hendrartyratnas.files.wordpress.com · web vieweverett m. rogers adalah salah satu dari tim...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era sekarang ini ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang sangat
pesat di segala bidang, termasuk di bidang pendidikan. Pada kenyataan yang ada pada
dunia pendidikan kita saat ini ternyata sering dijumpai bahwa banyak kemajuan IPTEK
yang seharusnya dapat digunakan untuk menunjang kemajuan pendidikan tetapi sering
tidak dipakai atau tidak di implementasikan oleh para pelaku pendidikan, khususnya oleh
para guru sebagai pelaku utama maju tidaknya dunia pendidikan di tanah air. Hal tersebut
terjadi karena beberapa sebab, antara lain karena kemajuan-kemajuan atau inovasi-inovasi
yang ada tidak dikomunikasikan dengan baik sehingga inovasi-inovasi yang ada tidak
dapat di adopsi atau diterima dan dikembangkan untuk kemajuan pendidikan.
Dengan melihat kenyataan-kenyataan diatas maka sangat pentingnya pemahaman
yang utuh dan upaya-upaya menyadari tentang arti pentingnya mengkomunikasikan
inovasi-inovasi bidang pendidikan kepada seluruh guru dan pihak terkait dengan
pendidikan sehingga seluruh inovasi-inovasi tersebut dapat cepat diterima atau di adopsi
oleh seluruh pelaku yang terlibat dalam pendidikan di Indonesia, sehingga pendidikan di
negara kita dapat terus maju dan berkembang.
Dalam sejarah Amerika Serikat, teori difusi inovasi telah ada sejak tahun 1950an.
Dalam konteks sejarah yang dimaksud, pemerintah Amerika Serikat melakukan riset untuk
mengetahui bagaimana dan mengapa sebagian petani di sana mengadopsi teknik-teknik
baru dalam pertanian dan sebagian lainnya tidak. Everett M. Rogers adalah salah satu dari
tim eksplorasi ini. Berawal dari sejarah tersebut, meskipun pada awalnya teori difusi
ditujukan untuk memahami difusi dari teknik-teknik pertanian tapi pada perkembangan
selanjutnya teori difusi ini digunakan pada bidang-bidang lainnya secara lebih universal,
termasuk dalam bidang pendidikan.
Dalam dunia pendidikan perencanaan merupakan yang mutlak perlu dilakukan
untuk suksesnya suatu difusi (proses komunikasi), adopsi, implementasi dan institusi
inovasi pendidikan. Perencanaan merupakan proses yang berkesinambungan yang
berupa kegiatan-kegiatan diagnosa, pengumpulan data, analisa data, perumusan masalah,
perumusan kebutuhan, peminjaman dan pemilikan sumber, penentuan faktor penunjang
dan penghambat, alternatif pemecahan masalah inovasi, pengumpulan keputusan,
pembuatan jadwal kegiatan, monitoring, balikan, dan evaluasi dalam bidang pendidikan.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan dalam proses difusi dan perencanaan inovasi yaitu sebagai berikut;
1. Pengertian Proses Difusi dan Perencanaan Inovasi
2. Tujuan Difusi Inovasi
3. Unsur-unsur dan Proses Difusi Inovasi
4. Peranan Guru dalam Difusi Inovasi di dunia pendidikan
5. Hambatan-hambatan dalam Proses Difusi Inovasi
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang
peranan atau arti pentingnya komunikasi dalam menyampaikan suatu inovasi atau ide-ide
baru dari seseorang atau unit tertentu yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman
dalam menggunakan inovasi tersebut (innovator) kepada seseorang atau unit-unit lain
yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang inovasi tersebut (potensial
adopter) sehingga suatu inovasi dapat diterima dan di implementasikan oleh seseorang
atau unit-unit lain.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Difusi dan Perencanaan Inovasi
Difusi
Difusi ialah suatu proses komunikasi inovasi antara warga masyarakat (anggota
sistem sosial) dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam waktu tertentu.
Komunikasi dalam definisi ini ditekankan dalam arti terjadinya saling tukar menukar
informasi (hubungan timbal balik) antar beberapa individu baik secara memusat
(konvergen) maupun memencar (divergen) yang berlangsung secara spontan. Dengan
adanya komunikasi ini diharapkan akan terjadi kesamaan pendapat antar warga
masyarakat sekolah tentang inovasi. (Sa’ud, 2008:28)
Inovasi
Secara umum, sebgaimana diungkapkan (Sa’ud, 2008: 29) bahwa inovasi ialah
suatu ide, praktek atau objek, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu yang baru
bagi seseorang atau sekelompok orang, baik berupa hasil invensi atau diskoveri yang
diadakan untuk mencapai tujuan tertentu atau memecahkan masalah tertentu. Dan Rogers
menyatakan bahwa inovasi adalah “an idea, practice, or object perceived as new by the
individual.” (suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap atau dirasa baru oleh
individu).
Perencanaan Inovasi
Perencanaan ialah suatu persiapan dan pengambilan keputusan untuk berbuat
secara sistematik yaitu merupakan serangkaian keaktifan berkelanjutan dan saling
melengkapi untuk mencapai suatu tujuan. Perencanaan merupakan proses yang
berkesinambungan yang berupa kegiatan-kegiatan diagnosa, pengumpulan data, analisa
data, perumusan masalah, perumusan kebutuhan, peninjauan dan pemilihan sumber,
penentuan faktor penunjang dan penghambat, alternatif pemecahan masalah (inovasi),
pengambilan keputusan, pembuatan jadwal kegiatan, monitoring, balikan dan evaluasi.
Penyusunan perencanaan disesuaikan dengan keperluan. Perencanaan untuk
inovasi yang akan menjangkau wilayah nasional akan berbeda dengan perencanaan untuk
inovasi yang akan diimplementasikan pada suatu lembaga pendidikan tertentu atau suatu
sekolah.
3
Pada makalah ini kami akan membatasi pembicaraan perencanaan inovasi yang
lebih tepat jika digunakan untuk menerapkan inovasi pada suatu lembaga pendidikan
tertentu atau pada suatu sekolah. Karena suatu lembaga pendidikan atau sekolah tentu
berkaitan atau merupakan bagian dari suatu sistem sosial sehingga terdapat hubungan
antara sekolah atau lembaga pendidikan dengan lingkungannya.
Faktor dominan pada suatu lembaga pendidikan adalah faktor manusianya. Faktor
yang dominan pada suatu sekolah adalah guru dan siswa. Interaksi guru dan siswa
merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap proses inovasi pendidikan. Sekolah
berada dalam suatu lingkungan sistem sosial atau merupakan bagian dari sistem sosial.
Oleh karena itu perubahan yang terjadi pada suatu sekolah akan mempengaruhi dan
mungkin juga dipengaruhi oleh lingkungannya.
Ada tiga macam hubungan antara suatu sistem dengan lingkungannya yang dapat
menyebabkan terjadinya perubahan pada sistem yaitu reaktif, proaktif dan interaktif.
Sebenarnya ada juga hubungan antara sistem dengan lingkungannya yang disebut
hubungan inaktif atau beku, artinya dalam hubungan itu tidak terdapat arus tenaga
penggerak antara sistem dengan lingkungannya sehingga sistem itu dapat tumbuh dan
berkembang. Dalam hubungan yang inaktif tidak mendorong adanya perubahan karena
hubungan tenaga sumber yang terdapat di lingkungan terputus dengan sistem yang ada.
Jadi hubungan antara sistem dengan lingkungannya yang menyebabkan terjadinya suatu
perubahan ada tiga:
(1) Hubungan reaktif artinya sistem secara berkelanjutan mengadakan respon
terhadap kekuatan atau tekanan dari luar misalnya masalah politik, ekonomi,
sosial, pendidikan, kebudayaan dan sebagainya.
(2) Hubungan proaktif artinya sistem memegang peranan sebagai pengambil inisiatif
untuk mengadakan perubahan atau inovasi dan secara aktif untuk berusaha
mencari sumber dari lingkungannya (eksternal)
(3) Hubungan interaktif artinya pertumbuhan dan perkembangan atau perubahan
suatu sistem sebagai hasil adanya hubungan interaksi antara sistem dengan
lingkungannya. Baik sistem dan lingkungannya saling memegang peranan dalam
proses terjadinya perubahan atau inovasi.
Dari ketiga macam hubungan antara sistem dengan lingkungannya tersebut, yang
sesuai dengan perencanaan inovasi ialah hubungan proaktif dan interaktif. Jika terjadi
hubungan reaktif antara sekolah atau lembaga pendidikan dengan lingkungannya berarti
pimpinan lembaga atau kepala sekolah selalu memberikan reaksi terhadap tantangan dari
4
lingkungannya. Karena datangnya tantangan dapat secara tiba-tiba dan mendesak maka
kepala sekolah dalam memberikan keputusan juga secara mendadak tanpa ada
perencanaan yang mantap. Sehingga perubahan yang terjadi tidak dapat berlangsung
secara efektif terarah pada suatu tujuan tertentu.
Hubungan proaktif dan interaktif antara sekolah dengan lingkungannya, artinya
dalam usaha mengadakan perubahan atau inovasi dapat terjadi saling mengontrol antara
sekolah dengan lingkungan (masyarakat). Pimpinan sekolah dan guru dapat bekerja sama
dengan orang tua murid (saling berinteraksi) untuk mengadakan perubahan (inovasi) guna
mengefektifkan proses belajar siswa. Dengan demikian maka segala sumber yang ada di
lingkungan dapat didaya-gunakan untuk mensukseskan proses inovasi.
Agar kerjasama dan usaha pendayagunaan sumber yang ada di lingkungan dapat
tepat terarah pada sasaran inovasi pendidikan, maka perlu perencanaan yang cermat dan
mantap. Elemen-elemen pokok dalam proses perencanaan ialah :
(1) merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus inovasi pendidikan yang akan
dilaksanakan, dengan rumusan yang jelas.
(2) mengidentifikasi masalah
(3) menentukan kebutuhan
(4) mengidentifikasi sumber (penunjang) dan penghambat
(5) menentukan alternatif kegiatan berdasarkan faktor penunjang (sumber) yang ada
serta mempertimbangkan adanya hambatan yang mungkin timbul baik dari dalam
sistem (sekolah) maupun dari luar sistem (mayarakat)
(6) menentukan alternatif pemecahan masalah
(7) menentukan alternatif cara pendayagunaan sumber yang ada
(8) menentukan kriteria untuk memilih alternatif pemecahan masalah
(9) menentukan alternatif pengambilan keputusan
(10)menentukan kriteria untuk menilai hasil inovasi pendidikan berdasarkan tujuan
umum dan tujuan khusus yang telah ditentukan.
Agar penyusunan perencanaan inovasi pendidikan memperhatikan berbagai
elemen pokok perencanaan tersebut, perlu digunakan suatu model perencanaan inovasi
pendidikan. Salah satu model perencanaan inovasi pendidikan yang mendasar pada
hubungan proaktif dan interaktif antara sistem dengan lingkungannya, rupanya lebih tepat
digunakan untuk merencanakan inovasi pendidikan pada suatu sekolah atau lembaga
pendidikan tertentu dan timbulnya ide inovasi dari sekolah (internal). Untuk memperjelas
5
pengertian model perencanaan inovasi pendidikan proaktif atau interaktif ditunjukan
dengan bagan berikut;
MODEL PERENCANAAN INOVASI PENDIDIKANPROAKTIF/INTERAKTIF (MOPIPPI)
6
Ide Inovasi
Diagnosa (Kesadaran adanya kesenjangan Penampilan)
Implementasi dan monitoring
Perumusan Masalah
Tujuan Pemecahan Masalah
Menentukan sumber dan penghambat
Menentukan alternatif Pemecahan masalah
Memilih alternatif paling tepat
Keputusan Menerima (menolak) inovasi
Evaluasi
Hubungan dengan lingkungan
HUBUNGAN
DENGAN
LINGKUNGAN
HUBUNGAN
DENGAN
LINGKUNGAN
Hubungan dengan lingkungan
Model perencanaan inovasi pendidikaan proaktif atau interaktif (MOPIPPI) ini
berdasarkan asumsi bahwa inovasi dapat dimulai berdasarkan ide atau inisiatif yang
muncul dari dalam sistem (sekolah) itu sendiri serta sekolah dapat menerapkan
inovasi secara mandiri. MOPIPPI lebih menekankan pada pola urutan pemikiran
secara rasional sebagai pembimbing untuk membuat perencanaan inovasi pendidikan
pada suatu sekolah. Jika seorang guru atau kepala sekolah akan mengadakan
perubahan atau inovasi di sekolahnya, maka pola urutan pemikiran yang perlu
dikerjakan agar inovasi dapat sukses dengan mengikuti pola atau urutan pemikiran
sesuai MOPIPPI.
Ciri utama MOPIPPI (Model Perencanaan Inovasi Pendidikan Proaktif atau
Interaktif):
1. Terbuka, artinya sekolah atau lembaga pendidikan merupakan sistem yang
terbuka yang mau menerima input (masukan) baik dari dalam sistem itu sendiri
(guru atau kepala sekolah) maupun dari luar sistem (eksternal).
2. Fleksibel artinya dalam proses perencanaan bebas untuk bergerak dari tahap satu
ke tahap berikutnya dengan menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada.
Dalam bagan no. 8 – 4 fleksibilitas model ini ditunjukkan dengan adanya garis-
garis patah serta adanya anak panah yang mengarah kesegenap tahap yang ada.
3. Keseluruhan artinya dalam perencanaan ini perencana harus berfikir secara
menyeluruh memperhatikan berbagai aspek atau komponen diarahkan pada
suksesnya inovasi pendidikan yang akan dicapai. Hubungan, artinya dalam
perencanaan ini perencana harus selalu memperhatikan hubungan antar anggota
sistem maupun hubungan dengan luar anggota sistem (masyarakat).
Dengan adanya hubungan yang baik antar komponen tersebut, maka
diharapkan pendayagunaan sumber serta pencegahan faktor penghambat dapat
dilaksanakan dengan lancar. Akhirnya inovasi pendidikan yang direncanakan
dapat sukses.
Menjadi tujuan bersama berkenaan difusi dan perencanaan inovasi, kita dapat
memahami berbagai konsep teori tentang difusi inovasi serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya dalam pendidikan. Secara lebih khusus kita dapat ; (1)
Mengidentifikasi unsur dan ciri inovasi pendidikan; (2) Menganalisis adopsi dan
proses pengembangan inovasi pendidikan; dan (3) Menganalisis konstribusi inovasi
pendidikan di Indonesia;
7
B. Tujuan Difusi Inovasi
Tujuan utama difusi inovsi adalah diadopsinya suatu inovasi oleh anggota sistem
sosial tertentu. Anggota sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal,
organisasi dan atau sub sistem. Selain itu tujuan dari inovasi adalah untuk mencapai
kesetimbangan dinamis dalam sistem sosial.
C. Unsur-unsur dalam Proses Difusi Inovasi
Proses difusi inovasi melibatkan empat unsur utama, meliputi ;
a) inovasi c) kurun waktu tertentu
b) saluran komunikasi; d) sistem sosial.
a) Inovasi
Inovasi ini dapat berupa gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh
seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan
individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah
inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama
sekali.
b) Saluran Komunikasi
Komunikasi adalah proses dimana partisipan menciptakan dan berbagi informasi satu
sama lain untuk mencapai suatu pemahaman bersama. Seperti telah diungkapkan
sebelumnya bahwa difusi dapat dipandang sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana
informasi yang dipertukarkannya adalah ide baru (inovasi). Dengan demikian, esensi dari
proses difusi adalah pertukaran informasi dimana seorang individu mengkomunikasikan
suatu ide baru ke seseorang atau beberapa orang lain.
Menurut Rogers, ada empat unsur dari proses komunikasi ini, meliputi:
1) inovasi itu sendiri;
2) seorang individu atau satu unit adopsi lain yang mempunyai pengetahuan atau
pengalaman dalam menggunakan inovasi;
3) orang lain atau unit adopsi lain yang belum mempunyai pengetahuan dan
pengalaman dalam menggunakan inovasi; dan
4) saluran komunikasi yang menghubungkan dua unit tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi dalam proses difusi adalah upaya
mempertukarkan ide baru (inovasi) oleh seseorang atau unit tertentu yang telah
mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan inovasi tersebut
8
(innovator) kepada seseorang atau unit lain yang belum memiliki pengetahuan dan
pengalaman mengenai inovasi itu (potential adopter melalui saluran komunikasi tertentu).
Sementara itu, saluran komunikasi tersebut dapat dikategorikan menjadi dua yaitu:
1) Saluran media massa (mass media channel).
Media massa dapat berupa radio, televisi, surat kabar, dan lain-lain. Kelebihan
media massa adalah dapat menjangkau audiens yang banyak dengan cepat dari satu
sumber.
2) Saluran antar pribadi (interpersonal channel).
Saluran antar pribadi melibatkan upaya pertukaran informasi tatap muka antara dua
atau lebih individu.
c) Kurun Waktu Tertentu
Waktu merupakan salah satu unsur penting dalam proses difusi. Dimensi waktu,
dalam proses difusi, berpengaruh dalam hal:
1) proses keputusan inovasi, yaitu tahapan proses sejak seseorang menerima
informasi pertama sampai ia menerima atau menolak inovasi;
2) keinovativan individu atau unit adopsi lain, yaitu kategori relatif tipe adopter
(adopter awal atau akhir); dan
3) rata-rata adopsi dalam suatu sistem, yaitu seberapa banyak jumlah anggota suatu
sistem mengadopsi suatu inovasi dalam periode waktu tertentu.
d) Sistem Sosial
Sangat penting untuk diingat bahwa proses difusi terjadi dalam suatu sistem sosial.
Sistem sosial adalah satu set unit yang saling berhubungan yang tergabung dalam suatu
upaya pemecahan masalah bersama untuk mencapai suatu tujuan. Anggota dari suatu
sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem.
Proses difusi dalam kaitannya dengan sistem sosial ini dipengaruhi oleh struktur sosial,
norma sosial, peran pemimpin dan agen perubahan, tipe keputusan inovasi dan
konsekuensi inovasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Adopsi Inovasi
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa tujuan utama proses difusi adalah agar
diadopsinya suatu inovasi. Namun demikian, seperti terlihat dalam model proses
keputusan inovasi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi
9
tersebut. Berikut ini adalah penjelasan dari beberapa faktor yang mempengaruhi proses
keputusan inovasi.
Karakteristik Inovasi
Menurut Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi meliputi:
1) keunggulan relatif (relative advantage),
2) kompatibilitas (compatibility),
3) kerumitan (complexity),
4) kemampuan diuji cobakan (trialability) dan
5) kemampuan diamati (observability).
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik atau
unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti
segi ekonomi, prestise sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar
keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat
diadopsi.
Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan
nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai
contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan
inovasi yang sesuai (compatible).
Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk
dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat
dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin
mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi
dapat diadopsi.
Kemampuan untuk diuji cobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-
coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam seting sesungguhnya
umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi
sebaiknya harus mampu menunjukan (mendemonstrasikan) keunggulannya.
Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat
oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar
kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan
bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk
10
diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka
semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.
Saluran Komunikasi
Tujuan komunikasi adalah tercapainya suatu pemahaman bersama (mutual
understanding) antara dua atau lebih partisipan komunikasi terhadap suatu pesan (dalam
hal ini adalah ide baru) melalui saluran komunikasi tertentu. Dengan demikian
diadopsinya suatu ide baru (inovasi) dipengaruhi oleh: 1) partisipan komunikasi dan 2)
saluran komunikasi.
Dari sisi partisipan komunikasi, Rogers mengungkapkan bahwa derajat kesamaan
atribut (seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan lain-lain) antara individu yang
berinteraksi (partisipan) berpengaruh terhadap proses difusi. Semakin besar derajat
kesamaan atribut partisipan komunikasi (homophily), semakin efektif komunikasi terjadi.
Begitu pula sebaliknya. Semakin besar derajat perbedaan atribut partisipan (heterophily),
semakin tidak efektif komunikasi terjadi. Oleh karenanya, dalam proses difusi inovasi,
penting sekali untuk memahami betul karakteristik adopter potensialnya untuk
memperkecil “heterophily”.
Sementara itu, saluran komunikasi juga perlu diperhatikan. Dalam tahap-tahap
tertentu dari proses pengambilan keputusan inovasi, suatu jenis saluran komunikasi
tertentu memainkan peranan lebih penting dibandingkan dengan jenis saluran komunikasi
lain.
Karakteristik Sistem Sosial
Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial. Dalam suatu sistem sosial terdapat
struktur sosial, individu atau kelompok individu dan norma-norma tertentu. Berkaitan
dengan hal ini, Rogers (1983) menyebutkan adanya empat faktor yang mempengaruhi
proses keputusan inovasi. Keempat faktor tersebut adalah: 1) struktur sosial (social
structure); 2) norma sistem (system norms); 3) pemimpin opini (opinion leaders); dan 4)
agen perubah (change agent).
Struktur sosial adalah susunan suatu unit sistem yang memiliki pola tertentu.
Struktur ini memberikan suatu keteraturan dan stabilitas prilaku setiap individu (unit)
dalam suatu sistem sosial tertentu. Struktur sosial juga menunjukan hubungan antar
anggota dari sistem sosial. Hal ini dapat dicontohkan seperti terlihat pada struktur
oranisasi suatu perusahaan atau struktur sosial masyarakat suku tertentu. Struktur sosial
11
dapat memfasilitasi atau menghambat difusi inovasi dalam suatu sistem. Katz (1961)
seperti dikutip oleh Rogers menyatakan bahwa sangatlah bodoh mendifusikan suatu
inovasi tanpa mengetahui struktur sosial dari adopter potensialnya, sama halnya dengan
meneliti sirkulasi darah tanpa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang struktur
pembuluh nadi dan arteri. Penelitian yang dilakukan oleh Rogers dan Kincaid (1981) di
Korea menunjukan bahwa adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik individu itu
sendiri dan juga sistem sosial dimana individu tersebut berada.
Norma adalah suatu pola perilaku yang dapat diterima oleh semua anggota sistem
sosial yang berfungsi sebagai panduan atau standar bagi semua anggota sistem sosial.
Sistem norma juga dapat menjadi faktor penghambat untuk menerima suatu ide baru. Hal
ini sangat berhubungan dengan derajat kesesuaian (compatibility) inovasi dengan nilai
atau kepercayaan masyarakat dalam suatu sistem sosial. Jadi, derajat ketidak sesuaian
suatu inovasi dengan kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh individu (sekelompok
masyarakat) dalam suatu sistem sosial berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi
tersebut.
“Opinion Leaders” dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yaitu orang-
orang tertentu yang mampu mempengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu
sistem sosial. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung
inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model dimana
perilakunya (baik mendukung atau menentang) diikuti oleh para pengikutnya. Jadi, jelas
disini bahwa orang berpengaruh (opinion leaders) memainkan peran dalam proses
keputusan inovasi.
Agen perubah adalah bentuk lain dari orang berpengaruh. Mereka sama-sama
orang yang mampu mempengaruhi sikap orang lain untuk menerima suatu inovasi. Tapi,
agen perubah lebih bersifat formal yang ditugaskan oleh suatu agen tertentu untuk
mempengaruhi kliennya. Agen perubah adalah orang-orang professional yang telah
mendapatkan pendidikan dan pelatihan tertentu untuk mempengaruhi kliennya. Dengan
demikian, kemampuan dan keterampilan agen perubah berperan besar terhadap diterima
atau ditolaknya inovasi tertentu. Sebagai contoh, lemahnya pengetahuan tentang
karakteristik struktur sosial, norma dan orang kunci dalam suatu sistem sosial (misal:
suatu institusi pendidikan), memungkinkan ditolaknya suatu inovasi walaupun secara
ilmiah inovasi tersebut terbukti lebih unggul dibandingkan dengan apa yang sedang
berjalan saat itu.
12
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan
argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori
tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat
adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi.
Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup;
(1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion),
(2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions),
(3) saluran komunikasi (communication channels),
(4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan
(5) peran agen perubah (change agents).
Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup:
1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit
pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan
atau manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi
2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan
lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik
3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil
keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau
penolakan sebuah inovasi.
4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika seorang individu atau unit pengambil
keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.
5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil
keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan
inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.
Secara ringkas proses adopsi inovasi dapat digambarkan sebagai berikut ;
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Kesadaran -----> Minat ------> Evaluasi -------> Mencoba ------->Adopsi
Proses Adopsi inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan
untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat
berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses
pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih
13
lambat dalam menerima inovasi dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem
sosial.
Kategori AdopterAnggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter
(penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima
inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah pengelompokan
berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961). Gambaran tentang
pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:
1. Innovators: Sekitar individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang,
berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi
2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): yang menjadi para perintis dalam penerimaan
inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di
dalam tinggi
3. Early Majority (Pengikut Dini): yang menjadi peran pengikut awal. Cirinya: penuh
pertimbangan, interaksi internal tinggi.
4. Late Majority (Pengikut Akhir): yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan
inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan sosial,
terlalu hati-hati.
5. Laggards (Kelompok Tradisional): terakhir adalah kaum tradisional. Cirinya:
tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders, sumberdaya terbatas.
Dengan pengetahuan tentang kategorisasi adopter ini dapatlah kemudian disusun
strategi difusi inovasi yang mengacu pada kelima kategori adopter, sehingga dapat
diperoleh hasil yang optimal, sesuai dengan kondisi dan keadaan masing-masing
kelompok adopter. Hal ini penting untuk menghindari pemborosan sumberdaya hanya
karena strategi difusi yang tidak tepat. Strategi untuk menghadapi adopter awal misalnya,
haruslah berbeda dengan strategi bagi mayoritas akhir, mengingat gambaran ciri-ciri
mereka masing-masing (Rogers, 1983).
Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori Difusi
Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan
awal untuk terjadinya perubahan sosial dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan
inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa
proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah
proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial
14
terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: 1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion, dan
(3) konsekuensi (consequences).
Penemuan adalah proses dimana ide atau gagasan baru diciptakan atau
dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide atau gagasan baru dikomunikasikan
kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam
sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi.
Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus
kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit.
Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena
kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar
dalam pengkajian proses difusi inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and
infrastructure’ (Brown, 1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan
ini antara lain dikemukakan Parker (1974), yang mendefinisikan difusi sebagai suatu
proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi.
Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan
teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana
keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui
pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari
kegiatan produktif.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the
Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat)
dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu
1. Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu yang
bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
2. Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk baru
dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
3. Dimensi Media (MEDIUM) Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau
produk tersebut dikemas dan disalurkan.
4. Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud.
Kecepatan difusi inovasi berhubungan dengan status sosial masyarakat pengguna,
namun ditemukan lapisan atas lebih cepat menerima suatu inovasi. Sedangkan pemuka
atau elit desa sangat berperan untuk mempercepat proses penerimaan inovasi dalam suatu
masyarakat desa. Hal ini sesuai dengan temuan Chambers (1988) di India, ternyata petani
15
kaya lebih cepat mengadopsi teknologi karena memiliki modal untuk menerima inovasi
yang disampaikan.
E. Peranan Guru dalam Difusi Inovasi di dunia pendidikan
Inovasi dalam bidang pendidikan, banyak usaha dilakukan untuk kegiatan yang
sifatnya pembaruan atau inovasi pendidikan. Inovasi yang terjadi dalam bidang pendidikan
tersebut, antara lain dalam hal manajemen pendidikan, metodologi pengajaran, media,
sumber belajar, pelatihan guru, implementasi kurikulum, dsb.
Dalam hal implementasi inovasi di sekolah, maka guru merupakan faktor terpenting
yang harus melaksanakan inovasi dengan memperhatikan hal-hal berikut :
a. Inovasi harus berlangsung di sekolah guna memperoleh hasil yang terbaik dalam
mendidik siswa
b. Ujung tombak keberhasilan pendidikan di sekolah adalah guru
c. Oleh karena itu guru harus mampu menjadi seorang yang inovatif guna menemukan
strategi atau metode yang efektif untuk mendidik
d. Inovasi yang dilakukan guru pada intinya berada dalam tatanan pembelajaran yang
dilakukan di kelas
e. Kunci utama yang harus dipegang guru adalah bahwa setiap proses atau produk
inovatif yang dilakukan dan dihasilkannya harus mengacu kepada kepentingan siswa.
Proses keputusan inovasi di tingkat sekolah berawal dari pengetahuan atau
kesadaran para personil di sekolah atau guru tentang kebutuhan akan sebuah inovasi yang
akan membantu memecahkan persoalan yang mereka hadapi sampai dengan pengadopsian
suatu inovasi.
Untuk mencapai hal tersebut diatas ada tiga tahap yang harus dilalui yaitu :
1) Tahap Akuisisi Informasi :
Para guru memperoleh dan memahami Informasi tentang suatu inovasi, umpamanya
tentang metodologi pengajaran, media pembelajaran yang baru dari berbagai sumber
(buku, jurnal, koran, dll).
2) Tahap Evaluasi Informasi :
Orang mengevalusi informasi tentang inovasi, dengan berbagai pertimbangan apakah
sesuai atau tidak dalam memenuhi kebutuhan.
3) Tahap Adopsi :
Yaitu proses keputusan apakah akan melaksanakan atau menolak suatu inovasi.
16
Peranan guru sebagai agen perubahan
Peranan guru sebagai agen perubahan dapat diidentifikasi sebagai berikut ;
(a) menumbuhkan kebutuhan dalam diri klien, (b) membangun hubungan pertukaran
informasi, (c) mendiagnosa masalah klien, (d) menumbuhkan niat berubah pada klien,
(e) menerjemahkan niat klien ke dalam tindakan, (f) menstabilkan adopsi dan
mencegah diskontinu adopsi dan (g) mencapai hubungan terminal dengan klien (yaitu
ketika klien berubah menjadi agen perubahan).
Kesuksesan guru sebagai agen perubahan tergantung pada beberapa faktor,
diantaranya; a) upayanya menghubungi klien, b) orientasinya yang lebih kepada klien,
bukan pada agensi perubahan, c) tingkat kesesuaian inovasi dengan kebutuhan klien, d)
empatinya kepada klien, e) homofilitasnya dengan klien, f) kredibilitasnya di mata klien,
g) tingkat kesejalanannya dengan pemimpin opini dan h) kemampuan klien mengevaluasi
inovasi.
Selanjutnya, hubungan agen perubahan secara positif tergantung pada lebih
tingginya klien dalam hal : (a) status sosial, (b) partispasi sosial, (c) pendidikan dan
(d) kekosmopolitannya.
Mengenai sistem difusi sentralistik dipadu dengan sistem difusi desentralistik dan
penerapan kedua sistem tersebut disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam sistem difusi
sentralistik, difusi dilakukan oleh pemerintah dan ahli; sementara itu, dalam sistem difusi
desentralistik, inovasi datang dari ekpserimentasi lokal yang sering dilakukan oleh
pengguna itu sendiri dan atas dasar saling tukar informasi untuk mencapai suatu
pemahaman bersama. Difusi lewat network horizontal dilakukan unit lokal dengan tingkat
kemungkin reinvensi yang tinggi.
F. Hambatan-hambatan dalam Proses Difusi Inovasi
Dalam implementasinya kita sering mendapati beberapa hambatan yang berkaitan
dengan inovasi. Pengalaman menunjukkan bahwa hampir setiap individu atau organisasi
memiliki semacam mekanisme penerimaan dan penolakan terhadap perubahan. Segera
setelah ada pihak yang berupaya mengadakan sebuah perubahan, penolakan atau hambatan
akan sering ditemui. Penolakan ini mungkin ditunjukkan secara terbuka dan aktif atau
secara tersembunyi dan pasif. Alasan mengapa ada orang yang ingin menolak perubahan
walaupun kenyataannya praktek yang ada sudah kurang relevan, membosankan, sehingga
dibutuhkan sebuah inovasi. Fenomena ini sering disebut sebagai penolakan terhadap
perubahan. Banyak upaya telah dilakukan untuk menggambarkan, mengkategorisasikan
17
dan menjelaskan fenomena penolakan ini. Ada empat macam kategori hambatan dalam
konteks inovasi. Keempat kategori tersebut diantaranya; a) hambatan psikologis; b)
hambatan praktis; c) hambatan kekuasaan dan nilai.
a) Hambatan psikologis
Hambatan-hambatan ini ditemukan bila kondisi psikologis individu menjadi faktor
penolakan. Hambatan psikologis telah dan masih merupakan kerangka kunci untuk
memahami apa yang terjadi bila orang dan sistem melakukan penolakan terhadap upaya
perubahan. Sebagai gambaran jenis hambatan ini dengan memilih satu faktor sebagai suatu
contoh yaitu dimensi kepercayaan atau keamanan versus ketidakpercayaan atau
ketidakamanan karena faktor ini sebagai unsur inovasi yang sangat penting. Faktor-faktor
psikologis lainnya yang dapat mengakibatkan penolakan terhadap inovasi adalah: rasa enggan
karena merasa sudah cukup dengan keadaan yang ada, tidak mau repot, atau ketidaktahuan
tentang masalah.
Kita dapat berasumsi bahwa di dalam suatu sistem sosial, organisasi atau kelompok
akan ada orang yang pengalaman masa lalunya tidak positif. Menurut para ahli psikologi
perkembangan, ini akan mempengaruhi kemampuan dan keberaniannya untuk menghadapi
perubahan dalam pekerjaannya. Jika sebuah inovasi berimplikasi berkurangnya kontrol
(misalnya diperkenalkannya model pimpinan tim atau kemandirian masing-masing bagian),
maka pemimpin itu biasanya akan memandang perubahan itu sebagai negatif dan
mengancam. Perubahan itu dirasakannya sebagai kemerosotan, bukan perbaikan.
b) Hambatan praktis
Hambatan praktis adalah faktor-faktor penolakan yang lebih bersifat fisik. Untuk
memberikan contoh tentang hambatan praktis, faktor-faktor diantaranya waktu, sumber daya
dan sistem. Ini adalah faktor-faktor yang sering ditunjukkan untuk mencegah atau
memperlambat perubahan. Program pusat-pusat pelatihan guru sangat menekankan aspek-
aspek bidang ini. Ini mungkin mengindikasikan adanya perhatian khusus pada keahlian
praktis dan metode-metode yang mempunyai kegunaan praktis yang langsung. Oleh karena
itu, inovasi dalam bidang ini dapat menimbulkan penolakan yang terkait dengan praktis.
Artinya, semakin praktis sifat suatu bidang, akan semakin mudah orang meminta penjelasan
tentang penolakan praktis. Di pihak lain, dapat diasumsikan bahwa hambatan praktis yang
sesungguhnya itu telah dialami oleh banyak orang dalam kegiatan mengajar sehari-hari, yang
menghambat perkembangan dan pembaruan praktek. Tidak cukupnya sumber daya ekonomi,
teknis dan material sering disebutkan.
18
Dalam hal mengimplementasikan perubahan, faktor waktu sering kurang
diperhitungkan. Segala sesuatu memerlukan waktu. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengalokasikan banyak waktu bila kita membuat perencanaan inovasi. Pengalaman
menunjukkan bahwa masalah yang tidak diharapkan, yang mungkin tidak dapat diperkirakan
pada tahap perencanaan, kemungkinan akan terjadi.
Yang kedua, masalah pada bidang keahlian dan sumber daya ekonomi. Dalam
perencanaan dan implementasi inovasi, tingkat pengetahuan dan jumlah dana yang tersedia
harus dipertimbangkan. Ini berlaku terutama jika sesuatu yang sangat berbeda dari praktek di
masa lalu akan dilaksanakan, dengan kata lain jika ada perbedaan yang besar antara yang
lama dengan yang baru. Dalam kasus seperti ini, tambahan sumber daya dalam bentuk
keahlian dan keuangan dibutuhkan. Pengalaman telah menunjukkan bahwa dana sangat
dibutuhkan, khususnya pada awal dan selama masa penyebarluasan gagasan inovasi. Ini
mungkin terkait dengan kenyataan bahwa bantuan dari luar, peralatan baru, realokasi, buku
teks dll. diperlukan selama fase awal. Sumber dana yang dialokasikan untuk perubahan sering
kali tidak disediakan dari anggaran tahunan. Media informasi dan tindak lanjutnya sering
dibutuhkan selama fase penyebarluasan gagasan inovasi.
Dalam kaitan ini penting untuk dikemukakan bahwa dana saja tidak cukup untuk
melakukan perbaikan dalam praktek. Sumber daya keahlian seperti pengetahuan dan
keterampilan orang-orang yang dilibatkan dalam upaya inovasi ini merupakan faktor yang
sama pentingnya. Dengan kata lain, jarang sekali kita dapat memilih antara satu jenis sumber
atau jenis sumber lainnya, melainkan kita memerlukan semua jenis sumber itu. Jelaslah
bahwa kurangnya sumber tertentu dapat dengan mudah menjadi hambatan.
c) Hambatan kekuasaan dan nilai
Bila dijelaskan secara singkat, hambatan nilai melibatkan kenyataan bahwa suatu
inovasi mungkin selaras dengan nilai-nilai, norma-norma dan tradisi-tradisi yang dianut
orang-orang tertentu, tetapi mungkin bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut sejumlah
orang lain. Jika inovasi berlawanan dengan nilai-nilai sebagian peserta, maka bentrokan nilai
akan terjadi dan penolakan terhadap inovasi pun muncul. Apakah kita berbicara tentang
penolakan terhadap perubahan atau terhadap nilai-nilai dan pendapat yang berbeda, dalam
banyak kasus itu tergantung pada definisi yang kita gunakan. Pengalaman ini dapat dijelaskan
dengan kenyataan bahwa sering kali orang dapat setuju mengenai sumber daya yang
dipergunakan. Kadang-kadang hal ini terjadi tanpa memandang nilai-nilai. Dengan demikian
kesepakatan atau ketidaksepakatan di permukaan mudah terjadi dalam kaitannya dengan
aliansi. Sering kali aliansi itu terbukti sangat penting bagi implementasi inovasi.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dengan memperhatikan pembahasan di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa
proses keputusan inovasi merupakan bagian dari difusi dan perencanaan inovasi yaitu
proses seseorang mulai dari tahu tentang inovasi sampai dengan mengambil keputusan
apakah menerima atau menolak inovasi tersebut.
2. Proses difusi suatu inovasi memerlukan waktu, cepat atau lambatnya proses difusi
inovasi sangat dipengaruhi oleh antara lain; tipe-tipe hubungan antara inovator dengan
potensial adopternya, karakter atau sifat-sifat inovasi itu sendiri dan lain lain.
3. Di dalam dunia pendidikan, guru memiliki peranan yang sangat besar dalam proses
difusi inovasi, berhasil atau tidak suatu inovasi diterapkan di lembaga pendidikan
sangat tergantung dari kemampuan dan kemauan guru dalam menerima dan
mendifusikan inovasi kepada klien atau peserta didik atau siswanya.
B. Saran
Mengingat betapa pentingnya inovasi di dalam pendidikan untuk mewujudkan
pendidikan yang bermutu maka penulis menyarankan supaya pihak pihak terkait yang
bertanggungjawab dalam dunia pendidikan di tanah air selalu terus secara aktif
menciptakan inovasi-inovasi baru di dunia pendidikan, mensosialisasikan dan
menerapkanya demi kemajuan pendidikan di tanah air. Selain itu berkaitan difusi dan
perencanaan inovasi perlu dipahami secara menyeluruh oleh anggota masyarakat agar
tercapai apa yang diinginkan untuk kemajuan bersama baik di lingkungan sosial
masyarakat maupun jenjang pendidikan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Sa’ud, Udin Saefuddin. 2008. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
http://juraiddin.files.wordpress.com/2013/05/difusi-dan-perencanaan-inovasi.docx.
http://annisampuuy.blogspot.com/2013/01/perencanaan-inovasi-pendidikan.html
http://murniathie99.wordpress.com/2013/05/04/inovasi-pendidikan/
http://www.teknologipendidikan.net/2008/09/16/difusi-inovasi-just-theory/
21
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke khadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Makalah Difusi
dan Perencanaan inovasi disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Inovasi
Pendidikan. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu masukan dan saran dari semua pihak yang sifatnya konstruktif
membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini.
Kendari , Oktober 2013
PenyusunKelompok II
22
TUGAS KELOMPOK IIMATA KULIAH : INOVASI PENDIDIKAN
[DIFUSI DAN PERENCANAAN INOVASI]
OLEH:
ANDI MARIANI RAMLAN (G2 I1 12 011)
ELFIYANTI SERMATAN (G2 I1 12 012)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
23
24