wanua-wanua kuno berdasarkan lontara sukkuna wajo

127
WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin O l e h Fajar Ariady Suwardi F511 13 502 Departemen Sastra Daerah Bugis-Makassar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar 2018

Upload: others

Post on 28-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN

LONTARA SUKKUNA WAJO

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian

guna memperoleh gelar Sarjana Sastra

pada Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin

O l e h

Fajar Ariady Suwardi

F511 13 502

Departemen Sastra Daerah Bugis-Makassar

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Makassar

2018

Page 2: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO
Page 3: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO
Page 4: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO
Page 5: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini sebagai upaya untuk memenuhi

persyaratan, guna memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Departemen Sastra Daerah

Bugis-Makassar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Berbagai rintangan

yang penulis hadapi dalam proses penulisan skripsi ini, namun dengan ketekunan dan

doa akhirnya diselesaikan pada waktu yang direncanakan.

Penulis tidak luput dari kesalahan dan keterbatasan pengetahuan, sehingga

menyadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan, baik materi, teknis maupun

susunan kata-kata yang belum sempurna. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis

membuka diri menerima kritik dari berbagai pihak sebagai upaya penyempurnaan

skripsi ini.

Penyusunan skripsi ini, penulis telah mendapat dorongan, semangat dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini saya menyampaikan

pengahargaan yang setingi-tingginya kepada:

1) Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA selaku Rektor Universitas Hasanuddin

beserta para Pembantu Rektor.

2) Dekan, para Wakil Dekan dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Hasanuddin yang membantu dan melayani penulis selama menuntut ilmu.

Page 6: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

iii

3) Dr. Muhlis Hadrawi, M.Hum sebagai Konsultan I dan Dr. Dafirah, M.Hum sebagai

Konsultan II, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis,

sehingga skripsi ini dapat dirampungkan dengan baik.

4) Prof. Nurhayati Rahman, M.S sebagai penguji I dan Dr. Andi Muhammad Akhmar,

M.Hum sebagai penguji II, yang telah memberikan saran dan kritik yang sifatnya

membangun kepada penulis.

5) Prof. Drs. Burhanuddin Arafah, M.Hum., Ph.D yang sangat berperan kepada

penulis, sehingga bisa menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Hasanuddin.

6) Dr. Andi Muhammad Akhmar, M.Hum, Dr. Muhlis Hadrawi, M.Hum dan Dra. Esti

Pertiwiningsih, M.Hum, yang banyak memberikan nasehat, saran, kritik dan sangat

berperan dalam penentuan objek materil dan judul skripsi dalam penelitian ini.

7) Ketua Departemen Sastra Daerah, sekretaris dan seluruh dosen yang banyak

membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Hasanuddin.

8) Ibunda tercinta, Hj. Rahmawati Ukkas yang telah membesarkan serta mencurahkan

segala perhatian dan kasih sayangnya kepada ananda. Kepada Ayahanda, Aiptu

Suwardi A.R, S.H yang pada masa hidupnya telah memberikan kasih sayang dan

pengorbanan yang tak putus-putusnya. Kepada saudara dan saudariku, Randi Ariady

Suwardi S.H dan Surahmi Asih Lestari yang telah memberi dorongan dan semangat

yang besar kepada penulis.

Page 7: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

iv

9) Tante Darmawati Ukkas, kakek H. Ukkas Lasiame, sepupu-sepupu Fatwa, Nabil,

Aulia, Fajri dan seluruh keluarga besar yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu,

yang memberikan dorongan dan motivasi selama kuliah di Universitas Hasanuddin.

10) Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin (IMSAD-FIB-UH).

11) Teman-teman WARANI 2013 (Adi, Afdal, Iful, Yoko, Agus, Rizal, Ismail, Dilla,

Rindi, Nisa, Tuti, Yunita, Jeanette, Irma, Ayu, Fatma, Kasma, Umroah dan Ria),

yang telah memberikan cerita indah yang begitu berharga dalam kehidupan penulis

selama kuliah di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Hasanuddin.

12) Seluruh pihak yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah

memberikan bantuan, nasehat dan semangat kepada penulis selama penyusunan

penelitian ini.

Semoga segala bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak tersebut,

mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan. Pada akhirnya, penulis berharap karya ini dapat

bermanfaat bagi para pembacanya dan pengembangan ilmu budaya lokal Sulawesi

Selatan.

Makassar, 4 Februari 2018

Fajar Ariady Suwardi

Page 8: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

v

ABSTRAK

Fajar Ariady Suwardi. 2018. Skripsi ini berjudul “Wanua-Wanua Kuno

Berdasarkan Lontara Sukkuna Wajo (LSW)”. Departemen Sastra Daerah

Bugis-Makassar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Dibimbing

oleh Muhlis Hadrawi dan Dafirah.

Wanua dalam konteks Bugis adalah unit pemukiman sosial yang mengawali

dan mendirikan Kerajaan Wajo pada abad ke-14. Penelitian ini dilakukan

menggunakan teori filologi dengan objek naskah Bugis Wajo. Adapun metode

dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, yang

menghasilkan analisis secara deskriptif. Langkah awal yang dilakukan dalam

penelitian ini dimulai dengan proses pengumpulan data melalui dukungan naskah

Lontara Sukkuna Wajo koleksi Andi Makkaraka.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa enam wanua yaitu Paung, Penrang,

Sarinyameng, Saebawi, Boli dan Cinnotabi adalah wanua yang sudah berdiri

sebelum lahirnya Kerajaan Wajo. Terbentuknya Wajo sebagai kerajaan federasi

(kesatuan) tidak terlepas dari hubungan yang dibangun antara wanua satu dengan

wanua yang lain hingga kemudian sepakat untuk membangun sebuah kerajaan

besar yaitu Wajo. Selain itu, peranan yang dilakukan oleh beberapa wanua

membuat Wajo berhasil menjadi salah satu kerajaan besar Bugis yang pernah ada

di Sulawesi Selatan. Kerajaan Wajo juga dalam mengeksistensikan kekuasaannya

melakukan suatu hubungan bilateral dengan kerajaan besar, seperti Kerajaan

Luwu dan Bone.

Kata Kunci: Wanua, Wajo, Kuno, Lontara

Page 9: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

vi

ABSTRACT

Fajar Ariady Suwardi. 2018. This thesis is entitled “Wanua-Wanua Kuno

Based Lontara Sukkuna Wajo (LSW)”. Department of Bugis-Makassar

Literature Faculty of Cultural Sciences Hasanuddin University. Mentored by

Muhlis Hadrawi and Dafirah.

In the Bugis context, wanua is a social settlement unit that intiated and

estabilished the kingdom of Wajo in the 14th century.philology theory was

conducted in this research, and the script of Bugis Wajo is the object of research.

Method in this research is descriptive qualitative research method, which produce

descriptive analysis. First steps taken in this research began with the data

collection process through the support of Lontara Sukkuna Wajo’s collection of

Andi Makkaraka collection.

The results show that six wanua: Paung, Penrang, Sarinyameng, Saebawi,

Boli and Cinnotabi are the wanua that existed before the emergence of the Wajo

empire. The estabilished of Wajo as a federation kingdom (unity) related to the

relationship built between wanua and other wanua until then agreed to unite to

build a great empire. In addition, the role performed by some wanua makes Wajo

became one of the great empires that once existed in South Sulawesi. The

kingdom of Wajo also in his exegesis exerted a bilateral relationship with a great

empire, such as the Kingdom of Luwu and Bone.

Keywords: Wanua, Wajo, Kuno, Lontara

Page 10: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

vii

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ........................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

ABSTRAK ................................................................................................................... v

DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................................. 7

C. Batasan Masalah ................................................................................................. 8

D. Rumusan Masalah .............................................................................................. 8

E. Tujuan Penelitian ................................................................................................. 8

F. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 9

1. Manfaat Keilmuwan........................................................................................ 9

2. Manfaat Praktis ............................................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 11

A. Landasan Teori .................................................................................................. 11

1. Konsep Toponimi.......................................................................................... 11

Page 11: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

viii

a. Mitos Asal Usul ........................................................................................ 14

2. Penelitian Naskah Dalam Konsep Filologi ................................................... 16

3. Peranan Kajian Filologi ................................................................................ 20

B. Hasil Penelitian Relevan .................................................................................... 21

C. Kerangka Pikir ................................................................................................... 23

BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 25

A. Jenis Penelitian .................................................................................................. 25

B. Sumber Data ...................................................................................................... 28

C. Transkripsi dan Terjemahan .............................................................................. 28

D. Prosedur Kerja Filologi...................................................................................... 29

1. Pemerolehan Naskah Sumber ....................................................................... 29

2. Deskripsi Naskah .......................................................................................... 30

3. Sistem Transliterasi dan Terjemahan ............................................................ 32

a. Transliterasi .............................................................................................. 32

b. Terjemahan ............................................................................................... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................... 39

1. Toponimi Wanua-Wanua Kuno Yang Muncul Lebih Awal Daripada Kerajaan

Wajo ................................................................................................................ 39

a. Paung sebagai awal peradaban di Wajo ........................................................ 43

b. Pénrang sebagai kelanjutan dari Paung......................................................... 49

Page 12: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

ix

c. Sarinyameng sebagai wilayah perluasan dari Pénrang ................................. 52

d. Saébawi sebagai akhir kepemimpinan Puangngé ri Lampulungeng ............. 55

e. Boli sebagai awal kepemimpinan Puangngé ri Timpengeng ........................ 59

f. Cinnotabi bertransformasi menjadi Kerajaan Wajo ...................................... 67

2. Hubungan Politik Antara Wanua Satu Dengan Wanua Lainnya .................... 74

a. Hubungan kekuasaan Boli dengan Pénrang .................................................. 74

b. Hubungan kekuasaan Cinnotabi dengan Pénrang ......................................... 90

3. Peranan Wanua-Wanua Kuno Terhadap Kerajaan Wajo ................................ 94

a. Majauleng sebagai Paddanreng Bettempola ................................................ 95

b. Sabbamparu sebagai Paddanreng Taloténreng ............................................ 97

c. Tekkalalla sebagai Paddanreng Tuwa .......................................................... 98

d. Pénrang sebagai Dewan Penasehat Kerajaan ................................................ 99

BAB V PENUTUP ................................................................................................... 102

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 102

B. Saran ................................................................................................................ 103

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 105

Glosari ....................................................................................................................... 108

Page 13: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Naskah adalah salah satu bentuk peninggalan dan kebudayaan tertulis masa silam

yang mengandung ide, gagasan dan berbagai macam pengetahuan, termasuk ajaran

keagamaan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Selain itu, naskah merupakan

dokumen yang merekam kegiatan masa lampau dan manifestasi kehidupan

masyarakatnya, sehingga menjadi jembatan yang menghubungkan antara masa lalu

dengan masa sekarang. Naskah berkaitan erat dengan kecakapan baca tulis dan

kemajuan peradaban masyarakat pendukungnya pada masa lampau, isi teks dalam

naskah dapat memberikan kesaksian yang dapat berbicara langsung kepada kita

melalui bahasa yang tertuang di dalam tulisan tersebut (Ilyas, 2011:14). Naskah

memberikan sumbangan besar bagi ilmu pengetahuan dan studi mengenai kelompok

sosial-budaya yang melahirkan naskah tersebut.

Tulisan merupakan salah satu bukti peradaban dan perwujudan jati diri suku

bangsa tertentu saja yang memiliki aksara. Suku Bugis di Sulawesi Selatan membina

tradisi tulis yang dibuktikan dengan keberadaan lontara. Tipologi lontara dalam

kehidupan masyarakat Bugis beraneka ragam, salah satu di antaranya adalah

attoriolong atau historiografi

Page 14: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

2

tradisional berupa kumpulan catatan peristiwa serta silsilah keturunan raja-raja,

keluarga bangsawan dan keluarga tertentu. Kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan pada

umumnya memiliki attoriolong, salah satunya adalah Kerajaan Wajo yang disebut

dengan Lontara Sukkuna Wajo (LSW).

Kerajaan Wajo merupakan sebuah negeri yang sangat unik, sebab menjadi salah

satu kerajaan yang tidak mengenal sistem politik yang bersifat otokratis, melainkan

demokratis. Pemerintah dan rakyat Wajo memahami bahwa Kerajaan Wajo adalah

kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh pemerintah dan rakyat. Seorang raja

tidaklah diangkat secara turun temurun, melainkan ditunjuk dan kemudian diangkat

oleh dewan adat yang disebut Arung Patappuloe (Dewan Adat yang beranggotakan 40

orang) (Abidin, 1985:375). Selain itu, para matoa (kepala kampung) dalam memimpin

wanua (kampung) menerapkan sistem politik yang tidak merugikan rakyat. Hal ini

dibuktikan pada masa pemerintahan La Tenritippe’ dan La Tenribali (Arung Cinnottabi

V), yang pada masa itu La Tenritippe’ merampas wewenang dan hak Matoa Pabbicara

(hakim) dan mengkhianati hak-hak rakyat. Mengetahui hal tersebut, para matoa ikut

membantu rakyat dengan cara protes terhadap tindakan La Tenritippe’ dengan cara

meninggalkan negeri yang dipimpin oleh La Tenritippe’ (Abidin, 1999:123). Dengan

demikian, sistem politik perkauman lokal Wajo penting menjadi satu pengetahuan

dalam ranah pemerintahan masa kini.

Kerajaan Wajo disebut sebagai salah satu kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan,

muncul sebagai kerajaan federasi (kesatuan) pada akhir abad ke-14 atau sekitar tahun

1399 (Abidin, 1999:107). Sebelum Wajo muncul sebagai kerajaan federasi (kesatuan),

Page 15: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

3

lebih dahulu tumbuh unit-unit permukiman masyarakat yang tergabung ke dalam

sebuah sistem sosial pada wilayah-wilayah tertentu yang disebut wanua. Unit-unit

permukiman wanua itu pada masa kini kurang lebih dapat disetarakan konteks

wilayahnya dengan kampung. Wanua sebagai permukiman penduduk memiliki

kedudukan yang sangat penting dalam pembentukan unit masyarakat (community),

kebudayaan, serta sistem politik lokal (Abidin, 1999:125).

Unit-unit permukiman masyarakat berciri tradisional Wajo seperti yang

diketahui adalah Majauleng, Wajo-Wajo’, Lapaddéppa’, Sekkanasu, Bélogalung,

Wéwattanna, Paung, Témpé, Singkang, Tampangeng, Limpua, Pénrang, Ujung,

Tarokéteng, Lapéré, Sarinyameng dan Saébawi (Abidin, 1985:548). Bahkan disinyalir

ada pula wanua lain yang juga disebut lebih awal muncul sebelum Wajo, misalnya

Sakkoli. Sakkoli disebutkan lahir didasari oleh legenda kerbau belang (tédong buleng)

dan Wé Tadampali, (putri Datu Luwu). Demikian juga terdapat legenda munculnya

nama wanua lain yaitu Taloténreng. Ceritanya berkaitan dengan sebuah tempat di Wajo

yang masyarakatnya senantiasa membina kerjasama menyadap tuak di pohon-pohon

enau. Mereka menyadap dengan menggunakan tangga terbuat dari bambu yang disebut

ténreng, sebagian pergi menangkap ikan dengan menggunakan tuba (semacam racun

ikan) dan sebagian lagi pergi memotong kayu untuk dijadikan alliri bola (tiang rumah)

sebagai bahan dasar untuk membuat rumah besar. Mereka itu kemudian terbagi atas

tiga kelompok, yaitu orang-orang Taloténreng, orang-orang Tuwa (tuba) dan orang-

orang Béttémpola. Tiap-tiap kelompok mengangkat seorang putera pasangan La Malu

To Anginraja dan Wé Tadampali sebagai raja atau arung (Abidin, 1999:111).

Page 16: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

4

Permukiman-permukiman awal itu telah disebut dengan nama lokal wanua

(Lamallongeng, 2011:193). Kata wanua dalam bahasa Bugis memiliki varian kata

banuwa yang artinya sama dengan kata wanua, konteksnya adalah “pemukiman

manusia”. Konteks wanua dalam skala kecil berupa kampung yang biasanya dihuni

minimal 60 kepala, namun pada skala yang lebih besar wanua dapat berarti kampung

besar dan berpenduduk banyak. Sementara itu, pemukim atau orang-orang yang

bertempat tinggal di dalam wanua dinamakan pabbanuwa (Hadrawi, 2016:140).

Menurut Abidin (1999:125) wanua-wanua kuno seperti Cinnottabi, Boli,

Pénrang, Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla memiliki kedudukan dan fungsi yang

penting bagi terbentuknya Kerajaan Wajo. Wanua tersebutlah kemudian memiliki

peran sosial politik hingga melatarbelakangi terbentuknya Kerajaan Wajo sebagai

kerajaan yang menerapkan sistem federasi (kesatuan) dalam pemerintahannya. Tiap-

tiap wanua dipimpin oleh seorang kepala yang disebut matoa. Di samping itu, peran

matoa pada tiap tiap wanua tidak dapat dipisahkan dengan latar belakang berdirinya

Kerajaan Wajo, sebab memiliki peranan utama khususnya dalam hubungan

kekerabatan, kekeluargaan dan perkawinan yang dilakukan untuk menjalin hubungan

sosial antara wanua yang satu dengan wanua lainnya.

Wanua yang dimaksud dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW) merupakan unit

permukiman sosial yang mengawali berdirinya Kerajaan Wajo bersatu yang kemudian

dikenal sebagai salah satu kerajaan Bugis yang pernah ada di Sulawesi Selatan. Para

matoa atau kepala kampung bersepakat untuk meneguhkan kembali dan melaksanakan

hukum adat terdahulu di Cinnottabi dan mengusulkan supaya ditetapkan ade’

Page 17: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

5

assituruseng (adat dan hukum yang dibuat atas kehendak bersama) yang dapat

memakmurkan, membesarkan negeri dan tempat berteduh bagi rakyat (Abidin,

1985:399).

Berdasarkan Lontara Sukkuna Wajo (LSW), wanua-wanua kuno memiliki

peranan penting dalam pembentukan Kerajaan Wajo, hal itu terbukti karena wanua

kuno tersebut memiliki sistem sosial politik yang memberikan warna dalam Kerajaan

Wajo. Demikian juga hukum adat yang dikonsepkan oleh Batara Wajo (kepala

pemerintahan) bersama matoa (kepala kampung) yang sangat efektif terhadap

kehidupan rakyatnya pada masa itu. Itulah sebabnya Kerajaan Wajo terkenal pula

dengan hukum adatnya seperti yang dibuat oleh La Tenribali (Batara Wajo I). Menurut

Abidin (1985:405) bahwa aktivitas La Tenribali adalah membentuk ade’ assituruseng

(adat dan hukum adat yang lahir dari persetujuan bersama antara raja, para penguasa

adat dan rakyat), ade’ maraja (adat besar bagi raja-raja), ade’ abiasang (adat kebiasaan

bagi rakyat), tuppu’ (aturan yang mengatur tingkat-tingkat adat dan hubungan hukum

antara seorang ayah dan anaknya), wari’ (aturan untuk membedakan hal-hal yang patut

dibedakan, seperti kelas-kelas masyarakat) dan rapang (yurisprudensi atau

pengambilan keputusan).

Adanya informasi masa lampau tentang wanua-wanua kuno yang terdapat di

dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW), dianggap memiliki nilai-nilai yang dipandang

masih relevan dengan kehidupan sekarang. Dari sekian banyak nilai yang terkandung

di dalamnya, salah satu nilai yang dapat direlevansikan yaitu sistem sosial politik. Nilai

inilah yang kemudian diterapkan matoa (kepala kampung), sehingga wanua yang

Page 18: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

6

dipimpin dapat berperan aktif dalam mendirikan Kerajaan Wajo hingga menjadi salah

satu kerajaan besar yang pernah ada di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, hal ini

sangatlah penting untuk menjadi satu pengetahuan dengan cara mengungkap nilai

sosial politik yang terdapat di dalam tulisan masa lampau (lontara). Di samping itu,

sejarah terbentuknya Kerajaan Wajo juga ikut terungkap mulai dari peristiwa

munculnya Cinnottabi sebagai wanua, hingga dikenal sebagai kerajaan besar yang

berbentuk federasi (kesatuan). Hal tersebut semua dijelaskan di dalam Lontara

Sukkuna Wajo (LSW) (Abidin, 1985:347).

Fakta menunjukkan, bahwa selama ini belum ada penelitian yang secara khusus

mengungkap apa dan bagaimana keberadaan wanua-wanua kuno Wajo berdasarkan

sumber lontara. Oleh sebab itu, hal tersebut menarik perhatian penulis untuk

mengungkap wanua yang ada dan lebih awal muncul sebelum terbentuknya Kerajaan

Wajo, serta peranannya dalam membangun Kerajaan Wajo bersatu. Selain itu, wanua

kuno yang berperan dalam pembentukan Kerajaan Wajo, kurang dipahami oleh

masyarakat umum, salah satunya disebabkan kurangnya referensi yang tersedia,

bahkan sulit untuk mendapatkan yang secara khusus membahas tentang wanua-wanua

kuno Wajo. Meskipun demikian, keberadaan naskah-naskah lontara menjadi hal yang

sangat penting.

Page 19: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

7

B. Identifikasi Masalah

Pada latar belakang masalah di atas, dijelaskan bahwa jauh sebelum Kerajaan

Wajo berdiri sebagai kerajaan berbentuk federasi (kesatuan), sudah terbentuk unit-unit

permukiman masyarakat berciri tradisional. Unit-unit permukiman itu pada saat ini

kurang lebih dapat disetarakan konteks wilayahnya dengan kampung. Berdasarkan

latar belakang di atas, maka ditemukan beberapa permasalahan yang dapat

diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Wajo adalah salah satu kerajaan yang menerapkan sistem demokrasi dalam

pemerintahannya. Oleh sebab itu, nilai demokrasi yang terkandung dalam

Lontara Sukkuna Wajo (LSW) perlu diungkap secara benar dan tepat.

2. Kerajaan Wajo terkenal dengan hukum adat yang diterapkan oleh La Tenribali

(Batara Wajo I). Berdasarkan hal tersebut hukum adat yang terkandung dalam

Lontara Sukkuna Wajo (LSW) perlu diungkap dalam rangka satu pengetahuan.

3. Konsep wanua yang diterapkan pada masa lalu oleh para matoa (kepala

kampung) perlu diketahui, sebab menurut sejarah wanua-wanua yang ada

sebelum Wajo terbentuk memiliki kedudukan dan fungsi yang penting bagi

terbentuknya Kerajaan Wajo sebagai kerajaan federasi (kesatuan).

4. Nilai sosial politik yang dibangun oleh para matoa (kepala kampung) bersama

masyarakat wanua (kampung) perlu dikaji secara mendalam dalam rangka

pengetahuan kearifan lokal.

Page 20: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

8

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, adapun masalah yang dipilih dalam

penelitian ini adalah konsep yang dimiliki wanua-wanua kuno Wajo sebagai suatu

sistem yang memiliki kedudukan dan fungsi penting yang membangun sebuah kerajaan

dalam konteks masa lalu, dan konteks masa kini dapatlah disetarakan dengan suatu

daerah ataupun negara. Konsep ini juga menjadi dasar atau pondasi yang berbentuk

aturan-aturan sebuah kerajaan atau negara. Masalah tersebut akan dirumuskan dan

merupakan inti permasalahan penelitian ini.

D. Rumusan Masalah

Setelah memberikan pembatasan masalah sebagaimana dijelaskan di atas, agar

lebih memudahkan dan memfokuskan pada satu pokok masalah penelitian, maka

masalah tersebut perlu dirumuskan agar mendapatkan hasil penelitian yang ingin

dicapai. Masalah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1. Toponimi-toponimi apa saja yang termasuk sebagai wanua-wanua kuno yang

muncul lebih awal dan berperan dalam lahirnya Kerajaan Wajo?

2. Bagaimana hubungan politik antara wanua satu dengan wanua lainnya?

3. Bagaimana peranan wanua-wanua kuno terhadap Kerajaan Federasi Wajo?

E. Tujuan Peneltian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk:

Page 21: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

9

1. Mengidentifikasi toponimi-toponimi dan mendeskripsikan yang termasuk sebagai

wanua-wanua kuno yang muncul lebih awal daripada Kerajaan Wajo.

2. Menjelaskan hubungan politik antara wanua yang satu dengan wanua lainnya.

3. Menjelaskan peranan masing-masing beberapa wanua kuno terhadap Kerajaan

Federasi Wajo.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembaca, baik secara

keilmuwan maupun praktis. Adapun manfaatnya sebagai berikut.

1. Manfaat Keilmuwan

a. Penelitian ini mengangkat isu Kerajaan Wajo kuno yang dikaji pada sumber-sumber

naskah. Oleh karena itu, penelitian ini dapat memiliki manfaat sebagai bahan bacaan

bagi mahasiswa yang ingin melakukan pengkajian yang sama sebagai bahan acuan

atau bahan perbandingan.

b. Literatur berciri kajian filologi yang berkaitan dengan isu sejarah dan Kerajaan

Wajo pada masa kini, dapat memberikan wawasan kepada pembaca tentang

toponimi-toponimi yang termasuk sebagai wanua-wanua kuno Wajo serta situasi

politiknya yang terjadi pada masa lampau.

c. Penelitian ini dapat menyajikan informasi tentang kerajaan kuno Wajo secara benar,

dengan cara memanfaatkan naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) sebagai sumber

informasi atau data dalam studi kerajaan lokal serta kearifan lokal.

Page 22: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

10

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat berkontribusi dalam pengembangan pengetahuan kearifan

lokal, khususnya mengenai konsep wanua secara tradisional serta menjadi rujukan

bagi pemimpin atau masyarakat dalam membangun sebuah daerah dengan melihat

konsep wanua yang ada.

b. Hasil penelitian ini dapat membangun kesadaran pada masyarakat akan pentingnya

mengkaji naskah- naskah kuno, sebab mengandung informasi masa lampau yang

dapat direlevansikan dengan kehidupan sekarang.

Page 23: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsep Toponimi

Tiap unsur di muka bumi yang disebut unsur geografi atau unsur rupabumi,

seperti gunung, bukit, sungai, tanjung, pulau, lembah, selat dan sebagainya diberi nama

oleh manusia sejak manusia ingin mengidentifikasi lingkungan fisiknya di muka bumi

untuk tujuan komunikasi sesama manusia atau untuk acuan dengan menunjuk suatu

objek geografis tertentu dalam orientasi dirinya terhadap lingkungan fisiknya.

Toponim dalam bahasa Inggris disebut “toponym” secara harfiah, artinya nama

tempat di muka bumi. (“topos” adalah “tempat” atau “permukaan” seperti “topografi”

adalah gambaran tentang permukaan atau tempat-tempat di bumi, dan “nym” dari

“onyma” adalah “nama”) dan dalam bahasa Inggris kadang-kadang disebut

“geographical names” (nama geografi) atau “place names”. Ada istilah “topologi”,

yaitu suatu cabang matematika yang berkaitan dengan sifat-sifat geometri suatu figure

yang tidak berubah jika ditransformsi dengan suatu cara tertentu (Webster’s New

World Dictionary, 1960). Dalam bahasa Indonesia kita pakai istilah “nama unsur

geografi” atau “nama geografis” atau “nama rupabumi”. Rupabumi adalah istilah

bahasa Indonesia untuk “topografi”. Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004

Page 24: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

12

tentang Pemerintah Daerah di pasal 7 disebut “nama bagian rupabumi” (topografi) atau

nama “unsur rupabumi”. Begitu juga dalam Peraturan Presiden No.112 Tahun 2006

tentang Tim Nasional Pembukuan Nama Rupabumi, memakai istilah “nama rupabumi”

(Jacub, 2015: 4-5).

Menurut Raper (1996) Toponimi (inggr. “Toponymy”) mempunyai dua

pengertian:

a. Ilmu yang mempunyai objek studi tentang otptonim pada umumnya dan

tentang nama geografis khususnya, dan

b. Totalitas dari toponim adalah suatu region.

Orang mengenal nama unsur geografi dari peta, karena peta tanpa nama

geografisnya adalah suatu buta. Sebenarnya adanya nama unsur geografi adalah lebih

awal sebelum peta dibuat. Nama unsur geografi muncul pertama kali ketika manusia

mendiami suatu wilayah dan perlu member nama pada unsur-unsur geografi yang ada

disekitarnya, sebagaiman dijalaskan di halaman sebelumnya (Jacub, 2015: 5).

Muka bumi yang disebut jugu rupa bumi (hipsografi). Sehingga manusia

memberi nama pada unsur-unsur medan yang bervariasi tersebut seperti gunung, bukit,

lembah, pantai, kemudian mengaliar pula sungai-sungai, danau, laut, selat, tanjung,

serta pulau-pulau berupa daratan yang dikelilingi oleh air atau laut yang selalu berada

di atas air atau laut tinggi, artinya tidak tenggelam. Kemudian muncul pemukiman

berupa desa, kota, jalan dan bangunan dan akhirnya batas-batas administratif. Inilah

unsur-unsur peta topografi atau peta rupabumi dan posisi unsur-unsur tapi ditetapkan

dalam system koordinat yang berlaku secara nasional. Di samping itu ada unsur-unsur

Page 25: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

13

rupabumi berlanjut atau menyambung tidak terputus oleh lautan, namun sebagian

berada di bawah muka laut jika dapat kita banyakan jika laut tidak ada di bumi ini.

Mengingat luasnya lautanyang menutupi bumi adalah 75% maka unsur yang terlihat

oleh manusia adalah hanya 25% saja (Jacub, 2015:5-6).

Justru, dalam wilayah daratan muka bumi yang 25% dari bumi keseluruhan

terdapat lebih banyak nama unsur georgrafi atau nama rupabumi karena tidak hanya

terkait dengan unsur geografis alami saja seperti gunung, sungai, lembah, pulau, selat,

bukit, dan sebagainya, tetapi juga nama unsur geografi buatan seperti kota, desa, dan

infrastruktur buatan manusia seperti jalan, bandungan, bandar udara, terminal, kawasan

konservasi, kawasan pemukiman, dan sebagainya. Yang termasuk 75% dari muka bumi

adalah unsur rupa bumi bawah laut atau tepatnya di dasar laut, sebagaimana juga di

atas muka bumi, di dasar laut ada gunung, lembah, cekungan (basin), palung, parit,

sesar atau pertahanan dalam istilah-istilah geologis (Jacub, 2015:6).

Sejarah nama unsur-unsur geografi telah ada sejak berkembangnya peradaban

manusia di lembah sungai Nil (peradaban mesir Kuno), di lembah sungai Eufrat dan

Tigiris (peradaban Mesopotamia atau Sumeria) dan peradaban di lembah Indus

(Harappa) lebih dari 2000 tahun sebelum Masehi ketika ditemukannya peta-peta di

masa silam di atas daun papyrus (di zaman peradaban Mesir kuno) atau peta tablet

tanah liat di lembah sungai Eufrat dan Tigiris (Moore, 1983) di masa berkembangnya

peradaban Mesopotamia di Irak. Peta-peta Cina kuno di abad ke-18 (Harvey 1980) juga

dilengkapi dengan nama-nama unsur geografi untuk suatu daerah permukiman seperti

nama sungai, gunung, bukit, pulau, desa, dan sebagainya. Dengan kata lain penamaan

Page 26: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

14

unsur geografi adalah sama tuanya dengan peradaban manusia. Karena nama-nama

unsur geografi diberikan oleh manusia yang bermukim di suatu wilayah, maka nama-

nama unsur geografi dapat dipakai untuk menelusuri suku bangsa atau kelompok etnis

yang mendiami suatu wilayah di masa lalu (Jacub, 2015:7).

Banyak nama unsur geografi yang diberikan oleh manusia di masa lalu ketika

pertama kali mendiami suatu wilayah yang berdasarkan legenda atau cerita-cerita

rakyat. Sebagai contoh, sebuah gunung sebagai unsur geografi di Jawa Barat yang

bernama Gunung Tangkuban Parahu dan nama ini terkait dengan legenda Sangkuriang.

Legenda ini tidak khas legenda Jawa Barat saja kere terdapat juga di Jawa Timur,

tentang legenda bagaimana Gunung Batok terjadi di kawah Gunung Bromo, yang juga

sama dengan legenda Sangkuriang. Legenda ini juga tercatat di suku-suku bangsa

pelinesia di kawasan Pasifik Selatan. Dengan kata lain, dari legenda yang sama yang

terjadi di beberapa wilayah yang luas dapat dikaji asal usul pemukiman yang berasal

dari suku bangsa yang sama yang mendiami suatu wilayah di masa lalu. Begitu juga

kota Banyuwangi berasal dari suatu legenda di masa lalu (Jacub, 2015:7-8).

a. Mitos Asal Usul

Mitos menjelaskan bagaimana asal-usul alam, pokok kehidupan manusia dan

tujuan manusia, yang akhirnya dengan mitos manusia dapat tahu apa tujuannya dan

bagaimana seharusnya bertingkah laku. Terdapat empat penjelasan tentang terjadinya

asal usul dari mitos yaitu: euhemerisme (penafsiran historis), alegori, personifikasi dan

teori mitos-ritual. Mitos berupaya menceritakan kejadian sejarah di masa lalu. Menurut

Page 27: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

15

Kuntowijoyo, (1999:8) yang membedakan mitos dan sejarah hanya pada dua titik

singgung, yaitu:

1) Mitos memiliki unsur waktu yang tidak jelas.

2) Mitos dianggap memuat kejadian yang tidak masuk akal, menurut sudut

pandang orang masa kini.

Mitos berfungsi untuk mengkodifikasikan, memberikan dukungan dan

memberikan landasan dari kepercayaan tradisional dan tingkah laku (Harsojo,

1998:228). Mitos kaya dengan peristiwa dan kejadian yang luar biasa, ganjil dan aneh.

Masyarakat Melayu zaman silam mempercayai bahwa setiap kejadian luar biasa, ganjil

atau aneh mempunyai tujuan-tujuan atau alamat-alamat yang tertentu. Hal ini berlaku

sebagai hasil daripada keakraban hubungan masyarakat Melayu dengan flora dan fauna

sekeliling mereka. Nilai mitos adalah cerita yang menggambarkan segala sesuatu yang

dipandang penting oleh seseorang atau suatu masyarakat. Nilai mitos mengarahkan

seseorang untuk berperilaku yang sesuai dengan budayanya. Nilai mitos biasanya

berlangsung lama dan sulit berubah. Nilai mitos juga dapat mempengaruhi sikap

seseorang yang kemudian sikap akan berpengaruh pada perilaku masyarakat (Rara

Sihat, 2011).

Menurut Bascom, (1965:4-5) mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap

benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh

para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia

yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada

Page 28: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

16

umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya

maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam dan sebagainya. Mite juga

mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan

mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya.

2. Penelitian Naskah Dalam Konsep Filologi

Naskah merupakan peninggalan yang mampu menginformasikan buah pikiran,

buah perasaan manusia dan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah

ada. Karya-karya dengan kandungan informasi mengenai masa lampau itu tercipta dari

latar sosial budaya yang tidak ada lagi atau yang tidak sama dengan latar sosial budaya

masyarakat pembaca masa kini. Peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu

beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu pada saat ini dalam kondisi yang sudah

mengalami kerusakan atau berwujud sebagai hasil dari suatu proses penyalinan yang

telah berjalan dalam kurun waktu yang lama. Di samping itu, pada saat ini telah

mengalami kerusakan atau perubahan, baik karena faktor waktu maupun karena faktor

kesengajaan dari penyalinnya. Gejala demikian terbaca pada munculnya variasi bacaan

dalam karya tulisan masa lampau.

Kondisi karya tulis masa lampau dengan karakteristik seperti yang dijelaskan di

atas menuntut pendekatan yang memadai. Untuk membaca karya-karya tersebut

diperlukan ilmu yang mampu menyiangi kesulitan-kesulitan akibatnya kondisi sebagai

produk masa lampau. Dalam hal inilah, ilmu filologi diperlukan. Jadi, filologi

Page 29: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

17

merupakan satu disiplin yang diperlukan untuk satu upaya yang dilakukan terhadap

peninggalan tulisan masa lampau dalam rangka kerja menggali nilai-nilai masa lampau.

Informasi atau kandungan yang tersimpan dalam karya-karya tulisan masa

lampau tersebut pada hakikatnya merupakan suatu budaya, produk dari kegiatan

kemanusiaan. Filologi, dengan demikian merupakan satu disiplin yang berhubungan

dengan studi terhadap hasil budaya manusia pada masa lampau. Pengertian hasil

budaya disini dipakai untuk menyebut antara lain buah pikiran, perasaan, kepercayaan,

adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Jadi, filologi

merupakan disiplin yang tergolong dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu

humaniora. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lahirnya filologi

dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor sebagai berikut.

a. Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah karya tulisan.

b. Anggapan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa

lampau yang dipandang masih relevan dengan kehidupan masa sekarang.

c. Kondisi fisik dan subtansi materi informasi akibat rentang waktu yang

panjang.

d. Faktor sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisan

masa lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar sosial budaya

pembacanya masa kini.

e. Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.

Menurut Haryati Soebadio, (dalam Djamaris, 2002:7) memang pekerjaan utama

dalam penelitian filologi itu adalah mendapatkan kembali naskah yang bersih dari

Page 30: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

18

kesalahan, yang berarti memberikan pengertian yang sebaik-baiknya dan yang bisa

dipertanggungjawabkan. Dengan melakukan hal tersebut kita dapat mengetahui naskah

yang paling dekat pada aslinya karena naskah itu sebelumnya mengalami penyalinan

untuk kesekian kalinya serta cocok pula dengan kebudayaan yang melahirkannya,

sehingga perlu dibersihkan dari tambahan yang diterakan dalam zaman kemudian yang

dilakukan waktu penyalinannya. Hal ini penting supaya isi naskah tidak

diinterpretasikan secara salah.

Dengan demikian, suatu naskah harus lebih dahulu diteliti secara cermat,

diperbandingkan dan dibetulkan. Setelah itu, barulah naskah itu dapat dipergunakan

untuk penelitian lain, seperti sejarah, undang-undang, agama, atau sosiologi. Penelitian

filologi ini perlu dilakukan untuk mengetahui, apakah isi naskah itu tidak salah atau

disadur orang lain; apakah isinya tidak berbeda antara satu naskah dan naskah lain.

Kalau terdapat perbedaan, apakah perbedaan itu disebabkan salah tulis, salah baca,

kelupaan, terlampau menulisnya, sehingga akan menimbulkan salah tafsir. Suatu

naskah baru boleh dibahas isinya, kalau naskah yang bersangkutan sudah diteliti

sedalam-dalamnya secara filologi. Sebelum studi filologi dilakukan, isi naskah itu

belum dapat dipastikan kebenarannya. Boleh dikatakan, teks yang dugunakan itu baru

bersifat sementara, sebab tidak bisa ditutup kemungkinan, bahwa teks yang digunakan

disalahartikan oleh ahli sejarah, ahli sosiologi, ahli hukum, dan sebagainya.

Secara khusus tugas pokok penelitian filologi disebut krtik teks. Kritik teks

adalah perbandingan, pertimbangan, dan penentuan teks yang asli atau teks yang

auotoritatif, serta pembetulan perbaikan, pembersihan teks dari kesalahan. Sebagai

Page 31: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

19

pertanggungjawaban perbaikan teks itu, semua perbedaan teks itu dicatat dalam sebuah

catatan yang biasa disebut apparat kritik (apparatus criticus).

Penyuntingan naskah dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode standar

dan metode diplomatik. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode standar (biasa). Metode tersebut dipilih karena objek dalam penelitian ini

dianggap sebagai cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut

pandang agama atau sejarah, sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau

istimewa. Berbeda dengan metode diplomatik yaitu metode yang digunakan apabila isi

cerita dalam naskah itu dianggap suci atau dianggap penting dari segi sejarah,

kepercayaan atau bahasa sehingga diperlukan perlakuan khusus atau istimewa.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam edisi standar antara lain, yaitu:

a. mentransliterasikan teks;

b. membetulkan kesalahan teks (emendation atau conjectura);

c. membuat catatan perbaikan atau perubahan;

d. memberi komentar, tafsiran (informasi diluar teks);

e. membagi teks dalam beberapa bagian;

f. menyusun daftar kata sukar (glosari)

Tujuan penggunaan metode standar ini adalah untuk memudahkan pembaca atau

peneliti membaca dan memahami teks.

Tujuan utama penelitian filologi, khususnya kritik teks itu adalah menentukan

teks yang asli (autografi), teks yang mendekati teks asli (arkhetip) atau teks yang

berwibawa (autoritatif). Tujuan penelitian filologi yang kedua adalah

Page 32: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

20

mentransliterasikan teks dengan tugas utama menjaga keaslian atau ciri khusus

penulisan kata dan menerjemahkan teks yang ditulis dalam bahasa daerah ke bahasa

Indonesia. Tujuan penelitian filologi yang ketiga adalah menyunting teks dengan

sebaik-baiknya dengan memperhatikan pedoman ejaan yang berlaku, penggunaan

huruf kapital, tanda-tanda baca, penyusunan alinea, dan bagian-bagian cerita. Tujuan

penelitian filologi keempat adalah mendeskripsikan kedudukan dan fungsi naskah dan

teks yang diteliti supaya dapat diketahui tempat karya sastra yang diteliti itu dalam

kelompok atau jenis sastra yang mana dan apa manfaat dan gunanya karya sastra itu.

3. Peranan Kajian Filologi

Selain tujuan yang telah dijelaskan di atas, filologi juga memiliki peranan kerja

dalam pengembangan kebudayaan. Kebudayaan yang berasal dari beberapa abad yang

lalu dapat dikenal kembali dalam bentuk bermacam-macam, antara lain naskah-naskah,

tulisan yang terdapat pada batu, candi-candi atau peninggalan purbakala yang lain,

serta ada juga yang berbentuk sastra lisan. Peninggalan suatu kebudayaan yang berupa

naskah termasuk dokumen bangsa yang paling menarik bagi masyarakat

pendukungnya karena memiliki kelebihan yaitu dapat memberi informasi yang luas,

dibanding peninggalan yang berbentuk puing bangunan besar seperti candi, istana raja,

dan permandian suci. Peninggalan yang berbentuk puing bangunan besar itu memberi

informasi singkat dan harus ditafsirkan.

Manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan memiliki aktivitas-aktivitas

tertentu yang hasilnya dapat dirasakan oleh generasi selanjutnya. Manusia dapat

berpedoman kepada nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi sebelumnya atau dapat

Page 33: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

21

juga mengubahnya. Berkat warisan kebudayaan, manusia dapat mengatasi

permasalahan-permasalahan hidupnya. Pewarisan kebudayaan itu terjadi lewat bahasa.

Oleh karena ruang lingkup kebudayaan itu luas sekali, dalam hal ini bahasa tidak hanya

meliputi bahasa dalam arti yang sempit, melainkan meliputi segala macam simbol dan

lambang yang dapat mencatat kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi

yang lain. Pada umumnya, hasil budaya manusia makin hari makin sempurna. Dalam

bidang kesenian, misalnya manusia terus menerus mencari bentuk-bentuk ekspresi

baru. Jadi, pada dasarnya kebudayaan itu merupakan suatu proses belajar besar yang

menghasilkan bentuk-bentuk baru dengan menimba pengetahuan dan kepandaian dari

kebudayaan sebelumnya. Meskipun demikian, kebudayaan sebagai suatu proses belajar

tidak menjamin kemajuan dan perbaikan sejati. Dengan berguru kepada kesalahan dan

kekeliruan, manusia mungkin akan menjadi lebih bijaksana. Kekeliruan dan kesalahan

ada manfaatnya, walaupun tidak selalu demikian.

B. Hasil Penelitian Relevan

Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari berbagai sumber, adapun hasil

penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Husnul Fahimah Ilyas (2011) dalam tulisannya yang berjudul “Lontara Sukkuna

Wajo”, membahas telaah ulang awal Islamisasi di Wajo dengan menggunakan metode

filologi dan pendekatan sejarah. Manuskrip sebagai sumber utama dalam penelitian ini

mencoba menguak dan merekonstruksi eksistensi Islam di Wajo, hal ini merupakan

sebuah upaya untuk memperkaya referensi para akademisi serta praktisi dengan cara

mengelaborasi berbagai sumber lokal (manuskrip) dan berbagai penelitian yang terkait.

Page 34: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

22

Kaharuddin (1994) dalam tulisannya yang berjudul “Permukiman Kuno

Allangkanangngē ri Latanētē Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo”. Suatu Analisis

Arkeologi terhadap kompleks permukiman kuno yang terletak di tiga desa dalam

wilayah Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo.

Muhlis Hadrawi dalam tulisannya berjudul “Jejak Awal Wanua-Wanua Soppeng

dan Pertumbuhannya: Kajian Berdasarkan Manuskrip” dalam buku Lembah Walēnnaē

Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi Peradaban Soppeng (2016). Penelitian ini

membahas kedudukan dan peranan wanua-wanua kuno Soppeng terhadap terwujudnya

kedatuan Soppeng. Kajiannya berdasarkan manuskrip yang memanfaatkan naskah

Pau-Paunna Meompaloē (disingkat PPM), naskah La Padoma (disingkat LPD) dan

naskah Attoriolong Soppeng (disingkat ATS).

Selanjutnya, Makmur dan Muhlis Hadrawi dalam tulisannya berjudul “Otoritas

Wanua: Kedudukan Sosial-Politik Wanua-Wanua Hingga Terbentuknya Kerajaan

Soppeng” dalam buku Lembah Walennae Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi

Peradaban Soppeng (2016), Penelitian ini membahas peranan wanua-wanua Soppeng

yang memiliki kedudukan sosial-politik bagi terbentuknya Kerajaan Soppeng.

Secara khusus kajian wanua dari segi arkeologi dilakukan oleh Akin Duli (2010)

jurnal walennaē volume 12, nomor 2 dengan judul “Peranan Tosora Sebagai Pusat

Pemerintahan Kerajaan Wajo Abad XVI-XIX” mengungkap peranan Tosora sebagai

pusat pemerintahan Kerajaan Wajo Abad XVI-XIX yang dibuktikan dengan beberapa

peninggalan diantaranya Masjid tua Tosora, peninggalan bangunan (Gedung Amunisi),

benteng pertahanan, serta kompleks makam raja-raja.

Page 35: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

23

Kajian wanua dari sudut pandang arkeologi juga dilakukan oleh Rustan dan Adi

Mulyadi (2002) tulisannya pada jurnal Walennaē volume 5, nomor 2 dengan judul

“Tinggalan Menhir di Bekas Kerajaan Wajo dan Pendahulunya” mengungkap

peninggalan Kerajaan Wajo berupa menhir yang banyak ditemukan pada situs

Cinnottabi, situs Wajo-Wajo, situs Kobbaē, dan situs Tosora.

Kajian wanua secara arkeologi dilakukan pula oleh David Bulbeck dan Budianto

Hakim (2005) dalam jurnal walennaē volume 11, nomor 2 dengan judul “The

Earthenware From Allangkanangngē ri Latanete Excavated in 1999” mengungkap situs

Allangkanangngē di Latanete, sebagai pusat Kerajaan Wajo pada abad ke-13 Masehi

sampai dengan abad ke-17 Masehi yang dibuktikan dengan penemuan fragmen gerabah

dan keramik yang cukup padat.

Sementara itu dari sudut pandang sejarah, Fitra (2011) dalam tulisannya yang

berjudul “Sejarah Pemukiman di daerah Daya, Kecamatan Biringkanaya, Makassar”.

Penelitian ini terfokus pada pemukiman yang ada di Makassar khususnya Daya di

Kecamatan Biringkanaya. Kajian Fitra ini lebih bersifat kontemporer melihat

pemukiman dalam wilayah Kota Makassar yaitu pada masyarakat Daya yang secara

terus menerus mengalami peningkatan dari kehidupan bertani menjadi kehidupan yang

heterogen (kompleks).

C. Kerangka Pikir

Yang menjadi objek kajian utama dalam penelitian ini adalah naskah Lontara

Sukkuna Wajo (LSW). Dalam naskah tersebut, masalah yang akan diteliti adalah

Page 36: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

24

wanua-wanua kuno Wajo yang terbentuk sebelum berdirinya Kerajaan Wajo.

Berdasarkan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, penulis memaparkan

toponimi-toponimi yang termasuk sebagai wanua-wanua kuno Wajo yang muncul

lebih awal daripada Kerajaan Wajo, hubungan politik antara wanua satu dengan wanua

lainnya, serta peranan masing-masing wanua kuno terhadap Kerajaan Wajo. Kerangka

pemikiran tersebut dapat dilihat pada skema berikut ini.

Toponimi-toponimi

(wanua-wanua kuno

yang muncul lebih awal

daripada Kerajaan Wajo)

Hubungan politik

antara wanua satu

dengan wanua lainnya

Peranan wanua-wanua

kuno terhadap Kerajaan

Federasi Wajo

Wanua-Wanua Kuno Berdasarkan Lontara

Sukkuna Wajo (LSW)

Temuan:

Enam toponimi kuno: Paung, Pénrang, Sarinyameng, Saébawi, Boli dan Cinnotabi.

Di antara enam wanua tersebut, Boli, Pénrang dan Cinnotabi merupakan wanua

utama.

Page 37: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Menurut Nazir (1988:5) metode penelitian adalah urutan kerja yang harus

dilakukan dalam melaksanakan penelitian, termasuk alat-alat apa yang dipergunakan

untuk mengukur, maupun mengumpulkan data serta bagaimana melakukan penelitian

di lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif, yaitu metode kualitatif yang akan menghasilkan data deskriptif. Metode

penelitian ini merupakan data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka,

melainkan data tersebut berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, dokumen

pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari

penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan dan memahami suatu situasi

sosial, peristiwa, peran, interaksi serta realita empirik di balik fenomena secara

mendalam, rinci dan tuntas.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kejadian atau

fakta, keadaan, fenomena, variabel, dan keadaan yang terjadi saat penelitian

berlangsung dengan menyuguhkan apa yang sebenarnya terjadi. Penelitian ini

menafsirkan dan menguraikan data yang bersangkutan dengan situasi yang sedang

Page 38: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

26

terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam suatu masyarakat, pertentangan

antara dua keadaan atau lebih, hubungan antar variabel yang timbul, perbedaan antar

fakta yang ada serta pengaruhnya terhadap suatu kondisi dan sebagainya.

Menurut Nazir (1988:63) penelitian kualitatif adalah metode dalam meneliti

suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada

masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran,

atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antarfenomena yang diselidiki. Dengan metode kualitatif deskriptif, peneliti

dapat menggambarkan bagaimana wanua-wanua kuno yang dijelaskan dalam Lontara

Sukkuna Wajo (LSW).

Selain itu, penelitian kualitatif juga berlandaskan pada pengamatan manusia

dalam lingkungan hidupnya dan berhubungan dengan masyarakat tertentu melalui

bahasa dan peristilahannya. Penelitian kualitatif pada hakikatnya adalah tradisi tertentu

dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan

manusia. Dalam penelitian ini yang dilakukan peneliti adalah penelitian yang berada

pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan terhadap hasil penelitian yang diinginkan

dalam hal ini wanua-wanua kuno Wajo berdasarkan Lontara Sukkuna Wajo (LSW).

Adapun masalah yang dapat diteliti dan diselidiki oleh penelitian deskriptif

kualitatif ini mengacu pada studi kuantitatif, studi komparatif (perbandingan), serta

dapat juga menjadi sebuah studi korelasional (hubungan) antara satu unsur dengan

unsur lainnya. Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data, analisis data,

Page 39: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

27

interpretasi data, dan pada akhirnya dirumuskan suatu kesimpulan yang mengacu pada

analisis data tersebut.

Metode kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Menurut

Sugiyono (2007:9) makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti merupakan

suatu nilai dibalik data yang tampak. Dengan kata lain, penelitian ini menuntut peneliti

selaku instrumen untuk melihat point of view dari informannya.

Dalam memposisikan diri sebagai instrumen penelitian, peneliti mengumpulkan

data dengan teknik utama yaitu wawancara mendalam (indepth interview). Data akan

dikumpulkan dalam berbagai cara intisari dokumen, observasi, dan notulensi rekaman

wawancara. Data-data tersebut biasanya terlebih dulu diproses sebelum siap digunakan

(melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan kalimat, dan penulisan).

Selain itu, metode kualitatif ini dalam menggunakan analisis sebagai sebuah

teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi dengan mengidentifikasi secara

sistematik dan obyektif karakteristik khusus dalam sebuah teks. Analisis isi maksudnya

untuk meneliti obyek tidak hidup, seperti dokumen-dokumen, catatan-catatan, buku-

buku, dan sebagainya. Sifatnya yang non reaktif, akan menghindarkan dari hal-hal

yang bersifat subyektif atau data yang rekayasa.

Inti dari metode penelitian ini adalah upaya untuk membuat gambaran tentang

kondisi atau kejadian masa lalu yang dapat direlevansikan dalam kehidupan saat ini.

Salah satunya adalah mengungkap wanua-wanua kuno berdasarkan Lontara Sukkuna

Wajo (LSW) dengan tujuan menginformasikan kepada masyarakat sebagai bagian dari

pemertahanan kearifan lokal Sulawesi Selatan. Dengan demikian metode penelitian ini

Page 40: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

28

menganalisis obyek penelitian yaitu narasi dokumen dengan apa adanya, sebagaimana

yang termuat dalam dokumen ilmiah sehingga data yang diperoleh dapat terjamin.

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah transkripsi dan terjemahan naskah

Lontara Sukkuna Wajo (LSW), yang telah dibukukan Prof. Andi Zainal Abidin dengan

judul “Wajo Pada Abad XV-XVI”. Adapun naskah lontara tersebut milik Andi

Makkaraka (Ranreng Bettempola), yang menulis berdasarkan karya Ranreng

Bettempola yang mendahuluinya dan berbagai lontara. LSW karya Andi Makkaraka

ini ditetapkan sebagai buku sejarah resmi oleh pemerintah Kabupaten Wajo, oleh

karena lebih lengkap isinya daripada lontara-lontara Wajo lain. Hal ini yang kemudian

menjadi alasan utama penulis, sehingga memilih LSW milik Andi Makkaraka sebagai

sumber data dalam penelitian ini.

C. Transkripsi dan Terjemahan

Transkripsi artinya pemindahan huruf disertai dengan interpretasi dengan kata

lain pengalihan tuturan (yang berwujud bunyi) ke dalam bentuk tulisan; penulisan kata,

kalimat, atau teks dengan menggunakan lambang-lambang bunyi. Sedangkan

terjemahan adalah satu proses dalam kajian filologi yang berupa penggantian bahasa

asli teks ke dalam bahasa lain atau biasa disebut alih bahasa dengan maksud

memudahkan pembaca dalam memahami teks. Terjemahan terbagi atas tiga macam

sebagai berikut.

Page 41: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

29

1. Terjemahan harfiah adalah terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya,

berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaan.

2. Terjemahan isi atau makna yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber

diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan.

3. Terjemahan bebas adalah keseluruhan teks bahasa sumber diganti dengan bahasa

sasaran secara bebas tanpa meninggalkan pesan yang diungkapkan dalam teks.

D. Prosedur Kerja Filologi

1. Pemerolehan Naskah Sumber

Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian adalah pengumpulan data

berupa inventarisasi naskah. Dari hasil inventarisasi naskah, diperoleh naskah Lontara

Sukkuna Wajo (LSW) yang terdapat pada koleksi lembaga dan pribadi Andi Ahmad

Saransi (Kabid Pembinaan dan Pengembangan Kearsipan pada Kantor Perpustakaan

dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan). Kemudian penulis juga memperoleh

transkripsi dan terjemahan naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) dalam disertasi Prof.

Zainal Abidin, yang telah dibukukan dengan judul “Wajo Pada Abad XV-XVI”.

Di samping katalogus naskah, sumber data lain adalah melakukan studi pustaka

dengan melakukan pembacaan terhadap berbagai macam referensi yang relevan

dengan penelitian ini, seperti sejumlah buku-buku dan jurnal, melakukan wawancara

secara langsung terhadap informan yang dianggap mengetahui isu yang akan dibahas

dalam penelitian ini dan sumber lainnya yang menunjang penyusunan penelitian ini.

Page 42: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

30

Selanjutnya adalah melakukan pengkajian dengan cara menghubungkan sumber-

sumber sejarah dan arkeologi yang telah ada sebagai hasil penelitian terdahulu

diantaranya buku, jurnal, monograf dan lain-lain. Adapun hasil penelitian terdahulu

telah dilakukan oleh Zainal Abidin (1985) yang membahas tentang sejarah Wajo pada

abad XV-XVI termasuk asal usul berdirinya kerajaan Wajo. Selanjutnya Muhlis

Hadrawi (2016) yang membahas tentang kedudukan dan peranan wanua-wanua kuno

Soppeng terhadap terwujudnya Kedatuan Soppeng berdasarkan manuskrip. Secara

khusus dari segi arkeologi Akin Duli (2010) yang mengungkap peranan Tosora sebagai

pusat pemerintahan Kerajaan Wajo Abad XVI-XIX yang dibuktikan dengan beberapa

peninggalan diantaranya Masjid tua Tosora, peninggalan bangunan (Gedung Amunisi),

benteng pertahanan, serta kompleks makam raja-raja. Kajian secara arkeologi juga

dilakukan Rustan dan Adi Mulyadi (2002) yang mengungkap peninggalan Kerajaan

Wajo berupa menhir yang banyak ditemukan pada situs Cinnottabi, situs Wajo-Wajo,

situs Kobbaé dan situs Tosora. Kajian secara arkeologi dilakukan pula David Bulbeck

dan Budianto Hakim (2005) mengungkap situs Allangkanangngé di Latanete sebagai

pusat Kerajaan Wajo pada abad ke-13 sampai abad ke-17 Masehi yang dibuktikan

dengan penemuan fragmen gerabah dan keramik yang cukup padat.

2. Deskripsi Naskah

Naskah yang dimaksud disini adalah semua bahan tulisan tangan peninggalan

nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan. Dalam menghasilkan

sebuah edisi teks yang lengkap, penulis menggunakan dua sumber data dalam

penelitian ini, yaitu naskah Lontara Sukkuna Wajo koleksi Andi Makkaraka dan

Page 43: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

31

transkripsi dan terjemahan Lontara Sukkuna Wajo dalam disertasi Prof. Andi Zainal

Abidin yang telah dibukukan. Lontara Sukkuna Wajo (LSW) merupakan lontara

attoriolong atau historiografi yang menceritakan sejarah panjang Kerajaan Wajo, mulai

awal adanya kehidupan manusia di Wajo, yang bercikal dari Lampulungeng hingga

Kerajaan Wajo menjadi salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Sulawesi Selatan.

Sedangkan disertasi Prof. Andi Zainal Abidin yang telah dibukukan dengan judul

“Wajo Pada Abad XV-XVI” merupakan buku yang menceritakan peristiwa sejarah

terpendam Sulawesi Selatan dari lontara, salah satu di dalamnya terdapat transkripsi

dan terjemahan LSW. Teks LSW tebalnya berjumlah 485 halaman, tiap halaman

berukuran panjang 35 cm, lebar 24 cm dan terdiri dari 30 baris tulisan kalam.

Sedangkan transkripsi dan terjemahan LSW tebalnya berjumlah 225 halaman, tiap

halaman berukuran panjang 20,8 cm dan lebar 15,2 cm.

Ranreng Bettempola La Sangaji Puanna La Sengngeng adalah orang yang

pertama kali menulis LSW yang diperintahkan Arung Matoa La Mappajung Puanna

Salowong (1764-1767), untuk mengumpulkan lontara sejarah yang ada di Wajo guna

dibandingkan satu sama lain, sehingga lahirlah yang disebut Lontara Sukkuna Wajo

(LSW). Setelah La Sangaji meninggal dunia, lontara ini ditambah oleh beberapa orang

Ranreng Bettempola, yaitu berturut turut La Sengngeng, La Tompi, La Tune, La Gau,

La Jamero dan terakhir Andi Makkaraka. Menurut keterangan Andi Makkaraka, bahwa

beliau menulis LSW berdasarkan karya para Ranreng Bettempola yang mendahuluinya

dan berbagai lontara yang berasal dari berbagai daerah, yang menurut beliau

Page 44: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

32

dinamakan juga Lontara Sukkuna Wajo (LSW) oleh karena lebih lengkap daripada

lontara-lontara lain.

3. Sistem Transliterasi dan Terjemahan

a. Transliterasi

Sistem Aksara lontara Bugis bersifat sillabik, maksudnya setiap huruf mewakili

satu kata yang berunsur vokal. Sebagai contoh: k (ka), l (la), s (sa), g (ga),

a (a). tulisan sebuah kata tidak langsung melambangkan bunyi secara lengkap, tetapi

pula dapat menghasilkan bunyi yang banyak dengan makna yang berbeda-beda

(homonim). Sebagai contoh, tulisan kEsi (ke-si) dapat dibaca kessing (cantik, bagus,

indah), kessi’ (pasir), kkesi (datang lagi) dan bunti lain yang tidak mempunyai arti

seperti kesi, kesing, kesi’ dan kessi; tulisan bol (bo-la) dapat dibaca bola (rumah),

bolla’ (tersengat panas), bolang (nama sebuah kampung di Wajo), dan bunyi lain tidak

memiliki arti seperti bolla, bola’, dan bollang. Mempertimbangkan ciri aksara Bugis

yang rumit tersebut maka sepatutnya edisi teks dilakukan setelah membuat transliterasi

teksnya ke aksara Latin terlebih dahulu (Hadrawi, 2009:47).

Tingginya kesulitan yang potensial dihadapi pembaca saat berhadapan dengan

teks Bugis disebabkan karena tidak terdapat tanda (unmarked) untuk lambang bunyi

geminat, nazal, dan hamzah (glottal stop). Jadi, untuk mendapatkan hasil pembacaan

atau bunyi yang tepat pada sebuah kata yang beraksara lontara sangat ditentukan oleh

konteks kalimat dan penguasaan bahasa Bugis yang cukup bagi pembaca. Adapun

bentuk aksara lontara (indo’ sure’) serta tanda vokal (ana’ sure’) adalah sebagai

berikut.

Page 45: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

33

Aksara Lontara (Indo’ Sure’)

Aksara k g G K p b m P t d n R

Bunyi ka ga nga ngka pa ba ma mpa ta da na nra

Aksara c j N C y r l w s a h

Bunyi ca ja nya nca ya ra la wa sa A ha

Tanda Vokal (Ana Sure’)

Tanda vokal

(.)

posisi

bawah

aksara

(.)

posisi

atas

aksara

(e)

posisi

depan

aksara

(o)

posisi

depan

aksara

( E)

posisi

depan

aksara

Bunyi i u é (taling) o e (pepet)

Contoh b (ba) bi (bi) bu (bu) eb (bé) bo (bo) bE (be)

Sistem penulisan aksara pada teks-teks Bugis sering menghasilkan kesulitan

pembacaan. Demikian pula dalam teks-teks LSW yang dijumpai, misalnya ada

beberapa aksara yang mengalami perubahan bentuk dari bentuk dasar. Selain itu pula

terdapat teks yang ditulis tanpa menggunakan spasi atau pembatas antar-kata dan

kalimat. Ada pula kesalahan berupa penulisan kata, kerusakan teks, dan lain-lain.

Kerumitan-kerumitan pembacaan teks naskah LSW dapat dipecahkan pada

pengedisian teks yang dilakukan (Hadrawi, 2009:48)

Pengalihan pembacaan teks LSW ke aksara Latin akan memerhatikan beberapa

aspek seperti pemakaian lambang bunyi, sistem penulisan kata, dan pengaturan tanda

Page 46: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

34

baca. Untuk kepentingan pengalihan sistem penulisan bahasa Bugis ke aksara Latin,

maka digunakan EYD sebagai pola umum. Akan tetapi, terdapat lambang bunyi yang

perlu dinyatakan secara khusus sebab faktor identitas bunyi bahasa Bugis memiliki

perbedaan dengan sistem bunyi bahasa Latin. Meski demikian, dapat dikatakan bahwa

bunyi huruf dalam bahasa Bugis hampir tidak menunjukkan perbedaan dengan bunyi

dalam bahasa Indonesia (Enre, 1999:71).

Edisi teks disajikan dalam bentuk transliterasi, yaitu dalam aksara Latin. Sistem

transliterasi ditetapkan berdasarkan pola lambang bunyi yang meliputi bunyi hamzah

(glottal stop), geminat, nazal, dan pembedaan e taling atau pepet.

Bunyi hamzah dalam bahasa Bugis dilambangkan dengan tanda atau huruf ( q ).

Tanda ini dalam sistem transliterasi Bugis juga dipakai oleh Fachruddin Ambo Enre

dalam disertasinya edisi I Lagaligo episode Ritumpanna Wélénrenngé: Sebuah Episode

Sastra Bugis Klasik Galigo [1999], demikian pula Mattulada dan Mills. Selain tanda (

q ) untuk identifikasi bunyi hamzah, dikenal pula tanda lain, yaitu apostrop ( ‘ ) dipakai

oleh Matthes [1874 dan 1875], tanda hamzah ( ‘ ) oleh Noorduyn (1955:4), dan huruf

( k ) oleh Ide Said (1977). Mengenai tanda-tanda tersebut masing-masing memiliki

alasan pembenaran oleh pemakainya tanpa menampik kebenaran pihak lainnya

(Hadrawi, 2009:49).

Bunyi hamzah pada bahasa Bugis umumnya berada di akhir kata dasar, contoh:

manu’, puse’, lekke’, gemme’, seterusnya. Bunyi hamzah berada di tengah kata apabila

kata dasar seperti di atas diikuti klitik ku’, mu, na, dan ta’. Contoh: kata puse’ diikuti

klitik ku’ menjadi puse’ku’ (keringatku), puse’ + mu “puse’mu” (keringatmu), manu’

Page 47: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

35

+ ta’ “manu’ta” (ayam anda), dst. Begitu pula pada kata majemuk, jika kata pertama

berakhir bunyi hamzah sementara bersinggungan dengan kata yang mengikutinya,

maka bunyi hamzah tetap muncul. Contoh: kata sesse’ + ale’ membentuk kata

mejemuk menjadi sesse’ kalé (penyesalan diri); kata sekke’ + pittara membentuk kata

majemuk sekke’ pittara (zakat fitrah) (Hadrawi, 2009:49).

Bunyi nazal (ny dan ng) yang mengalami geminat di dalam suku kata tetap ditulis

utuh karena mempertimbangkan identitas bunyi tuturan bahasa Bugis. Contoh, kata

anynyarang (kuda) tidak ditulis annyarang; kata bengngo (bodoh) tidak ditulis

benngo. Sistem penulisan yang dipakai untuk geminat nazal berbeda dengan sistem

yang dipakai oleh Enre (1999), yang menghilangkan satu huruf atau konsonan

rangkapnya dengan alasan penulisan praktis. Contoh sistem yang dipakai oleh Enre:

kata lenynye’ (hilang) ditulis menjadi lennye’; kata bengnga (heran) ditulis menjadi

bennga; kamenynyang (kemenyan) ditulis menjadi kamennyang; patudangngé

(pelayan) ditulis menjadi patudanngé; dan seterusnya (Hadrawi, 2009:49).

Kode vokal e pepet dan e taling juga ditunjukkan perbedaan bunyinya pada

transliterasi untuk menghindari salah baca dan salah pengertian sebuah kata. Untuk

menunjukkan perbedaan bunyi kedua kode vokal ini, maka salah satunya diberikan

tanda dan yang lainnya tidak. Kode vocal e yang diberikan tanda ialah taling dengan

membubuhkan kode di atas hurufnya (menjadi: é ). Perbedaan lebih jelasnya terlihat

pada contoh dalam tabel berikut.

Page 48: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

36

Taling Pepet

lémo (jeruk) kessi (pasir)

wéré (nasib) wenni (malam)

élong (lagu) berre (beras)

Aksara Bugis juga tidak mengenal sistem huruf capital, namun pada hasil

transliterasi huruf capital digunakan dengan mencontoh sistem teks bahasa Indonesia

(Latin). Huruf kapital dalam teks transliterasi Bugis dipakai untuk nama orang, nama

tempat, dan huruf pertama pada kata di awal kalimat. Huruf kapital juga dipakai pada

proklitik atau kata sandang To (to), Wé (ew), La (l), É (ea) dan I (ai) pada

sistem penamaan orang Bugis. Proklitik atau kata sandang tersebut ditulis dengan huruf

kapital dan terpisah dengan nama diri, contoh: To Samallangi, La Tenribali, I Tenrisui,

E Rimi, dan Wé Cudai (Hadrawi, 2009:50).

Persandingan atau penyelarasan bunyi dalam penggabungan dua kata merupakan

ciri khas dalam aksara Bugis. Bunyi pada akhir kata dalam bahasa Bugis hanya ada tiga

yaitu bunyi vokal (a, i, u, o, dan é taling), nazal ng, dan hamzah ( ‘ ). Bunyi yang

mengalami perubahan atau penyelarasan bunyi ialah nazal, sedang kata yang berakhir

vocal dan hamzah tidak mengalami penyelarasan. Umumnya, yang berubah hanya kata

kedua atau kata yang mengikutinya. Perubahan bunyi nazal (ng) pada sebuah kata

terjadi akibat persinggungan dengan kata lain. Sementara itu penyelarasannya terjadi

pada akhir suku kata pertama atau pada awal suku kata kedua. Contoh persinggungan

dua kata yang dimaksud sebagai berikut.

uleng (bulan) + enneng (enam) ----- ulengngenneng (bulan enam)

wennang (benang) + ulaweng (emas) ----- wennampulaweng (benang emas)

Page 49: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

37

watang (pusat) + Bone (Bone) ---- Watampone (Kota Bone)

Penyelarasan bunyi nazal juga terjadi pada kata ulang yang sistem perubahannya

hampir sama dengan contoh kata di atas. Perubahan bentuk dan bunyi muncul

disebabkan persentuhan dua kata yang menciptakan perpaduan bunyi, contohnya

sebagai berikut.

bilang + bilang (hitung) ---- bilampilang (tasbih)

uleng + uleng (bulan) ---- ulempuleng (tiap bulan)

worong + worong (lebat) ---- woromporong (bintang tujuh)

Sistem tanda baca dalam teks naskah Bugis sebenarnya merupakan hal yang

sangat sederhana karena hanya mengenal tanda titik tiga (.). akan tetapi, dalam

penerapannya justru dapat menimbulkan kerumitan. Hal itu disebabkan karena oleh

tanda titik tiga tersebut multifungsi. Selain sebagai tanda titik ( . ) juga berfungsi

sebagai tanda koma ( , ) dan tanda seru atau perintah ( ! ). Oleh karena itu, dalam

mengedisi dan transliterasi diperlukan pemahaman ketatabahasaan yang memadai,

terutama pada bidang sintaktik bahasa Bugis (Hadrawi, 2009:51).

b. Terjemahan

Adapun sistem terjemahan atau penerjemahan teks LSW dilakukan pada teks

berbahasa Bugis saja. Terjemahan teks LSW dibuat berdasarkan terbitan teks yang

telah mengalami perbaikan bacaan dalam edisi teks. Sistem terjemahan yang dipakai

adalah literer-modifikasi, dengan mempertimbangkan konteks kalimat, kejelasan arti,

dan kelancaran bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran (Bsa). Prinsip terjemahan

Page 50: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

38

yang digunakan sedapat mungkin menerjemahkan kata per kata, kemudian

memodifikasi susunan kata dengan menyesuaikan menurut tata bahasa Indonesia.

Aspek makna atau idiomatik teks menjadi pertimbangan utama dalam

mengalihkan makna teks Bugis sebagai teks sumber (Bsu) ke bahasa Indonesia sebagai

teks sasaran (Bsa). Sebab, secara literer tidak mungkin selalu menerjemahkan kata

Bugis secara konsisten dengan pasangan satu per satu ke dalam bahasa Indonesia pada

makna yang sama. Oleh karena itu, prosedur terjemahan dilakukan terlebih dahulu

memahami maksud teks Bugis (Bsu), kemudian berusaha memindahkannya ke dalam

bahasa Indonesia (Bsa) dengan prinsip makna seimbang tanpa mengabaikan identitas

kata-kata khusus dari teks Bugis.

Sistem penerjemahan teks LSW dilakukan dengan cara:

1. Format hasil terjemahan pada tingkat satuan kalimat, kode halaman teks, dan satuan

kelompok teks sedapat mungkin disesuaikan dengan format teks transliterasi. Pada

hasil terjemahan akan dibubuhkan tanda atau nomor halaman yang disesuaikan

dengan nomor halaman pada teks sumber, sehingga memudahkan

pengidentifikasian dan penyesuaian teks terjemahan dengan teks transliterasi.

2. Kosakata khusus bahasa Bugis, seperti nama orang, tempat, dan gelar, tetap akan

menggunakan istilah Bugis dengan pertimbangan ciri khas atau identitas teks

sumber.

3. Secara khusus untuk ungkapan-ungkapan tertentu, pertama akan dicari padanannya

dalam bahasa Indonesia. Bila tidak dapat menemukan padanannya, sebagai

alternatifnya akan dipilih kata yang berbeda atau lepas dari prinsip literer kata.

Page 51: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

39

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Toponimi Wanua-Wanua Kuno Yang Muncul Lebih Awal Daripada Kerajaan

Wajo

Unit-unit kecil wanua yang berbentuk kerajaan kecil dapatlah disebut dengan lili,

yang dalam bahasa Bugis memiliki arti permukiman manusia atau unit permukiman

sosial terkecil yang memiliki sistem pemerintahan. Konsep lili dalam hal tertentu dapat

disebut wanua, oleh karena di dalamnya ada seorang pemimpin dan orang yang

dipimpin kemudian membentuk sebuah sistem politik, meskipun polanya sederhana.

Namun, yang perlu ditegaskan di sini bahwa wanua, baik wanua besar maupun wanua

kecil, memiliki sistem normatif yang menjadi pedoman hukum masyarakat luas dengan

memosisikan matoa sebagai puncak kuasa tertinggi (Hadrawi, 2016:141).

Wanua Wajo seperti Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla serta beberapa

wanua kuno lebih awal muncul daripada terbentuknya Wajo sebagai kerajaan. Hal yang

sama juga muncul fenomena kehadiran wanua pada Kerajaan Wajo, yang dimulai pula

dengan adanya permukiman-permukiman berupa wanua. Toponimi-toponimi

permukiman berupa wanua kuno yang disebutkan itu penduduknya sudah

menyelenggarakan aktivitas pertanian dan perikanan. Paling tidak terdapat enam

wanua utama Wajo yang sudah membina kegiatan pertanian pada masa kuno itu yaitu

Paung, Pénrang, Sarinyameng, Saébawi, Boli dan Cinnotabi. Keenam wanua tersebut,

secara tekstual masyarakatnya sudah menyelenggarakan kegiatan pertanian dengan

Page 52: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

40

menanam padi sebagai tanaman utama dan adapula yang menangkap ikan. Hal ini,

tidak terlepas dari kondisi wilayah Wajo yang diceritakan dalam lontara bahwa negeri-

negerinya memiliki tanah subur, dimana lahan pertanian tumbuh tanaman sumber

makanan sangat banyak, seperti padi dan jagung. Bahkan terdapat danau di sekitar

permukiman-permukiman tersebut yang dihuni oleh berbagai jenis ikan. Meskipun teks

LSW tidak banyak memberikan informasi perihal keenam toponimi tersebut, namun

cukup memberikan pemahaman kepada kita tentang situasi sosial yang berlaku di Wajo

sebelum terbentuk menjadi kerajaan federasi (kesatuan). Hal ini terbaca sebagaimana

dalam kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Ale’ materre’ tenriwettumpettung naonroi olokolo’ madduparupang: lampa’

bawi, jonga, tédong sibawa manu’-manu’ sakke’ rupa. Maégato tappareng

salana naonroi balé madduparupang sibawa buaja. Naissettoi wettu

madécéngngé ri tanengeng bisésa: asé, barellé, aladi, lamé, tebbu nennia

ukkajukajung (sumber: naskah LSW:h.1-3)

Terjemahan:

Hutan lebat yang tidak tertembus, dihuni oleh berbagai macam binatang liar

seperti babi, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Banyak pula danau yang

terdapat di sana yang dihuni oleh bermacam-macam ikan dan buaya. Mereka juga

mengetahui waktu yang baik untuk menanam padi, jagung, talas, ubi, tebu dan

sayur-sayuran (terj. Abidin, 1985)

Perihal wanua, dalam lontara mencatat bahwa asal-usul kehidupan di Wajo

dimulai dari Paung, yakni wanua yang dipimpin oleh tokoh sakti dan pandai meramal.

Orang itu disebut Puangngé ri Lampulungeng oleh karena kesaktian dan kepandaian

meramal yang dimiliki membuat orang-orang dari wilayah lain berkumpul, dalam

bahasa Bugis disebut sipulung-pulung atau mabbulumpulungeng dan sang pemimpin

Page 53: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

41

sakti tersebut diberi gelar Puangngé ri Lampulungeng serta danau itu dinamakan

Tapparengngé ri Lampulungeng. Selain Paung, pemimpin itu membentuk beberapa

perkampungan baru bernama Pénrang, Sarinyameng, dan Saébawi. Saébawi inilah

merupakan wanua yang terakhir dipimpin Puangngé ri Lampulungeng sebelum

meninggal dunia. Secara kontekstual Puangngé ri Lampulungeng semasa hidupnya

telah memimpin empat wanua yaitu Paung, Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi.

Semua perkampungan tersebut digambarkan sebagai masyarakat yang adil dan

makmur, dimana anggota masyarakatnya adalah orang-orang maradeka (bebas), akan

tetapi masyarakat itu belum mengenal lapisan bangsawan dan budak. Pemimpinnya

dianggap berwibawa, sebab kepercayaan orang-orang yang menetap di perkampungan

tersebut semakin bertambah setelah pemimpin itu membuktikan keahlian dan

kepandaian yang dimiliki seperti pandai meramalkan hari-hari yang baik untuk

mengerjakan sawah, kebun dan menyadap tuak. Selain itu, semenjak kehadiran

Puangngé ri Lampulungeng tanaman penduduk seperti padi, jagung dan ubi tidak

pernah diganggu oleh binatang liar sehingga kewibawaannya semakin bertambah

sebagai seorang pemimpin.

Setelah meninggalnya Puangngé ri Lampulungeng, orang-orang yang menetap di

sekitar Danau Lampulungeng menemukan pemimpin baru yang tinggal di sekitar

pohon bajo, posisinya berada di sebelah Barat bekas perkampungan Puangngé ri

Lampulungeng antara lain Paung, Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi. Pemimpin baru

dinamakan Puangngé ri Timpengeng oleh karena puteranya selalu berkata “kalau

hendak memberikan apa-apa kepada sang pemimpin “Timpengengngi Puatta”

Page 54: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

42

(suguhkanlah kepada tuan kita), lebih hebatnya lagi karena kemampuan supranatural

yang dimiliki tidak kalah dari Puangngé ri Lampulungeng. Selain itu, dikatakan bahwa

pemimpin baru tersebut kemudian membentuk perkampungan baru bernama Boli dan

Cinnotabi. Selanjutnya toponimi wanua kuno Wajo lebih jauh akan dianalisis pada

pembahasan berikutnya yang diawali dengan peta wilayah wanua kuno Wajo kemudian

dilengkapi dengan analisis teks naskah LSW sebagai berikut.

PENRANG

U

S

PAUNG

SAEBAWI SARINYAMENG

CINNOTABI

BOLI

Sumber: wajo pada abad XV-XVI

Peta Wilayah Kerajaan Wajo

Page 55: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

43

a. Paung sebagai awal peradaban di Wajo

Paung diceritakan LSW sebagai tempat permukiman yang memiliki padang luas,

diselingi hutan lebat yang tidak tertembus dan belum ada manusia bermukim di

dalamnya. Wilayahnya pada saat itu hanya dihuni oleh berbagai macam binatang liar

seperti babi, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Selain itu, terdapat pula danau di

sekitarnya yang dihuni oleh berbagai jenis ikan dan buaya. Kehidupan manusia di Wajo

dimulai dengan kedatangan suatu keluarga besar (extended family) di tepi Danau

Lampulu’ (dahulu: Lampulungeng). Adapun yang dikerjakan hanyalah bertani dan

menangkap ikan untuk menjaga kelangsungan hidupnya, akan tetapi orang-orang itu

tidak diketahui namanya, namun orang itu berbahasa Bugis. Hal ini sebagaimana

tergambar dalam kutipan teks berikut.

Transliterasi:

Ri dé’ napa tau-tau monro ri Wajo, padammupa maloang, ale’ karaja materre’

tenriwettumpettung naonroi olokolo madduparupang: lampa’ bawi, jonga,

tédong sibawa manu’-manu’ sakke’ rupa. Maégato tappareng salana naonroi

balé madduparupang sibawa buaja. Naia bunge’ engkana tau marana-anang lao

monro ri wirinna tapparengngé pégau laonrumma sibawa akkajang. Tenrisseng

asenna, tenrisetto apoléngenna. Nasemmi aléna to polé orai bulu ri onrong

mabbiring tasié. Tauéro makkeda pau Ogi’i (sumber: naskah LSW:h.1-2)

Terjemahan:

Sebelum ada manusia tinggal di Wajo, di sana hanyalah terdapat padang yang

luas dan hutan yang lebat tidak tertembus yang dihuni oleh berbagai macam

binatang liar seperti babi, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Banyak pula

danau yang terdapat di sana yang dihuni oleh bermacam-macam ikan dan buaya.

Adapun mula adanya orang di sana adalah dua orang beranak yang bermukim di

pinggir danau itu, ia bertani dan menangkap ikan. Tidak diketahui namanya dan

tidak diketahui asalnya. Dia mengatakan bahwa mereka berasal dari sebelah

Barat gunung di dekat laut. Orang-orang itu berbahasa Bugis (terj. Abidin, 1985)

Page 56: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

44

Kutipan teks LSW di atas mengungkapkan bahwa negeri Wajo sejak zaman kuno

memang sudah menjadi hunian manusia. Hal itu disebabkan oleh kondisi wilayah Wajo

yang kaya akan sumber daya alam seperti memiliki hutan lebat yang dihuni berbagai

jenis binatang dan danau yang dihuni berbagai jenis ikan, sehingga hal itu menarik

perhatian orang-orang dari wilayah lain untuk berdatangan. Selain itu, negeri Wajo

memiliki potensi untuk menjadi daerah agraris (pertanian) dengan memahami unsur

pendukung yang diungkapkan berdasarkan kutipan teks, seperti memiliki tanah subur

sehingga membuat sebagian besar penduduknya menjaga kelangsungan hidupnya

dengan cara menanam padi, jagung dan ubi.

Disamping aktivitas pertanian, ada juga yang menjaga kelangsungan hidupnya

melalui aktivitas lain misalnya menangkap ikan. Hal ini sesuai dengan kutipan teks di

atas yang mengatakan bahwa “Sebagian orang-orang yang tinggal di sekitar Danau

Lampulungeng bekerja sebagai penangkap ikan, oleh karena wilayah Wajo dikelilingi

danau yang banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan”. Dengan demikian, orang-orang

yang bermukim di wilayah itu dapatlah dikatakan makmur, karena sumber makanan

seperti pertanian dan perikanan mulai berkembang. Seiring berjalannya waktu, wilayah

itu mulai ramai yang disebabkan adanya kelompok keluarga lain yang berdatangan

menuju sekitar Danau Lampulungeng. Hal ini masih erat kaitannya dengan wilayah

yang berada di sekitar danau memiliki tanah yang subur, yang ditandai dengan

tumbuhnya tanaman padi dan jagung, serta danau yang berada di sekelilingnya dihuni

berbagai jenis ikan.

Page 57: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

45

Kepala keluarga besar yang pertama kali tinggal dan menetap di sekitar Danau

Lampulungeng dianggap berwibawa karena kesaktian dan kepandaian yang dimiliki,

seperti pandai meramalkan hari-hari yang baik untuk menanam padi, menanam jagung,

berkebun dan mengajarkan kepada pengikutnya bagaimana cara menangkap ikan yang

baik dan benar. Oleh karena keahlian yang dimiliki itu menyebabkan orang-orang yang

berasal dari wilayah lain berdatangan untuk berkumpul dan menetap di tepi danau itu,

maka tempat itu diberi nama Lampulu’ yang berasal dari bahasa Bugis sipulung-pulung

atau mabbulumpulungeng dan sang pemimpin sakti tersebut diberi gelar Puangngé ri

Lampulungeng serta danau itu dinamakan Tapparengngé ri Lampulungeng. Hal ini

sebagaimana tergambar pada kutipan teks berikut.

Transliterasi:

Maccai laonruma napalla’i, mapatoi mangampi’, tennatippa’ olokolo’ bisésana,

tennanré bawi tennapessi’ dongi’. Naissettoi wettu madécéngngé ri tanengeng

bisésa iyaréga asé, barellé, aladi, lamé, tebbu nennia ukkajukajung. Naia

maégana tau sipulu-pulung koro, iaro taué riasengngi Puangngé ri

Lampulungeng. Natella’toni tapparengngé ri Lampulungeng (sumber: naskah

LSW:h.3-4)

Terjemahan:

Mereka cakap bertani dan dipagarinya, rajin menggembala dan tidak diganggu

oleh binatang tanamannya, tidak dimakan babi dan tidak dikosongkan oleh

burung pipit. Selain itu, mereka juga mengetahui waktu yang baik untuk

menanam padi, jagung, talas, ubi, tebu dan sayur-sayuran. Setelah banyak orang

berkumpul di situ, orang itu dinamakan Puangngé ri Lampulungeng dan

digelarnya pula danau lampulungeng (terj. Abidin, 1985)

Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Puangngé ri Lampulungeng merupakan

suatu hal yang lumrah jika disukai oleh pengikutnya, sebab konsep kepemimpinan

yang dilakukan selalu berpihak kepada rakyatnya. Salah satu hal yang dimaksud adalah

Page 58: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

46

keahlian yang dimiliki pemimpin tersebut, yaitu usaha untuk membangun suatu

wilayah yang terus dilakukan agar tercipta sebuah perubahan yang nyata di wilayah

sekitar Danau Lampulungeng khususnya dalam hal pertanian. Perubahan itu sangat

jelas terjadi sebab wilayah yang tadinya hanya sebuah padang yang luas dan hutan lebat

disulap menjadi sebuah daerah agraris (pertanian). Hal itu terjadi karena yang

dilakukan adalah bersama-sama pengikutnya membuat lahan pertanian dengan cara

menanam padi, jagung dan ubi serta ada pula yang melakukan aktivitas seperti

menangkap ikan.

Pembangunan yang dilakukan Puangngé ri Lampulungeng tidak hanya pada

bidang pertanian, sebab ada konsep kepemimpinan lain yang sering dilakukannya pada

saat memimpin Paung. Konsep itu adalah musyawarah, misalnya dia selalu berbagi

pendapat dengan rakyatnya atau melibatkan rakyat sebelum mengambil sebuah

keputusan, yang dalam bahasa Bugis disebut assipetangngareng. Kemudian

diceritakan dalam lontara bahwa lama kelamaan tempat mereka itu semakin ramai dan

banyak orang-orang berdatangan, disebabkan orang-orang yang tinggal di tempat itu

merasa dihargai dan dibantu oleh pemimpinnya. Selain pandai berbicara dalam hal ini

yang dimaksud adalah musyawarah, Puangngé ri Lampulungeng juga pandai meramal

sehingga kewibawaannya sebagai seorang pemimpin bertambah atas keahlian yang

dimilikinya itu, misalnya pandai meramalkan hari-hari yang baik untuk menanam padi

dan jagung, sehingga pertanian semakin berkembang dan kehidupan mereka semakin

makmur karena dikatakan bahwa mereka tidak kelaparan. Hal ini sebagaimana tertulis

pada kutipan teks berikut ini.

Page 59: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

47

Transliterasi:

Narimakkuannanaro namawesso’ gangka engkana koro. Maégana tau laing polé

tappingiwi. Lebbini patappulo oroané, nasaba’ riasengngi to mabbisa-bisa

mabboto-boto (sumber: naskah LSW:h.4)

Terjemahan:

Oleh karena itulah mereka kenyang sejak menetap di tempat itu. Banyaklah orang

lain yang datang menambahnya. Telah ada lebih empat puluh orang laki-laki,

sebab mereka mengatakan bahwa orang itu pandai berbicara dan pandai meramal

(terj. Abidin, 1985)

Dengan memahami kutipan teks di atas, penulis berasumsi bahwa daerah Paung

yang dipimpin Puangngé ri Lampulungeng mengalami perkembangan, baik dari segi

penduduk maupun dalam hal mata pencaharian yang dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Selain itu, ada juga musyawarah yang dilakukan oleh

pemimpinnya, hal itu berarti konsep pemerintahan dalam wilayah tersebut ikut pula

berkembang. Dengan banyaknya bukti-bukti pembangunan yang dilakukan Puangngé

ri Lampulungeng membuat penduduknya semakin betah dan nyaman menetap di

Paung. Hal ini secara tidak langsung juga mempengaruhi bertambahnya jumlah

penduduk, sebab dikatakan dalam lontara bahwa “Orang-orang dari perkampungan lain

terus berdatangan ke tempat itu dan akhirnya daerah itu membengkak”. Ditambah lagi

hubungan sosial antara keluarga yang satu dengan keluarga lain sudah terjalin yang

kemudian membentuk hubungan kekerabatan dan menghasilkan hubungan perkawinan

diantara mereka. Hubungan perkawinan yang dilakukan secara otomatis menciptakan

sebuah keturunan yang akan mempengaruhi kepadatan penduduk, sehingga tempat itu

menjadi padat sebab tidak ada lagi ruang yang bisa ditempati untuk membuka lahan

Page 60: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

48

permukiman penduduk, karena lahan yang digunakan untuk aktivitas pertanian seperti

menanam padi dan jagung juga sudah mulai berkembang yang mengikuti jumlah

penduduk. Hingga pada akhirnya Puangngé ri Lampulungeng melakukan musyawarah

dengan rakyatnya dan memutuskan untuk pergi mencari tempat yang baru, dalam hal

ini terjadi migrasi yaitu perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain.

Adapun wanua yang pertama di tempati oleh Puangngé ri Lampulungeng diberi nama

Paung.

Peristiwa pemberian nama Paung menurut LSW dimulai dengan percakapan

yang dilakukan Puangngé ri Lampulungeng kepada rakyatnya. Ceritanya bermula pada

suatu hari berkumpullah orang-orang di Lampulungeng dan berkata Puangngé ri

Lampulungeng “Aku ingin pergi mencari tempat lain yang dekat laut, sebab tempat

kita sekarang telah sempit untuk dijadikan sumber penghidupan kita yang disebabkan

tidak ada lagi tanah yang dapat digarap, bila ada orang bergabung bersama kita”.

Semua orang-orang di situ hendak mengikuti apa yang diinginkan Puangngé ri

Lampulungeng, dan akhirnya mereka berjalan ke arah timur Danau Lampulungeng dan

mendapatkan dataran dan padang yang luas.

Di tempat itulah mereka menetap untuk bercocok tanam seperti menanam padi

dan jagung. Kemudian dikatakan bahwa tanaman mereka tidak dimakan oleh babi dan

tidak dikosongkan oleh burung pipit. Setahun saja Puangngé ri Lampulungeng di sana,

maka dia bercakap-cakap lagi pada suatu malam “Masih jelek tempat kita, akan sempit

sawah yang akan dibuka, dan belum juga kita menemukan laut di sini. Dengan

Page 61: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

49

demikian, tempat itu digelarnya Paung (kata-kata). Hal ini sebagaimana tergambar

pada kutipan teks berikut.

Tranliterasi:

Najoppana lao alau’, naengkatona tanété maloang pada nalolongeng. Kuniro

léppang pada maddare’ engkato maggalung taro asé, barellé, tennanrémusi

bawi tennatippa’ dongi’. Nasitaummi monro koro Puangngé ri Lampulungeng

mappau-pausi ri wennié makkeda “Majamopa onrotta’, macikke’ galungngé

nakko engka riwenru, de’topa gaga tasi’ rilolongeng kuaé”. Aga natella’ni

onrongngéro Paung (sumber: naskah LSW:h.6)

Terjemahan:

Berjalanlah mereka ke arah timur dan mendapatkan dataran yang luas. Di sanalah

mereka berhenti untuk berkebun, ada juga yang bertani seperti menanam padi

dan jagung. Tanaman mereka tidak dimakan lagi oleh babi, dan tidak

dikosongkan oleh burung pipit. Setahun saja Puangngé ri Lampulungeng tinggal

di sana maka ia bercakap-cakap lagi pada suatu malam “Masih jelek tempat kita,

akan sempit sawah yang akan dibuka, dan belum juga kita menemukan laut di

sini. Maka tempat itu digelarnya Paung (kata-kata) (terj. Abidin, 1985)

Ada empat hal yang perlu dicatat dari beberapa kutipan teks LSW di atas yaitu:

pertama, latar tempat cerita; kedua, berpindah ke suatu tempat yang lebih luas, oleh

karena wilayahnya mengalami perkembangan dari jumlah penduduk dan lapangan

pekerjaan; ketiga, nama Paung berdasarkan percakapan Puangngé ri Lampulungeng

pada suatu malam karena dia ingin mencari tempat yang lebih luas lagi; dan keempat

bahwa konsep kepemimpinan seperti musyawarah sudah berlangsung jauh sebelum

Kerajaan Wajo terbentuk sebagai sebuah kerajaan federasi (kesatuan).

b. Pénrang sebagai kelanjutan dari Paung

Keinginan Puangngé ri Lampulungeng untuk membentuk perkampungan baru

memberikan indikasi bahwa wilayah Paung sudah dipastikan mengalami

Page 62: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

50

perkembangan pesat dari segi kependudukan dan lapangan kerja seperti apa yang telah

dijelaskan sebelumnya, sehingga tidak ada lagi ruang untuk dijadikan tempat tinggal

maupun lahan untuk bertani dan berkebun. Dengan kondisi demikian, hal yang

dilakukan oleh Puangngé ri Lampulungeng adalah mencari tempat baru yang lebih luas

atau dapatlah kita sebut orang-orang pada saat itu melakukan apa yang diistilahkan

dengan Migrasi, yaitu berpindah ke suatu tempat untuk menetap di tempat tujuan.

Terjadinya Migrasi pada saat itu dapat menjadi bukti keberhasilan Puangngé ri

Lampulungeng dalam memimpin sebuah wanua, terutama dalam hal pertanian yang

mengalami perkembangan signifikan dari hari ke hari, sehingga menyebabkan

sebagian penduduk Paung harus berpindah tempat. Hal tersebut sesuai dengan

percakapan Puangngé ri Lampulungeng dengan pengikutnya (rakyat) pada saat ingin

meninggalkan Paung, yang mengatakan bahwa “Aku ingin pergi mencari tempat yang

lebih luas, sebab tempat kita sekarang telah sempit untuk dijadikan sumber

penghidupan kita”. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut.

Transliterasi:

Naengkana séua wettu naddeppu-deppungeng taué ri Lampulungeng nakkeda

Puangngé ri Lampulungeng “Maélokka lao sappa’ onrong laingngé macawé’é

tasi’é, nasaba’ ia onrotta’ kuaé macipi’ni akkinanréta. De’na gaga wedding

riémpagai, narékko engkamupa tau tappingiki’”. Napada kado taué koro maélo’

maccoé (sumber: naskah LSW:h.5)

Terjemahan:

Pada suatu waktu berkumpullah orang-orang di Lampulungeng dan berkata

Puangngé ri Lampulungeng “Aku ingin pergi mencari tempat lain yang dekat

laut, sebab tempat kita sekarang telah sempit untuk dijadikan sumber

penghidupan kita. Tidak ada lagi tanah yang dapat digarap, bila ada orang

Page 63: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

51

menggabung pada kita”. Semua orang-orang di tempat itu bersepakat hendak

mengikutinya (terj. Abidin, 1985)

Pola kepemimpinan Puangngé ri Lampulungeng dapat menjadi bukti

kewibawaan yang dimiliki. Salah satu bukti yang disebut dalam LSW adalah orang-

orang yang ada di Paung tidak pernah kelaparan selama mereka menetap di tempat itu

dan tanaman mereka tidak diganggu oleh binatang liar seperti babi, rusa, kerbau dan

tidak dikosongkan oleh burung pipit. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapatlah

dikatakan bahwa terbentuknya wanua Pénrang disebabkan Paung telah mengalami

perkembangan pesat, jika dibandingkan kondisi wilayah itu sebelum kedatangan

Puangngé ri Lampulungeng yang jauh dari peradaban manusia salah satunya disebut

dalam lontara bahwa tidak dihuni oleh manusia.

Cerita singkat terbentuknya Pénrang adalah pada waktu Puangngé ri

Lampulungeng bersama sebagian pengikutnya meninggalkan Paung untuk mencari

tempat yang lebih luas yang bisa dijadikan perkampungan lebih baik dari sebelumnya,

dalam hal ini Paung. Perjalanan mereka dimulai dengan berjalan menuju arah timur

Danau Lampulungeng, singkat cerita dalam porses perjalanan Puangngé ri

Lampulungeng bersama pengikutnya menemukan pohon yang memiliki kayu yang

besar, dan berkata Puangngé ri Lampulungeng “Di sini saja wahai anak-anakku, kita

bermalam”. Di daerah itu terdapat sebatang pohon besar dan tinggi yang disebut aju

battoa marajaé, dan orang-orang dahulu menyebut jenis pohon terbaik seperti cendana

dan bayam dengan sebutan Pénrangngé. Dengan demikian, mereka membuat

Page 64: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

52

perkampungan dan dinamakanlah Pénrang. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan

teks berikut.

Transliterasi:

Naléléna lao alau’. Naléppassi Puangngé ri Lampulungeng ri awana aju battoa

marajaé. Natangnga’-tangnga’i lompo’é alau’, nakkeda “Tajoppapa lao alau’,

bara’ engkamua padang maloang macawé’ tasi’é. Napada joppasi, naengkasi

aju battoa maraja nalolongeng Puangngé ri Lampulungeng, makkedani “Kuni’

kalaki’ madécéng mabbenni” (sumber: naskah LSW:h.7)

Terjemahan:

Maka bergeserlah mereka ke arah timur dan singgah lagi Puangngé ri

Lampulungeng di bawah pohon kayu besar, kemudian dia memandang dataran

di sebelah timur, lalu berkata “Mari kita berjalan lagi ke timur, kiranya ada lagi

padang yang luas dekat laut”. Kemudian berjalan lagi mereka dan ditemukan lagi

pohon kayu yang besar oleh Puangngé ri Lampulungeng, lalu ia berkata “Di sini

saja, anak-anakku sekalian, kita bermalam” (terj. Abidin, 1985)

c. Sarinyameng sebagai wilayah perluasan dari Pénrang

Pola kepemimpinan yang sering ditunjukkan oleh Puangngé ri Lampulungeng

melalui kegemarannya berpindah tempat, disebabkan perkampungan yang dipimpin

sebelumnya selalu mengalami perkembangan utamanya dalam hal kependudukan dan

lahan pertanian, yang kemudian menyebabkan wilayahnya mengalami pembengkakan.

Satu hal yang mendasar terhadap peristiwa tersebut bahwa semua wilayah yang

dibangun oleh Puangngé ri Lampulungeng disebabkan alasan utama, yaitu daerah yang

ditempati memiliki peradaban yang semakin meningkat, khususnya dalam jumlah

penduduk yang secara terus menerus mengalami kepadatan, oleh karena semakin

banyaknya orang-orang berdatangan ke tempat itu dan keluarga generasi pertama yang

menetap, sudah memiliki keturunan yang bisa dikatakan mengalami peningkatan.

Page 65: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

53

Selain itu, satu hal yang juga akan dipengaruhi dengan kondisi permukiman seperti itu

adalah lahan untuk membuka sawah semakin sempit dan ruang untuk membangun

permukiman semakin berkurang yang disebabkan luas wilayah tidak sesuai dengan

jumlah penduduk, dalam hal ini jumlah penduduk lebih besar.

Menurut hemat penulis, sudah tepat apa yang dilakukan oleh Puangngé ri

Lampulungeng sebagai seorang pemimpin, yaitu dia tidak ingin melihat rakyatnya

menderita oleh karena persoalan wilayah yang semakin sempit. Dengan kondisi

demikian, membuat Puangngé ri Lampulungeng mengambil sebuah langkah strategis

untuk mencari wilayah yang lebih luas dari permukiman sebelumnya, dan saat itulah

dia bersama para pengikutnya meninggalkan Pénrang dan menemukan tempat baru

yang dinamakan Sarinyameng. Posisi Sarinyameng yang digambarkan dalam LSW

berada di sebelah timur Danau Lampulungeng dimana wilayahnya sangat luas yang

banyak ditumbuhi oleh pohon nipa yang rimbun dan posisinya dekat laut. Hal ini

sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini:

Transliterasi:

Pappa’ni bajaé natangnga’ madécénni lompo’é alau’, maloang, maéga tona

pannipana, mallimpo-limpo naita. Nakapanni masse’ engkatona tasi’ macawé’

(sumber: naskah LSW:h.7)

Terjemahan:

Keesokan harinya, Puangngé ri Lampulungeng memandangi dengan baik dataran

di sebelah timur, ternyata luas dan melihat banyak pula pohon nipa yang rimbun.

Diduganya dengan kuat bahwa ada laut yang dekat (terj. Abidin, 1985)

Kondisi geografi Sarinyameng yang digambarkan pada kutipan teks di atas dapat

mengindikasikan bahwa wilayah yang ditemukan Puangngé ri Lampulungeng sangat

Page 66: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

54

sesuai dengan keinginannya, yaitu dia menginginkan tempat yang lebih luas daripada

permukiman yang dibentuk sebelumnya seperti Paung dan Pénrang. Selain itu, kutipan

teks yang menyebut “Posisi Sarinyameng berada dekat laut” dapat menjadi dugaan

Puangngé ri Lampulungeng ingin menciptakan sebuah lapangan kerja yang erat

kaitannya dengan masyarakat pesisir misalnya memancing atau menangkap ikan, sebab

aktivitas yang selama ini diperkenalkan hanya pada bidang pertanian saja seperti

menanam padi dan jagung. Dengan demikian, aktivitas selain pada bidang pertanian

dapat menjadi hal baru yang bisa dilakukan penduduk Sarinyameng dengan melihat

kondisi wilayah yang digambarkan.

Adapun cerita pemberian nama Sarinyameng yang diungkap dalam LSW

bermula pada saat Puangngé ri Lampulungeng mengajak para pengikutnya untuk

meninggalkan Pénrang, sebab dia menginginkan tempat yang lebih luas dan berada

dekat laut. Oleh karena itu, maka pindahlah mereka ke arah timur lalu berkata

Puangngé ri Lampulungeng “Mari kita berjalan lagi ke timur, kiranya ada tempat

permukiman seperti yang kita inginkan” dan para pengikut Puangngé ri Lampulungeng

mengikuti apa yang dikatakan oleh pemimpinnya dan mereka pun berjalan lagi hingga

akhirnya mereka lelah dan beristirahat di bawah pohon besar dan berkata Puangngé ri

Lampulungeng “Disini saja wahai anak-anakku, kita bermalam”. Pada esok hari,

Puangngé ri Lampulungeng memandangi dengan baik dataran di sebelah timur, dia

menemukan tempat yang lebih luas dikelilingi pohon nipa yang rimbun. Di sekitar

pohon nipa diduganya bahwa ada laut yang dekat dan memutuskan untuk menuju ke

tempat itu. Di sanalah dia bersama para pengikutnya membuka lapangan pekerjaan

Page 67: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

55

untuk menjaga kelangsungan hidup mereka seperti bertani, berkebun, menangkap ikan

dan menyadap tuak dari pohon-pohon enau. Orang-orang yang senantiasa menyadap

tuak itulah yang kemudian memberi tempat baru itu dengan nama Sarinyameng (tuak

yang disadap yang nyaman diminum), yang berasal dari dua kata yaitu (sari=sadap;

nyameng=nyaman). Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut.

Transliterasi:

Naia tau maccoé’é pada sappa’toni pallaong, engka lao mappétawu galung,

makkaja, engkato lao massari. Jaji natella’ni onrongngéro Sarinyameng

(sumber: naskah LSW:h.7)

Terjemahan:

Orang-orang yang mengikuti Puangngé ri Lampulungeng pergilah mencari

lapangan pekerjaan; ada yang membuat pematang sawah, menangkap ikan dan

ada pula yang pergi menyadap. Jadi gelarlah tempat itu Sarinyameng (tuak yang

disadap yang nyaman diminum) (terj. Abidin, 1985)

d. Saébawi sebagai akhir kepemimpinan Puangngé ri Lampulungeng

Lahirnya Saébawi diceritakan dalam lontara setelah Puangngé ri Lampulungeng

membangun dan memimpin Paung, Pénrang dan Sarinyameng. Saébawi merupakan

wanua yang terakhir dipimpin oleh Puangngé ri Lampulungeng sebelum meninggal,

yang posisinya terletak di sebelah Barat Danau Lampulungeng. Kondisi awal

wilayahnya diceritakan pertama kali dibangun oleh Puangngé ri Lampulungeng

bersama pengikutnya melalui cara yang sama dilakukan pada wanua sebelumnya

seperti Paung, Pénrang dan Sarinyameng, yaitu dimulai dengan membangun lapangan

pekerjaan seperti menanam padi, menanam jagung, menangkap ikan dan menyadap

tuak. Menurut hemat penulis, pola kepemimpinan ini sudah menjadi langkah awal yang

Page 68: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

56

sering dilakukan Puangngé ri Lampulungeng saat membangun suatu wilayah, namun

sedikit berbeda dengan daerah sebelumnya (Paung, Pénrang dan Sarinyameng), sebab

cara berpikir pemimpin tersebut semakin berkembang pada saat membangun Saébawi

yang dibuktikan dengan adanya aktivitas baru yang diciptakan yaitu membuat

minuman tradisional yang dihasilkan dari sadapan pohon enau yang dapat menambah

stamina bagi pekerja. Aktivitas tersebut dinamakan menyadap tuak yang kemudian

diajarkan kepada para pengikutnya. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada kutipan teks

berikut.

Transliterasi:

Pappa’ni bajaé natangnga’ madécénni lompo’é alau’, maloang, maéga tona

pannipana, mallimpo-limpo naita. Nakapanni masse’ engkatona tasi’ macawé’.

Makkedani Puangngé ri Lampulungeng “Kuni’ kalaki’ madécéng mabbémpaga.

Maégamato maka ripogau’ ri ale’é”. Naia aléna mabbémpagani dare’. Naia tau

maccoé’é pada sappa’ toni pallaong, engka lao mappétawu galung, makkaja,

engkato lao massari (sumber: naskah LSW:h.7)

Terjemahan:

Keesokan harinya Puangngé ri Lampulungeng memandangi dengan baik dataran

di sebelah timur, ternyata luas dan melihat banyak pula pohon nipa yang rimbun.

Diduganya dengan kuat bahwa ada laut yang dekat. Berkatalah Puangngé ri

Lampulungeng “Baiklah, hai anak-anakku, kita di sini mencari makanan dahulu,

dan banyak juga yang dapat kita kerjakan di hutan”. Adapun Puangngé ri

Lampulungeng pergi mencari tempat perkebunan. Orang-orang yang

mengikutinya pergi pula mencari lapangan pekerjaaan, ada yang membuat

pematang sawah, menangkap ikan dan ada pula yang pergi menyadap (terj.

Abidin, 1985)

Pola kepemimpinan yang terus dilakukan Puangngé ri Lampulungeng semakin

menambah kewibawaannya dalam menangani suatu daerah yang berlanjut pada wanua

Saébawi seperti yang tercatat dalam LSW. Hal yang dimaksud adalah orang-orang

Page 69: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

57

lebih banyak lagi berdatangan menuju Saébawi dibandingkan yang terjadi pada wanua

sebelumnya (Paung, Pénrang dan Sarinyameng), yang disebabkan keahlian dimilikinya

seperti pandai berbicara dan pandai meramal terus mengalami perkembangan sehingga

membuat semua aspek kehidupan di perkampungan itu semakin menemui titik terang.

Satu hal yang dapat diasumsikan dengan melihat peristiwa ini bahwa kepemimpinan

harus dilengkapi dengan keahlian oleh seorang pemimpin, sebab itulah yang menjadi

alat untuk mencipatakan sebuah inovasi atau hal yang baru.

Hal lain yang tergambar pada Saébawi bahwa sumber makanan seperti beras,

jagung, ikan dan sumber minuman seperti tuak semakin banyak berkembang pula,

sehingga kelangsungan hidup masyarakat terjamin. Selain sumber penghidupan yang

telah dijelaskan sebelumnya, orang-orang mulai mengenal menyabung ayam, memukul

gendang, bersuling dan olahraga adu sepak (adu kaki dan sepak raga) juga sudah

dilakukan. Adapun anak-anak juga sudah bisa menciptakan sebuah permainan seperti

bermain gasing, logo’, saling memecahkan buah kemiri, bermain buah kemiri dan buah

punaga. Sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut.

Transliterasi:

Napédé’ tama mani taué temmassu’. Takka’boro’ toni taué ri anréwé. Naia mani

napogau’ macculé ri awana aju marajaé manré ménung, saung, maggenrang

massoling. Engkato massémpe’ mallanca maddaga. Naia anana’é

maggasingngi, mallogo’i, mabbukké’, makkampiri, macculéi bua pelleng bua

pudé’ (sumber: naskah LSW:h.9)

Terjemahan:

Makin bertambahlah orang yang masuk dan tidak keluar. Orang-orang juga mulai

takabur terhadap makanan. Yang dikerjakan orang hanyalah bermain-main di

bawah pohon kayu yang besar sambil makan dan minum, menyabung ayam,

Page 70: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

58

memukul gendang dan bersuling. Ada juga yang bermain adu sepak, adu kaki

dan sepak raga. Adapun anak-anak bermain gasing, logo’, saling memecahkan

buah kemiri, bermain buah kemiri dan buah punaga (terj. Abidin, 1985)

Asal usul pemberian nama Saébawi terjadi ketika masyarakat pra-Wajo (Paung,

Pénrang dan Sarinyameng) melakukan musyawarah dan bersepakat menamakan

negerinya Saébawi. Hal ini terjadi atas apa yang dilakukan pemimpinnya pada saat

bepergian ke suatu tempat yang mengendarai babi seperti kerbau besarnya. Dalam

LSW dikatakan bahwa pada wanua Saébawi orang-orang sudah mulai berpikir

bagaimana bisa sampai ke suatu tempat dengan waktu yang lebih cepat, sehingga pada

waktu itu binatang menjadi sebuah pilihan yang dijadikan alat transportasi darat. Hal

ini serupa dengan yang dilakukan Puangngé ri Lampulungeng pada saat bepergian ke

suatu tempat dengan mengendarai seekor babi yang seperti kerbau besarnya, dan babi

itulah yang dipanggil untuk dikendarainya bagaikan seekor kuda jika hendak bepergian

(sae artinya mengendarai dan bawi artinya babi) dan dinamakanlah perkampungan itu

Saebawi. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Naia monrona Puangngé ri Lampulungeng maddare’ koro ri awana aju marajaé,

pédé’ maégani tau lao maccoé’. Maddatu’ni oroané. Naia gau’na Puangngé ri

Lampulungeng monrona koro maddare’, engka bawi maraja napada tédong.

Ianaro bawinna naolli’ natonangiwi pada anynyarang narékko engka maélo’

nalokkai. Aga naritella’na onrongéro ri Saébawi (sumber: naskah LSW:h.8-9)

Terjemahan:

Ketika Puangngé ri Lampulungeng tinggal berkebun di bawah pohon kayu besar,

maka banyaklah orang yang pergi mengikutinya. Sudah ada beratus orang lelaki.

Adapun yang dilakukan oleh Puangngé ri Lampulungeng pada waktu dia tinggal

berkebun di situ adalah memelihara seekor babi besar seperti kerbau dan babi

itulah yang dipanggilnya untuk dikendarainya bagaikan kuda, bilamana ada suatu

Page 71: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

59

tempat yang akan dikunjunginya. Maka dinamakanlah tempat itu Saébawi

(terj.Abidin, 1985)

Ada satu hal yang menarik perhatian penulis terkait konsep pemerintahan yang

diterapkan Puangngé ri Lampulungeng mulai saat memimpin Paung hingga Saébawi,

yaitu kita menemukan konsep maradeka dalam ideologi orang-orang Wajo yang berarti

bebas, sesuai dengan semboyan orang-orang Wajo dahulu kala yang berbunyi “Ri

laleng tampu’ mupi to Wajoé namaradeka” yang artinya orang-orang Wajo itu telah

merdeka sejak dalam kandungan ibunya (Abidin, 1999:138). Bebas disini, dalam artian

dia ingin berkuasa di wilayahnya sendiri dan tidak ingin menyerahkan diri di bawah

kekuasaan Kerajaan lain seperti Kerajaan Luwu atau Bone. Hal ini terbukti ketika Opu

Baliranté yang diutus oleh Kerajaan Luwu untuk menagih widattali (pajak bumi dan

bangunan), Puangngé ri Lampulungeng selaku pemimpin menolak upeti dari kerajaan

Luwu dengan kemampuan diplomasi atau kepandaian berbicara yang dimiliki.

e. Boli sebagai awal kepemimpinan Puangngé ri Timpengeng

Kelompok masyarakat Lampulung dan Boli menurut riwayat LSW pada

dasarnya masih merupakan tipologi masyarakat sedang dengan pola kepemimpinan

dan kekuasaan yang khas sesuai dengan kebudayaan yang ada pada masyarakat

tersebut. Untuk menciptakan keteraturan, mereka mengangkat tokoh mistis sebagai

pemimpin mereka. Para pemimpin pada masyarakat sedang memerlukan power atau

kekuasaan sebagai landasan kepemimpinan mereka yang diperoleh karena memiliki

beberapa sifat yang seolah-olah merupakan syarat dalam kebudayaan-kebudayaan

masyarakat Wajo pada masa lalu untuk mencapai kedudukan berwibawa di mata orang

Page 72: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

60

banyak. Sifat-sifat yang sering disebut itu adalah kepandaian berburu, berkebun,

bertani, keterampilan berbicara, kemahiran berdiplomasi dan sifat-sifat yang sesuai

dengan cita-cita dan keyakian masyarakat pra-Wajo pada masa itu misalnya bermurah

hati. Salah satunya adalah kepandaian berdiplomasi atau berbicara yang dimiliki

Puangngé ri Lampulungeng membuat Kerajaan Luwu pada waktu itu gagal menagih

upeti kepada masyarakat Lampulung (Paung, Pénrang, Sarinyameng, Saébawi).

Setelah meninggalnya Puangngé ri Lampulungeng, maka faktor integrasi orang-

orang di Pénrang, Saébawi, dan Sarinyameng menjadi hilang, sehingga dikatakan pada

waktu itu timbul kekacauan (chaos) oleh karena kevakuman pemimpin. Pada waktu itu

belum dikenal sistem kooptasi, yaitu penunjukan calon pengganti pemimpin oleh

pemimpin yang mendekati ajalnya (Abidin, 1999:116). Mitos kekacauan masyarakat

tanpa pemimpin digambarkan oleh lontara bahwa “Dé’ na ade’ sianrébaléni taué

makkawatangengmani taué niga riatta iana riemme’”, yang artinya binatang liar sudah

mengganggu tanaman dan panen rusak dengan kata lain tidak ada lagi hukum, orang-

orang saling memakan laksana ikan besar menelan ikan kecil, siapa yang teledor dialah

yang ditelan. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Naia maténa Puangngé ri Lampulungeng, naia taué ri Pénrang ri Saébawi ri

Sarinyameng pada masarani, nasaba’ de’na gaga to mabisa-bisa naddakkari

nakkutanai rékko engka maélo’ napogau’. Napada pangélorenna mani taué

napogau’. De’na assiturusenna. Maradéka manenni sininna engkaé koro,

nakkélorini aléna. Makkecca’ toni olokolo’é ri wisésana, mammulatoni engka

tau maélo’ makkawatangeng (sumber: naskah LSW:h.10-11)

Page 73: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

61

Terjemahan:

Setelah meninggalnya Puangngé ri Lampulungeng, orang-orang di Pénrang,

Saébawi dan Sarinyameng sama bersusah hatilah, sebab tidak ada lagi orang yang

pandai berbicara dan meramal yang ditempati berkumpul untuk bertanya, bila

ada yang hendak dikerjakan. Maka semua orang-orang berbuat menurut

kehendak mereka saja dan tidak ada lagi persatuannya. Bebas semualah orang-

orang yang ada di situ, dan berbuat sesuai kehendak hati mereka. Binatang juga

sudah mulai mengganggu tanaman orang, mulai pula ada orang yang hendak

saling berbuat kekerasan (terj. Abidin, 1985)

Lahirnya negeri Boli menurut riwayat LSW terjadi setelah meninggalnya

Puangngé ri Lampulungeng. Diceritakan bahwa sejak saat itu orang-orang yang

menetap di Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi menganggap tidak ada lagi yang dapat

memimpin mereka, terutama dalam hal kepandaian meramal dan berbicara yang

dimiliki oleh Puangngé ri Lampulungeng. Dengan kondisi demikian, orang-orang

berbuat atas kehendak mereka masing-masing sehingga timbul kekacauan, dan

menyebabkan sebagian pengikut dari Puangngé ri Lampulungeng pergi meninggalkan

daerahnya dan pergi membentuk perkampungan baru yaitu Sekkanasu, Wéwattana, dan

Bélogalung. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Mammulani massu’ to Pénrangngé to Saébawi to Sarinyamengngé sappa’

onrong laingngé, naengkana nalolongeng, napattellu konronni aléna. Engka

masengngi wanuanna Sekkanasu, Wéwattana, Bélogalung (sumber: naskah

LSW:h.12)

Terjemahan:

Mulailah ke luar orang-orang Pénrang, Saébawi dan Sarinyameng mencari

tempat yang lain dan didapatkanlah tempat baru kemudian dibagi tiga diri

mereka. Ada yang menamakan negerinya Sekkanasu, Wewattana dan

Belogalung (terj. Abidin, 1985)

Page 74: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

62

Cerita berlanjut ketika sebagian pengikut Puangngé ri Lampulungeng yang tidak

meninggalkan daerahnya menemukan seseorang lelaki tinggal di daerah sekitar

sebatang pohon besar dan tinggi di sebelah Barat Danau Lampulungeng. Pohon itu

disebut Bajo (Noorduyn, 1955:43), yang mengutip pendapat De Clerc dan v.d. Veen,

Bajo adalah macaranga, suatu pohon yang tekikannya digunakan untuk dicampurkan

ke dalam tuak sadapan dari batang pohon enau. Tuak yang sudah diberi bumbu tekikan

pohon bajo itu dinamakan tua’ riboli.

Lelaki tersebut dianggap dapat memimpin mereka, sebab kepandaiannya

meramal dan berbicara tidak kalah dengan Puangngé ri Lampulungeng namun orang

tersebut tidak diketahui nama dan asalnya, hanya dikatakan bahwa dia tinggal bekebun

di bawah pohon bajo yang terletak di sekitar Danau Lampulungeng. Orang yang

berwibawa itu menggunakan bahasa ugi (Bugis) dan luuk (Luwu). Dia diberi gelar

Puangngé ri Timpengeng, oleh karena puteranya selalu berkata kepada kawannya kalau

hendak memberikan apa-apa kepada sang pemimpin “Timpengengngi Puatta!”, yang

artinya “Suguhkanlah kepada Tuan kita” atau “Berikanlah Tuan kita”. Puangngé ri

Timpengeng dikatakan tidak kalah dari Puangngé ri Lampulungeng dalam hal

kecakapan memimpin sebuah wanua, salah satunya dibuktikan dengan

memperkenalkan minuman baru berupa tuak yang dicampur dengan tekikan pohon

bajo, yang dapat membuat orang kuat bekerja. Perkampungan Puangngé ri

Timpengeng semakin lama semakin ramai oleh karena terkenal dengan tua’ ribolinya,

dan perkampungan yang ditempati itu dinamakan Boli. Hal ini sebagaimana tertulis

pada kutipan teks berikut ini.

Page 75: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

63

Transliterasi:

Namarang engkasi to mabisa-bisa timunna monro koro maddare’ ri tanété orai’é

ri awana aju bajo’ marajaé, tennanré olokolo’ bisésana. Tenrisetto

apoléngenna, warékkadanna ada Luwu’ ada Ogi. Namaégana to Pénrang to

Saébawi to Sarinyameng to Sekkanasu lao mitai, apa’ nasengngi Puangngé ri

Lampulungeng tuo paimeng. Naia lettu’ nana pada mabbennini. Natangnga’ni

rupanna sibawa warékkadanna, tania. Iamua bisa-bisana mappau ia sisemmua,

makkoniro namaéga monro. Naiaro taué rekko engka aga-aga naéllau,

makkedani ana’na “Timpengengngi Puatta”. Jaji ritella’i Puangngé ri

Timpengeng. Naia tau engkaé lao koro rijellokenni pallaong napojié ri Puatta ri

Timpengeng. Engkana maddare’, maggalung, makkaja. Naia to Sarinyamengngé

laotosi massari tua’. Makkedai Puangngé ri Timpengeng ri ana’na “Laoko

kalaki’ mutébba’i aju marajaé mutimpengengngi passarié ri tua’na manyameng

riénung mapai’-pai’. Naia kia napaéncéngngi watangngé mappallaong”. Aga

napada minunna tua’ ribuli sininna tau engkaé lao koro. Jaji natella’toni

onronna ri Boli. Napédé’ tama taué ri Boli, apa’ makkedai taué: “ia Puangngé

ri Timpengeng narekko napainungngi taué taka’ mellawé’ mencéngngi watanna

mappallaong” (sumber: naskah LSW:h.13-16)

Terjemahan:

Lalu ada lagi orang yang pandai meramal tinggal di situ berkebun di padang

sebelah barat di bawah pohon bajo besar, tanamannya tidak dimakan oleh

binatang. Orang itu tidak diketahui pula asalnya namun, dia berbicara

menngunakan bahasa Luwu dan bahasa Bugis. Maka banyaklah orang-orang

Pénrang, Saébawi, Sarinyameng dan Sekkanasu pergi melihatnya sebab mereka

menyangka Puangngé ri Lampulungeng hidup kembali. Setelah mereka tiba,

maka mereka bermalam bersama, ditatap mukanya dan diamati caranya berbicara

ternyata bukan Puangngé ri Lampulungeng. Hanya kepandaiannya berbicara dan

meramal sama benar. Demikianlah sehingga banyak orang yang tinggal di sana.

Orang itu bila ada sesuatu yang dimintanya, anaknya hanya berkata

“Timpengengngi (berikanlah) Tuan kita!” jadi digelarlah ia Puangngé ri

Timpengeng. Adapun orang-orang yang pergi ke sana ditunjukkanlah pekerjaan

yang disukainya oleh Puangngé ri Timpengeng. Ada yang berkebun, bersawah

dan menangkap ikan. Adapun orang-orang Sarinyameng pergi menyadap tuak.

Berkata Puangngé ri Timpengeng kepada anaknya: “Pergilah hai anak-anak,

mengupas kulit kayu besar itu, dan berikanlah kepada para penyadap tuak untuk

dicampurkan pada tuak mereka, karena enak diminum, rasanya pahit-pahit. Akan

tetapi menambah kekuatan kita untuk bekerja”. Maka semua orang-orang yang

pergi ke tempat itu minumlah tuak yang dicampur kulit kayu. Digelarnya pula

tempatnya Boli (sadap). Makin bertambahlah orang masuk di Boli, karena orang

mengatakan bahwa “bila Puangngé ri Timpengeng memberi minum orang tuak

Page 76: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

64

yang telah dicampur dengan tebas kayu boli, bertambah kuat badannya bekerja”

(terj. Abidin, 1985)

Berdasarkan kutipan teks di atas dapatlah dikatakan bahwa di negeri Boli sedang

terjadi masa transisi pemerintahan dari Puangngé ri Lampulungeng ke Puangngé ri

Timpengeng. Masa transisi kepemimpinan terjadi sepeninggal Puangngé ri

Lampulungeng, sebab pada waktu itu terjadi kevakuman kepemimpinan pada

masyarakat Boli. Hal ini menjadi musibah besar bagi mereka karena menganggap tidak

ada yang dapat menggantikan pemimpin yang sangat berwibawa itu yang telah

membentuk empat wanua semasa kepemimpinannya yaitu Paung, Pénrang,

Sarinyameng dan Saébawi. Hadirnya Puangngé ri Timpengeng menimbulkan suatu

politik hero (politik yang memanfaatkan suatu keadaan) pada masyarakat Boli, sebab

kemunculannya disaat kondisi masyarakat sedang kacau balau akibat kevakuman

kepemimpinan.

Teks LSW mencatat bahwa pemimpin tersebut ditemukan oleh masyarakat Boli

tepatnya di sebelah Barat pohon bajo. Satu hal yang patut dicatat bahwa transisi

kepemimpinan dengan model politik hero sudah terjadi pada masyarakat Pra-Wajo

melalui perilaku politik yang ditunjukkannya. Hal demikian pada dasarnya memiliki

struktur dengan ciri dalam setiap kegiatan politik sebab tindakan-tindakan yang ada di

dalamnya kemudian dikatakan berdasar pada kewenangan yang sebelumnya telah

dirumuskan dalam budaya masyarakat Wajo. Untuk melaksanakannya dalam tindakan

politik, setiap individu tergambarkan sebagai orang yang mampu memerintah dan

menggunakan kekuasaan secara efektif. Kepemimpinan masyarakat Pra-Wajo

Page 77: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

65

(masyarakat Lampulung dan Boli) pada masa lalu juga mencirikan seseorang dapat

menjadi pemimpin jika kepadanya diberi legitimacy atau keabsahan oleh rakyatnya

atas dasar kemampuan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan sistem

kepemimpinan yang bersifat kemaslahatan orang banyak. Hal ini ditandai dengan

karakter dalam kepemimpinan masyarakat Pra-Wajo yang memiliki kekuatan

supranatural maupun mistis, sifat yang mewujudkan komponen kharisma bagi

pemimpin dalam kekuasaan (Yusuf, 2012:87).

Sebagaimana layaknya seorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab untuk

membangun dan membuat perubahan dengan tujuan untuk memperbaiki daerah, terus

dilakukan Puangngé ri Timpengeng. Jiwa kepemimpinan yang ditunjukkan tidak cukup

sampai pada kekuatan supranatural dimiliki seperti pandai meramal dan sebagainya,

tetapi sampai pada bagaimana membuat suatu inovasi yang sebelumnya belum pernah

dilakukan misalnya menciptakan minuman yang dapat memberikan kekuatan orang

untuk bekerja. Ditambah lagi perilaku dalam memimpin sedikit berbeda dari pemimpin

sebelumnya, dalam hal musyawarah misalnya dia memanggil orang-orang tua untuk

dimintai sarannya dalam memutus rantai masalah di negeri Boli, karena dia melihat

masih banyak yang perlu diperbaiki salah satunya adalah masalah utama yang dihadapi

rakyatnya pada saat itu berkaitan dengan pertanian. Hal ini sebagaimana tertulis pada

kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Naiamua napowénru’ taué agi-agi napau Puangngé ri Timpengeng ia tona

napogau’. Naia gau’na Puangngé ri Timpengeng, esso-esso naobbi’ padanna

Page 78: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

66

tomatoa manré ménung, nasipetangngareng agamuni-agamuni maka

madécengngé ri laonrumaé. Ianaro nabunge’ engka tau ppojiwi

sipetangngarengngé (sumber: naskah LSW:h.17)

Terjemahan:

Adapun yang dilakukan orang-orang adalah apa yang dikatakan Puangngé ri

Timpengeng maka itu juga yang dikerjakan. Adapun yang dilakukan oleh

Puangngé ri Timpengeng setiap hari ialah memanggil sesamanya orang-orang tua

untuk makan dan minum sambil bermusyawarah tentang apa saja yang dapat

memperbaiki pertanian. Itulah pertama ada orang yang gemar bermusyawarah

(terj. Abidin, 1985)

Berdasarkan beberapa kutipan teks LSW di atas ada empat hal yang perlu dicatat

yaitu: pertama, pemberian nama Boli berdasarkan keahlian baru dalam hal meracik

minuman yang diperkenalkan Puangngé ri Timpengeng berupa tuak yang dicampur

dengan tekikan pohon bajo, yang membuat orang kuat bekerja; kedua, Perihal

menyadap tuak sebenarnya sudah dilakukan orang-orang Sarinyameng sewaktu

kepemimpinan Puangngé ri Lampulungeng, akan tetapi pada waktu itu belum diketahui

bahwa tuak bisa dicampur dengan tekikan pohon bajo yang dapat memberikan manfaat

bagi orang-orang yang bekerja; ketiga, orang-orang Boli menunjukkan ketaatan

mereka kepada pemimpinnya dengan cara mengikuti apa yang dikerjakan Puangngé ri

Timpengeng sebagai pemimpin baru yang menggantikan Puangngé ri Lampulungeng;

keempat, sebagai seorang pemimpin dia sering melakukan musyawarah dengan cara

memanggil orang-orang tua yang tinggal di negeri Boli untuk membicarakan apa saja

yang perlu dilakukan dan diperbaiki, salah satunya terkait dengan pertanian. Dengan

demikian, pengaruh kepemimpinan Puangngé ri Timpengeng secara tidak langsung

menambah lapangan pekerjaan orang-orang Boli seperti aktivitas menyadap tuak, yaitu

Page 79: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

67

tuak yang dicampur dengan tekikan pohon bajo, sebab sebelumnya aktivitas

masyarakat Boli hanya menanam padi, menanam jagung, dan menangkap ikan. Dengan

melihat kondisi dan fakta yang digambarkan dapatlah dikatakan bahwa masyarakat

Boli sudah membagi tugas mereka, yakni ada sebagai pemikir dan ada sebagai pekerja.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa kepandaian

Puangngé ri Timpengeng tidak kalah dari pendahulunya yaitu Puangngé ri

Lampulungeng. Hal ini menjadi benar dengan melihat fakta-fakta yang di ungkap,

mulai dari penemuan minuman baru kemudian dilanjutkan dengan melakukan

msuyawarah dengan orang-orang yang ada di Boli. Kesemua hal itu dilakukan

bertujuan untuk membicarakan hal yang perlu dilakukan dan diperbaiki. Dengan

demikian, jika pada wanua sebelumnya seperti Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi

dikatakan orang-orang berdatangan menuju perkampungan itu, maka di Boli orang-

orang lebih banyak lagi berdatangan karena banyaknya hal-hal baru yang dibuat oleh

Puangngé ri Timpengeng yang sangat bermanfaat bagi rakyatnya.

f. Cinnotabi bertransformasi menjadi Kerajaan Wajo

Terbentuknya Cinnotabi sebagai sebuah kerajaan kecil yang mengawali Kerajaan

Wajo adalah secara damai. Cerita pembentukannya juga berbeda dengan kerajaan-

kerajaan Cappagalaé, Soppéng, Tallu Lémbanna, Mampu, Cina, Wéwanriu,

Wawolonrong, Babauaé, Suppa, Siang, Hulu Sungai Saddang, Bantaéng, Tompo tikka,

Bajéng, Sanroboné, Marusu, Bacukiki, Bulu-Tana, Tondong dan Bulo-Bulo (Abidin,

1985:347). Hal tersebut berdasarkan pada raja pertama Cinnotabi yang tidak

Page 80: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

68

dinyatakan sebagai tomanurung yaitu makhluk ajaib yang turun dari langit atau

manusia yang muncul dari benua bawah atau bambu gading (Abidin, 1985:348).

Lahirnya Cinnotabi terjadi pada masa pemerintahan Puangngé ri Timpengeng di

Boli. Ceritanya diawali pada waktu Opu Baliranté (pembantu Datu Luwu di bidang

keuangan) pergi berburu di sekitar Boli. Setelah beburu, orang-orang Luwu pergi ke

bawah pohon bajo untuk makan siang sebagaimana yang biasa dia lakukan, akan tetapi

mereka melihat banyak rumah-rumah yang baru didirikan di sana dan akhirnya pergi

ke suatu bukit. Para pengikut Opu Baliranté bertanya: “Apakah sebab Tuanku tidak

langsung saja ke perkampungan itu? Dijawab oleh Opu Baliranté sebagai berikut:

“Macinnong pakkitawa natabbangkangngi”, yang artinya jernih penglihatanku dan

mereka akan terkejut atau lebih tepatnya adalah jelas penglihatanku melihat adanya

rumah-rumah disitu dan mereka akan terkejut kalau saya tiba kesana, sebab barulah

kita melihat mereka dan orang-orang itu juga pertama kali melihat kita.

Atas panggilan Opu Baliranté, maka Puangngé ri Timpengeng bersama orang

Boli datang menghadap Opu Baliranté. Puangngé ri Timpengeng berkata, “Bahwa apa

sebab Opu tidak langsung saja ke perkampungan kami?” Lalu ia menyatakan bahwa

“Lebih baik tempat Opu Baliranté berada disebut Cinnotabbangka”. Opu Baliranté

heran mengapa orang tersebut dapat meramal perkataannya yang sebelumnya

diucapkan kepada para pengikutnya, yang sebenarnya dia juga berpikir lebih dulu

hendak menamakan bukit itu Cinnotabbangka. Dengan demikian, pada saat itu mereka

bersepakat bukit yang ditempati Opu Baliranté beristirahat dinamakan

Cinnotabbangka. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Page 81: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

69

Transliterasi:

Ianaé wettu naengkatona Datué ri Luwu’ lettu’ ri tana Ogi’ sibawa Luwu’é to

Ware’é, mpukke’i wanuaé ri Cenrana. Naengkana wettu nalao nrengngeng

Luwu’é, Opu Baliranté asenna, narapi’ Boli. Namaélo’na soro’ manré esso ri

awana aju bajo’ battoaé naitani maddatu’ bola. Jaji ia Opu Baliranté laoi sappa’

onrong laingngé naonroiwi. Naia onrong naonroié soro’ manré kuai ri bulu’e ri

Cinnotabi’. Naia puranana manré, nassurona mobbi’i to Boli’é. Makkedai

Luwu’é: “Magi tenna kuanaro ri wanuana soro’ manré?” Makkedai Baliranté:

“Tennaé na to matteru’ ri wanuanna, macinnong pakkitawa’

natabbangkangngi’. Nasaba inappanna taita, iaro taué inappatokki’ naita”.

Naengkana Puangngé ri Timpengeng, patappuloi sitinro’ oroané lao sita Opu

Baliranté. Makkedai Puangngé ri Timpengeng: “Magi Opu, tenna kuano ri

bolana atammu to Boli’é matterru’ laoki manré? “Makkedai Baliranté: “Ia

mpawai kuni’ manré macinnong pakkitakku’, tabbangkako matu’, nasaba’ iko

temmuangngattaikkeng, ikkeng temmissettokko. Nasaba ia riolana nakko tollao

nrengngeng natollao kotu ri awana ajué manré de’sa tau rilainnaétoha ikkeng

massilaong”. Makkedai Puangngé ri Timpengeng: “Iatu bulu’ taonroié manré

madecenni rialang aseng ritella’ Cinnotabangka”. Nagilinna Opu Baliranté

pauangngi silaonna makkeda: “Naullé to mabisa-bisa iaé taué. Pékkugi

naullémuna pasikennai patellarekku patellarenna bulu’é ri Cinnotabangka”.

(sumber: naskah LSW:h.18-22)

Terjemahan:

Inilah waktu pada saat Datu Luwu tiba di tanah Bugis bersama orang-orang Luwu

dan orang-orang Ware lalu membuka negeri di Cenrana. Pada suatu waktu orang-

orang Luwu pergi berburu rusa, orang itu bernama Opu Baliranté, kemudian

sampai di Boli. Pada suatu waktu mereka hendak mengundurkan diri untuk

makan siang di bawah sebatang pohon besar dan mereka melihat beratus rumah.

Maka Opu Baliranté pergilah mencari tempat lain untuk ditempatinya. Adapun

tempat yang ditempati makan itu ialah bukit Cinnotabi’. Setelah mereka makan,

maka disuruh undanglah orang-orang Boli. Berkata orang-orang Luwu’:

“Mengapa tidak ke sana saja kita pergi untuk makan?” Berkata Opu Baliranté:

“Seandainya kita terus ke negeri mereka, macinnong (jelas) penglihatanku dan

akan tabbangka (heranlah) mereka, sebab barulah kita melihat mereka dan orang-

orang itu juga pertama kali melihat kita”. Datanglah Puangngé ri Timpengeng

bersama empat puluh orang lelaki untuk pergi bertemu dengan Opu Baliranté.

Berkata Puangngé ri Timpengeng: “Mengapa Tuanku tidak terus pergi ke rumah

abdimu orang-orang Boli saja untuk makan?” berkata Baliranté: “di sini saja

kami makan, dan saya bisa memastikan engkau akan terkejut karena kalian tidak

mengharapkan kunjungan kami, dan kami tidak mengenal kalian. Sebab,

sebelumnya bila kami pergi berburu dan pergi di bawah pohon kayu untuk

Page 82: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

70

makan, tidak ada orang selain dari kelompok kami yang berteman”. Berkata

Puangngé ri Timpengeng: “Bukit yang ditempati makan itu, baiklah diberi nama

Cinnotabangka. Menolehlah Opu Baliranté kepada teman-temannya, lalu

berkata: “mungkin orang ini pandai meramal. Mengapa ia dapat menyesuaikan

penggelaranku dan penngelarannya terhadap bukit Cinnotabangka (terj. Abidin,

1985)

Kutipan teks di atas menggambarkan bahwa Kerajaan Cinnotabi yang dipimpin

Puangngé ri Timpengeng sudah mengenal hubungan dengan kerajaan lain. Hal ini

terjadi pada saat Opu Baliranté (pembantu Datu Luwu yang bertugas mengurus harta

kekayaan) berkunjung ke Boli (pusat pemerintahan Kerajaan Cinnotabi) bersama

dengan pengikutnya. Sesampainya di Boli dia melakukan perundingan dengan

Puangngé ri Timpengeng yang menghasilkan sebuah keputusan yang mengatakan

bahwa bukit tempat mereka saling bertemu dinamakan Cinnotabbangka, yang

kemudian berubah menjadi Cinnotabi. Cerita pemberian nama tersebut menurut LSW

adalah sesuai dengan keterangan beberapa informan di Sengkang dan beberapa orang-

orang tua di Tosora. Adapun perubahan nama Cinnotabangka sehingga menjadi

Cinnotabi tidak diperoleh keterangan yang memuaskan, namun sampai sekarang ada

desa (wanua) yang bernama Cinnotabi yang termasuk kecamatan Majauleng (Abidin,

1985:346).

Cerita berlanjut ketika Puangngé ri Timpengeng yang memimpin Kerajaan

Cinnotabi menemui titik ajalnya di Boli dan menyebabkan masyarakat Boli bubar.

Setelah kejadian tersebut, singkat cerita bahwa berduka citalah orang-orang Boli, sebab

tidak ada lagi tempat mereka berlindung dan mereka takut kalau ada lagi pertanyaan

dari Luwu, Bone, ataupun dari Gowa, sedangkan tidak ada yang dapat menjawab

Page 83: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

71

pertanyaan mereka seperti halnya Puangngé ri Timpengeng. Sama halnya dengan

Puangngé ri Lampulungeng, Puangngé ri Timpengeng juga tidak menunjuk puteranya

sebagai penggantinya untuk memimpin di kemudian hari. Sepeninggal Puangngé ri

Timpengeng, maka sepakatlah orang-orang Boli untuk beratap rumput ilalang,

pertanda bahwa mereka tidak termasuk kaula kerajaan Bone, Luwu, atau Gowa, tetapi

mereka adalah orang-orang Boli yang merdeka. Di kala itu yang terpandang di Boli

adalah mereka yang kaya, posisinya tidak berada diantara orang terpandang layaknya

Puangngé ri Timpengeng sebagai seorang pemimpin. Menurut Andi Makkaraka dan

Andi Paramata, di kala itu keluarga-keluarga besar atau appang dipimpin oleh orang

yang dituakan yang disebut anang. Seperti Puangngé ri Timpengeng yang selain pandai

meramal, juga cakap memimpin musyawarah yang disebut assipetangngareng dan

juga mampu menjawab pertanyaan orang-orang luar (Abidin, 1985:345). Hal ini

sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Namaténa Puangngé ri Timpengeng ri Boli. Masarani to Bolié. Dé’

addakkarenna, namétau’to aja’kammana engkasi pakkutanana Luwu’ iaré’ga

Boné iaré’ga na Gowa, nadé’ gaga baliwi adanna padaé tosa Puangngé ri

Timpengeng. Napada mpenru’na to Bolié akkaleng nabbeungeng déa, apa’ ia to

Bonéwé mabbeungeng nipa maneng. Engka ammani pangolli’na Luwu’,

Bawokaraéng naseng manai’. Narékko engkasi pangolli’ na Gowa, Lantimojong

naseng manai’. Narékko engkai pangolli’na Boné pabbeungennamani najello’.

Bettuanna tania to Boné, apa’ de’ gaga séua maélo’ narolai nakasiwiangi

(sumber: naskah LSW:h.31)

Terjemahan:

Kemudian meninggallah Puangngé ri Timpengeng di Boli dan berduka citalah

orang-orang Boli, sebab tidak ada lagi tempat mereka berlindung dan mereka

juga takut kalau ada lagi pertanyaan dari Luwu’, dari Bone ataupun dari Gowa

Page 84: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

72

sedangkan tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan mereka seperti halnya

Puangngé ri Timpengeng. Bersama-sama mencari akallah orang-orang Boli

untuk beratap rumput ilalang, sebab orang-orang Bone semuanya beratap nipa.

Kalau ada panggilan dari Luwu, Bawokaraeng yang disebutnya di atas. Bila ada

panggilan dari Gowa, Latimojong disebutnya di atas. Bila ada panggilan dari

Bone atap rumahnya yang ditunjuk, artinya mereka bukan orang Bone, karena

tidak ada negeri yang hendak diikuti dan diabdi oleh mereka (terj. Abidin, 1985)

Kutipan teks di atas memberi pemahaman kepada kita semua bahwa orang-orang

Boli adalah orang-orang yang merdeka (bebas), sebab sepeninggal Puangngé ri

Timpengeng mereka tidak ingin menyerahkan diri dengan kerajaan lain seperti Luwu

atau Bone. Hal ini terbukti Pada suatu hari yang bersamaan datanglah perintah Luwu,

Gowa dan Bone untuk menanyakan asal dan kepengikutan serta hendak menagih

widattali (pajak bumi dan bangunan). Berlarianlah orang-orang Boli dan terpencar-

pencar, sehingga akhirnya bubarlah masyarakat yang belum mengenal raja dan

bangsawan itu. Pada saat itu orang-orang Boli bersepakat ketika ada pertanyaan dari

kerajaan lain, maka mereka menjawab “Saya orang Boli lahir di sini” dan tidak ingin

menyerahkan diri atau ikut dengan kerajaan lain seperti Gowa, Luwu ataupun Bone.

Pada waktu itu untuk menjelaskan sebuah identitas diri atau kepengikutan seseorang

terhadap kerajaan lain, maka dilakukan dengan cara menunjuk arah saja seperti jika

ada yang menunjuk gunung Bawakaraeng berarti dia berasal dari Gowa, ketika ada

yang menunjuk Latimojong berarti dia berasal dari Luwu dan ketika ada yang

menjawab beratap daun pohon nipa berarti dia adalah orang Bone. Hal ini sebagaimana

yang tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Page 85: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

73

Transliterasi:

Naia ri munrinna, engkana naengka wettu nasitakkappong maneng surona

Luwu’, Gowa, Boné makkutana: to aga apoléngenna, nigato narolai, maélo’ topi

mala widattali (sumber: naskah LSW:h.32)

Terjemahan:

Kemudian, pada suatu waktu yang bersamaan datanglah suruhan Luwu, Gowa,

dan Bone bertanya tentang orang apakah mereka, dari mana asalnya dan kepada

siapa mereka mengikut. Mereka hendak pula memungut pajak hasil bumi (terj.

Abidin, 1985)

Ada empat hal yang perlu dicatat berdasarkan beberapa kutipan teks di atas:

pertama, Cinnotabi merupakan sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh Puangngé ri

Timpengeng yang berpusat pemerintahan di Boli; kedua, hubungan dengan orang-

orang luar untuk pertama kalinya terjadi pada masyarakat Boli, orang luar yang

dimaksud itu adalah Luwu; ketiga, masyarakat Boli merupakan orang-orang merdeka,

sebab mereka tidak ingin menyerahkan diri atas perintah dari kerajaan lain, seperti

Luwu atau Bone; dan keempat, latar belakang lahirnya Cinnotabi disebabkan

kepandaian Puangngé ri Timpengeng yang pada waktu itu mampu meramalkan apa

yang sebelumnya sedang diperbincangkan Opu Baliranté bersama pengikutnya yang

intinya bukit tempat Opu makan lebih baik digelar Cinnotabangka, yang bersumber

dari perkataan Opu Baliranté sebelumnya bahwa “Macinnong pakkitawa

natabbangkangngi” yang artinya jernih penglihatanku dan mereka akan terkejut,

kemudian diurai menjadi cinnong (jernih) dan tabbangka (terkejut). Dengan demikian,

Opu Baliranté menyarankan bahwa lebih baik tempat itu dinamakan

Page 86: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

74

Cinnongtabbangka. Adapun perubahan nama Cinnongtabbangka menjadi Cinnotabi

terjadi pada masa pemerintahan La Paukke (Arung Cinnotabi I).

2. Hubungan Politik Antara Wanua Satu Dengan Wanua Lainnya

a. Hubungan kekuasaan Boli dengan Pénrang

Hubungan politik atau kekuasaan yang dilakukan Boli dengan Pénrang terjadi

pada saat Kerajaan Cinnotabi sedang mengalami kekosongan pemimpin yang

disebabkan rajanya sedang dalam posisi bersitegang atau bertentangan pandangan.

Raja Cinnotabi pada saat itu adalah La Tenribali dan La Tenritippe’ (Arung Cinnotabi

V) yang menurut Abidin, (1985:391) menjadi raja secara bersamaan yang disebut

“Napabbali salo’i ia dua” atau secara harfiah diseberangsungaikan mereka berdua.

Hal ini terjadi oleh karena La Patiroi sebelum meninggal tidak menunjuk calon

penggantinya yang sesuai dengan sistem kooptasi yang pernah berlaku di Kerajaan

Romawi pada masa pemerintahan raja-raja Antonius. La Tenribali dan La Tenritippe’

menjadi raja setelah rakyat Cinnotabi bersepakat untuk mengangkat mereka berdua,

dengan alasan mereka mampu menggantikan bapaknya sebagai raja. Hal ini

sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Tessiagato ittana arung mabbali salo’ mappadaoroané Petta La Tenribali

sibawa Petta La Tenritippe’’ napada lainna élo’na. Naia Petta La Tenritippe’’

naésai’i ammaradékangenna to Cinnotabi’é, naddarinna pabbanuaé (sumber:

naskah LSW:h.67)

Terjemahan:

Tiada berapa lamanya memerintah dan berkedudukan sama dua bersaudara Tuan

kita La Tenribali dan Tuan kita La Tenritippe’, maka keduanya berbeda

Page 87: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

75

pendapat. Adapun tuan kita La Tenritippe’ dilanggarnya hak kebebasan orang-

orang Cinnotabi maka menderitalah penduduk (terj. Abidin, 1985)

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa musibah keruntuhan Kerajaan

Cinnotabi disebabkan pertentangan antara La Tenribali dan La Tenritippe’. Ceritanya

bermula pada peristiwa perampasan wewenang Matoa Pabbicara yang dilakukan oleh

La Tenritippe’. Dampak peristiwa tersebut membuat seorang warga yang menjadi

korban datang menghadap La Tenribali untuk menggugat perbuatan La Tenritippe’,

kemudian La Tenribali menyerahkan perkara assilellungeng (gugatan sipil) tersebut

kepada Matoa Pabbicara, sebab ini menjadi kewenanangannya sebagai pendamping

raja yang bertugas di bidang peradilan. Sementara orang itu diperiksa oleh sang hakim,

maka tiba-tiba La Tenritippe’ memerintahkan seorang warga agar penggugat itu datang

menghadap kepadanya, sebab lawannya sedang diperiksa oleh dia dan demikian pula

saksi-saksinya. Cara mengadili La Tenritippe’ adalah langsung memutuskan bahwa

tergugatlah yang menang tanpa penggugat diberikan pertanyaan sekali pun dan saksi-

saksinya pun demikian. Akhirnya keputusan telah bulat bahwa tergugatlah yang

menang dan penggugat diperintahkan untuk membayar ganti kerugian biaya perkara.

Adapun Orang yang dirugikan itu pergilah mengadu kepada La Tenritau sepupu sekali

raja.

Hingga pada akhirnya La Tenritau pun mengetahui hal ini, oleh karena itu dia

mengajak saudaranya bernama La Tenripekka dan sepupunya bernama La Matareng

untuk mengadukan hal ini kepada La Tenribali dan memohon supaya dia menasehati

saudaranya. Peristiwa ini menjadi beban bagi La Tenribali, sebab nasehatnya sama

Page 88: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

76

sekali tidak diindahkan oleh La Tenritippe’. Akibat peristiwa ini rakyat Cinnotabi

berkumpul untuk membicarakan perbuatan Arung Cinnotabi muda La Tenritippe’, dan

memutuskan bahwa perbuatan mengadili tanpa memeriksa kedua belah pihak dan

saksi-saksinya adalah sebuah pelanggaran berat yang dilakukan oleh seorang raja, yang

secara aturan kerajaan tidak memiliki wewenang untuk mengadili, sebab hal itu secara

tidak langsung merampas wewenang Matoa Pabbicara sebagai hakim. Selain

bertentangan dengan bicara (Hukum Acara Peradilan), juga tidak memiliki keabsahan

serta melanggar hak-hak asasi rakyat, caranya mengadili adalah hanya mendengarkan

satu pihak saja yang disebut riémpékeng bicara (dilempari keputusan). Mereka juga

menyatakan bahwa La Tenritippe’ sering melanggar perjanjian pemerintahan di

Cinnotabi yang diadakan oleh Rajallangi (Arung Babauaé) yang mewakili istrinya, Wé

Tenrisui (Arung Cinnotabi III) dan juga rakyat. Hal ini sebagaimana tertulis pada

kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Ia assabarenna engka to Cinnotabi’ mappangéwang naénré’ ri Arung Cinnotabi

La Tenribali parape’i bicaranna. Naia Arung Cinnotabi’ La Tenribali

nasorongngi lao ri Matoa Pabbicaraé, naia riolo nasuro tangnga’i. Naia tosi

seddié ménré’i ri Arung Cinnotabi’ La Tenritippe’’ parape’i. Naia Arung

Cinnotabi’ La Tenritippe’’ naissenna makkedaé engkani palé’ to

mappangéwangngé risuro ri daékku no’ ri Matoa Pabbicaraé, nasuro tampaiwi.

Makkedai suroé: “Nasuro tampaiko Petta ri Cinnotabi’ maloloé. Engkairo ri

asé’ balimmu parape’i bicaranna”. Makkedai to risuroé tampai: “Petta ri

Cinnotabi’ macoaé suroakka’ no’ ri Matoa Pabbicaraé”. Makkedai to risuroé:

“Madécéngngi’ ménré’”. Jaji ménré’i natterru’ tudang ri olona Arung

Cinnotabi’ La Tenritippe’’. Naia Arung Cinnotabi’ La Tenritippe’’ iamaniro

tabbulu’é engka ri olona tudang naéwa mappau. Naia balinna nasuroé molli’

dé’na naéwai ada. Mau nakkutanangngé pangewanna de’tona. Oncoppisa

nakkutanangnge sabbinna, naluru nasalang iaro tau nasuroé mobbi’ nasuroi

massulu’ (sumber: naskah LSW:h.68)

Page 89: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

77

Terjemahan:

Adapun sebabnya ada orang Cinnotabi berselisih dan menghadap Arung

Cinnotabi La Tenribali untuk melaporkan perkaranya. Adapun Arung Cinnotabi

La Tenribali melimpahkannya ke Matoa Pabbicara dan mereka disuruh dahulu

memeriksanya, sedangkan yang lain pergi ke Arung Cinnotabi La Tenritippe’

melapor. Adapun Arung Cinnotabi La Tenritippe’ setelah mengetahui bahwa

orang yang berselisih itu disuruh oleh kakaknya pergi ke Matoa Pabbicara, maka

disuruh panggillah orang itu. Berkata pesuruh itu: “Disuruh panggil engkau oleh

Tuan kita yang muda di Cinnotabi, sebab lawanmu telah ada di istana

menyampaikan perkaranya”. Berkata orang yang disuruh panggil: “Tuan kita di

Cinnotabi yang tua menyuruh aku untuk menghadap Matoa Pabbicara”. Berkata

orang yang disuruh: “Lebih baik engkau menghadap”. Akhirnya orang yang

disuruh panggil itu jadilah naik di istana dan terus duduk di hadapan Arung

Cinnotabi La Tenritippe’. Adapun Arung Cinnotabi La Tenritippe’ hanya

berbicara dengan orang yang lebih dahulu ada di hadapannya, sedangkan

lawannya yang disuruh panggil tidak diajak berbicara, bahkan perselisihannya

pun tidak ditanyakan dan lebih-lebih saksi-saksinya tidak ditanyakan pula, La

Tenritippe’ langsung menyalahkan orang yang disuruh panggil itu dan diberi

hukuman untuk membayar ganti rugi (terj. Abidin, 1985)

Setelah mengetahui hasil musyawarah yang sangat merugikan rakyat, maka

sepupu sekali Arung Cinnotabi V yang bernama La Tenritau, La Tenripekka dan La

Matareng memutuskan untuk meninggalkan Cinnotabi bersama keluarga mereka dan

diikuti oleh tiga orang kepala persekutuan hukum adat yaitu Matoa Majauleng, Matoa

Sabbamparu, Matoa Tekkalalla, para bangsawan dan sebagian besar rakyat (Abidin,

1985:393). Adapun yang menjadi alasan utama mereka meninggalkan Cinnotabi

karena nasehatnya tidak disetujui oleh La Tenritippe’ terkait masalah yang dihadapinya

dan mereka berpandangan bahwa hal itu seharusnya tidak dilakukan oleh raja sebagai

pemimpin kerajaan, sebab sangat merugikan rakyat. Protes rakyat dengan cara

meninggalkan raja adalah alat untuk mengakibatkan raja masiri (aib besar), sebab raja

tanpa rakyat tidak mempunyai siri yang utuh. Dengan cara seperti itu juga dapat

Page 90: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

78

memberikan pelajaran bagi pemimpin yang melakukan kesalahan karena peristiwa ini

dianggap memperkosa hak kebebasan rakyat. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan

teks berikut ini.

Transliterasi:

Naia Petta La Tenritau’, La Tenripekka, La Matareng naitana mapeddi’ to

Cinnotabi’é massituru’ni tellu mallékké’ dapureng natiwi’i ana’na pattarona ri

Boli, naccoé’ Matoaé ri Cinnotabi’, Matoaé ri Majauleng, Matoaé ri

Sabbamparu, Matoaé ri Tekkalalla’ sibawa anakkarungngé, tau tongekkarajaé.

Nakkuna ri Boli siratté-ratté nakkotana pada mébbu’ pallaong (sumber: naskah

LSW:h.72)

Terjemahan:

Adapun Tuan kita La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng setelah

dilihatnya orang-orang Cinnotabi menderita, maka bersepaktlah ketiganya untuk

pindah bersama hartanya, lalu membawa anak dan istrinya ke Boli, maka

mengikutlah Matoa Cinnotabi, Matoa Majauleng, Matoa Sabbamparu, Matoa

Tekkalalla, orang-orang bangsawan dan orang baik. Maka di Bolilah mereka

saling bertemu, dan di sana pula mereka bersama-sama membuat lapangan kerja

(terj. Abidin, 1985)

Pada saat tiba di Boli, mereka membangun tiga perkampungan dan membuka

sawah. Daerah dimana La Tenritau tinggal bersama para pengikutnya dinamakan

Majauleng, daerah La Tenripekka dinamakan Sabbamparu dan daerah La Matareng

dinamakan Tekkalalla. Ketiga daerah tersebut berfederasi (membentuk kesatuan) dan

menyebut kesatuan itu Lipu’ Tellu Kajurué, yaitu negeri yang terdiri atas tiga bagian

yang tak terpisahkan bagaikan buah kemiri. Ketiga triumviratus tersebut mempunyai

wewenang yang sama untuk melaksanakan pemerintahan dalam arti luas di tingkat

pusat kerajaan, sedangkan di daerah masing-masing mereka memerintah tanpa campur

tangan kepala persekutuan yang lain. Di tiap-tiap daerah yang disebut limpo, raja

Page 91: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

79

berdampingan dengan matoa sebagai wakil rakyat limpo. Ketiga orang matoa juga

merangkap menjadi wakil rakyat di pusat pemerintahan Lipu’ Tellu Kajurué di Boli,

dalam artian rakyat Boli mempunyai dua kewargaan yaitu warga limpo dan sekaligus

warga Lipu’ Tellu Kajurué. Hal ini sebagaimana yang tertulis pada kutipan teks berikut

ini.

Transliterasi:

Naia pada kuanna ri Boli, engkana maggalung, maddare’, massari, makkaja,

nrengngeng mala bua-bua rianré ale’é. Napattellu konrottoi aléna. Petta La

Tenritau’ masengngi wanuana Majauleng, Petta La Tenripekka masengngi

wanuanna Sabbamparu, Petta La Matareng masengngi wanuanna Tekkalalla’.

Naia aseng parujunna Lipu’’ Tellu Kajuru’é ri Boli. Naia naonroié makkarung

La Tenritau’, nasengngi Majauleng. Naia naonroié makkarung La Tenripekka,

nasengngi Sabbamparu. Naia naonroié makkarung La Matareng, nasengngi

Tekkalalla’. Natella’ni Lipu’ Tellu Kajuru’é, ia parujungasenna Boli (sumber:

naskah LSW:h.73-77)

Terjemahan:

Adapun ketika semua berada di Boli, ada yang bersawah, berkebun, menyadap

tuak, menangkap ikan, berburu dan mengambil buah-buahan yang dapat dimakan

di hutan. Maka mereka mengelompokkan diri menjadi tiga untuk mendiami

perkampungan masing-masing. Tuan kita La Tenritau menamakan negerinya

Majauleng, Tuan kita La Tenripekka menamakan negerinya Sabbamparu, Tuan

kita La Matareng menamakan negerinya Tekkalalla. Adapun nama pengikatnya,

Lipu’ Tellu Kajurué. Adapun tempat memerintah La Tenritau dinamakannya

Majauleng. Adapun tempat memerintah La Tenripekka dinamakannya

Sabbamparu. Adapun tempat memerintah La Matareng dinamakannya

Tekkalalla. Digelarnya Lipu’ Tellu Kajurué, dan adapun nama pengikatnya Boli

(terj. Abidin, 1985)

Adapun La Tenribali dan La Tenritippe’ setelah melihat perpindahan rakyat

Cinnotabi, akhirnya pindah juga ke suatu daerah bersama pemuka-pemuka masyarakat

yang masih menetap di Cinnotabi, untuk membuka negeri baru bernama Kerajaan

Pénrang yang terdiri dari Pénrang, Saébawi, dan Sarinyameng. Setelah mereka

Page 92: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

80

meninggalkan Cinnotabi, maka sepupu sekalinya yang bernama Wé Tenrigau

membongkar istana di Cinnotabi dan dibawa menyeberang ke Mampu dan menetap di

Mampu, sejak saat itu kosonglah Cinnotabi. Dengan melihat kondisi Cinnotabi yang

kosong dan mengalami kehancuran, maka pemimpin ketiga limpo yang tergabung

dalam Lipu’ Tellu Kajurué melakukan musyawarah dengan rakyat Boli, dan

memutuskan untuk membesarkan kembali negeri mereka seperti apa yang telah

dilakukan La Patiroi (Arung Cinnotabi V) dahulu dimasa pemerintahannya, dengan

kata lain ingin membentuk kembali Kerajaan Cinnotabi yang telah hancur.

Oleh karena itu, La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng mengumpulkan

orang-orang Lipu’ Tellu Kajurué menuju Kerajaan Pénrang untuk menghadap La

Tenribali yang menjadi raja di sana, dengan tujuan untuk membicarakan hasil

musyawarahnya dengan rakyat Boli, dalam hal ini maksud kedatangannya adalah ingin

menjadikan La Tenribali sebagai Arung Mataesso (raja matahari) pada kerajaan

federasi (kesatuan) yang nantinya akan dibentuk. Setelah mereka itu sampai di

Pénrang, berkata La Tenribali kepada ketiga Arung yang tergabung dalam Lipu’ Tellu

Kajurué (Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla) bahwa “Apa gerangan maksud

kalian datang ke sini?, karena saya juga memang telah rindu untuk bertemu dengan

kalian”. Menjawablah ketiga Arung bahwa “Hasil keputusan musyawarah kami orang-

orang Lipu’ Tellu Kajurué di Boli, mengatakan “Engkaulah yang hendak kami angkat

sebagai Arung Mataesso dan kami akan mendampingi kemuliaanmu, kita akan bekerja

sama dengan baik berdasarkan kejujuran, kebenaran dan kewajaran kita sekalian.

Engkau memelihara kami, menyelimuti kami agar tidak hampa dan menghindarkan

Page 93: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

81

kami dari malapetaka”. Berkata lagi La Tenribali “Memang itulah juga maksudku

bertemu dengan kalian, sebab aku ingin membukakan kalian adat dahulu di Cinnotabi

pada masa pemerintahan Tuan kita La Patiroi (Arung Cinnotabi IV) yang diwariskan

oleh Tuan kita La Rajallangi dan kita mencari adat pemupakatan yang dapat

membesarkan negeri kita”. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Naia Arung Cinnotabi’ La Tenribali naitana maru’-sa’ Cinnotabi’ massu’ taué,

nasalaitoni Cinnotabi’ nassu’ lao ri Pénrang, ri Saébawi, ri Sarinyameng

mpukke’ wanua sibawa padaoroanéna riasengngé La Tenritippe’’, naccoé’si ina

taué engkaé monro tellao ri Boli. Naia sappo sisenna Arung Cinnotabi’

riasengngé Wé Tenrigau’, nalukaitoni salassa’é ri Cinnotabi natiwi’i mattékka

ri Mampu, naonrona Petta Wé Tenrigau’ ri Mampu. Nalobbanna Cinnotabi’.

Naia Petta La Tenritau’, La Tenripekka, La Matareng napasipulungngi to Lipu’’

Tellu Kajuru’é ri Boli. Naia nassiturusi laoé ri Pénrang suddingngi Petta La

Tenribali natiwi’i ri Boli napakkarungngi, nalai Arung Mataesso, naranrengngi

alebbirenna, nasipauju’ madécéng ri alempurenna ri assitinajanna iamaneng.

Napada laona to matoaé ri Boli madduppa. Naia lettu’na ri Pénrang napoadanni

assiturusenna Lipu’’ Tellu Kajuru’é ri Boli. Naengkana Petta La Tenribali tama

ri Boli sitinro’ ina taué ri Pénrang sibawa to Bolié laoé madduppa. Naia

lettu’nana ri Boli nasitudangeng Petta La Tenribali massappo siseng Petta La

Tenritau’, La Tenripekka, La Matareng sibawa to Bolié. Makkedai Petta La

Tenribali ri sappo sisenna: “Angngaré’ga muollirengnga’ apa’ ia’ muddani

mémettona maélo’ sitako” Makkedai Petta La Tenritau’, La Tenripekka, La

Matareng: “Assiturusenna ikkeng to Lipu’’ Kajuru’é ri Boli: iko maélo’ riala

Arung Mataesso, kiranrengngi alebbiremmu, tasipauju’ madécéng ri

alempuretta ri atongengetta’ ri assitinajatta idi’ maneng. Namuarupekkeng,

musaLipu’ri temmacekké’, mudongiri temmatippa’keng mupanini’keng ri

maja’é, tasilettukeng ri majéngngé muabbicarangngi’ bicara malempu’,

tamana’é ri Puatta La Patiroi, namana’é ri Puatta La Rajallangi’, namaraja

Cinnotabi’, naengkamani nrusa’i bicara malempu’é namarusa’na Cinnotabi’”.

Makkedai Puatta La Tenribali: “Ia mémenna maélo’ usitakko”. Naia maélo’

bukkarekko ade’ rioloé ri Cinnotabi’ ri wettunna Puatta La Patiroi, namana’e ri

Puatta La Rajjallangi’, kuae topa tasappa’ ade’ assituruseng maka

perajaiengngi wanuatta, naccolli’ naddaung, nattakké nappaleppang

napparanga-ranga nalorong lao alau’ lao orai’, lao maniang lao manorang.

Namacekké’ raunna riannaungngi, taébburengngi janci, tappésabbiangngi ri

Déwata Séuaé. Namadécénni tositudangeng sangadi ri Majauleng, aja’ naengka

Page 94: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

82

dé’, nalamuni pangali’ engkamuni, rirupa engkaé, risappa’ dé’é” (sumber:

naskah LSW:h.78-81)

Terjemahan:

Adapun Arung Cinnotabi La Tenribali setelah dilihatnya rusak Cinnotabi dan

orang-orang bersama-sama keluar, ditinggalkannya pula Cinnotabi dan pergi ke

Pénrang, Saébawi dan Sarinyameng untuk membuka negeri baru bersama

saudaranya yang bernama La Tenritippe’ dan mengikut pula pemuka-pemuka

masyarakat yang masih tinggal yang tidak pergi ke Boli. Adapun sepupu

sekalinya Arung Cinnotabi yang bernama We Tenrigau membongkar pula Istana

di Cinnotabi dan dibawanya menyeberang ke Mampu dan tinggallah Tuan kita

We Tenrigau di Mampu. Kosonglah Cinnotabi. Adapun Tuan kita La Tenritau,

La Tenripekka dan La Matareng dikumpulkannya orang-orang Lipu’ Tellu

Kajurué di Boli. Yang dimupakati ialah mereka akan pergi ke Pénrang untuk

mengundang Tuan kita La Tenribali dan dibawanya ke Boli untuk memerintah

dan diangkat menjadi Arung Mataesso (Raja Matahari) dan didampingi

(diperkuat) kemuliaannya dan bekerja sama dengan baik berdasarkan kejujuran

dan kewajaran mereka semuanya. Maka, pergi semualah orang-orang tua di Boli

untuk menjemput. Setelah mereka sampai di Pénrang, diberitahukanlah hasil

kesepakatan orang-orang Lipu’ Tellu Kajurué di Boli. Maka datanglah Tuan kita

La Tenribali dan masuk ke Boli untuk menjemput. Setelah tiba di Boli, maka

Tuan kita La Tenribali duduklah secara bersama (bermusyawarah) dengan para

sepupu sekalinya yaitu Tuan kita La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng

serta orang-orang Boli. Berkata Tuan kita La Tenribali kepada sepupu-sepupu

sekalinya: “Apa gerangan maksud kalian memanggilku, karena saya juga

memang telah rindu untuk bertemu dengan kalian”. Menjawab Tuan kita La

Tenripekka dan La Matareng: “Hasil keputusan musyawarah kami orang-orang

Lipu’ Tellu Kajurué di Boli, engkaulah hendak kami akan angkat sebagai Arung

Mataesso (Raja Matahari) dan kami akan mendampingi kemuliaanmu, kita

bekerja sama dengan baik berdasarkan kejujuran, kebenaran, dan kewajaran kita

sekalian. Engkau memelihara kami, menyelimuti agar kami tidak keinginan,

engkau lengkapi kami agar tidak hampa, engkau menghindarkan kami dari

malapetaka, kita sama-sama sampai pada kebaikan dan kau laksanakan peradilan

yang berdasarkan kejujuran yang engkau pusakai dari Tuan kita La Patiroi, yang

dipusakainya dari Tuan kita La Rajallangi, sehingga besar Cinnotabi dan barulah

bubar Cinnotabi setelah ada orang yang merusak peradilan berdasarkan

kejujuran”. Berkata Tuan kita La Tenribali: “Memang itulah maksudku bertemu

dengan kalian, sebab aku ingin membukakan kalian adat dahulu di Cinnotabi

pada masa Tuan kita La Patiroi yang dipusakainya dari Tuan kita La Rajallangi

dan kita mencari adat permupakatan yang dapat membesarkan negeri kita, agar

berpucuk, berdaun, bertangkai dan berpelepah, melebar serta menjalar ke timur,

ke barat, ke selatan dan ke utara. Dingin daunnya tempat kita bernaung, kita

Page 95: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

83

membuatkannya janji dan dipersaksikan kepada Dewata Yang Esa. Baiklah, kita

akan bermusyawarah lusa di Majauleng dan jangan ada yang tidak hadir, semua

orang yang telah dewasa hadir semua, akan dicatat yang hadir dan dicari yang

tidak hadir” (terj.Abidin, 1985)

Setelah mereka melakukan musyawarah dengan La Tenribali, maka ketiga orang

kepala limpo di Boli dan para matoa memutuskan untuk memilih La Tenribali menjadi

Arung Mataesso (raja matahari) di Boli, untuk memerintah ketiga limpo mengayomi

rakyat serta melaksanakan hukum adat seperti yang telah ditetapkan pada masa

pemerintahan La Patiroi (Arung Cinnotabi IV), yang dasarnya diletakkan oleh La

Rajallangi (perjanjian Cinnotabi). La Tenribali menyetujui putusan itu dengan syarat

bahwa sebelum diangkat menjadi raja, maka harus dibuat perjanjian pemerintahan yang

antara lain menetapkan hubungan kekuasaan raja dengan kepala limpo, hubungan hak

dan kewajiban antara raja dan matoa dan menetapkan bahwa semua hukum adat yang

telah ditetapkan di Cinnotabi diberlakukan, termasuk hak-hak asasi manusia.

Dalam menjalankan pemerintahannya Arung Mataesso harus menghormati hak-

hak otonomi daerah-daerah (limpo), semua pejabat kerajaan baik di tingkat pusat

maupun di tingkat daerah harus saling menghormati wewenangnya masing-masing

tanpa campur tangan pihak lain, para matoa harus menjadi anggota Dewan Pemerintah

Pusat dan Daerah dan Matoa Pabbicara memiliki kewenangan mengadili perkara sipil

dan kejahatan di limpo masing-masing. Hak-hak rakyat seperti ade’ ammaradékangeng

(adat kebebasan rakyat) harus dihormati oleh para pejabat, termasuk hak milik rakyat.

Pejabat limpo yang satu tidak boleh langsung memasuki limpo lain untuk menangkap

orang sebelum meminta izin pejabat limpo lain dan sebaliknya mereka hanya meminta

Page 96: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

84

kepada limpo lain supaya menyerahkan penjahat yang dicari, termasuk saksi-saksi yang

diminta memberikan keterangan di limpo pemohon (Abidin, 1999:125).

La Tenribali juga mengusulkan bahwa di samping ade’ pura onro (hukum adat

yang telah ditetapkan lebih dahulu dan ternyata dalam praktek terbukti telah

bermanfaat bagi seluruh rakyat) diakui sebagai hukum yang tak boleh diubah lagi,

sedangkan ade’ assimémengenna wanuaé (hukum adat yang tidak dibentuk oleh

pemerintah, tetapi lahir dan berkembang di antara rakyat) juga harus dihormati.

Diusulkannya pula supaya dibentuk ade’ assituruseng, yaitu hukum adat yang lahir

dari hasil assipetangngareng (musyawarah) antara pejabat-pejabat kerajaan dan wakil-

wakil rakyat (para matoa dan ulu anang) untuk mengatur hal-hal yang tidak diatur oleh

ade’ maraja (adat besar bagi raja-raja), ade’ abiasang (adat kebiasaan bagi rakyat),

tuppu’ (aturang yang mengatur tingkat-tingkat adat dan hubungan hukum antara

seorang ayah dan anaknya), wari’ (aturan untuk membedakan hal-hal yang patut

dibedakan, misalnya kelas-kelas masyarakat) dan rapang (sistem pengambilan

keputusan atau yurisprudensi). Semua aturan tersebut diberlakukan baik di tingkat

pemerintah pusat, maupun di daerah-daerah. Hukum Adat demikian setiap waktu dapat

diubah berdasarkan kehendak bersama pemerintah dan yang diperintah, jikalau

ternyata tidak bermanfaat dan merugikan rakyat (Abidin, 1985:405). Hal ini

sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Aga nadapi’ni esso nassijancingié, pada engka manenni to Bolié sipulung ri

Majauleng arumpanua, matoa malolo dé’ gaga dé’, nakkunaro sipetangngareng

mengngorangiwi ade’ rioloé ri Cinnotabi’. Naia napada mengngerang

Page 97: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

85

nassiturusi: tessiésa’-ésa’é ri asé’ ri awa arumpanua natettongiwi

ammaradekangeng, malélu sipakainge’ siala painge’ namadécéng napoccapa’,

nasitajeng batacella’. Nakkona rilanti’ arung mataesso Petta La Tenribali ri

Lipu’’ Tellu Kajuru’é. Natettonna maddanreng sappo sisenna iatellu,

naranrengngi alebbirenna La Tenribali. Nasipauju’ madécéng ri alempurenna

ri atongengenna ri assitinajangenna napoasenni ade’ marajana arungngé ri

Lipu’’ Tellu Kajuru’é (sumber: naskah LSW:h.83)

Terjemahan:

Tibalah hari yang telah disepakati, maka datanglah semua orang-orang Boli

untuk berkumpul di Majauleng, pemerintah dan rakyat, tua dan muda, tidak ada

yang tidak hadir, semua hadir untuk bermusyawarah dan mengingat adat dahulu

di Cinnotabi. Yang sama diingat dan disetujui ialah: tidak saling merampas hak

lapisan atas dan bawah, pemerintah dan rakyat harus berdasarkan hak-hak

kebebasan, saling memperingati jika ada yang khilaf, saling menerima nasehat

yang berakhir pada kebaikan sampai pada turunan masing-masing. Di sanalah

dilantik Arung Mataesso Tuan kita La Tenribali, di Lipu’ Tellu Kajurué. Maka

menjadilah pendamping raja sepupu sekalinya ketiga-tiganya, yang akan

mendampingi kemuliaan La Tenribali. Saling mengatur dengan baik berdasarkan

kejujuran, kebenaran, kepatutan yang diistilahkan sebagai “adat besar raja-raja”

di Lipu’ Tellu Kajurué (terj. Abidin, 1985)

Setelah para kepala limpo dan para matoa menyetujui usulan La Tenribali, maka

tiada berapa lama kemudian diadakanlah perjanjian antara calon Arung Mataesso, yaitu

La Tenribali dan rakyat ketiga limpo di bawah pohon bajo, di Boli. Sebelum janji

diucapkan, maka ketiga orang Arung Limpo (raja), dengan sukarela melepas gelarnya

masing-masing dan menyatakan diri adalah paddanreng yaitu anggota Dewan

Pemerintah Pusat. Adapun La Tenritau menjadi Paddanreng Bettempola, La

Tenripekka menjadi Paddanreng Taloténreng dan La Matareng menjadi Paddanreng

Tuwa. Tiap paddanreng mengepalai sebuah limpo dan masing-masing limpo terdiri

dari empat anak limpo. Limpo Bettempola membawahi anak limpo yakni Bettempola,

Ujung Kalokkong, Lowa-lowa dan Botto. Limpo Taloténreng membawahi anak limpo

Page 98: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

86

yakni Taloténreng, Ciung, Palékkoreng dan Ta’. Limpo Tuwa membawahi anak limpo

yakni Aka’, Ménge’, Limpo dan Kampiri. Mereka menamakan wilayahnya Lipu’ Tellu

Kajurué. Tiap anak limpo dibawahi oleh Arung Mabbicara (pendamping raja yang

bertugas di bidang peradilan) yang sejenis dengan lembaga yang merumuskan undang-

undang dalam Kerajaan Wajo (Abidin, 1999:125).

Perubahan yang terjadi seperti diutarakan di atas dalam pendekatan evolusi

diistilahkan oleh Fried, (1968:102) sebagai perubahan ke arah masyarakat berlapis

(stratified societies) yang disebabkan oleh meluasnya daerah teritorial, jumlah

penduduk dengan ragam dan ciri-ciri penduduk yang beraneka ragam yang tidak dapat

lagi diatur dalam sistem kekerabatan sehingga bentuk organisasi lainnya sebagai

tambahan yang disempurnakan dalam berbagai aturan, adat istiadat, struktur organisasi

dan lain sebagainya.

Menurut LSW, La Tenribali memperoleh gelar Batara Wajo berdasarkan ucapan

rakyat Boli kepada La Tenribali sesudah dia dilantik s.b.b.: “Bataraé manitu ri méné’na

jancita, tanaémani ri awana”, yang artinya hanya langit yang berada di atas janji kita

dan hanya tanah yang ada di bawahnya. Mungkin karena batara itu merupakan

perlambang keagungan dan pohon bajo merupakan pohon yang rindang daunnya yang

memberikan wajo-wajo (bayang-bayang) yang menyejukkan bagi orang yang berteduh

di bawahnya, maka negeri Boli diibaratkan sebagai pohon pengayom bagi rakyatnya,

sehingga La Tenribali serta para paddanreng mengubah nama Boli menjadi Wajo.

Adapun nama penghimpunnya Tellu Kajurué dan diubah menjadi Tellué Turungeng

Lakka (tiga negeri yang tak terpisahkan) (Abidin, 1985:402).

Page 99: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

87

La Tenribali dan paddanreng beserta rakyatnya merumuskan suatu perjanjian

mengenai hubungan-hubungan kekuasaan, tata pelaksanaan kebijakan kerajaan

maupun dalam pemutusan suatu perkara yang antara lain:

a. Pemerintah pusat terdiri dari Batara Wajo sebagai pejabat yang dituakan dan

ketiga paddanreng yang menguasai ketiga limpo.

b. Segala ketentuan hukum adat yang telah ada di daerah-daerah limpo tetap berlaku

dan harus dihormati oleh raja. Hanya hal-hal baru yang belum diatur boleh

dibuatkan peraturan adat yang setiap saat boleh diubah yang menyangkut

kepentingan ketiga daerah dan pemerintah pusat. Adat tersebut harus ditetapkan

melalui musyawarah (assipetangngareng).

c. Tiap limpo diakui hak-haknya dalam pengaturan hukum adat istiadat, pemutusan

perkara, dan mengawasi jalannya pemerintahan Batara Wajo.

Dalam transkripsi dan transliterasi LSW yang dibukukan Andi Makkaraka Arung

Bettempola No.128 juga menceritakan tentang kedudukan Paddanreng dan

hubungannya dengan Batara Wajo selaku pemimpin di Wajo yang terkesan adanya

pengaruh ikatan kekeluargaan dengan masih memegang beberapa tata aturan yang

diatur sebelumnya oleh pemimpin sebelumnya yang mewariskan tahtanya, termasuk

kecenderungan penegasan mengenai pemantapan antara kelompok kerabatnya sendiri

maupun dengan lapisan masyarakat yang diperintah, coraknya tidak jauh dari sifat

pengokohan struktur kekuasaan kelompok kerabat di tingkat internal yang diorganisasi

dalam sebuah pranata kekerabatan. Pengaturan kekuasaan diantara ketiganya tetap

berpegang pada tata aturan yang sudah disepakati sebelumnya. Dalam pengokohan

Page 100: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

88

struktur kekuasaan ini didapatkan melalui keabsahan yang diberikan oleh masyarakat

yang dipimpin, hal ini kemudian diwujudkan melalui proses pengambilan keputusan,

yang menarik adalah berdasarkan musyawarah diantara ketiganya dan rakyat Wajo

pada masa itu. Hal ini sebagaimana tertulis pada teks berikut ini.

Transliterasi:

Naia Tellu Kajuru’é, tellué limpo. makkedani taué Tellu Turungeng Lakka’ ri

Wajo. Naia Batara Wajo La Mataesso malempu’i namagetteng taro bicaranna,

maséro’toi naélori sipetangngarengngé Paddanrengngé, ina taué ri

adécéngenna tanaé ri Wajo: naérékki mui tennaléréi tarona ambo’na.

Napatattaung tettong Batara Wajo La Mataesso, natépuna Wajo seku’toni

tama’na taué temmassu’ ri Wajo (sumber: naskah LSW:h.128)

Terjemahan:

Adapun Lipu’ Tellu Kajurué, yaitu ketiga daerah yang orang juga menyebutnya

Lipu’ Tellu Turungeng Lakka di Wajo. Adapun Batara Wajo La Mataesso, jujur

dan tegas menetapkan putusannya, sangat suka pula bermusyawarah dengan para

pendamping raja dan pemuka masyarakat demi kebaikan negeri Wajo;

diteguhkannya juga dan tidak dilonggarkannya ketetapan ayahnya. Setelah empat

tahun diangkatnya Batara Wajo La Mataesso, maka sempurnalah Wajo dan

selama itu pula masuknya orang dan tidak ada yang keluar dari Wajo (terj.

Abidin, 1985)

Konsepsi Paddanreng dalam khasanah politik kekuasaan di Wajo termasuk juga

dalam hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan dan kedudukan yang

berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut. Hal ini ditunjukkan dalam

catatan sejarah tentang kepengikutan limpo dalam tiga kelompok besar tersebut. Limpo

sendiri merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang juga memiliki pemimpin di

dalamnya. Dalam hubungannya dengan praktik politik, pola perilaku demikian

memberikan kecenderungan untuk mengarahkan pemahaman tentang tingkah laku

politik yang merupakan suatu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh

Page 101: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

89

hubungan-hubungan kekuasaan sehingga dengan demikian pola kepengikutan limpo

sebagai entitas kelompok masyarakat tersendiri terhadap Paddanreng tidak lain adalah

bagian dari struktur dalam masyarakat Wajo pada masa itu.

Berdasarkan beberapa kutipan yang telah diuraikan di atas, penulis

berkesimpulan bahwa hubungan kekuasaan antara Boli dengan Pénrang terjadi

disebabkan karena ketiga Arung yang tergabung dalam Lipu’ Tellu Kajurué yang

berpusat pemerintahan di Boli berkunjung ke Pénrang untuk mengajak La Tenribali

membentuk kerajaan federasi (kesatuan), yaitu terdapat seorang raja yang dibantu oleh

pendamping raja yang memegang kekuasaan masing-masing di daerah kekuasaan

kerajaan. Adapun konsep kerajaan federasi yang digambarkan di atas adalah La

Tenribali sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan dibantu oleh Paddanreng

(pendamping raja yang bertugas di masing-masing daerah kekuasaan). Adapun

Paddanreng La Tenritau sebagai pemegang kekuasaan di Majauleng, La Tenripekka

pemegang kekuasaan di Sabbamparu dan La Matareng pemegang kekuasaan di

Tekkalalla.

Kemudian penduduk Boli membagi diri mereka dan mendiami daerah masing-

masing, ada yang menetap di wilayah La Tenritau, sebagian menetap di wilayah La

Tenripekka dan ada pula yang memilih wilayah La Matareng sebagai tempat

permukiman, serta sebagian menetap di pusat pemerintahan, yaitu Boli. Adapun

kewarganegaraan rakyat Boli terdiri atas warga negara Boli dan warga negara di daerah

tempat mereka menetap.

Page 102: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

90

b. Hubungan kekuasaan Cinnotabi dengan Pénrang

Hubungan kekuasaan antara Kerajaan Cinnotabi yang kemudian bertransformasi

menjadi Wajo dengan Pénrang, terjadi pada masa pemerintahan La Tenribali sebagai

Batara Wajo I. Pada saat Wajo terbentuk sebagai kerajaan federasi (kesatuan) yang

dipimpin La Tenribali, maka di Pénrang terjadi kekosongan pemimpin oleh karena La

Tenribali menjadi raja di Wajo, dan pada saat itu Pénrang belum termasuk daerah

kekuasaan Wajo. Kondisi demikian membuat La Tenribali menyerahkan Kerajaan

Pénrang kepada adiknya yang bernama La Tenritippe’. Penyerahan kekuasaan antara

kedua pemimpin ini memberi indikasi akan adanya hubungan yang terjadi antara Wajo

dengan Pénrang. Hubungan itu dimulai pada saat La Tenribali memanggil La

Tenritippe’ untuk menghadap kepadanya di Istana Kerajaan Wajo. Hal ini sebagaimana

dapat dilihat pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Nassuro mobbi’i padaoroanéna Batara Wajo La Tenribali ri Pénrang

riasengngé La Tenritippe’’. Naia engkanana makkedai Batara Wajo ri anrinna:

“Ia upoadakko anri’, alairo akkarungekku ri Pénrang. Eppa’tu limpo: séuani

Ujung, maduanna Lapéré’, matellunna Tarokéteng, maeppa’na Saébawi

(sumber: naskah LSW:h.125)

Terjemahan:

Disuruh panggillah saudaranya Batara Wajo La Tenribali di Pénrang yang

bernama La Tenritippe’. Setelah tiba, berkata Batara Wajo kepada adiknya:

“Yang aku ingin sampaikan kepadamu hai adikku “Ambillah kerajaan di Pénrang

yang terdiri dari empat daerah: pertama Ujung, kedua Lapere, ketiga Taroketeng

dan keempat Saébawi (terj. Abidin, 1985)

Model kepemimpinan yang ditunjukkan La Tenribali kepada adiknya

berdasarkan pada kutipan teks di atas kemudian mengindikasikan hubungan-hubungan

Page 103: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

91

kekuasaan atas dasar persetujuan bersama antara pemimpin dan pengikut. Manakala

pejabat yang disebutkan bahwa matoa sebagai wakil rakyat diberi tugas yang antara

lain membantu arung sebagai pemimpin kerajaan untuk memutuskan suatu kebijakan.

Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran bahwa apa yang dianjurkan atau

diperintahkan oleh pemimpin akan menjadi baik dan berguna untuk kepentingan

bersama. Kesadaran demikian biasanya disempurnakan oleh perilaku para pemimpin

yang rela berkorban demi kepentingan warganya.

Salah satu bukti jiwa kepemimpinan yang ditunjukkan La Tenribali dalam

kedudukannya sebagai Batara Wajo adalah memperluas wilayah kekuasaannya,

dengan cara menjalin hubungan kekuasaan dengan saudaranya, La Tenritippe’ sebagai

Arung Pénrang dengan mengadakan perjanjian antar kerajaan, yang pada saat itu

Pénrang belum masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo. Adapun isi perjanjian

hubungan kekuasaan antara Kerajaan Wajo dengan Pénrang sebagai berikut.

a. Kerajaan Pénrang harus dibagi empat limpo yaitu: Ujung, Lapéré, Tarokéteng

dan Saébawi yang masing-masing diperintah oleh Arung Mabbicara bersama

dengan Arung Pénrang sebagai dewan pemerintah pusat.

b. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, Arung Pénrang harus

menyerahkan segala urusan pemerintahan kepada para Arung Mabbicara dan

matoa, yang dilukiskan oleh LSW dengan kata-kata kiasan sebagai berikut:

“Engkau beradu sambil menutup kepala sampai di kaki, engkau tidak usah

mengetahui tidak adanya, yang adanya saja engkau tahu, dan barulah engkau

bangun dari pembaringanmu jikalau para pejabat limpo membangunkanmu”.

Page 104: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

92

c. Segala urusan dalam negeri Pénrang tidak dicampuri oleh Wajo, demikian pun

halnya Pénrang tidak mencampuri urusan Wajo, bila orang-orang Wajo ke luar

dari negeri mereka, atau mereka masuk kembali di Wajo, Arung Pénrang tidak

usah mencampurinya. Bilamana Wajo menjamu kerajaan tetangganya, Pénrang

tidak usah juga mencampurinya.

d. Arung Pénrang menjadi inang (ibu) dan penasehat Wajo dalam hal terjadi

perselisihan antara para pejabat Wajo. Hal ini dilakukan, sebab praktek

pemerintahan yang buruk La Tenritippe’ sewaktu menjadi Arung Cinnotabi

bersama La Tenribali.

Selain perjanjian, La Tenribali juga memberikan nasehat kepada Pénrang yang

telah dinyatakan sebagai daerah kekuasaan Wajo yang disampaikan langsung kepada

Arung Pénrang. Adapun inti dari nasehat itu tentang konsep pemerintahan yang akan

diterapkan di Pénrang, yang berbunyi: “Engkau Arung Pénrang harus tidur sambil

menutup kepala sampai kaki, engkau tidak usah mengetahui tidak adanya, yang ada

saja engkau ketahui dan barulah engkau bangun dari pembaringanmu, jika Arung

Mabbicara atau matoa membangunkanmu”. Kemudian Pénrang sebagai anak kerajaan

Wajo berjanji tidak akan mencampuri urusan dalam negeri masing-masing wilayah

kekuasaan Wajo, akan tetapi hanya dapat memberikan nasehat atas permintaan matoa

atau Arung Mabbicara. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Mupada taroiwi Arung Mabbicara tasséddi silimpo muéwai sipetangngareng.

Muatinro mattukku’ ulu mattukku’ ajé, temmuisseng dé’na engkanami muisseng.

Naiaparo limpoé eppa’é teddu’ko muoto’. Temmuriuttamai bicarammu ri Wajo

Page 105: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

93

ri Lipu’’ Tellu Kajuru’é, Tellu Turungeng Lakka’é. Temmuottamaitoi bicaranna.

Narékko engka taummu muttama ri Wajo mappasa’, tenriléléi ri bola ri padang.

Mutaro pasa’ tenrilélétokko. Massu’i taué ri Wajo temmuisseng, tamai

temmuisseng. Mattoanai Wajo ri bali wanuanna temmuisetto. Muinaiwi Tellu

Kajuru’é, Tellu Turungeng Lakka’ ri Wajo. Na ana’ Tellué Turungeng Lakka’

riko. Narekko tamako ri Lipu’’ Tellu Kajuru’é, nalaoakko kaliao. Narekko sisalai

Arungngé ri Lipu’’ Tellué Turungeng Lakka’, uttama’ko muappangaja’ ri

ana’mu, temmurijellokeng tudangeng ri barukaé mutadang ri tudangemmu, ri

tudangenna ranrengngé. Narekko tiani mala pangaja’, soddamumani muéssang.

Musaléppang widang, muammekko’ muitaitaini ana’mu siuno. Narékko engkana

maté, bukku’ni widang mutunui, mupuppungngi aunna, muparitajoi, mulemme’i

tajoé. Makkoniro tarona Tellu Kajuru’é, tellué limpo riko”. Aga nappakkotona

olona Arung Pénrang ri Wajo lettu’ makkukkué. Makkedai Arung

Pénrang:”Sudding napénrasaina ri Sabu’ tekkoéngnga kuparéwa tennung”

(sumber: naskah LSW:h.125)

Terjemahan:

Tempatkanlah satu orang Arung Mabbicara (kepala limpo) di tiap daerah dan

engkau temani bermusyawarah. Engkau tidur menutup kepala sampai kaki, tidak

engkau ketahui tidak adanya, hanya adanya engkau ketahui. Hanyalah bila

keempat daerah itu membangun engkau, barulah engkau bangun. Tidak

dicampuri urusan pemerintahanmu oleh Wajo, di Lipu’ Tellu Kajurué atau Tellu

Turungeng Lakka dan tidak pula engkau mencampuri urusan pemerintahannya.

Bila ada rakyatmu masuk di Wajo berpasar, mereka tidak dikenakan pajak, baik

di rumah maupun di padang. Engkau mengadakan pasar dan tidak akan

dikenakan pajak. Orang keluar dari Wajo, engkau tidak usah ketahui, orang

masuk, engkau tidak ketahui. Bila Wajo menjamu negeri tetangganya tidak usah

engkau mencampurinya pula. Engkau kepala dari Tellu Kajurué atau Tellu

Turungeng Lakka di Wajo. Anaklah Tellu Turungeng Lakka dari engkau. Bila

engkau masuk di Lipu’ Tellu Kajurué, engkau didahului oleh perisai. Bilamana

para kepala kampung berselisih di Lipu’ Tellue Turungeng Lakka masuklah

engkau di negeri itu untuk menasehati anakmu, tanpa ditunjukkan tempat duduk

di balairung, engkau duduk di tempat dudukmu, di tempat duduk para

pendamping raja. Bila mereka tidak mau menerima nasehat, linggismulah engkau

pikul dan sandanglah kain kafan lalu engkau berdiam diri sambil melihat anak-

anakmu saling berbunuhan. Bila ada yang meninggal, bungkuslah ia dengan kain

kafan, bakar, kumpulkan abunya, masukkan dalam tajau dan tanamlah tajau itu.

Demikianlah penetapan Tellu Kajurué yaitu ketiga daerah di bawah

kekuasaanmu. Begitulah kedudukan Arung Pénrang di Wajo sampai sekarang.

Berkata Arung Pénrang: “Aku terpanggil atas apa yang sudah dimupakati dan

aku eratkan” (terj. Abidin, 1985)

Page 106: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

94

Berdasarkan kutipan teks di atas yang mengungkap perjanjian hubungan

kekuasaan Kerajaan Wajo dengan Pénrang, maka dapat disimpulkan bahwa daerah

kekuasaan Wajo bertambah setelah bergabungnya Pénrang ke dalam Kerajaan Wajo

yang berbentuk federasi (kesatuan). Adapun daerah kekuasaannya menjadi empat yaitu

Majauleng yang dipimpin oleh La Tenritau, Sabbamparu yang dipimpin oleh La

Tenripekka, Tekkalalla yang dipimpin oleh La Matareng dan Pénrang yang dipimpin

oleh La Tenritippe’ yang daerah kekuasaannya terdiri dari Ujung, Lapéré, Tarokéteng

dan Saébawi. Semua pemimpin tersebut dibantu oleh Arung Mabbicara yang

memerintah di masing-masing limpo sebagai unit permukiman terkecil yang dibawahi

oleh kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi anak Kerajaan Wajo. Itulah sistem

pemerintahan yang digambarkan oleh LSW sebagai hasil dari hubungan kekuasaan

dengan kerajaan lain yang dilakukan Kerajaan Wajo pada masa itu.

3. Peranan Wanua-Wanua Kuno Terhadap Kerajaan Wajo

Berbicara peranan wanua terhadap Kerajaan Wajo tidak terlepas dari Lipu’ Tellu

Kajurué yang terdiri dari Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla. Dalam LSW

diungkapkan bahwa wanua tersebutlah yang memberikan peranan terhadap latar

belakang terbentuknya Wajo, dimana pada saat itu para pemimpin wanua masing-

masing yang tergabung dalam Lipu’ Tellu Kajurué melakukan musyawarah bersama

rakyat Boli hingga memutuskan akan membentuk kerajaan federasi (kesatuan) dan

memutuskan bahwa La Tenribali yang akan dijadikan sebagai raja pertama di Kerajaan

Wajo serta membuat konsep pelantikan yang digelar di Boli. Selain itu, dikenal juga

Pénrang yang memiliki peranan penting sehingga Kerajaan Wajo dapat memperluas

Page 107: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

95

wilayahnya yang terdiri dari Ujung, Lapéré, Tarokéteng dan Saébawi. Dengan

demikian, Kerajaan Wajo dikenal sebagai salah satu kerajaan besar di Sulawesi Selatan

yang berbentuk federasi (kesatuan). Sebagaimana yang telah disinggung pada

pembahasan sebelumnya bahwa sebagian besar penduduk Wajo memiliki aktivitas

bercocok tanam seperti menanam padi, jagung, ubi, menyadap tuak dan menangkap

ikan. Oleh karena itu, setiap daerah diberikan peranan khusus berdasarkan potensi alam

ataupun potensi lainnya yang dimiliki. Semua potensi tersebut tersebar di berbagai

daerah kekuasaan Wajo sekaligus menjadi peranan terhadap Kerajaan Wajo. Adapun

daerah beserta peranannya sebagai berikut.

a. Majauleng sebagai Paddanreng Bettempola

Majauleng menurut LSW adalah wanua yang dipimpin oleh La Tenritau dan

merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Wajo yang dikenal sebagai daerah yang

memiliki lahan pertanian yang sangat luas. Oleh karena itu, wanua ini diberi peranan

oleh kerajaan sebagai Paddanreng Bettempola, yaitu pembantu raja yang bertugas

mengurus segala hal yang berkaitan dengan pertanian di semua wilayah yang termasuk

dalam kekuasaan Kerajaan Wajo dengan kata lain daerah penghasil pertanian, misalnya

menanam padi, jagung, ubi dan pertanian lainnya. Hal ini semua dilakukan agar

kebutuhan pokok rakyat dapat terpenuhi, dengan kata lain rakyat menjadi makmur

dalam hal kebutuhan pangan. Oleh karena itu, perkembangan segala bentuk pertanian

di Wajo merupakan tugas utama La Tenritau yang dilantik sebagai Paddanreng

Bettempola.

Page 108: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

96

Perkembangan pertanian di Majauleng diungkap dalam LSW bahwa orang-orang

Majauleng menetaplah di daratan bersawah dan berladang, maka disebut dalam lontara

bahwa “Naménténg-ménténna lappo aséna ri tanétewé, aga nariasenna Béttémpola”,

yang artinya meninggilah onggokan padi mereka di padang, maka dinamakanlah

Bettempola yang kemudian berubah nama menjadi Ranreng Bettempola dan La

Tenritau disebut sebagai Paddanreng Bettempola (pendamping raja yang bertugas di

Majauleng, yang merupakan daerah penghasil pertanian). Hal ini sebagaimana tertulis

dalam kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Naia to Majaulengngé marenrenni ri bottoé maddare’, namménténg-ménténna

lappo’ aséna ri tanétéwé, aga nariasenna Béttémpola (sumber: naskah

LSW:h.127)

Terjemahan:

Adapun orang-orang Majauleng menetaplah di daratan berkebun dan meninggi

pulalah tumpukan padinya di padang, maka disebutnya Bettempola (terj.Abidin,

1985)

Menurut orang-orang tua di Tosora bahwa pada tahun 1967 asal usul Bettempola

ialah Mettempola yang terdiri dari ménténg yang kadang-kadang berubah

pengucapannya menjadi métténg, suatu kata tua yang tidak terpakai lagi, yang berarti

matanré (tinggi) dan tettong (berdiri, tegak). Orang tua itu menyatakan, bahwa nama

Bettempola berasal dari ungkapan “Menremani ri tanété ri awana aju bajo battoaé

maddare maggalung napoasenni Béttémpola, nasaba maménténg-ménténni bolana

lappo aséna”, yang artinya pada waktu mereka naik di padang di bawah pohon bajo

Page 109: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

97

besar untuk berkebun dan bersawah barulah dinamakan Bettempola, sebab telah

meninggi rumah-rumah dan onggokan pada mereka (Abidin, 1985:412).

Kedudukan Bettempola menonjol di antara wanua lain, dan secara lokal

tempatnya di tengah. Nama itu yang sering disingkat Betteng mungkin sekali ada

kaitannya dengan kedatangan We Tadampali, putera Datu Luwu yang massao tanré

(tinggi rumahnya sebagai petanda bangsawan yang dianggap paling mulia) di Wajo

dan menjadi leluhur semua Ranreng Bettempola (Abidin, 1999:130).

b. Sabbamparu sebagai Paddanreng Taloténreng

Sabbamparu merupakan salah satu wanua yang termasuk daerah kekuasaan

Kerajaan Wajo. Wanua ini dipimpin oleh La Tenripekka yang berperan penting dalam

memproduksi minuman tradisional yang dinamakan tua’ ri boli, yaitu minuman yang

dihasilkan dari sadapan pohon enau yang dicampur dengan sadapan pohon bajo yang

dapat memberi kekuatan orang-orang untuk bekerja seperti bertani, berkebun,

menangkap ikan dan pekerjaan lainnya. Minuman ini dipercaya oleh orang Wajo pada

masa itu, sebagai minuman yang dapat menjaga kondisi fisik para pekerja agar tidak

kelelahan dalam bekerja. Oleh karena itu, La Tenripekka dilantik sebagai Paddanreng

Taloténreng yang memerintah di Sabbamparu dan diberikan tugas oleh kerajaan untuk

memenuhi kebutuhan tuak para pekerja di Wajo yang saat itu sudah menjadi kebutuhan

bagi petani, nelayan dan para penyadap tuak itu sendiri. Hal ini dijelaskan dalam LSW

bahwa orang-orang Sabbamparu “Marénréngngi ri assarinna tua’”, yang artinya

menetaplah di tempat penyadapan tuak, dan mereka menamakan negerinya

Tarotenreng (menaruh tangga untuk menyadap di pohon enau). Taroténreng dalam

Page 110: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

98

perjalanan sejarah berubah nama menjadi Taloténreng dan digelarlah La Tenripekka

sebagai Paddanreng Taloténreng (pendamping raja yang bertugas di Sabbamparu,

yang merupakan daerah penghasil tuak). Hal ini sebagaimana tertulis dalam kutipan

teks berikut ini.

Transliterasi:

Naia to Sabbamparué marénréngngi ri assarinna tua’, nariasenna

Taloténréng.(sumber: naskah LSW:h.127)

Terjemahan:

Adapun orang-orang Sabbamparu menetaplah di penyadapan tuaknya dan

disebut Taloténreng (terj. Abidin, 1985)

Menurut Abidin, (1999:131) posisi Taloténreng diibaratkan sebagai “anak

tengah”, dan Tuwa sebagai anak “bungsu” dalam lingkungan “Tellu Lipu’ Kajurué”

yang kemudian berubaha nama menjadi “Tellu Turungeng Lakkaé” pada masa

pemerintahan La Mataesso (Batara Wajo II). Sistem ketatanegaraan di Wajo waktu itu

berdasarkan sistem keluarga, dimana Bettempola menjadi primus inter pares. La

Mataesso juga untuk pertama kalinya mengadakan perjanjian bilateral dengan kerajaan

Mampu untuk saling membantu.

c. Tekkalalla sebagai Paddanreng Tuwa

Tekkalalla adalah wanua yang dipimpin oleh La Matareng dimana sebagian besar

penduduknya melakukan aktivitas menangkap ikan atau dapatlah disebut daerah

penghasil ikan pada waktu itu. Hal ini disebabkan karena orang-orang Tekkalalla

pandai menangkap ikan menggunakan racun yang dinamakan tuwa, yang dalam bahasa

Indonesia disebut tuba (sejenis racun ikan yang berasal dari akar tanaman tuba). Dalam

Page 111: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

99

LSW orang-orang Tekkalalla dijelaskan bahwa “Marenrenni ri akkajanna”, yang

artinya mereka menetap pada tempat penangkapan ikan, maka dinamakanlah

daerahnya Tuwa. Pada saat itu digelarlah La Matareng sebagai Paddanreng Tuwa

(pendamping raja yang bertugas di Tekkalalla, yang merupakan daerah penghasil ikan

pada waktu itu). Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Naia to Tekkalalla’é marenrenni ri akkajana nariasenna ri Tuwa. Nasaba iaro

wettué tuaé mupa maséhoro napaké to Wajoé makkaja (sumber: naskah

LSW:h.127)

Terjemahan:

Adapun orang-orang Tekkalalla menetap pada pekerjaan menangkap ikan dan

dinamakannya Tuwa, sebab pada waktu itu hanya tubalah yang sering dipakai

orang-orang Wajo untuk menangkap ikan (terj. Abidin, 1985)

d. Pénrang sebagai Dewan Penasehat Kerajaan

Penyebab utama hancurnya Kerajaan Cinnotabi disebabkan praktek sistem

pemerintahan yang buruk sehingga terjadi perselisihan antara Arung dengan Arung,

Arung dengan Matoa Pabbicara, dan Arung dengan rakyat. Peristiwa tersebut menjadi

suatu pembelajaran bagi La Tenribali, yang kemudian diangkat menjadi Arung

Mataesso (raja matahari) di Boli yang bertugas untuk mengayomi rakyat Boli dengan

melaksanakan hukum adat yang pernah dipakai oleh La Patiroi yang diwarisinya dari

La Rajallangi, sehingga Cinnotabi mencapai kejayaan pada masa itu.

Pada saat La Tenribali menjadi pemimpin di Kerajaan Wajo, dia tidak ingin hal

yang terjadi di Kerajaan Cinnotabi akan terulang pada kerajaan yang dipimpinnya.

Oleh karena itu, dengan bergabungnya Pénrang ke dalam daerah kekuasaan Kerajaan

Page 112: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

100

Wajo, maka dia melantik Pénrang sebagai inang (ibu), yaitu penasehat Wajo jika terjadi

perselisihan antara wanua satu dengan wanua lainnya. La Tenribali juga mengusulkan

supaya Kerajaan Pénrang harus dibagi atas empat limpo yaitu Ujung, Lapéré,

Tarokéteng, dan Saébawi yang masing-masing diperintah oleh Arung Mabbicara dan

masing-masing menjadi anggota Dewan Perwakilan Pusat yang dikepalai oleh Arung

Pénrang. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, Arung Pénrang harus

menyerahkan segala urusan pemerintahan kepada para Arung Mabbicara dan para

matoa, dia hanya turun tangan kalau terjadi perselisihan antara wanua satu dengan

wanua lainnya.

Adapun yang dikatakan La Tenribali pada waktu itu bahwa “Engkau Arung

Pénrang harus tidur sambil menutup kepala sampai kaki, engkau tidak usah mengetahui

tidak adanya, yang ada saja engkau ketahui dan barulah engkau bangun dari

pembaringanmu, jika Arung Mabbicara atau matoa membangunkanmu”. Pénrang juga

berjanji tidak akan mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, sebab dia hanya

dapat memberikan nasehat. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.

Transliterasi:

Narekko sisalai Arungngé ri Lipu’’ Tellué Turungeng Lakka’, uttama’ko

muappangaja’ ri ana’mu, temmurijellokeng tudangeng ri barukaé mutadang ri

tudangemmu, ri tudangenna ranrengngé. Narekko tiani mala pangaja’,

soddamumani muéssang. Musaléppang widang, muammekko’ muitaitaini

ana’mu siuno. Narékko engkana maté, bukku’ni widang mutunui, mupuppungngi

aunna, muparitajoi, mulemme’i tajoé. Makkoniro tarona Tellu Kajuru’é, tellué

limpo riko”. Aga nappakkotona olona Arung Pénrang ri Wajo lettu’ makkukkué

(sumber: naskah LSW:h.125)

Page 113: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

101

Terjemahan:

Bilamana para kepala kampung berselisih di Lipu’ Tellue Turungeng Lakka

masuklah engkau di negeri itu untuk menasehati anakmu, tanpa ditunjukkan

tempat duduk di balairung, engkau duduk di tempat dudukmu, di tempat duduk

para pendamping raja. Bila mereka tidak mau menerima nasehat, linggismulah

engkau pikul dan sandanglah kain kafan lalu engkau berdiam diri sambil melihat

anak-anakmu saling berbunuhan. Bila ada yang meninggal, bungkuslah ia

dengan kain kafan, bakar, kumpulkan abunya, masukkan dalam tajau dan

tanamlah tajau itu. Demikianlah penetapan Tellu Kajurué yaitu ketiga daerah di

bawah kekuasaanmu. Begitulah kedudukan Arung Pénrang di Wajo sampai

sekarang (terj. Abidin, 1985)

Page 114: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

102

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut. Wanua adalah unit permukiman terkecil yang berfungsi sebagai

tempat manusia bermukim. Adapun wanua kuno yang muncul sebelum Kerajaan Wajo

terbentuk sebagai sebuah kerajaan federasi yang bertipe (kesatuan) adalah Paung,

Pénrang, Sarinyameng, Saébawi, Boli, dan Cinnotabi. Geografi wanua tersebut

terletak di dataran rumput yang menghijau, hutan belantara dan ada pula yang berada

di sekitar danau-danau kecil. Asal usul pemberian namanya berdasarkan perilaku

orang-orang yang menetap di dalamnya, keahlian yang dimiliki oleh pemimpinnya,

nama pohon, nama binatang dan nama minuman tradisional yang dibuat oleh

pemimpinnya. Misalnya: Paung dari kata mappau-pau, yang dalam bahasa Bugis

berarti bercakap-cakap atau berkata-kata, Pénrang dari kata pénrangngé, yaitu sebutan

orang-orang dahulu terhadap jenis pohon terbaik seperti cendana dan bayam,

Sarinyameng yaitu gabungan dari kata sari artinya sadap dan nyameng artinya

nyaman, Saébawi berasal dari dua kata yaitu saé artinya mengendarai dan bawi artinya

babi, Boli berasal dari minuman tuak yang dicampur sadapan pohon bajo yang

dinamakan tua’ riboli, maka dinamakanlah perkampungan itu Boli dan Cinnotabi

berasal dari kata cinnong artinya jelas atau jernih dan tabbangka artinya terkejut atau

Page 115: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

103

kaget, maka dinamakanlah bukit itu Cinnongtabbangka yang kemudian berubah

menjadi Cinnotabi.

Dari keenam wanua yang lebih dulu muncul sebelum Kerajaan Wajo, terdapat

dua pemimpin di dalamnya yang masing-masing memiliki keahlian tersendiri dalam

memimpin, yaitu Puangngé ri Lampulungeng dan Puangngé ri Timpengeng. Paung,

Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi dibentuk oleh Puangngé ri Lampulungeng,

sedangkan Boli dan Cinnotabi dibentuk oleh Puangngé ri Timpengeng. Kedua

memimpin tersebut mendapat legitimacy, yaitu keabsahan oleh rakyatnya atas dasar

kemampuan yang dimiliki untuk melaksanakan sistem kepemimpinan yang bersifat

kemaslahatan orang banyak.

Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Puangngé ri Lampulungeng dan

Puangngé ri Timpengeng memberikan suatu pemahaman kepada kita semua bahwa

seorang pemimpin harus memiliki keahlian dalam memimpin, utamanya dalam hal

pengetahuan dan perilaku. Dua hal tersebut harus dimiliki oleh seorang pemimpin,

sebab hal itu menjadi modal utama dalam memimpin sebuah daerah jika ingin

mendapat pengakuan dari rakyatnya.

B. Saran

Penulis berharap studi tentang naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) dapat

disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut terkait nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya. Kerajaan ini memberikan gambaran secara lebih lengkap

terhadap kandungan naskah LSW. Berdasarkan pengamatan penulis selama

melakukan penelitian, naskah LSW masih banyak yang perlu diungkap di antaranya

Page 116: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

104

adalah konsep demokrasi, sistem pemerintahan dan hukum adat yang diterapkan di

Kerajaan Wajo.

Kajian-kajian tentang naskah lontara, perlu terus dilakukan dalam rangka studi

kearifan lokal yang berlangsung pada masa silam dan dapat direlevansikan dalam

kehidupan sekarang. Hal ini seharusnya dapat menjadi perhatian khusus oleh

pemerintah dengan membentuk program-program dalam rangka studi tentang kearifan

lokal tersebut. Sebab naskah-naskah lontara di Sulawesi Selatan masih banyak yang

perlu dikaji, salah satunya naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW).

Page 117: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

105

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal. 1985. Wajo pada Abad XV-XVI “Suatu Penggalian Sejarah

Terpendam Sulawesi Selatan Dari Lontara”. Bandung: Alumni.

-------------------------. 1999. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Makassar:

Hasanuddin University Press.

AKW, Bernadeta dan Hasanuddin. 2016. Lembah Walennae Lingkungan Purba dan

Jejak Arkeologi Peradaban Soppeng. Makassar: Ombak.

Baroroh Baried, Siti dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bulbeck, David dan Budianto Hakim. 2005. The Earthenware From Allangkanangnge

ri Latanete Excavated in 1999. Walennae, volume 11, No. 2. Juni 2005. 99-

106.

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-Lain.

Jakarta Utara: PT. Pustaka Utama Grafity.

Djamaris, Edwar. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV Manasco.

Duli, Akin. 2010. Peranan Tosora Sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Wajo Abad

XVI-XIX. Walennae, volume 12, No. 2. Juni 2010. 143- 157.

Page 118: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

106

Hadrawi, Muhlis. 2016. Jejak Awal Wanua-Wanua Soppeng dan Pertumbuhannya:

Kajian Berdasarkan Manuskrip. Makassar: Balai Arkeologi Sulawesi Selatan.

--------------------. 2009. Assikalaibineng Kitab Persetubuhan Bugis. Makassar:

Ininnawa.

--------------------. 2016. Otoritas Wanua: Kedudukan Sosial-Politik Wanua-Wanua

Hingga Terbentuknya Kerajaan Soppeng. Makassar: Balai Arkeologi

Sulawesi Selatan.

--------------------. 2017. Bangkala dan Binamu: Suatu Kajian Naskah Lontara Dalam

Sosial-Politik Jeneponto Kuno. Etnografi Indonesia, volume 2 No. 2.

Desember 2017. 116-132.

Ilyas, Husnul Fahimah. 2011. Lontara Sukkuna Wajo: Telaah Ulang Awal Islamisasi

di Wajo. Tesis. Fakultas adab dan Humaniora. (UIN) Syarif Hidayatullah.

Jakarta: Tidak terbit.

Kaharuddin, 1994. Pemukiman Kuno Allangkanangnge ri La tanete, Kecamatan

Pammana, Kabupaten Wajo: Suatu Analisis Arkeologi terhadap kompleks

permukiman kuno yang terletak di tiga desa dalam wilayah Kecamatan

Pammana, Kabupaten Wajo. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Hasanuddin.

Makassar: Tidak terbit.

Lamallongeng, Asmat Riady dkk. 2011. Kamus Lengkap Bahasa Bugis-Indonesia.

Makassar: De la Macca.

Mahmud, Irfan. 2001. Awal Mula Wajo dan Aspek Ruang Situs Inti Wajo Abad XV-

XIX Masehi. Walennae, volume 4, No. 7. November 2001. 47-58.

Page 119: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

107

Mallombasi, Syuaib. 2009. Sejarah Kerajaan-Kerajaan Sulawesi Selatan. Makassar:

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.

Rais, Jacub, dkk. 2008. Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya yang Panjang dari

Pemukiman Manusia dan Tertib Administrasi. Jakarta: Paradnya Paramita.

Rustan dan Adi Mulyadi. 2001. Tinggalan Menhir di Bekas Kerajaan Wajo dan

Pendahulunya. Walennae, volume 5, No. 2. Juni 2001.47-54.

Yusuf, Andi Muhammad. 2012. Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik

di Kabupaten Wajo. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas

Hasanuddin. Makassar: Tidak terbit.

Page 120: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

108

Glosari

1. Adat

Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma,

kebiasaan, kelembagaan dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah

dengan kata lain aturan-aturan yang berciri tradisional.

2. Batara

Batara adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang menjadi raja pada

Kerajaan Wajo.

3. Boli

Boli adalah salah satu daerah kekuasaan Wajo yang menjadi pusat pemerintahan

Kerajaan Wajo.

4. Bugis

Bugis adalah salah satu suku yang berada di Sulawesi Selatan.

5. Cinnotabi

Cinnotabi adalah salah satu kerajaan kecil yang pernah ada sebelum terbentuknya

Wajo sebagai sebuah kerajaan federasi (kesatuan). Kerajaan Cinnotabil inilah yang

kemudian bertransformasi menjadi Kerajaan Wajo.

6. Federasi

Federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana beberapa negara bagian

bekerja sama dengan membentuk kesatuan yang disebut negara federal. Masing-

Page 121: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

109

masing daerah bagian memiliki beberapa otonomi khusus dan pemerintahan pusat

mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional.

7. Filologi

Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah-naskah lama (kuno) atau

ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau dalam bentuk tulisan.

8. Folklor

Folklor merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan

diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional

dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai

dengan gerak isyarat atau alat pembantu gerak isyarat atau alat pembantu pengingat

(mnemonic device).

9. Hubungan

Hubungan adalah kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang

memudahkan proses pengenalan satu dengan yang lain.

10. Kerajaan

Kerajaan adalah tempat atau wilayah seorang raja memerintah atau tempat dimana

seorang raja memiliki kekuasaan.

11. Konsep

Konsep adalah sesuatu yang umum atau representasi intelektual yang abstrak dari

situasi, objek atau peristiwa dengan kata lain suatu ide (akal pikiran) atau gambaran

mental.

Page 122: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

110

12. Legenda Setempat

Legenda merupakan cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat,

dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah seperti berbukit bukit,

berjurang dan sebagainya.

13. Limpo

Limpo secara khusus merujuk pada arti kampung yang menjadi pemukiman, namun

pada konteksnya merujuk arti kampung atau unit pemukiman berskala kecil.

14. Lipu’

Lipu’ memiliki arti yang kurang lebih sama dengan kata wanua yakni merujuk pada

‘wilayah pemukiman’ atau perkampungan manusia.

15. Lontara

Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar.

16. Lontara Sukkuna Wajo

Lontara Sukkuna Wajo atau disingkat LSW adalah histografi yang menceritakan

sejarah panjang Kerajaan Wajo, kumpulan catatan atau silsilah keturunan raja-raja

Wajo, keluarga bangsawan Kerajaan Wajo dan sejarah yang dialami oleh orang

Wajo dahulu. Lontara Sukkuna Wajo merupakan buku sejarah resmi yang

ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Wajo.

17. Mitos

Mitos merupakan suatu cerita yang memberikan pedoman atau arahan tertentu

kepada sekelompok orang.

Page 123: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

111

18. Naskah

Naskah merupakan semua bahan tulisan tangan peninggalan nenek moyang kita

pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan.

19. Paddanreng

Paddanreng merupakan jabatan dalam Kerajaan Wajo yang berarti pendamping raja

yang bertugas di pemerintahan atau Dewan Pemerintah Pusat.

20. Penyuntingan Teks

Penyuntingan teks adalah metode dalam penelitian filologi dengan tujuan

melahirkan atau menyajikan edisi teks dalam bentuk terbaca.

21. Perjanjian

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang atau satu pihak berjanji kepada

pihak lain atau dimana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal.

22. Politik

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun

nonkonstituonal.

23. Tellu Lipu’ Kajurué

Tellu Lipu’ Kajurué adalah tiga daerah yang bersepakat untuk bersatu, terdiri dari

(Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla). Ketiga daerah tersebut mempunyai

wewenang yang sama untuk melaksanakan pemerintahan dalam arti luas di tingkat

pusat kerajaan, sedang di daerah masing-masing mereka memerintah tanpa campur

tangan kepala persekutuan yang lain.

Page 124: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

112

24. Toponimi

Toponimi secara harfiah artinya nama tempat di muka bumi sedangkan secara

etimologi adalah gambaran tentang permukaan atau tempat-tempat di bumi.

25. Wanua

Wanua dalam bahasa Bugis memiliki varian kata banuwa yang artinya sama dengan

kata wanua, konteksnya adalah pemukiman manusia. Konteks wanua dalam skala

kecil berupa kampung yang mungkin dihuni minimal 60 kepala, namun pada skala

yang lebih besar wanua dapat berarti kampung besar dan berpenduduk banyak.

Page 125: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

Ket: Naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) koleksi H. Ahmad Saransi (Kabid Pembinaan

dan Pengembangan Kearsipan pada Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi

Sulawesi Selatan).

Page 126: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

Ket: Naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) koleksi H. Ahmad Saransi (Kabid Pembinaan

dan Pengembangan Kearsipan pada Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi

Sulawesi Selatan).

Page 127: WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN LONTARA SUKKUNA WAJO

Ket: Foto bersama H. Andi Ahmad Saransi (pemilik naskah Lontara Sukkuna Wajo).