warta kencana #6 2011

24

Upload: warta-kencana

Post on 08-Mar-2016

239 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Warta Kencana: Media Advokasi Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Jawa Barat, diterbitkan Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat dan Pengurus Daerah Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Barat, terbit setiap dua bulan.

TRANSCRIPT

Page 1: Warta Kencana #6 2011
Page 2: Warta Kencana #6 2011

Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 20112

WARTA KENCANA Media Advokasi Kependudukan dan Pembangunan

Keluarga Jawa Barat diterbitkan BKKBN Jawa Barat untuk keperluan

penyebarluasan informasi dan kajian kependudukan dan keluarga berencana

di Jawa Barat. Warta Kencana hadir setiap dua bulan. Redaksi menerima kiriman artikel, liputan kegiatan, dan

foto kegiatan kependudukan atau keluarga berencana. Redaksi akan

memprioritaskan kiriman dari daerah. Setiap pemuatan akan mendapatkan

bingkisan menarik dari redaksi.

PenasehatKepala BKKBN Jawa Barat

Ir. Siti Fathonah, MPH.

Dewan Redaksi Drs. H. Saprudin Hidayat

Drs. Eli Kusnaeli, M.Pd.Dra. Ida Indrawati

Dra. Tetty SabarniatiDrs. H. Yudi Suryadi

Drs. S. Teguh Santoso Drs. Soeroso Dasar, MBA

Pemimpin RedaksiDrs. S. Teguh Santoso

Wakil Pemimpin RedaksiDrs. Syarifudin

Tim RedaksiArif R. Zaidan, S.Sos.

Bambang Dwi Nugroho, S.Ds.Toni Patoni

Dodo Supriatna

Managing EditorNajip Hendra SP

FotograferChaerul Saleh

Humas BKKBN Jabar

Tata LetakLitera Media Grafika

KontributorAnggota IPKB Jawa BaratHumas BKKBN Jawa Barat

SirkulasiHumas BKKBN Jawa Barat

Alamat RedaksiKantor BKKBN Jawa Barat

Jalan Surapati No. 122 Bandung Telp : (022) 720 7085Fax : (022) 727 3805

Email: [email protected]

PercetakanLitera Media - 081320646821

aftar isid

EditorialStandar Minimal Program KB 3

WawancaraData Berkualitas, Pelayanan Berkualitas 4

Laporan Utama

Semua Bisa Menghitung Kinerja 8

SPM untuk Mengukur Kinerja Pelayanan KB 10

Implementasi UU52/2009 Butuh Puluhan Aturan

Pendukung 14

LensaPesona Pantai Selatan 12

JurnalBKKBN Prioritaskan Galciltas 16

Media Harus Fasilitasi Publik Bicara KB 17

IPKB Dorong BKKBN Jadi Kementerian 18

Buku Soeroso Dasar Setak Ulang 19

WacanaProgram KB dan Pengentasan Kemiskinan 20

Serba SerbiDede Yusuf: Jati Diri Saya Sudah KB 23

Menu Edisi IniTim Peliput Roadshow Pantai Selatan

Warta Kencana I EDISI 4 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER2011

Page 3: Warta Kencana #6 2011

3Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

ditoriale

Standar Minimal Program KB

Tahun 2010 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional telah mengeluarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Keluarga Berencana (KB) dan Keluarga Sejahtera (KS) di Kabupaten dan Kota melalui Peraturan Kepala BKKBN No. 55/HK-010/B5/2010. SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu

pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. SPM merupakan tolok ukur kinerja pemerintah kabupaten dan kota dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

SPM KB dan KS tersebut meliputi tiga jenis pelayanan dasar, yaitu Pelayanan KIE KB-KS, Penyediaan Alat dan Obat Kontrasepsi, dan Penyediaan Data dan Informasi Data Mikro, dengan sembilan indikator, yaitu: 1) Cakupan PUS yang istrinya di bawah usia 20 tahun sebesar 3,5 persen pada tahun 2014; 2) Cakupan PA/PUS 65 persen pada tahun 2014; 3) Cakupan unmet need 5 persen pada tahun 2014; 4) Cakupan anggota BKB yang ber-KB sebesar 70 persen pada tahun 2014; 5) Cakupan PUS anggota UPPKS yang ber-KB sebesar 87 persen pada tahun 2014; 6) Rasio satu PLKB untuk dua desa pada tahun 2014; 7) Rasio satu PPKBD untuk setiap desa atau kelurahan; 8) Cakupan penyediaan alat dan obat kontrasepsi untuk memenuhi permintaan masyarakat sebesar 30 persen per tahun, 9) Cakupan penyediaan informasi data mikro keluarga di setiap desa sebesar 100 persen pada tahun 2014.

Idealnya, SPM inilah yang dijadikan dasar penilaian terhadap kinerja pemerintah kabupaten atau kota sebagai daerah otonom. Pertanyaannya, apa konsekuensinya manakala kabupaten dan kota tidak mampu memenuhi SPM tersebut.

Unsur legislatif seyogyanya berkepentingan untuk memahami SPM karena lembaga inilah yang memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja eksekutif. Masyarakat mestinya didorong untuk mengetahui haknya karena SPM pada hakikatnya adalah kewajiban pemerintah daerah untuk memenuhi hak dasar masyarakatnya. SKPD memiliki peran yang besar dalam menerjemahkan secara operasionbal sehinga membantu bupati dan wali kota dalam memenuhi kewajibanya kepada masyarakat.

Pemerintah berkewajiban memberikan pembinaan, bimbingan, capacity building, serta menyusun Norma Standar Prosedur dan Kriteria sehingga membantu pemerintah daerah dalam mencapai SPM-nya.

Mestinya, pemerintah bisa duduk manis dan masyarakat bisa tidur nyenyak manakala pemerintah daerah mampu memenuhi SPM-nya. Masalahanya adalah seberapa banyak dari 497 kabupaten dan kota yang telah mengetahui SPM-nya? Mari kita lihat sama-sama.(*)

S. Teguh SantosoPemimpin Redaksi

Page 4: Warta Kencana #6 2011

4 Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

Data Berkualitas, Pelayanan Berkualitas

Permasalahan kependudukan dan keluarga berencana (KKB) di Jawa Barat begitu kompleks. Tingkat mobilitas, kawin cerai, dan nikah muda merupakan salah satu

penggalan potret wajah kependudukan Jabar. Kesan itu pula yang ditangkap Ir. Hj. Siti Fathonah MPH, Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Barat, yang sejak empat

bulan lalu mulai bertugas di provinsi paling gemuk di tanah air ini. Bagaimana Fathonah melihat fenomena itu? Berikut wawancara Warta Kencana dengan sosok ibu yang

senantiasa akrab dengan senyuman ini.

awancaraw

Wawancara Khusus dengan Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Barat Ir. Hj. Siti Fathonah, MPH.

Page 5: Warta Kencana #6 2011

5Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

Selama bertugas di sini Anda sudah ke mana saja?

Secara program, saya sudah menjalani rutinitas sejak dilantik di Gedung Sate awal Agustus 2011 lalu. Kegiatan pertama saya waktu itu adalah membuka pelatihan untuk pendidik dan konselor sebaya di Balai Diklat Cirebon. Kalau di luar program saya hanya sesekali jalan-jalan.

Bagaimana kesannya setelah empat bulan di Jawa Barat?

Dulu waktu masih bertugas di Jakarta sebenarnya cukup sering juga ke Bandung. Tetapi, setelah pindah tugas ke Kalimantan Barat mungkin hanya dua kali, itu pun karena ada pertemuan nasional di Bandung. Sebenarnya Bandung tidak jauh berbeda dengan Jakarta: kemacetannya, kepadatan penduduknya, dan fasilitasnya semua hampir sama. Boleh dibilang tidak terlalu mengherankan wilayah kerja ini.

Sebelum ke Jawa Barat kan di Kalbar, bisa sedikit diceritakan?

Kalau dibandingkan dengan Kalimantan Barat, Jabar ya jauh sekali lebih maju. Waktu di Kalbar itu kan luar biasa tantangannya. Dari sisi sarana, misalnya, kualitasnya tidak sebagus kualitas yang ada di Jawa. Kemudian jarak tempuh antarkabupaten, bila di sini cuma ditempuh beberapa jam, di sana bisa ditempuh berhari-hari.

Beberapa titik daerah di Jawa Barat masuk kategori terpencil, menurut Anda?

Saya bilang sebetulnya itu tidak adil, bila ada orang mengatakan Jawa Barat masih punya daerah terpencil. Nyatanya nggak ada tuh daerah yang jarak tempuhnya sampai lebih dari 1x24 jam.

Jadi masih dibilang maju ya bila dibandingkan dengan pulau-pulau lain?

Oh, iya itu kasat mata. Jawa kan pasti sangat maju, semua jalan dapat dilalui, walaupun ada yang dilalui dengan ojek. Di luar Jawa masih terdapat daerah yang bahkan ojek pun tidak bisa. Kadang satu-satunya jalan harus lewat jalur sungai. Kemudian tidak ada kapal yang memadai, kita harus memakai perahu klotok yang isinya hanya 3-4 orang dengan motor tempel atau bahkan cuma dayung. Tapi itulah uniknya medan di Kalbar. Di Jabar kan tidak seperti itu, jadi harus bersyukur hidup di Jabar.

Apa pengalaman menarik selama menjalankan tugas di sana?

Ada satu yang perlu dicatat dan saya kira juga relevan untuk daerah lain yang mengandalkan sungai sebagai sarana transportasi. Di sana saya mengembangkan program di daerah aliran sungai (DAS) Kapuas. Saat itu kami memanfaatkan “Kapal Bandong”, kapal kayu kapasitas sekitar 70 orang. Dengan mesin 125 PK, kita hanya bisa menyusuri Sungai Kapuas dengan kecepatannya sekitar 5-10 km/jam.

Nah, Kapal Bandong itu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lambungnya bisa dipergunakan sebagai media promosi program KB. Kita desain untuk menaruh pesan-pesan tentang keluarga berencana dan kesehatan. Apabila kapal itu berlayar dari Pontianak menuju Kapuas Hulu yang ditempuh sekitar lima atau enam hari, masyarakat di sekitar sungai daerah tepi aliran sungai itu akan melihat semua promosi dan pesan-pesan tentang program KB.

Bagian dalam Kapal Bandong dimodifikasi dengan sekat-sekat sederhana untuk dijadikan ruang pelayanan KB yang dilengkapi dengan “obgyn bed” serta ruang penyuluhan kelompok. Pada saat berlayar, kami membawa tim medis untuk memberi penyuluhan KB dan pelayanan kontrasepsi di atas Kapal Bandong bagi warga tepian sungai yang memang bertempat tinggal jauh dari Puskesmas atau Puskesmas Pembantu (Pustu). Pada saat kegiatan penyuluhan KB dan pelayanan kontrasepsi, kapal merapat di desa-desa yang banyak membutuhkan pelayanan kesehatan dan keluarga berencana.

Bagaimana respons masyarakat?

Tentu masyarakat sangat terbantu dengan kondisi itu. Apalagi akses ke puskesmas dan pustu itu jauh. Biasanya kalau mereka mau ke pustu saja mereka kadang-kadang harus menyebrang sungai, kemudian disambung naik ojek, atau jalan kaki. Dengan datangnya kapal pelayanan kami, mereka sangat senang karena dapat terlayani kebutuhannya. Itu memberikan kepuasan tersendiri bagi kami.

Kira-kira apa yang akan dilakukan Jawa Barat?

Jawa Barat punya ciri yang berbeda. Media luar ruang sudah banyak sekali. Pemanfaatannya juga banyak. Prioritas pertama yang harus dibenahi di Jawa Barat ini adalah masalah data, terutama dalam hal kualitasnya. Kedua, data itu harus tersedia secara up-to-date dan online. Ke depan kita berpikir semua serba IT atau berbasis teknologi informasi. Di Jawa Barat ini tidak ada kata “tidak” atau “masih jauh dari angan-angan” kalau berbicara IT.

Saya lihat sampai ke pelosok pun sinyal di sini pasti ada. Semua provider seluler ada. Jadi, tantangan utamanya adalah mengenai data, khususnya data kependudukan yang didalamnya mencakup data jumlah keluarga dan jumlah Pasangan Usia Subur (PUS), harus dibenahi guna menentukan kebijakan dan perencanaan program Kependudukan dan Keluarga Berencana yang lebih tepat. Data tersebut juga harus diolah dan disajikan secara online, sehingga mudah diakses. Akurasinya juga harus dijaga, serta tersedia setiap saat.

Bagaimana dengan web BKKBN Jabar?

Terus terang sampai saat ini masih belum tertata dengan baik. Tetapi satu hal yang perlu diketahui, bahwa kita mempergunakan go.id. Domain go.id itu kan sangat terbatas, jadi kadang-kadang lambat. Zaman sekarang

awancaraw

Page 6: Warta Kencana #6 2011

6 Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

serba cepat. Jadi kalau lambat, orang malas mengakses, bahkan langsung quit dan pindah ke web yang lain. Tampilan halaman muka Web Jabar juga harus dirancang sehingga menarik pandangan pengakses. Updating informasi juga harus dilakukan secara berkala, bahkan harian. Karena suatu informasi akan bermanfaat jika informasi tersebut disajikan tepat waktu.

Selain data, apa lagi yang menjadi fokus garapan BKKBN ke depan?

Di Jawa Barat ini, programatik dalam arti pemakaian alat kontrasepsi sebetulnya tidak jadi masalah. Adapun mengapa kondom masih rendah pemakaiannya, itu karena kita tidak melakukan satu upaya untuk memperoleh data tentang pemakai kondom. Terus terang kalau kita mau bekerjasama dengan apotek-apotek yang ada di Jawa Barat, nanti kita terkesima betapa sebetulnya banyak sekali pemakai kondom.

Jadi begini, katakanlah kalau ada satu apotek, misalnya apotek A, melakukan penjualan kondom, lalu kita lihat berapa banyak apotekk tersebut menjual kondom dalam satu bulan. Kemudian dengan perkiraan rata-rata orang menggunakan kondom dalam satu bulan, katakanlah enam keping kondom, maka kita tinggal menghitung jumlah pemakai kondom yang datang ke apotek A dalam sebulan adalah sebanyak keping yang dijual selama sebulan dibagi dengan enam. Kalau kita anggap 50 persennya adalah peserta KB yang baru, at least kita tahu berapa banyak peserta KB kondom dari apotek A tersebut. Nah, itu adalah rata-rata prediksi kita bahwa sebetulnya peserta kondom itu banyak, tapi tidak terdata.

Bagaimana penataan itu dilakukan?

Ya, kerjasama. Sebetulnya itu dapat dirintis dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Nanti kita akan kerja sama tentunya, kemudian minta izin bahwa kita akan mendata penjualan kondom di masing-masing apotek. Terus nanti kita kan melakukan perhitungan, kira-kira berapa kita bisa menghitung dari penjualan kondom, berapa yang digunakan oleh peserta KB baru.

Sebetulnya itu bukan sesuatu yang susah untuk dilakukan karena memang data penjualan kondom ini terbuka. Artinya, kita tidak mempergunakan data pribadi siapa nama pembeli kondom. Tetapi kita hanya melihat volume data penjualan per bulan. Itu saya rasa tidak masalah, dan ini dapat dibantu dengan menggunakan formulir yang sangat sederhana.

Memang, kelemahannya kita tidak mempunyai data individu siapa yang sebetulnya membeli kondom. Tetapi kalau dilihat dari pemakaian kondom, kita akan tahu sebetulnya berapa banyak pemakai. Ya, paling tidak ancer-ancer penjualan kondom di setiap apotek di Jawa Barat.

Bagaimana dengan tingginya migrasi ke Jawa Barat?

Itu berarti kita berbicara mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk ini sangat sulit dikontrol. Ketika daerah Jawa Barat ini dijadiakan destinasi atau tujuan orang bekerja yang sangat menjanjikan bagi orang-orang di daerah lain. Sehingga, orang datang ke sini dengan harapan dapat memperoleh pekerjaan. Implikasi dari pendatang yang masuk ke Jawa Barat untuk mencari kerja adalah akan mempercepat pertumbuhan penduduk Jawa Barat, karena rata-rata mereka adalah keluarga-keluarga muda yang masih ingin punya anak.

Hangat dengan Senyuman

awancaraw

Page 7: Warta Kencana #6 2011

7Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

Masalah migrasi adalah kompleks. Contohnya di DKI Jakarta, ketika Pemda mengeluarkan kebijakan bahwa daerah DKI tertutup untuk migran pekerja, maka ternyata itu tidak mudah diterapkan. Tentu saja, karena orang datang dari semua titik masuk ke DKI. Begitu juga Jawa Barat dengan luas wilayah lebih dari DKI, tentu sangat sulit. Ya, paling tidak kita harus punya data akurat.

Kembali ke masalah data ini, kita harus mampu menyajikan data keluarga secara lengkap. Kita bisa melihat berapa sebetulnya penduduk kita setiap tahunnya. BKKBN menyediakan data tentang keluarga, yaitu melalui pendataan keluarga yang dulakukan secara rutin tahunan sehingga diketahui berapa jumlah keluarga prasejahtera (Pra S), sampai KS 3 plus yang ada di masing-masing daerah. Data itu diperbarui setiap tahunnya dengan mutasi data keluarga (MDK).

Bagaimana dengan isu kependudukan yang menjadi tugas baru BKKBN?

Sesuai undang-undang, yang menjadi tugas BKKBN adalah pengendalian kependudukan. Berarti di sana ada terminologi bahwa yang dilakukan adalah upaya pengendalian penduduk dalam arti kuantitas untuk mencapai penduduk tumbuh seimbang, yang dicerminkan dengan angka kelahiran total 2,1 per perempuan.

Apakah ini ada kaitannya dengan konsep people-centered development dalam Undang-undang 52/2009?

Konsep itu sebenarnya mengatur program pembangunan didasarkan pada jumlah penduduk. Misalnya ada satu kabupaten atau kota, sebagai misal Kabupaten Bandung, berapa banyak sih penduduk usia

sekolah (7- 15 tahun), kemudian pemerintah daerah akan menghitung berapa banyak SD dan SMP yang harus disiapkan. Ini menunjukkan bahwa pembangunan bidang pendidikan sudah people-centered development. Artinya setiap pembangunan sudah didasarkan pada jumlah penduduk yang ada. Saat berbicara lansia misalnya, berapa banyak panti jompo yang harus disediakan, berapa banyak asrama yang harus disediakan Dinas Sosial, dan sebagainya.

Kemudian kita merencanakan jumlah kebutuhan pangan. Berapa banyak orang miskin di sini, kemudian berapa kebutuhan pangan yang harus disediakan. Itu namanya people-centered development. Setelah itu baru biayanya mengikuti itu, unitnya mengikuti.

Linear dengan penganggaran?

Kalau saya melihat perbandingan di Jawa Barat, sangat jauh dari kata “memadai”. Kalau jumlah penduduk 43 juta dibandingkan dengan dana Kependudukan dan KB yang hanya Rp 87 miliar, berarti satu orang penduduk di Jawa Barat hanya didukung dengan dana sekitar Rp 2.000,- per tahun. Itu kan luar biasa kecilnya, bagaimana mau membangun SDM yang berkualitas atau bahkan keluarga sejahtera dengan alokasi anggaran seperti itu? Namun kita juga harus menyadari, keuangan negara memang belum mampu menyediakan.

Dari sekian banyak problematika tadi, ada tantangan apa di Jawa Barat?

Di Jawa Barat kita langsung dihadapkan pada ini lho jumlah penduduk yang sudah terlalu besar, bahkan terbanyak di seluruh Indonesia. Sementara kesertaan ber-KB di Jawa Barat masih di bawah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komposisi pemakaian kontrasepsi yang masih didominasi oleh pemakaian pil dan suntik KB akan membuat Jawa Barat sulit menekan laju pertumbuhan penduduknya.

Sisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah kualitas pelayanan KB. Mampukah para petugas kesehatan memberikan pelayanan yang berkualitas? Bagaimana caranya agar kita (pemerintah) mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dengan tenaga-tenaga bidan dan dokternya yang juga benar-benar terlatih dan terampil. Oleh karena itu, perlu adanya pelatihan medis teknis bagi para dokter dan bidan dalam memberikan pelayanan KB, khususnya IUD, implant, MOP dan MOW.

Ngomong-ngomong, selain perempuan pertama di Jawa Barat, Anda juga yang termuda. Apa yang Anda rasakan?

Kalau tidak salah, beberapa puluh tahun lalu pernah juga BKKBN Jawa Barat dikepalai olah perempuan, saya yang kedua. Lalu, kalau dilihat dari daftar seluruh kepala perwakilan BKKBN Provinsi, ya Alhamdulillah paling muda. Tapi selalu mendapat julukan “anak bawang”. Padahal, usia saya ini jelas tidak tergolong muda lagi, hehehe...

awancaraw

Cerita Setiap Saat

Page 8: Warta Kencana #6 2011

8 Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

aporan utamal

Otonomi daerah sempat menjadi mimpi buruk bagi kelangsungan program keluarga berencana (KB) di daerah. Kegamangan makin

menjad-jadi saat organisasi perangkat daerah (OPD) yang menangani KB disapih dari induknya, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang kemudian bertransformasi menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Bak anak ayam kehilangan induk, OPD KB kehilangan orientasi program. Tak hanya itu, PLKB yang selama ini menjadi motor penggerak di lini lapangan menyusut drastis tergerus kebijakan mutasi pegawai.

Beruntung, performa program KB mulai menggeliat selama beberapa tahun terakhir. Rentang waktu yang disebut Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jabar Soeroso Dasar sebagai periode “cacat sejarah” program KB perlahan menunjukkan perbaikan. Komitmen pemerintah daerah terhadap program KB mulai tampak. KB pun berhasil mendapatkan tempat sebagai urusan wajib pemerintah daerah. Muncullah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BPPKB) di kabupaten dan kota, pun di tingkat provinsi.

Tuntaskah urusan kelembagaan “urusan wajib” pemerintah ini? Tentu saja tidak. Ada saja tumpang tindih di sana-sini. Karut-marut penempatan pegawai menambah benang kusut pelayanan KB di daerah.

Tak ada ukuran baku untuk menentukan keberhasilan program KB di suatu daerah. Barangkali itulah salah satu alasan BKKBN untuk mengeluarkan panduan tolok ukur pelayanan melalui Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang KB dan Keluarga Sejahtera yang mulai dirilis 2010 lalu, setahun setelah Undang-undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Apa saja isinya? Laporan utama edisi akan mencoba membedah jeroan panduan ini.

Dalam beberapa kesempatan terpisah, Kepala BKKBN Sugiri Syarief menjelaskan, SPM KB dan PK -atau dalam laporan ini cukup di sebut SPM saja- merupakan tolok ukur kinerja pelayanan KB dan keluarga sejahtera yang diselenggarakan pemerintah daerah. Pelayanan yang dimaksudkan dalam SPM ini ini meliputi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) KB, penyediaan obat dan alat kontrasepsi, dan penyediaan informasi data mikro.

“SPM ini merupakan pelayanan dasar kepada masyarakat. Hal ini mencerminkan fungsi pemerintah dalam memberikan dan mengurus keperluan kebutuhan dasar masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sesuai namanya, SPM merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara,” terang Sugiri.

Lebih jauh Sugiri menjelaskan, SPM memiliki tiga

SPM untuk Mengukur Kinerja Pelayanan KB

XXXXX XXXX XXXX XXX XXXXXXXXXXXXPelayanan di Sebuah Puskesmas Pantai Selatan

Page 9: Warta Kencana #6 2011

9Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

aporan utamal

jenis layanan dasar dengan sembilan indikator kinerja di dalamnya. Pelayanan KIE memiliki tujuh indikator, penyediaan alat dan obat kontrasepsi satu indikator, dan satu indikator penyediaan informasi data mikro. Seluruh indikator tersebut ditargetkan tuntas pada 2014 mendatang.

Indikator pertama pelayanan KIE meliputi cakupan pasangan usia subur (PUS) yang istrinya di bawah usia 20 tahun sebesar 3,5 persen. Dari seluruh PUS yang ada, indikator kedua menargetkan 65 persen di antaranya menjadi peserta KB aktif. Sementara PUS yang tidak terlayani (unmet need) ditargetkan tersisa lima persen.

Indikator juga nenetapkan 70 persen cakupan Bina Keluarga Balita (BKB) menjadi peserta KB aktif. Sementara 87 persen cakupan PUS peserta KB ditargetkan menjadi anggota Unit Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Untuk mendukung kinerja tersebut, rasio penyuluh KB atau petugas lapangan KB terhadap desa atau kelurahan alah 1:2. Artinya, satu penyuluh atau PLKB mengurusi dua desa atau kelurahan. Mereka diharapkan bisa dibantu masing-masing seorang petugas Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD) untuk setiap desa.

“Berikutnya untuk penyediaan alat dan obat kontrasepsi ditetapkan BKKBN mampu memenuhi permintaan masyarakat sebesar 30 persen. Sisanya dilakukan oleh swasta. Sementara penyediaan informasi data mikro diharapkan bisa dilayani secara menyeluruh atau 100 persen,” papar Sugiri.

Ditemui terpisah, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Siti Fathonah menegaskan, penyediaan informasi merupakan prasyarat utama untuk memberikan pelayanan KB berkualitas kepada masyarakat. Dia juga menyesalkan kurang maksimalnya penggarakan website resmi BKKBN Jawa Barat. Karena itu, Fathonah yang sempat berjibaku memimpin pelayanan KB di Kalimantan Barat ini menargetkan segera melakukan revitalisasi website BKKBN Jabar.

“Prioritas pertama yang harus dibenahi di Jawa Barat ini adalah masalah data, terutama dalam hal kualitasnya. Kedua, data itu harus tersedia secara up-to-date dan online. Ke depan kita berpikir semua serba IT atau berbasis teknologi informasi. Di Jawa Barat ini tidak ada kata ‘tidak’ atau ‘masih jauh dari angan-angan’ kalau berbicara IT,” tandas Fathonah.

Ke depan, Fathonah menargetkan seluruh data mikro bisa disajikan secara online. Dia juga berjanji untuk menjaga akurasi data yang disajikan tersebut. Untuk mendukung kinerjanya tersebut, Fathonah mewacanakan penggunakan domain dot com untuk mem-backup web yang selama menggunakan go.id.

“Domain go.id itu kan sangat terbatas, jadi kadang-kadang lambat. Zaman sekarang serba cepat. Jadi kalau lambat, orang malas mengakses, bahkan langsung quit dan pindah ke web yang lain. Tampilan halaman muka Web Jabar juga harus dirancang sehingga menarik

pandangan pengakses. Updating informasi juga harus dilakukan secara berkala, bahkan harian. Karena suatu informasi akan bermanfaat jika informasi tersebut disajikan tepat waktu,” tambah Fathonah.

Di bagian lain, Sugiri Syarif menjelaskan pembagian tugas antara pemerintah daerah dan pusat dalam memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Bila sebelumnya KB menjadi “monopoli” BKKBN, kini sebagian besar tugas itu diserahkan kepada pemerintah daerah. Wajar bila kemudian SPM KB dan KS mengatur pelaksanaan di tingkat kabupaten dan kota. Meski begitu, pusat tetap mendapat kewenangan secara proporsional.

“SPM KB dan KR ini menjadi tanggung jawab bupati dan wali kota di daerah yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan satuan kerja perangkat daerah (SPKD) yang bersangkutan. SPM juga menjadi acuan dalam penyusunan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Para kepala daerah ini melaporkan pelaksanaan SPM sesuai pedoman yang telah ditentukan,” jelas Sugiri.

Lalu, di mana peran BKKBN? Setidaknya terdapat tiga hal yang dilakukan BKKBN sebagai representasi pemerintah pusat. Pertama, melakukan monitoring dan evaluasi. Kedua, pengembangan kapasitas daerah melalui fasilitasi petunjuk teknis, bimbingan teknis, dan pemberian orientasi dan pelatihan. Ketiga, pendanaan program yang berkaitan dengan penetapan kebijakan, pembinaan dan fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan, dan fasilitasi.

“Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM digunakan sebagai masukan bagi pengembangan kapasitas pemerintah daerah. Tentu, fasilitasi pengembangan kapasitas daerah sudah memperhitungkan kemampuan daerah. Maklum, tidak semua daerah atau kepala daerah memiliki kemampuan yang sama dalam melaksanakan SPM,” pungkas Sugiri.

Ditemui di sela pertemuan konsolidasi program KB di Lembang beberapa waktu lalu, Kepala Bidang Advokasi, Penggerakan, dan Informasi BKKBN Jawa Barat Teguh Santoso menegaskan, SPM merupakan prasyarat minimal untuk menjamin pemerataan pelayanan. Dengan demikian, beberapa daerah yang memiliki kemampuan bisa mengembangkan pelayanan lebih. Dengan adanya SPM ini, imbuh Teguh, setiap warga negara bisa mendapatkan pelayanan secara memadai dari pemerintah daerah.

“Seluruh indikator diharapkan tuntas 100 persen pada 2014. Dengan acuan tersebut, pemerintah daerah bisa mem-break down untuk setiap tahunnya. Jadi, tidak serta merta dilakukan menjelang 2014. Pemerintah pusat memberikan fasilitasi dengan cara menyediakan petunjuk teknis. Namun bila pemerintah daerah sudah memiliki acuan sendiri, tentu itu tidak masalah. Fokus kita pada pencapaian indikator pelayanan,” terang Teguh.([email protected])

Page 10: Warta Kencana #6 2011

10 Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

aporan utamal

Ketika indikator telah ditentukan, dan hasilnya sudah dipatok, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara menghitung pencapaian kinerja? Hal ini penting

untuk mengukur capaian kinerja secara mandiri, tak lagi semata-mata tergantung pada penilaian pemerintah pusat. Nah, pertanyaan penting seputar pengukuran itu dijelaskan secara rinci dalam lampiran kedua Peraturan Kepala BKKBN Nomor 55/HK-010/B5/2010 tentang Standar Pelayanan Mimimal Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera (SPM KB dan PK).

Lebih dari sekadar panduan penghitungan pencapaian kinerja, petunjuk teknis SPM KB dan PK menguraikan setiap indikator, mulai pengertian, definisi operasional, cara perhitungan, sumber data, rujukan, perhitungan target, langkah-langkah kegiatan, eksekutor program, hingga penangung jawab kegiatan. Uraian terperinci ini memudahkan siapa saja untuk memahami, termasuk di

dalamnya melakukan penghitungan, SPM di daerah. Bagi SKPD yang latar belakang pegawainya beragam, petunjuk teknis (Juknis) ini bisa menjadi panduan praktis.

Untuk mengukur indikator pertama tentang cakupan pasangan usia subur (PUS) yang istrinya di bawah usia 20 tahun misalnya, juknis memulai dengan penjelaskan pengertian PUS itu sendiri. Mengacu kepada juknis tersebut, PUS didefinisikan sebagai pasangan suami istri yang istrinya berada pada usia antara 15 - 49 tahun. PUS dibagi menjadi tiga kelompok, yakni di bawah usia 20 tahun, antara 20 – 35 tahun, dan usia diatas 35 tahun.

Dengan demikian, PUS yang istrinya di bawah usia 20 tahun adalah suatu keadaan pasangan suami istri yang istrinya masih di bawah usia 20 tahun yang dapat menyebabkan risiko tinggi bagi seorang ibu yang melahirkan dan anak yang dilahirkan. Berdasarkan pertimbangan fisik dan mental, usia terbaik melahirkan

Semua Bisa Menghitung Kinerja

Pelayanan di Tenda Lapangan

Page 11: Warta Kencana #6 2011

11Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

aporan utamal

adalah antara 20 – 35 tahun, sehingga sangat dianjurkan bagi setiap wanita dapat menikah diatas 20 tahun.

Secara operasional, cakupan PUS yang usia istrinya di bawah 20 tahun adalah proporsi PUS yang istrinya di bawah usia 20 tahun dibandingkan dengan seluruh PUS yang ada dalam suatu wilayah. Sebuah daerah dianggap berhasil jika proporsi PUS yang usia istrinya di bawah 20 tahun semakin menurun. Bila hasilnya di bawah 3,5 persen berarti daerah tersebut telah berhasil dalam menyelenggarakan program pendewasaan usia perkawinan.

Bila di suatu daerah cakupan PUS yang istrinya di bawah usia 20 tahun pada akhir tahun 2014 mencapai target 3,5 persen, maka daerah tersebut telah mencapai nilai 100. Jika suatu daerah cakupan PUS yang usia istrinya di bawah 20 tahun berjumlah 450 dari 10.000 PUS atau 4,5 persen, maka pencapaian daerah tersebut adalah 3,5 persen dibagi 4,5 persen dikali 100 sama dengan 77,8. Sebaliknya, jika suatu daerah cakupan PUS yang usia istrinya di bawah 20 tahun berjumlah 200 dari 10.000 PUS atau 2 persen maka pencapaian daerah tersebut adalah 3,5 persen dibagi 2 persen dikali 100 sama dengan 175, artinya program pendewasaan usia perkawinan di wilayah tersebut telah melampau target.

Indikator penyediaan alat dan obat kon trasepsi juga bisa dihitung dengan merujuk pada juknis SPM. Indikator ini didefisinikan sebagai penyediaan yang di dalamnya meliputi pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran alat dan obat kontrasepsi untuk memenuhi permintaan masyarakat. Hal ini merupakan upaya penyediaan oleh Pemerintah Pusat (BKKBN) sebesar 30 persen untuk keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I, kekurangannya dipenuhi oleh pelayanan swasta sekitar 40 persen dan sekitar 30 persen oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Provinsi.

Secara operasional, indikator ini didefinisikan sebagai upaya penyediaan kebutuhan alat dan obat kontrasepsi yang meliputi tiga kegiatan pokok. Pertama, pengadaan 30 persen oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten/

Kota, (b) Penyimpanannya harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kedua, penyaluran ke tempat-tempat pelayanan menggunakan mekanisme yang telah ditetapkan di masing-masing kabupaten dan kota. Ketiga, pencatatan dan pelaporan alat dan obat kontrasepsi dilaksanakan di setiap tingkatan. Upaya tersebut untuk mewujudkan Jaminan Ketersedian Kontrasepsi (JKK) di kabupaten dan kota dengan pemenuhan prinsip tepat waktu, tepat produk, tepat jumlah, tepat sasaran, tepat harga, dan tepat tempat.

Pencapaian indikator ini bisa dihitung dengan melihat kemampuan pemerintah daerah memenuhi beban penyediaan sebanyak 30 persen. Pemerintah pusat untuk KPS dan KS-I sebesar 30 persen dari kebutuhan kabupaten dan kota, sisanya diperkirakan dipenuhi dari swasta sekitar 40 persen. Sehingga beban pemerintah daerah

diperkirakan sebesar 30 persen dari seluruh kebutuhan. Apabila digunakan rumus adalah 100% - 30% - 40% = 30%. Bila angka 30 persen terpenuhi, maka pemerintah daerah dianggap sudah melaksanakan SPM indikator penyediaan alat dan obat kontrasepsi sebesar 100 persen. Panduan penghitungan dan contoh-contohnya bisa dipelajari dalam lampiran juknis SPM. ([email protected])

Lebih dari sekadar panduan penghitungan pencapaian kinerja, petunjuk teknis SPM KB dan PK menguraikan

setiap indikator, mulai pengertian, definisi operasional, cara perhitungan, sumber data, rujukan, perhitungan target, langkah-langkah kegiatan, eksekutor program, hingga

penangung jawab kegiatan.

“ “Pendataan Keluarga Peserta KB

Page 12: Warta Kencana #6 2011

12 Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

Penyerahan Bantuan

Bersama Warga

Dinamika Perjalanan Edukasi Kader

Akrab Melayani

Bicara dari Hati ke Hati

Pelayanan Darurat

ensal

Page 13: Warta Kencana #6 2011

13Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

Pesona Pantai Selatan

Menikmati Pantai

Berbagi Pengalaman

Kerjasama Pemangku Kepentingan

Dialog InteraktifSambutan Hangat

Santai Sejenak

ensal

Page 14: Warta Kencana #6 2011

14 Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

urnalj

Undang-undanga Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sudah diundangkan

sejak dua tahun lalu. Cuma saja, peraturan pendukung pelaksanaan UU belum juga hadir. Akibatnya, pelaksanaan program terhambat di sana-sini. Padahal, seperangkat aturan pendukung tersebut sejatinya sudah ada selambatnya satu tahun setelah UU keluar.

Apa saja peraturan yang seharusnya hadir sebagai acuan pelaksanaan itu? Merujuk pada substansi UU, peraturan perundangan itu meliputi peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (Perpres), peraturan menteri (Permen) atau peraturan kepala Lembaga Pemerintahan Nonkementerian, peraturan daerah (Perda) provinsi, dan Perda kabupaten atau kota. Dari sederet perturan yang disyaratkan, sampai saat ini baru terbit satu Perpres Nomor 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Perpres tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala BKKBN Nomor 72, 82, dan 92.

Ditemui di sela pertemuan Evaluasi dan Konsolidasi Pengelola Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) Jawa Barat di Lembang beberapa waktu lalu, Kepala Bagian Pengembangan Manajemen Kinerja Biro Perencanaan BKKBN Virginia Anggraeni mengungkapkan, UU 52/2009

Implementasi UU52/2009

Butuh Puluhan Aturan

Pendukung

XXXXX XXXX XXXX XXX XXXXXXXXXXXXDuta Mahasiswa Bersama Wali Kota Tasikmalaya

aporan utamal

Page 15: Warta Kencana #6 2011

15Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

secara tegas memberi perintah kepada pemerintah daerah untuk mengambil peran yang strategis dalam program KKB. Salah satu poin penting dalam perintah tersebut antara lain pemerintah daerah membentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) yang ikut bertanggung jawab bersama-sama dengan pemerintah pusat dalam program kependudukan dan pembangunan keluarga.

“Fakta di lapangan menunjukkan meskipun telah ada UU No 52/2009, hanya sedikit pemda yang telah mengimplementasikan undang-undang tersebut,” kata Virginia.

Virginia menjelaskan, setidaknya terdapat 11 PP, dua Perpres, dan tiga Perka yang harus dibuat di tingkat nasional. Saat ini, rancangan PP mengenai kebijakan dan program jangka menengah pengelolaan perkem bangan penduduk dan pembangunan keluarga masih berada dalam tahap koordinasi BKKBN dan Bappenas. Enam rancangan PP masih dalam proses di Kementerian Dalam Negeri, meliputi tata cara penetapan pengendalian kuantitas pendu-duk; tata cara pengumpulan data dan proyeksi kependudukan tentang angka kematian; pengarahan mobilitas penduduk; tata cara pengumpulan data, analisis, mobilitas dan persebaran penduduk; pengembangan kualitas penduduk; dan kriteria penduduk miskin dan tata cara perlindungannya.

Rancangan PP lainnya tentang pedoman pelaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, kebijakan keluarga berencana nasional, dan penyelenggaraan sistem informasi kependudukan dan keluarga masih dalam penggodokkan BKKBN. Sementara peraturan dalam bentuk Perpres tentang pedoman perencanaan kependudukan jangka menengah dan/atau jangka panjang pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota telah dibentuk kelompok kerja nasional (Pokjanas) penyusunan grand design kependudukan.

“Dalam bentuk permen atau perka terdiri atas akses, kualitas, informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan alat kontrasepsi. Ini menjadi tanggung jawab Menteri Kesehatan. Ada lagi tentang tata cara penggunaan alat, obat, dan cara kontrasepsi yang juga menjadi tanggung jawab Menteri Kesehatan. Permen atau perka tentang kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan

keluarga menjadi tanggung jawab kepala BKKBN,” ungkap Virginia.

Di tingkat daerah, beberapa peraturan yang harus dibuat terdiri atas lima perda provinsi dan lima perda kabupaten atau kota. Dalam bentuk Perda provinsi, tentang kebijakan dan program jangka menengah pengelolaan perkembangan penduduk dan pembangunan keluarga sudah terintegrasi dalam Perda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi. Pun dengan kebijakan dan program jangka panjang, sudah terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi. Kedua hal tersebut juga diturunkan dalam bentuk Perda kabupaten/kota tentang RPJMD dan RPJPD kabupaten/kota.

Sementara itu, perda tentang pedoman pelaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan skala provinsi dapat dipecah ke dalam beberapa perda. Sama halnya dengan skala provinsi, dalam skala kab/kota juga dapat dipecah ke dalam beberapa perda. Sedangkan perda tentang pembiayaan perkembangan penduduk dan pembangunan keluarga sudah menjadi isi dari Perda APBD Provinsi.

“Hal tersebut juga berlaku di kab/kota dengan menjadikannya sebagai isi dari Perda APBD kab/kota. Selanjutnya, perda tentang tugas, fungsi, dan susunan organisasi BKKBD provinsi dapat menjadi bagian dari Perda tentang Organisasi Tata Kerja (OTK). Juga dengan BKKBD kab/kota, dapat menjadi bagian dari Perda tentang OTK,” pungkas Virginia. ([email protected])

Draft Struktur Organisasi BKKBD Kabupaten/Kota

aporan utamal

Page 16: Warta Kencana #6 2011

16 Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

urnalj

Program keluarga berencana (KB) di daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan (Galciltas) dihadapkan pada sejumlah masalah kompleks. Faktanya, pasangan

subur di daerah galciltas memiliki jumlah anak lebih banyak ketimbang di daerah lain. Di sisi lain, tingkat unmet need alias mereka yang ingin menjalankan program KB tetapi tidak terlayani tergolong cukup tinggi. Kondisi itulah yang mendorong Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) kini fokus membidik kawasan galciltas.

“Kedengarannya sepele, namun kerap menjadi ancaman serius di banyak daerah, bahkan juga di banyak negara. Itulah problem kependudukan di daerah galciltas yang memiliki tingkat kompleksitas tinggi dan tak mudah dalam menemukan pemecahannya,” kata Kepala BKKBN Sugiri Syarief dalam portal resmi bkkbn.go.id.

Saat ini, papar Sugiri, tingkat unmet need Indonesia adalah 9,1 persen dari jumlah pasangan subur yang terpantau saat ini sekitar 50 juta jiwa lebih. Angka ini meningkat sejak tahun 2007. Pada 2003 lalu, unmet need hanya 8,1 persen. Terbatasnya akses informasi dan pelayanan KB disinyalir menjadi faktor penyebab utama tingginya angka tak terlayani tersebut.

“Kita ketahui bahwa akses pelayanan ke daerah terpencil sulit dijangkau. Meski demikian, BKKBN terus memberikan perhatian khusus terhadap wilayah ini walaupun harus menelan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, kebijakan BKKBN sejak tahun belakangan ini meningkatkan akses layanan KB melalui pengembangan jaringan pelayanan kesehatan reproduksi terpadu, termasuk pelayanan

kesehatan reproduksi remaja dan pelayanan KB berkualitas. Upaya penggarapannya pun diarahkan pada proses penurunan angka unmet need KB dengan memberikan perhatian khusus pada daerah miskin dan galcitas, termasuk wilayah pulau-pulau kecil terluar (outer island),” terang Sugiri.

Menyadari kelemahannya, BKKBN getol menjalin kerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), TNI-Polri, PT Pelni, dan sejumlah institusi lainnya yang dilakukan secara terpadu. Dalam hal ini, para pihak tadi diajak terlibat dalam pelayanan kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti IUD, implant, MOP, dan MOW. Selain itu, revitalisasi Program KB juga dilakukan dengan meningkatkan akses layanan KB melalui pengembangan jaringan pelayanan kesehatan reproduksi terpadu, termasuk pelayanan kesehatan reproduksi remaja dan pelayanan KB berkualitas.

Selama ini, imbuh mantan Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi ini, masyarakat di perbatasan tidak hanya kesulitan terhadap akses pelayanan KB, melainkan akses terhadap sarana prasarana, pendidikan, pelayanan dan fasilitas umum pun sangat terbatas.

“Kita berharap pemerintah daerah bisa menjadikan Program KB sebagai prioritas dan mendukung pusat-pusat pelayan khusus yang digarap pula dengan khusus oleh BKKBN. Adapun penggarapan KB sasaran khusus ini di antaranya diarahkan ke Provinsi Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Barat, dan Aceh,” pungkas Sugiri. (NJP/ BKKBN.GO.ID)

Kunjungan Kerja DPR RI ke Garut Selatan

BKKBN Prioritaskan Galciltas

Page 17: Warta Kencana #6 2011

17Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

urnalj

Media harus berperan aktif dalam mengadvokasi program kependudukan dan keluarga berencana (KKB). Begitu kata Kepala Perwakilan Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Siti Fathonah saat bertemu sejumlah jurnalis anggota Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) se-Jawa Barat di kantornya beberapa waktu lalu. Siti Fathonah juga sempat menyentil jurnalis yang dianggapnya lebih banyak memberitakan kegiatan seremonial BKKBN.

“Kalau saya berbicara KB itu sudah biasa. Memang kewajiban saya di situ. Saya sendiri lebih mengepresiasi teman-teman media yang menyajikan pemberitaan KB dari narasumber pihak lain. Media harus memberikan ruang seluas-luasnya kepada publik untuk berbicara program KB,” tegas Siti Fathonah.

Perempuan yang sempat dua tahun menjadi Kepala BKKBN Kalimantan Barat ini menegaskan, media harus berperan menyebarluaskan substansi program dan pencerahan kepada masyarakat. Di sisi lain, media juga mengawasi dan menjalankan fungsi kontrol pelaksanaan progam KB di daerah. Jangan sampai, kata dia, muncul penyimpangan implementasi program akibat lemahnya pengawasan.

Siti menegaskan, inti advokasi adalah bagaimana orang memikirkan, berbicara, dan bertindak tentang KB. Semakin banyak stake holder yang terlibat, semakin tinggi keberhasilan advokasi. Dan, media massa merupakan jembatan penghubung antarpemangku kepentingan tersebut. Dengan begitu, KKB bukan melulu urusan BKKBN.

“Saya berharap yang berbicara KB adalah kader PKK, peserta KB, DPRD, hingga gubernur. Jangan hanya kegiatan seremonial seperti pencanangan atau kunjungan pejabat yang menjadi topik berita di media. Yang bukan seremonial itu justru yang menggugah pembaca. Media sejatinya menyajikan apa yang dilakukan masyarakat, pejabat, pemerintah, dan semua pihak yang terlibat dalam program KB,” tandas Siti.

Di bagian lain, Fathonah berharap IPKB Jawa Barat lebih solid dalam menjalankan roda organisasi. Sebagai mitra strategis, Siti berharap IPKB mampu berperan sebagai lembaga secara utuh. Salah satunya dengan terlibat aktif dalam sebuah program, mulai perencanaan hingga evaluasi.

“IPKB punya logo. Nah, lembaganya yang harus lebih ditonjolkan. Mari kita bekerja sama, saya siap memfasilitasi kreativitas teman-teman IPKB. Mari kita rumuskan program apa saya yang bisa di-share dengan IPKB. Saya terbuka untuk berdiskusi tentang banyak hal, jangan terbatasi oleh birokrasi yang memang terkesan kaku,” ujarnya penuh semangat.

Tentu, anggota IPKB juga dituntut untuk terus meningkatkan kapasitas diri. Siti mengaku sedih bila anggota IPKB masih melakukan kesalahan-kesalahan elementer dalam penulisan berita. Dia mencontohkan, suatu waktu dia membaca sebuah berita yang di dalamnya memuat total fertility rate (TFR) sebesar 2,4 persen. “Padahal, TFR tidak pernah dinyatakan dalam persen. Angka 2,4 berarti rata-rata punya anak adalah 2,4 orang per keluarga,” ujarnya diakhiri senyum simpul.(NJP)

Media Harus Fasilitasi Publik Bicara KBPertemuan Konsolidasi IPKB Jawa Barat

Page 18: Warta Kencana #6 2011

18 Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

urnalj

Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) secara tegas mendesak pemerintah untuk menjadikan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN) sebagai lembaga setingkat kementerian dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Tujuannya agar BKKBN lebih berdaya dalam pengendalian pertumbuhan penduduk melalui program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) di Indonesia.

Desakan tersebut tertuang dalam rekomendasi hasil rapat kerja nasional (Rakernas) IPKB Pusat yang berlangsung di Batam, Kepulauan Riau, pada 8-11 Desember 2011. Dalam acara tersebut, Jawa Barat diwakili Ketua IPKB Jabar Soeroso Dasar dan Ketua IPKB Kabupaten Bekasi Ahmad Safariel yang berangkat dengan biaya sendiri. Mereka turut didampingi Kepala Sub Bidang Advokasi Syarifudin dan Kepala Humas dan Tata Usaha Yani Turyani.

Selain transformasi kelembagaan, IPKB juga mendesak segera dilakukan revisi terhadap sejumlah peraturan perundangan yang tidak lagi sejalan dengan semangat Undang-undang Nomor 52 tahun

2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Soeroso Dasar yang pada Rakernas tersebut didaulat membacakan rekomendasi tersebut mengungkapkan salah satu peraturan yang harus direvisi adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 2007 dan PP Nomor 41 tahun 2007 agar sesuai dengan semangat baru KKB.

“Pada pasal 7 PP No 38 tahun 2007, Bidang Keluarga Berencana (KB) dan Keluarga Sejahtera (KS) diusulkan agar diubah menjadi Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. Sedangkan PP No 41 tahun 2007 pasal 22 ayat 5 huruf i yang menyatakan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan KB sebagai satu rumpun diusulkan agar menjadi rumpun yang berdiri sendiri, yaitu Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD),” ujar Soeroso saat ditemui sepulang Rakernas belum lama ini.

Soeroso menegaskan, pelaksanaan KKB di tanah air tidak akan berjalan sesuai harapan jika tidak didukung oleh perundang-undangan. Karena itu, IPKB meminta ketegasan pusat untuk segera merevisi peraturan itu. “Saya yakin pemerintah daerah tingkat provinsi dan

IPKB Dorong BKKBN Jadi Kementerian

Kunjungan IPKB Pusat

Page 19: Warta Kencana #6 2011

19Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

kabupaten atau kota telah menunggu payung hukum pelaksanaan lembaga kependudukan daerah itu,” ungkap dosen Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran yang menulis buku KB Mati Dikubur Berdiri tersebut.

Rekomendasi lainnya berisi desakan agar gubernur, bupati/wali kota, dan pimpinan DPRD memberikan perhatian, komitmen, dan dukungan terhadap pembentukan BKKBD di masing-masing di provinsi dan kabupaten atau kota. Bagi IPKB, UU No 52/2009 sudah secara tegas memberi perintah kepada pemerintah daerah untuk mengambil peran yang strategis dalam program kependudukan dan keluarga berencana (KKB). Karena itu, tidak ada alasan untuk menunda-nunda pembentukan BKKBD.

Menanggapi hal tersebut, Kepala BKKBN Sugiri

Syarief mengajak IPKB bersama-sama melakukan advokasi pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota untuk membentuk BKKBD. Sugiri yakin gerakan bersama antarmitra strategis BKKBN akan memberikan dampak lebih besar ketimbang langkah solo lembaga yang dipimpinnya.

Di bagian lain, Soeroso Dasar menjelaskan, selain membahas agenda kerjas 2012, Rakernas IPKB 2011 antara lain diisi dengan seminar bertema “Menggagas Peraturan Daerah tentang Kelembagaan Kependudukan dan Keluarga Berencana”. Seminar meghadirkan penyaji anggota Komisi IX DPR RI, Sekretaris Utama BKKBN, Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah, dan Kepala Bappeda Provinsi Kepulauan Riau.([email protected])

Buku Soeroso Dasar Cetak Ulang

Advokasi dan KIE BKKBN, dalam testimoni tertulisnya.

Mantan Kepala BKKBN Banten ini menjelaskan, kependudukan dan KB merupakan salah satu program strategis bagi pembangunan nasional. Pihaknya bersyukur perhatian terhadap KKB mulai meningkat kembali setelah sebelumnya sempat terpinggirkan di era reformasi. Baginya, geliat tersebut tidak lepas dari advokasi berbagai kalangan, terutama IPKB sebagai mitra strategis

BKKBN. Arti penting dukungan tersebut makin bermakna tatkala diwujudkan melalui sebuah buku.

“Kami meyakini bahwa buku merupakan media strategis untuk mengkomunikasikan ide, gagasan, sekaligus refleksi tentang KB kepada masyarakat. Melalui buku ini kita bisa membaca realitas pelaksanaan progam KB di daerah yang begitu dinamis. Sebagai bunga rampai yang berasal dari artikel penulisnya di sejumlah media cetak, buku ini mampu menyajikan narasi program KB dari waktu ke waktu. Buku ini juga mengajak kita berdialog dengan sejarah program KB selama satu dekade ke belakang,” papar Paulina.

Ditemui terpisah, Soeroso Dasar mengaku sangat bangga buah pemikirannya mendapat apresiasi positif dari pemerintah pusat. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad) ini berharap hasil refleksi dan gagasannya tersebut bisa memberi perpsektif baru tentang pentingnya program KB di masyarakat. Lebih dari itu, Soeroso berharap pemikirannya bisa menjadi masukan bagi setiap pengambilan kebijakan tentang KKB di daerah lain.([email protected])

Buku KB Mati Dukubur Berdiri yang ditulis Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana

(IPKB) Jawa Barat Soeroso Dasar mendapat apresiasi BKKBN Pusat. Bunga rampai kependudukan dan KB yang diterbitkan IPKB Jawa Barat bekerja sama dengan penerbit Corleone Books (Corbooks) ini dianggap memiliki spirit yang kuat untuk menyosialisasikan program KB kepada masyarakat. Atas alasan itulah Direktorat Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) tertarik untuk menerbitkannya kembali untuk kemudian disebar ke segenap pemangku kepentingan di seluruh penjuru tanah air.

“Meski banyak menyoroti contoh kasus di Jawa Barat, kami melihat sesungguhnya problematika serupa juga nyaris terjadi di provinsi lain. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, dinamika program KB di Jawa Barat cukup merepresentasikan realitas serupa di tanah air. Kami menilai apa yang digagas Soeroso Dasar sangat relevan diterapkan di daerah lain. Pemikiran Soeroso Dasar merupakan sumbangsih Jawa Barat untuk Indonesia,” kata Paulina JS, Direktur

19Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

urnalj

Page 20: Warta Kencana #6 2011

Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 201120

acanaw

Oleh:D. Rusyono

Pegawai Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan

Perempuan Kabupaten Kuningan pada Bidang

Keluarga Sejahtera

Fenomena kemiskinan ibarat memperdebatkan antara miskin dan bodoh, atau antara

telur dan ayam. Hal ini tidak perlu diperdebatkan terlalu dalam, yang penting akar persoalannya yang harus dicari dan segera diambil langkah/solusi, karena keduanya akan saling berkaitan, seperti akibat dari kebodohan akan terjadi kemiskinan dan akibat kemiskinan orang akan menjadi bodoh, karena yang bersangkutan mengalami kesulitan mengakses ilumu pengetahuan serta akses-akses yang lainnya. Terlepas itu semua celakanya banyak orang lebih memilih menerima telur hari ini ketimbang ayam hari esok, artinya ingin serba instan tanpa perjuangan dan kurang bersyukur, sehingga alah-alah akan mendekati kufur nikmat. Ironisnya lagi kemiskinan identik dengan Islam, karena mayoritas yang miskin adalah beragama Islam, meskipun tidak menjadi satu kemutlakan karena di setiap negara pun masyarakat

miskin tetap saja ada.Memang kemiskinan bukan

hanya menimpa negara Indonesia saja, tetapi disetiap negara pun kemiskinan telah menjadi masalah tersendiri. Khusus di Indonesia, merupakan masalah yang kompleks dan bersifat multi dimensi,. Sebagaimana diutarakan oleh Sharp (1996:173-191) dalam Kuncoro bahwa, kemiskinan apabila dipandang dari sudut ekonomi ada tiga hal utama.

Pertama, secara makro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya alam dalam jumlah terbatas dan berkualitas rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia, yang berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya berdampak terhadap upah kerja yang rendah. Hal ini disebabkan antara lain karena faktor

Program KB dan Pengentasan

Kemiskinan

Page 21: Warta Kencana #6 2011

21Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

acanaw

rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi dan atau faktor keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Selanjutnya menurut SNPK (Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan) bahwa kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan/pelanggaran hak dan tidak terpenuhinya hak seseorang/sekelompok orang. Oleh karena itu kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif, yang pada dasarnya menyangkut terlanggarnya atau tidak terpenuhinya hak-hak dasar seseorang/beberapa orang.

Sedangkan akar masalah kemiskinan menurut SNPK meliputi: (1) Kegagalan dalam pemenuhan hak dasar, seperti sandang, pangan papan, pendidikan dan kesehatan (termasuk KB di dalamnya). Salah satu contoh angka kematian ibu di Indonesia masih 228 per 100 ribu kelahiran hidup, artinya sekitar 10.260 ibu melahirkan meninggal setiap tahunnya atau 28 orang ibu meninggal akibat proses persalinan/kehamilan dalam per hari. (2) Lemahnya penanganan masalah kependudukan

Kondisi Eksisting

Secara nasional kemiskinan di Indonesia tetap saja merupakan persoalan yang krusial, karena secara data/angka jumlahnya cukup besar yakni mencapai 18,55% atau setara dengan 43,4 juta jiwa dari total 234 juta (BPS 2010). Hal penyebabnya di antaranya faktor ketidakadilan atau kesenjangan ekonomi, dengan angka menunjukkan masyarakat miskin hanya mampu menikmati pertumbuhan ekonomi tidak lebih dari 19,2 persen, sedangkan masyarakat kaya dapat menikmatinya sebesar 45,72%.

Sementara kondisi keluarga miskin di Jawa Barat, menurut hasil pendataan keluarga tahun 2008 sebagai berikut: Jumlah Keluarga 11.096.701, Pra KS 2.219.030 (20,00 %), KS 1 2.917.724 (26,39 %). Khusus di Kaupaten Kuningan, berdasarkan hasil Pendataan Keluarga 2010, kondisi keluarga Pra KS sebanyak 38.590 (12,21%) dari seluruh keluarga yang ada sebanyak 308.921, dan keluarga KS I sebanyak 57.324 atau 18,14%. Adapun rata-rata penyebabnya adalah rumah tidak layak huni dari aspek atap sebanyak 10.890, aspek lantai 18.780 dan aspak dinding 11.855, serta aspek pendidikan anak usia 7-15 th tidak bersekolah sebanyak 4.419, sedangkan penyebab karena tidak ikut KB sebanyak 802.

Secara regional, kondisi kemiskinan di Jawa Barat dapat dipetakan sebagai berikut: (1) Wilayah Pantura (Ciayumajakuning), faktor penyebab yang menonjol adalah budaya, contoh kawin cerai manakala musim panen dan paceklik; (2) Wilayah Tengah (Bogor dan Purwasuka) adalah faktor daya saing, artinya sikap dan motivasi lebih banyak pasrah; (3) Wilayah Timur-Selatan

(Bandung-Priangan), adalah faktor aksesbilitas, di sini masyarakat miskin kurang mempunyai akses terhadap sumber-sumber usaha, informasi dan teknologi.

Signifikansi KB dengan Kemiskinan

Sejalan dengan yang disampaikan oleh Prof. Askobat Gani dari UI, dalam penelitiannya tentang cost and benefit program KB di wilayah DKI, diungkapkan bahwa DKI Jakarta berhasil melaksanakan program KB dengan menunda sebanyak 1,8 juta kelahiran. Apabila kelahiran ini terjadi maka Pemprov DKI harus mengeluarkan dana triliunan rupiah, tetapi dengan tertundanya kehamilan sebanyak 1,8 juta tadi, maka Pemprov DKI dapat menghemat dana sekitar Rp 7 triliun setelah dikurangi anggaran untuk program KB sejak tahun 1990 dan 2000. Nah kalau Jawa Barat (termasuk Kab. Kuningan di dalamnya) diasumsikan tiga kali lipat DKI Jakarta, maka penghematan sudah terjadi sebesar Rp 21 triliun pada saat yang sama.

Karena itu, keluarga miskin apabila tidak terlindungi kontrasepsi, maka akan menambah banyak persoalan hidup yang mereka hadapi. Belum lagi mata rantai kemiskinan (poverty trap) yang sulit untuk diputus. Pada umumnya, keluarga miskin kawin dengan yang miskin lagi, maka lahir keluarga miskin baru dan seterusnya. Sebagai ilustrasi dapat diungkapkan bahwa apabila sebanyak 95.914 keluarga kurang mampu tadi tidak terlindungi kontrasepsi dan terjadi hamil, maka berapa dana yang harus mereka tanggung, serta sebaliknya apabila terlindungi kontrasepsi, maka dapat dihemat dana cukup besar dan dapat dialihkan buat kepentingan lain misalnya memberdayakan mereka pada sektor riil.

Program Aksi

Program aksi meliputi tiga hal. Pertama, strategi yang meliputi perluasan kesempatan. Artinya , mereka harus memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dalam peningkatan taraf hidupnya. Kedua, pemberdayaan kelembagaan

Keluarga miskin, apabila tidak terlindungi kontrasepsi, akan menambah banyak persoalan

hidup yang mereka hadapi. Belum lagi mata rantai kemiskinan

(poverty trap) yang sulit untuk diputus. Pada umumnya, keluarga miskin kawin dengan yang miskin

lagi, maka lahir keluarga miskin baru dan seterusnya.

Page 22: Warta Kencana #6 2011

22 Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

masyarakat. Mereka diharapkan dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (public policy participation). Ketiga, peningkatan kapasitas. Keempat, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan. Program tersebut diikuti dengan kebijakan, meliputi ekonomi makro, pemenuhan hak dasar, perwujudan KKG dan pengembangan wilayah. Adapun program yang sudah meluncur bisa dilihat pada infografik.

Kesimpulan

Bahwa kemajuan bangsa di masa depan akan sangat ditentukan oleh SDM, oleh karena itu perencanaan penduduk secara baik disertai optimalisasi peran dan fungsi kelembagaan KB beserta petugasnya merupakan salah satu sektor yang mempunyai kontribusi yang nyata terhadap pembangunan, untuk itu harus memberikan perhatian utama kepada keluarga miskin dan rentan.

Signifikansi antara KB dan kemiskinan merupakan satu paket kausa (sebab akibat) yang tidak terbantahkan, dimana KB dapat membantu dalam mengentaskan kemiskinan dengan cara mereka yang masih PUS dilindungi dengan kontrasepsi agar tidak

terjadi kehamilan terus menerus, Jadi dapat membantu dalam penghematan ekonomi.

Banyaknya peluang dana dalam pengentasan kemiskinan, tetapi beredar di luar area program KB, sehingga karena kefungsian dan kewenangan yang berbeda program KB sulit untuk mendayagunakannya, belum lagi koordinasi dan keterpaduan dari linsek yang terkait sangat sulit, tetapi manakala ada persoalan terjadi di lapangan program KB pun tidak luput kena himbasnya.

Sementara payung hukum program KB telah disempurnakan dengan UU 52/2009 dan Perpreas 62/2010 tetapi tidak banyak membawa warna, karena titik berat sifatnya hanya sekedar mengubah nomenklatur dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Aspek lain yang kurang strategi adalah lembaga pengelola hanya setingkat Badan yang pimpinannya dilantik oleh Menkes, diharapkan setingkat kementeriaan, dan perwakilan di tingkat provinsi tidak perlu ditangani oleh 2 SOPD karena menambah galau bagi daerah, oleh karena itu perlu segera dipikirkan dan diimplementasikan kebijakan pemerintah dalam hal kelembagaan beserta unsur pendukungnya seperti daya, dana dan sarana-prasarana (catur bhava utama).

Rekomendasi

Pertama, segera sosialisasikan UU 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga beserta Perpres No. 62/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaannya kepada seluruh stake holders di semua tingkatan/kalangan, termasuk upaya penguatan database program KB agar mempunyai kekuatan dan posisi tawar yang layak dalam pembangunan.

Kedua, galang komitmen dengan unsur pimpinan daerah secara mantap tentang pentingnya pembangunan kependudukan dan program KB, termasuk upaya keringanan jasa medis dalam pelayanan KB. Ketiga, kakukan kerjasama dengan pihak-pihak pemilik dana kegiatan pemberdayaan masyarakat/desa, karena dari sekian banyak program/kegiatan taskin tidak ada satu pun yang melibatkan langsung pengelola program KB baik dari proses perencanaan maupun pelaksanaan, tetapi apabila ada persoalan di lapangan tidak jarang OPD KB diajak bicara.

Keempat, tingkatkan penataan ketenagaan termasuk dana, sarana dan prasarana (catur bhava utama). Kelima, kepada pemerintah daerah agar segera diaktifkan secara definitif dan efektif tentang Tim Penanggulangan Kemiskinan Daerah. Semoga bermanfaat.(*)

Artikel ini pernah diikutkan dalam Lomba Karya Tulis Kependudukan BKKBN Jawa Barat 2011.

Program Pengentasan Kemiskinan

yang Sedang Berjalan1. P4K (Program Peningkatan Pendapatan

Petani dan Nelayan Kecil); 2. KUBE (Kelompok Usaha Bersama)3. TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan

Pinjam-Koperasi Unit Desa.4. UED-SP (Usaha Ekonomi Desa-Simpan

Pinjam)5. PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu)

dan Inpres Desa Tertinggal (IDT)6. P3DT (Pembangunan Prasarana

Pendukung Desa Tertinggal)7. PPK (Program Pengembangan

Kecamatan)8. P2KP (Program Penanggulangan

Kemiskinan Perkotaan)9. PDMDKE (Pemberdayaan Daerah

Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi)10. P2MPD (Program Pembangunan

Masyarakat dan Pemerintah Daerah)11. PNPM (Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat)12. PKH (Program Keluarga Harapan)13. JAMPERSAL (Jaminan Persalinan)

acanaw

Page 23: Warta Kencana #6 2011

23Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

erba serbis

Dede Yusuf boleh jadi belum lama bersentuhan dengan wacana keluarga berencana atau KB. Merekam catatan kegiatan Badan Kependudukan

dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Provinsi Jawa Barat sepanjang 2010 dan semester pertama 2011, Wakil Gubernur Jawa Barat ini baru nongol dua kali. Pertama, saat pencangan Bakti TNI KB-Kesehatan di Sumedang pada 4 Mei 2011. Kedua, saat Workshop Penguatan Program Kependudukan dan KB melalui Saka Kencana di kantor BKKBN Jawa Barat pertengahan tahun ini.

Namun begitu, bukan berarti Dede Yusuf kurang perhatian pada program KB. Berbicara di hadapan peserta workshop dan pimpinan Saka Kencana Jawa Barat, pemilik nama asli Yusuf Macan Effendi ini menegaskan komitmennya pada program KB. Pesinetron plus bintang iklan sejumlah produk ini mengaku sudah menjalankan program KB.

“Saya menikah usia 23 tahun yang artinya tidak terjebak dalam praktik kawin muda. Tidak kalah pentingnya, sampai hari ini anak saya dua orang. Ini wujud nyata pelaksanaan program KB. Istri saya kerap minta tambah anak, namun saya selalu bilang bahwa dua anak lebih baik,” tandas Dede disambut aplaus peserta workshop.

Tak hanya itu, Ketua Kwartir Daerah (Kwarda) Gerakan Pramuka Jawa Barat ini sudah meminta para andalan

di lingkungan Kwarda Jabar untuk menjadi peserta baru program KB. “Saya minta para andalan yang merasa sudah cukup punya anak untuk mengikuti vasektomi. Kalau perlu, begitu turun dari ruangan ini langsung ke mobil pelayanan KB,” tambah Dede.

Tentu, komitmen tegas Dede pada program KB diwujudkan dalam upaya revitalisasi Satuan Karya Pramuka Keluarga Berencana (Saka Kencana) di Jawa Barat. Lewat kerjasama dengan BKKBN, Saka Kencana akan terjun langsung dalam upaya pengendalilan penduduk dan edukasi program KB di Jawa Barat. Pengendalian penduduk menjadi sangat penting mengingat Jawa Barat merupakan provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia.

“Laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat ini tinggi. Bila laju pertumbuhan penduduk tetap tinggi, maka tidak lama lagi jumlah penduduk Jawa Barat mencapai 50 juta jiwa. Saat ini, menurut Sensus Penduduk 2010, penduduk Jawa Barat mencapai lebih dari 43 juta jiwa. Penduduk terus bertambah, sementara lahan tidak bertambah luas. Padahal, setiap tambahan penduduk memerlukan lahan untuk tempat tinggal, pangan, tempat usaha, dan lain-lain. Tugas kita bersama untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk,” papar Dede.

Dede mengungkapkan, saat ini Kwarda Jawa Barat memiliki tidak kurang dari 3,5 juta Pramuka. Potensi pemuda tersebut akan didorong untuk berperan aktif dalam upaya advokasi kependudukan dengan cara mengintegrasikan muatan program KB ke dalam materi kepramukaan di setiap gugus depan di Jawa Barat. Tak mau bermuluk-muluk, politikus PAN yang belum lama pindah perahu ke Partai Demokrat ini menargetkan untuk memberdayakan sedikitnya 500 ribu kader Pramuka menjadi ujung tombak dalam setiap upaya pemberdayaan masyarakat, salah satunya melalui Saka Kencana.

“Paradigma Gerakan Pramuka sudah berubah. Pramuka bukan lagi sebatas ekstrakurikuler, melainkan menjadi

agen-agen untuk membentuk karakter bangsa. Pramu-ka sudah memiliki undang-undang sebagai pijakan

kuat dalam membangun karakter bangsa. Revi-talisasi Saka Kencana merupakan salah sa-

tu strategi menjadikan Pramuka se-bagai ujung tombak program KB di

kalangan pemuda,” tegas dia.(NJP)

Jati Diri Saya Sudah KBDede Yusuf

Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN II OKTOBER-DESEMBER 2011

Page 24: Warta Kencana #6 2011

Warta KencanaAlamat Redaksi

Kantor BKKBN Provinsi Jawa Barat - Jalan Surapati No. 122 Bandung - Jawa BaratTelp : (022) 7207085 - Fax : (022) 7273605 - Email : [email protected]