wangon jatilawang
TRANSCRIPT
1
I. Latar Belakang Masalah
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebagai hasil proses kreatif pengarang, karya
sastra menampilkan gambaran kehidupan yang menjadi kenyataan sosial
(Damono, 1979:1). Maka, sedikit banyak sebuah karya sastra akan menampilkan
berbagai perikehidupan yang ada di lingkungan masyarakat. Potret kehidupan
yang diangkat pun beraneka ragam. Bergantung pada obsesi seorang pengarang.
Karena pada dasarnya pengarang bergaul , berinteraksi, dibentuk, dipengaruhi
oleh orang-orang lain di sekitarnya secara fisik. Ia melihat kondisi sosial itu lewat
saudara-saudaranya, tetangganya, kawannya dan sebagainya. Maka tidak
mengherankan kalau pengarang akan menulis respon sosialnya dalam karya sastra
menurut apa yang dilihat dalam lingkungan hidupnya (Sumarjo, 1982:17).
Proses lahirnya sebuah karya sastra sebagai cermin masyarakat, tidaklah
serta merta terbentuk dengan sendirinya tanpa campur tangan pihak luar. Ada
banyak hal yang mempengaruhi pengarang dalam melahirkan sebuah karya sastra.
Yang mempengaruhi yaitu status sosial pengarang, ideologi sosial pengarang,
tingkat pendidikan seorang pengarang serta perspektif seorang pengarang dalam
memandang realitas kehidupan disekitarnya.
Sudah banyak sastrawan yang mengangkat realisme kehidupan dalam
melahirkan sebuah karya sastra sebagai cermin kehidupan lingkungan sosial
sekitarnya. Kenyataan ini dapat dilihat pada hasil karya sastra masa Balai Pustaka
yang menghadirkan persoalan kultur yaitu perbenturan kultur timur dengan kultur
barat yang tercermin dalam peristiwa-peristiwa kawin paksa dalam masyarakat
Sumatra, seperti dalam roman Siti Nurbaya (Marah Rusli) maupun novel Salah
Asuhan (Abdoel Muis).
Lain halnya pengarang yang hidup dalam kultur Jawa. Novel Ronggeng
Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari. Pada hakikatnya RDP adalah
fenomena kehidupan, struktur, dan kebudayaan masyarakat pedesaan di daerah
Banyumas pada pertengahan abad 20-an. Secara simbolis, karya tersebut ternyata
telah mencuatkan gambaran masyarakat desa yang berkaitan dengan kekuatan
2
struktural dan hubungan sosial masyarakat agraris yang secara substansial berpola
sangat tradisional. (Fananie, 2002:134)
Ahmad Tohari mencoba menghadirkan fenomena kehidupan yang terjadi
pada era tahun 80-an melalui kumpulan cerpen “Senyum Karyamin”. Di dalam
buku kumpulan cerpen tersebut banyak mengangkat tema-tema sosial yang terjadi
di masyarakat. Tema sosial merupakan tema yang sangat penting untuk diangkat
dalam karya sastra, karena berhubungan erat dengan pengarang dan pembaca
karya sastra itu sendiri. Berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan
refleksi/cerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis, analisis ini
dibuat untuk menampilkan realitas sosial yang terjadi pada era tahun 80-an. Maka
dibuatlah analisis sastra terhadap salah satu cerpen dari kumpulan cerpen “Senyum
Karyamin” karya Ahmad Tohari yang berjudul “Wangon Jatilawang”.
II. Teori Sosiologi Sastra
Kritik sastra ini menggunakan teori sosiologi sastra Plato. Namun tidak
semua konsep Plato akan diaplikasikan dalam penelitian ini, melainkan hanya
beberapa konsep yang oleh peneliti dianggap relevan uantuk penelitian ini.
Salah satu pendapat yang dikemukakan oleh Plato adalah segala yang ada
di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di
dunia gagasan (Damono, 1979:16). Masih menurut Plato, dalam dunia gagasan itu
ada satu manusia, dan semua manusia yang ada di dunia ini adalah tiruan dari
manusia yang berada di dunia gagasan tersebut.
Segala sesuatu yang berada di dunia baik tampak ataupun tidak tampak
merupakan perwujudan atas suatu konsep yang ada di dalam alam gagasan (ide)
manusia. Sebagai contoh, sebuah benda yang di sebut batu, pohon, dan air
sebelum disebut dengan nama-nama itu, dalam alam gagasan manusia sudah
terlahir konsep berdasarkan karakteristiknya untuk menyebutkan atau memberi
nama kepada benda-benda tersebut. Dapat dikatakan batu, pohon, dan air yang
ada di dunia ini sebenarnya hanyalah tiruan dari batu, pohon, dan air yang berada
di dunia gagasan manusia.
3
Dalam pandangan Plato (Damono, 1979:16) bahwa seorang penyair yang
menggambarkan tentang pohon, misalnya, tidak dapat langsung membuat tiruan
pohon yang berada di dunia gagasan. Akan tetapi pada hakekatnya penyair
tersebut hanya dapat meniru pohon yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, sajak
yang dihasilkannya tidak lain merupakan tiruan dari barang tiruan. Dengan kata
lain Plato mengatakan bahwa puisi membawa manusia semakin jauh dari
kenyataan tertinggi. Secara tersirat dikatakannya bahwa sebenarnya pohon lebih
dekat dengan kenyataan tertinggi dibanding dengan sajak tentang pohon. Nilai
sajak itu pun tentunya lebih rendah dibanding dengan pohon, sebab justru semakin
menjauhkan dari kenyataan tertinggi.
Dalam teori Plato juga disebut-sebut tentang tiga macam “seniman” :
pengguna, pembuat, dan peniru (Damono, 1979:17). Pengguna adalah orang yang
memberikan petunjuk kepada pembuat tentang cara pembuatan sesuatu, yang
kemudian ditiru oleh peniru. Sebagai contoh sebuah baju. Menurut pandangan
Plato, orang yang menggunakan baju itulah yang disebut “seniman” yang paling
penting; si pengguna baju ini bisa memberi petunjuk cara-cara pembuatan baju
kepada pembuat baju sesuai keinginannya. Dan si pembuat baju ini dianggap
sebagai “seniman” nomor dua. Sedangkan seniman yang menggambarkan atau
melukis baju menduduki tempat ketiga dalam urutan kepentingannya, sebab
praktis dia sebenarnya tidak menciptakan sesuatu melainkan meniru barang tiruan.
Bagian lain karangan Plato menjelaskan tentang pentingnya sastra bagi
pendidikan anak. Anak sebaiknya hanya menerima cerita-cerita yang tidak
mengandung hal-hal yang mungkin menyesatkannya. Kisah tentang pertempuran
atau pertengkaran sebaiknya tidak disodorkan kepada anak, sebab apabila cerita
itu disampaikan kepada anak, hasilnya bisa sangat negatif. Meskipun banyak
cerita semacam itu bersifat alegoris, tetapi Plato beranggapan bahwa anak belum
bisa membedakan alegoris (kiasan) dari yang bukan (Damono, 1979:17).
Teori Plato tentang peniruan itu sebenarnya tersimpul suatu pengertian
tentang sastra sebagai cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai
mimesis (tiruan) masyarakat. Sedangkan mimesis yang dilakukan oleh seniman
4
dan sastrawan akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari
‘kebenaran’.
Pada perkembangannya teori Plato ditentang oleh muridnya sendiri yang
bernama Aristoteles. Penolakan Aristoteles terhadap teori Plato terkait konsep Ide.
Menurut Aristoteles penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang satu
dari yang lain. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan,
melainkan merupakan sebuah proses kreatif penyair sambil bertitik pangkal pada
kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru (Luxemburg, 1982, terjemahan Dick
Hartoko, 1989:17). Karena sastra merupakan hasil proses kreatif, maka sastra
tetap diakui sebagai sebuah ilusi dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan
semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan hanya sekedar
jiplakan kenyataan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis
(Endraswara, 2008:78).
Meskipun teori Plato kemudian dirobohkan oleh beberapa penulis
sesudahnya seperti Aristoteles, Plato penting diingat sebagai salah seorang pemula
yang menampilkan teori tentang hubungan sastra dan masyarakatnya. Juga harus
diakui bahwa beberapa teori modern tentang hubungan sastra dan masyarakat
masih ada kaitannya dengan beberapa pandangan dasar yang disodorkan oleh
Plato.
Pandangan lain mengenai hubungan sastra dengan masyarakat
disampaikan oleh Glickberg (dalam Endraswara, 2008:77) bahwa “all literature,
however fantastic or mystical in content, is animated by a profound social
concern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work”. Pendapat ini
jelas merepresentasikan bahwa seperti apa bentuk karya sastra baik fantastis atau
mistis pun akan mempunyai perhatian yang terhadap fenomena sosial
(masyarakat). Perhatian yang dimaksud dapat berupa hubungan timbal balik
antara keduanya yaitu sastra dan masyarakatnya . Karena sastra yang pada awal
perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari kegiatan sosial, dianggap sebagai
unsur kebudayaan yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi masyarakatnya
(Damono, 1979:17). Pandangan mengenai sosiologi sastra yang patut diperhatikan
5
adalah pernyataan Levin (dalam Endraswara, 2008:79) “literature is not only the
effect of social causes but also the cause of social effect”.
Sastra tidak hanya sebagai akibat kasus sosial tetapi juga berpengaruh
terhadap terjadinya kasus sosial. Maksudnya sastra dapat berupa dokumen atas
terjadinya suatu peristiwa yang berlangsung di tengah kehidupan masyarakat
tertentu dan pada waktu tertentu pula. Namun di sisi lain sastra juga dapat
berperan sebagai pemicu terjadinya suatu peristiwa di tengah kehidupan
masyarakat. Jadi, terdapat hubungan timbal balik antara sastra dan masyarakat
yaitu sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat
mempengaruhi realitas sosial.
Karya tersebut boleh dikatakan akan menampilkan kejadian-kejadian yang
terjadi di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri memang, pengarang akan dengan
sendiri mendistorsi fakta sosial sesuai dengan idealismenya (Endraswara,
2008:77). Karena seorang pengarang tentu saja tidak sekedar menggambarkan
dunia sosial secara mentah. Ia mengemban tugas mendesak: memainkan tokoh-
tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari “nasib” mereka
sendiri - untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial
(Damono, 1979:14).
Penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan
antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi
karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu
periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra dilihat sebagai pantulan zaman, karena
itu “ia” menjadi saksi zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulasi tetap ada
dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan . aspek-aspek kehidupan
sosial akan memantul penuh ke dalam karya sastra.
Pantulan kehidupan sosial itu ada kalanya berupa ideologi, budaya, politik,
bahkan religiusitas. Berkaitan dengan karya sastra sebagai cermin masyarakat
karya sastra juga mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial sastra yang dimaksud
menurut Watt (Damono, 1978:4) terdapat tiga hal yang perlu diungkap: (a) sudut
pandangan ekstrim kaum Romantik, misalnya, menganggap bahwa sastra sama
derajatnya dengan karya pendeta atau nabi; dalam pandangan ini tercakup juga
6
pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, (b)
sudut pandang bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini
gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktek melariskan dagangan
untuk mencapai best seller, dan (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan
meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara
menghibur.
Apabila fungsi sastra di hubungkan dengan cermin masyarakat dapat
dibedakan antara cermin sosial zaman sekarang dan zaman yang telah lalu. Di
suatu zaman dan masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat
menyebarluaskan ideologi; di zaman lain dan masyarakat lain sastra sastra
mungkin sekali dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan
sehari-hari yang tak tertahankan. Escarpit (2005:141) mengatakan istilah “sastra
pelarian” (littérature d’évasion) sering dipakai mungkin selalu tanpa mengetahui
dengan jelas apa artinya. Maknakata tersebut bersifat arbitrer. Sebenarnya semua
kegiatan membaca adalah pelarian. Tetapi ada seribu cara melarikan diri. Yang
terpenting adalah dari apa dan menuju apa seseorang melarikan diri.
Bahkan mungkin saja bagi masyarakat sastra dianggap mampu
memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi
pembacanya (Endraswara, 2008:91). Misalkan saja, novel Siti Nurbaya (1922)
karya Marah Rusli memiliki fungsi tertentu. Yakni, bagi remaja tentunya dapat
memetik amanat agar adat perkawinan hendaknya disesuaikan dengan kemajuan
zaman. Sehingga orang tua tidak seenaknya saja memaksakan kehendak tanpa
mempertimbangkan peran si anak. Dalam hal inilah peneliti dapat memahami
berbagai fenomena yang terdapat dalam karya sastra sebagai cerminan masyarakat
yang mencoba menggambarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang dapat
dipetik hikmahnya guna meningkatkan kualitas kepribadian seseorang.
7
III. Pembahasan Masalah
“Wangon Jatilawang”
Ahmad Tohari: Penyesalan Tak Terbayar
Cerita pendek “Wangon Jatilawang” karya Ahmad Tohari merupakan
salah satu dari 13 cerita pendek yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen
Senyum Karyamin (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005). Selain cerpen
“Wangon Jatilawang”, di dalam buku kumpulan cerpen tersebut terdapat duabelas
cerita pendek karya Ahmad Tohari yang lain, yaitu:
(1) “Senyum Karyamin”,
(2) “Jasa-jasa buat Sanwirya”,
(3) “Si Minem Beranak Bayi”,
(4) “Surabanglus”,
(5) “Tinggal Matanya Berkedip-kedip”,
(6) “Ah, Jakarta”,
(7) “Blokeng”,
(8) “Syukuran Sutobawor”,
(9) “Rumah yang Terang”,
(10) “Kenthus”,
(11) “Orang-orang Seberang Kali”,
(12) “Pengemis dan Shalawat Badar”.
Cerita-cerita pendek karya Ahmad Tohari sebagian besar ditulis dengan
gaya atau teknik otobiografi, yaitu penggunaan sudut pandang orang ke-satu.
Orang ke-satu tersebut disuratkan melalui tokoh “aku” atau “kami” yang masuk
ke dalam cerita. Di dalam buku kumpulan cerpen tersebut terdapat delapan judul
cerpen yang menggunakan point of view orang ke-satu, enam judul menggunakan
tokoh “aku’ dan dua judul menggunakan tokoh “kami”. Pengarang menggunakan
tokoh “aku” atau “kami” dalam cerita mencerminkan kedudukan sosial pengarang
di dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian dapat disinyalir pemakaian
tokoh “aku” atau “kami” yang terdapat dalam cerita-cerita yang ditulis Ahmad
Tohari adalah dirinya sendiri. Hal ini ditandai dengan hadirnya latar cerita yaitu
daerah Jatilawang, Kabupaten Banyumas yang merupakan tempat kelahiran
8
Ahmad Tohari. Jika dugaan tersebut benar adanya, maka hal ini menunjukkan
bahwa karya sastra memang sebagai gambaran kehidupan pengarang dan
masyarakatnya, dan kehidupan adalah kenyataan sosial.
Namun, dalam buku kumpulan cerpen Senyum Karyamin terdapat juga
point of view dengan sudut pandang orang ke-tiga. Yaitu memunculkan nama-
nama “Karyamin”, “Sarji”, “Saidah”, “Sampir”, “Ranti”, “Minah”, “Minem”,
“Sulam” dan masih banyak lagi. Penggunaan nama-nama tokoh tersebut, yaitu
nama-nama khas orang Jawa, menyiratkan gambaran keadaan di sekeliling
pengarang, yang memang hidup di tanah Jawa, yang kental dengan tradisi dalam
kehidupannya. Tentu bukan hanya otobiografi Ahmad Tohari yang terdapat dalam
cerpen-cerpen itu, melainkan juga pengalaman-pengalaman hidupnya, atau
pengalaman hidup teman, sahabat, keluarga, dan orang sekitaranya yang dibumbui
dengan berbagai imajinasi yang penuh ketegangan namun menarik untuk dibaca.
Realitas hidup dan imajinasi dalam cerita-cerita Ahmad Tohari memang tampak
membaur, namun dengan pemakaian bahasa yang lugas, cerita yang dikemukakan
tampak unik, segar, dan menarik untuk dibaca dan ditelitinya.
Cerpen “Wangon Jatilawang” berkisah tentang nasib tragis yang menimpa
seorang anak manusia, Si Sulam, yang mempunyai derita keterbelakangan mental.
Hingga pada suatu saat terjadi penyesalan pada tokoh “Aku”, karena “Aku” telah
menyia-nyiakan kesempatan emas untuk berbuat kebajikan terhadap Si Sulam.
Si Sulam setiap hari menyusuri jalan sejauh tujuh kilometer lebih, yaitu
sepanjang dari Wangon menuju Jatilawang. Saat pagi Si Sulam menuju ke
Wangon, sore harinya ke Jatilawang atau sebaliknya. Tak peduli panas atau
dingin, tak peduli terik menerpa atau hujan mengguyurnya. Setiap hari pula, Si
Sulam selalu singgah dan berteduh di rumahku. Pada saat itulah “Aku”
memberinya makan dan minum serta uang sebagai bekalnya. Orang-orang
mengatakan bahwa Si Sulam hanya singgah di rumah “Aku” saja. Akan tetapi
menurut penuturan “Aku”, perkataan itu hanya dilebih-lebihkan.
“Aku” tiap hari menjalani rutinitas seperti biasa, yaitu mengurus keluarga,
bekerja memelihara ayam, menerima tamu yang datang. Tetapi ada kebiasaan
yang unik yang tiap hari “Aku” lakukan. “Aku” setiap hari menerima kedatangan
9
Sulam dengan biasa, tanpa rasa canggung dan jijik meskipun Sulam datang
dengan pakaian kotor dan kurang sopan. Istri dan anak-anakku juga bersikap biasa
terhadap Sulam, tidak ada rasa takut sedikitpun.
Sikap “Aku”, istri, dan anak-anaku tersebut ternyata ditanggapi berbeda
oleh orang lain. Kedua tamu yang menemuiku merasa tersinggung karena aku
menerima kedatangan Si Sulam di tengah-tengah pembicaraan kami. Wajah
mereka berubah dan tampak bingung ketika Si Sulam menghadapku.
Terlebih lagi sikap para tetanggaku kian tidak bersahabat karena pada saat
kenduri di rumahku, “Aku” menyilakan Si Sulam untuk masuk, dan “Aku”
tempatkan dia persis di sampingku. Para tamu menjadi masam melihat
perlakuanku terhadap Si Sulam. Begitu juga Emakku tidak setuju kalau aku
menerima kehadiran Si Sulam. Emakku marah ketika mendapati Si Sulam
menginap di rumahku.
“Yah, bagaimana lagi, Mak. Hari hujan dan Sulam mampir berteduh.
Karena sampai malam hujan tak reda, maka Sulam kusuruh menginap di sini.”
“Lhah! Kamu seperti tak tahu. Rumah siapasaja yang sering disinggahi
orang semacam Sulam, bisa apes. Tak ada wibawa dan rejeki tak mau datang.
Lihat tetanggamu itu; tamunya gagah-gagah, bagus-bagus. Tamumu malah si
Sulam.”
“Bila hari tak hujan, Sulam pun tak mau menginap di sini Mak.”
“Memang rumahnya kan pasar Wangon dan pasar Jatilawang, bukan
rumahmu ini. Kamu saja yang bodoh.”
(Ahmad Tohari, 2005:59)
Cerpen Ahmad Tohari yang berjudul Wangon Jatilawang mencoba
menghadirkan realitas kehidupan seseorang yang sering dianggap remeh bahkan
sebagian orang merendahkannya. Padahal tidak seharusnya demikian. Si Sulam
dianggap orang yang rendah karena kebiasaannya yang aneh (sebenarnya memang
perilakunya aneh).
Di dalam cerpen tersebut menyiratkan bahwa seseorang itu menilai orang
lain berdasarkan apa yang dilihat oleh mata kepala semata. Tetapi tidak mencoba
memandang seseorang secara menyeluruh dengan bijak dan arif. Seperti tampak
10
pada reaksi muka kedua orang tamuku mendadak berubah dan makin bingung
ketika Sulam masuk dan terus melangkah tepat disisiku. Kedua tamu tersebut
merasa heran atas tingkah Si Sulam dan juga atas sikap dan cara “Aku”
mempersilakan Si Sulam.
Melihat fenomena seperti diatas tampaknya tidak jauh berbeda dengan
kenyataan yang terjadi di masyarakat. Di sekitar kita banyak bertebaran orang
yang mempunyai ciri seperti Si Sulam. Dengan dandanannya yang ganjil, celana
kedodoran, compang camping dan lusuh serta kotor, berperilaku aneh tanpa tata
krama dan sopan santun sehingga banyak orang menyebutnya wong gemblung.
Dengan kebiasaannya tiap hari berjalan kurang lebih tujuh kilometer ditempuhnya
dari Wangon menuju Jatilawang. Sambil bersenandung lagu yang tak karuan
bahkan seperti orang yang bergumam. Dikerjakaanya tiap hari dan selalu mampir
di rumah “Aku”.
Seandainya kita membayangkan salah satu anggota keluarga kita menjadi
seperti itu (orang mengatakan wong gemblung/gila) tentu seharusnya hati kita
merasa iba dan kasihan. Jangan malah bersikap sebaliknya dengan menjauhi atau
bahkan merendahkan serta mengejeknya. Karena pada hakekatnya kedudukan
manusia di depan Tuhan itu sederajat. Yang membedakannya adalah tingkat
ketaqwaan dan perilaku atau budi pekerti kepada sesama. Baik orang normal atau
bahkan orang gila (wong gemblung). Bahkan bisa saja terjadi wong gemblung
lebih terhormat di depan Tuhan. Wong gemblung tidak pernah korupsi, tidak
pernah bohong, tidak pernah menggunjing, kalaupun wong gemblung memakan
hak orang lain itupun harus dimaafkan karena ketidaktahuannya (gangguan
mentalnya) menjadikan ia tidak bisa dijerat dengan hukum.
“Sudah hampir lebaran, ya Pak?”
“Oh iya. Kamu nanti akan memakai baju yang baik. Tetapi aku tidak akan
menyerahkan baju itu kepadamu sekarang. Nanti saja, tepat pada hari lebaran
kamu pagi-pagi kemari.”
“Di pasar Wangon dan Jatilawang orang-orang sudah membeli baju
baru.”
11
“Ya, tetapi untukmu, nanti saja. Aku tidak bohong. Bila baju itu kuberikan
sekarang, wah, repot. Kamu pasti akan mengotorinya dengan lumpur sebelum
Lebaran tiba.”
“Aku kan wong gemblung, Pak.”
“Nanti dulu, aku tidak berkata demikian.”
(Ahmad Tohari, 2005:61)
Dari dialog yang terdapat pada kutipan cerpen di atas, terlihat keraguan
pada tokoh “Aku” untuk memberikan sebuah baju baru sebgai hadiah Lebaran
kepada Si Sulam. Namun, tokoh “Aku” mempertimbangkan keadaan si Sulam
yang mempunyai keterbelakangan mental. Sehingga tokoh “Aku” menunda untuk
memberikan baju kepada Si Sulam sampai pada empat hari berikutnya, yaitu tepat
hari lebaran. Sikap seperti ini tentu sangatlah manusiawi, dengan maksud menjaga
baju agar tetap baik dan bersih ketika dipakai pada hari yang dikehendaki.
Sikap seperti menjauhi, menganggap rendah kepada Si Sulam dan orang-
orang seperti dia seharusnya tidak terjadi di masyarakat. Karena Si Sulam juga
manusia yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang lain. Si Sulam pun
sebagai makhluk sosial juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama di
masyarakat, bukan malah memarjinalkaanya. Ahmad Tohari bermaksud
menyodorkan kenyataan tersebut kepada masyarakat melalui cerpennya.
Tokoh Aku, pun merasakan dan memahami hidup dan kehidupannya Si
Sulam. Akan tetapi teman-teman “Aku” dan Emak tidak bersikap demikian.
Mereka menolak kehadiran makhluk yang bernama Sulam. Padahal “Aku”,
teman-teman “Aku”, Emak juga sama-sama makhluk ciptaan Tuhan dan sama-
sama makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Kita tidak boleh
memarjinalkan Sulam hanya karena perbedaan nasib yang dialaminya.
Apabila kita memarjinalkan orang-orang seperti Si Sulam ternyata tidak
akan membuat hidup kita menjadi senang atau bahagia. Bahkan sebaliknya,
seperti yang di contohkan tokoh Aku. Hanya gara-gara menunda memberikan
sepotong baju baru kepada si Sulam, dengan pertimbangan akan terkena kotoran,
“Aku” mengalami penyesalan yang sangat mendalam.
12
Jam tujuh pagi hari itu juga penyesalanku menghunjam ke dasar hati.
Seorang tukang becak sengaja datang ke rumahku.
“Pak, Sulam mati tergilas truk di batas kota Jatilawang.”
Bisa jadi tukang becak itu masih berkata banyak. Namun kalimat
pertamanya yang kudengar sudah cukup. Aku tak ingin mendengar ceritanya
lebih jauh. Aku malu, perih. Demikian malu sehingga aku tak berani menjenguk
mayat Sulam di Jatilawang meski istriku berkali-kali menyuruhku ke sana. Sulam
telah menyindirku dengan cara yang paling sarkastik sehingga aku mengerti
bahwa diriku sama sekali tidak lebih baik darpadanya. Atau memang demikianlah
keadaan sesungguhnya. Karena dalam hati sejak lama aku percaya, setiap hari
Tuhan tak pernah jauh dari diri Sulam. Dan aku yang konon telah mencoba
bersuci jiwa hampir sebulan lamanya, malah menampik permintaan Sulam yang
terakhir. Padahal, sungguh aku mampu memberikannya.
Menjelang pagi di hari Lebaran, Sulam datang lagi dalam angan-
anganku. Dia sama sekali tidak meminta baju yang telah kujanjikan. Dia hanya
menatapku dengan wajah yang jernih, dengan senyum yang sangat mengesankan.
Kemudian Sulam gaib sambil meninggalkan suaratawa ceria yang panjang.
Namun aku perih mendengarnya. Malu.
(Ahmad Tohari, 2005:61-62)
Tokoh “Aku” juga memberikan contoh kepada kita bahwa penyesalan
akan sangat perih jika hanya satu kali saja kita merendahkan, memarjinalkan dan
mengabaikan apa yang menjadi keinginan orang seperti Si Sulam. Seperti yang
dialami tokoh “Aku”, penyesalan yang tak terhingga menghunjam pada diri
“Aku”. Dan benar sekali penyesalan tersebut tidak akan terobati, karena sudah
tidak mungkin bisa menebusnya. Tokoh “Aku” menyesal hanya gara-gara tidak
mau memberikan baju untuk lebaran hari raya bagi si Sulam. Tak berapa lama
Sulam meninggal terlindas truk. Hilanglah harapan “Aku” untuk berbuat baik
walau hanya sekedar memberi baju baru kepada Si Sulam. Sampai-sampai “Aku”
tidak mampu untuk menemui jasad Si Sulam karena saking malunya. Ternyata
orang normal belum tentu lebih baik daripada wong gemblung.
13
IV. Simpulan
Berdasarkan analisis sosiologi satra atas cerpen “Wangon Jatilawang”
karya Ahmad Tohari di atas, pandangan umum sebagian besar orang memandang
rendah terhadap orang yang mempunyai gangguan kejiwaan (maaf: gila).
Perlakuan sebagian besar orang tersebut tentulah hanya berdasarkan wujud
lahiriyah fisik “wong gemblung” semata. Padahal dalam diri “wong gemblung”
banyak tersimpan rahasia Tuhan, yang semestinya tidak bisa dianggap remeh.
Karena sekali kita menganggap remeh orang lain, diri kita sendiri yang akan
diremehkan oleh kehidupan ini.
V. Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gunoto Saparie. 2007. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra. Semarang: www.suarakarya-online.com
Jan van Luxemburg dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan oleh Dick Hartoko. 1989. Jakarta : PT Gramedia.
Robert Escarpit. Tanpa tahun. Sosiologi Sastra. Terjemahan oleh Ida Sundari Husen. 2005. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Sapardi Djoko Damono. 1979. Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sugihastuti, M.S. 2007. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka PelajarSuroso dkk. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Elmatera Publishing
Suwardi Endraswara. 2008. Metodologi Penelitian Sastra : Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta : Media Pressindo
Yakob Sumarjo. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta : CV Nur Cahaya.
Zainuddin Fananie. 2002. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University Press.