visi dan misi calon wakil gubernur jawa timur prof. dr. hj ... · pdf filewaktu, dalam...

23
Visi dan Misi Calon Wakil Gubernur Jawa Timur Prof. Dr. Hj. Istibsjaroh, SH., MA PROLOG Pengkondisian Good Governance Istilah Good Governance begitu popular, sejalan dengan tumbangnya rezim Orde Baru beralih menuju gerakan reformasi. Popularitas ini terlibat dalam setiap pembicaraan menyangkut pemerintahan. Good Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat. Akan tatapi, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasi masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang substansibilitas demokrasi itu sendiri. Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh berbagai pihak. Seperti yang didefinikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance. Sejak tanggal 21 Oktober 1999, bangsa Indonesia kembali menapaki sejarah baru, di bawah kepemimpinan duet baru, yaitu Presiden Abdurahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Duet yang dihasilkan dengan semangat kompromi ini kemudian mengumumkan kabinet pemerintahan, pada tanggal 27 Oktober 1999. Semangat kompromi dan akomodatif yang melatarbelakangi kedua peristiwa penting ini mencerminkan upaya mengatasi persoalan besar yang kini menghadang bangsa Indonesia, yaitu krisis kepercayaan masyarakat, baik terhadap lembaga-lembaga pemerintah, badan-badan swasta bahkan terhadap nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat pada saat ini. Pemimpin-pemimpin formal, bahkan pemimpin informal, seperti tokoh agama, tokoh adat, maupun tokoh masyarakat, tidak lagi mampu mengendalikan gejolak masyarakat. Akibatnya, gejala anarkisme muncul di hampir semua daerah, serta hampir di semua sektor kehidupan, termasuk kelompok menengah atas, yang selama ini relatif imun terhadap gejolak sosial. Merebaknya penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dalam skala yang begitu besar mencerminkan kegamangan masyarakat dalam mensikapi perubahan nilai. serta perkembangan yang terjadi silih berganti dengan cepat. Presiden Abdurahman Wahid sejauh ini menempuh cara memberdayakan masyarakat (society empowerment) untuk mengatasi krisis kepercayaan ini. Sejak awal kepemimpinannya, serta di berbagai kesempatan, Presiden selalu meminta masyarakat untuk melakukan sendiri fungsi-fungsi sosialnya, dan juga memecahkan persoalan-persoalannya sendiri. Secara radikal Gus Dur selalu mengupayakan campur tangan pemerintah seminimal mungkin, guna memberikan kesempatan pada potensi masyarakat untuk berkembang. Ini antara lain termasuk membubarkan Departemen

Upload: vudiep

Post on 05-Mar-2018

224 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Visi dan MisiCalon Wakil Gubernur Jawa Timur

Prof. Dr. Hj. Istibsjaroh, SH., MA

PROLOG

Pengkondisian Good GovernanceIstilah Good Governance begitu popular, sejalan dengan

tumbangnya rezim Orde Baru beralih menuju gerakan reformasi. Popularitas ini terlibat dalam setiap pembicaraan menyangkut pemerintahan. Good Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat. Akan tatapi, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasi masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang substansibilitas demokrasi itu sendiri.

Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh berbagai pihak. Seperti yang didefinikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan

sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.

Sejak tanggal 21 Oktober 1999, bangsa Indonesia kembali menapaki sejarah baru, di bawah kepemimpinan duet baru, yaitu Presiden Abdurahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Duet yang dihasilkan dengan semangat kompromi ini kemudian mengumumkan kabinet pemerintahan, pada tanggal 27 Oktober 1999. Semangat kompromi dan akomodatif yang melatarbelakangi kedua peristiwa penting ini mencerminkan upaya mengatasi persoalan besar yang kini menghadang bangsa Indonesia, yaitu krisis kepercayaan masyarakat, baik terhadap lembaga-lembaga pemerintah, badan-badan swasta bahkan terhadap nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat pada saat ini. Pemimpin-pemimpin formal, bahkan pemimpin informal, seperti tokoh agama, tokoh adat, maupun tokoh masyarakat, tidak lagi mampu mengendalikan gejolak masyarakat.

Akibatnya, gejala anarkisme muncul di hampir semua daerah, serta hampir di semua sektor kehidupan, termasuk kelompok menengah atas, yang selama ini relatif imun terhadap gejolak sosial. Merebaknya penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dalam skala yang begitu besar mencerminkan kegamangan masyarakat dalam mensikapi perubahan nilai. serta perkembangan yang terjadi silih berganti dengan cepat.

Presiden Abdurahman Wahid sejauh ini menempuh cara memberdayakan masyarakat (society empowerment) untuk mengatasi krisis kepercayaan ini. Sejak awal kepemimpinannya, serta di berbagai kesempatan, Presiden selalu meminta masyarakat untuk melakukan sendiri fungsi-fungsi sosialnya, dan juga memecahkan persoalan-persoalannya sendiri. Secara radikal Gus Dur selalu mengupayakan campur tangan pemerintah seminimal mungkin, guna memberikan kesempatan pada potensi masyarakat untuk berkembang. Ini antara lain termasuk membubarkan Departemen

Penerangan dan Departemen Sosial. Namun dalam periode berikutnya, kedua lembaga ini

Namun demikian, bukan berarti lalu pemerintah bisa berpangku tangan. Setelah selama 32 tahun menjadi alat politik penguasa serta menjadi sarang yang subur bagi korupsi, kolusi dan nepotisme, birokrasi pemerintahan perlu dibenahi besar-besaran, agar bisa kembali dipercaya oleh masyarakat. Ini penting agar birokrasi kembali dapat berperan secara efektif sebagai pelayan masyarakat.

Kebutuhan ini semakin besar, mengingat persoalan defisit anggaran yang makin mencemaskan, sehingga dibutuhkan efisiensi dalam birokrasi pemerintahan, baik untuk meminimalkan red-tape bureaucracy yang selama ini menjadi sumber ekonomi biaya tinggi, maupun untuk menekan pengeluaran pemerintah bagi pembiayaan birokrasi. Belakangan bahkan muncul keyakinan bahwa salah kelola dalam birokrasi pemerintahan ini turut berperan besar dalam menyebabkan krisis keuangan.

Meningkatnya perdagangan jasa juga mendorong semakin kuatnya kebutuhan terhadap birokrasi yang baik, karena sektor ini lebih peka terhadap perubahan pada komponen biaya perizinan. Pada gilirannya, birokrasi yang efisien dan efektif akan meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional, yang dengan perkembangan teknologi elektronik, semakin lama semakin tidak mengenal batas (borderless), dan berorientasi pada tingkat pengembalian keuntungan yang paling optimal.

Inilah yang menjadi fokus dari studi Good Governance. Secara teoritis, sistem pengelolaan yang baik akan mempengaruhi kinerja negara dalam melaksanakan fungsi-fungsi dasarnya, dan dengan demikian mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan sosial secara umum. Sehingga pada gilirannya pemerintah mampu menciptakan kondisi-kondisi agar pasar berfungsi, perusahaan-perusahaan swasta bisa bekerja, memperkuat masyarakat madani serta menyejahterakan masyarakat maupun orang per orang. Demikian pula mutu pengelolaan diyakini penting untuk menjamin mutu kehidupan warga negara.

Pengelolaan yang baik juga penting sebagai penentu dari kesinambungan dan kekuatan demokrasi.

Aspek-aspek Good GovernancePelaksanaan good governance tergantung pada kemampuan

untuk menggunakan kekuasan dan mengambil keputusan sepanjang waktu, dalam spektrum ekonomi, sosial, lingkungan dan sektor-sektor lainnya. Ini juga terkait dengan kemampuan pemerintahan untuk mengetahui, menengahi, mengalokasikan sumber daya, menerapkan serta memelihara hubungan-hubungan yang penting.

Meski terdapat banyak rumusan tentang good governance, secara umum ada konsensus tentang faktor-faktor kuncinya:

1. Kemampuan Teknis dan ManajerialKemampuan teknis dan manajerial para pegawai negeri sipil merupakan faktor yang jelas harus dimiliki dalam good governance. Pada saat ini, kedua kemampuan ini tidak terlalu menjadi hambatan lagi, sebagaimana di masa lalu, karena membaiknya tingkat pendidikan, tapi perubahan yang cepat membutuhkan pengembangan keterampilan yang terus menerus.

2. Kapasitas OrganisasiGood governance harus dibangun berdasarkan kualitas organisasi, sehingga pengembangannya dilakukan berdasarkan pada hal ini, bukan hanya pada kemauan politik, maupun kemauan pribadi seorang pemimpin yang kuat serta kekuasaan negara, yang tidak akan bertahan lama dalam jangka panjang. Memiliki jajaran staf yang terampil tidak cukup jika organisasi pemerintahan tidak memiliki kapasitas untuk memanfaatkan keterampilan ini dengan sebaik-baiknya. Kemampuan organisasi-organisasi pemerintahan merupakan faktor kunci yang untuk menyiapkan layanan-layanan jasa bagi kepentingan usaha maupun masyarakat, dan untuk

menyiapkan kondisi bagi kemajuan ekonomi serta kohesi sosial.

Struktur organisasi dan sistem manajemen pemerintahan telah mengalami perubahan di banyak negara anggota OECD. Masalah yang sering ditemuia adalah sentralisasi yang berlebihan, ketidakluwesan, serta kurang efisien. Ini dipecahkan terutama dengan menyediakan manajer serta staf yang memiliki otonomi yang lebih luas dalam hal-hal operasional, dan sebaliknya, memikul beban tanggungjawab yang lebih besar. Di negara-negara lain, masalahnya muncul akibat kurangnya peraturan serta rendahnya disiplin administrasi, yang seringkali berkaitan dengan korupsi. Dalam situasi seperti ini, masalah diatasi dengan memusatkan pemecahannya pada memperkuat sistem dasar pemerintahan, termasuk meningkatkan birokratisasi pada tahap tertentu.

3. Kepastian Hukum Aturan hukum mengacu pada proses kelembagaan untuk menyusun, menafsirkan dan menerapkan hukum serta aturan-aturan lainnya. Ini berarti keputusan yang diambil oleh pemerintah harus memiliki dasar hukum dan perusahaan-perusahaan swasta serta masyarakat dilindungi dari kesewenang-wenangan. Kepastian hukum memerlukan pemerintahan yang bebas dari insentif-insentif yang distortif, melalui korupsi, kolusi, nepotisme atau terjebak dalam kepentingan sempit kelompok kepentingan tertentu; menjamin hak-hak kepemilikan dan pribadi; serta mencapai stabilitas sosial dalam tahap tertentu. Ini akan memberi kepastian hukum yang penting bagi perusahaan dan masyarakat untuk mengambil keputusan yang baik. Kepastian hukum tidak berarti semakin banyak aturan semakin baik. Rincian aturan yang berlebihan dapat mengarah pada kekakuan dan mengundang resiko untuk memilih-milih penerapan aturan tertentu. Penafsiran dan penerapan aturan bagi masyarakat memerlukan keluwesan sehingga ada alternatif-alternatif dalam derajat tertentu. Keluwesan ini dapat diimbangi dengan aturan

prosedur administrasi, dan peninjauan keputusan oleh pihak-pihak luar seperti mekanisme banding, peninjauan keputusan pengadilan (judicial review) serta ombudsmen. Kepastian hukum memerlukan stabilitas politik. Pemerintahan harus mampu membuat komitmen-komitmen yang bisa dipercaya, dan meyakinkan sektor swasta bahwa keputusan-keputusan yang diambil pada akhirnya tidak akan dicabut akibat ketidakpastian politik. Meski hal ini tidak secara khusus terkait dengan sistem politik tertentu dalam jangka pendek, dalam jangka panjang demokrasi meningkatkan stabilitas dengan memberikan pada masyarakat suara untuk mengekspresikan pilihan-pilihan mereka melalui persaingan yang terbuka.

4. PertanggungjawabanPertanggungjawaban dapat menjadi tujuan ---yaitu mencerminkan nilai-nilai demokratik--- serta dapat pula menjadi cara menuju pengembangan organisasi yang lebih efektif dan efisien. Para politisi serta pegawai negeri sipil memiliki kekuasaan yang besar melalui hukum dan aturan yang mereka terapkan, sumber daya yang mereka kendalikan serta organisasi yang mereka kelola. Pertanggungjawaban adalah kunci untuk menjami bahwa kekuasaan ini digunakan secara layak dan sesuai dengan kepentingan publik. Pertanggungjawaban memerlukan kejelasan tentang siapa yang bertanggungjawab pada siapa, untuk apa dan bahwa pegawai negeri sipil, organisasi serta para politisi harus mempertanggungjawabkan keputusan serta kerja mereka. Pertanggungjawaban dapat diperkuat melalui persyaratan pelaporan formal, dan pengawasan eksternal, seperti lembaga audit yang mandiri, ombudsmen dll. Pertanggungjawaban demokratis, sebagaimana yang dicerminkan oleh pertanggungjawaban para menteri pada parlemen, serta parlemen pada rakyat, dapat dipandang sebagai tujuan demokrasi, namun juga dapat memperkuat mekanisme pertanggungjawaban secara

umum. Banyak negara OECD yang memperkuat mekanisme

pertanggungjawabannya melalui fokus yang lebih besar pada pertanggungjawaban kinerja, ketimbang membatasi pertanggungjawabab pada aturan-aturan hukum yang ada pada

5. Transparansi dan Sistem Informasi yang TerbukaKeterbukaan merupakan aspek yang penting dalam good governance, dan pengambilan keputusan yang transparan penting bagi sektor swasta untuk membuat keputusan serta investasi yang baik. Pertanggungjawaban dan aturan hukum memerlukan keterbukaan dan informasi yang baik sehingga jenjang administrasi yang lebih tinggi, pengawas eksternal serta masyarakat umum dapat melakukan verifikasi terjadap kinerja administrasi pemerintahan dan kesesuaiannya terhadap hukum. Pemerintah memiliki akses terhadap banyak informasi penting. Penyebaran informasi melalui transparansi dan sistem informasi yang terbuka dapat menyediakan informasi-informasi rinci yang dibutuhkan perusahaan dan masyarakat untuk mengambil keputusan yang baik. Pasar modal, misalnya, tergantung pada keterbukaan informasi.

6. PartisipasiPartisipasi dapat mencakup pertemuan-pertemuan konsultasi dalam pengembangan kebijakan dan pengambilan keputusan serta proses-proses demokratik. Partisipasi memberikan pada pemerintah akses pada informasi penting tentang kebutuhan dan prioritas orang per orang, masyarakat serta usaha swasta. Pemerintah, yang mencakup masyarakat, akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengambil keputusan dan keputusan tersebut akan memperoleh dukungan yang lebih besar setelah diambil. Meski tidak ada hubungan langsung antara demokrasi dan setiap aspek good governance, jelas bahwa pertanggungjawaban, transparansi dan partisipasi diperkuat oleh demokrasi, dan ketiga

faktor ini merupakan pendukung kualitas demokrasi.

7. Hubungan antara Aspek-aspek Good GovernanceAspek-aspek yang berbeda dalam good governance memiliki hubungan yang rumit satu sama lain. Dalam banyak hal, beberapa faktor dapat dilihat sebagai prekondisi bagi yang lain. Kemampuan teknis dan manajerial, sebagai contoh, merupakan prekondisi bagi kemampuan organisasi, dan kemampuan organisasi merupakan kondisi yang harus ada untuk menegakkan aturan hukum. Namun, ada pula efek lain yang tidak kalah penting, yang muncul dari arah sebaliknya, misalnya kemampuan organisasi memperkuat kemampuan teknis dan manajerial, pertanggungjawaban memperkuat aturan hukum.

Prinsip-prinsip Good Governance Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman

atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance antara lain:

1. Partisipasi MasyarakatSemua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2. Tegaknya Supremasi Hukum

Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu,

termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

3. TransparansiTranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

4. Peduli pada Stakeholder Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.

5. Berorientasi pada KonsensusTata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

6. KesetaraanSemua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.

7. Efektifitas dan Efisiensi Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8. Akuntabilitas

Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

9. Visi Strategis Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

Pilar-pilar Good Governance Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang

oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut :

1. Negara a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabilb. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilanc. Menyediakan public service yang efektif dan accountabled. Menegakkan HAMe. Melindungi lingkungan hidupf. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik

2. Sektor Swasta a. Menjalankan industrib. Menciptakan lapangan kerjac. Menyediakan insentif bagi karyawan

d. Meningkatkan standar hidup masyarakat

e. Memelihara lingkungan hidupf. Menaati peraturang. Transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakath. Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM

3. Masyarakat Madani a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungib. Mempengaruhi kebijakan publikc. Sebagai sarana cheks and balances pemerintahd. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintahe. Mengembangkan SDMf. Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat

Agenda Makro Good GovernanceGood Governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya

untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan good governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda good governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini, yang meliputi:

1. Agenda Politik Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistim politik yang kurang demokratis. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting seperti:

a. Amandemen UUD 1945 Sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan pemerintahan, amandemen UUD 1945 harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good governance seperti pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia.

b. Perubahan Undang-Undang Politik dan Undang-Undang Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat.

c. Reformasi agraria dan perburuhan d. Penegakan supremasi hukum

2. Agenda Ekonomi Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Untuk kasus Indonesia, permasalahan krisis ekonomi ini telah berlarut-larut dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Kondisi demikian ini tidak boleh dibiarkan berlanjut dan harus segera ada percepatan pemulihan ekonomi. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-priotitas kebijakan. Prioritas yang paling mendesak untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain: a. Agenda Ekonomi Teknis

Aspek Otonomi Daerah; Pemerintah dan rakyat Indonesia telah membuat keputusan politik untuk menjalankan otonomi daerah yang esensinya untuk memberikan keadilan, kepastian dan kewenangan yang optimal dalam pengelolaan sumber daya daerah guna memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Agar pelaksanaan otonomi daerah ini berjalan tanpa gejolak dibutuhkan serangkaian persiapan dalam bentuk strategi, kebijakan program dan persiapan institusi di tingkat pusat dan daerah.

Sektor Keuangan dan Perbankan; Permasalahan terbesar sektor

keuangan saat ini adalah melakukan segala upaya untuk mengembalikan fungsi sektor perbankan sebagai intermediasi,serta upaya mempercepat kerja BPPN. Hal penting yang harus dilakukan antara lain pertama; tidak adanya dikhotomi antara bankir nasional dan bankir asing, lebih diperlukan kinerja yang tinggi, tidak peduli apakah hal itu dihasilkan oleh bankir nasional ataupun asing. Kedua, perlu lebih mendorong dilakukannya merger atau akuisisi, baik di bank BUMN maupun swasta. Ketiga, pencabutan blanket guarantee perlu dipercepat, namun dilakukan secara bertahap. Keempat, mendorong pasar modal dan mendorong independensi pengawasan (Bapepam). Kelima, perlunya penegasan komitmen pemerintah dalam hal kinerja BPPN khususnya dalam pelepasan aset dalam waktu cepat atau sebaliknya. Kemiskinan dan Ekonomi Rakyat; Pemulihan ekonomi harus betul-betul dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Hal ini praktis menjadi prasarat mutlak untuk membantu penguatan legitimasi pemerintah, yang pada giliranya merupakan bekal berharga bagi percepatan proses pembaharuan yang komprehensif menuju Indonesia baru.

b. Agenda Pengembalian Kepercayaan Hal-hal yang diperlukan untuk mengembalikan atau menaikkan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia adalah kepastian hukum, jaminan keamanan bagi seluruh masyarakat, penegakkan hukum bagi kasus-kasus korupsi, konsistensi dan kejelasan kebijakan pemerintah, integritas dan profesionalisme birokrat, disiplin pemerintah dalam menjalankan program, stabilitas sosial dan politik, dan adanya kepemimpinan nasional yang kuat.

3. Agenda Sosial

Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Sebaliknya, pada masyarakat yang masih belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Salah satu agenda untuk mewujudkan good governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang sedang dihadapi. Masalah sosial yang cukup krusial dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konflik yang disertai kekejaman sosial luar biasa yang menghancurkan kemanusiaan dan telah sampai pada titik yang membahayakan kelanjutan kehidupan dalam bentuk kekerasan komunal dan keterbuangan sosial dengan segala variannya. Kasus-kasus seperti pergolakan di Aceh dan Ambon adalah beberapa contoh dari masalah sosial yang harus segera mendapatkan solusi yang memadai. Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan komunal dapat dilakukan melalui; memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban konflik, mencegah berbagai pertikaian _vertikal maupun horizontal_ yang tidak sehat dan potensial mengorbankan kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial yang terjadi di masyarakat.

4. Agenda Hukum

Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kekurangan

atau kelemahan sistim hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good governanance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Sementara itu posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan. Kenyataan demikian ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan good governance diperlukan langkah-langkah kongkret dan sistimatis. Langkah-langkah tersebut adalah: a. Reformasi Konstitusi Konstitusi merupakan sumber hukum bagi

seluruh tata penyelenggaran negara. Untuk menata kembali sistim hukum yang benar perlu diawali dari penataan konstitusi yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan.

b. Penegakan Hukum Syarat mutlak pemulihan pepercayaan rakyat terhadap hukum adalah penegakan hukum. Reformasi di bidang penegakkan hukum yang bersifat strategis dan mendesak untuk dilakukan adalah; pertama, reformasi Mahkamah Agung dengan memperbaiki sistim rekrutmen (pengangkatan), pemberhentian, pengawasan dan penindakan yang lebh menekankan aspek transparansi dan partisipasi masyarakat. Perbaikan sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh Komisi Yudisial Independen yang anggotanya terdiri dari mantan hakim agung, kalangan prakatisi hukum, akademisi/cendekiawan hukum dan tokoh masyarakat. Kedua, reformasi Kejaksaan. Untuk memulihkan kinerja kejaksaan saat

ini khususnya dalam menangani kasus-kasus KKN dan pelanggaran HAM, perlu dilakukan fit and proper test terhadap Jaksa Agung dan pembantunya sampai eselon II untuk menjamin integritas pribadai yang bersangkutan. Selain itu untuk mengawasi kinerja kejaksaan perlu dibentuk sebuah komisi Independen Pengawas Kejaksaan.

c. Pemberantasan KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai.

d. Sedangkan upaya penanggulangan (setelah korupsi muncul) dapat diatasi dengan mempercepat pembentukan Badan Independen Anti Korupsi yang berfungsi melakukan penyidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi, memperkenalkan hakim-hakim khusus yang diangkat khusus untuk kasus korupsi (hakim ad hock) dan memperlakukan asas pembuktian terbalik secara penuh.

e. Sumbangan Hukum dalam Mencegah dan Menanggulangi Disintegrasi Bangsa Pengakuan identitas terhadap nilai-nilai lokal, pemberian kewenangan dan representasi yang lebih luas kepada daerah, pemberdayaan kemampuan masyarakat dan akses pengelolaan terhadap sumber daya alam lokal menjadi isu penting yang sangat stategis di dalam menciptakan integritas sosial, karena selama lebih dari tiga dekade masyarakat selalu ditempatkan sebagai obyek, tidak diakui berbagai eksistensinya dan diperlakukan tidak adil. Akumulasi

dari permasalahan tersebut akhirnya menciptakan potensi yang sangat

signifikan bagi proses disintegrasi.f. Pengakuan Terhadap Hukum Adat dan Hak Ekonomi

Masyarakat Untuk menjamin hak-hak masyarakat hukum adat, maka diperlukan proses percepatan di dalam menentukan wilayah hak ulayat adat secara partisipatif. Dengan begitu rakyat akan mendapatkan jaminan di dalam menguasai tanah ulayat adat mereka dan juga akses untuk mengelola sumber daya alam di lingkungan dan milik mereka sendiri.

g. Pemberdayaan Eksekutif, Legislatif dan Peradilan Untuk lebih meningkatkan representasi kepentingan daerah di tingkat nasional, perlu dilakukan rekomposisi keanggotaan utusan daerah, di mana keterwakilan rakyat di daerah secara kongkret diakomodasi melalui pemilihan anggota utusan daerah secara langsung oleh rakyat. Sistim pemilihan langsung juga dilakukan untuk para pejabat publik di daerah khususnya gubernur, bupati/walikota. Penerapan penegak hukum harus dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan kebijakan ‘selektive enforcement’ sehingga keadilan memang berasal dari rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

VISI KEPEMIMPINAN

Mewujudkan Pemerintahan Jawa Timur sebagai integritas kedaulatan rakyat (pemerintahan rakyat) dan menciptakan sistem pemerintahan yang good governence (Pemerintahan Rakyat dan Good Governance)

MISI KEPEMIMPINAN

Pencipta perubahan masyarakat Jawa Timur ke arah yang lebih baik dan dengan cara yang benar (Perubahan, Kebaikan dan Kebenaran), yakni:1. Mendahulukan dan menyediakan serta memberikan ruang

masyarakat dalam pembangunan ke arah pengkatan taraf hidup yang lebih baik sebagai wujud perubahan

2. Mendahulukan dan menyediakan serta mendorong penciptaan pola kebijakan pembangunan yang lahir dari masyarakat sebagai wujud kedaulatan rakyat terbaik

3. Mendahulukan dan menyediakan serta menciptakan ruang kontrol publik, sekaligus kesadaran hukum dalam siklus penyelenggaran pemerintahan yang benar.

PENCITRAAN KEPEMIMPINAN

Citra kepemimpinan yang akan menjadi karakter dan komitmen dasarnya adalah;1. Karakter dan komitmen kepemimpinan yang lahir dari Partai

Kebangkitan Bangsa

2. Karakter dan komitmen kepemimpinan yang lahir dari rakyat

3. Karakter dan komitmen kepemimpinan yang lahir dari jati diri kenegarawanan dan kebangsaan

STRATEGI KEPEMPINAN

Untuk membangunan pola kepemimpinan yang hidup dan melahirkan kepemilikan masyarakat, maka akan membentuk jalur sisnergisitas dengan;1. Aneka lapisan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan2. Partai Politik3. Lembaga Legislatif 4. Tingkat koordinasi subsistem lembaga Eksekutif, dan 5. Lembaga Yudikatif

ORIENTASI PEMBANGUNAN MASA DEPANJAWA TIMUR

Pemetaan Wilayah Jawa Timur

Propinsisi Jawa Timur terletak antara 110.57 BT dan Garis Lintang 5,37” LS dan 8,48 ‘LS, dengan luas wilayah 157.130,15 km2, yaitu: 110.000 km2 Luas Lautan dan 47.130,15 km2 Luas Daratan. Secara umum Propinsi Jawa Timur dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu Jawa Timur daratan dengan proporsi lebih luas hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Propinsi Jawa Timur dan wilayah Kepulauan Madura yang hanya sekitar 10% saja.

Propinsi Jawa Timur berada diantara Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Bali. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Jawa, dan Selatan berbatasan dengan Lautan Hindia. Selain daratan di Pulau Jawa, Propinsi Jawa Timur memiliki lebih dari 60 pulau, pulau terbesar adalah Pulau Madura. Propinsi Jawa Timur mempunyai 229 pulau, terdiri dari 162 pulau bernama dan 67 pulau tak bernama, dengan panjang pantai sekitar 2.833,85 Km2.

Jumlah penduduk Propinsi Jawa Timur sekitar 35.148.579 jiwa, Laki-Iaki: 17.249.198 jiwa, Perempuan: 17.899.381 jiwa. Realitas penduduk tersebut dengan sebaran komposisi pemeluk agama, antara lain; Islam 96,3 %, Kristen Protestan 1,6 %, Katholik 1 %, Budha 0,4 %, dan Hindu 0,6 %. Suku bangsa asli masyarakat Jawa Timur, diantaranya Jawa, Madura, Tengger, Osing. Dan wilayah administrasi propinsi Jawa Timur terdiri dari 29 Kabupaten, 9 Kota, 637 Kecamatan, 7.715 Desa, dan 703 Kelurahan.Realitas wilayah ini menegaskan bahwa orientasi pembangunan Jawa Timur:1. Keluasan wilayah menuntut perhatian pemerataan pembangunan2. Pembagian wilayah daratan dan kepulauan membutuhkan perhatian

berimbang dalam pembangunan

3. Besaran penduduk dalam pembagian jenis kelamin perempuan lebih besar dari laki-

laki membutuhkan perhatian kesetaraan gender dalam pembangunan4. Hitrogenitas suku, agama dan bahasa menunjukkan kompleksitas

budaya, sehingga harus memperhatikan kearifan budaya lokal dalam pembangunan

5. Kompleksitas birokrasi pemerintahan harus didudukkan sebagai lembaga pelayanan dan penerjemahan kedaulatan rakyat

6. Sebaran potensi masyarakat harus dilakukan dengan sistem silang antarkabupaten/kota dalam kekebijakan pembangunan dan pola otonomi daerah

Pengetasan Problematika Pembangunan Menuju Perbaikan Masa Depan Masyarakat Jawa Timur

Berdasarkan hasil pergulatan pembangunan di Jawa Timur, maka orientasi pembangunan di Jawa Timur mengharuskan segera menjawab beberapa problem dasar tersebut. Adapun problem mendasar yang membutuhkan penyikapan, antara lain:

1. Problematika Pemerintahana. Sistem Pelayanan Birokrasi

Menjadikan birokrasi sebagai instrumen pelayanan masyarakat belum mendapatkan tempat dalam penataan birokrasi. Sistem birokrasi yang berbelit-belit dan sikap birokrat yang tidak menyenangkan kerap menjadi penghambat lahirnya birokrasi pelayanan masyarakat. Akibatnya wajah birokrasi berubah menjadi penghalang masyarakat untuk berdialeka dengan pemerintahan itu sendiri. Semua ini menjadi faktor lahirnya partisipasi masyarakat dalam kebijakan pemerintah. Dampak negatif yang juga muncul, masyarakat kerap menggunakan praktek kotor untuk melicinkan proses birokrasi, dan ini juga ditopang oleh sikap dan inisiatif kotor birokrat.Seharusnya masyarakat tidak dibiarkan ”tidak tahu” tentang langkah-langkah sistematis dalam praktek birokrasi. Semisal melakukan pengurusan surat tanah, pendirian usaha, dsb.

Sehingga setiap lembaga berkewajiban memberikan sosialisasi terhadap langkah-langkah tersebut, tidak dijadikan rahasia. Semua sosiliasasi ini harus dilakukan dengan transparan, termasuk kewajiban pembayaran secara administratif yang telah diatur undang-undang dan peraturan lainnya. Sebaliknya, dalam realitas sekarang, birokrasi amat terbuka kepada masyarakat apabila itu terkait dengan kewajiban masyarakat, seperti pajak. Akan tetapi, sangat tertutup terhadap masyarakat kalau hal itu terkait dengan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik.Oleh karena itu, dalam praktek birokrasi Pemerintahan Jawa Timur ke depan harus memberikan informasi berimbang antara hak dan kewajiban masyarakat. Di samping itu harus menciptakan rasa nyaman terhadap masyarakat, ketika berhubungan dengan sistem birokrasi yang ada. Mengedepankan aspek pelayanan yang baik harus dijadikan karakter yang dapat ditangkap secara nyata oleh masyarakat, bukan hanya sebatas motto semata. Lebih dari itu, pemerintahan Propinsi Jawa Timur harus berani melakukan restukturalisasi birokrasi menuju pelayanan yang efektif dan efisien.

b. Penguatan Otonomi Daerah dan Good GovernencePenciptaan kebijakan otonomi daerah selama ini masih berlangsung setengah hati. Apalagi tangkapan masyarakat terhadap realitas otonomi daerah berubah menjadi garis batas wilayah. Konflik masyarakat antardesa dalam batas wilayah muncul dalam berbagai lapisan, utamanya masyarakat nelayan. Di sinilah kebijakan otonomi daerah pada akhirnya menjadi agenda kebijakan pemerintahan Propinsi Jawa Timur. Penataan ini dilakukan atas dasar; 1). Menciptakan dan mendorong pelaksanaan otonomi daerah, 2). Menciptakan dan membangun siklus pertukaran potensi daerah, 3). Menciptakan dan membangun kesadaran dialektika

bermasyarakat, dan 4). Mencipatakan good governance

c. Pengkondisian kebijakan pembangunan berbasis realitas dan aspirasi masyarakatSalah satu faktor kuat sebagai penyebab kegagalan pembangunan adalah lahirnya progra pembangunan yang tidak lahir dari realitas masyarakat, akibatnya tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Propinsi Jawa Timur harus menjadi tiang penyanggah pola pembangunan yang berbasis masyarakat. Sebab kesadaran masyarakat untuk berubah dan terlibat dalam pembangunan merupakan keniscayaan yang harus diterjemahkan dalam pembangunan, bukan hanya menjadi jargon semata dalam wacana para pemimpin. Semua ini berlaku terhadap semua kebijakan yang memberikan dampak, baik langsung maupun tidak langsung kepada publik. Kebijakan peningkatan pendidikan bukan hanya menjadi urusan dinas pendidikan, melainkan juga harus melibatkan masyarakat langung, termasuk pihak-pihak terkait dengan sektor pendidikan.Pelibatan masyarakat merupakan citra reformasi yang menjadi salah satun agenda utamanya. Sehingga pembangunan untuk masyarakat dan masyarakat untuk pembangunan menjadi siklus pencitraan pembangunan. Kondisi inilah yang diharapkan masyarakat dengan terlibat memberikan dukungan terhadap proses reformasi yang berlangsung selama ini. Apabila ini tidak segera disikapi dalam pembangunan, maka masyarakat akan hadir lebih apatis dalam memakanaii setiap kebijakan pembangunan.

d. Pemberantasan KKNPemberantasan KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan hal yang harus dilakukan. Sebab munculnya ketidakpercyaan masyarakat terhadap pemerintahan salah satu faktor penguatnya adalah hadirnya praktek KKN. Penciptaan pola yang transparan dan akuntabilatas publik akan menjadi

penopang untuk menghilangkan KKN. Hal ini juga harus didukung oleh hukum yang bekerja secara adil dan tanpa pandang bulu.

2. Problematika Pengentasan KemiskinanKemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan terbatasnya jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan.Kemiskinan terus menjadi masalah fenomental dalam lintas nation state. Sebagai negara berkembang, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Realitas kemiskinan di Jawa Timur berjalan merangkak naik, walaupun pada tahun 2006 mengalami penurun tetapi tidak signifikan. Hal ini bisa dilihat dari gambar dibawah ini:

Kemiskinan di Jawa Timur belum mendapatkan solusi multikompleks, sehingga kondisinya naik-turun, bahkan mengalami pelonjakan sejak kebijakan subsidi dicabut atau dialihkan oleh pemerintah. Mengapa demikian? Karena pengentasan kemiskinan lebih dominan diselesaikan dengan pendekatan struktural. Belakangan memang muncul kebijakan baru yang berorientasi kultural, tetapi tidak berjalan maksimal. Mengapa ini terjadi di Jawa Timur? Karena proses pengentasan kemiskinan belum menyentuh dan atau tidak direspon oleh masyarakat miskin sendiri.

Kondisi ini juga ditambah dengan realitas permainan tingkat elite yang menjadikan kemiskinan sebagai proyek belaka.Untuk menjawab hal ini, maka pola pembangunan di Jawa Timur harus memformulasi tahapan pengentasan kemiskinan, melalui:a. Tahap Pengentasan Kemiskinan Kultural; pengentasan ini

berorientasi sistemik terhadap fokus pengentasan nilai-moral dan budaya yang turut membentuk kondisi kemiskinan sebagai sesuatu yang tidak butuh disikapi (apatis). Dan pada gilirannya, nilai-moral dan budaya tersebut beralih kepada kesadaran berusahan masyarakat dalam menyikapi dan melepasakan diri dari kemiskinan.

b. Tahap Pengentasan Kemiskinan Natural; Pengentasan ini berorientasi sistemik terhadap penciptaan alam lingkungan sebagai bagian yang dapat dimanfaatkan. Karenanya apapun sumber daya masyarakat dapat dipergunakan sebagai penopang lahirnya peningkatan taraf hidupnya.

c. Tahap Pengentasan Kemiskinan Struktural; Pengentasan kemiskinan yang menjadi orientasi kebijakan pembangunan daerah yang disinergiskan dengan kedua pola pengentasan kemiskinan di atas. Program ini tidak datang tiba-tiba, tetapi merupakan jawaban dari realitas kemiskinan kultural dan natural.

3. Problematika Pengembangan Sumber Daya Manusia dan PendidikanProblematika lemahnya sumber daya manusia dapat dilihat dari lemahnya kemampuan masyarakat dalam menyerap pengetahuan (knowladge) dan menampilkan keterampilan (skill). Kondisi ini dapat dilihat juga dari tingginya angka buta aksara yang mencapai 4.519.681 orang. Rinciannya, laki-laki 1.409.316 dan perempuan 3. 110.365. Jumlah itu menempatkan Jatim sebagai provinsi yang memiliki penduduk buta aksara terbanyak di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintahan propinsi harus memberikan akses yang

TREND ANGKA KEMISKINAN DI JATIMTREND ANGKA KEMISKINAN DI JATIM

Catatan :Data BPS dengan PKIB Tahun 2002 = 7.181.755Data BPS (BLT I) Oktober ’05 Gakin 3.311.903 KK = 13.247.612 jiwaData BPS (BLT II) 13 Jan ‘06 Gakin 2.728.629 KK = 10.914.516 jiwa

Jumlah Penduduk Jatim ( Susenas 2004 ) 36.398.345 jiwaData BPS Verifikasi 16 Agustus 2006 Gakin 3.236.232 KK =

10.707.742 jiwaJumlah Penduduk Jatim 16 Agustus 2006 = 37.070.731 jiwa

2002 2003 20062004

BLT I

Ok

t .

‘05

PE

ND

UD

UK

M

ISK

IN

(O

ran

g)

10.914.51610.914.516

7.064.2897.181.755

10.707.74210.707.742

3.000.000

6.000.000

9.000.000

12.000.000

15.000.000

18.000.000

21.000.000

16 A

gs

‘06

BLT II

2005

Penduduk :Penduduk : MiskinMiskin Sangat MiskinSangat Miskin Mendekati MiskinMendekati Miskin

BPSPKIB 2001

11 INDIKATOR

BPSPSE 2005

14 INDIKATOR

6.979.565

sama dalam kebijakannya untuk mendorong akses masyarakat dalam

menempuh lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun

nonformal.Padahal lembaga pendidikan sebagai laboratorium pengembangan sumber daya manusia belum dapat diakses secara merata masyarakat. Hal ini disebabkan oleh mahalnya lembaga pendidikan, dan juga tidak meratanya kulaitas lembaga pendidikan. Hal lain yang juga kurang menadpatkan perhatian seirus, yakni sistem pengelolaan lembaga pendidikan yang tidak disesuaikan dengan realitas masyarakat. Akibatnya keragaman pola pendidikan berakibat pada kedangkalan pemahaman lokalitas, sekaligus juga memangkas pelestarian lokalitas. Sehingga tidaklah mungkin, apabila sajian lembaga pendidikan yang menjauhkan diri dari

realitas yang mengitarinya mampu melahirkan pengembangan sumber daya manusia. Sebab nyatanya setiap manusia pertama kali berdialektika dengan lingkungan sekitarnya, dan dari sanalah pengembangan sumber daya manusia dilakukannya.Hal ini juga ditambah dengan tantangan internal lembaga pendidikan yang butuh segera disikapi, baik tingkat kualitas guru/dosen dan tenaga administrasi maupun kurikulum. Perombakan internal ini juga harus diadaptasikan dengan reaitas eksternal pendidikan selaras dengan laju modernisasi lembaga pendidikan.

4. Problematika Pengangguran dan Perluasan Lapangan KerjaPengangguran juga menjadi polemik tersendiri dalam realitas pembangunan. Sebab seseorang menganggur bisa disebabkan oleh banyak hal, tetapi yang jelas tampak adalah penggangguran berarti tidak memiliki pekerjaan dalam usia produktif. Karenanya pengentasan pengangguran memiliki hubungan kuat dengan penyidaan lapangan kerja. Realitas pengganguran di Jawa Timur juga tekait dengan kemiskinan, hal ini bisa dilihat dari gambar di bawah ini:

No PROFIL KEPALA RUTA GAKIN PENGANGGUR

JUMLAH (KK)

I. Jumlah Gakin “Pengangguran” 397.066 kk

II. Menurut Pendidikan:

a. SD & Tidak tamat SD 377.120 kk

b. SLP 13.618 kk

c. SLA Ke atas 6.325 kk

III. Kepala Ruta Gakin Menurut Jenis Kelamin

a. Laki-laki 151.101 kk

b. Perempuan 245.965 kk

IV. Jumlah anggota keluarga dalam Ruta Gakin

a. 1-2 orang 427.474 kk

b. 3-4 orang 334.936 kk

c. 5-6 orang 113.483 kk

d. 7-8 orang 21.727 kk

e. Lebih dari 9 orang 6.177 kk

Sumber: BPS Jatim s/d 13 Januari 2006

Realitas penggangguran di Jawa Timur tahun 2006 dapat dilihat sebagai berikut:

Sementara itu kesempatan tampungan lapangan kerja masyarakat Jawa Timur dapat dilhat sebagai berikut:

10.707.742 (16 Agust 200610.707.742 (16 Agust 2006))

3.236.871 KK3.236.871 KK

AcuanAcuanData BLT Data BLT 2005/20062005/2006 35,73%35,73%

28,88%28,88%

13.247.612 (versi 4 jw/kk13.247.612 (versi 4 jw/kk))

Penduduk Jatim

Penduduk Jatim

Jumlah Jumlah Penganggur Penganggur PenuhPenuh

1.051.295 jw1.051.295 jw 2,80%2,80%Thd total Penduduk Jatim

6,8%6,8% Thd total Rumah Tangga Jatim

Jumlah Jumlah GAKIN tidakGAKIN tidakbekerjabekerja

755.433 KK755.433 KK

Jumlah Kemiskinan & Penganggurandi Jawa Timur 2006

Kemampuan pemerintah untuk melepaskan masyarakat dari jeratan

pengangguran sangat terbatas. Karena kondisi ini tercipta dalam bentuk linkaran mata rantai yang saling terkait. Karenanya pengentasan pengangguran dalam pembangunan harus didasarkan oleh faktor-faktor yang melilitnya. Pengangguran disebabkan oleh lemahnya sumber daya harus dijawab dengan peningkatan sumber daya manusianya. Pengangguran yang disebabkan oleh lemahnya jaringan harus dijawab dengan pembukaan akses jaringan. Demikian pula halnya, pengangguran yang disebabkan oleh keterbatasan lapangan kerja harus dijawab dengan menghadirkan; 1). Perluasan lapangan kerja baru dengan bekerjasama dengan pihak swasta, dan 2). Pencipataan lapangan kerja baru dengan

menciptakan masyarakat mandiri melalui kesempatan membukan lapangan kerja sendiri.

5. Problematika Bencana Alam dan BanjirMasyarakat Jawa Timur juga dihadapkan dengan aneka peristiwa bencana alam. Bencana ini kerap melahirkan pengulangan-pengulangan, sehingga setiap kebijakan pembangunan hanya bersifat menyikapai dampak benacana alam, bukan melakukan kebijakan antisipatif untuk mencegah benacana. Kondisi ini juga diperparah oleh paraktek praktek biadab kemanusiaan, antara lain:a. Praktek Illegal Logging yang menyebabkan hutan gundulb. Penyumbatan Kanalisasi Air Sungai/Kali yang terjadi selama

ini, baik karena faktor membuang sampah sembarang tempat maupun karena faktor pendirian bangunan yang menutup kanalisasi air.

c. Tata Kota Yang Tidak Mempertimbangkan Aspek Lingkungan, utamanya pendirian perumahan-perumahan baru yang menyebabkan laju air terhambat, bahkan juga tidak menyediakan kanalisasi.

Di Jawa Timur, bencana banjir kerap diposisikan sebagai realitas yang harus diterima akibat kondisi tanah rendah dan komposisi tanah yang kurang mampu menyerap dengan cepat terhadap luapan air hujan. Padahal peristiwa banjir terjadi berulang, dan ironis pula juga terjadi daerah perkotaan. Ini menunjukkan bahwa disamping tata kota yang kurang memberikan akses kanalisasi air, juga disebabkan oleh minimnya daerah penghijauan di perkotaan.

6. Problematika Luapan Lumpur LapindoPeristiwa lumpur lapindo merupakan bukti kerjasama pihak pemerintah dan swasta dalam mengembangkan potensi daerah, dengan tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang lebih besar, selain hanya mempertimbangan kapitalisme semata. Pengeboran

No PEKERJAAN

JUMLAH (KK)

Tahap ITahap II

(Hasil Verifikasi)

Jumlah

I. Bekerja: 2.408.006 506.831 2.914.837

a. Tanaman pangan 1,395.175 345.171 1.740.346

b. Perkebunan 60.573 15.584 76.157

c. Peternakan 24.481 3.549 28.030

d. Perikanan 31.856 13.514 45.370

e. Industri 50.900 3.276 54.176

f. Perdagangan 146.755 10.657 157.412

g. Angkutan 80.021 7.814 87.835

h. Jasa 255.582 40.763 296.345

i. Lainnya 362.663 66.703 429.366

II. Pengangguran 320.623 76.443 397.066

T O T A L 2.728.629 583.274 3.311.903

Sumber: BPS Jatim s/d 13 Januari 2006,

sumber minyak yang tidak memenuhi standart internasional bisa dilakukan di

tengah kerjasama antara pemerintah dan swasta. Akibatnya pemanfataan potensi daerah berubah wajah menjadi ancaman kepunahan daerah ditengah munculnya luapan lumpur lapindo.Ironisnya, kerugian masyarakat di tengah luapan lumpur lapindo bukan dihitung dalam bentuk ganti rugi yang berimbang, melainkan penyikapan menunggu reaksi keras masyarakat Sidoarjo. Seharusnya sebagai pihak yang bertanggungjawab, lapindo dan pemerintah harus segera menyikapi tanpa menunggu reaksi keras masyarakat. Persoalannya sekarang? Luapan lumpur Lapindo adalah susuatu yang tidak dapat dipastikan, sehingga beberapa kali tanggul yang dibuat mengalami kebocoran. Dan setiap ini terjadi berarti ada lapisan masyarakat yang menjadi korbannya. Korban lumpur lapindo ini janganlah dibeda-bedakan, sebab tidak satu orang masyarakatpun yang berharap terkena lumpur lapindo. Kerugian yang diterima masyarakat harus dibayar bukan hanya pada aspek fisik semata, melainkan juga melibatkan aspek non-fisik, seperti hilangnya tempat usaha, dsb. Pemerintah dan pihak swasta yang sama-sama mengambil untuk harus duduk bersama menyelesaikan dengan cepat proses ganti rugi tersebut, bukan dengan sikap saling lemapr dan saling uding kesalahan di tengah jeritan penderitaan masyarakat Sidoarjo.

7. Problematika Investasi BaruKeberhasilan Jawa Timur sebagai wilayah propinsi mengikatkan pula dalam bentuk keberhasilan kota/kabupaten. Karenanya, pemerintahan propinsi harus menciptakan iklim usaha yang baik, sehingga memberikan dampak positif terhadap lahirnya investasi baru di wilayah kabupaten/kota dan juga propinsi. Lemahnya investasi ini juga disebabkan oleh faktor hukum, iklim usaha, sistem birokrasi, dan belum maksimalnya pengelolaan potensi.Oleh karena itu, propinsi Jawa Timur harus menciptakan suasan yang mendorong lahirnya investasi baru dalam pengembangan

potensi daerah. Dan dalam setiap investasi juga harus melibatkan potensi sumber daya manusia disekitarnya. Karenanya, sebelum investasi itu dilakukan juga harus menyiapkan terlibih dahulu sumber daya manusia daerah sesuai dengan kebutuhan investasinya. Di sinilah investasi untuk pembangunan juga dapat berubah wujud menjadi investasi untuk masyarakat.Kemampuan DKI Jakarta turun sangat drastis dalam menarik PMA pada tahun 2006. Jawa Tengah dan Jawa Timur juga termasuk kategori performa PMA yang rendah. Pada tahun 2006, Jateng dan Jatim berada di peringkat 10 dan 14, dengan rating masing-masing 0.9132 dan 0.4943, jauh di bawah Jambi, Bali, Kaltim, dan Kalsel. Hambatan mendasar yang menjadi penentu kemampuan menarik investasi adalah iklim investasi dan bisnis yang tidak kondusif. Dari berbagai survei nasional dan internasional menyangkut bisnis dan ekonomi, Indonesia selalu berada pada posisi yang rendah dibandingkan dengan negara-negara lain dunia. Kalaupun ada aliran investasi ke Indonesia belum menyentuh bidang usaha yang menjadi andalan perekonomian dan masih terlihat dunia usaha lebih menyukai pusat operasinya di Jawa dan Bali. Faktor lingkungan yang menjadi penghambat investasi multidimensi, yakni penegakan hukum, keamanan, birokratisasi dan regulasi, pertanahan, premanisme, dan infrastruktur. Menurut para investor, faktor-faktor tersebut di atas sangat lemah sehingga kebanyak investor masih menunggu upaya nyata Pemerintah RI mengatasinya. Dengan demikian, pola investasi PMA yang terjadi selama ini belum menjamin perbaikan perekonomian daerah dan nasional bahkan berpotensi untuk meningkatkan kesenjangan antar daerah bila pola tersebut terjadi terus-menerus. Oleh karena itu, para Kepala Daerah dan DPRD hendaknya bersatu padu dalam memperbaiki iklim investasi di daerah masing-masing. Selama ini, dari pernyataan para pemimpin

pemerintahan dan parlemen, kebijakan pembangunan dan pemerintahan daerah

seolah-olah pro-investasi, tapi prakteknya anti-investasi. Contohnya, perijinan daerah dibuat dalam rangka menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebesar-besarnya. Padahal perizinan adalah untuk memenuhi azas legalitas. Untuk itu harus ada perubahan paradigma pembangunan daerah disertai kebijakan daerah yang pro-investasi. Bila perlu semua pemimpin daerah memposisikan dirinya dalam kondisi kompetisi tidak hanya dengan daerah lainnya, juga dengan negara lain.

8. Problematika Perilaku Kekerasan (amoral) dan Kesadaran HukumPerilaku kekerasan masih kerap terjadi di Jawa Timur, baik kekerasan di dalam rumah (KDRT) maupun di luar rumah (kriminal). Problematika kekeraran ini muncul disebabkan banyak faktor. Namun apapun penyebabnya, penciptaan prilaku antikekerasan dan pencegah prilaku amoral pada dasarnya merupakan tanggungjawab bersama. Sehingga pemerintah harus menciptakan dan menyediakan sistem keterlibatan semua pihak untuk terlibat dalam tanggungjawab moralitas tersebut.Untuk menekan perilakun kekerasan juga harus dibarengi dengan penciptan keterikatan masyarakat dalam wujud kesadaran hukum. Kesadaran hukum ini akan muncul juga dipengaruhi oleh praktek hukum yang tidak dapat dibeli. Sebab, apabila penegakan hukum melahirkan ketidak-adilan, maka akan mengancam kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat itu sendiri.

9. Problematika Pencemaran Lingkungan Akibat Limbah Pabrik IndustriPemerintah Propinsi dan Pemerintah daerah tidak mampu mengemban wewenang untuk melakukan kewajiban pengawasan dampak pencemara. Secara luas telah gagal melakukan pengelolaan lingkungan di Jawa Timur, untuk itu Lembaga kajian Ekologi dan

Konservasi Lahan Basah menghimbau kepada masyarakat konsumen di Jawa Timur untuk ikut serta menyelamatkan lingkungan dengan tidak membeli produk-produk yang dihasilkan oleh industri-industri hitam, industri residivis lingkungan, industri nakal yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan.Daftar industri yang masuk daftar boikot ini berdasarkan a). Industri yang sering melakukan tindak pidana pencemaran (data dari Polda dan bapedal jatim), b). Penilaian Proper 2005, dan c). Evaluasi penyimpangan baku mutu limbah industri 2003-2005 data jasa Tirta), antara lain: a. PT Sinar Sosro (Teh Botol Sosro group)b. PT Titani Alam Semesta ( krupuk merk Senna)c. PT Adi Prima Suraprinta ( Jawa Pos Group)d. PT Sarimas Permai( Perusahaan Minyak goreng)e. PT Surabaya Agung Kertas(kertas HVS, umumnya di import)f. PT Suparma (kertas HVS)g. PT Surabaya mekaboks (kertas karton)h. PT Wings Surya(WINGS Group, Nuvo, So Klin Dll,)i. PT Jaya Kertas(perusahaan kertas Tissue)j. PT Sopanusa ( Perusahaan kertas tissue)k. PT Platinuum Ceramic ( ubin ceramic)Degradasi kualitas sumberdaya alam saat ini terjadi dimana-mana. Pencemaran industri di Kali Surabaya sudah menurunkan kelas air ketingkat yang tidak bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum, Pantai-pantai yang menjadi sumber perikanan berubah menjadi kubangan minyak, oli bekas dan terminal berkumpulnya sampah dan limbah industri. Namun dari kondisi ini penegakan hukum bagi pencemar belum juga nampak. Banyak indikasi yang menunjukkan bahwa Pemerintah Propinsi terlalu melindungi dan memanjakan tindak kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh industri pencemar, baik dengan upaya pembinaan, kebijakan-kebijakan yangdikeluarkan maupun penegakan hukum lingkungan yang setengah hati.

Sebenarnya tidak sulit untuk menangkap industri-industri nakal di Sepanjang Kali

Surabaya, karena setiap hari industri-industri mempertontonkan pertunjukan membuang 330 ton/hari limbah cair dengan beragam warna ke Kali Surabaya dan Kali Tengah. 88% volume limbah cair ini disumbangkan oleh 4 industri kertas yang setiap saat membuang limbah cair kesungai, industri pelapisan logam yang memproduksi perkakas seperti panci, talam, kompor, pabrik paku dan mur dan industri sepeda membuang limbah cair berwarna kuning. Warna ini berasal dari besi berkarat yang telah dibersihkan dengan asam-asam kuat, karat/korosif yang larut dalam cairan asam inilah yang kemudian dibuang langsung ke sungai. Industri sabun atau krim untuk mencuci pakaian memiliki jenis cairan limbah yang dapat menimbulkan busa dipermukaan sungai, ada juga industri pencelupan kain yang limbah cairnya berwarna-warni merah, biru dan hitam. Perubahan fisik dan warna sungai ini setiap sore dapat dijumpai disepanjang kali Surabaya dari Bambe sampai pengambilan bahan air Minum di PDAM karang Pilang. Kenakalan industri-industri di Kali Surabaya saat ini sudah diakui di tingkat nasional. Pada tanggal 2 Agustus 2005 kementerian lingkungan hidup mengeluarkan hasil penilaian terhadap 466 perusahaan yang masuk dalam program Penilaian Peringkat Perusahaan (Proper Tabel proper kategori hitam industri Jatim 2005)

No Nama Perusahaan PeringkatProper

1. Jatim Taman Steel HitamHitam

2. Hanil Jaya Metal HitamHitam

3. PIER Hitam Biru

4. SIER Hitam Biru

5. PT Sasa Inti Hitam Merah

6. PT Surabaya Mekabox Hitam Hitam

7. PT Ispat Indo Hitam Merah

8. PT Adi Prima Suraprinta Merah Hitam

9. PTPN XI PG Semboro Tt Hitam

10. PT Kertas Basuki Rahmat Tt Hitam

11. PT Surya Agung Kertas Merah Hitam

12. PT Newminatx Tt Hitam

13. PT Eureka Aba Paper Merah Hitam

14. PT Sopa Nusa Tissue Tt Hitam

15. Pabrik Tekstil Kasrie Tt Hitam

16. PT BHSTEX Tt Hitam

17. CV Setia Kawan Tt Hitam

18. CV Gaya Baru Paper Tt Hitam

19. PT Sepanjang Baut Sejahtera Tt Hitam

20. PT New Simomulyo Tt Hitam

Sehingga hasil Proper 2005 menunjukkan semakin menurunnya komitmen perusahaan-perusahaan di Jawa Timur. Bahkan beberapa industri Seperti PT Surabaya Agung Kertas dan PT Adi Prima Suraprinta menurun kinerja lingkungannya dimana pada proper tahun 2004 mendapatkan predikat merah sedangkan pada tahun 2005 mendapat predikat hitam. Selain itu semakin banyaknya industri di Jatim yang memperoleh Predikat hitam mengindikasikan buruknya kinerja Pengelolaan Lingkungan hidup di Jatim yang menjadi tanggung jawab oleh Bapedal Jatim. Buruknya kinerja pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kegiatan industri di Jawa Timur tidak lepas paradigma pembangunan di Jawa Timur yang memanjakan Pencemar dan mengabaikan dampak aktivitas industri terhadap lingkungan hidup.Disamping itu pada tahun 2005 memunculkan 7 konflik lingkungan yang melibatkan aksi massa seperti pemblokiran dan menjurus pada aksi anarkis, aksi-aksi ini didasari oleh kejengkelan masyarakat korban pencemaran. Hal ini dapat dilihat dari enam faktor penting yang mendorong industri untuk selalu melakukan pencemaran (memanjakan diri):a. Lemahnya pengawasan dan monitoring yang dilakukan oleh

Bapedal Propinsi Jawa Timur, dari pantauan ecoton pada Aliran Brantas Jawa Timur, 80% industri tidak memiliki IPLC (Ijin Pembuangan Limbah Cair) sehingga seharusnya sesuai dengan Perda 5/2000 tentang pengendalian pencemaran air industri ini seharusnya dikenakan sanksi denda Rp 5 juta, namun kenyataannya mereka tetap beroperasi tanpa IPLC.

b. Tidak adanya koordinasi antara Dinas Perindustrian yang memberi ijin berdirinya industri dengan Bapedal selaku pemberi ijin pembuangan limbah cair sehingga banyak industri yang berdiri tanpa memiliki IPAL (instalasi pengolah air limbah). Akibatnya dampak pencemaran yang ditimbulkanindustri tidak bisa dikendalikan dengan baik, banyak kasus dampak pencemaran sudah dirasakan beberapa tahun oleh masyarakat

baru kemudian Bapedal melakukan tindakan. Kenakalan lainnya adalah tidak adanya ketaatan industri-industri untuk membangun IPAL (instalasi Pengolah Air Limbah) dari 1563 industri di Surabaya hanya 87 yang memiliki IPAL, padahal IPAL adalah instrumen penting dalam mengurangi beban pencemaran yang ditimbulkan oleh aktivitas industri. Namun meskipun sebagian industriawan ini memiliki IPAL tidak menjamin terwujudnya kualitas lingkungan hidup yang baik karena sebagian besar industriawan tidak mengoperasionalkan IPAL yang telah dibangun, karena mereka menganggap bahwa dengan memiliki IPAL mereka menganggap telah memenuhi ketentuan Pemerintah selain itu banyak industri yang mengeluhkan mahalnya biaya operasional IPAL sehingga IPAL dioperasikan sebagaimana mestinya pada saat-saat tertentu saja seperti ada kunjungan anggota Dewan, Kunjungan Menteri atau setelah industri mereka ramai diberitakan media massa. Sebenarnya bentuk-bentuk kenakalan industri ini dapat terdeteksi bila pejabat pengawas/pemantau lingkungan bekerja dengan benar. Karena 5 instansi (Perum Jasa Tirta I Malang, Bapedal Jawa Timur, Dinas Perindustrian Propinsi, Dinas PU Pengairan Propinsi, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota) yang melakukan monitoring/ pengambilan uji air limbah terhadap industri disepanjang Kali Surabaya dan Kali Tengah. Data-data yang diperoleh 5 instansi tersebut sebenarnya bisa dijadikan dasar untuk memberikan sanksi administrasi berupa pencabutan ijin pembuangan limbah cair atau penutupan sementara outlet pembuangan limbah dan/atau bukti telah terjadinya tindak kejahatan lingkungan.

c. Rendahnya sanksi hukum merangsang industri menjadi Residivis (dalam kitab KUHP dijelaskan bahwa residivis adalah orang yang melakukan tindak pidana secara berulang-ulang) pencemar Lingkungan , dari 23 kasus lingkungan sepanjang tahun 2002 hingga 2004 hanya 14 kasus yang diputus

dipengadilan Negeri itupun putusannya hanya Rp 500.000 hingga

Rp 2,5 Juta, sehingga industri berulang-ulang melakukan pencemaran. Contoh industri yang menjadi residivis adalah PT Surabaya Agung Kertas (1999 kasusnya di SP3, Tahun 2002 manager produksi dikurung 2 minggu dan denda Rp 5 juta, tahun 2005 disidik polda jatim), padahal saat ini kasus dugaan pencemaran yang dilakukan pada tahun 1994 belum tuntas di PN Surabaya.

d. Bentuk instansi Pengelolah lingkungan tingkat Kab/kota di Jatim masih berupa Dinas gabungan (seperti di Gresik yang berbentuk Dinas Lingkungan Energi dan Pertambangan), bahkan ada yang hanya berbentuk Sub Dinas. Sehingga posisi tawarnya sangat rendah dibandingkan dinas lainnya, seringkali kepentingan pengelolaan lingkungan dinomor duakan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Jawa Timur ada 18 Orang yang tersebar di Kabupaten/kota dan 5 orang staff Bapedal Jatim

e. Banyak sejarah penegakan hukum di Jawa Timur yang kental dengan intervensi Gubernur. Kasus PT Pakerin, meskipun hasip laboratorium menyatakan limbah PT Pakerin melebihi baku mutu dan keseriusan tim Kemukus Polda Jatim bekerjasama dengan departemen kehakiman didukung oleh menteri lingkungan Hidup Emil Salim, namun kasus ini tak pernah dibawah kepengadilan karena tidak mendapat dukungan dari Basofi Soedirman.

f. Kongkalikong antara aparat dengan industri, banyak kasus penggrebekan yang direncanakan oleh Polda Jatim, Bapedal, Pengairan dan Jasa Tirta akhirnya bocor sehingga pabrik tidak beroperasi atau memaksimalkan kerja IPAL sehingga tim sidak tidak menemukan bukti.

Penegakan hukum bagi pencemar seakan jalan ditempat. Prestasi Penanganan lingkungan di Jawa Timur secara kuantitatif bisa dikatakan memuaskan dibandingkan dengan Propinsi lain tetapi secara kualitas penanganan kasus lingkungan jauh dari harapan

masyarakat.Dari data Polda Jatim 2004 menyebutkan Kasus pencemaran oleh limbah industri pada tahun 2002 tercatat 12 kasus yang dimeja hijaukan dan sampai saat ini Perkembangannya 2 kasus sedang disidangkan, 1 kasus belum disidangkan, 1 kasus terdakwa meninggal, 6 Kasus denda 2 juta, 1 kasus percobaan 8 bulan dan denda 2 juta, 1 kasus denda sanksi 5 juta. 2003 ada 7 kasus sudah diputus dengan denda 1,5 – 2 dan 5 juta. 2004 6 kasus yang sedang diproses. Secara keseluruhan dari 25 kasus yang ditangani Polisi dalam kurun waktu 2002-2004 hanya 8 kasus yang telah diputus pengadilan, dengan sanksi maksimal untuk pencemar lingkungan adalah denda Rp.5 juta hanya untuk satu kasus PT Surabaya Agung Kertas Tbk sedangkan 7 kasus lainnya hanya didenda Rp 1,5 - 2 juta, hasil ini sangat tidak sebanding dengan biaya pengambilan sample dan uji laboratorium yang mencapai Rp 6-9 juta untuk setiap kasus.Intensitas Penanganan kasus-kasus tindak kejahatan lingkungan dipengaruhi oleh anggaran yang disediakan pemerintah karena ternyata anggaran untuk menegakkan hukum lingkungan tidak kecil karena untuk sebuah kasus lingkungan hidup dari penyidikan hingga putusan hakim dibutuhkan biaya kurang lebih sebesar Rp. 188 juta dengan rincian untuk pengumpulan barang bukti dan saksi yang dilakukan oleh PPNS (penyidik Pegawai Negeri Sipil) atau Penyidik Polri diperlukan biaya sebesar Rp 78 Juta untuk Akomodasi dan transportasi, biaya uji Laboratorium, biaya operasional penyidik, pembuatan dan rapat koordinasi BAP (berita acara penyidikan) dan Gelar perkara. Setelah berkas tuntutan sudah P21/sempurna (siap untuk dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut) maka Jaksa penuntu harus membuat surat dakwaan yang memerlukan biaya Rp 25 juta, dana sebesar ini digunakan untuk rapat koordinasi penyusuna surat dakwaan yang dilakukan oleh 3 orang Jaksa, 2 orang pakar dan 3 orang saksi ahli. Selanjutnya dalam proses persidangan diperlukan biaya Rp. 70 Juta dengan perincian Mendatangkan Saksi Ahli (1 - 3 orang)

Rp. 10 juta, Rapat Penyusunan Rencana Penuntutan Rp. 10 juta, Sidang Lapangan

Rp. 15 juta, Monitoring persidangan (10 – 25 persidangan) Rp. 35 juta. Apabila tersangka melakukan banding maka pemerintah sebagai pihak penuntut harus mengeluarkan biaya Rp 15 juta untuk PenyusunanKendala lain dalam penegakan hukum lingkungan adalah belum adanya kesamaan persepsi antara Penyidik Polri, penyidik PNS, Jaksa dan Hakim sehingga seringkali putusan hakim jauh dari harapan Penuntut. Ironisnya penyelesaian masalah pencemaran atas Kali Surabaya dan Kali tengah tidak dibebankan kepada industri tetapi malah membebankannya kepada rakyat. Akibat kerusakan pencemaran industri di Kali Tengah Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam APBD tahun 2001 mengalokasikan dana 2 milyar untuk normalisasi Kali Tengah dengan tujuan agar Kali Tengah bisa dimanfaatkan sebagai saluran pembuangan limbah. Tidak sampai disitu kasih sayang Pemprov terhadap industri di Kali tengah dalam PAK 2002 Komisi D menyetujui untuk membiayai proyek Kantung sedimen di Kali Tengah dengan maksud meminimasi dampak pencemaran industri, sehingga air Kali Tengah yang masuk ke Kali Surabaya dapat meningkat kualitasnya.

10. Problematika Perbaikan Tingkat dan Pelayanan Kesehatan MasyarakatMasyarakat dengan realitas kemiskinan dan penganggurannya serta lemahnya memperoleh kesempatan berpendidikan, juga telah mendorong lemahnya kesadaran kesehatan masyarakat. Di samping itu, masyarakat juga belum mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik dan mudah. Kesehatan hanya untuk orang kaya, dan orang miskin cukup ke pelayanan pengobatan alternatif saja. Ini yang kerap menjadi keluhan masyarakat. Akibatnya dengan lemahnya kesehatan yang dimilikinya, maka masyarakat tidak mampu berbuat banyak untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

11. Problematika Pembangunan Infrastruktur dan Melakukan Revitalisasi Sektor Pertanian, Kehutanan dan PedesaanPemerintahan Propinsi Jawa Timur diharuskan untuk melakukan pembangunan infrastruktur dasar yang mendukung dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keterlibatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Di samping itu, luasnya pertanian membutuhkan revitalisasi, baik sektor sistem pengelolaan pertanian maupun pada upaya pemanfaatan lahan pertanian. Demikian pula aspek revitalisasi kehutanan, karena selama ini pemerintah tidak cukup punya taring untuk menghentikan paraktek illegal logging yang menyebabkan hutan gundul. Sehingga pada gilirannya membutuhkan kebijakan pembangunan tentang penghijauan hutan kembali. Aspek pedesaan juga membutuhkan revitaliasi agar mamapu bersaing dalam peningkatan pembangunan. Desa merupakan penopang paling dominan dalam strukutur pembangunan di Jawa Timur. Oleh karena itu, perhatian terhadap revitalisasi pembangunan desa menjadi keharusan yang tidak terelakkan, agar tercipta pemerataan pembangunan.

12. Problematika Pemberdayaan PerempuanRealitas perempuan Jawa Timur belum mampu berkiprah sebagaimana yang diharapkan. Sehingga pemberdayaan perempuan juga harus menjadi prioritas pembangunan Jawa Timur. Ketidakberdayaan perempuan memang disebabkan oleh faktor multi-kompleks, mulai dari ikatan budaya yang mengkungkungnya sampai pada minimnya sumber daya manusia perempuan. Padahal perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki di Jawa Timur lebih banyak perempuan. Seharusnya posisi kuantitas ini harus mampu dialihkan dalam wadah kualitas melalui program pembangunan.Keterlibatan perempuan dalam pemberdayaan berarti mengurangi separuh beban pembangunan. Di samping itu, pemberdayaan

perempuan juga akan mampu memberikan konstribusi solutif terhadap

problematika lainnya. Artinya, kita harus meletakkan pemberdayaan perempuan sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan dengan problematika lainnya. Sebab dari semua problematika di atas jelas melibatkan perempuan dan juga membutuhkan keterlibatan perempuan.