatan-tingkatannya

BAB 2

PEMBAHASAN

Pembagian hadits adalah suatu kegiatan yang bertujuan memisahkan atau mengklasifikasikan suatu hadits dengan hadits lain berdasarkan sanad, matan, dan rawi. Pembagian hadits secara garis besar terdiri dari yang shahih dan yang maudlu’. Tetapi para ahli hadits membagi hadits dalam tiga bagian: hadits shahih, hadits hasan, hadits dla’if/hadits maudlu.

A.    Hadits Shahih

Para ulama hadits memberikan definisi hadits shahih sebagai hadits yang sanadnya sambung berakhir pada Rasulullah saw. Suatu hadits dapat dikatakan shahih apabila memenuhi 5 persyaratan,yaitu :

  Semua rawinya adil

  Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)

  Sanadnya bersambung-sambung tidak putus

  Tidak ber’illat (cacat tersembunyi)

  Tidak janggal (syadz)

Contoh Hadits Sahih

Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya (juz.4 Hal.18), kitab al- jihad wa as-siyar, bab ma ya’udzu min al-jubni;

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw berdo’a ; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka.

Hadits tersebut di atas telah memenuhi persyaratan sebagai Hadits sahih, karena :

1.             Ada sanadnya hingga kepada Rasulullah saw.

2.             Ada persambungan sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin Malik adalah seorang shahabat, telah mendengarkan Hadits dari nabi saw. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima Hadits dengan cara mendengar dari Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima Hadits dengan mendengar dari ayahnya. Demikian juga guru al-Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan telah mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan telah mendengar Hadits ini dari gurunya.

3.             Terpenuhi keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad, mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang mengeluarkan Hadits, yatu Imam Bukhari.

a.       Anas bin Malik ra, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi saw, dan semua shahabat dinilai adil.

b.       Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli ibadah).

c.       Mu’tamir, dia siqah

d.      Musaddad bin Masruhad, dia siqah hafid.

e.       Al-Bukhari –penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, dia dinilai sebagai jabal al-hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul mu’minin fil Hadits.

4.             Hadits ini tidak syadz (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)

5.             Hadits ini tidak ada illah-nya

Dengan demikian jelaslah bahwa Hadits tersebut telah memenuhi syarat-syarat Hadits sahih, Karena itulah Imam Bukhari menampilkan Hadits ini di dalam kitabnya ash-Shahih.

1.      Pembagian hadits shahih berdasarkan jumlah rawinya :

a)      Hadits mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan panca indra orang banyak yang menurut adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dosa. Pembagian hadits mutawatir terbagi 3 macam :

         Hadits mutawatir lafzhi

Adalah hadits mutawatir yang lafadz, hokum dan maknanya sesuai antara riwayat yang satu dengan lainnya, yakni hadits yang sama bunyi lafadz, hokum dan maknanya.

         Hadits mutawatir ma’nawi

Dalah hadits yang lafadz dan maknaya berlainan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain, tetapi terdapat persesuaian makna secara keseluruhan (kulli).hal ini seperti dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits: “hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetaopi dapat diambil makna yang umum”. Contoh : “rasul saw mengangkat tangan sejajar kedua pundak beliau”.

         Hadits mutawatir amali

Adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam bahwa nabi saw mengerjakannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat di katakan soal yang telah di sepakati.contohnya: berita yang menerangkan waktu dan raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ied, hijab perempuan yang bukan muhrim, kadar zakat dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepatan ijma.

b)      Hadits Ahad adalah hadits yang para rawinya tidak sampai pada jumlah rawi hadits mutawatir, tidak memenuhi persyaratan mutawatir dan tidak pula mencapai derajat mutawatir. Hadits ahad dapat dibagi pada dua macam,yaitu :

  Hadits Masyhur

Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih namun belum mencapai derajat mutawatir. Contohnya : “ barang siapa pergi shalat jum’at maka hendaklah dia mandi “ (Riwayat Al-Jmaah).

Berdasarkan pada sifat ketenarannya di kalangan para ahli ilmu hadits ahad masyhur terbagi pada :

         Masyhur di kalangan muhaditsin dan lainnya,seperti hadits : “seorang muslim itu ialah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya” (al-bukhari-muslim)

         Masyhur di kalangan ahli ilmu tertentu : ahli fiqih, nahwu, ushul fiqih, tassawuf dan lain-lainnya,seperti hadits yang masyhur di kalangan ulama fiqh saja yaitu: “tidaklah sah shalat bagi orang yang berdekatan dengan masjid, selain shalat di dalam masjid” (al-daruqutni)

         Masyhur di kalangan orang umum, seperti hadits: ”bagi si peminta-minta ada hak, walaupun datang dengan kuda” (ahmad dan al-nasai)

  Hadits ghair masyhur

Para ulama ahli hadits menggolongkan hadits ghair masyhur menjadi aziz dan gharib.

         Hadits aziz

Adalah hadits yang perawinya kurag dari dua orang dalam semua thabaqat sanad.

         Hadits Gharib

Adalah hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

Contohnya: “konon Rasul saw pada hari raya qurban dan hari raya fitri membaca surat Qaaf dan al-Qamar” (riwayat muslim)

2.      Pembagian hadits berdasarkan bentuk dan penisbatan matan

Dari segi bentuk matannya, hadits dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:

a.       Hadits Qauli yakni hadits yang matannya berupa perkataan yang pernah di ucapkan.

b.      Hadits Fi’li yakni hadits yang matannya berupa penjelasan sebagai penjelas praktis terhadap peraturan syari’at.

c.       Hadits Taqrir yakni hadits yang matannya berupa taqrir yakni kesan atau peristiwa, sikap atau keadaan mendiamkan.

d.      Hadits kauni yakni hadits yang matannya berupa keadaan hal ihwal dan sifat tertentu.

e.       Hadits hammi yakni hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum dikerjakan, sebetulnya berupa qaul atau ucapan.

Dari segi penisbatan matannya, hadits dapat dibagi menjadi:

a.       Hadits marfu yakni hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi saw, maksudnya matan hadits tersebut berupa perkataan,perbuatan taqrir Nabi saw.

b.      Hadits mauquf yakni hadits yang matannya dinisbahkan pada sahabat baik berupa perkataan,perbuatan atau taqrir.

c.       Hadits maqthu yakni hadits yang matannya dinisbahkan pada tabi’in baik berupa perkataan,perbuatan atau taqrir.

d.      Hadits qudsi yakni hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi saw dalam lafazh, pada Allah SWT dalam makna.

e.       Hadits maudu yakni hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah SWT.

3.      Pembagian hadits berdasarkan persambungan dan keadaan sanad

a.       Hadits muttashil atau maushul

Adalah hadits yang sanadnya berssambung-sambung sampai kepada Nabi saw.

b.      Hadits munfashil

Adalah hadits yang sanadnya tidak bersambung terdapat inqitha(gugur rawi) dalam sanad.

c.       Hadits mudabbaj

Adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat yang timbale balik saling meriwayatkan antara keduanya, seperti ‘Aisyah dan Anas.

B.     Hadits Hasan

Yaitu adakalanya termasuk hadits shahih,seperti yang dikutip oleh adz-dzahabi dari imam bukhari dan muslim. Adakalanya pula termasuk hadits dha’if yang tidak boleh diamalkan begitu saja, tetapi menurut ahmad bin hanbal lebih layak untuk diamalka daripada qiyas.

Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadits shahih ingatan atau daya hapalannya harus sempurna sedangkan pada hadits hasan ingatan atau daya hapalannya kurang sempurna.dengan kata lain bahwa syarat-syarat hadits hasan dapat dirinci sebagai berikut:

a.       Sanadnya bersambung

b.      Perawinya adil

c.       Perawinya dhabit, tetapi kedhabitannya di bawah kedhabitan perawi hadits hasan

d.      Tidak terdapat kejanggalan

e.       Tidak ada illat

Contoh hadis hasan; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Quththan di dalam Ziyadah ‘ala Sunan Ibni Majah (2744) dengan jalan

يَحْيَ بْنُ سَعِيْدٍ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادَّعَا نَسَبَ لاَ يَعْرِفُهُ، أَوْ جَحَّدَهُ، وَإِنْ دَقَّ، وَسَنَدُهُ حَسَنٌ

Yahya bin Sa’id, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, berkata; Rasulullah saw bersabda; “kafirlah orang yang mengaku-aku nasab orang yang tidak diketahuinya, atau menolak nasab (yang sebenarnya), meskipun samar” Hadis ini sanadnya hasan.

Di dalam sanad hadis ini terdapat Amr bin Syu’aib bin Muhammad, bin Abdullah bin Amr bin al-Ash. al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab at-Taqrib (2/72) mengatakan, bahwa ia adalah shaduq.

1.      Para ulama hadits membagi hadits hasan menjadi dua bagian yaitu :

2.      Hadits hasan li dzatih ialah hadits yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan.

3.      Hadits hasan li ghairih ialah hadits hasan yang tidak memenuhi persyaratan hadits hasan secara sempurna atau pada dasarnya hadits tersebut adalah hadits dla’if, tetapi karena ada sanad atau matan lain yang menguatkannya maka kedudukan hadits dha’if tersebut naik derajat menjadi hadits hasan li ghairih.

C.    Hadits Dla’if

Menurut lughat, dla’if adalah yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. Hadits dla’if bermacam-macam, dan kedhaifannya bertibngkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi, sanad, atau matan.

1.      Pembagian hadits dla’if

Hadits dla’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat. Secara istilah di antara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dla’if ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya adalah sama.

hadis dla’if menurut derajat kedla’ifannya dapat dibagi menjadi dua bagian;

1.Hadis yang kedla’ifannya ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan hadis yang setingkat dengannya akan hilang dla’ifnya, dan meningkat menjadi hasan lighairihi. Seperti karena rawinya adalah seorang yang dla’if yang masih ditulis hadisnya, tetapi tidak bisa menjadi argumen apabila hanya diriwayatkan-nya seorang diri, atau karena di dalam sanadnya terdapat inqitha’ (keterputusan) karena mursal, atau tadlis.

2.Apabila tingkat kedla’ifannya berat, maka tak ada artinya banyaknya tabi’ (pendukung), yaitu apabila rawinya pendusta atau tertuduh pendusta, matruk karena buruknya hafalan atau karena banyaknya kesalahan, atau majhul ‘ain yang tak diketahui sama sekali identitasnya.

Contoh Hadis Dla’if berat, dengan sebab kedla’ifan dalam hal ‘adalah (keadilan) adalah; Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Iqtidla’ al-Ilmi al-‘Amali (69) dengan jalan;

عَنْ أَبِي دَاوُدَ النَّخَعِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْغَطْفَانِي، عَنْ سَلِيْكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِذَا عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ، كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ، وَيَحْرُقُ نَفْسَهُ

Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Ubaidilah al-Ghathfani, dari Salik, ia berkata; Aku mendengar Nabi saw bersabda; Apabila seorang berilmu mengetahui tetapi tidak mengamalkan, maka ia seperti lampu yang menyinari orang lain tetapi membakar dirinya sendiri

Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy adalah Sulaiman bin Amr. Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia pernah memalsukan hadis”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang paling dusta”. Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan hadis”. Al-Bukhari berkata, “Dia ditinggalkan hadisnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai pendusta”.

Dengan demikian hadis tersebut melalui sanad ini adalah maudlu’, karena kedla’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah (keadilannya).

Contoh hadis Dla’if berat yang disebabkan oleh kelemahan rawinya dalam dlabth, yaitu hadis yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu al-Auliya’ (8/252) dengan jalan;

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ خُبَيْقٍ، حَدَّثَنَا يُوْسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ الْعُرْزُمِيّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سَلِيْمٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ، وَيَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ، فَإِنَّهُ ذُوْ بَرَكَةٍ، أَلاَ وَإِنَّ الْحَارَّ لاَ بَرَكَةَ فِيْهِ

Dari Abdillah bin Khubaiq, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Asbath, dari Muhammad bin ‘Ubaidillah al-Urmuzi, dari Shofwan bin Salim, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw membenci cos dan makanan panas, dan beliau bersabda; Hendaklah kalian (memakan makanan) yang dingin, karena padanya terdapat berkah. Ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada berkahnya.

Di dalam sanad hadis ini, Muhammad bin Ubaidullah al-‘Urzumiy adalah rijal yang matruk (ditinggalkan hadisnya) karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah seorang yang shalih tetapi kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan hadis dari hafalannya. Dari itulah ia mengajarkan hadis tidak seperti yang tidak diajarkan oleh orang-orang yang siqah, sehingga ahli hadis meninggalkan hadisnya.

BAB III

PENUTUP

1.      KESIMPULAN

      Ilmu Hadits adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantar-kan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan).

      hadits shahih sebagai hadits yang sanadnya sambung berakhir pada Rasulullah saw. Suatu hadits dapat dikatakan shahih apabila memenuhi 5 persyaratan,yaitu :

  Semua rawinya adil

  Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)

  Sanadnya bersambung-sambung tidak putus

  Tidak ber’illat (cacat tersembunyi)

  Tidak janggal (syadz)

      Hadits hasan Yaitu adakalanya termasuk hadits shahih,seperti yang dikutip oleh adz-dzahabi dari imam bukhari dan muslim.

      syarat-syarat hadits hasan dapat dirinci sebagai berikut:

  Sanadnya bersambung

  Perawinya adil

  Perawinya dhabit, tetapi kedhabitannya di bawah kedhabitan perawi hadits hasan

  Tidak terdapat kejanggalan

  Tidak ada illat

      Hadits Dla’if Menurut lughat, dla’if adalah yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. Hadits dla’if bermacam-macam, dan kedhaifannya bertibngkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi, sanad, atau matan.

2.      SARAN

Saya mengharapkan agar makalah ini dapat dibaca dan dipahami serta bermanfaat bagi pembaca. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca mengenai Al-Hadits khususnya tentang tingkatan-tingkatan hadits.

DAFTAR PUSTAKA

  Drs. Maslani,M.Ag. dan Ratu Suntiah,M.Ag.ikhisar ulumul hadits.Bandung:SEGA ARSY.2012

  Hussein Bahreisj.hadits shahih al-jamius shahih bukhari-muslim.Surabaya:CV KARYA UTAMA.2010

  Prof.Dr.Daniel Junedi.M.Ag.ilmu hadis.Jakarta:ERLANGGA.2010

13. Tingkatan dan Jenis Hadits

1. Hadits Shohih (Sah/benar/sehat)2. Hadits Hasan (Bagus/Baik)3. Hadits Dho’if (Lemah)4. Hadits Marfu’ (Semua sanadnya bersandar kepada Rasulullah Saw)5. Hadits Mushahhaf (Kesalahan terjadi pada catatan / bacaannya)6. Hadits Muttasil (Sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw)7. Hadits Mauquf (Sanadnya boleh jadi bersambung, boleh jadi terputus)8. Hadits Mun-qoti’ (Dho’if, karena terputus sanadnya)9. Hadits Mursal (Dho’if dan Mardud)10. Hadits Mu’allal (Terselubung cacatnya / merusak keshohihan Hadits)11. Hadits Ghorib (Yang menyendiri)12. Hadits Masyhur (Nyata)13. Hadits Mudallas (Gelap / Menyembunyikan cacat dalam sanad)14. Hadits Mutawatir (Berturut Sanadnya)15. Hadits Syadz (Bertentangan)16. Hadits Mudraj (Ada tambahan, yang bukan bagian dari Hadits)17. Hadits Maqlub (Dho’if. Karena ada pergantian lafaz)18. Hadits Mudhtorib (Rusak susunan)19. Hadits Mu’adhal (Menggugurkan dua Perawi aslinya)(Hukumnya Dho’if)20. Hadits Matruk (Dho’if yang paling buruk. Perawinya tertuduh Pendusta)21. Hadits Maudhu’ (Palsu. Kebohongan yang diciptakan dan disandarkan kepada Rasul Saw)22. Hadits Munkar (Cacat dan Palsu perawinya kedapatan berbuat Fasiq)

Jika Hadits-hadits yang kita baca terdapat Keterangan yang mengatakan seperti dibawah ini :7 Imam : Al-Bukhari. Muslim. Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.6 Imam : Al-Bukhari. Muslim. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy dan Ibnu Majah.5 Imam : Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.4 Imam : Ahmad. At-tirimidzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.3 Imam : Abu Daud. At-turmudzy. An-Nasaiy.Muttafaqun 'Alaih : Al-Bukhari dan Muslim.

Banyak orang yang berjiwa ta'at dan patuh kepada Agama. Tetapi karena pengetahuannya tentang Hadits sangat terbatas, sehingga ia nampak seperti orang yang hidup dalam kegelapan. Yaitu meraba-raba dan seperti berjalan tiada tentu arah tujuan. Tidak ada pegangan yang menimbulkan ketenangan dalam hati untuk menetapkan langkahnya. Dan ia akan berhati-hati dengan tidak ada alasan. Kadang-kadang mereka bisa bersikap sangat pemberani (agresip). Padahal ia berbuat salah. Maka untuk menghindarkan segala sifat yang buruk dan merugikan diri sendiri seperti yang demikian itu !!! Hendaknya kita selalu mencari tambahan ilmu tentang Hadits. Dengan demikian kita berjalan menurut Cahaya yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. kepada seluruh umatnya. Kita mengharap kepada Allah SWT semoga kita jangan sampai terperangkap dengan Hadits-hadits palsu !!! Yang pada akhirnya kita sendiri yang akan rugi. Karena dari dahulu hingga sekarang. Kebanyakan dari kita, hanya menerima Cerita-cerita Israiliyat yang sampai kepada kita melalui cerita entah berantah, lalu kita katakan itu adalah Hadits Nabi Saw. Maka sanksinya adalah Neraka !Oleh karena itu. Wajib bagi kita belajar lagi untuk memperhalus kaji. Agar jangan menjadi orang yang hanya ikut-ikutan saja, alias ikut saja apa kata orang. Yakni bertaqlid buta (tiada 'ilmu). Ingatlah ! Neraka tetap menanti kehadiran orang yang demikian ini !Dan semoga para pembaca yang berminat dengan pelajaran ini, kita harapkan untuk mencari atau bertanya kepada Ahli Hadits yang banyak liku-likunya, karena maksud dari pelajaran ini bukan menguraikan ilmu Hadits, tetapi mengurai isi Hadits yang berkaitan dengan ketetapan Ibadah. Maka dipersilahkan menambah ‘ilmu kepada para Ahli Hadits yang Mu’tabar dimanapun ia berada.

Sunnah ada enam Kitab Hadits yang ternama, yang merupakan pegangan penjelasan utama bagi umat Islam. Keenam Kitab tersebut ialah :1. Shohih Imam Al-Bukhari.2. Shohih Imam Muslim.3. Imam Abu Daud.4. Imam An-Nasa'iy.5. Shohih At-Turmudzy.6. Imam Ibnu Majah.

Demikian serba sedikit tentang Hadit dan Sunnah.

Macam-macam HaditsDitinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih, hasan, dan dhoi

Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih, hasan, dan dhoif.

 

1.        Hadits Shohih, yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal  sampai akhir dan oleh orang-orang yang sempurna hafalannya. Syarat hadits shohih adalah:

a.       Sanadnya bersambung;

b.      Perawinya adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga  

      kehormatan dirinya (muruah);

c.       Dhobit, yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki; dan

d.      Hadits yang diriwayatkannya tidak bertentangan dengan hadits mutawatir atau dengan ayat al-Qur`an.

Hadits shohih dibagi dua:

a.       Shohih Lizatihi, yakni hadits yang shohih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan keterangan lainnya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw., ``Tangan di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan di baivah (yang menerima). `` (HR. Bukhori dan Muslim)

b.      Shohih Lighoirihi, yakni hadits yang keshohihannya diperkuat dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., ``Kalau sekiranya tidak terlalu menyusahkan umatku untuk mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak (gosok gigi) setiap akan sholat.`` (HR. Hasan)

Dilihat dari sanadnya, semata-mata hadits Hasan Lizatihi, namun karena dikuatkan dengan riwayat Bukhori, maka jadilah ia shohih lighoirihi.

 

2.        Hadits Hasan, adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun tidak sempurna hafalannya. Hadits hasan dibagi dua:

a.        Hasan Lizatihi, yakni hadits yang dengan sendirinya dikatakan hasan. Hadits ini ada yang sampai ke tingkat lighoirihi; 

dan

b.       Hasan Lighoirihi, yakni hadits yang derajat hasannya dibantu dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi 

Muhammad saw., ``Sembelihan bagi bayi hezvan yang berada dalam perut ibunya, cukuplah dengan sembelihan ibunya saja.`` (HR. Tirmidzi, Hakim, dan Darimi)

 

Hadits di atas jika kita ambil sanad dari Imam Darimi, adalah Darimi menerima dari 1) Ishak bin Ibrohim, dari 2) Itab bin Bashir, dari 3) Ubaidillah bin Abu Ziyad, dari 4) Abu Zubair, dari 5) Jabir, dari Nabi Muhammad saw. Nama yang tercela dalam sanad di atas adalah nomor 3 (Ubaidillah bin Abu Ziyad). Sebab menurut Abu Yatim ia bukanlah seorang yang kuat hafalannya dan tidak teguh pendiriannya.:

 

 3.    Hadits Dhoif (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan. Contohnya, ``Barangsiapa berkata kepada orang miskin: `bergembiralah`, maka luajib baginya surga``. (HR. Ibnu A`di) Di antara perawi hadits tersebut ialah Abdul Mali bin Harun. Menurut Imam Yahya, ia seorang pendusta. Sedangkan Ibnu Hiban memvonisnya sebagai pemalsu hadits.

 Dari segi keterputusan sanad, hadits dhoif terbagi menjadi lima macam:

a.    hadits mursal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi`in dengan menyebutkan ia menerimanya langsung dari Nabi Muhammad saw., padahal tabi`in (generasi setelah sahabat) tidaklah mungkin bertemu dengan nabi.

b.    Hadits munqothi` yaitu hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan namanya) tidak saja pada sahabat, namun bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau di akhir;

c.  Hadits al-mu`adhdhol, yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya setelah sahabat secara berurutan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad;

d.  Hadits mudallas, yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari orang yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari yang bersangkutan;

e.    Hadits mu`allal, yaitu hadits yang kelihatannya selamat, tetapi sesungguhnya memiliki cacat yang tersembunyi, baik pada sanad maupun pada matannya.

 Ditinjau dari segi lain-lainnya, hadits dhoif terbagi dalam enam macam:

1.        hadits mudhthorib, yaitu hadits yang kemampuan ingatan dan pemahaman periwayatnya kurang;

2.        hadits maqluub, yaitu hadits yang terjadi pembalikan di dalamnya, baik pada sanad, nama periwayat, maupun matannya;

3.        hadits mudho`af, yaitu hadits yang lemah matan dan sanadnya sehingga diperselisihkan oleh para `ulama. Contohnya, ``asal segala penyakit adalah dingin.`` (HR. Anas dengan sanad yang lemah)

4.        hadits syaaz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang shiqoh,namun menyalahi riwayat orang banyak yang 

shiqoh juga;

5.        hadits mungkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah dan riwayatnya berbeda dengan riwayat yang

shiqoh;

6.      hadits matruuk, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh suka  berdusta, nyata kefasikannya, ragu dalam periwayatan, atau pelupa.

Pembagian Hadits Secara Umum

Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.  

A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA

Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir

a. Ta'rif Hadits Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut istilah ialah:

"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."

Artinya:"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."

Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.

Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak. 2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).

3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

 c. Faedah Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti