wangon jatilawang

21
1 I. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebagai hasil proses kreatif pengarang, karya sastra menampilkan gambaran kehidupan yang menjadi kenyataan sosial (Damono, 1979:1). Maka, sedikit banyak sebuah karya sastra akan menampilkan berbagai perikehidupan yang ada di lingkungan masyarakat. Potret kehidupan yang diangkat pun beraneka ragam. Bergantung pada obsesi seorang pengarang. Karena pada dasarnya pengarang bergaul , berinteraksi, dibentuk, dipengaruhi oleh orang-orang lain di sekitarnya secara fisik. Ia melihat kondisi sosial itu lewat saudara-saudaranya, tetangganya, kawannya dan sebagainya. Maka tidak mengherankan kalau pengarang akan menulis respon sosialnya dalam karya sastra menurut apa yang dilihat dalam lingkungan hidupnya (Sumarjo, 1982:17). Proses lahirnya sebuah karya sastra sebagai cermin masyarakat, tidaklah serta merta terbentuk dengan sendirinya tanpa campur tangan pihak luar. Ada banyak hal yang mempengaruhi pengarang dalam melahirkan sebuah karya sastra. Yang mempengaruhi yaitu status sosial pengarang, ideologi sosial pengarang, tingkat pendidikan seorang pengarang serta perspektif seorang pengarang dalam memandang realitas kehidupan disekitarnya.

Upload: samsul-maarif

Post on 25-Jun-2015

1.286 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wangon Jatilawang

1

I. Latar Belakang Masalah

Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan

dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebagai hasil proses kreatif pengarang, karya

sastra menampilkan gambaran kehidupan yang menjadi kenyataan sosial

(Damono, 1979:1). Maka, sedikit banyak sebuah karya sastra akan menampilkan

berbagai perikehidupan yang ada di lingkungan masyarakat. Potret kehidupan

yang diangkat pun beraneka ragam. Bergantung pada obsesi seorang pengarang.

Karena pada dasarnya pengarang bergaul , berinteraksi, dibentuk, dipengaruhi

oleh orang-orang lain di sekitarnya secara fisik. Ia melihat kondisi sosial itu lewat

saudara-saudaranya, tetangganya, kawannya dan sebagainya. Maka tidak

mengherankan kalau pengarang akan menulis respon sosialnya dalam karya sastra

menurut apa yang dilihat dalam lingkungan hidupnya (Sumarjo, 1982:17).

Proses lahirnya sebuah karya sastra sebagai cermin masyarakat, tidaklah

serta merta terbentuk dengan sendirinya tanpa campur tangan pihak luar. Ada

banyak hal yang mempengaruhi pengarang dalam melahirkan sebuah karya sastra.

Yang mempengaruhi yaitu status sosial pengarang, ideologi sosial pengarang,

tingkat pendidikan seorang pengarang serta perspektif seorang pengarang dalam

memandang realitas kehidupan disekitarnya.

Sudah banyak sastrawan yang mengangkat realisme kehidupan dalam

melahirkan sebuah karya sastra sebagai cermin kehidupan lingkungan sosial

sekitarnya. Kenyataan ini dapat dilihat pada hasil karya sastra masa Balai Pustaka

yang menghadirkan persoalan kultur yaitu perbenturan kultur timur dengan kultur

barat yang tercermin dalam peristiwa-peristiwa kawin paksa dalam masyarakat

Sumatra, seperti dalam roman Siti Nurbaya (Marah Rusli) maupun novel Salah

Asuhan (Abdoel Muis).

Lain halnya pengarang yang hidup dalam kultur Jawa. Novel Ronggeng

Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari. Pada hakikatnya RDP adalah

fenomena kehidupan, struktur, dan kebudayaan masyarakat pedesaan di daerah

Banyumas pada pertengahan abad 20-an. Secara simbolis, karya tersebut ternyata

telah mencuatkan gambaran masyarakat desa yang berkaitan dengan kekuatan

Page 2: Wangon Jatilawang

2

struktural dan hubungan sosial masyarakat agraris yang secara substansial berpola

sangat tradisional. (Fananie, 2002:134)

Ahmad Tohari mencoba menghadirkan fenomena kehidupan yang terjadi

pada era tahun 80-an melalui kumpulan cerpen “Senyum Karyamin”. Di dalam

buku kumpulan cerpen tersebut banyak mengangkat tema-tema sosial yang terjadi

di masyarakat. Tema sosial merupakan tema yang sangat penting untuk diangkat

dalam karya sastra, karena berhubungan erat dengan pengarang dan pembaca

karya sastra itu sendiri. Berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan

refleksi/cerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis, analisis ini

dibuat untuk menampilkan realitas sosial yang terjadi pada era tahun 80-an. Maka

dibuatlah analisis sastra terhadap salah satu cerpen dari kumpulan cerpen “Senyum

Karyamin” karya Ahmad Tohari yang berjudul “Wangon Jatilawang”.

II. Teori Sosiologi Sastra

Kritik sastra ini menggunakan teori sosiologi sastra Plato. Namun tidak

semua konsep Plato akan diaplikasikan dalam penelitian ini, melainkan hanya

beberapa konsep yang oleh peneliti dianggap relevan uantuk penelitian ini.

Salah satu pendapat yang dikemukakan oleh Plato adalah segala yang ada

di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di

dunia gagasan (Damono, 1979:16). Masih menurut Plato, dalam dunia gagasan itu

ada satu manusia, dan semua manusia yang ada di dunia ini adalah tiruan dari

manusia yang berada di dunia gagasan tersebut.

Segala sesuatu yang berada di dunia baik tampak ataupun tidak tampak

merupakan perwujudan atas suatu konsep yang ada di dalam alam gagasan (ide)

manusia. Sebagai contoh, sebuah benda yang di sebut batu, pohon, dan air

sebelum disebut dengan nama-nama itu, dalam alam gagasan manusia sudah

terlahir konsep berdasarkan karakteristiknya untuk menyebutkan atau memberi

nama kepada benda-benda tersebut. Dapat dikatakan batu, pohon, dan air yang

ada di dunia ini sebenarnya hanyalah tiruan dari batu, pohon, dan air yang berada

di dunia gagasan manusia.

Page 3: Wangon Jatilawang

3

Dalam pandangan Plato (Damono, 1979:16) bahwa seorang penyair yang

menggambarkan tentang pohon, misalnya, tidak dapat langsung membuat tiruan

pohon yang berada di dunia gagasan. Akan tetapi pada hakekatnya penyair

tersebut hanya dapat meniru pohon yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, sajak

yang dihasilkannya tidak lain merupakan tiruan dari barang tiruan. Dengan kata

lain Plato mengatakan bahwa puisi membawa manusia semakin jauh dari

kenyataan tertinggi. Secara tersirat dikatakannya bahwa sebenarnya pohon lebih

dekat dengan kenyataan tertinggi dibanding dengan sajak tentang pohon. Nilai

sajak itu pun tentunya lebih rendah dibanding dengan pohon, sebab justru semakin

menjauhkan dari kenyataan tertinggi.

Dalam teori Plato juga disebut-sebut tentang tiga macam “seniman” :

pengguna, pembuat, dan peniru (Damono, 1979:17). Pengguna adalah orang yang

memberikan petunjuk kepada pembuat tentang cara pembuatan sesuatu, yang

kemudian ditiru oleh peniru. Sebagai contoh sebuah baju. Menurut pandangan

Plato, orang yang menggunakan baju itulah yang disebut “seniman” yang paling

penting; si pengguna baju ini bisa memberi petunjuk cara-cara pembuatan baju

kepada pembuat baju sesuai keinginannya. Dan si pembuat baju ini dianggap

sebagai “seniman” nomor dua. Sedangkan seniman yang menggambarkan atau

melukis baju menduduki tempat ketiga dalam urutan kepentingannya, sebab

praktis dia sebenarnya tidak menciptakan sesuatu melainkan meniru barang tiruan.

Bagian lain karangan Plato menjelaskan tentang pentingnya sastra bagi

pendidikan anak. Anak sebaiknya hanya menerima cerita-cerita yang tidak

mengandung hal-hal yang mungkin menyesatkannya. Kisah tentang pertempuran

atau pertengkaran sebaiknya tidak disodorkan kepada anak, sebab apabila cerita

itu disampaikan kepada anak, hasilnya bisa sangat negatif. Meskipun banyak

cerita semacam itu bersifat alegoris, tetapi Plato beranggapan bahwa anak belum

bisa membedakan alegoris (kiasan) dari yang bukan (Damono, 1979:17).

Teori Plato tentang peniruan itu sebenarnya tersimpul suatu pengertian

tentang sastra sebagai cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai

mimesis (tiruan) masyarakat. Sedangkan mimesis yang dilakukan oleh seniman

Page 4: Wangon Jatilawang

4

dan sastrawan akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari

‘kebenaran’.

Pada perkembangannya teori Plato ditentang oleh muridnya sendiri yang

bernama Aristoteles. Penolakan Aristoteles terhadap teori Plato terkait konsep Ide.

Menurut Aristoteles penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang satu

dari yang lain. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan,

melainkan merupakan sebuah proses kreatif penyair sambil bertitik pangkal pada

kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru (Luxemburg, 1982, terjemahan Dick

Hartoko, 1989:17). Karena sastra merupakan hasil proses kreatif, maka sastra

tetap diakui sebagai sebuah ilusi dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan

semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan hanya sekedar

jiplakan kenyataan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis

(Endraswara, 2008:78).

Meskipun teori Plato kemudian dirobohkan oleh beberapa penulis

sesudahnya seperti Aristoteles, Plato penting diingat sebagai salah seorang pemula

yang menampilkan teori tentang hubungan sastra dan masyarakatnya. Juga harus

diakui bahwa beberapa teori modern tentang hubungan sastra dan masyarakat

masih ada kaitannya dengan beberapa pandangan dasar yang disodorkan oleh

Plato.

Pandangan lain mengenai hubungan sastra dengan masyarakat

disampaikan oleh Glickberg (dalam Endraswara, 2008:77) bahwa “all literature,

however fantastic or mystical in content, is animated by a profound social

concern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work”. Pendapat ini

jelas merepresentasikan bahwa seperti apa bentuk karya sastra baik fantastis atau

mistis pun akan mempunyai perhatian yang terhadap fenomena sosial

(masyarakat). Perhatian yang dimaksud dapat berupa hubungan timbal balik

antara keduanya yaitu sastra dan masyarakatnya . Karena sastra yang pada awal

perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari kegiatan sosial, dianggap sebagai

unsur kebudayaan yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi masyarakatnya

(Damono, 1979:17). Pandangan mengenai sosiologi sastra yang patut diperhatikan

Page 5: Wangon Jatilawang

5

adalah pernyataan Levin (dalam Endraswara, 2008:79) “literature is not only the

effect of social causes but also the cause of social effect”.

Sastra tidak hanya sebagai akibat kasus sosial tetapi juga berpengaruh

terhadap terjadinya kasus sosial. Maksudnya sastra dapat berupa dokumen atas

terjadinya suatu peristiwa yang berlangsung di tengah kehidupan masyarakat

tertentu dan pada waktu tertentu pula. Namun di sisi lain sastra juga dapat

berperan sebagai pemicu terjadinya suatu peristiwa di tengah kehidupan

masyarakat. Jadi, terdapat hubungan timbal balik antara sastra dan masyarakat

yaitu sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat

mempengaruhi realitas sosial.

Karya tersebut boleh dikatakan akan menampilkan kejadian-kejadian yang

terjadi di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri memang, pengarang akan dengan

sendiri mendistorsi fakta sosial sesuai dengan idealismenya (Endraswara,

2008:77). Karena seorang pengarang tentu saja tidak sekedar menggambarkan

dunia sosial secara mentah. Ia mengemban tugas mendesak: memainkan tokoh-

tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari “nasib” mereka

sendiri - untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial

(Damono, 1979:14).

Penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan

antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi

karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu

periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra dilihat sebagai pantulan zaman, karena

itu “ia” menjadi saksi zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulasi tetap ada

dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan . aspek-aspek kehidupan

sosial akan memantul penuh ke dalam karya sastra.

Pantulan kehidupan sosial itu ada kalanya berupa ideologi, budaya, politik,

bahkan religiusitas. Berkaitan dengan karya sastra sebagai cermin masyarakat

karya sastra juga mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial sastra yang dimaksud

menurut Watt (Damono, 1978:4) terdapat tiga hal yang perlu diungkap: (a) sudut

pandangan ekstrim kaum Romantik, misalnya, menganggap bahwa sastra sama

derajatnya dengan karya pendeta atau nabi; dalam pandangan ini tercakup juga

Page 6: Wangon Jatilawang

6

pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, (b)

sudut pandang bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini

gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktek melariskan dagangan

untuk mencapai best seller, dan (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan

meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara

menghibur.

Apabila fungsi sastra di hubungkan dengan cermin masyarakat dapat

dibedakan antara cermin sosial zaman sekarang dan zaman yang telah lalu. Di

suatu zaman dan masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat

menyebarluaskan ideologi; di zaman lain dan masyarakat lain sastra sastra

mungkin sekali dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan

sehari-hari yang tak tertahankan. Escarpit (2005:141) mengatakan istilah “sastra

pelarian” (littérature d’évasion) sering dipakai mungkin selalu tanpa mengetahui

dengan jelas apa artinya. Maknakata tersebut bersifat arbitrer. Sebenarnya semua

kegiatan membaca adalah pelarian. Tetapi ada seribu cara melarikan diri. Yang

terpenting adalah dari apa dan menuju apa seseorang melarikan diri.

Bahkan mungkin saja bagi masyarakat sastra dianggap mampu

memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi

pembacanya (Endraswara, 2008:91). Misalkan saja, novel Siti Nurbaya (1922)

karya Marah Rusli memiliki fungsi tertentu. Yakni, bagi remaja tentunya dapat

memetik amanat agar adat perkawinan hendaknya disesuaikan dengan kemajuan

zaman. Sehingga orang tua tidak seenaknya saja memaksakan kehendak tanpa

mempertimbangkan peran si anak. Dalam hal inilah peneliti dapat memahami

berbagai fenomena yang terdapat dalam karya sastra sebagai cerminan masyarakat

yang mencoba menggambarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang dapat

dipetik hikmahnya guna meningkatkan kualitas kepribadian seseorang.

Page 7: Wangon Jatilawang

7

III. Pembahasan Masalah

“Wangon Jatilawang”

Ahmad Tohari: Penyesalan Tak Terbayar

Cerita pendek “Wangon Jatilawang” karya Ahmad Tohari merupakan

salah satu dari 13 cerita pendek yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen

Senyum Karyamin (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005). Selain cerpen

“Wangon Jatilawang”, di dalam buku kumpulan cerpen tersebut terdapat duabelas

cerita pendek karya Ahmad Tohari yang lain, yaitu:

(1) “Senyum Karyamin”,

(2) “Jasa-jasa buat Sanwirya”,

(3) “Si Minem Beranak Bayi”,

(4) “Surabanglus”,

(5) “Tinggal Matanya Berkedip-kedip”,

(6) “Ah, Jakarta”,

(7) “Blokeng”,

(8) “Syukuran Sutobawor”,

(9) “Rumah yang Terang”,

(10) “Kenthus”,

(11) “Orang-orang Seberang Kali”,

(12) “Pengemis dan Shalawat Badar”.

Cerita-cerita pendek karya Ahmad Tohari sebagian besar ditulis dengan

gaya atau teknik otobiografi, yaitu penggunaan sudut pandang orang ke-satu.

Orang ke-satu tersebut disuratkan melalui tokoh “aku” atau “kami” yang masuk

ke dalam cerita. Di dalam buku kumpulan cerpen tersebut terdapat delapan judul

cerpen yang menggunakan point of view orang ke-satu, enam judul menggunakan

tokoh “aku’ dan dua judul menggunakan tokoh “kami”. Pengarang menggunakan

tokoh “aku” atau “kami” dalam cerita mencerminkan kedudukan sosial pengarang

di dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian dapat disinyalir pemakaian

tokoh “aku” atau “kami” yang terdapat dalam cerita-cerita yang ditulis Ahmad

Tohari adalah dirinya sendiri. Hal ini ditandai dengan hadirnya latar cerita yaitu

daerah Jatilawang, Kabupaten Banyumas yang merupakan tempat kelahiran

Page 8: Wangon Jatilawang

8

Ahmad Tohari. Jika dugaan tersebut benar adanya, maka hal ini menunjukkan

bahwa karya sastra memang sebagai gambaran kehidupan pengarang dan

masyarakatnya, dan kehidupan adalah kenyataan sosial.

Namun, dalam buku kumpulan cerpen Senyum Karyamin terdapat juga

point of view dengan sudut pandang orang ke-tiga. Yaitu memunculkan nama-

nama “Karyamin”, “Sarji”, “Saidah”, “Sampir”, “Ranti”, “Minah”, “Minem”,

“Sulam” dan masih banyak lagi. Penggunaan nama-nama tokoh tersebut, yaitu

nama-nama khas orang Jawa, menyiratkan gambaran keadaan di sekeliling

pengarang, yang memang hidup di tanah Jawa, yang kental dengan tradisi dalam

kehidupannya. Tentu bukan hanya otobiografi Ahmad Tohari yang terdapat dalam

cerpen-cerpen itu, melainkan juga pengalaman-pengalaman hidupnya, atau

pengalaman hidup teman, sahabat, keluarga, dan orang sekitaranya yang dibumbui

dengan berbagai imajinasi yang penuh ketegangan namun menarik untuk dibaca.

Realitas hidup dan imajinasi dalam cerita-cerita Ahmad Tohari memang tampak

membaur, namun dengan pemakaian bahasa yang lugas, cerita yang dikemukakan

tampak unik, segar, dan menarik untuk dibaca dan ditelitinya.

Cerpen “Wangon Jatilawang” berkisah tentang nasib tragis yang menimpa

seorang anak manusia, Si Sulam, yang mempunyai derita keterbelakangan mental.

Hingga pada suatu saat terjadi penyesalan pada tokoh “Aku”, karena “Aku” telah

menyia-nyiakan kesempatan emas untuk berbuat kebajikan terhadap Si Sulam.

Si Sulam setiap hari menyusuri jalan sejauh tujuh kilometer lebih, yaitu

sepanjang dari Wangon menuju Jatilawang. Saat pagi Si Sulam menuju ke

Wangon, sore harinya ke Jatilawang atau sebaliknya. Tak peduli panas atau

dingin, tak peduli terik menerpa atau hujan mengguyurnya. Setiap hari pula, Si

Sulam selalu singgah dan berteduh di rumahku. Pada saat itulah “Aku”

memberinya makan dan minum serta uang sebagai bekalnya. Orang-orang

mengatakan bahwa Si Sulam hanya singgah di rumah “Aku” saja. Akan tetapi

menurut penuturan “Aku”, perkataan itu hanya dilebih-lebihkan.

“Aku” tiap hari menjalani rutinitas seperti biasa, yaitu mengurus keluarga,

bekerja memelihara ayam, menerima tamu yang datang. Tetapi ada kebiasaan

yang unik yang tiap hari “Aku” lakukan. “Aku” setiap hari menerima kedatangan

Page 9: Wangon Jatilawang

9

Sulam dengan biasa, tanpa rasa canggung dan jijik meskipun Sulam datang

dengan pakaian kotor dan kurang sopan. Istri dan anak-anakku juga bersikap biasa

terhadap Sulam, tidak ada rasa takut sedikitpun.

Sikap “Aku”, istri, dan anak-anaku tersebut ternyata ditanggapi berbeda

oleh orang lain. Kedua tamu yang menemuiku merasa tersinggung karena aku

menerima kedatangan Si Sulam di tengah-tengah pembicaraan kami. Wajah

mereka berubah dan tampak bingung ketika Si Sulam menghadapku.

Terlebih lagi sikap para tetanggaku kian tidak bersahabat karena pada saat

kenduri di rumahku, “Aku” menyilakan Si Sulam untuk masuk, dan “Aku”

tempatkan dia persis di sampingku. Para tamu menjadi masam melihat

perlakuanku terhadap Si Sulam. Begitu juga Emakku tidak setuju kalau aku

menerima kehadiran Si Sulam. Emakku marah ketika mendapati Si Sulam

menginap di rumahku.

“Yah, bagaimana lagi, Mak. Hari hujan dan Sulam mampir berteduh.

Karena sampai malam hujan tak reda, maka Sulam kusuruh menginap di sini.”

“Lhah! Kamu seperti tak tahu. Rumah siapasaja yang sering disinggahi

orang semacam Sulam, bisa apes. Tak ada wibawa dan rejeki tak mau datang.

Lihat tetanggamu itu; tamunya gagah-gagah, bagus-bagus. Tamumu malah si

Sulam.”

“Bila hari tak hujan, Sulam pun tak mau menginap di sini Mak.”

“Memang rumahnya kan pasar Wangon dan pasar Jatilawang, bukan

rumahmu ini. Kamu saja yang bodoh.”

(Ahmad Tohari, 2005:59)

Cerpen Ahmad Tohari yang berjudul Wangon Jatilawang mencoba

menghadirkan realitas kehidupan seseorang yang sering dianggap remeh bahkan

sebagian orang merendahkannya. Padahal tidak seharusnya demikian. Si Sulam

dianggap orang yang rendah karena kebiasaannya yang aneh (sebenarnya memang

perilakunya aneh).

Di dalam cerpen tersebut menyiratkan bahwa seseorang itu menilai orang

lain berdasarkan apa yang dilihat oleh mata kepala semata. Tetapi tidak mencoba

memandang seseorang secara menyeluruh dengan bijak dan arif. Seperti tampak

Page 10: Wangon Jatilawang

10

pada reaksi muka kedua orang tamuku mendadak berubah dan makin bingung

ketika Sulam masuk dan terus melangkah tepat disisiku. Kedua tamu tersebut

merasa heran atas tingkah Si Sulam dan juga atas sikap dan cara “Aku”

mempersilakan Si Sulam.

Melihat fenomena seperti diatas tampaknya tidak jauh berbeda dengan

kenyataan yang terjadi di masyarakat. Di sekitar kita banyak bertebaran orang

yang mempunyai ciri seperti Si Sulam. Dengan dandanannya yang ganjil, celana

kedodoran, compang camping dan lusuh serta kotor, berperilaku aneh tanpa tata

krama dan sopan santun sehingga banyak orang menyebutnya wong gemblung.

Dengan kebiasaannya tiap hari berjalan kurang lebih tujuh kilometer ditempuhnya

dari Wangon menuju Jatilawang. Sambil bersenandung lagu yang tak karuan

bahkan seperti orang yang bergumam. Dikerjakaanya tiap hari dan selalu mampir

di rumah “Aku”.

Seandainya kita membayangkan salah satu anggota keluarga kita menjadi

seperti itu (orang mengatakan wong gemblung/gila) tentu seharusnya hati kita

merasa iba dan kasihan. Jangan malah bersikap sebaliknya dengan menjauhi atau

bahkan merendahkan serta mengejeknya. Karena pada hakekatnya kedudukan

manusia di depan Tuhan itu sederajat. Yang membedakannya adalah tingkat

ketaqwaan dan perilaku atau budi pekerti kepada sesama. Baik orang normal atau

bahkan orang gila (wong gemblung). Bahkan bisa saja terjadi wong gemblung

lebih terhormat di depan Tuhan. Wong gemblung tidak pernah korupsi, tidak

pernah bohong, tidak pernah menggunjing, kalaupun wong gemblung memakan

hak orang lain itupun harus dimaafkan karena ketidaktahuannya (gangguan

mentalnya) menjadikan ia tidak bisa dijerat dengan hukum.

“Sudah hampir lebaran, ya Pak?”

“Oh iya. Kamu nanti akan memakai baju yang baik. Tetapi aku tidak akan

menyerahkan baju itu kepadamu sekarang. Nanti saja, tepat pada hari lebaran

kamu pagi-pagi kemari.”

“Di pasar Wangon dan Jatilawang orang-orang sudah membeli baju

baru.”

Page 11: Wangon Jatilawang

11

“Ya, tetapi untukmu, nanti saja. Aku tidak bohong. Bila baju itu kuberikan

sekarang, wah, repot. Kamu pasti akan mengotorinya dengan lumpur sebelum

Lebaran tiba.”

“Aku kan wong gemblung, Pak.”

“Nanti dulu, aku tidak berkata demikian.”

(Ahmad Tohari, 2005:61)

Dari dialog yang terdapat pada kutipan cerpen di atas, terlihat keraguan

pada tokoh “Aku” untuk memberikan sebuah baju baru sebgai hadiah Lebaran

kepada Si Sulam. Namun, tokoh “Aku” mempertimbangkan keadaan si Sulam

yang mempunyai keterbelakangan mental. Sehingga tokoh “Aku” menunda untuk

memberikan baju kepada Si Sulam sampai pada empat hari berikutnya, yaitu tepat

hari lebaran. Sikap seperti ini tentu sangatlah manusiawi, dengan maksud menjaga

baju agar tetap baik dan bersih ketika dipakai pada hari yang dikehendaki.

Sikap seperti menjauhi, menganggap rendah kepada Si Sulam dan orang-

orang seperti dia seharusnya tidak terjadi di masyarakat. Karena Si Sulam juga

manusia yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang lain. Si Sulam pun

sebagai makhluk sosial juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama di

masyarakat, bukan malah memarjinalkaanya. Ahmad Tohari bermaksud

menyodorkan kenyataan tersebut kepada masyarakat melalui cerpennya.

Tokoh Aku, pun merasakan dan memahami hidup dan kehidupannya Si

Sulam. Akan tetapi teman-teman “Aku” dan Emak tidak bersikap demikian.

Mereka menolak kehadiran makhluk yang bernama Sulam. Padahal “Aku”,

teman-teman “Aku”, Emak juga sama-sama makhluk ciptaan Tuhan dan sama-

sama makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Kita tidak boleh

memarjinalkan Sulam hanya karena perbedaan nasib yang dialaminya.

Apabila kita memarjinalkan orang-orang seperti Si Sulam ternyata tidak

akan membuat hidup kita menjadi senang atau bahagia. Bahkan sebaliknya,

seperti yang di contohkan tokoh Aku. Hanya gara-gara menunda memberikan

sepotong baju baru kepada si Sulam, dengan pertimbangan akan terkena kotoran,

“Aku” mengalami penyesalan yang sangat mendalam.

Page 12: Wangon Jatilawang

12

Jam tujuh pagi hari itu juga penyesalanku menghunjam ke dasar hati.

Seorang tukang becak sengaja datang ke rumahku.

“Pak, Sulam mati tergilas truk di batas kota Jatilawang.”

Bisa jadi tukang becak itu masih berkata banyak. Namun kalimat

pertamanya yang kudengar sudah cukup. Aku tak ingin mendengar ceritanya

lebih jauh. Aku malu, perih. Demikian malu sehingga aku tak berani menjenguk

mayat Sulam di Jatilawang meski istriku berkali-kali menyuruhku ke sana. Sulam

telah menyindirku dengan cara yang paling sarkastik sehingga aku mengerti

bahwa diriku sama sekali tidak lebih baik darpadanya. Atau memang demikianlah

keadaan sesungguhnya. Karena dalam hati sejak lama aku percaya, setiap hari

Tuhan tak pernah jauh dari diri Sulam. Dan aku yang konon telah mencoba

bersuci jiwa hampir sebulan lamanya, malah menampik permintaan Sulam yang

terakhir. Padahal, sungguh aku mampu memberikannya.

Menjelang pagi di hari Lebaran, Sulam datang lagi dalam angan-

anganku. Dia sama sekali tidak meminta baju yang telah kujanjikan. Dia hanya

menatapku dengan wajah yang jernih, dengan senyum yang sangat mengesankan.

Kemudian Sulam gaib sambil meninggalkan suaratawa ceria yang panjang.

Namun aku perih mendengarnya. Malu.

(Ahmad Tohari, 2005:61-62)

Tokoh “Aku” juga memberikan contoh kepada kita bahwa penyesalan

akan sangat perih jika hanya satu kali saja kita merendahkan, memarjinalkan dan

mengabaikan apa yang menjadi keinginan orang seperti Si Sulam. Seperti yang

dialami tokoh “Aku”, penyesalan yang tak terhingga menghunjam pada diri

“Aku”. Dan benar sekali penyesalan tersebut tidak akan terobati, karena sudah

tidak mungkin bisa menebusnya. Tokoh “Aku” menyesal hanya gara-gara tidak

mau memberikan baju untuk lebaran hari raya bagi si Sulam. Tak berapa lama

Sulam meninggal terlindas truk. Hilanglah harapan “Aku” untuk berbuat baik

walau hanya sekedar memberi baju baru kepada Si Sulam. Sampai-sampai “Aku”

tidak mampu untuk menemui jasad Si Sulam karena saking malunya. Ternyata

orang normal belum tentu lebih baik daripada wong gemblung.

Page 13: Wangon Jatilawang

13

IV. Simpulan

Berdasarkan analisis sosiologi satra atas cerpen “Wangon Jatilawang”

karya Ahmad Tohari di atas, pandangan umum sebagian besar orang memandang

rendah terhadap orang yang mempunyai gangguan kejiwaan (maaf: gila).

Perlakuan sebagian besar orang tersebut tentulah hanya berdasarkan wujud

lahiriyah fisik “wong gemblung” semata. Padahal dalam diri “wong gemblung”

banyak tersimpan rahasia Tuhan, yang semestinya tidak bisa dianggap remeh.

Karena sekali kita menganggap remeh orang lain, diri kita sendiri yang akan

diremehkan oleh kehidupan ini.

V. Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gunoto Saparie. 2007. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra. Semarang: www.suarakarya-online.com

Jan van Luxemburg dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan oleh Dick Hartoko. 1989. Jakarta : PT Gramedia.

Robert Escarpit. Tanpa tahun. Sosiologi Sastra. Terjemahan oleh Ida Sundari Husen. 2005. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Sapardi Djoko Damono. 1979. Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sugihastuti, M.S. 2007. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka PelajarSuroso dkk. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta:

Elmatera Publishing

Suwardi Endraswara. 2008. Metodologi Penelitian Sastra : Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta : Media Pressindo

Yakob Sumarjo. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta : CV Nur Cahaya.

Zainuddin Fananie. 2002. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University Press.