visum et repertum dan prosedur (old)

12
VISUM ET REPERTUM DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN KEDOKTERAN FORENSIK Suryadi T 1 , Putra RO 2 , Sirait ER 2 1) Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Unsyiah, 2) Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Unsyiah. Pendahuluan Selain tugas melakukan pemeriksaan fisik diagnostik, memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medik untuk membantu penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati. Melalui jalur inilah umumnya terjalin hubungan antara pihak yang membuat dan memberi bantuan dengan pihak yang meminta dan menggunakan bantuan. Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati, bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah untuk kepentingan peradilan. 1,2 Dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut: 3 Pasal 133 KUHAP menyebutkan: (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanki pidana : 4 Pasal 216 KUHP menyatakan : Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau mengga- galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Peranan dan Fungsi VeR Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu 1

Upload: reza-oktarama

Post on 26-Nov-2015

258 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

VISUM ET REPERTUM DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN KEDOKTERAN FORENSIK

Suryadi T1, Putra RO2, Sirait ER2

1) Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Unsyiah, 2) Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Unsyiah.

PendahuluanSelain tugas melakukan pemeriksaan

fisik diagnostik, memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medik untuk membantu penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati. Melalui jalur inilah umumnya terjalin hubungan antara pihak yang membuat dan memberi bantuan dengan pihak yang meminta dan menggunakan bantuan. Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati, bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah untuk kepentingan peradilan.1,2

Dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut:3

Pasal 133 KUHAP menyebutkan:(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanki pidana :4

Pasal 216 KUHP menyatakan :Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan

menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Peranan dan Fungsi VeRVisum et repertum adalah salah satu alat

bukti yang sah. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pelengkap barang bukti.5

Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.5

Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP. Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum

1

berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.6

Struktur dan Isi VerSetiap visum et repertum harus dibuat

memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:7

a) Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa

b) Bernomor dan bertanggalc) Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di

bagian atas kiri (kiri atau tengah)d) Menggunakan bahasa Indonesia yang

baik dan benar. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan

e) Tidak menggunakan istilah asingf) Ditandatangani dan diberi nama jelasg) Berstempel instansi pemeriksa tersebuth) Diperlakukan sebagai surat yang harus

dirahasiakani) Hanya diberikan kepada penyidik

peminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing-masing asli

j) Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun.Sedangkan konsep VeR itu sendiri

disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari:1

1. Pro Justisia, yaitu bertujuan agar si pemakai visum menyadari bahwa laporan ini demi keadilan. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia teelah menyadari bantuan

yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam hukum dan keadilan.

2. Pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa, saat pemeriksaan (tanggal, hari dan jam), di mana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum

3. Pemeriksaan, merupakakn bagian terpenting dari visum karena apa yang dilaihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari VeR itu terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif. Sebagai tambahan pada bagian pemeriksaan ini bila dokter mendapatkan kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa agar pemakai visum lebih mudah memahami penjelasan yang ditulis dengan kata-kata dalam visum.

4. Kesimpulan, merupakan bagian yang terpenting bagi pemakai visum. Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.

5. Penutup, bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter mencantumkan staatsblad 1937 nomor 350 atau dalam konsep visum yang baru di tulis sesuai KUHAP.

Nilai VeRDalam KUHAP kedudukan atau nilai

VeR adalah salah satu alat bukti yang sah. Berdasarkan KUHAP 184 ayat 1, alat bukti yang sah adalah :1

a. Keterangan Saksib. Keterangan Ahlic. Suratd. Petunjuke. Keterangan Terdakwa

2

Yang dimaksud dengan keterangan ahli dijelaskan dalam KUHAP 186: Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan laporan atas hasil pemeriksaan dokter yang selama ini disebut VeR digolongkan ke dalam alat bukti “surat” dan ini dijelaskan dalam pasal 187.1,3

KUHAP pasal 187: Surat sebgaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf (c), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :1,3

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialamaninya dan tegas tentang keterangan itu.

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan.

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Jenis VeRSecara umum VeR dapat dibedakan

menjadi VeR yang dilakukan pada orang yang hidup dan VeR yang dilakukan pada jenazah.2

1. Untuk orang hidupYang termasuk visum untuk orang

hidup adalah visum yang diberikan untuk tindak kekerasan, seperti perlukaan, keracunan, perkosaan, psikiatri dan lain-lain.

Berdasarkan waktu pemberiannya, visum untuk orang hidup dapat dibedakan atas :a. Visum seketika atau definitive. Visum

yang langsung diberikan setelah korban selesai diperiksa. Visum inilah yang paling banyak dibuat oleh dokter.

b. Visum sementara. Visum yang diberikan pada korban yang masih dalam perawatan. Biasanya visum sementara ini diperlukan penyidik untuk menentukan jenis kekerasan. Sehingga dapat menahan tersangka atau dapat sebagai petunjuk dalam menginterogasi tersangka. Dalam visum sementara ini belum ditulis kesimpulan.

c. Visum lanjutan. Visum ini diberikan setelah korban sembuh atau meninggal. Dan merupakan kelanjutan dari visum sementara yang telah diberikan sebelumnya. Dalam visum ini harus dicantumkan nomor dan tanggal dari visum sementara yang telah diberikan. Dalam visum ini dokter telah membuat kesimpulan. Visum lanjutan tidak perlu dibuat oleh dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang terakhir merawat penderita.

2. Visum pada JenazahVeR yang dilakukan pada jenazah dapat

dibedakan atas :2

a. Visum dengan pemeriksaan luarb. Visum dengan pemeriksaan luar dan

dalamJenis visum ini sering menimbulkan

permasalahan antara penyidik, dokter dan masyarakat terutama dalam visum pemeriksaan luar dan dalam (autopsi). Masalah disini adalah adanya hambatan dari keluarga korban bila visum harus dibuat melalui bedah mayat. Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan di atas, telah beberapa kali diselanggarakan seminar dan temu ilmiah yang melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan visum jenazah, tapi sampai saat ini belum ditemukan penyelesaiannya yang memuaskan. 2

Dalam KUHAP pasal 134 terlihat bahwa pemeriksaan mayat untuk kepentingan peradilan dapat dilakukan melalui pemeriksan luar saja dan hanya bila perlu dilakukan pemeriksaan bedah mayat.2,3

KUHAP pasal 134 menjelaskan: Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Dalam hal keluarga korban keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-

3

jelasnya tentang maksud dan tujuan perlunya dilakukan pembedahan tersebut. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini. 1,3

Visum et Repertum pada PerlukaanPerlukaan merupakan hilangnya

kontinuitas dari jaringan. VeR pada perlukaan digunakan untuk mengetahui penyebab luka atau sakit dan derajat parahnya luka. Terhadap setiap pasien dokter harus membuat catatan medik atas semua hasil pemeriksaan mediknya. Pada korban yang diduga korban tindak pidana pencatatan harus lengkap dan jelas. Sehingga dapat digunakan untuk pembuatan VeR. Catatan medik yang tidak lengkap dapat mengakibatkan hilangnya sebagian barang bukti di dalam bagian pemberitaan.1,2

Namun demikian, pada pemeriksaan pertama kali dokter sering tidak dapat menentukan apakan suatu perluakan yang sedang diperiksanya adalah luka sedang atau luka berat. Hal ini diakibatkan masih belum berhentinya perkembangan derajat sesuatu perlukaan sebelum selesainya pengobatan atau perawatan. Kadang-kadang kepastian derajat luka tersebut terjadi berkepanjangan sehingga pada saat penyidik membutuhkan VeR, dokter hanya dapat memberikan VeR sementara. VeR ini tidak berisikan kesimpulan derajat luka, melainkan hanya keterangan bahwa hingga saat VeR dibuat korban masih dalam perawatan di institusi kesehatan tersebut. Dalam bagian kesimpulan, dokter harus menuliskan luka-luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebab, serta derajat perlukaan.1,2

Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila.

Pada umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam oleh KUHP. Persetubuhan yang diancam oleh pidana KUHP meliputi : perkosaan, persetubuhan pada wanita yang tidak berdaya, persetubuhan

dengan wanita yang belum cukup umur. Untuk kepentingan peradilan dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan, adanya kekerasan (termasuk pemberian racun/obat/zat agar menjadi tidak berdaya) serta usia korban. Selain itu dokter juga didiharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan dan kelainan psikiatri/kejiwaan sebagai akibat dari tindak pidana tersebut.1,2

Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Pembuktian adanya persetubuhan dilakukan pemeriksaan fisik terhadap kemungkinan adanya deflorasi hymen, laserasi vulva dan vagina serta adanya cairan mani dan sel sperma dalam vagina terutama dalam forniks posterior. Pembuktian adanya sel sperma tersebut dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan usap vagina, baik langsung maupun dengan pewarnaan khusus. Selain sel sperma, adanya ejakulat juga dapat dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium khusus untuk cairan mani. Jejas kekerasan harus dicari tidak hanya di daerah perineum, melainkan juga daerah-daerah lain yang lazim, seperti wajah, leher, payudara, perut dan paha.1,2

Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan toksikologi dilakukan bila ada curiga ke arah tersebut, baik yang didapat dari anamnesa maupun dari pemeriksaan fisik. Usia korban biasanya dapat diketahui bila identitas dan asal-usulnya jelas. Bila usianya tidak jelas, maka harus dicari tanda-tanda medik memperkirakannya. Telah adanya haid menunjukkan usia 12 tahun atau lebih, sedangkan adanya tanda seks sekunder yang berkembang menunjukkan usia 15 tahun atau lebih.1,2

Prosedur Pemeriksaan JenazahPemeriksaan forensik meliputi

pemeriksaan luar dan dalam atas jenazah yang dimintakan oleh polisi penyidik yang menangani kasus sesuai dengan KUHAP pasal 133 ayat 1 yang berbunyi “Dalam hal penyidik untuk kepentingan Pengadilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena

4

peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan kepada Ahli Kedokteran Kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”.2,8

Pemeriksaan jenazah harus dilakukan pada suatu tempat yang penerangannya baik. Sebelum dokter melakukan pemeriksaan, sebaiknya dilakukan allo-anamnesis terhadap keluarga korban, khususnya untuk mencari data mengenai riwayat kematian, adanya gejala yang dikeluhkan atau diketahui diderita almarhum menjelang kematiannya, adanya penyakit yang diderita baik yang baru maupun yang lama serta adanya riwayat pengobatan atau minum obat sebelumnya. Dengan pengetahuan dan pengalaman klinisnya, berdasarkan keterangan tersebut diatas, dokter dapat meyakini kemungkinan adanya penyakit tertentu sebagai penyebab kematian orang tersebut. Kesimpulan dokter ini merupakan titik awal untuk pencarian penyebab kematian yang lebih pasti berdasarkan hasil-hasil temuan pada pemeriksaan jenazah.7

Jenazah yang akan dimintakan VeR nya harus diberi label yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan yang dikaitkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan VeRnya harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenazah ataukah pemeriksaan autopsi. Bila pemeriksaan autopsi yang diinginkan, maka penyididk wajib memberitahu pada keluarga korban.2

Pada setiap kasus kematian, dokter harus melakukan pemeriksaan luar jenazah secara seksama, lengkap dan teliti. Jika pada pemeriksaan tersebut dokter tidak menemukan adanya luka atau tanda kekerasan lainnya, tidak menemukan tanda-tanda keracunan dan anamnesisnya mengarah pada kematian akibat penyakit, maka dokter dapat langsung memberikan surat kematian (Formulir A) dan jenazahnya kepada keluarga korban. Dalam Formulir A, dokter Puskesmas harus mencantumkan nomor penyakit yang diduganya merupakan penyebab kematian, sesuai dengan klasifikasi penyakit dalam International Classification of Diseases (ICD) sebagaimana tercantum pada bagian belakang

Formulir A tersebut. Formulir A diperlukan oleh keluarga korban untuk berbagai keperluan administrasi kependudukan, seperti untuk administrasi dalam rangka penyimpanan jenazah, pengangkutan jenazah keluar kota/negeri serta pembuatan Akte Kematian (yang diperlukan untuk pengurusan pembagian warisan, asuransi, izin kawin lagi dsb).8

1. Pemeriksaan LuarAdapun yang dimaksud dengan

Pemeriksaan Luar (PL) adalah pemeriksaan jenazah dengan mengamati sangat hati-hati akan kelainan yang ditimbulkan oleh tindak kekerasan pada tubuh korban dan kemudian dicatat dan dibuatkan deskripsi secara sistematis dengan menggunakan titik-titik anatomis yang tetap pada tubuh korban. Khusus pada korban wanita tidak boleh digunakan puting susu sebagai titik anatomis karena puting susu merupakan titik anatomis mobile (tidak tetap). Selain itu dianjurkan agar dapat menggunakan titik anatomis yang lebih dekat dengan luka atau jejas.2

Pengukuran jarak luka dengan titik-titik anatomis dibuat secara proyeksi untuk kekerasan tumpul pada badan dan kepala dua koordinat. Satu dari garis pertengahan depan (GPD)/ garis pertengahan belakang (GPB) dan lainnya dari titik anatomis terdekat. Pada kasus pembunuhan biasanya akibat kekerasan tajam, dibuat 3 koordinat dimana satu lagi diukur dari tumit, sedangkan luka pada anggota gerak atas/bawah hanya dibuat satu koordinat.2

Titik AnatomisTitik anatomis yang dapat dipakai untuk

menentukan koordinat tubuh manusia berupa:2

1. Garis Pertengahan Depan (GPD)2. Batas rambut3. Sudut mata4. Sudut Bibir5. Puncak bahu6. Pusar7. Taju tulang usus depan8. Lipat ketiak depan9. Lipat siku / siku10. Putting susu11. Pergelangan tangan12. Lutut / lipat lutut

5

13. Pergelangan kaki14. Garis pertengahan belakang15. Batas rambut16. Lipat bokong17. Mata kaki

Untuk melakukan pemeriksaan luar jenazah, fasilitas yang perlu disiapkan adalah sebagai berikut:1. Meja pemeriksaan: untuk ini dapat

digunakan meja atau ranjang apapun, asalkan dokter dapat melakukan pemeriksaan secara aman dan nyaman dan penerangan nya cukup.

2. Alat tulis dan alat ukur: yang perlu disiapkan adalah papan alas tulis, pen, penggaris 30 cm serta meteran baju (untuk mengukur tinggi badan)

3. Formulir pemeriksaan luar (laporan obduksi)

4. Wadah untuk pemeriksaan penunjang: berupa kantung plastik, tabung reaksi, gelas obyek dan spruit.

5. Strip test narkoba: sebaiknya disiapkan strip test yang dapat mendeteksi amfetamin, met-amfetamin, opiat, kanabis dan kokain.

Autopsi atau Pemeriksaan DalamAutopsi adalah pemeriksaan terhadap

tubuh mayat dengan tujuan menemukan proses penyakit atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya, serta mencari hubungan sebab akibat Antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian. Autopsi secara umum dibagi menjadi 3, yakni :2

1. autopsi anatomi yaitu autopsi yang dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran.2. autopsi klinis, yaitu autopsi yang dilakukan terhadap mayat yang menderita penyakit, mendapat perawatan dan kemudian meninggal di rumah sakit. Autopsi dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris. Autopsi klinis dilengkapi dengan pemeriksaan histopatologi, bakteriologi, serologi dan lain-lain.3. autopsi forensik, yaitu dilakukan atas permintaan penyidik, sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara pidana yang bertujuan untuk membantu penentuan

identitas mayat, sebab pasti kematian, cara kematian serta saat kematian, mengumpulkan serta mengendalikan benda-benda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab kematian serta identitas pelaku kejahatan, membuat laporan tertulis yang objektif dan melindungi orang yang tidak bersalah.2

Prosedur Pengadaan Visum et RepertumBerbeda dengan prosedur pemeriksaan

korban mati, prosedur permintaan visum et repertum korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter. Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan korban sebagai barang bukti. Hal-hal yang merupakan barang bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, Karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum.6

KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan diperiksa dengan identitas korban yang dimintakan visum et repertumnya seperti yang tertulis di dalam surat permintaan visum et repertum. Situasi tersebut membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa.6

Dalam praktek sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat

6

permintaan visum et repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh, adanya kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (darurat).6

Adanya keharusan membuat visum et repertum pada korban hidup tidak berarti bahwa korban tersebut, dalam hal ini adalah pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Korban hidup juga merupakan pasien sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila pemeriksaan ini sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis.6

KesimpulanVisum et Repertum adalah keterangan

tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati, bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah untuk kepentingan peradilan. dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut:Pasal 133 KUHAP menyebutkan:(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan

dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Secara umum VeR dapat dibedakan menjadi VeR yang dilakukan pada orang yang hidup dan VeR yang dilakukan pada jenazah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amir, A. (2009). Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara :Penerbit Ramadhan.

2. Gani, H. (2006). Hukum Kesehatan Transplantasi Organ Ilmu Kedokteran Forensik. Padang : Bagian Kedokteran Forensik Universitas Andalas.

3. Republik Indonesia. UU No.8 Tahun 1981. Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 133.

4. Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 216.

5. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997. Dalam Afandi, D. (2010). Visum et Repertum Pada Perlukaan. Maj Kedokt Indon. 60(4) : 188-195.

6. Siswadja TD. Tata laksana pembuatan VeR perlukaan dan keracunan. Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Rabu 23 Juni 2004.

7. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Jakarta : Binarupa Aksara, 1997. Dalam Affandi Afandi, D. Visum et Repertum Pada Korban Hidup. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II FK Unri, 2008.

8. Afandi, D. (2010). Visum et Repertum Pada Perlukaan. Maj Kedokt Indon. 60(4) : 188-195.

7

8