volume 3 nomor 2, april 2019 - jurnal ekonomi pertanian

248
Volume 3 Nomor 2, April 2019 P-ISSN 2614-4670 E-ISSN 2598-8174

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Volume 3 Nomor 2, April 2019

P-ISSN 2614-4670 E-ISSN 2598-8174

Page 2: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

JEPA-Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019)

i

JEPA adalah Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis berada di lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang berisi tentang hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah terkait. Topik keilmuan yang melingkupi adalah bidang ekonomi

pertanian dan agribisnis secara luas.

SUSUNAN PENGURUS Ketua Redaksi

Dr. Rosihan Asmara, SE. MP

Dewan Penyunting Dr. Sujarwo, SP. MP. M.Sc.

Fahriyah, SP. MP. Condro Puspo Nugroho, SP. MP.

Neza Fadia Reyasa, SP. MS.

Penyunting Pelaksana dan Administrasi Bagus Andrianto, SP.

ALAMAT REDAKSI

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang -65145, Jawa Timur.

Telp/Fax. (0341) 580054. Website: http://jepa.ub.ac.id

E-mail redaksi [email protected]

JADWAL PENERBITAN

JEPA diterbitkan empat kali setahun (bulan Januari, April, Juli, dan Oktober). Frekuensi penerbitan akan ditambah bila diperlukan. P-ISSN 2614-4670 | E-ISSN 2598-8174

Page 3: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

JEPA-Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada Mitra Bestari yang diundang oleh redaksi Jurnal JEPA – Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, yaitu :

1. Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani AR., MS (Kepala Pusat Kajian Agribisnis FPUB) 2. Prof. Dr. Ir. Jabal Tarik Ibrahim (Guru Besar FP UMM) 3. Prof. Dr. Ir. Dompak Napitupulu, MSc. (Guru Besar FP Univ. Jambi) 4. Dr. Ir. Suhirmanto, MP (STPP, Kementerian Pertanian RI) 5. Hery Toiba, SP. MP. Ph.D. (Unit Bisnis Akademik UB) 6. Dr. Teti Sugiarti, SP., M.Si (Agribisnis, Universitas Trunojoyo Madura)

Page 4: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

JEPA-Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019)

iii

DAFTAR ISI

SUSUNAN REDAKSI i

UCAPAN TERIMAKASIH ii

DAFTAR ISI iii

Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kabupaten Lampung Tengah Lintia Putri Nanda, Jangkung Handoyo Mulyo, Lestari Rahayu Waluyati .................. 217

Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Di Kabupaten Lampung Tengah Amalia Nadifta Ulfa, Masyhuri .................................................................................. 231

Analisis Nilai Tambah Dan Perkembangan Usaha Agroindustri Asap Cair Tempurung Kelapa Padacv Prima Rosandries Di Desa Kemiri Kecamatan Panti Kabupaten Jember Subchan Dwi Arisandy, Jani Januar, Joni Murti Mulyo Aji ........................................ 242

Analisis Nilai Tambah dan Strategi Pengembangan Agroindustri Gula Merah di Kabupaten Madiun Yoesti Silvana Arianti, Lestari Rahayu Waluyati ........................................................ 254

Efisiensi Alokatif Usahatani Padi pada Lahan Gambut di Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Riau Ahmad Nazeb, Dwidjono Hadi Darwanto, Any Suryantini .......................................... 265

Strategi Pengembangan Umbi Mini Bawang Merah True Shallot Seed Di Kabupaten Grobogan Nafiatul Khoyriyah, Titik Ekowati, Syaiful Anwar ...................................................... 276

Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk Muhammad Rizal Ghozali, Rudi Wibowo ................................................................... 292

Strategi Pengembangan Agribisnis Jamur Timur Wujud Penguatan Ekonomi Lokal Ayu Dwidyah Rini, Amaliyah ..................................................................................... 309

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pemasaran pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pangan Olahan di Kota Surakarta Susi Rahmawati, Darsono, Nuning Setyowati ............................................................. 323

Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap pada Kawasan Minapolitan Jamilah, Mawardati ................................................................................................... 334

Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Kasus Di Bumdes Mitra Sejahtera Desa Cibunut Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka Jaka Sulaksana, Irni Nuryanti .................................................................................... 346

Analisis Struktur Biaya Produksi Dan Kesenjangan Pendapatan Petani Akibat Fluktuasi Harga Minyak Nilam Ellyta Effendy, Muhammad Yusuf N, Romano, Safrida ............................................... 358

Page 5: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

JEPA-Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019)

iii

Analisis Efektivitas Jasa Pergudangan Hasil Pertanian Dengan Sistem Resi Gudang Di Desa Rengging, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara Bantar Anggitasari, Bambang Mulyatno Setiawan, Djoko Sumardjono ...................... 373

Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Karyawan Bagian Pabrik Unit Produksi Pagilaran PT Pagilaran Muhamad Yazid Bustomi, Lestari Rahayu Waluyati ................................................... 382

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah di Provinsi Jambi Nopa Linda, Indrawari, Syafruddin Karimi ................................................................ 396

Pengaruh Perilaku Petani Padi terhadap Penggunaan Benih Padi Bersubsidi di Desa Tlogoweru Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Liana Endah Fadhillah, Sriroso Satmoko, Tutik Dalmiyatun ...................................... 406

Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Sosial terhadap Curahan Waktu Kerja Wanita Tani Kopi Robusta di Kecamatan Gemawang Kabupaten Temanggung Adhitya Rizqi, Dyah Mardiningsih, Wulan Sumekar ................................................... 417

Dampak Risiko Produksi Terhadap Kesejahteraan Rumahtangga Petani Bawang Merah di Kabupaten Sigi Sherley Siseraf Pamusu1, Harianto, Kuntjoro, Ratna Winandi ................................... 427

Analisis Integrasi Pasar Dan Faktor Pembentuk Harga Udang Beku Indonesia Di Pasar Internasional Ulfira Ashari, Sahara , Sri Hartoyo ........................................................................... 437

Preferensi Resiko Petani dalam Alokasi Input Usahatani Jagung Menggunakan Model Just and Pope Rosihan Asmara, Wiwit Widyawati, Abdul Haris Hidayat .......................................... 447

Page 6: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 219-232

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.1

ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

ANALYSIS OF HOUSEHOLD FOOD SECURITY IN CENTRAL LAMPUNG REGENCY

Lintia Putri Nanda1*, Jangkung Handoyo Mulyo2, Lestari Rahayu Waluyati2

1Mahasiswa Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada 2Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT This research is aimed to 1) discover the level of food security at household level in Central Lampung Regency and 2) to discover the factors that determine the level of food security at the household level in Central Lampung Regency. The analysis method used to discover the level of food security at household level is by referring to the method of Jonsson and Toole, and the analysis of ordinal logistic regression is used to discover the factors that determine the food security at the household level in Central Lampung Regency. The results show that 1) Household food security in Central Lampung Regency less than 50% are in food secure condition or 38.04%. 2.a) Padian price, other consumption price and household income have positive effect, while peanut price, food and beverage price and number of household member have negative effect to household food security in Central Lampung Regency. 2.b). Household food security in urban and rural areas is no different, farm households are more food secure than non-farm households, and households receiving raskin have a higher opportunity for food secure than households that do not receive raskin.

Keywords: Central Lampung, Household Food Security, Jonsson and Toole, Ordinal Logit

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah dan 2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan metode Jonsson dan Toole dan analisis regresi logit ordinal untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah. Hasil analisis 1) Ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah kurang dari 50% berada dalam kondisi tahan pangan atau sebesar 38,04%. 2.a) Harga padian, harga konsumsi lainnya dan pendapatan rumah tangga berpengaruh positif, sedangkan harga aneka kacang, harga makanan dan minuman jadi dan jumlah anggota rumah tangga berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah. 2.b). Ketahanan pangan rumah tangga di perkotaan dan pedesaan tidak berbeda, rumah tangga pertanian lebih tahan pangan dibandingkan rumah tangga non pertanian dan rumah tangga yang menerima raskin mememliki peluang untuk tahan pangan lebih besar dibandingkan rumah tangga yang tidak menerima raskin.

Kata kunci : Jonsson dan Toole, Ketahanan Pangan Rumah Tangga, Lampung Tengah, Logit

ordinal

Page 7: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

220 JEPA, 3 (2), 2019: 219-232

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan ketahanan

nasional. Ketahanan pangan bagi suatu negara merupakan hal yang sangat penting terutama bagi negara yang mempunyai penduduk yang sangat banyak seperti Indonesia. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh setiap individu. Pemenuhan akan pangan penting dilakukan karena apabila kebutuhan pangan tidak tercukupi dapat berakibat pada kondisi sosial ekonomi dan politik suatu bangsa. Perencanaan untuk meningkatkan pengadaan pangan pada tingkat masyarakat yang tinggal didaerah pertanian adalah penting, baik untuk pembangunan nasional maupun untuk kesejahteraan manusia.

Salah satu Provinsi dengan jumlah penduduk yang terus mengalami pertumbuhan setiap tahunnya yaitu Provinsi Lampung. Pada tahun 2015, menurut data Badan Pusat Statistik tercatat bahwa jumlah penduduk Lampung sekitar 8,1 juta jiwa. Penduduk Lampung merupakan terbesar kedua di Sumatera setelah Sumatera Utara. Jika dilihat berdasarkan kabupaten/kota, Kabupaten Lampung Tengah memiliki jumlah penduduk terbesar di Provinsi Lampung yaitu 1,2 juta jiwa pada tahun 2015. Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu tantangan tersendiri untuk daerah menyediakan pangan yang cukup dan bermutu untuk bisa diakses dan dimanfaatkan oleh setiap individu.

Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Provinsi Lampung. Menurut data BPS tahun 2015 sektor pertanian memberikan konstribusi sebesar 31,86 persen dari total PDRB Provinsi Lampung dan konstribusi sub sektor tanaman pangan terhadap pembentukan PDRB Provinsi Lampung mencapai 11,06 persen. Provinsi Lampung merupakan salah satu lumbung pangan Indonesia, secara nasional produksi padi yang dihasilkan di Provinsi Lampung menempati urutan ketujuh dan produksi padi Lampung menempati peringkat ketiga se-Sumatera. Padi merupakan komoditas strategis karena menjadi bahan makanan pokok masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Lampung khususnya.

Berdasarkan data BPS, 2015 menunjukkan bahwa presentasi produksi terbesar padi tahun 2000 sampai dengan 2015 Provinsi Lampung berada di Kabupaten Lampung Tengah yaitu sebesar 22% dari total produksi tanaman padi di Provinsi Lampung pada setiap tahunnya. Selain menjadi sentra produksi padi, Kabupaten Lampung Tengah juga merupakan sentra produksi jagung dan ubi kayu di Provinsi Lampung. Kemampuan Kabupaten Lampung Tengah dalam memproduksi pangan menunjukkan bahwa Kabupaten Lampung Tengah memiliki kemampuan untuk menyediakan pangan bagi penduduknya. Namun, ketersediaan pangan pada tingkat regional yang cukup belum tentu menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Menurut Arida et.al (2015) ketahanan pangan ditingkat nasional atau regional yang terjamin tidak selalu mencerminkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Selain faktor ketersediaan pangan, akses terhadap pangan juga merupakan aspek penting dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dapat diukur dengan menggunakan indikator Jonsson dan Toole (1991) dalam Maxwell et.al (2000) dengan mengkombinasikan Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Pangsa Pengeluaran Pangan (PPP) yang dibagi dalam empat kuadran. Suharyanto et.al (2014) menyatakan bahwa ketahanan pangan di tingkat rumah

Page 8: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Lintia Putri Nanda – analisis ketahanan pangan rumah tangga .......................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

221

tangga hakekaktnya menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kecukupan pangan dan kemampuan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yang sangat kompleks, seperti harga pangan, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, pendidikan kepala keluarga, dan wilayah tempat tinggal (Herdiana et.al 2014). Gebre, (2012) menyatakan bahwa ketahanan pangan rumah tangga juga dipengaruhi oleh faktor umur kepala rumah tangga, akses terhadap kredit, kepemilikan aset rumah tangga dan akses terhadap pekerjaan. Yuliana et.al (2013) menambahkan bahwa pengetahuan ibu rumah tangga juga menjadi faktor penentu ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Melihat fakta yang ada di kabupaten Lampung Tengah sebagai sentra produksi padi dan juga sebagai kabupaten dengan jumlah penduduk tertinggi di Provinsi Lampung maka tujuan pada penelitian ini yaitu untuk 1) mengetahui ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah dan 2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lampung Tengah dengan alasan daerah ini memilki jumlah penduduk terbesar di Provinsi lampung yaitu sebesar. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2016 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Susenas merupakan survey dengan unit observasi sampai dengan tingkat rumah tangga. Sampel yang diambil merupakan seluruh rumah tangga hasil SUSENAS Kabupaten Lampung Tengah tahun 2016 yaitu berjumlah 794 Rumah Tangga.

Metode analisis dekriptif menjadi metode dasar dalam penelitian. Mengukur Ketahanan pangan tingkat rumah tangga, menggunakan metode Jonsson dan Toole (1991) dalam Maxwell et.al (2000) dengan batasan 80% dari angka konsumsi energi (AKE) disilangkan dengan batasan 60% pangsa pengeluaran pangan (PPP) dari total pengeluaran rumah tangga. Berikut tabel klasifikasi silang ketahanan pangan tingkat rumah tangga menurut Maxwell et.al (2000): Tabel 1. Klasifikasi Silang Ketahanan Pangan

Serapan kalori ekuivalen orang dewasa

Pangsa Pengeluaran Pangan Rendah (<60% pengeluaran total)

Tinggi (>60% pengeluaran total)

Cukup (>80% angka kecukupan energi)

Tahan Pangan (Secure) Rentan Pangan

(Vulnerable)

Kurang (<80% angka kecukupan energi)

Kurang Pangan (Less Secure)

Rawan Pangan (Insecure)

Sumber: Maxwell et.al (2000)

Page 9: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

222 JEPA, 3 (2), 2019: 219-232

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Model Logit Ordinal digunakan untuk mnetahui faktor yang berpengaruh terhadap kondisi Ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Dalam mengukur Ketahanan pangan tingkat rumah tangga, maka terdapat empat kategori tingkat ketahanan pangan (KP) yaitu:

KP 1 = rumah tangga rawan pangan (kp=1) KP 2= rumah tangga kurang pangan (kp=2) KP 3 = rumah tangga rentan pangan (kp=3) KP 4 = rumah tangga tahan pangan (kp=4) Fungsi logistic logit secara umum adalah sebagai berikut:

!" = $(& = 1|)") = 1

1 + -.(/01/230)

Berdasarkan model tersebut, dengan mengasumsikan 4 kategori (kp=4), faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas untuk kategori (p) adalah sebagai berikut: KP = β0 + β1 H1 + β2 H2 + β3 H3 + β4 H4 + β5 H5+ β6 H6 + β7 H7 + β8 H8 + β9 H9 + β10 H10 +

β11 H11 + β12 H12 + β13 H13 + β14 PDRT + β15 UKRT + β16 PIRT + β17 JART + β18 DLOK + β19 DSRT + β20 DRAS + e

Keterangan: KP = Ketahanan pangan tingkat rumah tangga

4: tahan pangan 3: rentan pangan 2: kurang pangan 1: rawan pangan

H1 = harga aneka padi (Rp/kg) H2 = harga aneka umbi (Rp/kg) H3 = harga ikan/udang/cumi/kerang (Rp/kg) H4 = harga daging (Rp/kg) H5 = harga telur dan susu (Rp/kg) H6 = harga aneka sayur (Rp/kg) H7 = harga aneka kacang (Rp/kg) H8 = harga aneka buah (Rp/kg) H9 = harga minyak dan kelapa (Rp/liter) H10 = harga bahan minuman (Rp/ons) H11 = harga aneka bumbu (Rp/gram) H12 = harga konsumsi lainnya (Rp/ons) H13 = harga makanan dan minuman jadi (Rp/porsi) PDRT = Pendapatan rumah tangga (Rp/bulan) UKRT = Umur kepala rumah tangga (tahun) PIRT = Pendidikan ibu (tahun)

Page 10: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Lintia Putri Nanda – analisis ketahanan pangan rumah tangga .......................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

223

JART = Jumlah anggota keluarga (orang) DLOK = Dummy lokasi tempat tinggal

(1=perkotaan, dan 0=pedesaan) DSRT = Dummy status rumah tangga

(1=pertanian, dan 0= non pertanian) DRAS = Dummy raskin (1= penerima raskin, dan 0= non peneriam raskin) e = variabel pengganggu / error Pengujian Model yang dilakukan yaitu: 1. Likelihood Ratio Index (LRI)/ R2 McFadden/ pseudo-R2 Likelihood Ratio Index (LRI)/ R2 Mc. Fadden/ pseudo-R2 digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan dan variabel Independen dengan variabel dependen dalam suatu model regresi logistik (Gujarati and Porter, 2009). 2. Uji Likelihood Ratio (LR) Dalam OLS, uji LR sama halnya dengan uji F. Uji LR digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara simultan berpengaruh terhadap variabel dependennya. Formulasi LR adalah sebagai berikut (Gujarati and Porter, 2009).

456789:; = −2 ln @4(A"BC-DE-FC)

4(AGHII)J

Mintercept adalah model regresi yang hanya mengandung intersep saja (tanpa variabel), sedangkan Mfull adalah model regresi dengan memasukkan semua variabel yang akan diuji signifikansinya. Hasil perhitungan LRhitung mengikuti distribusi Chi Square (c2) dengan derajat bebas p atau LRhitung~c2 (p). 3. Wald Test (Z) Uji Wald ditujukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara parsial terhadap variabel dependennya. Uji Wald dalam model logistik mirip dengan uji t pada OLS. Hanya saja, uji Wald menggunakan z-stat untuk pengambilan keputusan. Persamaan uji Wald adalah sebagai berikut (Enisan & Olufisayo, 2009):

K = @LMN

O$(LP)JQ

Nilai Z mengikuti distribusi Chi Square (c2) dengan derajat bebas k, atau secara symbol ditulis Z2~c2 (k).

Pada permodelan regresi logistic selanjutnya dilakukan interpretasi parameter yang bertujuan untuk mengetahui arti dan nilai taksiran parameter pada variabel predictor (Y). Odss adalah perbandingan probabilitas kejadian sukses dan tidak sukses dari suatu kategori. Odss untuk x = 1 dan x = 0 secara berturut-turut adalah:

F(1)1 − F(1)

RSBF = (0)1 − F(0)

Rasio odds merupakan perbandingan nilai odds untuk kategori x=1 terhadap odds untuk kategori x=0, dalam variabel pediktor yang sama dengan menganggap variabel prediktor lainnya konstan. Rasio odds dinyatakan dengan ᴪ dirumuskan:

Page 11: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

224 JEPA, 3 (2), 2019: 219-232

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

ᴪ =VF(1)

1 − F(1)V

VF(0)

1 − F(0)V

HASIL DAN PEMBAHASAN Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga

Ketahanan pangan tingkat rumah tangga terdiri dari dua hal yang sangat penting yaitu pangsa pengeluaran untuk pangan dan serapan kalori atau energi. Rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah yang memiliki pengeluaran untuk pangan rendah atau kurang dari 60% pengeluaran total sebesar 426 rumah tangga atau sebesar 53,65%. Rumah tangga yang memiliki pangsa pengeluaran pangan tinggi atau lebih dari sama dengan 60% pangsa pengeluran total sejumlah 368 rumah tangga atau setara dengan 46,35%. Jika dilihat berdasarkan serapan kalori atau angka kecukupan energi maka rumah tangga yang memiliki kecukupan energi yang cukup atau lebih dari 80% angka kecukupan energi standar 2.150 kkal/kapita/hari terdapat sebanyak 589 rumah tangga atau sebesar 74,18%. Rumah tangga yang memiliki kecukupan energi kurang atau kurang dari dama dengan 80% angka kecukupan energi standar 2.150 kkal/kapita/hari terdapat sebanyak 205 rumah tangga atau sebesar 25,82%.

Berdasarkan hasil penghitungan kondisi Ketahanan pangan tingkat rumah tangga di salah satu daerah sentra produksi padi di Indonesia dalam hal ini Kabupaten Lampung Tengah maka persentase rumah tangga tahan pangan sebesar 38,04%, rumah tangga rentan pangan 36,15%, rumah tangga kurang pangan 15,62% dan rumah tangga rawan pangan 10,20%. Menurut Herdiana et al (2014) dalam menanggapi atau menyelesaikan masalah pangan pada rumah tangga akan berbeda tergantung dari segi kondisi rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan kondisi rentan pangan diperioritaskan untuk meningkatkan pemasukan ekonomi keluarga atau pendapatan. Pada rumah tangga dengan kondisi kurang pangan diprioritaskan pada upaya pengetahuan pangan dan gizi. Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Ketahanan pangan tingkat rumah tangga

Hasil dari regresi ordinal logit pada tabel 2, mempunyai nilai Pseudo R2 0,1206 artinya variabel-variabel independen mampu menjelaskan sekitar 12,06% terhadap Ketahanan pangan tingkat rumah tangga di kabupaten Lampung Tengah, dan sisanya 87,94% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Goodness of Fit ditunjukkan dari nilai LR X2 hitung sebesar 222,820 signifikan pada tingkat kesalahan 1% dengan nilai probabilitas Chi Square sebesar 0,0000 < 0,01 artinya variabel bebas secara simultan berpengaruh nyata terhadap pilihan varietas, sehingga model dapat dikatakan sudah baik.

Page 12: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Lintia Putri Nanda – analisis ketahanan pangan rumah tangga .......................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

225

Tabel 2. Hasil Analisis Ordinal Logit Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah

Variabel Tanda

harapan Coefficient Std. Err z-Stat. Prob. OR (OR-1) x

100 Cut off/ limit 1 -1,6150000 Cut off/ limit 2 -0,2140000 Cut off/ limit 3 1,6750000 Harga aneka padi - 0,0001576* 0,0000936 1,68 0.092 1,000158 0,0158 Harga aneka umbi - -0,0000187 0,0000293 -0,64 0.525 0,9999813 -0,00187 Harga ikan/udang/cumi/ kerang

- -0,0000027 0,0000102 -0,26 0.793 0,9999973 -0,00027

Harga daging - 0,0000056 0,0000051 1,09 0.275 1,000037 0,0037 Harga telur dan susu - -0,0000017 0,0000060 -0,28 0.779 0,9999676 -0,00324 Harga aneka sayur - 0,0000368 0,0000500 0,73 0.462 1,000022 0,0022 Harga aneka kacang - -0,0000324* 0,0000195 -1,66 0.097 0,9999588 -0,00412 Harga aneka buah - 0,0000219 0,0000136 1,61 0.108 1,000052 0,0052 Harga minyak dan kelapa

- -0,0000412 0,0000260 -1,58 0.113 0,9999922 -0,00078

Harga bahan minuman

- 0,0000523 0,0001643 0,32 0.750 1,00014 0,014

Harga aneka bumbu - -0,0000078 0,0011383 -0,01 0.995 0,9998833 -0,01167 Harga konsumsi lainnya

- 0,0001395* 0,0000740 1,89 0.059 1,00014 0,014

Harga makanan dan minuman jadi

- -0,0001167** 0,0000469 -2,49 0.013 0,9998833 -0,01167

Pendapatan rumah tangga

+ 0,0000006*** 0,0000001 6,52 0.000 1,000001 0,0001

Umur kepala rumah tangga

+ -0,0002353 0,0028158 -0,08 0.933 0,9997647 -0,02353

Pendidikan ibu + -0,0503364 0,0920855 -0,55 0.585 0,9509095 -4,90905 Jumlah anggota keluarga

- -0,6568840*** 0,0803769 -8,17 0.000 0,5184644 -48,15356

Dummy lokasi tempat tinggal

+ 0,1870115 0.2620412 0,71 0.475 1,205641 20,5641

Dummy status rumah tangga

+ 0,3593844** 0,1573123 2,28 0.022 1,432447 43,2447

Dummy raskin + 0,2760314* 0,1516338 1,82 0.069 1,317889 31,7889 LR statistic (20df) 222,8200000 Prob (LR stat) 0,0000000 LR Index (Pseudo R2)

0,1206000

Sumber: Analisis Data Sekunder (2016) Keterangan: * signifikan pada α 10%, ** signifikan pada α 5%, *** signifikan pada α 1%

Page 13: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

226 JEPA, 3 (2), 2019: 219-232

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Hasil menunjukkan bahwa terdapat 8 (delapan) variabel yang signifikan dari dari 20 (dua puluh) variabel independen. Pembagian kategori tingkat ketahanan pangan ditunjukkan dengan nilai cut off atau limit dari hasil estimasi model pada tabel 2 dengan asumsi ceteris paribus, ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah pada berbagai kategori dalam satuan yaitu: 1. Probablitas tahan pangan: Pr (KP > -1,615182) 2. Probabilitas rentan pangan: Pr (-0,2148029 < KP <= -1,615182) 3. Probabilitas kurang pangan: Pr (1,675993 < KP <= -0,2148029) 4. Probabilitas rawan pangan: Pr (KP <= 1,675993)

Hasil estimasi model ordinal logit pada tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat 2 kategori persentase odds yaitu: (a) persentase odds yang positif, artinya bahwa setiap terjadinya peningkatan variabel independen 1 unit menyebabbkan kenaikan odds atau probabilitas terjadinya tingkat ketahanan pangan, dan (b) persentase odds yang negatif, artinya bahwa setiap terjadinya peningkatan variabel independen 1 unit akan menyebabkan penurunan odds atau probabilitas tingkat ketahanan pangan.

Persentase Odds Positif

Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa persentase odds positif terdapat pada: harga aneka padi, harga konsumsi lainnya, pendapatan rumah tangga, dummy status rumah tangga dan dummy raskin. Nilai positif logit tersebut dapat diartikan bahwa harga aneka padi, pendapatan rumah tangga, dummy status rumah tangga serta dummy raskin akan meningkatkan probabilitas ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah.

Variabel harga aneka padi mempunyai nilai OR sebesar 1,000158 yang artinya setiap kenaikan 1 satuan harga aneka padi menyebabkan peningkatan nilai odds baru atau probabilitas terjadinya tingkat ketahanan pangan sebesar 1,000158 kali nilai sebelumnya. Jika dinyatakan dalam persentase, dengan asumsi variabel bebas lainnya dalam kondisi tetap (ceteris paribus), maka setiap kenaikan harga aneka padi akan menyebabkan peningkatan odds ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah sebesar 0,0158%. Peningkatan harga aneka padi yang merupakan bahan pangan utama akan meningkatkan pendapatan bagi para rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah yang sebagian besar bekerja disektor pertanian atau yang berprofesi sebagai petani. Berdasarkan data susenas 2016 diketahui bahwa 56,80% rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah bekerja di sektor pertanian. Dengan melihat data yang menunjukkan bahwa lebih dari 50% rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah bekerja di sektor pertanian dan sebagai daerah penghasil padi maka dapat dikatakan bahwa apabila harga aneka padi ini meningkat akan mampu menaikkan pendapatan rumah tangga yang kemudian akan meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah. Selain itu juga jika dilihat berdasarkan hasil perhitungan data susenas bahwa rumah tangga yang bekerja disektor pertanian memiliki rata-rata pendapatan Rp. 2.836.197 dan rumah tangga non pertanian Rp. 2.894.789, yang menunjukkan bahwa selisih pendapatan rumah tangga pertanian dan non pertanian tidak kecil yakni Rp. 58.592. Hal ini berarti bahwa apabila harga aneka padi naik maka pendapatan rumah tangga pertanian akan semakin tinggi dan akan meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah.

Page 14: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Lintia Putri Nanda – analisis ketahanan pangan rumah tangga .......................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

227

Variabel harga konsumsi lainnya mempunyai nilai OR sebesar 1,00014 yang artinya setiap kenaian 1 satuan harga konsumsi lainnya menyebabkan peningkatan odds baru atau probabilitas terjadinya tingkat ketahanan pangan sebesar 1,00014 kali nilai sebelumnya. Jika dinyatakan dalam persentase, dengan asumsi variabel bebas tetap (ceteris paribus), maka setiap kenaikan harga konsumsi lainnya akan menyebabkan peningkatan odds ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung tengah sebesar 0,014%. Ketika harga konsumsi lainnya yang didalamnya ada mie instan, kerupuk mentah dan bubur bayi kemasan meningkat, maka rumah tangga akan mengurangi konsumsi mie instan, kerupuk mentah dan bubur bayi kemasan dan tetap mengkonsumsi bahan pangan lain yang lebih tinggi nilai gizinya dibandingkan mie instan, kerupuk mentah dan bubur bayi kemasan. Sehingga ketahanan pangan pada rumah tangga akan tercapai. Variabel pendapatan rumah tangga mempunyai nilai OR sebesar 1,000001 yang artinya setiap peningkatan 1 unit pendapatan rumah tangga menyebabbkan peningkatan odds baru atau probabilitas terjadinya tingkat ketahanan pangan sebesar 1,000001 kali nilai sebelumnya. Jika dinyatakan dalam persentase dengan asusmsi variabel bebas lainnya tetap (ceteris paribus), maka setiap peningkatan pendapatan rumah tangga akan menyebabkan peningkatan odds ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah sebesar 0,0001%. Peningkatan pendapatan rumah tangga akan menjadikan akses rumah tangga untuk memperoleh pangan lebih mudah yang kemudian akan mengakibatkan rumah tangga tahan pangan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Abu & Soom (2016) yang menyatakan bahwa Koefisien pendapatan rumah tangga adalah positif dan signifikan pada 10% yang artinya semakin besar pendapatan kepala keluarga maka akan semakin tinggi probabilitas rumah tangga tersebut tahan pangan. Hal ini diharapkan karena peningkatan pendapatan berarti peningkatan akses terhadap pangan. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Addisu (2015) yang menyatakan bahwa variabel pendapatan berdampak positif terhadap ketahanan pangan karena mampu meningkatkan daya beli rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Variabel dummy status rumah tangga mempunyai koefisien yang signifikan dan positif. Klasifikasi rumah tangga berdasarkan status rumah tangga dilihat berdasarkan pekerjaan utama kepala rumah tangga yang dibagi menjadi rumah tangga pertanian dan non pertanian. Rumah tangga yang berstatus pertanian atau bekerja di sektor pertanian memilki peluang untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah tangganya sebesar 1,432447 kali lebih banyak dibandingkan rumah tanggga non pertanian. Hal ini dikarenakan lebih dari 50% kepala rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah bekerja disektor pertanian yaitu sebesar 56,80%. Variabel dummy raskin ternyata mempunyai koefisien yang positif dan berpengaruh signifikan pada taraf 10%. Nilai OR sebesar 1,317889 menunjukkan bahwa rumah tangga yang menerima raskin memilki peluang untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga sebesar 1,317889 kali nilai sebelumnya. Jika dinyatakan dalam persentase dengan asusmsi variabel bebas lainnya tetap (ceteris paribus), maka rumah tangga yang mendapatkan raskin akan menyebabkan peningkatan odds ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah sebesar 31,78%.

Page 15: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

228 JEPA, 3 (2), 2019: 219-232

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Persentase Odds Negatif Tabel 2 menunjukkan bahwa variabel yang memiliki nilai odds negative adalah harga

aneka kacang, harga makanan dan minuman jadi serta jumlah anggota rumah tangga. Nilai koefisien logit yang negative dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya harga aneka kacang, harga makanan dan minuman jadi serta jumlah anggota rumah tangga, maka akan menurunkan probabilitas ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah.

Variabel harga aneka kacang mempunyai nilai odds sebesar 0,999, artinya setiap kenaikan 1 satuan harga aneka kacang menyebabkan penurunan nilai odds baru sebesar 0,999 kali nilai sebelumnya. Jika dinyatakan dalam persentase dengan mengasumsikan variabel bebas lainnya tetap (ceteris paribus) maka setiap kenaikan harga aneka kacang akan mengakibatkan penurunan odds sebesar 0,00412%. Variabel harga makanan dan minuman jadi mempunyai nilai odds sebesar 0,999, yang artinya setiap kenaikan 1 satuan harga makanan dan minuman jadi mengakibatkan penurunan nilai odds baru sebesar 0,999 kali milai sebelumnya. Jika dinyatakan dalam persentase dengan mengasusmsikan variabel bebas lainnya tetap (ceteris paribus) maka setiap kenaikan harga makanan dan minuman jadi akan mengakibatkan penurunan odd sebesar 0,01167%. Kenaikan harga akan mempengaruhi pendapatan riil rumah tangga dan mereka akan memiliki keterbatasan dalam mengkonsumsi pangan pada dua komoditas ini.

Variabel jumlah anggota rumah tangga memiliki nilai odds sebesar 0,518, artinya setiap penambahan 1 orang anggota rumah tangga akan menyebabbkan penurunan odds baru sebesar 0,518 kali nilai sebelumnya. Jika dinyatakan dalam persentase dengan mengasumsikan variabel bebas lainnya dalam kondisi tetap (ceteris paribus), maka setia penambahan anggota rumah tangga akan menyebabbkan penurunan odds sebesar 48,15 %. Setiap bertambahnya jumlah anggota dalam keluarga maka akan menambah jumlah konsumsi pangan rumah tangga. Selain itu juga akan mengurangi ketersediaan pangan yang dimiliki oleh rumah tangga. Berdasarkan tabel jumlah anggota rumah tangga diketahui bahwa rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga 1 sampai 3 orang lebih tahan pangan dibandingkan rumah tangga yang memiliki anggota keluarga banyak (3 anggota lebih). Rumah tangga yang memilki lebih banyak anggota dalam keluarganya akan lebih banyak pula melakukan pengeluaran untuk pangan. Rumah tangga yang dengan jumlah anggota lebih dari 7 anggota rumah tangga memiliki persentase rumah tangga rawan pangan lebih tinggi dibandingkan rumah tangga yang memilki anggota rumah tangga kurang dari 7 orang. Meningkatnya jumlah anggota rumah tangga akan meningkatkan berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh rumah tangga (Kifli et al, 2017). Pada penelitian Hernanda et al (2017) mengatakan bahwa jumlah anggota keluarga memilki hubungan yang negatif dengan ketahanan pangan tingkat rumah tangga, semakin besar jumlah anggota keluarga, menyebabkan ketahanan pangan menjadi lebih rendah. Selanjutnya dalam analisis logit ordinal maka perlu dilakukan analisis efek marjinal untuk mengetahui faktor penentu yang signifikan terhadap terjadinya probabilitas setiap ketahanan pangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga aneka padi 1 rupiah maka akan menaikkan probabilitas terjadinya tahan pangan (KP=4) rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah sebesar 0,00369% dan pada saat yang sama akan menurunkan probabilitas rentan pangan (KP=3) sebesar 0,00115%, menurunkan probabilitas kurang pangan (KP=2) sebesar 0,0016% dan juga menurunkan probabilitas terjadinya rawan pangan (KP=1) sebesar

Page 16: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Lintia Putri Nanda – analisis ketahanan pangan rumah tangga .......................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

229

0,00087%. Harga aneka padi yang bertambah mampu meningkatakan ketahanan pangan tingkat rumah tangga di kabupaten Lampung tengah karena 56,80% rumah tangga bekerja di sektor pertanian. Selain itu Kabupaten Lampung Tengah juga merupakan daerah penghasil padi di Provinsi Lampung, sehingga apabila harga aneka padi naik akan berdampak baik terhadap rumah tangga petani padi di Kabupaten Lampung Tengah. Sehingga rumah tangga akan lebih tahan pangan dan rumah tangga yang rentan pangan, kurang pangan dan rawan pangan akan berkurang. Tabel 3. Hasil Analisis Efek Marjinal (Marginal Effect) Ordinal Logit Faktor yang Berengaruh

Ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah

Variabel Pr(KP=1) Pr(KP=2) Pr(KP=3) Pr(KP=4)

Harga aneka padi * -0,0000087 -0,0000167 -0,0000115 0,0000369

Harga konsumsi lainnya* -0,00000772

-0,0000148 -0,0000101 0,0000326

Harga aneka kacang* 0,0000018 0,0000034 0,0000024 -0,0000076

Harga makanan dan minuman jadi ** 0,0000065 0,0000124 0,0000085 -

0,0000273

Pendapatan rumah tangga*** -0,00000003

-0,0000001

-0,00000004 0,0000001

Jumlah keluarga *** 0,0363460 0,0696021 0,0477343 -0,1536825

Dummy status rumah tangga ** -0,0203695 -0,0384054 -0,0246229 0,0833978

Dummy Raskin * -0,0155639 -0,0294645 -0,0191544 0,0641828

Sumber: Analisis Data Sekunder (2016) Keterangan: Pr (KP=1): Probabilitas terjadinya rawan pangan Pr (KP=2): Probabilitas terjadinya kurang pangan Pr (KP=3): Probabilitas terjadinya rentan pangan Pr (KP=4): Probabilitas terjadinya tahan pangan

Hasil analisis menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga konsumsi lainnya (mie instan, kerupuk mentah dan bubur bayi kemasan) 1 rupiah maka akan menaikkan probabilitas terjadinya tahan pangan (KP=4) rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah sebesar 0,00326% dan pada saat yang sama akan menurunkan probabilitas rentan pangan (KP=3) sebesar 0,00101%, menurunkan probabilitas kurang pangan (KP=2) sebesar 0,00148% dan juga menurunkan probabilitas terjadinya rawan pangan (KP=1) sebesar 0,00077%. Hasil analisis efek marjinal selanjutnya menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga aneka kacang 1 rupiah maka akan menurunkan probabilitas terjadinya tahan pangan (KP=4) sebesar 0,00759% dan pada saat yang sama akan menaikkan probabilitas terjadinya rentan pangan (KP=3) sebesar 0,00023%,

Page 17: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

230 JEPA, 3 (2), 2019: 219-232

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

menaikkan probabilitas kurang pangan (KP=2) sebesar 0,00034% serta menaikkan probabilitas rawan pangan (KP=1) sebesar 0,00017%. Selanjutnya hasil analisis efek marjinal menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga makanan dan minuman jadi 1 rupiah maka akan menurunkan probabilitas terjadinya tahan pangan (KP=4) sebesar 0,0027% dan pada saat yang sama akan menaikkan probabilitas terjadinya rentan pangan (KP=3) sebesar 0,00084%, menaikkan probabilitas kurang pangan (KP=2) sebesar 0,00124% serta menaikkan probabilitas rawan pangan (KP=1) sebesar 0,00064%. Hasil analisis efek marjinal pendapatan rumah tangga menunnjukkan bahwa setiap kenaikan pendapatan 1 rupiah akan menaikkan probabilitas tahan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah (KP=4) sebesar 0,0000132% dan pada saat yang sama akan menurunkan probabilitas rentan pangan (KP=3) sebesar 0,000004%, menurunkan probabilitas kurang pangan (KP=2) sebesar 0,000006% dan juga menurunkan probabilitas terjadinya rawan pangan (KP=1) sebesar 0,000003%. Peningkatan pendapatan rumah tangga akan meningkatkan akses rumah tangga untuk memperoleh pangan. Selain itu peningkatan pendapatan rumah tangga akan menambah kemampuan rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga sehingga rumah tangga akan tahan pangan. Selanjutnya hasil analisis efek marjinal menunjukkan bahwa setiap kenaikan jumlah anggota rumah tangga 1 orang maka akan menurunkan probabilitas terjadiya tahan pangan (KP=4) sebesar 15,36% dan menaikkan probabilitas terjadinya rentan pangan (KP=3) sebesar 4,77%, menaikkan probabilitas kurang pangan (KP=2) sebesar 6,96% serta menaikkan probabilitas rawan pangan (KP=1) sebesar 3,63%. Jumlah anggota rumah tangga yang bertambah akan menyebabkan konsumsi pangan dalam rumah tangga bertambah. Selain itu juga berdampak terhadap persediaan pangan yang dimiliki oleh rumah tangga. Menurut Dirhamsyah et al (2015) jika konsumsi pangan rumah tangga secara agregat tetap maka akan berdampak pada pengurangan konsumsi pangan perkapita, sehingga untuk rumah tangga yang memiliki keterbatasan ketersediaan, akses dan konsumsi untuk pangan dengan jumlah anggota keluarga yang semakin bertambah akan berdampak terhadap penurunan tingkat ketahanan pangan. Variabel dummy status rumah tangga memilki efek marjinal yang positif terhadap probabilitas tahan pangan. Artinya kepala keluarga yang bekerja disektor pertanian memiliki probabilitas terjadinya peningkatan tahan pangan lebih besar dibandingkan dengan kepala keluarga yang bekerja di bidang non pertanian. Variabel dummy raskin memiliki efek marjinal yang positif terhadap probabilitas tahan pangan. Hal ini berarti bahwa rumah tangga penerima raskin memiliki probabilitas terjadinya peningkatan tahan pangan lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga non penerima raskin.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kondisi ketahanan pangan tingkat rumah tangga Kabupaten Lampung Tengah 38,04%

berada dalam kondisi tahan pangan

Page 18: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Lintia Putri Nanda – analisis ketahanan pangan rumah tangga .......................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

231

2. a. Harga aneka padi, harga konsumsi lainnya dan pendapatan berpengaruh positif terhadap ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah. Harga aneka kacang, harga makanan dan minuman jadi dan jumlah anggota rumah tangga berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan tingkat rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah. b. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga di perkotaan dan pedesaan tidak berbeda, rumah tangga pertanian lebih tahan pangan dibandingkan rumah tangga non pertanian, rumah tangga yang menerima raskin mememliki peluang lebih besar untuk tahan pangan dibandingkan rumah tangga yang tidak menerima raskin.

Saran 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga padian berpengaruh positif terhadap tingkat

ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah sebagai sentra produksi padi, jagung dan ubi kayu sehingga pemerintah diharapkan mampu memperbaiki akses pasar bagi petani agar pendapatan petani dapat lebih meningkat.

2. Hasil analisis efek marjinal menunjukkan hasil bahwa jumlah anggota rumah tangga memiliki nilai efek marjinal yang tinggi sehingga perlu dilakukan pengendalian peningkatan jumlah anggota rumah tangga dengan menggiatkan program Keluarga Berencana sehingga jumlah keluarga dapat terkendali, selain itu juga peningkatan pendapatan rumah tangga melalui program pengembangan usaha produktif dan ketepatan sasaran penerima raskin.

3. Hasil analisis menunjukkan bahwa adanya program raskin mampu meningkatkan tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Tengah sehingga program raskin perlu untuk dilanjutkan karena efektif meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA Abu, G. A. & Soom (2016). Analysis of Factor Affecting Food Security in Rural and Urban

Farming Households of Benue State, Nigeria. International Journal of Food and Agricultural Economics, 4(1), 55–68.

Addisu, Y. (2015). Food Insecurity and its Determinants in Households of Ethiopia : The Case of Libo Kemkem District , Amhara National Regional State. Food Science and Quality Management, 41, 95–101.

Arida, Agustina., Sofyan, K. F. (2015). Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berdasarkan Proporsi Pengeluaran Pangan Dan Konsumsi Energi (Studi Kasus Pada Rumah Tangga Petani Peserta Program Desa Mandiri Pangan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar). Agrisep, (1), 20–34.

Dirhamsyah, T., Mulyo, J. H., Darwanto, D. H., & Hartono, S. (2015). The Household Food Security at the Food Resilience Village Programme in Java. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary, 8(10), 23–29. https://doi.org/10.9790/2380-081012329

Hernanda, Ega Noveria Putri., Yaktiworo Indriani, U. K. (2017). Pendapatan dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Padi di Desa Rawan Pangan. JIIA, 5(3), 283–291.

Enisan, A. A., & Olufisayo, A. O. (2009). Stock market development and economic growth :

Page 19: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

232 JEPA, 3 (2), 2019: 219-232

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Evidence from seven sub-Sahara African countries. Journal of Economics and Business, 61, 2008–2010. https://doi.org/10.1016/j.jeconbus.2008.05.001

Gebre, G. G. (2012). Determinants of Food Insecurity Among Households in Addis Ababa City, Ethiopia. Interdisciplinary Description of Complex Systems, 10(2), 159–173.

Gujarati, Damodar N., Porter, D. C. (2009). Basic Econometrics (Fifth Edit). New York: Mc Graw Hill Irwin.

Herdiana, A., Darwanto, D. H., Mulyo, J. H., Pangan, B. K., & Pertanian, K. (2014). Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kabupaten Ciamis. Jurnal SEPA, 11(1), 21–34.

Kifli, F. W., Handoyo, J., Darwanto, D. H., & Hartono, S. (2017). Social Capital and Farmer Household Food Security in Riau Province. Journal of Natural Sciences Research, 7(6), 115–124.

Maxwell, D., Levin, C., Armar-klemesu, M., Ruel, M., Morris, S., & Ahiadeke, C. (2000). Urban Livelihoods and Food and Nutrition Security in Greater Accra, Ghana. International Food Policy Research Institute, (APRIL).

Yuliana, Pramita., Wan Abbas Zakaria, R. A., & Program. (2013). Ketahanan Pangan Rumah Tangga Nelayan di Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung. JIIA, 1(2), 181–186.

Suharyanto, Jangkung Handoyo Mulyo, Dwidjono Hadi Darwanto, S. W. (2014). Determinants of Food Security Among Rice Farming Households in the Province of Bali : An Ordered Logistic Model. Journal of Economics and Sustainable Development, 5(8), 35–43.

Page 20: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 233-243

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.2

KELAYAKAN USAHA PENGGILINGAN PADI MENETAP DAN PENGGILINGAN PADI KELILING DI KABUPATEN SRAGEN

FEASIBILITY OF PERMANENT RICE MILLS AND MOBILE RICE MILLS

IN SRAGEN REGENCY

Amalia Nadifta Ulfa1*, Masyhuri2 1Mahasiswa Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada

2Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

This study aimed to determine feasibility of permanent rice millers dan mobile rice millers. Research data was using primary data and secondary data. Primary data was obtained through direct interview, secondary data obtained from related institutions. The location of research was determine by purposive sampling in Sragen Regency, Central Java Province. The method of sampling used proportional random sampling. The results showed that feasibility of permanent rice millers are NPV IDR 621,937,416; Net B/C Ratio 1.83; IRR 35.80%; and PBP 3 years 6 days. Feasibility of mobile rice millers are NPV IDR 23,580,694; Net B/C Ratio 1.60; IRR 29.48; PBP 5 years 4 months 3 days. Based on NPV, Net B/C Ratio, IRR, and PBP, permanent rice millers dan mobile rice millers are feasible to develop.

Keywords: Feasibility, Mobile Rice Mill, Permanent Rice Mill.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha penggilingan padi menetap dan penggilingan padi keliling. Data penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung, data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive sampling di Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Metode penelitian menggunakan proporsional random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai untuk penggilingan padi tetap adalah NPV Rp 621.937.416; Net B/C Ratio 1,83; IRR 35,80; PBP 3 tahun 6 hari. Sedangkan untuk penggilingan padi keliling adalah NPV Rp 23.580.694; Net B/C Ratio 1,60; IRR 29,48; PBP 5 tahun 4 bulan 3 hari. Berdasarkan indikator kelayakan NPV, Net B/C Rasio, IRR, dan PBP, usaha penggilingan padi menetap dan keliling layak untuk dikembangkan.

Kata Kunci: Kelayakan Usaha, Penggilingan Padi Keliling, Penggilingan Padi Menetap.

Page 21: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

234 JEPA, 3 (2), 2019: 233-243

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan produsen padi terbesar ke tiga di dunia dengan rata-rata luas panen padi mencapai 13,51 juta hektar atau penguasaan sebesar 8,27%. Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013) menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga usaha tanaman pangan (padi dan palawija) sebesar 17,73 juta rumah tangga dari keseluruhan rumah tangga usaha tani yang mencapai 26,14 juta rumah tangga. Dapat dikatakan bahwa 67,83% dari total jumlah rumah tangga usaha tani adalah usaha tani tanaman pangan (BPS, 2016).

Kabupaten Sragen merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang menjadi salah satu sentra produksi padi. Luas panen padi sawah di Kabupaten Sragen adalah seluas 93.994 Ha dengan produksi sebesar 611.710 ton, sehingga produktivitasnya sebesar 65,08 ku/ha. Sedangkan luas panen untuk padi ladang adalah sebesar 3.450 Ha dengan produksi sebesar 17.037 ton dan produktivitas sebesar 49,37 ku/ha (BPS Jateng, 2017). Menurut BPS Kabupaten Sragen, total luas panen padi sawah dan padi ladang di Kabupaten Sragen adalah sebesar 97.444 Ha dengan produksi sebesar 628.743 ton dan produktivitas sebesar 64,02 Ku/Ha.

Penggilingan padi berperan penting dalam sistem agribisnis padi. Menurut Sawit (2006), inti permasalahan dalam industri beras/padi nasional adalah bagaimana meningkatkan produktivitas dan efisiensi, serta mengurangi secara signifikan tingkat kehilangan hasil padi/beras, mendorong berkembangnya penggilingan padi modern, sehingga Indonesia mampu menghasilkan beras yang berkualitas tinggi dan peningkatan rendemen giling. Hardjosentono (2000) menyatakan bahwa penggilingan padi merupakan pusat pertemuan antara produksi, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran gabah/beras, sehingga dituntut untuk dapat memberikan kontribusi dalam penyediaan beras, baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

Penggilingan padi di Kabupaten Sragen terbagi menjadi dua, yaitu penggilingan padi menetap dan penggilingan padi keliling. Penggilingan padi menetap terdiri atas penggilingan padi besar (PPB), penggilingan padi sedang (PPS) dan penggilingan padi kecil (PPK). Usaha penggilingan padi pada umumnya bersifat musiman karena gabah tidak tersedia sepanjang tahun, hanya beberapa penggilingan padi saja yang tetap beroperasi sepanjang tahun, umumnya penggilingan tersebut adalah penggilingan padi sedang dan besar. Bagi penggilingan padi kecil, kegiatan usaha penggilingan padi hanya berjalan pada musim panen dan beberapa bulan setelahnya, tergantung besarnya hasil panen.

Disamping itu, penggilingan padi keliling (PPKL) kini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Petani di Kabupaten Sragen lebih memilih untuk menggiling padinya kepada penggilingan padi keliling dibandingkan ke penggilingan padi menetap. Adanya penggilingan padi keliling, petani tidak perlu lagi bersusah payah mengangkut padinya ke penggilingan. Sama halnya dengan pelaksanaan usaha lainnya, dalam pelaksanaan usaha penggilingan padi perlu dilakukan analisis kelayakan. Hal ini bertujuan untuk menghindari keterlanjuran penggunaan modal yang terlalu besar untuk kegiatan yang ternyata tidak menguntungkan. Berdasarkan permasalahan, diperlukan analisa proyek pertanian untuk mengukur serta membandingkan kelayakan usaha antara penggilingan padi keliling dengan penggilingan padi menetap.

Page 22: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Amalia Nadifta Ulfa – Kelayakan Usaha Penggilingan Padi Menetap .............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

235

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada Bulan April-Mei 2018. Metode dasar penelitian adalah metode deskriptif analitik. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling di Kabupaten Sragen, Propinsi Jawa Tengah. Jumlah sampel penggilingan yang diambil adalah 30 sampel untuk penggilingan padi menetap dan 30 sampel untuk penggilingan padi keliling. Metode pengambilan sampel dilakukan secara proportional random sampling pada lima kecamatan di Kabupaten Sragen yang merupakan wilayah yang memiliki usaha penggilingan padi menetap dan keliling terbanyak, yaitu Kecamatan Masaran, Kedawung, Gondang, Sambungmacan, dan Karangmalang dengan proporsi sebagai berikut: Tabel 1. Sampel dalam Penelitian Kecamatan PP Menetap PP Keliling

Jumlah Sampel Jumlah Sampel Masaran 90 9 13 3 Kedawung 85 8 45 11 Gondang 40 4 23 5 Sambungmacan 41 4 22 5 Karangmalang 46 5 24 6 TOTAL 302 30 127 30

Sumber: Direktori Perusahaan Industri Penggilingan Padi Tahun 2012, diolah Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data

primer adalah data yang langsung dikumpulkan dari responden. Data primer dilakukan dengan teknik wawancara langsung dengan mengisi daftar kuesioner. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi terkait, antara lain: Badan Pusat Statistik (BPS), Pusdatin Kementrian Pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten Sragen, dan Dinas Perindustrian Kabupaten Sragen.

Menurut Kusuma et al (2012) dan Tirta et al (2014) pemenuhan kriteria kelayakan finansial yang terdiri dari: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C ratio), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PBP). Net Present Value (NPV)

NPV merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari keuntungan dan biaya. NPV ini merupakan metode untuk mencari selisih antara nilai sekarang dari aliran kas neto dengan nilai sekarang dari suatu investasi. NPV menunjukkan keuntungan yang akan diterima selama umur investasi. Rumus NPV adalah sebagai berikut (Kadariah et al, 1999):

NPV =% &'()*((,-.)(

01

23,

Bt = Penerimaan proyek pada tahun t Ct = Biaya pada tahun t n = Umur ekonomis proyek i = Tingkat suku bunga kredit investasi Dengan kriteria: 1. Bila NPV = 0, artinya usaha penggilingan padi dalam keadaan break event point. 2. Bila NPV > 0, artinya usaha penggilingan padi layak untuk dilaksanakan. 3. Bila NPV < 0, artinya usaha penggilingan padi tidak layak untuk dilaksanakan.

Page 23: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

236 JEPA, 3 (2), 2019: 233-243

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) Net B/C Ratio merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang positif

(sebagai pembilang) dengan jumlah present value yang negatif (sebagai penyebut). Perhitungan Net B/C Ratio merupakan perbandingan antara penerimaan total dan biaya total yang menunjukkan nilai penerimaan yang diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut (Kadariah et al, 1999):

Net B/C Ratio = 4∑ 67897

(:;<)7=7>? @

4∑ 97867(:;<)7

A7>? @

Dengan kriteria: 1. Bila net B/C= 1, maka usaha penggilingan padi dalam keadaan break event point. 2. Bila net B/C > 1, maka usaha penggilingan padi layak dilaksanakan. 3. Bila net B/C <1, maka usaha penggilingan padi tidak layak dilaksanakan.

Internal Rate of Return (IRR) IRR tingkat investasi adalah tingkat suku bunga yang berlaku (discount rate) yang

menunjukkan nilai sekarang (NPV) sama dengan jumlah keseluruhan investasi proyek. IRR merupakan prosentase keuntungan yang akan diperoleh dalam melakukan investasi. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut (Kadariah et al, 1999):

IRR = i1 +B(CDE:)

(CDE:)CDEF)X(iJ − i,)L

i1 = Nilai suku bunga pertama i2 = Nilai suku bunga kedua NPV1 = Nilai NPV pertama NPV2 = Nilai NPV kedua Dengan kriteria: 1. Bila IRR = tingkat suku bunga berlaku, maka usaha penggilingan padi dalam keadaan break

event point. 2. Bila IRR > tingkat suku bunga berlaku, usaha penggilingan layak dilaksanakan. 3. Bila IRR < tingkat suku bunga berlaku, maka usaha penggilingan padi tidak layak untuk

dilaksanakan.

Payback Period (PBP) Payback periode adalah waktu minimum untuk mengembalikan investasi awal dalam

bentuk aliran kas yang didasarkan atas total penerimaan dikurangi semua biaya (Erlina, 2006). Dengan kata lain, payback period merupakan ratio antara initial cash investment dengan cash flows-nya yang hasilnya merupakan satuan waktu. Nilai ini dibandingkan dengan maximum payback period yang dapat diterima. Model perhitungan payback period adalah sebagai berikut (Suratiyah, 2008):

PBP = NO

X 1 tahun

Page 24: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Amalia Nadifta Ulfa – Kelayakan Usaha Penggilingan Padi Menetap .............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

237

I = Besarnya investasi yang diperlukan A = Benefit bersih yang diperoleh setiap tahunnya

Dengan kriteria: 1. Bila PBP lebih pendek dari umur ekonomis usaha, maka usaha penggilingan padi layak

dijalankan. 2. Bila PBP lebih lama dari umur ekonomis usaha, maka usaha penggilingan padi tidak layak

dijalankan. 3. Bila PBP sama dengan umur ekonomi usaha, maka usaha penggilingan padi dalam keadaan

break event point.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengolahan beras di Kabupaten Sragen dimulai dari penggilingan padi kecil (PPK) yang

mengolah beras hingga menjadi beras pecah kulit. Kemudian beras diproses oleh penggilingan padi sedang atau besar (PPS atau PPB) dengan mesin polisher untuk memutihkan beras. Beras hasil pengolahan PPS atau PPB tersebut dikirimkan ke pedagang besar untuk kemudian dipasarkan ke pasar lokal ataupun pasar luar wilayah hingga sampai kepada konsumen akhir. Jika proses penggilingan melalui penggilingan padi keliling maka beras yang dihasilkan adalah beras putih yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari. Rata-rata konsumen yang menggunakan jasa penggilingan padi keliling adalah petani yang menyisihkan gabah dari hasil panen untuk konsumsi rumah tangga. Analisis Biaya, Pendapatan, dan Keuntungan

Analisis biaya, pendapatan, dan keuntungan dilakukan untuk melihat gambaran profitabilitas pada usaha penggilingan padi. Biaya tetap yang dikeluarkan terdiri atas empat komponen, yaitu: biaya penyusutan, biaya pemeliharaan, bunga investasi, serta pajak. Biaya penyusutan pada usaha penggilingan padi menetap adalah: penyusutan mesin penggilingan, diesel, lantai jemur, bangunan, gudang penyimpanan, alat angkut, serta timbangan. Biaya pemeliharaan merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha penggilingan padi menetap dalam melakukan pemeliharaan dan perbaikan alat investasi. Penerimaan dari usaha penggilingan padi menetap tidak hanya diperoleh dari penerimaan beras saja, tetapi ada beberapa komponen lain, seperti: penerimaan hasil samping (dedak/katul) serta penerimaan jasa giling. Rata-rata biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan usaha penggilingan padi menetap adalah sebagai berikut:

Page 25: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

238 JEPA, 3 (2), 2019: 233-243

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 2. Rata-rata Biaya Produksi, Penerimaan dan Keuntungan Usaha Penggilingan Padi Menetap di Kabupaten Sragen

Uraian Jumlah (Rp) Persentase thd Total Biaya (%)

Persentase thd Penerimaan (%)

BIAYA TETAP - Penyusutan 27.117.488 0,63 0,52 - Pemeliharaan 84.347.857 1,64 1,61 - Bunga Investasi 120.270.514 2,34 2,29 - Pajak 52.435.100 1,02 1,00

Total Biaya Tetap 284.170.959 5,53 5,42 BIAYA VARIABEL

- Bahan Baku 4.681.798.046 91,08 89,29 - Tenaga Kerja 133.560.000 2,60 2,55 - Bahan Bakar Mesin 37.331.733 0,73 0,71 - Bahan Penunjang 3.472.680 0,07 0,07

Total Biaya Variabel 4.856.162.459 94,47 92,61 TOTAL BIAYA (TC+VC) 4.967.627.805 100,00 98,03 PENERIMAAN Beras 5.018.933.333 95,72 Dedak/Katul 220.826.667 4,21 Jasa Giling 3.750.000 0,07 TOTAL PENERIMAAN 5.243.510.000 100,00 KEUNTUNGAN 103.176.581 1,97

Sumber: Analisis Data Primer, 2018 Berdasarkan Tabel 2 diatas, diketahui bahwa total biaya produksi pada usaha

penggilingan padi menetap sebesar Rp 4.967.627.805 pertahun. Total biaya tetap yang dikeluarkan oleh pengusaha penggilingan padi menetap adalah sebesar Rp 284.170.959 atau hanya sebesar 5,53% dari total biaya. Biaya yang paling banyak dikeluarkan oleh pengusaha penggilingan padi menetap adalah biaya variabel, terutama untuk pembelian bahan baku (gabah), yakni sebesar Rp 4.681.798.046 atau 91,08% dari biaya yang dikeluarkan. Komponen penerimaan terbesar dari usaha penggilingan padi menetap adalah dari penerimaan beras, yaitu sebesar Rp 5.018.933.333 atau sebesar 95,72% dari total komponen penerimaan. Selain itu, penerimaan dedak/katul sebagai hasil samping dengan total penerimaan sebesar Rp 220.826.667 (4,21%) dan penerimaan dari jasa giling sebesar Rp 3.75.000 (0,07%), sehingga diperoleh total penerimaan sebesar Rp 5.243.510.000.

Penerimaan dari jasa giling merupakan penerimaan yang terkecil pada usaha penggilingan padi menetap karena masyarakat memanfaatkan jasa giling dari penggilingan padi keliling. Penerimaan dedak/katul menyumbang proporsi yang cukup banyak bagi usaha penggilingan padi menetap. Jika tanpa perhitungan penerimaan dari dedak/katul, maka penerimaan keuntungan usaha penggilingan menjadi sangat kecil. Total penerimaan dedak/katul sebesar Rp 220.826.667, jika dilihat dengan angka keuntungan usaha sebesar Rp 103.176.581 maka dapat disimpulkan bahwa tanpa penerimaan dari dedak/katul maka usaha penggilingan padi menetap akan menghasilkan keuntungan yang relatif kecil atau bahkan minus sehingga

Page 26: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Amalia Nadifta Ulfa – Kelayakan Usaha Penggilingan Padi Menetap .............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

239

menurunkan penerimaan dari usaha penggilingan padi menetap. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Swastika dan Sumaryanto (2012) margin keuntungan dari penjualan beras di tingkat penggilingan padi sangat kecil, bahkan sering minus. Keuntungan terbesar diperoleh dari penjualan hasil sampingan berupa dedak dan menir.

Keuntungan usaha penggilingan padi menetap sebesar Rp 103.176.581 per tahun atau sebesar 1,97% dari total penerimaan. Hal tersebut karena sebagian besar penerimaan dari usaha penggilingan padi digunakan untuk pembelian bahan baku (gabah). Jika pengusaha penggilingan tidak melakukan pembelian gabah, maka mesin penggilingan akan bekerja dibawah kapasitas gilingmya karena kekurangan bahan baku. Distribusi panen yang tidak merata merupakan salah satu penyebab usaha penggilingan padi bekerja dibawah kapasitas. Penggilingan padi yang hanya mengandalkan hasil panen dari sekitar wilayahnya saja tidak akan mampu beroperasi secara penuh, waktu operasi optimalnya hanya sekitar 6 hingga 11 bulan saja, atau jika diprosentasekan sekitar 50-90% dari kapasitas terpasang.

Kapasitas giling rata-rata untuk penggilingan padi kecil di Kabupaten Sragen adalah sebesar 4,8 ton per hari atau sebesar 600 kg per jam. Diasumsikan bahwa jam operasional penggilingan padi sebesar 8 jam per hari dan kapasitas maksimum penggilingan padi kecil sebesar 700 kg per jam, maka kapasitas maksimum bagi penggilingan padi kecil adalah sebesar 5,6 ton per hari. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata penggilingan padi kecil di Kabupaten Sragen masih dapat meningkatkan kapasitas gilingnya sebesar 800 kg atau 14,3% per hari. Pada penggilingan padi keliling memiliki kapasitas terpasang sama seperti penggilingan padi kecil, yaitu sebesar 300-700 kg per jam. Rata-rata giling per hari pada penggilingan padi keliling hanya sebesar 393 kg per hari atau sekitar 50 kg per jam, hal ini berarti pada penggilingan padi keliling mengalami idle capacity sebesar kurang lebih 80% per hari. Fenomena ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Thahir (2012) bahwa sejak tahun 2003 diperkirakan hanya 40% unit penggilingan padi yang beroperasi dengan kapasitas penuh, sehingga banyak unit penggilingan padi yang bekerja dibawah kapasitas terpasang. Rata-rata biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan usaha penggilingan padi keliling adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Rata-rata Biaya Produksi, Penerimaan dan Keuntungan Usaha Penggilingan Padi

Keliling di Kabupaten Sragen

Uraian Jumlah (Rp) Persentase thd Total Biaya (%)

Persentase thd Penerimaan (%)

BIAYA TETAP - Penyusutan 2.774.366 7,72 6,56 - Pemeliharaan 782.000 2,17 1,85 - Bunga Investasi 3.910.000 10,87 9,25 - Pajak 422.873 1,18 1,00

Total Biaya Tetap 7.889.239 21,94 18,66 BIAYA VARIABEL

- Tenaga Kerja 16.800.000 46,72 39,73 - Bahan Bakar Mesin 11.266.623 31,33 26,64

Total Biaya Variabel 28.066.623 78,06 66,37

Page 27: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

240 JEPA, 3 (2), 2019: 233-243

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

TOTAL BIAYA (TC+VC) 35.955.862 100,00 85,03 PENERIMAAN Penerimaan Penggilingan 32.773.333 77,50 Penerimaan Katul 4.720.667 11,16 Penerimaan Lain 4.793.333 11,34 TOTAL PENERIMAAN 42.287.333 100,00 KEUNTUNGAN 6.331.471 14,97

Sumber: Analisis Data Primer, 2018 Berdasarkan Tabel 3 diatas dapat diketahui bahwa rata-rata biaya produksi, penerimaan,

dan keuntungan usaha penggilingan padi keliling dapat diketahui bahwa total biaya tetap pada penggilingan padi keliling adalah sebesar Rp 7.889.239 atau sebesar 21,94% dari komponen biaya yang dikeluarkan setiap tahunnya. Biaya variabel pada penggilingan padi keliling berbeda dengan penggilingan padi menetap yang lebih dari 90% komponennya terdiri dari biaya pembelian bahan baku, pada penggilingan padi keliling komponen utama biaya adalah pada biaya tenaga kerja operator, yaitu sebesar Rp 16.800.000 atau 46,72% dari total biaya. Hal ini sejalan dengan penelitian Indriani, et al (2013) yang menyatakan bahwa tenaga kerja merupakan komponen biaya tertinggi pada usaha penggilingan padi keliling.

Komponen penerimaan pada usaha penggilingan padi keliling meliputi: penerimaan jasa penggilingan yang diperoleh dari rata-rata gabah yang digiling dikalikan dengan ongkos giling, penerimaan katul, dan penerimaan lain yang diperoleh dari bagi hasil jasa penggilingan yang dioperatori oleh orang lain. Ongkos giling yang diberikan oleh penggilingan padi keliling menggunakan satuan karung, bukan kilogram. Rata-rata ongkos giling per karung adalah Rp 10.000 sampai Rp 15.000 untuk karung kecil (25 kilogram), dan sekitar Rp 20.000 sampai Rp 25.000 untuk karung besar (50 kilogram). Jika konsumen tidak mengambil dedak/katul sebagai hasil samping dari penggilingan padi, maka operator penggilingan padi keliling tidak membebankan ongkos giling kepada konsumen dan cukup dibayar dengan dedak/katul saja. Akan tetapi, beberapa operator penggilingan padi keliling masih membebankan ongkos giling sebesar maksimal Rp 5.000 jika dedak/katul yang dihasilkan terlalu sedikit atau tidak sebanding dengan ongkos gilingnya. Rata-rata penerimaan usaha penggilingan padi keliling dari penerimaan dedak/katul adalah sebesar Rp 4.720.667 (11,16%).

Penerimaan lain yang merupakan penerimaan dari bagi hasil jasa penggilingan adalah sebesar Rp 4.793.333 (11,34%), dan penerimaan utama dari jasa giling sebesar Rp 32.773.333 atau 77,50% dari total penerimaan, sehingga total penerimaan dari usaha penggilingan padi keliling adalah sebesar Rp 42.287.333 per tahun. Keuntungan usaha penggilingan padi keliling adalah sebesar Rp 6.331.471 per tahun atau kurang lebih 14,97% dari total penerimaan. Keuntungan dari usaha penggilingan padi keliling relatif kecil, hal ini dikarenakan pada usaha penggilingan padi keliling hanya dioperasikan selama setengah hari saja dan hanya sekitar 4-6 hari dalam seminggu. Pada penggilingan padi keliling memiliki kapasitas terpasang sama seperti penggilingan padi kecil, yaitu sebesar 300-700 kg per jam. Rata-rata giling per hari pada penggilingan padi keliling hanya sebesar 393 kg per hari atau sekitar 50 kg per jam, hal ini berarti pada penggilingan padi keliling mengalami idle capacity sebesar kurang lebih 80% per hari.

Page 28: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Amalia Nadifta Ulfa – Kelayakan Usaha Penggilingan Padi Menetap .............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

241

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013) yang mengatakan bahwa usaha penggilingan padi dengan tipe maklon hanya mampu melayani produksi maksimal 700 kg per hari, sedangkan kapasitas produksi mesin penggilingan padi yang digunakan dapat mencapai 1.500 kg per jam, sehingga mengalami idle capacity. Hal ini terjadi karena beberapa hal, seperti: terbatasnya jumlah pelanggan yang menggunakan jasa usaha penggilingan padi atau pelanggan yang menggunakan jasa penggilingan padi tersebut adalah skala rumah tangga sehingga jumlah gabah yang akan digiling tidak banyak. Analisis Kelayakan Usaha Penggilingan Padi

Beberapa indikator yang digunakan untuk melihat perbandingan kelayakan finansial usaha penggilingan padi menetap dengan usaha penggilingan padi keliling adalah: Net Present Value dari arus benefit dan cost (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C Ratio), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PBP). Berdasarkan beberapa indikator tersebut, maka hasil perhitungan analisis finansial usaha penggilingan padi disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 4. Analisis Finansial Kelayakan Rata-rata pada Usaha Penggilingan Padi Menetap dan Keliling di Kabupaten Sragen

Parameter Finansial

Penggilingan Padi Menetap Penggilingan Padi Keliling Nilai Ket. Nilai Ket.

NPV 621.937.416 Layak 23.580.694 Layak Net B/C Ratio 1,83 Layak 1,60 Layak IRR (%) 35,80 Layak 29,48 Layak PBP (th) 3 th 6 hari Layak 5 th 4 bln 3 hr Layak

Sumber: Analisis Data Primer, 2018 Berdasarkan tabel 4, analisis NPV (Net Present Value) merupakan metode penilaian

kelayakan investasi yang menyelaraskan nilai akan datang arus kas menjadi nilai sekarang menggunakan discount factor pada tingkat biaya modal tertentu yang diperhitungkan. Hasil analisis NPV dengan discount factor 16% diperoleh nilai NPV sebesar Rp 621.937.416 untuk penggilingan padi menetap dan sebesar Rp 23.580.694 untuk penggilingan padi keliling. Nilai NPV pada penggilingan padi menetap maupun keliling yang berniali positif atau lebih besar dari nol menunjukkan bahwa usaha penggilingan padi di Kabupaten Sragen layak untuk diusahakan.

Nilai net B/C Ratio merupakan perbandingan antara present value positif dengan present value negatif. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai net B/C ratio rata-rata selama 10 tahun adalah 1,83 untuk penggilingan padi menetap, dan 1,60 untuk penggilingan padi keliling. Nilai net B/C Ratio untuk penggilingan padi menetap dan keliling masing-masing lebih besar dari 1, artinya setiap Rp 1.000,- yang diinvestasikan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.830,- untuk penggilingan padi menetap dan Rp 1.600,- untuk penggilingan padi keliling. Berdasarkan kriteria net B/C Ratio ini, dapat disimpulkan bahwa usaha penggilingan padi di Kabupaten Sragen layak untuk dikembangkan.

Perhitungan kriteria investasi dengan IRR (Internal Rate of Return) menunjukkan tingkat pengembalian modal internal sewaktu nilai sekarang kas masuk sama dengan nilai sekarang pengeluaran investasi, atau sewaktu NPV = 0. Tingkat bunga yang digunakan adalah 16%, yang merupakan suku bunga rata-rata dari beberapa bank yang diakses oleh responden. Besaran nilai IRR rata-rata untuk penggilingan padi menetap adalah sebesar 35,80% dan untuk penggilingan

Page 29: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

242 JEPA, 3 (2), 2019: 233-243

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

padi keliling adalah sebesar 29,48%. Nilai IRR yang diperoleh tersebut lebih besar dari suku bunga bank (16%) sehingga usaha penggilingan padi di Kabupaten Sragen layak untuk dikembangkan.

PBP (Payback Periode) adalah masa arus kas neto dapat menutup kembali seluruh biaya atau biaya investasi. Apabila nilai NPV lebih besar atau sama dengan nol, maka payback period baru diperhitungkan. Hasil perhitungan menunjukkan nilai PBP adalah selama 3 tahun 6 hari untuk penggilingan padi menetap dan 5 tahun 4 bulan 3 hari untuk penggilingan padi keliling, hal tersebut menunjukkan bahwa usaha penggilingan padi dapat mengembalikan investasi kurang dari waktu berakhirnya proyek investasi, yaitu ketika umur usaha sudah mencapai 10 tahun. Berdasarkan kriteria PBP yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa usaha penggilingan padi di Kabupaten Sragen layak dikembangkan.

Perbandingan kriteria kelayakan finansial antara penggilingan padi menetap dan penggilingan padi keliling menunjukkan bahwa penggilingan padi menetap lebih layak untuk dikembangkan daripada penggilingan padi keliling. Rata-rata penggilingan padi keliling yang termasuk ke dalam kriteria tidak layak diusahakan adalah penggilingan padi yang hanya beroperasi setengah hari, atau hanya beroperasi efektif selama kurang dari sembilan bulan jika diakumulasikan dalam setahun. Selain itu, biasanya penggilingan hanya dioperasikan sendiri dan hanya menerima gabah dari sekitar saja (tidak keliling). Agar menjadi usaha yang layak, sebaiknya pengusaha penggilingan padi mengefektifkan kembali waktu dan wilayah operasional penggilingan padi keliling, atau jika sudah tidak dapat beroperasi secara penuh, sebaiknya beralih ke sektor lain dan tidak melanjutkan usaha penggilingan padi keliling.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan perhitungan kelayakan finansial dengan kriteria: NPV, Net B/C Ratio, IRR

dan PBP diperoleh hasil bahwa nilai untuk penggilingan padi tetap adalah NPV Rp 621.937.416; Net B/C Ratio 1,83; IRR 35,80%; PBP 3 tahun 6 hari. Sedangkan untuk penggilingan padi keliling adalah NPV Rp 23.580.694; Net B/C Ratio 1,60; IRR 29,48; PBP 5 tahun 4 bulan 3 hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha penggilingan padi layak untuk dikembangkan. Perbandingan kriteria kelayakan finansial antara penggilingan padi menetap dan penggilingan padi keliling menunjukkan bahwa penggilingan padi menetap lebih layak untuk dikembangkan daripada penggilingan padi keliling.

Saran

Saran dalam penelitian ini adalah adanya segmen pasar khusus untuk penggilingan padi menetap, yaitu bagi agroindustri perberasan sebagai lembaga pengolah awal. Sedangkan segmen pasar untuk penggilingan padi keliling adalah konsumen akhir yang memanfaatkan jasa giling. Adanya segmentasi ini memudahkan usaha penggilingan padi untuk memaksimalkan produksi pada masing-masing segmen, sehingga tidak terjadi persaingan pasar antara penggilingan padi menetap dan penggilingan padi keliling.

Page 30: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Amalia Nadifta Ulfa – Kelayakan Usaha Penggilingan Padi Menetap .............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

243

DAFTAR PUSTAKA

Andita, T., Kusnadi, N., & Rachmina, D. (2013). Kinerja Usaha Penggilingan Padi, Studi Kasus Pada Tiga Usaha Penggilingan Padi Di Cianjur, Jawa Bbarat. Jurnal Agribisnis Indonesia, 1(2), 143–154.

BPS. (2012). Direktori Perusahaan Industri Penggilingan Padi Provinsi Jawa Tengah.

BPS Provinsi Jawa Tengah. (2017). Provinsi Jawa Tengah dalam Angka Tahun 2017. Retrieved from https://jateng.bps.go.id/publication/2017/08/11/c7ba6078dd03a08a92893eb7/ provinsi-jawa-tengah-dalam-angka-2017.html

Erlina. (2006). Analisis Perancangan Agroindustri Berbasis Karet. Jurnal Bisnis Dan Manajemen, 3(1), 73–92.

Hardjosentono, M. (2000). Mesin-Mesin Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara.

Indriani, Negara, L., & Indra, K. (2013). Analisis Kelayakan Usaha Penggilingan Padi Mobile di Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Pantai Cermin. Journal of Agriculture and Agribusiness Socioeconomics, 2(7).

Kadariyah, L., Karina, & Gray, C. (1999). Pengantar Evaluasi Proyek (Edisi Revisi). Jakarta: Kerjasama Program Perencanaan Nasional Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEUI dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Kementerian Pertanian. (2016). Outlook Komoditas Pertanian Padi, 119. Retrieved from http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/download/file/308-outlook-padi-2016

Kusuma, P. T. W. ., Hidayat, D. ., & Indrianti, N. (2012). Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) Nata De Coco Di Sumedang, Jawa Barat. Jurnal Inovasi Dan Kewirausahaan, 1(2), 113–120.

Sawit, M. (2006). Indonesia dalam Tatanan Perubahan Perdagangan Beras Dunia. Majalah Pangan, (47), 1–8. Retrieved from http://pustaka.litbang.deptan.go.id/bppi/lengkap/bpp07001.pdf

Suratiyah. (2008). Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.

Swastika, D., & Sumaryanto. (2012). Rice Supply Chain in Indonesia: The Cases in Wst Java, West Kalimantan, and South Kalimantan Provinces. Bunga Rampai Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia, I, 11–43.

Thahir, R. (2010). Revitalisasi Penggilingan Padi Melalui Inovasi Penyosohan Mendukung Swasembada Beras dan Persaingan Global. Pengembangan Inovasi Pertanian, 3(3), 171–183. Retrieved from http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/ip033101.pdf

Tirta, P., Wening, W., Kartika, N., & Mayasti, I. (2014). Analisa Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha Produksi Komoditas Lokal: Mie Berbasis Jagung. Agritech, 34(2), 194–202.

Page 31: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 244-255

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.3

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PERKEMBANGAN USAHA AGROINDUSTRI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA PADACV PRIMA ROSANDRIES

DI DESA KEMIRI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER

THE ANALYSIS OF ADDED VALUE AND DEVELOPMENT OF COCONUT SHELL LIQUID SMOKE AGROINDUSTRY BUSINESS AT CV PRIMA ROSANDRIES IN

KEMIRI VILLAGE PANTI SUB DISTRICT JEMBER REGENCY

Subchan Dwi Arisandy1*, Jani Januar 2, Joni Murti Mulyo Aji 2 1Mahasiswa Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember

2Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

This research has a purpose to know: (1) the income from coconut shell agroindustry liquid business at CV Prima Rosandries in Jember Regency; (2) the amount of added value obtained from the process of coconut shells into liquid smoke; and (3) the development of liquid smoke industry (in terms of sales volume of liquid smoke. The determination of the research area was carried out by used purposive sampling method. The analysis tools used in this research were income analysis, added value with Hayami Method, and trends with least squares method (least square method). The results of the research showed that 1) Agroindustry’s business of coconut shell liquid smoke by CV Prima Rosandries provided benefits. 2) The liquid smoke of coconut shell produced by CV Prima Rosandries provided positive added value. 3) Agroindustry's business of coconut oil liquid smoke conducted by CV Prima Rosandries in terms of sales volume from January 2014 to February 2018 has increased.

Keywords: Coconut Shell, Income, Liquid Smoke, Trend, Value Added

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pendapatan usaha agroindustri asap cair tempurung kelapa pada CV Prima Rosandries di Kabupaten Jember. (2) besarnya nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan tempurung kelapa menjadi asap cair; dan (3) Perkembangan usaha asap cair (ditinjau dari volume penjualan asap cair). Penentuan daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan metode secara sengaja (purposive sampling). Alat analisis yang digunakan yaitu analisis pendapatan, nilai tambah dengan Metode Hayami, dan tren dengan metode kuadrat terkecil (least square method). Hasil penelitian menunjukkan: 1) Usaha Argoindustri asap cair tempurung kelapa yang dilakukan CV Prima Rosandries memberikan keuntungan. 2) Asap cair tempurung kelapa yang dihasilkan CV Prima Rosandries memberikan nilai tambah positif. 3) Usaha agroindustri asap cair tempurung kelapa yang dilakukan CV Prima Rosandries ditinjau dari volume penjualan sejak Bulan Januari 2014 hingga Februari 2018 mengalami peningkatan.

Kata kunci: Tempurung Kelapa, Pendapatan, Asap Cair, Tren, Nilai Tambah

Page 32: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Subchan Dwi Arisandy – Analisis Nilai Tambah Dan Perkembangan Usaha Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

245

PENDAHULUAN

Kelapa merupakan tumbuhan asli daerah tropis, yakni daerah yang terletak di sepanjang garis khatulistiwa. Di daerah-daerah tersebut, tanaman kelapa banyak tumbuh dan dibudidayakan oleh sebagian petani. Di wilayah Indonesia, tanaman kelapa dapat ditemukan hampir diseluruh provinsi, dari daerah pantai yang datar sampai ke daerah pegunungan yang tinggi. Tanaman kelapa sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia sehari-hari. Tidak hanya buahnya, tetapi seluruh bagian tanaman mulai dari akar, batang, sampai kepucuk tanaman dapat dimanfaatkan (Warisno, 2007).

Selama ini tananaman kelapa banyak ditanam oleh masyarakat hanya di pekarangan ataupun dilahan kosong sebagai peneduh saja, padahal manfaat yang dapat diperoleh dari membudidayakan tanaman kelapa sangat besar. Petani yang membudidayakan kelapa secara khusus dilahan masih jarang ditemui. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan peningkatan terhadap kegiatan-kegiatan industri pengolahan hasil kelapa sehingga dapat memberikan nilai tambah. Bagian pada tanaman kelapa yang paling banyak dimanfaatkan adalah buah. Buah kelapa dapat diolah menjadi kopra, minyak, tepung kelapa parut kering, aneka masakan, dan aneka kue. Namun pada pemanfaatan buah kelapa terdapat salah satu bagian yang dianggap kurang bisa digunakan yaitu tempurung kelapa.

Seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, mulai berkembang berbagai produk dari kelapa. Pemanfaatan pada tempurung kelapa salah satunya adalah pembuatan asap cair. Asap cair tersebut dihasilkan dari proses pembakaran pada tempurung kelapa dengan atau tanpa oksigen yang kemudian dikondensasikan sehingga menghasilkan cairan yang disebut asap cair. Manfaat dari asap cair diantaranya sebagai pengganti formalin, pengawet makanan (mie, bakso, tahu dan udang), pengeras karet, penyamakan kulit, pengawet kayu, anti rayap dan desinfektan. Produk dari asap cair tempurung telah dibuktikan mampu mengawetkan berbagai makanan seperti ikan, daging, mie dan mampu bertahan hingga 2 bulan (Umboh, 2013). Menurut Saparinto dkk (2010), bahwa keamanan bahan ini sudah mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Kanada. Di luar negeri, asap cair merupakan bahan pengawet GRAS (Generally Recognized As Safe) atau bahan tambahan pangan yang aman untuk dikonsumsi.

Asap cair dapat digunakan sebagai pengganti asam semut pada produksi sheet. Pemakaian asap cair pada produksi sheet (Ribbed Smoked Sheet) dapat menjaga mutu yang konsisten dan mengurangi pencemaran lingkungan dari asap pada proses pengasapan, karena selain bersifat asam asap cair juga mempunyai komponen- komponen sebagaimana asap. Hal lain yang lebih utama adalah pemanfaatan asap cair juga dapat menghilangkan bau pada proses pembuatan sheet (Darmadji dkk, 2001:72).

CV Prima Rosandries merupakan salah satu agroindustri yang mengolah tempurung kelapa menjadi asap cair yang terletak di Desa Kemiri Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Produk utama yang dihasilkan dari CV Prima Rosandries berupa asap cair tempurung kelapa grade 2 yang dijual curah dan kemasan. Produk tersebut dijual sebagai anti bakteri untuk menetralisir bau yang dihasilkan oleh kotoran ternak pada sektor peternakan. Hal tersebut sedikit berbeda dari umumnya dimana asap cair lebih banyak dikenal dan diperjual belikan sebagai pengawet makanan dan pengganti asam semut pada sektor perkebunan. Sedangkan proses untuk membuat asap cair sama dan membutuhkan biaya tinggi. CV Prima Rosandries sendiri tidak memperjual belikan asap cair grade 1 yang memiliki kualitas dan harga lebih tinggi yang digunakan sebagai pengawet makanan dikarenakan tidak memiliki konsumen asap cair dengan pemanfaatan tersebut. Sehingga perlu dikaji mengenai apakah usaha agroindustri asap cair yang dilakukan CV Prima Rosandries dapat memberikan keuntungan yang relevan. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui besaran nilai tambah dan perkembangan usaha yang dihasilkan dari

Page 33: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

246 JEPA, 3 (2), 2019: 244-255

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

mengolah tempurung kelapa menjadi asap cair pada CV Prima Rosandries di Kabupaten Jember. Produk yang memberikan nilai tambah belum tentu memiliki prospek untuk diusahakan di suatu daerah, sehingga dengan melihat perkembangan usaha asap cair tempurung kelapa yang dilakukan oleh CV Prima Rosandries dapat diketahui apakah usaha tersebut cocok dan prospek untuk di kembangkan di Kabupaten Jember.

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui: (1) pendapatan usaha agroindustri asap cair tempurung kelapa pada CV Prima Rosandries di Kabupaten Jember, (2) besarnya nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan tempurung kelapa menjadi asap cair pada CV Prima Rosandries di Kabupaten Jember, (3) perkembangan usaha asap cair (ditinjau dari volume penjualan asap cair) pada CV Prima Rosandries di Kabupaten Jember.

Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian, penelitian terdahulu yang digunakan diantaranya adalah Sari dan Damayanti (2008) pada penelitiannya dengan judul “Analisis Titik Impas (BEP) Virgin Coconut Oil pada Kub “Yevo Mulia” Desa Lalombi Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Donggala”, dapat diketahui bahwa mengolah kelapa menjadi VCO yang dilakukan oleh KUB Yevo Mulia memberikan keuntungan. Total biaya tetap yang harus dikeluarkan oleh KUB Yevo Mulia untuk memproduksi VCO adalah sebesar Rp 1.631.695 perbulan. Total biaya variabel yang dikeluarkan sebesar Rp 7.031.800 per bulan. Jumlah penerimaan dari produk VCO tersebut sebesar Rp 13.160.000 per bulan. Sehingga total pendapatan yang didapat oleh KUB Yevo Mulia berdasarkan pengurangan antara total biaya produksi dengan total penerimaan adalah sebesar Rp 6.128.200 per bulan.

Opiyanti, Yantu, dan Sisfahyuni (2013) pada penelitiannya yang berjudul “Analisis Nilai Tambah Serabut Kelapa Sebagai Bahan Baku Pembuatan Aneka Produk (Kasus PT. Sumber Utama Lesari Kecamatan Tanantovea Kabupaten donggala)” hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai tambah yang diperoleh untuk mengetahui produktivitas bahan baku yang dimanfaatkan untuk menghasilkan produk serabut kelapa. Nilai tambah per bahan baku serabut kelapa pada perusahaan di Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala yaitu sebesar Rp. 1.829/Kg, artinya untuk setiap satu kilogram bahan baku sabut kelapa yang digunakan dalam produksi dapat memberikan nilai tambah bahan baku sebesar Rp 1.829.

Menurut Turukay (2008) pada penelitiannya yang berjudul “Analisis Permintaan Ekspor Kopra Indonesia di Pasar Dunia” menunjukkan bahwa trend permintaan ekspor Kopra, menunjukkan trend positif yang berarti permintaan ekspor kopra selama 26 tahun cenderung mengalami peningkatan dari tahun ketahun dan kecenderungan peningkatannya relatif cepat. Untuk Trend Harga Ekspor terlihat menunjukkan trend negatif yang berarti harga ekspor kopra setiap tahun mengalami penurunan. Berdasarkan hasil proyeksi analisis trend untuk Tahun 2006-2010 didapat permintaan ekspor kopra Indonesia cenderung meningkat dari tahun ketahun, dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun 1,08%, Hal ini berarti permintaan ekspor mengalami peningkatan yang relatif kecil dari tahun ketahun Proyeksi harga ekspor kopra Indonesia untuk Tahun 2006-2010 cenderung menurun dari tahun ketahun, dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun 0,8%. Hal ini berarti harga ekspor cenderung menurun dari tahun ketahun, namun penurunannya tidak terlalu besar.

CV Prima Rosandries memiliki produk utama yaitu asap cair grade 2. Produk tersebut diperjual belikan sebagai anti bakteri untuk menghilangkan bau dan bakteri pada ternak. CV Prima Rosandries sendiri tidak memperjual belikan asap cair grade 1 yang memiliki kualitas dan harga lebih tinggi yang digunakan sebagai pengawet makanan dikarenakan tidak memiliki konsumen asap cair dengan pemanfaatan tersebut. Hal tersebut sedikit berbeda dari umumnya dimana asap cair banyak dikenal dan diperjualbelikan sebagai bahan pengawet makanan organik dan penggumpal latek pada perkebunan karet.

Page 34: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Subchan Dwi Arisandy – Analisis Nilai Tambah Dan Perkembangan Usaha Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

247

CV Prima Rosandries dalam menjalankan usahanya juga mengalami kendala pada bahan baku. Bahan baku yang didapatkan tidak selalu sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan untuk setiap kali proses produksi, sehingga kapasitas produksi dari alat yang dimiliki CV Prima Rosandries tidak terpenuhi. Berdasarkan permasalahan tersebut maka penting dikaji mengenai profitabilitas dan nilai tambah yang diberikan dalam mengusahakan asap cair.

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti dan penelitian terdahulu, menghasilkan hipotesis sebagai berikut: (1) Usaha agrindustri asap cair yang dilakukan CV Prima Rosandries memberikan keuntungan; (2) kegiatan pengolahan tempurung kelapa menjadi asap cair yang dilakukan oleh CV Prima Rosandries memberikan nilai tambah yang positif; (3) Perkembangan usaha agoindustri asap cair pada CV Prima Rosandries ditinjau dari volume penjualan mengalami peningkatan yang positif.

METODE PENELITIAN

Penentuan daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan metode disengaja (Purposive Method). Daerah yang dijadikan sebagai tempat penelitian adalah Kecamatan Panti Kabupaten Jember khususnya CV Prima Rosandries. Penetuan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa di Kabupaten Jember mempunyai tiga agroindustri asap cair, namun dari ketiga agroindustri tersebut hanya CV Prima Rosandries yang memproduksi secara rutin di Kabupaten Jember. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan analitik.

Pengambilan sampel untuk seluruh permasalahan dilakukan dengan teknik purposive sampling (pengambilan sampel dengan tujuan). Objek penelitian diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Peneliti menggunakan satu responden yaitu pemilik CV Prima Rosandries. Pemilihan tersebut didasarkan pertimbangan bahwa responden tersebut sangat mengerti dan memahami semua aktivitas yang dilakukan oleh CV Prima Rosandries, mulai dari produksi hingga penjualan dari asap cair tempurung yang kelapa dilakukannya. Pengumpulan data untuk memperoleh informasi terkait penelitian dilakukan dengan beberapa metode yaitu obeservasi, wawancara, serta studi dokumen.

Guna mencapai tujuan pertama dan sekaligus juga untuk menguji hipotesis pertama dalam penelitian ini akan dipergunakan alat analisis pendapatan. Analisis pendapatan diperoleh dengan menghitung selisih antara total penerimaan (TR) dengan total biaya usaha (TC).

Pd = TR - TC Dimana : Pd : Pendapatan usahatani TR : Total Penerimaan TC : Total Biaya

Guna mencapai tujuan kedua dipergunakan alat analisis nilai tambah dengan Metode Hayami. Analisis nilai tambah dalam proses pengolahan, nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan biaya bahan baku dan input lain, tidak termasuk tenaga kerja (Sudiyono, 2002).

Page 35: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

248 JEPA, 3 (2), 2019: 244-255

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 1. Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami No Analisis Nilai Tambah Satuan Perhitungan 1 Output (Kg/siklus produksi) (1) 2 Input Bahan Baku (Kg/siklus produksi) (2) 3 Input Tenaga Kerja (jam/siklus produksi) (3) 4 Faktor Konversi (4) = (1) / (2) 5 Koefisien Tenaga Kerja (jam/Kg) (5) = (3) / (2) 6 Harga Produk (Rp/Kg) (6) 7 Upah Tenaga Kerja (Rp/jam) (7)

Penerimaan dan Keuntungan per kilogram 8 Input bahan baku (Rp/Kg) (8) 9 Input Bahan lain (Rp/Kg) (9)

10 Nilai Produk (Rp/Kg) (10) = (4) * (6) 11 a.Nilai Tambah (Rp/Kg) (11a) = (10) – (8) – (9)

b. Rasio Nilai Tambah (%) (11b) = (11a) /(10)*100% 12 a. Pendapatan Tenaga

Kerja (Rp/Kg) (12a ) = (5) * (7)

b. Rasio Tenaga Kerja (%) (12b) = (12a)/(11a)*100%

13 a. Keuntungan (Rp/Kg) (13a) = (11a) – (12a) 14 b. Rasio Keuntungan (%) (13b) = (13a)/(10)*100%

Sumber: Hayami dkk, 1987. Guna mencapai tujuan ketiga dan sekaligus juga untuk menguji hipotesis ketiga dalam

penelitian ini akan dipergunakan alat analisis tren dengan menggunakan metode jumlah kuadrat terkecil (least square method). Metode kuadrat terkecil merupakan metode yang paling sering digunakan dalam menentukan persamaan tren yang terbaik dalam analisis data berkala, karena persamaan yang diperoleh dianggap akan menghasilkan ramalan dengan kesahalan kuadrat paling kecil (Algifari, 2013). Formulasi metode tersebebut sebagai berikut:

Y = a + bX

Konstanta a dan b dapat ditentukan dengan rumus:

a = ∑Y

n b = ∑XY

∑X2 Dimana : Y : Variabel yang diramalkan a : Konstanta b : Nilai koefisien tren n : Jumlah periode waktu X : Kode bulan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pendapatan Usaha Agroindustri Asap Cair Tempurung Kelapa pada CV Prima Rosandries

Page 36: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Subchan Dwi Arisandy – Analisis Nilai Tambah Dan Perkembangan Usaha Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

249

CV Prima Rosandries merupakan perusahaan perseorangan dimana seluruh biaya dan modal yang dikeluarkan dalam memproduksi asap cair sepenuhnya berasal dari dana pribadi pemilik dan tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun. Dalam menjalankan usahanya CV Prima Rosandries semata-mata hanya unutk mencari keuntungan dan memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Produksi asap cair dilakukan oleh CV Prima Rosandries secara rutin seminggu sekali. Hal tersebut dikarenakan dalam memproduksi asap cair dibutuhkan pembakaran pada tempurung kelapa yang dapat berlangsung hingga 3-4 hari. Rata-rata jumlah produksi yang dihasilkan dalam satu kali proses berkisar antara 400-600 liter asap cair dan 200-300 Kg arang. Arang merupakan side product yang di peroleh dari memproduksi asap cair, sehingga untuk mendapatkannya CV Prima Rosandries tidak membutuhkan biaya tambahan. Biaya-biaya yang digunakan dalam memproduksi asap cair merupakan biaya yang ditanggung oleh CV Prima Rosandries sendiri. Biaya yang dikeluarkan meliputi biaya tetap dan biaya variabel yang dijabarkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Biaya Tetap, Biaya Variabel, Total Biaya Produksi Usaha Asap Cair pada CV Prima Rosandries dalam Satu Kali Proses Produksi

No Uraian Nilai 1 Total Biaya Tetap (TFC) (Rp/produksi) 164.916,67 2 Total Biaya Variabel (TVC) (Rp/produksi) 2.216.307,69 3 Total Biaya (TC) (Rp/produksi) 2.381.224,36

Sumber: Data Primer diolah Tahun 2018 Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa total biaya tetap yang digunakan untuk

memproduksi asap cair adalah sebesar Rp 164.916,67/produksi. Biaya tetap yang dikeluarkan oleh CV Prima Rosandries meliputi biaya penyusutan alat-alat yang digunakan dalam proses produksi asap cair. Adapun alat-alat tersebut diantaranya adalah tanur pembakaran, unit pirolis, tandon penyimpanan, dan beberapa alat lainnya. Total biaya variabel (TVC) yang dikeluarkan oleh CV Prima Rosandries adalah sebesar Rp 2.216.307,69/produksi. Biaya variabel yang dikeluarkan meliputi biaya bahan baku, tenaga kerja, biaya kemasan. Sehingga dapat diketahui jumlah biaya yang dikeluarkan dalam satu kali proses produksi asap cair yang dikeluarkan oleh CV Prima Rosandries adalah sebesar Rp 2.381.224,36.

Keuntungan yang didapatkan oleh CV Prima Rosandries didapatkan dari pengurangan total penerimaan dalam sekali proses produksi asap cair dengan total biaya yang dikeluarkan dalam satu kali proses produksi. Penerimaan adalah perkalian antara jumlah produksi baik asap cair (primary product) maupun arang (side product) dengan harga jual per satuan produk. Adapun penerimaan dari memproduksi asap cair yang dilakukan oleh CV Prima Rosandries dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Produk, Harga Jual, dan Penerimaan pada CV Prima Rosandries

No Produk Jumlah Harga (Rp) Penerimaan (Rp/produksi) 1 Asap cair curah 336 8.000 2.688.000 2 Asap cair kemasan 144 16.750 2.412.000 3 Arang 240 5.000 1.200.000 Total

6.300.000

Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2018

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa produk asap cair yang diproduksi oleh CV Prima Rosandries tidak semuanya dikemas karena perusahaan belum mampu untuk menjual keseluruhan dalam bentuk kemasan. CV Prima Rosandries lebih banyak menjual asap cair dalam bentuk curah karena konsumen dari asap cair curah lebih besar. Produksi asap cair yang

Page 37: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

250 JEPA, 3 (2), 2019: 244-255

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

dihasilkan oleh CV Prima Rosandries dalam satu kali proses produksi adalah 480 liter, dimana sebanyak 336 liter dijual curah sedangkan 144 liter dijual dalam bentuk kemasan. Harga jual yang diberikan oleh CV Prima Rosandries sebesar Rp 8.000/liter asap cair curah dan Rp 16.750/liter asap cair kemasan. Selain itu dalam memproduksi asap cair terdapat side product berupa arang yang merupakan produk sisa dari proses pembakaran tempurung kelapa. Arang tersebut juga dapat dijual dan memberikan pemasukan yang berarti pada CV Prima Rosandries. Harga arang (side product) yang diberikan oleh CV Prima Rosandries adalah Rp 5.000/Kg dimana dalam satu kali produksi menghasilkan 240 Kg arang. Adanya jumlah produksi dan harga jual, maka dapat diketahui penerimaan yang diperoleh CV Prima Rosandries dalam satu kali proses produksi dari menjual asap cair adalah sebesar Rp 5.100.000 dan Rp 1.200.000 dari menjual arang, sehingga total penerimaan yang didapat adalah sebesar Rp 6.300.000.

Penerimaan tersebut merupakan pendapatan kotor yang diperoleh CV Prima Rosandries dalam satu kali proses produksi asap cair. Pendapatan kotor tersebut masih belum dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh CV Prima Rosandries dalam memproduksi asap cair. Keuntungan yang diperoleh CV Prima Rosandries dapat diketahui melalui pengurangan antara penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi asap cair tempurung kelapa.

Tabel 4 Perhitungan Pendapatan Asap Cair Tempurung Kelapa CV Prima Rosandries dalam Satu Kali Produksi

No Uraian Nilai 1 Total Penerimaan (TR) (Rp/produksi) 6.300.000 2 Total Biaya (TC) (Rp/produksi) 2.381.224,36 3 Pendapatan (Pd) (Rp/produksi) 3.918.775,64

Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2018

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui pendapatan yang diperoleh CV Prima Rosandries adalah sebesar Rp 3.918.775,64/produksi. Perhitungan pendapatan diperoleh dari hasil pengurangan total penerimaan (TR) yang diperoleh CV Prima Rosandries dengan total biaya yang dikeluarkan pada setiap proses produksi. Konsumen terbesar dari asap cair curah merupakan konsumen yang akan menjualnya lagi dengan memberi label sendiri. Konsumen dari asap cair kemasan mayoritas adalah konsumen tingkat akhir yang memiliki peternakan dimana produk tersebut digunakan untuk menetralisir bakteri yang dihasilakan oleh kotoran ternak sehingga dapat menghilangkan aroma tidak sedap pada kandang ternak.

Asap cair yang diproduksi CV Prima Rosandries lebih mengutamakan kualitas asap cair yang dihasilkan. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kepuasan konsumennya agar tetap setia pada CV Prima Rosandries. Pendapatan CV Prima Rosandries dapat dikatakan menguntungkan, karena berdasarkan hasil perhitungan pada data yang didapat dari lapang nilai total penerimaan lebih besar daripada total pengeluaran. Hal tersebut membuktikan bahwa hipotesis pada perumusan masalah pertama tentang pendapatan mengusahakan asap cair adalah menguntungkan dapat diterima.

Nilai Tambah Usaha Agroindustri Asap Cair pada Tempurung Kelapa pada CV Prima Rosandries 1. Nilai Tambah Asap Cair Curah

Produksi asap cair tempurung kelapa yang dilakukan CV Prima Rosandries menghasilkan primary product berupa asap cair dan juga arang sebagai side product dalam satu

Page 38: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Subchan Dwi Arisandy – Analisis Nilai Tambah Dan Perkembangan Usaha Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

251

kali proses produksi. Arang diperoleh dari sisa pembakaran tempurung kelapa pada proses produksi asap cair, dan untuk mendapatkannya tidak ada biya tambahan yang dikeluarkan. Perhitungan nilai tambah asap cair tempurung kelapa pada CV Prima Rosandries dilakukan setiap satu kali proses produksi. Output asap cair yang dihasilkan pada setiap proses produksi dijual dalam bentuk curah dan bentuk kemasan dengan harga yang berbeda, sedangkan untuk arang dijual per kilogram. Adapun perhitungan tentang nilai tambah asap cair curah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai Tambah Usaha Asap Cair Curah pada CV Prima Rosandries No Variabel Satuan Nilai 1 Volume penjualan

a. Primary product (Asap cair) Liter 336 b. Side product (Arang) Kg 168

2 Input bahan baku Kg 672 3 Input tenaga kerja HOK 8 4 Faktor konversi

a. Primary product (Asap cair)

0,5 b. Side product (arang)

0,25

5 Koefisien tenaga kerja HOK/liter 0,01 6 Harga output

a. Primary product (Asap cair) Rp/liter 8000 b. Side product (Arang) Rp/Kg 5000

7 Upah tenaga kerja Rp/HOK 57692,31 Penerimaan dan Keuntungan per Kilogram

8 Harga bahan baku Rp/Kg 1100 9 Harga input bahan lain Rp/Kg 1345,41 10 Nilai output

a. Primary product (Asap cair) Rp/liter 4000 b. Side product (Arang) Rp/Kg 1250 c. Keseluruhan

5250

11 a. Nilai tambah

i. Primary product (asap cair) Rp/liter 2804,59 ii. Side product (arang) Rp/Kg 1250 iii. Keseluruhan Rp 4054,59 b. Rasio nilai tambah

i. Primary product (asap cair) % 53,42 ii. Side product (arang) % 23,81 iii. Keseluruhan % 77,23

12 a. Pendapatan tenaga kerja Rp/liter 686,81 b. Rasio tenaga kerja % 16,94

13 a. Keuntungan Rp/liter 3367,78 b. Rasio keuntungan % 64,15

Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2018

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa dengan mengolah 1 Kg tempurung kelapa akan menghasilkan asap cair sebanyak 0,5 liter dan arang sebesar 0,25 Kg. Penggunaan bahan baku sebanyak 672 Kg dengan faktor konversi masing-masing 0,5 asap cair dan 0,25 arang, maka output yang dihasilkan dalam satu kali proses produksi adalah 336 liter asap cair dan 168 Kg arang. Input tenaga kerja yang digunakan setiap proses produksi asap cair pada CV Prima

Page 39: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

252 JEPA, 3 (2), 2019: 244-255

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Rosandries sebanyak 2 orang dan lama waktu yang digunakan untuk satu kali proses produksi 4 hari, sehingga dapat diketahui input tenaga kerja yang digunakan setiap satu kali proses produksi asap cair sebanyak 8 HOK. Koefisien tenaga kerja pada proses produksi asap cair CV Prima Rosandries sebesar 0,01 yang artinya kebutuhan input tenaga kerja setiap 1 Kg tempurung kelapa menjadi asap cair adalah sebesar 0,01 HOK/liter. Upah tenaga kerja pada proses produksi asap cair tersebut yaitu Rp 57692,31/HOK. Harga input bahan baku yang digunakan dalam mengolah tempurung kelapa menjadi asap cair adalah Rp 1.100 per kilogram. Proses pengolahan yang dilakukan pada tempurung kelapa menghasilkan sebuah output yang memiliki harga jual lebih tinggi yaitu sebesar Rp 8.000/ liter asap cair yang dijual curah dan Rp 5.000/Kg arang. Biaya yang digunakan untuk menunjang proses produksi asap cair sebesar Rp 1.345,41/Kg bahan baku. Proses pengolahan tempurung kelapa menjadi asap cair memberikan nilai tambah keseluruhan yaitu sebesar Rp 4.054,59/Kg artinya setiap pengolahan 1 kilogram tempurung kelapa menjadi asap cair dan arang dapat memberikan nilai tambah sebesar Rp 4.054,59. Keuntungan yang diperoleh CV Prima Rosandries sebesar Rp 3.367,78 dengan tingkat keuntungan sebesar 64,15% yang artinya setiap pengolahan 1 kilogram tempurung kelapa menjadi asap cair, perusahaan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 3.367,78.

2. Nilai Tambah Asap Cair Kemasan CV Prima Rosandries menjual asap cair dalam bentuk curah dan kemasan. Harga yang

ditetapkan dalam penjualan tersebut juga berbeda karena pada asap cair kemasan terdapat penambahan perlakuan berupa pengemasan sehingga membutuhkan biaya untuk kemasan asap cair tersebut. CV Prima Rosandries tidak melaukan pengemasan pada semua produk asap cair karena kemampuan dalam menjual asap cair kemasan belum bisa secara keseluruhan dari total produksinya. Adapun perhitungan tentang nilai tambah pada asap cair kemasan CV Prima Rosandries disajikan pada Tabel 6.

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa harga output pada asap cair kemasan adalah sebesar Rp 16.750/liter, sedangkan biaya yang digunakan untuk menunjang proses produksi asap cair kemasan berupa kemasan dan label adalah Rp 1.625/Kg bahan baku. Perbedaan harga jual dari mengemas asap cair tersebut menyebabkan nilai output menjadi lebih tinggi yaitu Rp 8.375. Setiap pengolahan 1 kilogram tempurung kelapa menjadi asap cair kemasan dan arang dapat memberikan nilai tambah sebesar Rp 6.900. Rasio nilai tambah yang terjadi pada proses pengolahan tempurung kelapa menjadi asap cair secara keseluruhan sebesar 71,69%. Pendapatan tenaga kerja yang didapat dari setiap kilogram tempurung kelapa yang diolah menjadi asap cair kemasan ini sebesar Rp 801,28. Keuntungan yang diperoleh CV Prima Rosandries sebesar Rp 6.098,72 dengan tingkat keuntungan sebesar 63,36% yang artinya setiap pengolahan 1 kilogram tempurung kelapa menjadi asap cair kemasan, perusahaan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 6.098,72. Rasio keuntungan sebesar 63,36% menunjukan persentase keuntungan yang didapatkan dari pertambahan nilai pengolahan tempurung kelapa menjadi asap cair kemasan. Berdasarkan perhitungan analisis nilai tambah yang dilakukan pada pengolahan tempurung kelapa menjadi asap cair kemasan memiliki nilai tambah bernilai positif yaitu sebesar Rp 6.098,72. Tabel 6. Nilai Tambah Usaha Asap Cair Kemasan pada CV Prima Rosandries

No Analisis Nilai Tambah Satuan Nilai 1 Volume penjualan

a. Primary product (Asap cair) (liter) Liter 144 b. Side product (Arang) (Kg) Kg 72

2 Input bahan baku (Kg/produksi) Kg 288 3 Input tenaga kerja (HOK) HOK 4

Page 40: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Subchan Dwi Arisandy – Analisis Nilai Tambah Dan Perkembangan Usaha Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

253

4 Faktor konversi

a. Primary product (Asap cair) (liter)

0,5

b. Side product (arang)

0,25 5 Koefisien tenaga kerja (HOK/l) HOK/liter 0,01 6 Harga output (Rp/l)

a. Primary product (Asap cair) (liter) Rp/liter 16750 b. Side product (Arang) (Kg) RP/Kg 5000

7 Upah tenaga kerja (Rp/HOK) Rp/HOK 57692,31 Penerimaan dan Keuntungan per Kilogram

8 Harga bahan baku (Rp/Kg) Rp/Kg 1100 9 Harga input bahan lain (Rp/Kg)

a. Kemasan Rp/Kg 1500 b. Label Rp/Kg 125 c. Total input bahan lain RP/Kg 1625

10 Nilai output (Rp/l)

a. Primary product (Asap cair) (liter) Rp/liter 8375 b. Side product (Arang) (Kg) Rp/Kg 1250 c. Keseluruhan Rp 9625

11 a. Nilai tambah (Rp/l)

i. Primary product (asap cair) (liter) Rp/liter 5650 ii. Side product (arang) (Kg) Rp/Kg 1250 iii. Keseluruhan Rp 6900 b. Rasio nilai tambah (%)

i. Primary product (asap cair) (liter) % 58,70 ii. Side product (arang) (Kg) % 12,99 iii. Keseluruhan % 71,69

12 a. Pendapatan tenaga kerja (Rp/l) Rp/liter 801,28 b. Rasio tenaga kerja (%) % 11,61

13 a. Keuntungan (Rp/l) Rp/liter 6098,72 b. Rasio keuntungan (%) % 63,36

Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2018 Perkembangan Usaha Agoindustri Asap Cair Tempurung Kelapa pada CV Prima Rosandries

Berdasarkan data volume penjualan asap cair CV Prima Rosandries Bulan Januari 2014 hingga Februari 2018, volume penjualan asap cair terendah yang mampu dihasilkan oleh CV Prima Rosandries yaitu pada Bulan Agustus 2015 dengan volume penjualan hanya sebesar 770 liter.Volume penjualan asap cair teringgi yang mampu dicapai CV Prima Rosandries dalam rentang waktu tersebut yaitu pada Bulan Januari 2014 dengan volume penjualan sebesar 2630 liter. Volume penjualan asap cair pada Tahun 2015 merupakan volume penjualan paling rendah dibandingkan dengan volume penjualan tahun-tahun lainnya. Volume penjualan yang mampu dicapai pada Tahun 2015 hanya sebesar 11.480 liter asap cairVolume penjualan asap cair tertinggi yaitu pada Tahun 2017, hal itu dapat dibuktikan dengan total volume penjualan asap cair sejak Bulan Januari hingga Bulan Desember telah mencapai 22720 liter.

Volume penjualan asap cair setiap bulan mengalami fluktuasi, namun secara keseluruhan volume penjualan asap cair CV Prima Rosandries dari Tahun 2015 hinnga saat ini cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan atau penurunan volume penjualan asap cair CV Prima Rosandries sejak Bulan Januari 2014 hingga Februari 2018 dapat diketahui berdasarkan

Page 41: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

254 JEPA, 3 (2), 2019: 244-255

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

garis trennya dan secara grafis, perkembangan produksi asap cair yang mampu dicapai oleh CV Prima Rosandries sejak Bulan Januari 2014 hingga Februari 2018 disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa perkembangan volume penjualan asap cair CV Prima Rosandries sejak Bulan Januari 2014 hingga Februari 2018 cenderung meningkat dan tren volume penjualan asap cairnya memiliki arah yang positif, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa perkembangan usaha asap cair yang dilakukan oleh CV Prima Rosandries di Kabupaten Jember ditinjau dari volume penjualannya cenderung meningkat dapat diterima.

Persamaan yang dihasilakan dari analisis dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square method) untuk menentukan nilai a dan b pada persamaan tren berdasarkan data riil volume penjualan asap cair CV Prima Rosandries sejak Bulan Januari 2014 hingga Februari 2018 disajikan dalam persamaan berikut:

Y=1.549,70+2,57X

Nilai konstanta sebesar 1.549,70 menunjukan bahwa rata-rata volume penjualan asap cair tempurung kelapa yang mampu dihasilkan oleh CV Prima Rosandries selama rentang waktu 50 bulan yaitu sejak Bulan Januari 2014 hingga Februari 2018 sebesar 1.549,70 liter, sedangkan nilai koefisien sebesar +2,57 menunjukan bahwa peningkatan volume penjualan asap cair tempurung kelapa CV Prima rosandries dapat terjadi sebesar 2,57 liter setiap bulannya dan melaju dengan arah yang positif. Menggunakan persamaan tersebut juga dapat diketahui tren volume penjualan asap cair pada bulan-bulan selanjutnya dengan asumsi kondisi yang tetap, khususnya Bulan Maret hingga Bulan Desember 2018 dengan menggunakan data time series dengan jumlah data genap. Tren volume penjualan asap cair CV Prima Rosandries pada Bulan Maret hingga Desember 2018 mengalami peningkatan dengan rata-rata volume penjualan sebesar 1.703,65 liter.

Gambar 1 Perkembangan Volume Penjualan Asap Cair CV Prima Rosandries Sejak Bulan Januari 2014 Hingga Bulan Februari 2018 serta Tren Volume Penjualan Asap Cair Sejak Bulan Maret 2018 Hingga Desember 2018.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Usaha agroindustri asap cair tempurung kelapa yang dilakukan oleh CV Prima Rosandries

memberikan keuntungan sebesar Rp 3.918.775,64 dalam satu kali proses produksi.

Page 42: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Subchan Dwi Arisandy – Analisis Nilai Tambah Dan Perkembangan Usaha Agroindustri ...............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

255

2. Asap cair tempurung kelapa yang dihasilkan CV Prima Rosandries memberikan nilai tambah yang positif. Nilai tambah tersebut sebesar Rp 4.054,59 untuk asap cair curah dan Rp 6.900 asap cair dalam bentuk kemasan.

3. Usaha agroindustri asap cair tempurung kelapa yang dilakukan CV Prima Rosandries jika ditinjau dari volume penjualan sejak Bulan Januari 2014 hingga Februari 2018 mengalami peningkatan.

Saran 1. CV Prima Rosandries sebaiknya mengembangkan pasar misalnya dengan menjangkau

sektor perkebunan karet khususnya di Kabupaten Jember yang memiliki perkebunan karet cukup luas, mengingat asap cair memiliki manfaat baik terhadap hasil produksi sheet.

2. CV Prima Rosandries sebaiknya mengoptimalkan persediaan bahan baku dengan cara mencari peluang kemitraan dengan pemasok bahan (supplier) baku atau para pelaku usaha kelapa lain. Hal tersebut dapat mempengaruhi produksi yang berujung pada jumlah produk yang dapat dijual oleh CV Prima Rosandries.

3. Peneliti lain mengkaji lebih dalam mengenai persediaan bahan baku dan sistem pemasaran usaha asap cair yang dilakukan oleh CV Prima Rosandries karena ruang lingkup pemasaran asap cair yang masih terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

Algifari. 2013. Statistika Deskripsi Plus untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: Sekolah

Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Darmadji, P., Pranoto, Y., dan Suhardi. 2001. Optimasi Sifat Perpanjangan Putus dan PRI

(Plasticity Retention Index) dalam Produksi Karet Sheet dengan Koagulan Asap Cair. Agrosains, 14(1):71-82.

Hayami, Y., T Kawagoe., Morooka, Y., dan Siregar, M. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java A Perspective From A Sunda Village. Bogor: CGPRT Center.

Opiyanti, Yantu, M. R., dan Sisfahyuni. 2013. Analisis Nilai Tambah Serabut Kelapa Sebagai Bahan Baku Pembuatan Aneka Produk (Kasus PT. Sumber Utama Lesari Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala). J.Agroland, 20(2): 138-145.

Saparinto C., dan Hidayati, D. 2010. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Sari, N dan Damayanti, L. 2008. Analisis Titik Impas (Bep) Virgin Coconut Oil Pada Kub “Yevo

Mulia” Desa Lalombi Kecamatan Banawa Selatankabupaten Donggala. Agroland, 15(2):129-134.

Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Turukay, Martha. 2008. Analisis Permintaan Ekspor Kopra Indonesia di Pasar Dunia.

Agroforestri, 3(2): 133-140. Umboh, D. R. W., dan Wanto. 2013. Pemanfaatan dan Pemasaran Biobriket dan Asap Cair

Tempurung Kelapa. Bandung. Warisno. 2007. Budidaya Kelapa Genjah. Yogyakarta: Kanisius

Page 43: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 256-266

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.4

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GULA MERAH DI KABUPATEN MADIUN

ADDED VALUE ANALYSIS AND AGROINDUSTRY DEVELOPMENT STRATEGY

BROWN SUGAR IN MADIUN DISTRICT

Yoesti Silvana Arianti1*, Lestari Rahayu Waluyati2 1*Mahasiswa Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada

2Staff Pengajar, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the added value produced by the home sugar industry and to find out the internal factors and external factors that influence the business and to develop a strategy that is suitable with the conditions of home sugar indutry in Kebonsari District, Madiun Regency in developing its business so that it can contribute towards improving the welfare of the surrounding community. The analytical method used is the Hayami method to analyze added value and the SWOT method for developing strategies. Based on the research, it was found that there were 13 units of brown sugar business that developed in the District of Kebonsari, Madiun Regency. This agro-industry is classified as a labor-intensive business that is expected to be able to absorb the workforce around. The results of value added analysis show that sugar cane processing into brown sugar produces Rp. 1,051 per kg of sugar cane or a ratio of 58.28%. Profits obtained amounted to Rp. 546.00 or with a profit rate of 51.94%. Based on the added value and benefits obtained, the brown sugar agro-industry deserves to be developed because it provides benefits for the craftsmen. Based on internal and external factors, the strategy that is considered feasible to be applied to the sugar industry based agro-industry in the home industry in Kebonsari District is a concentration strategy through horizontal integration. This strategy aims to expand the business by increasing the amount of production and expanding the market by means of promotion.

Keywords: Added Value, Home Industry, Madiun, Strategy Development

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai tambah yang dihasilkan home industry gula merah dan untuk mengetahui faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi usaha tersebut serta menyusun suatu strategi yang sesuai dengan kondisi home indutry gula merah di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun dalam mengembangkan usahanya sehingga dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. Metode analisis yang digunakan adalah metode Hayami untuk menganalisis nilai tambah dan metode SWOT untuk menyusun strategi. Berdasarkan penelitian didapatkan hasil bahwa ada 13 unit usaha gula merah yang berkembang di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun. Agroindustri ini tergolong usaha yang padat karya sehingga diharapkan mampu menyerap tenaga kerja sekitar. Hasil

Page 44: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Yoesti Silvana Arianti – Analisis Nilai Tambah Dan Strategi Pengembangan Agroindustri ..............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

257

analisis nilai tambah menunjukkan bahwa olahan tebu menjadi gula merah menghasilkan Rp 1.051 per kg tebu atau dengan rasio 58,28%. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 546,00 atau dengan tingkat keuntungan 51,94%. Berdasarkan nilai tambah dan keuntungan yang diperoleh maka agroindustri gula merah layak untuk dikembangkan karena memberikan keuntungan bagi pengrajin tersebut. Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut strategi yang dianggap layak untuk diterapkan pada agroindustri gula merah berbasis home industry di Kecamatan Kebonsari adalah strategi konsentrasi melalui integrasi horizontal. Strategi ini bertujuan memperluas usaha dengan cara meningkatkan jumlah produksi dan memperluas pasar dengan cara promosi.

Kata kunci: Nilai Tambah, Industri Rumah Tangga, Madiun, Strategi Pengembangan

PENDAHULUAN

Tebu merupakan komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Tanaman tebu yang

dikembangkan di Jawa Timur merupakan terbesar di Indonesia, dengan luas areal tanam tebu sebesar 43,29% dan merupakan penghasil gula terbesar dengan melibatkan 50% pabrik gula ada di Jawa Timur. Namun, beberapa tahun terakhir beberapa pabrik gula telah tutup dan pabrik-pabrik gula yang masih buka memberikan syarat yang mulai sulit dipenuhi oleh petani. Hal tersebutlah yang mendasari beberapa pengrajin di Kabupaten Madiun untuk mendirikan home industry gula merah berbahan baku tebu. Agroindustri ini sudah ada sejak lama dan telah dikembangkan oleh masyarakat secara turun temurun.

Agroindustri mempunyai peranan penting karena mampu menghasilkan nilai tambah dari produk segar hasil pertanian. Agroindustri di perdesaan yang berskala usaha kecil dan menengah serta industri rumah tangga, memiliki potensi, kedudukan, dan peranan yang cukup strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian yang mampu memberikan pelayanan ekonomi, melaksanakan pemerataan, dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan stabilitas ekonomi. Hal ini berdasarkan pada saat keadaan krisis yang berkepanjangan, usaha kecil tetap mampu bertahan. Pengembangan dan pembinaan yang berkesinambungan diperlukan guna meningkatkan kemajuan pada industri tersebut agar mampu mandiri menjadi usaha yang tangguh dan juga memiliki keunggulan di dalam memberikan kepuasan konsumen serta dapat menciptakan peluang pasar yang lebih besar (Khoiriyah, et al, 2012).

Industri gula merah berbahan baku tebu di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun merupakan salah satu industri berbasis rumah tangga yang memiliki potensi untuk dikembangkan, karena permintaan gula merah yang mengalami tren meningkat akibat kesadaran masyarakat akan tren gaya hidup sehat, usaha yang turun temurun sehingga terbukti mampu bertahan di tengah kondisi krisis, membuka lapangan pekerjaan dengan memberdayakan masyarakat sekitar, dan memberikan tambahan keuntungan bagi pelaku usaha dengan adanya nilai tambah yang dihasilkan. Pengertian nilai tambah yaitu penambahan nilai yang terdapat pada suatu produk setelah mengalami pengolahan lebih lanjut yang menghasilkan nilai lebih tinggi daripada sebelum mengalami pengolahan. Tujuan dari analisis nilai tambah adalah untuk melihat seberapa besar nilai tambah yang terdapat pada satu kilogram produk pertanian yang diolah menjadi produk olahan. Keuntungan yang diperoleh pengrajin dari nilai tambah adalah keuntungan dari satu kilogram bahan baku yang diolah setelah dikurangi total biaya yang dikeluarkan pengusaha dalam satu kali proses produksi (Soejono, 2011). Nilai tambah dari agroindustri gula merah di Kabupaten Madiun dianalisis dengan metode Hayami.

Page 45: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

258 JEPA, 3 (2), 2019: 256-266

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Pengembangan agroindustri gula merah berskala industri kecil dan rumah tangga dalam menghadapi pasar regional dan global didasari pada upaya yang keras dan terus menerus dalam menjadikan usaha tersebut menjadi tangguh. Oleh karena itu, produk yang dihasilkan industri kecil dan rumah tangg sekurang-kurangnya mempunyai keunggulan komparatif, bahkan sangat diharapkan mempunyai keunggulan kompetitif. Strategi pengembangan usaha kecil dan rumah tangga berdasarkan atas kekuatan dan tantangannya, sehingga harus ditopang secara kuat terutama oleh adanya akses ke sumber dana, pasar, sumber bahan baku, teknologi dan informasi serta manajemen (Retnaningsih, 2010). Perkembangan agroindustri gula merah memerlukan strategi-strategi yang disusun dengan memperhatikan lingkungan internal dan eksternal dari usaha tersebut. Analisis SWOT yang merupakan akronim dari Strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunity (Peluang), Threats (Ancaman), digunakan untuk menganalisis prospek pengembangan suatu usaha. Faktor internal suatu usaha meliputi kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternalnya berupa peluang dan ancaman (Siregar, et al, 2014).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai tambah yang dihasilkan home industry gula merah dan untuk mengetahui faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi usaha tersebut serta menyusun suatu strategi yang sesuai dengan kondisi home indutry gula merah di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun dalam mengembangkan usahanya.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ini adalah metode deskriptif dan analitis. Metode deskriptif adalah suatu metode untuk membuat gambaran secaara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat fenomena yang diselidiki untuk mendapatkan kebenaran menerangkan hubungan dan menguji hipotesis sehingga memperoleh makna. Metode analisis adalah untuk menguji hipotesis-hipotesis dan mengadakan interpretasi yang lebih dalam (Sulistiowati et al, 2017).

Penentuan daerah penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) yaitu di Kecamatan Kebonsari, dengan alasan karena merupakan sentra produksi gula merah di Kabupaten Madiun. Pengambilan responden dilakukan dengan metode sensus (sampling jenuh), yaitu dengan melibatkan semua anggota populasi sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasinya relatif kecil, kurang dari 30 orang. Sampel jenuh juga sering diartikan sampel yang sudah maksimum, ditambah berapapun tidak akan mengubah keterwakilan (Fatria, et al, 2017). Jumlah responden yang diambil adalah 13 pengrajin gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari.

Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua sumber yaitu: a) Data primer yang merupakan data proyek penelitian pengembangan investasi pertanian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Madiun yang dilakukan oleh Fakultas Pertanian UGM. Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung dari pengusaha gula merah tebu dan tenaga kerjanya serta pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) yang sudah disiapkan sebelumnya; b) Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi yang terkait dan berbagai media cetak dan media online beserta dari berbagai buku dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.

Tujuan penelitian yang pertama mengenai analisis nilai tambah home industry gula merah berbahan baku tebu di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun dalam satu kali produksi dapat dianalisis dengan metode Hayami (Hasanah, et al 2015). Besarnya nilai tambah yang diperoleh dapat menunjukkan pengembangan agroindustri gula merah tebu memberikan nilai tambah atau tidak. Kriteria penilaiannya adalah (Novia et al, 2013 ; Sari et al, 2015): a) Jika nilai tambah > 0, maka agroindustri gula merah tebu memberikan nilai tambah (positif); b) Jika nilai tambah <

Page 46: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Yoesti Silvana Arianti – Analisis Nilai Tambah Dan Strategi Pengembangan Agroindustri ..............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

259

0, maka agroindustri gula merah tebu tidak memberikan nilai tambah (negatif). Hasil dari perhitungan nilai tambah, dapat diketahui kategori agroindustri bernilai tambah rendah, sedang dan tinggi. Kategori nilai tambah adalah sebagai berikut: 1) nilai tambah dikatakan rendah jika nilai rasio <15%, 2) nilai tambah dikatakan sedang jika nilai rasio 15-40%, dan 3) nilai tambah dikatakan tinggi jika nilai rasio >40% (Kipdiyah et al, 2013).

Tujuan penelitian yang kedua tentang strategi pengembangan home industry gula merah di Kecamatan Kebonsari menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dalam meminimalkan kelemahan dan ancaman (Siregar et al, 2014). Matriks SWOT terdiri dari susunan empat tipe strategi pengembangan usaha, antara lain (Kurniawan dan Haryati, 2017): a. Strategi SO (Strengths-Opportunities): strategi yang memaksimalkan kekuatan yang dimiliki

lingkungan internal untuk memanfaatkan peluangan lingkungan eksternal suatu usaha. b. Strategi WO (Weakness-Opportunities): strategi yang dapat memperbaiki kelemahan

lingkungan internal dengan memaksimalkan peluang yang didapatkan dari lingkungan eksternal perusahaan.

c. Strategi ST (Strength-Threats): strategi yang meggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk meminimalkan pengaruh ancaman dari lingkungan eksternal perusahaan.

d. Strategi WT (Weakness-Threats): strategi yang berupa taktik defensive untuk mengurangi pengaruh kelemahan lingkungan internal dan menghindari ancaman dari lingkungan eksternal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Analisis Nilai Tambah

Agroindustri gula merah tebu merupakan salah satu industri yang mampu memberikan value added bagi salah satu produk perkebunan yaitu tebu. Analisis nilai tambah pengolahan produk pertanian dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu melalui perhitungan nilai tambah per kilogram bahan baku untuk satu kali proses produksi. Analisis nilai tambah berguna untuk menaksir balas jasa yang diterima para pelaku usaha agroindustri dan mengukur besarnya kesempatan kerja yang diciptakan oleh pengusaha agroindustri (Herdiyandi, et al 2016). Tabel 1. Perhitungan Nilai Tambah Pengrajin Gula Merah Tebu per Tahun di Kecamatan

Kebonsari, Kabupaten Madiun No. Variabel Nilai Formula per tahun Output, Input, dan Harga

1 Output (Kg) 1 -1 7.445 2 Input (Kg) 2 -2 39.235 3 Tenaga Kerja (HOK) 3 -3 283 4 Faktor Konversi 4 (4) = (1) / (2) 0,19 5 Koefisien Tenaga Kerja (HOK) 5 (5) = (3) / (2) 0,007 6 Harga Output (Rp/Kg) 6 -6 9.500 7 Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 7 -7 70.000

Sumber: Data Primer Diolah, 2018 a. Input, Output dan Harga

Output yang dihasilkan dalam pengolahan tebu pada penelitian ini adalah gula merah tebu. Output agroindustri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun selama satu tahun menghasilkan 39.235 kg. Perhitungan output didapatkan dari bahan baku

Page 47: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

260 JEPA, 3 (2), 2019: 256-266

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

yang digunakan per hari dikalikan dengan jumlah hari aktif produksi. Rata-rata per bulan pengrajin dapat mengolah 3-5 kuintal tebu dengan rendemen ketika musim kering mencapai 12-13% sedangkan ketika musim hujan sebesar 10%.

Input yang digunakan dalam pengolahan ini adalah tebu. Hasil analisis dengan metode Hayami, jumlah input yang digunakan pengrajin di Kabupaten Madiun adalah 7.445 kg/tahun. Bahan baku tebu didapatkan oleh pengrajin dari kebun milik sendiri atau membeli dari tetangga atau membeli ke luar kota. Pengrajin lebih mengutamakan bahan bakunya sendiri karena kualitas (rendemen) tebunya terjaga baik, sedangkan apabila membeli tebu dari luar terkadang rendemen tebunya rendah karena proses perawatan tebu yang dilakukan antar petani tidak sama dan kondisi lahan yang berbeda-beda.

Tenaga kerja yang dihitung adalah semua tenaga kerja yang berperan langsung dalam proses pengolahan gula merah tebu. Pada pengolahan produk ini, umumnya diperlukan 3-4 orang tenaga kerja luar untuk proses penggilingan sampai pencetakan dengan waktu kerja 8-10 jam/hari, dan 1-2 orang tenaga kerja dalam untuk proses sortasi dan pengemasan. Jumlah hari kerja orang (HOK) dalam pengolahan gula merah tebu sebesar 283 HOK per tahun.

Berdasarkan perhitungan nilai tambah pada Tabel 1, faktor konversi didapatkan melalui pembagian jumlah output dengan jumlah input. Berdasarkan perhitungan didapatkan faktor konversi gula merah tebu sebesar 0,19, artinya setiap 1 kilogram tebu yang digunakan akan menghasilkan 0,19 kg gula merah tebu.

Koefisien tenaga kerja merupakan pembagian antara tenaga kerja (HOK/tahun) dengan bahan baku (kg/tahun) yang digunakan dalam proses produksi. Jika masing-masing nilai tenaga kerja dibagi dengan bahan baku yang digunakan maka diperoleh nilai koefisien tenaga kerja sebesar 0,007, artinya untuk mengolah 1000 kg bahan baku maka dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 7 orang. Kebutuhan tenaga kerja untuk pengolahan gula merah tebu relatif banyak karena proses pengolahan masih menggunakan teknologi manual yang dikerjakan dengan tenaga manusia, bukan mesin.

Harga output (gula merah tebu) yang dijual oleh pengrajin rata-rata Rp 9.500/kg. Harga jual ini ditentukan oleh pengrajin dengan menyesuaikan harga pasar. Pengrajin biasanya mengemas gula merah tebu dalam kemasan 5 kg, 10 kg, 20 kg atau terkadang sesuai pesanan konsumen. Produk ini diklaim mampu bertahan selama 5-6 bulan pada suhu ruangan dan dalam kondisi kering.

Upah rata-rata tenaga kerja pada usaha pengolahan gula merah tebu adalah Rp 70.000 per HOK. Masing-masing tenaga kerja luar tidak dibedakan dalam pekerjaannya karena pemilik usaha menginginkan tenaga kerjanya menguasai semua pekerjaan dalam tiap tahapan proses pengolahan sehingga upah yang diterima relatif sama.

b. Penerimaan dan Keuntungan Harga bahan baku ditentukan berdasarkan harga pasar dan harga kesepakatan antara

pengrajin dan pemilik lahan (jika membeli bahan baku dari luar). Harga rata-rata bahan baku yaitu tebu adalah Rp 223/kg. Semua pengrajin memiliki lahan sendiri dengan luasan yang berbeda-beda, sehingga bahan baku tebu yang digunakan untuk usaha penggilingan berasal dari tebu milik sendiri dan tebu pembelian dari dalam maupun luar daerah.

Page 48: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Yoesti Silvana Arianti – Analisis Nilai Tambah Dan Strategi Pengembangan Agroindustri ..............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

261

Tabel 2. Perhitungan Nilai Tambah Pengrajin Gula Merah Tebu per Tahun di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun

No. Variabel Nilai Formula per tahun Penerimaan dan Keuntungan

8 Harga Bahan Baku (Rp/Kg) 8 -8 223 9 Sumbangan Input Lain (Rp/Kg) 9 -9 529 10 Nilai Output (Rp/Kg) 10 (10) = (4) x (6) 1.802,66 11 a. Nilai Tambah (Rp/Kg) 11a (11a) = (10) – (9) – (8) 1.050,66

b. Rasio Nilai Tambah (%) 11b (11b) = (11a)/(10) x 100% 58,28 12 a. Pendapatan Tenaga Kerja

Langsung (Rp/Kg) 12a (12a) = (5) x (7) 505 b. Pangsa Tenaga Kerja (%) 12b (12b) = (12a)/(11a) x100% 48

13 a. Keuntungan (Rp/Kg) 13a (13a) = (11a) – (12a) 545,76 b. Tingkat Keuntungan (%) 13b (13b) = (13a)/(11a) x100% 51,94

Sumber: Data Primer Diolah, 2018 Sumbangan input lain didapatkan dari penjumlahan semua biaya kecuali biaya bahan

baku dan tenaga kerja, dibagi dengan jumlah bahan baku yang digunakan selama satu tahun. Nilai sumbangan input lain pada pengolahan gula merah tebu adalah Rp 529/kg. Komponen yang dihitung untuk mengukur nilai sumbangan input lain adalah biaya pengemas, solar, listrik, kapur gamping (biaya variabel) dan biaya penyusutan alat, biaya perawatan, dan PBB (biaya tetap).

Nilai output didapatkan dari hasil perkalian harga produk dengan faktor konversi, yaitu sebesar Rp 1.803/kg artinya setiap 1 kg produksi gula merah tebu, maka akan menghasilkan Rp 1.803dari hasil penjualan gula merah tebu. Nilai output sama dengan penerimaan kotor pengrajin untuk setiap 1 kg input yang digunakan.

Nilai tambah dihasilkan dari proses produksi pada agroindustri gula merah tebu yaitu sebesar Rp 1.051/kg input. Nilai tambah didapatkan dari pengurangan nilai produk dengan harga bahan baku dan harga input lain. Jadi nilai tambah bukan merupakan nilai tambah bersih karena belum menyertakan imbalan bagi tenaga kerja sebesar Rp 1.051. Rasio nilai tambah merupakan rasio antara nilai tambah dengan nilai output. Dalam penelitian ini, kontribusi nilai tambah terhadap nilai output sebesar 58,28% artinya dari nilai output Rp 1.051 per kg terdapat 58,28% nilai tambah dari output gula merah tebu. Berdasarkan hasil analisis Hayami, nilai tambahnya positif > 0 yaitu sebesar 58,28% artinya pengembangan agroindustri gula merah tebu memberikan nilai tambah bagi pengrajin. Selain itu, berdasarkan kriteria Reyne (1987) nilai tambah pengolahan gula merah tebu dikategorikan tinggi yaitu berada di diatas 40%.

Pendapatan tenaga kerja langsung merupakan hasil dari perkalian antara koefisien tenaga kerja dengan upah tenaga kerja. Pendapatan tenaga kerja langsung adalah pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dari setiap pengolahan satu kilogram bahan baku. Pendapatan tenaga kerja langsung yang diberikan pada setiap pengolahan satu kilogram bahan baku yang diolah menjadi gula merah tebu adalah Rp 505/kg, sehingga bagian tenaga kerja dalam usaha ini sebesar 48%. Besarnya proposi bagian tenaga kerja ini tidak mencerminkan besarnya perolehan tenaga kerja. Angka ini hanya menggambarkan perimbangan antara besarnya bagian pendapatan (labor income) dengan bagian pendapatan pemilik usaha.

Apabila tingkat keuntungan yang diperoleh (dalam persen) tinggi, maka agroindustri tersebut meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Apabila rasio imbalan tenaga kerja terhadap nilai tambah (dalam persen) tinggi, maka agroindustri berperan dalam memberikan

Page 49: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

262 JEPA, 3 (2), 2019: 256-266

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

pendapatan bagi pekerjanya, sehingga lebih berperan dalam mengatasi masalah pengangguran melalui pemerataan kesempatan kerja (Hasanah et al, 2015).

Analisis selanjutnya adalah nilai keuntungan yang diperoleh oleh pengrajin gula merah tebu. Nilai keuntungan tersebut merupakan selisih antara nilai tambah dengan imbalan tenaga kerja, sehingga dapat dikatakan sebagai nilai tambah bersih karena sudah dikurangi dengan imbalan tenaga kerja. Keuntungan yang diperoleh pengrajin gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari sebesar Rp 545,76/kg bahan baku, dengan nilai keuntungan sebesar 51,94%. Nilai keuntungan menunjukkan besarnya imbalan yang diterima oleh penguasa atas usaha pengolahan gula merah tebu. c. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

Berdasarkan analisis nilai tambah, margin yang didapatkan dari selisih antara nilai output dengan harga bahan baku adalah Rp 1.579,66/kg. Besarnya margin ini lalu didistribusikan kepada pendapatan tenaga kerja, sumbangan input lain, dan keuntungan usaha. Balas jasa terbesar yang diperoleh perusahaan berasal dari keuntungan pemilik modal, yaitu sebesar 34,55% artinya sumbangan input lain menyumbang Rp 34,55 dalam setiap Rp 100 margin perusahaan. Balas jasa terbesar kedua adalah sumbangan input lain sebesar 33,49%. Hal ini berarti sumbangan input lain cukup banyak berkontribusi dalam pembentukan margin, yaitu Rp 33,49 dalam setiap Rp 100 margin. Selain itu, pendapatan tenaga kerja langsung sebesar 31,96%.

Tabel 3. Perhitungan Nilai Tambah Pengrajin Gula Merah Tebu per Tahun di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun

Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi 14 Marjin (Rp/Kg) 14 (14) = (10) – (8) 1.579,66

a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%)

14a (14a) = (12a)/(14) x 100%

31,96

b. Sumbangan Input Lain (%) 14b (14b) = (9)/(14) x 100% 33,49 c. Keuntungan Pemilik Perusahaan

(%) 14c (14c) = (13a)/(14) x

100% 34,55 Sumber: Data Primer Diolah, 2018

Besarnya nilai tambah ditentukan oleh besarnya nilai output, harga bahan baku dan harga input lain. Proporsi tenaga kerja dan keuntungan terhadap nilai tambah dapat menunjukkan apakah usaha tersebut padat modal atau padat karya. Ditinjau dari aspek agroindustri, industri gula merah di Madiun umumnya masih bersifat industri padat karya yang dijalankan dengan teknologi sederhana dan permodalan yang kecil. Hal tersebut merupakan kendala utama dalam upaya pengembangan industri gula merah menjadi industri madya maupun industri modern.

2. Strategi Pengembangan Home Industry Gula Merah di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun

a. Analisis Faktor Internal (Kekuatan dan Kelemahan) dan Eksternal (Peluang dan Ancaman) Home Industry Gula Merah di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun

Berdasarkan hasil analisis dan pembangunan masalah yang dihadapi home industry gula merah dapat diambil kesimpulan bahwa usaha ini memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan. Namun, untuk memperoleh keadaan demikian diperlukan strategi pengembangan dengan membandingkan faktor internal dan faktor lingkungan eksternal yang ada untuk prospek jangka panjang. Strategi pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan analisis SWOT. Faktor-faktor

Page 50: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Yoesti Silvana Arianti – Analisis Nilai Tambah Dan Strategi Pengembangan Agroindustri ..............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

263

a. Kekuatan Agroindustri gula merah berbahan baku tebu yang ada di Kecamatan Kebonsari,

Kabupaten Madiun sudah dikembangkan oleh masyarakat secara turun-temurun. Rata-rata pengalaman mengusahakan home industry gula merah oleh pengrajin adalah selama 15-20 tahun. Oleh karenanya pengrajin sudah dianggap cukup untuk bisa memanajemen risiko dengan baik, terkait peluang dan ancaman yang dihadapi oleh usahanya. Seluruh pengrajin yang masih meneruskan usaha pengolahan gula merah mempunyai tempat usahanya sendiri, yang biasanya merupakan warisan dari keluarganya. Pengrajin sudah merintis usahanya sejak puluhan tahun dan menggunakan modalnya sendiri untuk memberi peralatan produksi dengan cara sedikit demi sedikit. Produk gula merah yang dihasilkan oleh pengrajin memiliki kualitas yang cukup baik karena dihasilkan dari bahan baku tebu yang baik, dengan rata-rata rendemen 12% pada saat musim kemarau dan 10% pada saat musim hujan serta gula merah yang sudah dikemas mampu bertahan selama 5 bulan di tempat yang kering dan terhindar sinar matahari secara langsung. Bahan baku yang digunakan oleh pengrajin sebagian besar dari lahannya sendiri dan dari beberapa wilayah sekitar. Pengrajin menjual produk gula merahnya ke pasar-pasar terdekat atau ke pedagang makanan dan minuman yang memanfaatkan gula merah sebagai bahan campuran olahannya. Harga jual gula merah berkisar antara Rp 9.000-Rp 10.000,00.

b. Kelemahan Tingkat pendidikan formal pengrajin gula merah di Kecamatan Kebonsari sebagian

besar adalah SD, hal ini menunjukkan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Produk gula merah kebanyakan diproduksi jika ada pesanan dari konsumen, sehingga kontinuitas produksi menjadi tidak stabil. Modal yang digunakan pengrajin bersumber dari modal sendiri yang seringkali menjadi kendala karena penerimaan yang didapatkan tidak stabil. Selain itu, pengrajin belum melakukan pencatatan keuangan dengan baik dan benar. Teknologi pengolahan dan pengemasan yang digunakan oleh pengrajin gula merah masih sangat sederhana dan tradisional. Gula merah dihasilkan dari proses yang cukup lama dan panjang, sehingga upah tenaga kerjanya relatif tinggi.

c. Peluang Agroindustri berbasis home industry gula merah tebu di Kecamatan Kebosari,

Kabupaten Madiun masih mendapat dukungan dari masyarakat karena dirasa memberikan nilai tambah dan menguntungkan masyarakat. Tebu yang dimiliki oleh masyarakat dapat diolah oleh pengrajin jika tidak bisa dan tidak ingin dimasukkan ke pabrik gula. Selain lebih cepat mendapatkan uang, harga beli tebu oleh pengrajin juga tidak terlalu berbeda dengan harga beli pabrik gula. Permintaan gula merah oleh masyarakat akhir-akhir ini bertambah karena masyrakat mulai mengetahui bahwa kandungan gizi gula merah lebih baik daripada gula pasir putih. Selain itu, di Madiun sendiri gula merah dijadikan sebagai bahan baku pembuatan makanan minuman, seperti kue manco. Oleh karenanya, potensi pasar yang bisa dimasuki oleh pengrajin masih terbuka lebar, asalkan dapat memenuhi permintaan konsumen.

d. Ancaman Tingginya laju urbanisasi membuat usaha gula merah tebu agak sulit mendapatkan

tenaga kerja. Hal ini disebabkan dibangunnya pabrik-pabrik besar sehingga mengurangi tenaga kerja di perdesaan. Selain itu, proses produksi yang hampir sepenuhnya menggunakan tenaga manusia, membuat semakin sedikit generasi muda yang tertarik untuk ikut dalam usaha tersebut. Kurangnya perhatian dari pemerintah setempat membuat usaha ini sulit berkembang.

Page 51: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

264 JEPA, 3 (2), 2019: 256-266

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 2. Analisis SWOT Pengembangan Agroindustri Gula Merah di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun

Strategi S-O 1. Mempertahankan kualitas sesuai yang

diminta konsumen. 2. Memanfaatkan media promosi untuk

membuka pasar yang baru. 3. Promosi produk yang berkaitan dengan

keunggulan produk yang rasanya enak dan penggunaan bahan baku asli tebu.

Strategi W-O 1. Meningkatkan kualitas SDM untuk bisa

menyerap inovasi agar produk berkembang dan lebih menguasai teknologi.

2. Mengubah kemasan produk agar lebih menarik konsumen.

3. Perlu adanya peningkatan teknologi produksi guna meingkatkan kualitas produk yang dihasilkan.

4. Penjadwalan produksi yang optimal perlu dilakukan supaya kontinuitas produksi bisa berjalan normal.

Strategi S-T 1. Memberikan pelatihan kepada generasi

muda untuk mempertahankan keberlanjutan industri gula merah

2. Meningkatkan citra produk agar dapat bersaing dengan produk lain

Strategi W-T 1. Meningkatkan kemampuan manajerial

pengusaha 2. Memperbaiki laporan keungan

sehingga dapat mengakses permodalan dari bank/koperasi.

3. Memperbesar skala usaha sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.

Sumber: Data Primer Diolah, 2018

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

berikut: Agroindustri gula merah berbahan baku tebu berskala home industry di Kecamatan

Kebonsari, Kabupaten Madiun berjumlah 13 unit. Usaha ini dikelola sendiri oleh responden pemilik industri gula merah yang berumur produktif dengan tingkat pendidikan formalnya masih tergolong rendah, yaitu SD (sekolah dasar). Lama pengrajin dalam bekerja dalam home industry gula merah rata-rata selama 15-20 tahun.

Agroindustri gula merah memberikan nilai tambah bagi pengrajin. Setiap pengolahan satu kilogram tebu, dapat dihasilkan 0,19 kg gula merah tebu. Agroindustri gula merah memberikan nilai tambah sebesar Rp 1.051 per kg atau sebesar 58,28 % sehingga berada pada kategori nilai tambah yang tinggi. Ditinjau dari aspek agroindustri, industri gula merah di Madiun umumnya masih bersifat industri padat karya karena mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak dan pemanfaatan teknologinya masih terbatas (sederhana). Sehingga, jika usaha ini dikembangkan maka ada beberapa keuntungan yang diperoleh, yaitu petani tebu memiliki alternatif pengolahan tebu selain dibawa ke pabrik-pabrik gula, usaha ini mampu mengurangi pengangguran di perdesaan, dan mampu memberikan nilai tambah dari olahan bahan mentah (tebu) menjadi gula merah, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Page 52: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Yoesti Silvana Arianti – Analisis Nilai Tambah Dan Strategi Pengembangan Agroindustri ..............

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

265

Perkembangan agroindustri gula merah di Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal yang sebaiknya diperhatikan oleh pengrajin agar usahanya dapat bertahan lama. Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut strategi yang dianggap layak untuk diterapkan pada agroindustri gula merah berbasis home industry di Kecamatan Kebonsari adalah strategi konsentrasi melalui integrasi horizontal. Strategi ini bertujuan memperluas usaha dengan cara meningkatkan jumlah produksi dan memperluas pasar dengan cara promosi.

Saran 1. Agroindustri gula merah berbahan baku tebu di Kabupaten Madiun hendaknya dapat

memanfaatkan perkembangan teknologi untuk membantu memasarkan produk yang dihasilkan serta dapat memodifikasi kemasan gula merah agar menarik bagi konsumen.

2. Agroindustri gula merah di Kabupaten Madiun hendaknya menjalin kerjasama dengan pemerintah dan stakeholder lain agar dapat memudahkan mengakses bantuan permodalan demi mengembangkan usahanya.

3. Agroindustri gula merah di Kabupaten Madiun dapat menstabilkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas produksi agar dapat memenuhi permintaan pasar yang mulai meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Fatria, M. A., Jahrizal, & Pailis, E. A. (2017). Strategi Pengembangan Industri Rumah Tangga

di Kota Pekanbaru (Studi Kasus Usaha Jamur Crispy Industri Pengolahan Jamur Tiram. JOM Fekon, 4(1), 283–297.

Hasanah, U., Masyhuri, & Djuwari. (2015). Analisis Nilai Tambah Agroindustri Sale Pisang di Kabupaten Kebumen. Ilmu Pertanian, 18(3), 141–149.

Herdiyandi, Rusman, Y., & Yusuf, M. N. (2016). Analisis Nilai Tambah Agroindustri Tepung Tapioka di Desa Neratengah Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Agroinfo Galuh, 2(2), 81–86.

Khoiriyah, N. R., Ariyani, A. H. ., & Fauziyah, E. (2012). Strategi Pengembangan Agroindustri Kerupuk Terasi. Jurnal Agriekonomika, 1(2), 135–148. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21107/agriekonomika.v1i2.357

Kipdiyah, S., Hubeis, M., & Suharjo, B. (2013). Strategi Rantai Pasok Sayuran Organik Berbasis Petani di Kecamatan Pangalengan , Kabupaten Bandung. Manajemen IKM, 8(2), 99–114.

Kurniawan, M., & Haryati, N. (2017). Analisis Strategi Pengembangan Usaha Minuman Sari Buah Sirsak. Industria: Jurnal Teknologi Dan Manajemen Agroindustri, 6(2), 97–102.

Novia, W., Zakaria, W. A., & Lestari, D. A. H. (2013). Analisis Nilai Tambah dan Kelayakan Pengembangan Agroindustri Beras Siger. JIIA, 1(3), 210–217. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.23960/jiia.v1i3.210-217

Retnaningsih, W. (2010). Analisis Manajemen Strategi terhadap Kinerja Usaha Kecil dan Dampaknya Bagi Kesejahteraan Masyarakat Usaha Kecil di Mojokerto. Jurnal Aplikasi Manajemen, 8(4), 1062–1071.

Sari, I. R. M., Zakaria, W. A., & Affandi, M. I. (2015). Kinerja Produksi dan Nilai Tambah Agroindustri Emping Melinjo di Kota Bandar Lampung. JIIA, 3(1), 18–25. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.23960/jiia.v3i1.%25p

Siregar, G., Salman, & Wati, L. (2014). Strategi Pengembangan Usaha Tahu Rumah Tangga.

Page 53: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

266 JEPA, 3 (2), 2019: 256-266

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Agrium, 19(1), 12–20. Soejono, D. (2011). Strategi Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri Sub Sektor Tanaman

Pangan di Kabupaten Situbondo. J-SEP, 5(3), 54–60. Sulistiowati, Y. T., Aji, J. M. M., & Hartadi, R. (2017). Analisis Nilai Tambah dan Tingkat

Produktivitas Kerja serta Strategi Pengembangan Home Industry Gula Kelapa di Desa Tembokrejo Kecamatan Gumukmas Kabupaten Jember. J-SEP, 10(2), 18–26.

Page 54: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 267-277

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.5

EFISIENSI ALOKATIF USAHATANI PADI PADA LAHAN GAMBUT DI KECAMATAN PELALAWAN, KABUPATEN PELALAWAN, RIAU

ALLOCATIVE EFFICIENCY RICE FARMING ON PEATLANDS IN PELALAWAN

DISTRICT, RIAU

Ahmad Nazeb1, Dwidjono Hadi Darwanto2, Any Suryantini2* 1Master Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada

2Staff Pengajar, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Rice is the food commodities in Indonesia so that the rice farming should provide additional income for farmers. The income of farming can be increased if the use of factors of production – efficient factor. This research aims to (1) Find out the factors that affect the production of rice farming in Pelalawan peat. (2) To the allocative efficiency factor – factors of production of farming rice peat in Pelalawan District. The number of respondents by as much as 50 farmers with sampling deliberately by its location in the village of pelalawan, Pelalawan, pelalawan Regency sub district, Riau Province. The analysis tool is used is a function of the production of Cobb-Douglass with the method of Ordinary Least Square (OLS) assumption of classic trials and to know the purpose of both allocative efficiency analysis i.e. factors of rice farming production of peat in the Pelalawan already inefficient in allocative. The efficiency of input use can occur when farmers are able to make an effort so that the value of the marginal product (NPM) for a given input is equal to the price of inputs. The results showed some variables with the utilization of land area of seed, fertilizer, urea fertilizer, herbicide, insecticide, tsp, labor and social factors and the positive effect against rice farming production of peat in the County Pelalawan is a land area of seed and fertilizer, urea. Allocative efficiency analysis results show the utilization of seeds and use of urea fertilizer use has not been efficient in rice farming peat in Pelalawan, farmers should be wise in responding to it in order to achieve maximum results of rice farming in peat Pelalawan Riau Province.

Keywords: Allocative efficiency, Peat land, Production, Rice farming

ABSTRAK

Padi adalah komoditas pangan di Indonesia yang strategis untuk usahatani padi yang memberikan tambahan pendapatan untuk petani. Usahatani dapat meningkat jika penggunaan faktor – faktor produksi sudah efisien. Penelitian bertujuan untuk (1) Menentukan faktor – faktor mempengaruhi produksi usahatani padi dilahan gambut Kabupaten Pelalawan. (2) Menentukan efisiensi alokatif faktor produksi usahatani padi lahan gambut di Kabupaten Pelalawan. Jumlah responden sebanyak 50 petani dengan pengambilan sampel secara sengaja dengan lokasinya berada di Desa pelalawan, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten pelalawan, Provinsi Riau. Alat analisis yang digunakan adalah Fungsi Produksi Cobb-Douglass metode Ordinary Least Square (OLS) uji asumsi klasik dan untuk mengetahui tujuan kedua yaitu analisis efisiensi alokatif faktor-faktor produksi usahatani padi lahan gambut di Kabupaten Pelalawan sudah efisien

Page 55: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

268 JEPA, 3 (2), 2019: 267-277

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

secara alokatif. Efisiensi penggunaan input terjadi apabila petani mampu megupayakan sesuatu agar nilai produk marginal (NPM) untuk suatu input samadengan harga input. Hasil penelitian menunjukkan beberapa variabel dengan pemanfaatan luas lahan, benih, pupuk urea, pupuk tsp, herbisida, insektisida, tenaga kerja dan faktor sosial dan berpengaruh positif terhadap produksi usahatani padi lahan gambut di Kabupaten Pelalawan adalah Luas lahan, benih dan pupuk urea. Hasil analisis efisiensi alokatif menunjukkan pemanfaatan penggunaan benih dan penggunaan pupuk urea belum efisien dalam usahatani padi lahan gambut di Kabupaten Pelalawan, petani harus lebih bijak dalam menanggapi hal itu agar mencapai hasil yang maksimal dari usahatani padi di lahan gambut Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau.

Kata kunci: Efisiensi alokatif, Lahan gambut, Produksi, Usahatani padi

PENDAHULUAN

Pertanian merupakan sebuah sektor utama dalam kehidupan di Indonesia. Sektor

pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS (2017), terdapat sebanyak 40 juta masyarakat Indonesia bekerja di bidang pertanian. Selain itu, sektor pertanian juga menjadi penyedia bahanbaku untuk sektor industri, serta penghasil devisa dari ekspor. (Wibishanna and Mustadjab, 2016)

Fungsi lahan sawah banyak sudah dialih fungsikan ke non sawah menyebabkan berkurang luas lahan sawah di Indonesia. Hal ini akan terus berlangsung dengan sejalannya pertumbuhan penduduk, industri, perhubungan dan bencana alam sehingga perlu memberdayakan lahan marjinal yang belum produktif optimal. Salah satu lahan yang belum optimal dalam pemanfaatannya adalah lahan gambut (Utama and Haryoko, 2009).

Indonesia memiliki lahan gambut paling luas di banyaknya negara tropis, yaitu 21 juta ha atau persentasenya sekitar 10.8% dari daratan Indonesia. Lahan gambut terdapat di empat pulau besar yaitu di Sumatera dengan presentase 35%, Kalimantan dengan presentase 32%, Papua dengan presentase 30% dan ada sebagian di Sulawesi, Halmaera dan Seram dengan presentase 3% (Ratmini, 2012).

Pertanian dilahan gambut secara tepat meliputi tata ruang harus sesuai dengan lahan gambut atau dome sebagai konservasi, daerah tengah bagi tanaman tahunan dan sedangkan untuk budidaya tanaman pangan berada didaerah tepi, sedangkan aspek lingkungan kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat perlu diperhatiakan. Fungsi pemanfaatan lahan pertanian potensial di pulau Jawa terdesak akibat pembangunan, hingga penyediaan pangan pada masa deapan tidak dapat bertumpu pada pulau Jawa yang memasok 60% pangan nasional. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberikan perhatian yang lebih terhadap pemanfaatan lahan marginal yang ada di luar Pulau Jawa, dan mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian di Pulau Jawa (Supriyo and Maftu’ah, 2009).

Untuk kesejahteraan manusia lahan gambut berperan penting sebagai penghasil hutan non kayu, sebagai abrasi, penyedia air, proses biokimia yang berhubungan dengan air, plasma nutfah yang bermanfaat (sumber karbo, protein, minyak dan antibiotik). Lahan gambut dikembangkan untuk pertanian dimulai pada zaman colonial. Masyarakat Banjar, Bugis, Melayu, China mampu mengembangkan pertanian berkelanjutan, skala kecil dengan teknik sederhana (Supriyo and Maftu’ah, 2009).

Lahan gambut dapat dimanfaatkan lebih masif memasok bahan pangan oleh (1) Fungsi lahan pertanian telah teralihkan, (2) Jumlah penduduk yang bertambah, dan (3) Indonesia yang

Page 56: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ahmad Nazeb – Efisiensi Alokatif Usahatani Padi Pada Lahan Gambut ..........................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

269

ingin menjadi lumbung pangan untuk dunia. Hal ini harus ada usaha meningkatkan produksi pangan lahan gambut dengan memanfaatkan lahan dan teknologi yang tepat. (Anwar, Susanti and Masganti, 2017).

Dalam pengembangan usahatani padi, berbagai macam kebijakan yang telah dilakukan, dengan tujuan agar semua pihak dalam hal ini produsen (petani) dan konsumen (masyarakat) dapat menikmati kebijakan tersebut. Secara umum ada empat macam yang harus dilakukan pemerintah: (1) Dilakukannya pada sisi out put atau yang dikenal dengan nilai produksi petani. Karena berupa nilai produksi berarti ada dua variabel yang menentukan yaitu produksi dan harga. Kaitannya dengan harga berarti terdapat dua harga adalah harga privat dan harga ekonomi. Jika yang diterima petani masih dalam harga privat, maka kebijakan yang diterapkan merugikan petani, dan konsumen memperoleh harga privat, sehingga menguntungkan konsumen. (2) Kebijakan untuk mempengaruhi harga-harga input domestik maupun harga-harga input yang masih diimpor (tradable). Dalam konteks ini adalah umumnya dikenal dengan kebijakan subsidi harga-harga input untuk menekan biaya produksi, sehingga biaya persatuan menjadi lebih murah. Jika ternyata petani masih membeli harga-harga sarana produksi sesuai harga keekonomian, berarti kebijakan subsidi tersebut belum mencapai sasaran. Kebijakan subsidi tergantung kepada siapa yang diberikan. Jika subsidi dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing, maka subsidi tersebut, biasanya berupa subsidi harga-harga input yang digunakan petani. Jika subsidi diberikan kepada konsumen, maka biasanya berupa subsidi harga-harga output. (3) Kebijakan pemerintah terhadap output dan input. Kebijakan ini berkaitan dengan pengembangan ke depan usahatani padi, dalam konteks ini adalah apakah kebijakan yang diambil dapat melindungi usahatani padi atau mungkin dapat menghambat pengembangan usahatani padi. (4) Kebijakan terhadap pembinaan kepada petani melalui pendidikan dan pelatihan, agar usahatani padi selalu mengikuti perkembangan teknologi. Dalam konteks ini kebijakan pengembangan teknologi usahatani padi (Husaini, 2012).

Budidaya pada lahan gambut yang dahulu dilakukan adalah reklamasi. Reklamasi adalah upaya pemanfaatan lahan rawa untuk usaha pertanian prasarana dan sarana pertanian sehingga luas areal tanam dan produktivitas lahan bertambah (Widyati, 2011).

Salah satu faktor produksi yang sangat penting adalah lahan. Jenis lahan yang berbeda juga menghasilkan jumlah produksi yang berbeda. Lahan juga mempengaruhi penggunaan faktor produksi lainnya, misalnya penggunaan alat mesin pertanian, jenis bibit yang cocok, aplikasi pemupukan, pengairan, dan banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk produksi. Tanaman padi adalah yang membutuhkan air yang cukup dalam proses pertumbuhan vegetatifnya menunjukkan pentingnya kemampuan dalam menahan air. Lahan sawah yang umum jenis tanahnya adalah vertisol yang memiliki kemampuan cukup baik dalam menahan air namun sangat berbeda dengan lahan gambut yang tidak bisa menahan air waktu surut dan pasang, dan pada airnya banyak air nya juga mengandung asam yang membutuhkan perlakuan khusus membuat produksi tanaman menjadi tidak maksimal seperti dilahan mineral. Perbedaan jumlah pemasukan faktor produksi mempengaruhi pendapatan dalam usahatani padi. Jenis tanah yang karakteristiknya berbeda juga memungkinkan adanya perbedaan risiko dalam usahatani padi Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan permasalahan adalah: (1) Apasaja faktor-faktor produksi yang mempengaruhi usahatani padi lahan gambut di Kabupaten Pelalawan? (2) Apakah faktor – faktor produksi usahatani padi lahan gambut di Kabupaten Pelalawan sudah efisien secara alokatif.

Page 57: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

270 JEPA, 3 (2), 2019: 267-277

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan. Lokasi dipilih secara purposif, karena dengan pertimbangan bahwa yang bercocok tanam padi di lahan gambut hanya didaerah tersebut. Pertimbangan lain adalah homogenitas keadaan alam, kondisi usahatani dan karakteristik petani. Jumlah petani sampel yang diwawancarai sebanyak 50 responden pada musim tanam tahun 2017. Penentuan sampel petani dilakukan secara non probabilitas sampling yaitu menemui secara langsung petani padi sawah dilahan gambut mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi sampel.

Masalah dalam penelitian mempunyai asumsi serta pembatasan sebagai berikut: (1) Petani dianggap rasional, artinya petani mampu mempertimbangkan secara matang semua tindakannya. (2) Tidak ada perbedaan teknologi pada setiap petani responden pada setiap pengamatan.

Pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya di batasi pada musim 2017 dan terfokus pada petani dilahan gambut, biaya produksi, produksi, efisiensi faktor produksi dan pengaruh faktor sosial maupun faktor teknis dalam produksi usahatani padi dilahan gambut Desaa Pelalawan, Kecaamatan Pellalawan, Kaabupaten Pelalawan, Riau.

Fungsi produksi adalah fungsi yang melihatkan hubungan teknis hasil produksi fisik (output) dengan faktor--faktor produksii (input). Disebut juga dengan faktor relationship (FR). Hubungan ini dilihat sebagai berikut: Y = f (x1, x2, x3,…xn) Keterangan: X = Produksi fisik X1, ….. Xn = Faktor-faktor produksi

Yang dihasilkan produksi fisik bekerjanya faktor produksi bersamaan adalah tanah, tenaga kerja dan modal, menggambarkan atau menganalisis masing-masing peranan faktor produksi kepada produksi fisik, faktor produksi yang digunakan, faktor produksi adalah sebagai variabel yang sering berubah-ubah, untuk faktor produksi diasumsikan konstan atau tidak berubah. Hubungan tersebut berlaku untuk semua faktor produksi faktor luas lahan, jumlah benih, urea, TSP, herbisida, insektisida, tenaga kerja (HOK) dan faktor sosial (Arta, Darwanto and Irham, 2014).

Dalam analisis ini produksi padi merupakan variabel dependen sedangkan luas lahan, benih, pupuk urea, NPK, herbisida, pestisida, tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar. Didalam mengestimasikan parameter fungsi produksi pada persamaan funsi produksi Coobb-Douglas untuk metoode Orrdinary Leaast Squaare (OLS), Sehingga estimasi untuk mempengaruhi faktor-faktor produksi padi (Soekartawi, 2003).

Tujuan kedua yaitu analisis efisiensi alokatf faktor-faktor prodksi usahatani padi lahn gambut di Kabupaten Pelalawan sudah efisien secara alokatif. Efisiensi penggunaan input dapat terjadi ketika petani mampu mengupayakan agar nilai produk marginal (NPM) untuk suatu input sama dengan harga input , dengan rumus: NPMx = Px atau NPMx/Px = 1.

Ada 2 hal yang dipertimbangkan pada saat analisis efisiensi dilakukan, diantaranya: (1) Tingkat transformasi fungsi produksi ada didalamnya antara input dan output. (2) Harga input dan output dibandingkan sebagai upaya mencapai indikator efisiensi.

Efisiensi harga atau allocative efficiency disebut juga sebagai price efficiency. Keadaan terjadi jika: (1) NPMx/Px = 1 penggunaan input efisien. (2) NPMx/Px < 1 penggunaan input

Page 58: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ahmad Nazeb – Efisiensi Alokatif Usahatani Padi Pada Lahan Gambut ..........................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

271

tidak efisien dan perlu mengurangi input. (3) NPMx/Px > 1 penggunaan input belum efisien dan perlu menambah input. (Sandi, Dwidjono, Irham.2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada hasil penelitian ini dapat dilihat dari hasil analisis penggunaan faktor produksi ditingkat petani dilahan gambut dengan perbandingan hasil/paket tekhnologi yang seharusnya digunakan pada pertanian padi dilahan gambut sebgai berikut. Tabel 1. Penggunaan faktor produksi ditingkat petani dilahan gambut Kabupaten

Pelalawan Riau dan paket teknologi pertanian dilahan gambut. Faktor Produksi Satuan Per Usahatani Per Ha Paket Teknologi Lahan Ha 0,68 1 1 Benih Kg 19,50 28,47 35 Pupuk Urea Kg 33,40 48,76 250 Pupuk TSP Kg 20,10 29,34 100 Insektisida Rp 205100,00 299416,06 345000 Herbisida Rp 116100,00 169489,05 202000 Tenaga Kerja HOK 176,30 257,40 320 Kapur Kg - - 1000

Sumber: Analisis data primer 2018 Dapat dilihat dari tabel 1 penggunaan faktor produksi pada lahan lahan gambut dan

paket teknologi belum sama dengan paket teknologi yang sudah pernah ada dilakukakan dilahan gambut Aceh Barat. dengan topik Pengkajian dan Perbaikan Teknologi Usahatani Tanaman Pangan Lahan Gambut di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, belum sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh petani dilahan gambut di Pelalawan dengan banyaknya perbedaan yang sangat signifikan dengan perbandingan lahan yang sama luasnya dengan luas lahan 1ha, benih dengan pertimbangan/menggunakan paket teknologi, seharusnya benih yang digunakan untuk 1ha lahan adalah sejumlah 35kg/ha sedangkan yang dilapangan 28,47/ha dan itu lebih kecil dari yang diajurkan oleh paket teknologi. Untuk pupuk petani menggunakan 2 pupuk sekaligus yaitu pupuk urea dan pupuk TSP sedangkan petani dilahan gambut Kabupaten Pelalawan hanya menggunakan pupuk urea sebanyak 48,76kgkg/ha sedangakan yang dianjurkan paket teknologi adalah sejumlah 250kg/ha dan untuk pupuk TSP petani dilahan gambut Kabupaten Pelalawan adalah sekitar 29,34kg/ha sedangkan yang dianjurkan paket teknologi pemakain pupuk TSP adalah sekitar 100kg/ha dan itu sangat berbanding jauh dengan apa yang telah dilakukan petani dilahan gambut kabupaten Pelalawan. Untuk pestisida di bagi menjadi 2 macam yaitu ada insektisida dan herbisida untuk insektisida sendiri petani dilahan gambut Kabupaten Pelalawan dengan menghabiskan biaya sekitar Rp.299.416,06/ha untuk membeli insektisida dan yang dianjurkan oleh paket teknologi menghabiskan biaya sekitar Rp.345.000,00/ha dan untuk herbisida petani dilahan gambut Kabupaten pelalawan menghabiskan biaya sekitar 169489,05 sedangkan sedangakan yang dianjurkan paket teknologi adalah sekitar Rp.202.000,00/ha. Dan untuk tenaga kerja yang dianjurkan paket teknologi adalah sekitar 320 HOK/ha sedangkan dilahan gambut di Kabupaten Pelalawan hanya menggunakan sekitar 257,40 HOK/ha masih dalam angka kurang untuk mencapai hal itu. Sedangkan untuk kapur dilahan gambut Kabupaten Pelalawan tidak memakai sama sekali, dengan pertimbangan itu dapat dilihat hasilnya tidak akan maksimal.

Page 59: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

272 JEPA, 3 (2), 2019: 267-277

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Yang mempengaruhi analisis faktor-faktor produksi usahatani padi yang dihasilkan petani dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya luas lahan yang digunakan, jumlah benih, pupuk urea, pupuk tsp, insektisida, herbisida, tenaga kerja (HOK), pendidikan, pengalaman dan jumlah anggota keluarga. Selain itu ada faktor sosial yang juga mempengaruhi produksi padi diantaranya usia petani, pendidikan petani dalam mengusahakan lahan pertanian, jumlah anggota keluarga yang memiliki usia produktif dan pengalaman petani dalam bertani. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani padi secara signifikan, dilakukan analisis regresi. Uji asumsi klasik pada data yang diperoleh baru dilakukan analisis regresi.

Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan lebih dari satu variabel independen. Analisis ini untuk mengetahuii faktor--faktor yang signifikan mempengruhi prodksi pada usahatani padi. Variabel dpenden yang digunakan adalah prodksi padi sedangkan variabel independen adalah faktor prodksi diantaranya luas lahan, jumlah benih, jumlah pupuk, jumlah pestisida, dan tenaga kerja (HOK). Hasil uji regresi linier berganda dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Uji regresi linier berganda terhadap faktor – faktor yang mempengaruhi

produksi usahatani dilahan gambut di Kabupaten Pelalawan. Variabel Koefisien t hitung Sig Konstanta 1,859*** 2,769 ,009 Luas lahan ,469*** 4,352 ,000 Benih ,153** 2,302 ,027 Pupuk urea ,157* 1,988 ,054 Pupuk tsp -,020 ns -1,270 ,212 Insektisida ,017 ns ,866 ,392 Herbisida ,000 ns -,025 ,981 Tenaga kerja (HOK) ,010 ns ,091 ,928 Pendidikan -,038 ns -,515 ,610 Pengalaman -,076 ns -,741 ,463 Jumlah anggota keluarga -,019 ns -,569 ,572 R2 ,961 Adjusted R2 ,923 F 72,317 ,000 Sumber: Analisis data primer 2018

*** = signifikan 99% (α=0,01) t tabel = 2,689 ** = signifikan 95% (α=0,05) t tabel = 2,0141 * = signifikan 90% (α=0,1)t tabel = 1,679 ns = tidak signifikan

Koefisien determinasi digunakan untuk analisis regresi linier berganda sebagai berikut nilai adjtd R2. Koefisien determinasi merupakan besaran yang dipakai untuk menunjukkan proporsi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Besar nilai adjusted R2 menunjukkan bahwa model regresi yang digunakan semakin baik karena variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel independen semakin besar. Tabel 2 diketahui bahwa nilai adjusted R2 sebesar 96,1 % Hal ini berarti variasi variabel produksi padi dapat dijelaskan oleh variabel luas lahan, benih,pupuk urea ,pupuk tsp, insektisida, herbisida, tenaga kerja (HOK), pendidikan, pengalaman dan jumlah anggota keluarga. Secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi sebesar 3,9 % dijelaskaan oleh variabl lain diluar model diteliti.

Page 60: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ahmad Nazeb – Efisiensi Alokatif Usahatani Padi Pada Lahan Gambut ..........................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

273

UjiF merupakan salah satu uji yang bertujuan untuk mengetahui apakah variabel independen dalam model tersebut berpengaruh signifikan variabel dependennya. Nilai F signifikan (sig) dibandingkan dengan 0,05. Jika F sig lebih kecil dari 0,05 maka variabel independen secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa nilai F sig sebesar 0,000. Nilai tersebut jauh lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel luas lahan, benih, pupuk urea, pupuk TSP, insektisida, herbisida, tenaga kerja (HOK), pendidikan, pengalaman dan jumlah anggota keluarga. Secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi.

Uji t bertujuan mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen kepada variabl dependen. Uji dilakukan dengan dibandingkan dengan nilai signifikansi pada tingkat kesalahan dari masing-masing faktor yang mempengaruhi. Berdasarkan tabel 2 variabel yang secara signifikan berpengaruh terhadap produksi padi dilahan gambut Kabupaten Pelalawan yaitu Luas lahan, benih dan pupuk urea, sedangkan untuk variabel yang tidak signifikan yang tidak berpengaruh terhadap produksi padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan yaitu pupuk tsp, insektisida, herbisida, tenaga kerja (HOK), pendidikan, pengalaman dan jumlah anggota keluarga. Penjelasan masing-masing faktor tersebut.

Luas lahan memiliki koefisien 0,469 dengan nilai signifikansi 0,000 lebih kecil dari 0,001 dengan signifikansi 99%. Hal ini menunjukkan luas lahan berpengaruh signifikan pa produksi padi dilahan gambut Kabupaten Pelalawan. Koefisien memiliki nilai positif yang berarti luas lahan dan produksi padi memiliki hubungan positif korelasi positif. Apabila luaslahan meningkat 1,% maka produksi padi meningkatkan sebesar 0,469%. Sesuai dengan teori jika faktor produksi berada di elastisitas lebh besar dari 0 dan kurng dari 1, penambahan faktor produksi akan meningkatkan produksi hingga titik maksimum dan setelah titik maksimum akan terjadi penurunan kembali. Jadi semakin luas lahan maka semakin banyak tanaman yang dapat ditanam sehingga akan meningkatkan hasil produksi.

Penggunaan benih memiliki koefisien 0,153 dengan nilai signifikansi 0,027 yang berarti berpengaruh signifikan pada tingkat signifikansi 95%. Koefisien yang bernilai positif menunjukkan benih memiliki hubungan positif/ korelasi positif dengan produksi padi. Apabila benih meningkat 1% maka produksi padi meningkat 0,153%. Jumlah benih yang diigunakan akan mempengaruhi produksi. Semakin banyak benih yang ditanam, maka akan semakin banyak tanaman yang dapat berproduksi sehingga dapat meningkatkan hasil produksi.

Pupuk urea merupakan pupuk yang digunakan petani untuk meningkatkan unsur hara pada tanah dan sangat penting untuk lahan marjinal seperti dilahan gambut Kabupaten Pelalawan pupuk ini biasanya berbentuk granular/bulat. Pupuk Urea memiliki koefisien regresi 0,157 dengan nilai signifikansi 0,058 yang berarti berpengaruh signifikan pada tingkat signifikansi 90%. Koefisien yang bernilai positif menunjukkan jumlah pupuk kandang memiliki hubungan positif / korelasi positif dengan produksi padi dilahan gambut Kabupaten Pelalawan. Apabila pupuk urea yang diberikan meningkat 1% maka produksi padi meningkat 0,157%. Pupk urea yang diberikan akan mempengaruhi kesehatan tanah dan berdampak tanah yang terlalu sering diberi pupuk kimia akan menurun kesuburannya.

Pupuk TSP yang digunakan oleh petani dilahan gambut Kabupaten Pelalawan mempunyai nilai koefisien regresi penggunaan pupuk TSP -0,020, yang berarti bahwa variabel tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat signifikansi 95%, menunjukkan bahwa hubungan antara penggunaan pupuk TSP terhadap produksi menunjukkan bahwa faktor pupuk TSP mempunyai hubungan yang berlawanan dengan hasil produksi usahatani dilahan gambut kabupaten Pelalawan. Nilai signifikansi variabel pupuk TSP yaitu 0,212, yang berarti tidak

Page 61: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

274 JEPA, 3 (2), 2019: 267-277

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

berpengaruh secara signifikan terhadap produksi usahatani dilahan gambut kabupaten Pelalawan.

Insektisida yang digunakan oleh petani dilahan gambut Kabupaten Pelalawan mempunyai nilai koefisien regresi penggunaan insektisida 0,017, menunjukkan bahwa hubungan antara penggunaan benur terhadap produktivitas usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalalwan bersifat positif. Apabila jumlah insektisida yang dgunakan meningkat 1%, maka produksi usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalalwan akan meningkat sebanyak 0,017% yang berarti bahwa variabel tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat signifikansi 95%. Nilai signifikansi variabel insektisida yaitu 0,392, yang berarti tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi usahatani dilahan gambut kabupaten Pelalawan.

Herbisida yang digunakan oleh petani dilahan gambut Kabupaten Pelalawan mempunyai nilai koefisien regresi penggunaan insektisida 0,000, menunjukkan bahwa hubungan antara penggunaan benur terhadap produktivitas usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalalwan bersifat positif. Apabila jumlah herbisida yang digunakan meningkat 1%, maka produksi usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalalwan akan meningkat sebanyak 0,000% yang berarti bahwa variabel tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat signifikansi 99%. Nilai signifikansi variabel insektisida yaitu 0,981, yang berarti tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi usahatani dilahan gambut kabupaten Pelalawan.

Tingkat signifikansi variabel jumlah tenaga kerja berdasarkan hasil analisis regresi adalah 0,210 yang berarti bahwa variabel tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat tidak signifikan. Koefisien regresi variabel jumlah tenaga kerja 0,010, ini menunjukkan bahwa faktor tenaga kerja mempunyai hubungan yang positif dengan hasil produksi usahatani di lahan gambut kabupaten Pelalawan. Hal ini mengandung arti bahwa setiap penambahan jumlah tenaga kerja satu satuan maka variabel Y akan naik sebesar 0,010% dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari model regresi tetap (Ceteris Paribus). Pada usahatani di lahan gambut kabupaten Pelalawan tenaga kerja sangat dibutuhkan untuk meningkatkan hasil produksi, dikarenakan lahan yang digarap luas.

Pendidikan variabel usahatani di lahan gambut kabupaten Pelalawan dengan koefisien -0,038 tidak signifikan dengan signifikansi 0,610. Artinya semakin tinggi pendidikan petani maka in efisiensi pada produksi padi meningkat. Efisiensi ini mengalami peneurunan diduga karena semakin tingginya tingkat pendidikan petani maka petani akan sering melakukan percobaan inovasi baru pada sistem budidaya udang sehingga kurang mempedulikan tentang efisiensi dalam percobaan sistem budidaya baru tersebut. Hal ini dimungkinkan karena petani yang berpendidikan tinggi lebih mudah menerima informasi tentang inovasi baru dari kemajuan teknologi sistem pertanian di lahan gambut.

Pengalaman usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan memiliki kaitan yang sangat erat dengan cara petani mengelola usahatani dilahan gambut kabupaten Pelalawan. Semakin lama pengalaman petani dalam berusatani padi, maka akan semakin terampil dalam mengelola usahatani padi. Berdasarkan tabel 5.6. Nilai koefisien regresi pengalaman usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan yaitu -0,076. Nilai signifikansi variabel pengalaman usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan yaitu 0,463, yang berarti berpengaruh secara signifikan terhadap produktivitas usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan. Hal ini berarti dengan semakin meningkatnya pengalaman petani padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan meningkatkan efisiensi produksi padi.

Jumlah anggota keluarga petani usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan memiliki kaitan yang sangat erat dengan cara petani meningkatan produksi usahatani dilahan

Page 62: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ahmad Nazeb – Efisiensi Alokatif Usahatani Padi Pada Lahan Gambut ..........................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

275

gambut kabupaten Pelalawan. Jumlah anggota keluarga petani semakin dalam keluarga, semakin meningkatkan kemauan dalam mengelola usahatani padi. Dengan nilai koefisien regresi jumlah anggota keluarga petani usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan yaitu -0,019. Nilai signifikansi variabel jumlah anggota keluarga petani usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan yaitu 0,572, yang berarti berpengaruh secara signifikan terhadap produktivitas usahatani padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan. Hal ini berarti dengan semakin banyak jumlah anggota keluarga petani padi dilahan gambut kabupaten Pelalawan akan meningkatkan efisiensi produksi padi.

Hasil dari tujuan kedua Efisiensi alokatif adalah salah satu jenis efisiensi dalam ekonomi produksi. Efisiensi alokatif menunjukan seberapa jauh suatu usaha yang dilakukan menggundapat kombinasi optimal dari input yang digundapat untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Jika penambahan input dalam sebuah usaha yang dilakukan dapat memaksimalkan keuntungan maka dapat dikatakan bahwa efisiensi alokatif telah tercapai. Hal ini dilihat dari nilai produk marginal yang dibagi dengan nilai inputnya (Pxi). Analisis efisiensi alokatif hanya dilakukan pada faaktor-faktor proiduksi memiliki pengaruh secara signifikan terhadap produksi usatani padi saja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada usahatani padi di lahan gambut Kabupaten Pelalawan dan hasil analisis data yang telah dilakukan, maka didapat hasil bahwa faktor-faktor produksi yang berpengaruh secara signifikan terhadap produksi adalah luas lahan, benih dan pupuk urea. Analisis efisiensi alokatif hanya dilakukan terhadap dua variabel lain yaitu benih dan pupuk urea. Sedangkan untuk luas lahan tidak di analisis menggunakan analisis efisiensi alokatif di karena faktor produksi uas lahan tidak mengeluarkan biaya dan dari itu tidak dapat di analisis efisiensi alokatif. Hasil analisis efisiensi alokatif 2 faktor yang signifikan pada usahatani padi di lahan gambut Kabupaten Pelalawan pada tabel 3: Tabel 3. Hasil Analisis Efisiensi Alokatif usahatani padi di lahan gambut di Kabupaten

Pelalawan.

Faktor Produksi Ki Sig. Keterangan Uji t Benih 19,62901 0 Belum efisien Pupuk Urea 37,03344 0 Belum efisien

Sumber: Analisis data primer 2018 Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa penggunaa benih dan pupuk urea usahatani

padi di lahan gambut di Kabupaten Pelalawan belum mencapai tingkat efisiensi alokatif. Hal ini ditunjukkan dengan nilai ki, yaitu Benih dan pupuk urea > 1. Nilai k yang diperoleh kemudian diuji menggundapat uji t untuk mengetahui bedanyata antara nilai k yang diperoleh terhadap nilai 1 sebagai kontrol. Nilai 1 digunakan sebagai kontrol berarti penggunaan faktor produksi dalam usahatani padii di lahan gambut di Kabpaten Pelalawan dinyatakan efisien.

Penjelasan masing-masing tingkat efisiensi alokatif faktor produksi tersebut sebagai berikut:

a. Benih Pada penggunaan benih dapat dilihat dari tabel 3 Penggunaan benih oleh petani belum

efisien secara alokatif yang ditunjukkan oleh nilai perbandingan NPMxi/Pxi atau k lebih dari 1 dengan benih sebesar 19,6. Kemudian nilai ki kemudian diuji menggundapat uji t dan diperolej nilai sig. 0,000 (<α), sehingga H0 ditolak yang berarti nilai ki hasil observasi berbeda nyata terhadap angka 1 (kontrol). Untuk mendapatkan produksi yang efisien, petani dapat menambah penggunaan benih untuk ditanam. Rata-rata petani menggundapat benih sebanyak 28,47 kg/ha. Kondisi tersebut masih di bawah anjuran paket tekhnologi yaitu sebesar 35 kg/ha. Selain itu, sebagian besar petani masih menggundapat benih dari hasil panen. Kondisi benih yang

Page 63: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

276 JEPA, 3 (2), 2019: 267-277

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

dihasilkan dari panen dapat menurun kualitas nya jika ditanam untuuk kedua kalinya. Untuk itu, petani masih bisa menambah jumlah benih yang ditanam agar usahataninya efisien.

b. Pupuk Urea Pada penggunaan pupuk dapat dilihat dari tabel 3 Penggunaan pupuk urea oleh petani belum efisien secara alokatif yang ditunjukkan oleh nilai perbandingan NPMxi/Pxi atau k lebih dari 1 dengan pupuk urea sebesar 37,0. Kemudian nilai ki kemudian diuji menggundapat uji t dan diperolej nilai sig. 0,000 (<α), sehingga H0 ditolak yang berarti nilai ki hasil observasi berbeda nyata terhadap angka 1 (kontrol). Untuk mendapatkan produksi yang efisien, petani dapat menambah penggunaan pupuk urea untuk ditanam. Rata-rata petani menggundapat pupuk urea sebanyak 48,76 kg/ha. Kondisi tersebut masih di bawah anjuran paket teknologi yaitu sebesar 250 kg/ha. Pupuk urea itu sangat berguna di lahan marjinal seperti lahan gambut dikarena bisa menambahkan unsur hara tanah. Untuk itu, petani masih bisa menambah jumlah pupuk urea agar usahataninya efisien.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan penelitian diketahui bahwa faktor-faktor produksi yang berpengaruh positif

pada padi lahan gambut di Kabpaten Pelalawan Provinsi Riau lahan, penggunaan benih dan penggunaan pupk urea. Penggunaan faktor prodksi benih dan pupuk urea belum efisien secara alokatif

Saran 1. Menambahkan faktor produksi jumlah benih dan pupuk urea juga dapat meningkatkan

efisiensi produksi dari usahatani padi di lahan gambut Kabupaten Pelalawan, sehingga petani dapat dapat meningkatkan pendapatan dan pastinya dapat menaikkan keuntungan dari usahatani padi di lahan gambut Kabupaten Pelalawan.

2. Petani hendaknya memakai dolomit hingga tingkat yang efisien dikarenakan lahannya tanah gambut dan bersifat masam.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, K., Susanti, M. A. and Masganti (2017) ‘Potensi Dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Dangkal Untuk Pertanian’, Jurnal Sumberdaya Lahan, 11(1), pp. 43–52. Arta, S. B., Darwanto, D. H. and Irham, I. (2014) ‘Allocative Efficiency Analysis of Sorghum

Production Factors in Gunungkidul District’, Agro Ekonomi, 24(1), pp. 78–83. Husaini, M. (2012) ‘Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi

dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan’, Jurnal Agrides, 2(2), p. 122.

Ratmini, N. S. (2012) ‘Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian’, Jurnal Lahan Suboptimal, 1(2), pp. 197–206.

Soekartawi (2003) ‘Teori dan Aplikasinya, Cetakan Ketujuh. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.’

Supriyo, A. and Maftu’ah, En. (2009) ‘Teknologi Rehabilitasi Lahan Gambut Bongkor Untuk Budidaya Padi’, 9(1), pp. 58–67.

Page 64: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ahmad Nazeb – Efisiensi Alokatif Usahatani Padi Pada Lahan Gambut ..........................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

277

Utama, M. Z. H. and Haryoko, W. (2009) ‘Pengujian Empat Varietas Padi Unggul Pada Sawah Gambut Bukaan Baru di Kabupaten Padang Pariaman’, Jurnal Akta Agrosia, 12(1), pp. 56–61.

Wibishanna, A. and Mustadjab, M. M. (2016) ‘Analisis Efisiensi Alokatif Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Jagung di Desa Dengkol , Kecamatan Singosari, Malang’, 26(2), pp. 136–143.

Widyati, E. (2011) ‘Overview on Optimizatin of Peat Lands Management and Climate Change Issues’, Tekno Hutan Tanaman, 4(2), pp. 57–68.

Page 65: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 278-293

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.6

STRATEGI PENGEMBANGAN UMBI MINI BAWANG MERAH TRUE SHALLOT SEED DI KABUPATEN GROBOGAN

THE DEVELOPMENT STRATEGY OF SHALLOT MINI TUBER

TRUE SHALLOT SEED IN GROBOGAN REGENCY

Nafiatul Khoyriyah1*, Titik Ekowati2, Syaiful Anwar2 1Mahasiswa Jurusan Magister Agribisnis Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Diponegoro Semarang 2Dosen Jurusan Magister Agribisnis Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Diponegoro Semarang *Penulis Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The purpose of study was to analyze the factors that affect the income and the development strategy of shallots mini tubers True Shallot Seed in Grobogan Regency. The research was conducted on September - November 2017 in Penawangan and Winong Village, Penawangan District, Grobogan Regency. The method of this research was survey method with 86 respondents. Data analysis used to answer the objectives were multiple linear regression analysis and SWOT (strenghts, weaknesses, opportunities, threats). The results showed that the income of mini onion farming of True Shallot Seed onion was IDR. 241,056,245 / hectare / planting season with an average cost of IDR. 60,827,317 / hectare / planting season. Based on the result of t-test that the variables analyzed of seed cost, chemical fertilizer cost, biofertilizer cost, pesticide cost and labor cost were significantly affect the income of shallots mini tubers farming of True Shallot Seed onion with significance value at 5% level while variable cost of land rent and screen house cost have no significant effect to shallots mini tubers income of True Shallot Seed. The result analysis of SWOT was obtained coordinates (0.609: 0.271) in which this coordinate is in quadrant I which means Strategy Aggressive.This strategy showed the position of shallots mini tubers system True Shallot Seed which is strong and potentially.The implication of this research was the high cost of seed and the cost of biological fertilizer in the farming process was very influential to the farmer's income, increase of True Shallot Seed mini bulbs by optimizing production strategy, increasing the resources and technology, and increasing the role of supporting institution.

Keywords: income, strategy, swot, true shallot seed

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan serta strategi pengembangan usahatani umbi mini bawang merah True Shallot Seed di Kabupaten Grobogan. Penelitian dilaksanakan pada bulan September – November 2017 di Desa Penawangan dan Winong, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. Metode penelitian menggunakan metode sensus dengan jumlah sampel responden sebanyak 86 orang. Analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan adalah analisis regresi linier berganda dan SWOT (strenghts, weaknesses, opportunities, threats). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan

Page 66: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nafiatul Khoyriyah – Strategi Pengembangan Umbi Mini Bawang Merah .......................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

277

usahatani umbi mini bawang merah True Shallot Seed sebesar Rp. 241.056.245 /hektar/musim tanam dengan rata-rata biaya sebesar Rp. 60.827.317/hektar/musim tanam. Berdasarkan hasil uji t bahwa variabel yang dianalisis meliputi biaya benih, biaya pupuk kimia, biaya pupuk hayati, biaya pestisida dan biaya tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani umbi mini bawang merah True Shallot Seed dengan nilai signifikansi pada taraf 5 % sedangkan variabel biaya sewa lahan dan biaya screen house tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan umbi mini bawang merah True Shallot Seed. Hasil analisis SWOT diperoleh koordinat (0,609 : 0, 271) yang mana koordinat ini berada pada kuadran I yang artinya Strategi Agresif. Strategi ini menunjukkan posisi usahatani umbi mini bawang merah True shallot seed yang kuat dan berpeluang. Implikasi penelitian ini adalah biaya benih dan biaya pupuk hayati yang tinggi dalam proses usahatani sangat berpengaruh terhadap pendapatan petani, peningkatan umbi mini True Shallot Seed dengan mengoptimalkan strategi produksi, peningkatan sumber daya manusia dan teknologi, dan peningkatan peran lembaga pendukung.

Kata kunci: pendapatan, strategi, swot, true shallot seed

PENDAHULUAN

Bawang merah merupakan suatu komoditas unggulan jenis sayuran semusim yang banyak dikembangkan di Indonesia setelah komoditas cabai besar dan rawit. Penggunaan bawang merah di Indonesia diantaranya untuk konsumsi rumah tangga, konsumsi non rumah tangga (bahan baku olahan/industri, benih, hotel-restoran-catering), dan ekspor. Bawang merah sebagai bahan utama bumbu masakan yang belum dapat digantikan oleh komoditas lain sehingga menyebabkan inflasi karena pengaruh kenaikan harga. Hal ini diakibatkan tidak stabilnya pasokan bulanan yang tidak sesuai dengan permintaan bawang merah yang terus mengalami peningkatan seperti pada Tahun 2015 sebanyak 954.034 ton dan Tahun 2016 sebanyak 1.042.951 ton (Ditjen Hortikultura Kementrian Pertanian, 2016). Pasokan bawang merah bulanan sangat bergantung pada produksi musiman, saat musim hujan tiba produksi rendah. Gangguan terhadap pasokan bawang merah akan menyebabkan ketidakstabilan harga, biasanya harga akan turun pada saat musim panen raya dan harga tinggi pada saat jumlah produksi menurun.

Pendapatan usahatani merupakan ukuran dalam menilai keberhasilan suatu usahatani dan juga merupakan faktor keberlanjutan suatu usaha. Pendapatan adalah semua penghasilan yang menyebabkan bertambahnya kemampuan baik yang digunakan untuk keperluan hidup maupun kepuasaan. Pendapatan petani pada usahatani bawang merah dapat di tingkatkan jika kendala utama produksi dapat diatasi. Kendala utama dalam produksi bawang merah adalah masih minimnya ketersediaan benih bermutu, baik dalam jumlah maupun harga benih.

Benih yang merupakan komponen biaya terbesar kedua dalam usahatani bawang merah (Nurasa dan Darwis, 2007). Penggunaan benih bermutu dan berkualitas merupakan faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi bawang merah. Bawang merah umumnya diproduksi dengan menggunakan umbi sebagai bahan tanam atau sumber benih berasal dari perbanyakan vegetatif. Penyediaan benih bermutu secara kuantitas sangat terbatas setiap tahunnya sekitar 20% - 22,5 % per tahun (Direktorat Jenderal Hortkultura, 2017). Kebutuhan benih saat ini banyak dipenuhi dari umbi konsumsi atau benih impor. Penggunaan benih secara terus menerus oleh petani juga menyebabkan semakin menurunnya mutu umbi karena akumulasi penyakit tular benih termasuk virus, layu fusarium yang berakibat kepada menurunnya produktivitas tanaman (Permadi, 1995).Upaya yang dilakukan pemerintah saat ini

Page 67: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

278 JEPA, 3 (2), 2019: 278-293

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pengembangan inovasi perbenihan bawang merah asal True Shallot Seed (TSS), perbenihan ini diharapkan mempunyai dampak yang nyata terhadap pasokan bawang merah dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat maupun petani.

True Shallot Seed (TSS) adalah bawang merah yang berasal dari biji yang mempunyai kelebihan antara lain penggunaan sebagai benih hanya 3 – 7,5 kg/ha, biaya penyediaan lebih murah, umur simpan lebih lama, mudah dan murah, variasi mutu benih rendah dan produktivitas tinggi (Permadi, 1995). Menurut Basuki (2009) penggunaan TSS sebagai bahan tanam mampu meningkatkan hasil hingga dua kali lipat dibandingkan penggunaan umbi konsumsi. Bawang merah TSS ini juga mempunyai daya simpan hingga satu tahun. Keunggulan teknologi perbanyakan benih bawang merah umbi mini asal TSS ini, memudahkan petani dalam kegiatan usahatani TSS tanpa merubah cara budidaya yang dilakukan.Selain itu umbi mini yang dihasilkan sebagai benih mempunyai mutu tinggi, lebih sehat, bebas patogen penyakit, umbi lebih besar dan berkualitas (Putrasamedja, 2011). Perbedaan dengan benih umbi biasa, benih umbi biasa rentan membawa patogen penyakit yang diakibatkan penggunaan umbi dari generasi ke generasi, tidak tahan terhadap penyimpanan yang lama, hasil produktivitas umbi bawang merah dapat menurun dan tingkat heterogenitas benih umbi yang tinggi (Suwandi dan Hilman, 1995) sedangkan umbi mini menghasilkan benih umbi yang berkualitas tinggi, produktivitas tinggi dan tahan terhadap serangan penyakit serta mempermudah distribusi dan menghemat biaya transportasi benih (Pangestuti & Sulistyaningsih 2011). Umbi mini dihasilkan dari biji botani TSS menjadi G0 (umbi mini TSS), kemudian di perbanyak menjadi G1, G2 dan G3 sebagai sumber benih.

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu penyangga produksi bawang merah di Indonesia dengan kontribusi 32% dari produksi nasional mengembangkan perbenihan bawang merah umbi mini melalui TSS dengan sentra perbenihan yaitu Kabupaten Grobogan. Grobogan merupakan daerah unggulan bawang merah dengan luas tanam mencapai 930 ha dan produksi 79.818 kuintal (BPS Grobogan, 2017). Pengembangan bawang merah bersama BPTP (Badan Pengkajian Teknologi pertanian) Provinsi Jawa Tengah melalui teknologi TSS ini dapat meningkatkan luas tanam dan produksi bawang merah di Grobogan.

Grobogan saat ini menjadi salah satu champion (sentra perbenihan) bawang merah dari biji atau TSS tingkat nasional. Potensi pengembangan bawang merah TSS yang tinggi di Kabupaten Grobogan ini akan memberikan peluang yang besar untuk penangkar, petani, maupun pengusaha agribisnis dan pemerintah untuk mendukung program mandiri benih. Kendala dalam bidang agribisnis dapat terjadi pada bawang merah TSS, hal ini dikarenakan umbi mini bawang merah TSS ini merupakan inovasi baru yang belum dikenal masyarakat sehingga masih banyak kelemahan-kelemahan yang dimiliki. Daerah yang mengembangkan umbi mini di Grobogan hanya 7 Kecamatan diantara 19 Kecamatan (sekitar 37 %) di antaranya Kecamatan Ngaringan, Wirosari, Kradenan, Penawangan, Karangrayung, Klambu dan Tanggungharjo. Berbagai upaya harus dilakukan untuk peningkatan produksi umbi mini bawang merah TSS, selain dari faktor proses usahatani (input) pengelolaan yang terencana, terarah, terintegrasi serta kebijaksanaan yang mendukung harus di susun. Penyusunan tersebut dapat dilakukan dengan strategi pengembangan, pada strategi pengembangan dapat diketahui faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan umbi mini TSS ini. Faktor internal dan eksternal menghasilkan suatu strategi yang disebut analisis SWOT. Pada analisis SWOT tertuang kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan ancaman (threat) yang akan menentukkan strategi pengembangan yang layak dilaksanakan untuk peningkatan pendapatan serta strategi pengambilan kebijakan untuk pengembangan umbi mini bawang merah TSS selanjutnya.

Page 68: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nafiatul Khoyriyah – Strategi Pengembangan Umbi Mini Bawang Merah .......................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

279

Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan serta strategi pengembangan umbi mini bawang merah TSS di Kabupaten Grobogan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan September – November 2017 di Kecamatan Penawangan

yaitu Desa Penawangan dan Desa Winong Kabupaten Grobogan. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian adalah metode sensus, dimana data yang diambil secara deskriptif dengan pengumpulan data untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Data yang dikumpulkan dan dianalisis yaitu data teknis dan sosial ekonomi. Jumlah sampel responden teridir dari 73 petani dan 13 ahli bidang umbi mini bawang merah TSS. Teknik pengumpulan yang dilakukan ada beberapa cara antara lain : Pengamatan langsung (observasi), wawancara terhadap pihak-pihak terkait, pengisian kuesioner dilakukan oleh responden, dan studi dokumentasi untuk mengumpulkan data dan informasi. Sumber data yang digunakan ada 2 (dua) yaitu data primer dan sekunder. Analisis data dimaksudkan untuk membahas dan menjabarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang selanjutnya ditarik suatu kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan penelitian.

Analisis data penelitian yaitu menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pengembangan umbi mini bawang merah True Shallot Seed di Kabupaten Grobogan. Pendapatan merupakan selisih penerimaan dengan semua biaya produksi (Rahim dan Hastuti Dwi R. D, 2007), dianalisis secara sistematis dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

π = TR – TC TR = P x Y TC = TFC + TVC

Keterangan : π : Pendapatan (Rupiah/ha/musim) TR : Total Revenue (Total Penerimaan) TC :Total Cost (Total Biaya) TVC :Total Variable Cost (Total Biaya Variabel) TFC :Total Fixed Cost (Total Biaya Tetap) P : Harga tiap satuan produk Y : Total Produksi Analisis pengaruh biaya-biaya usahatani terhadap pendapatan adalah dengan

menggunakan metode regresi linier berganda ini yang menjelaskan pengaruh variabel terhadap pendapatan (Y) secara statistik persamaannya adalah :

Y = a + b1yX1+ b2yX2+ b3yX3+ b4yX4+ b5yX5+ b6yX6+ b7X7+E

Keterangan : Y : Pendapatan (Rupiah/ha/musim) a : Konstanta regresi b1, 2, 3, ..... : Koefisien regresi untuk variabel 1, 2, 3,..... X1 : Biaya sewa lahan (Rp/ha) X2 : Biaya screen house (Rp/ha) X3 : Biaya benih (Rp/ha)

Page 69: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

280 JEPA, 3 (2), 2019: 278-293

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

X4 : Biaya pupuk kimia (Rp/ha) X5 : Biaya pupuk hayati/alami (Rp/ha) X6 : Biaya pestisida (Rp/ha) X7 : Biaya tenaga kerja (Rp/ha) E : Epsillon (kesalahan pengganggu) yang berpengaruh terhadap

pendapatan Variasi faktor-faktor X (variabel bebas) yang dapat mempengaruhi variasi yang ada

pada Y (variabel terikat) dapat dihitung dengan menggunakan koefisien determinasi (R2). Operasionalisasi analisis regresi linier berganda dengan menggunakan program SPSS.

Tujuan penelitian kedua dapat dianalisis menggunakan strategi pengembangan umbi mini bawang merah TSS digunakan analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, Threats), dengan cara menganalisis kekuatan dan kelemahan yang dipunyai dan menganalisis peluang dan ancaman yang harus dihadapi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kabupaten Grobogan Kabupaten Grobogan merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang terletak

diantara 1100 15’BT - 1110 25’ BT dan antara 70 LS – 70 30’ LS. Secara geografis, grobogan adalah lembah yang diapit oleh dua pegunungan kapur, yaitu Pegunungan Kendeng di bagian selatan dan Pegunungan Kapur Utara di bagian utara serta bagian tengahnya merupakan dataran rendah. Kondisi geografis Grobogan cocok untuk pertanian seperti tanaman pangan dan hortikultura. Luas Grobogan mencapai 197.586,420 hektar terbagi menjadi lahan sawah seluas : 63.928 ha (31,77 %) dan lahan kering seluas : 134.822 ha (68,23 %). Lahan sawah dikelompokkan berdasarkan penggunaan irigasinya menjadi sawah irigasi teknis, ½ teknis, sederhana, irigasi desa/non PU serta sawah tadah hujan yang digunakan untuk usahatani tanaman pangan dan hortikultura meliputi padi, jagung, kedelai, bawang merah, cabai, melon dan semangka. Pada Tahun 2014 perkembangan wilayah pertanian komoditas hortikultura semakin meningkat di Grobogan diantaranya Kecamatan Penawangan, Klambu, Tanggungharjo, Tawangharjo, Tegowanu dan lainnya. Lahan kering dikelompokkan menjadi pekarangan/bangunan, tegal/kebun, hutan negara dan lahan kering lainnya.

Karakteristik Petani Responden Karakteristik responden adalah uraian atau gambaran mengenai identitas responden

pada penelitian. Karakteristik responden merupakan ciri spesifik seperti umur, pendidikan dan lain sebagainya. Penelitian Asih (2009) menyebutkan bahwa karakteristik berupa umur, pendidikan dan status usahatani berpengaruh terhadap ketrampilan petani dalam mengelola usahatani bawang merah. Berdasarkan hasil penelitian diketahui karakteristik responden pada pengembangan umbi mini bawang merah TSS di Kabupaten Grobogan rata-rata terbanyak berumur 40 – 49 tahun sebesar 42,47 %. Hal ini menunjukkan bahwa petani di daerah penelitian berada pada usia produktif, dimana petani cukup potensial untuk melakukan kegiatan usahataninya. Umur produktif secara ekonomi dapat diartikan bahwa pada umumnya tingkat kemauan, semangat, dan kemampuan dalam mengembangkan usahataninya cenderung tinggi (Mantra, 2004). Karakteristik petani responden pada tingkat pendidikan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal yang dikenyam petani mayoritas SMA/SMK sebanyak 34,25 %.

Page 70: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nafiatul Khoyriyah – Strategi Pengembangan Umbi Mini Bawang Merah .......................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

281

Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden tergolong tinggi. Tingginya pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan petani, cara berfikir dan bertindak dalam rangka pengelolaan usahataninya. Karakteristik petani responden pada tingkat luas lahan garapan menunjukkan rata-rata tingkat luas lahan garapan sempit (0,20-1) sebanyak 79,45 %. Hal ini menunjukkan bahwa petani pada daerah Grobogan umumnya hanya memiliki lahan sempit yang ditanami dibawah 1 hektar sehingga akan mempengaruhi efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi yang akan mempengaruhi keuntungan yang diperoleh petani.

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Karakteristik Responden

- Faktor Produksi (Input) 1. Lahan

Petani bawang merah di Kabupaten Grobogan khususnya Kecamatan Penawangan (Desa Penawangan dan Winong) melakukan penanaman bawang merah sebanyak 2-5 kali tanam dalam satu tahun. Lahan yang digunakan petani di Desa Penawangan dan Desa Winong Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan untuk usahatani umbi mini bawang merah TSS adalah lahan sawah dengan ketinggian 50-150 m diatas permukaan laut. Rata-rata lahan yang digunakan untuk budidaya umbi mini bawang merah TSS di Kabupaten Grobogan adalah 0,89 ha/musim tanam.

2. Screen house Penggunaan screen house di Kabupaten Grobogan (Desa Penawangan dan Desa

Winong) untuk persemaian bibit TSS yang akan dipindahkan ke lahan, karena bibit TSS sangat

Keterangan Responden

Jumlah Persentase Orang .......%.....

Umur (Tahun) 20 – 29 2 2,74 30 – 39 16 21,92 40 – 49 31 42,47

> 50 24 32,88 Pendidikan

SD 21 28,76 SMP 18 24,65

SMA/SMK 25 34,25 Perguruan Tinggi 9 12,32

Luas Lahan Garapan (ha)

Sempit (0,20-1) 58 79,45

Sedang (1,1-3) 8 10,95

Luas (>3) 7 9,58

Page 71: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

282 JEPA, 3 (2), 2019: 278-293

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

rentan terhadap cuaca yang terlalu panas dan curah hurah hujan yang terlalu tinggi. Selain untuk persemaian screen house juga digunakan untuk budidaya bagi petani yang mempunyai lahan screen house yang luas. Screen house yang digunakan petani grobogan umumnya terbuat dari plastik uv, kain kasa dan paranet sedangkan screen house yang dari bantuan pemerintah biasanya dari PT. Takiron yang terbuat dari besi pada tiangnya. Rata-rata lahan yang digunakan petani Grobogan untuk pembangunan screen house adalah 2.514 m2 atau 0,25 ha.

3. Benih Benih merupakan salah satu faktor penentu produksi tanaman, untuk mendapatkan

produksi maksimal harus menggunakan benih yang bersertifikasi. Benih yang digunakan untuk produksi umbi mini bawang merah TSS di Desa Penawangan dan Desa Winong Kecamatan Penawangan ada 2 yaitu benih lokal hasil BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) dan benih dari PT. East West Seed Indonesia. Benih lokal asal BPTP varietasnya Bima Brebes dan Trisula sedangkan benih asal PT. East West Seed Indonesia varietas Tuk-Tuk. Benih yang digunakan petani untuk budidaya umbi mini bawang merah TSS rata-rata sebesar 0,95 kg/ha/musim tanam.

4. Pupuk Kimia Pupuk kimia atau buatan juga digunakan untuk memacu pertumbuhan dan hasil

tanaman. Pupuk kimia yang digunakan umumnya NPK Phonska 15:15:15 subsidi dari pemerintah sehingga menekan biaya produksi untuk usahatani umbi mini bawang merah TSS. Penggunaan pupuk kimia untuk budidaya umbi mini bawang merah TSS rata-rata sebanyak 2.159 kg/ha/musim tanam.

5. Pupuk Hayati/alami Pupuk hayati/alami yang digunakan untuk usahatani adalah pupuk kandang dengan

campuran mikroba yang diaplikasikan pada pemupukan dasar yaitu 2 minggu sebelum tanam atau pupuk organik cair yang mengandung trichoderma sp. Rata-rata penggunaan pupuk hayati/alami untuk budidaya umbi mini bawang merah TSS adalah 4.251 kg/ha/musim tanam.

6. Pestisida Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman bawang merah TSS dengan

menggunakan pestisida kimia yang dibeli dari toko-toko atau pertanian tingkat Desa maupun Kecamatan. Jenis pestisida yang sering dipakai adalah fungisida dan insektisida, karena yang paling banyak menyerang tanaman bawang merah adalah jamur daan ulat. Rata-rata penggunaan pestisida pada budidaya umbi mini bawang merah TSS sebanyak 1.188 ml/ha/musim tanaman.

7. Tenaga Kerja Tenaga kerja pada kegiatan usahatani banyak menggunakan tenaga luar keluarga. Pada

usahatani umbi mini bawang merah ini membutuhkan banyak tenaga kerja mulai dari persemaian benih TSS hingga pembuatan benih umbi mini. Tenaga kerja yang menangani usahatani umbi mini bawang merah TSS di Kabupaten Grobogan rata-rata usia produktif. Penggunaan tenaga kerja untuk proses budidaya umbi mini bawang merah TSS rata-rata sebanyak 135 /HOK/ha/musim tanam. Biaya-biaya produksi

Ada 2 macam biaya dalam proses produksi yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap seperti biaya sewa lahan dan biaya screen house. Hasil dari perhitungan didapatkan biaya tetap sebesar Rp. Rp. 11.520.519 /hektar/musim tanam sedangkan biaya variabel merupakan yang dikeluarkan yang bisa dipakai berulang-ulang dalam proses produksi (Mubyarto, 1985).

Page 72: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nafiatul Khoyriyah – Strategi Pengembangan Umbi Mini Bawang Merah .......................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

283

Biaya variabel yang ada pada penelitian ini seperti biaya benih, biaya pupuk kimia dan pupuk hayati, pestisida, dan tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan biaya variabel sebesar Rp. 49.306.797 /hektar/musim tanam.

Tabel 2. Biaya-Biaya Produksi

Uraian Jumlah Rp/ha/musim tanam

Persentase .....%......

1.Biaya Tetap -Biaya sewa lahan 9.006.849 0,14 -Biaya screen house 2.513.670 0,04

Jumlah 11.520.519 0,18 2.Biaya Variabel -Biaya benih 7.118.151 0,12 -Biaya pupuk kimia 5.181.301 0,08 -Biaya pupuk hayati/

alami 7.233.425 0,12

-Biaya pestisida 1.782.592 0,03 -Biaya tenaga kerja 27.991.329 0,47

Jumlah 49.306.797 0.82 Total 60.827.317 100,00

Biaya sewa lahan yang digunakan untuk membayar sewa dari tanah yang dipinjam

petani untuk kegiatan usahataninya. Biaya sewa lahan di kedua Desa penelitian rata-rata yaitu sebesar Rp. 9.006.849/ha/musim tanam. Biaya screen house merupakan tempat penunjang untuk kegiatan budidaya umbi mini bawang merah agar terhindar dari cuaca yang tidak sesuai dan terlindung dari serangan hama maupun penyakit. Rata-rata biaya yang digunakan untuk pembangunan screen house adalah Rp. 2.513.670 /ha/musim tanam. Biaya benih, benih yang digunakan untuk usahatani umbi mini bawang merah TSS adalah produk perusahaan varietas (tuk-tuk) dan lokal (bima dan trisula). Rata-rata harga benih varietas tuk-tuk ditoko pertanian daerah penelitian adalah Rp. 75.000 – Rp. 85.000 / pcs dan benih lokal varietas bima dan trisula masih bantuan dari pemerintah. Rata-rata biaya pembelian benih oleh responden sebesar Rp. 7.118.151 /ha/musim tanam. Biaya pupuk kimia, pupuk kimia adalah salah satu penunjang untuk peningkatan pertumbuhan dan memacu penggunaan pupuk hayati agar cepat meresap ke dalam tanah dengan takaran sesuai anjuran dosis. Pemupukan kimia diperlukan setiap periode umur tanaman sehingga produksi dapat optimal guna meningkatkan pendapatan. Rata-rata biaya pembelian pupuk adalah Rp. 5.181.301/ha/musim tanam. Biaya pupuk hayati, penggunaan pupuk hayati sangat diperlukan untuk meningkatkan unsur hara pada tanah sehingga tanaman dapat tumbuh dan berproduksi tinggi. Pupuk hayati digunakan sebagai pupuk dasar yaitu sebelum proses penanaman, rata-rata biaya pembelian pupuk hayati sebesar Rp. 7.233.425 /ha/musim tanam. Biaya Pestisida, penggunaan pestisida yang dilakukan petani responden usahatani umbi mini bawang merah TSS dilakukan secara intensif. Upaya pengendalian hama dan penyakit pada tanaman dimaksudkan untuk mempertahankan hasil akibat serangan hama dan penyakit sehingga produksi diharapkan akan lebih baik. Produksi yang baik akan meningkatkan pendapatan petani. Rata-rata biaya usahatani untuk pembelian pestisida adalah Rp. 1.782.592/ha/musim tanam. Biaya tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja yang efektif dapat mendorong keberhasilan usahatani disamping memiliki ketrampilan serta pengalaman yang memadai merupakan faktor yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan. Tenaga kerja yang digunakan pada umumnya berasal dari dalam keluarga. Secara umum penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan usahatani umbi mini bawang merah TSS adalah pengolahan tanah,

Page 73: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

284 JEPA, 3 (2), 2019: 278-293

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

penyemaian, penanaman, pemeliharaan tanaman, panen dan pasca panen. Jumlah biaya penggunaan tenaga kerja pada usahatani umbi mini bawang merah TSSdinyatakan dalam Hari Orang Kerja (HOK), dimana upah untuk tenaga kerja rata-rata sebesar Rp. 27.991.329/ha/musim tanam.

Produksi rata-rata yang diperoleh dari usahatani umbi mini bawang merah TSS adalah 7,940 kg/ha. Harga rata-rata umbi mini bawang merah TSS pada usahatani di Kabupaten Grobogan khususnya Desa Penawangan dan Desa Winong adalah Rp. 42.630 / kg. Total penerimaan responden usahatani umbi mini bawang merah TSS untuk satu kali musim tanam rata-rata sebesar Rp. 301.883.562 /ha/musim tanam.

Analisis Pendapatan Usahatani Umbi Mini Bawang Merah True Shallot Seed Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan biaya produksi,

pendapatan dapat digunakan petani untuk mengetahui bahwa usahataninya merugikan atau menguntungkan. Menurut Hernanto (1995) menyebutkan bahwa pendapatan usahatani adalah total penerimaan yang berasal dari nilai penjualan hasil ditambah dari hasil-hasil yang dipergunakan sendiri, dikurangi dengan total pengeluaran. Tabel 3. Rata-rata Pendapatan Usahatani Umbi Mini Bawang Merah True Shallot Seed di

Kabupaten Grobogan

Analisis Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Pendapatan Umbi Mini Bawang Merah True Shallot Seed Analisis yang digunakan untuk mengatasi permasalahan yang melibatkan dua atau lebih

variabel bebas disebut regresi linier berganda.Teknik regresi linier berganda bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel dependent terhadap variabel independent. Berikut ini hasil uji regresi linier berganda : 1. Uji Asumsi Klasik

- Uji Normalitas Berdasarkan hasil uji asumsi klasik menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan

memenuhi asumsi normalitas. Diketahui bahwa nilai signifikansi (Asymp. Sig. 2-tailed) menunjukkan sebesar 0,680. Karena signifikansi lebih dari 0,05 (0,680 > 0,05), maka nilai residual tersebut telah normal. - Uji Multikolonieritas

Berdasarkan uji multikolinearitas nilai Tolerance berada di bawah <1 dan VIF < 10, sehingga diperoleh kesimpulan tidak terjadi gejala multiokolinearitas dalam penelitian ini. Penelitian ini dapat dipercaya dan objektif. - Uji Autokorelasi

Berdasarkan hasil uji Durbin Watson (DW-test) menunjukkan angka DW-test sebesar 1,873. Apabila statistik DW terletak antara -2 dan +2 atau -2 < DW < + 2, maka tidak terjadi autokorelasi. Hasil uji menunjukkan bahwa model regresi tidak terbukti adanya autokorelasi, karena -2 < DW 1,873< +2. - Uji Heteroskedastisitas

No. Uraian Jumlah 1. Total Produksi (Kg/ha) 7.940 2. Harga Tiap Satuan Produk (Rp/kg) 42.630 3. Total Penerimaan (Rp/ha) 301.883.562 4. Total Biaya (Rp/ha) 60.827.317 5. Pendapatan (Rp/ha) 241.056.245

Page 74: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nafiatul Khoyriyah – Strategi Pengembangan Umbi Mini Bawang Merah .......................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

285

Berdasarkan hasil uji scatterplot diatas terlihat titik-titik grafik menyebar diatas maupun dibawah angka nol pada sumbu Y dan tidak membentuk pola, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. 2. Uji Statistik -Analisis Koefisien Determinasi (R2)

Hasil uji koefisen determinasi ini dapat dilihat bahwa koefisien determinasi adalah 0,702 yang berarti sebanyak 70,2 % yaitu variabel independent berpengaruh terhadap variabel dependent. Hal ini menunjukkan bahwa variabel biaya sewa lahan, biaya screen house, biaya benih, biaya pupuk kimia, biaya pupuk hayati, biaya pestisida dan biaya tenaga kerja mempunyai pengaruh sebesar 70,2 % terhadap pendapatan dan sisanya 29,8 % dipengaruhi faktor lain selain variabel bebas yang terdapat pada persamaan regresi linier berganda. - Uji F atau Anova

Berdasarkan hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa signifikansi 0,000 pada taraf 5%. Hal ini menunjukkan, jika variabel independent yaitu biaya sewa lahan (X1), biaya screen house (X2), biaya benih (X3), biaya pupuk kimia (X4), biaya pupuk hayati (X5), biaya pestisida (X6) dan biaya tenaga kerja (X7) secara keseluruhan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependent yaitu Pendapatan (Y) pada taraf uji 5% atau 0,05. - Uji t

Hasil Uji t yang diperoleh menginformasikan model persamaan regresi dengan koefisien konstanta dan koefisien variabel yang ada di kolom Unstandardized Coefficients B. Dari hasil pengolahan data melalui program SPSS didapat persamaan regresi sebagai berikut :

Y = 422249579,1 + 6,117X1 + 4,634 X2 - 19,460 X3 - 5,094 X4 - 6,376 X5

- 40,481 X6+ 1,260 X7

Berdasarkan hasil regresi dapat diketahui pengaruh variabel independent yaitu biaya sewa lahan dan biaya screen house tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependent. Biaya benih, biaya pupuk kimia, biaya pupuk hayati, biaya pestisida dan biaya tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap variabel dependent yaitu pendapatan, hasil dari persamaan regresi tersebut dapat dilihat terperinci sebagai berikut : a. Pendapatan

Nilai konstanta a = 422249579,1 menunjukkan nilai yang positif dengan signifikansi 0,00 pada taraf (a) 5 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh seluruh variabel bebas akan meningkatkan pendapatan usahatani umbi mini bawang merah TSS sebesar Rp. 422.249.579,1 Secara serempak pendapatan usahatani umbi mini bawang merah TSS dipengaruhi seluruh variabel bebas yaitu biaya sewa lahan, biaya screen house, biaya benih, biaya pupuk kimia, biaya pupuk hayati, biaya pestisida dan biaya tenaga kerja. b. Variabel Biaya Sewa Lahan

Variabel biaya sewa lahan memiliki nilai signifikansi sebesar 0,063 pada taraf (a) 5% sehingga variabel tidak berpengaruh terhadap pendapatan usahatani umbi mini bawang merah TSS. Nilai koefisien regresi sebesar 6,117 yang menunjukkan nilai positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa biaya sewa lahan tidak mempengaruhi pendapatan, karena biaya sewa lahan merupakan biaya tetap yang dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam sekali proses produksi dan tidak ada depresiasi (Rahim dan Diah, 2008). Berdasarkan pengamatan di daerah penelitian lahan untuk usahatani umbi mini bawang merah TSS umumnya lahan milik sendiri sehingga biaya sewa lahan pada penelitian ini merupakan pembayaran atau jasa produksi. Rata-rata biaya sewa lahan di daerah penelitian sebesar Rp. 9.006.849 /ha/musim tanam. c. Biaya Screen House

Page 75: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

286 JEPA, 3 (2), 2019: 278-293

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Variabel biaya screen house memiliki nilai signifikansi sebesar 0,290 pada taraf (a) 5% yang artinya variabel tidak berpengaruh terhadap pendapatan usahatani umbi mini bawang merah TSS. Nilai koefisien regresi sebesar 4,634 yang menunjukkan bahwa biaya screen house yang bernilai positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa biaya screen house tidak berpengaruh terhadap pendapatan, karena screen house merupakan alat pertanian yang dapat digunakan dalam jangka panjang sehingga termasuk variabel tetap. Pada daerah penelitian screen house digunakan petani untuk persemaian dan budidaya untuk melindungi cuaca ataupun hama dan penyakit, namun pada daerah penelitian petani yang menggunakan screen house hanya beberapa petani yaitu petani pengusaha atau petani yang mendapat bantuan dari pemerintah sehingga pengguna screen house pada daerah tersebut hanya sebagian kecil. Pembangunan screen house sebesar Rp. 2.513.670 /ha/musim tanam. d. Variabel Biaya Benih

Variabel biaya benih memiliki nilai signifikansi sebesar 0,00 pada taraf (a) 5% yang artinya variabel berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani umbi mini bawang merah TSS. Nilai koefisien regresi sebesar -19,460 yang menunjukkan bahwa nilai negatif, setiap menurunnya satu level biaya pembelian benih akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 19.460. Hal ini karena pengurangan biaya benih akan mengurangi biaya variabel yang tinggi. Benih merupakan aspek utama dalam usahatani umbi mini bawang merah TSS dengan penekanan biaya benih yang lebih rendah petani akan diuntungkan. Dimana daerah penelitian membutuhkan benih bawang merah TSS sebesar 3-5 Kg dalam satu hektar dengan harga berkisaran Rp. 75.000 - Rp. 85.000 /pcs (10 gram). e. Variabel Biaya Pupuk Kimia

Variabel biaya pupuk kimia memiliki nilai signifikansi sebesar 0,023 pada taraf (a)5% yang artinya variabel berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani umbi mini bawang merah TSS. Nilai koefisien regresi sebesar -5,094 yang menunjukkan bahwa nilai negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap penurunan satu level biaya pembelian pupuk kimia akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 5.094. Hal ini dikarenakan pemakaian pupuk kimia oleh responden dalam usahatani umbi mini bawang merah TSS rata-rata sangat tinggi terutama saat proses usahatani di lahan sehingga dengan menurunnya biaya pembelian pupuk kimia akan mengurangi beban biaya variabel dan petani mendapat keuntungan yang lebih tinggi. f. Variabel Biaya Pupuk Hayati

Variabel biaya pupuk hayati memiliki nilai signifikansi sebesar 0,001 pada taraf (a) 5% yang artinya variabel berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani umbi mini bawang merah TSS. Nilai koefisien regresi sebesar -6,376 yang menunjukkan bahwa nilai negatif . Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap penurunan satu level biaya pembelian pupuk hayati akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 6.376. Rahmawati (2012) menyatakan harga pupuk organik berpengaruh terhadap tingkat pendapatan usahatani. Hal ini dikarenakan harga pupuk hayati yang masih terlalu tinggi di daerah penelitian yaitu Rp. 40.000 /sak (25 kg) sehingga akan mempengaruhi besarnya biaya variabel. Penurunan biaya pupuk hayati akan menguntungkan petani yang mana pupuk hayati merupakan pupuk dasar yang dipakai untuk penyuburan lahan dan penyemaian dengan kebutuhan 15 ton /ha pada budidaya umbi minibawang merah TSS. g. Variabel Biaya Pestisida

Variabel biaya pestisida memiliki nilai signifikansi sebesar 0,021 pada taraf (a) 5% yang artinya variabel berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani umbi mini bawang merah TSS. Nilai koefisien regresi sebesar -40,481 yang menunjukkan bahwa nilai negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap menurun satu level biaya pestisida maka akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 40.481. Hal ini karena pada daerah penelitian proses budidaya umbi mini bawang merah petani responden banyak menggunakaan pestisida secara

Page 76: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nafiatul Khoyriyah – Strategi Pengembangan Umbi Mini Bawang Merah .......................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

287

intensif untuk menghindari serangan hama dan penyakit khususnya fungisida (untuk menghindari serangan penyakit jamur) dan insektisida (untuk menghindari serangan ulat daun). Pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida diharapkan dapat mempertahankan hasil bahkan meningkatkan produksi sehingga pendapatan petani akan meningkat. h. Variabel Biaya Tenaga Kerja

Variabel biaya tenaga kerja memiliki nilai signifikansi sebesar 0,015 pada taraf (a) 5% yang artinya variabel berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani umbi mini bawang merah TSS. Nilai koefisien regresi sebesar 1,260 yang menunjukkan bahwa nilai positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu level biaya tenaga kerja maka diduga akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 1.260. Hal ini karena pada daerah penelitian harga tenaga kerja untuk yang sudah mempunyai keahlian lebih tinggi daripada tenaga kerja yang lain. Pada budidaya umbi mini bawang merah TSS ini sangat dibutuhkan tenaga kerja yang mempunyai kemahiran di bidang budidaya TSS. Tenaga kerja yang lebih profesional dalam mengelola suatau usaha maka hasil dari usaha yang dilakukan juga akan memberikan imbas yang maksimal sehingga dapat mendapatkan pendapatan masyarakat (Susanti dan Rustam, 2013).

Analisis Strategi Pengembangan Umbi Mini Bawang Merah True Shallot Seed -Analisis Internal Factor Analysis Summary (IFAS) dan Eksternal Factor Analysis Summary (EFAS)

Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi beberapa faktor untuk merumuskan strategi. Tujuan analisis SWOT menganalisis potensi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman agribisnis. Analisis ini didasarkan pada usaha untuk memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman secara bersama. Kekuatan dan kelemahan merupakan faktor internal sedangkan peluang dan ancaman merupakan faktor eksternal pada analisis SWOT. Menurut Rangkuti (1997) menyebutkan bahwa proses pengambilan keputusan selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan, maka untuk perencanaan strategis harus menganalisis faktor strategi kegiatan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) sesuai kondisi saat ini. Pada analisis SWOT terbagi menjadi dua bagian untuk mengetahui faktor internal dan ekternal yaitu Internal Factor Analysis Summary (IFAS) dan External Factor Analysis Summary (EFAS). Hasil analisis IFAS dan EFAS dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.

Page 77: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

288 JEPA, 3 (2), 2019: 278-293

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 4. Analisis Internal Factor Analysis Summary (IFAS)

Berdasarkan hasil analisis Internal Factor Analysis Summary (IFAS) menunjukkan nilai 2,659, nilai berada diatas rata-rata 2,5 yang berarti usaha agribisnis umbi mini bawang merah TSS ini dapat menguntungkan dimana posisi internal cukup kuat memiliki kemampuan di atas rataan dalam memanfaatkan kekuatan dan mengantisipasi kelemahan internal (David, 2006).

Tabel 5. Analisis Internal Factor Analysis Summary (EFAS)

NO. Faktor - Faktor Internal

Matrik IFAS

Bobot Rating

Nilai (Bobot

x Rating)

Kekuatan (S) 1. Mudahnya Ketersediaan benih asal biji (TSS) 0,116 3 0,349 2. Kabupaten Grobogan merupakan daerah yang

cocok untuk budidaya 0,119 3 0,356

3. Produksi yang tinggi 0,115 3 0,345 4. Kelompok tani yang potensial dan sangat

berperan dalam membantu petani 0,088 3 0,264

5. Adanya lembaga yang menawarkan terkait konsultasi agribisnis maupun permodalan

0,107 3 0,320

Total 1,634 Kelemahan (W)

1. Waktu budidaya yang lama 0,114 3 0,343 2.

Kurangnya pengetahuan petani tentang teknologi umbi mini bawang merah asal biji (TSS)

0,089 2 0,177

3. Membutuhkan tenaga kerja yang banyak 0,086 2 0,171 4. Belum ada/belum tersedia akses pasar modern 0,085 2 0,171 5. Saluran distribusi yang masih rendah 0,082 2 0,163

Total 1,025 Jumlah Keseluruhan (S – T) 1

2,659

NO. Faktor - Faktor Eksternal

Matrik EFAS

Bobot Rating

Nilai (Bobot

x Rating)

Peluang (O)

1. Penguatan serta peningkatan produksi benih sumber asal biji (TSS)

0,109 3 0,327

2. Pengembangan sentra produksi dan perluasan areal Tanam

0,110 3 0,330

3. Penyuluh pertanian yang dilakukan secara intensif

0,112 3 0,335

4. Meningkatkan pendapatan penangkar benih dan petani (kontribusi penting untuk kesejahteraan)

0,098 3 0,295

Page 78: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nafiatul Khoyriyah – Strategi Pengembangan Umbi Mini Bawang Merah .......................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

289

Analisis External Factor Analysis Summary (EFAS) menunjukkan faktor eksternal yang merupakan peluang terhadap usaha agribisnis umbi mini bawang merah TSS, berdasarkan hasil analisis mendapatkan nilai diatas rata-rata yaitu 2,647 lebih dari nilai diatas 2,5. Hal ini berarti menunjukkan posisi eksternal cukup kuat yang mana memiliki kemampuan di atas rataan dalam memanfaatkan peluang dan mengantisipasi ancaman eksternal (David, 2006).

Analisis SWOT ditunjukkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor untuk merumuskan strategi berdasarkan data – data faktor internal dan eksternal diperoleh skor pembobotan berikut : Faktor Kekuatan : 1,643, Faktor Kelemahan : 1,025, Faktor Peluang : 1,459, Faktor Ancaman: 1,188.

Berdasarkan analisis SWOT dihasilkan koordinat ( 0,609 : 0, 271) yang mana koordinat ini berada pada kuadran I yang artinya Strategi Agresif. Posisi ini menandakan sebuah usahatani umbi mini bawang merah TSS yang kuat dan berpeluang, Rekomendasi strategi yang diberikan adalah progresif, artinya usahatani umbi mini bawang merah TSS dalam kondisi prima dan mantap sehingga sangat dimungkinkan untuk terus melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan dan meraih kemajuan secara maksimal.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Petani umbi mini bawang merah TSS diuntungkan dengan harga umbi mini yang

tinggi yaitu Rp. 42.630, maka pendapatan Rp. 241.056.245. 2. Hasil analisis regresi pada penelitian usahatani umbi mini bawang merah TSS ini

adalah variabel biaya sewa lahan dan biaya screen house tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan sedangkan variabel biaya benih, biaya pupuk kimia, biaya pupuk hayati, biaya pestisida dan biaya tenaga berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani umbi mini bawang merah TSS.

3. Hasil analisis matrik SWOT berada pada kuadran I yang artinya Strategi Agresif. Strategi agresif berarti respon yang sangat baik untuk pengembangan dan peningkatan usahatani umbi mini bawang merah TSS sehingga menjadi peluang yang besar untuk usahatani atau investasi.

5. Belum adanya pesaing dan permintaan pasar yang tinggi

0,086 2 0,172

Total 1,459 Ancaman (T)

1. Kondisi alam (Anomali iklim) 0,110 3 0,331 2. Serangan hama dan penyakit 0,107 3 0,322 3. Adanya persaingan dengan benih umbi biasa 0,091 2 0,183 4. Cara budidaya masyarakat yang masih

tradisional 0,088 2 0,176

5. Ancaman petani baru dan tidak adanya kepastian harga umbi mini bawang merah TSS

0,088 2 0,176

Total 1,188 Jumlah Keseluruhan (O – T) 1

2,647

Page 79: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

290 JEPA, 3 (2), 2019: 278-293

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Saran 1. Petani harus lebih meningkatkan produksi agar bisa mengelola lahan sehingga lahan

tersebut masih dapat dikembangkan secara efektif sehingga produksi dapat meningkat yang akhirnya juga akan meningkatkan pendapatan petani.

2. Petani harus berusaha meningkatkan produki dengan penggunaan screen house dengan berbagai metode yang dianggap mampu meningkatkan produksi sehingga meminimalkan biaya usahatani sehingga pendapatan dapat meningkat.

3. Pengambilan kebijakan strategi yang tepat mampu meningkatkan pendapatan petani sehingga petani diuntungkan dan usahatani umbi mini bawang merah TSS dapat memberikan prospek yang menjanjikan ke depannya. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pemasaran umbi mini bawang merah TSS di Kanupaten Grobogan.

DAFTAR PUSTAKA Asih, D.N. 2009. Analisis Karakteristik dan Tingkat Pendapatan Usahatani Bawang Merah di

Sulawesi Tengah. Jurnal Agroland 16 (1) : 53-59. Basuki, R.S. 2009. Analisa kelayakan teknis dan ekonomis teknologi budidaya bawang merah

dengan biji botani dan benih umbi tradisional. J. Hort. 19(2):21-27. Badan Pusat Statistik. 2017.Kabupaten Grobogan dalam Angka. https://grobogankab.bps.go.id

diakses pada tanggal 13 Juli 2017. David, F.R. 2006. Manajemen Strategis: Konsep. Jakarta: Salemba Empat. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2010. Perkembangan PDB Komoditas Hortikultura Indonesia.

http://hortikultura.deptan.go.id diakses pada tanggal 13 Juli 2017. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2016. Statistik Produksi Hortikultura Tahun2016. Jakarta:

Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian. Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang :

UNDIP. Mantra, I.B. 2004. Demografi Umum. Penerbit Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Nurasa T. 2013. Meningkatkan Pendapatan Petani Melalui Difersivikasi Tanaman Hortikultura

di Sawah Lahan Irigasi. J. SEPA 10 (1): 71-87. Pangestuti, R dan Sulistyaningsih,E. 2011. Penggunaan True Seed Shallot (TSS) sebagai sumber

benih bawang merah di Indonesia, Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro Inovasi untuk Pemberdayaan Petani dalam Pengembangan Agrinisnis Masyarakat Pedesaan “, Semarang, 14 Juli 2011.

Permadi, A.H. 1995. Pemuliaan Bawang Merah. Dalam Teknologi Produksi Bawang Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Litbang Pertanian.

Putrasamedja, S. 1995. Pengaruh Jarak Tanam terhadap Pembentukkan Anakan pada Kultivar Bawang Merah. Buletin Penelitian Hortikultura XXVII: 87-92.

Putrasamedja, S. 2011. Pengaruh Pembentukan Jumlah Anakan Pada Bawang Merah Generasi ke 3 yang berasal dari Umbi TSS. J Agronomika. 11 (2):211-216.

Rahim, A. dan D.R.D. Hastuti. 2007. Ekonomi Pertanian, Pengaruh Teori dan Kasus. Jakarta:

Page 80: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nafiatul Khoyriyah – Strategi Pengembangan Umbi Mini Bawang Merah .......................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

291

Penebar Swadaya. Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian Teori dan

Aplikasinya. Jakarta, PT Raja Grafindo Perkasa. Sumarni, N., G.A. Sopha dan R. Gaswanto. 2012. Respon Tanaman Bawang Merah Asal Biji

True Shallot Seed terhadap Kerapatan Tanaman Pada Musim Hujan. Jurnal Hortikultura 22 (1): 23-27.

Susianti dan Rustam A.R. 2013. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Jagung Manis (Studi Kasus Petani Jagung di Desa Sidera, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi). E-Jurnal, (5): 500-508. Universitas Tadulako, Palu.

Suwandi dan Hilman, Y. 1995. Budidaya Tanaman Bawang Merah dan Teknologi Produksi Bawang Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Jakarta. Hal. 51-56.

Page 81: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 294-310

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.7

ANALISIS RISIKO PRODUKSI USAHATANI BAWANG MERAH DI DESA PETAK KECAMATAN BAGOR

KABUPATEN NGANJUK

RISK PRODUCTION ANALYSIS RED ONION FARMING IN PETAK VILLAGE BAGOR SUB DISTRICT

NGANJUK REGENCY

Muhammad Rizal Ghozali1*, Rudi Wibowo2 1Mahasiswa Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember

2Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Mostly Red Onion farmers in Petak Village do the farming on off-season. Red Onion Farming on off season will not get the maximum production because of the weather and the climate doesn’t support the growth of red onion, so it’s possible for the amount of red onion’s production are low. The low production of red union is due to the risk that faced by the farmer in Petak Village. The research aims to determine the source of production risk in Petak Village, the level of production risk on off season in Petak Village, and the factors which influences red onion production on off season. The determination of research area was conducted by using purposive methods. The Method of this research uses descriptive and analytic methods. The red onion farmer’s population during off season is 52 farmers and the amount of the sample used in this research is 46 farmers. Sort of datas that used in this research were primary data and secondary data. The Analysis that used are risk analysisi descriptivel, variance analysis, coefficient variation, standard deviation, risk mapping, just and pope models also cobb-douglas regression models, source of the risks on red onion farming ini Petak Village, Bagor Sub district, Nganjuk regency are weather and climate, pest and disease, seed quality of red onion, the fertility of farming soil, and human sources or farmers of red onion farming. The level of risk red onion farming on off season in Petak Village according to variance value is amount 2,10. Standard deviation is 1,45 and coefficient variation is 1,01 So, risk production of red onion farming is high. Meanwhile, according to risk mapping production showed that the risk production of red onion is on orange area so, it included on high risk category. The factors which influences red onion production during off season in Petak Village are liquid pesticide, while seed, fertilizer, solid pesticide and labor factors have no significant effect on the risk of red onion production.

Keywords: Risk Production, Off-season, Just And Pope

ABSTRAK

Petani bawang merah di Desa Petak sebagian besar melakukan usahatani bawang merah diluar musimnya atau off-season. Usahatani bawang merah yang dilakukan saat diluar musimnya atau off-season tidak akan memperoleh hasil maksimal karena kondisi cuaca dan iklim tidak mendukung pertumbuhan, sehingga memungkinkan hasil produksi bawang merah yang dihasilkan rendah. Rendahnya produksi tersebut disebabkan karena adanya risiko yang dihadapi petani bawang merah di Desa Petak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sumber

Page 82: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhammad Rizal Ghozali – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

295

risiko produksi di Desa Petak, tingkat risiko produksi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi risiko produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season di Desa Petak. Metode penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive methods). Metode penelitian ini adalah metode deskriptif dan analitik. Populasi petani bawang merah saat off-season adalah sebesar 52 dengan sampel 46. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Analisis yang digunakan yaitu analisis risiko secara deskriptif, analisis variance, coefficient variation, standard deviation, peta risiko, dan Analisis model Just and Pope serta analisis regresi model Cobb-Douglas. Sumber risiko produksi usahatani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk adalah cuaca dan iklim, hama dan penyakit, kualitas benih bawang merah, kesuburan lahan usahatani, dan sumber daya manusia atau petani yang melakukan proses budidaya bawang merah. Tingkat risiko produksi usahatani bawang merah saat off-season di Desa Petak berdasarkan nilai variance sebesar 2,10, standard deviation 1,45, dan coefficient variation 1,01 maka risiko produksi usahatani bawang merah dihadapi petani adalah tinggi, sedangkan berdasarkan peta risiko produksi menunjukkan risiko produksi bawang merah yang dihadapi petani berada pada orange area sehingga termasuk dalam kategori risiko tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season di Desa Petak adalah faktor pestisida cair, sedangkan faktor benih, pupuk, pestisida padat dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap risiko produksi bawang merah.

Kata kunci: Risiko Produksi, Off-season, Just and Pope.

PENDAHULUAN

Bawang merah merupakan salah satu komoditas dari subsektor hortikultura sayur yang yang paling banyak dibudidayakan mulai dari daerah dataran tinggi (>1000 m dpl) maupun dataran rendah (<1 m dpl). Hasil bawang merah pada setiap daerah berbeda-beda, baik dari segi kualitas maupun besarnya produksi. Hal ini dikarenakan setiap daerah memiliki varietas bawang merah yang berbeda-beda, karena harus menyesuaikan dengan kondisi iklim, tanah, serta topografi dari masing-masing daerah (Pranata, et al., 2015). Komoditas bawang merah ini termasuk komoditas unggulan karena memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, sehingga upaya dalam peningkatan produksi bawang merah ini sangat penting untuk dilakukan.

Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu daerah sentra produksi bawang merah terbesar yang ada di Provinsi Jawa Timur, sehingga komoditas bawang merah menjadi penunjang ekonomi utama para petani di Kabupaten Nganjuk. Kabupaten Nganjuk menjadikan komoditas bawang merah sebagai komoditas unggulan, hal ini dikarenakan kabupaten Nganjuk memiliki kondisi geografis yang sangat mendukung dalam usahatani bawang merah. Berdasarkan data BPS Jawa Timur dan Kementerian Pertanian (2017) dari lima tahun terakhir bahwa produksi bawang merah di Kabupaten Nganjuk tertinggi terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 142.816 ton, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 116.507 ton. Salah satu desa yang berkontribusi dalam penyediaan bawang merah di Kecamatan Bagor adalah Desa Petak. Petani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor sebagian besar menanam bawang merah selama 1 tahun penuh, yaitu 4-5 kali panen dalam satu tahun, sehingga petani bawang merah yang ada di Kabupaten Nganjuk tidak merotasi atau mengganti komoditas lain dalam 1 tahun penuh. Alasan petani tetap menanam bawang merah pada saat off-season dikarenakan harga bawang merah cenderung tinggi saat off-season, umur panen lebih pendek dibanding komoditas lain (50-60 hst), dan keuntungan lebih besar dibanding komoditas lainnya sehingga

Page 83: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

296 JEPA, 3 (2), 2019: 294-310

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

bagi petani petani yang menyewa lahan dapat menutupi biaya operasionalnya. Alasan lain petani tetap menanam bawang merah yaitu karena petani sudah terbiasa menanam bawang merah, sehingga tidak mau mengganti komoditas lain dalam kegiatan usahataninya.

Risiko yang dihadapi petani di Desa Petak Kecamatan Bagor dalam melakukan usahatani bawang merah di luar musim atau off-season ini menjadi bahan pertimbangan petani dalam melakukan usahataninya. Apabila risiko kerugian sangat tinggi maka perlu dihindari sedangkan apabila risiko rendah maka perlu dilakukan tindak lanjut, namun petani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor tidak memperhatikan seberapa besar tingkat risiko produksi dalam usahatani bawang merah. Petani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor juga tidak memperhatikan faktor apa saja yang mempengaruhi risiko dan bagaimana cara dalam menghadapi risiko usahatani bawang merah di luar musim atau off-season, sehingga petani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor tidak memiliki informasi mengenai risiko usahatani di luar musim atau off-season untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan usahatani bawang merah di luar musim atau off-season. Berdasarkan uraian diatas, tujuan penelitian ini adlah untuk mengetahui (1) Sumber risiko produksi usahatani bawang merah di Desa Petak; (2) Tingkat risiko produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season di Desa Petak; (3) Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season di Desa Petak.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk. Pemilihan Lokasi penelitian ditentukan dengan Purposive Method. Purposive Method merupakan teknik penetapan daerah penelitian dengan cara memilih lokasi sesuai yang dikehendaki peneliti, karena tujuan atau masalah dalam penelitian (Nursalam, 2008). Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa usahatani bawang merah yang ada di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk memiliki produktivitas yang cukup tinggi, selain itu sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani bawang merah. Petani bawang merah yang ada di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk ini sebagian besar menanam bawang merah setahun penuh dan termasuk menanam di musim penghujan (off-season), sedangkan hanya minoritas petani saja yang menanam bawang merah sesuai musimnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan metode analitik. Menurut Nursalam (2008), penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau memaparkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa kini. Metode analitik adalah kelanjutan dari metode deskriptif yang berfungsi untuk menguji hipotesis dan mengadakan interpretasi yang lebih mendalam tentang hubungan-hubungan serta pengaruh antar variabel.

Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara sengaja (purposive sampling). Peneliti memilih secara sengaja responden yang melakukan usahatani bawang merah disaat musim penghujan (off-season) atau bukan musim ideal dalam usahatani bawang merah. Peneliti juga memilih satu informan kunci yaitu petani kunci yang ada di Desa Petak dengan kriteria memiliki pengalaman serta pengetahuan yang luas mengenai usahatani bawang merah. Penentuan sampel yang digunakan yaitu menggunakan rumus slovin dimana terdapat 52 populasi petani bawang merah yang menanam diluar musim maka setelah ditentukan dengan rumus slovin diperoleh sampel sebesar 46 dengan taraf nyata sebesar 0,05. Pengumpulan data primer dengan teknik wawancara langsung dilakukan kepada petani bawang merah yang menanam bawang merah pada musim penghujan atau di luar musim (off-season) dengan menggunakan metode wawancara dan dibantu dengan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah

Page 84: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhammad Rizal Ghozali – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

297

disediakan. Pengumpulan data melalui metode observasi lapang yang dilakukan oleh peneliti yaitu peneliti survei ke Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk untuk memastikan bahwa petani bawang merah telah menanam bawang merah pada musim penghujan atau diluar musim (off-season), selain itu juga untuk mengetahui bagaimana kegiatan usahatani bawang merah yang dilakukan oleh petani di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk. Pengumpulan data primer melalui dokumentasi dilakukan untuk sebagai bukti bahwa peneliti sudah meneliti di lapang secara langsung, selain itu dokumentasi dilakukan untuk mengambil foto usahatani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari literatur-literatur, buku teks, dan instansi terkait seperti kementerian pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS), bahan pustaka lain yang relevan, serta dari berbagai situs yang mendukung.

Pengujian hipotesis pertama tentang sumber-sumber risiko produksi yang dihadapi oleh petani bawang merah dengan menggunakan analisis risiko. Sumber-sumber risiko pada usahatani bawang merah dapat dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Penentuan sumber-sumber risiko produksi bawang merah yang dihadapi petani bawang merah di Desa Petak dilakukan dengan wawancara terhadap informan kunci atau petani kunci yang telah ditunjuk peneliti. Hasil wawancara tersebut akan dibandingkan dengan teori dan penelitian terdahulu, sehingga akan diperoleh hasil yang relevan.

Pengujian hipotesis yang kedua mengenai seberapa besar tingkat risiko produksi yang dihadapi oleh petani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk dilakukan analisis risiko dengan menggunakan metode variance, standard deviation, dan coefficient variation serta dianalisis dengan menggunakan peta risiko. 1. Variance

Ragam atau Variance merupakan satuan risiko dari suatu proyek investasi yang menggambarkan besarnya penyimpangan yang terjadi. Pengukuran variance dari return diukur dari penjumlahan selisih kuadrat dari return (penerimaan) dengan expected return dikalikan dengan peluang dari setiap kejadian.

Keterangan:

= Variance atau ragam dari return P = Peluang dari suatu kejadian Ri = Return (produksi) Rij = Expected Return atau nilai harapan 2. Standard Deviation

Standar deviasi atau simpangan baku merupakan ukuran satuan risiko terkecil yang menggambarkan penyimpangan yang terjadi dari suatu proyek investasi. Rumus standar deviasi dapat dituliskan sebagai berikut:

Keterangan:

= Variance atau ragam = Simpangan baku

Page 85: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

298 JEPA, 3 (2), 2019: 294-310

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

3. Coefficient Variation Koefisien variasi diperoleh dari rasio standar deviasi dengan nilai yang diharapkan atau

expected return. Sama halnya dengan ukuran risiko lain, semakin kecil nilai koefisien variasi, maka semakin rendah risiko yang dihadapi dari suatu usaha. Rumus koefisien variasi adalah sebagai berikut (Fauzan, 2016):

CV= Keterangan: CV = Koefisien variasi (coefficient variation)

= Simpangan baku (standard deviation) µ = Rata-rata hasil (ton/ha) Kriteria pengambilan keputusan: 1. Apabila nilai CV ≤ 1 maka produksi usahatani bawang merah yang dianalisis memiliki risiko

kecil 2. Apabila nilai CV > 1 maka produksi usahatani bawang merah yang dianalisis memiliki risiko

besar (Fauziah, 2011). Peta risiko produksi usahatani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor

Kabupaten Nganjuk ini diketahui apabila diketahui tingkat risikonya. Tingkat risiko (R) ini dianalisis dengan pendekatan nilai Likelihood (L) dan nilai konsekuensi risiko (Q). Berdasar metode tersebut maka dapat dievaluasi tingkat risiko yang terjadi melalui pengelompokan risiko, pemetaan risiko, dan penetapan penanganan risiko dan persamaannya dapat dilihat sebagai berikut (Ristic, 2013):

R = L × Q Keterangan: R = Tingkat risiko L = Likelihood risiko Q = Konsekuensi risiko

Nilai likelihood risiko produksi bawang merah diperoleh dengan analisis situasi risiko di lapang. Penilaian likelihood risiko produksi bawang merah dilakukan dengan Evaluasi kondisi situasi lapang mengenai tingkat kemungkinan terjadinya risiko produksi dan tingkat probabilitasnya dengan rentang nilai 1-5. Parameter penilaian likelihood risiko dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Parameter pengukuran likelihood risiko produksi usahatani bawang merah Nilai Parameter Tingkat Kemungkinan Terjadinya Risiko

5 Hampir Pasti Dapat terjadi pada banyak keadaan (p=0,8) 4 Kemungkinan

Besar Mungkin terjadi pada banyak keadaan (p=0,6-0,8)

3 Kemungkinan Sedang

Dapat terjadi pada beberapa situasi atau waktu tertentu (p= 0,4-0,5)

2 Kemungkinan Kecil

Mungkin terjadi pada suatu waktu atau situasi tertentu (p=0,2-0,4)

1 Jarang Mungkin terjadi hanya pada kondisi tidak normal (p=0-0,2) Nilai konsekuensi risiko produksi bawang merah diperoleh dari analisis situasi dilapang

dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak yang terjadi yang tentunya berkaitan dengan tingkat kerugian dari usahatani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk. Rentang nilai parameter konsekuensi risiko produksi bawang merah yaitu antara 1-5. Parameter penilaian konsekuensi risiko dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

Page 86: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhammad Rizal Ghozali – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

299

Tabel 2. Parameter pengukuran konsekuensi risiko produksi usahatani bawang merah Nilai Parameter Konsekuensi Risiko 5 Dahsyat Kerugian sangat besar, konsekuensi sangat signifikan pada tujuan

dari usahatani bawang merah 4 Besar Kerugian besar, konsekuensi signifikan pada tujuan dari usahatani

bawang merah 3 Sedang Kerugian sedang, konsekuensi cukup signifikan pada tujuan dari

usahatani bawang merah 2 Rendah Kerugian rendah, konsekuensi pada sebagian kecil tujuan dari

usahatani bawang merah 1 Tidak

Signifikan Kerugian sangat rendah, konsekuensi tidak signifikan pada tujuan usahatani bawang merah

Tahap selanjutnya yaitu melakukan evaluasi dengan mengetahui tingkat risiko usahatani bawang merah yang diperoleh dari hasil perhitungan nilai likelihood risiko usahatani bawang merah dengan nilai konsekuensi risiko usahatani bawang merah. Evaluasi risiko usahatani bawang merah dilihat dari nilai tingkat risiko, kelompok risiko, kategori risiko, dan prioritas penanganan risikonya. Berikut merupakan tabel kriteria evaluasi risiko produksi bawang merah:

Tabel 3 Kriteria Evaluasi Risiko produksi usahatani bawang merah Tingkat Risiko

Kelompok Risiko

Kategori Risiko

Prioritas Penanganan Risiko

16-25 Ekstrim Tidak diterima Segera ditangani dengan upaya ekstra 10-16 Tinggi Tidak diterima Ditangani dengan mempertegas peran

dan tanggung jawab 5-9 Sedang Tidak diterima Ditangani apabila sumberdaya masih

tersedia 1-4 Rendah Diterima Dipantau agar tetap pada kategori yang

diterima Tahap terakhir yaitu menggambarkan peta risiko produksi bawang merah yang diperoleh dari analisis nilai likelihood dan konsekuensi risiko serta hasil analisis evaluasi risiko produksi usahatani bawang merah. Peta risiko ini menunjukkan situasi atau kemungkinan risiko yang akan dihadapi petani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk yang menanam bawang merah pada musim penghujan atau off-season. Berikut merupakan peta risiko produksi bawang merah yang akan dianalisis:

LIK

EL

IHO

OD

RIS

IKO

Hampir Pasti

Peluang Besar

Peluang Sedang

Peluang Kecil

Jarang

Tidak Signifikan Rendah Sedang Besar Dahsyat KONSEKUENSI RISIKO

Gambar 1 Peta Risiko Produksi Bawang Merah

Page 87: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

300 JEPA, 3 (2), 2019: 294-310

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Keterangan: : Kelompok Risiko Ekstrim : Kelompok Risiko Tinggi : Kelompok Risiko Sedang : Kelompok Risiko Rendah

Pengujian hipotesis yang ketiga tentang faktor-faktor yang mempengaruhi risiko produksi bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk ini dilihat dari fungsi produktivitas atau f(x) dan fungsi variance produktivitas atau h(x). Langkah pertama adaalah menganalisis fungsi produktivitas atau f(x), kemudian lamngkah kedua dilakukan analisis pada fungsi variance produktivitas h(x) (Asche et. al., 1999). Pengujian hipotesis yang ketiga ini menggunakan analisis risiko dengan model Just and Pope dan dengan fungsi Cobb-Douglas. Fungsi risiko model Just and Pope dan fungsi produksi Cobb-Douglas secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut: Model Just and Pope:

Q = f(x) + h(x)e Keterangan: Q = hasil produksi (Output) f(x) = fungsi produksi rata-rata h(x) = fungsi variance x = faktor produksi (input) e = error Fungsi Cobb-Douglas:

Y = b0X1b1 X2

b2.....Xnbneu

Keterangan: Y = hasil produktivitas Xn = nilai faktor produktivitas ke-n b0 = intersep bn = dugaan slope yang berhubungan Pada Model Just and Pope ini akan melihat fungsi produktivitas rata-rata f(x) dan variance produktivitas untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi risiko produksi bawang merah diluar musim atau off-season. Berikut merupakan persamaannya: Fungsi Cobb-Douglas:

Y = b0X1b1 X2

b2.....Xnbneu

Keterangan: Y = hasil produktivitas Xn = nilai faktor produktivitas ke-n b0 = intersep bn = dugaan slope yang berhubungan Pada Model Just and Pope ini akan melihat fungsi produktivitas rata-rata f(x) dan variance produktivitas untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi risiko produksi bawang merah diluar musim atau off-season. Berikut merupakan persamaannya: Fungsi Produktivitas f(x): LnY = β0 + β1LnX1 + β2LnX2 + β3LnX3 + β4LnX4 + β5LnX5 + β6LnX6 + ε Variance produktivitas

σ2Yi = (Yi – Ŷi)²

Page 88: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhammad Rizal Ghozali – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

301

Keterangan: σ2

Yi = Variance produktivitas bawang merah Y = Produktivitas bawang merah aktual (ton/ha) Ŷ = Produktivitas bawang merah dugaan (ton/ha) Fungsi variance produktivitas: Ln σ2

Yi = θ0 + θ1LnX1 + θ2LnX2 + θ0 LnX3 + θ0 LnX4 + θ0 LnX5 + θ0 LnX6 + ε Keterangan: Y = Produktivitas bawang merah aktual (ton/ha) σ2

Y = Variance produktivitas bawang merah

X1 = Jumlah penggunaan benih per musim tanam (kg/ha) X2 = Jumlah penggunaan pupuk per musim tanam (kg/ha) X3 = Jumlah penggunaan pestisida cair per musim tanam (lt/ha) X4 = Jumlah penggunaan pestisida padat per musim tanam (kg/ha) X5 = Jumlah penggunaan tenaga kerja per musim tanam (HOK/ha) β = Koefisien parameter penduga produktivitas rata-rata θ = Koefisien parameter penduga variance produktivitas Pengujian terhadap model statistik tersebut terdiri dari beberapa tahap, yaitu uji R2, uji F, uji t, dan intepretasi koefisien regresi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk 1. Cuaca/iklim

Cuaca/iklim menjadi faktor yang paling mendorong terjadinya risiko. Hal ini dikarenakan cuaca/iklim dapat mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman bawang merah dan juga mempengaruhi tingkat populasi hama maupun penyakit. Menurut Sutarya (1995) kondisi cuaca//iklim yang optimal untuk tanaman bawang merah yaitu yang memiliki suhu 25-32ºC, pencahayaan >70%, dan curah hujan yang rendah. Berdasarkan hasil lapang kondisi cuaca/iklim di Desa Petak pada musim kemarau yaitu suhu 30 ºC, pencahayaan > 70%, dan curah hujan rendah, sedangkan pada saat musim penghujan memiliki suhu 20ºC, pencahayaan < 70%, dan curah hujan tinggi. Pada musim kemarau kondisi cuaca/iklim sesuai dengan kondisi yang diungkapkan oleh Sutarya (1995), sedangkan pada saat musim penghujan atau off-season kondisi cuaca/iklim tidak dalam kondisi optimal yaitu tanaman bawang merah memiliki suhu yang terlalu rendah, kekuranagan pencahayaan, dan memiliki curah hujan tinggi yang dapat merusak tanaman bawang merah. Berdasarkan hal tersebut cuaca/iklim menjadi sumber risiko produksi usahatani bawang di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk

2. Hama dan penyakit Hama dan penyakit merupakan faktor yang menyebabkan kerusakan secara langsung pada tanaman bawang merah. Bagian tanaman bawang merah yang diserang biasanya pada daun, umbi, dan bahkan perakaran tanaman bawang merah. Keberadaan hama dan penyakit tanaman bawang merah ini dipengaruhi kondisi cuaca dan iklim yang ada pada lahan usahatani bawang merah. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara lapang, hama yang sering menyerang tanaman bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk baik saat musim penghujan maupun kemarau diantaranya hama ulat grayak dan hama lalat penggerek daun, sedangkan penyakit yang sering menyerang yaitu penyakit bercak ungu (trotol) dan layu

Page 89: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

302 JEPA, 3 (2), 2019: 294-310

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

fusarium (moler). Kerusakan yang diakibatkan oleh hama dan penyakit ini dapat menurunkan produksi bawang merah sehingga hama dan penyakit merupakan sumber dari risiko produksi bawang merah. 3. Kualitas benih

Kualitas benih merupakan salah satu faktor yang menjadi sumber risiko. Kualitas benih menjadi sumber risiko dikarenakan benih merupakan faktor penentu hasil produksi. Benih yang tidak berkualitas dapat menyebabkan tingkat produksi bawang merah rendah. Benih yang tidak berkualitas juga dapat menyebabkan tanaman bawang merah tidak normal baik dari segi pertumbuhan maupun perkembangan tanaman. Menurut Sutarya (1995), benih bawang merah yang baik memiliki ciri umur tanaman 70-80 hst, telah disimpan 2,5-4 bulan, tidak cacat dan tidak terserang hama/penyakit. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil lapang dimana umur benih yang digunakan petani di Desa Petak yaitu 60-70 hst, sehingga benih yang digunakan lebih muda. Selain itu masa simpan benih maksimal harus 3 bulan, sehingga hal ini menunjukkan bahwa benih memiliki masa simpan yang lebih sedikit dibandingkan dengan masa simpan optimal yang diungkapkan Sutarya (1995). Petani di Desa Petak Juga menggunkan kriteria kadar air benih minimal 40%.

4. Kesuburan lahan Kesuburan lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat produksi dari bawang merah. Kesuburan lahan menjadi faktor penentu dikarenakan kesuburan lahan berkaitan dengan kandungan nutrisi, air, dan organisme tanah yang berperan dalam memenuhi kebutuhan tanaman bawang merah untuk tumbuh dan berkembang. Berdasarkan hasil wawancara, kesuburan lahan merupakan faktor yang menjadi sumber risiko produksi bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Jember. Kesuburan lahan menjadi sumber risiko dikarenakan menjadi faktor yang memenuhi kebutuhan tanaman dalam hal nutrisi atau unsur hara tanah yang dibutuhkan bawang merah (N,P,K,KCL,NO2 dll). Kesuburan lahan juga menjadi faktor penentu memenuhi kebutuhan tanaman dalam hal air, seperti drainase yang baik ataupun terdapat irigasi yang baik pula. Faktor lainnya yaitu adanya organisme tanah yang berperan dalam menguraikan bahan organik menjadi unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta menggemburkan tanah untuk memperoleh drainase yang baik, sehingga organisme tanah tersebut berperan dalam menyuburkan lahan. 5. Sumber daya manusia Sumber Daya manusia yang dimaksud dalam hal ini adalah petani yang terlibat dalam proses budidaya tanaman bawang merah, baik petani pemilik lahan maupun tenaga kerja yang digunakan. Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan risiko produksi bawang merah dikarenakan berkaitan dengan proses budidaya mulai persiapan lahan hingga pemanenan. Berdasarkan hasil wawancara, sumber daya manusia bisa menjadi sumber risiko karena berkaitan dengan kegiatan proses budidaya, mulai persiapan lahan hingga pemanenan. Kesalahan-kesalahan yang memungkinkan terjadi akibat human error dalam kegiatan usahatani bawang merah di Desa Petak adalah kesalahan dalam pengolahan tanah, cara tanam, perawatan tanaman, dan pemanenan.

Page 90: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhammad Rizal Ghozali – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

303

Tingkat Risiko Produksi Bawang Merah di Luar Musim atau Off-season di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk 1. Tingkat risiko produksi bawang merah berdasarkan nilai variance, standard deviation,

coefficient variation Sebelum melakukan analisis varians, terlebih dahulu diketahui probabilitas dari

produksi bawang merah. Berikut merupakan hasil analisis probabilitas usahatani bawang merah diluar musim atau off-season. Tabel 4. Rata-rata produksi bawang merah dan probabilitas yang dihadapi petani dalam

usahatani bawang merah diluar musim atau off-season

Kategori Rata-rata Produksi (ton) Probabilitas

Tinggi 6,67 0,07 Normal 4,00 0,02 Rendah 1,00 0,91

Berdasarkan tabel 4, peluang petani memperoleh produksi tinggi rata-rata 6,67 ton adalah sebesar 7%, peluang petani memperoleh produksi normal 4 ton sebesar 2%, dan peluang memperoleh produksi rendah 1 ton adalah sebesar 91%.

Pengukuran tingkat risiko produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season ini dilakukan dengan menghitung nilai variance, standard deviation, coefficient variation. Berikut merupakan hasil perhitungan nilai variance, standard deviation, coefficient variation:

Tabel 5. Hasil Penilaian Risiko Produksi Bawang Merah diluar Musim atau off-season

No. Pengukuran Nilai 1. Expected value 1,44 2. Variance 2,10 3. Standard Deviation 1,45 4. Coefficient Variation 1,01

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa nilai expected value adalah sebesar 1,44 dan nilai variance sebesar 2,10. Tingkat produksi yang diharapkan petani ini memang cukup rendah, jadi ketika musim penghujan atau off-season petani tidak terlalu berharap memperoleh produksi yang tinggi seperti halnya ketika musim kemarau. Petani bawang merah di Desa Petak memang sudah menyadari bahwa ketika melakukan usahatani bawang merah diluar musim atau off-season tidak akan memperoleh hasil yang sama tingginya dengan melakukan usahatani bawang merah pada saat musim kemarau, akan tetapi petani tetap melakukan usahatani bawang merah sebagai usaha tani utamanya. Nilai standard deviation ini merupakan ukuran satuan risiko terkecil yang menggambarkan penyimpangan yang terjadi dari usahatani bawang diluar musim atau off-season di Desa Petak yang ditunjukkan dari tingkat produksi. Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa nilai standard deviation produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season adalah sebesar 1,45. Semakin tinggi standar deviasi maka semakin tinggi pula tingkat risiko yang dihadapi petani Nilai coefficient variation adalah sebesar 1,01, sehingga nilai coefficient variation > 1, atau 1,01 > 1. Dengan demikian risiko produksi yang dihadapi petani bawang merah di Desa Petak yang melakukan usahatani bawang merah diluar musim atau off-season adalah tergolong tinggi. Nilai coefficient variation sebesar 1,01 ini memiliki arti bahwa risiko produksi yang dihadapi petani bawang merah di Desa Petak saat melakukan usahatani di musim penghujan atau off-season adalah sebesar 101% dari nilai produksi yang diperoleh petani.

Page 91: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

304 JEPA, 3 (2), 2019: 294-310

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

2. Tingkat risiko produksi bawang merah berdasarkan peta risiko a. Likelihood Risiko (L)

Tabel 6. Nilai likelihood risiko produksi usahatani bawang merah saat off-season

Tingkat Produksi Petani Tingkat Likelihood Risiko (L) L Hama L Penyakit L Cuaca/iklim

Tinggi 3 3 5 Normal 3 4 5 Rendah 4 4 5

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa nilai likelihood risiko produksi usahatani bawang merah petani yang memiliki produksi tinggi di Desa petak saat melakukan usahatani bawang merah diluar musim adalah sebesar 3 (kemungkinan sedang) untuk likelihood faktor hama, sebesar 3 (kemungkinan sedang) untuk likelihood faktor penyakit dan sebesar 5 (hampir pasti terjadi) untuk likelihood faktor cuaca/iklim. Sedangkan untuk petani dengan produksi rendah normal adalah sebesar 3 (kemungkinan sedang) untuk likelihood faktor hama, sebesar 4 (kemungkinan besar) untuk likelihood faktor penyakit dan sebesar 5 (hampir pasti) untuk likelihood faktor cuaca/iklim. Nilai likelihood risiko petani produksi rendah untuk faktor hama adalah 4, faktor penyakit 4, dan faktor cuaca/iklim sebesar 5, sehingga menunjukkan bahwa faktor hama kemungkinan besar dapat menyerang, faktor penyakit kemungkinan besar dapat menyerang, dan faktor cuaca/iklim hampir pasti terjadi. Cuaca/iklim hampir pasti terjadi karena pada saat off-season cenderung hujan dan lembab. b. Konsekuensi Risiko (Q) Nilai konsekuensi risiko produksi bawang merah yang semakin tinggi maka dapat dikatakan bahwa kerugian yang dialami petani bawang merah di Desa Petak adalah semakin besar. Nilai konsekuensi risiko produksi bawang merah yang semakin rendah maka dapat dikatakan bahwa kerugian yang dialami petani bawang merah di Desa Petak adalah semakin kecil. berikut adalah nilai konsekuensi risiko produksi usahatani bawang merah:

Tabel 7. Nilai konsekuensi risiko produksi usahatani bawang merah saat off-season

Tingkat Produksi Petani Tingkat Konsekuensi Risiko (Q) Q Hama Q Penyakit Q Cuaca/iklim

Tinggi 4 3 3 Normal 4 3 3 Rendah 4 4 3

Berdasarkan tabel 7. diketahui bahwa tingkat konsekuensi risiko produksi petani bawang merah petani yang memiliki produksi tinggi saat melakukan usahatani diluar musim atau off-season adalah sebesar 4 untuk faktor hama, 3 untuk faktor penyakit dan 5 untuk faktor cuaca dan iklim. Nilai konsekuensi risiko produksi pada petani bawang merah yang memiliki produksi normal adalah sebesar 4 untuk faktor hama, 3 untuk faktor penyakit, dan 3 untuk faktor cuaca dan iklim. Nilai konsekuensi risiko produksi pada petani bawang merah yang memiliki produksi rendah adalah sebesar 4 untuk faktor hama, sebesar 4 untuk faktor penyakit, dan sebesar 3 untuk faktor cuaca/iklim. Hal ini menunjukkan bahwa pada petani yang memiliki produksi tinggi dan normal tingkat serangan hama dapat menyebabkan kerusakan yang besar, sedangkan untuk kerusakan yang diakibatkan oleh faktor cuaca/iklim adalah sedang.

Page 92: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhammad Rizal Ghozali – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

305

c. Evaluasi dan Peta Risiko Tabel 8. Nilai tingkat risiko produksi usahatani bawang merah saat off-season

Tingkat Produksi Petani Tingkat Risiko (R) R Hama R Penyakit R Cuaca/iklim

Tinggi 12 9 15 Normal 12 12 15 Rendah 16 16 15

Berdasarkan tabel 8 nilai risiko produksi bawang merah petani yang memperoleh produksi tinggi dari hasil usahatani diluar musim atau off-season adalah sebesar 12 untuk risiko karena hama, 9 untuk risiko karena penyakit, dan sebesar 15 untuk risiko karena cuaca/iklim. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa risiko produksi karena faktor hama dan faktor cuaca/iklim yang dihadapi oleh petani bawang merah yang memperoleh produksi tinggi saat melakukan usahatani bawang merah diluar musim adalah termasuk kategori risiko tinggi, sedangkan risiko yang disebabkan oleh faktor penyakit termasuk kategori risiko sedang.

LIK

ELIH

OO

D R

ISIK

O Hampir

Pasti (5)

R Cuaca

Peluang Besar (4)

Peluang Sedang (3)

R Penyakit

R Hama

Peluang Kecil (2)

Jarang (1)

Tidak Signifikan (1)

Rendah (2) Sedang (3) Besar (4) Dahsyat (5)

KONSEKUENSI RISIKO

Gambar 2. Peta risiko petani produksi tinggi Nilai risiko produksi bawang merah yang dihadapi oleh petani yang memiliki produksi

normal saat melakukan usahatani diluar musim atau off-season adalah sebesar 12 untuk risiko karena faktor hama, 12 karena faktor penyakit, dan 15 karena faktor cuaca/iklim. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa risiko produksi yang dihadapi petani bawang merah yang memiliki produksi normal baik dari faktor hama, faktor penyakit, dan faktor cuaca/iklim adalah termasuk dalam kategori risiko yang tinggi.

LIK

ELIH

OO

D R

ISIK

O Hampir

Pasti (5) Cuaca/iklim

Peluang Besar (4)

R. Penyakit

Peluang Sedang (3)

R. Hama

Peluang Kecil (2)

Jarang (1)

Tidak Signifikan (1)

Rendah (2) Sedang (3) Besar (4) Dahsyat (5)

KONSEKUENSI RISIKO

Gambar 3. Peta risiko petani produksi normal

Page 93: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

306 JEPA, 3 (2), 2019: 294-310

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Nilai risiko produksi bawang merah yang dihadapi oleh petani yang memiliki Produksi rendah saat melakukan usahatani diluar musim atau off-season adalah sebesar 16 untuk risiko karena faktor hama, 16 karena faktor penyakit, dan 15 karena faktor cuaca/iklim. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa risiko produksi yang dihadapi petani bawang merah yang memiliki Produksi normal baik dari faktor hama, faktor penyakit, dan faktor cuaca/iklim adalah termasuk dalam kategori risiko yang tinggi. Peta risiko produksi yang dihadapi oleh petani bawang merah dengan Produksi normal dapat dilihat pada gambar 4 berikut:

LIK

ELIH

OO

D R

ISIK

O Hampir

Pasti (5) Cuaca/iklim

Peluang Besar (4)

R. Hama dan R Penyakit

Peluang Sedang (3)

Peluang Kecil (2)

Jarang (1)

Tidak Signifikan (1)

Rendah (2) Sedang (3) Besar (4) Dahsyat (5)

KONSEKUENSI RISIKO

Gambar 4. Peta risiko petani produksi rendah Hasil analisis risiko rata-rata keseluruhan petani bawang merah di Desa Petak dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini: Tabel 9. penilaian tingkat risiko produksi bawang merah diluar musim atau off-season

No. Penilaian Nilai Parameter Keterangan 1. Likelihood

(L) 4 Kemungkinan

Besar Terjadi Mungkin terjadi pada banyak keadaan

2. Konsekuensi (Q)

3 Kerugian Sedang Kerugian yang dialami sedang dengan konsekuensi yang cukup signifikan pada tujuan usahatani bawang merah

3. Tingkat Risiko (R)

12 Risiko Tinggi Mempertegas peran dan tanggung jawab sebagai petani untuk menangani risiko

Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa nilai likelihood risiko produksi bawang merah yang dihadapi oleh keseluruhan petani di Desa Petak yang melakukan usahatani diluar musim atau off-season adalah sebesar 4, sedangkan nilai konsekuensi risikonya adalah sebesar 3. Hal ini menunjukkan bahwa risiko produksi usahatani bawang merah yang dihadapi petani saat usahatani diluar musim atau off-season adalah kemungkinan besar terjadi dan tingkat kerugian atau kerusakan produksi adalah sedang. Risiko yang dihadapi petani di Desa Petak ini juga terjadi dipengaruhi oleh suatu keadaan yang tidak mendukung seperti cuaca/iklim yang tidak mendukung, serangan hama dan serangan penyakit yang cenderung tinggi. Nilai risiko produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season ini adalah sebesar 12, hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko yang dihadapi petani di Desa petak saat melakukan usahatani bawang merah diluar musim adalah tinggi, sehingga penanganan yang harus dilakukan oleh para petani di Desa Petak yaitu dengan mempertegas peran dan tanggung jawab sebagai petani. Peran petani yang dimaksud dalam hal ini adalah peran petani dalam memaksimalkan proses budidaya dari pengolahan tanah hingga pemanenan untuk menurunkan risiko produksi yang ada. Berdasarkan hasil evaluasi, risiko produksi yang dihadapi petani bawang merah di Desa Petak saat usahatani bawang merah diluar musim atau off-season dapat dilihat dengan peta produksi berikut:

Page 94: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhammad Rizal Ghozali – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

307

LIK

ELIH

OO

D R

ISIK

O Hampir

Pasti (5)

Peluang Besar (4)

R=12

Peluang Sedang (3)

Peluang Kecil (2)

Jarang (1)

Tidak Signifikan (1)

Rendah (2) Sedang (3) Besar (4) Dahsyat (5)

KONSEKUENSI RISIKO

Gambar 5 Peta Risiko Produksi Bawang Merah di Desa Petak

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko Produksi Bawang Merah di Luar Musim atau Off-season di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk 1. Analisis regresi linier berganda fungsi produktivitas bawang merah diluar musim atau off-

season Tabel 10. Hasil dugaan fungsi produktivitas usahatani bawang merah di luar musim atau off-

season Variabel Koefisien Standar Eror t-Hitung Signifikansi Konstanta -0,842 1,278 -0,658 0,514 Benih (X1) 0,407 0,154 2,644 *0,012 Pupuk (X2) 0,254 0,073 3,497 *0,001 Pestisida Cair (X3) -0,267 0,087 -3,078 *0,004 Pestisida Padat (X4) -0,142 0,118 -1,195 0,239 Tenaga Kerja (X5) -0,199 0,148 -1,345 0,186 R-Square 55,8% F Statistic 10,093 Adjusted R-Square 50,3% F Sig 0,000

Keterangan: *) Berpengaruh nyata pada taraf nyata 5% Berdasarkan hasil pendugaan fungsi produktivitas usahatani bawang merah di luar

musim atau off-season yang dicantumkan pada tabel 10, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = -0,842 + 0,407 lnX1 + 0,254 lnX2 – 0,267 lnX3 – 0,142 lnX4 – 0,199 lnX5

Berdasarkan hasil pendugaan model fungsi produktivitas usahatani bawang merah yang ditunjukkan tabel 10 dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 55,8% dan nilai Adjusted R2 adalah sebesar 50,3%. Nilai koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa sebesar 55,8% keragaman atau variasi dari variabel produktivitas bawang merah dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel benih, pupuk, pestisida cair, pestisida padat, dan tenaga kerja. Sisa dari nilai R2 yaitu sebesar 44,2% dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

Nilai F statistik adalah sebesar 10,093 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 atau 0,000 < 0,05 sehingga faktor-faktor produktivitas yang digunakan untuk usahatani bawang merah diluar musim atau off-season yaitu, benih, pupuk, pestisida cair, pestisida padat, dan tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap produktivitas bawang merah.

Berdasarkan tabel 10 diketahui bahwa hasil uji t pada variabel benih (X1) diketahui nilai t hitung sebesar 2,644 dengan nilai signifikansi sebesar 0,012, pada variabel pupuk (X2) diketahui nilai t hitung sebesar 3,497 dengan nilai signifikansi sebesar 0,001, pada variabel

Page 95: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

308 JEPA, 3 (2), 2019: 294-310

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

pestisida cair (X3) diketahui nilai t hitung sebesar -3,078 dengan nilai signifikansi sebesar 0,004, pada variabel pestisida padat (X4) diketahui nilai t hitung sebesar -1,195 dengan nilai signifikansi sebesar 0,239, dan pada variabel tenaga kerja (X5) diketahui nilai t hitung sebesar -1,345 dengan nilai signifikansi sebesar 0,186. Apabila signifikansi t < 0,05 maka secara berpengaruh nyata, dan apabila signifikansi t > 0,05 maka berpengaruh tidak nyata. Berdasarkan hasil regresi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa faktor benih (X2), pupuk (X3), dan pestisida cair (X4) nilai signifikansinya < 0,05, artinya faktor benih (X2), pupuk (X3), pestisida cair (X4) secara parsial berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas usahatani bawang merah diluar musim atau off-season sedangkan faktor lainnya seperti pestisida padat dan tenaga kerja berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas usahatani bawang merah diluar musim atau off-season.

Nilai koefisien regresi dari variabel benih (X1) dan pupuk (X2) adalah bernilai positif (+). Hal ini berarti bahwa setiap penambahan dari variabel tersebut dapat meningkatkan produktivitas usahatani bawang merah diluar musim atau off-season dengan asumsi ceteris paribus. Sedangkan pada variabel pestisida cair (X3), pestisida padat (X4), dan tenaga kerja (X5) bernilai negatif, hal ini berarti bahwa setiap penambahan pada variabel pestisida cair, pestisida padat, dan tenaga kerja dapat menurunkan produktivitas usahatani bawang merah diluar musim atau off-season dengan asumsi ceteris paribus.

2. Analisis regresi linier berganda fungsi variance produktivitas bawang merah diluar musim

atau off-season Tabel 11. Hasil dugaan fungsi variance produktivitas usahatani bawang merah di luar musim

atau off-season

Variabel Koefisien Standar Eror t-Hitung Signifikansi Konstanta 5,234 11,677 0,448 0,656 Benih (X1) -0,030 1,406 -0,021 0,983 Pupuk (X2) 0,306 0,664 0,460 0,648 Pestisida Cair (X3) 2,157 0,793 2,720 *0,010 Pestisida Padat (X4) -1,610 1,082 -1,488 0,145 Tenaga Kerja (X5) -1,923 1,349 -1,426 0,162 R-Square 25,3% F Statistic 2,708 Adjusted R-Square 16,0% F Sig 0,034

Keterangan: *) Berpengaruh nyata pada taraf nyata 5% Berdasarkan hasil pendugaan terhadap fungsi variance produktivitas usahatani bawang

merah di luar musim atau off-season dapat diperoleh persamaan sebagai berikut: Lnσ2

Y = 5,234 – 0,030 lnX1 – 0,306 lnX2 + 2,157 lnX3 – 1,610 lnX4 – 1,923 lnX5

Berdasarkan hasil pendugaan regresi pada fungsi variance produktivitas usahatani bawang merah diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 25,3% dan nilai Adjusted R2 adalah sebesar 16%. Nilai koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa sebesar 25,3% keragaman atau variasi dari variabel variance produktivitas bawang merah dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel benih, pupuk, dan pestisida cair, sedangkan sisanya yaitu sebesar 74,7% dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

Berdasarkan tabel 11 dapat diketahui bahwa nilai F statistik adalah sebesar 2,708 dengan nilai signifikansi sebesar 0,034 maka nilai signifikansi kurang dari 0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor produksi yang digunakan untuk usahatani bawang merah diluar musim atau off-season yaitu benih, pupuk, pestisida cair, pestisida padat,

Page 96: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhammad Rizal Ghozali – Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

309

dan tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh secara nyata terhadap variance produktivitas bawang merah atau risiko produksi bawang merah.

Berdasarkan tabel 11 diketahui bahwa hasil uji t pada variabel Benih (X1) diketahui nilai t hitung sebesar -0,021 dengan nilai signifikansi sebesar 0,983, variabel pupuk (X2) diketahui nilai t hitung sebesar 0,460 dengan nilai signifikansi sebesar 0,648, variabel pestisida cair (X3) diketahui nilai t hitung sebesar 2,720 dengan nilai signifikansi sebesar 0,010, variabel pestisida padat (X4) diketahui nilai t hitung sebesar -1,488 dengan nilai signifikansi sebesar 0,145, dan variabel tenaga kerja (X5) diketahui nilai t hitung sebesar -1,426 dengan nilai signifikansi sebesar 0,162. Hal ini menunjukkan bahwa variabel pestisida cair (X3) memiliki nilai signifikansi kurang dari 0,05, artinya variabel pestisida cair secara parsial berpengaruh secara nyata terhadap variance produktivitas bawang merah, sedangkan variabel lainnya seperti benih, pupuk, pestisida padat, dan tenaga kerja secara parsial berpengaruh tidak nyata terhadap variance produktivitas. Hal ini menunjukkan bahwa variabel pestisda cair adalah variabel yang berpengaruh nyata terhadap risiko produksi bawang merah yang diusahatanikan diluar musim atau off-season di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk.

Nilai koefisien regresi dari variabel pupuk (X2) dan pestisida cair (X3) adalah bernilai positif (+). Hal ini berarti bahwa setiap penambahan dari variabel tersebut dapat meningkatkan variance produktivitas usahatani bawang merah dengan asumsi ceteris paribus, dengan demikian variabel tersebut merupakan variabel yang dapat meningkatkan risiko produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season. Sedangkan pada variabel benih (X1), pestisida padat (X4), dan tenaga kerja (X5) bernilai negatif, hal ini berarti bahwa setiap penambahan pada variabel pestisida padat dapat menurunkan variance produktivitas usahatani bawang merah dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini berarti bahwa hanya variabel pestisida padat yang dapat menurunkan risiko produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Sumber risiko produksi usahatani bawang merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten

Nganjuk adalah cuaca dan iklim, hama dan penyakit, kualitas benih bawang merah, kesuburan lahan usahatani, dan sumber daya manusia atau petani yang melakukan proses budidaya bawang merah.

2. Tingkat risiko produksi usahatani bawang merah di luar musim atau off-season di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk berdasarkan nilai variance sebesar 2,10, standard deviation sebesar 1,45, dan coefficient variation sebesar 1,01 maka dapat disimpulkan memiliki risiko produksi yang dihadapi petani adalah tinggi, sedangkan berdasarkan peta risiko produksi dapat disimpulkan bahwa risiko yang dihadapi petani bawang merah diluar musim atau off-season termasuk dalam kategori risiko tinggi dan berada pada warna orange yang mengindikasikan tingkat risiko tinggi.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara nyata risiko produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season di Desa Petak adalah faktor pestisida cair, sedangkan faktor benih, pupuk, pestisida padat, dan tenaga kerja berpengaruh tidak nyata terhadap risiko produksi usahatani bawang merah diluar musim atau off-season di Desa Petak.

Page 97: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

310 JEPA, 3 (2), 2019: 294-310

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Saran 1. Bagi petani, sebaiknya melakukan usahatani bawang merah pada saat musim kemarau saja

untuk menghindari risiko produksi yang cenderung tinggi, sedangkan pada saat musim penghujan dapat dilakukan pergantian tanaman seperti padi atau kedelai, karena komoditas tersebut sangat cocok diusahakan saat musim penghujan.

2. Bagi petani berproduksi tinggi dan normal sebaiknya prioritas penanganan risiko usahatani bawang merah adalah faktor cuaca/iklim, sedangkan bagi petani berproduksi rendah sebaiknya prioritas penanganan risikonya adalah faktor hama dan penyakit.

3. Bagi petani, sebaiknya menggunakan pestisida sesuai dosis yang dianjurkan untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan resistensi hama/penyakit tanaman bawang merah.

4. Bagi penelitian selanjutnya, dapat dilakukan analisis risiko pendapatan usahatani bawang merah diluar musim atau off-season untuk mengetahui seberapa besar tingkat risiko pendapatan yang dihadapi petani saat musim penghujan.

DAFTAR PUSTAKA

Asche, F., dan R. Tveteras. 1999. Modeling Production Risk with a Two-Step Procedure.

Journal of Agriculture and Resource Economics, 24(2): 424-439. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2015. Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Jawa

Timur. [serial online]. https://batukota.bps.go.id/website/brs_ind/brsInd-20150813013556.pdf. [2 Oktober 2017].

Fauzan. 2016. Pendapatan, Risiko, dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Bantul. Jurnal AGRARIS, 2(2): 107-117.

Fauziyah, E. 2011. Manajemen Risiko Pada Usahatani Padi Sebagai Salah Satu Upaya dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus di Desa Telang Kecamatan Kamal). Bangkalan: Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo.

Kementerian Pertanian RI. 2017. Produksi Bawang Merah di Indonesia Menurut Provinsi tahun 2010-2016. [serial online]. http://www.pertanian.go.id. [2 Oktober 2017].

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Pranata A., dan Umam A. T. 2015. Pengaruh Harga Bawang Merah Terhadap Produksi Bawang Merah Di Jawa Tengah. JEJAK, 8 (1): 1-88.

Ristic, D. 2013. A Tool For Risk Assessment. Safety Engineering, 3(3): 121-127. Sutarya, R., G. Grubben, H. Sutarno. 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah.

Malang: Gadjah Mada University Press.

Page 98: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 311-324

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.8

STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAMUR TIMUR WUJUD PENGUATAN EKONOMI LOKAL

THE STRATEGY of OYSTER MUSHROOM CULTIVATION DEVELOPMENT As A

FORM of STRENGTHENING the LOCAL ECONOMY in PONCOKUSUMO

Ayu Dwidyah Rini*, Amaliyah Universitas Trilogi

*Penulis Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Business opportunities that can be developed in the face of competitive competition is to think creatively. The development of creative economy can create sustainable economy. This study aims to determine the benefits of Poncokusumo Malang area so as to ultimately produce the creativity of the community in order to create business opportunities on an ongoing basis. This research used descriptive qualitative method with SWOT analysis approach. This study describes the productive economic potential in oyster mushroom agriculture sector. The results of this study shows that there are a substantial amount of oyster mushrooms business potentials that can be developed in this area. This is due to the availability of land as well as fast increasing demand for oyster mushrooms. However, there are some area that need to be addressed, namely the development in human resources, especially in processing oyster mushroom techniques. Other than that, today’s market requirement for high quality products along with attractive packaging would also call for post harvest technology development. Some efforts in human resources and technology development are still in the field of agriculture, especially oyster mushroom cultivation which is a manifestation of efforts to overcome the low knowledge of human resources in processing oyster mushroom farming. Keywords: agricultural economic, creative economy, SWOT analysis, human resource

development

ABSTRAK

Pengembangan ekonomi kreatif dapat mewujudkan sustainable economy serta menciptakan sebuah peluang usaha yang siap dalam berkompetitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keunggulan didaerah Poncokusumo Malang, menciptakan sebuah peluang bisnis secara berkesinambungan serta mendeskripsikan potensi ekonomi produktif berdasarkan sektor pertanian jamur tiram yang berkembang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan analisis SWOT. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa pengembangan jamur tiram potensial dikembangkan dikarenakan tersedianya lahan disertai dengan meningkatkannya permintaan jamur tiram yang relatif masih sangat tinggi. Oleh sebab itu pembinaan, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi pasca panen diperlukan harus dilakukan secara continuous dibidang pertanian khususnya budidaya jamur tiram. Hal ini merupakan perwujudan dari upaya untuk mengatasi rendahnya pengetahuan sumber daya manusia dalam mengolah pertanian jamur tiram

Kata kunci: Ekonomi kreatif, Analisis SWOT, Ekonomi pertanian, Pengembangan Sumber Daya Manusia

Page 99: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

312 JEPA, 3 (2), 2019: 311-324

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Persaingan usaha khususnya dalam sektor pertanian tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar proses tingkat produksi yang dilakukan melainkan aspek kreativitas, inovasi serta teknologi memegang peranan yang sangat penting. Sektor pertanian pada dasarnya memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan, namun kreatifitas dan pengembangan nilai tambah yang masih dirasa kurang menghambat kemajuan perkembangan usaha sektor pertanian. Oleh sebab itu dibutuhkan usaha untuk menciptakan iklim bisnis yang positif; membangun citra agribisnis daerah; mengembangkan ekonomi berbasis kepada sumber daya yang terbarukan; menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu daerah. Ekonomi kreatif menekankan pada penemuan barang dan jasa yang mengandalkan keahlian, bakat, dan kreativitas sebagai kekayaan intelektual. Ekonomi kreatif dapat dijadikan model dalam menghadapi tingkat persaingan yang kompetitif, sehingga mampu menciptakan value added bagi perkembangan agribisnis nasional.

Ekonomi kreatif dapat menyelesaikan salah satu problem bangsa yang mendasar yaitu mensejahterakan masyarakat karena ekonomi kreatif menciptakan value added baik kepada industrinya sendiri ataupun kepada sumber daya manusianya. Keberadaan ekonomi kreatif memberikan dampak positif dalam mengurangi tingkat pengangguran dan akhirnya akan meningkatkan tingkat perekonomian. Dusun Sukosari Desa Pandansari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, dipilih sebagai situs pengembangan ekonomi kreatif sektor pertanian disebabkan sebagai berikut; (a) Poncokusumo memiliki sumber daya alam jamur tiram yang potensial untuk dikembangkan. Jamur tiram merupakan salah satu produk pertanian dengan angka permintaan pasar yang tinggi. Oleh sebab itu memudahkan para pembudidaya untuk memasarkan produknya. (b) Poncokusumo merupakan daerah dataran tinggi dengan cuaca yang baik bagi budidaya jamur tiram. Lingkungan yang mendukung akan membantu proses pertumbuhan dan perkembangan budidaya jamur yang baik. Poncokusumo merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur dengan luas 686,2509 hektar. Poncokusumo terletak di sebelah barat daya Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Royan Barat dengan ketinggian 926 meter dari permukaan laut. Temperatur rata-rata 22º-26º celcius. (c) Teknik pengembangan jamur tiram tergolong sederhana, bahan baku yang digunakan sederhana serta proses budidaya jamur bersifat organik (tidak menggunakan pestisida). (d) Membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar pertanian jamur tiram. Desa Poncokusumo Kecamatan Poncokusumo memiliki jumlah penduduk 7.039 jiwa yang terdiri dari 3.526 jiwa penduduk laki-laki dan 3315 penduduk dengan perempuan. Petani merupakan pekerjaan mayoritas dari penduduknya. (e) Meningkatkan kesejahteraan para petani jamur Tiram.

Daerah Poncokusumo memiliki kelompok tani jamur meskipun demikian produksi jamur masih belum mampu mencukupi permintaan konsumen, hal ini dipicu oleh berbagai permasalahan yang diidentifikasi sebagai berikut; (1) Keterbatasan peengetahuan petani jamur dalam pembuatan media baglog jamur tiram; (2) terbatasanya pengetahuan dalam pengembangan budidaya jamur tiram serta (3) permasalahan permodalan dalam menunjang kegiatan Budidaya Jamur Tiram. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor internal maupun eksternal dalam pengembangan budidaya jamur tiram, menentukan faktor strategis yang dapat menunjang pengembangan strategi agribisnis jamur tiram di Daerah Poncokusumo. Komoditas pertanian dalam pengembangan strategis memerlukan keterkaitan komponen komponen faktor pendukung sumber daya. Integrasi antar komponen faktor sumber daya dengan komponen industri terkait sangat diperlukan dalam meningkatkan daya saing serta keunggulan kompetitif komoditas (Porter, 1998). Nurunisa dan

Page 100: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ayu Dwidyah Rini – Strategi Pengembangan Agribisnis ..................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

313

Lukman (2012) dalam penelitiannya terkait analisis daya saing dan strategi pengembangan Agribisnis teh menjelaskan integrasi komponen faktor sumber daya seperti petani rakyat, teknologi penunjang produksi serta industri perkebunan besar negeri dan swasta yang saling terkait diperlukan dalam mengembangkan arsitektur strategic agribisnis the Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa interaksi antara subsistem hulu, budidaya, pengolahan, pemasaran serta subsistem jasa penunjang sangat diperlukan dalam mengembangkan keunggulan daya saing sistem agribisnis di Indonesia. Daya saing sebuah komoditas dapat dikembangkan melalui empat komponen utama antara lain; empat komponen utama yaitu faktor sumber daya, kondisi permintaan, industri terkait dan pendudukung, struktur persaingan dan strategi perusahaan. Sedangkan komponen pendukung yang dibutuhkan dalam meningkatkan daya saing komoditas adalah peran pemerintah dalam menentukan faktor – faktor penentu daya saing global serta peranan kesempatan dalam meningkatkan daya saing global.

Pengelolaan terhadap sumber daya manusia yang tepat akan menjadi penentu kesuksesan dari suatu kegiatan, sebaliknya, kegagalan dalam mengelola sumber daya manusia akan menjadi hambatan paling awal yang memperkecil kemungkinan tercapainya berbagai tujuan yang telah direncanakan. Pengelolaan atau manajemen terhadap sumber daya manusia menjadi penentu produktivitas dan seluruh pencapaian tujuan. Pengembangan sumber daya manusia diperlukan untuk terwujudnya peningkatan kualitas masyarakat desa tersebut. Hasibuan (2016) menyatakan bahwa pengembangan yang dilakukan harus diterapkan secara terencana dan berkesinambungan. Pengembangan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritik, konseptual dan moral individu sesuai dengan kebutuhan pekerjaan melalui pelatihan dan pendidikan. Pendidikan akan meningkatkan keahlian teoritik, konseptual dan moral karyawan, sedangkan latihan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis pelaksanaan pekerjaan karyawan.

Model pengembangan sumber daya manusia diilustrasikan sebagai lima fasa dalam proses kerja yang terpusat pada proses organisasi (Swanson dan Holton III, 2008). Gambar 1.1 menunjukkan model sistem dasar HRD (Human Resource Development), yang merupakan akar pemikiran HRD dalam organisasi Terdapat beberapa elemen yang harus dipertimbangkan dalam mengorganisir sekelompok orang dalam suatu organisasi, diantaranya adalah tujuan sistem, bagian atau elemen pendukung dalam sistem dan hubungan antarelemen.

Gambar 1. Model sistem dasar HRD

Sumber: (Swanson dan Holton III, 2012) Gambar 1 menunjukkan model pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi dan lingkungan. Model pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan menganalisis dan menetapkan tujuan SDM. Tahap selanjutnya ialah menciptakan sumber daya manusia

Page 101: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

314 JEPA, 3 (2), 2019: 311-324

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

tersebut memiliki kompetensi berupa kemahiran dengan berbagai cara guna peningkatan kualitas SDM yang bersangkutan.

Pendidikan dan pelatihan merupakan upaya untuk pengembangan sumber daya manusia, terutama untuk pengembangan aspek kemampuan intelektual dan kepribadian manusia. Sudiardhita dalam penelitiannya (2009), menjelaskan bahwa masih rendahnya kualitas mutu dari sumber daya manusia dibidang pertanian, terbatasnya jumlah tenaga baik kuantitas maupun kualitasnya masih menjadi problematika dalam pertanian. Rata-rata usia tenaga penyuluh sudah memasuki lebih dari 45 tahun serta tingkat pendidikan formal menengah merupakan pendidikan yang ditempuh. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus terutama pada lembaga penelitian bahwasanya pembisnis dalam bidang pertanian memerlukan pengembangan hasil yang berbasis teknologi agar mendapat perhatian kalangan muda mudi. Sehingga nantinya terjadi kaderisasi pelaku utama dalam pertanian. Oleh sebab itu hal ini dapat menyebabkan kemampuan dalam menyerap informasi dan mengadopsi teknologi relative sangat terbatas. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan berakibat pada lemahnya pengelolaan usaha sehingga usaha yang dilakukan tidak dapat berkembang dengan baik dan rata-rata pendapatan menjadi rendah

Pendidikan dalam lingkup organisasi merupakan proses pengembangan kemampuan sesuai dengan tujuan perusahaan. Sedangkan pelatihan merupakan bagian dari proses pendidikan, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan seseorang atau sekelompok orang dalam bidang khusus. Tahap terakhir setelah penciptaan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan baik dalam bidangnya ialah implementasi ilmu pengetahuan yang telah diperoleh dari pelatihan dan pendidikan serta penilaian. (Swanson dan Holton III, 2012).

Ditambahkan juga oleh Juarini (2015) yang menyebutkan bahwa pembinaan mutu SDM dalam pemerintahan yang terdesentralisasi kedaerah memiliki keunggulan tertentu. Dimana pemerintahan daerah memiliki potensi besar dalam mewujudkan SDM yang berkualitas dalam segala sektor, khususnya sektor agribinis. Pembinaan mutu yang dimaksud adalah dengan : (a) pembinaan unsur kognitif yang meliputi pengetahuan dasar tentang agribisnis dan teknologi serta manajerial. Ditambah dengan bidang pendukung yaitu, pemasaran, pengoperasian dalam produksi dan keuangan. Dalam unsur kognitif dapat dipelajari bagaimana untuk meningkatan pengetahuan, mengasah pola pikir dan bagaimana cara menganalisa sehingga dapat mempertajam intelengensi, kecerdasan dan sekaligus meningkatkan pengetahuan manajerial dan kemampuan dibidang teknologi. (b) Pembinaan unsur psikomotorik meliputi usaha peningkatan keahlian dan ketrampilan secara khusus yang terdiri dari ketrampilan manajerial, ketrampilan dalam produksi dan ketrampilan dalam teknologi. (c) Pembinaan unsur afeksi, yaitu sikap, mental, moral dan etika. Unsur yang terakhir merupakan unsur yang mempunyai hubungan signifikan dengan unsur sebelumnya, ini dikarenakan karena unsur afeksi mampu memberikan dorongan agar tercipta lingkungan kerja yang harmonis, yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan produktivitas organisasi yang efisien dan efektif. (d) Pembinaan unsur intuisi, yang merupakan perpaduan antar unsur kognitif, psikomotorik dan afeksi. Intuisi dapat diartikan kemampuan kualitas SDM yang ada dalam diri seseorang berupaka keyakinan yang dapat mempengaruhi tindakan manusia baik perilaku atau tindakan arif dan bijaksana dalam memandang peluang bisnis. Dalam menyikapi perubahan yang signifikan, seperti kemajuan ilmu dan teknologi, global warning, persaingan global, ataupun perubahan lingkungan alam, lingkungan sosial maupun lingkungan budaya, maka petani harus melakukan penyesuaian subtansi materi penyuluhan dan pembinaan.

Dilanjutkan pula oleh Juarini (2015) bahwa ciri dari agribisnis ialah adanya produktivitas dan efisiensi yang tinggi, maka usaha tani yang layak diterapkan menggunakan pola sehamparan. Beberapa petani bergabung membentuk kelompok tani, menyatukan lahannya

Page 102: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ayu Dwidyah Rini – Strategi Pengembangan Agribisnis ..................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

315

untuk mengusahakan komoditi tertentu yang telah diketahui memiliki propek pasar yang cerah. Petani jamur tiram dituntu untuk siap secara fisik maupun mental. Oleh sebab itu diperlukan bimbingan dan penyuluhan yang intensif. Retnaningsih dan Bambang (2017) dalam penelitiannya terkait strategi pengembangan jamur tiram juga menjelaskan bahwa prioritas strategi yang dikembangkan dalam pertanian jamur tiram adalah peningkatan kualitas produk bibit, media tanam (baglog) dan jamur tiram. Dengan demikian strategi yang dikembangkan dapat membantu kesiapan petani jamur tiram dalam unsur kognitif (pengetahuan teknik pertanian), psikomotorik (keterampilan pengolahan hasil pertanian), afeksi (sikap dan metal para petani jamur) dan intuisi. Sehingga kesiapan yang dimiliki petani jamur tiram diharapkan mampu menggerakan sektor pertanian yang berimplikasi pada terwujudnya kedaulatan pangan. Penelitian ini dilakukan di Desa pandasari didasarkan pada faktor berikut antara lain: (a) minat dari komunitas atau masyarakat untuk menjadi wirausaha; (b) Komitmen masyarakat untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan dalam perintisan budidaya jamur tiram; (c) potensi usaha yang dapat dikembangkan; Desa Poncokusumo memiliki potensi usaha cukup besar namun belum dimanfaatkan secara maksimal. (d) Lokasi pengembangan usaha yang strategis. Potensi wisata Desa Poncokusumo meliputi wisata alam, budaya dan agrowisata. Desa Poncokusumo secara geografis berada di kaki Pegunungan Tengger. Desa Poncokusumo memiliki topografi berbukit dan dialiri dua sungai yaitu Sungai Amprong dan Sungai lesti. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan potensi ekonomi produktif sektor pertanian serta mengembangkan strategi pengembangan sektor pertanian jamur tiram di Kabupaten Malang.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititatif deskriptif dengan analisis SWOT. Analisis SWOT digunakan untuk mendeskripsikan kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman dari sektor pertanian jamur tiram yang dikembangkan oleh warga setempat. Penelitian ini juga mendeskripsikan potensi ekonomi produktif berdasarkan sektor pertanian jamur tiram. Lokasi penelitian berada di daerah Dusun Sukosari Desa Pandansari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Sumber data primer diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan Focuss Group Discussion dengan petani setempat, observasi di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh berdasarkan peta geografis Poncokusumo Kabupaten Malang, yang menjelaskan kondisi geografis, luas lahan pertanian, Jenis Iklim, serta tekstur tanah untuk kegiatan pertanian. Sumber data sekunder juga diperoleh melalui Dokumentasi berupa foto wilayah, serta Kajian Literatur.

HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Subsektor Jamur Tiram

Pada era sekarang, masyarakat dunia khususnya Indonesia sudah mulai menyadari pentingnya kesehatan. Oleh karenanya, masyarakat saat ini cenderung memperhatikan gizi yang diperlukan. Salah satu pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat dapat mengkonsumsi makanan dari jamur tiram. Jamur tiram adalah salah satu jenis jamur yang sering dikonsumsi sehingga ini merupakan potensi bisnis yang cukup besar. Kondisi di Jawa Timur yang strategis menjadi keuntungan tersendiri dalam pengembangan pertanian. Sehingga mempermudah pemasaran hasil-hasil pertanian. Ditambah lagi dengan cuaca yang sejuk yang membuat ketersediaan udara bersih dapat diakomodir dengan baik. Situasi tersebutlah yang dapat memberikan keyakinan

Page 103: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

316 JEPA, 3 (2), 2019: 311-324

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

bahwa pertanian khususnya budidaya jamur tiram di Jawa Timur memiliki peluang besar dan sekaligus dapat dijadikan potensi dalam berinvestasi.

Perkembangan Sektor Jamur Tiram

Secara umum sektor pertanian mengalami perkembangan setiap tahunnya. Namun budidaya jamur tiram belum mengalami perkembangan bahkan memilik kecenderungan tidak berubah. Ada beberapa faktor kemungkinan yang mendasari, yaitu kurangnya pemahaman masyarakat tentang bagaimana proses pembudidayaan jamur tiram, tidak memiliki informasi bagaimana memasarkan hasil produksi, dan kurangnya minat dari masyarakat untuk memulai bisnis baru. Produksi Pertanian Jamur Tiram

Badan Pusat Statistika Indonesia dalam gambar 1, menjelaskan bahwa produksi jamur tiram di Indonesia atau produksi nasional jamur terus mengalami penurunan dari tahun 2010-2013 yaitu 61,37 Ton/m menjadi 44,56 Ton/m2. Penurunan produksi menyebabkan Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan jamur bagi masyarakat dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu perbaikan dalam proses budidaya khususnya pemilihan media tanam yang baik, merupakan salah satu cara yang efektif dalam meningkatkan produksi jamur di Indonesia. Jawa timur menyumbang lebih dari 50 persen dalam produksi jamur tiram, sehingga dapat disimpulkan bahwa Jawa Timur dapat memproduksi jamur tiram dalam skala besar.

Permintaan terhadap jamur tiram dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Permintaan jamur tiram dapat menembus pangsa pasar ekspor seperti Malaysia dan Singapura. Dan lagi, kebutuhan jamur tidak terbatas dalam permintaan jamur segar, melainkan seperti pemintaan bibit jamur (inokulan); media jamur (baglog), dan bisnis olahan jamur.

Gambar 1. Statistik Produksi Holtikultura 2008 - 2013 Sumber: Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Hortikultura, (2014)

Strategi Pengembangan Sektor Pertanian Jamur Tiram

Strategi pengembangan sektor pertanian jamur tiram dideskripsikan berdasarkan dua faktor antara lain faktor Internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi potensi atau kekuatan serta kendala atau kelemahan yang dimilki sektor pertanian di wilayah Poncokusumo Kabupaten Malang.

1,60 7,28

Perkembangan Luas Panen, Rata-rata Hasil dan Produksi Jamur di Indonesia Tahun 2008 – 2013

Luas Panen

Rata-rata Hasil

Produksi

Peningkatan/Penurunan Terhadap Tahun Sebelumnya

15,69 -22,93 -10,83

2013 584 76,28 44.565

2,79 -25,29

2012 575 71,11 40.886

2011 497 92,26 45.854 -27,32

-18,69 -10,64

2010 684 89,76 61.376 -2,32 63,35 59,56

2009 700 54,95 38.465 9,89

% % %

2008 637 67,58 43.047

Tahun

Jamur

Luas Panen (Ha)

Rata-rata Hasil

(Ton/Ha)

Produksi (Ton)

- - -

Page 104: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ayu Dwidyah Rini – Strategi Pengembangan Agribisnis ..................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

317

Faktor Kekuatan Bagian Dari Strategi Internal Potensi Sumber Daya Alam

Wilayah desa Pandansari berada di sebelah selatan Gunung Bromo, dengan jarak sekitar 12-15 Km. kawasan tersebut termasuk dalam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang sangat kaya akan potensi sumberdaya alam hayati. Batasan wilayahnya adalah sebelah selatan : desa Sumberejo, sebelah utara: desa Poncokusumo, sebelah timur : Hutan Perhutani, Sebelah barat: desa Ngadireso.

Potensi sumber daya alam ditinjau berdasarkan Aspek atraksi. Aspek ini merupakan kondisi alam atau geografis dari wilayah Dsn Sukosari Ds. Pandansari Kec. Poncokusumo. Daerah tersebut memiliki kontur tanah nya berbukit namun ada beberapa bagian berupa dataran. Pengunaan lahan jumlahnya sangat minim dikarenakan masyarakat tidak memiliki kreativitas dalam pemanfataan lahan sendiri. Hanya beberapa masyarakat yang melakukan penanaman sayur-mayur. Kepemilikan lahan sebagian besar milik warga, namun ada beberapa yang menjadi milik bersama dan adapula sebagian kecil milik pemerintah yang dijadikan hutan negara (Hutan Perhutani). Jenis iklim yang sejuk dan bersih merupakan faktor pencemaran relatif masih rendah. Suhu udara rata-rata sekitar 18C–22C.

Gambaran topografi tersebut dapat dijelaskan bahwa Desa Pandansari sangat potensial untuk pengembangan usaha budidaya jamur tiram. Kondisi lahan pertaniannya berada di dataran tinggi 800 – 1000m diatas permukaan laut) yang merupakan tanah tegalan dengan sistem pengairan tadah hujan, dengan artian bahwa penanaman hanya terjadi saaat musim hujan. Sehingga jika musim kemarau, desa ini tidak dapat dimanfaatkan untuk bercocok tanam, karena harapan untuk mendapatkan aliran air hanya berasal dari air hujan hanya air hujan yang merupakan harapan dan sumber utama dalam menentukan keberlangsungan kehidupan komoditasnya. Untuk penilaian potensi desa maka ada 3 aspek yang akan dianalisis agar menunjang perekonomian yang kreatif, yaitu : (a) Aspek Atraksi Aspek ini merupakan kondisi alam atau geografis dari wilayah Dsn Sukosari Ds. Pandansari Kec. Poncokusumo. Daerah tersebut memiliki kontur tanah nya berbukit namun ada beberapa bagian berupa dataran. Pengunaan lahan jumlahnya sangat minim dikarenakan masyarakat tidak memiliki kreativitas dalam pemanfataan lahan sendiri. Hanya beberapa masyarakat yang melakukan penanaman sayur-mayur. Kepemilikan lahan sebagian besar milik warga, namun ada beberapa yang menjadi milik bersama dan adapula sebagian kecil milik pemerintah yang dijadikan hutan negara (Hutan Perhutani). Jenis iklim yang sejuk dan bersih merupakan faktor pencemaran relatif masih rendah. Suhu udara rata-rata sekitar 18C–22C. Dengan gambaran topografi tersebut maka Desa Pandansari sangat potensial dalam mengembangkan usaha budidaya jamur tiram. Kondisi lahan pertaniannya berada di dataran tinggi (800 – 1000m diatas permukaan laut) yang merupakan tanah tegalan dengan sistem pengairan tadah hujan, dengan artian bahwa penanaman hanya terjadi saaat musim hujan. Sehingga jika musim kemarau, desa ini tidak dapat dimanfaatkan untuk bercocok tanam, karena harapan untuk mendapatkan aliran air hanya berasal dari air hujan hanya air hujan yang merupakan harapan dan sumber utama dalam menentukan keberlangsungan kehidupan komoditasnya. (b) Aspek Aksesibilitas, Dalam hal ketersediaan bahan baku, daerah ini mempunyai potensi unggulan karena dalam pembuatan kumbung, relatif lebih mudah. Begitupula untuk pembuatan baglog karena biaya yang dikeluarkan sangat terjangkau. Untuk penyediaan bahan baku pembibitan, juga dapat mudah didaptatkan karena Desa Sukosari merupakan desa yang cukup mandiri. selanjutnya, dalam proses pembibitan, jamur tiram tidak memerlukan waktu yang lama untuk dapat dinikmati hasilnya. (c) Aspek Amenitas : Pengembangan sektor pertanian dalam suatu wilayah memerlukan jaringan sarana prasarana transportasi yang lebih lengkap. Daerah yang didukung dengan sarana dan prasarana

Page 105: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

318 JEPA, 3 (2), 2019: 311-324

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

transportasi yang memadai akan menunjang aktivitas dan akses perdagangan lebih maju. Desa sukosari sebagai sentra pengembangan sektor pertanian jamur tiram telah memiliki akses jalan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari kondisi jalan utama yang sudah menggunakan aspal serta adanya jembatan penghubung desa, sehingga memudahkan kegiatan usaha perdagangan masyrakat setempat. Ketersediaan Bahan Baku dan Lahan Produksi

Pengembangan jamur tiram dapat memanfaatkan pekarangan rumah yang relatif dimiliki oleh semua warga desa, hal ini mempermudah para penduduk dan petani jamur untuk menanam bibit jamur tiram. Aksesibilitas dalam hal ketersediaan bahan baku potensial dalam pengembangan jamur tiram. Pengembangan jamu tiram membutuhkan kumbung sebagai sarana produksi yang relatif lebih mudah. Pembuatan kumbung sebagai sarana produksi membutuhkan baglog sebagai penjunjang kegiatan produksi dengan biaya yang sangat terjangkau. Bahan baku pembibitan mudah didapatkan serta proses pembibitan, jamur tiram tidak memerlukan waktu yang lama untuk dapat dinikmati hasilnya. Proses pembibitan sampai penanaman memakan waktu 30-50 hari. Proses pengemasan hasil produksi juga menggunakan alat yang cukup mudah dijangkau.

Sarana prasarana yang tak kalah penting nya adalah pendistribusian hasil panen. Petani jamur tiram akan lebih diarahkan ke penjualan secara online meskipun penjualan dalam daerah dengan menggunakan metode offline tetap dijalankan. Pendistribusian secara online diberikan karena akses komunikasi lebih mudah didapatkan. Provider dengan kekuatan sinyal baik telah dirasakan oleh masyarakat sekitar desa Sukosari Poncokusumo. Koordinasi antar wilayah desa

Pengembangan pertanian jamur tiram dapat dilakukan apabila interaksi antar wilayah desa dapat dijangkau dengan mudah. Aspek Amenitas dalam pengembangan suatu wilayah memerlukan jaringan sarana prasarana transnportasi yang memadai. Daerah yang memiliki fasilitas transportasi yang lancar maka dapat menunjang aktivitas ekonomi atau akses perdagangan. Aspek ini didapatkan pada kawasan Desa Sukosari, desa tersebut memiliki jalan yang beraspal dan layak. Desa tersebut juga memiliki sarana penghubung antar desa yang telah memadai berupa jembatan beton, sehingga memudahkan proses distribusi antar wilayah. Sarana dan prasarana yang mendukung akan memudahkan para konsumen untuk secara langsung mengetahui dan menilai produk jamur tiram yang dihasilkan. Faktor Kelemahan Bagian Dari Strategi Internal

Faktor kelemahan juga menjadi bagian penting dari sisi internal. Kelemahan yang masih ada menjadi kendala bagi pengembangan jamur tiram. Hal ini dapat diminimalisir sebagai upaya pengembangan usaha budidaya jamur tiram sebagai berikut: Sumber Daya Manusia Petani Jamur

Sumberdaya manusia merupakan elemen utama dalam bisnis dibandingkan dengan elemen lainnya seperti modal, teknologi dan uang, sebab manusia itu sendiri yang mengendalikan yang lain. Manusia memilih teknologi, manusia yang mencari modal, manusia yang menggunakan dan memeliharanya, disamping manusia dapat menjadi salah satu sumber keunggulan bersaing dan sumber keunggulan bersaing yang langgeng. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya manusia dalam kegiatan usaha menjadi suatu hal yang sangat penting.

Kualitas produksi petani jamur merupakan bagian penting dalam upaya pengembangan pertanian jamur tiram. Rendahnya pengetahuan berproduksi dan pemanfaatan teknologi

Page 106: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ayu Dwidyah Rini – Strategi Pengembangan Agribisnis ..................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

319

merupakan kendala yang masih dialami oleh para petani jamur tiram. Sebagian besar pendidikan petani jamur adalah lulusan sekolah dasar, hal ini menjadi tantangan dalam memperbaiki keahlian para petani jamur dalam mengolah jamur tiram. Oleh sebab itu dalam meningkatkan kualitas keahlian petani jamur dibutuhkan pembinaan dan pendampingan pertanian secara intensif. Sumberdaya manusia secara operasional ialah suatu proses pengembangan keahlian yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja. Peningkatan kinerja suatu usaha meliputi kelembagaan, proses, kelompok dan individu (Swanson dan Holton III, 2012). Penggunaan Teknologi

Penguasaan teknologi merupakan pendorong bagi terwujudnya nilai tambah usaha pertanian. Penggunaan teknologi sebagai faktor pendorong dalm meningkatkan daya saing pertanian nasional. Kemampuan dalam memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai teknologi masih belum memadai. Hal ini dipicu oleh masih lemahnya kesadaran serta kurangnya informasi dalam menggunakan teknologi. Rendahnya penggunaan teknologi juga dipicu oleh terbatasnya kemampuan sumber daya petani jamur. Kemampuan Modal Usaha

Petani jamur masih kesulitan dalam mengembangkan pertanian jamur tiram hal dikarenakan masih minimnya modal usaha yang dimiliki. Usaha pertanian jamur tiram membutuhkan modal pra dan pasca panen yang juga cukup besar. Minimnya modal usaha dipicu oleh rendahnya pendapatan penduduk desa. Askes kredit bagi petani juga dirasa susah, hal ini dikarenakan fasilitas kredit bagi modal petani sulit untuk didapatkan serta tingkat kepercayaan lembaga keuangan yang masih rendah pada sektor pertanian. Fasilitas kredit perbankan yang tergolong cukup sulit menjadi kendala terbesar bagi keberlangsungan pengembangan pertanian jamur tiram. Faktor Strategi Eksternal Peluang Usaha Faktor – faktor eksternal dalam upaya pengembangan pertanian jamur tiram Poncokusumo Kabupaten Malang dijelaskan sebagai berikut: Potensi Pasar

Kabupaten Malang merupakan kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur Indonesia dengan riwayat terluas kedua di Jawa Timur setelah Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten malang memiliki populasi terbesar di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Malang mempunyai koordinat 112o17' sampai 112o57' Bujur Timur dan 7o44' sampai 8o26' Lintang Selatan. Kabupaten Malang juga merupakan kabupaten terluas ketiga di Pulau Jawa. Kabupetan Malang juga memiliki potensi pertanian dengan iklim sejuk dan potensi wisata alam yang edukatif setalah kota Batu dan Kota Malang.

Posisi strategis kabupaten malang menjadikan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang memudahkan jalur distribusi hasil pertanian jamur tiram ke kota- kota lain seperti kabupaten Jombang, Pasuruan, Kota Batu, Kediri, Blitar, Lumajang dan Khususnya Surabaya sebagai ibu Kota Provinsi Jawa Timur. Tingkat permintaan pasar nasional akan produk jamur tiram relatif tinggi. Hal ini dijelaskan sebagai berikut:

Page 107: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

320 JEPA, 3 (2), 2019: 311-324

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 1. Tingkat Permintaan Jamur pada Pasar Nasional No Kota Kebutuhan per hari(Kg) 1. Jabodetabek 20.000 – 25.000 2. Cianjur 1.500 – 2.000 3. Sukabumi 4. Bandung 7.500 - 8.500 5. Semarang 500 – 1.000 6. Yogjakarta 1.000 – 2.000 7. Malang 1.500 – 1.750 8. Surabaya 1.500 – 2.000

Sumber : Azmi, (2014)

Tingkat permintaan jamur yang cenderung tinggi di kota –kota besar menjadikan budidaya jamur tiram memiliki peluang yang besar sebagai kegiatan bisnis yang menjanjikan. Produksi jamur tiram memilki daya serap pasar yang tergolong tinggi. Oleh sebab itu budidaya jamur tiram yang dikembangkan di daerah Poncokusumo Kabupaten malang memiliki peluang yang cukup besar dalam memenuhi permintaan pasar nasional. Otonomi Daerah

Otonomi daerah memberikan kesempatan bagi PEMDA untuk mengatur dan melakukan campur tangan secara langsung dalam pengembangan ekonomi daerahnya sendiri. Pemerintah daerah berwenang dalam membuat kebijakan untuk mengembangkan sektor-sektor ekonomi unggulan yang memiliki nilai kompetitif dan berorientasi global pada setiap wilayahnya. Kerjasama pemerintah daerah melalui bentuk kemitraan pemerintah, swasta, dan pelaku usaha atau masyarakat setempat menjadikan peluang bagi keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal daerah.

Peluang tersebut diharapakan dapat menjadi pendorong bagi masyarakat dan pemerintah Kabupaten dalam membangun dan mengembangkan sektor pertanian wiayahnya. Oleh sebab itu, masyarakat Poncokusumo memliki kesempatan yang besar dalam mengembangkan budidaya jamur tiram. Pertumbuhan Ekonomi Regional

Pertumbuhan ekonomi regional Provinsi Jawa Timur yang kian meningkat dengan ditandainya kenaikan PDRB pada triwulan II 2016 yaitu 5,6 persen (yoy) dibandingkan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,5 persen. Pertumbuhan ekonomi regional yang tinggi menunjukkan daya beli masyarakat tergolong tinggi. Oleh sebab itu dengan meningkatnya daya beli masyarakat Provinsi Jawa Timur menjadi indikator peluang yang tepat pengembangan budidaya jamur tiram. Dengan demikian permintaan akan komoditi pertanian dalam rangka pemenuhan pelengkap gizi masyarakat dari produk jamur tiram akan semakin baik. Ancaman

Faktor Ancaman merupakan penghambat bagi pengembangan sektor pertanian jamur tiram di Desa Sukosari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Ancaman yang dapat menghambat pengembangan budidaya jamur tiram adalah sebagai berikut Inflasi Daerah

Peningkatan inflasi tahunan (yoy) Jawa Timur sejak triwulan II 2016 sebesar 2.93 persen. Risiko inflasi yang terjadi di beberapa wilayah di Jawa Timur dijelaskan sebagai berikut:

Page 108: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ayu Dwidyah Rini – Strategi Pengembangan Agribisnis ..................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

321

Gambar 2. Inflasi Provinsi Jawa Timur

Sumber: Bank Indonesia, (2016)

Gambar 2, terkait inflasi Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa, tingkat inflasi di Jawa Timur relatif tinggi pada beberapa daerah antara lain Sumenep, Surabaya dan Malang. Angka inflasi yang cukup tinggi disebabkan oleh daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat pada ketiga daerah relatif tinggi. Inflasi yang tinggi berdampak pada stabilitas harga yang tidak menentu. Hal ini menyebabkan petani jamur kesulitan membeli sarana produksi, sehingga mengancam keberlanjutan usaha pertanian jamur tiram. Inflasi yang berkepanjangan memberikan dampak bagi petani yang bermodal kecil untuk pengembangan usahanya dalam jangka panjang. Penyakit Jamur

Penyakit yang menyerang jamur tiram pada umumnya disebabkan oleh bakteri, virus, kapang dan fungi. Kondisi jamur yang terserang penyakit akan berlendir, busuk dan bernoda. Jamur yang terserang penyakit juga akan mengalami kelainan lain yang mengakibatkan rusaknya jamur tiram, sehingga menyebabkan jamur tiram tidak dapat dipanen. Mikroorganisme atau kontaminan merupakan ancaman bagi proses budidaya jamur mulai dari pembibitan sampai dengan memasukkan media tanam atau baglog ke dalam kumbung. Pada umumnya, hal ini dipicu sterilisasi yang lemah pada proses pembibitan. Pencegahan penyakit dapat diusahakan pada setiap tahapan proses dilakukan dengan steril. Analisis SWOT Strategi Strength Oppurtunities (SO)

Wilayah Dusun Sukosari Desa Pandansari Kecamatan Poncokusumo memiliki kekuatan topografi yang strategis dengan kondisi lahan pertaniannya berada di dataran tinggi 800 – 1000m diatas permukaan laut dapat dikembangkan pertanian budidaya jamur tiram. Pengembangan jamur tiram potensial dikembangkan dikarenakan tersedianya lahan pekarangan rumah sebagai media budidaya jamur tiram yang dimiliki oleh semua warga desa.

Pengembangan jamur tiram dapat dilakukan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Kecamatan Poncokusumo merupakan jalur distribusi yang strategis dengan kota – kota dengan tingkat permintaan jamur tiram yang relatif tinggi. Kota –kota tersebut antara lain kabupaten Jombang, Pasuruan, Kota Batu, Kediri, Blitar, Lumajang dan Khususnya Surabaya sebagai ibu Kota Provinsi Jawa Timur. Strategi SO yang dapat dirumuskan berdasarkan tiga aspek kekuatan adalah sebagai berikut: (1) Meningkatakan produktivitas lahan pekarangan rumah penduduk, baglog sebagai media penanaman serta jamur tiram. Petani jamur

Page 109: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

322 JEPA, 3 (2), 2019: 311-324

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

membutuhkan baglog sebagai media penunjang sarana produksi dengan harga yang murah, dan berkualitas. (2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia petani jamur dalam pelaksanaan pra dan pasca panen. Strategi ini dimaksudkan bahwa para petani jamur mampu memproduksi, mengembangkan dan memasarkan hasil olahan panen jamur tiram. Sehingga dapat meningkatkan nilai tambah jamur tiram yang dihasilkan. (3) Meningkatkan koordinasi antar lembaga dan badan usaha baik lembaga pemerintah daerah, badan usaha swasta dan koperasi dalam mendukung akan mendorong pertumbuhan dan distribusi pertanian jamur tiram di daerah Poncokusmo Jawa Timur. Alternatif strategi ini dimaksudkan bahwa, kelembagaan yang kuat antara pemerintah, swasta, koperasi dan petani jamur dapat memudahkan distribusi dan pemasaran jamur tiram dan produk olahannya pada pasar nasional. Strategi Strenght Threaths (ST)

Daya beli masyarakat Jawa Timur terhadap konsumsi jamur tiram yang relatif tinggi dapat merupakan kekuatan yang dimiliki dalam meminimalkan ancaman dalam pertanian jamu tiram. Kekuatan – kekuatan yang ada dapat dmanfaatkan sebagai dasar dalam pelaksanaan optimalisasi pertanian jamur tiram lokal dalam pemanfaatan dan pengembangannya. Sumber daya alam yang tersedia, sarana produksi yang memadai, serta regulasi pemerintah daerah setempat yang mendukung dapat mengurangi dampak buruk dari kondisi inflasi daerah. Strategi strength threaths merupakan strategi yang digunakan untuk mengoptimalkan kekuatan internal yang ada untuk meminimalkan ancaman yang terjadi. Strategi ST dapat dirumuskan sebagai berikut;. (1) Optimalisasi kegiatan pertanian jamur tiram, yang dilaksanakan melalui tiga hal; (a) Peningkatan keahlian petani jamur dalam memproduksi dan memasarkan jamur tiram, (b) Penggunaan teknologi pertanian dalam meningkatkan kualitas produk pertanian serta menunjang pemeliharaan produk pertanian jamur, (c) Pemantauan hasil panen dan kegiatan distribusi melalui evaluasi secara periodik yang melibatkan beberapa pihak terkait meliputi petani lokal, akademisi yang ahli dalam bidang pertanian jamur serta pemerintah daerah setempat. (2) Pembentukan mitra kelompok tani dan asosiasi pembuat baglog sehingga memudahkan penyediaan baglog dengan waktu yang seragam sehingga apabila terdapat hama atau penyakit seluruh pembudidaya jamur tiram dapat terbebas dari serangan hama, serta memudahkan mencapai harga kesepakatan yang baik. (3) Penguatan modal para petani jamur melalui peningkatan kemitraan dengan lembaga perbankan setempat. Strategi ini bertujuan untuk memudahkan para petani jamur tiram/pembudidaya jamur tiram dapat memperoleh tambahan modal usaha. Alternatif strattegi ini dimaksudkan bahwa para petani jamur tiram tetap dapat melakukan kegiatan usahanya meskipun kondisi perekonomian tidak stabil. Strategi Weakness Opportunity

Strategi weakness opportunity merupakan strategi untuk meminimalkan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang eksternal. Adapun strategi WO dapat dirumuskan sebagai berikut; (1) Pengembangan teknologi panen tepat guna , merupakan perwujudan yang dapat dilaksanakan dalam mengatasi ancaman yang ada. Strategi ini bertujuan dalam meningkatkan kemampuan para petani jamur tiram terkait teknik pertanian jamur tiram, sehingga mampu meminimalkan jamur tiram yang dihasilkan dari serangan hama dan penyakit. (2) Meningkatkan efisiensi produksi sehingga mampu menciptakan produk jamur tiram dan olahan jamur tiram yang berdaya saing. Tuntutan konsumen akan jamur tiram yang berkualitas tinggi merupakan dasar dilaksanakannya pengembangan teknologi pascapanen untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah dari produk jamur tiram Poncokusumo. (3) Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pertanian juga merupakan perwujudan dari upaya untuk mengatasi rendahnya pengetahuan sumber daya manusia dalam mengolah pertanian jamur tiram. Hal ini dapat dilakukan dengan kegiatan penyuluhan dan pelatihan pada kelompok tani

Page 110: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ayu Dwidyah Rini – Strategi Pengembangan Agribisnis ..................................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

323

jamur secara terpadu. Pembinaan sumber daya manusia secara intensif dapat meningkatkan budidaya jamur tiram. Strategi Weakness Threats

Strategi weakness threats merupakan strategi yang digunakan dalam meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman eksternal. Adapun strategi WT yang dapat dilaksanakan sebagai berikut; Pengembangan kemitraan antara perbankan, pemerintah daerah serta lembaga masyarakat di bidang ketahanan pertanian. Strategi bertujuan dalam menjaga keberlanjutan usaha budidaya jamu tiram. Strategi ini dapat dilakukan sebagai upaya dalam membantu petani jamur dari kesulitan permodalan serta ancaman penyakit. Pengembangan kemitraan secara kontinu dapat memberikan kebermanfaatan dan keuntungan bagi petani jamur dalam menjaga stabitlitas budidaya jamur tiram. Strategi pemeliharaan dan pemantauan jamur tiram pra dan pasca panen secara berkala dilakukan untuk melindungi sumberdaya serta mememuhi tuntutan masyarakat luas terhadap produk jamur yang berkualitas.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Ekonomi kreatif mampu menciptakan value added baik untuk industri maupun sumber

daya manusianya. Dusun Sukosari Desa Pandansari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang memiliki potensi yang tinggi dalam membangun ekonomi kreatif dikarenakan lingkungan yang mendukung dan keinginan warga setempat dalam meningkatkan taraf perekenomian untuk kesejahteraan yang lebih baik. Pertanian jamur tiram dipilih untuk dikembangkan karena teknik budidaya jamur tergolong sederhana.

Kebutuhan jamur tidak terbatas dalam permintaan jamur segar, melainkan seperti pemintaan bibit jamur (inokulan); media jamur (baglog), dan bisnis olahan jamur. Berdasarkan pemantauan dan pendekatan menggunakan analisis SWOT, penelitian ini menyimpulkan bahwa: Strategi Strenght Opportunity yang dimiliki Dusun Sukosari ini adalah dalam hal kekuatan topografi yang strategis dan tersedianya lahan pekarangan rumah sebagai media budidaya jamur tiram yang dimiliki oleh semua warga desa. Koordinasi antar lembaga pemerintah serta peraturan pemerintah yang mendukung akan mendorong pertumbuhan pertanian jamur tiram di daerah Poncokusmo Jawa Timur. Strategi Strenght Threaths (ST) dilihat dari daya beli masyarakat Jawa Timur terhadap konsumsi jamur tiram yang relatif tinggi dapat merupakan kekuatan yang dimiliki dalam meminimalkan ancaman dalam pertanian jamur tiram. Optimalisasi pertanian jamur tiram dapat dilaksanakan melalui tiga hal yaitu peningkatan keahlian petani jamur dalam memproduksi dan memasarkan jamur tiram, penggunaan teknologi pertanian dalam meningkatkan kualitas produk pertanian serta menunjang pemeliharaan produk pertanian jamur, pemantauan hasil panen dan kegiatan distribusi melalui evaluasi secara periodik yang melibatkan beberapa pihak terkait meliputi petani lokal, akademisi yang ahli dalam bidang pertanian jamur serta pemerintah daerah setempat. Strategi Weakness Opportunity. Dalam mengatasi ancaman, dilakukan pengembangan teknologi sehingga dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia secara intensif dalm bidang pertanian sebagai perwujudan dari upaya untuk mengatasi rendahnya pengetahuan sumber daya manusia dalam mengolah pertanian jamur tiram. Pengembangan teknologi pascapanen tetap dilakukan untuk memenuhi tuntutan konsumen yang menginginkan produk yang berkualitas tinggi.

Page 111: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

324 JEPA, 3 (2), 2019: 311-324

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Strategi Weakness Threats. Pengembangan kemitraan secara kontinu dapat memberikan kebermanfaatan dan keuntungan bagi petani jamur dalam menjaga stabitlitas budidaya jamur tiram. Strategi pemeliharaan dan pemantauan jamur tiram pra dan pasca panen secara berkala dilakukan untuk melindungi sumberdaya serta mememuhi tuntutan masyarakat luas terhadap produk jamur yang berkualitas. Saran

Meningkatan hubungan kemitraan antar kelompok tani jamur tiram, pemerintah daerah dan lembaga perbankan serta akademisi sangat dimungkinkan bagi pengembangan pertanian jamur tiram pra dan pasca panen, sehingga mampu menambah tingkat pendapatan petani jamur tiram Poncokusumo serta memberikan nilai tambah bagi produk pertanian jamur tiram Poncokusumo Malang. Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Universitas Trilogi atas bentuk dukungan keuangan terhadap pelaksanaan penelitian ini. Universitas Trilogi telah membantu terselenggaranya penelitian ini dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA Azmi, Nur & Rahma Hidayati. 2014. Analisis Tingkat Permintaan Jamur Tiram Pasar

Tradisional dan Supermarket di Kota Palembang. Jurnal Ilmiah Agriba, Vol. 2 (8), 2014.

Bank Indonesia. 2016. Kajian Ekonomi Dan Keuangan Regional Provinsi Jawa Timur. [diunduh 2018 April 6]. Tersedia dari: www.bi.go.id/id/Publikasi/kajian-ekonomi-regional/jatim

Hasibuan Malayu, 2016. Manajemen sumber daya manusia, Edisi Revisi. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Juarini, 2015. Pengelolaan sumber daya manusia pertanian untuk menunjang kedaulatan pangan. Jakarta : Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta

Retnaningsih, Nugraheni dan Bambang. 2017. Strategi pengembangan jamur tiram (Pleorutus Ostreatus) di Kelompok Tani Aneka Jamur Desa Gondangmanis Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar. SEPA, Vol. 4 (1): 61-68

Sudiardhita, I Ketut R. 2009. Peran Sumber Daya Manusia Pertanian dalam Membangun Sektor Pertanian Mandiri. Jakarta: Econosains Universitas

Nurunisa, V.Fitriany dan Lukman M. Baga. 2012. Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Indonesia. Forum Agribisnis, Vol. 2 (1): 33-52

Porter, ME. 1998. On Competition (The Harvard Business Review Book Series. United States of America : Harvard College.

Statistik Produksi Hortikultura. 2014. Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Hortikultura. Swanson R. A., Holton III E. F. 2012. Foundations of human resource development, 2nd ed. San

Fracisco: Barret-Koehler Publishers, Inc. Taufik, M. 2012. Strategi Pengembangan Agribisnis Sayuran di Sulawes Selatan. Jurnal

Litbang Pertanian, Vol. 31 (2): 43-49.

Page 112: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 325-335

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.9

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEMASARAN PADA USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH PANGAN OLAHAN DI KOTA

SURAKARTA

FACTORS BY AFFECTING MARKETING PERFORMANCE ON MICRO, SMALL AND MEDIUM ENTERPRISES PROCESSED FOOD IN SURAKARTA

Susi Rahmawati*, Darsono, Nuning Setyowati

Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

This research aims to analyze the effect of leadership characteristics on market orientation and to analyze the effect of market orientation, product innovation and entrepreneurial orientation on marketing performance in micro, small and medium enterprises (MSMEs) processed foods in Surakarta. This research use descriptive methode with survey research techniques. The selection of the research location was done purposively. This study uses 50 respondents who are owners of MSMEs processed food. The analysis using the Structural Equation Modeling (SEM) method with Partial Least Square (PLS) and SmartPLS 3.0 software. The results showed the characteristics of leadership positively influence market orientation. Market orientation and product innovation have a positive effect on marketing performance, while entrepreneurial orientation does not affect marketing performance. Therefore, MSMEs in processed food are expected to pay attention to changes in consumer tastes and respond to these changes through quality and service improvements to maintain consumers' buying interest in hopes of improving marketing performance. Keywords: Marketing performance, SEM, MSME’s

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik pimpinan terhadap orientasi pasar dan untuk menganalisis pengaruh orientasi pasar, inovasi produk dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja pemasaran pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) pangan olahan di Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan Teknik survei. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Penelitian ini menggunakan 50 responden yang merupakan pemilik UMKM pangan olahan. Analisis menggunkan metode Structural Equation Modelling (SEM) dengan pendekatan Partial Least Square (PLS) dan software SmartPLS 3.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pimpinan mempengaruhi orientasi pasar secara positif. Orientasi pasar dan inovasi produk masing-masing berpengaruh positif terhadap kinerja pemasaran, sedangkan orientasi kewirausahaan tidak berpengaruh terhadap kinerja pemasaran. Oleh karena itu, para pelaku UMKM pangan olahan diharapkan lebih memperhatikan perubahan selera konsumen dan menjawab perubahan tersebut melalui perbaikan kualitas dan pelayanan guna mempertahankan minat beli konsumen dengan harapan mampu meningkatkan kinerja pemasaran.

Kata kunci: Kinerja Pemasaran, SEM, UMKM

Page 113: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

326 JEPA, 3 (2), 2019: 325-335

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Usaha Mikro Kecil dan Menengah merupakan salah satu usaha potensial yang diusahakan oleh masyarakat Indonesia. Indonesia memiliki potensi yang besar dalam meningkatkan perekonomian dan menyediakan lapangan pekerjaan melalui pengembangan UMKM yang ada di setiap wilayah. Saat ini UMKM telah banyak menghasilkan berbagai produk yang dipasarkan di pasar domestik maupun pasar internasional. Perkembangan UMKM ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia Tahun 2012-2013.

No Tahun Unit Usaha (Unit)

Tenaga Kerja (Orang)

1 2012 56.534.592 107.657.509 2 2013 57.895.721 114.144.082 Perkembangan 1.361.227 6.486.573

Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM (2014)

Peningkatan jumlah unit usaha menyebabkan adanya peningkatan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam UMKM. Peningkatan jumlah unit Usaha Mikro Kecil dan Menengah akan meningkatkan persaingan yang semakin ketat pula. Memasuki Era Masyarakat Ekonomi ASEAN memberikan tantangan bagi para pelaku usaha yang ada di Indonesia. Salah satu dampak yang dirasakan oleh para pelaku UMKM yaitu meningkatnya persaingan pasar ASEAN yang semakin ketat. Para pelaku UMKM dituntut untuk menghasilkan produk berkualitas dengan harga yang kompetitif. Indonesia dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat setiap tahunnya menyebabkan adanya peningkatan jumlah kebutuhan pangan untuk masyarakat. Hal ini mendorong adanya peningkatan jumlah industri yang bergerak dalam bidang pangan, baik dari industri besar hingga UMKM.

Tabel 2. Jumlah Unit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Berdasarkan Jenis Usaha Tahun 2017.

No Jenis Usaha Jumlah (Unit) Persentase (%) 1 Pangan Olahan (Kuliner) 958 42,41 2 Kerajinan 514 22,75 3 Jasa 436 19,30 4 Fashion 136 6,02 5 Mebel 22 0,97 6 Lain-lain 193 8,54

Jumlah 2.259 100% Sumber: Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kota Surakarta (2017)

Total UMKM binaan Dinas Koperasi dan UMKM Kota Surakarta pada tahun 2017 yaitu sebesar 2.258 unit usaha, 958 unit diantaranya adalah UMKM pangan olahan. Dapat dijelaskan bahwa dari keseluruhan total jumlah UMKM di Kota Surakarta terdiri dari 42,43% UMKM pangan olahan dan sisanya adalah UMKM yang bergerak dalam bidang jasa, fashion, mebel dan lain-lain. Surakarta dengan jumlah unit UMKM pangan olahan yang besar, ternyata belum mampu mendorong pertumbuhan pasar produk pangan hingga ke pasar ekspor. Hal ini

Page 114: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Susi Rahmawati – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pemasaran .....................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

327

dikarenakan adanya permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala bagi para pelaku UMKM. Kendala atau permasalahan yang dihadapi para pelaku UMKM berasal dari internal dan eksternal. Kinerja pemasaran merupakan konsep untuk mengukur prestasi perusahaan dalam pasar terhadap suatu produk, setiap perusahaan berkepentingan untuk mengetahui prestasinya sebagai cermin dari keberhasilan usahanya dalam persaingan pasar (Sukarno, 2009). Tekanan bisnis dari pesaing yang kuat, secara tidak langsung mempengaruhi kinerja pemasaran yang dialami oleh para pelaku UMKM pangan olahan di Kota Surakarta. Sehingga para pelaku usaha dituntut untuk melakukan peningkatan kinerja pemasarannya. Karena keberhasilan suatu produk akan bermuara pada kinerja pemasarannya. Untuk mencapai kinerja pemasaran yang baik perlu adanya pengetahuan yang lebih lanjut mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh karakteristik pimpinan terhadap orientasi pasar dan menganalisis pengaruh orientasi pasar, inovasi produk dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja pemasaran pada UMKM pangan olahan di Kota Surakarta.

METODE PENELITIAN

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan Teknik

survei. Lokasi penelitian ini adalah Kota Surakarta. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dan random sampling. Besarnya sampel yang digunakan mengacu teori Hair (2006), yang menyatakan bahwa jumlah minimum sampel setidaknya lima kali jumlah variabel yang akan dianalisis, dan ukuran sampel yang baik yaitu dengan rasio 10: 1, dimana setiap 1 (satu) variabel membutuhkan 10 responden, sehingga sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 50 sampel. Berikut jumlah sampel yang diambil disetiap Kecamatan yang dijelaskan oleh Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Sampel yang diambil di Setiap Kecamatan, di Kota Surakarta No Kecamatan Jumlah UMKM (Unit) Sampel Yang diambil 1 Laweyan 81 5 2 Serengan 97 4 3 Pasar Kliwon 27 1 4 Jebres 398 21 5 Banjarsari 355 19 Total 958 50

Sumber: Analisis Data Sekunder, 2018 Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan observasi, survey dan dokumentasi. Metode skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Likert. Metode analisis yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM) dengan alat analisis Partial Least Square (PLS) yang dijalankan menggunakan software SmartPLS 3.0. Tahapan dalam analisis yaitu (1) melakukan evaluasi model pengukuran (outer model), (2) evaluasi model struktural (inner model) dan (3) pengujian hipotesis. Hipotesis dan Model Penelitian H1: Karekteristik pimpinan berpengaruh positif terhadap orientasi pasar H2: Orientasi pasar berpengaruh positif terhadap kinerja pemasaran.

Page 115: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

328 JEPA, 3 (2), 2019: 325-335

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

H3: Orientasi kewirausahaan berpengaruh positif terhadap kinerja pemasaran. H4: Orientasi kewirausahaan berpengaruh positif terhadap kinerja pemasaran Berdasarkan Hipotesis diatas digambarkan model penelitian sebagai berikut:

Gambar 1. Model Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Instrumen Penelitian Tabel 4. Nilai Loading Factor setiap Indikator dalam Uji Instrumen

Indikator Nilai Loading Factor sebelum eleminasi Nilai Loading Factor setelah eleminasi

K1 0,921 0,921 K2 0,838 0,837 K3 0,885 0,885 K4 0,710 0,712 K5 0,694 0,694 K6 0,817 0,817

OP1 0,165 OP2 0,879 0,878 OP3 0,876 0,875 OP4 0,870 0,873 OP5 0,798 0,799 OP6 0,740 0,747 IP1 0,705 0,701 IP2 0,443 IP3 0,911 0,932 IP4 0,845 0,862 IP5 0,742 0,723

OK1 0,113 OK2 0,884 0,883

Orientasi Pasar

Inovasi Produk

Orientasi Kewirausahaan

Kinerja Pemasaran

Karakteristik Pimpinan

H

H2

H3

H4

Page 116: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Susi Rahmawati – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pemasaran .....................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

329

OK3 0,950 0,958 OK4 0,578 0,578 KP1 0,855 0,857 KP2 0,901 0,901 KP3 0,811 0,810 KP4 0,794 0,792

Sumber: Analisis Data Primer, 2018

Nilai loading factor diatas 0,5 yang menunjukkan indikator tersebut valid dan dapat digunakkan untuk penelitian. Uji validitas selanjutnya adalah dengan melihat nilai square root of average variance extracted (AVE) untuk menguji validitas variabel laten.

Tabel 5. Nilai AVE Variabel Pada Pengujian Instrumen Sebelum Eliminasi. Variabel Nilai AVE Keterangan

Karakteristik Pimpinan 0,665 Valid Inovasi Produk 0,557 Valid Orientasi Kewirausahaan 0,508 Valid Orientasi Pasar 0,585 Valid Kinerja Pemasaran 0,707 Valid

Sumber: Analisis Data Primer, 2018 Uji reliabilitas suatu konstruk dengan indikator reflektif dapat dilakukan dengan dua cara

yaitu Comopsite Reliability dan Cronbach’s Alpha. Besaran nilai minimal ialah 0,7 sedang idealnya ialah 0,8 atau 0,9, akan tetapi nilai 0,6 masih dapat diterima.

Tabel 6. Nilai Composite Reliability dan Cronbach’s Alpha Variabel Pada Pengujian Instrumen

Variabel Composite Rekiability Cronbach's Alpha

Karakteristik Pimpinan 0,922 0,897 Inovasi Produk 0,857 0,793 Orientasi Kewirausahaan 0,764 0,602 Orientasi Pasar 0,883 0,826 Kinerja Pemasaran 0,906 0,861

Sumber: Analisis Data Primer, 2018

Tabel 7. Nilai Composite Reliability dan Cronbach’s Alpha Variabel Pada Pengujian Instrumen Setelah Eliminasi Indikator

Variabel Composite Reliability

Cronbach's Alpha

Keterangan

Karakteristik Pimpinan 0,922 0,897 Reliabel Inovasi Produk 0,883 0,822 Reliabel Orientasi Kewirausahaan 0,858 0,764 Reliabel Orientasi Pasar 0,920 0,891 Reliabel Kinerja Pemasaran 0,906 0,861 Reliabel

Sumber: Analisi Data Primer, 2018

Page 117: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

330 JEPA, 3 (2), 2019: 325-335

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa nilai composite reliability dan cronbach’s alpha setiap variabel dinyatakan reliabel, sehingga dapat digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini. Hasil Analisis Data Evaluasi Model Pengukuran (Measurement Model/Outer Model) Convergent Validity

Hasil dari loading factor menunjukkan bahwa semua indikator telah memenuhi kriteria dari convergent validity dan cenderung memiliki validitas yang tinggi meskipun ada 1 (satu) indikator dengan nilai loading factor 0,68 namun masih dapat diterima yang artinya indikator-indikator pada setiap konstruk saling berkorelasi tinggi. yang dijelaskan dalam Tabel 12 dibawah ini. Tabel 8. Nilai Loading Factor setiap Indikator

Kode K IP OK OP KP K1 0,70 K2 0,83 K3 0,84 K4 0,68 K5 0,78 K6 0,76 IP1 0,92 IP3 0,91 IP4 0,82 IP5 0,80 OK2 0,73 OK3 0,82 OK4 0,73 OP2 0,77 OP3 0,78 OP4 0,88 OP5 0,85 OP6 0,70 KP1 0,76 KP2 0,79 KP3 0,89 KP4 0,93

Sumber: Analisis Data Primer, 2018 Discriminant Validity

Tabel 9. Nilai AVE Variabel Variabel AVE Keterangan

Karateristik Pimpinan 0,59 Valid Inovasi Produk 0,75 Valid Orientasi Kewirausahaan 0,57 Valid Orientasi Pasar 0,64 Valid Kinerja Pemasaran 0,72 Valid

Sumber: Analisis Data Primer, 2018

Page 118: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Susi Rahmawati – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pemasaran .....................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

331

Selain mengunakan nilai AVE, Discriminant Validity juga dilihat dari nilai cross loading. Nilai cross loading masing-masing indikator terhadap variabel latennya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai korelasi antara variabel laten dengan indikator lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap blok indikator memiliki validitas yang tinggi untuk setiap variabel laten yang diukurnya. Dapat disimpulkan bahwa indikator yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tingkat kebenaran atau ketepatan yang tinggi. Nilai cross loading masing-masing indikator dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini.Tabel 10. Nilai Cross Loading Discriminant Validity

Kode K IP OK OP KP K1 0,70 0,49 0,54 0,59 0,47 K2 0,83 0,64 0,60 0,63 0,59 K3 0,84 0,83 0,77 0,81 0,79 K4 0,68 0,67 0,58 0,55 0,64 K5 0,78 0,60 0,71 0,56 0,59 K6 0,76 0,75 0,46 0,67 0,68 IP1 0,84 0,92 0,62 0,86 0,90 IP3 0,75 0,91 0,68 0,89 0,90 IP4 0,81 0,82 0,78 0,79 0,79 IP5 0,68 0,80 0,56 0,57 0,63 OK2 0,47 0,56 0,73 0,54 0,58 OK3 0,57 0,58 0,82 0,62 0,63 OK4 0,78 0,60 0,73 0,56 0,59 OP2 0,57 0,59 0,48 0,77 0,66 OP3 0,62 0,67 0,77 0,78 0,77 OP4 0,80 0,82 0,60 0,88 0,87 OP5 0,74 0,76 0,67 0,85 0,80 OP6 0,71 0,53 0,49 0,70 0,56 KP1 0,63 0,61 0,48 0,72 0,76 KP2 0,66 0,70 0,77 0,70 0,79 KP3 0,81 0,81 0,63 0,81 0,89 KP4 0,77 0,91 0,76 0,89 0,93

Sumber: Analisis Data Primer, 2018 Composite Reliability dan Cronbach’s Alpha

Tabel 11. Nilai Composite Reliability Variabel

Variabel Composite Reliability Cronbach's Alpha

Karateristik Pimpinan 0,90 0,86 Inovasi Produk 0,92 0,89 Orientasi Kewirausahaan 0,81 0,64 Orientasi Pasar 0,90 0,86 Kinerja Pemasaran 0,91 0,87

Sumber: Analisis Data Primer, 2018 Berdasarkan nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa masing-masing variabel telah

memenuhi kriteria penilaian model dimana masing-masing variabel memiliki nilai discriminant validity yang baik, nilai composite reliability dan cronbach’s alpha lebih dari 0,6 sehingga

Page 119: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

332 JEPA, 3 (2), 2019: 325-335

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

semua variabel pada penelitian ini dikatakan reliabel dan telah mampu mengukur objek secara konsisten dan stabil.

Evaluasi Model Struktural (Inner Model) Tabel 12. Nilai R-square Variabel

Variabel Endogen R Square Kategori Orientasi Pasar 0,75 Kuat Kinerja Pemasaran 0,94 Kuat

Sumber: Analisis Data Primer, 2018 Diketahui bahwa R-square variabel orientasi pasar adalah sebesar 0,75, artinya variabel

orientasi pasar dijelaskan oleh variabel karakteristik pimpinan sebesar 75% sedangkan sisanya 25% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. R-square variabel kinerja pemasaran adalah sebesar 0,94, artinya variabel kinerja pemasaran dijelaskan oleh variabel karakteristik pimpinan, orientasi pasar, orientasi kewirausahaan dan inovasi produk sebesar 94% sedangkan sisanya 6% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Nilai tersebut juga menunjukkan bahwa nilai R-square ini termasuk ke dalam kategori model baik karena nilainya diatas 0,67. Variabel endogen orientasi pasar dan kinerja pemasaran memiliki nilai Q-square masing-masing 0,5476 dan 0,8836 artinya model mempunyai predictive relevance yang tinggi karena nilai Q-square > 0,35 dan model yang digunakan mendekati baik.

Pengujian Hipotesis Tabel 13. Hasil Analisis Bootstrapping

No Hubungan Antar Variabel

T- Statistics P-Value Keterangan

1. Karakteristik Pimpinan → Orientasi Pasar 24,20 0,00 Signifikan

2. Inovasi Produk → Kinerja Pemasaran 2,46 0,01 Signifikan

3. Orientasi Kewirausahaan → Kinerja Pemasaran

0,83 0,43 Tidak Signifikan

4. Orientasi Pasar → Kinerja Pemasaran 3,00 0,00 Signifikan

Sumber: Analisis Data Primer, 2018

Page 120: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Susi Rahmawati – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pemasaran .....................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

333

Gambar 6. Diagram Jalur Permodelan PLS (Nilai P-Value)

Hasil pengujian hipotesis berdasarkan hasil Bootstrapping dapat dijelaskan sebagai berikut: Pengaruh Karakteristik Pimpinan (K) terhadap Orientasi Pasar (OP)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putranto (2003) dibuktikan bahwa adanya hubungan positif antara karakterisitik pimpinan dengan orientasi pasar. Karakteristik pimpinan memiliki pengaruh yang kuat pada orientasi pasar hal ini terlihat dari besarnya nilai t-statistic (25,71) dan p-value (0,00). Pengaruh Orientasi Pasar (OP) terhadap Kinerja Pemasaran (KP)

Hasil penelitian Arif (2014), Sarjita (2017), Guspul (2016), Papriani (2014) dan Basuki (2014), sesuai dengan penelitian saat ini yang menyatakan orientasi pasar berpengaruh positif terhadap kinerja pemasaran. Oleh karena itu, para pelaku UMKM pangan olahan yang ada di Kota Surakarta harus memperhatikan secara khusus terhadap variabel orientasi pasar agar mampu mempertahankan dan meningkatkan kinerja pemasaran usaha sehingga dapat dihasilkan keuntungan yang maksimal. Pengaruh Inovasi Produk (IP) terhadap Kinerja Pemasaran (KP)

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Papriani (2014) yang menyatakan bahwa variabel inovasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kinerja pemasaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UMKM pangan olahan yang ada di Kota Surakarta memberikan perhatian besar dalam inovasi produk sebagai upaya perbaikan yang akan meningkatkan kelangsungan usaha mereka. Para pelaku UMKM pangan olahan harus melakukan berbagai inovasi baik dari perbaikan desain kemasan, perbaikan sistem produksi, peningkatan kualitas produk hingga proses pemasaran dan peningkatan layanan guna mempertahankan minat beli konsumen dan meningkatkan pangsa pasar. Pegaruh Orientasi Kewirausahaan (OK) terhadap Kinerja Pemasaran (KP)

Hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian terdahulu oleh Papriani (2014) dan Guspul (2016) yang menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan

Page 121: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

334 JEPA, 3 (2), 2019: 325-335

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

signifikan terhadap variabel kinerja pemasaran. Namun, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryani (2015) dan Setyawati (2013), dimana hasil penelitian ini menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja pemasaran. Adanya perbedaan antara penelitian terdahulu dan hasil penelitian ini disebabkan belum diterapkannya unsur-unsur orientasi kewirausahaan sebagian atau secara menyeluruh oleh para pelaku atau pimilik UMKM pangan olahan yang ada di Kota Surakarta. Hal ini dikarenakan para pelaku UMKM pangan olahan yang ada di Kota Surakarta menjalankan usahanya masih secara tradisional, kekurangan sumber daya manusia menyebabkan para pelaku belum mampu melakukan pemasaran online dan hanya melakukan pemasaran secara tradisional. Banyak para pelaku UMKM pangan olahan yang belum sepenuhnya memahami pentingnya orientasi kewirausahaan. Adapun para pelaku UMKM yang sudah berorientasi kewirausahaan namun belum memahami bagaimana cara menerapkannya dengan baik sehingga menyebabkan tidak terdapatnya perubahan yang berarti dalam peningkatan kinerja pemasaran.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Karakteristik pimpinan berpengaruh positif terhadap orientasi pasar pada usaha mikro, kecil

dan menengah pangan olahan di Kota Surakarta. 2. Orientasi pasar dan inovasi produk berpengaruh positif terhadap kinerja pemasaran,

sedangkan orientasi kewirausahaan tidak berpengaruh terhadap kinerja pemasaran pada usaha mikro, kecil dan menengah pangan olahan di Kota Surakarta.

Saran 1. Pimpinan UMKM pangan olahan perlu melakukan peningkatan motivasi kerja para

karyawan melalui pemberian reward kepada karyawan yang memiliki kinerja baik dan memberikan teguran kepada karyawan yang memiliki kinerja kurang baik dalam melakukan tugasnya dibidang produksi maupun pemasaran sehingga mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan kinerja perusahaan yang dicerminkan melalui peningkatan kinerja pemasarannya.

2. Para pelaku UMKM perlu melakukan observasi secara langsung untuk mengamati perkembangan trend dipasar terkait perubahan selera pelanggan terhadap produk pangan olahan dan bagaimana tindakan para pesaing yang ada dipasar.

3. Para pelaku UMKM pangan olahan perlu melakukan inovasi produk meliputi perbaikan kemasan (desain dan material) agar lebih efisien dan menarik, dan memberikan kemudahan dalam pembelian dengan memanfaatkan media-media online seperti shopee, tokopedia, bukalapak, go-food dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Basuki dan Rahmi Widyanti. 2014. Pengaruh Strategi Keunggulan Bersaing Dan Orientasi Pasar Terhadap Kinerja Pemasaran Perusahaan. Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Banjarmasin

Badan Pusat Statistik Kota Surakarta. 2017. Surakarta Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Surakarta.

Page 122: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Susi Rahmawati – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pemasaran .....................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

335

Ghozali, I. 2014. Structural Equation Modeling Metode Alternatif Dengan PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) Edisi 4. Semarang: Universitas Diponegoro.

Guspul, A. 2016. Pengaruh Orientasi Pasar, Inovasi Dan Orientasi Kewirausahaan Terhadap Kinerja Pemasaran Umkm “Batako” Di Kepil Wonosobo. Jurnal PPKM III (2016) 193-206 ISSN: 2354-869X. Program Studi Manajemen Universitas Sains Al Qur’an (UNSIQ) Wonosobo.

Hair, J.F. JR., Anderson, R.E, Tatham, R.L. dan Black, W.C. 2006. Multivariate Data Analysis 6th Ed. New Jersey: Pearson Educational, Inc

Kementrian Koperasi dan UMKM. 2014. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (Umkm) Dan Usaha Besar (Ub) Tahun 2012–2013. www.depkop.go.id.

Prapriani, Y dan Y. Sugiarto. 2014. Membangun Kinerja Pemasaran Usaha Mikro Kecil dan Menengah Mebel di Kabupaten Jepara (Studi Kasus Pada UMKM Mebel di Kabupaten Jepara). Diponegoro Journal of Management. ISSN (Online): 2337-3792.

Putranto, SE. 2003. Studi Mengenai Orientasi Strategi dan Kinerja Pemasaran. Jurnal Sains Pemasaran Indonesia. Volume II, No. 1, Mei 2003, halaman 93-110.

Sarjita. 2017. Pengaruh Orientasi Pasar Dan Inovasi Produk Terhadap Kinerja Pemasaran Pada Sentra Industri Kecil Pembuatan Bakpia Di Kabupaten Bantul. JBMA – Vol. IV, No. 2, September 2017 ISSN: 2252-5483. Akademi Manajemen Administrasi YPK Yogyakarta.

Setyawati, H. 2013. Pengaruh Orientasi Kewirausahaan dan Orientasi Pasar terhadap Kinerja Pemasaran melalui Keunggulan Bersaing dan Persepsi Ketidakpastian Lingkungan Sebagai Predikasi Variabel Moderasi (Survey pada UMKM Perdagangan di Kabupaten Kebumen). Jurnal Fokus Bisnis. Vol 12, No 2, Hal 20–31.

Sukarno, G. 2009. Meningkatkan Kinerja Pemasaran UMKM Melalui Peran Lingkungan, Inovasi Produk Dan Kreatifitas Strategi Pemasaran. Ekuitas ISSN 1411-0393 Akreditasi No.110/DIKTI/Kep/2009. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya.

Page 123: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 336-347

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.10

HUBUNGAN TINGKAT KEMISKINAN DENGAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP PADA KAWASAN MINAPOLITAN

POVERTY RELATIONSHIP WITH THE UTILIZATION OF CAPTURE FISHERIES

RESOURCES IN THE MINAPOLITAN AREA

Jamilah*, Mawardati Program Studi Agribisnis, Universitas Malikussaleh

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The high poverty rate of coastal communities shows that the potential of East Aceh Regency fisheries resources cannot be maximally utilized. For this reason, the government has planned the development of the east coast of Aceh Province through the Minapolitan Program. The study aims to analyze the relationship of poverty levels of fishermen with the utilization of capture fisheries resources in the Minapolitan Region. The method used is a survey method with an explanatory approach to explanatory research. Determination of districts is done purposively, namely East Aceh Regency as a minapolitan area of capture fisheries based on the decision of the Minister of Marine and Fisheries of the Republic of Indonesia Number 35 / KEPMEN-KP / 2013. The results of the study show that East Aceh Regency has considerable fisheries potential as a regional economic driving force and can be developed in an integrated manner in the Minapolitan area, but the level of utilization of capture fisheries resources has not been maximized, only 27,659.5 tons or 10.16% of the total sustainable potential of Aceh Province. It is estimated that 10,053 fishermen or 76.07% of fishermen do not have capture fleets. Fish production is 27,474.3 tons / year and the average production of fishermen is 6.67 kg / day. The contribution of fishermen's income in meeting household needs is Rp. 13,340 / capita / day or Rp. 346,840 / capita / month. Fishermen's income is below the poverty line and falls into the poorest category. Keywords: Poverty, fishermen, utilization, resources.

ABSTRAK

Tingginya angka kemiskinan masyarakat pesisir menunjukkan bahwa potensi sumberdaya perikanan Kabupaten Aceh Timur belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Untuk itu, pemerintah mencanangkan pengembangan wilayah pesisir timur Provinsi Aceh melalui Program Minapolitan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan tingkat kemiskinan nelayan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap pada Kawasan Minapolitan. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan pendekatan explanatory explanatory research. Penentuan kabupaten dilakukan secara purposive, yaitu Kabupaten Aceh Timur sebagai kawasan minapolitan perikanan tangkap berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 35/KEPMEN-KP/2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Aceh Timur memiliki potensi perikanan yang cukup besar sebagai motor penggerak ekonomi wilayah dan dapat dikembangkan secara terintegrasi dalam kawasan minapolitan, namun tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap belum maksimal,

Page 124: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jamilah – Hubungan Tingkat Kemiskinan Dengan Pemanfaatan .....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

337

hanya 27.659,5 ton atau 10,16% dari total potensi lestari Propinsi Aceh. Diperkirakan sebanyak 10.053 nelayan atau 76,07 % nelayan tidak memiliki armada tangkap. Produksi ikan sebanyak 27.474,3 ton/tahun dan rata-rata produksi ikan di tingkat nelayan sebesar 6,67 kg/hari. Kontribusi pendapatan nelayan dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga sebesar Rp 13.340/kapita/hari atau Rp. 346.840/kapita/bulan. Pendapatan nelayan dibawah garis kemiskinan dan tergolong dalam kategori paling miskin. Kata kunci: Kemiskinan, nelayan, pemanfaatan, sumberdaya.

PENDAHULUAN Kemiskinan dan kebijakan penangulangan kemiskinan merupakan isu utama

pembangunan ekonomi Aceh. Namun kemiskinan nelayan Aceh yang mencerminkan kondisi keprihatinan rumah tangga, permasalahan, keterbatasan sumberdaya nelayan dan harapan nelayan Aceh masih belum digambarkan secara nyata, bahkan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang digulirkan pemerintah belum sepenuhnya mampu mengatasi persoalan nelayan yang menjeratnya dalam jurang kemiskinan.

Kabupaten Aceh Timur memiliki panjang pantai 161 km dan 14 kecamatan pesisir merupakan potensi perikanan yang cukup besar sebagai motor penggerak ekonomi wilayah bila hal itu dapat dikembangkan secara terintegrasi dalam kawasan minapolitan. Terdapat 250.833 jiwa penduduk yang tersebar pada 14 kecamatan pesisir atau 71,79 % dari penduduk Aceh Timur dan sebagian besar berprofesi sebagai nelayan atau petambak. Kabupaten Aceh Timur ditetapkan sebagai kawasan Minapolitan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor: 35/KEPMEN-KP/2013, Tanggal : 2 Juli 2013, Tentang Penetapan Kabupaten Aceh Timur Sebagai Kawasan Minapolitan Perikanan Tangkap dan Kawasan Minapolitan Perikanan Budidaya.

Kawasan Minapolitan Perikanan Tangkap merupakan kawasan pengembangan ekonomi wilayah berbasis usaha penangkapan ikan yang dikembangkan secara bersama oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah (KKP, 2011). Program minapolitan perikanan tangkap salah satunya ditujukan untuk mengembangkan wilayah pesisir dan pemanfatan sumberdaya perikanan tangkap secara efektif dan efisien serta pengembangan sumberdaya perikanan. Dasar pelaksanaannya mengacu pada potensi perikanan dan masalah dalam perikanan tangkap.

Perikanan tangkap Kabupaten Aceh Timur berpotensi untuk dikembangkan karena terletak pada kawasan segitiga pertumbuhan kerjasama Indonesia-Thailand-Malaysia (IMT-GT), ketersediaan sumberdaya perikanan, infrastruktur, dan terbukanya peluang pasar ekspor produk perikanan. Namun demikian sumberdaya ini belum mampu mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir. Walaupun pemanfaatan sumberdaya tersebut telah menunjukkan sumbangan berarti bagi daerah. Pada tahun 2016 kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Kabupaten Aceh Timur sebesar 45,97 persen atau senilai Rp. 3.899.883,8 juta) tetapi sebagian masyarakat khususnya nelayan masih belum mampu memanfaatkan sumberdaya secara optimal. Hal ini terlihat dari tingginya angka kemiskinan masyarakat pesisir di Kabupaten Aceh Timur. Pada tahun 2016 penduduk miskin di Kabupaten Aceh Timur berjumlah 61.630 jiwa atau sebesar 15,06 persen dan sebagian besar berada di wilayah pesisir dengan garis kemiskinan sebesar Rp. 350.186/kapita/bulan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Timur, 2017). Besarnya angka kemiskinan di wilayah pesisir mengindikasikan bahwa akses-akses

Page 125: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

338 JEPA, 3 (2), 2019: 336-347

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

masyarakat pesisir (nelayan) dalam melakukan usaha-usaha peningkatan taraf hidup memiliki keterbatasan. Ketidakpastian pendapatan dan kurangnya akses nelayan dalam memperoleh modal usaha memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah.

Di Kabupaten Aceh Timur, sebagian besar dari nelayan bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pantai. Hasil tangkapan (ikan) yang mudah rusak dapat melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan. Selain itu, pola hubungan eskploitatif antara pemilik modal dengan buruh dan nelayan, serta usaha nelayan yang bersifat musiman dan tidak menentu menyebabkan masyarakat miskin di kawasan pesisir cenderung sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan dan hutang dengan pemilik kapal. Berbagai peraturan, qanun, dan regulasi lain yang mengatur lingkungan hidup termasuk pesisir belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini didukung oleh Sugiharto et al. (2013) menyatakan bahwa perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan yang mendorong terjadinya pengurasan sumberdaya laut secara berlebihan.

Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. Potensi sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah hingga kini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Program Minapolitan secara bertahap ditujukan untuk pengembangan perikanan, pemberdayaan nelayan melalui peningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, adil dan merata.

METODE PENELITIAN

Penentuan kabupaten dilakukan secara purposive, yaitu Kabupaten Aceh Timur sebagai kawasan minapolitan perikanan tangkap berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 35/KEPMEN-KP/2013.

Responden yang dijadikan sampel penelitian adalah nelayan perikanan tangkap di Kabupaten Aceh Timur, yang dikategorikan kepada 3 kelompok nelayan, yaitu : (1) nelayan yang menggunakan perahu mesin, (2) nelayan yang menggunakan perahu tanpa mesin, dan (3) anak buah kapal (ABK). Metode pengambilan sampel nelayan dilakukan dengan metode simple random sampling yakni pengambilan secara acak sederhana.

Penelitian ini menggunakan pendekatan explanatory research dengan metode survei (Survey Method). Tehnik pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder.

Analisis tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap nelayan dan hubungannya dengan tingkat kemiskinan nelayan dilakukan untuk mengetahui tingkat optimal kemampuan nelayan dalam memanfaatkan potensi perikanan tangkap dengan keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya, dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif.

Page 126: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jamilah – Hubungan Tingkat Kemiskinan Dengan Pemanfaatan .....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

339

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemiskinan Nelayan

Kemiskinan nelayan dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, pendidikan rendah, dan potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Kemiskinan nelayan lebih dekat kepada bentuk kemiskinan struktural daripada bentuk kemiskinan fisik (absolute). Indikator kemiskinan rumah tangga nelayan yang digunakan adalah : (1) penguasaan asset produksi nelayan, yakni berdasarkan pemilikan alat tangkap, (2) pola pengeluaran rumah tangga, baik pangan maupun non pangan, (3) sumber pendapatan rumah tangga nelayan dari hasil tangkapan ikan atau usaha perikanan sekitar 60 persen dan usaha non perikanan berkisar 23 persen, dan (4) aktivitas perikanan dan non perikanan (Indraningsih dan Noekman,1995).

Rumah tangga nelayan menghadapi persoalan kompleks dalam hubungannya dengan produksi, konsumsi, dan alokasi tenaga kerja. Hal ini menyebabkan analisis satu sisi untuk melihat tingkah laku ekonomi nelayan sangatlah lemah (Fauzi dan Anna, 2002). Permasalahan di wilayah pesisir antara lain : (1) pemanfaatan sumberdaya melebihi kapasitas dan daya dukung, (2) kompetisi antara skala industri, (3) distribusi hasil tidak seimbang dan adil karena akses terhadap usaha perikanan yang berbeda, (4) kebijakan secara spasial untuk daerah pesisir pantai dan pulau kecil sehingga mengakibatkan banyak area yang rusak, (5) kelebihan investasi pada beberapa sektor, sementara investasi sektor yang lain terbatas, dan (6) kemiskinan struktural terutama di desa pesisir/desa nelayan (Muhammad, 2002).

Potensi sumber daya perikanan yang besar terindikasi belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat dari tingginya angka kemiskinan nelayan di wilayah pesisir Aceh yang tercermin dari lingkungan perumahan yang tidak sehat, terbatasnya fasilitas kesehatan dan minimnya sarana pendidikan. Kondisi ini menjadi kendala dalam pembangunan ekonomi wilayah. Skala ekonomi perikanan yang berkembang di Kabupaten Aceh Timur adalah skala ekonomi tradisional atau skala kecil. Industri perikanan ini dicirikan oleh penggunaaan alat yang sederhana seperti kapal tanpa motor, alat tangkap yang sederhana, dan jarak tangkap yang terbatas sekitar perairan Selat Malaka saja paling jauh penangkapan pada ZEE. Memang ada beberapa kapal yang berlayar sampai ke Laut Andaman. Dari 1.314 unit armada yang bergerak dalam bidang perikanan tangkap, 687 unit berupa armada kapal motor kurang dari 5 GT (gross tonase) atau 52,2 % (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Timur, 2017). Akibatnya ruang gerak nelayan menjadi terbatas karena tidak mampu beroperasi lebih sehingga konsentrasi daerah penangkapan (fishing ground) berada di perairan kurang dari 4 mil laut. Hal ini menyebabkan rendahnya pendapatan nelayan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan dalam penguasaan penangkapan ikan yaitu jangkauan wilayah perairan pantai dan laut yang dapat ditempuh, intensitas pemakaian modal kerja, perbaikan dan stabilitas harga ikan serta penyebaran informasi pasar (Muhammad, 2002).

Potret kemiskinan nelayan mencerminkan keterbatasan nelayan, baik dalam penangkapan ikan, media tangkap, dan peluang pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sumber utama pendapatan rumahtangga nelayan adalah hasil penjualan ikan yang sangat tergantung kepada musim dan besamya hasil tangkapan. Aktifitas nelayan sebagian besar pada usaha penangkapan ikan seperti perbaikan alat tangkap (jaring), pengolahan ikan, pengangkutan,dan pemasaran ikan. Aktifitas lain yang mungkin dilakukan adalah berdagang dan kegiatan di luar pertanian. Namun sebagian besar nelayan hanya mengantungkan hidupnya dari kegiatan penangkapan ikan.

Page 127: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

340 JEPA, 3 (2), 2019: 336-347

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Rendahnya pendapatan nelayan karena hasil tangkapan ditentukan oleh perubahan angin dan sistim bagi hasil. Keterikatannya dengan pemilik kapal menyebabkan nelayan terlibat hutang dan terjerat kemiskinan (Jamilah, 2015). Jika usaha penangkapan ikan menggunakan kapal (dilakukan oleh nelayan sebanyak 20 orang hingga 25 orang) dengan lama penangkapan 3 hari (3 x 24 jam), maka pendapatan nelayan ditentukan oleh sistim bagi hasil antara nelayan dengan pemilik kapal. Sistem bagi hasil merupakan salah satu aspek kelembagaan dalam produksi berupa perjanjian pembagian hasil tangkapan ikan yang berlaku antara nelayan dengan pemilik kapal/perahu beserta perjanjian lainnya yang mengikat.

Tabel 1 Sistem Bagi Hasil pada Usaha Penangkapan Ikan

No. Distribusi Pekerjaan Jumlah Pekerja (Orang)

Pembagian Hasil (Bagian)

1. 2. 3. 4. 5.

Pawang Wakil Pawang Tukang Lampu Masnage Anak Buah Kapal (ABK)

1 1 2 1

15

5,0 4,0 3,0 2,5 1,0

Jumlah 20 15,5 Sumber : Data Primer (Diolah), 2018

Ikan hasil tangkapan dijual oleh touke bangku. Touke bangku merupakan pemilik modal

atau orang yang ditugaskan oleh pemilik modal untuk mengelola kapal. Jika touke bangku bukan pemilik kapal maka biaya operasional dalam penangkapan ikan ditanggung oleh touke bangku sedangkan pemilik modal hanya menyediakan kapal dan sarana penangkapan ikan. Hasil penjualan ikan yang diperoleh dikurangi dengan biaya bahan bakar solar 100 lt seharga Rp. 6.500/lt sebesar Rp. 650.000. Makanan selama 5 hari untuk 20 orang sebesar Rp. 1.000.000, penggunaan es sebanyak 50 bak (1 bak @ Rp. 25.000/bak) sebesar Rp. 1.250.000. Biaya bahan bakar, makanan dan es ditanggung oleh touke sedangkan rokok ditanggung oleh nelayan. Setelah dikurangi biaya ibahan bakar selanjutnya dipotong 10% dari hasil penjualan ikan untuk pemilik modal, dan sisanya dibagi sebesar 40% untuk touke bangku dan 60% untuk nelayan yang ikut melaut. Bagian 60% untuk nelayan dibagi kepada 20 orang nelayan yang ikut melaut. Pembagian hasil diantara nelayan tersebut dibagi berdasarkan tugasnya masing-masing di kapal saat melaut sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1. Anak buah kapal (15 orang) hanya memperoleh 1/15 bagian dari 1 bagian (dari bagian 60% setelah dikurangi bagian 40% untuk touke bangku). Dalam hal ini, pawang terkadang juga mendapat bonus tambahan dari touke bangku. Sistim pembagian hasil ini jelas sangat menguntungkan touke bangku atau pemiliki modal. Penerimaan nelayan atau anak buah kapal tak sebanding dengan waktu yang digunakan untuk melaut dan bersifat fluktuatif tergantung banyaknya ikan tangkapan dan harga jual ikan.

Pada musim panen ikan antara bulan Desember hingga bulan Maret, jumlah tangkapan ikan per hari sebanyak 2 ton ikan. Rata-rata pendapatan nelayan yang menggunakan kapal berkisar antara Rp. 50.000/hari hingga Rp. 100.000/hari dan nelayan hanya melaut 5 hari dalam seminggu. Jika pendapatan rata-rata nelayan dikonversi dalam seminggu adalah minimal Rp. 35.714,29/hari, hingga Rp. 71.428,57/hari. Jika diasumsikan anggota keluarga sebanyak 5 orang, maka pendapatan minimum Rp. 7.142,86 per kapita per hari dan maksimum Rp. 14.285,71 per kapita per hari atau Rp. 428.571,30 per kapita per bulan. Pendapatan nelayan dibawah garis kemiskinan dan tergolong dalam kategori paling miskin. Garis kemiskinan di Propinsi Aceh pada tahun 2018 adalah Rp 454 740/kapita/bulan (BPS, 2018)

Page 128: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jamilah – Hubungan Tingkat Kemiskinan Dengan Pemanfaatan .....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

341

Aktivitas pengolahan (processing) atau agroindustri perikanan seperti pembekuan, pemindangan, penggaraman dan sebagainya serta pengemasan (packaging) masih sangat minim dilakukan di Kabupaten Aceh Timur. Sebagian besar ikan dijual dalam bentuk segar keluar wilayah kabupaten tanpa diolah di tempat, bahkan diekspor ke Malaysia sehingga upaya penciptaan nilai tambah dari sub sektor perikanan relatif minim. Hanya sebagian kecil yang dilakukan pengolahan berupa pembuatan ikan asin, ikan kayu, abon ikan, terasi/belacan, dan pembuatan pindang ikan presto, terutama pada saat terjadi penurunan harga jual ikan. Hingga saat ini, aktivitas pengolahan masih pada tingkat agroindustri rumah tangga dan tradisional, belum ada unit pengolahan modern atau investasi skala perusahaan. Di sisi lain, Kabupaten Aceh Timur memiliki peluang ekspor komoditi perikanan ke negara Uni Eropa langsung dari pelabuhan karena Pelabuhan Perikanan Nusantara Idi telah mendapat sertifikat dari Uni Eropa.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir dan peningkatan kesejahteraan nelayan dapat dilakukan melalui: (1) penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga, (2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri (self financing mechanism), (3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna, (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar, serta (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat (Nikijuluw, 2001). Program Pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Aceh Timur berdampak positif bagi perikanan tangkap diantaranya peningkatan infrastruktur kawasan minapolitan, peningkatan produksi perikanan tangkap, penyerapan tenaga kerja, penambahan sarana dan prasarana perikanan tangkap, peningkatan usaha perikanan tangkap, peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia (SDM), dan peningkatan permodalan & investasi (Jamilah dan Mawardati, 2017a). Dalam pelaksanaannya, program minapolitan mengalami berbagai permasalahan, diantaranya pola pengusahaan masih tradisional, minimnya investasi dan tenaga ahli di bidang pengolahan ikan akibatnya ikan banyak dipasarkan dalam bentuk segar, kurangnya sinergitas stakeholder lintas sektor dalam proses pembangunan, keterbatasan dana sehingga masih minimnya penyuluhan dan pelatihan, akibatnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pada kawasan minapolitan belum menunjukkan peningkatan yang berarti (Jamilah dan Mawardati, 2017b). Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Pemanfaatan sumberdaya Ikan

Sumberdaya perikanan mencakup sumberdaya perikanan budidaya dan sumberdaya perikanan laut. Perikanan budidaya merupakan suatu usaha memanfaatkan sumberdaya di kawasan pesisir dalam hal memelihara berbagai jenis ikan, kerang-kerangan, rumput laut dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis penting (Triarso, 2004). Potensi ikan lestarinya paling tidak ada sekitar 6,17 juta ton per tahun, terdiri atas 4,07 juta ton di perairan nusantara yang hanya 38 persennya dimanfaatkan dan 2,1 juta ton per tahun berada di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Potensi ini pemanfaatannya juga baru 20 persen (Dahuri, 2002). Sustainabilitas perikanan tangkap terancam oleh overfishing yang ditandai dengan hasil tangkapan ikan yang cenderung menurun dan ukuran ikan hasil tangkapan yang semakin kecil dari tahun ke tahun (Triarso, 2012).

Pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap mencakup besarnya partisipatif nelayan pada usaha penangkapan ikan, pengolahan, dan pemasaran ikan dan kemampuan perikanan tangkap dalam menunjang peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir. Hal ini sebagaimana diselaraskan pada Program Minapolitan yang dicanangkan pemerintah. Nelayan merupakan tenaga kerja aktif yang memperoleh sumber penghidupannya dari aktifitas penangkapan ikan di laut, dan tidak menutup kemungkinan memperoleh sumber kehidupan dari lainnya.

Page 129: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

342 JEPA, 3 (2), 2019: 336-347

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Pemanfaatan potensi laut dan perikanan tangkap diukur berdasarkan kapasitas penangkapan. Menurut Wiyono (2005), Kapasitas penangkapan (fishing capacity) diartikan sebagai kemampuan input perikanan (unit kapal) yang digunakan dalam memproduksi output (hasil tangkapan), yang diukur dengan unit penangkapan atau produksi alat tangkap lain. Kemampuan ini bergantung pada volume stok sumberdaya ikan yang ditangkap (baik musiman maupun tahunan) dan kemampuan alat tangkap itu sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, overcapacity diterjemahkan sebagai situasi dimana berlebihnya kapasitas input perikanan (armada penangkapan ikan) yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada level tertentu. Overcapacity yang berlangsung terus menerus pada akhirnya akan menyebabkan overfishing, yaitu kondisi dimana output perikanan (hasil tangkapan ikan) melebihi batas maksimumnya. Diantara seluruh kabupaten yang ada di Provinsi Aceh, subsektor perikanan Kabupaten Aceh Timur yang paling tinggi aktifitas upaya penangkapannya. Pada tahun 2014, produksi perikanan laut dan umum didominasi Kabupaten Aceh Timur lebih tinggi (16.018.9 ton) dibanding kabupaten lainnya dalam wilayah Provinsi Aceh, namun pada tahun 2015 mengalami penurunan produksi, mencapai 10.027.4 ton, dengan peringkat ke-empat setelah Kabupaten Aceh Selatan (18.479.4 ton), Bireuen (16.494.3 ton), dan Langsa (14.195.3 ton) (Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2016). Potensi perikanan tangkap Provinsi Aceh mencapai 272,2 ribu ton/tahun. Pada tahun 2016, tingkat pemanfaatan perikanan tangkap Kabupaten Aceh Timur hanya 27.659,5 ton atau 10,16% dari total potensi lestari Provinsi Aceh. Tabel 2 Perkembangan Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Laut Di Kabupaten Aceh Timur,

Tahun 2014-2016 No Perikanan

Laut Produksi

(Ton) Nilai Produksi

(Rp. 000) 2014 2015 2016 2014 2015 2016

1 Ikan 21.805,7 20.031,3 27.474,3 420.940.189,0 392.012.679,3 599.565.982,3 2 Udang 123,6 181,4 173,1 5.573.940,0 6.892.555 8.837.325 3 Binatang

berkulit keras 19,01 41,9 12,1 381.480,0 837.754 277.288

4 Binatang berkulit lunak

50,2 57,4 0 1.255.875,0 1.435.225 0

Jumlah 428.151.484,0 401.178.213,3 608.680.595,3 Sumber: Aceh Timur Dalam Angka, 2017.

Produksi dan nilai produksi perikanan laut Kabupaten Aceh Timur antara tahun 2014-2016 berfluktuasi (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan hasil perikanan laut belum maksimal. Mengacu pada survei PT. Central Data Meditiama Indonesia (CDMI) Consulting, dalam 6 tahun terakhir kondisi perikanan dalam negeri semakin membaik, hal ini terlihat dari semakin meningkatnya produksi, baik produksi perikanan tangkap maupun budidaya dengan rata rata pertumbuhan mencapai 20% per tahun. Tahun 2011 perkembangan produksi perikanan budidaya mencapai 6,47 juta ton ditahun 2016 angkanya telah mencapai 19,75 juta ton, sedangkan produksi perikanan tangkap ditahun 2011 mencapai 5,71 juta ton dan tahun 2016 angkanya telah mencapai 27,66 juta ton. Hingga akhir tahun 2016 nilai produksi perikanan Indonesia mencapai Rp. 608,68 milyar.

Produksi perikanan laut Kabupaten Aceh Timur terdiri dari ikan, udang, binatang berkulit keras, dan binatang berkulit dengan nilai produksi berkisar antara Rp 401.178.213,3 hingga Rp 608.680.595,3. Produksi ikan dominan sebanyak 16,389,481 ton dengan jenis ikan meliputi; layang deles, Tongkol como, cakalang, yellow fin, selar,tongkol krai, kembung dan lisong. Pada tahun 2016, produksi ikan sebesar 27.474,3 ton dengan rata-rata produksi ikan per

Page 130: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jamilah – Hubungan Tingkat Kemiskinan Dengan Pemanfaatan .....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

343

harinya mencapai 88,06 ton/hari. Jumlah nelayan sebanyak 13.212 orang, maka rata-rata produksi nelayan sebesar 6,67 kg/hari. Jika diasumsikan harga jual ikan rata-rata Rp. 10.000/kg (mengacu pada harga jual ikan tongkol per kilogram di tingkat nelayan), maka rata-rata pendapatan nelayan sebesar Rp. 66.700/hari. Jika diasumsikan jumlah anggota keluarga sebanyak 5 (lima) orang, maka pendapatan perkapita per hari sebesar Rp 13.340/kapita/hari atau Rp. 346.840/kapita/bulan. Pendapatan nelayan sebesar Rp. 346.840/kapita/bulan berada dibawah garis kemiskinan BPS tahun 2016 yaitu Rp. 415 826/kapita/bulan dan termasuk dalam katagori paling miskin. Tabel 3 Produksi Perikanan Laut Menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Timur, Tahun 2015

-2016 No. Kecamatan Produksi Perikanan Laut (Ton)

Tahun 2015 Tahun 2016 1 Birem Bayeun 34,01 44,46 2 Rantau Selamat 38,58 53,82 3 Sungai Raya 95,86 99,16 4 Peureulak 542,00 677,83 5 Peureulak Timur 19,03 34,03 6 Idi Rayeuk 16.874.282 23.738,11 7 Peudawa 170,76 187,18 8 Darul Aman 1.801,93 1.725,59 9 Nurussalam 133,56 158,62 10 Julok 470,51 528,99 11 Simpang Ulim 180,55 183,28 12 Madat 39,01 43,22 Kabupaten Aceh Timur 20.031,34 27.474,29

Sumber: Aceh Timur Dalam Angka, 2017.

Tabel 3 memperlihatkan adanya peningkatan produksi ikan yang cukup tinggi pada tahun 2016, mencapai 37,16% (27.474,29 ton) dibanding tahun 2015 (20.031,34 ton). Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi ekosistem berjalan dengan baik atau tingkat pemulihan dari jenis-jenis ikan tersebut masih berjalan baik. dan didukung oleh program pengembangan kawasan minapolitan yang digalakkan pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Semakin baik fungsi ekosistem maka secara tidak langsung risiko/ancaman bagi kebelanjutan semakin kecil (Hartono et. al 2005).

Berdasarkan kecamatan, produksi perikanan laut Kecamatan Idi Rayeuk (Kawasan Minapolitan) mencapai 86,40% dari total produksi perikanan laut di Kabupaten Aceh Timur. Adapun produksi ikan dominan di Kecamatan Idi Rayeuk antara lain layang deles, tongkol como, cakalang, yellow fin, selar, tongkol krai, kembung, dan lisong. Hal ini didukung oleh infrastruktur berupa Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) dan kelembagaan ekonomi perikanan lainnya. Oleh karena itu, pengembangan kawasan minapolitan di daerah ini bertumpu pada perikanan tangkap. Keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Kecamatan Idi Rayeuk menyebabkan kehidupan nelayan terpusat pada seluruh kegiatan penangkapan ikan seperti pengadaan sarana penangkapan ikan (unit penyediaan BBM, pabrik es, dan alat penangkapan ikan), penangkapan ikan (yang membedakan nelayan berdasarkan kepemilikan alat tangkap), perbaikan jaring, pengolahan ikan, dan pemasaran ikan.

Data UPTD Pelabuhan Perikanan Idi Rayeuk menunjukkan bahwa sebagian besar produksi ikan dipasarkan dalam bentuk ikan segar di luar Kabupaten Aceh, mencapai 60% ikan

Page 131: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

344 JEPA, 3 (2), 2019: 336-347

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

segar, selebihnya dipasarkan dalam wilayah kabupaten Aceh Timur (Tabel 4). Ikan yang dipasarkan ke Medan Propinsi Sumatera ditujukan untuk di ekspor ke Malaysia, mencapai 30% dari jumlah produksi ikan kabupaten Aceh Timur. Tabel 4 Data Pemasaran Ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Idi Rayeuk, Tahun 2015

No Tujuan Pemasaran Jumlah Ikan (Kg)

Persentase (%)

1 Lokal (dalam Kabupaten Aceh Timur) 6.749.713 40 2 Luar Kabupaten Aceh Timur 10.124.570 60

Banda Aceh 337.486 2 Lhoksukon 168.743 1 Pantonlabu 168.743 1 Langsa 168.743 1 Kuala Simpang 168.743 1 Takengon 506.228 3 Sibolga 337.486 2 Medan 5.062.285 30 Padang 1.687.428 10 Jambi 843.714 5

Riau 674.971 4 Total 16.874.283 100

Sumber: UPTD Pelabuhan Perikanan Idi Rayeuk, 2015 Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Sarana Perikanan

Pengembangan perikanan tangkap harus memperhatikan ketersediaan potensi sumber daya ikan dan infrastruktur perikanan seperti pelabuhan perikanan dan tempat pelelangan ikan. Pembangunan pelabuhan perikanan harus memperhatikan keberadaan nelayan dan ketersediaan pengolahan yang memadai, seperti cold storage, fasilitas pengisian bahan bakar dan ketersediaan listrik. Agar tidak terjadi eksploitasi berlebih yang dapat mengganggu ketersediaan sumber daya ikan, maka jumlah nelayan dan armada penangkapan ikan harus ditentukan (Adam, 2012).

Pemanfaatan potensi laut dan perikanan tangkap di perairan Kabupaten Aceh Timur diperkirakan belum maksimal karena keterbatasan sumber daya manusia, teknologi, maupun sarana prasarana seperti kapal dan alat tangkap yang ramah lingkungan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 menetapkan bahwa kewenangan provinsi hanya mengelola wilayah laut dari 0-12 mil. Di wilayah inilah nelayan-nelayan bisa mengekplorasi hasil laut. Selanjutnya, menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan jo. UU no. 45 tahun 2009, pengelolaan perikanan menyangkut berbagai tugas yang kompleks yang bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari sumberdaya alam yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah dan negara yang diperoleh dari memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan.

Jumlah armada tangkap pada tahun 2016 sebanyak 3.163 unit yang terdiri dari 554 unit perahu tanpa motor, 1.047 unit perahu motor tempel, dan 1.562 unit kapal motor (Tabel 5). Armada tangkap kapal motor yang beroperasi di Pelabuhan Perikanan Idi terdiri dari berbagai ukuran mulai dari < 5 GT hingga yang berukuran 90 GT. Jumlah nelayan berkisar 13.216 orang, maka diperkirakan sebanyak 10.053 nelayan atau 76,07 % nelayan tidak memiliki armada tangkap. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan merupakan ABK (anak buah kapal). Posisi nelayan dalam penangkapan ikan akan menentukan besarnya penerimaan nelayan.

Page 132: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jamilah – Hubungan Tingkat Kemiskinan Dengan Pemanfaatan .....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

345

Tabel 5 Jenis Armada Tangkap di Kabupaten Aceh Timur, Tahun 2014-2017

Jenis Armada Tangkap Tahun 2014 2015 2016

Perahu tanpa motor 554 554 554 Perahu motor temple 885 713 1.047 Kapal motor 1.481 1.486 1.562 Jumlah 2.700 2.753 3.163

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Timur, 2017.

Sifat kepemilikan sarana penangkapan berhubungan dengan penerimaan keuntungan dari usaha perikanan. Kepemilikan sarana penangkapan ada yang dimiliki pemilik lokal, campuran antara pemilik lokal dan non lokal maupun pemilik non lokal yang menanamkan modalnya di usaha perikanan pada suatu wilayah. Sifat kepemilikan sarana penangkapan ini selain menunjukkan penerimaan keuntungan juga menunjukkan tingkat kemandirian masyarakat pesisir terhadap kepemilikan aset usaha perikanan yang tidak tergantung pada pihak luar. Jika keuntungan lebih banyak dinikmati oleh masyarakat pesisir maka kecenderungan masyarakat pesisir akan lebih mendukung keberlanjutan usaha perikanan tangkap (risiko/ancaman terhadap kelestarian sumberdaya perikanan tangkap akan semakin kecil) (Hartono et al., 2005). Tabel 6 Data Perkembangan Alat Tangkap di Pelabuhan Perikanan Idi Tahun 2015

No. Jenis Alat Tangkap Jumlah alat tangkap ( unit) 2014 2015

1 Jaring insang (Gill Net) 62 65 2 Pancing 52 65 3 Mini Purse seine 75 75 4 Purse seine 150 160 TOTAL 334 365

Sumber: UPTD Pelabuhan Perikanan Nusantara Idi Rayeuk, 2015. Data mengenai perkembangan jumlah alat tangkap berjalan seiring dengan penambahan

armada tangkap. Tabel 6 menunjukkan bahwa jenis alat tangkap yang ada di Pelabuhan Perikanan Idi sebagian besar berupa pancing dan purse seine. Perkembangan jumlah alat tangkap sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 6. Kapasitas penangkapan mencerminkan besarnya pemanfaatan perikanan. Kapasitas penangkapan ditentukan oleh ketersediaan armada dan alat tangkap serta infrastruktur perikanan. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik antar stakeholder untuk membangun kawasan minapolitan dari berbagai aspek pengembangan perikanan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryawati dan Purnomo (2011) menunjukkan bahwa aspek ekologi, ekonomi, teknologi, dan infrastruktur kurang berkelanjutan, aspek sosial budaya cukup berlanjut, aspek politik, hukum dan kelembagaan sangat berlanjut. Hal ini menunjukkan bahwa sinergi antara para stakeholder yang terlibat belum maksimal.

Page 133: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

346 JEPA, 3 (2), 2019: 336-347

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap Kabupaten Aceh Timur belum

maksimal, hanya 27.659,5 ton atau 10,16% dari total potensi lestari Propinsi Aceh. Produksi ikan sebanyak 27.474,3 ton/tahun dan rata-rata produksi ikan di tingkat nelayan sebesar 6,67 kg/hari. Kontribusi pendapatan nelayan dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga sebesar Rp 13.340/kapita/hari atau Rp. 346.840/kapita/bulan. Pendapatan nelayan dibawah garis kemiskinan dan tergolong dalam kategori paling miskin.

2. Kapasitas penangkapan ditentukan oleh ketersediaan armada dan alat tangkap serta infrastruktur perikanan. Diperkirakan sebanyak 10.053 nelayan atau 76,07 % nelayan tidak memiliki armada tangkap. Penambahan armada tangkap melalui program minapolitan dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan mengurangi ketergantungan dengan pemilik modal.

Saran 1. Program minapolitan perlu dilaksanakan secara berkesinambungan melalui pengembangan

infrastruktur dan industri perikanan, pemberian bantuan sarana penangkapan ikan, kemudahan akses kredit bagi nelayan, dan pemberdayaan nelayan (pendidikan dan keterampilan pengolahan ikan, menggerakkan partisipasi wanita nelayan, perbengkelan nelayan) dalam rangka menanggulangi kemiskinan nelayan di wilayah pesisir Aceh.

2. Integrasi secara sinergik antara pemerintah daerah, swasta, perbankan, lembaga swadaya lokal dan asing akan menjadi pilar utama pengembangan agroindustri perikanan di Kabupaten Aceh Timur sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan, mengurangi angka kemiskinan masyarakat pesisir, menciptakan nilai tambah produk, meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi gejolak sosial dalam masyarakat, dan meningkatkan perekonomian daerah dan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, L. 2012. Kebijakan Pengembangan Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus: Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 2(2):115-126.

[BPS] Badan Pusat Statistik 2018. Garis Kemiskinan Menurut Provinsi, 2013 – 2018. Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1120.

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2016. Aceh Dalam Angka, 2017. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. Banda Aceh.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Timur, 2017. Aceh Timur Dalam Angka, 2017. Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Timur. Langsa.

Dahuri, R. 2002. Strategi Pengelolaan Kawasan Pesisir Indonesia. PKSPL. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Timur. 2017. Laporan Tahunan Program Minapolitan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Timur. Idi Rayeuk.

Fauzi, A., and S. Anna. 2002. Assessment of fishery resource depreciation for policy considerations. Journal of Coastal and Marine Resources 4(2):36–49.

Page 134: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jamilah – Hubungan Tingkat Kemiskinan Dengan Pemanfaatan .....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

347

Hartono. et al. 2005. Pengembangan Teknik Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) untuk Penentuan Indikator Kinerja Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Indonesia. Buletin Ekonomi Perikanan. 6(1): 65-76.

Indrianingsih, S.K dan K.M. Noekman. 1995. Identifikasi Penduduk Miskin Di Jawa Timur. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian Kemiskinan di Pedesaan. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Jamilah. 2015. Analisis Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Aceh. Jurnal E-Mabis. 16(1): 120-127.

Jamilah dan Mawardati. 2017a. Program Minapolitan dan Perananya Dalam Pengembangan Perikanan Tangkap Di Kabupaten Aceh Timur. Jurnal Aplikasi Manajemen (JAM). 16(1): 162-170.

Jamilah and Mawardati. 2017b. Opportunity and Constraints of Development of Fishery Minapolitan Regency of East Aceh District. The Prosiding of Malikussaleh International Conference on Multidisciplinary Studies (MICoMS). Institute of Research and Community Service. Malikussaleh University. Lhokseumawe – Aceh.

[KKP]. 2011. Pedoman Umum Minapolitan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Muhammad, S. 2002. Ekonomi Rumah Tangga Nelayan dan Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan Di Jawa Timur: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.

Sugiharto E, Salmani, Gunawan BI. 2013. Studi tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten Berau. Dalam: Jurnal Ilmu Perikanan Tropis. 3(2): 87-94.

Suryawati SH dan AH Purnomo. 2011. Analisis ex-ante Keberlanjutan Program Minapolitan. J. Sosek KP. 6(1): 61-81.

Triarso, I. 2004. Study on Total Alllowable Catch Determination. Coastal Community Developmnet and Fisheries Resources Management Project Central Java. Directorat General of Capture Fisheries, Ministry Affairs and Fisheries, Jakarta.

Triarso, I. 2012. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Di Pantura Jawa Tengah. Jurnal Saintek Perikanan. 8(1): 186-197.

UPTD Pelabuhan Perikanan Nusantara Idi Rayeuk, 2016. Laporan Tahunan 2015. Pelabuhan Perikanan Nusantara. Idi Rayeuk.

Wiyono ES. 2005. Perspektif Baru dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Edisi Vol. 3/XVII/Maret 2005 – Nasional.[terhubung berkala]. http.io.ppi-jepang.org.article.php.

Page 135: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 348-359

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.11

STRATEGI PENGEMBANGAN BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDES) KASUS DI BUMDES MITRA SEJAHTERA DESA CIBUNUT KECAMATAN ARGAPURA

KABUPATEN MAJALENGKA

DEVELOPMENT STRATEGY OF VILLAGE OWNED ENTERPRISES (BUMDES) A CASE IN MITRA SEJAHTERA BUMDES CIBUNUT VILLAGE ARGAPURA

DISTRICT OF MAJALENGKA.

Jaka Sulaksana*, Irni Nuryanti

Fakultas Pertanian, Universitas Majalengka *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The research has been conducted in the village Cibunut Argapura District of Majalengka on village-owned enterprises (BUMDes) Mitra Sejahtera starting in January-August 2017. The purpose of this study is to describe BUMDes Mitra Sejahtera, identify and analyze internal and external factors that may affect the development BUMDes Mitra Sejahtera, as well as knowing what strategic alternatives are possible to be applied in the development BUMDes Mitra Sejahtera. The method used is descriptive qualitative technique to determine the respondents split into two, namely the saturation sampling (census) and snowball sampling the total number of respondents was 35 people consisting of administrators BUMDes Mitra Sejahtera, village officials Cibunut, Village Farmers Cibunut and Youth Village Cibunut . The analysis technique used is Descriptive, SWOT analysis and QSPM matrix. The results showed that BUMDes Mitra Sejahtera has been established from 2015 and has three business fields that are run the management of mountain soil, agriculture stall and automotive (grasstack). Internal environmental factors of BUMDes Mitra Sejahtera were observed: management, finance, human resources, facilities and infrastructure, and legal umbrella, while external environmental factors observed were technology, business partners, government, village potency, community participation and competitor. The strategy that is a top priority for the development of BUMDes Mitra Sejahtera is to become a business distributor or as a supplier of goods for agricultural kiosks with the highest value of TAC (Total Atractive Score).

Keywords: Strategy, Development, BUMDes

ABSTRAK Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Cibunut Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka pada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mitra Sejahtera mulai bulan Januari – Agustus 2017. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran BUMDes Mitra Sejahtera, mengidentifikasi dan menganalisis faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan BUMDes Mitra Sejahtera, serta mengetahui alternatif strategi apa yang memungkinkan untuk diterapkan dalam pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik penentuan responden dipecah menjadi dua yaitu sampling jenuh (sensus) dan snowball sampling total jumlah responden adalah 35 orang yang terdiri dari pengurus BUMDes Mitra Sejahtera, Aparat

Page 136: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jaka Sulaksana – Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

349

Desa Cibunut, Petani Desa Cibunut dan Karang Taruna Desa Cibunut. Teknik analisis yang digunakan yaitu Deskriptif, analisis SWOT dan matriks QSPM. Hasil penelitian menunjukan bahwa BUMDes Mitra Sejahtera telah dibentuk dari tahun 2015 dan memiliki tiga bidang usaha yang dijalankannya yaitu pengelolaan tanah gunung, kios pertanian dan otomotif (grasstack). Faktor lingkungan internal BUMDes Mitra Sejahtera yang diamati yaitu manajemen, keuangan, SDM, sarana dan prasarana, serta payung hukum, sedangkan Faktor lingkungan eksternal yang diamati adalah teknologi, mitra bisnis, pemerintah, potensi desa, partisipasi masyarakat dan pesaing. Strategi yang menjadi prioritas utama untuk pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera adalah menjadi distributor usaha atau sebagai pemasok barang untuk kios pertanian dengan nilai TAS (Total Atractive Score) tertinggi.

Kata Kunci : Strategi, Pengembangan, BUMDes

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan unit pemerintahan terkecil desa yang jumlahnya cukup tinggi. Desa adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang Kepala Desa) atau desa merupakan kelompok rumah diluar kota yang merupakan kesatuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2013). Berkaitan dengan desa, pemerintah telah mengesahkan peraturan yang mengatur khusus tentang pemerintahan desa, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 (UU Desa).

Pengembangan basis ekonomi di pedesaan sudah semenjak lama dijalankan oleh pemerintah melalui berbagai program. Namun, upaya itu belum membuahkan hasil yang memuaskan sebagaimana diinginkan bersama. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya program-program tersebut. Salah satu faktor yang paling dominan adalah intervensi pemerintah yang terlalu besar, akibatnya justru menghambat daya kreativitas dan inovasi masyarakat desa dalam mengelola dan menjalankan mesin ekonomi di pedesaan. Sistem dan mekanisme kelembagaan ekonomi di pedesaan tidak berjalan efektif dan berimplikasi pada ketergantungan terhadap bantuan pemerintah sehingga mematikan semangat kemandirian (Panduan Manajemen Badan Usaha Milik Desa, 2016).

Bentuk kelembagaan sebagaimana disebutkan diatas dinamakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa.

BUMDes diharapkan mampu menstimuli dan menggerakkan roda perekonomian di pedesaan. Asset ekonomi yang ada di desa harus dikelola sepenuhnya oleh masyarakat desa. Substansi dan filosofi BUMDes harus dijiwai dengan semangat kebersamaan dan self help sebagai upaya memperkuat aspek ekonomi kelembagaannya. Pada tahap ini, BUMDes akan bergerak seirama dengan upaya meningkatkan sumber-sumber pendapatan asli desa, menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat dimana peran BUMDes sebagai institusi payung dalam menaungi. Upaya ini juga penting dalam kerangka mengurangi peran free-rider yang seringkali meningkatkan biaya transaksi dalam kegiatan ekonomi masyarakat melalui praktek rente (Nurcholis, 2011).

Kabupaten Majalengka terdapat 325 BUMDes disetiap desa yang tersebar di 26 Kecamatan. Jenis usaha yang dilakukan oleh BUMDes yang ada di Kabupaten Majalengka diantaranya: 1) Simpan pinjam untuk kegiatan usahatani dan perdagangan, 2) Pengelolaan kios

Page 137: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

350 JEPA, 3 (2), 2019: 348-359

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

usaha seperti kios pertanian dan kios perdagangan, 3) Pengelolaan air bersih, 4) Pengelolaan pasar, serta 5) Peternakan. Dengan peraturan daerah Kabupaten Majalengka Nomor 3 Tahun 2006. BUMDes yang ada di Kabupaten Majalengka memiliki tingkat perkembangan usaha yang berbeda, dimana terbagi menjadi dua (2) kategori, yaitu pada tingkat “Baik” dan “Berjalan”. Pada kategori “Baik” terdapat 79 BUMDes sedangkan sisanya 246 BUMDes masih dalam kategori “Berjalan”. (Badan Pemberayaan Masyarakat Desa , Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Majalengka, 2016)

Salah satu BUMDes yang ada di Kabupaten Majalengka yaitu BUMDes Mitra Sejahtera. BUMDes Mitra Sejahtera ini berada di Desa Cibunut, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka yang merupakan salah satu BUMDes yang bergerak dibidang pertanian dengan Peraturan Desa Nomor 02 Tahun 2010 yang mulai beroperasi tahun 2015, dan pada Januari 2016 BUMDes Mitra Sejahtera mendapatkan SK sehingga mulai melakukan manajemennya dengan baik. Unit usaha yang dinaungi oleh BUMDes Mitra Sejahtera yaitu kios sarana produksi (saprodi) pertanian, dengan melakukan pengadaan pupuk organik dan kimia. Karena usaha tersebut masih tergolong baru dan dalam tahap percobaan oleh karena itu BUMDes Mitra Sejahtera dibutuhkan strategi pengembangan agar usaha BUMDes tersebut dapat berjalan dengan baik, mengembangkan jaringan usaha lain dan diharapkan manfaat dari usaha bumdes tersebut dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga dapat berdampak bagi kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan pendapatan desa.

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mitra Sejahtera Desa Cibunut Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka”. Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian adalah 1) Mengetahui gambaran BUMDes Mitra Sejahtera ; 2) Mengetahui faktor-faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan BUMDes Mitra Sejahtera serta faktor-faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman BUMDes Mitra Sejahtera ; 3) Mengetahui Alternatif strategi yang memungkinkan untuk diterapkan dalam pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera.

METODE PENELITIAN

Penelitian akan dilaksanakan di BUMDes Mitra Sejahtera Desa Cibunut Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa BUMDes tersebut memiliki potensi yang besar dan strategis untuk dikembangkan. Waktu penelitian akan dimulai pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2017. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah terdiri atas data primer dan data sekunder.

Populasi dalam penelitian ini adalah pengurus BUMDes Mitra Sejahtera, serta petani yang ada di Desa Cibunut Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 759 yang terdiri dari pengurus BUMDes Mitra Sejahtera 9 orang dan 750 orang petani desa Cibunut. Sampel dalam penelitian menggunakan metode probability simple random sampling. Keseluruhan populasi dari pengurus BUMDes Mitra Sejahtera dan petani yang ada di Desa Cibunut sebanyak 759 orang, jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 10 % dari keseluruhan jumlah populasi sehingga didapat jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 75,9 orang dibulatkan menjadi 76 orang yang terdiri dari pengurus BUMDes Mitra Sejahtera 9 orang dan petani Desa Cibunut sebanyak 67 orang.

Mengetahui bagaimana gambaran BUMDes Mitra Sejahtera, maka dilakukan analisis deskriptif. Analisis SWOT yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari mendefinisikan

Page 138: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jaka Sulaksana – Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

351

aspek terkait menjadi faktor internal yang terdiri atas komponen kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal yang terdiri atas peluang dan ancaman BUMDes Mitra Sejahtera (Rangkuti, 2001;2004;2009). QSPM digunakan untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif secara objektif, berdasarkan key success factor internal-external yang telah di identifikasikan sebelumnya atau dengan kata lain untuk menetapkan kemenarikan relative (relative atractiveness) dari strategi-strategi yang bervariasi yang telah dipilih, untuk menentukan strategi mana yang dianggap paling baik untuk diimplementasikan (David, 2009; David, 2004, 2006,2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum BUMDes Mitra Sejahtera Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah sebuah perusahaan yang dikelola olah

masyarakat desa, yang kepengurusanya terpisah dari pemerintah desa. BUMDes dibentuk untuk menggali potensi wirausaha yang ada di desa tersebut. Dengan dikelola oleh warga masyarakat yang mempunyai jiwa wirausaha, diharapkan BUMDes nantinya akan menghasilkan pendapatan asli desa yang diperoleh dari hasil perputaran usaha yang dikelola oleh BUMDes tersebut.

BUMDes Desa Cibunut pada awalnya berdiri pada tahun 2010 dengan Peraturan Desa Nomor 02 Tahun 2010 tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Cibunut Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka. Bidang usaha yang dijalankan pada saat pertama kali pembentukan yaitu simpan pinjam usaha untuk pertanian (pemberian modal untuk petani) serta otomotif (perbengkelan) yang masih ada hingga saat ini, dengan modal awal Rp. 10.000.000,- namun untuk bidang usaha simpan pinjam tidak bertahan lama dikarenakan adanya kendala yaitu macet pada saat pembayaran, kebanyakan masyarakat Desa Cibunut yang meminjam modal usahanya dari BUMDes menganggap dana tersebut sebagai dana hibah sehingga BUMDes Desa Cibunut sempat pakum pada masa itu karena perputaran dana yang macet. Kemudian pada bulan Mei 2015 dilakukan peremajaan BUMDes Desa Cibunut dengan kepengurusan yang baru dan menjalankan bidang usaha baru yaitu membantu desa dalam penarikan omset tanah gunung.

Kamis 10 Desember 2015 dilakukan peremajaan ulang BUMDes Desa Cibunut untuk yang kedua kalinya dengan mengumpulkan masyarakat Desa Cibunut serta Aparat Desa Cibunut untuk melakukan musyawarah dan menetapkan nama BUMDes Mitra Sejahtera sebagai nama BUMDes Desa Cibunut dibentuk berdasarkan Peraturan Desa Nomor 01 Tahun 2015 tentang pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Cibunut Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka dengan kepengurusan baru yaitu 9 orang dan membuka bidang usaha baru berdasarkan kesepakatan dari masyarakat Desa Cibunut dan Aparat Desa Cibunut yaitu kios pertanian yang menjual pestisida, pupuk organik dan anorganik dengan modal awalnya sebesar Rp. 35.000.000,-. Pada tahun 2016 turun dana ke-2 sebesar Rp. 10.000.000,- sehingga BUMDes Mitra Sejahtera dapat membuka lagi bidang usaha baru yaitu pemberian modal otomotif (Gresstrek) yang bekerja sama dengan karang taruna Desa Cibunut Kecamatan Argapura. Sehingga sampai saat ini BUMDes Mitra Sejahtera menjalankan tiga bidang usaha yang dikelolanya. Bidang Usaha BUMDes Mitra Sejahtera

Untuk mencapai maksud dan tujuannya, maka BUMDes Mitra Sejahtera menyelenggarakan bidang usaha antara lain :

Page 139: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

352 JEPA, 3 (2), 2019: 348-359

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

1. Penarikan Omset Tanah Gunung Tanah Gunung merupakan aset desa berupa tanah atau lahan pertanian yang pada

awalnya dikelola oleh aparat Desa Cibunut saja, tetapi saat ini pengelolaan tanah tanah gunung tersebut dibantu oleh BUMDes Mitra Sejahtera dalam penarikan omset atau uang sewa tanah gunung, untuk tujuan memajukan dan membangun masyarakat dengan mengajukan tender pengelolaan omset tanah gunung dengan cara yang jelas dan akuntabel sehingga manfaatnya dapat dirasakan lebih maksimal oleh yang berhak.

Tanah gunung tersebut untuk disewakan kepada masyarakat Desa Cibunut dan sebagian kepada masyarakat Desa Cibuluh. Terdiri dari 5 blok tanah gunung yaitu Blok D, Blok Kijamuju, Blok Balakatoa, Blok Tanjakan Akar, dan Blok Maloyang. Luas tanah gunung keseluruhan yaitu 50 ha dengan biaya sewa untuk tanah gunung yaitu mulai dari Rp.150.000,- s/d Rp. 350.000,- /tahun. Bidang usaha tanah gunung ini sudah dimulai sejak Mei 2015 hingga sekarang.

Tujuan yang ingin dicapai melalui pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1) Menertibkan proses Pengelolaan tanah gunung. 2) Meminimalisir tingkat penyelewengan omset tanah gunung. 3) Membekali masyarakat dengan pengetahuan mengenai managemen keuangan. 4) Membantu masyarakat agar dapat merasakan manfat yang maksimal dari omset tanah

gunung. Pengelolaan Tanah gunung oleh Bumdes berlandaskan kepada : 1) Pasal 213 Ayat (1) Undang-undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah 2) Pasal 78 PP N0. 72 Tahun 2005 tentang Desa 3) Peraturan menteri dalam negeri Republik Indonesia No. 39 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Pembentukan Bumdes 4) Pengoprasionalan kehendak masyarakat/rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di

NKRI. 2. Kios Pertanian BUMDes Mitra Sejahtera

Kios Pertanian BUMDes Mitra Sejahtera merupakan bidang usaha kedua yang dijalankan oleh BUMDes Mitra Sejahtera, kios tersebut menjual pestisida, pupuk organik, dan pupuk anorganik. Lokasi kios pertanian ini untuk sementara berlokasi di pekarangan rumah salah satu pengurus BUMDes Mitra Sejahtera.

Kios pertanian BUMDes Mitra Sejahtera ini sudah di mulai sejak januari 2016 saat BUMDes Desa Cibunut diremajakan untuk yang kedua kalinya. Maksud tujuan membuka bidang usaha kios pertanian adalah untuk memfasilitasi masyarakat desa Cibunut yang mayoritas pekerjaannya adalah sebagai petani agar masyarakat Desa Cibunut tidak kesulitan dalam pemenuhan pestisida serta pupuk baik organik maupun anorganik.

Sebagian besar masyarakat Desa Cibunut membeli kebutuhan pestisida dan pupuknya ke kios pertanian BUMDes Mitra Sejahtera, bahkan tidak hanya masyarakat Desa Cibunut saja, kios pertanian BUMDes Mitra Sejahtera juga memiliki pelanggan dan juga pembeli dari luar Desa Cibunut seperti Desa Tejamulya, Desa Argapura dan Desa Sagara. 3. Otomotif (Grasstrack)

Desa Cibunut adalah desa yang potensial dengan penyelenggraan event otomotif, karena memiliki sirkuit Grastrack yang refresentatif, yaitu sirkuit Grastrack Batarra Jaya yang dikelola Karang Taruna Batarra Jaya Desa Cibunut.

Bidang usaha otomotif (grasstrack) ini dilakukan dengan bekerja sama antara BUMDes Mitra Sejahtera dengan Karang Taruna Desa Cibunut untuk memberikan bantuan berupa modal untuk setiap kegiatan Event Otomotif yang diselenggarakan.

Page 140: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jaka Sulaksana – Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

353

Kegiatan event otomotif (grasstrack) yang dilakukan oleh karang taruna dan BUMDes Mitra Sejahtera selalu disertai dengan MOU (Memorandum Of Understanding) atau dokumen persetujuan dari dua belah pihak dengan itu terdapat ketentuan bahwa BUMDes Mitra Sejahtera akan mendapatkan 10% dari hasil usaha yang diperoleh dari kegiatan grasstrack tersebut.

Bidang usaha ini dimulai pada Desember 2016 saat BUMDes Mitra Sejahtera mendapatkan bantuan modal yang kedua sebesar Rp. 10.000.000,-. Kegiatan event otomotif yang telah diselenggarakan oleh Karang Taruna dan BUMDes Mitra Sejahtera ini sebanyak dua kali yaitu pada pertama dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan yang kedua dilaksanakan pada bulan Juli 2017. Faktor Internal dan Faktor Eksternal BUMDes Mitra Sejahtera

Analisis faktor eksternal dan internal dilakukan dengan mengetahui faktor-faktor diluar dan didalam BUMDes Mitra Sejahtera Desa Cibunut Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka yang dapat berpengaruh terhadap pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera. Analisis faktor internal digunakan untuk menganalisis faktor-faktor internal yang tentunya akan berpengaruh pada pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera. Faktor-faktor internal tersebut dapat diidentifikasi sebagai kekuatan dan kelemahan bagi pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera,sedangkan analisis faktor eksternal dilakukan dengan melihat faktor-faktor diluar BUMDes Mitra Sejahtera untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kecenderungan-kecenderungan yang berada diluar kontrol. Analisis ini terfokus untuk medapatkan faktor-faktor kunci yang menjadi peluang dan ancaman bagi pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera, sehingga memudahkan untuk menentukan strategi-strategi dalam meraih peluang dan menghindari ancaman. 1. Identifikasi Faktor Internal

Melalui identifikasi faktor internal akan dapat diketahui kekuatan dan kelemahan BUMDes Mitra Sejahtera. Kondisi lingkungan internal yang diamati yaitu manajemen, keuangan, SDM, sarana dan prasarana, serta payung hukum.

Tabel 1. Identifikasi Faktor Internal Pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera Internal Kekuatan Kelemahan

Manajemen a. Manajemen BUMDes Mitra Sejahtera sudah baik.

-

Keuangan a. Modal untuk menjalankan aktivitasnya mencukupi.

b. Perputaran keuangan dari bidang usaha yang dijalankan berjalan dengan baik.

a. Membutuhkan Dana untuk pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera.

SDM a. Tingkat kemampuan dan pendidikan SDM cukup baik.

b. SDM berpengalaman dan sesuai keahliaanya.

a. Kurangnya SDM.

Sarana dan Prasarana

a. Pemanfaatan sarana dan prasarana milik Desa atau masyarakat Desa Cibunut.

b. Sarana dan prasarana masih belum memadai/ seadanya.

Payung Hukum a. Memiliki payung hukum. - Sumber: Data Primer di Olah Tahun 2017.

Page 141: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

354 JEPA, 3 (2), 2019: 348-359

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

2. Identifikasi Faktor Eksternal Melalui identifikasi faktor eksternal akan dapat diketahui peluang dan ancaman bagi

BUMDes Mitra Sejahtera. Kondisi lingkungan eksternal yang diamati adalah teknologi, mitra bisnis, pemerintah, potensi desa, partisipasi masyarakat dan pesaing.

Tabel 2. Identifikasi Faktor Eksternal Pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera Eksternal Peluang Ancaman

Teknologi a. Perkembangan Teknologi semakin maju.

a. Belum bisa menggunakan teknologi secara maksimal.

b. Jaringan Internet di Desa Cibunut masih lemah.

Mitra Bisnis a. Menjalin kerjasama yang baik dengan mitra bisnis.

-

Pemerintah a. Dukungan dari pemerintah daerah.

-

Potensi Desa a. Memiliki potensi desa yang sangat baik untuk di kembangkan.

-

Pesaing a. Pasokan barang lebih lengkap. a. Terdapat 2 pesaing di Desa Cibunut dengan jenis usaha yang sama.

b. Komplen dari pesaing. Partisipasi Masyarakat

a. Partisipasi masyarakat Desa Cibunut cukup baik.

b. Persepsi masyarakat Desa Cibunut terhadap BUMDes Mitra Sejahtera Baik.

-

Sumber: Data Primer di Olah tahun 2017. Perumusan Alternatif Strategi Pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera

Perumusan Alternatif Strategi Pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera dilakukan dengan menggunakan matrik SWOT kemudian dipilih beberapa strategi terbaik dan selanjutnya menentukan prioritas strategi menggunakan QSPM. 1. Matrik SWOT

Matriks SWOT digunakan untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan suatu usaha. Metode ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi, yaitu strategi S-O, strategi W-O, strategi W-T, dan strategi S-T.

Page 142: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jaka Sulaksana – Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

355

Tabel 3. Perumusan Alternatif Strategi Pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera Kekuatan S:

1. Pengelolaan manajemen BUMDes Mitra Sejahtera sangat baik.

2. Modal dari perusahaan untuk menjalankan aktivitasnya mencukupi.

3. Perputaran keuangan dari bidang usaha yang di jalankan berjalan dengan baik.

4. Tingkat kemampuan dan pendidikan SDM cukup baik.

5. SDM berpengalaman dan sesuai keahliaanya.

6. Pemanfaatan sarana dan prasarana milik Desa atau masyarakat Desa Cibunut.

7. Sudah memiliki payung hukum yang kuat.

Kelemahan W: 1. Membutuhkan dana untuk

pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera.

2. Hanya menggunakan SDM sedikit. 3. Sarana dan prasarana masih belum

memadai/ seadanya.

Peluang O: 1. Perkembangan Teknologi

semakin maju. 2. Menjalin kerjasama yang

baik dengan mitra bisnis. 3. Dukungan dari

pemerintah daerah. 4. Memiliki potensi desa

yang sangat baik untuk di kembangkan.

5. Pasokan barang lebih lengkap.

6. Partisipasi masyarakat Desa Cibunut cukup baik.

7. Persepsi masyarakat Desa Cibunut terhadap BUMDes Mitra Sejahtera Baik.

Strategi S-O 1. Optimalisasi kinerja BUMDes dengan

pengembangan teknologi. 2. Memanfaatkan potensi Desa dengan

membentuk bidang usaha baru. 3. Meningkatkan penjualan dengan

menambah pasokan barang yang lebih lengkap.

Strategi W-O 1. Menjalin kerjasama dengan mitra

bisnis lainnya. 2. Menambah SDM yang ahli di bidang

teknologi. 3. Memanfaakan sarana dan prasarana

yang tersedia dari pemerintah Desa.

Ancaman T: 1. Belum bisa menggunakan

teknologi secara maksimal.

2. Jaringan Internet di Desa Cibunut masih buruk.

3. Terdapat 2 pesaing di Desa Cibunut dengan jenis usaha yang sama.

4. Komplen dari pesaing.

Strategi S-T 1. Membuat website BUMDes Mitra

Sejahtera 2. Menjadi Distributor usaha atau

sebagai pemasok barang untuk kios pertanian.

3. Memanfaatkan teknologi yang tersedia dengan sebaik-baiknya untuk pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera.

Strategi W-T 1. Mengembangkan dan

mengoptimalkan fungsi pelayanan BUMDes

2. Pengembangan lembaga pembiayaan BUMDes.

Sumber: Data Primer di Olah Tahun 2017 2.Penentuan Prioritas Strategi Pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera

Keputusan-keputusan strategis harus selalu dibuat untuk memilih kegiatan yang paling tepat dan mengalokasikan sumber daya organisasi. Penentuan prioritas strategi merupakan tahap akhir untuk menentukan strategi mana yang menjadi prioritas dari beberapa strategi yang akan diimplementasikan. Merupakan suatu kesalahan besar bagi menejer bila terlalu banyak menerapkan strategi pada saat yang sama. Karena akan menguras sumberdaya perusahaan sehingga setiap strategi menjadi tidak optimal dan rentan (David, 2004).

Dari hasil analisis matriks SWOT telah diperoleh sebelas alternatif strategi yang biasa diterapkan untuk pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera Desa Cibunut Kecamatan Argapura

Page 143: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

356 JEPA, 3 (2), 2019: 348-359

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Kabupaten Majalengka. Untuk menentukan prioritas strategi yang paling tepat dan utama maka dilakukan analisis Matriks QSPM untuk pengambilan keputusan. Matriks QSPM memberikan gambaran kelebihan-kelebihan relatif dari masing-masing strategi yang selanjutnya memberikan dasar objektif untuk dapat memilih salah satu atau beberapa strategi spesifik yang menjadi pilihan. Langkah selanjutnya adalah mencari alternatif strategi yang dapat diimplementasikan sehingga terpilih tiga strategi, yaitu: 1. Memanfaatkan potensi desa dengan membentuk bidang usaha baru. 2. Menambah SDM yang berkualitas. 3. Menjadi distributor usaha atau sebagai pemasok barang untuk kios pertanian. Tabel 4. QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix) Pengembangan BUMDes

Mitra Sejahtera Faktor-faktor Kunci Bobot Alternatif Strategi

Strategi I Strategi II Strategi III AS TAS AS TAS AS TAS

Faktor Kunci Internal 1. Pengelolaan manajemen

BUMDes Mitra Sejahtera sudah baik

0,13 4 0,52 3 0,39 4 0,52

2. Modal untuk menjalankan aktivitasnya mencukupi.

0,06 3 0,18 2 0,12 3 0,18

3. Perputaran keuangan dari bidang usaha yang dijalankan berjalan dengan baik

0,09 3 0,27

3 0,27 3 0,27

4. Tingkat kemampuan dan pendidikan SDM cukup baik

0,09 4 0,36

2 0,18 4 0,36

5. SDM berpengalaman dan sesuai keahliannya

0,13 3 0,39 2 0,26 4 0,52

6. Pemanfaatan sarana dan prasarana milik Desa atau masyarakat Desa Cibunut.

0,06 2 0,12 2 0,12 2 0,12

7. Memiliki payung hukum 0,13 4 0,52 4 0,52 4 0,52 8. Membutuhkan dana untuk

pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera

0,13 4 0,52 4 0,52 4 0,52

9. Kurangnya SDM 0,09 3 0,27 4 0,36 3 0,27 10. Sarana dan prasarana masih

belum memadai/ seadanya 0,09 2 0,18 2 0,18 1 0,09

Total Bobot 1 Faktor Kunci Eksternal 11. Perkembangan Teknologi

semakin maju 0,12 4 0,48 4 0,48 4 0,48

12. Menjalin kerjasama dengan mitra bisnis

0,09 4 0,36 3 0,27 4 0,36

13. Dukungan dari pemerintah daerah

0,09 4 0,36 3 0,27 4 0,36

Page 144: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jaka Sulaksana – Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

357

14. Memiliki potensi desa yang baik untuk dikembangkan

0,12 4 0,48 4 0,48 3 0,36

15. Pasokan barang lebih lengkap 0,09 2 0,18 2 0,18 4 0,36 16. Partisipasi masyarakat baik 0,09 3 0,27 2 0,18 4 0,36 17. Persepsi masyarakat terhadap

BUMDes mitrasejahtera baik 0,09 3 0,27 2 0,18 3 0,27

Faktor Kunci Eksternal 18. Belum bisa menggunakan

teknologi secara maksimal 0,09 2 0,18

3 0,27 2 0,18

19. Jaringan internet di Desa Cibunut masih buruk

0,09 2 0,18 2 0,18 2 0,18

20. Terdapat 2 pesaing di Desa Cibunut dengan jenis usaha yang sama

0,06 1 0,06 1 0,06 4 0,24

2. Komplen dari pesaing 0,06 1 0,06 1 0,06 4 0,24 Total Bobot 1 Jumlah Total Nilai Daya Tarik 6,21 5,53 6,76

Sumber: Data Primer di Olah Tahun 2017 Dari daftar peringkat diatas dapat diketahui bahwa berdasarkan analisis matriks QSPM

yang mempertimbangkan faktor-faktor kunci internal dan faktor-faktor kunci eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya, pelaksanaan alternatif strategi berdasarkan nilai TAS pada matriks QSPM dapat dilakukan dari nilai TAS strategi yang tertinggi, maka dari ketiga alternatif strategi pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera yang telah diimplementasikan yang menjadi prioritas utama untuk pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera adalah strategi III yaitu Menjadi distributor usaha atau sebagai pemasok barang untuk kios pertanian dengan nilai TAS (Total Atractive Score) sebesar 6,76. Alternatif strategi untuk prioritas kedua pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera adalah strategi I yaitu Memanfaatkan potensi desa dengan membentuk bidang usaha baru, dengan nilai TAS (Total Atractive Score) sebesar 6,21. Dan yang menjadi prioritas alternatif strategi ketiga adalah strategi II yaitu Menambah SDM yang berkualitas dengan nilai TAS (Total Atractive Score) sebesar 5,53.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan temuan dilapangan dan hasil pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut : 1. BUMDes Mitra Sejahtera dibentuk 10 Desember 2015 dengan Peraturan Desa Nomor 01

Tahun 2015 tentang pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Cibunut Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka. Pengurus BUMDes Mitra Sejahtera berjumlah 9 orang dan bidang usaha yang dijalankannya yaitu : penarikan omset tanah gunung, kios pertanian, dan otomotif (grasstrack) modal awal yang diterima sebesar Rp. 35.000.000,-.

2. Analisis SWOT digunakan untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan dari faktor internal serta peluang dan ancaman dari faktor eksternal BUMDes Mitra Sejahtera. Sehingga menghasilkan 7 kekuatan dan 3 kelemahan serta 7 peluang dan 4 ancaman untuk pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera.

Page 145: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

358 JEPA, 3 (2), 2019: 348-359

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

3. Hasil dari matrik SWOT melahirkan 11 strategi pengembangan BUMDes mitra sejahtera dan yang menjadi prioritas utama untuk pengembangan BUMDes Mitra Sejahtera adalah menjadi distributor usaha atau sebagai pemasok barang untuk kios pertanian dengan nilai TAS (Total Atractive Score) tertinggi sebesar 6,76.

Saran Berdasarkan kesimpulan diatas maka didapat beberapa saran dan pertimbangan yang disajikan berdasarkan penelitian ini antara lain: 1. BUMDes Mitra Sejahtera diharapkan dapat memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana

seperti bangunan khusus BUMDes Mitra Sejahtera. 2. BUMDes Mitra Sejahtera diharapkan dapat terus menggali potensi Desa dengan menambah

unit usaha yang dikelolanya untuk meningkan pendapatan Desa. BUMDes Mitra Sejahtera diharapkan dapat memaksimalkan usaha yang dijalankannya

sehingga manfaat dari BUMDes dapat dirasakan oleh masyarakat banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten

Majalengka. 2016. Buku Panduan Manajemen Badan Usaha Milik Desa (Pembentukan & Pengelolaan BUMDes). Majalengka.

Convelo G, Cevilla. Dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : Universitas Indonesia. David, FR. 2004. Manajemen Strategis: Konsep. Edisi ketujuh. PT. Prenhallindo, Jakarta. David, FR. 2006. Manajemen Strategi. Buku 1, Edisi kesepuluh. Jakarta : Salemba Empat. David, FR. 2009. Manajemen Strategis. Ed ke-12. Sunardi D, penerjemah. Jakarta: Penerbit

Salemba Empat. Skripsi. Arman Maulana. 2016. Penentuan Prioritas Strategi Pariwisata Dengan Menggunakan Metode Quantitative Strategic Planning Matrix. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Fred R. David. 2009.Manajemen Strategis. Salemba Empat Jakarta. Freddy Rangkuti. 2005. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT.

Gramedia. Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta:

Penerbit Erlangga. Permana, Dede. 2011.Strategi Pengembangan Koperasi Jasa Agribisnis (Koja) Sta

Panumbangan Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rangkuti, Freddy. 2001. Analisis SWOT Teknik Membelah Kasus Bisnis. PT. Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta. Rangkuti, Freddy. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta, Gramedia

Pustaka Utama. Rangkuti, Freddy. 2009. Strategi Promosi yang Kreatif dan Analisis Kasus Integrated Marketing

Communication. Jakarta : PT. GramediaPustakaUtama. Siska, Yanti, Amelia. 2013. Strategi Pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) Berkat Telaga

Kabupaten Gorontalo. Gorontalo : Universitas Negeri Gorontalo. Sudaryanto. 2005. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Duta wacana University Press.

Page 146: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jaka Sulaksana – Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa ...............................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

359

Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit CV. Alfabeta: Bandung. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit CV. Alfabeta: Bandung. Umar, Husein. 2003. Strategic Management in Action, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka

Utama. Skripsi. Arman Maulana. 2016. Penentuan Prioritas Strategi Pariwisata Dengan Menggunakan Metode Quantitative Strategic Planning Matrix. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Undang-Undang Desa. Yudiardi, Dodi. 2015. Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

dalam meningkatkan prekonomian masyarakat perdesaan kabupaten Garut. Garut: Universitas Garut.

Page 147: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 360-374

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.12

ANALISIS STRUKTUR BIAYA PRODUKSI DAN KESENJANGAN PENDAPATAN PETANI AKIBAT FLUKTUASI HARGA MINYAK NILAM

ANALYSIS OF PRODUCTION COST STRUCTURE AND INCOME GAP OF FARMERS

DUE TO FLUCTUATIONS IN PATCHOULI OIL PRICES

Ellyta Effendy1*, Muhammad Yusuf N2, Romano3, Safrida3 1Program Studi Agribisnis, Universitas Malikussaleh

2Program Studi Agroekoteknologi, Universitas Malikussaleh 3Program Studi Agribisnis, Universitas Syiah Kuala

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Aceh Patchouli has a higher volatile oil content than other patchouli types, but the production and productivity of patchouli are decreasing due to fluctuations in patchouli oil prices and affect farmers' income. The study aims to analyze of production costs structure and the income gap of farmers due to fluctuations in patchouli oil prices. The method used is a survey method with an explanatory research approach. Research location in Aceh Province. The results showed that the cost structure of patchouli production at the level of farmers consisted of the cost of patchouli farming and patchouli oil refining. Oil quality is not standardized which causes fluctuations in patchouli oil prices. The acceptance of Acehnese patchouli farmers ranges from Rp. 60,200,000 per hectare with an average of 297 kg of wet leaf production, 74.25 kg of dried patchouli leaves, and around Rp 430,000 / kg of patchouli oil. The average production cost is Rp. 6,822,250 and farmers' income of Rp. 53,377,750 per hectare. The decline in patchouli oil prices by 58.14% caused a decrease in farmers' income by 65.57%. The gap in farmers' income has implications for Aceh's patchouli production patterns and productivity.

Keywords; the production cost structure, income, prices, patchouli, patchouli oil.

ABSTRAK

Nilam Aceh memiliki kadar minyak atsiri lebih tinggi dari jenis nilam lainnya, namun produksi dan produktivitas nilam semakin menurun akibat fluktuasi harga minyak nilam dan berpengaruh terhadap pendapatan petani. Penelitian bertujuan untuk menganalisis struktur biaya produksi dan kesenjangan pendapatan petani akibat fluktuasi harga minyak nilam. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan pendekatan explanatory research. Lokasi penelitian di Propinsi Aceh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur biaya produksi nilam ditingkat petani terdiri dari biaya usahatani nilam dan penyulingan minyak nilam. Kualitas minyak tidak terstandarisasi yang menyebabkan terjadinya fluktuasi harga minyak nilam. Penerimaan petani nilam Aceh berkisar Rp. 60.200.000 per hektar dengan rata-rata produksi daun basah sebanyak 297 kg, daun nilam kering sebanyak 74,25 kg, dan harga minyak nilam berkisar Rp 430.000/kg. Rata-rata biaya produksi sebesar Rp. 6.822.250 dan pendapatan petani sebesar Rp. 53.377.750 per hektar. Penurunan harga minyak nilam sebesar 58,14% menyebabkan penurunan pendapatan petani sebesar 65,57%. Kesenjangan pendapatan petani berimplikasi pada pola produksi dan produktivitas nilam Aceh.

Kata kunci; struktur biaya produksi, pendapatan, harga, nilam, minyak nilam.

Page 148: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ellyta Effendy – Analisis Struktur Biaya Produksi dan Kesenjangan Pendapatan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

361

PENDAHULUAN

Nilam Aceh merupakan komoditas unggulan seiring dengan peningkatan permintaan minyak nilam baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Nilam Aceh mengandung sekitar 2,5-5 % minyak, sehingga banyak diminati oleh petani maupun pasar. Tiga varietas nilam unggul dengan kadar dan mutu minyak tinggi, yaitu Lhokseumawe, Tapak Tuan, dan Sidikalang (Nuryani 2006). Dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak atsiri lainnya, nilam memiliki keunggulan tersendiri sebagai unsur pengikat (fiksatif) yang terbaik untuk parfum (Amalia, 2011). Daya lekatnya kuat sehingga aroma wangi tidak mudah hilang, larut dalam alcohol dan dapat dicampur dengan minyak atsiri lain (Umadi, 2006 dalam Sari dan Hartono, 2010). Selain sebagai sumber minyak atsiri, daun nilam dapat digunakan sebagai penolak (repelen) serangga (Hadipoetyanti dan Sukamto, 2006).

Nilam Aceh atau pogostemon cablin benth memiliki kandungan minyak berkisar 2,5 hingga 3,3 persen. Oleh sebab itu, nilam di Aceh berada di atas rata-rata kualitas dunia (Mustika dan Nuryani, 2006). Mutu minyak nilam sangat dipengaruhi oleh kandungan PA yang merupakan komponen utama dalam minyak nilam, dan dipersyaratkan dalam perdagangan internasional sebesar 30%. Beberapa kendala dalam industri minyak nilam antara lain kuantitas perolehan minyak (rendemen) yang rendah, kualitas minyak yang beragam, produksi tidak kontinyu serta harga berfluktuatif sehingga menurunkan daya saing industri minyak nilam nasional (Kiyohara et al, 2012). Rata - rata rendemen yang dihasilkan dari ekstraksi minyak nilam sekitar 1-2% dengan waktu ekstraksi yang sangat panjang sekitar 7-10 jam. Penggunaan teknologi ekstraksi yang konvensional merupakan salah satu penyebab rendahnya hasil rendemen industri (Sugiarto dan Sulistyo, 2010, dan Tuti et al., 2008).

Usaha peningkatan dan produktivitas tanaman dan mutu minyak nilam telah dimulai sejak tahun 1987, dimulai dengan mengumpulkan plasma nutfah dari berbagai sentra produksi di daerah Aceh, bekerjasama dengan PT Pupuk Iskandar Muda (Rusli dan Hobir, 1990). Nilam Aceh memiliki rendemen minyak atsiri yang cukup tinggi. Sekitar 85 persen pasokan minyak nilam dunia berasal dari Indonesia dengan rata-rata volume ekspor 1.057 ton (Manurung, 2010). Asosiasi Minyak Atsiri Indonesia menyebutkan, produksi minyak nilam Indonesia tahun 2011 hanya mampu mencapai 800 ton, pada tahun sebelumnya mampu memproduksi 1.000 ton. Sedangkan kebutuhan minyak nilam dunia sebanyak 1.500 ton per tahun, dari jumlah itu sebanyak 70 persen dipasok oleh Indonesia. Dari jumlah produksi minyak nilam Indonesia itu, sebanyak 30-45 persen merupakan nilam yang dihasilkan petani Aceh. Namun jumlah produksi nilam Aceh terjadi penurunan dari 612 ton pada tahun 2009 menjadi 452 ton pada tahun 2010 (BPS, 2011). Hal ini jauh menurun dibandingkan dengan kontribusi minyak Aceh tahun 80-an yang mencapai 80 – 90 persen dari suplai minyak nilam Indonesia. Rendahnya produktivitas dan mutu minyak nilam antara lain disebabkan rendahnya mutu genetik tanaman, tehnologi budidaya yang masih sederhana dan belum menerapkan tehnik konservasi lahan (Agustiar et al. (2014). Di sisi lain, akibat memburuknya situasi keamanan di Propinsi Aceh sejak tahun 1998, pasokan minyak nilam dari Aceh berkurang dan berimplikasi pada penurunan volume ekspor minyak nilam Indonesia. Kondisi ini membuka peluang bagi daerah-daerah lain di Indonesia untuk mengembangkan komoditas nilam seperti di Pulau Jawa (nilam Jawa) dan Pulau Irian (Nilam Papua). Menurut Kemala (1999) proyeksi nilai impor minyak atsiri dunia dan nilai ekspor minyak atsiri Indonesia dengan menggunakan persamaan regresi menunjukkan bahwa nilai ekspor minyak atsiri Indonesia semakin jauh dari nilai impor minyak atsiri dunia yang artinya bahwa pangsa pasar Indonesia semakin kecil, pada tahun 2010 pangsa pasar Indonesia hanya 1.7%. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar minyak atsiri Indonesia di pasar

Page 149: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

362 JEPA, 3 (2), 2019: 360-374

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Internasional masih terbuka luas dan laju peningkatan ekspor Indonesia saat ini masih dapat dan harus ditingkatkan.

Propinsi Aceh merupakan daerah nomor satu penghasil nilam dan menduduki kualitas terbaik (Gambar 1). Faktor itulah yang menjadikan Aceh sebagai penopang utama Indonesia sebagai pemasok minyak nilam terbesar di Pasar internasional. Propinsi Aceh berpotensi untuk pengembangan nilam karena memiliki iklim tropis yang cocok untuk budidaya nilam. Pada tahun 2015, produktivitas nilam Aceh sebesar 321 kg/ha (Ditjenbun, 2017). Mutu Patchouli Alkohol (PA) nya di bawah 31 % dan harga selalu berfluktuasi (Rosman, 2012). Rendahnya pasokan minyak nilam Aceh disebabkan antara lain; (1) rendahnya rendemen minyak nilam yang diperoleh, (2) mutu minyak rendah dan beragam karena pengawasan mutu yang kurang diperhatikan, dan (3) penyediaan produk tidak kontinyu dan harga yang berfluktuasi (Yuhono, 2014).

Sebagai komoditas ekspor, harga nilam di dalam negeri tergantung dari harga internasional, maka kesejahteraan petani nilam juga sangat tergantung dari harga internasional. Fluktuasi harga minyak nilam sangat mempengaruhi motivasi petani dalam mengembangkan usahatani nilam. Petani di lokasi penelitian cenderung melakukan usahatani nilam disaat harga minyak nilam tinggi, sebaliknya petani tidak melakukan usahatani nilam disaat harga minyak nilam menurun. Kondisi ini menyebabkan pendapatan petani dari usahatani nilam berfluktuasi. Pada tahun 2015, harga minyak nilam di tingkat petani mencapai Rp. 620.000/kg turun menjadi Rp. 430.000/kg (2016). Ketika harga minyak nilam rendah, petani membiarkan nilam tanpa perawatan, pemupukan, bahkan enggan memanen (Setiawan dan Rosman, 2013). Fluktuasi harga sangat berpengaruh terhadap ketersediaan minyak nilam (Hobir dan Sofyan, 2002).

Forum Masyarakat Perlindungan Nilam Aceh (FMPNA) menyatakan bahwa pada tahun 2015 produksi nilam pada empat kabupaten sentra produksi (Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Selatan, dan Gayo Lues) adalah 500 kg/bulan, sementara permintaan pasar mencapai 2 ton/bulan. Setiap kabupaten memproduksi minyak nilam hasil penyulingan rata-rata 200 kg/bulan Setiap petani nilam di Aceh memiliki lahan 1 hektar hingga 12 hektar.

Di Kabupaten Aceh Barat tanaman nilam dikembangkan di seluruh kecamatan dengan produktivitas minyak nilam rata-rata 240 kg/Ha dan luas areal penanaman 201,50 ha pada tahun 2016. Di Kabupaten Aceh Jaya, dengan lahan panen seluas 52 ha menghasilkan produksi sebesar 12 ton dan produktivitas nilam sebesar 300 kg/ha. Pada tahun 2015, produktivitas nilam Aceh sebesar 321 kg/ha (Ditjenbun, 2017). Nilam Aceh dikembangkan dalam bentuk usaha perkebunan rakyat dengan pola kebun campuran. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan komoditas nilam masih merupakan usaha sampingan selain kelapa sawit, karet dan kakao sebagai usaha perkebunan utama di Provinsi Aceh. Sistem pola tanam berpindah disertai kondisi lahan kurang sesuai terutama lokasi yang memiliki bulan kering lebih dari dua bulan menyebabkan tanaman hanya mampu dipanen satu kali dalam setahun (Rosman, 2012). Masalah utama yang dihadapi adalah tidak stabilnya produksi maupun kualitas, disebabkan usaha produksi dilakukan secara sederhana baik dalam hal pemilihan lokasi tanam, budidaya, varietas yang ada, maupun pengolahan hasilnya (Rusli, 2006 dalam Unteawatiet, et al.,2012, Mulyodihardjo, 1990) serta berkembangnya penyakit, terutama penyakit nematoda, budog dan penyakit layu (Sitepu dan Asman, 1991; Djiwanti dan Momota, 1991). Potensi nilam diperkirakan belum dimanfaatkan secara maksimal dan pengelolaan perkebunan nilam tidak dilakukan secara intensif.

Pengembangan nilam merupakan langkah strategis dalam menumbuh kembangkan sektor agroindustri di Aceh. Diperkirakan 90% tanaman aromatik diusahakan oleh petani atau pengrajin di pedesaan dalam bentuk industri kecil. Dengan skala usahatani yang kecil dan kemampuan teknologi yang terbatas sehingga kadang tidak memenuhi persyaratan teknis baik

Page 150: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ellyta Effendy – Analisis Struktur Biaya Produksi dan Kesenjangan Pendapatan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

363

dari penggunaan bahan tanaman (varietas unggul), peralatan maupun cara pengolahan seringkali produksi dan mutu minyak atsiri yang dihasilkan sangat rendah dan beragam, sehingga penyediaan produk kurang mantap (Sumangat dan Risfaheri, 1998).

Pengolahan minyak nilam pada tingkat hulu, hanya menggunakan cara tradisional (Lutony dan Rahmayati, 2002), sehingga produksi dan mutu minyak nilam yang dihasilkan sangat rendah dan beragam (Sumangat dan Risfaheri, 1998). Hal ini sejalan dengan pendapat Rusli (2006) dalam Unteawatiet et al., (2012) bahwa masalah utama yang dihadapi adalah tidak stabilnya produksi maupun kualitas, hal ini disebabkan oleh sebagian besar usaha produksi dilakukan secara sangat sederhana baik dalam hal pemilihan lokasi tanam, budidaya, varietas yang ada, maupun pengolahan hasilnya. Dalam hal ini, Lembaga Internasional Caritas Czech Republic (CCR) yang didukung oleh Bank Dunia juga merancang program terpadu pemberdayaan petani nilam Aceh.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Propinsi Aceh. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Jaya yang merupakan daerah sentra produksi nilam Aceh menurut indikator luas lahan, produksi dan produktivitas nilam. Penelitian ini menggunakan metode survei (Survey Method) dengan pendekatan explanatory research.

Populasi dalam penelitian ini adalah petani yang melakukan usahatani nilam dan penyulingan minyak nilam. Pengambilan responden (sampel) petani dilakukan dengan metode simple random sampling yakni pengambilan secara acak sederhana agar setiap elemen populasi mempunyai kesempatan sama sebagai sampel, resiko bias dapat diminimisasi (Singarimbun dan Effendi, 1989). Setiap kecamatan dipilih dua desa sampel sehingga jumlah sampel per kecamatan adalah 60 petani yang melakukan usahatani nilam dan penyulingan minyak nilam. Keseluruhan sampel petani sebanyak 120 orang.

Menurut Gustiyana (2004), pendapatan usahatani dapat dibagi menjadi dua pengertian, yaitu (1) pendapatan kotor, yaitu seluruh pendapatan yang diperoleh petani dalam usahatani selama satu tahun yang dapat diperhitungkan dari hasil penjualan atau pertukaran hasil produksi yang dinilai dalam rupiah berdasarkan harga per satuan berat pada saat pemungutan hasil, (2) pendapatan bersih, yaitu seluruh pendapatan yang diperoleh petani dalam satu tahun dikurangi dengan biaya produksi selama proses produksi. Biaya produksi meliputi biaya riil tenaga kerja dan biaya riil sarana produksi. Analisis pendapatan petani nilam Aceh dihitung dengan rumus: π = TR - TC (Ilham, 2013) Keterangan : π = Pendapatan TR = Total Revenue (Total penerimaan) TC = Total Cost (Total biaya)

Menurut Sudarman (2001), total biaya adalah total biaya tetap ditambah dengan total biaya variabel. Total biaya dapat diketahui dengan menggunakan rumus: TC = TFC + TVC Keterangan: TC = Total Biaya(Total Cost) (Rp) TFC = Total Biaya Tetap(Total Fixed Cost) (Rp) TVC = Total Biaya Variabel (Total Variabel Cost) (Rp)

Menurut Mubyarto (1994), penerimaan adalah hasil yang diharapkan akan diterima pada waktu panen. Total penerimaan dirumuskan sebagai berikut:

Page 151: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

364 JEPA, 3 (2), 2019: 360-374

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

TR = P . Q Keterangan: TR = Total Penerimaan (Total Revenue) (Rp) P = Harga Output/Price (Rp) Q = Jumlah Produksi / Quantity (kg).

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Potensi Pengembangan Nilam di Kabupaten Aceh Barat Kabupaten Aceh Barat memiliki wilayah seluas 2.927,95 km2 dan terdiri atas 12

k ecam at an y a i tu K ecam at an Jo h an P ahl aw an, Kecamatan Samatiga, Kecamatan Bubon, Kecamatan Arongan Lambalek, Kecamatan Woyla, Kecamatan Woyla Barat, Kecamatan Woyla Timur, Kecamatan Kaway XVI, Kecamatan Meureubo, Kecamatan Pante Ceureumeun, Kecamatan Sungai Mas, dan Kecamatan Panton Reu. Kecamatan terluas adalah Sungai Mas yang menempati 26,70% dari wilayah Aceh Barat. Daerah ini sebagian besar masih berupa hutan. Sedangkan kecamatan terkecil adalah Johan Pahlawan yang merupakan ibukota Kabupaten Aceh Barat. Luas Kecamatan ini hanya 44,91 km² atau hanya 1,53% dari luas Kabupaten Aceh Barat.

Perekonomian Kabupaten Aceh Barat juga di dominasi sektor perkebunan terutama usaha perkebunan kelapa sawit, karet, dan kakao. Kontribusi komoditi ini relatif besar dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Kawasan perkebunan yang ada di Kabupaten Aceh Barat umumnya berupa perkebunan kelapa sawit, karet, kebun campuran dan usaha perkebunan yang dikuasai oleh masyarakat umum dan pihak swasta. Berbeda dengan perkebunan besar, perkebunan campuran lebih banyak dikuasai rakyat, yang umumnya berada di sekitar kawasan permukiman perdesaan. Tabel 1 Perkembangan Luas Areal, Produksi, Produktivitas dan Jumlah Petani Perkebunan

Rakyat di Kabupaten Aceh Barat,Tahun 2016 No. Komoditi Luas Areal ( Ha ) Jumlah

(Ha) Produksi

(Ton) Produktivi

tas (Kg/Ha)

Jumlah Petani (KK)

TBM TM TR

1 Karet 7.599,52 15.232,95 2.587.00 25.419.47 16.756.25 1.100 22.909 2. Kelapa Sawit 3.932,60 4.671,40 404,00 9.008,00 32.699.80 7.000 8.185 3. Kakao 293,00 536,00 143,00 972,00 214,50 400 1.481 4. Pinang 93,00 632,50 44,00 769,50 316,00 500 930 5 Kopi 20,00 425,00 134,00 579,00 85,00 200 1.060 6. Lada 2,50 5,00 3,15 10,65 0,10 20 30 7. Kelapa

Dalam 358,50 2.546,40 358,50 3.263,40 1.273,20 500 2.859

8. Kelapa Hibrida

7,00 96,00 35,00 138,00 48,00 500 268

9. Kapuk/Randu 5,44 67,50 18,80 91,74 3,50 200 262 10. Pala 5,80 56,40 16,70 78,90 15,78 280 175 11 Sagu 72,00 117,96 10,50 200,46 29,49 250 394 12 Nilam 70,50 131,00 - 201,50 31,44 240 878

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Barat, 2016. Potensi perkebunan sangat mendukung sektor ekonomi masyarakat di wilayah

permukiman perdesaan, sehingga kawasan perkebunan campuran di wilayah ini akan

Page 152: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ellyta Effendy – Analisis Struktur Biaya Produksi dan Kesenjangan Pendapatan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

365

dipertahankan. Luas kawasan perkebunan besar ini ditetapkan seluas 54.363,04 Ha (19,67 %) sedangkan luas kawasan kebun campuran seluas 62.840,89 Ha (22,73 %). Dibandingkan tanaman perkebunan lainnya, areal penanaman nilam relatif sedikit hanya 201,50 hektar, mengindikasikan bahwa usahatani nilam merupakan kegiatan sampingan. Hal ini juga diperlihatkan oleh rendahnya produktivitas dan jumlah petani yang mengusahakan nilam (Tabel 1). Di sisi lain, tanaman nilam hanya dilakukan di tingkat petani dengan skala usahatani campuran dan belum ada investor atau pengusaha yang mengembangkan nilam dalam skala perusahaan.

Tabel 2 memperlihatkan bahwa tanaman nilam dikembangkan di seluruh kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat dengan produktivitas minyak nilam rata-rata 240 kg/Ha. Areal penanaman nilam yang terluas di Kecamatan Woyla Barat, sedangkan Kecamatan Kaway XVI menduduki posisi ketiga setelah Kecamatan Sungai Mas. Namun jumlah petani nilam lebih banyak di Kecamatan Woyla Barat dan Kecamatan Kaway XVI. Mengingat luasnya lahan yang digunakan untuk penanaman nilam maka sudah selayaknya kecamatan ini menjadi prioritas pengembangan nilam intensif dan teknologi penyulingan modern untuk mendapatkan kualitas minyak nilam yang lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan peningkatan devisa Negara.

Tanaman nilam memiliki potensi untuk dikembangkan yang didukung oleh ketersediaan lahan dan agroklimat yang sesuai dengan budidaya nilam. Disisi lain, adanya dukungan pemerintah seperti pengadaan bantuan bibit nilam, alat penyulingan minyak nilam, dan promosi minyak nilam pada event-event tertentu baik di tingkat nasional maupun internasional.Nilam Aceh memiliki kualitas minyak yang telah memenuhi standar dasar ekspor. Namun masih diperlukan teknik budidaya dan penerapan teknologi penyulingan yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas minyak nilam di tingkat petani sehingga dapat meningkatkan harga minyak nilam di tingkat petani yang sekaligus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Tabel 2. Perkembangan Luas Areal, Produksi, Produktivitas dan Jumlah Petani Nilam di

Kabupaten Aceh Barat,Tahun 2016

No. Kecamatan Luas Areal ( Ha ) Jumlah

(Ha)

Produksi

(Ton)

Produktivitas

(Kg/Ha)

Jumlah Petani (KK)

TBM TM TR

1 Johan Pahlawan 2,50 8,50 - 11,00 2,04 240 59 2. Kaway XVI 7,00 14,00 - 21,00 3,36 240 95 3. Meureubo 1,50 3,50 - 5,00 0,84 240 30 4. Pante Ceureumen 3,00 6,00 - 9,00 1,44 240 75 5 Samatiga 2,50 5,00 - 7,50 1,20 240 61 6. Bubon 5,00 8,00 - 13,00 1,92 240 42 7. Arongan

Lambalek 5,50 11,00 - 16,50 2,64 240 63

8. Woyla 7,00 11,00 - 18,00 2,64 240 69 9. Woyla Timur 5,00 7,00 - 12,00 1,68 240 88

10. Woyla Barat 22,00 28,00 - 50,00 6,72 240 136 11 Sungai Mas 5,50 23,00 - 28,50 5,52 240 95 12 Panton Rheu 4,00 6,00 - 10,00 1,44 240 65

Jumlah 70,50 131,00 - 201,50 31,44 240 878 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Barat, 2016.

Essential Oil Association of USA (EOA) menetapkan standar kualitas internasional untuk menggolongkan minyak nilam berdasarkan kategori wujud, warna, dan aroma. Berdasarkan bentuk, minyak nilam berwujud cairan kental, sedangkan warnanya kuning muda

Page 153: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

366 JEPA, 3 (2), 2019: 360-374

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

dan bernuasa hijau hingga merah yang menjurus ke coklat tua. Aroma spesifik nilam mirip jeruk nipis atau kamfer. Minyak ini mengandung coerulein, persenyawaan biru terang yang terdapat dalam matricaria, worm wood, dan minyak lainnya. Minyak nilam mengandung beberapa senyawa antara lain benzaldehid 2,34%, kariofilen 17,29%, patchoulien 28,28%, buenesen 11,76%, dan PA 40,04%. Untuk itu perlu dilakukan pengujian laboratorium dari PT. Sucofindo Indonesia, sebagai suatu lembaga resmi dari pihak pemerintah yang diakui oleh dunia (Mangun, 2005).

Produksi tanaman nilam tergantung sekali pada varietas yang ditanam, keadaan tanah, dan pertumbuhan tanaman. Menurut Nuryani et al . (2004), salah satu usaha untuk meningkatkan produksi dan mutu minyak nilam adalah melalui perbaikan bahan genetik. Nilam Aceh varietas Lhokseumawe mengandung kadar minyak 3,21%, lebih besar dibanding varietas Tapak Tuan dan Sidikalang. Namun produksi minyak per hektar pada varietas Tapak Tuan (3,76 kg/ha/tahun) lebih tinggi dibanding varietas lainnya dari Nilam Aceh (Tabel 3). Tabel 3 Produksi terna, Kadar, Minyak, dan Produksi Minyak Tiga Varietas Nilam

Varietas Produksi Terna (Kg kering/ha/thn)

Kadar Minyak (%)

Produksi Minyak (Kg.ha/tahun)

Lhokseumawe 11,087 3,21 356 Tapak Tuan 13,237 2,83 376 Sidikalang 10,902 2,89 315

Sumber: Indrawanto dan Syakir (2008). Pada tahun 2016, luas panen nilam di Kabupaten Aceh Barat berkisar 131 ha,

penanaman nilam diperoleh produksi minyak nilam sebanyak 46.636 kg dan potensi minyak nilam sebesar 71.734 kg, sedangkan Kabupaten Aceh Jaya dengan areal panen seluas 146 ha diperoleh produksi nilam sebanyak 51.976 kg dan potensi minyak nilam sebesar 81.880 kg. Potensi Pengembangan Nilam di Kabupaten Aceh Jaya

Kabupaten Aceh Jaya dengan ibukota kabupaten yaitu Calang, menjadi daerah otonom setelah memekarkan diri dari Kabupaten Aceh Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Aceh Narat Daya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Tamiang di Provinsi Aceh. Luas wilayah Kabupaten Aceh Jaya adalah 3.814 Km2 dan terbagi atas 9 kecamatan, 21 mukim dan 172 desa. Kecamatan Setia Bakti merupakan kecamayan terluas dengan luas wilayah sekitar 629 Km2 atau sekitar 16 persen dari luas wilayah kabupaten. Sementara itu Kecamatan Teunom mempunyai luas wilayah terkecil yaitu 141 km2 atau sekitar 4 persen dari wilayah kabupaten. Sedangkan 7 kecamatan lainnya mempunyai luas wilayah yang berkisar antara 8 hingga 15 persen dari total wilayah kecamatan.

Kabupaten Aceh Jaya merupakan wilayah pesisir barat pantai Sumatera dengan panjang garis pantai + 160 km. Kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan 2000 pada tahun 2016 sebesar Rp. 507,596,1 lebih tinggi dibanding sektor lainnya. Kontribusi sub sektor perkebunan bagi perekonomian kabupaten relatif besar, berkisar 30,3 persen, yang didominasi oleh perkebunan kelapa sawit dengan areal tanamn seluas 15.799 Ha dan produksi sbesar 83.779 ton yang dihasilkan baik dari perkebunan besar maupun perkebunan rakyat. Luas penanaman nilam adalah 198 Ha dengan produksi sebanyak 27 ton dan produktivitas sebesar 118 ton/Ha (Tabel 4). Tabel 4 Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Perkebunan Rakyat Kabupaten Aceh Jaya, Tahun 2016

Page 154: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ellyta Effendy – Analisis Struktur Biaya Produksi dan Kesenjangan Pendapatan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

367

No. Komoditi Luas/Area (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

1 Kelapa Dalam 6.034 2.274 856 2 Kelapa Sawit 15.799 83.779 12.375 3 Karet 13.978 5.369 1.022 4 Kakao 1.167 177 702 5 Kopi 1.914 302 536 6 Pinang 835 172 400 7 Pala 331 23 280 8 Cengkeh 592 12 400 9 Kapuk - - -

10 Sagu 230 81 837 11 Aren 25 8 615 12 Nilam 230 43 297

Total 41.243 92.224 181,41 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Jaya, Tahun 2017.

Adanya penurunan luas areal dan jumlah petani nilam selama kurun waktu tahun 2013 – 2016 dan produksi nilam berfluktuasi. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya intensitas penanaman nilam akibat penurunan harga minyak nilam di tingkat petani dan tingginya serangan penyakit budog pada tanaman nilam sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Perkembangan Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Nilam di Kabupaten Aceh

Jaya, tahun 2013-2016

Tahun Luas Areal ( Ha ) Jumlah (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Kg/Ha)

Jumlah Petani (KK) TBM TM TR

2013 500 342 0 842 35 103 1.285 2014 262 158 0 420 16 103 611 2015 244 173 0 417 19 107 611 2016 84 146 0 230 43 297 611

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Jaya, 2016.

Penanaman nilam tersebar pada 9 kecamatan di Kabupaten Aceh Jaya. Kecamatan Panga merupakan wilyah penanaman nilam terbesar di Kabupaten Aceh Jaya dengan lahan panen seluas 52 ha menghasilkan produksi sebesar 12 ton dan produktivitas nilam sebesar 300 kg/ha. Kecamatan Jaya dan Indra Jaya menduduki posisi kedua dalam penanaman nilam. Jumlah petani nilam di Kabupaten Aceh Jaya berkisar 611 kk (Tabel 6). .

Page 155: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

368 JEPA, 3 (2), 2019: 360-374

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 6 Perkembangan Luas Areal, Produksi, Produktivitas dan Jumlah Petani Nilam di Kabupaten Aceh Jaya,Tahun 2016

No. Kecamatan Luas Areal ( Ha ) Jumlah (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Kg/Ha)

Jumlah Petani (KK) TBM TM TR

1 Teunom 2 14 0 2 4 290 70 2. Panga 12 52 0 12 16 300 80 3. Krueng Sabe 12 16 0 12 5 290 66 4. Setia Bakti 5 2 0 5 1 300 76 5 Sampoiniet 2 3 0 2 1 300 86 6. Jaya 24 19 0 24 6 300 60 7. Indra Jaya 7 9 0 7 3 300 30 8. Darul

Hikmah 22 18 0 11 5 300 72

9. Pasie Raya 9 13 0 9 4 290 71 Jumlah 84 146 0 84 43 297 611

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Jaya, 2016. Struktur Biaya Produksi

Struktur biaya produksi nilam terdiri dari biaya usahatani dan biaya penyulingan minyak nilam. Biaya produksi meliputi biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan pada usahatani nilam dan penyulingan minyak nilam (biaya yang berlaku di lokasi penelitian). Biaya tetap meliputi sewa lahan dan penyusutan peralatan. Sedangkan biaya variabel meliputi biaya bibit dan upah tenaga kerja.

Pengeluaran biaya tetap yang paling tinggi adalah sewa lahan sebesar Rp. 1.000.000 per proses produksi. Lahan yang digunakan adalah lahan tegalan yang berjarak sekitar 2 m – 4 m dari perumahan penduduk. Jumlah biaya tetap yang dikeluarkan pada usahatani nilam sebesar Rp. 1.047.250 per proses produksi (Tabel 7). Tabel 7 Sewa Lahan dan Penggunaan Peralatan pada Usahatani Nilam Aceh per Hektar per

Proses Produksi

Uraian Jumlah Satuan Harga Satuan

Jumlah Biaya

Umur Ekonomis (Tahun)

Penyusutan (Rp/pp)

Sewa Lahan 1 Hektar 1.000.000 1.000.000 1.000.000 Cangkul 2 Unit 40.000 80.000 4 10.000 Sabit 1 Unit 30.000 30.000 5 3.000 Parang 1 Unit 30.000 30.000 5 3.000 Karung 9 Unit 5.000 45.000 1 22.500 Handsprayer 1 Unit 35.000 35.000 2 8.750

Jumlah 1.047.250 Sumber: Data primer (diolah), 2018.

Penggunaan biaya variabel hanya untuk pengadaan bibit nilam dan membayar upah tenaga kerja untuk kegiatan pengolahan lahan, penanaman, penyiangan, panen, dan penyulingan (Tabel 8). Kegiatan pengolahan lahan dilakukan secara borongan dengan taksiran upah Rp. 2.000.000 per hektar lahan. Umumnya petani tidak melakukan pemupukan. Penyiangan ditujukan untuk membersihkan tanaman nilam dari gulma, dan dilakukan setelah tanaman berumur 2 bulan atau saat tinggi tanaman mencapai 20-30 cm.

Page 156: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ellyta Effendy – Analisis Struktur Biaya Produksi dan Kesenjangan Pendapatan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

369

Tabel 8 Pengunaan Sarana Produksi pada Usahatani Nilam Aceh per Hektar per Proses Produksi

Uraian Jumlah Satuan Harga Satuan (Rp/satuan)

Biaya (Rp)

Bibit 10.000 Batang 200 2.000.000 Upah tenaga kerja - Pengolahan lahan - Penanaman - Penyiangan - Panen - Penyulingan

1

10.000 2 9 1

ha

Batang kali

karung pp

2.000.000

100 200.000 25.000

150.000

2.000.000 1.000.000

400.000 225.000 150.000

Jumlah 5.775.000 Sumber: Data primer (diolah), 2018.

Upah pemanenan dihitung berdasarkan jumlah produksi daun nilam basah, dengan upah sebesar Rp. 25.000 per karung. 1 karung berisi 25 kg daun nilam basah. Dalam 1 hektar lahan, rata-rata daun nilam basah yang dihasilkan sebanyak 224 kg atau 9 karung, maka upah tenaga kerja pemanenan sebesar Rp. 225.000 per proses produksi. Upah penyulingan ditetapkan sebesar Rp. 100.000 per 50 kg minyak nilam sehingga upah penyulingan minyak nilam sebesar Rp 150.000.

Biaya produksi yang dikeluarkan petani pada usahatani nilam sebesar Rp. 6.822.250 per hektar yang terdiri dari biaya tetap sebesar Rp. 1.047.000 dan biaya variabel sebesar Rp. 5.775.000 (Tabel 9). Pujianto (2012) menyatakan bahwa biaya usaha penyulingan minyak nilam pada tahun 2011 sebesar Rp. 2.359.672.735,5 yang terbagi menjadi biaya tetap sebesar Rp. 59.620.735,5 dan biaya variabel sebesar Rp. 800.149.264,5 sehingga provitabilitas dari usaha ini sebesar 33,90%. Tabel 9 Rekapitulasi Biaya Produksi pada Usahatani Nilam per Hektar per Proses Produksi

Uraian Satuan Jumlah Biaya Biaya Tetap • Sewa lahan Rp 1.000.000 • Peralatan Rp 47.250 Jumlah Rp 1.047.250 Biaya Variabel • Bibit Rp 2.000.000 • Tenaga kerja Rp 3.775.000 Jumlah 5.775.000

Total Rp 6.822.250 Sumber: Data primer (diolah), 2018. Fluktuasi Harga Minyak Nilam Petani

Fluktuasi harga minyak nilam mendasari keputusan petani dalam membudidayakan nilam. Hal ini akan mempengaruhi ketersediaan minyak nilam di pasar internasional. Petani cenderung melakukan usahatani nilam disaat harga minyak nilam tinggi, sebaliknya petani tidak melakukan usahatani nilam disaat harga minyak nilam menurun. Kualitas minyak nilam yang tidak seragam dan tidak terstandarisasi menyebabkan harga jual minyak nilam di tingkat petani relatif rendah meskipun permintaan minyak nilam di pasar internasional relatif meningkat setiap tahunnya Permintaan minyak nilam di pasar domestik relatif kecil.

Page 157: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

370 JEPA, 3 (2), 2019: 360-374

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Fluktuasi harga minyak nilam menjadi masalah yang sulit dikendalikan. Pada tahun 2010, harga minyak nilam berkisar antara Rp. 270.000/kg hingga Rp. 500.000/kg, menurun menjadi Rp. 350.000/kg hingga Rp. 400.000/kg pada tahun 2011, namun tahun 2012 terjadi peningkatan harga yaitu Rp. 450.000/kg, selanjutnya menurun kembali Rp. 300.000/kg hingga Rp. 350.000/kg pada tahun 2013 (Setiawan dan Rosman, 2013). Pada tahun 2015, hanya minyak nilam mengalami penurunan tajam pada bulan September hingga Oktober dan meningkat lagi pada bulan Nopember hingga Desember. Pada tahun 2016, peningkatan harga minyak nilam hanya terjadi pada bulan April, selanjutnya menurun hingga pada tingkat harga Rp. 600.000/kg hingga bulan Desember (Gambar 1).

Gambar 1 Fluktuasi harga minyak nilam di Tingkat Petani, Tahun 2015-2016. Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Barat, 2017.

Kebutuhan minyak nilam akan terus meningkat sejalan dengan kenaikan konsumsi terhadap produk parfum, kosmetika, sabun bahkan telah berkembang untuk produk tembakau dan minyak rambut. Dengan adanya kebutuhan tersebut, menyebabkan prospek ekspor minyak nilam di masa datang masih cukup besar sejalan dengan semakin tingginya permintaan terhadap parfum dan kosmetika, trend mode dan belum berkembangnya materi subsitusi minyak nilam di dalam industri parfum maupun kosmetika (Supriadi, et. al., 2011).

Mengingat prospek pasar minyak nilam yang tinggi di pasar internasional dan mengantisipasi kemungkinan penurunan harga minyak nilam di tingkat petani, maka hendaknya pemerintah daerah dapat mengembangkan nilam Aceh dengan melakukan inovasi pengolahan produk turunan berbasis miyak nilam. Pengembangan komoditas nilam merupakan langkah strategis dalam menumbuh-kembangkan sektor agroindustri, seperti sabun nilam, balsem nilam, dan minyak wangi. Indonesia memiliki potensi pasar dalam negeri yang cukup besar untuk membangun industry flavor dan fragrance, sehingga pasar minyak atsiri tidak tergantung dengan pasar ekspor, tetapi tercipta kebutuhan dalam negeri.

Meskipun nilam Aceh berkontribusi dalam peningkatan devisa Negara, namun pengembangan nilam Aceh belum mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan antara lain adalah; (1) budidaya nilam hanya merupakan usaha sampingan sehingga perawatan kurang maksimal, (2) pola budidaya bersifat campuran, tidak intensif, (3) kualitas minyak nilam rendah yang berakibat rendahnya harga di tingkat petani meskipun

520000540000560000580000600000620000640000660000680000700000

Maret Apr

il MeiJuni Juli

Agustus

September

Oktober

Nopember

DesemberMa

ret April Me

iJuni Juli

Agustus

September

Oktober

Nopember

Desember

HargaMinyakNilamTingkatPetani(Rp/kg)

Page 158: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ellyta Effendy – Analisis Struktur Biaya Produksi dan Kesenjangan Pendapatan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

371

terjadi kenaikan harga ekspor minyak nilam di pasar internasional, (4) permintaan domestik relatif sedikit karena belum berkembangnya agroidustri minyak nilam olahan, (5) Tidak ada perbedaan harga minyak nilam berdasar kualitas minyak di tingkat pengumpul sehingga berakibat tidak ada upaya pemisahan minyak nilam berdasar kualitas, (6) petani tidak mampu mengakses kredit untuk permodalan dari pihak perbankan dan tidak ada lembaga keuangan mikro, (7) Teknologi penyulingan masih sederhana dan masih ada yang menggunakan drum baja yang menyebabkan kualitas minyak nilam rendah.

Kesenjangan Pendapatan

Pemanenan nilam dilakukan setelah tanaman berumur 6 bulan, selanjutnya dapat dilakukan pemanenan setiap 2-3 bulan, sehingga selama setahun penanaman, tanaman nilam dapat dipanen minimal 3 kali. Pada tahun berikutnya dapat dilakukan pemanenan 4 – 5 kali dalam setahun. Umumnya petani di lokasi penelitian melakukan pemanenan setelah tanaman nilam berumur 6 bulan setelah tanam, dan dipanen dengan cara mencabut tanaman beserta akarnya karena semua bagian dari tanaman nilam (daun, cabang, dan batang nilam) dapat diolah menjadi minyak nilam.

Tabel 10 Analisis Pendapatan pada Usahatani Nilam per Hektar per Tahun

Uraian Satuan Harga Satuan Produksi daun nilam basah Kg 297 Produksi daun nilam kering Kg 74,25 Produksi minyak nilam Kg 140 Harga Jual Rp/Kg 430.000 Penerimaan Rp 60.200.000 Biaya Produksi Rp. 6.822.250 Pendapatan Rp 53.377.750

Sumber: Data primer (diolah), 2018. Rata-rata hasil panen berkisar 297 kg daun basah atau 74,25 kg daun kering per hektar

(25% dari daun basah) dalam satu kali panen (Tabel 10). Penggunaan alat penyuling dalam pengolahan akan menentukan kualitas minyak nilam dan akan mempengaruhi harga minyak nilam. Harga minyak nilam dari hasil pengolahan dengan alat penyuling stainless steel berkisar Rp. 450.000/kg, sedangkan minyak nilam yang dihasilkan dari alat penyuling sederhana dapat dijual dengan harga Rp. 430.000/kg.

Pemakaian bahan konstruksi stainless steel, dapat menghasilkan minyak nilam yang sesuai standar kualitas (Harunsyah, 2012). Harga minyak nilam di pasar domestik dipengaruhi oleh harga minyak nilam di pasar internasional. Indonesia mensuplai 80-90% minyak nilam di pasar dunia. Volume ekspor minyak nilam semakin meningkat setiap tahunnya sebesar 6% selama 10 tahun terakhir dan permintaan minyak nilam di pasar internasional tiap tahunnya adalah antara 1200-1400 ton dan volume itu cenderung terus meningkat, sementara produksi yang tersedia baru mencapai 1.000 ton per tahun (Vijayakumar, 2009 dan Bioengineering Institute (BEI), 2006). Hal ini menyebabkan harga minyak nilam di pasar internasional relatif meningkat setiap tahunnya.

Rendemen minyak nilam dari daun kering yang disuling dalam satu tahun akan diperoleh minyak nilam sebanyak 140 kg (2,5% dari daun nilam kering). Harga minyak nilam di tingkat petani (saat penelitian dilakukan) berkisar Rp. 430.000/kg, ditingkat pedagang pengumpul berkisar Rp. 520.000/kg, dan di tingkat Koperasi KINA sebesar Rp. 520.000/kg. Penerimaan petani nilam berkisar Rp. 60.200.000 per hektar. Pengeluaran biaya produksi

Page 159: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

372 JEPA, 3 (2), 2019: 360-374

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

sebesar Rp. 6.772.250 sehingga pendapatan yang diterima petani nilam Aceh sebesar Rp. 53.377.750 per hektar.

Jika harga jual minyak nilam di tingkat petani sebesar Rp. 680.000 maka diperkirakan keuntungan petani berkisar Rp. 88.377.750. Penurunan harga minyak nilam sebesar 58,14% mengakibatkan terjadi penurunan pendapatan petani nilam sebesar 65,57%.

Beberapa penyebab rendahnya produksi dan kualitas minyak nilam Aceh pada sub sistem agro-input adalah (1) sulit mendapatkan bibit unggul dan tersertifikasi, (2) sulit atau belum tersedianya pupuk orgnaik, dan (3) belum tersedianya biopestisida yang dapat mengantisipasi penyakit nilam. Sedangkan permasalahan pada sub sistem agroproduksi antara lain: (1) sistim penanaman berpindah (shifting cultivation), (2) pola tanam dan panen masih secara tradisional, (3) pengendalian hama dan penyait sulit dilakukan, (4) lokasi kebun tersebar. Permasalahan pada pasca panen antara lain: (1) kondisi pengeringan (daun nilam) tidak seragam tergantung pada cahaya matahari, (2) tempat penyimpanan terna (daun dan ranting nilam kering) kurang baik dan kotor, (3) alat penyulingan (ketel) terbuat dari drum bekas sehingga menghasilkan minyak nilam yang kotor (berkualitas rendah), (4) air yang digunakan untuk menghasilkan steam (uap panas) banyak mengandung zat pencemar. Salah satu masalah utama industri minyak nilam Aceh adalah produktivitas dan kualitas minyak nilam yang rendah akibat desain reaktor (ketel penyulingan) yang boros energi. Minyak yang dihasilkan dari reaktor ini hanya 1%-2% dari terna (daun, cabang, dan batang nilam kering) dengan kandungan PA (Patchoulli Alkohol) rata-rata 28%, kandungan asma yang tinggi, berbau gosong serta kandungan pengotor yang tinggi (Nuryani, 2006). Kualitas yang rendah ini menyebabkan harga jua minyak nilam masyarakat relatif murah dan tidak bias digunakan langsung oleh industri produk turunan minyak nilam seperti industri parfum, kosmetika, aroma terapi dan lain-lain tanpa proses pengolahan lanjutan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan Nilam Aceh adalah tidak stabilnya

produksi maupun kualitas. Rendahnya teknologi budidaya dan pengolahan nilam menyebabkan kualitas minyak nilam rendah dan beragam (tidak terstandarisasi) dan me

2. Fluktuasi harga minyak nilam yang ditentukan oleh kualitas minyak nilam dan permintaan pasar berpengaruh dominan terhadap perkembangan produksi dan produktivitas minyak Aceh dan menyebabkan terjadinya kesenjangan pendapatan petani nilam Aceh.

3. Penerimaan petani nilam Aceh berkisar Rp. 60.200.000 per hektar dengan rata-rata produksi daun basah sebanyak 297 kg, daun nilam kering sebanyak 74,25 kg, dan harga minyak nilam ditingkat petani berkisar Rp 430.000/kg. Pengeluaran biaya produksi sebesar Rp. 6.822.250 per hektar sehingga pendapatan yang diterima petani nilam Aceh sebesar Rp. 53.377.750 per hektar.

4. Penurunan harga minyak nilam sebesar 58,14% mengakibatkan terjadi penurunan pendapatan petani nilam sebesar 65,57%.

Saran

1. Guna mengantisipasi fluktuasi harga minyak nilam di tingkat petani maka diperlukan komitmen dan integritas bersama untuk menciptakan standarisasi minyak nilam melalui hak paten nilam Aceh.

Page 160: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ellyta Effendy – Analisis Struktur Biaya Produksi dan Kesenjangan Pendapatan ............................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

373

2. Diperlukan pengawasan dan pembinaan pada tingkat agroindustri minyak nilam dan mengembangkan jaringan kemitraan industri berbahan baku minyak nilam untuk meminimalisir resiko fluktuasi harga minyak nilam di tingkat petani dan meningkatkan pendapatan petani nilam Aceh.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia. 2011. Karakteristik Tanaman Nilam Di Indonesia. Bunga Rampai Nilam (Pogostemon cablin Benth). Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Kementerian Pertanian. Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Ekspor. Buku I. Badan Pusat Statistik Jakarta. 19 hal.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Aceh Dalam Angka 2010. BPS. Provinsi Aceh. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Barat, 2017. Laporan Tahunan. Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Barat. Meulaboh. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017. Djiwanti, S.R., and Y. Momota, 1991. Parasitic nematodes associated with patchouli diseases

in West Java. Industrial Crop research Journal. 3(2): 31-34. Gustiyana. 2003. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. 206 p. Hadipoetyanti, E dan Sukamto. 2006. Prospek Pengembangan Beberapa Tanaman Penghasil

Minyak Atsiri Baru dan Potensi Pasar. Program Aromatik. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Kementerian Pertanian. Bogor.

Hobir dan Sofyan, R., 2002. Diversifikasi ragam dan peningkatan mutu minyak atsiri. Makalah pada ”Workshop Nasional Minyak Atsiri” di Cipayung. Dep. Perindustrian dan Perdagangan. 22h.

Ilham. 2013. Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Bawang Goreng pada UMKM Usaha Bersama di Desa Bolupountu Jaya Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi. e-J. Agrotekbis 1(3): 301-306.

Kemala, S., C. Indrawanto dan L. Mauludi, 1999. Peluang pasar dan potensi pengembangan minyak atsiri Indonesia. Edsus. Littro. 1(1): 5-10.

Kiyohara, H., Ichino, C., Kawamura, Y., Nagai, T., Sato, N., dan Yamada, H., 2012, , J. Nat. Med. 66(1): 55-61.

Lutony, TL dan Rahmayati, Y. 2002. Minyak Atsiri. Penebar Swadaya. Jakarta. Manurung TR. 2002. Peluang dan Hambatan Dalam Peningkatan Ekspor MInyak Atsiri.

Workshop Nasional Minyak Atsiri. Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah. P. 1-7.

Mubyarto. 1994. Pengantar ekonomi pertanian. Edisi Ketiga. LP3ES, Jakarta. Mulyodihardjo S. 1990. Program pengembangan penanaman atsiri di Sumatera. Prosiding

Komunikasi Ilmiah Pengembangan Atsiri di Sumatera – Balittro. Mustika, I dan Y. Nuryani. 2006. Strategi Pengendalian Nematode Parasit Pada Tanaman

Nilam. Jurnal Litbang Pertanian 25(1): 7 – 15.

Page 161: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

374 JEPA, 3 (2), 2019: 360-374

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Nuryani, Y. 2006. Karakterisasi Empat Aksesi Nilam. Buletin Plasma Nutfah.12(2): 45 – 49. Rosman, R. 2012. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Status Teknologi Hasil

Penelitian Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.

Rusli, S dan Hobir. 1990. Hasil penelitian dan pengembangan tanaman minyak atsiri. Simposium I. Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Puslitbang Tanaman Industri – Bogor.

Sari dan Hartono. 2010. Analisis Dinamika Ekspor Minyak Nilam Indonesia ke Amerika Serikat. Jurnal Agro Ekonomi. 17(1): 19-28

Setiawan dan Rosman, R. 2013. Balittro. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 19(3). Desember 2013.

Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES, Jakarta. Sitepu, D an a. Asman. 1991. Laporan observasi penyakit nilam di Sumatera Barat. Balai

Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.

Sudarman. 2001. Teori ekonomi mikro I. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta. Sugiarto dan Sulisttyo E., 2010, Ampas Penyulingan Nilam Sebagai Bahan Bakar. Alternatif

Pada Proses Produksi Minyak Nilam, Jurnal Rekayasa Mesin. 1(2): 27-34. Sumangat, D., Risfaheri, 1998. Standar dan Masalah Mutu Minyak Nilam Indonesia. Monograf

Nilam 5: 108 – 115. Supriadi, Karden Mulya dan Djiman Sitepu, 2000. Strategy for controlling wilt diseases of

ginger caused by Pseudomonas solanacearum. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19 (3) : 106-111.

Tjakrawiralaksana, A. (1983). Usahatani. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Tuti Tutuarima, Hari Soesanto, Meika S Rusli, Erliza Noor, 2008, Perbaikan Disain Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri. Surabaya.

Unteawati B., Noer I., dan Rofiq M. 2012. Analisis Finansial Usaha Minyak Nilam. Jurnal Ilmiah ESAI. 6 (3) : 46-54.

Yuhono, JT. (2014). Strategi Peningkatan Rendemen dan Mutu Minyak Dalam Agribisnis Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.

Page 162: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 375-383

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.13

ANALISIS EFEKTIVITAS JASA PERGUDANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN SISTEM RESI GUDANG DI DESA RENGGING, KECAMATAN PECANGAAN,

KABUPATEN JEPARA

ANALYSIS OF THE EFFECTIVITY OF AGRICULTURAL PRODUCTION WAREHOUSE SERVICES WITH WAREHOUSE RECEIPT SYSTEMS IN RENGGING

VILLAGE, PECANGAAN DISTRICT, JEPARA REGENCY

Bantar Anggitasari*, Bambang Mulyatno Setiawan, Djoko Sumardjono Universitas Diponegoro

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Problems often faced by farmers are low agricultural commodity prices during the main harvest season. The government issued a marketing scheme, namely the Warehouse Receipt System (WRS).The purpose of this research was to analyze: (1) the effectivity of Warehouse Receipt System (WRS) warehouse implementation in terms of WRS warehouse location (right location), (2) in terms of storage costs (right price), (3) in terms of it’s time (right time), (4) in terms of commodity quality (right quality), (5) in terms of commodity quantity (right quantity). This research used a census method that is how to collect data with the distribution of all elements of the population one by one. Respondents who used were WRS participants during 2015 - 2017 they were 9 people consist of farmers and grain traders. The analysis process used was analysis with descriptive and inferential analysis. The statistical analysis used was the frequency table and distribution and the difference test between expectations and facts. The method of analyzing the effectivity of WRS implementation in terms of warehouse location, terms of store price, in terms of storage time, in terms of grain quality and quantity of grain stored was by one sample t test and paired sample t test. The results of the study shown that of the 5 variables that exist, there were 4 variables were appropriate, they were location, price, time and quality, only 1 variable that was not appropriate, named quantity. The implementation of SRG in the Jepara Rengging Village in 2015-2017 has been effective.

Keywords: Warehouse Receipt System, grain, implementation, effectivity.

ABSTRAK

Permasalahan yang sering dihadapi petani yaitu harga komoditas pertanian yang rendah pada musim panen raya. Pemerintah mengeluarkan trobosan skema pemasaran yaitu Sistem Resi Gudang (SRG). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) efektivitas pelaksanaan jasa pergudangan SRG dari segi letak gudang SRG (tepat lokasi), (2) efektivitas dari segi biaya penyimpanan (tepat harga), (3) efektivitas dari segi waktu jatuh tempo (tepat waktu), (4) efektivitas dari segi kualitas komoditas (tepat kualitas), (5) efektivitas dari segi kuantitas komoditas (tepat kuantitas). Penelitian ini menggunakan metode sensus yaitu cara pengumpulan data dengan menyelidiki seluruh elemen populasi satu persatu. Responden yang digunakan yaitu peserta SRG selama tahun 2015 – 2017 sebanyak 9 orang yang terdiri dari petani dan pedagang gabah. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis kuantitatif dengan analisis stastik deskriptif dan inferensial. Analisis stastistik yang digunakan yaitu tabel frekuensi dan distribusi serta dengan uji beda untuk mengetahui antara harapan dan kenyataan. Metode analisis

Page 163: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

376 JEPA, 3 (2), 2019: 375-383

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

efektivitas pelaksanaan SRG dari segi lokasi gudang, segi harga simpan, dari segi waktu penyimpanan, dari segi kualitas gabah dan kuantitas gabah yang disimpan adalah dengan uji one sample t test dan paired sample t test. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dari 5 variabel yang diuji, terdapat 4 variabel yang menunjukkan nilai tepat yaitu lokasi, harga, waktu dan kualitas dan hanya 1 variabel yang tidak tepat yaitu kuantitas. Pelaksanaan SRG di Desa Rengging Jepara pada tahun 2015 -2017 sudah efektif.

Kata kunci: Sistem Resi Gudang, gabah, pelaksanaan, efektivitas

PENDAHULUAN

Pertanian merupakan sektor andalan dalam perekonomian Indonesia. Kehidupan sosial-ekonomi petani masih tertinggal walaupun petani merupakan pelaku utama dalam pertanian. Permasalahan yang sering dihadapi petani yaitu harga komoditas pertanian yang rendah pada musim panen raya. Anjloknya harga karena panen raya ini, secara teori petani dapat melakukan tunda jual. Namun, sebagian besar petani lebih memilih untuk menjual memenuhi kebutuhan dan sebagai modal selanjutnya tanpa disimpan dahulu. Kepemilikan modal juga merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh petani. Modal digunakan petani untuk menjalankan usahatani berikutnya serta untuk kebutuhan hidupnya (Waskito, 2016).

Berdasarkan permasalahan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah berupaya mengatasi anjloknya harga dan keterjaminan modal bagi petani dengan mengeluarkan trobosan skema pemasaran yaitu Sistem Resi Gudang (SRG). Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berhubungan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan dan penyelesaian transaksi Resi Gudang. Sedangkan Resi Gudang merupakan dokumen bukti penyimpanan barang dan dapat dialihkan atau diperjual belikan yang diterbitkan oleh pengurus gudang. Penerapan SRG yaitu, petani dapat menyimpan komoditasnya dan menunda waktu jualnya saat panen raya untuk menunggu waktu yang tepat agar memperoleh harga yang lebih baik. Pemilik Resi Gudang dapat memperoleh kredit dari bank yang mendapat subsidi dari pemerintah dengan jaminan komoditas yang disimpan. Hadirnya konsep SRG diharapkan mampu memotivasi para petani dalam mengembangkan usaha pertanian mereka (Widiyani, 2014).

Bappebti telah berkerjasama dengan pemerintah daerah sehingga sekarang gudang SRG sudah tersebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah Kabupaten Jepara mendirikan sebuah gudang SRG untuk para petani atau pelaku usaha. Gudang ini sudah beroperasi sebagai gudang SRG sejak tahun 2011 dengan PT. Pertani sebagai pengelolanya. Sejak tahun 2011- sekarang gudang tersebut dimanfaatkan untuk komoditas gabah saja. Pengguna gudang SRG masih terhitung sedikit dilihat dari kuantitas gabah yang disimpan. Maka, dalam penelitian ini untuk meneliti apakah pelaksanaan program SRG di Kabupaten Jepara sudah efektif atau belum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) efektivitas pelaksanaan jasa pergudangan SRG dari segi letak gudang SRG (tepat lokasi), (2) efektivitas dari segi biaya penyimpanan (tepat harga), (3) efektivitas dari segi waktu jatuh tempo (tepat waktu), (4) efektivitas dari segi kualitas komoditas (tepat kualitas), (5) efektivitas dari segi kuantitas komoditas (tepat kuantitas).

Page 164: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Bantar Anggitasari – Analisis Efektivitas Jasa Pergudangan Hasil Pertanian .................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

377

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2017 di Desa Rengging,

Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara. Pemilihan lokasi dengan metode purposive (sengaja) karena gudang SRG di Desa Rengging yang sudah beroperasi sejak 2011 dan masih berjalan hingga sekarang. Metode penelitian yang akan digunakan yaitu metode sensus. Pengumpulan data penelitian diperoleh dengan cara mewawancarai pengurus SRG, pengguna SRG dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jepara. Penelitian ini menggunakan sampel para pengguna SRG di Desa Rengging selama tahun 2015 – 2017 sebanyak 9 orang.

Analisis efektivitas jasa pergudangan dari segi lokasi gudang penyimpanan dan dari segi biaya penyimpanan di gudang. Analisis ini dilakukan berdasarkan respons pengguna SRG dengan menghitung skor tiap variabel. Skor yang sudah didapat kemudian dihitung nilai ketepatannya sesuai dengan rumus dari Ekowati et al. (2011) sebagai berikut:

Nilai tepat = jumlah skor tepat

jumlah skor maksimum x 100%

Nilai yang sudah didapatkan kemudian dicocokkan dengan kategori penilian akhir dari Ekowati et al. (2011). Tabel 1. Kategori Penilaian Akhir Kinerja Lokasi dan Harga dari Pergudangan SRG. No. Nilai (%) Kategori 1. 00,00 – 25,00 Sangat tidak tepat 2. 25,01 – 50,00 Kurang tepat 3. 50,01 – 75,00 Cukup tepat 4. 75,01 – 100,00 Sangat tepat

Kemudian dilakukan uji Chi Square untuk mengetahui perbedaan antara nilai kenyataan dan nilai yang diharapkan, serta untuk memperkuat hasil analisis. Analisis efektivitas jasa pergudangan dari waktu penyimpanan. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan waktu simpan peserta SRG dengan jatah waktu simpan dan membandingkan harga jual sebelum sesudah menggunakan SRG. Kesesuaian jatuh tempo waktu simpan dilakukan uji One Sample T Test dan waktu simpan dalam menaikan harga jual dilakukan uji Paired Sample T Test. Analisis efektivitas jasa pergudangan dari kualitas komoditas di gudang menggunakan uji beda one sample t test. Analisis ini dilakukan yaitu menyesuaikan kualitas gabah yang disimpan dengan standar kualitas dari SRG. Standar kualitas yang diukur yaitu kadar air (14%) dan kadar hampa gabah (3%). Analisis efektivitas jasa pergudangan dari kuantitas komoditas di gudang menggunakan uji beda one sample t test. Analisis ini dilakukan yaitu menyesuaikan kuantitas gabah yang disimpan dengan target gudang SRG per tahun. Data yang digunakan yaitu data kuantitas gabah yang disimpan selama 3 tahun (tahun 2015 – 2017).

Page 165: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

378 JEPA, 3 (2), 2019: 375-383

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum lokasi penelitian

Jepara merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang beribukota di Jepara. Kabupaten Jepara secara administratif terdiri dari 16 kecamatan terbagi menjadi 183 desa dan 11 kelurahan. Luas Kabupaten Jepara yaitu 1.004,132 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 1.205.800 jiwa. Gudang SRG berada di Desa Rengging, Kecamatan Pecangaan, Desa Rengging termasuk daerah yang cukup luas, yang terdiri dari 21 RT dan 03 RW dengan jumlah penduduk sebanyak 6.134 jiwa. Batas wilayah Desa Rengging diapit oleh desa-desa lain, diantaranya:

- Sebelah utara : Desa Raguklampitan - Sebelah selatan : Desa Pulodarat - Sebelah barat : Desa Pecangaan Kulon, Desa Troso - Sebelah timur : Desa Gemulung

Tanah di Desa Rengging termasuk tanah yang subur dan berwarna merah, cocok untuk

ditanami oleh tanaman perkebunan, tidak cocok untuk tanaman oleh padi. Tanaman yang sering ditanam dan tumbuh di Desa Rengging yaitu durian, mangga, rambutan, pisang dan tanaman perkebunan lainnya. Karakteristik responden

Responden dalam penelitian ini yaitu peserta atau pengguna jasa pergudangan SRG selama tahun 2015 – 2017 sebanyak 9 orang yang berasal dari desa dan kecamatan yang berbeda. Karakteristik responden pada penelitian ini yang digunakan yaitu usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, lama bertani, jumlah anggota keluarga, luas lahan, dan rata-rata panen. Berdasakan umur responden pada penelitian ini memiliki umur yang beragam. Umur yang termuda yaitu umur 27 tahun dan yang paling tua yaitu umur 53 tahun dan termassuk umur produktif. Menurut Puti dan Setiawina (2013) bahwa umur produktif berkisar antara 15 – 64 tahun yang ideal untuk para pekerja. Semua responden berjenis kelamin pria, hal tersebut dikarenakan biasanya yang menjalankan pekerjaan bertani adalah oleh para pria. Sebagian sudah berkeluarga dan ada 1 responden dari 9 responden yang belum berkeluarga. Latar belakang pendidikan dari responden beragam mulai dari SMP hingga sarjana, pada penelitian ini yang dominan yaitu tamatan SMA. Jumlah anggota keluarga dari responden yang sudah berkeluarga antara 4 – 6 jumlah anggota keluarga. Luas lahan yang dimiliki oleh responden rata-rata antara 2 – 10 ha. Sebagian status kepemilikan lahan ada yang sewa dan tanah milik sendiri. Harga sewa lahan pertanian di sana berkisar antara 11 – 19 juta/ha/tahun. Responden pedagang tidak mengelola lahan sendiri karena mengumpulkan gabah dari petani lain. Rata-rata panen per hektar yang didapat dari responden yaitu antara 3 -10 ton/ha gabah basah. Hasil panen ini tergantung dari luas lahan dan kondisi musim ketika bercocok tanam. Sedangkan untuk pedagang hasil panen yang diperoleh berubah gabah tergantung dari jumlah yang didapat dari petani. Penerapan sistem resi gudang di rengging

Gudang SRG di Kabupaten Jepara dibangun oleh Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, yaitu melalui Bappebti pada tahun 2010 dan mulai beroperasi pada tahun 2011 dengan PT. Pertani sebagai pengelola gudangnya. Luas bangunan gudang SRG di Jepara yaitu

Page 166: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Bantar Anggitasari – Analisis Efektivitas Jasa Pergudangan Hasil Pertanian .................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

379

200 m2, luas tanah 27.416m2, dengan daya tampung 1.500 ton. Fasilitas yang ada di gudang diantaranya yaitu oven, blower 2 buah, 1 dryer, lantai jemur dan mesin jahit karung. Gudang SRG di Kabupaten Jepara diperuntukkan untuk menyimpan komoditas beras dan gabah, namun sejak tahun 2011 hingga sekarang gudang SRG Kabupaten Jepara baru dimanfaatkan untuk komoditas gabah. Sejak tahun 2011 sampai Desember 2016 sebanyak 40 resi dengan jumlah gabah 446,4 ton. Posisi gabah di gudang pada tahun 2016 sebanyak 122 ton 400 kg senilai Rp 1.158.900.000. Sedangakan pada posisi 31 Juli 2017 gabah di gudang hanya mencapai 55 ton. PT. Pertani bekerjasama dengan Sinarmas Syariah sebagai pihak asuransi. Hal pencairan Resi Gudang pihak PT Pertani berkerja sama dengan Bank Jateng cabang Jepara untuk memberikan kredit kepada peserta SRG. Pemilik Resi Gudang akan memperoleh kredit sebesar 70% dari nilai barang dengan maksimum pinjaman Rp 75 juta. Kredit jaminan Resi Gudang Bank Jateng kantor cabang Jepara merupakan kredit produktif yang mendapatkan subsidi dari pemerintah sebesar 6% karena ditujukan untuk petani atau kelompok tani. Kebanyakan dari responden hanya menyimpan tanpa mengambil pinjaman di gudang karena takut tidak bisa mengembalikannya. Efektivitas Sistem Resi Gudang Segi Lokasi Gudang

Efektivitas pelaksanaan SRG di Jepara dari segi lokasi gudang dianalisis dengan menilai ketepatan lokasi menurut presepsi masyarakat terutama pengguna jasa SRG. Indikator tepat lokasi yang dianalisis yaitu jarak dari rumah, jarak dari sentra produksi, tingkat kemudahan transportasi dan tingkat kemudahan jalan. Skor yang sudah didapat kemudian dimasukan ke rumus dan menghasilkan nilai tepat lokasi sebesar 84,02% nilai tersebut termasuk dalam kategori sangat tepat. Selanjutnya hasil uji chi square diperoleh nilai sig (1-tailed) sebesar 0,020. Hal ini menunjukkan H0 ditolak berarti peluang tepat lokasi lebih besar dari 50%, dimana hal ini dapat dikatakan dalam kategori tepat. Berdasarkan hasil dari analisis tersebut dapat dikatakan bahwa lokasi gudang SRG telah tepat.

Para peserta SRG berasal dari luar Desa Rengging mengatakan gudang tersebut mudah untuk diakses sehingga tidak menjadi kendala untuk menyimpan barangnya di gudang SRG. Hal ini didukung oleh pendapat Waskito (2016) yang menyatakan bahwa letak gudang yang strategis membuat gudang dapat diakses oleh berbagai sarana angkutan yang diperlukan dalam implementasi SRG. Letak gudang sudah strategis dapat dijangkau oleh peserta SRG yang rata-rata jarak tempuhya 10-20 km. Hal ini didukung oleh pendapat Suryani (2014) yang menyatakan bahwa untuk menghemat ongkos transpotasi PT. Pertani membatasi barang yang masuk ke gudang maksimal jarak lokasi sawah ke gudang yaitu 40 km, jika jaraknya lebih dapat menggunakan gudang PT. Pertani lainnya yang dekat. Efektivitas Sistem Resi Gudang Segi Harga Simpan Gudang

Efektivitas pelaksanaan jasa pergudangan SRG di Jepara dari segi harga simpan gudang dianalisis dengan menilai ketepatan harga simpan menurut presepsi dari pengguna jasa SRG. Indikator tepat harga simpan yang dianalisis yaitu perbandingan dengan harga gudang lain, kesesuaian dengan pelayanan, mudah dijangkau dan sesuai dengan harapan. Skor yang sudah didapat kemudian dimasukan ke rumus dan menghasilkan nilai tepat harga sebesar 63,36% nilai tersebut termasuk dalam kategori tepat. Selanjutnya hasil uji chi square diperoleh nilai sig (1-tailed) sebesar 0,317 dimana nilai ini lebih kecil dari 0,5 sehingga H0 ditolak dan Ha diterima, berarti bahwa peluang tepat harga lebih besar dari 50%, maka termasuk dalam kategori tepat. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa harga sewa sudah tepat. Biaya penyimpanan yang harus dibayarkan yaitu sebesar Rp 500 yang terdiri dari biaya simpan, uji mutu gabah, asuransi, biaya penjemuran, tenaga kerja, sak karung gabah bermuatan 50kg dan stampel untuk ditempal di karung. Biaya dibayarkan per 3 bulan jika ingin menyimpan selama 6 bulan harus membayar lagi. Selain biaya yang sudah ditetapkan, petani atau peserta

Page 167: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

380 JEPA, 3 (2), 2019: 375-383

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

SRG harus mengeluarkan ongkos transportasi. Semakin jauh jarak lahan ke gudang akan semakin mahal pula transportasi yang ditanggung oleh peserta SRG. Hal ini didukung oleh pendapat Suryani et al. (2014) yang menyatakan bahwa biaya berbanding lurus dengan, semakin jauh jarak sawah ke gudang maka semakin tinggi ongkos angkut. Petani dapat menghemat ongkos transport dengan dapat cara langsung mengeringkan komoditasnya menggunakan dryer yang tersedia sehingga dapat memotong transport dari lahan, tempat pengerigan dan ke gudang. Fasilitas gudang perlu diperbaiki atau ditingkatkan lagi untuk menunjang kebutuhkan dari peserta SRG sehingga biaya simpan gudang dapat ditekan. Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa para pengguna atau peserta SRG tidak merasa keberatan dengan biaya simpan gudang dan peserta SRG menyanggupi untuk membayarnya. Efektivitas Sistem Resi Gudang Segi Jatuh Tempo Pengembilan

Analisis efektivitas SRG Jepara dari segi waktu jatuh tempo dilakukan dengan menilai dua point utama yaitu, dinilai dari kesesuaian jatuh tempo waktu yang diberikan dan tunda jual yang dapat meningkatkan nilai jual. Tepat waktu yang dinilai dari waktu jatuh tempo dapat dikatakan tepat waktu jika peserta SRG tidak melebihi maksimal jatuh tempo yang diberikan yaitu 6 bulan. Hasil perhitungan uji beda one simple t test menghasilkan nilai sig (0,000) yang menunjukkan bahwa jatuh tempo pengambilan dari peserta SRG rata-rata dibawah waktu jatuh tempo yang ditentukan SRG, maka dapat dikatakan tepat. Peserta SRG menyimpan barangnya tidak lebih dari jatuh tempo yang diberikan yaitu rata-rata 3 bulan. Peserta SRG biasanya mengambil lebih awal atau tepat dari jatah waktu yang diberikan untuk dijual lagi demi memperoleh modal usaha kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat Widiyani (2014) yang menyatakan bahwa keterbatasan modal membuat petani tidak mungkin menyimpan lebih dari 6 bulan karena petani butuh modal di musim tanam selanjutnya. Penyimpanan barang di gudang SRG tidak dianjurkan melebihi waktu yang ditentukan karena akan terjadi penumpukan komoditas gudang, agar gudang sudah kosong saat musim panen berikutnya, menghindari kerusakan atau penyusutan gabah sekaligus menunggu waktu yang tepat ketika harga jual gabah tinggi.

Ketepatan waktu dinilai dari waktu tunda dalam menaikan harga jual dilakukan dengan membandingkan harga jual sebelum SRG dan sesudah SRG. Hasil perhitungan uji paired sample t test menghasilkan nilai sig (0,003) yang menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini berarti ada perbedaan harga jual sebelum dan sesudah menggunakan SRG dengan rata-rata harga jual lebih tinggi sesudah menggunakan SRG. Menurut Sawit (2011) bahwa harga gabah merosot rendah ketika musim panen raya dan akan meningkat setelah itu kemudian mencapai puncaknya pada musim paceklik. Adanya SRG dapat membantu petani dengan menyediakan gudang penyimpanan dan akses kredit untuk modal petani. Ketika komoditas disimpan di gudang, petani juga menunggu waktu yang tepat saat harga jual gabah tinggi. Efektivitas Sistem Resi Gudang Segi Kualitas Komoditas yang Disimpan

Efektivitas program SRG dari segi kualitas dilakukan dengan menyesuaikan kualitas gabah yang disimpan dengan standar dari SRG (SNI). Kriteria gabah yang dapat disimpan digudang yaitu harus memiliki kadar air tidak boleh lebih dari 14% dan kadar hampa tidak boleh lebih 3%. Hasil perhitungan uji beda one sample t test terhadap kadar air diperoleh nilai Sig (1-tailed) sebesar 0,0000001, hampa gabah diperoleh nilai Sig (1-tailed) sebesar 0,0011, dapat dikatakan bahwa rata-rata kadar air dan hampa gabah yang disimpan lebih kecil dari standar yang ditetapkan SRG (dikategorikan lebih tepat kualitas). Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan SRG dari segi kualitas sudah berjalan dengan tepat.

Page 168: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Bantar Anggitasari – Analisis Efektivitas Jasa Pergudangan Hasil Pertanian .................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

381

Pihak Gudang menetapkan standar gabah SNI yang aman disimpan 6 bulan yaitu gabah dengan kadar air maksimum 14% dan kadar kotorannya maksimum 3%. Para peserta SRG menyanggupi memenuhi kualitas yang sesuai standar yang ditetapkan meskipun masih terdapat kendala dalam mempertahankan kualitas yaitu tergantung dari cuaca dan lama pengeringan. Gabah yang segera dikeringkan kadar airnya dapat mencapai 13-14%. Jika musim hujan, petani biasanya menggunakan mesin pengering untuk mengeringkan gabah.

Peserta SRG yang menyimpan gabahnya di gudang SRG merasa aman karena komoditas yang disimpan di gudang SRG akan terjaga kualitasnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Khasanah (2016) yang menyatakan bahwa gabah yang masuk gudang SRG akan terjamin kualitasnya karena setiap komoditas yang masuk gudang melalui pengujian mutu dengan prosedur dan kriteria yang berlaku. Menyimpan komoditas digudang selain bertujuan untuk menjaga kualitasnya, namun juga mempermudah mengatur stoknya. Kualitas gabah juga menentukan harga jual gabah, kualitas gabah yang baik akan tinggi pula harga jual gabahnya. Efektivitas Sistem Resi Gudang Segi Kuantitas Komoditas yang Disimpan

Efektivitas pelaksanaan SRG dari segi kuantitas dilihat dari jumlah komoditas di gudang SRG, dikatakan tepat jika dapat memenuhi target kuota gudang yang ditentukan. Hasil uji beda one sample t test diperoleh nilai Sig (2-tailed) yaitu 0,008, sehingga H0 ditolak dan Ha diterima, dikatakan bahwa jumlah komoditas yang disimpan kecil dari target SRG (rata-rata lebih rendah dari target), tidak tepat kuantitas.

Gambar 1. Grafik jumlah gabah yang disimpan dengan target yang ditetapkan tahun

2015 – 2017.

Berdasarkan Gambar1 terlihat bahwa rata-rata komoditas yang disimpan di gudang tidak stabil atau tidak selalu tepat dengan target yang ditetapkan yaitu 100 ton/tahun, kecuali tahun 2016 yang diatas target yaitu 113,7 ton. Jumlah keseluruhan gabah yang disimpan dari tahun 2015-2017 yaitu 219,6 ton. Penyerapan kuantitas gabah yang sudah disimpan dengan target/tahun, kapasitas gudang dan produksi daerah dapat tersaji dalam Tabel 2.

tahun 2015 tahun 2016 tahun 2017capaian 50 113,7 55,9target 100 100 100

0

20

40

60

80

100

120

capaian target

Page 169: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

382 JEPA, 3 (2), 2019: 375-383

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 2. Penyerapan kuantitas berdasarkan target, kapasitas gudang dan total produksi daerah.

Komponen Persentase penyerapan gabah/ton 2015 2016 2017

---------- % --------- Penyerapan dari target 50 113,7 55,9 Penyerapan dari kapasitas gudang 3,33 7,58 3,72 Penyerapan dari produksi daerah 0,019 0,041 0,021 Penyerapan maksimal gudang 0,574 0,548 0,571

Tabel 2 menjelaskan bahwa penyerapan kuantitas gabah yang disimpan masih belum

mencapai dari target/tahun, kapasitas gudang dan dari total produksi daerah. Menurut Waskito (2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa SRG akan efektif jika komoditas pangan yang disimpan gudang berkisar 8-10% dari jumlah produksi. Rata-rata penyerapan gabah di gudang SRG jika dibandingkan dengan hasil produksi padi di Jepara selama 2015 -2017 masih kecil yaitu hanya 0,028%. Angka tersebut masih jauh dari 8% maka dapat dikatakan implementasi SRG di Jepara masih belum efektif. Disamping itu, rata-rata penyerapan gabah yang disimpan masih jauh dari kapasitas gudang (1500 ton) yaitu hanya 4,88%. Rendahnya jumlah gabah dibawah target dan kapasistas gudang disebabkan karena masih sedikitnya petani yang menyimpan di gudang SRG dan masih sedikit hasil panen petani. Rendahnya hasil produksi dapat disiasati dengan menyimpan gabahnya secara kolektif bersama kelompok tani atau gabungan kelompok tani. Komoditas yang tersimpan di gudang SRG digunakan pemerintah untuk mengatur stok komoditas daerah. Penambahan gudang perlu dilakukan agar gabah dari total produksi daerah dapat tersimpan semua. Berdasarkan rata-rata total produksi dari tahun 2015-2017 sekiranya pemerintah perlu menyediakan 177 gudang. Jika berdasarkan tingkat efektivitas 8-10% dari produksi daerah yang harus disimpan, maka sekiranya perlu menyediakan 14 gudang agar dapat menampung 8% dari produksi daerah. Penilaian Total Efektivitas Pelaksanaan SRG

Nilai dari masing-masing variabel yaitu lokasi, harga, waktu, kuantitas dan kualitas digunakan untuk menilai total efektivitas pelaksanaan SRG. Nilai dari masing-masing variabel dapat tersajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Nilai Ketepatan Pelaksanaan SRG

No. Pelaksanaan SRG Nilai ketepatan 1. Lokasi gudang Tepat 2. Harga penyimpanan Tepat 3. Waktu simpan Tepat 4. Kuantitas komoditas Tidak tepat 5. Kualitas komoditas Tepat

Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa dari 5 variabel pelaksanaan SRG ada 4

variabel yang nilainya tepat dan hanya 1 variabel yang tidak tepat, sehingga dengan nilai ketepatan 80% dapat dikatakan bahwa pelaksanaan jasa pergudangan SRG sudah efektif. Meskipun pelaksanaan jasa pergudangan SRG telah berjalan efektif namun pelaksanaan program SRG di Jepara sendiri belum maksimal. Hal ini terlihat dari kuantitas yang disimpan gudang SRG masih dibawah target 8-10% dari hasil produksi daerah yaitu hanya 0,0517% dan peserta SRG yang rata-rata pedagang dimana seharusnya SRG untuk petani dan kelompok tani.

Page 170: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Bantar Anggitasari – Analisis Efektivitas Jasa Pergudangan Hasil Pertanian .................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

383

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dari 5 variabel yang diuji, terdapat 4 variabel yang menunjukkan nilai tepat yaitu lokasi, harga, waktu dan kualitas dan hanya 1 variabel yang tidak tepat yaitu kuantitas. Pelaksanaan SRG di desa Rengging Jepara pada tahun 2015 -2017 sudah efektif.

Saran Perlunya peningkatan perhatian dari pemerintah demi lancarnya pelaksanaan serta

pengawasan program SRG. Perlu adanya penambahan gudang agar dapat menampung hasil panen daerah dan sosialisasi ke petani untuk meningkatkan minat petani menyimpan di gudang SRG.

DAFTAR PUSTAKA Ekowati, T., D. H. Darwanto, S. Nurtini dan A. Suryantini. 2011. The analysis of beef cattle

subsyste, agribusiness implementation in Central Java Province, Indonesia. J. Indonesia Trop. Anim. Agric. 36 (4): 281 -289.

Khasanah, U. 2016. Efektivitas implementasi sistem resi gudang komoditi gabah (studi pada koperasi niaga mukti) di kabupaten cianjur. Program Studi Agribisnis. Pasca Sarjana manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada. (Tesis).

Putri, A. W dan N. D. Setiawina, 2013. Pengaruh Umur, Pendidikan, Pekerjaan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Miskin di Desa Bebandem. J. EP Unud. 2 (4): 173 – 180.

Sawit, M. H. 2011. Reformasi kebijakan harga produsen dan dampaknya terhadap daya saing beras. J. Pengembangan Inovasi Pertanian. 4 (1): 1-13.

Suryani, E., Erwindodo., dan I. S. Anugerah. 2014. Sistem resi gudang di Indonesia: antara harapan dan kenyataan. J. Analisis Kebijakan Pemerintah. 12 (1): 69-86.

Waskito, B. 2016. Komunikasi Inovasi Resi Gudang pada Petani Padi. Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Tesis).

Widiyani, M. 2014. Analisis Program Sistem Resi Gudang Di Kabupaten Indramayu. Program Studi Ilmu Ekonomi. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor,Bogor.(Tesis).

Page 171: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 384-397

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.14

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN BAGIAN PABRIK UNIT PRODUKSI PAGILARAN PT

PAGILARAN

THE EFFECTS OF LEADERSHIP STYLE AND WORK ENVIRONMENT ON EMPLOYEE PERFORMANCES AT

PAGILARAN PRODUCTION UNIT FACTORY OF PT PAGILARAN

Muhamad Yazid Bustomi*, Lestari Rahayu Waluyati Magister Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada

Jl. Flora No.1 Bulaksumur Yogyakarta. *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The objectives of this study were (1) to find out the effects of leadership style and work environment on employee work satisfaction, (2) to analyze the effects of leadership style and work environment on organizational commitment, and (3) to identify the effects of leadership style, work environment, work satisfaction, and organizational commitment on employee performances of tea processing at Pagilaran Production Unit of PT Pagilaran. The sampling technique used stratified random sampling method with a total of 112 respondents from a total of 156 employees working in the tea processing factory. The data analysis method was SEM-PLS with SmartPLS version 3.0 software to see the effects of exogenous latent variables (leadership style and work environment) on endogenous latent variables, i.e. job satisfaction, organizational commitment, and employee performance. The evaluation result of the outer model indicates that the Average Variance Extracted (AVE) value for all variables is greater than 0.5 and the composite reliability value is greater than 0.6. It states that the model used in this study is acceptable, while the evaluation of inner model based on the bootstrapping test shows that leadership style variables and work environment have positive effects on work satisfaction and organizational commitment, but do not have direct effects on employee performances. The work satisfaction variables do not have significant effects on the employee performances, while organizational commitment has direct effects on the employee performances of tea processing at the production unit.

Keywords: employee performances, partial least square, Pagilaran production unit.

ABSTRAK

Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja karyawan, (2) menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja terhadap komitmen organisasional, (3) mengidentifikasi pengaruh gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional terhadap kinerja karyawan pengolahan teh Unit Produksi Pagilaran PT Pagilaran. Teknik penentuan sampel menggunakan metode stratified random sampling dengan jumlah 112 responden dari total 156 karyawan yang bekerja di bagian pabrik pengolahan teh. Metode analisis data yang digunakan yaitu SEM-PLS dengan software SmartPLS versi 3.0 untuk

Page 172: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhamad Yazid Bustomi – Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Lingkungan Kerja ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

385

melihat pengaruh variabel laten eksogen (gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja) terhadap variabel laten endogen yaitu (kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan kinerja karyawan). Hasil evaluasi outer model menunjukkan nilai average variance extracted (AVE) untuk seluruh variabel lebih besar dari 0,5 dan nilai composite reability lebih besar dari 0,6 yang menyatakan bahwa model yang digunakan dapat diterima, sedangkan pada evaluasi inner model berdasarkan uji bootstraping menunjukkan bahwa variabel gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional, namun tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja karyawan. Variabel kepuasan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan, sedangkan komitmen organisasional berpengaruh langsung terhadap kinerja karyawan pengolahan teh Unit Produksi Pagilaran.

Kata Kunci: kinerja karyawan, partial least square, unit produksi pagilaran.

PENDAHULUAN

Globalisasi sangat berpengaruh pada perkembangan dunia secara keseluruhan. Tidak hanya berpengaruh pada perkembangan teknologi dan persaingan inovasi, globalisasi juga berdampak langsung pada kompetisi manajemen sumber daya manusia (SDM) dalam berbagai aspek. Salah satu cara untuk menghadapi tantangan globalisasi tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas dan daya saing SDM melalui peningkatan kinerja karyawan. Karyawan atau tenaga kerja yang dimiliki perusahaan merupakan kekuatan yang harus dipertahankan demi kemajuan perusahaan. Tanpa adanya SDM yang memiliki kinerja tinggi, secara tidak langsung kinerja organisasi sulit untuk ditingkatkan.

PT Pagilaran sebagai salah satu perusahaan perkebunan telah mengembangkan komoditas teh hitam dan melakukan pengolahan pada beberapa unit produksi yang dimilikinya. Sejauh ini penelitian terkait kinerja karyawan di perusahaan tersebut belum banyak dilakukan, terlebih lagi pada bagian pengolahan teh di unit produksi pagilaran. SDM pada proses pengolahan teh harus memahami bahwa salah satu tujuan perusahaan adalah untuk menghasilkan produk teh yang berkualitas sesuai dengan permintaan dan perkembangan pasar, sehingga mereka harus bekerja sesuai prosedur yang benar untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.

Cahyono et al., (2014) menyebutkan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan perusahaan daerah perkebunan Jember. Sementara Osa & Amos (2014) menjelaskan bahwa komitmen organisasional dapat meningkatkan produktivitas karyawan yang juga berpengaruh terhadap pengingkatan kinerja. Di pihak lain Fabio et al., (2016) menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan memiliki pengaruh terhadap komitmen organisasional lebih besar dibanding kinerja, sedangkan komitmen organisasional berpengaruh terhadap kinerja karyawan lebih besar dibandingkan gaya kepemimpinan.

Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kinerja karyawan adalah melalui proses evaluasi kinerja. Melalui proses tersebut akan diketahui kinerja karyawan di bagian pabrik pengolahan teh Unit Produksi Pagilaran. Selain itu, perusahaan harus mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan produktivitas karyawan dan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan, sehingga dapat dirumuskan strategi manajemen perusahaan yang mampu bersaing secara global. Berdasarkan uraian di atas tujuan dalam penelitian ini yaitu (1) mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja karyawan, (2) menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja terhadap komitmen organisasional, dan (3) mengidentifikasi pengaruh gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional terhadap kinerja karyawan pengolahan teh Unit Produksi Pagilaran.

Page 173: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

386 JEPA, 3 (2), 2019: 384-397

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada salah satu Unit Produksi PT Pagilaran yaitu Unit Produksi

Pagilaran yang terletak di Dukuh Pagilaran Desa Keteleng Kecamatan Blado Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. Populasi dalam penelitian ini terdiri dari seluruh karyawan yang bekerja di bagian pabrik pengolahan teh Unit Produksi Pagilaran PT Pagilaran, sedangkan sampel yaitu sebagian dari jumlah populasi tersebut. Teknik penentuan sampel menggunakan metode stratified random sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan populasi yang memiliki strata atau tingkatan dan setiap tingkatan memiliki karakteristik tersendiri. Berdasarkan data dari kantor pusat PT Pagilaran bulan Januari 2018 menunjukkan bahwa populasi karyawan yang berkerja pada bagian pabrik pengolahan teh Unit Produksi Pagilaran adalah 156 karyawan. Penentuan batas sampel dari jumlah tersebut menggunakan rumus Slovin dengan tingkat kesalahan (α=5%). Berdasarkan hasil perhitungan diketahui jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 112 karyawan.

Data penelitian terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yang diperoleh dari wawancara langsung kepada responden yaitu karyawan di bagian pabrik pengolahan teh yang sudah terpilih menggunakan kuesioner. Data sekunder berupa catatan atau dokumentasi perusahaan yaitu data jumlah karyawan, publikasi perusahaan, dan juga data yang diperoleh dari media informasi yang terkait secara langsung dengan penelitian. Metode Analisis Data

1. Konseptualisasi Model Analisis Partial Least Square Model yang digunakan dalam analisis SEM-PLS terdiri dari model pengukuran (outer

model) dan model struktural (inner model). Outer model menunjukkan seberapa besar variabel manifest (indikator) mampu menjelaskan variabel laten eksogen maupun endogen, sedangkan inner model menggambarkan hubungan antara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen dalam suatu kontruk. Pada penelitian ini variabel laten eksogen terdiri dari dua yaitu gaya kepemimpinan (ξ1) dan lingkungan kerja (ξ2), sedangkan variabel laten endogen yaitu kepuasan kerja (η1), komitmen organisasional (η2), dan lingkungan kerja (η3). Gambar 1. merupakan model konstruk analisis PLS yang terdiri dari outer dan inner model berikut ini.

Gambar 1. Konseptualisasi Model PLS

!1 η1

η2 !2

η3

Y1.2 Y1.3 Y1.1 Y1.4 Y1.5

Y2.2 Y2.3 Y2.1 Y2.4

Y3.2

Y3.3

Y3.1

Y3.4

Y3.5

Y3.6

Y3.7

X1.2

X1.3

X1.1

X1.4

X2.1

X2.2

X2.3

X2.4

X2.5

Outer Model

Inner Model Outer Model

Page 174: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhamad Yazid Bustomi – Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Lingkungan Kerja ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

387

2. Konversi Diagram Jalur ke Persamaan Persamaan outer model dapat ditulis sebagai berikut: ξ = X1+X2+X3+...... Xn + εx η = Y1+Y2+Y3+...Yn + εy

Simbol X dan Y merupakan variabel manifest (indikator) untuk konstruk laten eksogen (ξ) dan endogen (η). Di antara tanda (ξ dan X) atau (η dan Y) terdapat nilai matriks loading yang menggambarkan koefisien regresi yang menghubungkan variabel laten terhadap indikatornya. Tanda (εx) dan (εy) merupakan residual kesalahan pengukuran (measurement error).

Persamaan Inner model dapat ditulis sebagai berikut: η = ξ1 +... ξ n + η1+....η n + ζ

Keterangan: η : Vektor konstruk endogen ξ : Vektor konstruk eksogen ζ : Vektor variabel residual

Deskripsi Variabel Manifest: Gaya Kepemimpinan (GK)

X1.1. : Kepala bagian pabrik merupakan figur teladan X1.2. : Kepala bagian pabrik sangat memperhatikan kondisi karyawan X1.3. : Kepala bagian pabrik selalu memotivasi karyawan X1.4. : Kepala bagian pabrik telah menerapkan visi dan misi perusahaan

Lingkungan Kerja (LK) X2.1. : Terbentuk sikap saling kerjasama antar sesama rekan kerja X2.2. : PT Pagilaran berhasil membuat suasana kerja menjadi nyaman X2.3. : PT Pagilaran menerapkan standar kebersihan yang tinggi X2.4. : Kondisi peralatan dan perlengkapan kerja sangat terawat X5.2. : Tata letak peralatan sudah berdasarkan urutan proses pengolahan

Kepuasan Kerja (KepK) Y1.1. : Gaji yang diterima sudah mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari Y1.2. : Waktu pemberian gaji sesuai dengan waktu yang ditetapkan perusahaan Y1.3. : Mendapat arahan kerja dari mandor atau atasan kerja Y1.4. : Menjadi semangat bekerja karena adanya bonus kerja Y1.5. : Mendapat kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan

Komitmen Organisasional (KO) Y2.1. : Bangga dapat bekerja di PT Pagilaran Y2.2. : Sangat menjunjung tinggi nilai-nilai perusahaan Y2.3. : Bekerja di PT Pagilaran seperti bekerja pada perusahaan milik sendiri Y2.4. : Bersedia mencurahkan tenaga dan pikiran melebihi kondisi normal

Kinerja Karyawan (KinK) Y3.1. : Telah bekerja dengan baik dan menghasilkan output berkualitas Y3.2. : Menyelesaikan jumlah tugas pekerjaan setiap harinya Y3.3. : Mampu mempertahankan jumlah hasil kerja sesuai target Y3.4. : Tidak membuang-buang waktu kerja dengan kegiatan lain Y3.5. : Selalu hadir tepat waktu dalam bekerja Y3.6. : Bersedia bertanggung jawab atas risiko kegagalan kerja Y3.7. : Tidak pernah membolos tanpa alasan yang jelas

Page 175: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

388 JEPA, 3 (2), 2019: 384-397

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

3. Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model Evaluation) Evaluasi model pengukuran digunakan untuk menilai validitas dan reliabilitas. Cara yang

digunakan untuk melakukan pengukuran model yaitu dengan menguji convergent dan discriminant validity. Uji validitas discriminant berhubungan dengan prinsip bahwa instrumen pengukur (variabel manifest) yang berbeda seharusnya tidak berkorelasi tinggi. Uji validitas convergent dilakukan dengan melihat nilai loading factor dan nilai average variance extracted (AVE). Untuk penelitian yang bersifat explanatory, nilai loading factor di antara 0,6-0,7 masih dapat diterima, sedangkan nilai AVE harus lebih besar dari 0,5 (Ghozali & Latan, 2015). Selain uji validitas, evaluasi model pengukuran dilakukan dengan uji reliabilitas konstruk untuk membuktikan akurasi, konsistensi, dan ketepatan instrumen dalam mengukur model konstruk. Uji reliabilitas dapat dilakukan dengan melihat nilai composite reliability. Nilai composite reliability harus lebih besar dari 0,7 (Ghozali & Latan, 2015).

4. Evaluasi Model Struktural (Inner Model Evaluation) Model struktural di dalam PLS dapat diuji menggunakan R-squares untuk konstruk

dependen dan nilai koefisien jalur untuk melihat signifikansi antar konstruk dalam model struktural. Menurut Ghozali & Latan (2015) perubahan nilai R-squares dapat digunakan untuk menjelaskan pengaruh variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen, apakah memiliki pengaruh yang substantive atau tidak. Kriteria R-squares diklasifikaskan menjadi 3 kategori, yaitu model kuat (R2≥ 0,67), moderate atau sedang (0,67 > R2 ≥ 0,33), dan lemah (0,33 > R2 ≥ 0,19).

5. Pengujian Hipotesis Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui pengaruh (signifikansi) koefisien jalur dari

variabel laten eksogen terhadap laten endogen dilakukan dengan membandingkan nilai t-statistic pada hasil olah data bootstraping SmartPLS terhadap nilai t-tabel pada tingkat kesalahan (α=1%, t-tabel=2,58), (α=5%, t-tabel=1,96), dan (α=10%, t-tabel=1,65). Jika nilai t-statistik setiap jalur lebih kecil dariapada salah satu nilai t-tabel tersebut maka dapat disimpulkan bahwa jalur tersebut tidak signifikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Evaluasi Konstruk Model Diagram Jalur Evaluasi model konstruk dilihat melalui PLS Algorithm dan eliminasi terhadap variabel

manifest yang memiliki nilai loading factor di bawah 0,5. Pada evaluasi kontruksi diagram jalur tahap awal diketahui bahwa terdapat 4 variabel manifest dieliminasi karena memiliki nilai loading factor yang di bawah 0,5 yaitu (X2.1=0,386), (Y1.3=0,200), (Y2.4=0,495), (Y3,7=0,498) sebagaimana tampak pada Gambar 2. di bawah ini.

Page 176: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhamad Yazid Bustomi – Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Lingkungan Kerja ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

389

Gambar 2. Kontruksi Diagram Jalur Tahap Pertama Sebelum Eliminasi

Setelah proses elimanasi variabel manifest yang memiliki nilai loading factor di bawah 0,5 kemudian dilakukan evaluasi pada nilai AVE untuk uji validitas konvergen. Hasil proses eliminasi tahap pertama masih menemukan nilai AVE di bawah 0,5 yang mana syarat evaluasi model harus memiliki nilai AVE untuk setiap variabel laten di atas 0,5 sehingga perlu meningkatkan batas nilai loading factor menjadi 0,6. Berdasarkan hasil evaluasi model PLS Agorithm tahap kedua, dilakukan eliminasi pada 3 variabel manifest yang memiliki nilai loading factor di bawah 0,6 yaitu Y3.1, Y3.2, dan Y3.6, sehingga diperolah model kontruksi yang sesuai dengan persyaratan dalam uji PLS yang tampak pada gambar 3. berikut ini.

Gambar 3. Kontruksi Diagram Jalur Tahap Akhir Setelah Eliminasi

2. Konversi Diagram Jalur Ke Persamaan

Model Persamaan Pengukuran GP (ξ1) = 0,800 X1.1. + 0,827 X1.2. + 0,813 X1.3. + 0,754 X1.4. + ε

Nilai outer loading variabel manifest pada variabel gaya kepemimpinan memiliki nila t-statistik yang lebih besar daipada 1,96 pada uji signifikansi tingkat kesalahan 5%, sehingga secara signifikan variabel manifest yang digunakan memiliki pengaruh terhadap variabel laten

Page 177: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

390 JEPA, 3 (2), 2019: 384-397

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

gaya kepemimpinan. Variabel manifest yang memiliki nilai tertinggi yaitu X1.2 yang menyatakan bahwa kepala bagian pabrik sangat memperhatikan kondisi karyawan. LK (!2) = 0,863X2.2. + 0,798X2.3. + 0,712X2.4. + 0,716X2.5. + ε

Hasil evaluasi kontruksi model menghasilkan 4 dari 5 variabel manifest mampu menjelaskan variabel lingkungan kerja, yaitu X2.1, X2.2, X2.3, X2.4, dan X2.5, sedangkan variabel manifest X2.1 tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel laten eksogen lingkungan kerja. Variabel manifest yang memilki loading factor tertinggi yaitu X2.2. yang menyatakan bahwa PT Pagilaran khususnya bagian pabrik berhasil membuat suasana kerja menjadi nyaman dan tidak membosankan. KepK (η1) = 0,724Y1.1. + 0,706Y1.2. + 0,846Y1.4. + 0,711Y1.5. + ε

Berdasarkan hasil uji PLS Algorithm pada variabel kepuasan kerja terdapat 4 variabel manifest yang memiliki nilai loading factor di atas 0,6 dan secara signifikan mampu menjelaskan variabel laten kepuasan kerja, yaitu Y1.1, Y1.2. Y1.4, dan Y1.5. sedangkan Y1.3 tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan karena nilai loading factor di bawah 0,6. KO (η2) = 0,641Y2.1. + 0,862Y2.2. + 0,712Y2.3. + ε

Berdasarkan hasil uji PLS Algorithm pada variabel komitmen organisasional terdapat 3 variabel manifest yang memiliki nilai loading factor di atas 0,6 dan secara signifikan mampu menjelaskan variabel laten komitmen organisasional, yaitu Y2.1, Y2.2. dan Y2.3. Nilai loading faktor tertinggi yaitu Y2.2. yang menyatakan bahwa karyawan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai perusahaan yang tertuang dalam visi dan misi perusahaan. KinK (η3) = 0,697Y3.3. + 0,747Y3.4. + 0,766 Y3.5. + ε

Hasil evaluasi kontruksi model menghasilkan 3 dari 7 variabel manifest yang mampu menjelaskan variabel kinerja karyawan secara singnifikan, yaitu Y3.3, Y3.4, dan Y3.5 yang kemudian dikonversikan dalam persamaan di atas. Salah satu indikator yang memiliki nilai loading factor tertinggi menyatakan bahwa karyawan selalu hadir tepat waktu dalam bekerja, hal tersebut dapat menjelaskan bahwa sebagian besar karyawan bertanggung jawab atas pekerjaannya. Model Persamaan Struktural KepK (η1) = 0,236 GP (!1) + 0,392 LK (!2) + ε

Persamaan di atas menjelaskan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja. Besarnya koefisien variabel menunjukkan besarnya pengaruh variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen tersebut. KO (η2) = 0,362 GP (!1) + 0,427 LK (!2) + ε

Persamaan di atas menjelaskan variabel komitmen organisasional dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja KinK(η3) = -0,098 GP (!1) + 0,007 LK (!2) – 0,163 KepK (η1) + 0,560 KO (η2) + ε

Persamaan di atas menjelaskan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional.

3. Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model) Convergent Validity dan Discriminant Validity Tabel 1. Uji Validitas Berdasarkan nilai Standardized Loading Factor

Manifest Loading factor t-statistic Keterangan X1.1.← GK 0,800 14,483 Valid X1.2. ← GK 0,827 21,179 Valid X1.3. ← GK 0,813 20,712 Valid X1.4. ← GK 0,754 9,834 Valid X2.2. ← LK 0,863 25,627 Valid X2.3. ← LK 0,798 11,746 Valid

Page 178: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhamad Yazid Bustomi – Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Lingkungan Kerja ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

391

X2.4. ← LK 0,712 7,173 Valid X5.2. ← LK 0,706 5,451 Valid Y1.1. ← KepK 0,724 9,067 Valid Y1.2. ← KepK 0,706 6,186 Valid Y1.4. ← KepK 0,846 28,286 Valid Y1.5. ← KepK 0,711 9,361 Valid Y2.1. ← KO 0,641 7,728 Valid Y2.2. ← KO 0,862 31,178 Valid Y2.3. ← KO 0,712 8,054 Valid Y3.3. ← KinK 0,697 6,658 Valid Y3.4. ← KinK 0,747 10,173 Valid Y3.5. ← KinK 0,766 7,086 Valid

Sumber: Data Primer, 2018 Evaluasi model pengukuran dilakukan dengan validitas convergent melaui nilai

Standardized Loading Factor yang menunjukkan besarnya korelasi antara item pernyataan yang digunakan terhadap konstruknya. Pada Tabel 1. Berikut ini menggambarkan nilai loading factor untuk setiap indikator yang berada di atas 0,7 yang menyatakan bahwa indiaktor yang dinyatakan valid. Tabel 2. Uji Validitas Berdasarkan Nilai Average Variance Extracted (AVE)

Variabel Laten AVE Akar AVE Gaya Kepemimpinan 0,638 0,799 Lingkungan Kerja 0,597 0,773 Kepuasan Kerja 0,561 0,749 Komitmen Organisasional 0,554 0,744 Kinerja Karyawan 0,544 0,737

Sumber: Data Primer, 2018 Uji validitas juga dilakukan dengan melihat nilai AVE yang harus lebih besar dari 0,5 dan

akar AVE (discriminant Validity) yang menunjukkan korelasi antara konstruk laten (Ghozali & Latan, 2015). Pada Tabel 2. di atas nilai AVE untuk seluruh variabel sudah berada di atas 0,5 yang berarti sudah memenuhi pernyaratan uji PLS.

Composite Reability Tabel 3. Uji Reliabilitas Berdasarkan Nilai Composite Reability

Variabel Laten Composite Reability Keterangan Gaya Kepemimpinan 0,876 Reliabel Lingkungan Kerja 0,855 Reliabel Kepuasan Kerja 0,836 Reliabel Komitmen Organisasional 0,786 Reliabel Kinerja Karyawan 0,781 Reliabel

Sumber: Data Primer, 2018 Berdasarkan hasil uji PLS-Algorithm menunjukkan bahwa nilai composite reliability

untuk semua variabel laten lebih besar dari 0,7 yang menjelaskan bahwa instrumen yang digunakan dalam setiap variabel laten sudah reliabel.

Page 179: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

392 JEPA, 3 (2), 2019: 384-397

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

4. Evaluasi Model Struktural (Inner model) Tabel 4. Inner Model dilihat dari Nilai R-square

Variabel Laten R-square Keterangan Kepuasan Kerja 0,338 Moderate Komitmen Organisasional 0,203 Lemah Kinerja Karyawan 0,530 Moderate

Sumber: Data Primer, 2018 Evaluasi Model Struktural (Inner model) dapat dilakukan dengan melihat nilai R-squre

yang mana menjelaskan besarnya persentase variabel laten eksongen mampu menjelaskan variabel laten endogen. Nilai R-square variabel kepusan kerja sebesar 0,338 yaitu berada di antara (0,67 > R2 ≥ 0,33) yang tergolong kategori sedang atau moderate serta dapat diartikan bawha sebesar 33,8% variasi variabel kepuasan kerja dapat dijelaskan oleh variabel lingkungan kerja dan gaya kepemimpinan sedangkan sisasnya 66,2% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model. Untuk variabel komitmen organisasional tergolong lemah dengan nilai R-square berada di antara (0,33 > R2 ≥ 0,19) yaitu 0,203 dan dapat diartikan bahwa 20,3% variasi variabael komitmen organisasional dapat dijelaskan oleh variabel lingkungan kerja dan gaya kepemimpinan sedangkan sisanya 79,7% dijelaskan oleh variabel yang tidak termasuk dalam model. Sementara itu, nilai R-square variabel kinerja karyawan berada di antara (0,67 > R2 ≥ 0,33) yaitu 0,530 yang tergolong kategori sedang atau moderate. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa 53% variasi variabel kinerja karyawan mampu dijelaskan oleh variabel lingkungan kerja, gaya kepemimpinan, kepuasna kerja, dan komitmen organisasional sedangakn sisanya 47% dijelakan oleh variabel lain yang tidka termasuk dalam model.

5. Pengujian Hipotesis Uji hipotesis dilakukan dengan melihat hasil analisis bootstraping PLS pada Tabel 5. di

bawah ini. Jika nilai t-statisistik lebih kecil dari t-tabel yang sudah ditentukan maka dapat disimpulkan bahwa jalur tersebut tidak signifikan. Tabel 5. Nilai Koefisien Jalur dan Uji Signifikansi Model

Keterangan Koefisien Jalur t-statistic Kepemimpinan → Kepuasan 0,236** 2,575 Lingkungan→ Kepuasan 0,392*** 3,829 Kepemimpinan → Komitmen 0,362*** 3,627 Lingkungan→ Komitmen 0,427*** 3,838 Kepemimpinan → Kinerja -0,098ns 0,600 Lingkungan→ Kinerja 0,007 ns 0,037 Kepuasan→ Kinerja -0,163 ns 1,171 Komitmen→ Kinerja 0,560*** 4,291

Sumber: Data Primer, 2018 Keterangan: *** : Signifikan pada tingkat kesalahan α (1%) (t-tabel 2,58) ** : Signifikan pada tingkat kesalahan α (5%) (t-tabel 1,96) * : Signifikan pada tingkat kesalahan α (10%) (t-tabel 1,65) ns : Tidak signifikan

Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja karyawan. Hal tersebut dilihat dari hasil uji signifikansi pada Tabel 5. yang menunjukkan bahwa nilai t-statistic gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja lebih besar daripada t-tabel pada tingkat kesalahan (α=5%) yaitu 2,575>1,96. Pada penelitian ini yang disebut sebagai pimpinan adalah kepala bagian pabrik yang bertanggung jawab atas berjalannya operasional di bagian pabrik pengolahan teh. Kepala bagian pabrik bekerja di bawah pengawasan kepala unit produksi,

Page 180: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhamad Yazid Bustomi – Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Lingkungan Kerja ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

393

namun memiliki beberapa bawahan kerja yaitu mandor besar, mandor pengolahan, mandor sortasi kering, dan mandor pengepakan. Sebagian besar karyawan sudah merasa puas dengan gaya kepemimpinan yang diterapkan di bagian pabrik pengolahan teh dan menganggap bahwa kepala bagian pabrik sebagai figur teladan yang dihormati semua karyawan sebagaimana penilaian pada salah satu indikator variabel gaya kepemimpinan. Hasil penelitian ini di dukung oleh Risambessy (2011), Widodo (2014), Fajriyah & Prasetya (2015), dan Jusuf et al., (2016) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.

Uji signifikansi pada Tabel 5. menunjukkan bahwa nilai t-statistic variabel lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja lebih besar daripada t-tabel dengan tingkat kesalahan (α=1%) yaitu 3,829>2,58 yang berarti menolak H0 dan menerima H1. Hasil di atas dapat dapat diartikan bahwa lingkungan kerja berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja dengan koefisien jalur yang bernilai positif sebesar 0,392. Lingkungan kerja dinilai dari dua aspek yaitu suasana dan fasilitas kerja. Lingkungan kerja di bagian pabrik pengolahan terdiri dari bagian di dalam pabrik yaitu bagian pengolahan dan penyimpanan, serta bagian di luar pabrik yang terdiri dari taman dan pengolahan limbah pabrik. Sebagian besar karyawan merasa puas dengan keadaan dan suasana di tempat kerja mereka, sedangkan untuk bagian luar pabrik PT Pagilaran telah menerapkan standar kebesihan yang tinggi, terbukti dengan dirawat dan dijaganya lingkungan sekitar pabrik dengan adanya taman-taman dan pengolahan limbah pabrik yang tepat, sehingga karyawan merasa nyaman bekerja di bagian pabrik pengolahan teh. Hasil penelitian ini di dukung olehWidodo (2014), Fajriyah & Prasetya (2015), dan Sudiarditha et al., (2016) yang menyatakan bahwa lingkungan kerja berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan

Besarnya pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan dapat dilihat pada nilai koefisien jalur pada Tabel 5 yaitu 0,362 yang mana nilai tersebut bernilai positif. Berdasarkan uji signifikansi pada tingkat kesalahan (α=1%) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasional. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala bagian pabrik pengolahan teh berpengaruh terhadap komitmen organisasional yang secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap kinerja karyawan pengolahan teh unit prduksi Pagilaran. Komitmen organisasional karyawan yang tinggi berasal dari kepedulian kepala bagian pabrik yang selalu memperhatian kondisi karyawan dan selalu memotivasi karyawan, sebagaimana indikator penilaian pada variabel gaya kepemimpinan. Hal tersebut membuat karyawan bekerja tidak dengan tekanan, namun dengan tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan sesuai target perusahaan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Garg & Ramjee (2013), Alkahtani (2016), Fabio et al., (2016), dan Jusuf et al., (2016) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap komitmen organisasioanal.

Besarnya pengaruh variabel lingkungan kerja terhadap komitmen organisasional dapat dilihat dari nilai koefisen jalur kontruksi pada Tabel 5, yaitu 0,427 yang bernilai positif menyatakan bahwa setiap penambahan satu satuan pada lingkungan kerja akan meningkatkan 0,427 satuan pada komitmen organisasional. Uji signifikansi pengaruh lingkunan kerja terhadap komitmen organisasional pada tingkat kesalahan (α=1%) menghasilakan keputusan menolak H0

dan menerima H1 yaitu bahwa lingkungan kerja berpengaruh signifikan terhadap komitmen karyawan pengolah teh karena nilai t-statistic lebih besar dari t-tabel (3,838>2,58). Hal tersebut menujukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tingginya loyalitas karyawan terhadap perusahaan karena lingkungan kerja yang nyaman sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan komitmen karyawan untuk tetap bekerja di PT Pagilaran khususnya di bagian pabrik pengolahan. Selain itu, Unit Produksi Pagilaran juga menyediakan emplasemen kepada sebagian besar karyawan dan fasilitas umum lainnya yang membuat karyawan merasa nyaman

Page 181: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

394 JEPA, 3 (2), 2019: 384-397

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

tinggal di lingkungan perusahaan, sehingga dapat meningkatkan komitmen karyawan untuk tetap bekerja di Unit Produksi Pagilaran. Hasil penelitian ini didukung oleh Ghoyinah & Masurip (2011) dan Funminiyi (2018) yang menyatakan bahwa lingkungan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasional.

Hasil uji signifikansi pada Table 5. menunjukkan bahwa nilai t-statistic variabel gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan yaitu 0,600 lebih kecil daripada t-tabel 1,65 pada tingkat kesalahan 10%. Hasil tersebut menyatakan bahwa H0 diterima atau H1 ditolak, sehingga dapat dikatakan variabel gaya kepemimpinan tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pengolahan teh Unit Produksi Pagilaran. Selain itu, jika dilihat dari nilai koefisien jalurnya yaitu -0,098 menunjukkan hubungan yang negatif. Tidak berpengaruhnya dan hubungan yang negatif antara variabel gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan disebabkan karena gaya kepemimpinan yang diterapkan di bagian pabrik pengolahan teh belum sesuai dengan keinginan sebagian besar karyawan untuk meningkatkan kinerjanya atau dapat dikatakan gaya kepemimpinan bukanlah faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan. Kepemimpinan di bagian pabrik bersifat garis lurus, artinya kepala bagian pabrik tidak mengkoordinir karyawan secara langsung, namun memberikan arahan atau intruksi melalui mondor besar, kemudian mandor yang menyampaikan arahan atau intruksi kepada karyawan. Hasil penelitian ini didukung oleh Cahyono et al., (2014) dan Pawirosumarto et al., (2017) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

Uji signifikansi pada Tabel 5. menyebutkan bahwa nilai t-statistic variabel lingkungan kerja terhadap kinerja karyawan adalah 0,037 lebih kecil daripada t-tabel pada tingkat kesalahan 10% yaitu 1,65 (0,037<1,65) menunjukkan bahwa variabel lingkungan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pengolahan teh Unit Produksi Pagilaran. Hal tersebut terjadi karena lingkungan kerja bukanlah hal yang terpenting dalam menentukan kinerja karyawan saat bekerja. Sebagian besar karyawan sudah terbiasa bekerja pada lingkungan yang kurang kodusif dengan suara mesin-mesin pengolahan yang terus beroperasi terutama pada bagian sortasi basah dan sortasi kering. Karyawan bekerja sesuai dengan kebiasaan sehari-hari sebagai tanggung jawab yang harus diselesaikan setiap harinya. Hasil penelitian di atas didukung oleh Meirina (2013), dan Supihati (2014) yang menyatakan bawha lingkungan kerja memiliki hubungan yang negatif terhadap kinerja karyawan.

Nilai t-statistic variabel kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan adalah 1,171 lebih kecil dari t-tabel pada tingkat kesalahan (α=10%) yaitu 1,171<1,65 dengan keputusan menerima H0 dan menolak H1. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel kepuasan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja karaywan. Kepuasan kerja karyawan berasal dari gaji dan adanya pengawasan saat bekerja, namun hal tersebut tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja karyawan. Gaji yang didapatkan masih dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan karyawan tidak ada pilihan untuk bekerja di tempat lain. Perlu adanya strategi dari perusahaan terkait gaji atau upah dalam bentuk pemberian bonus agar dapat meningkatkan kinerja karyawan atau dengan meningkatkan pengawasan terhadap karyawan saat bekerja, sehingga karyawan menjadi tambah semangat dalam bekerja. Hasil penelitian ini didukung oleh Meirina (2013), Pawirosumarto et al., (2017) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan di Parador Hotels and Resorts, menunjukkan bahwa tingkat kinerja karyawan tidak ditentukan oleh tingkat kepuasan karyawan terhadap perusahaan.

Variabel komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan yang dilihat dari nilai t-statistic 4,291 yang lebih besari dari t-tabel 2,58. Selain itu, nilai koefisien jalur yaitu 0,560 bernilai positif yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang

Page 182: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhamad Yazid Bustomi – Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Lingkungan Kerja ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

395

positif. Besarnya pengaruh komitmen organisasional tersebut menunjukkan tingginya tingkat loyalitas karyawan terhadap perusahaan, sehingga sebagian besar karyawan tetap bekerja di PT Pagilaran walaupun lebih dari 20-30 tahun. Komitmen yang tinggi berasal dari perasaan bangga dari karyawan karena dapat bekerja di PT Pagilaran, sebagai perusahaan perkebunan besar yang beroperasi di daerahnya. Selain itu, Unit Produksi Pagilaran merupakan satu-satunya perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut sehingga sebagian besar karyawan tidak memiliki pilihan untk bekerja di tempat lain, hal inilah yang menyebabkan karyawan menjadi loyal terhadap perusahaan yang secara langsung dapat meningkatkan kinerja karyawan. Hasil penelitian di atas didukung oleh penelitian Ghoyinah & Masurip (2011), dan Osa & Amos (2014) bahwa komitmen organisasi dapat meningkatkan produktivitas karyawan yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kinerja dan keterampilan karyawan. Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Asharini et al., 2018) yang menyatakan bahwa komitmen organisasional terbukti berpengaruh terhadap kinerja karyawan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja

karyawan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar karyawan sudah merasa puas dengan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala bagian pabrik serta lingkungan kerja yang sesuai harapan karyawan di bagian pabrik pengolahan teh Unit Produksi Pagilaran.

2. Gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional, sehingga dapat dikatakan bahwa komitmen karyawan yang tinggi terhadap perusahaan berasal dari gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja yang sesuai dengan keinginan sebagian besar karyawan di bagian pabrik pengolahan teh Unit Produksi Pagilaran.

3. Variabel yang berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan adalah komitmen organisasional, sedangkan variabel gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, dan kepuasan kerja tidak berpengaruh positif secara langsung terhadap kinerja karyawan.

Saran Perusahaan harus dapat mempertahankan hubungan sosial yang baik yaitu antara

pimpinan perusahaan dengan karyawan dan lingkungan kerja yang nyaman sehingga dapat meningkatkan kepuasan dan komitmen kerja karyawan untuk tetap berkontribusi terhadap perusahaan. Selain itu, sebagai faktor yang berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, perusahaan diharapkan dapat mempertahankan komitmen karyawan melalui peningkatan fasilitas kerja yang memadai dan selalu memperhatikan keperluan operasional pabrik yang dapat memudahkan pekerjaan karyawan. Meningkatkan komitmen karyawan secara langsung dapat meningkatkan sikap loyalitas karyawan yang berpengaruh terhadap kontribusi dan produktivitas karyawan sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kinerja karyawan.

Page 183: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

396 JEPA, 3 (2), 2019: 384-397

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

DAFTAR PUSTAKA

Alkahtani, A. H. (2016). The Influence of Leadership Styles on Organizational Commitment: The Moderating Effect of Emotional Intelligence. Journal Business and Management Studies, 2(1), 23–34.

Asharini, N. A., Hardyastuti, S., & Irham, I. (2018). The Impact of Quality of Work Life and Job Satisfaction on Employee Performance of PT. Madubaru PG-PS Madukismo. Agro Ekonomi, 29(1), 146–159.

Cahyono, U. T., Maarif, M. S., & Suharjono. (2014). Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kinerja Karyawan di Perusahaan Daerah Perkebunan Jember. Jurnal Manajemen & Agribisnis, 11(2), 68–76.

Fabio, B. P., Hubeis, M., & Puspitawati, H. (2016). Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi Kerja terhadap Komitmen Organisasi yang Berimplikasi pada Kinerja Karyawan. Jurnal Aplikasi Bisnis Dan Manajemen, 2(1), 91–104.

Fajriyah, S., & Prasetya, R. J. I. (2015). Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Lingkungan Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan (Studi Kasus Pada PT. Bank Central Asia, Tbk . Cabang Utama Cikarang, Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Manaemen Dan Bisnis, 1(November).

Funminiyi, A. K. (2018). Impact of Workplace Environmental Factors on Employee Commitment : Evidence from North East Nigeria. International Journal of Scientific and Management (IJSRM), 06(07), 575–585.

Garg, A. K., & Ramjee, D. (2013). The Relationship Between Leadership Styles And Employee Commitment At A Parastatal Company In South Africa. International Business & Economics Research Journal, 12(11), 1411–1436.

Ghoyinah, N., & Masurip. (2011). Peningkatan Kinerja Karyawan Melalui Kepemimpinan, Lingkungan Kerja dan Komitmen. Jurnal Dinamika Manajemen, 2(2), 118–129.

Ghozali, I., & Latan, H. (2015). Partial Least Squares: Konsep, Teknik dan Aplikasi menggunakan Program Smart PLS 3.0. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.

Jusuf, A. H., Mahfudnurnajamuddin, Mallongi, S., & Latief, B. (2016). The effect of career development, leadership style and organizational culture on job satisfaction and organizational commitment. International Journal of Business and Management Invention, 5(3), 2319–8028.

Meirina, Y. (2013). Pengaruh Kepuasan Kerja, Lingkungan Kerja, dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan di Divisi Industrial dan Energi PT Haskoning Indonesia. Jurnal MIX, III(3), 322–332.

Osa, I. G., & Amos, I. O. (2014). The Impact of Organizational Commitment on Employees Productivity: a case study of Nigeria Brewery, PLC. International Jorunal of Research in Business Management, 2(9), 107–122.

Pawirosumarto, S., Sarjana, P. K., & Gunawan, R. (2017). The effect of work environment, leadership style, and organizational culture towards job satisfaction and its implication towards employee performance in Parador Hotels and Resorts, Indonesia. International Journal of Law and Management, 59(6), 1337–1358.

Risambessy, A. (2011). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional, Motivasi, Burnout terhadap Kepuasan dan Kienerja Karyawan. Jurnal Aplikasi Manajemen, 9(3), 840–851.

Sudiarditha, I. K. R., Waspodo, A. A., & Triani, N. A. (2016). Pengaruh Lingkungan Kerja dan Motivasi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Pada Direktorat Umum Lembaga

Page 184: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Muhamad Yazid Bustomi – Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Lingkungan Kerja ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

397

Pelayanan Publik Televisi Republik Indonesia. Jurnal Manajemen, 20(02), 278–292. Supihati, S. (2014). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan Perusahaan

Sari Jati di Sragen. Jurnal Paradigma, 12(01), 93–112. Widodo, D. S. (2014). Influence of Leadership And Work Environment To Job Satisfaction And

Impact To Employee Performance (Study On Industrial Manufacture In West Java). Journal Of Economics and Sustainable Development, 5(26), 2010–2015.

Page 185: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 398-407

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.15

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIMPANGAN PENGUASAAN TANAH DI PROVINSI JAMBI

FACTORS AFFECTING LAND TENURE INEQUALITY IN JAMBI PROVINCE

Nopa Linda*, Indrawari, Syafruddin Karimi

Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan, Universitas Andalas *Penulis korespondensi : [email protected]

ABSTRACT

Inequality in land tenure is one of the problems faced by the agricultural sector in Jambi Province. This can lead to the low welfare of farmers. Therefore this study aims to analyze the factors that influence land tenure in each sub-district in Jambi Province in 2004 and 2014. The data used is secondary data from the results of the Farmers Revenue survey conducted by BPS with 8407 agricultural households in 69 sub-districts in 2004 and 9968 agricultural households in 127 sub-districts in 2014. The analysis tool used was multiple regression analysis. The results of this study explain that the 2004 regression model cannot be analyzed because the value of the F model test is> 0.05. Meanwhile for 2014, there were three independent variables that influence the inequality of farmer income, the number of people working in the agricultural sector and the number of non-agricultural workers with a significance level of 0.001 and the coefficient value of each independent variable is 0.54, (-0 , 00082) and (-0.0032) while the simultaneous effect of this independent variable is 39, 58 percent.

Keywords: Land Mastery Inequality, Income Inequality, Agricultural Household

ABSTRAK

Ketimpangan penguasaan tanah merupakan salah satu masalah yang dihadapi sektor pertanian di Provinsi Jambi. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya kesejateraan petani. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketimpangan penguasaan tanah di tiap kecamatan dalam Provinsi Jambi pada Tahun 2004 dan Tahun 2014. Adapun data yang digunakan adalah data sekunder dari hasil survei Pendapatan Petani yang dilakukan BPS dengan jumlah responden sebanyak 8407 rumah tangga pertanian pada 69 kecamatan pada tahun 2004 dan 9968 rumah tangga pertanian pada 127 kecamatan pada tahun 2014. Adapun alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa model regresi tahun 2004 tidak bisa di analisis karena nilai dari uji F model > 0,05. Sementara itu untuk tahun 2014, terdapat tiga variabel bebas yang berpengaruh yaitu ketimpangan pendapatan petani, jumlah yang berusaha di sektor pertanian dan jumlah buruh non pertanian dengan tingkat signifikansi sebesar 0,001 dan nilai koefesien dari masing-masing variabel bebas adalah 0,54, (-0,00082) dan (-0,0032) sedangkan pengaruh serentak dari variabel bebas ini adalah 39, 58 persen.

Kata Kunci: Ketimpangan Penguasaan Tanah, Ketimpangan Pendapatan, Rumah Tangga Pertanian

Page 186: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

399

PENDAHULUAN

Salah satu masalah fundamental yang dihadapi sektor pertanian adalah masalah sumber daya tanah. Masalah ini berupa ketimpangan distribusi penguasaan tanah, kelangkaan dan tingginya biaya pengolahan tanah (Kuncoro 2010). Selanjutnya fakta tentang tanah di Indonesia dapat dilihat dari hasil Sensus Pertanian 2013, tercatat sekitar 55 persen rumah tangga pertanian memiliki tanah kurang dari 0.5 Ha. Keadaan penguasaan tanah sejumlah tersebut tentunya sangat sukar untuk mendukung kesejahteraan petani. Sedangkan fakta tentang ketimpangan penguasaan tanah dijelaskan Karimi (2014) bahwa gini ratio penguasaan tanah pertanian di Indonesia dari tahun 1973 hingga tahun 2013 berada diatas angka 0,5. Sementara itu Institute for Development of Economis and Finance (INDEF) justru mendapatkan angka gini ratio penguasaan tanah pertanian yang lebih tinggi. Dengan menggunakan data sensus pertanian tahun 2013 INDEF mencatat bahwa secara global di Indonesia angka gini rasio penguasaan tanah pertanian mencapai 0,64. Angka ini menunjukkan bahwa ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia berada pada tingkat yang parah.

Sementara itu provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi yang masih mengandalkan sektor pertanian terutama perkebunan sebagai sektor yang paling besar kontribusinya dalam PDRB. Terdapat asumsi bahwa penguasaan tanah sektor perkebunan dinilai ekonomis jika diusahakan dalam skala besar atau minimal 2 Ha. Tentunya hanya petani dengan modal besar yang mampu mengelolanya sementara itu petani kecil umumnya sebagai pekerja pada petani tersebut. Kondisi demikian diduga ikut memperparah ketimpangan penguasaan tanah. Berdasarkan fenomena ini maka perlu diadakan kajian mendalam tentang bagaimana kondisi ketimpangan pendapatan petani, ketimpangan penguasaan tanah, jumlah yang berusaha di sektor pertanian dan jumlah buruh nonpertanian Provinsi Jambi tahun 2004 dan tahun 2014 serta faktor-faktor penyebab ketimpangan penguasaan tanah di provinsi jambi.

KERANGKA TEORI DAN METODOLOGI

Tanah merupakan bagian dari Sumber daya dan faktor ekonomi yang menentukan

pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Hal ini karena ketersediaan tanah merupakan salah satu faktor produksi utama yang menentukan tingkat produktivitas pertanian. Sementara itu menurut Todaro dan Smith (2003) salah satu masalah pokok yang dihadapi pertanian di Asia adalah terkonsentrasinya tanah pada petani dengan modal besar dan petani dengan kepemilikan lahan yang sempit yang tidak mampu memberikan kesejahteraan. Kondisi tersebut menjadi penyebab anjloknya tingkat produksi dan menjadi salah satu penyebab inefesiensi dalam pertanian. Hal ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan kemiskinan.

Beberapa ahli mengemukakan faktor yang mempengaruhi penguasaan tanah diantaranya adalah Barlowe (1986) yang menyatakan perkembangan teknologi, tingkat pendidikan, proporsi pendapatan usaha tani terhadap penerimaan rumah tangga, usia, faktor alam, jumlah tabungan dan dukungan pemerintah. Selanjutnya Soekartawi (1986) menambahkan pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga dan harga jual panen. Lebih lanjut Suhendar (1995) menjelaskan bahwa pendapatan rumah tangga petani diduga menjadi penyebab ketimpangan penguasaan tanah karena petani dengan modal yang besar lebih mampu memperbesar produksinya dengan cara membeli atau menyewa tanah. Sementara itu dewasa ini sebagian besar generasi muda tidak tertarik untuk bekerja di sektor pertanian. Hal ini juga menyebabkan ketimpangan penguasaan tanah meningkat (Xie & Lu, 2017).

Page 187: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

400 JEPA, 3 (2), 2019: 398-407

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Meskipun sektor pertanian sebagai salah satu sektor terbesar yang menampung tenaga kerja namun sektor ini belum mampu memberikan kesejahteraan. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya produktifitas di sektor pertanian yang di akibatkan oleh ketersediaan tanah yang semakin langka. Menurut (Himpuni, 2014) beberapa faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja di sektor pertanian adalah permintaan jenis tenaga kerja di sektor pertanian, pembangunan di sektor pertanian, tingkat upah, produktivitas dan luas tanah pertanian

Berdasarkan penjelasan diatas maka dibentuklah model penelitian sebagai berikut: Gini_land = f {Gini_Inc, Entrepreneur_Agrc, Labour_nonAgrc}…..(3.1)

Persamaan linier model regresi berganda (OLS) dapat dirumuskan dalam model berikut: Gini_Land = β0 + β1 Gini_ INC + β2 Entrepreneur_Agrc +

Β3 Labor_nonAgrc + ε ..................................................(3.2) atau I = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + ε.

dengan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : a. Variabel Terikat/Dependen (I)

I : Indeks gini ratio ketimpangan penguasaan tanah pertanian b. Variabel Bebas / Independen

X1 : Indeks gini ratio ketimpangan pendapatan petani X2 : Jumlah yang berusaha di sektor pertanian X3 : Jumlah buruh di sektor nonpertanian β0 : Konstanta / Intercept β1 β2 β3 : Koefisien Regresi ε : Kesalahan pengganggu ( variabel lain di luar model)

Sebelum pembentukan model maka dicari koefesien gini ratio penguasaan tanah dan koefesien gini pendapatan petani. Secara ringkas formulasinya sebagai berikut:

G = 1 + !" - 2/n2Yr [ ∑ $%"&'! ]

Keterangan : G = Indeks Gini Nilai G berada pada selang 0 dan 1, dengan kategori sebagai berikut:

Ø kategori ketimpangan berat apabila G > 0,5 Ø kategori ketimpangan sedang apabila 0,4 < G < 0,5 Ø kategori ketimpangan ringan apabila G < 0,4.

n = jumlah rumah tangga contoh. Yi = Total luas tanah yang dikuasai oleh rumah tangga petani ke i atau total tingkat pendapatan

yang diperoleh oleh rumah tangga petani ke i. Yr = rata-rata luas tanah yang dikuasai rumah tangga petani atau rata-rata pendapatan petani

yang diperoleh. Setelah ditemukan model terbaik selanjutnya model ini dilakukan uji asumsi klasik

dan uji signifikansi parameter dari variabel bebas. Penelitian ini menggunakan data BPS dari Survei Pendapatan Petani dengan jumlah

sampel 9.968 rumah tangga pada 127 kecamatan tahun 2014 dan 8.407 rumah tangga pada 69 kecamatan tahun 2004. Data yang tesedia selanjutnya diolah dengan menggunakan aplikasi komputer yang telah banyak digunakan. Hasil pengolahan data selanjutnya dianalisis dengan metode kualitatif dan metode kuantitatif.

Page 188: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

401

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Kondisi Ketimpangan Penguasaan Tanah dan Pendapatan serta Karakteristik Rumah Tangga Pertanian pada Provinsi Jambi Tahun 2004 dan Tahun 2014

Sekitar 59 persen dari keseluruhan kecamatan yang ada di Provinsi Jambi tahun 2004 dan 2014 mengalami kenaikan penguasaan tanah. Kenaikan paling besar terjadi pada lahan pertanian non sawah. Kenaikan penguasaan tanah ini paling besar terjadi pada tanah perkebunan (Tabel 1). Hal ini juga dibuktikan dengan persentase sumbangan sektor perkebunan terhadap PDRB yaitu sebesar 29,79 persen dan sektor perkebunan merupakan salah satu sektor utama dalam memberikan kontribusi PDRB Jambi. Sementara itu selama sepuluh tahun terakhir terjadi penurunan jumlah penguasaan lahan pertanian sawah sebesar 8,9 persen. Hal ini disebabkan oleh tingginya penggunaan lahan sawah yang digunakan untuk pemukiman dan aktivitas ekonomi di sektor nonpertanian.

Tabel 1. Nilai Minimum, Maximum, Jumlah dan Rata-rata Penguasaan Tanah (*000 Ha) serta

Koefesien gini ratio per kecamatan pada Rumah Tangga Sampel Survei Pendapatan Petani di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2004 dan Tahun 2014

Keterangan 2004 2014 N Min* Max* Sum* Mean* N* Min* Max* Sum* Mean*

Luas Lahan sawah 65 ,0014 1,56 17,19 0,26 86 ,0100 1,43 15,66 0,18

Luas lahan pertanian nonsawah

69 ,1271 4,76 115,27 1,67 126 ,0700 5,07 266,96 2,12

Luas Lahan Nonpertanian 69 ,0094 0,81 7,02 0,10 127 ,0100 0,89 12,49 0,10

Total Luas Tanah yang Dikuasai

69 ,2008 4,88 139,48 2,02 127 ,1000 5,34 295,17 2,32

Koefesien Gini Ratio Penguasaan Tanah

69 ,0300 0,74 - 0,41 127 ,0100 0,76 - 0,44

Sumber; BPS (data diolah) Sedangkan indeks gini penguasaan tanah pada tahun 2004 dan 2014 secara rata-rata

mengalami kenaikan sebesar 0,03. Kondisi tingkat ketimpangan tanah pada provinsi jambi secara umum masih berada pada tingkat ketimpangan sedang. Walaupun demikian jika dilihat secara rinci maka terjadi penambahan jumlah kecamatan yang mengalami tingkat ketimpangan parah. Peningkatan kecamatan yang mengalami tingkat ketimpangan parah disebabkan oleh adanya perilaku para pemilik modal yang lebih cenderung menginvestasikan uang mereka dalam bentuk tanah karena dianggap lebih menguntungkan. Petani terdesak kebutuhan hidup sehingga rela menjual lahannya dengan asumsi mereka masih bisa hidup dari menjadi buruh atau bagi hasil pada sektor perkebunan. Hal ini dijelaskan oleh Jonida Bou Diba, ett all (2018) bahwa 70 persen pendapatan rumah tangga petani tanpa lahan di Provinsi Jambi berasal dari anggota rumah tangga yang menjadi buruh sektor pertanian khususnya sektor perkebunan.

Sumbangan terbesar pendapatan rumah tangga pertanian di Provinsi Jambi tahun 2004 dan tahun 2014 berasal dari usaha sektor pertanian kemudian diikuti oleh usaha di luar sektor pertanian dan penerimaan dari upah buruh di luar sektor pertanian (Tabel 2). Sumber pendapatan dari menjadi buruh di luar sektor pertanian merupakan sektor yang mengalami peningkatan

Page 189: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

402 JEPA, 3 (2), 2019: 398-407

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

kontribusi selama periode sepuluh tahun. Hal ini menjelaskan bahwa terjadi peningkatan jumlah anggota rumah tangga pertanian yang bekerja sebagai buruh di sektor nonpertanian. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan terhadap Total Pendapatan Rumah Tangga Pertanian

di Provinsi Jambi Tahun 2004 dan Tahun 2014

Sumber Pendapatan 2004 (%)

2014 (%)

Usaha sektor pertanian 61,53 61,16 Usaha di luar sektor pertanian 10,29 10,24 Pendapatan/penerimaan lainnya dan transfer 10,26 5,20 Upah/gaji buruh di sektor pertanian 8,84 8,15 Upah/gaji buruh di luar sektor pertanian 10,63 15,25

Sumber: Hasil Olah Data SPP 2004 dan 2014 Pada tahun 2004 angka gini ratio pendapatan maksimum berada pada angka 0,49

(Kecamatan Air Hangat Timur) dan angka gini ratio pendapatan minimum berada pada angka 0,14 (Kecamatan Rantau Pandan). Sedangkan pada tahun 2014 angka gini ratio pendapatan maksimum berada pada angka 0,61 (Kecamatan Bahar Utara) dan angka gini ratio pendapatan minimum berada pada angka 0,91 (Kecamatan Bahar Selatan). Sementara itu kondisi ketimpangan pendapatan pada rumah tangga pertanian secara umum berada pada tingkat rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase banyaknya jumlah kecamatan yang memiliki indeks gini ratio dibawah nilai 0,4 yaitu lebih dari 70 persen pada tahun 2004 dan 2014 (Gambar1).

Gambar 1. Pengelompokkan Jumlah Kecamatan Berdasarkan Angka Gini Ratio Pendapatan di

Provinsi Jambi Tahun 2004 dan Tahun 2014 Gambar 8 menjelaskan bahwa terjadi penurunan persentase yang berusaha di sektor pertanian sebesar 6 persen yaitu 69 persen tahun 2004 menjadi 63 persen tahun 2014. Penurunan persentase ini juga terjadi pada buruh di sektor pertanian yaitu sebesar 2 persen yaitu dari angka 22 persen pada tahun 2004 menjadi 20 persen pada tahun 2014. Sedangkan untuk buruh/karyawan di luar sektor pertanian terjadi hal yang sebaliknya yaitu terjadi kenaikan persentase sebesar 8 persen dari 9 persen pada tahun 2004 menjadi 17 persen pada tahun 2014.

54

15

94

29

4

G < 0,4 0,4 < G < 0,5 G > 0,5

2004 2014

Page 190: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

403

Gambar 2. Persentase Jumlah Status Ketenagakerjaan di Provinsi Jambi Tahun 2004 dan Tahun

2014

Tingkat pendidikan anggota rumah tangga pertanian yang berusaha dan yang menjadi buruh disektor pertanian masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan tingginya kepemilikan ijazah SD/setara yaitu diatas 35 persen baik pada tahun 2004 maupun 2014. Sedangkan untuk buruh di luar sektor pertanian terjadi perubahan yang signifikan yaitu ijazah tertinggi yang dimiliki didominasi oleh tamatan SMA/ sederajat yaitu sebesar 31,4 persen. Kondisi rendahnya tingkat pendidikan di sektor pertanian di Provinsi Jambi ini bisa diartikan sebagai rendahnya minat individu dalam rumah tangga pertanian dengan pendidikan tinggi untuk berkecimpung di sektor pertanian. Jika dilihat dari sisi gender pada tahun 2004 persentase yang berusaha dan jumlah pekerja di sektor pertanian serta pekerja non sektor pertanian didominasi oleh laki-laki. Pada tahun 2014 Kondisi ini tidak berubah justru mengalami kenaikan persentase yaitu diatas 70 persen. Dengan kata lain jumlah perempuan dalam rumah tangga pertanian yang berusaha dan menjadi buruh di sektor pertanian serta buruh di sektor nonpertanian mengalami penurunan. Sementara itu dari sisi usia yang berusaha dan buruh di sektor pertanian berada pada rentang usia 40 tahun ke atas yaitu sebesar 44 persen. Dengan kata lain anggota rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian didominasi oleh kaum tua. Sementara itu kaum muda yang berusia 20-39 tahun lebih banyak bekerja menjadi buruh di sektor nonpertanian dengan persentase lebih dari 58 persen. Hal ini juga berarti rendahnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian. Pengaruh Ketimpangan Pendapatan Petani, Jumlah yang Berusaha di Sektor Pertanian dan Jumlah Buruh Sektor Nonpertanian terhadap Ketimpangan Penguasaan Tanah di Provinsi Jambi Tahun 2004 dan Tahun 2014

Setelah melalui beberapa tahapan maka dalam penelitian ini diperoleh model regresi OLS yang memenuhi uji statitistik dan uji asumsi klasik yaitu sebagai berikut: Gini_Land= β0 +β1Gini_ Inc +β2 Entrepreneur_Agrc +β3 Labor_nonAgrc+ ε

69%

22%9%

63%

20% 17%

Jumlah yang berusaha di sektorpertanian

Jumlah Buruh di SektorPertanian

Jumlah Buruh/Karyawan di LuarSektor Pertanian

2004 2014

Page 191: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

404 JEPA, 3 (2), 2019: 398-407

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 3. Uji Asumsi Klasik OLS Pada Model Regresi di Provinsi Jambi Tahun 2004 dan Tahun 2014

Asumsi Jenis Uji P-Value

2004 2014

Keterangan

Kenormalan Shapiro-wilk W test 0,241 0,118

Terima H0 (Normal)

Heteroskesdastisitas

Brreusch-Pagan test Pagan /Cook-Weiberg test

0,344 0,586

Terima H0 (Tidak ada Heteroskesdastisitas)

Multikolinearitas Tidak terjadi multikoniearitas jika nilai Vif diantara 1,46 -10,34

1,11 1,7

Tidak ada Multikolinearitas

Uji kenormalan kedua model menunjukkan bahwa asumsi kenormalan terhadap residu

menunjukkan distribusi yang normal. Begitupun dengan uji heterogenitas menunjukkan bahwa tidak terdapat heteroskesdastisitas. Selanjutnya untuk uji multikolinearitas nilai rata-rata VIF kedua model kurang dari 10 sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas. Tabel 4. Hasil Regresi Model Pengaruh Ketimpangan Pendapatan, Jumlah yang berusaha di

Sektor Pertanian, dan Jumlah Buruh Sektor non Pertanian terhadap Ketimpangan Penguasaan Tanah

Variabel OLS_2004 OLS_2014 Gini_land Gini_land

Gini_Inc 0,459 0,543 (2.54)** (4,98)*** Entrepreneur_Agrc -0,00003 -0,00081 (-0,24) (-4,11)*** Labor_non_agrc -0,0004 0,0032 (-0,83) (6,65)*** Constant 0,275 0,247 (4,34)*** (6,36)*** Observations 69 127 Prob > F 0,071 0,000 R-Squared 0,10 0,4 Catatan: *** Signifikan level 1 persen; ** Signifikan level 5 persen, * Signifikan level 10 persen

Sumber: Hasil Olah Data SPP 2004 dan SPP 2014 Tahun 2004

Persamaan ketimpangan pendapatan, jumlah yang berusaha di sektor pertanian dan jumlah buruh non pertanian yang diduga berpengaruh terhadap ketimpangan penguasaan tanah dipaparkan sebagai berikut : Gini_Land = 0,275 + 0,459 Gini_ INC – 0,000026Entrepreneur_Agrc+

0,00045Labor_nonAgrc + ε

Page 192: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

405

Berdasarkan perhitungan besarnya probabilitas F statistik sebesar 0,071 artinya dengan tingkat kerpercayaan 99 persen secara bersama-sama ketimpangan pendapatan, jumlah yang berusaha di sektor pertanian, jumlah buruh sektor pertanian dan jumlah buruh non pertanian tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan penguasaan tanah atau dengan kata lain berdasarkan uji overall F test dapat disimpulkan bahwa model yang diperoleh tidak layak dipergunakan dalam analisis karena Fhit >Ftabel (0,071>0,05) jadi tolak H0. Tahun 2014

Ketimpangan pendapatan petani, jumlah yang berusaha di sektor pertanian dan jumlah buruh non pertanian memiliki pengaruh signifikan terhadap ketimpangan penguasaan tanah. Ketimpangan pendapatan petani, jumlah yang berusaha di sektor pertanian dan jumlah buruh non pertanian memiliki tingkat signifikansi 99 persen. Sementara itu berdasarkan perhitungan besarnya probabilitas F statistik sebesar 0,00 artinya dengan tingkat kerpercayaan 99 persen secara bersama-sama ketimpangan pendapatan, jumlah yang berusaha di sektor pertanian, jumlah buruh sektor pertanian dan jumlah buruh non pertanian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan penguasaan tanah atau dengan kata lain berdasarkan uji overall F test dapat disimpulkan bahwa model yang diperoleh layak dipergunakan dalam analisis. Selanjutnya dari hasil perhitungan nilai R2 diperoleh nilai sebesar 39,58 persen. Nilai ini menjelaskan bahwa semua variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen sebesar 39,58 persen dan sisanya sebesar 60,42 persen. Sementara itu persamaannya dapat dijelaskan berikut ini: Gini_Land = 0,25+0,54 Gini_ INC–0,00082Entrepreneur_Agrc+0,0032 Labor_non_Agrc + ε

Dari persamaan diatas dapat dijelaskan ketimpangan pendapatan memiliki koefesien

regresi sebesar 0,54 dan menunjukkan hubungan yang positif. Hal ini berarti jika ketimpangan pendapatan petani meningkat satu persen maka hal ini berpengaruh terhadap peningkatan ketimpangan penguasaan tanah sebesar 0,54. Menurut Prof. Gunnar Myrdal dalam Todaro (1993) salah satu penyebab ketimpangan penguasaan tanah adalah meningkatnya kekuatan pemilik modal yang bertindak sebagai rentenir. Kemudian Suhendar (1995) menyatakan Petani kaya lebih mampu memperbaiki nasibnya berdasarkan aset tanah dan modal yang dimiliki dibandingkan petani kecil. Perilaku petani kaya ini selain semakin memperbesar ketimpangan distribusi pendapatan juga meperlebar ketimpangan penguasaan tanah.

Jumlah yang berusaha di sektor pertanian memiliki koefesien regresi sebesar 0,00082 dan hubungan yang negatif. Angka ini mengandung pengertian jika jumlah yang berusaha di sektor pertanian berkurang sebesar satu persen maka hal ini berpengaruh terhadap naiknya ketimpangan penguasaan tanah pertanian sebesar 0,00082. Hal yang menjadi penyebab berkurangnya petani yang berusaha di sektor pertanian salah satunya adalah untuk mencari penghidupan yang lebih baik pada sektor lain. Hal ini sesuai dengan ulasan Wiradi & White (2009) salah satu yang menjadi motivasi petani memasuki usaha di luar pertanian adalah mempertahankan hidup agar tetap hidup karena di sektor pertanian tidak mencukupi. Tidak jarang untuk memulai usaha di luar sektor pertanian ini para petani harus menjual tanah yang mereka miliki kepada petani lain yang memiliki modal lebih besar. Alasan lainnya penjualan tanah untuk usaha di luar sektor pertanian karena mereka menilai usaha di luar sektor pertanian tidak membutuhkan lahan yang luas. Ketika usaha mereka tidak menunjukkan hasil mereka kembali menjadi petani yang tidak memiliki tanah. Hal ini menyebabkan terakumulasinya tanah pada petani dengan modal yang besar jika kondisi ini terus berlanjut akan semakin memperlebar ketimpangan tanah.

Page 193: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

406 JEPA, 3 (2), 2019: 398-407

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Jumlah buruh di sektor nonpertanian memiliki koefesien regresi sebesar 0,0032 dan menunjukkan hubungan yang positif. Angka ini bermakna jika jumlah buruh di sektor pertanian meningkat satu persen maka hal ini berpengaruh terhadap peningkatan ketimpangan penguasaan tanah sebesar 0,0032. Seringkali petani yang berada di pedesaan melakukan urbanisasi dengan alasan untuk bekerja disektor nonpertanian. Menurut Gunawan & Erwidodo (1992) kecenderungan untuk melakukan urbanisasi lebih besar terjadi pada petani pemilik lahan yang kecil dan tunakisma sedangkan pada petani dengan lahan yang luas kecenderungan melakukan urbanisasi dilakukan oleh kaum muda karena mereka beranggapan bahwa bekerja disektor pertanian berkonotasi inferior sehingga di sektor pertanian hanya menyisakan kaum tua. Biaya untuk bekerja di sektor nonpertanian ini bagi petani kecil mereka peroleh dari hasil menggadaikan tanah atau justru menjualnya. Sementara itu bagi petani dengan penguasaan tanah yang luas karena faktor usia sehingga menyebabkan kurangnya kekuatan untuk berusaha, mereka menyewakan tanah mereka pada petani yang memiliki modal yang lebih besar. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab terakumulasinya tanah pada petani yang kaya yang akhirnya memperparah tingkat ketimpangan tanah. Selanjutnya dijelaskan oleh Tambunan (2001) dampak positif dari pembangunan ekonomi nasional diantaranya adalah semakin berkembangnya sektor diluar pertanian (manufaktur, perdagangan, perbengkelan dan jasa lainnya) dan penerapan teknologi baru dan penggunaan input-input yang lebih baik di wilayah pedesaan. Dampak tersebut juga berimplikasi pada naiknya ketimpangan tanah di tingkat petani. Dengan beralihnya petani ke sektor di luar pertanian disertai pula perpindahan penguasaan tanah karena sektor tersebut tidak membutuhkan tanah dalam jumlah luas. Penggunaan teknologi dan input lain semakin mengurangi jumlah yang berusaha di sektor pertanian yang juga meningkatkan ketimpangan penguasaan tanah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Selama kurun waktu sepuluh tahun terdapat peningkatan jumlah kecamatan yang memiliki luas penguasaan tanah sebesar 2 Ha yaitu dari 25 kecamatan menjadi 47 kecamatan. Sementara itu untuk angka gini ratio ketimpangan penguasaan tanah, pada tahun 2004 umumnya ketimpangan penguasaan tanah hanya berada pada tingkat rendah tetapi tahun 2014 kondisi ini mengalami peningkatan menjadi tingkat ketimpangan sedang. Sedangkan kondisi pendapatan petani didominasi oleh perkebunan. Sementara itu angka gini ratio ketimpangan pendapatan pada tahun 2004 dan tahun 2014 berada tingkat keparahan rendah. Selanjutnya kondisi tingkat pendidikan petani pada umumnya hanya memiliki ijazah SD sederajat. Lebih lanjut tenaga kerja dari rumah tangga pertanian ini didominasi oleh laki-laki dan berada pada rentang usia terbanyak 40 tahun ke atas. Sementara itu untuk model regresi Provinsi Jambi tahun 2004 tidak bisa di analisis karena nilai dari uji F model lebih besar dari 0,05. Sementara itu untuk tahun 2014 diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh ketimpangan pendapatan petani, jumlah yang berusaha di sektor pertanian dan jumlah buruh non pertanian terhadap ketimpangan penguasaan tanah dengan tingkat signifikan satu persen dan pengaruh variabel bebas terhadap ketimpangan penguasaan tanah tersebut adalah 39,58 persen sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar model.

Proses ketimpangan penguasaan tanah berlansung secara perlahan dan akan semakin parah dari tahun ke tahun. Kondisi ini perlu diatasi dengan menerapkan kebijakan pembangunan yang tepat yang melibatkan masyarakat khususnya petani atau konsep bottom-up planning sehingga dalam pemanfaatan tanah dapat dilakukan dengan bijak dan sesuai dengan peruntukkan tanah dan perlu dilakukan program peningkatan pengetahuan petani dan minat

Page 194: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

407

generasi muda terhadap pertanian. Sebagai tindak lanjut perlu diadakan penelitian lanjutan tentang variabel lain di luar model yang mempengaruhi ketimpangan tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2014. Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian Tahun 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik

Barlowe, R. (1986). Land Resources Economics : The Economics of Real estates. Washington: Prentice Hall.

Dumayri. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga. Jakarta Jonida Bou Dib, Vijesh V. Krishna, Zulkifli Alamsyah & Matin Qaim. 2018. Land_Use Change

and Livelihoods of Non-farm Households: The ole of Income from Employment in Oil Palm and Rubber in Rural Indonesia. Elsevier

Karimi, Syafruddin. 2014. Makalah Demokrasi: Sistem Pasar dan Redistribusi Kapasitas Produktif. Unand: Padang

Kuncoro, M. (2010). Masalah, Kebijakan dan Politik Ekonomi Pembangunan. Jakarta, Erlangga.

Machmud Amir. 2016. Perekonomian Indonesia Pasca Reformasi. Erlangga. Jakarta M. Gunawan & Erwidodo. 1992. Studi Dinamika Keterkaitan Desa Kota. Bogor. Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi.Monograph No.4. Okwan Himpuni. 2014. Tesis: Perubahan Srtruktural Tenaga kerja Pertanian ke Non Pertanian

di Provinsi Lampung. IPB. Bogor Soekartawi, Dilon, J., Hardaker, J., & Soeharjo, A. (1986). Ilmu Usahatani dan penelitian untuk

Perkembangan Petani Kecil. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Suhendar, E. (1995). Ketimpangan Penguasaan Tanah di Jawa Barat. Jakarta: Yayasan

Akatiga. Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2003). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta:

Erlangga Tulus Tambunan T. 2001. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Jakarta : Ghalia

Indonesia Wiradi, G., & white, B. (2009). Reforma Agraria dalam Tinjauan Komparatif. Bogor: Brigthen

Institute. Wiradi, G. (2009). Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria.

Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN). Xie, Hualin & Hua Lu. 2017. Impact of land fragmentation and non-agricultural labor supply

on circulation of agricultural land management rights. Elsivier, 1

Page 195: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 408-418

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.16

PENGARUH PERILAKU PETANI PADI TERHADAP PENGGUNAAN BENIH PADI BERSUBSIDI DI DESA TLOGOWERU KECAMATAN GUNTUR

KABUPATEN DEMAK

THE EFFECT OF RICE FARMER BEHAVIOR TO USE SUBSIDIZED RICE SEEDS IN TLOGOWERU VILLAGE GUNTUR DISTRICT DEMAK REGENCY

Liana Endah Fadhillah*, Sriroso Satmoko, dan Tutik Dalmiyatun

Program Studi Agribisnis, Fakultas Peternakan dan Pertanian Univeristas Diponegoro *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Seed subsidies are one of the policies implemented by the Ministry of Agriculture to provide quality rice seeds to to increase the production of rice. This research aims to describe and analyze farmer's behavior (knowledge, attitudes and skills) towards the use of subsidized rice seeds. This research was carried out on June – july in Tlogoweru Village Guntur District Demak Regency. Method is a quantitative method with survey techniques. Data were analized with descriptive analysis and multiple linear regression test. Results of the research showed that the farmer's behavior include knowledge is know or good level, attitudes and skills classified as very agree or very good level. While, the use of subsidized rice seeds is classified as neutral or ordinary level. Knowledge and skills partially do not affect the use of subsidized rice seeds, while the attitude influences the use of subsidized rice seeds. Simultaneously knowledge, attitudes and skills influence the use of subsidized rice seeds.

Keywords : farmer behavior, seed subsidies, tlogoweru village

ABSTRAK

Subsidi benih merupakan salah satu kebijakan yang dilaksanakan Kementerian Pertanian untuk menyediakan benih padi yang bermutu untuk meningkatkan produksi padi. Penelitian ini bertujuan untuk mengdeskripsikan dan menganalisis perilaku petani (pengetahuan, sikap dan keterampilan) terhadap penggunaan benih padi bersubsidi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2018 di Desa Tlogoweru Kecamatan Guntur Kabupaten Demak. Metode penelitian adalah metode kuantitaif dengan teknik survei. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif dan uji regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan perilaku petani meliputi pengetahuan tegolong tahu atau baik, sikap dan keterampilan tergolong sangat setuju atau sangat baik. Sedangkan, penggunaan benih padi bersubsidi tergolong netral atau biasa. Pengetahuan dan keterampilan secara parsial tidak berpengaruh terhadap penggunaan benih padi bersubsidi, sedangkan sikap berpengaruh terhadap penggunaan benih padi bersubsidi. Secara serempak pengetahuan, sikap dan keterampilan berpengaruh terhadap penggunaan benih padi bersubsidi.

Kata kunci : perilaku petani, subsidi benih, Desa Tlogoweru

Page 196: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

409

PENDAHULUAN

Padi merupakan salah satu tanaman pangan yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Tanaman padi menghasilkan beras yang merupakan makanan pokok bagi sebagian penduduk di Indonesia. Padi juga menjadi sandaran hidup bagi sebagian mayoritas penduduk di negeri ini, tetapi petani di Indonesia belum mampu menyukupi permintaan dalam negeri dan kemudian impor dari negara lain. Beberapa hal yang mempengaruhi kenapa petani tidak mampu memenuhi permintaan pasar salah salah satunya produktivitas masih rendah dan banyak lahan yang beralih fungsi. Berdasarkan hal tersebut pemerintah melalui Kementerian Pertanian memberikan bantuan benih padi bersubsidi dengan tujuan membantu petani mendapatkan benih bermutu dengan harga terjangkau sehingga menghasilkan produksi yang berkualitas.

Subsidi benih dilaksanakan untuk mendukung program peningkatan produktivitas yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satu contoh untuk mendukung program tersebut dengan pemberian subsidi benih varietas unggul oleh pemerintah. Pelaksanaan subsidi benih yang dilakukan pemerintah masih kurang tepat dalam pemberian benih padi yang kurang sesuai dengan kebutuhan petani. Varietas benih padi yang di subsidi oleh pemerintah adalah varietas ciherang. Varietas ciherang memiliki bebrapa keunggulan seperti memiliki potensi hasil 8,5 ton/tahun dengan rata-rata hasil 6,0 ton/tahun dan tahan terhadap wereng coklat.

Perilaku merupakan suatu tindakan yang secara nyata dapat diamati. Perilaku biasa terjadi karena adanya suatu pengetahuan yang dimiliki tiap individu yang kemudian berubah menjadi sikap terhadap sesuatu obyek untuk ditindaklanjuti dalam sebuah tindakan berbentuk keterampilan. Bagaimana perilaku petani terhadap adanya program subsidi benih yang dilaksanakan pemerintah. Pengetahuan petani terhadap subsidi benih baik dari kualitas benih yag diperoleh dan kemudian digunakan. Sikap petani untuk tetap menggunakan benih padi yang diterimanya. Bagaimana respon petani terhadap program tersebut apakah mendukung atau tidak. Adanya subsidi benih tersebut meningkatnya keterampilan petani dalam berusahatani dengan meningktanya jumlah produksi yang dihasilkan. Sehingga perilaku petani terhadap subsidi benih dapat menjadi gambaran bagaimana pelaksanaan subsidi benih di lapangan diterima dan didukung atau tidak di masyarakat.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengdeskripsikan perilaku petani, mengetahui penggunaan benih padi bersubsidi di petani dan menganalisis pengaruh perilaku petani terhadap penggunaan benih padi bersubsidi di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan teknik survai. Menurut Singarimbun dan Effendi (2006) menyatakan bahwa teknik survei adalah teknik yang dilakukan dengan menggunakan sampel dari suatu populasi dengan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel dengan pengujian hipotesis. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2018 di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak

Desa Tlogoweru dipilih sebagai lokasi penelitian secara purposive berdasarkan keseluruhan kelompok tani menerima subsidi benih padi serta memiliki sistem pertanian terpadu dengan memanfaatkan Tyto Alba (Burung Hantu) sebagai predator alami tikus sawah. Penelitian ini menggunakan seluruh anggota 3 kelompok tani yang mendapatkan subsidi benih padi di

Page 197: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

410 JEPA, 3 (2), 2019: 408-418

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Desa Tlogoweru yaitu Margo Kamulyan sebanyak 35 orang, Tulodo Makaryo sebanyak 35 orang dan Mintorogo sebanyak 35 orang, sehingga jumlah responden sebanyak 105 orang.

Data yang dikumpulkan didapatkan melalui kuesioner dan obesrvasi. Kuesioner menggunakan pertanyaan terbuka dan tertutup. Observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap petani penerima subsisdi benih dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari variabel X dan variabel Y. Data sekunder diperoleh dari dokumentasi dari instansi terkait. Skala Likert adalah skala untuk mengukur tingkat persetujuan atau ketidaksetujuan responden terhadap beberapa pertanyaan untuk mengukur suatu objek. Pengukuran dilakukan dengan menjumlah jawaban yang diperoleh dan kemudian di sesuaikan dengan masing-masing kelompok. Rumus interval untuk memperoleh kategori skor menjadi kelompok dengan rumus sebagai berikut :

Interval = Xn - X1

K …………….. (Rijanta et al., 2018)

Keterangan Xn = Nilai Maksimum X1 = Nilai Minimum K = Jumlah Kelas

Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif. Analisis deskripsif digunakan untuk menggambarkan keadaan umum petani di Desa Tlogoweru. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis pengaruh bebas terhadap variabel terikat.

Pengaruh perilaku petani terhadap penggunaan benih padi bersubsidi menggunakan uji regresi linier berganda dengan terlebih dahulu di uji asumsi klasik Uji Reliabilitas dan Validitas

Uji reliabilitas, jika nilai Cronbach Alpha > 0,07 maka variabel reliabel atau handal. Uji validitas, jika nilai r hitung > r table, maka kuesioner valid atau sah.

Uji Asumsi Klasik Uji normalitas, jika nilai signifikansi > 0,05 maka data terdistribusi dengan normal, dan

jika < 0,05 maka data terdistribusi dengan tidak normal. Uji mutikolinearitas, jika nilai tolerance ≤ 0,10 dan VIF ≥ 10, maka data bebas dari

multikolinearitas. Uji heterokedastisitas, jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atats dan

dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heterokesdastisitas Uji autokorelasi, dengan uji Durbin-Watson (DW test) jika du < d < 4 – du maka tidak

terdapat autokorelasi Regresi Linier Berganda

Model persamaan regresi linier berganda yang terbentuk sebagai berikut:

Y = a +b1X1 + b2X2 + b3X3 + e

Page 198: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

411

Keterangan Y = Penggunaan benih X1 = Pengetahuan (Skor) a = Konstanta X2 = Sikap (Skor) b = Koefisiensi masing-masing faktor X3 = Keterampilan (Skor) e = standard error

Uji F dilakukan untuk menunjukkan apakah semua variabel bebas memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat dengan derajat kepercayaan 5% atau 0,05.

Hipotesis :

Ho ditolak dan Ha diterima jika nilai sig ≤ 0,05 Ho diterima dan Ha ditolak jika nilai sig > 0,05 Uji t dilakukan untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh variabel independen secara

indivual dalam menerangkan variabel dependen dengan derajat kepercayaan 5% atau 0,05. Hipotesis :

Ho ditolak dan Ha diterima jika nilai sig ≤ 0,05 Ho diterima dan Ha ditolak jika nilai sig > 0,05 Koefisien determinasi bertujuan untuk untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model

dalam menerangkan variabel dependen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa persentase berdasarkan jenis kelamin didominasi oleh pria dengan sebesar 82,9% atau 87 orang dan wanita sebanyak 17,1% atau 18 orang. Jumlah responden yang didominasi pria disebabkan karena laki-laki memiliki banyak peran dalam proses bertani terutama bagian pekerjaan disawah sedangkan wanita lebih banyak bekerja untuk rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pendapat Purnama et al., (2017) yang menyatakan bahwa pada pelaksanaan budidaya tanaman padi pria memiliki partisipasi yang sangat besar dan memiilki curahan waktu kerja yang lebih dibandingan wanita.

Usia responden dibagi menjadi 2 kategori yaitu kategori usia produktif sebesar 85,7% atau 90 orang sedangkan 14.3% atau 15 orang kategori usia non produktif. Usia petani dapat mempengaruhi pengetahuan petani dalam pelaksanaan usahatani, sikap terhadap penerimaan informasi, inovasi yang diberikan penyuluh melalui kelompok tani dan juga teradap keterampilan petani dalam melaksanakan usahatani secara fisik. Hal ini didukung dengan pendapat Damayanti (2013) yang menyatakan bahwa usia petani padi sawah akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik dalam mengelola usaha yang ditekuninya.

Pendididikan responden dibagi menjadi 3 yaitu kategori rendah atau kurang dari 6 tahun sebanyak 38,1% atau 40 orang, kategori sedang atau rentang 7 – 12 tahun sebanyak 62,9% atau 62 orang dan kategori tinggi atau lebih daeri 12 taun sebanyak 14,3% atau 3 orang. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang berpengaruh dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam bertani.

Pekerjaan mayoritas responden adalah petani sebagai pekerjaan utama sebesar 97,1% sedangkan bertani sebagai pekerjaan sampingan sebesar 2,9%. Penduduk di desa Tlogoweru menggantungkan hidupnya sebagai petani. Sehingga pendapatan utama yang diperoleh petani berasal dari penjualan hasil pertanian..

Pendapatan responden dibagi menjadi 2 kategori yaitu pendapatan dibawah Upah Minimum Regional (UMR) sebanyak 53,3% atau 56 orang dan pendapatan diatas UMR sebesar

Page 199: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

412 JEPA, 3 (2), 2019: 408-418

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

46.6% atau 49 orang. Sedangkan UMR Kabupaten Demak sebesar Rp. 2.069.490,00. Hal tesebut dikarenakan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani sehingga hanya mengandalkan penjualan dari hasil tani. Pendapatan adalah hal paling pokok dalam keluarga karena untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dan pendapatan juga dapat mengambarkan bagaimana keadaan ekonomi sebuah keluarga.

Pengalaman bertani responden mayoritas Tlogoweru memiliki pengalaman bertani dalam rentang waktu 16 – 20 tahun dan lebih dari 20 tahun. Petani di Desa Tlogoweru memiliki pengalaman dalam betani yang cukup lama, dikarena pekerjaan sebagai petani adalah pekerjaan yang turun temurun dalam keluarga. Hal ini didukung oleh pendapat Muhdlor et al. (2018) yang menyatakan bahwa semakin lama petani bergabung dalam kelompok tani, maka semakin banyak pengalaman yang diperoleh seseorang akan membantu pekerjaan yang ditekuninya.

Mayoritas petani responden telah lama bergabung dengan kelompok tani selama lebih dari 6 tahun sebanyak 83,8%. Hal ini menujukkan bahwa lamanya petani bergabung dengan kelompok tani semakin meningkatkan pengetahuan petani dalam bertani serta sikap petani dalam menerima hal-hal baru yang diberikan dan petani mampu menyelesaikan permasalahnya dan meningkatkan keterampilan petani untuk bertani sehingga dapat optimal dalam berusahatani.

Luas lahan garapan responden terbagi menadi tiga kategori yaitu sempit atau kurang dari 1 Ha sebanyak 48,6% atau 51 orang, sedang atau rentang 1 – 2 Ha sebanyak 51,4% atau 54 orang dan luas atau lebih dari 2 Ha sebanyak 48,6% atau 51 orang. Luas lahan garapan berhubungan dengan sikap petani dalam mengadopsi inovasi maupun memilki keterampilan bertani serta kemampuan ekonomi yang lebih baik. Hal ini didukung dengan pendapat Manyamsari dan Mujiburrahmad (2014) yang menyatakan bahwa semakin luas lahan yang dimiliki petani, maka petani lebih cepat menerima informasi karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.

Status kepemilikan lahan di dominasi oleh lahan milik sendiri sebanyak 86,7% dan sewa lahan sebanyak 13,3%. Status kepemilikian lahan mempengaruhi perilaku petani dalam menggambil keputusan dalam menjalankan usahatani serta memiliki beberapa opsi pilihan untuk melaksanakan perencanaan maupun penerapan.

Varietas yang digunakan responden mayoritas adalah varietas padi ciherang. Varietas ciherang merupakan salah satu varietas unggul yang diberikan oleh pemerintah kepada petani melalui program subsidi benihmenurut pendapat Novitasari (2011) yang menyatakan bahwa Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) Departemen Pertanian mengeluarkan varietas unggul baru yaitu varietas ciherang guna meningkatkan produktivitas tanaman serta lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit.

Perilaku petani Pengetahuan Petani Tabel 1. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan Petani

Kriteria Jumlah (org) Persentase (%) Sangat Tahu

Tahu Netral

Tidak Tahu Sangat Tidak Tahu

27 60 18 0 0

25,7 57,1 17,1

0 0

Jumlah 105 100

Page 200: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

413

Berdasarkan pada Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa pengetahuan petani di Desa Tlogoweru sebagian besar tergolong dalam kategori Tahu sebanyak 57,1% atau 60 orang. Pengetahuan petani baik dikarenakan pengalaman petani dalam bertani, serta petani bergabung dengan kelompok tani. Mayoritas petani memiliki pengalaman bertani yang sudah lama sehingga petani bertani berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan dilakukan terus menerus setiap harinya. Keaktifan petani dalam bergabung dengan kelompok tani sehingga petani lebih terbuka akan informasi baru yang diperoleh setiap pertemuan rutin kelompok tani maupun penyuluhan yang diberikan oleh dinas. Pengetahuan merupakan tahapan awal seseorang untuk melahirkan tindakan yang berdasarkan pengalaman proses belajar baik formal maupun non formal serta wawasannya. Hal ini sesuai dengan pendpatan Sedana (2013) yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan tahapan awal dalam terjadinya persepsi yang akan melahirkan sikap dan kemudian melahirkan tindakan.yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengalaman, proses belajar, wawasan dan pengetahuannya. Sikap petani Tabel 2. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kategori Sikap Petani

Kriteria Jumlah (org) Persentase (%) Sangat Setuju

Setuju Netral

Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju

52 47 6 0 0

49,5 44,8 5,7 0 0

Jumlah 105 100 Berdasarkan pada Tabel 2 diatas dapat dijelaskan bahwa petani di Desa Tlogoweru

tergolong pada kategori sangat setuju sebesar 49,5% atau 52 orang. Sikap petani terhadap subsidi benih tergolong sangat baik/sangat setuju karena petani di Desa Tlogoweru terbuka dengan informasi-informasi baru yang diperoleh dari kelompok tani. Petani juga sudah lebih dari sekali mendapatkan bantuan subsidi benih. Hal tersebut dapat menujukkan bahwa petani sudah lebih dari sekali berinteraksi dengan subsidi benih sehingga respon petani sangat bagus terhadap program tersebut. Petani merasa terbantu dengan adanya subsidi benih yang dilakukan pemerintah. Hal tersebut didukung oleh pendapat Simanjutak, et al (2014) yang menyatakan bahwa sikap terhadap suatu obyek dapat terbentuk karena adanya sebuah interaksi yang dilakukan tiap individu pada obyek tersebut.

Keterampilan petani Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kategori Keterampilan Petani

Kriteria Jumlah (skor) Persentase (%) Sangat Setuju

Setuju Netral

Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju

59 43 3 0 0

56,2 41,0 2,9 0 0

Jumlah 105 100 Berdasarkan pada Tabel 17 diatas dapat dijelaskan bahwa petani di Desa Tlogoweru

tergolong pada kategori sangat setuju sebesar 56,2% atau 59 orang. Keterampilan petani di Desa

Page 201: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

414 JEPA, 3 (2), 2019: 408-418

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tlogoweru tergolong sangat setuju atau sangat baik dikarenakan petani mayoritas berusia produktif serta sudah berpengalaman berusahatani lebih dari 16-21 tahun keatas. Sehingga, keterampilan yang dimiliki petani berdasarkan pada pengalaman dalam menjalankan usahatani dengan maksimal. Hal ini didukung dengan pendapat Fadhilah (2017) yang menyatakan bahwa keterampilan dapat dilihat dari kemampuan petani untuk melaksanakan kegiatan usahatani secara fisik. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan antara lain pengalaman dan usia.

Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Uji reliabilitas, nilai cronbach alpha pengetahuan 0,773, sikap 0,766, keterampilan 0,787 dan penggunaan benih 0,769 lebih besar dari 0,07 maka dikatakan kuesioner reliabel.

Uji validitas dialkukan pada sampel 30 dengan nilai df = 28 dan r hitung sebesar 0,3610. Keseluruhan variabel > 0,3610 disebut valid atau sah. Hasil Uji Asumsi Klasik

Uji normalitas, data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi ≥ 0,05 dan data tidak berdistribusi normal jika signifikansi < 0,05. Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh bahwa hasil signifikansi (Asym. Sig 2-tailed) pada variabel pengetahuan sebesar 0,181, variabel sikap sebesar 0,0339, variabel keterampilan sebesar 0,089 dan variabel penggunaan benih sebesar 0,097.

Uji multikoliniearitas, apabila nilai tolerance > 0,01 dan VIF < 10 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut terbebas dari multikolinieritas. Hasil uji multikoliniearitas diperoleh nilai pengetahun sebesar 2,129, sikap sebesar 1,895 dan keterampilan sebesar 1,654 menunjukkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas.

Uji heterokedastisitas menujukkan bahwa pada grafik Scatterplot tidak terjadi sebaran titik-titik yang terbentuk pola tertentu atau titik menyebar sehingga dapat disimpulkan bahwa data tidak terjadi heterokedastisitas.

Uji autokorelasi dilihat dari nilai Durbin-Watson yang kemudian dibandingan dengan table Durbin-Watson (dL dan dU). Jika dU < DW < 4-dL maka dinyatakan tidak terjadi autokorelasi. Hasil uji autokorelasi dilihat dari nilai Durbin-Watson sebsar 1,938. Tabel Durbin-Watson menunjukkan untuk k = 4, dan n = 105, α = 5% (0,05) maka diperoleh nilai dU adalah 1,6028 dan nilai dL adalah 1,7617. Sehingga nilai dL < DW < 4-dU (1,7617 < 1,938 < 2,3962 menunjukkan bahwa tidak terjadi korelasi. Uji regresi Linier Berganda Tabel 4. Hasil Regresi Linier Berganda

Variabel Beta Uji t (Constant) 34.437 Pengetahuan -0.134 0,305 Sikap -0.258 0,035 Keterampilan 0.121 0,379 Uji F 0,08 Koefisien Determinasi (R2) 0,110

Berdasarkan pada Tabel 17 dapat diketahui bahwa hasil regresi linier berganda antara

pengetahuan (X1), sikap (X2) dan keterampilan (X3) terhadap penggunaan benih (Y) adalah sebagai berikut :

Y = 34.437–0,134X1–0,258X2+0.121X3 +e

Page 202: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

415

Berdasarkan persamaan regresi linier berganda diatas dapat diketahui bahwa : Nilai konstanta sebesar 34,437, nilai konstanta bernilai positif artinya apabila nilai

pengetahuan, sikap dan keterampilan nilainya 0, maka tingkat penggunaan benih nilainya positif sebesar 34,437. Nilai koefisien regresi variabel Pengetahuan (X1) memiliki tanda negative yang dapat dijelaskan bahwa setiap meningkatnya pengetahuan sebesar 1 skor maka penggunaan benih padi akan mengalami penurunan sebesar 0,134. Nilai koefisien regresi variabel Sikap (X2) miliki nilai negative yang dapat dijelaskan bahwa setiap menigkatnya sikap sebesar 1 skor maka penggunaan benih padi akan mengalami penurunan sebesar 0,258. Nilai koefisien regresi variabel Keterampilan (X3) bernilai positif dapat diartikan bahwa setiap meningkatnya keterampilan sebesar 1 skor maka penggunaan benih akan mengalami peningkatan sebesar 0,121.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,110 atau 11%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa perilaku petani meliputi Pengetahuan (X1), Sikap (X2) dan Keterampilan (X3) mempengaruhi penggunaan benih sebesar 11% sedangkan sisanya sebesar 89% penggunaan benih dipengaruhi oleh variabel lain. Uji t (Uji Parsial) Pengaruh pengetahuan terhadap penggunaan benih padi bersubsidi

Berdasarkan hasil analisis uji t variabel pengetahuan diperoleh nilai siginifikansi sebesar 0,305 dengan tingkat signifikansi 95% (α = 0,05). Artinya nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 sehingga perilaku petani sebagai pengetahuan tidak berpengaruh terhadap penggunaan benih padi bersubsidi di Desa Tlogoweru. Persentase nilai pengetahuan petani di Desa Tlogoweru tergolong sangat tahu atau sangat baik. Pengetahuan petani dapat terjadi karena adanya ketidaktahuan petani terhadap subsidi benih di awal kemudian diakannya suatu pemberian informasi baik dari penyuluh maupun ketua kelompok pada saat pertemuan rutin yang dilaksanakan oleh kelompok tani. Kemudian petani mengamati benih padi yan diterima baik dari sisi kualitas benih, mutu benih maupun dari pelaksanaan subsidi benih yang sudah dilaksanakan. Hal tersebut didukung dengan pendapat Shohib et al., (2016) yang menyatakan bahwa pengetahuan petani terwujud menjadi tindakan melalui beberapa proses yaitu proses tahu, memahami, menerapkan dan menganalisa dan evaluasi. Pengaruh sikap terhadap penggunaan benih padi bersubsidi

Berdasarkan hasil analisis uji t variabel sikap diperoleh nilai sigifikansi sebesar 0,035 dengan tingkat siginifikansi 95% (α = 0,05). Artinya nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 sehingga perilaku petani sebagai sikap berpengaruh terhadap penggunaan benih padi bersubsidi di Desa Tlogoweru. Sikap petani terhadap penggunan benih subsidi terbentuk karena adanya rasa untuk mendukung dan terus berpastisipasi terhadap program yang dilakukan pemerintah. Subsidi benih merupakan salah satu program dari pemerintah yang memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi yang dihasilkan dengan upaya dengan memberikan benih subsidi yang berkualitas dengan mutu yang baik. Hal tersebut didukung dengan pendapat Azwar (2003) yang menyatakan bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek adalah suatu perasaan untuk mendukung dan tidak mendukung pada suatu obyek tertentu yang dilihat maupun dilaksanakan. Pengaruh keterampilan terhadap penggunaan benih padi bersubsidi

Berdasarkan hasil analisis uji t variabel keterampilan diperoleh nilai sigifikansi sebesar 0.379 dengan tingkat siginifikansi 95% (α = 0,05). Artinya nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 sehingga perilaku petani sebagai keterampilan tidak berpengaruh terhadap penggunaan benih padi bersubsidi di Desa Tlogoweru. Keterampilan petani terjadi karena adanya hal seperti

Page 203: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

416 JEPA, 3 (2), 2019: 408-418

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

pengalaman, usia dan bahkan pengetahuan petani. Pengetahuan petani secara tidak langsung berpengaruh terhadap keterampilan petani karena pengetahuan adalah dasar dari setiap indivudu melaksakan sesuatu. Pengetahuan yang dimiliki petani biasa berdasarkan pengalaman petani dalam menjalankan usaha tani serta usia petani. Makin lama petani berinteraksi atau melakukan kegiataan bertani yang sama, maka akan meningkatkan pengetahuan petani dalam melanjakan hal tersebut, begitu sebaliknya. Pengetahuan selain dari pengalam juga diperoleh dari proses kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh BPK Hal ini sesuai dengan pendapat Lestari et al., (2013) yang menyatakan bahwa keterampilan adalah perilaku yang ditunjukkan berdasarkan dengan pengetahuan dan sikap yang dimiliki. Keterampilan merupakan penerapan dari pengetahuan yang diperoleh baik dari penyuluhan maupun proses pengalaman dalam usahatani. Uji F (Uji Serempak)

Berdasarkan hasil analisis diperoleh data nilai F hitung sebesar 4,156 dengan nilai signifikasi sebesar 0,008 (Lampiran 7). Dengan tingkat siginifikansi yang digunakan adalah 95% atau α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa 0,008 ≤ 0,05 yang berarti bahwa pengetahuan, sikap dan keterampilan secara serempak berpengaruh terhadap penggunaan benih padi bersubsidi di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak. Pengetahuan, sikap dan keterampilan merupakan satu kesatuan dalam perilaku setiap orang, ketiga faktor tersebut saling berhubungan dalam menentukan perilaku seseorang. Perilaku petani merupak suatu tindakan yang dapat diamati, perilaku terjadi karena adanya suatu penyampaian yang berupa pengetahuan kemudian diteruskan menjadi suatu rangsangan berupa sikap dan menjadi sutau tindakan yang ditujukkan dalam keterampilan petani. Hal ini sesuai dengan pendapat Kurnianingtias (2005) yang menytakan bahwa perilaku adalah suatu tindakan nyata yang dapat diamati. perilaku dapat terjadi akibat adanya proses penyampaian pengetahuan terhadap suatu rangsangan sampai ada sikap untuk melakukan atau tidak dan dapat dilihat dengan panca indera.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Perilaku petani meliputi pengetahuan, tergolong tahu/baik sedangkan sikap dan

keterampilan tergolong dalam kategori sangat setuju atau sangat baik dalam penggunaan benih padi bersubsidi di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak. Sedangkan, penggunaan benih padi bersubsidi tergolong dalam kategori netral atau biasa karena sudah dilaksanakn lebih dari sekali dengan harga yang lebih murah dan mudah untuk diakses.

2. Perilaku sebagai pengetahuan dan keterampilan secara parsial tidak berpengaruh terhadap penggunaan benih padi bersubsidi, sedangkan perilaku sebagai sikap secara parsial berpengaruh terhadap penggunaan benih padi bersubsidi. Perilaku petani meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan secara serempak berpengaruh terhadap penggunaan benih padi bersubsidi di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak.

Saran 1. Bagi mahasiswa untuk lebih teliti dalam mencari informasi yang dibutuhkan dalam

menunjang penelitian, 2. Bagi petani untuk lebih aktif dalam bergabung dengan kelompok tani dengan mengikuti

kumpulan rutinnya sehingga tidak tertinggal terhadap informasi-informasi baru,

Page 204: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

417

3. Bagi pemerintah sebagai pemangku kebijakan untuk menjalankan program yang sesuai dengan kebutuhan petani dan mengadakan soalisasi sebelum dilaksankan program, sehingga petani dapat lebih memahami tujuan dari diadakannya program tersebut

4. Bagi peneliti selanutnya untuk peneliti selanjutnya untuk terus mengali infomasi yang terdapat di Desa Tlogoweru karena desa tersebut memilki potensi yang besar untuk dikembangkan dengan pemaanfaatan Tyto Alba dan dapat menjadi obyek wisata berbasis pertanian di Jawa Tengah khususnya Kabupaten Demak.

DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Edisi 2. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Damayanti, L. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi, Pendapatan Dan

Kesempatan Kerja Pada Usaha Tani Padi Sawah Di Daerah Irigasi Parigi Moutong. J. Sepa. 9 (2) : 249 – 259.

Fadhilah, M. L., B. T. Eddy dan S. Gayatri. 2017. Pengaruh tingkat pengetahuan, sikap dan pengetahuan penerapan sistem agribisnis terhadap produksi pada petani padi di Kecamatan Cimanggu Kabupeten Cilacap. Universitas Diponegoro. Semarang

Ghozali, I. 2013. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS Edisi 7. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Karunianingtias, H. 2005. Perilaku petani terhadap pemupukan berimbang pada tanaman padi sawah. Skripsi Jurusan Sosisal Ekonomi Pertanian. Universitas Udayana. Denpasar.

Lestari, W., D. Rabesdini., dan J. Yusri. 2013. Respon petani terhadap program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) padi sawah di Desa Pulau Birandang Kecamatan Kampar Timur Kabupaten Kampar. J. Agribisnis. 1-15.

Manyamsari, I. dan Mujiburrahmad. 2014. Karakteristik Petani Dan Hubungannya Dengan Kompetensi Petani Lahan Sempit (Kasus : Di Desa Sinar Sari Kecamatan Dramaga Kab. Bogor Jawa Barat). J. Agrisep. 15 (2) : 58 – 74.

Muhdlor, M. A. A., Eddy, B. T. dan Satmoko, S. 2018. Hubungan Kepemimpinan Ketua Dengan Efektivitas Kelompok Tani Di Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal. J. Sungkai. 6 (2) : 31 – 49.

Novitasari, D. 2011. Sikap Petani Terhadap Subsidi Benih Padi Varietas Ciherang Pada Program Peningkatan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar. Skripsi. Jurusan Penyuluhan Dan Komunikasi Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Purnama, P. D., Astiti, N. W. S., dan Sudarta, W. 2017. Peran Gender Dalam Pengelolaan Budidaya Tanaman Padi Pada Gapoktan Sumber Rejeki Desa Kalanganyar Kecamatan Karanggeneng Kabupaten Lamongan Jawa Timur. J. Agribisnis dan Agrowisata. 6 (4) : 533 – 542.

Rijanta, R., Hizbaron., dan Baiquni, M. 2018. Modal Sosial Dalam Manajemen Bencana. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sedana, G. 2013. Sikap petani terhadap fermentasi biji kakao: kasus pada Subak-abian Buana Mekar, Desa Angkah Kabupaten Tabanan. J. Dwijenagro, 3 (2) : 1-6.

Page 205: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

418 JEPA, 3 (2), 2019: 408-418

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Shohib, M. N., MG. C. Yuantari dan M. Suwandi. 2016. Hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan praktik pemakaian (APD) Alat Pelindung Diri pada petani npengguna pestisida di Desa Curut Kec. Penawang Kab. Grobogan tahun 2013. Universitas Dian Nuswantoro. Semarang.

Simanjutak, S. P., W. Talid, dan E. Kernalis. 2014. Sikap petani terhadap penerpan teknologi budidaya kedelai lahan pasang surut (di Kelurahan Simpang Kecamatan Berbak Kabupaten Tanjung Jabung Timur). J. Sosio Ekonomika Bisnis. 17 (1) : 28 – 35.

Singarimbun, M. dan S. Effendi. 2006. Metode Penelitian Survai, Jakarta: Pustaka LP3ES.

Page 206: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 419-428

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.17

ANALISIS PENGARUH FAKTOR-FAKTOR SOSIAL TERHADAP CURAHAN WAKTU KERJA WANITA TANI KOPI ROBUSTA DI KECAMATAN GEMAWANG

KABUPATEN TEMANGGUNG

ANALYSIS OF SOCIAL FACTORS EFFECTS TOWARDS FARMERS WORKING HOURS ALLOCATION OF ROBUSTA COFFEE IN

GEMAWANG DISTRICT TEMANGGUNG REGENCY

Adhitya Rizqi*, Dyah Mardiningsih, Wulan Sumekar

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The purpose of this research was to know social factors that affects robusta coffee farmers working hours allocation during a harvest season and to analyze social factors such as age, number of dependent family members, farming experience, and education level to farmers working time on robusta coffee in Gemawang District of Temanggung Regency. The research was conducted for 3 weeks in February 2018. The research method that was used is survey with robusta coffee farmers that farms its own robusta coffee in Gemawang Subdistrict. The respondents were the family head of a robusta coffee farmer. The number of respondents were determined by using Quota Sampling is 98 farmers. The primary data was obtained through interview and observation methods. The data was analyzed with multiple linear regression method with social factors as X and farmers working hours allocation as Y. The results showed that respondents were on a productive age, have a high number of dependant family members, have a low education, were experienced, and worked as a farmer as a source of income. All the factors simultaneously had a significant effect on the farmers working time, and some factors like age, number of dependent family members, and education partially had no significant influence on the women working time.

Keywords: Social factors, farmers, robusta coffee, working time allocation.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh terhadap curahan waktu kerja petani kopi robusta selama 1 kali musim panen dan untuk menganalisis faktor-faktor sosial yang berpengaruh pada curahan waktu kerja petani kopi robusta di Kecamatan Gemawang Kabupaten Temanggung. Penelitian dilakukan selama 3 minggu pada bulan Februari tahun 2018. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan populasi yang berupa petani kopi robusta yang berada di Kecamatan Gemawang, sampel berupa petani kopi robusta yang membudidayakan kopi robusta sendiri, dan respondennya adalah kepala keluarga petani kopi robusta. Metode pemilihan kriteria responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah quota sampling. Jumlah sampel yang diambil adalah adalah 98 orang. Data primer diperoleh dengan metode wawancara dan observasi. Data dianalisis dengan metode regresi berganda dengan faktor sosial sebagai X dan curahan waktu kerja petani sebagai Y. Hasil penelitian menunjukkan responden berada pada usia produktif,

Page 207: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

420 JEPA, 3 (2), 2019: 419-428

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

memiliki tanggungan keluarga yang tinggi, berpengalaman, berpendidikan rendah, dan meraih pendapatannya dengan bertani. Secara serempak umur, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman bekerja, tingkat pendidikan, dan pekerjaan lain berpengaruh terhadap curahan waktu kerja petani kopi robusta. Secara parsial umur, jumlah tanggungan keluarga, dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap curahan waktu kerja.

Kata kunci: Faktor sosial, petani, kopi robusta, curahan waktu kerja

PENDAHULUAN

Pertanian merupakan salah satu kegiatan paling mendasar bagi manusia, karena dapat menyediakan pangan yang merupakan kebutuhan pokok. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor penyumbang devisa terbesar di Indonesia dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sehingga pengangguran dapat berkurang. Salah satu subsektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia adalah subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor penyumbang devisa terbesar di Indonesia dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sehingga pengangguran dapat berkurang.

Kopi adalah salah satu komoditas tanaman perkebunan yang terkenal di Indonesia. Perkebunan kopi dapat ditemukan pada Indonesia bagian barat dan tengah. Tanaman kopi sangat cocok tumbuh di daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Indonesia saat ini menjadi negara nomor dua yang terbanyak mengekspor kopi (BPS, 2015). Total produksi kopi di Indonesia sebesar 8291 ton (BPS, 2016). Diperkirakan 1.233.294 ha lahan diusahakan untuk tanaman kopi pada tahun 2016. Sebagian besar kopi di Indonesia tumbuh di sistem pertanian tumpang sari dengan tanaman lainnya. Mayoritas pekebun kopi di Indonesia menanam kopi jenis Robusta. Kopi robusta merupakan jenis kopi yang paling sering dibudidayakan di Indonesia. Kopi robusta dapat ditanam di ketinggian 400 hingga 800 m dpl dengan suhu 21 hingga 24°C.

Kecamatan Gemawang merupakan salah satu dari 20 Kecamatan di Kabupaten Temanggung yang menghasilkan kopi robusta sebagai salah satu produksi pertaniannya. Wilayahhnya terletak pada ketinggian antara 400 – 1.000 m dpl, dengan suhu antara 18°C sampai dengan 29°C. Kecamatan Gemawang mempunyai luas lahan 1112 Ha yang terdiri dari lahan sawah sebesar 141Ha dan lahan kering sebesar 979 Ha. Kecamatan Gemawang terbagi atas 10 desa yang membudidayakan tanaman kopi robusta. Penghasil kopi robusta tersebar di desa Gemawang, Banaran, Jambon, Kalibanger, Karangseneng, Kemiriombo, Muncar, Ngadisepi, Krempong dan Sucen. Luas panen kopi pada tahun 2016 di Kecamatan Gemawang sebesar 2022.44 Ha dan jumlah produksinya sebesar 1400.61 Ton. Penduduk yang berprofesi sebagai petani sebesar 6.741 orang (Badan Pusat Statistika, 2016).

Mayoritas penghasil kopi di Indonesia (96,19%) adalah petani skala kecil. Sementara sisanya diusahakan oleh perkebunan besar milik swasta (PBS) yakni sebesar 1,99% dan perkebunan besar milik negara (PBN) sebesar 1,82% (Pusdatin, 2017). Petani dalam sektor pertanian adalah sesuatu yang umum dikalangan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Dalam pembangunan disektor pertanian, sumberdaya manusia utama adalah petani dan keluarganya. Kegiatan usahatani yang dilakukan petani dipengaruhi oleh curahan waktu kerja. Tenaga kerja pria umumnya dapat mengerjakan semua pekerjaan usahatani terutama jenis pekerjaan yang membutuhkan kemampuan otot yang tidak mampu dilaksanakan oleh wanita misalnya pengolahan tanah (Berliani, 2017). Tenaga kerja wanita juga berperan penting dalam budidaya tanaman kopi, yaitu dengan melakukan kegiatan yang lebih ringan namun

Page 208: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

421

membutuhkan ketelitian dan keuletan yang lebih seperti pemupukan dan pemangkasan (Sormin, 2016).

Curahan waktu kerja petani banyak tergantung pada faktor sosial dan keadaan keluarganya. Faktor sosial yang berpengaruh pada curahan waktu kerja petani adalah umur, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman bekerja, tingkat pendidikan, dan pekerjaan lain (Fauziyah et al., 2017). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui alokasi petani kopi robusta mencurahkan waktu kerjanya di lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan untuk petani kopi robusta untuk mencurahkan waktu kerjanya secara efektif.

METODE PENELITIAN

1. Pelaksanaan dan Penentuan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2018 di Kecamatan Gemawang

Kabupaten Temanggung. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja memilih tempat tersebut dikarenakan Kecamatan Gemawang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Temanggung yang memiliki produksi kopi yang cukup tinggi per tahun menyebabkan petani di kecamatan gemawang pada umumnya memiliki label penjualan sendiri, serta memenangkan penghargaan kontes kejuaraan kopi nasional yaitu produk kopi lawe wenang yang dimiliki oleh salah satu petani yang berada di desa muncar. 2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yaitu survey. Survei merupakan penyelidikan secara kritis untuk memperoleh keterangan yang baik terhadap suatu persoalan tertentu di suatu daerah atau lokasi tertentu dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang mewakili daerah tersebut dengan benar (Wiratha, 2006). Metode penentuan sampel dilakukan dengan metode Random Sampling yaitu teknik pengambilan sampling dengan setiap unsur populasi mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Kriteria sampel ditentukan dengan cara Quota Sampling dengan unsur-unsur sampel yaitu petani yang sudah berumah tangga dengan membudidayakan komoditas kopi robusta dan mempunyai lahan sendiri. Berdasarkan perhitungan diperoleh 98 rumah tangga petani sampel dari 6.741 rumah tangga petani kopi yang ada di Kecamatan Gemawang. Jumlah sampel dibagi menjadi 10 desa yang merupakan penghasil kopi.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner yang merupakan hasil dari wawancara dan observasi secara langsung dengan 98 responden yaitu petani kopi yang terbagi dari 10 desa di Kecamatan Gemawang dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. Data tersebut berisi tentang umur, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman bekerja, tingkat pendidikan, dan pekerjaan lain. Data sekunder berupa gambaran umum pada tempat penelitian serta data pendukung lainnya diperoleh dari instansi terkait, buku, jurnal, maupun literatur lain.

Page 209: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

422 JEPA, 3 (2), 2019: 419-428

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

4. Metode Analisis Data Metode analisis data pada penelitian ini diperoleh dengan cara metode analisis deskriptif

kualitatif yaitu metode dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya. Sedangkan untuk metode analisis kuantitatif menggunakan uji analisis regresi berganda. Y = a + b1X1+ b2X2+ b3X3+ b4X4+ b5X5+ b6X6+ e (Ghozali, 2013). Keterangan : Y = Curahan waktu kerja wanita (jam/ 1 kali musim panen) a = Konstanta (nilai Y saat X = 0) b1.. b6 = Koefisien regresi (intercept) X1 = Umur wanita tani (Skor) X2 = Jumlah Tanggungan Keluarga (Skor) X3 = Pengalaman (Skor) X4 = Tingkat Pendidikan (Skor) X5 = Pekerjaan Lain (Skor) e = error term

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identitas Responden

Identitas responden yaitu tingkat umur, jumlah anggota keluarga, pengalaman, dan tingkat pendidikan. Hasil pengumpulan data responden yang telah diambil dengan kuisioner dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini. 1. Umur

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa jumlah responden sebesar 90,87% tergolong dalam usia produktif, sedangkan 9,13% responden tergolong dalam usia tidak produktif. Umur petani termuda yaitu 20 tahun dan tertinggi 64 tahun dengan rata-rata umur yaitu 37 tahun. Petani kopi robusta yang berumur 15 hingga 54 tahun tergolong pada usia produktif bekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Fauziyah et al. (2014) yang menyatakan bahwa petani dikategorikan dalam usia produktif pada umur 15 hingga 54 tahun. Sehingga sebagian besar petani kopi robusta di Kecamatan Gemawang dapat dikategorikan pada usia produktif dalam melakukan kegiatan usahatani, sehingga curahan waktu yang diberikan cukup besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Kusumastuti (2012) yang menyatakan bahwa selama petani berada dalam umur produktif maka efektivitas curahan jam kerja akan meningkat dan semakin tua usianya maka efektivitas curahan jam kerja akan semakin menurun. 2. Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga responden di Kecamatan Gemawang sebagian besar memiliki 2 orang. Tanggungan keluarga adalah anggota keluarga yang sedang tinggal di satu rumah dan belum bekerja yang biasanya berupa anak-anak yang masih berada dalam usia sekolah dan orang tua yang tidak bekerja. Petani kopi robusta di Kecamatan Gemawang pada umumnya memiliki anggota keluarga yang tidak berkontribusi terhadap usahatani yang dimiliki oleh kepala keluarga karena anggota keluarga tersebut pada

Page 210: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

423

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Variabel. No Identitas Responden Jumlah Persentase ---orang--- ---%---

1. Umur (X1) >54 9 9.13 47-54 22 22.46 37-46 39 39.81 27-36 21 21.44 15-26 7 7.16 Jumlah 98 100

2. Jumlah Tanggungan Keluarga (X2) >3 3 3.06 3 23 23.46 2 53 54.10 1 16 16.32 Tidak memiliki tanggungan 3 3.06 Jumlah 98 100

3. Pengalaman (X3) >40 4 4.10 31-40 19 19.38 21-30

11-20 1-10

34 34.69 30 30.61 11 11.22

Jumlah 98 100 4. Tingkat Pendidikan (X4)

S1 2 43.87 SMA 9 31.63 SMP 13 13.26 SD 31 9.18 Tidak Bersekolah 43 2.06 Jumlah 98 100

5. Pekerjaan Lain (X5) Tidak Memiliki Pekerjaan Lain 93 98.89 Memiliki Pekerjaan Lain 5 5.11 Jumlah 98 100

Sumber: Data Primer Penelitian, 2018. umumnya adalah anak yang masih dalam tahap pendidikan, sehingga kepala keluarga harus bekerja lebih keras untuk mencari nafkah agar dapat membiayai keluarganya. Hal ini sesuai dengan pendapat Widyawati dan Pujiyono (2013) yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan keluarga, jumlah kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi juga semakin banyak, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih banyak untuk bekerja agar pendapatan yang diperoleh juga semakin banyak. 3. Pengalaman Bekerja

Rata-rata petani gemawang memiliki pengalaman yang tinggi yaitu lebih dari 10 tahun berjumlah sebesar 88,78%. Petani yang memiliki pengalam rendah berjumlah sedikit dikarenakan pada umumnya petani dalam golongan tersebut merupakan petani muda, tetapi

Page 211: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

424 JEPA, 3 (2), 2019: 419-428

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

petani muda di kecamatan gemawang berjumlah sedikit karena kurangnya minat generasi muda untuk bekerja dalam bidang pertanian. Petani kopi robusta di Kecamatan Gemawang pada umumnya sudah cukup berpengalaman karena telah terlibat mengikuti kegiatan bertani dari orang tua sejak kecil, sehingga petani tersebut sudah terampil dan terbiasa dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Hartati et al. (2017), yang menyatakan bahwa pengalaman petani merupakan pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki dikarenakan oleh keterlibatan petani dalam melaksanakan tugas pekerjaannya, sehingga lama bekerja berpengaruh dalam pengalaman bertani.

4. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan Petani di Kecamatan Gemawang masih cukup rendah. Hal ini disebabkan oleh responden yang beranggapan bahwa pekerjaan petani hanya memerlukan keterampilan, sehingga kurangnya kebutuhan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga sebagian besar petani hanya lulus SD atau tidak bersekolah dengan jumlah 75,5%. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka petani akan lebih dapat memanfaatkan waktunya dalam mengelola usahatani yang dimiliki, sehingga waktu kerja yang dicurahkan akan semakin efektif. Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafie (2010) yang menyatakan bahwa Tingkat pendidikan akan berpengaruh pada sikap mental dan perilaku tenaga kerja dalam usahatani. 5. Pekerjaan Lain

Pada umumnya petani kopi robusta di Kecamatan Gemawang tidak memiliki pekerjaan lain, yaitu dengan persentase sebanyak 98,89%. Hal ini dikarenakan banyaknya petani yang lebih fokus pada pekerjaannya di lahan, atau melakukan pekerjaan yang tidak menyita banyak waktu yang dimiliki petani tersebut seperti membuka toko kelontong atau beternak. Petani di Kecamatan Gemawang pada umumnya tidak memiliki pekerjaan lain dikarenakan oleh pekerjaan petani yang dianggap sudah dapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya, sehingga petani mencurahkan sebagian besar waktunya kepada pekerjaan bertani tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Oktaveasma (2013) yang menyatakan bahwa padatnya curahan kerja menyebabkan kurangnya minat petani dalam menambah pekerjaan lain yang dimiliki.

B. Curahan Waktu Kerja Petani

Curahan waktu kerja yaitu waktu yang dihabiskan Petani dalam membudidayakan kopi robusta yang diukur menggunakan satuan jam/hari dalam satu kali musim panen yaitu selama 10 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat Widyawati (2013), yang menyatakan bahwa perhitungan curahan waktu kerja Petani selama satu kali musim panen menggunakan rumus: C = Ca1 + Ca2 + Ca3 + Ca4 + Ca5 + Ca6 yang dimana C merupakan curahan waktu kerja dan Ca1 sampai Ca6 yaitu kegiatan-kegiatan budidaya kopi robusta seperti pengolahan lahan (Ca1), pemupukan (Ca2), penyetekan (Ca3), pemangkasan (Ca4), panen (Ca5), pasca panen (Ca6) yang diukur dalam jam/hari dengan rumus jam x frekuensi x hari. Curahan waktu kerja petani kopi robusta di Kecamatan Gemawang dapat dilihat dalam Tabel 2 dibawah ini. Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa total curahan waktu kerja sebesar 841 jam dengan rata-rata jam per hari bekerja sebesar 5 jam kecuali ketika panen dan pasca panen yang umumnya bekerja 7 hingga 8 jam per hari dengan rata-rata jumlah tanaman sebanyak 1388 pohon. Petani di Kecamatan Gemawang dalam melakukan semua kegiatan budidaya kopi robusta dibantu oleh istri dan anggota keluarga lainnya, kecuali pada kegiatan panen dimana petani pada umumnya menyewa tenaga kerja yang biasanya berupa tenaga kerja wanita untuk

Page 212: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

425

Tabel 2. Alokasi Curahan Waktu Kerja Petani Kopi Robusta per 1 Kali Panen.

Kegiatan Alokasi Curahan Waktu Kerja

(jam/1x musim panen) Persentase

(%) Pengelolaan Lahan 254 30,20 Pemupukan 51 6,06 Penyetekan 71 8,44 Pemangkasan 97 11,53 Pengendalian Hama Penyakit 27 3,22 Panen 222 26,40 Pasca Panen 119 14,15 Total 841 100

Sumber: Data Primer Penelitian diolah, 2018. memudahkan dan mempercepat proses panen. Hal ini disebabkan oleh tingkat keterampilan petani wanita yang lebih tinggi dari petani pria, sehingga pemilik lahan cenderung memilih lebih banyak tenaga kerja petani wanita dibandingkan dengan petani pria. Hal ini sesuai dengan pendapat Berliani (2017) yang menyatakan bahwa petani wanita pada umumnya lebih cekatan dan terampil dalam melakukan kegiatan panen.

C. Faktor-faktor Sosial Yang Berpengaruh Terhadap Curahan Waktu Kerja

Berdasarkan uji normalitas yang telat dilakukan, didapatkan hasil nilai p value sebesar 0,714 yang dimana nilai tersebut > 0,005 dan dapat disimpulkan data berdistribusi normal. Pada uji koefisien determinasi yang dilakukan, hasil menunjukkan koefisien determinasi R2 sebesar 0,352. Hal ini menjelaskan bahwa tingkat signifikansi varriabel dependen terhadap variabel independen pada penelitian ini sebesar 35% sedangkan sisanya sebesar 65% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model persamaan.

Run Test digunakan untuk mengetahui apakah residual terjadi secara random atau tidak dengan melihat nilai Asymp. Sig. (2-tailed) pada tabel Unstandardized Residual, jika hasil menunjukkan >0,05 maka data yang dipergunakan random sehingga tidak terjadi autokorelasi dan sebaliknya. Berdasarkan data yang telah diuji, hasil menunjukkan nilai 0,053 yang berarti lebih dari 0,05 hipotesis nol diterima sehingga disimpulkan bahwa data tidak terjadi autokorelasi.

Hasil uji multikolinearitas diperoleh nilai tolerance pada masing masing varaibel independen > 0,1 dan nilai Variance Inflation Factor dapat diketahui kurang dari 10 yang artinya data tidak terjadi korelasi atau multikolienaritas. Hasil uji heteroskedastisitas menggunakan grafik Scatterplot, jika Scatter Plot membentuk pola acak maka terjadi heteroskedastitas dan sebaliknya. Berdasarkan data yang telah diuji tidak terdapat heteroskedastitas dikarenakan pola residual pada Scatter Plot terlihat beraturan dan tidak acak. Berdasarkan uji F yang telah dilakukan didapatkan hasil signifikansi F sebesar 0,00 yang berarti nilai tersebut < 0,05 dan dapat disimpulkan variabel independen yaitu umur (X1), jumlah tanggungan keluarga (X2), pengalaman (X3), tingkat pendidikan (X4) dan pekerjaan lain (X5) berpengaruh secara serempak terhadap variabel independen yaitu curahan waktu kerja wanita (Y). Berdasarkan uji t yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa umur (X1), jumlah tanggungan keluarga (X2), dan tingkat pendidikan (X4) dinyatakan signifikan dan berpengaruh terhadap curahan waktu kerja wanita tani, sedangkan pengalaman (X3) dan pekerjaan lain (X5) tidak signifikan dan berpengaruh terhadap curahan waktu kerja.

Page 213: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

426 JEPA, 3 (2), 2019: 419-428

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 3. Hasil Analisis Faktor-faktor Sosial yang Mempengaruhi Curahan Waktu Kerja Petani Kopi Robusta.

Berdasarkan Tabel 3, didapatkan hasil analisis persamaan regresi yaitu : Y= 1523,672 + -72,588X1 + -130,499X2 + -15,815X3 + -44,866X4 + -18,623X5

Pengaruh umur terhadap curahan waktu kerja Petani kopi di Kecamatan Gemawang menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,016 yang berarti nilai tersebut <0,05 dengan nilai koefisien variabel sebesar 72,588 satuan dan dapat disimpulkan variabel X1 dinyatakan signifikan terhadap curahan waktu kerja Petani (Y). Semakin muda umur maka Petani akan lebih semangat dalam bertani karena tenaga yang dihasilkan lebih kuat dibandingkan petani yang sudah tua. Bertambahnya variabel umur menyebabkan berkurangnya tenaga petani tersebut dikarenakan oleh umur yang semakin tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Novita (2012) yang menyatakan bahwa semakin muda petani biasanya akan semakin semangat untuk bekerja dan begitu juga sebaliknya.

Pengaruh jumlah tanggungan terhadap curahan waktu kerja Petani kopi di Kecamatan Gemawang menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,000 yang berarti nilai tersebut <0,05 dengan nilai koefisian variabel sebesar 130,499 satuan dan dapat disimpulkan variabel X2 dinyatakan berpengaruh signifikan terhadap curahan waktu kerja Petani (Y). Hal ini dikarenakan Petani di Kecamatan Gemawang rata-rata memiliki jumlah tanggungan keluarga yang yaitu sekitar 1 sampai 3 orang, sehingga petani harus lebih bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan mencurahkan lebih banyak waktu di lahan. Bertambahnya variabel jumlah tanggungan keluarga menyebabkan berkurangnya curahan waktu kerja karena anggota keluarga tersebut dapat menjadi tenaga kerja keluarga sehingga dapat membantu kepala keluarga untuk meringankan pekerjaan yang ada di lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Widyawati dan Pujiyono (2013) yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan keluarga, jumlah kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi juga semakin banyak, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih banyak untuk bekerja agar pendapatan yang diperoleh juga semakin banyak.

Pengaruh pengalaman bertani terhadap curahan waktu kerja Petani kopi di Kecamatan Gemawang menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,490 yang berarti nilai tersebut >0,05 dengan nilai koefisian variabel sebesar 15,815 dan dapat disimpulkan variabel X5 dinyatakan tidak berpengaruh signifikan terhadap curahan waktu kerja Petani (Y). Hal ini disebabkan oleh petani di Kecamatan Gemawang yang sudah terlibat oleh orang tuanya dalam kegiatan pertanian sejak kecil, sehingga petani yang memiliki pengalaman bekerja rendah atau tinggi pada umumnya memiliki tingkat pengalaman yang sama karena sudah terampil. Hal ini sesuai dengan

Unstandardized

Coefficients Standardized Coefficients t-hitung sig.

Umur (X1) -72,588 -0,212 11,451 0,016 Jumlah Tanggungan (X2) -130,499 -0,500 -2,464 0,000 Pengalaman (X3) -15,815 -0,059 -5,835 0,490 Tingkat Pendidikan (X4) -44,866 -0,175 -0,694 0,047 Pekerjaan Lain (X5) -18,623 -0,075 -2,014 0,381 Konstanta 1523,672 - - - R2 0,352 - - - R Adjust 0,316 - - - Sig. F

Page 214: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Nopa Linda – Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan Penguasaan Tanah ......................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

427

pendapat Novita (2012) yang menyatakan bahwa petani pada umumnya sudah dibekali pengalaman yang dimiliki secara turun temurun, sehingga petani terbiasa untuk melakukan budidaya tanpa harus memiliki pengalaman bekerja yang tinggi. Setiap penambahan nilai variabel menurunkan curahan waku kerja disebabkan oleh petani yang memiliki pengalaman tinggi pada umumnya akan memilih untuk melakukan kegiatan lainnya selain bertani.

Pengaruh tingkat pendidikan terhadap curahan waktu kerja Petani kopi di Kecamatan Gemawang menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,047 yang berarti nilai tersebut <0,05 dengan nilai koefisien variabel sebesar 44,866X4 dan dapat disimpulkan variabel X4 dinyatakan berpengaruh signifikan terhadap curahan waktu kerja Petani (Y). Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka petani akan lebih dapat memanfaatkan waktunya dalam mengelola usahatani yang dimiliki, sehingga waktu kerja yang dicurahkan akan semakin efektif. Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafie (2010) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh pada sikap mental dan perilaku tenaga kerja dalam usahatani. Penambahan nilai koefisien tingkat pendidikan menurunkan curahan waktu kerja disebabkan oleh petani yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung akan memilih pekerjaan lain selain bertani, sebaliknya jika pendidikan rendah maka akses pekerjaan juga akan terbatas.

Pengaruh pekerjaan lain petani terhadap curahan waktu kerja Petani kopi di Kecamatan Gemawang menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,381 yang berarti nilai tersebut >0,05 dan dapat disimpulkan variabel X5 dinyatakan tidak berpengaruh signifikan terhadap curahan waktu kerja Petani (Y). Penambahan nilai koefisien pekerjaan lain menurunkan curahan waktu kerja dikarenakan petani akan beralih terhadap melakukan pekerjaan lain yang lebih menyita waktu di lahan, sehingga curahan waktu yang dimiliki oleh petani dapat berkurang. Petani kopi robusta di Kecamatan Gemawang pada umumnya memiliki pekerjaan lain yang tidak terlalu menyita waktu seperti beternak. Sedangkan petani yang memiliki pekerjaan lain yang menyita waktu adalah petani yang merangkap menjadi perangkat desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Oktaveasma (2013) yang menyatakan bahwa padatnya curahan kerja menyebabkan kurangnya minat petani dalam menambah pekerjaan lain yang dimiliki.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu faktor sosial mempengaruhi besar

atau kecilnya curahan waktu kerja yang dicurahkan petani untuk membudidayakan kopi robusta. Berdasarkan hasil yang telah didapatkan, faktor-faktor sosial secara serempak berpengaruh terhadap curahan waktu kerja Petani tetapi secara parsial tidak. Umur mempengaruhi curahan waktu kerja. Jumlah Tanggungan Keluarga mempengaruhi curahan waktu kerja. Tingkat pendidikan mempengaruhi curahan waktu kerja. Pengalaman tidak mempengaruhi curahan waktu kerja karena petani sudah cukup memiliki pengalaman secara turun-temurun untuk melakukan kegiatan lain seperti membudidayakan tanaman selain kopi. Pekerjaan lain tidak mempengaruhi curahan waktu kerja karena petani tidak mempunyai pendidikan dan keinginan untuk melakukan pekerjaan lain. Saran

Saran pada penelitian ini yaitu sebaiknya petani untuk memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam setiap musim panen.

Page 215: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

428 JEPA, 3 (2), 2019: 419-428

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistika. 2016. Kecamatan Gemawang dalam Angka. Badan Pusat Statistika

Kabupaten Temanggung, Temanggung. Berliani, Rosalina. 2017. Pengaruh Faktor-Faktor Sosial Terhadap Curahan Waktu Kerja

Kelompok Wanita Tani Padi di Desa Banjaran Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Skripsi Mahasiswa Agribisnis. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Semarang.

Gani, I. dan S. Amalia. 2015. Alat Analisis Data: Aplikasi Statistik untuk Penelitian Bidang Ekonomi dan Sosial. CV. ANDI OFFSET, Yogyakarta.

Hanafie, R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit Andi, Yogyakarta. Kusumastuti, N. 2012. Pengaruh faktor penerimaan wanita, tingkat umur, jumlah tanggungan

keluarga, penerimaan wanita suami dan jarak tempuh ke tempat kerja terhadap curahan jam kerja pedagang sayur wanita (Studi kasus di Pasar Umum Purwodadi). Skripsi Mahasiswa Ekonomi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. Semarang.

Novita, R. 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi curahan waktu kerja wanita tani pada usahatani padi sawah (Studi kasus di Desa Ngarjo Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto). Skripsi Mahasiswa Agribisnis. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Oktaveasma, A. 2013. Analisis Tingkat Pendapatan Utama dan Sampingan pada Rumah Tangga Perikanan (RTP) Nelayan Gillnet di Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. J. Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Universitas Diponegoro. 2(2): 68-79.

Santoso, S. 2010. Mastering SPSS 18. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Administratif. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta, Bandung. Wanda, O. C. G. 2016. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi curahan waktu kerja wanita

di Desa Banjaragung Kabupaten Jombang pada industri sepatu sebagai bentuk kontribusi terhadap ekonomi keluarga. J. Ekonomi. 4(1): 1-12.

Widyawati, R. F., Pujiyono, A. 2013. Pengaruh umur, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan, pendidikan, jarak tempat tinggal pekerja ke tempat kerja dan keuntungan terhadap curahan waktu kerja wanita tani sektor pertanian di Desa Tajuk, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Universitas Diponegoro. J. Ekonomi. 2(3): 1-14

Page 216: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 429-438

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.18

DAMPAK RISIKO PRODUKSI TERHADAP KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN SIGI

IMPACT OF PRODUCTION RISK ON SHALLOT WELFARE OF FARM

HOUSEHOLDS IN SIGI DISTRICT

Sherley Siseraf Pamusu1*, Harianto2, Kuntjoro2, Ratna Winandi2 1Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor

2Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

One of the factors causing the production fluctuation and productivity decline of shallot farming field is the risk of production. This research aimed to know the production risk impact towards the welfare of households of shallot farmers in Sigi Regency. There were 210 respondents, shallot farmers, used as a sample in this research. The data were collected randomly with sampling method. The result of the research showed that the production risk was directly proportional to the area of arable land cultivated by shallots. The higher the arable land area, the higher the risk of production. Variable land area, total use of shallot farming, urea fertilizer, KCI, TSP, and pesticide use had a positive effect on the production risk function, whereas the use of SP fertiziler had a negative effect. Increased production risk had an impact on decreasing the income of shallot farming, non shallot farming, and non-agricultural income so that farm household income decreases. This increased risk has an impact on reducing farmer household welfare.

Keywords : impact, production risk, welfare, farm household, shallots.

ABSTRAK

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya fluktuasi produksi dan menurunnya produktivitas lahan usahtani bawang merah adalah risiko produksi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dampak risiko produksi terhadap kesejahteraan rumahtangga petani bawang merah di Kabupaten Sigi. Sampel petani yang digunakan sebanyak 210 responden dan pengumpulan data menggunakan teknik random sampling method. Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko produksi berbanding lurus dengan luas lahan garapan usahatani bawang merah. Semakin tinggi luas lahan garapan, semakin tinggi risiko produksi. Variabel luas lahan, total penggunaan tenaga kerja usahatani bawang merah, penggunaan pupuk Urea, KCl, TSP dan penggunaan pestisida berpengaruh positif terhadap fungsi risiko produksi, sebaliknya penggunaan pupuk SP berpengaruh negatif. Peningkatan risiko produksi berdampak menurunkan pendapatan usahatani bawang merah, usahatani non bawang merah, dan pendapatan non pertanian sehingga pendapatan rumahtangga petani menurun. Peningkatan risiko tersebut berdampak menurunkan kesejahteraan rumahtangga petani.

Kata kunci: dampak, risiko produksi, kesejahteraan, rumahtangga petani, bawang merah

Page 217: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

430 JEPA, 3 (2), 2019: 429-438

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Data Dirjen Hortikultura (2016) menunjukkan bahwa produksi bawang merah di provinsi Jawa Tengah sebesar 334.586 ton, Jawa Timur 188.875 ton, Jawa Barat 83.785 ton, NTB 75.677 ton, Sumatera Barat 39.508 ton dan provinsi lainnya 72.498 ton. Provinsi lainnya yang dimaksud adalah Sulawesi Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, SulawesiTengah dan Sumatera Utara. Khusus untuk Sulawesi Tengah Produksi bawang merah pada tahun 2010 sebesar 10.301 ton dengan sentra produksi kabupaten Donggala, Sigi dan Kota Palu.

Perkembangan produktivitas bawang merah tahun 2010 sampai tahun 2015 cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2010 sebesar 23.000 ton/ha, tahun 2011 turun menjadi 17.000 ton/ha, dan meningkat lagi tahun 2012 menjadi 30.000 ton/ha. Pada tahun 2013 produktivitas komoditas tersebut menurun menjadi 22.000 ton/ha, tahun 2014 sebesar 21.000 ton/ha dan tahun 2015 sebesar 19.000 ton/ha (Dinas Pertanian Sulawesi Tengah, 2016).

Fluktuasi produktivitas tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Just dan Pope (1979) menjelaskan bahwa proses produksi memainkan peranan penting dalam mengalokasikan penggunaan input sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Salah satu faktor penyebab terjadinya fluktuasi produktivitas adalah adanya risiko produksi. Ullah et. al (2016) menjelaskan bahwa kegiatan pertanian sarat dengan berbagai risiko dan ketidakpastian. Risiko dibidang pertanian dikelompokkan menjadi dua, yaitu risiko bisnis dan keuangan. Risiko bisnis mencakup risiko produksi, pasar (harga), kelembagaan dan pribadi. Sedangkan risiko keuangan dihasilkan dari berbagai metode pembiayaan bisnis pertanian. Tinggi rendahnya kualitas resiko pertanian ditentukan oleh lokasi geografis, kebijakan pemerintah dan perundang-undangan, keberadaan alat-alat penanggulangan risiko formal dan tradisional, serta jenis produk pertanian. Dalam (Debertin, 1986) dijelaskan bahwa dalam melakukan aktivitas pertanian, petani menghadapi risiko produksi yang diakibatkan perubahan iklim, serangan hama dan penyakit tanaman. Aini et al. (2015) menyimpulkan bahwa perilaku petani terhadap risiko usahatani dipengaruhi oleh pendapatan usahatani, luas lahan, umur petani, jumlah tanggungan keluarga dan jenis lahan.

Amare et al (2017) dalam risetnya di Nigeria menyimpulkan bahwa risiko iklim berdampak positif terhadap pertumbuhan produktivitas pertanian. Selanjutnya produktivitas pertanian berdampak positif terhadap konsumsi dan pertumbuhan kesejahtreaan rumahtangga petani. Fauzan (2013) menjelaskan bahwa semakin tinggi pendapatan usahatani yang dicapai oleh petani akan menunjukkan keberhasilan petani dalam menjalankan usahataninya secara ekonomi. Dalam Zakaria (2009) dikatakan bahwa peningkatan pendapatan petani merupakan kunci utama menuju peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan antara lain ditempuh melalui peningkatan produktivitas usahatani. Siregar dan Masyitho (2008) menjelaskan bahwa terbatasnya kapasitas produksi pertanian ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang mengakibatkan fluktuasi dan penurunan produktivitas. Penurunan produktivitas tersebut akan berdampak menurunkan pendapatan usahatani sehingga akhirnya akan mengakibatkan pendapatan dan kesejahteraan rumahtanga petani menurun.

Budidaya bawang merah tidak sepenuhnya memberikan keuntungan maksimum bagi rumahtangga petani. Hal tersebut terjadi karena adanya risiko dalam pelaksanaan usahatani bawang merah. Salah satu faktor risiko yang terjadi adalah risiko produksi. Risiko produksi yang terjadi diindikasikan dengan adanya fluktuasi produktivitas diantara rumahtangga petani yang ada di Kabupaten Sigi. Faktor internal yang menyebabkan risiko produksi diantaranya adalah adanya perbedaan penggunaan jumlah input pada masing-masing petani. Beberapa input yang biasa digunakan dalam proses budidaya bawang merah adalah pupuk, pestisida, luas

Page 218: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Sherly Siseraf Pamusu – Pengaruh Risiko Produksi terhadap Kesejahteraan Petani ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

431

lahan dan bibit. Sedangkan sumber eksternal yang menyebabkan adanya risiko produksi adalah adanya pengaruh musim hujan yang berkepanjangan.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak risiko produksi terhadap kesejahteraan rumahtangga petani bawang merah di Kabupaten Sigi. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam kebijakan pengembangan usahatani bawang merah sebagai komoditi unggulan di Provinsi Sulawesi Tengah.

METODE PENELITIAN

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Tengah dengan pertimbangan bahwa merupakan salah satu sentra produksi bawang merah, namun di Provinsi Sulawesi Tengah memiliki bawang merah yang khas yaitu bawang merah, ini berbeda dengan bawang merah yang ada di Indonesia. Selanjutnya Kabupaten Sigi dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan produsen bawang merah tertinggi di Sulawesi Tengah.

Kecamatan Sigi Biromaru dan Dolo dipilih untuk mewakili Kabupaten Sigi dengan pertimbangan bahwa kedua kecamatan tersebut merupakan sentra produksi, Kecamatan Sigi Biromaru diwakili 4 desa dan Kecamatan Dolo diwakili 5 desa. Penentuan desa penelitian didasarkan pada pertimbangan luas lahan dan produksi. Data mengenai jumlah rumahtangga petani pada masing-masing kecamatan yang dipilih adalah petani bawang merah dengan sampel yang digunakan secara acak (random sampling method) untuk masing-masing kecamatan terpilih. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 210 responden dari 2 kecamatan yang terpilih.

Data dalam penelitian ini menggunakan data primer. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada petani. Jenis data cross section, dimana data yang dikumpulkan adalah data produksi, penerimaan dan pengeluaran usahatani bawang merah. Wawancara dilakukan pada setiap responden dengan mengajukan pertanyaan terstruktur yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Data primer yang sumbernya dari rumahtangga petani bawang merah sebagai sampel. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik rumahtangga petani. Selain wawancara dengan rumahtangga petani bawang merah, penelitian ini juga melakukan wawancara dengan Kadis Pertanian dan Kabid Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah, Kadis Pertanian Kabupaten Sigi dan Kabid Hortikultura Kabupaten Sigi, kepala BP4K Kabupaten Sigi, Koordinator penyuluh, pedagang pengumpul, ketua Gapoktan. Selain data primer, peneliti juga menggunakan data sekunder untuk mendukung penelitian. Sumber data sekunder antara lain Direktorat Jenderal Hortikultura, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah.

Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi produksi yang dihadapi petani bawang merah maka digunakan fungsi produksi model Just and Pope karena model ini menjelaskan bahwa produksi dipengaruhi oleh fungsi produksi dan risiko produksi (Robinson dan Barry, 1987). Fungsi produksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi produksi Cobb-Douglas dalam bentuk logaritma natural. Adapun fungsi produksi dan risiko produksi ditulis sebagai berikut:

LnPRODBP = α0 + α1 ln LLBP + α2 ln PBTBP + α3 ln TKBP + α4 ln PUR + α5 ln PSP

+ α6 ln PKCl + α7 ln PTSP + α8 ln PEST + ε (1)

Page 219: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

432 JEPA, 3 (2), 2019: 429-438

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Selanjutnya untuk mengukur ekspektasi produksi sebagai berikut: Standart Deviation: SDPBP = !(PRODBP( − EXPBP()-

Dimana: EXPBP = PRODBP./ Ln SDPBP = β0 + β1 ln LLBP + β2 ln PBTBP + β3 ln TKBP + β4 ln PUR + β5 ln PSP

+ β6 ln PKCL + β7 ln PTSP + β8 ln PEST + ε (2) α1, α2, α3, α4, α5, α6, α7, α8 > 0 sedangkan β5 > 0; β1, β2, β3, β4, β6, β7, β8

Dimana: PRODBP = Fungsi Produksi SDPBP = Risiko Produksi α0 - α8 = Koefisien parameter dugaan fungsi produksi β0 -β8 = Koefisien parameter dugaan risiko produksi ε = error term LLBP = Luas lahan bawang merah (ha/th) PBTBP = Penggunaan bibit bawang merah (kg/th) TKBP = Total penggunaan tenaga kerja usahatani bawang merah (jam/th) PUR = Penggunaan pupuk Urea usahatani bawang merah (kg/th) PSP = Penggunaan pupuk SP usahatani bawang merah (kg/th) PKCL = Penggunaan pupuk KCL usahatani bawang merah (kg/th) PTSP = Penggunaan pupuk TSP usahatani bawang merah (kg/th) PEST = Penggunaan pestisida usahatani bawang merah (ltr/ha)

Model ekonomi rumahtangga petani bawang merah dibangun dalam sistem persamaan simultan. Jumlah persamaan 30 yang terdiri dari 22 persamaan struktural dan 8 identitas. Jumlah variabel 45 terdiri dari variabel endoegen 30 dan variabel eksogen 15. Hasil identifikasi model menunjukkan model over identified dan diestimasi dengan menggunakan metode 2SLS Two Stage Least Squares. Spesifikasi Model Model ekonomi rumahtangga petani bawang merah dikelompokkan atas 5 blok yakni produksi, penggunaan input, pengunaan tenaga kerja, pendapatan dan pengeluaran. Luas Lahan Bawang Merah (LLBP) LLBP = ao + a1 TKBP + a2 HSP + a3 HKCL + a4 HPEST + a5 EXPBP + a6 SDHBP +ɛ1 (3) Produktivitas Bawang Merah (PRDBP) PRDBP = b0 + b1 PUR + b2 PNPK + b3 SDPBP + b4 SDHBP + b5 PBTBP + b6 TDBP +

b7 TLBP + ɛ2 (4) Produksi Bawang Merah Lembah Palu (PRODBP) PRODBP = LLBP*PRDBP (5) Pengunaan Bibit Bawang Merah (PBTBP) PBTBP = c0 + c1 HBTBP + c2 SDPBP + c3 EXPBP + c4 TPRT+ ɛ3 (6) Penggunaan Pupuk Urea Usahatani Bawang Merah (PUR) PUR = d0 + d1 HUR + d2 LLBP + d3 EXPBP + d4 SDPBP + ɛ4 (7) Penggunaan Pupuk SP Usahatani Bawang Merah (PSP) PSP = e0 + e1 HSP + e2 EXHBP + e3 SDHBP + e4 PTKP + ɛ5 (8)

Page 220: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Sherly Siseraf Pamusu – Pengaruh Risiko Produksi terhadap Kesejahteraan Petani ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

433

Penggunaan Pupuk TSP Usahatani Bawang Merah (PTSP) PTSP = f0 + f1 HTSP + f2 EXPBP + f3 SDPBP + f4 TKBP + ɛ6 (9)

Penggunaan Pupuk NPK Usahatani Bawang Merah (PNPK) PNPK = g0 + g1 HNPK+ g2 HKCl+ g3 LLBP + g4 EXPBP + g5 SDPBP + ɛ7 (10) Penggunaan Pestisida Usahatani Bawang Merah (PEST) PEST = h0 + h1 HPEST + h2 PUR + h3 EXPBP + h4 SDHBP + ɛ8 (11) Penggunaan Tenaga Kerja Pria dalam Keluarga Usahatani Bawang Merah (PTKP) PTKP = i0 + i1 UTKPUT + i2 PTKW + i3 EXPBP + i4 SDPBP + ɛ9 (12) Penggunaan Tenaga Kerja Wanita dalam Keluarga Usahatani Bawang Merah (PTKW) PTKW = j0 + j1 PTKP + j2 PTLW + j3 SDHBP + ɛ10 (13) Penggunaan Tenaga Kerja Pria Luar Keluarga Usahatani Bawang Merah (PTLP) PTLP = k0 + k1 TDBP + k2 PTKPNB + k3 PTLW + k4 EXPBP + k5 SDPBP + ɛ11 (14) Penggunaan Tenaga Kerja Wanita Luar Keluarga Usahatani Bawang Merah (PTLW) PTLW = l0 + l1 LLBP + l2 PTKW + l3 SDPBP + ɛ12 (15) Total Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Bawang Merah Lembah Palu (TDBP) TDBP = PTKP + PTKW (16) Total Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Bawang Merah Lembah Palu (TLBP) TLBP = PTLP + PTLW (17) Total Penggunaan Tenaga Kerja Bawang Merah Lembah Palu (TKBP) TKBP = PDBP + TLBP (18) Penggunaan Tenaga Kerja Pria Usahatani Non Bawang Merah (PTKPNB) PTKPNB = m0 + m1 UTKPUT + m2 EXHBP + m3 TPENG + m4 SDPBP + ɛ13 (19)

Penggunaan Tenaga Kerja Wanita Usahatani Non Bawang Merah (PTKWNB) PTKWNB = n0 + n1 UTKWUT + n2 PTKW + n3 EXPBP + n4 SDPBP + n5 SDHBP + n6 TPNP

+ ɛ14 (20)

Penggunaan Tenaga Kerja Pria Non Pertanian (PTKPNP) PTKPNP = o0 + o1 PTKWNP + o2 EXPBP + o3 SDPBP + o4 SDHBP + o5 TPENG + ɛ15 (21) Penggunaan Tenaga Kerja Wanita Non Pertanian (PTKWNP) PTKWNP = p0 + p1 PTKWNB + p2 TPNBP + p3 TPENG + p4 EXPBP + p5 SDPBP + ɛ16 (22) Total Pendapatan Usahatani Non Bawang Merah (TPNBP) TPNBP = q0 + q1 PTKPNB + q2 EXPBP + q3 SDPBP + ɛ17 (23) Total Pendapatan Non Pertanian (TPNP) TPNP = r0 + r1 PTKPNP + r2 PTKWNP + r3 EXHBP + r4 SDHBP + ɛ18 (24) Total Biaya Usahatani Bawang Merah (TBUBP)

TBUBP = HBTBP*PBTBP + (PUR*HUR + HSP*PSP + HKCL*PKCL + HTSP*PTSP + HNPK*PNPK) + HPEST*PEST + (UTKPUT*PTLP + UTKWUT*PTLW) (25)

Pendapatan Usahatani Bawang Merah (PUBP) PUBP = (PRODBP*EXHBP) – TBUBP (26) Total Pendapatan Rumahtangga (TPRT) TPRT = PUBP + TPNBP + TPNP (27) Konsumsi Pangan (KP) KP = s0 + s1 JAK + s2 TPNP + s3 EXPBP + s4 SDPBP + ɛ19 (28) Konsumsi Non Pangan (KNP) KNP = t0 + t1 JAK + t2 KP + t3 EXPBP + t4 EXPBP + t5 SDPBP + ɛ20 (29) Total Konsumsi (TKONS) TKONS = KP + KNP (30)

Investasi Kesehatan (KS) KS = u0 + u1 TPNBP + u2 TPNP + u3 EXHBP + u4 SDHBP + u5 TAB + ɛ 21 (31)

Page 221: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

434 JEPA, 3 (2), 2019: 429-438

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Total Pengeluaran (TPENG) TPENG = TKONS + KS (32) Tabungan (TAB)

TAB = v0 + v1 TBUBP + v2 TPENG + v3 EXPBP + v4 SDPBP + ɛ 22 (33)

Dimana: EXPBP = Ekspektasi produksi bawang merah EXHBP = Ekspektasi harga bawang merah SDPBP = Risiko produksi bawang merah SDHBP = Risiko harga bawang merah UTKPUT = Upah tenaga kerja pria dalam usahatani UTKWUT = Upah tenaga kerja wanita dalam usahatani PKCL = Penggunaan pupuk KCL dalam usahatani bawang merah HBTBP = Harga bibit bawang merah HUR = Harga pupuk Urea dalam usahatani bawang merah HSP = Harga pupuk SP dalam usahatani bawang merah HKCL = Harga pupuk KCL dalam usahatani bawang merah HTSP = Harga pupuk TSP dalam usahatani bawang merah HNPK = Harga pupuk NPK dalam usahatani bawang merah HPEST = Harga pestisida dalam usahatani bawang merah JAK = Jumlah anggota keluarga

HASIL DAN PEMBAHASAN Fungsi Produksi dan Fungsi Risiko Koefisien determinasi R2 fungsi produksi sebesar 83.04%, menunjukkan bahwa variasi fungsi produksi dapat dijelaskan variabel penjelas sebesar 83.04% dan variabel lainnya di luar penjelas sebesar 16.96%. Hasil pendugaan parameter menunjukkan bahwa luas lahan bawang merah, penggunaan bibit, total penggunaan tenaga kerja usahatani bawang merah, penggunaan pupuk dan pestisida berpengaruh positif terhadap fungsi produksi bawang merah. Jika nilai variabel penjelas ditingkatkan, maka jumlah produksi bawang merah meningkat. Selanjutnya berdasarkan hasil yang disajikan dalam Tabel 1, nilai koefisien determinasi (R2) fungsi risiko sebesar 86.90%. Hal ini menunjukkan bahwa variasi fungsi risiko dapat dijelaskan variabel penjelas sebesar 86.9% dan variabel lainnya di luar penjelas sebesar 13,10%. Hasil pendugaan parameter menunjukkan luas lahan, total penggunaan tenaga kerja usahatani bawang merah, penggunaan pupuk Urea, KCl, TSP dan penggunaan pestisida berpengaruh positif terhadap fungsi risiko produksi, sebaliknya penggunaan pupuk SP berpengaruh negatif terhadap fungsi risiko produksi. Jika penggunaan pupuk SP meningkat, maka resiko produksi berkurang. Hal ini terjadi karena penggunaan pupuk SP belum mencapai ambang batas risiko produksi, sedangkan penggunaan variabel penjelas lainnya telah mencapai tingkat kejenuhan.

Page 222: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Sherly Siseraf Pamusu – Pengaruh Risiko Produksi terhadap Kesejahteraan Petani ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

435

Tabel 1 Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produksi dan Risiko Produksi Bawang Merah di Kabupaten Sigi Tahun 2018

Variabel Parameter Standard Error t-hit Sig.

Fungsi Produksi Intersep 4.513282 0.1304588 34.60 0.000 Luas Lahan Bawang Merah (LnLLBP) 0.004684 0.0037320 1.26 0.211 Penggunaan Bibit Bawang Merah (LnPBTBP) 0.487473 0.0277304 17.58 0.000 Total Penggunaan TK Usahatani Bawang Merah (LnTKBP) 0.112780 0.0349714 3.22 0.001

Penggunaan Pupuk Urea (LnPUR) 0.007107 0.0053552 1.33 0.186 Penggunaan Pupuk SP (LnPSP) 0.001041 0.0008087 1.29 0.199 Penggunaan Pupuk KCl (LnPKCL) 0.000116 0.0008025 0.14 0.885 Penggunaan Pupuk TSP (LnPTSP) 0.000478 0.0007804 0.61 0.541 Penggunaan Pestisida (LnPEST) 0.475509 0.0170300 2.79 0.006 R2 =0.8304; F-hit=123.05; Sig.=0.000

Fungsi Risiko Intersep 2.676532 0.3383050 7.91 0.000 Luas Lahan Bawang Merah (LnLLBP) 0.0014831 0.0096779 0.15 0.878 Penggunaan Bibit Bawang Merah (LnPBTBP) 0.4064161 0.0719103 5.65 0.000 Total Penggunaan TK Usahatani Bawang Merah (LnTKBP) 0.238076 0.0906876 2.63 0.009

Penggunaan Pupuk Urea (LnPUR) 0.0085298 0.0138871 0.61 0.540 Penggunaan Pupuk SP (LnPSP) -0.0010128 0.0020971 -0.48 0.630 Penggunaan Pupuk KCl (LnPKCl) 0.0004304 0.0020810 0.21 0.836 Penggunaan Pupuk TSP (LnPTSP) 0.0023492 0.0020238 1.16 0.247 Penggunaan Pestisida (LnPEST) 1.200296 0.0441620 27.18 0.000 R2 =0.8690; F-hit=166.65; Sig.=0.000

Pengukuran risiko produksi menggunakan standar deviasi. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 2, besaran risiko produksi bawang merah di Kabupaten Sigi berbanding lurus dengan luas lahan yang dimiliki rumahtangga petani. Semakin luas lahan garapan, risiko produksi semakin tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai varians, standar deviasi dan koefisien variasi yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan luas lahan. Tabel 2 Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Sigi Tahun 2018

Uraian Rata-rata Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas

Varians 6118145.1289 22639984.8346 67968953.2408 Standar deviasi 1838.8460 4122.1361 7239.8715 Koefisien variasi 0.3435 0.4534 0.4917

Validasi model

Validasi model ekonomi rumahtangga petani bawang merah menghasilkan nilai U-Theil yang lebih kecil dari 0.5 sebanyak 22 variabel (70.97%) dan yang lebih besar dari 0.5 sebanyak 9 variabel (30.03%). Hasil ini menunjukkan bahwa nilai prediksi variabel endogen cukup dekat dengan nilai aktual. Oleh karena itu, model cukup baik digunakan untuk simulasi.

Page 223: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

436 JEPA, 3 (2), 2019: 429-438

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Simulasi Dampak Risiko Produksi terhadap Kesejahteraan rumahtangga Petani

Peningkatan risiko produksi sebesar 5% berdampak menurunkan luas lahan, produksi dan produktifitas bawang merah. Penggunaan input untuk usahatanai bawang merah secara umum berkurang, namun pestisida meningkat. Peningkatan penggunaan pestisida merupakan salah satu upaya yang ditempuh petani dalam rangka mengeliminir risiko produksi yang sedang dihadapi.

Disisi tenaga kerja, peningkatan risiko produksi bawang merah sebesar 5% tersebut berdampak menurunkan total penggunaan tenaga kerja dalam keluarga untuk usahatani bawang merah. Penurunan tersebut merupakan dampak logis dari penurunan alokasi tenaga kerja pria dalam keluarga untuk usahatani bawang merah. Penggunaan tenaga kerja wanita dan pria luar keluarga untuk usahatani bawang merah menurun sehingga total tenaga kerja luar keluarga untuk usahatani bawang merah berkurang. Penurunan tenaga kerja dalam dan luar keluarga tersebut mengakibatkan menurunnya total penggunaan tenaga kerja untuk bawang merah. Penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga untuk non usahatani bawang merah dan non pertanian menurun. Peningkatan risiko produksi juga berdampak menurunkan penggunaan tenaga kerja pria dan wanita dalam keluarga untuk usaha non pertanian. Akan tetapi, peningkatan risiko produksi tersebut berdampak meningkatkan penggunaan tenaga kerja wanita dalam keluarga untuk usahatani bawang merah dan non bawang merah.

Peningkatan risiko produksi sebesar 5% tersebut berdampak menurunkan pendapatan usahatani bawang merah dan non pertanian sehingga total pendapatan rumahtangga petani menurun. Pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan menurun sehingga total kosumsi menurun. Hal ini mengakibatkan total pengeluaran rumahtangga menurun sehingga kesejahteraan rumahtanga petani menurun. Peningkatan risiko tersebut juga berdampak menurunkan tabungan rumahtangga petani. Disisi lain, peningkatan risiko produksi tersebut berdampak meningkatkan total pendapatan usahatani non bawang merah dan inestasi kesehatan (Tabel 3).

Tabel 3 Dampak Risiko Produksi terhadap Kesejahteraan Rumahtangga Petani di Kabupaten

Sigi Tahun 2018

Notasi Nama Variabel Nilai Basis

% Perubahan

LLBP Luas lahan bawang merah 0.7233 -3.00234 PRDBP Produktivitas bawang merah 3599.225 -3.58161 PRODBP Produksi bawang merah 3311.3 -8.09929 PBTBP Penggunaan bibit usahatani bawang merah 792.1 -4.38210 PUR Penggunaan pupuk Urea usahatani bawang merah 79.9558 -2.65529 PSP Penggunaan pupuk SP usahatani bawang merah 91.8734 -3.40253 PTSP Penggunaan pupuk TSP usahatani bawang merah 50.6563 -2.69638 PNPK Penggunaan pupuk NPK usahatani bawang merah 79.0827 -0.94946

Page 224: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Sherly Siseraf Pamusu – Pengaruh Risiko Produksi terhadap Kesejahteraan Petani ........................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

437

Lanjutan Tabel 3

Notasi Nama Variabel Nilai Basis

% Perubahan

PEST Penggunaan pestisida usahatani bawang merah 4.2239 5.87729

PTKP Penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga usahatani bawang merah 25.2428 -1.92628

PTKW Penggunaan tenaga kerja wanita dalam keluarga usahatani bawang merah 3.2134 3.99271

TDBP Total penggunaan tenaga kerja dalam keluarga usahatani bawang merah 28.4562 -1.33256

PTLP Penggunaan tenaga kerja pria luar keluarga usahatani bawang merah 103.2 -4.20244

PTLW Penggunaan tenaga kerja wanita luar keluarga usahatani bawang merah 96.368 -5.08954

TLBP Total penggunaan tenaga kerja luar keluarga usahatani bawang merah 199.58 -4.60653

TKBP Total penggunaan tenaga kerja usahatani bawang merah 228 -4.18959

PTKPNB Penggunaan tenaga kerja pria usahatani non bawang merah 51.1049 -1.42475

PTKWNB Penggunaan tenaga kerja wanita usahatani non bawang merah 47.6771 1.46285

PTKPNP Penggunaan tenaga kerja pria non pertanian 125.8 -2.73369 PTKWNP Penggunaan tenaga kerja wanita non pertanian 289.6 -5.13356 TPNBP Total pendapatan usahatani non bawang merah 8232788 3.98154 TPNP Total pendapatan non pertanian 5051293 -4.77773 TBUBP Total biaya usahatani bawang merah 67472394 -4.17638 PUBP Pendapatan usahatani bawang merah 51794294 -17.73749 TPRT Total pendapatan rumahtangga 65078375 -11.93679 KP Konsumsi pangan 28790497 -1.09952 KNP Konsumsi non pangan 26288888 -4.01351 TKONS Total Konsumsi 55079385 -2.49559 KS Investasi kesehatan 3482229 1.21386 TPENG Total pengeluaran 58561614 -2.31330 TAB Tabungan 3003021 -5.65458

Keterangan: Peningkatan risiko produksi sebesar 5%

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Risiko produksi berbanding lurus dengan luas lahan garapan usahatani bawang merah. Semakin tinggi luas lahan garapan, semakin tinggi risiko produksi. Variabel luas lahan, total penggunaan tenaga kerja usahatani bawang merah, penggunaan pupuk Urea, KCl, TSP dan penggunaan pestisida berpengaruh positif terhadap fungsi risiko produksi, sebaliknya penggunaan pupuk SP berpengaruh negatif.

Page 225: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

438 JEPA, 3 (2), 2019: 429-438

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Peningkatan risiko produksi berdampak menurunkan pendapatan usahatani bawang merah, usahatani non bawang merah, dan pendapatan non pertanian sehingga pendapatan rumahtangga petani menurun. Peningkatan risiko tersebut berdampak menurunkan kesejahteraan rumahtangga petani. Namun di sisi lain, peningkatan risiko produksi tersebut direspon secara positif oleh petani dengan meningkatkan tabungan.

Saran Dalam rangka mengurangi risiko produksi, maka petani perlu memperhatikan waktu tanam yang tepat serta penggunaan pupuk dan pestisida sesuai anjuran. Pemerintah diharapkan menyediakan lapangan kerja non pertanian yang cukup bagi rumahtangga petani sehingga dapat meyerap kelebihan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga petani.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, N.H., Prasmatiwi, F.E., Sayekti, D.W.. 2015. Analisis Pendapatan dan Risiko Usahatani

Kubis Pada Lahan Kering dan Lahan Sawah Tadah Hujan Di Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. 3(1): 1-9.

Amare, M., Cissé, J.D., Jensen, N.D. dan Shiferaw B. 2017. The Impact of Agricultural Productivity on Welfare Growth of Farm Households in Nigeria: A Panel Data Analysis. FAO. Rome.

Binswanger, H.P. 1981. Attitudes Toward Risk: Theoretical Implications of an Experiment in Rural India. The Economic Journal. 91: 867-890.

Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company. New York.

Dinas Pertanian Hortikultura Sulawesi Tengah. 2016. Perkembangan Produktivitas Bawang Merah Varietas Lembah Palu. Dinas Pertanian Hortikultura Sulawesi Tengah. Palu.

Direktorat Jenderal Hortikultura. 2016. Perkembangan Agribisnis Hortikultura Tahun 2016. Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian. Jakarta.

Fauzan, M. 2016. Analisis Efisiensi Usahatani Bawang Merah di Sentra Produksi Kabupaten Bantul. Laporan Akhir Penelitian Kopertis V. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta.

Just, R.E., Pope, R.D. 1979. Production Function Estimation and Related Risk Consideration. American Journal of Agricultural Economics. 61(2): 276-284.

Robison, L.J., Barry P.J. 1987. The Competitive Firm’s Response to Risk. Macmillan Publisher. London.

Siregar, H., Masyitho, S. 2008. Dinamika Harga Pangan, BBM, Inflasi serta Kemiskinan, dan Implikasinya Bagi Ketahanan Pangan. Seminar Nasional ISEI. 16-18 Juli 2008. Lombok.

Ullah, R., Shivakoti, G.P., Zulfiqa,r F., Kamran, M.A. 2016. Farm risks and uncertainties Sources, impacts and management. SAGE Journal. 45(3):199-205.

Zakaria, W.A. 2009. Penguatan Kelembagaan Kelompok Tani Kunci Kesejahteraan Petani. Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Page 226: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 439-448

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.19

ANALISIS INTEGRASI PASAR DAN FAKTOR PEMBENTUK HARGA UDANG BEKU INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

ANALYSIS OF MARKET INTEGRATION AND FACTORS OF INDONESIAN FROZEN

SHRIMP PRICE FORMATION IN INTERNATIONAL MARKET

Ulfira Ashari1*, Sahara2 , Sri Hartoyo2 1Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor

2Departemen Ekonomi, Institut Pertanian Bogor *Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Frozen shrimp is one of the main fishery export products in Indonesia that faced fluctuation price over time. Price of Indonesian frozen shrimp tends to follow the movement of the price of frozen shrimp in United State of America as the major export destination country. The objective of this study is to analyze (1) the market integration of frozen shrimp between Indonesia and USA and (2) the factors that affect the formation of Indonesian frozen shrimp export price. This study used time series data for 120 months, from 2005 to 2014. The model used is cointegration test and Error Correction Model (ECM). The results showed that Indonesian frozen shrimp market integrated with United State of America. Factors affect the formation of Indonesian frozen shrimp price significantly is export price of Indonesian frozen shrimp earlier period, the import price of USA frozen shrimp and exchange rate.

Keywords: frozen shrimp, market integration, ECM.

ABSTRAK

Udang beku adalah salah satu produk ekspor utama perikanan Indonesia yang menghadapi fluktuasi harga dari waktu ke waktu. Harga udang beku Indonesia cenderung mengikuti pergerakan harga udang beku Amerika Serikat sebagai negara tujuan ekspor utama. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis (1) integrasi pasar udang beku antara Indonesia dan Amerika Serikat dan (2) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga ekspor udang beku Indonesia. Model yang digunakan adalah uji kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasar udang beku Indonesia terintegrasi dengan Amerika Serikat. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga udang beku Indonesia secara signifikan adalah haga ekspor udang beku Indonesia periode sebelumnya, harga impor udang beku Amerika Serikat dan nilai tukar.

Kata kunci: udang beku, integrasi pasar, ECM

PENDAHULUAN

Pembangunan sub sektor perikanan bertujuan dalam meningkatkan produktivitas, nilai tambah, perluasan kesempatan kerja dan efisiensi usaha. Sub sektor perikanan juga memiliki kontibusi dalam peningkatan produk domestik bruto (PDB) (KKP 2013). Pada periode 2010-2014 terjadi peningkatan PDB sub sektor perikanan dengan laju pertumbuhan sekitar 6.82

Page 227: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

440 JEPA, 3 (2), 2019: 439-448

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

persen. Kontribusi sub sektor perikanan terhadap PDB sektor pertanian sebesar 65.95 triliun rupiah atau sekitar 18.80 persen pada tahun 2014. Kenaikan tersebut mencerminkan kenaikan daya beli para pelaku sektor perikanan secara rata-rata. Pertumbuhan PDB nasional pada periode tersebut sebesar 5.06 persen lebih rendah dibandingkan dengan PDB sub sektor perikanan (BPS 2014). Hal ini menunjukkan bahwa sub sektor perikanan memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia.

Salah satu komoditas perikanan bernilai tinggi yaitu udang. Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, udang juga diproduksi untuk keperluan ekspor. Udang yang diekspor lebih dari 40 persen dari total hasil perikanan (APINDO 2014) didominasi atas udang beku sebesar 82.34 persen, sedangkan sisanya udang olahan hanya 14.10 persen dan udang udang segar sebesar 3.56 persen. Negara tujuan utama ekspor udang beku adalah Amerika Serikat menguasai sekitar 54.41 persen ekspor udang beku Indonesia disusul Jepang sebesar 32.56 persen. Hal ini menunjukkan pasar spesifik udang beku terletak di Amerika Serikat.

Sebagai komoditi unggulan perikanan, perubahan harga udang beku umumnya dipengaruhi oleh perubahan permintaan negara tujuan ekspor dan penawaran negara produsen (Rapsomanikis et al. 2003; Goodwin 2006). Fluktuasi harga mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan diambil oleh pelaku usaha dalam memasarkan udang beku. Apabila terjadi kelebihan ketersediaan pasokan udang beku akan menyebabkan kerugian dari segi biaya penyimpanan dan menurunkan kualitas dari udang yang akan diekspor. Adanya ketersediaan informasi bertujuan untuk memprediksi penawaran dan permintaan di masa yang akan datang.

Integrasi pasar terjadi antara negara eksportir dan negara tujuan ekspor udang beku dimana perubahan harga yang terjadi di negara tujuan ekspor utama mampu ditransmisikan secara sempurna ke negara eksportir sehingga menunjukkan sistem pemasaran yang efisien (Meyer dan von Cramon-Taubadel 2004). Sistem pemasaran yang efisien dapat memberikan kepuasan maksimum bagi eksportir dan importir udang dalam memasarkan produknya dengan penggunaan sumber daya ekonomi yang serendah-rendahnya. Akan tetapi, struktur pasar udang beku berada pada pasar monopsoni dimana penentuan harga lebih dikendalikan oleh negara tujuan utama yang memiliki market power (Conforti 2004, Faminow dan Benson 1990, Serra dan Goodwin 2002).

Mengingat ketergantungan Indonesia terhadap pasar internasional mengakibatkan harga udang cenderung berfluktuasi. Integrasi pasar ditunjukkan dengan perubahan harga di suatu negara mempengaruhi perubahan harga di pasar-pasar lainnya. Studi Vinuya (2007) mengungkapkan bahwa integrasi pasar melambangkan dua harga dari dua pasar bergerak bersama-sama dalam jangka panjang (terkointegrasi). Meskipun demikian, Amerika Serikat dengan pangsa pasar yang besar cenderung memiliki market power dalam mengontrol harga sedangkan Indonesia hanya sebagai price taker. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) integrasi pasar udang beku Indonesia dan (2) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga ekspor udang beku Indonesia.

METODE PENELITIAN

Untuk mencapai tujuan-tujuan dalam penelitian digunakan program Eviews 7.0 dalam pengolahan data. Analisis integrasi pasar udang beku menggunakan pendekatan kointegrasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga udang beku menggunakan Error Correction Model (ECM)

Page 228: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ulfira Ashari– Analisis Integrasi Pasar Dan Faktor Pembentuk Harga ...........................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

441

Analisis Integrasi Pasar Sebelumnya dilakukan uji stasioneritas data harga udang beku menggunakan Augmented

Dickey-Fuller Test (ADF). Data yang tidak stasioner pada level selanjutnya dilakukan uji kointegrasi untuk membuktikan apakah harga udang beku Indonesia dan harga udang beku Amerika Serikat bergerak bersama-sama dalam jangka panjang. Pada penelitian Johansen dan Juselius (1990), uji kontegrasi ditunjukkan pada persamaan (1a) dan (1b) berikut.

dimana Pt adalah vektor dari harga ekspor udang beku Indonesia dan harga impor udang beku Amerika Serikat (PXUBI dan PMUBA) dan et adalah Gaussian residuals. Persamaan (1a) kemudian dikembangkan menggunakan pola VECM pada persamaan (1b) berikut.

dimana merupakan matriks jangka panjang dan adjustment parameters; Bj matriks dari parameter jangka pendek; Pt merupakan vektor dari harga produsen, grosir, dan konsumen; dan j adalah panjang lag. Selanjutnya untuk menguji kointegrasi antara harga udang beku Indonesia dan Amerika Serikat dilakukan melalui dua uji statistik yaitu trace test (λtrace (τ)) dan maximum eigenvalue test (λmax) yang dituliskan dalam persamaan berikut:

dimana: k = 0,1,…, n-1 T = Jumlah observasi yang digunakan λi = Estimasi nilai ke-i ordo eigenvalue dari matriks Π r = Jumlah vektor dari vektor kointegrasi pada hipotesis nol Hipotesis nol yang digunakan pada pengujian λtrace dan λmax, yaitu: H0: r ≤ 0 atau tidak terdapat hubungan kointegrasi

Jika uji statistik lebih besar dibandingkan dengan critical value pada tabel Johansen maka H0 ditolak artinya terdapat hubungan kointegrasi. Analisis Faktor-faktor Pembentukan Harga Udang Beku Indonesia

Faktor-faktor pembentukan harga udang beku Indonesia dapat dirumuskan dengan model ECM sebagai berikut:

∆LNPXUBIt = β0 + β1 ∆LNPXUBIt-1 + β2 ∆LNPWUBt + β3 ∆LNPMUBAt

+ β4 ∆LNERAt + β5 LN(XUBIt/XUBWt)+ β6 LNPRODB + β7 Zt-1 +εt (4)

(1a) 1

1 t

k

jtit PP eµ +P+=D å

=-

(1b) 1

11 å

-

=-- +D+P+=D

k

jtjtjtt PBPcP e

P

( ) (2) 1ln1

å+=

--=n

kiitrace T ll

( ) (3) )1ln(1, 1max +--=+ rTrr ll

Page 229: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

442 JEPA, 3 (2), 2019: 439-448

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Dimana:

PXUBIt-1 = Harga ekspor udang beku Indonesia pada periode sebelumnya (US$/kg)

PMUBAt = Harga impor udang beku Amerika Serikat (US$/kg) PWUBt = Harga udang beku Dunia pada periode ke-t (US$/kg) ERAt = Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Amerika Serikat

pada periode t (Rp/US$) XUBI/XUBW = Rasio ekspor udang beku Indonesia terhadap dunia pada periode t (kg) PRODBt = Total produksi udang beku Indonesia pada periode t (kg) Zt-1 = Error Correction Term (ECT)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa Data Deskriptif

Penelitian ini menggunakan data harga ekspor udang beku di Indonesia dan harga impor udang beku di Amerika Serikat. Data yang digunakan merupakan data harga bulanan. Adapun gambaran mengenai perkembangan harga udang beku antara Indonesia dan Amerika Serikat disajikan pada Gambar 1 berikut ini.

Sumber: ITC dari berbagai tahun (diolah) Gambar 1 Perkembangan harga udang beku Indonesia dan Amerika Serikat

pada Januari 2005-Desember 2014

Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa harga riil udang beku cenderung berfluktuasi baik di Indonesia maupun Amerika Serikat. Fluktuasi harga terbesar terjadi pada tahun 2011. Terjadi disparitas harga yang cukup besar dari tahun 2005 hingga 2008 dengan rata-rata perbedaan harga yang terjadi sebesar US$ 2.73. Sedangkan pada periode berikutnya 2009-2014 disparitas harga yang terjadi mengalami penurunan sebesar 32 persen yaitu US$ 1.86.

Pergerakan harga udang beku Indonesia cenderung mengikuti pergerakan harga di Amerika Serikat. Sebagai negara importir utama udang beku dari Indonesia dan dunia, Amerika Serikat memiliki market power yang cukup tinggi untuk mempengaruhi pembentukan harga udang beku di Indonesia. Sehingga terlihat bahwa harga udang beku Amerika Serikat dapat

Page 230: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ulfira Ashari– Analisis Integrasi Pasar Dan Faktor Pembentuk Harga ...........................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

443

ditransmisikan dengan sempurna ke Indonesia. Untuk lebih jelasnya dilakukan analisis mengenai integrasi pasar udang beku Indonesia dengan Amerika Serikat sebagai negara tujuan ekspor utama.

Analisis Integrasi Pasar

Uji Stasioneritas Data

Sebelum menguji integrasi pasar, terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas data menggunakan uji Augmented Dicky Fuller (ADF) dengan tingkat signifikasi 1 persen. Data dikatakan stasioner apabila nilai t-ADF kurang dari nilai kritis Mackinnon. Pengujian dilakukan hingga first difference. Adapun hasil uji stasioneritas disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil uji stationeritas data integrasi pasar udang beku Indonesia–Amerika Serikat

Variabel Nilai ADF Level First Difference

P_Beku_Indonesia -1.187 -7.978** P_Beku_Amerika -1.295 -8.026**

**Stationer pada taraf nyata 1% Berdasarkan Tabel 1, hasil pengujian menunjukkan bahwa variabel harga ekspor udang

beku Indonesia dan harga impor udang beku Amerika Serikat tidak stasioner pada level. Setelah dilakukan pengujian hingga first difference semua variabel yang digunakan telah stasioner maka metode analisis kointegrasi dapat dilanjutkan.

Penentuan Selang Optimal (Optimal Lag)

Penentuan selang optimal sangat penting dilakukan untuk menunjukkan lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya. Penentuan lag optimal juga digunakan untuk menghilangkan autokorelasi dalam sistem VAR. Penentuan lag diuji berdasarkan beberapa informasi yaitu Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-QuinnCriterion (HQ). Adapun hasil pengujian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil pengujian lag optimal udang beku

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 -312.288085 NA 0.938506 5.612287 5.660832 5.631983 1 -85.73204697 440.9751 0.017639 1.638072 1.783706 1.697161 2 -72.97710606 24.37105 0.015087 1.481734 1.724457* 1.580215* 3 -67.60887215 10.06544* 0.014726* 1.457301* 1.797114 1.595174 4 -65.08298786 4.645823 0.015125 1.483625 1.920526 1.66089 5 -61.83568585 5.856741 0.015338 1.497066 2.031057 1.713723 6 -60.07763546 3.107982 0.015978 1.537101 2.168181 1.79315 7 -60.05544788 0.038432 0.017174 1.608133 2.336302 1.903574 8 -59.55448086 0.849855 0.018308 1.670616 2.495874 2.005449

Ket: * lag optimal

Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa nilai SC terkecil terdapat pada lag kedua dengan nilai sebesar 1.724. Sehingga lag optimal yang digunakan dalam model integrasi untuk udang beku ini adalah lag dua.

Page 231: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

444 JEPA, 3 (2), 2019: 439-448

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Uji Kointegrasi Uji kointegrasi dilakukan dengan menggunakan Johansen’s Trace Statistic digunakan

untuk mengetahui banyaknya persamaan dalam sistem yang memiliki kointegrasi. Apabila nilai trace statistic lebih dari nilai critical value 5 persen maka terdapat hubungan kointegrasi. Sehingga hipotesis alternatif yang menyatakan jumlah kointegrasi diterima. Hasil uji kointegrasi model integrasi udang beku disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji cointegration rank (trace) udang beku

Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace

Statistic 0.05

Critical Value Prob.**

None * 0.242406 32.84385 12.3209 0.0000 At most 1 0.003104 0.363744 4.129906 0.6094

Signifikan pada taraf nyata 5% Berdasarkan uji kointegrasi terlihat bahwa model integrasi udang beku yang digunakan

dalam penelitian ini juga memiliki satu persamaan kointegrasi. Terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang di antara variabel harga ekspor udang beku Indonesia dan harga impor udang beku Amerika Serikat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pasar udang beku Indonesia terintegrasi dengan pasar udang beku Amerika Serikat. Hal ini didukung oleh penelitian Vinuya (2007), Asche et al (2011), Vavra dan Goodwin (2005), Asriani (2010) yang mengungkapkan bahwa suatu pasar yang terkointegrasi apabila pergerakan di salah satu series harga diikuti dengan pergerakan harga di series lainnya secara sempurna. Secara spasial, komoditi yang sama pada pasar yang berbeda akan memiliki harga yang sama apabila tidak ada biaya transaksi, sehingga berlaku the law of one price (hukum satu harga) dalam integrasi pasar (Vinuya, 2007; Asche et al, 2011).

Faktor-Faktor Pembentuk Harga Ekspor Udang Beku Indonesia

Estimasi Error Correction Model faktor-faktor pembentuk harga ekspor udang beku Indonesia dilihat berdasarkan hubungan jangka pendek dan jangka panjang. Pada ECM jangka pendek dapat dilihat secara statistik nilai Error Correction Term (ECT) atau (-1) signifikan dan negatif artinya spesifikasi ECM yang digunakan adalah valid sehingga perubahan secara simultan dari harga ekspor udang beku Indonesia periode sebelumnya, harga udang beku dunia, harga impor udang beku Amerika Serikat, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, rasio ekspor udang beku Indonesia terhadap ekspor dunia, dan total produksi udang beku Indonesia direspon secara penuh oleh harga ekspor udang beku Indonesia. Nilai ECT diperoleh nilai sebesar -0.23, yang menunjukkan bahwa jika terjadi perubahan pada jangka pendek maka proses penyesuaian menuju jangka panjang adalah sebesar 23 persen pada periode pertama dan 77 persen terjadi pada periode berikutnya.

Page 232: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ulfira Ashari– Analisis Integrasi Pasar Dan Faktor Pembentuk Harga ...........................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

445

Tabel 4 Hasil estimasi hubungan jangka pendek faktor-faktor pembentuk harga ekspor udang beku Indonesia, Januari 2005 – Desember 2014

Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob. Konstanta -0.001 0.005 -0.140 0.889 Lag harga ekspor udang beku 0.150 0.079 1.904 0.060* Harga udang beku dunia 0.005 0.035 0.142 0.888 Harga impor udang beku AS 0.320 0.124 2.589 0.011** Nilai tukar Rp/Dolar 0.730 0.084 8.702 0.000*** Rasio ekspor udang beku Indonesia/dunia -0.017 0.022 -0.779 0.438 Produksi udang beku Indonesia 0.020 0.036 0.573 0.568 ECT -0.234 0.080 -2.913 0.004*** R-squared 0.464 Mean dependent var 0.004 Adjusted R-squared 0.430 S.D. dependent var 0.064 S.E. of regression 0.048 Akaike info criterion -3.153 Sum squared resid 0.258 Schwarz criterion -2.965 Log likelihood 194.026 Hannan-Quinn criter. -3.077 F-statistic 13.587 Durbin-Watson stat 1.905 Prob(F-statistic) 0.000

***signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, *signifikan pada taraf nyata 10% Sumber: Hasil Analisis 2015

Berdasarkan Tabel 4, pada model jangka pendek diperoleh nilai R2 sebesar 0.46. Hal ini

mengindikasikan bahwa 46 persen keragaman faktor-faktor yang mempengaruhi harga ekspor udang Indonesia dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya sebesar 54 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Adapun variabel yang signifikan mempengaruhi harga ekspor udang beku Indonesia adalah harga ekspor udang beku Indonesia periode sebelumnya, harga impor udang beku Amerika Serikat dan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar.

Terdapat hubungan positif dan signifikan pada taraf nyata 10 persen antara harga ekspor udang beku Indonesia periode t dan periode sebelumnya (t-1) dengan nilai koefisien sebesar 0.150. Hal ini berarti bahwa kenaikan harga ekspor udang beku Indonesia periode sebelumnya sebesar 1 persen akan menaikkan harga ekspor udang beku periode ke-t sebesar 0.150 persen.

Harga impor udang beku Amerika Serikat berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 0.320. Artinya kenaikan harga impor udang beku AS sebesar 1 persen akan menaikkan harga ekspor udang beku Indonesia sebesar 0.320 persen. Pengaruh positif ini erat kaitannya dengan posisi Amerika Serikat sebagai negara tujuan ekspor Indonesia sekaligus importir udang beku utama dunia. Kontribusi ekspor udang beku Indonesia ke AS mencapai sekitar 52 persen dari total udang beku Indonesia menunjukkan tingginya pengaruh Amerika Serikat dalam pembentukan harga udang beku di Indonesia. Kenaikan harga udang beku di Amerika Serikat mampu ditransmisikan dengan sempurna ke Indonesia. Hal ini sejalan dengan penelitian Asriani (2010) menunjukkan bahwa adanya kekuatan pasar (market power) yang besar dimiliki dunia dan negara importir menyebabkan negara tersebut mampu menekan dan mendikte harga sedangkan Indonesia hanya sebagai price follower terhadap perubahan harga yang terjadi di pasar internasional.

Page 233: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

446 JEPA, 3 (2), 2019: 439-448

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Amerika Serikat (Dolar) memiliki pengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 1 persen terhadap harga ekspor udang segar Indonesia. Nilai koefisien sebesar 0.730 menunjukkan kenaikan 1 persen nilai tukar Rupiah terhadap Dolar maka akan menaikkan harga ekspor udang beku Indonesia sebesar 0.730 persen. Jika dibandingkan dengan mata uang Ringgit pada pembentuk harga udang segar, Dolar Amerika memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pembentukan harga disebabkan karena seluruh aktivitas perdagangan Indonesia ke pasar internasional dijalankan menggunakan mata uang tersebut. Sejalan dengan penelitian Firdaus dan Ariyoso (2009) menyatakan bahwa semakin besarnya nilai tukar Rp/US$ menunjukkan bahwa nilai mata uang Indonesia semakin terdepresiasi maka harga udang beku menjadi lebih murah di negara importir. Tabel 5 Hasil estimasi hubungan jangka panjang faktor-faktor pembentuk harga ekspor

udang beku Indonesia, Januari 2005 – Desember 2014 Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob.

Konstanta -2.836 0.824 -3.442 0.001 Lag harga ekspor udang beku 0.572 0.074 7.725 0.000* Harga udang beku dunia -0.058 0.049 -1.196 0.234 Harga impor udang beku AS 0.422 0.085 4.997 0.000* Nilai tukar Rp/Dolar 0.275 0.052 5.277 0.000* Rasio ekspor udang beku Indonesia/dunia -0.003 0.018 -0.197 0.845 Produksi udang beku Indonesia 0.009 0.040 0.230 0.819 R-squared 0.952 Mean dependent var 1.891 Adjusted R-squared 0.949 S.D. dependent var 0.252 S.E. of regression 0.057 Akaike info criterion -2.838 Sum squared resid 0.363 Schwarz criterion -2.674 Log likelihood 175.839 Hannan-Quinn criter. -2.771 F-statistic 366.876 Durbin-Watson stat 1.427 Prob(F-statistic) 0.000

*signifikan pada taraf nyata 1% Sumber: Hasil Analisis 2015

Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa nilai R2 pada model jangka panjang sebesar 0.95

menunjukkan bahwa keragaman dari harga ekspor udang beku Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel independennya sebesar 95 persen dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Dalam jangka panjang terdapat tiga variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pembentukan harga ekspor udang beku Indonesia yaitu harga ekspor udang beku Indonesia periode sebelumnya, harga impor udang beku Amerika Serikat dan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar.

Pada variabel harga ekspor udang beku Indonesia periode sebelumnya memiliki pengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan 1 persen dari harga ekspor udang beku Indonesia periode sebelumnya dapat meningkatkan harga ekspor udang beku Indonesia periode t sebesar 0.572 persen.

Harga impor udang beku Amerika Serikat memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap harga ekspor udang beku Indonesia. Nilai koefisien sebesar 0.422 signifikan pada taraf nyata 1 persen. Artinya kenaikan harga impor udang beku Amerika Serikat akan menaikkan harga ekspor udang beku Indonesia sebesar 0.422 persen.

Page 234: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Ulfira Ashari– Analisis Integrasi Pasar Dan Faktor Pembentuk Harga ...........................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

447

Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Amerika Serikat (Dolar) memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap harga ekspor udang beku Indonesia. Nilai koefisien sebesar 0.275 signifikan pada taraf nyata 1 persen. Artinya kenaikan 1 persen nilai tukar Rupiah terhadap Dolar maka akan menaikkan harga ekspor udang beku Indonesia sebesar 0.275 persen. Semakin besarnya nilai tukar Rp/Dolar menunjukkan bahwa nilai mata uang Indonesia semakin terdepresiasi maka harga udang beku menjadi lebih mahal di dalam negeri dibandingkan dengan negara importir.

Dalam pembentukan harga udang segar dan harga udang beku Indonesia, variabel harga dunia menunjukkan posisi perdagangan udang Indonesia di pasar internasional. Pada pembentukan harga udang segar, Indonesia merupakan negara kecil di pasar dunia sehingga kenaikan harga udang segar dunia akan mempengaruhi kenaikan harga ekspor udang segar di Indonesia. Sedangkan pada perdagangan udang beku, Indonesia menempati posisi ke-4 eksportir terbesar dunia. Besarnya pengaruh pasar udang beku Indonesia menyebabkan harga udang beku dunia tidak signifikan mempengaruhi harga ekspor Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan maka dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut: 1. Pendekatan kointegrasi menunjukkan terjadi integrasi pasar pada produk udang beku antara

Indonesia dan Amerika Serikat. 2. Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi pembentukan harga ekspor udang beku

Indonesia dalam jangka pendek maupun jangka panjang adalah harga ekspor udang beku Indonesia periode sebelumnya, harga impor udang beku Amerika Serikat dan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar.

Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang dikemukakan maka dapat disampaikan

saran bagi pemerintah Indonesia dan penelitian lanjutan yaitu sebagai berikut: 1. Sebaiknya Indonesia juga lebih mengembangkan produk-produk udang olahan yang

memberikan nilai tambah dalam rangka peningkatan harga udang di pasar internasional. 2. Penguatan kerja sama antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor udang melalui kontrak

dagang untuk menghindari resiko yang ditimbulkan akibat fluktuasi harga udang sehingga perdagangan udang dapat berjalan efisien

3. Penelitian ini hanya melihat integrasi secara spasial antar pasar udang, sebaiknya perlu dikaji secara vertikal antar lembaga pemasaran di dalam negeri sehingga dampak integrasi terhadap kesejahteraan nelayan dapat diukur.

DAFTAR PUSTAKA [APINDO] Asosiasi Pengusaha Indonesia. 2014. Market Brief Langkah dan Strategi Ekspor ke

Uni Eropa: Produk Udang. Tim Asosiasi Pengusaha Indonesia. Jakarta.

Asche F, Bennear LS, Oglend A, Smith MD. 2011. US Shrimp Market Integration. DUKE Environmental Economics Working Paper Series. EE 11-09.

Page 235: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

448 JEPA, 3 (2), 2019: 439-448

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Asriani PS. 2010. Analisis Integrasi Pasar dan Permintaan Ubikayu Indonesia di Pasar Dunia. [Disertasi]. Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. UGM.

BPS. 2014. Buletin PDB Sektor Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian.

Conforti P. 2004. Price Transmission in Selected Agricultural Markets. Working Paper FAO Commodity and Trade Policy Research, No 7, March, 2004.

Faminow MD, Benson BL. 1990. Integration of Spatial Market. American Journal of Agricultural Economics, 72:49-62

Firdaus M, Ariyoso. 2009. Keterpaduan Pasar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Kakao Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 3(1): 69-79.

Goodwin BK. 2006. Spatial and Vertical Price Transmission in Meat Markets. Paper Presented at Workshop of Market Integration and Vertical and Spatial Price Transmission in Agricultural Markets, Kentucky, 2004.

[ITC] International Trade Center. Dari berbagai tahun. 2005-2014. Exported and Imported Unit Value for Shrimps and Prawns [internet]. [diacu 2015 Maret 30]. Tersedia dari: http://www.trademap.org/Country_SelProduct_TS.aspx.

Johansen S, Juselius K. 1990. Maximum likelihood estimation and inference on cointegration with applications to the demand for money. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 52: 169-210.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Pusat Data Statistik dan Informasi, Jakarta.

Meyer J, von Cramon-Taubadel S. 2004. Asymmetric Price Transmission: A Survey. Journal of Agricultural Economics, 55(3): 581-611.

Rapsomanikis G, Hallam D, Conforti P. 2003. Market Integration and Price Transmission in Selected Food and Cash Crop Markets of Developing Countries : Review and Applications. Commodity Markets Review 2003 – 2004, 51-75, FAO Commodities and Trade Division.

Serra T, Goodwin BK. 2002. Price Transmission and Asymetric Adjustment in the Spanish Dairy Sector. Paper presented at 2002 AAEA-WAEA Annual Meeting.

Vavra P, Goodwin BK. 2005. Analysis of Price Transmission Along Food Chain. Working Papers OECD Food, Agriculture and Fisheries, No 3, OECD Publishing.

Vinuya FD. 2007. Testing for Market Integration and The Law Of One Price in World Shrimp Markets. Aquaculture Economics and Management, 11(3):243-65.

Page 236: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019): 449-459

https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.02.20

PREFERENSI RESIKO PETANI DALAM ALOKASI INPUT USAHATANI JAGUNG MENGGUNAKAN MODEL JUST AND POPE

PREFERENCE OF FARMER RISK IN ALLOCATION OF CORN FARMING INPUTS

USING JUST AND POPE MODEL

Rosihan Asmara*, Wiwit Widyawati, Abdul Haris Hidayat Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

*Penulis korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Risk behavior of corn farming is influenced by two main factors, namely the behavior of human resources and the nature of natural resources. One of the natural conditions that causes an increase in risk in the agricultural sector is climate change. Corn farming is one of the food crops that can accept these conditions, namely farming behavior carried out by farmers and climate change that cannot be predicted with certainty. This study analyzes farmers' preferences for the risk of corn production using the Just and Pope model. The results show that farmers with risk seeker preferences use production inputs greater than farmers with risk averse preferences. Farmers with risk seeker preferences are more technically efficient than risk averse preferences. Related to social factors, farmers with risk seeker preferences tend to have a greater number of family dependents, higher education levels, and have a longer experience of corn farming than farmers with risk averse preferences.. Keywords: . risk behavior, efficiency, just and pope models

ABSTRAK

Perilaku risiko usahatani tanaman jagung dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu perilaku sumberdaya manusia dan sifat sumberdaya alam. Salah satu kondisi alam yang menyebabkan peningkatan risiko pada sektor pertanian ialah perubahan iklim. Usahatani tanaman jagung merupakan salah satu usahatani tanaman pangan yang dapat menerima kondisi tersebut, yaitu perilaku usahatani yang dilakukan petani dan perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi secara pasti. Peneletian ini menganalisis preferensi petani terhadap risiko produksi jagung menggunakan model Just and Pope. Hasil penelitian menunjukkan petani dengan preferensi risk seeker menggunakan input produksi lebih besar daripada petani dengan preferensi risk averse. Petani dengan preferensi risk seeker lebih efisien secara teknis daripada preferensi risk averse. Pada kondisi sosial petani dengan preferensi risk seeker cenderung memiliki jumlah tanggungan keluarga yang lebih besar, tingkat pendidikan lebih tinggi, serta memiliki pengalaman usahatani jagung lebih lama daripada petani dengan preferensi risk averse. Kata kunci: perilaku resiko, efisiensi, model just and pope

Page 237: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

450 JEPA, 3 (2), 2019: 449-459

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

PENDAHULUAN

Pertanian merupakan salah satu jenis usaha yang memiliki tingkat risiko sangat tinggi. Risiko dalam kegiatan pertanian dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Risiko sumberdaya manusia berasal dari perbedaan kemampuan manajerial petani dalam menjalankan usahatani. Kemampuan manajerial petani mempengaruhi tingkat efisiensi, baik secara teknis maupun alokatif dari usahatani yang dijalankan. Risiko berupa kemampuan manajerial petani dapat diatasi melalui sistem pembelajaran terpadu seperti pengenalan teknologi terbaru dan kegiatan penyuluhan pertanian. Sedangkan faktor berupa sumberdaya alam dipengaruhi oleh kondisi alam sekitar. Kondisi alam sekitar merupakan sumber risiko usahatani yang sulit untuk dikendalikan. Salah satu kondisi alam yang menyebabkan peningkatan risiko pada sektor pertanian ialah perubahan iklim. Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan komposisi atmosfer yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Aktifitas manusia berupa pembakaran bahan bakar fosil meningkatkan konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer. Peningkatan emisi karbondioksida di atmosfer menyebabkan peningkatan suhu rata-rata di bumi dengan laju sebesar 0,013o C per dasawarsa (Cihelkova, 2011). Suhu global rata-rata mengalami peningkatan sebesar 0,85o C sesuai laporan Intergoverment Panel on Climate Change atau IPCC (2013). Kenaikan suhu global tersebut mulai terjadi sejak tahun 1880 hingga tahun 2012 dan diprediksi akan terus terjadi hingga tahun 2050 sebesar 1,5o C – 2,5o C. Pertanian di Indonesia secara nyata terkena dampak perubahan iklim akibat adanya variasi hujan tahunan dan antartahun Australia-Asia Monsoon serta El-Nino Southern Oscilation (NAS, 2007). Dampak terjadinya perubahan iklim terhadap sektor pertanian ialah penurunan produksi, produktivitas, bahkan gagal panen. Perubahan iklim akibat pemanasan global dapat menurunkan produksi pertanian antara 5-20% (Suberjo, 2009). Penurunan produksi pertanian meliputi tanaman pangan dan hortikultura. Salinger et al. (2010) menjelaskan bahwa periode vegetasi dan produktivitas tanaman hortikultura di daerah tropis maupun subtropik dapat memendek akibat kondisi suhu rendah dalam waktu yang lama. Degradasi lahan akibat perubahan iklim juga menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan seperti padi sebesar 4% per tahun, kedelai 10% per tahun, dan jagung 50% per tahun (Skirble, 2007). Jagung merupakan salah satu tanaman pangan yang dapat terkena imbas dari perubahan iklim. Jagung merupakan bahan pangan penting kedua setelah padi dan sebagai sumber karbohidrat selain beras. Jagung merupakan salah satu tanaman pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk selain beras, ubi kayu, ubi jalar, talas, dan sagu (Ariani, 2006). Tanaman tersebut merupakan salah satu komoditas pertanian yang turut menyumbang terhadap ketahanan pangan, keperluan sektor industri, dan pakan ternak di Indonesia. Kendati demikian, tanaman jagung secara umum memiliki risiko besar terutama yang disebabkan oleh penyakit bulai. Perubahan iklim meningkatkan intensitas serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).

Page 238: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Rosihan Asmara – Preferensi Resiko Petani dalam Alokasi Input ....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

451

Menurut Badan Litbang Pertanian (2012), perubahan iklim meningkatkan populasi OPT yang menyebabkan perkembangan hama penyakit di lapangan lebih cepat menyerang komoditas pertanian seperti jagung, terutama penyakit bulai sehingga diperlukan varietas yang adaptif terhadap penyakit tersebut. Penyakit bulai sangat sulit ditangani dan dapat menular ke seluruh tanaman sehingga dapat menyebabkan gagal panen. Salah satu daerah yang memiliki potensi sebagai penghasil jagung di Jawa Timur ialah Kabupaten Lamongan. Kabupaten Lamongan dalam delapan tahun terakhir (2009-2016) memiliki produksi jagung rata-rata sebesar 311.632 ton (BPS, 2016). Kabupaten Lamongan memiliki beberapa daerah sentra jagung, salah satunya ialah Kecamatan Paciran. Rata-rata kontribusi produksi jagung di Kecamatan Paciran mulai tahun 2009-2016 terhadap produksi jagung di Kabupaten Lamongan ialah sebesar 13,5%. Badan Pusat Statistik Lamongan (2016) menyebutkan bahwa usahatani jagung di Kecamatan Paciran memiliki proporsi sebesar 65,8% dari keseluruhan luas lahan tanaman pangan di kecamatan tersebut. Proporsi usahatani jagung di Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan cukup besar meskipun mata pencaharian penduduk terbanyak ialah sebagai nelayan. Usahatani jagung di Kecamatan Paciran sebagian besar diusahakan pada lahan kering atau tegal. Tujuan usahatani jagung bagi petani ialah untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi saat panen (Santoso dkk, 2011). Kendati demikian, di era perubahan iklim seperti saat ini secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi aktivitas pertanian di wilayah Kabupaten Lamongan secara umum, terlebih di Kecamatan Paciran. Dampak adanya perubahan iklim seperti peningkatan intensitas serangan hama dan penyakit merupakan sumber risiko yang harus dihadapi petani. perubahan iklim dapat menyebabkan kekeringan dan meningkatnya intensitas serangan penyakit. Perubahan iklim diindikasikan dengan adanya perubahan cuaca yang tidak menentu, perubahan suhu, serta bencana yang menuntut petani untuk lebih bijak dalam mengelola usahatani.

Risiko usahatani mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam mengalokasikan input produksi. Kendati sebagian besar risiko pertanian diakibatkan oleh kondisi alam sekitar, petani memiliki pilihan untuk mengoptimalkan input-input produksi guna meminimalisir risiko yang dihadapinya. Preferensi risiko petani dalam menghadapi perubahan teknologi input yang berbeda akan sangat menentukan keberhasilan penerapan teknologi tersebut Risiko produksi usahatani dan efisiensi input merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Penelitian mengenai Analisis Risiko Produksi Tanaman Jagung di Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan ini diharapkan mampu mengkaji adaptasi petani terhadap risiko produksi jagung akibat dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-November 2017 di Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Sampel diambil secara random dengan pertimbangan: sederhana, populasi tersebar dan homogen. Jumlah sampel diambil dengan rumus slovin sebanyak 164 orang. Model fungsi produksi dan risiko yang digunakan ialah Just and

Page 239: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

452 JEPA, 3 (2), 2019: 449-459

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Pope dalam bentuk fungsi Cobb-Douglas, dimana dalam model ini fungsi Just and Pope menjelaskan bahwa sutau produksi yang dihasilkan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor produksi, melainkan terdapat juga faktor risiko. Secara matematis model fungsi produksi Just and Pope dinotasikan sebagai berikut:

! = #(%, ') + * = #(%, ∝) + ,(%, -). Keterangan: y : hasil produksi f(x) : fungsi produksi rata-rata g(x) : fungsi risiko produksi x : input produksi yang digunakan ∝ : parameter fungsi produksi yang diestimasi - : parameter fungsi risiko yang diestimasi e : error atau residual

Estimasi fungsi risiko produksi yang dihadapi oleh petani dapat dilakukan menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Meregresikan nilai ln y terhadap ln variabel input (x) sehingga diperoleh nilai residual (e) melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Menggunakan metode ordinary least square (OLS) untuk memperoleh nilai

estimasi fungsi produksi yang BLUE (best linear unbiased estimation). b. Menghitung nilai error atau residual (e) fungsi produksi dengan cara

mengurangi nilai ln Prodriil – ln Prodestimasi 2. Mengestimasi parameter fungsi risiko dengan meregresikan |e| terhadap nilai ln

variabel input (x) menggunakan metode ordinary least square (OLS) melalui program EViews 9.

Preferensi risiko dianalisis melalui fungsi: Keuntungan yang diharapkan, dirumuskan sebagai berikut.

/0= 1! − 3

4% = 1#(%, ') − 3

4% + 1,(%, '). ........................... (4)

kemudian persamaan tersebut dibagi dengan p diperoleh notasi sebagai berikut: 56

7= ! −

89:

7= #(%, ') −

89:

7+ ,(%, '). = #(%, ') − 3;

4% + ,(%, '). ...... (5)

dimana 3; = vektor harga input yang dinormalkan Dengan asumsi bahwa produsen memaksimalkan utilitas dari keuntungan yang diharapkan yang dinormalkan < =>(5

6

7)?, maka turunan pertama atau first-order

condition (FOC) :

< @>4AB6

CD

(#E(%, ') − 3; + ,E(%, ').F = 0∀J = 1,…, M .................. (6)

dimana >4AB6

CD merupakan marginal utilitas dari keuntungan yang diharapkan dan

dinormalkan. fj : turunan pertama dari fungsi produksi terhadap variabel input ke-j hj : turunan pertama dari fungsi risiko produksi terhadap variabel input ke-j Untuk memperoleh fungsi perilaku terhadap risiko, persamaan (6) dapat ditulis kembali sebagai berikut:

Page 240: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Rosihan Asmara – Preferensi Resiko Petani dalam Alokasi Input ....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

453

#E(%, ') = 3; − ℎE(%, ')

OPQ9AB6

CDRS

O=Q9TB6

CU?

= 3VW − ℎE(%, ')XY∀J = 1,… , M ............... (7)

dimana nilai XY ≡OPQ

9AB6

CDRS

O=Q9TB6

CU?

........................................................................ (8)

dan diperoleh fungsi perilaku terhadap risiko produksi ialah sebagai berikut: #E = 3E − ℎEXY

Jika nilai ℎE > 0 dan XY < 0 maka #E > 3E − ℎEXY sehingga penggunaan variabel input xj harus turun. Oleh karena itu jika ℎE > 0 dan XY < 0 produsen bersifat risk averse sedangkan jika sebaliknya ℎE > 0 dan XY > 0 produsen bersifat risk seeker. Keadaan kedua, jika nilai ℎE < 0 dan XY > 0 maka #E < 3E − ℎEXY sehingga penggunaan variabel input xj harus naik. Oleh karena itu jika ℎE < 0 dan XY > 0 produsen bersifat risk averse sedangkan jika sebaliknya ℎE < 0 dan XY < 0 produsen bersifat risk seeker.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji model regresi bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel input terhadap produksi jagung. Besar pengaruh variabel input dapat dilihat melalui koefisien serta signifikansi pada thitung. Berikut merupakan Tabel yang menyajikan nilai koefisien serta t-hitung untuk masing-masing input produksi.

Tabel 1. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Variabel Koefisien T-hitung

Konstanta 4,662 3,447 Luas lahan 0,067 0,345 Benih 0,605 4,812a Pupuk kandang -0,087 -0,556 Pupuk kimia 0,166 1,820c Herbisida -0,056 -0,804 Tenaga Kerja 0,354 3,061a

R2 = 0,797 a, dan b nyata pada tingkat α = 0,01 dan 0,1

Sumber: Data primer yang diolah, 2017. Penentuan preferensi risiko terhadap input dilakukan secara masing-masing per

input bagian dengan melihat perbandingan nilai besaran θ terhadap turunan pertama fugsi risiko (hj). Tabel 1 menunjukkan rata-rata nilai θ dan hj masing-masing variabel input produksi jagung.

Page 241: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

454 JEPA, 3 (2), 2019: 449-459

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Tabel 2. Preferensi Risiko Produksi pada Masing-Masing Input Produksi

Variabel Input Rata-Rata Nilai θ

Rata-Rata Nilai hj Preferensi Risiko

Benih -274,92 2,565493 Risk averse Pupuk kandang 34579,95 0,000042 Risk seeker Pupuk kimia -1550470,10 0,000054 Risk averse Herbisida 72406,95 0,004516 Risk seeker Tenaga kerja -132030,59 -0,000145 Risk seeker

Sumber: Data primer yang diolah, 2017. Berdasarkan hasil analisis yang ditunjukkan oleh Tabel 2, diketahui bahwa rata-

rata preferensi risiko petani jagung responden terhadap variabel input seperti benih dan pupuk kimia ialah risk averse. Variabel input pupuk kandang, herbisida, dan tenaga kerja menunjukkan rata-rata preferensi petani terhadap risiko produksi sebagai risk seeker. Penentuan preferensi petani terhadap variabel input yang mempengaruhi risiko produksi didasarkan pada hubungan nilai θ dan turunan pertama fungsi risiko masing-masing input (hj). Jika nilai hj > 0 dan θ < 0 atau hj < 0 dan θ > 0 maka risk averse, sedangkan jika nilai hj > 0 dan θ > 0 atau hj < 0 dan θ < 0 maka risk seeker. Penggunaan variabel input per hektar dapat dilihat pada Perbandingan penggunaan input produksi oleh petani berdasarkan preferensi risiko dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh Tabel, diketahui perbandingan alokasi input produksi untuk masing-masing preferensi risiko produksi. Rata-rata penggunaan input produksi oleh petani dengan preferensi risk seeker lebih tinggi dibandingkan dengan petani risk averse. Petani dengan preferensi risk seeker lebih berani dalam menggunakan input produksi lebih banyak untuk meningkatkan produksi jagung.

Tabel 3. Penggunaan Input Produksi Rata-Rata per Hektar (ha)

Variabel Input Satuan Preferensi Risiko Risk averse Risk seeker

Benih Kilogram (kg) 9,86 16,12 Pupuk kandang Kilogram (kg) 1629,15 1717,72 Pupuk kimia Kilogram (kg) 421,18 352,14 Herbisida Liter (lt) 4,79 6,62 Tenaga kerja HOK 58,79 70,29

Sumber: Data primer yang diolah, 2017. Perbandingan masing-masing alokasi input produksi untuk seluruh petani responden ditunjukkan oleh Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan alokasi input berdasarkan preferensi masing-masing petani dalam menghadapi risiko produksi jagung. Berikut merupakan grafik yang menjelaskan mengenai tingkat perbandingan penggunaan masing-masing input produksi riil, input produksi sesuai petunjuk teknis (rekomendasi), dan input produksi berdasarkan preferensi risiko produksi.

Page 242: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Rosihan Asmara – Preferensi Resiko Petani dalam Alokasi Input ....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

455

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Penggunaan Benih Masing-Masing Preferensi

Risiko Produksi Berdasarkan Anjuran

Petani dengan preferensi risk seeker lebih berani dalam mengalokasikan input produksi benih jika dibandingkan rata-rata penggunaan benih hibrida sesuai petunjuk teknis budidaya jagung. Sedangkan petani jagung dengan preferensi risk averse rata-rata menggunakan benih di bawah anjuran teknis.

Gambar 2. Perbandingan Penggunaan Pupuk Kandang Masing-Masing

Preferensi Risiko Berdasarkan Anjuran

Anjuran penggunakan pupuk kandang untuk budidaya jagung ialah 1.500 – 2.000 kg/ha atau setara 50 – 67 karung (1 karung ~ 30 kg). Berdasarkan grafik diketahui bahwa petani dengan preferensi risk seeker dan risk averse menggunakan input pupuk kandang sesuai dengan anjuran teknis, hanya saja dari segi volume penggunaan petani risk seeker sedikit lebih banyak dibandingkan dengan petani yang risk averse.

9,86

16,1215

0

5

10

15

20

Kilo

gram

Risk Averse Risk Seeker Anjuran

1629,15

1717,72

1500

135014001450150015501600165017001750

kilo

gram

Risk Averse Risk Seeker Anjuran

Page 243: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

456 JEPA, 3 (2), 2019: 449-459

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

Gambar 3. Perbandingan Penggunaan Pupuk Kimia Masing-Masing Preferensi

Risiko Produksi Berdasarkan Anjuran

Penggunaan input pupuk kimia oleh petani risk averse lebih banyak jika dibandingkan petani dengan preferensi risk seeker. Kendati pupuk kimia memberikan respon yang lebih baik terhadap benih jagung hibrida, penggunaan pupuk kimia yang berlebihan akan memberikan dampak buruk bagi tanah pertanian jika digunakan secara terus-menerus.

Gambar 4. Perbandingan Penggunaan Herbisida Masing-Masing Preferensi

Risiko Produksi Berdasarkan Anjuran

Penggunaan input herbisida di daerah penelitian telah melebihi dosis yang dianjurkan yaitu 3 liter/ha. Petani risk seeker dan risk averse menggunakan dosis yang lebih banyak dalam penggunaan herbisida. Gulma rerumputan yang tumbuh subur menyebabkan petani memilih menggunakan herbisida dalam dosis yang lebih banyak.

421,18352,14

600

0

100

200

300

400

500

600

700K

ilogr

am

Risk Averse Risk Seeker Anjuran

4,79

6,62

3

LITER

Risk Averse Risk Seeker Anjuran

Page 244: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Rosihan Asmara – Preferensi Resiko Petani dalam Alokasi Input ....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

457

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini mengkaji mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat risiko produksi dan preferensi petani terhadap risiko produksi jagung. Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor produksi yag digunakan dalam penelitian ini meliputi luas lahan, benih, pupuk

kandang, pupuk kimia, herbisida, dan tenaga kerja. Keenam faktor produksi tersebut tidak signifikan dalam mempengaruhi risiko produksi jagung di daerah penelitian. Faktor produksi berupa luas lahan, pupuk kimia, dan tenaga kerja bersifat sebagai risk reducing sedangkan faktor produksi benih, pupuk kandang, dan herbisida bersifat sebagai risk increasing. Nilai koefisien variasi menunjukkan penggunaan faktor produksi pupuk kandang memiliki tingkat risiko yang paling kecil sedangkan faktor produksi herbisida memiliki tingkat risiko tertinggi.

2. Petani dengan preferensi risk seeker menggunakan input produksi lebih besar daripada petani dengan preferensi risk averse. Petani dengan prereferensi risk seeker lebih efisien secara teknis daripada preferensi risk averse. Berhubungan dengan faktor sosial, petani dengan preferensi risk seeker cenderung memiliki jumlah tanggungan keluarga yang lebih besar, tingkat pendidikan lebih tinggi, serta memiliki pengalaman usahatani jagung lebih lama daripada petani dengan preferensi risk averse.

Saran Berdasarkan hasil kesimpulan, maka terdapat beberapa saran yang bisa dikemukakan terhadap hasil penelitian sebagai berikut: 1. Meningkatkan penggunaan input produksi yang bersifat risk reducing (luas lahan,

pupuk kimia, dan tenaga kerja) serta mengurangi penggunaan input produksi yang bersifat risk increasing (benih, pupuk kandang, dan herbisida) bagi petani di Desa Sendangagung disesuaikan dengan batasan petunjuk teknis penggunaan input produksi dalam budidaya jagung yang telah dikeluarkan pemerintah.

2. Petani dengan preferensi risk seeker rata-rata lebih efisien secara teknis daripada petani risk averse sehingga dalam hal alokasi penggunaan input petani risk averse perlu mencontoh perilaku petani risk seeker. Kendati petani risk seeker lebih efisien secara teknis, petani tetap harus berhati-hati dalam penggunaan input-input produksi supaya tidak berlebihan, hal ini dikarenakan risiko dalam usahatani sebagian besar tetap dipengaruhi oleh faktor alam dan sangat sulit dikendalikan.

3. Penelitian ini hanya berfokus terhadap tingkat risiko produksi usahatani jagung menggunakan model produksi Just and Pope (1979), diharapkan ada penelitian serupa yang membahas mengenai risiko produksi dengan pendekatan model fungsi produksi Kumbhakar (2002) yang memasukkan unsur inefisiensi teknis sebagai salah satu penentu risiko produksi.

Page 245: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

458 JEPA, 3 (2), 2019: 449-459

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

DAFTAR PUSTAKA Asmara, R., and N. Hanani. Syafrial, & Mustadjab, MM (2016). Technical efficiency

on Indonesian maize production: frontier stochastic analysis (SFA) and data Envelopment analysis (DEA) approach. Russian Journal of Agricultural and Socio-Economic Sciences 10.58: 24-29.

Bachus, G.B.C., V.R. Eidman and A.A. Dijkhuizen. 1997. Farm Decision Making Under Risk and Uncertainty. Neitherlands Journal of Agricultural Science, 45 (1997): 307-328.

Badan Pusat Statistik Lamongan. 2016. Kabupaten Lamongan dalam Angka 2017. Publikasi.

Coeli, T., D. S. P Rao, and G. E Battese. 2005. An Introduction to efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publishers, London.

Ellis. 1998. Peasant Economics: Farm Household and Agricultural Development. Cambridge University Press, Cambridge.

Erwidodo. 2016. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Hasil Usahatani Padi Sawah di Wilayah Perum Otorita Jatiluhur. Forum Agro Ekonomi, Vol. 2, No. 2, Desember 2016.

Fariyanti, A., Kuntjoro, S. Hartoyo dan A. Daryanto. 2007. Perilaku Rumah Tangga Petani Sayuran Pada Kondisi Risiko Produksi dan Harga di Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung. Jurnal Agro Ekonomi, 25 (2) : 178-206.

Fauziyah, E. 2010. Pengaruh Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko Produksi terhadap Alokasi Input Usahatani Tembakau: Pendekatan Fungsi Produksi Frontir Stokastik. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Manik, Gomgom, Rosihan Asmara, & Nidamulyawaty Maarthen. "Analisis Efisiensi Produksi Usahatani Jagung Menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) di Desa Maindu, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban." Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis [Online], 2.3 (2018): 244-254. Web. 5 Mar. 2019

Hartoyo, S., K. Mizuno and S.S.M. Mugniesyah. 2004. Comparatif Analysis of Farm Management Risk : Case Study in Two Upland Village, West Java. In : Hayashi, Y., S. Manuwoto and S. Hartono. Sustainable Agriculture in Rural Indonesia.Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.Harwood et al., (1999) serta Moschini dan Hennessy (1999)

Hranaiova, J. 2002. Scale, Productivity Growth and Response under Uncertainty. Economia Agraria Recursos Naturales, 2 (2): 73-91. Intergoverment Panel on Climate Change atau IPCC (2013).

Just, Richard E. and Rulon D. Pope. 1979. Production Function Estimation and Related Risk consideration. American Journal of Agricultural Economics, May 1979.

Kumbhakar, C. S. 2002. Spesification and Estimation of Production Risk, Risk Preferences and Technical Efficiency. American Journal of Agricultural Economies, 84(1): 8-22.

Page 246: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Rosihan Asmara – Preferensi Resiko Petani dalam Alokasi Input ....................................................

JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)

459

Kurniati, Dewi. 2012. Analisis Risiko Produksi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya pada Usahatani Jagung di Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, Vol. 1, No. 1, Desember 2012, hlm. 60-68.

MacCrimmon, Kenneth R. and Wehrung Donald A. 1986. Characteristics of Risk Taking Executives. Management Science, pg 422.

Manurung, Hendrick, Rosihan Asmara, & Nidamulyawaty Maarthen. "Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Di Desa Maindu Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban Menggunakan Pendekatan Stochastik Frontier Analysis (SFA)." Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis [Online], 2.4 (2018): 293-302. Web. 5 Mar. 2019

Patrick, G. R et al. 1985. Risk Perceptions and Management Response: Producers Generated Hyphotesses for Risk Modelling. Southern Journal Agrictural Economics, 17: 231-238.

Portal Resmi Kabupaten Lamongan. 2014. Sendangagung. (online). http://www.lamongankab.go.id/portal/58-uncategorised/250 sendangagung.html, diakses 15 Januari 2018.

Qomaria, Nurul. 2013. Analisis Preferensi Risiko dan Efisiensi Teknis Usahatani Talas di Kota Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Robison, LJ and Barry, PJ. 1987. The Competitive Firm’s Response to Risk. Macmillan Publisher. London

Roumasset, J. A, J. M Boussard, I. Singh. 1979. Risk, Uncertainty, and Agricultural Development. SEARCA and ADC.

Santoso, Heru., Tatiek Koerniawati A, Nur Layli R. 2011. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi dan Pendapatan Usahatani Jagung (Zea mays L.). Jurnal Agrise, Vol. 11, No. 3, Agustus 2011.

Sidabutar, Perkasa dkk. 2013. Analisis Usahatani Jagung di Desa Dosroha Kecamatan Simanindo Kabupaten Samsir Provinsi Sumatera Utara.

Simandjuntak, Sardiun. 1990. Analisis Production Risk (Risiko Produksi) dan Efisiensi Alokasi Sumberdaya dalam Usaha Pengembangan Budidaya Tambak di Kotamadya Surabaya, Jawa Timur. Tesis kepada Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Program KPK UGM – Universitas Brawijaya.

Soekartawi. 1999. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _________. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada.

Jakarta. Syafaat, N. 1990. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis Relatif dan Sikap

Petani dalam Menghadapi Risiko Produksi pada Usahatani Padi Sawah di Lahan Beririgasi Teknis. Jurnal Agroekonomi, 9(2): 30-48.

Wahyuni, Sri dan Pujiharto. 2017. Analisis Perilaku Petani Terhadap Risiko Usahatani Sayuran Dataran Tinggi: Penerapan Moscardi and de Janvry Model. Jurnal Agritech, Vol. 19, No. 1, Juni 2017, hlm. 65-73.

Page 247: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) Volume 3, Nomor 2 (2019)

PENYERAHAN NASKAH

Naskah merupakan karya ilmiah atau hasil penelitian yang belum dipublikasikan atau diterbitkan. Naskah dapat dikirim melalui system OJS pada laman: http://jepa.ub.ac.id/index.php/jepa/user/register atau e-mail: [email protected].

PEDOMAN PENULISAN NASKAH Format Naskah. Naskah yang berupa hasil penelitian disusun sesuai format baku: judul naskah, nama penulis, abstrak, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka. Judul Naskah. Judul naskah ditulis secara jelas dan singkat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang menggambarkan isi pokok, maksimum 20 kata. Nama Penulis. Identitas penulis pertama ditulis lengkap tanpa gelar, disertai alamat institusi dan alamat email. Abstrak. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Bersifat utuh dan mandiri, yang mengandung latar belakang dan tujuan, metode, hasil dan kesimpulan. Panjang tulisan tidak melebihi 250 kata dan disertai kata kunci (keyword). Pendahuluan. Menyampaikan informasi secara urut tentang latar belakang, maksud, dan tujuan, yang disajikan secara ringkas dan jelas. Metode Penelitian. Menyampaikan keterangan waktu dan tempat penelitian yang disajikan pada bagian awal, selanjutnya desain dan teknik penelitian, teknik pengumpulan data, serta metode analisis. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian disajikan secara berkesinambungan mulai dari hasil penelitian utama hingga hasil penunjang, dilengkapi dengan pembahasan, dapat dibuat dalam suatu bagian yang sama atau terpisah. Jika ada penemuan baru, hendaknya tegas dikemukakan dalam pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Kesimpulan dari hasil penelitian hendaknya dikemukakan secara jelas. Saran dicantumkan setelah kesimpulan, berisi masukkan yang dapat diperuntukkan kepada peneliti selanjutnya, pemerintah, dan masyarakat secara luas. Daftar Pustaka. Sumber pustaka yang dikutip, berupa majalah ilmiah, jurnal, buku, atau hasil penelitian (tesis atau disertasi) yang relevan. Sumber pustaka disusun mengikuti urutan alfabet, dan tahun penerbitan pustaka (tahun pustaka mundur 10 tahun dari waktu penelitian). Sumber pustaka (nama penulis) dalam daftar pustaka dimulai dari nama kedua (keluarga), kemudian diikuti nama pertama (dalam bentuk singkatan). Ini berlaku untuk semua sumber pustaka untuk orang pertama tetapi nama penulis kedua dan seterusnya tidak perlu dibalik. Cara pengutipan daftar pustaka adalah: Nama penulis. Tahun. Judul buku. Penerbit. Kota atau Negara. Halaman atau jumlah halaman. Bahasa. Tata bahasa yang digunakan mengikuti kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), Subyek-Predikat-Objek (SPO). Naskah ditulis dalam MS-Word (kertas A4, font: Times New Roman, size 11, normal). Gambar, ilustrasi, dan foto dapat dimasukkan dalam file naskah. Satuan Pengukuran. Satuan pengukuran yang digunakan dalam naskah hendaknya mengikuti sistem internasional yang berlaku (termasuk dalam pemberian tanda titik (.) untuk desimal (dua digit di belakang koma) dan koma (,) untuk ribuan.

Page 248: Volume 3 Nomor 2, April 2019 - Jurnal Ekonomi Pertanian