library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2doc/2014-2... · web view- data...

34
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum Glodok Pancoran merupakan kawasan bersejarah yang dilindungi di dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 36 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua. Glodok Pancoran berada pada Kelurahan Glodok, yang terletak di zona luar tembok Kota Tua Jakarta, sehingga pengembangan kawasan Glodok berada pada visi pembangunan Kota Tua Jakarta. Pengembangan Kota Tua Jakarta diwujudkan dengan melaksanakan salah satu dari 7 misi utama yaitu melakukan revitalisasi Kota Tua melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan di Kota Tua, baik secara bendawi maupun non-bendawi. (Pergub DKI No 36 tahun 2014). Menurut Pergub DKI No 36 tahun 2014, wujud pelestarian yang dimaksud di atas adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya. Perlindungan keberadaan Cagar Budaya dilakukan dengan teknik pemugaran yang dapat dilihat pada Piagam Burra tahun 1988 dengan kegiatan sebagai berikut: 1. Preservasi Preservasi melindungi bahan tanpa mengaburkan bukti konstruksi dan fungsinya yaitu pemeliharaan suatu tempat persis seperti aslinya. Preservasi layak dilakukan apabila bahan yang ada atau kondisinya menjadi bukti 11

Upload: others

Post on 29-Jan-2020

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Umum

Glodok Pancoran merupakan kawasan bersejarah yang dilindungi di dalam

Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 36 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Kawasan

Kota Tua. Glodok Pancoran berada pada Kelurahan Glodok, yang terletak di zona

luar tembok Kota Tua Jakarta, sehingga pengembangan kawasan Glodok berada pada

visi pembangunan Kota Tua Jakarta. Pengembangan Kota Tua Jakarta diwujudkan

dengan melaksanakan salah satu dari 7 misi utama yaitu melakukan revitalisasi Kota

Tua melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan di Kota Tua, baik

secara bendawi maupun non-bendawi. (Pergub DKI No 36 tahun 2014).

Menurut Pergub DKI No 36 tahun 2014, wujud pelestarian yang dimaksud di

atas adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan

nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.

Perlindungan keberadaan Cagar Budaya dilakukan dengan teknik pemugaran yang

dapat dilihat pada Piagam Burra tahun 1988 dengan kegiatan sebagai berikut:

1. Preservasi

Preservasi melindungi bahan tanpa mengaburkan bukti konstruksi dan fungsinya

yaitu pemeliharaan suatu tempat persis seperti aslinya. Preservasi layak dilakukan

apabila bahan yang ada atau kondisinya menjadi bukti signifikansi budaya, atau

apabila bukti yang ada tidak memadai, maka diperbolehkan dilakukan preservasi

lain. (ICOMOS 1999, Prinsip-prinsip Konservasi Pasal 17; Davidson 1996).

2. Restorasi

Restorasi adalah upaya mengembalikan kondisi fisik bangunan seperti sediakala

dengan membuang elemen-elemen tambahan serta memasang kembali elemen-

elemen asli yang telah hilang tanpa menambah elemen baru. Restorasi layak

dilakukan hanya apabila bukti-bukti yang memadai tentang keadaan awal suatu

bahan. (ICOMOS 1999, Prinsip-prinsip Konservasi Pasal 19; Davidson 1996).

3. Rekonstruksi

Rekonstruksi adalah upaya mengembalikan atau membangun kembali semirip

mungkin dengan penampilan orisinil yang diketahui. Rekonstruksi layak dilakukan

hanya apabila sebuah tempat tidak utuh lagi karena musibah atau perubahan, dan

11

12

hanya apabila terdapat bukti-bukti memadai untuk menghasilkan kembali bahan

sebagaimana keadaan awalnya. (ICOMOS 1999, Prinsip-prinsip Konservasi Pasal

20; Davidson 1996).

4. Renovasi

Renovasi adalah upaya / suatu tindakan mengubah interior bangunan baik itu

sebagian maupun keseluruhan sehubungan dengan adaptasi bangunan tersebut

terhadap penggunaan baru atau konsep modern.

5. Adaptasi

Adaptasi adalah segala upaya untuk mengubah tempat agar dapat digunakan untuk

fungsi yang sesuai. (Burra Charter, article 1.9).

6. Demolisi

Demolisi adalah penghancuran atau perombakkan suatu bangunan yang sudah rusak

atau membahayakan. (Burra Charter, article 1.10).

7. Revitalisasi

Revitalisasi adalah mengubah tempat atau kawasan agar dapat digunakan untuk

fungsi yang lebih sesuai, sehingga penggunaannya tidak menuntut perubahan drastis,

tapi hanya mengakibatkan dampak seminimal mungkin. Tindakan revitalisasi juga

diikuti dengan menghidupkan kembali kegiatan sosial dan ekonomi bangunan atau

lingkungan bersejarah yang telah kehilangan vitalitas fugsi asli.

Cara pengembangan keberadaan Cagar Budaya adalah dengan meningkatkan

potensi nilai, informasi dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui

Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan

dengan tujuan pelestarian. (Pergub DKI Jakarta No 36 tahun 2014).

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu strategi penataan

kawasan Glodok dapat dilakukan dengan teknik revitalisasi yang berkelanjutan dan

tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian. Revitalisasi adalah kegiatan

pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting

Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan

dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Menurut Permen PU No. 18

tahun 2010 tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan, definisi revitalisasi adalah upaya

untuk meningkatkan nilai lahan/kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu

kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya. Tujuan dari

revitalisasi ini adalah untuk meningkatkan vitalitas kawasan terbangun melalui

13

intervensi perkotaan yang mampu menciptakan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi

lokal, terintegrasi dengan sistem kota, layak huni, berkeadilan sosial dan berwawasan

budaya serta lingkungan. Kebijakan revitalisasi kawasan dilakukan pada kawasan-

kawasan strategis atau berpotensi mengalami penurunan produktivitas dan

terdegradasi lingkungan fisik dan sosialnya. Revitalisasi menurut Piagam Burra

(1988), adalah menghidupkan kembali kegiatan sosial dan ekonomi bangunan atau

lingkungan bersejarah yang sudah kehilangan vitalitas fungsi aslinya, dengan

memasukkan fungsi baru ke dalamnya sebagai daya tarik, agar bangunan atau

lingkungan tersebut hidup kembali.

Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui

beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal

sebagai berikut (Danisworo, 2002):

1. Intervensi Fisik

Proses ini diawali dengan revitalisasi kegiatan fisik dan dilakukan secara bertahap,

meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau,

sistem penghubung, sistem penanda (gerbang dan signage) dan ruang terbuka

kawasan (urban realm).

2. Rehabilitasi Ekonomi

Revitalisasi yang diawali dengan peremajaan artefak urban harus mendukung proses

rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek,

diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local

economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan

kota (Hall dalam Wongso, 2006).

3. Revitalisasi Sosial atau Institusional

Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan

lingkungan yang menarik, bukan sekedar indah dan memberikan pengalaman bagi

pengunjung yang datang. Kegiatan tersebut harus berdampak positif sehingga

meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat (public realms).

2.2 Tinjauan Khusus

2.2.1 Vitalitas Kawasan

Menurut Permen PU No 18 tahun 2010 tentang Pedoman Revitalisasi

Kawasan, definisi vitalitas kawasan adalah kualitas suatu kawasan yang dapat

mendukung kelangsungan hidup warganya, dan mendukung produktivitas sosial,

14

budaya, dan ekonomi dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan fisik,

dan/atau mencegah kerusakan warisan budaya yang signifikan.

Menurut Khilda Wildana Nur (2010), faktor yang dapat meningkatkan vitalitas

kawasan adalah peningkatan kualitas fisik dan spasial kawasan. Hal-hal yang terkait

dalam kualitas fisik dan spasial kawasan adalah:

1. Konfigurasi Lahan

Konfigurasi lahan merupakan bentuk lahan atau kawasan yang terlihat akibat adanya

pola spasial antara bangunan, jalan, koridor, dan ruang terbuka serta berhubungan

dengan pola spasial yang berkaitan dengan kondisi visual deretan bangunan dan

koridor pembentuk kawasan. Secara makro, pola spasial terbentuk dari visualisasi

kompleks deretan bangunan baik yang bergaya sama (monoton) maupun campuran.

Pola ini juga ditunjukkan dengan kondisi ruang terbuka untuk jalur hijau dan parkir

bagi kendaraan baik untuk pengunjung maupun penghuni. Kondisi koridor juga

berpengaruh terhadap pola spasial dan koneksi-koneksi berupa jalan atau path yang

saling berhubungan.

2. Hierarki Jalan dan Sirkulasi

Hierarki jalan suatu lingkungan kota dapat membantu melihat elemen-elemen kota.

Keberadaan pola jalan merupakan pembentuk kawasan dan jalur sirkulasi. Hierarki

dan sirkulasi jalan dapat berasal dari bentukan tata massa bangunan yang kemudian

berpengaruh pada jalur akses lain untuk pejalan kaki dan sistem parkir. Peruntukkan

sirkulasi jalan dibagi menjadi sirkulasi kendaraan bermotor dan pejalan kaki.

Hierarki jalan ditunjukkan dengan perbedaan jalan dilihat dari peruntukkan dan lebar

jalannya menjadi jalan primer (jalan kolektor), jalan sekunder (jalan lingkungan),

jalan tersier (jalan lokal atau gang). Dari perbedaan jalan ini, jalan yang menentukan

bagi suatu kawasan biasanya menjadi akses masuk pengunjung ke dalam kawasan.

Akses masuk ini menunjukkan aksesibilitas kawasan yang dapat dicapai pengunjung.

Aksesibilitas kawasan selain ditunjukkan di dalam kawasan itu sendiri, bisa

ditunjukkan dengan elemen-elemen tertentu yang berada di luar kawasan. Elemen

tersebut merupakan elemen khas yang mencirikan kawasan sehingga berfungsi

sebagai way-finding.

3. Tatanan, Bentuk dan Massa Bangunan

Dalam tinjauan tatanan, bentuk dan massa bangunan dilihat dari pola elevasi atau

peil halaman, garis level dan garis atap bangunan. Bangunan yang mencolok

perbedaan elevasinya akan menyebabkan garis atap tidak selaras sehingga skyline

15

kawasan tidak rata. Fasad bangunan di dalam kawasan yang menarik mencerminkan

eksistensi fungsi dan kesan bangunan yang ingin ditonjolkan. Jika terdapat landmark

di dalam suatu kawasan, massa bangunan landmark tersebut harus optimal

visualisasinya agar dapat terlihat oleh pengunjung. Visualisasi landmark ini penting

agar dapat memudahkan pencapaian pengunjung yang datang. Optimalisasi visual ini

dapat dilakukan dengan membedakan fasad bangunan sekitar landmark secara

ekstrim agar berbeda dari bangunan umum dan adanya perbedaan signifikan antara

kompleks sekitar landmark dengan kompleks bangunan lainnya. Landmark kawasan

juga harus terintegrasi secara spasial agar pengunjung dapat mudah menemukannya.

4. Ruang Terbuka

Ruang terbuka dibagi menjadi ruang terbuka untuk area komunal dan area hijau.

Dalam suatu kawasan, fungsi ruang terbuka sangat penting sebagai void kawasan

agar pola konfigurasi kawasan seimbang jika dibandingkan dengan solid sebagai

bangunan (Finding Lost Space, Roger Trancik, 1986). Ruang terbuka pada kawasan

bersejarah (Pecinan) dibagi menjadi ruang terbuka umum dan individu. Pada

beberapa bangunan lama di kawasan Pecinan, masih terdapat courtyard pribadi

sebagai karakteristik bangunan Pecinan. Ruang terbuka umum secara alami menjadi

tempat berkumpul masyarakat setempat untuk fungsi kegiatan sosial, kegiatan

budaya seperti atraksi pertunjukkan serta kegiatan agama seperti ritual dan perayaan.

Ruang terbuka umum ini dapat berupa plaza, taman, maupun square.

2.2.2 Teori Wisata Budaya

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Bab I Pasal 1 butir 1, menyatakan

bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,

pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang

dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Menurut Gunn, C.A (1994) wisata adalah pergerakan sementara manusia

untuk tujuan keluar dari tempat kerja dan tempat tinggal mereka, dimana mereka

melakukan kegiatan-kegiatan selama mereka tinggal di tempat tujuan tersebut dan

fasilitas-fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kegiatan wisata itu

merupakan suatu sistem yang dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal yang harus

dianalisis dan direncanakan dengan baik, antara lain sumber daya alami, sumber daya

budaya, pengusaha, keuangan, tenaga kerja, persaingan, masyarakat, kebijakan

16

pemerintah dan organisasi/kepemimpinan. Lebih lanjut, Gunn C.A (1994)

menyatakan bahwa ada tiga sektor yang terdapat dalam kegiatan wisata, yaitu sektor

bisnis, sektor non-bisnis dan sektor pemerintah. Ketiga sektor ini bersama-sama

merencanakan faktor-faktor yang menunjang kegiatan wisata yaitu atraksi,

pelayanan, transportasi, informasi dan promosi.

Usaha-usaha untuk mendefinisikan wisata budaya mencakup semua aspek

perjalanan dimana orang dapat mempelajari cara hidup dan pemikiran orang lain.

Wisata kemudian menjadi suatu sarana penting dalam memperkenalkan hubungan

budaya dan kerja sama internasional. Kebalikannya, pengembangan faktor-faktor

budaya sebuah negara adalah untuk meningkatkan sumber daya dalam menarik

wisatawan. Kesenian, musik, arsitektur, pencapaian teknologi dan bidang-bidang

kegiatan lain memiliki daya tarik wisata. Warisan budaya suatu daerah diekspresikan

dalam sumber daya sejarahnya untuk lebih mengenal sejarah dan pra-sejarah

(arkeologi) suatu daerah dapat menjadi suatu motivasi paling menarik bagi semua

perjalanan wisata (McIntosh dan Goeldner, 1990).

Karakteristik Kawasan Wisata Budaya

Wisata budaya menurut Hardjowigeno et al. (1994) adalah kegiatan pariwisata

dimana kekayaan budaya setempat menjadi objek wisatanya. Unsur-unsur yang

menyusun suatu kegiatan wisata budaya terdiri dari 3 kategori, yaitu :

1. Seni Budaya

Seni budaya mencakup kerajinan tangan, tata cara adat, pesta rakyat dan produk-

produk lokal.

2. Seni Bangunan

Seni bangunan mencakup arsitektur rumah tinggal, rumah peribadatan, dan

monumen.

3. Pagelaran Budaya

Pagelaran budaya mencakup seni musik, seni tari, dan upacara-upacara keagamaan

rakyat.

Sumber Daya Budaya

Sumber daya budaya yang bisa dikembangkan menjadi daya tarik wisata (S.

Feru, 2012) diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Bangunan bersejarah, situs, monumen, museum, galeri seni, situs budaya kuno,

dan sebagainya.

17

b. Seni dan patung kontemporer, arsitektur, tekstil, pusat kerajinan tangan dan seni,

pusat desain, dan sebagainya.

c. Seni pertunjukan, drama, tari-tarian, lagu daerah, teater jalanan, festival, dan acara

khusus lainnya.

d. Peninggalan keagamaan, seperti pura, candi, masjid, situs, dan sejenisnya.

e. Kegiatan dan cara hidup masyarakat lokal, sistem pendidikan, sanggar, teknologi

tradisional, cara kerja, dan sistem kehidupan setempat.

f. Perjalanan ke tempat bersejarah menggunakan alat transportasi unik (berkuda,

dokar, cikar, dan sebagainya).

g. Mencoba kuliner (masakan) setempat, melihat persiapan, cara membuat,

menyajikan, dan menyantapnya merupakan atraksi budaya yang sangat menarik bagi

wisatawan.

Karakteristik Kawasan Pecinan

Karakteristik kawasan Pecinan menurut precedent peneliti pada thesis Khilda

Wildana Nur (2010) yang diambil dari hasil kesimpulan Pratiwo (2010) di Jawa dan

Jackson (1975) di Malaysia dan Asia Tenggara adalah sebagai berikut:

1. Memiliki peran dan kedudukan yang cukup penting dalam sebuah kota.

2. Memiliki pola permukiman dan karakter bangunan yang khas.

3. Pemerintah setempat melakukan tindakan penataan dan peremajaan kawasan

sebagai obyek wisata (urban heritage tourism).

4. Berkonsep jalur pejalan kaki terbuka (open mall, city walk)

5. Terdapat landmark berupa patung, klenteng, pintu gerbang, kuil dan

bangunan arsitektural lainnya.

6. Ukuran luasan kawasan (district) tidak menjadi tolak ukur pembentukan dan

perkembangan kawasan pecinan.

7. Eksistensinya sangat dipengaruhi dari ekspansi eksternal dan proses

pergolakan internal kota setempat, misalnya per-kolonialisme, intervensi

negara lain, kebijakan pemerintahan atau kerajaan, dan lain sebagainya.

Karakteristik Budaya Tionghoa

Kawasan Pecinan merupakan kawasan tempat tinggal mayoritas penduduk Tionghoa

dengan beragam budaya-nya. Budaya Tionghoa di dalam kawasan Pecinan

diwujudkan dalam 2 bentuk yaitu bentuk fisik (tangible) dan non-fisik (intangible).

18

Budaya fisik Tionghoa diwujudkan dalam elemen arsitektural yang terdapat pada

bangunan rumah tinggal dan bangunan peribadatan seperti vihara/klenteng,

sedangkan budaya non-fisik Tionghoa berupa seni tari, seni musik, upacara adat

maupun keagamaan.

1. Arsitektur Tionghoa

Arsitektur Tionghoa yang dibahas pada penelitian ini adalah yang ada di Asia

Tenggara sebelum tahun 1990 menurut David Grant Khol (1984:22) dalam bukunya

“Chinese Architecture in the Straits Settlements and Western Malaya”. Ciri-ciri

bangunan arsitektur Tionghoa adalah sebagai berikut:

Courtyard

Courtyard merupakan ruang terbuka yang berada di dalam rumah tinggal penduduk

Tionghoa, bersifat private dan biasanya berupa kebun atau taman. Rumah-rumah

gaya Tiongkok Utara sering terdapat courtyard yang luas dan beberapa diantaranya

berjumlah lebih dari satu, namun di daerah Tiongkok Selatan, dimana banyak

penduduk Indonesia berasal, courtyard umumnya lebih sempit karena kavling rumah

yang tidak terlalu besar (Khol, 1984:21). Rumah tinggal penduduk Tionghoa di

Indonesia jarang mempunyai courtyard, kalaupun ada, biasanya berfungsi untuk

memasukkan cahaya alami siang hari atau untuk ventilasi saja. Hal ini dibutuhkan

karena karakteristik kavling yang berbentuk memanjang.

Gambar 1. Courtyard Rumah Tradisional Tionghoa Sumber: Perkembangan Bangunan Etnis Tionghoa di Indonesia, Handinoto (2005)

Bentuk Atap yang Khas

Bentuk atap arsitektur Tionghoa sangat khas, namun mempunyai beberapa bentuk

sesuai daerah asalnya. Bentuk atap bangunan rumah tinggal yang paling banyak

terdapat di Indonesia adalah bentuk atap Ying Shan (lihat Gambar 10 kiri). Bentuk

19

atap ini mempunyai struktur rangka atap pelana dengan ujung atap yang melengkung

ke atas di kedua dinding (gable wall), rata hingga bagian atas wuwungan (Shan

Qiang, lihat Gambar 10 kanan).

Gambar 2. Rumah Tinggal Atap Ying Shan (kiri). Tembok Bentuk Gunungan (Shan Qiang)Sumber: Visual Dictionary of Chinese Architecture, 153 (kiri). (Kanan) Hok Tek Bio, Bogor (Penulis, 2013).

Bentuk atap bangunan ibadah seperti klenteng juga mempunyai beberapa ciri khas

diantara lain adanya mutiara api (Huo Zhu) berbentuk bola api (mutiara Buddha)

yang terletak di bagian tengah wuwungan (lihat Gambar 11). Ciri khas lainnya

adalah adanya ornamen naga berjumlah 2 buah yang saling berhadapan seolah-olah

sedang bermain mengejar mutiara api. Arti lambang ini merupakan bentukan

manusia yang mencari inti kehidupan dan mutiara api melambangkan pencapaian

tertinggi di agama Buddha yaitu pencerahan atau pengharapan.

Gambar 3. Mutiara Api Sumber: Kumpulan Arsitektur Tionghoa, 2011

Ciri khas lainnya pada bentuk atap bangunan vihara adalah pada bagian list plank

atap yang berbentuk lengkung lingkaran yang terpasang pada baris pertama tepi,

berfungsi sebagai buangan air hujan. Genteng ini dinamakan Hua Tou Ban Wa.

20

Gambar 4. Hiasan List Plank Hua Tou Bian Wa Sumber: Kumpulan Arsitektur Tionghoa, 2011

Elemen-elemen Struktural yang Terbuka

Penduduk Tionghoa yang ahli dalam kerajinan ragam hias dan konstruksi kayu

ditunjukkan pada ornamen ragam hias yang terdapat pada elemen struktural.

Biasanya terdapat pada elemen balok dan kolom rumah peribadatan dan rumah

tinggal untuk masyarakat menengah ke atas. Elemen struktural penyangga balok atap

disebut balok Dou Gong berupa konstruksi kayu yang berasal dari arsitektur Dinasti

Qing.

Gambar 5. Balok Dou Gong Sumber: Kumpulan Arsitektur Tionghoa, 2011

Oleh karena ornamen yang indah pada pertemuan balok dan kolom, elemen

struktural ini biasanya terbuka tanpa ditutupi plafon untuk memperlihatkan ciri khas

ornamen Tionghoa.

Gambar 6. Struktur Rangka Atap Tionghoa

Sumber: Perkembangan Bangunan Etnis Tionghoa di Indonesia, Handinoto (2005)

21

Penggunaan Warna yang Khas

Warna pada arsitektur Tionghoa mempunya makna yang simbolik yaitu banyak

menggunakan warna merah dan kuning keemasan. Warna merah banyak dipakai

pada dekorasi interior dan umumnya dipakai untuk warna pilar pada bangunan

keagamaan. Merah menyimbolkan api dan darah menyimbolkan kemakmuran dan

keberuntungan pada budaya Tionghoa. Merah juga merupakan simbol kebajikan,

kebenaran dan ketulusan.

Gambar 7. Bangunan Klenteng Pecinan

Sumber: Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara, Arsitektur Cina di Indonesia, Bianda Aulia (2007)

2. Kepercayaan Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa secara mayoritas memeluk agama Buddha Tri Dharma yaitu

tiga ajaran yang berupa Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme. Tri Dharma

disebut juga ajaran kebenaran dan secara harfiah berarti tiga ajaran kebenaran.

Ajaran Taoisme berasal dari ajaran Lo Cu atau Lao Tse, ajaran Buddhisme berasal

dari Sakyamuni Buddha dan ajaran Konfusianisme berasal dari Kong Hu Cu atau

Konfusius. Klenteng-klenteng di Jakarta pada umumnya merupakan klenteng Tri

Dharma dimana mempunyai altar rupang untuk masing-masing ajaran ini. Ibadah

agama Buddha biasanya dilakukan secara rutin setiap hari minggu. Ibadah dilakukan

dengan beberapa tahap oleh umat dimulai dari anjali mudra yaitu sikap kesepuluh

jari saling menempel dan diletakkan di dada dengan sedikit terbuka pada bagian atas

sebagai lambang teratai atau pencerahan. Anjali mudra dilakukan kepada rupang

Buddha dan sesama umat. Arti posisi anjali mudra adalah menghormati dan

memberi salam.

22

Gambar 8. Posisi Anjali MudraSumber: www.googleimage.com diakses pada 30 Juli 2015

Setelah melakukan anjali mudra, umat dapat melakukan pembersihan diri dengan

sederhana seperti membersihkan tubuh dan pikiran serta melepas topi, sepatu, sendal,

masker dan masuk ke dalam aula atau Dhammasala. Setelah memasuki

Dhammasala, umat dapat melakukan meditasi sendiri sebelum membaca paritta suci

dan mendengarkan ceramah (Dhammadesana).

ICOMOS (1999) menyatakan bahwa terdapat prinsip-prinsip dasar dalam

wisata budaya, yaitu :

1. Wisata domestik dan internasional merupakan suatu alat yang paling penting

dalam pertukaran budaya. Oleh karena menjadi alat yang penting, maka konservasi

budaya harus menyediakan tanggung jawab dan kesempatan bagi masyarakat lokal

dan pengunjung untuk mengalami dan memahami warisan komunitas dan

budayanya.

2. Hubungan antara tempat-tempat historis dan wisata bersifat dinamis serta

melibatkan nilai-nilai yang mempunyai konflik. Hal tersebut harus dapat dikelola

dalam suatu cara yang mendukung generasi saat ini dan akan datang.

3. Perencanaan wisata dan konservasi untuk tempat-tempat warisan budaya harus

dapat menjamin bahwa pengalaman yang didapatkan pengunjung akan berharga,

memuaskan dan menggembirakan.

4. Masyarakat asli dan penduduk di pemukiman harus dilibatkan dalam perencanaan

konservasi dan wisata.

5. Aktivitas wisata dan konservasi harus menguntungkan bagi penduduk asli.

Program wisata budaya harus dapat melindungi dan meningkatkan karakteristik

warisan alam dan budaya.

Berdasarkan teori mengenai wisata budaya di atas, dapat disimpulkan bahwa

kawasan wisata budaya adalah kawasan yang menyediakan budaya sebagai wadah

yang dinikmati pengunjung dalam melakukan kunjungan wisatanya. Wisata budaya

23

harus mampu memberikan pengalaman bagi pengunjung (ICOMOS 1999) agar

pengunjung yang datang dapat menikmati kawasan dengan gembira dan

menyenangkan. Pengalaman budaya harus dapat dinikmati pengunjung saat

melakukan wisata budaya juga didukung oleh timbulnya rasa terhadap ruang (sense

of place). (UNESCO, 2013).

2.2.3 Teori Experiential Landscape

Berdasarkan penjelasan teori wisata budaya, pengunjung yang datang saat

melakukan wisata perlu mendapatkan pengalaman baik sejarah maupun budaya

secara menarik dan gembira (ICOMOS 1999). Oleh karena penjelasan tersebut, maka

pengalaman pengunjung diwujudkan dengan teori pengalaman kawasan atau teori

Experiential Landscape. Teori ini digunakan dengan memperhatikan pengalaman

yang didapat oleh pengunjung dalam sebuah lingkungan kota. Menurut Kevin

Thwaites dan Ian Simkins (2007), elemen-elemen pada pengalaman ruang seseorang

pada sebuah lingkup kota terdiri dari centres atau places, directions atau paths

(keberlanjutan), transition atau changes, areas atau domains (unsur tertutup).

Konsep ini tergolong abstrak dan terbatas jika dihadapkan pada pengalaman manusia

di dalam ruang pada level yang belum sempurna.

Elemen pertama dimulai dari pendapat Thwaites-Simkins mengenai manusia

mempunyai kecenderungan untuk memperluas suatu pusat atau lokasi. Sebuah pusat

atau centre mendapatkan kecenderungan sebagai sesuatu yang khas dan mencirikan

sesuatu jika berada di dalam suatu lingkungan atau kota. Pendapat ini mirip dengan

teori Kevin Lynch (1960) bahwa suatu pusat di dalam kota mempunyai esensi ”here I

am” yang dimiliki oleh manusia.

Pusat-pusat biasanya tersebar jika dilihat dari lingkup kota, namun

sebenarnya mempunyai hubungan satu sama lain. Hubungan ini dijalin oleh sebuah

elemen jalur atau arah (direction). Ruang eksisting mempunyai sebuah arah sebagai

kesadaran bahwa arah itu mempunyai unsur berkelanjutan dan menghubungkan

beberapa pusat (centre) yang ada. Sebuah direction mempunyai karakteristik yang

didapatkan dari persepsi dan event yang terjadi selama perjalanan dan dimengerti

sebagai elemen fungsional yang memfasilitasi pergerakan di dalam sebuah direction.

Esensi dari direction muncul karena adanya urutan dari pengalaman-pengalaman

tertentu, termasuk pengalaman kinetik dan visual yang terhubung satu sama lain dan

akan berganti di sebuah transisi (transition).

24

Thwaites-Simkins mendeskripsikan definisi ruang transisi sebagai elemen-

elemen yang tercipta dari adanya directions yang terhubung dan tergabung satu sama

lain (binding) dan membentuk sense of place yang terpadu. Sebuah ruang transisi

dapat berupa perubahan ruang satu dengan ruang yang lain dan dapat diwujudkan

dengan sebuah gambaran visual seperti gerbang, bukaan, ruang terbuka dengan view

yang baik yang mempengaruhi psikologi manusia. Sebuah ruang transisi harus

mampu menangkap perhatian manusia sehingga perbedaan atmosfer dan ruang dapat

terasa.

Elemen terakhir adalah area atau domain yang dimengerti sebagai sebuah

ruang tertutup yang mempunyai batas dan mempunyai pusat (centre), arah

(direction) dan ruang transisi (transitions) di dalamnya. Sebuah area mempunyai

unsur yang terkurung dan tertutup namun memiliki unsur yang terpadu dan lengkap.

Tabel 1. Konsep desain experiential landscapeSpatial Dimension Experiential Dimension

CentreSebuah lokasi yang memiliki rasa ”here-ness” dan unsur kedekatan dengan manusia

Attachment of significanceSocial imageability: penggunaan fungsi, tujuan dan motivasi, unsur fisik dan arti sosialSocial interaction: komunikasi pada area publik

DirectionSebuah arah yang mempunyai unsur berkelanjutan dan adanya pengalaman yang signifikan dan berkarakter di dalamnya

OrientationPergerakan: pilihan, imajinasi, perhatianView: landmarks, views, sekuens

TransitionSebuah ruang yang merupakan pergantian atmosfer ruang satu dengan ruang lainnya, perubahan mood, suasana dan fungsi

ChangeArah dan level, pintu masuk, pintu keluar, gerbang, perubahan atmosfer dan fungsi

AreaSebuah ruang dengan rasa tertutup karena mempunyai batas yang terpadu dan lengkap.

Neighborhood awarenessPublic & private awareness: private, semi-private, public, semi-publicThematic continuity: ritme, pola, koordinasi dalam tekstur, ruang, bentuk, detail, dsb.

Sumber: Thwaites, Kevin dan Simkins, Ian (2007) Experiential Landscape p.49

2.3 Jurnal Pendukung

Dalam melakukan penelitian revitalisasi Glodok Pancoran, maka peneliti

melakukan studi mengenai penelitian sejenis melalui jurnal-jurnal pendukung yang

terkaji pada Tabel 2 berikut.

25

Tabel 2. Perbandingan Jurnal Pendukung1 2 3 4 5

JUDUL

Pengembangan Kawasan Wisata Budaya Kabupaten Sumenep

Revitalisasi Kawasan Pecinan Sebagai Pusaka Kota (Urban Heritage) Makassar

Inner City Revitalization in Beijing

Revitalization of Borobudur: Heritage Tourism Promotion and Local Community Empowerment in Cultural Industries

Revitalization of Malaysia Old Town: Strategies and Considerations of Urban Fabric Intervention

PENULIS Feru Sukaryono (2012)

Khilda Wildana Nur (2010)

Shrawan Kumar Acharya (2012)

Masanori Nagaoka (2011)

Nur Zulaika Binti Atraii (2013)

TUJUAN PENELITI-AN

Menentukan arahan pengembangan kawasan wisata budaya di Kabupaten Sumenep

Merumuskan panduan revitalisasi kawasan pusat orientasi (nodes) sebagaimana karakteristik kawasan pecinan serta meningkatkan vitalitas kawasan sebagai pusaka kota Makassar

Melindungi kawasan budaya Hutongs dan Siheyuan serta menghidupkan kembali aktivitas kota lama untuk bersaing dengan dunia luar

Mengenalkan budaya di sekitar Borobudur untuk melindungi warisan budaya dan menarik wisatawan asing dan domestik, sekaligus memperkenalkan projek UNESCO di Borobudur

Mempertahankan Kota Tua Malaysia dan menyediakan perlindungan dan memastikan agar area ini tetap menguntungkan

LOKASI PENELITI-AN

Surabaya Makassar Beijing Yogyakarta Malaysia

PER-MASALAH-AN

-Adanya kawasan sejarah dan budaya yang berpotensi menjadi kawasan wisata budaya, namun belum dikembangkan secara maksimal-Menurunnya citra kawasan sejarah dan budaya yang mengurangi makna histories sejarah dan budaya Kabupaten Sumenep

-Pusat orientasi kegiatan yang kurang aktif dalam memenuhi karakterisktik kondisi pecinan-Vitalitas kawasan yang menurun

Kehidupan penduduk sekitar yang buruk dan tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat kondisi lingkungan dan infrastruktur yang tidak memadai

Kondisi Borobudur yang buruk mulai dari bangunan/monumen, relief, manajemen serta interaksi antara turis asing dan penduduk lokal yang timpang

Kawasan budaya di sekitar Kota Tua semakin pudar yang bisa dilihat dari penghancur-an beberapa landmark penting di tempat lain karena tidak dilindungi oleh UU Pemerintah

26

setempat

METODE PENELITI-AN

Penelitian kualitatif dengan metode purposive sampling

Penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan historis

Survei, site visit, wawancara dan diskusi dengan ahli, penelitian deskriptif

Deskriptif, cultural mapping, sinoptik

Studi literatur dan metode deskriptif

HASIL/TEORI

Mendapatkan faktor pengembangan kawasan wisata budaya dengan mempertahankan ragam daya tarik kawasan, peningkatan pelayanan infratstruktur kawasan yang sudah ada, meningkatkan kualitas SDM setempat dan peningkatan kualitas kondisi fisik bangunan bersejarah di dalam kawasan

Menciptakan jaringan jalan dengan sistem Linkage, membentuk aktivitas utama dalam kawasan berupa kegiatan publik (perdagangan/ jasa, wisata, dan kegiatan sosial/budaya), landmark kawasan untuk memberikan kejelasan ruang dan menciptakan sense of place.

Bangunan tradisional seperti hutongs dan siheyuan tetap dipertahankan dengan menciptakan desain courtyard untuk mempertahan-kan gudu fengmao atau karakteristik dari kota masa lampau. Melakukan proses renovasi dan konservasi pada bangunan yang sudah rusak

Melakukan preservasi dan restorasi pada bangunan yang ada seperti semula (sebelum erupsi Merapi), meningkatkan potensi penduduk lokal terhadap kemampuan, pengetahuan sehingga dapat mempertahan-kan keadaan Borobudur dengan baik

Membawa kembali kawasan Kota Tua untuk bisa hidup di kehidupan sekarang dengan 3 tipe revitalisasi yaitu revitalisasi fisik, revitalisasi ekonomi dan revitalisasi sosial. Selain itu, strategi lainnya mengguna-kan teori Konservasi dan Preservasi dari Tiesdell 1996

Sumber: Olahan Pribadi, 2015

Dari keseluruhan jurnal-jurnal pendukung, dapat diambil kesimpulan bahwa

pendekatan konservasi kawasan bersejarah dapat dilakukan dengan upaya revitalisasi

khususnya pendekatan revitalisasi pada intervensi fisik yaitu dengan memperbaiki

elemen-elemen kota dan menciptakan sebuah stimuli kegiatan sehingga dapat

menghidupkan kembali kawasan secara menyeluruh. Desain revitalisasi kawasan

Pecinan dilakukan dengan memperhatikan koridor perdagangan karena perdagangan

di Pecinan merupakan unsur yang kuat yang dapat menarik wisatawan. Selain

koridor perdagangan, stimuli lain yang diperlukan Pecinan adalah ruang terbuka

yang berfungsi sebagai area komunal agar penduduk lokal dapat melakukan aktivitas

kebudayaan di sana. Revitalisasi kawasan juga dilakukan dengan upaya perbaikan

wajah kawasan dengan memperbaiki bangunan yang tua dan terlantar dengan

27

melakukan teknik adaptive re-use dan restorasi agar bangunan yang mempunyai

unsur sejarah yang kuat dengan kawasannya dapat kembali hidup.

2.4 Studi Banding

Dalam memahami tindakan revitalisasi dalam suatu kasus dan teori yang

digunakan, diperlukan suatu studi perbandingan guna mengetahui tata cara dan

tingkat keberhasilan tindakan revitalisasi tersebut pada lokasi-lokasi yang sudah

pernah dilakukan revitalisasi.

2.4.1 Pecinan, Semarang

Kawasan Pecinan di Semarang sebelum direvitalisasi merupakan kawasan

Pecinan yang kumuh dan tidak terawat. Kawasan ini mulai ditinggali penduduknya

akibat tidak mampu bertahan dari sisi ekonomi setempat. Oleh karena masih

banyaknya warisan budaya Pecinan di Jl. Pekojan ini, maka pemerintah setempat

memutuskan untuk melakukan revitalisasi dengan konsep Nodes (simpul). Di

kawasan ini dibangun sebuah pasar yang diberi nama Pasar Semawis yang namanya

diambil dari komunitas lokal Semarang. Pasar ini merupakan pasar yang menjual

makanan khas Tionghoa dan beroperasi selama 24 jam. Setelah pasar ini dibangun,

kawasan Pecinan sekitar semakin maju dan banyak dikunjungi wisatawan.

Gambar 9. Suasana Pasar Semawis Semarang Sumber: www.kotawisataindonesia.com diakses pada 15 April 2015

Selain menjual makanan, Pasar Semawis yang diharapkan menjadi identitas

kota Semarang, juga menjual pernak-pernik khas Tionghoa. Pasar ini menjadi sangat

ramai khususnya menjelang hari raya Imlek dan sering disebut Pasar Imlek Semawis.

Konsep pasar ini diterapkan dengan pedagang setempat yang berjualan di pinggir

jalan dengan meja dan tenda (stand makanan) untuk meletakkan makanannya.

Dengan konsep ini, koridor tercipta di tengah-tengah yang diperuntukkan untuk

pengunjung. Setelah membeli makanannya, pengunjung dapat duduk di meja-kursi

yang tersedia di seberang tenda penjual makanan.

28

Gambar 10. Konsep Perdagangan Makanan di Pasar Semawis Sumber: www.events.goindonesia.com diakses pada 15 April 2015

2.4.2 Far East Square, Singapore

Salah satu proyek revitalisasi yang menggunakan konsep perdagangan

kuliner sebagai magnet kawasan Pecinan adalah revitalisasi Far East Square di

Singapura. Kawasan Far East Square merupakan kawasan Pecinan yang penuh

dengan ruko-ruko tradisional Tionghoa yang berpenampilan buruk akibat sudah

usang dan tidak terawat. Ruko-ruko ini dulu berfungsi sebagai toko-toko namun

sekarang sudah tidak bisa bersaing lagi dengan ekonomi wilayah lainnya. Oleh

karena masih kentalnya budaya Tionghoa di kawasan ini, pemerintah Singapura

memutuskan untuk melakukan tindakan revitalisasi pada akhir tahun 1990-an.

Konsep yang digunakan pada revitalisasi kawasan ini adalah konsep culinary

district. Konsep ini ditujukan pada perdagangan makanan di sepanjang jalan

sehingga terdapat cafe, resto, dan bar. Kawasan ini telah sukses menarik perhatian

wisatawan karena mampu menangkap wisata budaya dan kuliner sekaligus. Apalagi,

pemerintah Singapura juga berhasil mendesain kawasan ini terintegrasi dengan

sistem transportasi publik MRT (mass rapid transit) sehingga pengunjung dapat

dengan mudah menuju tempat ini.

Gambar 11. Far East Square, Singapore

Sumber: www.commons.wikimedia.org diakses pada 15 April 2015

2.4.3 Xin Tian Di, Shanghai, China

Salah satu revitalisasi kawasan Pecinan yang menjadi daya tarik dunia adalah

revitalisasi Xin Tian Di, Shanghai. Revitalisasi ini mendapatkan penghargaan ULI

29

(Urban Land Institute) 2003 Award for Excellence dan 2003 AIA Citation for

Heritage. ULI menjelaskan Xin Tian Di sebagai kawasan yang merangkul sejarahnya

sambil beradaptasi dengan lingkungan modern yang semakin berkembang.

Xin Tian Di terletak di distrik Lu Wan dan berada di area Pecinan Tai Ping

Qiao. Area ini penuh dengan zona perumahan penduduk Tionghoa dan kepadatan ini

semakin tinggi sehingga menyebabkan kualitas lingkungan sekitar memburuk.

Rumah tradisional khas Tionghoa bernama Rumah Li Long banyak menghiasi

sepanjang area Xin Tian Di. Selain itu, kondisi ekonomi penduduk Xin Tian Di

semakin memburuk akibat tidak mampu bersaing dengan perkembangan ekonomi

modern sekitarnya. Dengan melihat kondisi ini, Shanghai Municipal City Planning

Administration akhirnya memutuskan untuk melakukan revitalisasi terhadap kawasan

ini.

Seluruh tanah di Tionghoa dimiliki oleh pemerintah sehingga memudahkan

projek ini. Tidak seperti biasanya, proyek ini diberikan kepada pengembang Hong

Kong Shui On Group yang tetap diawasi oleh pemerintah Tionghoa. Bentuk kerja

sama ini dinilai baik, sebab proyek bisa dilaksanakan dengan lebih fokus dan terarah.

Konsep revitalisasi ini menggunakan konsep phasing strategy yaitu pengembangan

suatu area yang bertahap. Pengembangan yang bertahap ini memfokuskan pada

pengembangan suatu area yang paling cepat dan mampu mempresentasikan wajah

baru kawasan tersebut. Hal ini juga didasari karena Xin Tian Di merupakan area yang

luas sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan seluruh kawasan dalam

waktu bersamaan.

Gambar 12. Keadaan Xin Tian Di Sebelum (kiri) dan Setelah (kanan) RevitalisasiSumber: www.commons.wikimedia.org diakses pada 15 April 2015

Phasing Strategy ini dimulai dengan arah top-down yaitu mulai dari area

konservasi yang tata bangunannya ditujukan untuk dibangun gedung perkantoran

dengan maksimal tinggi 4-5 lantai. Area ini juga merupakan area bersejarah yang

dipenuhi dengan bangunan khas etnis Tionghoa di Singapura. Tujuan awal dari

pengembangan ini adalah dengan mendirikan gedung baru dengan menghancurkan

30

gedung lama yang masih punya sejarah. Pada akhirnya, konsep demolition ini diubah

sejak proyek ini dipegang oleh arsitek Benjamin Wood. Benjamin Wood

mengenalkan konsep revitalisasi dengan teknik adaptive re-use yaitu bentuk

konservasi bangunan yang mengubah fungsi bangunan itu dan tetap mempertahankan

elemen historisnya. Dengan tetap mempertahankan aspek budaya dan sejarah khas

Tionghoa Singapura, dinilai Benjamin akan menarik wisatawan domestik dan dalam

negeri.

Gambar 13. Kawasan yang direvitalisasi (kiri). Setelah direvitalisasi (kanan)

sumber:http://repository.upenn.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1115&context=hp_theses, diakses pada 10 Februari 2015

31

2.5 Kerangka Berpikir

Gambar 14. Kerangka Berpikir Penelitian

Latar BelakangCitra kawasan Glodok Pancoran sebagai pembentuk kota Batavia di abad ke-17 punya nilai sejarah dan

budaya tinggi berupa peninggalan kompleks bangunan heritage, punya potensi tinggi menjadi

kawasan wisata budaya di Jakarta Barat.

Permasalahan1. Menurunnya vitalitas kawasan Glodok

Pancoran akibat kualitas spasial dan fisik kawasan yang tidak terpelihara

2. Kurangnya upaya pemanfaatan potensi wisata budaya pada kawasan bersejarah ini.

Data- Lokasi penelitian, sejarah lokasi- Kondisi eksisting- Jadwal acara budaya dan keagamaan- Proses melakukan kegiatan beragama- Informasi tapak, peta zona fungsi tapak- Landasan hukum

Teknik- Survei dan observasi lapangan- Wawancara, studi literatur

Judul SinopsisRevitalisasi Kawasan Glodok Pancoran Sebagai Kawasan Wisata Budaya di Jakarta Barat

Tujuan Penelitian1. Meningkatkan vitalitas kawasan Glodok

Pancoran dengan memperbaiki kualitas fisik dan spasial kawasan

2. Memaksimalkan upaya peningkatan potensi wisata budaya kawasan agar menjadi kawasan wisata budaya yang menarik di Jakarta Barat

Metode Penelitian1. Tahap Persiapan (permasalahan, tujuan,

ruang lingkup, lokasi penelitian, teori)2. Pengumpulan Data (kepustakaan,

observasi lapangan, wawancara, studi banding)

3. Analisa Data

- Data Primer (foto eksisting, jadwal acara budaya, karakteristik penduduk setempat, jumlah KK yang dipindahkan, pola pergerakan aktivitas budaya)- Data Sekunder (sejarah dan gambaran umum Glodok Pancoran, informasi tapak, peta zonasi, fungsi tapak, besaran tapak, regulasi zona, landasan hukum Glodok Pancoran, teori-teori yang berkaitan)Analisa Data- Koridor, sirkulasi, landmark, ruang terbuka- Penataan kawasan dengan CDTA- Karakter dan jenis kegiatan dan karakter pelaku secara makro dan mikro- tipologi bangunan setempat, penataan ruang dalam bangunan dan kawasan

Analisa (Lingkungan, Manusia dan Bangunan)

Konsep: Revitalisasi kawasan berupa desain ruang terbuka (budaya dan agama), perbaikan koridor perdagangan dan desain kawasan hunian

PERANCANGAN SKEMATIK DESAIN

32