BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Umum
Glodok Pancoran merupakan kawasan bersejarah yang dilindungi di dalam
Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 36 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Kawasan
Kota Tua. Glodok Pancoran berada pada Kelurahan Glodok, yang terletak di zona
luar tembok Kota Tua Jakarta, sehingga pengembangan kawasan Glodok berada pada
visi pembangunan Kota Tua Jakarta. Pengembangan Kota Tua Jakarta diwujudkan
dengan melaksanakan salah satu dari 7 misi utama yaitu melakukan revitalisasi Kota
Tua melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan di Kota Tua, baik
secara bendawi maupun non-bendawi. (Pergub DKI No 36 tahun 2014).
Menurut Pergub DKI No 36 tahun 2014, wujud pelestarian yang dimaksud di
atas adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan
nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.
Perlindungan keberadaan Cagar Budaya dilakukan dengan teknik pemugaran yang
dapat dilihat pada Piagam Burra tahun 1988 dengan kegiatan sebagai berikut:
1. Preservasi
Preservasi melindungi bahan tanpa mengaburkan bukti konstruksi dan fungsinya
yaitu pemeliharaan suatu tempat persis seperti aslinya. Preservasi layak dilakukan
apabila bahan yang ada atau kondisinya menjadi bukti signifikansi budaya, atau
apabila bukti yang ada tidak memadai, maka diperbolehkan dilakukan preservasi
lain. (ICOMOS 1999, Prinsip-prinsip Konservasi Pasal 17; Davidson 1996).
2. Restorasi
Restorasi adalah upaya mengembalikan kondisi fisik bangunan seperti sediakala
dengan membuang elemen-elemen tambahan serta memasang kembali elemen-
elemen asli yang telah hilang tanpa menambah elemen baru. Restorasi layak
dilakukan hanya apabila bukti-bukti yang memadai tentang keadaan awal suatu
bahan. (ICOMOS 1999, Prinsip-prinsip Konservasi Pasal 19; Davidson 1996).
3. Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah upaya mengembalikan atau membangun kembali semirip
mungkin dengan penampilan orisinil yang diketahui. Rekonstruksi layak dilakukan
hanya apabila sebuah tempat tidak utuh lagi karena musibah atau perubahan, dan
11
12
hanya apabila terdapat bukti-bukti memadai untuk menghasilkan kembali bahan
sebagaimana keadaan awalnya. (ICOMOS 1999, Prinsip-prinsip Konservasi Pasal
20; Davidson 1996).
4. Renovasi
Renovasi adalah upaya / suatu tindakan mengubah interior bangunan baik itu
sebagian maupun keseluruhan sehubungan dengan adaptasi bangunan tersebut
terhadap penggunaan baru atau konsep modern.
5. Adaptasi
Adaptasi adalah segala upaya untuk mengubah tempat agar dapat digunakan untuk
fungsi yang sesuai. (Burra Charter, article 1.9).
6. Demolisi
Demolisi adalah penghancuran atau perombakkan suatu bangunan yang sudah rusak
atau membahayakan. (Burra Charter, article 1.10).
7. Revitalisasi
Revitalisasi adalah mengubah tempat atau kawasan agar dapat digunakan untuk
fungsi yang lebih sesuai, sehingga penggunaannya tidak menuntut perubahan drastis,
tapi hanya mengakibatkan dampak seminimal mungkin. Tindakan revitalisasi juga
diikuti dengan menghidupkan kembali kegiatan sosial dan ekonomi bangunan atau
lingkungan bersejarah yang telah kehilangan vitalitas fugsi asli.
Cara pengembangan keberadaan Cagar Budaya adalah dengan meningkatkan
potensi nilai, informasi dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui
Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan
dengan tujuan pelestarian. (Pergub DKI Jakarta No 36 tahun 2014).
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu strategi penataan
kawasan Glodok dapat dilakukan dengan teknik revitalisasi yang berkelanjutan dan
tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian. Revitalisasi adalah kegiatan
pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting
Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan
dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Menurut Permen PU No. 18
tahun 2010 tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan, definisi revitalisasi adalah upaya
untuk meningkatkan nilai lahan/kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu
kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya. Tujuan dari
revitalisasi ini adalah untuk meningkatkan vitalitas kawasan terbangun melalui
13
intervensi perkotaan yang mampu menciptakan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
lokal, terintegrasi dengan sistem kota, layak huni, berkeadilan sosial dan berwawasan
budaya serta lingkungan. Kebijakan revitalisasi kawasan dilakukan pada kawasan-
kawasan strategis atau berpotensi mengalami penurunan produktivitas dan
terdegradasi lingkungan fisik dan sosialnya. Revitalisasi menurut Piagam Burra
(1988), adalah menghidupkan kembali kegiatan sosial dan ekonomi bangunan atau
lingkungan bersejarah yang sudah kehilangan vitalitas fungsi aslinya, dengan
memasukkan fungsi baru ke dalamnya sebagai daya tarik, agar bangunan atau
lingkungan tersebut hidup kembali.
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui
beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal
sebagai berikut (Danisworo, 2002):
1. Intervensi Fisik
Proses ini diawali dengan revitalisasi kegiatan fisik dan dilakukan secara bertahap,
meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau,
sistem penghubung, sistem penanda (gerbang dan signage) dan ruang terbuka
kawasan (urban realm).
2. Rehabilitasi Ekonomi
Revitalisasi yang diawali dengan peremajaan artefak urban harus mendukung proses
rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek,
diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local
economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan
kota (Hall dalam Wongso, 2006).
3. Revitalisasi Sosial atau Institusional
Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan
lingkungan yang menarik, bukan sekedar indah dan memberikan pengalaman bagi
pengunjung yang datang. Kegiatan tersebut harus berdampak positif sehingga
meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat (public realms).
2.2 Tinjauan Khusus
2.2.1 Vitalitas Kawasan
Menurut Permen PU No 18 tahun 2010 tentang Pedoman Revitalisasi
Kawasan, definisi vitalitas kawasan adalah kualitas suatu kawasan yang dapat
mendukung kelangsungan hidup warganya, dan mendukung produktivitas sosial,
14
budaya, dan ekonomi dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan fisik,
dan/atau mencegah kerusakan warisan budaya yang signifikan.
Menurut Khilda Wildana Nur (2010), faktor yang dapat meningkatkan vitalitas
kawasan adalah peningkatan kualitas fisik dan spasial kawasan. Hal-hal yang terkait
dalam kualitas fisik dan spasial kawasan adalah:
1. Konfigurasi Lahan
Konfigurasi lahan merupakan bentuk lahan atau kawasan yang terlihat akibat adanya
pola spasial antara bangunan, jalan, koridor, dan ruang terbuka serta berhubungan
dengan pola spasial yang berkaitan dengan kondisi visual deretan bangunan dan
koridor pembentuk kawasan. Secara makro, pola spasial terbentuk dari visualisasi
kompleks deretan bangunan baik yang bergaya sama (monoton) maupun campuran.
Pola ini juga ditunjukkan dengan kondisi ruang terbuka untuk jalur hijau dan parkir
bagi kendaraan baik untuk pengunjung maupun penghuni. Kondisi koridor juga
berpengaruh terhadap pola spasial dan koneksi-koneksi berupa jalan atau path yang
saling berhubungan.
2. Hierarki Jalan dan Sirkulasi
Hierarki jalan suatu lingkungan kota dapat membantu melihat elemen-elemen kota.
Keberadaan pola jalan merupakan pembentuk kawasan dan jalur sirkulasi. Hierarki
dan sirkulasi jalan dapat berasal dari bentukan tata massa bangunan yang kemudian
berpengaruh pada jalur akses lain untuk pejalan kaki dan sistem parkir. Peruntukkan
sirkulasi jalan dibagi menjadi sirkulasi kendaraan bermotor dan pejalan kaki.
Hierarki jalan ditunjukkan dengan perbedaan jalan dilihat dari peruntukkan dan lebar
jalannya menjadi jalan primer (jalan kolektor), jalan sekunder (jalan lingkungan),
jalan tersier (jalan lokal atau gang). Dari perbedaan jalan ini, jalan yang menentukan
bagi suatu kawasan biasanya menjadi akses masuk pengunjung ke dalam kawasan.
Akses masuk ini menunjukkan aksesibilitas kawasan yang dapat dicapai pengunjung.
Aksesibilitas kawasan selain ditunjukkan di dalam kawasan itu sendiri, bisa
ditunjukkan dengan elemen-elemen tertentu yang berada di luar kawasan. Elemen
tersebut merupakan elemen khas yang mencirikan kawasan sehingga berfungsi
sebagai way-finding.
3. Tatanan, Bentuk dan Massa Bangunan
Dalam tinjauan tatanan, bentuk dan massa bangunan dilihat dari pola elevasi atau
peil halaman, garis level dan garis atap bangunan. Bangunan yang mencolok
perbedaan elevasinya akan menyebabkan garis atap tidak selaras sehingga skyline
15
kawasan tidak rata. Fasad bangunan di dalam kawasan yang menarik mencerminkan
eksistensi fungsi dan kesan bangunan yang ingin ditonjolkan. Jika terdapat landmark
di dalam suatu kawasan, massa bangunan landmark tersebut harus optimal
visualisasinya agar dapat terlihat oleh pengunjung. Visualisasi landmark ini penting
agar dapat memudahkan pencapaian pengunjung yang datang. Optimalisasi visual ini
dapat dilakukan dengan membedakan fasad bangunan sekitar landmark secara
ekstrim agar berbeda dari bangunan umum dan adanya perbedaan signifikan antara
kompleks sekitar landmark dengan kompleks bangunan lainnya. Landmark kawasan
juga harus terintegrasi secara spasial agar pengunjung dapat mudah menemukannya.
4. Ruang Terbuka
Ruang terbuka dibagi menjadi ruang terbuka untuk area komunal dan area hijau.
Dalam suatu kawasan, fungsi ruang terbuka sangat penting sebagai void kawasan
agar pola konfigurasi kawasan seimbang jika dibandingkan dengan solid sebagai
bangunan (Finding Lost Space, Roger Trancik, 1986). Ruang terbuka pada kawasan
bersejarah (Pecinan) dibagi menjadi ruang terbuka umum dan individu. Pada
beberapa bangunan lama di kawasan Pecinan, masih terdapat courtyard pribadi
sebagai karakteristik bangunan Pecinan. Ruang terbuka umum secara alami menjadi
tempat berkumpul masyarakat setempat untuk fungsi kegiatan sosial, kegiatan
budaya seperti atraksi pertunjukkan serta kegiatan agama seperti ritual dan perayaan.
Ruang terbuka umum ini dapat berupa plaza, taman, maupun square.
2.2.2 Teori Wisata Budaya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Bab I Pasal 1 butir 1, menyatakan
bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Menurut Gunn, C.A (1994) wisata adalah pergerakan sementara manusia
untuk tujuan keluar dari tempat kerja dan tempat tinggal mereka, dimana mereka
melakukan kegiatan-kegiatan selama mereka tinggal di tempat tujuan tersebut dan
fasilitas-fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kegiatan wisata itu
merupakan suatu sistem yang dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal yang harus
dianalisis dan direncanakan dengan baik, antara lain sumber daya alami, sumber daya
budaya, pengusaha, keuangan, tenaga kerja, persaingan, masyarakat, kebijakan
16
pemerintah dan organisasi/kepemimpinan. Lebih lanjut, Gunn C.A (1994)
menyatakan bahwa ada tiga sektor yang terdapat dalam kegiatan wisata, yaitu sektor
bisnis, sektor non-bisnis dan sektor pemerintah. Ketiga sektor ini bersama-sama
merencanakan faktor-faktor yang menunjang kegiatan wisata yaitu atraksi,
pelayanan, transportasi, informasi dan promosi.
Usaha-usaha untuk mendefinisikan wisata budaya mencakup semua aspek
perjalanan dimana orang dapat mempelajari cara hidup dan pemikiran orang lain.
Wisata kemudian menjadi suatu sarana penting dalam memperkenalkan hubungan
budaya dan kerja sama internasional. Kebalikannya, pengembangan faktor-faktor
budaya sebuah negara adalah untuk meningkatkan sumber daya dalam menarik
wisatawan. Kesenian, musik, arsitektur, pencapaian teknologi dan bidang-bidang
kegiatan lain memiliki daya tarik wisata. Warisan budaya suatu daerah diekspresikan
dalam sumber daya sejarahnya untuk lebih mengenal sejarah dan pra-sejarah
(arkeologi) suatu daerah dapat menjadi suatu motivasi paling menarik bagi semua
perjalanan wisata (McIntosh dan Goeldner, 1990).
Karakteristik Kawasan Wisata Budaya
Wisata budaya menurut Hardjowigeno et al. (1994) adalah kegiatan pariwisata
dimana kekayaan budaya setempat menjadi objek wisatanya. Unsur-unsur yang
menyusun suatu kegiatan wisata budaya terdiri dari 3 kategori, yaitu :
1. Seni Budaya
Seni budaya mencakup kerajinan tangan, tata cara adat, pesta rakyat dan produk-
produk lokal.
2. Seni Bangunan
Seni bangunan mencakup arsitektur rumah tinggal, rumah peribadatan, dan
monumen.
3. Pagelaran Budaya
Pagelaran budaya mencakup seni musik, seni tari, dan upacara-upacara keagamaan
rakyat.
Sumber Daya Budaya
Sumber daya budaya yang bisa dikembangkan menjadi daya tarik wisata (S.
Feru, 2012) diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Bangunan bersejarah, situs, monumen, museum, galeri seni, situs budaya kuno,
dan sebagainya.
17
b. Seni dan patung kontemporer, arsitektur, tekstil, pusat kerajinan tangan dan seni,
pusat desain, dan sebagainya.
c. Seni pertunjukan, drama, tari-tarian, lagu daerah, teater jalanan, festival, dan acara
khusus lainnya.
d. Peninggalan keagamaan, seperti pura, candi, masjid, situs, dan sejenisnya.
e. Kegiatan dan cara hidup masyarakat lokal, sistem pendidikan, sanggar, teknologi
tradisional, cara kerja, dan sistem kehidupan setempat.
f. Perjalanan ke tempat bersejarah menggunakan alat transportasi unik (berkuda,
dokar, cikar, dan sebagainya).
g. Mencoba kuliner (masakan) setempat, melihat persiapan, cara membuat,
menyajikan, dan menyantapnya merupakan atraksi budaya yang sangat menarik bagi
wisatawan.
Karakteristik Kawasan Pecinan
Karakteristik kawasan Pecinan menurut precedent peneliti pada thesis Khilda
Wildana Nur (2010) yang diambil dari hasil kesimpulan Pratiwo (2010) di Jawa dan
Jackson (1975) di Malaysia dan Asia Tenggara adalah sebagai berikut:
1. Memiliki peran dan kedudukan yang cukup penting dalam sebuah kota.
2. Memiliki pola permukiman dan karakter bangunan yang khas.
3. Pemerintah setempat melakukan tindakan penataan dan peremajaan kawasan
sebagai obyek wisata (urban heritage tourism).
4. Berkonsep jalur pejalan kaki terbuka (open mall, city walk)
5. Terdapat landmark berupa patung, klenteng, pintu gerbang, kuil dan
bangunan arsitektural lainnya.
6. Ukuran luasan kawasan (district) tidak menjadi tolak ukur pembentukan dan
perkembangan kawasan pecinan.
7. Eksistensinya sangat dipengaruhi dari ekspansi eksternal dan proses
pergolakan internal kota setempat, misalnya per-kolonialisme, intervensi
negara lain, kebijakan pemerintahan atau kerajaan, dan lain sebagainya.
Karakteristik Budaya Tionghoa
Kawasan Pecinan merupakan kawasan tempat tinggal mayoritas penduduk Tionghoa
dengan beragam budaya-nya. Budaya Tionghoa di dalam kawasan Pecinan
diwujudkan dalam 2 bentuk yaitu bentuk fisik (tangible) dan non-fisik (intangible).
18
Budaya fisik Tionghoa diwujudkan dalam elemen arsitektural yang terdapat pada
bangunan rumah tinggal dan bangunan peribadatan seperti vihara/klenteng,
sedangkan budaya non-fisik Tionghoa berupa seni tari, seni musik, upacara adat
maupun keagamaan.
1. Arsitektur Tionghoa
Arsitektur Tionghoa yang dibahas pada penelitian ini adalah yang ada di Asia
Tenggara sebelum tahun 1990 menurut David Grant Khol (1984:22) dalam bukunya
“Chinese Architecture in the Straits Settlements and Western Malaya”. Ciri-ciri
bangunan arsitektur Tionghoa adalah sebagai berikut:
Courtyard
Courtyard merupakan ruang terbuka yang berada di dalam rumah tinggal penduduk
Tionghoa, bersifat private dan biasanya berupa kebun atau taman. Rumah-rumah
gaya Tiongkok Utara sering terdapat courtyard yang luas dan beberapa diantaranya
berjumlah lebih dari satu, namun di daerah Tiongkok Selatan, dimana banyak
penduduk Indonesia berasal, courtyard umumnya lebih sempit karena kavling rumah
yang tidak terlalu besar (Khol, 1984:21). Rumah tinggal penduduk Tionghoa di
Indonesia jarang mempunyai courtyard, kalaupun ada, biasanya berfungsi untuk
memasukkan cahaya alami siang hari atau untuk ventilasi saja. Hal ini dibutuhkan
karena karakteristik kavling yang berbentuk memanjang.
Gambar 1. Courtyard Rumah Tradisional Tionghoa Sumber: Perkembangan Bangunan Etnis Tionghoa di Indonesia, Handinoto (2005)
Bentuk Atap yang Khas
Bentuk atap arsitektur Tionghoa sangat khas, namun mempunyai beberapa bentuk
sesuai daerah asalnya. Bentuk atap bangunan rumah tinggal yang paling banyak
terdapat di Indonesia adalah bentuk atap Ying Shan (lihat Gambar 10 kiri). Bentuk
19
atap ini mempunyai struktur rangka atap pelana dengan ujung atap yang melengkung
ke atas di kedua dinding (gable wall), rata hingga bagian atas wuwungan (Shan
Qiang, lihat Gambar 10 kanan).
Gambar 2. Rumah Tinggal Atap Ying Shan (kiri). Tembok Bentuk Gunungan (Shan Qiang)Sumber: Visual Dictionary of Chinese Architecture, 153 (kiri). (Kanan) Hok Tek Bio, Bogor (Penulis, 2013).
Bentuk atap bangunan ibadah seperti klenteng juga mempunyai beberapa ciri khas
diantara lain adanya mutiara api (Huo Zhu) berbentuk bola api (mutiara Buddha)
yang terletak di bagian tengah wuwungan (lihat Gambar 11). Ciri khas lainnya
adalah adanya ornamen naga berjumlah 2 buah yang saling berhadapan seolah-olah
sedang bermain mengejar mutiara api. Arti lambang ini merupakan bentukan
manusia yang mencari inti kehidupan dan mutiara api melambangkan pencapaian
tertinggi di agama Buddha yaitu pencerahan atau pengharapan.
Gambar 3. Mutiara Api Sumber: Kumpulan Arsitektur Tionghoa, 2011
Ciri khas lainnya pada bentuk atap bangunan vihara adalah pada bagian list plank
atap yang berbentuk lengkung lingkaran yang terpasang pada baris pertama tepi,
berfungsi sebagai buangan air hujan. Genteng ini dinamakan Hua Tou Ban Wa.
20
Gambar 4. Hiasan List Plank Hua Tou Bian Wa Sumber: Kumpulan Arsitektur Tionghoa, 2011
Elemen-elemen Struktural yang Terbuka
Penduduk Tionghoa yang ahli dalam kerajinan ragam hias dan konstruksi kayu
ditunjukkan pada ornamen ragam hias yang terdapat pada elemen struktural.
Biasanya terdapat pada elemen balok dan kolom rumah peribadatan dan rumah
tinggal untuk masyarakat menengah ke atas. Elemen struktural penyangga balok atap
disebut balok Dou Gong berupa konstruksi kayu yang berasal dari arsitektur Dinasti
Qing.
Gambar 5. Balok Dou Gong Sumber: Kumpulan Arsitektur Tionghoa, 2011
Oleh karena ornamen yang indah pada pertemuan balok dan kolom, elemen
struktural ini biasanya terbuka tanpa ditutupi plafon untuk memperlihatkan ciri khas
ornamen Tionghoa.
Gambar 6. Struktur Rangka Atap Tionghoa
Sumber: Perkembangan Bangunan Etnis Tionghoa di Indonesia, Handinoto (2005)
21
Penggunaan Warna yang Khas
Warna pada arsitektur Tionghoa mempunya makna yang simbolik yaitu banyak
menggunakan warna merah dan kuning keemasan. Warna merah banyak dipakai
pada dekorasi interior dan umumnya dipakai untuk warna pilar pada bangunan
keagamaan. Merah menyimbolkan api dan darah menyimbolkan kemakmuran dan
keberuntungan pada budaya Tionghoa. Merah juga merupakan simbol kebajikan,
kebenaran dan ketulusan.
Gambar 7. Bangunan Klenteng Pecinan
Sumber: Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara, Arsitektur Cina di Indonesia, Bianda Aulia (2007)
2. Kepercayaan Masyarakat Tionghoa
Masyarakat Tionghoa secara mayoritas memeluk agama Buddha Tri Dharma yaitu
tiga ajaran yang berupa Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme. Tri Dharma
disebut juga ajaran kebenaran dan secara harfiah berarti tiga ajaran kebenaran.
Ajaran Taoisme berasal dari ajaran Lo Cu atau Lao Tse, ajaran Buddhisme berasal
dari Sakyamuni Buddha dan ajaran Konfusianisme berasal dari Kong Hu Cu atau
Konfusius. Klenteng-klenteng di Jakarta pada umumnya merupakan klenteng Tri
Dharma dimana mempunyai altar rupang untuk masing-masing ajaran ini. Ibadah
agama Buddha biasanya dilakukan secara rutin setiap hari minggu. Ibadah dilakukan
dengan beberapa tahap oleh umat dimulai dari anjali mudra yaitu sikap kesepuluh
jari saling menempel dan diletakkan di dada dengan sedikit terbuka pada bagian atas
sebagai lambang teratai atau pencerahan. Anjali mudra dilakukan kepada rupang
Buddha dan sesama umat. Arti posisi anjali mudra adalah menghormati dan
memberi salam.
22
Gambar 8. Posisi Anjali MudraSumber: www.googleimage.com diakses pada 30 Juli 2015
Setelah melakukan anjali mudra, umat dapat melakukan pembersihan diri dengan
sederhana seperti membersihkan tubuh dan pikiran serta melepas topi, sepatu, sendal,
masker dan masuk ke dalam aula atau Dhammasala. Setelah memasuki
Dhammasala, umat dapat melakukan meditasi sendiri sebelum membaca paritta suci
dan mendengarkan ceramah (Dhammadesana).
ICOMOS (1999) menyatakan bahwa terdapat prinsip-prinsip dasar dalam
wisata budaya, yaitu :
1. Wisata domestik dan internasional merupakan suatu alat yang paling penting
dalam pertukaran budaya. Oleh karena menjadi alat yang penting, maka konservasi
budaya harus menyediakan tanggung jawab dan kesempatan bagi masyarakat lokal
dan pengunjung untuk mengalami dan memahami warisan komunitas dan
budayanya.
2. Hubungan antara tempat-tempat historis dan wisata bersifat dinamis serta
melibatkan nilai-nilai yang mempunyai konflik. Hal tersebut harus dapat dikelola
dalam suatu cara yang mendukung generasi saat ini dan akan datang.
3. Perencanaan wisata dan konservasi untuk tempat-tempat warisan budaya harus
dapat menjamin bahwa pengalaman yang didapatkan pengunjung akan berharga,
memuaskan dan menggembirakan.
4. Masyarakat asli dan penduduk di pemukiman harus dilibatkan dalam perencanaan
konservasi dan wisata.
5. Aktivitas wisata dan konservasi harus menguntungkan bagi penduduk asli.
Program wisata budaya harus dapat melindungi dan meningkatkan karakteristik
warisan alam dan budaya.
Berdasarkan teori mengenai wisata budaya di atas, dapat disimpulkan bahwa
kawasan wisata budaya adalah kawasan yang menyediakan budaya sebagai wadah
yang dinikmati pengunjung dalam melakukan kunjungan wisatanya. Wisata budaya
23
harus mampu memberikan pengalaman bagi pengunjung (ICOMOS 1999) agar
pengunjung yang datang dapat menikmati kawasan dengan gembira dan
menyenangkan. Pengalaman budaya harus dapat dinikmati pengunjung saat
melakukan wisata budaya juga didukung oleh timbulnya rasa terhadap ruang (sense
of place). (UNESCO, 2013).
2.2.3 Teori Experiential Landscape
Berdasarkan penjelasan teori wisata budaya, pengunjung yang datang saat
melakukan wisata perlu mendapatkan pengalaman baik sejarah maupun budaya
secara menarik dan gembira (ICOMOS 1999). Oleh karena penjelasan tersebut, maka
pengalaman pengunjung diwujudkan dengan teori pengalaman kawasan atau teori
Experiential Landscape. Teori ini digunakan dengan memperhatikan pengalaman
yang didapat oleh pengunjung dalam sebuah lingkungan kota. Menurut Kevin
Thwaites dan Ian Simkins (2007), elemen-elemen pada pengalaman ruang seseorang
pada sebuah lingkup kota terdiri dari centres atau places, directions atau paths
(keberlanjutan), transition atau changes, areas atau domains (unsur tertutup).
Konsep ini tergolong abstrak dan terbatas jika dihadapkan pada pengalaman manusia
di dalam ruang pada level yang belum sempurna.
Elemen pertama dimulai dari pendapat Thwaites-Simkins mengenai manusia
mempunyai kecenderungan untuk memperluas suatu pusat atau lokasi. Sebuah pusat
atau centre mendapatkan kecenderungan sebagai sesuatu yang khas dan mencirikan
sesuatu jika berada di dalam suatu lingkungan atau kota. Pendapat ini mirip dengan
teori Kevin Lynch (1960) bahwa suatu pusat di dalam kota mempunyai esensi ”here I
am” yang dimiliki oleh manusia.
Pusat-pusat biasanya tersebar jika dilihat dari lingkup kota, namun
sebenarnya mempunyai hubungan satu sama lain. Hubungan ini dijalin oleh sebuah
elemen jalur atau arah (direction). Ruang eksisting mempunyai sebuah arah sebagai
kesadaran bahwa arah itu mempunyai unsur berkelanjutan dan menghubungkan
beberapa pusat (centre) yang ada. Sebuah direction mempunyai karakteristik yang
didapatkan dari persepsi dan event yang terjadi selama perjalanan dan dimengerti
sebagai elemen fungsional yang memfasilitasi pergerakan di dalam sebuah direction.
Esensi dari direction muncul karena adanya urutan dari pengalaman-pengalaman
tertentu, termasuk pengalaman kinetik dan visual yang terhubung satu sama lain dan
akan berganti di sebuah transisi (transition).
24
Thwaites-Simkins mendeskripsikan definisi ruang transisi sebagai elemen-
elemen yang tercipta dari adanya directions yang terhubung dan tergabung satu sama
lain (binding) dan membentuk sense of place yang terpadu. Sebuah ruang transisi
dapat berupa perubahan ruang satu dengan ruang yang lain dan dapat diwujudkan
dengan sebuah gambaran visual seperti gerbang, bukaan, ruang terbuka dengan view
yang baik yang mempengaruhi psikologi manusia. Sebuah ruang transisi harus
mampu menangkap perhatian manusia sehingga perbedaan atmosfer dan ruang dapat
terasa.
Elemen terakhir adalah area atau domain yang dimengerti sebagai sebuah
ruang tertutup yang mempunyai batas dan mempunyai pusat (centre), arah
(direction) dan ruang transisi (transitions) di dalamnya. Sebuah area mempunyai
unsur yang terkurung dan tertutup namun memiliki unsur yang terpadu dan lengkap.
Tabel 1. Konsep desain experiential landscapeSpatial Dimension Experiential Dimension
CentreSebuah lokasi yang memiliki rasa ”here-ness” dan unsur kedekatan dengan manusia
Attachment of significanceSocial imageability: penggunaan fungsi, tujuan dan motivasi, unsur fisik dan arti sosialSocial interaction: komunikasi pada area publik
DirectionSebuah arah yang mempunyai unsur berkelanjutan dan adanya pengalaman yang signifikan dan berkarakter di dalamnya
OrientationPergerakan: pilihan, imajinasi, perhatianView: landmarks, views, sekuens
TransitionSebuah ruang yang merupakan pergantian atmosfer ruang satu dengan ruang lainnya, perubahan mood, suasana dan fungsi
ChangeArah dan level, pintu masuk, pintu keluar, gerbang, perubahan atmosfer dan fungsi
AreaSebuah ruang dengan rasa tertutup karena mempunyai batas yang terpadu dan lengkap.
Neighborhood awarenessPublic & private awareness: private, semi-private, public, semi-publicThematic continuity: ritme, pola, koordinasi dalam tekstur, ruang, bentuk, detail, dsb.
Sumber: Thwaites, Kevin dan Simkins, Ian (2007) Experiential Landscape p.49
2.3 Jurnal Pendukung
Dalam melakukan penelitian revitalisasi Glodok Pancoran, maka peneliti
melakukan studi mengenai penelitian sejenis melalui jurnal-jurnal pendukung yang
terkaji pada Tabel 2 berikut.
25
Tabel 2. Perbandingan Jurnal Pendukung1 2 3 4 5
JUDUL
Pengembangan Kawasan Wisata Budaya Kabupaten Sumenep
Revitalisasi Kawasan Pecinan Sebagai Pusaka Kota (Urban Heritage) Makassar
Inner City Revitalization in Beijing
Revitalization of Borobudur: Heritage Tourism Promotion and Local Community Empowerment in Cultural Industries
Revitalization of Malaysia Old Town: Strategies and Considerations of Urban Fabric Intervention
PENULIS Feru Sukaryono (2012)
Khilda Wildana Nur (2010)
Shrawan Kumar Acharya (2012)
Masanori Nagaoka (2011)
Nur Zulaika Binti Atraii (2013)
TUJUAN PENELITI-AN
Menentukan arahan pengembangan kawasan wisata budaya di Kabupaten Sumenep
Merumuskan panduan revitalisasi kawasan pusat orientasi (nodes) sebagaimana karakteristik kawasan pecinan serta meningkatkan vitalitas kawasan sebagai pusaka kota Makassar
Melindungi kawasan budaya Hutongs dan Siheyuan serta menghidupkan kembali aktivitas kota lama untuk bersaing dengan dunia luar
Mengenalkan budaya di sekitar Borobudur untuk melindungi warisan budaya dan menarik wisatawan asing dan domestik, sekaligus memperkenalkan projek UNESCO di Borobudur
Mempertahankan Kota Tua Malaysia dan menyediakan perlindungan dan memastikan agar area ini tetap menguntungkan
LOKASI PENELITI-AN
Surabaya Makassar Beijing Yogyakarta Malaysia
PER-MASALAH-AN
-Adanya kawasan sejarah dan budaya yang berpotensi menjadi kawasan wisata budaya, namun belum dikembangkan secara maksimal-Menurunnya citra kawasan sejarah dan budaya yang mengurangi makna histories sejarah dan budaya Kabupaten Sumenep
-Pusat orientasi kegiatan yang kurang aktif dalam memenuhi karakterisktik kondisi pecinan-Vitalitas kawasan yang menurun
Kehidupan penduduk sekitar yang buruk dan tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat kondisi lingkungan dan infrastruktur yang tidak memadai
Kondisi Borobudur yang buruk mulai dari bangunan/monumen, relief, manajemen serta interaksi antara turis asing dan penduduk lokal yang timpang
Kawasan budaya di sekitar Kota Tua semakin pudar yang bisa dilihat dari penghancur-an beberapa landmark penting di tempat lain karena tidak dilindungi oleh UU Pemerintah
26
setempat
METODE PENELITI-AN
Penelitian kualitatif dengan metode purposive sampling
Penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan historis
Survei, site visit, wawancara dan diskusi dengan ahli, penelitian deskriptif
Deskriptif, cultural mapping, sinoptik
Studi literatur dan metode deskriptif
HASIL/TEORI
Mendapatkan faktor pengembangan kawasan wisata budaya dengan mempertahankan ragam daya tarik kawasan, peningkatan pelayanan infratstruktur kawasan yang sudah ada, meningkatkan kualitas SDM setempat dan peningkatan kualitas kondisi fisik bangunan bersejarah di dalam kawasan
Menciptakan jaringan jalan dengan sistem Linkage, membentuk aktivitas utama dalam kawasan berupa kegiatan publik (perdagangan/ jasa, wisata, dan kegiatan sosial/budaya), landmark kawasan untuk memberikan kejelasan ruang dan menciptakan sense of place.
Bangunan tradisional seperti hutongs dan siheyuan tetap dipertahankan dengan menciptakan desain courtyard untuk mempertahan-kan gudu fengmao atau karakteristik dari kota masa lampau. Melakukan proses renovasi dan konservasi pada bangunan yang sudah rusak
Melakukan preservasi dan restorasi pada bangunan yang ada seperti semula (sebelum erupsi Merapi), meningkatkan potensi penduduk lokal terhadap kemampuan, pengetahuan sehingga dapat mempertahan-kan keadaan Borobudur dengan baik
Membawa kembali kawasan Kota Tua untuk bisa hidup di kehidupan sekarang dengan 3 tipe revitalisasi yaitu revitalisasi fisik, revitalisasi ekonomi dan revitalisasi sosial. Selain itu, strategi lainnya mengguna-kan teori Konservasi dan Preservasi dari Tiesdell 1996
Sumber: Olahan Pribadi, 2015
Dari keseluruhan jurnal-jurnal pendukung, dapat diambil kesimpulan bahwa
pendekatan konservasi kawasan bersejarah dapat dilakukan dengan upaya revitalisasi
khususnya pendekatan revitalisasi pada intervensi fisik yaitu dengan memperbaiki
elemen-elemen kota dan menciptakan sebuah stimuli kegiatan sehingga dapat
menghidupkan kembali kawasan secara menyeluruh. Desain revitalisasi kawasan
Pecinan dilakukan dengan memperhatikan koridor perdagangan karena perdagangan
di Pecinan merupakan unsur yang kuat yang dapat menarik wisatawan. Selain
koridor perdagangan, stimuli lain yang diperlukan Pecinan adalah ruang terbuka
yang berfungsi sebagai area komunal agar penduduk lokal dapat melakukan aktivitas
kebudayaan di sana. Revitalisasi kawasan juga dilakukan dengan upaya perbaikan
wajah kawasan dengan memperbaiki bangunan yang tua dan terlantar dengan
27
melakukan teknik adaptive re-use dan restorasi agar bangunan yang mempunyai
unsur sejarah yang kuat dengan kawasannya dapat kembali hidup.
2.4 Studi Banding
Dalam memahami tindakan revitalisasi dalam suatu kasus dan teori yang
digunakan, diperlukan suatu studi perbandingan guna mengetahui tata cara dan
tingkat keberhasilan tindakan revitalisasi tersebut pada lokasi-lokasi yang sudah
pernah dilakukan revitalisasi.
2.4.1 Pecinan, Semarang
Kawasan Pecinan di Semarang sebelum direvitalisasi merupakan kawasan
Pecinan yang kumuh dan tidak terawat. Kawasan ini mulai ditinggali penduduknya
akibat tidak mampu bertahan dari sisi ekonomi setempat. Oleh karena masih
banyaknya warisan budaya Pecinan di Jl. Pekojan ini, maka pemerintah setempat
memutuskan untuk melakukan revitalisasi dengan konsep Nodes (simpul). Di
kawasan ini dibangun sebuah pasar yang diberi nama Pasar Semawis yang namanya
diambil dari komunitas lokal Semarang. Pasar ini merupakan pasar yang menjual
makanan khas Tionghoa dan beroperasi selama 24 jam. Setelah pasar ini dibangun,
kawasan Pecinan sekitar semakin maju dan banyak dikunjungi wisatawan.
Gambar 9. Suasana Pasar Semawis Semarang Sumber: www.kotawisataindonesia.com diakses pada 15 April 2015
Selain menjual makanan, Pasar Semawis yang diharapkan menjadi identitas
kota Semarang, juga menjual pernak-pernik khas Tionghoa. Pasar ini menjadi sangat
ramai khususnya menjelang hari raya Imlek dan sering disebut Pasar Imlek Semawis.
Konsep pasar ini diterapkan dengan pedagang setempat yang berjualan di pinggir
jalan dengan meja dan tenda (stand makanan) untuk meletakkan makanannya.
Dengan konsep ini, koridor tercipta di tengah-tengah yang diperuntukkan untuk
pengunjung. Setelah membeli makanannya, pengunjung dapat duduk di meja-kursi
yang tersedia di seberang tenda penjual makanan.
28
Gambar 10. Konsep Perdagangan Makanan di Pasar Semawis Sumber: www.events.goindonesia.com diakses pada 15 April 2015
2.4.2 Far East Square, Singapore
Salah satu proyek revitalisasi yang menggunakan konsep perdagangan
kuliner sebagai magnet kawasan Pecinan adalah revitalisasi Far East Square di
Singapura. Kawasan Far East Square merupakan kawasan Pecinan yang penuh
dengan ruko-ruko tradisional Tionghoa yang berpenampilan buruk akibat sudah
usang dan tidak terawat. Ruko-ruko ini dulu berfungsi sebagai toko-toko namun
sekarang sudah tidak bisa bersaing lagi dengan ekonomi wilayah lainnya. Oleh
karena masih kentalnya budaya Tionghoa di kawasan ini, pemerintah Singapura
memutuskan untuk melakukan tindakan revitalisasi pada akhir tahun 1990-an.
Konsep yang digunakan pada revitalisasi kawasan ini adalah konsep culinary
district. Konsep ini ditujukan pada perdagangan makanan di sepanjang jalan
sehingga terdapat cafe, resto, dan bar. Kawasan ini telah sukses menarik perhatian
wisatawan karena mampu menangkap wisata budaya dan kuliner sekaligus. Apalagi,
pemerintah Singapura juga berhasil mendesain kawasan ini terintegrasi dengan
sistem transportasi publik MRT (mass rapid transit) sehingga pengunjung dapat
dengan mudah menuju tempat ini.
Gambar 11. Far East Square, Singapore
Sumber: www.commons.wikimedia.org diakses pada 15 April 2015
2.4.3 Xin Tian Di, Shanghai, China
Salah satu revitalisasi kawasan Pecinan yang menjadi daya tarik dunia adalah
revitalisasi Xin Tian Di, Shanghai. Revitalisasi ini mendapatkan penghargaan ULI
29
(Urban Land Institute) 2003 Award for Excellence dan 2003 AIA Citation for
Heritage. ULI menjelaskan Xin Tian Di sebagai kawasan yang merangkul sejarahnya
sambil beradaptasi dengan lingkungan modern yang semakin berkembang.
Xin Tian Di terletak di distrik Lu Wan dan berada di area Pecinan Tai Ping
Qiao. Area ini penuh dengan zona perumahan penduduk Tionghoa dan kepadatan ini
semakin tinggi sehingga menyebabkan kualitas lingkungan sekitar memburuk.
Rumah tradisional khas Tionghoa bernama Rumah Li Long banyak menghiasi
sepanjang area Xin Tian Di. Selain itu, kondisi ekonomi penduduk Xin Tian Di
semakin memburuk akibat tidak mampu bersaing dengan perkembangan ekonomi
modern sekitarnya. Dengan melihat kondisi ini, Shanghai Municipal City Planning
Administration akhirnya memutuskan untuk melakukan revitalisasi terhadap kawasan
ini.
Seluruh tanah di Tionghoa dimiliki oleh pemerintah sehingga memudahkan
projek ini. Tidak seperti biasanya, proyek ini diberikan kepada pengembang Hong
Kong Shui On Group yang tetap diawasi oleh pemerintah Tionghoa. Bentuk kerja
sama ini dinilai baik, sebab proyek bisa dilaksanakan dengan lebih fokus dan terarah.
Konsep revitalisasi ini menggunakan konsep phasing strategy yaitu pengembangan
suatu area yang bertahap. Pengembangan yang bertahap ini memfokuskan pada
pengembangan suatu area yang paling cepat dan mampu mempresentasikan wajah
baru kawasan tersebut. Hal ini juga didasari karena Xin Tian Di merupakan area yang
luas sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan seluruh kawasan dalam
waktu bersamaan.
Gambar 12. Keadaan Xin Tian Di Sebelum (kiri) dan Setelah (kanan) RevitalisasiSumber: www.commons.wikimedia.org diakses pada 15 April 2015
Phasing Strategy ini dimulai dengan arah top-down yaitu mulai dari area
konservasi yang tata bangunannya ditujukan untuk dibangun gedung perkantoran
dengan maksimal tinggi 4-5 lantai. Area ini juga merupakan area bersejarah yang
dipenuhi dengan bangunan khas etnis Tionghoa di Singapura. Tujuan awal dari
pengembangan ini adalah dengan mendirikan gedung baru dengan menghancurkan
30
gedung lama yang masih punya sejarah. Pada akhirnya, konsep demolition ini diubah
sejak proyek ini dipegang oleh arsitek Benjamin Wood. Benjamin Wood
mengenalkan konsep revitalisasi dengan teknik adaptive re-use yaitu bentuk
konservasi bangunan yang mengubah fungsi bangunan itu dan tetap mempertahankan
elemen historisnya. Dengan tetap mempertahankan aspek budaya dan sejarah khas
Tionghoa Singapura, dinilai Benjamin akan menarik wisatawan domestik dan dalam
negeri.
Gambar 13. Kawasan yang direvitalisasi (kiri). Setelah direvitalisasi (kanan)
sumber:http://repository.upenn.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1115&context=hp_theses, diakses pada 10 Februari 2015
31
2.5 Kerangka Berpikir
Gambar 14. Kerangka Berpikir Penelitian
Latar BelakangCitra kawasan Glodok Pancoran sebagai pembentuk kota Batavia di abad ke-17 punya nilai sejarah dan
budaya tinggi berupa peninggalan kompleks bangunan heritage, punya potensi tinggi menjadi
kawasan wisata budaya di Jakarta Barat.
Permasalahan1. Menurunnya vitalitas kawasan Glodok
Pancoran akibat kualitas spasial dan fisik kawasan yang tidak terpelihara
2. Kurangnya upaya pemanfaatan potensi wisata budaya pada kawasan bersejarah ini.
Data- Lokasi penelitian, sejarah lokasi- Kondisi eksisting- Jadwal acara budaya dan keagamaan- Proses melakukan kegiatan beragama- Informasi tapak, peta zona fungsi tapak- Landasan hukum
Teknik- Survei dan observasi lapangan- Wawancara, studi literatur
Judul SinopsisRevitalisasi Kawasan Glodok Pancoran Sebagai Kawasan Wisata Budaya di Jakarta Barat
Tujuan Penelitian1. Meningkatkan vitalitas kawasan Glodok
Pancoran dengan memperbaiki kualitas fisik dan spasial kawasan
2. Memaksimalkan upaya peningkatan potensi wisata budaya kawasan agar menjadi kawasan wisata budaya yang menarik di Jakarta Barat
Metode Penelitian1. Tahap Persiapan (permasalahan, tujuan,
ruang lingkup, lokasi penelitian, teori)2. Pengumpulan Data (kepustakaan,
observasi lapangan, wawancara, studi banding)
3. Analisa Data
- Data Primer (foto eksisting, jadwal acara budaya, karakteristik penduduk setempat, jumlah KK yang dipindahkan, pola pergerakan aktivitas budaya)- Data Sekunder (sejarah dan gambaran umum Glodok Pancoran, informasi tapak, peta zonasi, fungsi tapak, besaran tapak, regulasi zona, landasan hukum Glodok Pancoran, teori-teori yang berkaitan)Analisa Data- Koridor, sirkulasi, landmark, ruang terbuka- Penataan kawasan dengan CDTA- Karakter dan jenis kegiatan dan karakter pelaku secara makro dan mikro- tipologi bangunan setempat, penataan ruang dalam bangunan dan kawasan
Analisa (Lingkungan, Manusia dan Bangunan)
Konsep: Revitalisasi kawasan berupa desain ruang terbuka (budaya dan agama), perbaikan koridor perdagangan dan desain kawasan hunian
PERANCANGAN SKEMATIK DESAIN