versi cetak (representasi sikap media dalam konstruksi doc

30
REPRESENTASI OPINI MEDIA DALAM KONSTRUKSI REALITAS ISU KORUPSI SOEHARTO (Analisis Semiotika Sosial Terhadap Isu Penyelesaian Hukum Kasus Korupsi Soeharto Dalam Editorial SKh. Republika) Hasyim Ali Imran 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Korupsi merupakan fenomena klasik yang telah lama ada dan kebanyakan paka meyakini usianya sudah setua peradaban masyarakat. Diantaranya, sejarawan Onghok (1983), menurutnyakorupsi ini telah ada ketika manusia mulai mengenal hidup berkelompok 2 . Bukti konkrit yang dikemukakan Eep Saefulloh Fatah (1998) 3 mengenai penemuan tindakan-tindakan korupsi di masa Raja Hammurabi dari Babilonia naik ta pada tahun 1200 SM, kiranya dapat menjadi penegas apa yang diyakini O tersebut. Namun, jika dikaitkan dengan pendapat Onghokham sendiri bahwa korupsi ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum dengan mana pemisahan itu sendiri tidak dikenal dalam konsep kekuasaan tradision melainkan hanya dalam sistem politik modern 4 , maka tentulah contoh yang dikemukakan Eep Saefulloh Fatah tadi menjadi tidak koheren sehubungan konsep kekuasaan pada Raja Hammurabi sendiri, sesuai jamannya diketahui berindikasi masih lebih bernua dalam konsep kekuasaan tradisional 5 . Selanjutnya, dalam hubungan opini Onghokham bahwa korupsi ada ketika oran mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum, dengan mana hanya dikenal dalam sistem politik modern, maka ini berarti korupsi mulai dikena sistem politik modern dikenal. Menurut Thamrin 6 konsepsi mengenai korupsi sendiri baru muncul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari pejabat negara dan keuangan jabatannya. Hal yang demikian, berarti korupsi seca sebenarnya sudah ada sejak masa-masa sistem politik tradisional, namun secara ko baru muncul pada saat sistem politik modern dikenal. Prinsip ’pemisahan muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Saks seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal k dianggap sebagai tindak korupsi. Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau 1 Peneliti Madya (614 point) Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta, d/h BPPI Wilay II Jakarta, Badan Litbang SDM Depkominfo RI. 2 Paul SinlaEloE, dalam http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies . 3 Ibid . 4 Thamrin, Muhammad Husni, http://thamrin.wordpress.com/2006/07/18/definisi-korupsi/ 5 Dalam konsep kekuasaan tradidonal raja atau pemimpin adalah negara itu sendiri. Ia tidak mengen pemisahan antara raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja mene upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan diri pribadi atau keluarganya. Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan politik y tangan raja bukan berasal dari rakyat dan ia rakyat sendiri menganggap wajar jika seorang raja m manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut.(Thamrin,Muhammad-Husni, http://thamrin.wordpress.co 2006 /07/18/definisi-korupsi/) 6 ibid. 1

Upload: ulvhe-manizhe

Post on 21-Jul-2015

144 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

REPRESENTASI OPINI MEDIA DALAM KONSTRUKSI REALITAS ISU KORUPSI SOEHARTO (Analisis Semiotika Sosial Terhadap Isu Penyelesaian Hukum Kasus Korupsi Soeharto Dalam Editorial SKh. Republika) Hasyim Ali Imran1 PENDAHULUAN Latar Belakang Korupsi merupakan fenomena klasik yang telah lama ada dan kebanyakan pakar meyakini usianya sudah setua peradaban masyarakat. Diantaranya, sejarawan Onghokham (1983), menurutnya korupsi ini telah ada ketika manusia mulai mengenal hidup berkelompok2. Bukti konkrit yang dikemukakan Eep Saefulloh Fatah (1998)3 mengenai penemuan tindakan-tindakan korupsi di masa Raja Hammurabi dari Babilonia naik tahta pada tahun 1200 SM, kiranya dapat menjadi penegas apa yang diyakini Onghokham tersebut. Namun, jika dikaitkan dengan pendapat Onghokham sendiri bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum, dengan mana pemisahan itu sendiri tidak dikenal dalam konsep kekuasaan tradisional melainkan hanya dalam sistem politik modern4, maka tentulah contoh yang dikemukakan Eep Saefulloh Fatah tadi menjadi tidak koheren sehubungan konsep kekuasaan pada masa Raja Hammurabi sendiri, sesuai jamannya diketahui berindikasi masih lebih bernuansa dalam konsep kekuasaan tradisional5. Selanjutnya, dalam hubungan opini Onghokham bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum, dengan mana hanya dikenal dalam sistem politik modern, maka ini berarti korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal. Menurut Thamrin6 konsepsi mengenai korupsi sendiri baru muncul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Hal yang demikian, berarti korupsi secara faktual sebenarnya sudah ada sejak masa-masa sistem politik tradisional, namun secara konseptual baru muncul pada saat sistem politik modern dikenal. Prinsip pemisahan itu sendiri muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi. Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau1

Peneliti Madya (614 point) Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta, d/h BPPI Wilayah II Jakarta, Badan Litbang SDM Depkominfo RI.2 Paul SinlaEloE, dalam http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies.3

Ibid. Thamrin, Muhammad Husni, http://thamrin.wordpress.com/2006/07/18/definisi-korupsi/ 5 Dalam konsep kekuasaan tradidonal raja atau pemimpin adalah negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan antara raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya. Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan politik yang ada di tangan raja bukan berasal dari rakyat dan ia rakyat sendiri menganggap wajar jika seorang raja memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut.(Thamrin,Muhammad-Husni, http://thamrin.wordpress.com / 2006 /07/18/definisi-korupsi/) 6 ibid.4

1

otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat. Secara etimologi konsep korupsi diketahui berasal dari bahasa Latin: corruptio, dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok7. Menurut Merriam-Webster online dictionary, korupsi disebut dengan corrupt yang secara etimologi disebutkan berasal dari bahasa Latin, corruptus, past participle of corrumpere. Sebagai kata kerja transitive, corrupt berarti to change from good to bad in morals, manners, or actions8 Istilah korupsi ini pada abad pertengahan diadopsi kedalam bahasa Inggris, yakni "Corruption" dan bahasa Belanda, yaitu "Corruptie" untuk menjelaskan atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan(Sudarto, 1986)9. Pengertian korupsi secara leksikal juga dapat dijumpai dalam al Quran. Hanna E.Kassis, dalam bukunya the Concordance of the Quran (1983) 10, menafsirkan pengertian korupsi dalam beberapa kata, yakni bur, dakhal, dassa, afsada, fasada, khaba'ith, khubutta, yang cukup disebut. Arti semua itu memang berkaitan dengan rusak, kerusakan, dan merusak. Dalam surat Al Baqarah :205 dkatakan bahwa "Allah tidak menyukai kerusakan (korupsi)."Demikian pula larangan untuk berbuat korupsi, pengrusakan,pelanggaran (Qs.AlQoshash:77). Dalam surat An Nahl :92 disebut istilah dhahal yang terdapat dalam anak kalimat "kamu dijadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat untuk saling menipu di antara kamu". Di sini pengertian korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan kesepakatan (yang mengandung kekuatan hukum) sebagai alat penipuan. Dengan demikian, korup berarti perbuatan yang melanggar hukum yang berakibat merusak tatanan yang sudah disepakati. Tatanan bisa berwujud pemerintahan, administrasi atau manajemen11 maupun masyarakat. Dalam perspektif agama lain, misalnya Buddha, maka korupsi adalah penyalahgunaan atau penyelewengan uang bukan miliknya untuk keperluan pribadi ataupun orang lain. Dengan demikian korupsi merupakan suatu perbuatan yang tentunya didahului oleh kehendak atau niat untuk berbuat, di samping adanya kesempatan untuk berbuat, dan tentu adanya uang bukan miliknya, serta keperluan pribadi ataupun orang lain.12 Sedang dalam perspektif agama Hindu, korupsi disebutkan sebagai perbuatan adharma. Artinya, yaitu sikap dan tindakan seseorang/kelompok orang yang merugikan dan berakibat penderitaan orang lain/masyarakat. Dengan demikian, sikap dan tindakan dalam bentuk apapun yang merugikan orang lain, memiliki yang bukan haknya adalah perbuatan

7

8

http://www. Wikipedia.com. merriam-webster online dictionary, ( http://www.merriam-webster.com/dictionary/corrupts).

9 Paul SinlaEloE, dalam http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies. 10

Dalam, Betty Rosalina, Korupsi dalam Perspektif Sosio-Kultural, dalam , http://www.kammi. or.id/last/lihat.php?d=materi&do=view&id=240. 11 Ibid. 12 Bhikkhu Jotidhammo, M.Hum, 2006, Korupsi Merupakan Perbuatan Yang Tidak Terpuji Dalam Ajaran Sang Buddha, dalam Menuju Masyarakat Anti Korupsi, Perspektif Agama Buddha, Jakarta, Departemen Komunikasi dan Informatika, hal. 3.

2

korupsi yangbertentangan dengan dharma.13 Sementara dalam perspektif agama Khonghucu, korupsi dinilai sebagai perbuatan yang sangat menjijikkan dan ditabukan, dan korupsi ini bertentangan dengan perikemanusiaan (Ren) dan kebenaran (Yi). Perihal korupsi ini sendiri tertuang dalam sebuah ayat dalam kitab mereka, yaitu kitab Zengguang Xianwen. Bunyi ayatnya, Qiancai Ru Fentu, Renyi Zhi Qianjin, yang berarti : Uang dan kekayaan yang diperoleh dengan tidak berlandaskan kebenaran, maka uang dan kekeyaan tersebut bagaikan tahi bercampur tanah, dan jika uang dan kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar, maka uang dan kekeyaaan tersebut bagaikan seribu keping emas murni.14 Dengan paparan perspektif berbagai agama mengenai korupsi barusan, kiranya dapat disimpulkan bahwa tidak ada agama yang mengakui bahwa korupsi sebagai perilaku baik atau terpuji. Jadi, perbuatan korupsi itu ternyata menjadi suatu perbuatan yang dilarang oleh semuan agama. Secara konseptual, menurut pandangan sosiologis konsep korupsi sulit dibatasi karena berkaitan dengan perbedaan budaya,Setiap orang mengetahui apa korupsi politik itu, namun demikian sangat sulit mendefinisikannya. Budaya yang berbeda memiliki konsepsi yang berbeda mengenai korupsi. Apa yang dipertimbangkan sebagai korupsi di Denmark misalnya, maka bisa jadi merupakan sesuatu hal yang sangat sederhana di Indonesia.15 Namun demikian, sejumlah pihak tetap berupaya memberikan batasannya menurut versi masing-masing. Korupsi sebagai istilah dalam politik, oleh Joseph Senturia dalam ensiklopedia ilmu-ilmu social (Encyclopedia Social Science) didefenisikan sebagai " Penyalahgunaan kekuasaan bagi keuntungan pribadi". Oleh David H.Barley: "korupsi, sementara berkaitan dengan perbuatan suap, dalam arti umum mencakup semua penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan untuk mendapatkan manfaat pribadi, yang selalu bersifat moneter. Korupsi adalah penggunaan jabatan untuk tujuan diluar kepentingan resmi. Korupsi terdiri atas berbagai jenis : suap, pemerasan, menjajakan pengaruh, nepotisme, pemalsuan, uang pelicin, penggelapan dan sebagainya16 Dalam definisi yang sangat luas, korupsi merupakan tingkah laku pejabat pemerintah yang melanggar batas-batas hukum untuk mengurus kepentingan sendiri dan merugikan orang lain. (Waterbury, 1994). Sedangkan untuk pengertian yang lebih dipersempit, Eep Saefulloh Fatah (1998), mendefinisikan korupsi sebagi penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, keluarga atau klik, melampaui batas-batas yang dibuat oleh hokum 17 Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan13

Suharso bayu Kuntoro, S.Ag., 2006, Penanggulangan Korupsi dalam Perspektif Hindu, dalam Menuju Masyarakat Anti Korupsi, Perspektif Agama Hindu, Jakarta, Departemen Komunikasi dan Informatika, hal.16. 14 W.S. Januardi, SE, 2006, Korupsi dalam pandangan Khonghucu, dalam Menuju Masyarakat Anti Korupsi, Perspektif Agama Khonghucu, Jakarta, Departemen Komunikasi dan Informatika, hal. 187.15

http://allword.com. Robert Klitgaard & Ronald Maclean , Penuntun Pemberantasan Korupsi, sebagaimana dikutip Betty Rosalina dalam http://www.kammi. or.id/last/lihat.php?d=materi&do=view&id=24016 17 Paul SinlaEloE, dalam http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies.

3

wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, menurut Mochtar Mas'oed (1994) tindakan yang disebut korupsi adalah transaksi di mana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga untuk memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintah18. Menurut Namibia's Zero Tolerance for Corruption Campaign, korupsi diartikan sebagai setiap orang yang secara langsung atau tak langsung menerima, menyetujui atau menerima gratifikasi dari orang lain untuk keuntungan diri sendiri atau orang lain merupakan kesalahan kriminal korupsi. Orang yang mengajukan tawaran kepada orang lain untuk berkomitmen melakukan praktik korupsi juga bersalah atas kejahatan korupsi. Dikatakan pula bahwa Corruption involves behaviour on the part of persons in which they improperly enrich themselves or those close to them by misusing power with which they have been entrusted. Singkatnya, korupsi adalah penyalahgunaan fasilitas umum demi keuntungan pribadi.19 The 'Lectric Law Library, korupsi merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberi suatu keuntungan yang tidak konsisten dengan kewajiban resmi dan hak-hak orang lain. Hal demikian termasuk penyuapanTerkadang korupsi dipahami sebagai sesuatu perbuatan yang melawan hukum; misalnya seperti , a contract by which the borrower agreed to pay the lender usurious interest. It is said, in such case, that it was corruptly agreed, etc.20 Transparency International (TI) mendefinisikan bahwa corruption is an abuse of (public) power for private gain that hampers the public interest. corrupt entails a confusion of the private with the public sphere or an illicit exchange between the two spheres.21 Secara definisi operasional, korupsi kemudian dijabarkan TI tersebut sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan demi perolehan keuntungan pribadi.22. Di Indonesia, korupsi sendiri diartikan sebagi suatu penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.23 Secara yuridis, sebagaimana yang tertera dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah korupsi artinya dipersempit menjadi: "Setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara". Mengenai bagaimana kondisi yang memungkinkan terjadinya korupsi, maka dalam terminologi kriminologi, disebutkan bahwa korupsi akan terjadi sesuai dengan rumus C=I+M, di mana C berarti Corruption/Korupsi, I berarti Intention/Niat, dan M sama dengan Moment/Kesempatan.24 Dengan rumus tersebut dimaksudkan bahwa korupsi akan terjadi jika ada niat dan kesempatan. Dalam hubungan ini Robert Klitgaard, dkk (2002) berpendapat bahwa penyebab terjadinya korupsi dapat dijelaskan dengan rumus C=M+DA.25. Rumus ini menerangkan bahwa korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli18 Paul SinlaEloE, dalam http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies. 19

Namibia's Zero Tolerance for Corruption Campaign, dalam http://www.anticorruption.info/corr def.htm/. The 'Lectric Law Library,dalam http://www.lectlaw.com/def/c314.htm. 21 Sebagaimana dikutip Namibia's Zero Tolerance for Corruption Campaign dalam (http://www.anticorruption.info/corr def.htm/taken Augustust 1, 2007.) 22 (http://www.transparency.org/news_room/faq/corruption_faq) 23 KBBI, 1995.20 24 Paul SinlaEloE, dalam http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies25

C=Corruption/Korupsi, =Monopoly/MonopoliKekuasaan,D=Discreation/Kewenangan,A=Accountability/

4

kekuasaan yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas26. M.Dawan Rahardjo dalam artikelnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), perbuatan korupsi timbulnya karena dipengaruhi oleh beberapa factor. Pertama, apakah kelembagaan pemerintah itu memberikan kesempatan kepada perbuatan korupsi. Kedua, lingkungan budaya yang memepengaruhi psikologi orang-seorang. Ketiga, pengaturan ekonomi yang mungkin memberikan tekanan-tekanan tertentu.27 Sementara pendapat lain menyebutkan terjadinya praktek korupsi, yakni karena kelemahan moral, tekanan ekonomi, hambatan struktur administrasi, hambatan struktur sosial (Singh,1974). Sedang Kartono (1983) melalui risetnya menemukan penyebab korupsi adalah karena adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman28. Secara lebih komprehensif, kondisi-kondisi yang mendukung terwujudnya korupsi meliputi : Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.;Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah;Kampanyekampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.;Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar;.Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".;Lemahnya ketertiban hukum.;Lemahnya profesi hukum.;Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.;Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.;Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan; perhatian yang cukup ke pemilihan umum.; Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye"29. Terkait dengan bagaimana korupsi itu dipraktekkan, menurut Onghokham sebagaimana dikutip Thamrin30, ada dua dimensi di mana korupsi bekerja. Dimensi pertama terjadi di tingkat atas, di mana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar. Sementara itu dalam dimensi kedua, umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak . Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya31. Dengan demikian, diketahui bahwa korupsi sebenarnya dapat terjadi dalam dua dimensi, dimensi tingkat atas dan menenagahbawah. Namun, dari sejumlah definisi mengenai korupsi, korupsi yang terjadi pada dimensipertanggungjawaban. Ibid. 27 dalam,Betty Rosalina dalam http://www.kammi. or.id/last/lihat.php?d=materi&do =view &id=240 28 dalam Paul SinlaEloE, http://groups yahoo.com/group/Indonesian-studies. 29 (http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi). 30 Onghokham,dalam,http://209.85.175.104/search?q=cache:YFUQ0MxLdGoJ:thamrin. blogspot.com/ 2006/05/indonesia-and-corruption-based on.html+corruption+by+Onghokham&hl =en&ct= clnk&cd=1. 31 Thamrin, Muhammad Husni, ,http://209.85.175.104/search?q=cache:YFUQ0MxLdGoJ:thamrin. blogspot.com/2006/05/indonesia-and-corruption.26

5

kedua tampaknya kurang mendapatkan penekanan, melainkan lebih ditekankan pada dimensi pertama, yakni yang terjadi pada level atas. Sebagai perilaku bersifat negatif, menurut sejumlah pihak korupsi itu memiliki dampak negatif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut Sarah Lery Mboeik (2004), dampak negatifnya berupa penciptaan disharmoni dan disintegrasi bangsa, baik berdasarkan kelompok/golongan atau berdasarkanetnis dan semakin lebarnya jurang perbedaan sosial-ekonomi antara pelbagai lapisan masyarakat. Akibat lainnya berupa pemunculan ketidakstabilan pemerintahan, terjadinya revolusi sosial dan menimbulkan ketimpangan sosial budaya (J. S. Nye, 1967). Menurut M. Mc Mullan (1961), tindak korupsi juga dapat berakibat pada tidak efisiennya pelayanan pemerintah, kepada masyarakat, ketidak adilan dalam kehidupan bernegara, terjadinya pemborosan sumber-sumber kekayaan negara, rakyat tidak mempercayai pemerintah dan terjadinya ketidakstabilan politik. Sedangkan menurut mantan Wapres Amerika Serikat, Al Gore (1999), korupsi merupakan sumber penyebab runtuhnya suatu rezim32. Sementara Gatot Sulistoni, Ervyn Kaffah & Syahrul Mustofa (2003) membagi dampak korupsi menurut tiga kategori, yakni: politik, ekonomi dan sosial-budaya. Secara politik, akibatnya berupa rusaknya tatanan demokrasi dalam kehidupan bernegara. Dari aspek ekonomi, contoh dampaknya dapat berupa penghambat bagi pembangunan ekonomi rakyat. Sedang dari aspek sosial diantaranya masyarakat pada sebagian besar tidak lagi menghiraukan aspek profesionalisme dan kejujuran (Fairness).33Ada pula yang mengidentifikasikan dampak negatif korupsi itu dari segi politis dapat mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor publik, korupsi dapat menimbulkan distorsi dengan cara mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak34. Di Indonesia, menurut sementara pihak fenomena korupsi sudah relatif parah. Anawary (2005) berpendapat bahwa korupsi sudah merambah kemana-mana menggerogoti batang tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Menurut Gadrida Rosdiana Djukana (2007), tindak korupsi di Indonesia juga telah mengakibatkan tingginya angka kemiskinan, bombastisnya tingkat kematian ibu hamil, parahnya angka kekerasan terhadap perempuan, melonjaknya angka putus sekolah, meningkatnya pengidap gizi buruk dan merebaknya persoalan kriminalitas35. Menurut hasil survei mengenai Corruption Perceptions Index (CPI) yang dilakukan Transparency Internasional (TI) tahun 2001, Indonesia memang termasuk satu di antara 13 negara yang terkorup di dunia ini. Negara lainnya yaitu (disusun menurut abjad) Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina. Hasil polling online Transparency Internasional (TI) Indonesia per 31 Januari 2008 juga menunjukkan 79% responden setuju kalau Indonesia termasuk salah satu dari 38 negara terkorup di dunia, dengan mana lembaga peradilan

3233

Dalam, Paul SinlaEloE, dalam http://groups. Yahoo.com/group/indonesian-studies. Ibid. 34 http://www. Wikipedia.com. 35 Dalam, Paul SinlaEloE, dalam http://groups. Yahoo.com/group/indonesian-studies.

6

Indonesia disetujui semua responden sebagai institusi tertinggi tingkat korupsinya36. Fenomena empirikal yang demikian, dengan demikian tentunya dapat menjadi penguat bagi opini sebelumnya mengenai kondisi korupsi di Indonesia. Terhadap kondisi korupsi di Indonesia yang demikian rupa, pemerintahan pada era reformasi dalam periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menyadarinya dan berkomitmen tinggi untuk memeranginya. Sebagai perwujudannya, untuk efektifitasnya pemerintah membentuk institusi khusus dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam operasional upaya pemberantasan korupsi, institusi ini mengacu pada pengertian sebagaimana tertera dalam Pasal 3 UU no. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, di mana disebutkan bahwa korupsi adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatuatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negar. 37 Dengan pengertian ini, melalui undang-undang yang sama, definisi korupsi secara konkrit dijelaskan dalam 13 pasal. Berdasarkan pasal-pasal dimaksud, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi, dengan mana, ke-30 bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi korupsi-korupsi yang berkaitan dengan persoalan : kerugian keuangan negara; suap-menyuap; penggelapan dalam jabatan; pemerasan; perbuatan curang; benturan kepentingan dalam pengadaan; dan gratifikasi38. Sejak beroperasinya, banyak kasus korupsi berhasil diungkap oleh KPK. Beberapa diantaranya yang termasuk kasus korupsi besar dan populer adalah menyangkut fenomena korupsi di tubuh organisasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bank Indonesia (BI) khususnya terkait kucuran dana BLBI yang hingga kini jumlah tersangkanya dari lingkungan DPR semakin bertambah. Meskipun demikian, dalam kaitan kasus korupsi mantan Presiden Soeharto (Pak Harto), berindikasi kalau KPK kurang menunjukkan peran yang lebih besar dalam upaya penanganannya. Peran lebih besar melainkan lebih banyak ditangani Kejaksaan Agung. Dalam proses penanganannya pernah berujung pada pengeluaran SP3 terhadap kasus Pak Harto. Keputusan hukum ini, sebagaimana direpresentasikan lewat konstruksi realitas berbagai media, kemudian banyak mendapat protes dari berbagai pihak, dinilai sebagai keputusan yang kurang adil dan sarat dengan nuansa politis serta kurang sesuai dengan kaidah hukum Indonesia sebagai negara hukum yang menempatkan setiap individu bersamaan kedudukannnya di depan hukum. Satu dari sejumlah media yang merepresentasikan masalah penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto lewat konstruksi realitasnya dalam media yaitu SKh Republika. Harian ini mengkonstruksikan realitas penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto dimaksud bukan melalui format pemberitaan yang bersumber pada nara sumbernya, melainkan direpresentasikan melalui rubrik editorial (tajuk rencana). Suratkabar Republika tercatat dua kali secara berurutan mengkonstruksikan penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto, pertama dalam editorial edisi 11 Mei 2006 dan kedua pada edisi 17 Mei 2006. Dari dua konstruksi realitas ini, ada indikasi bahwa Republika merepresentasikan sikap yang mendua. Dalam konstruksi pertama merepresentasikan opininya yang kurang tegas,36 37

Transparency Internasional (TI) Indonesia , dalam http://www.ti.or.id/polling/9/. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2006, Memahami Untuk Membasmi, Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, KPK, hal. 11. 38 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2006, Memahami Untuk Membasmi, Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, KPK, hal. 4-5.

7

yakni dengan cara hati-hati menilai kasus dugaan Korupsi Pak Harto harus diselesaikan secara hukum. Dalam editorial kedua, dari konstruksinya merepresentasikan sikap yang relatif sama, namun media melalui editorialnya yang bertitel Selesaikan dengan Hukum, tampak sudah memeperlihatkan opininya yang tegas, bahwa Pak Harto itu, kasusnya harus diselesaikan secara hukum. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan argumen pada bagian latar belakang sebelumnya, maka melalui penelitian ini, dengan menganalisis teks dalam editorialnya, secara lebih jauh akan coba diketahui representasi sikap organisasi redaksi SKh. Republika melalui konstruksi realitasnya terhadap isu penyelesaian hukum kasus gugaan korupsi Pak Harto. Guna maksud tersebut, permasalahan penelitian ini dirumuskan menjadi sbb. : (1) Bagaimana media mengkonstruksi isu penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak Harto melalui tampilan tanda-tanda dalam editorialnya?; (2) Bagaimana tanda-tanda tersebut merepresentasikan opini media terhadap isu penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak Harto? Tujuan Penelitian Dengan rumusan permasalahan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : konstruksi media melalui tampilan tanda-tanda dalam editorialnya mengenai isu penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto. Mengetahui representasi opini media terhadap isu penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto berdasarkan konstruksinya melalui tanda-tanda yang ditampilkan dalam editorial. Signifikansi Penelitian Secara teoritis temuan penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi ilmiah tentang studi konstruksi realitas media mengenai teks korupsi, khususnya menyangkut teks penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto. Secara praktis, bagi media temuannya diharapkan dapat menjadi masukan dalam upayanya menjaga prinsip obyektifitas dalam pemediaan pesan. Sementara, bagi pihak-pihak yang berada di luar proses konstruksi realitas, diharapkan temuannya dapat menjadi bahan peningkatan kadar media literacy, khususnya menyangkut teks korupsi yang berkait dengan penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIK Media massa seperti media cetak suratkabar memiliki sejumlah fungsi dan satu diantaranya fungsi cultural transmision39 Terkait dengan fungsi ini, Walter Lippmann (1998 : 3 28) dengan dalil populernya world outside and pictures in our heads, berpendapat bahwa media berfungsi sebagai pembentuk makna dan melalui interpretasinya mengenai berbagai peristiwa secara radikal dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu realitas dan pola tindakan mereka. Hal ini dimungkinkan karena sebagaimana dikatakan Sobur media memang dapat menampilkan sebuah cara dalam memandang39

Wright, Charles R. 1988, Sosiologi Komunikasi Massa, Ed. Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Remadja Karya dan Littlejohn, Stephen W, (1996), Theories of Human Communication, Washington: Wadsworth Publishing Company.

8

realita.40 Artinya, pandangan terhadap realita itu ditampilkan oleh media dapat dilakukan dengan cara-cara tertentu. Konseptualisasi fenomena mediasi melalui fungsi transmisi budaya dari Lippmann itu sendiri, dalam terminologi pengetahuan dikenal dengan konsep representasi. Secara leksikal representasi sendiri diartikan sebagai suatu kreasi yang memberikan sebuah visualisasi atau gambaran nyata mengenai seseorang atau sesuatu. 41. Dalam arti lain, representasi merupakan hubungan antara tempat, orang, peristiwa dan gagasan dan isi media yang sebenarnya42. The Oxford English Dictionary mengartikan representasi sebagai sebuah upaya untuk mendeskripsikan atau melukiskan sesuatu. Merepresentasikan juga berarti upaya simbolisasi mengenai sesuatu. Dalam kamus Merriam-Webster43, representasi diartikan sebagai satu hal yang merepresentasikan a: sebuah kesenangan artistik atau image b (1): sebuah pernyataan atau nilai yang dibuat untuk mempengaruhi pendapat atau tindakan (2) sebuah pernyataan yang incidental atau sejalan dari fakta yang meyakinkan di mana sebuah kontrak dimasukkan ke dalamnya c: produksi atau penampilan dramatis d (1):a biasanya pernyataan formal yang dibuat bertentangan dengan sesuatu atau untuk mengakibatkan perubahan (2):a biasanya protes yang formal 2:tindakan atau aksi dari mewakili : keadaan yang diwakili: sebagai sebuah: representationalism 2 b (1):tindakan atau fakta dari seseorang terhadap hal lain sehingga memiliki hak dan kewajiban dari orang yang diwakili (2): pengganti sebuah individu atau kelas dalam tempat seseorang. Dengan pengertian leksikal di atas secara substantif dapat diartikan bahwa esensi konsep representasi yaitu berupa sebuah upaya penggambaran sesuatu obyek melalui penggunaan lambang bahasa atau simbol. Upaya penggambaran tersebut bisa tanpa media dan bisa melalui media. Namun, seperti dikatakan akademisi, representasi melalui media merupakan sesuatu hal yang lebih berarti karena dengannya persepsi kita mengenai dunia menjadi lebih luas dan karenanya kita membutuhkan media untuk membuat sense of reality.44 Karena itu pula secara teoritis disebutkan bahwa semua teks media merupakan representasi dari realitas. Namun realitas tersebut bukan realitas yang sesungguhnya, akan tetapi realitas dalam versi si pembuat teks, yakni realitas yang dibentuk oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses mediasi teks45. Versi-versi tertentu yang terkait dalam proses konstruksi realitas atau proses produksi makna lewat bahasa yang dilakukan oleh pekerja media itu sendiri, menurut Ispandriano (2002 : 271) ini sangat tergantung kepada bahan bahan yang dipakai dalam melakukan konstruksi dan sumber sumber yang menjadi bahan untuk rekonstruksi. Juga, konstruksi realitas ini sangat dipengaruhi sejumlah faktor seperti afiliasi ideologis dari pengelola media, lingkungan sosio-politis tempat media berada, sumber sumber acuan yang digunakan media serta sumber sumber kehidupan media. Proses mediasi ini sendiri mencakup tiga hal, yaitu : seleksi (selection), pengorganisasian (organization) dan pemfokusan (focusing). Proses ini menghasilkan realitas dalam versi tertentu sebagaimana tampak dalam media46. Realitas yang40 41

Alex Sobur (2002, hal 93). (http://www.wordreference. com/definition/ pictorial) 42 (Media Literacy ; http://wneo.org/media/glossary.htm). 43 (http://www.merriam-webster.com/dictionary/ representation 44 (http://www.mediaknowall.com/representation.html). 45 (http://www.mediaknowall.com/representation.html 46 Dalam kaitan ini, sebagaimana dikatakan akademisi, The result of this process of mediation is that we are given a version of reality which is altered- those are never the real people that we are seeing but

9

dikonstruksi dalam versi tertentu tersebut karenanya pula memiliki maknanya tersendiri. Sejalan dengan itu, karenanya Hall mendefinisikan fenomena ini sebagai representasi 47, yang diartikannya sebagai proses produksi makna lewat bahasa.48. Dengan begitu, bahasa karenanya jadi berkedudukan penting dalam representasi. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna atau proses produksinya mengenai sesuatu hal ini sangat tergantung dari cara kita 'merepresentasikannya'. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.49 Dengan demikian, selain nilai-nilai, maka hal-hal tersembunyi lainnya seperti opini dan sikap, melalui pengamatan terhadap simbol-simbol dan sejenisnya yang digunakan dalam perepresentasian sesuatu, juga akan dapat memberikan kejelasan mengenai makna opini dan sikap atas sesuatu hal. Mengenai bagaimana representasi menghubungkan makna dan bahasa dalam kebudayaan, maka menurut Stuart Hall sebagaimana dikutip Juliastuti50, prosesnya ada dua. Pertama, representasi mental. Representasi mental yaitu konsep tentang 'sesuatu' yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, 'bahasa', yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita, harus diterjemahkan ke dalam 'bahasa' yang lazim supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem 'peta konseptual' kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara 'peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara 'sesuatu', peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi. Dalam kaitannya dengan mediasi pesan dalam rangka representasi yang dilakukan oleh media, maka sebagaimana dikatakan dalam terminologi Timur, makna yang diberikan itu cenderung tidak lepas dari persoalan ideologi media.51 Ideologi yang dalam istilah Aart Van Zoest, disampaikan media melalui teks52 guna memanipulasi pembaca itu, denganrepresentations of them which have somehow been created. (http://www.mediaknowall.com /representation.html 47 Menurut Stuart Hall (1997) dalam Nuraini Juliastuti (2000) rekonstruksi atau representasi ini merupakan salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi 48 Hall, Stuart, dalam Juliastuti, Nuraini, Representasi, dalam, http://www.kunci.or.id/esai/nws/04/ representasi.htm 49 Juliastuti, Nuraini, Representasi, dalam, http://www.kunci.or.id/esai/nws/04/ representasi.htm 50 Juliastuti, Nuraini, Representasi, dalam, http://www.kunci.or.id/esai/nws/04/ representasi.htm 51 Gramsci, sebagaimana dikutip Alex Sobur,(2004), dalam , Analisis Teks Media : Sebuah Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 64. 52 Aart Van Zoest, dalam Alex Sobur,(2004), dalam , Analisis Teks Media : Sebuah Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 60.

10

demikian dapat diartikan menjadi dasar bagi media dalam menentukan makna yang hendak disampaikannya melalui teks media. Teks sendiri diantaranya diartikan sebagai a set of symbols collected together to give meaning.53 Menurut Budiman teks berarti seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dengan kode tertentu54. Sementara Hidayat mendefinisikannya sebagai suatu fiksasi atau pelembagaan sebuah wacana lisan dalam bentuk tulisan.55 Dengan demikian, ini berarti teks merupakan wacana (lisan) yang difiksasikan ke dalam bentuk teks56 melalui medium tertentu seperti media cetak suratkabar. Suratkabar sendiri, dalam mengkonstruksi realitasnya guna merepresentasikan sikapnya mengenai bermacam hal, dapat dilakukan melalui bentuk wacana teks. Wujud wacananya dapat dilakukan melalui bermacam bentuk, diantaranya editorial. Editorial sendiri memiliki banyak sinonim, diantaranya tajuk rencana, leader writer, catatan redaksi, dan induk karangan. Definisinya sendiri, sebagaimana dikemukakan Lyle Spencer yaitu : ..... is a presentation of fact and opinion in concise, logical, pleasing order for the sake of intertaining, of influencing opinion, or of interpretating significant news in such a way that its infortance to the average reader will be clear.57 Jika diartikan dengan bebas, maka tajuk rencana itu merupakan penyajian fakta dan opini yang disusun secara ringkas, logis, dan menyenangkan untuk menghibur, mempengaruhi opini atau menginterpretasikan berita penting sedemikian rupa sehingga yang pentingnya itu menjadi jelas bagi rata-rata pembaca. Tujuan penyajian teks melalui editorial sendiri memiliki keragaman, namun satu diantaranya yang pasti adalah untuk mempengaruhi. Menurut Assegaf yang dipengaruhi itu yaitu pendapat para pembuat kebijakan dalam pemerintahan atau masyarakat. 58 Sementara menurut Josept Pulitzer, editorial itu dibuat agar memiliki daya untuk mempengaruhi opini publik secara keseluruhan, ... power to influence public opinion.59 Dengan mengetahui bahwa penyajian teks melalui editorial itu memiliki tujuan tertentu, terutama yakni untuk dapat mempengaruhi opini publik dan terhadap kalangan pembuat kebijakan dalam pemerintahan atau masyarakat khususnya, maka ini menjadi relevan dengan asumsi-asumsi yang dikemukakan para teoritisi Timur sebelumnya, bahwa editorial sebagai salah satu bentuk fiksasi teks lisan ke dalam bentuk tulisan memang tidak terlepas dari sesuatu tujuan yang dilatarbelakangi oleh suatu ideologi tertentu. Menurut Eriyanto, tujuan dimaksud diantaranya berupa usaha memarjinalisasikan kelompok lain. Karena menurutnya teks merupakan sarana sekaligus media melalui mana satu kelompok

5354

http://www.ilstu.edu/~jrbaldw/372/Representation.htm

Budiman, Arif, dalam Alex Sobur,(2004), Analisis Teks Media : Sebuah Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 60. 55 Alex Sobur,(2004), Analisis Teks Media : Sebuah Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 60. 56 Alex Sobur,(2004), dalam , Analisis Teks Media : Sebuah Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 60. 57 Effendy, Onong Uchyana, (2000), Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung, Cutra Aditya Bakti, PT., hal.135. 58 Assegaf, Djafar, (1983), Jurnalistik masa Kini, Jakarta, Ghalia Indonesia,hal.64. 59 Josept Pulitzer, sebagaimana dikutip Effendy, Onong Uchyana, (2000), dalam Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung, Citra Aditya Bakti, PT., hal.135.

11

mengunggulkan diri sendiri dan memarjinalkan kelompok lain, dan karenanya representasi itu menjadi penting untuk dibicarakan.60 Kepentingan menelaah representasi menurut Eriyanto menyangkut dua hal, pertama guna mengetahui apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata semestinya ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya, ataukah diburukkan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.61 Terkait dengan gagasan Eriyanto barusan, itu berarti bahwa dalam menelaah representasi suatu teks, maka terkait dengan upaya mengetahui dua kepentingan tadi, posisi semiotika menjadi penting kedudukannya. Kepentingan ini terutama lagi jika dikaitkan dengan penilaian Halliday bahwa teks itu merupakan hasil lingkungannya, hasil pemilihan makna yang terus-menerus, yang dapat digambarkan sebagai jalan setapak atau jalan kecil melalui jaringan-jaringan yang membentuk suatu sistem kebahasaan62. Menurut Halliday dan Hasan konsep semiotik mulanya berasal dari konsep tanda, dan kata modern ini ada hubungannya dengan semainon (penanda) dan semainomenon (petanda) yang digunakan dalam ilmu bahasa Yunani kuno oleh para pakar filsafat Stoik. Semiotik sendiri berarti kajian umum tentang tanda-tanda,63 dengan mana ilmu bahasa hanya merupakan suatu jenis dari semiotik yang mempelajari satu segi kajian tentang makna64.Oleh Humberto Eco tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.65 Mengenai jumlahnya, menurut Mansoer Pateda sekurang-kurangnya ada sembilan macam semiotik, yaitu semiotik analitik, semiotik deskriptif, semiotik faunal (zoosemiotic), semiotik kultural, semiotik naratif, semiotik natural, semiotik normatif, semiotik sosial dan semiotik struktural.66 Dengan demikian, semiotika ternyata memiliki banyak jenis dan salah satunya yaitu semiotika sosial. Semiotika sosial, yaitu jenis semotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat.67 Menurut Halliday dan Hasan sendiri, semiotika sosial yaitu suatu pendekatan yang memberi tekanan pada konteks sosial, yaitu pada fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa. Perhatian utamanya terletak pada60 61

Eriyanto, (2001), Analisis Wacana, Yogyakarta, LKiS, hal.113. Eriyanto, (2001), Analisis Wacana, Yogyakarta, LKiS, hal.113. 62 Halliday. M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, (1994), Bahasa, Konteks, dan Teks, Aspek-Aspek bahasan dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta, Gadjahmada University Press, hal. 15. 63 Halliday. M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, (1994), Bahasa, Konteks, dan Teks, Aspek-Aspek bahasan dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta, Gadjahmada University Press, hal. 3. 64 Halliday. M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, (1994), Bahasa, Konteks, dan Teks, Aspek-Aspek bahasan dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta, Gadjahmada University Press, hal. 4. 65 Humberto Eco, dalam Alex Sobur, Analisis Teks Media: Sebuah Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 64. 66 Mansoer Pateda, dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 100-101. 67 Mansoer Pateda, dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 100-101.

12

hubungan antara bahasa dengan struktur sosial, dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial68. Sehubungan dengan suatu bahasa dalam sebuah teks itu ditentukan oleh fungsi sosial, karenanya Halliday menilai bahwa di balik sebuah teks sesungguhnya terdiri dari makna-makna.69 Makna sendiri memiliki banyak sinonim, yakni meliputi : sense, denotation, import, purport, purpose, definition, object, implication, application, intent, suggestion, connotation, symbolization, aim, drift, significance, essence, worth, intrinsic value, interest.70 Secara leksikal, diantaranya berarti the symbolic value of something71. Dalam pandangan akademisi, definisi makna diantaranya dikemukakan Douglas Brown, yakni sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa72. Dari dua pengertian ini, kiranya makna dapat diartikan sebagai kecenderungan total pihak tertentu untuk menggunakan suatu bentuk bahasa guna menyimbolkan nilai sesuatu hal. Terkait dengan pendapat Halliday bahwa makna itu terkandung di dalam teks, maka Halliday dan Ruqaiya hassan, sebagai pengembang Semiotika Sosial menilai bahwa teks itu pada hakikatnya memuat tiga komponen penting. Terkait dengan ini, sebagaimana dikutip dan dijelaskan Hamad, maka ketiga komponen tadi meliputi : Pertama, yaitu Medan Wacana (field of discourse) : menunjuk pada hal yang terjadi : - Apa yang dijadikan wacana media massa mengenai sesuatu yang sedang terjadi di lapangan;Bagaimana media memandang peristiwa Bentrokan antara dua kelompok yang berlainan wilayah dan agama ? Apakah sebuah media mengambil medan wacana perang antar agama?, ataukah perkelahian antar kampung? Kedua, yaitu Pelibat Wacana (tenor of discourse): menunjuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks (misal berita); sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka. Dalam sebuah laporan (berita) ada orang dengan posisi atau jabatannya masing-masing dikutip. Mengapa orang-orang itu menjadi nara sumber dan yang lainnya tidak. Mengapa sebuah koran dalam peristiwa itu banyak mengutip satu pihak; kurang di pihak lain? Benarkah atas alasan teknis belaka? Apalagi jika menyangkut satu pihak ditonjolkan yang baik-baiknya saja, sedangkan kalau menyangkut pihak lainnya diketengahkan pendapat yang miring-miringnya saja. Ketiga, yaitu Sarana Wacana (mode of discourse) : menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa : bagaimana komunikator (baca, media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip); Apakah menggunakan bahasa yang diperhalus atau hiperbolik, eufimistik atau vulgar?. Apakah sebuah koran menyatakan bahwa kelompok Islam menyerang ataukah kelompok Islam diserang? ataukah dua kampung itu saling serang?73 Selanjutnya, berkaitan tujuan aplikasi Semiotika Sosial dalam analisis isi media, Hamad berpendapat bahwa ini maksudnya tidak lain adalah untuk menggunakan komponen Semiotika Sosial dari M.A.K. Halliday dan Ruqaiya Hassan dalam kepentingan68

Halliday. M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, (1994), Bahasa, Konteks, dan Teks, Aspek-Aspek bahasan dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta, Gadjahmada University Press, hal. 5. 69 1 Halliday. M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, (1994), Bahasa, Konteks, dan Teks, Aspek-Aspek bahasan dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta, Gadjahmada University Press, hal. 14. 70 http://www.yourdictionary.com/meaning 71 Allwords.com meaning 72 Sobur, Alex, (2004), Semiotika Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 15. 73 Hamad, Ibnu, (2007), Analisis Wacana (Discourse Anlisis) Sebuah Pengenalan Awal, Jakarta, Diktat Perkuliahan Methode Penelitian Komunikasi Kulaitatif, PPS MIK UPDM (B) Jakarta, hal. 14-15.

13

menemukan hal terkait dengan tiga komponen Semiotika Sosial sebelumnya. Dijelaskan, dari segi Medan Wacana (field of discourse) maka tujuannya untuk mengetahui apa yang dijadikan wacana media massa mengenai sesuatu yang terjadi di lapangan. Diperlakukan apa sebuah obyek berita? Terkait Pelibat Wacana (tenor of discourse), maka untuk megetahui orang-orang yang dicantumkan dalam teks (seperti berita, editorial, dll) ; sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka. Sementara dari segi Sarana Wacana (mode of discourse), untuk mengetahui bagian yang diperankan oleh bahasa : bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip). Bagi keperluan praktis, kandungan tersebut memberikan implikasi apa ?(diantararanya yaitu berupa makna, citra, opini dan motif).74 Sebagai salah satu bentuk implikasi dari kandungan yang terdapat dalam teks, maka opini disebutkan sinonim dengan view, sentiment, feeling, belief, conviction, persuasion75. Secara leksikal diantaranya berarti A belief or conclusion held with confidence but not substantiated by positive knowledge or proof. Atau, a judgment or estimation of the merit(dalam hubungan) of a person or thing.76 Jadi, inti pengertian opinion itu adalah kepercayaan, kesimpulan, penilaian atau perkiraan dalam kaitannya dengan seseorang atau sesuatu. Para akademisi sendiri memiliki beragam definisi mengenai opinion atau pendapat tersebut. Menurut Albig, pendapat yaitu pernyataan seseorang mengenai suatu masalah kontroversial, lain dari kebiasaan, atau sedikit-dikitnya terdapat pandangan yang berlainan mengenai hal tersebut.77 Sementara Soekanto mengatakan, pendapat itu merupakan ekspresi tersembunyi dari suatu sikap78. Dengan demikian, ini berarti representasi sikap terdapat dalam pendapat. Dalam kaitan ini, Eriyanto mengemukakan bahwa yang mendasari pendapat itu bukan hanya sikap melainkan termasuk pula kepercayaan. Sikap dan kepercayaan menjadi dasar baginya (bagi seseorang : penulis) dalam mengemukakan pendapat terhadap berbagai kejadian, peristiwa atau obyek khusus yang terjadi setiap hari79. Batasan Konsep Konstruksi realitas media adalah fiksasi atau konstruksi Redaksi Harian Republika mengenai realitas upaya penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan mantan Presiden Soeharto melalui teks dalam rubrik editorial. Representasi opini media adalah makna atau simbolisasi pendapat media mengenai realitas upaya penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan mantan Presiden Soeharto yang dihasilkan berdasarkan makna wacana yang diarahkan oleh konstruksi realitas media. METHODOLOGI74

Hamad, Ibnu, (2007), Analisis Wacana (Discourse Anlisis) Sebuah Pengenalan Awal, Jakarta, Diktat Perkuliahamn Methode Penelitian Komunikasi Kulaitatif, PPS MIK UPDM (B) Jakarta, hal. 15. 75 http://www.thefreedictionary.com/opinion 76 http://www.answers.com/topic/opinion?cat=biz-fin 77 Albig, sebagaimana dikuti Sunarjo, Djoenasih, S., (1984), Yogyakarta, Liberty, hal.31. 78 Soekanto, Soerjono, (1983), Kamus Sosiologi, Jakarta, Rajawali Press, hal. 239. 79 Eriyanto, ,Metoda polling, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, hal. 214

14

Penelitian dengan pendekatan kualitatif80 ini dilaksanakan dengan mengacu pada paradigma konstruktivis81. Metode yang digunakan yaitu metode analisis semiotika sosial82 terhadap teks dalam editorial SKh. Republika. Data dikumpulkan dengan Teknik Analisis teks Semiotika Sosial Halliday. Obyek kajian dalam riset ini yaitu teks media menyangkut penyelesaian hukum kasus korupsi Soeharto yang dimediasi dalam editorial SKh. Republika edisi 11 Mei dan 17 Mei 2006. Unit analisisnya yaitu : topik, teks, detail, maksud, kata, kalimat/bentuk kalimat, kata ganti, skema, proposisi, leksikon, asumsi, nominalisasi, dan gaya bahasa. Analisis data dilakukan dengan mengacu pada analisis Semiotika Sosial dari M.A.K. Halliday. Dalam analisisnya, metode ini mengacu pada tiga aspek dalam Semiotika Sosial, yaitu : 1) Medan Wacana (field of discourse): tujuannya untuk mengetahui apa yang dijadikan wacana media massa mengenai sesuatu yang terjadi di lapangan; 2) Pelibat Wacana (tenor of discourse), untuk megetahui orang-orang yang dicantumkan dalam teks melalui format editorial yang berhubungan dengan sifat orangorang itu, kedudukan dan peranan mereka dalam teks; 3) Sarana Wacana (mode of discourse), untuk mengetahui bagian yang diperankan oleh bahasa : bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa83 untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip). Menurut Halliday dan Ruqaiya Hasan ketiga konsep ini digunakan untuk menafsirkan konteks sosial teks, yaitu lingkungan terjadinya pertukaran makna.84 PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN Dalam bagian ini akan disajikan hasil penelitian menyangkut dua permasalahan pokok penelitian ini. Masalah pokok penelitian ini yaitu : (1) Bagaimana media mengkonstruksi isu penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto melalui tampilan tanda-tanda dalam editorialnya?; (2) Bagaimana tanda-tanda tersebut merepresentasikan opini media terhadap isu penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto? Teknis penyajiannya dilakukan dengan mengikuti urutan permasalahan dimaksud. Hasilnya sbb. : A. Konstruksi Media melalui tampilan tanda-tanda dalam editorial Terhadap isu penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto Sesuai metode yang telah ditetapkan menyangkut sumber data, maka sumber data penelitian ini menyangkut teks dalam tajuk Republika pada edisi 11 Mei dan 1780

Penelitian kualitatif yaitu sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau tulisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati., dalam : Moelong, Lexy, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung , P.T Remaja Rosdakarya, hal. 3. 81 Sebuah paradigma yang memandang bahwa kebenaran dan pengetahuan obyektif sesungguhnya bukan ditemukan melainkan diciptakan oleh individu (Schwandit, 1994:128). 82 Metode ini bertujuan untuk mengetahui fungsi sosial atau makna dibalik teks melalui tiga aspek semiotika social yan gmencakup medan wacana, pelibat wacana dan moda wacana. 83 Dalam kaitan penggunaan gaya bahasa dalam mode wacana ini Sudibyo berpendapat, dalam praktiknya ada media yang menggunakan gaya bahasa yang bersifat eksplanatif, persuasif, metaforis, hiperbolis, dan lain-lain., dalam : Sudibyo, Agus, (2001), Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta, LKiS, hal. 129. Gaya metaforis misalnya, merupakan gaya bahasa yang bersifat metafora, yakni gaya bahasa yang dalam penggunaan kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan, misal tulang punggung dalam kalimat Pemuda adalah tulang penggung negara. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,(2005), Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 739. 84 Halliday. M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, (1994), Bahasa, Konteks, dan Teks, Aspek-Aspek bahasan dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta, Gadjahmada University Press, hal.16.

15

Mei 2006. Terkait dengan ini, maka penyajiannya akan dimulai dengan hasil penelitian menyangkut teks dalam tajuk edisi 11 Mei dan disusul dengan edisi 17 Mei 2006. 1. Tajuk edisi 11 Mei 2006 Hasil penelitian terhadap teks dalam tajuk edisi 11 Mei 2006 disajikan dalam tabel berikut ini. Tajuk pada edisi 11 Mei 2006 sendiri memfiksasikan isu penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto itu melalui tajuk yang berjudul Soeharto dan Fatsoen Pengampunan. Temuan berdasarkan analisis semiotika sosial Halliday terhadap tajuk tersebut, disajikan dalam tabel berikut : Tabel 1: Hasil analisa TAJUK 11-05-2006Kategori Medan Wacana (field of discourse) Temuan -Mungkin sebagian besar bangsa ini akan memilh memaafkan Soeharto atau bahkan menilainya tak bersalah. Yang dibutuhkan adalah landasan tata nilainya.(p11) Keterangan Pengampunan Soeharto berhubungan dengan dukungan tata nilai yang berkaitan dengan bagaimana sejarah membaca sepak terjang Pak Harto dimasa lalu, yang banyak jasanya bagi bangsa dan negara. Selain itu, Dukungan tata nilai erat kaitannya dengan peran pemerintah membentuk suatu tindakan politis dan hukum dalam kasus ini. Semua orang yang dicantumkan dalam teks adalah para petinggi dalam kepemimpinan institusi negara, legislatif eksekutif dan Yudikatif. Selain Sudi Silalahi, mereka semuanya menyatakan Kasus Soeharto ditutup saja dan perlu mendapat pengampunan karena jasanya yang besar terhadap bangsa dan negara Indonesia.

Pelibat Wacana (tenor of discourse)

1) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 2) Soeharto, Mantan Presiden 3) Yusril Ihza Mahendra, Menteri Sekretaris Negara, 5) Sudi Silalahi, Sekretaris Kabinet, 6) Jusuf Kalla, Wakil Presiden, 7) Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi, 8) Zaenal Maarif, Wakil Ketua DPR, 9) Muladi, Gubernur Lemhannas, dan 10) Pimpinan MPR. 1) parade pembesuk(P2) 2) Kini, kata reformasi menjadi lelucon, dihindarkan, dan bau(p5). 3) Melalui pengaburan nilai, kita dibuat tolol. ..... Semua limbahnya dicekokkan ke mulut rakyat.(p6) 3)ungkapan deskriptif dan eksplanasi mengenai keadaan reformasi sekarang pasca Soeharto dinyatakan dalam paragraf (p4 -11) 4) ..... kita menganut asas mikul duwur mendem jero, atau ... ; konglomerat hitam saja kita ampuni, masa Soeharto yang banyak jasanya ...... kita tak mengampuni?; ...... apa bahasanya?(p.10). 5)-Pengampunan dilakukan

Sarana Wacana (mode of discourse)

Melihat kata-katanya penuh dengan metafora yang menyindir seperti kata- kata parade pembesuk dan ungkapan-ungkapan analogi yang keras (sarkastis) seperti tolol dan dicekokkan dari penulis,serta ungkapan euphimisme melalui jargon Orba mikul duwur mendem jero, menunjukkan suatu ketidaksenangan media atas tindakan pemerintah yang mengikuti arus pengampunan. Sebuah komparasi dihadirkan dalam badan tulisan yang diorientasikan pada tampaknya pencitraan situasi lemahnya bidang penegakan hukum, yang juga

16

berdasarkan justifikasi atas lemahnya cenderung dijadikan bahan justifikasi penegakan hukum pada banyak kasus bagi pengampunan , kemudian lainnya, ini diantaranya tersurat pada : ditutup oleh paragraf yang ..tak ada penilep BLBI dan mempertanyakan tindakan tersebut rekapitulasi yang masuk penjara, dengan mengajukan kata tata nilai. bahkan mereka bisa mengendalikan Hal ini juga dapat diterjemahkan negeri ini) p.6); Para konglomerat sebagai kepatutan hukum atau hitam sibuk berinvestasi dari satu supremasi hukum dalam hal ini negeri ke negeri lain.(p7); menegnal ditafsirkan sebagai proses hukum penjahat kemanusiaan sebagai Soeharto. pahlawan..(p9); Konglomerat hitam saja diampuni, masa Soeharto yang berjasa banyak tidak diampuni?(p10). Sumber : Hasil Pengolahan data, 2008. Keterangan , p= paragraf

a. Medan Wacana (field of discourse) Menyangkut temuan mengenai aspek medan wacana dalam semiotika sosial Halliday, maka wacana yang coba dikemukakan media adalah menyangkut kejelasan tata nilai dalam penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto dan bahwa mantan Presiden Soeharto adalah dalang dari ricuh reformasi bidang penegakan hukum saat ini. Terlihat dari judul Soeharto dan Fatsoen Pengampunan dan lead serta ending, bahwa ada pernyataanpernyataan yang bersifat pesimis, sinis dan negatif terhadap wacana pengampunan mantan Presiden Soeharto yang diutarakan secara deskriptif dan tidak langsung. Artinya pernyataan-pernyataan ini menjadi pengantar ke ide sebenarnya mengenai posisi media terhadap kasus Soeharto. Pada konteksnya tampak posisi media terhadap kasus Soeharto memang terbelah menjadi dua pendapat besar, tidak setuju pengampunan karena tidak ada dasar tata nilainya dan setuju. Ketidaksetujuan Republika mengenai opininya itu digambarkan antara lain dengan teks sinis berupa: Yang menarik, tak ada satu partaipun yang bersuara menentang arus pengampunan tersebut....(p. 3 kalimat 4). Selain itu juga dengan cara mengajukan pertanyaan retoris bersifat sinis menyangkut tata nilai terhadap setiap contoh kasus lemahnya penegakan hukum, misalnya : Maka tata nilai apakah yang hendak kita wariskan?(p.7 kalimat 4; p.9 kalimat 5). Sedang opini media yang sifatnya setuju, ini digambarkan tidak seintens pada opininya yang tidak setuju tadi. Hal ini melainkan direpresentasikan dengan cara hati-hati dan tidak tegas. Ini tercermin dari tidak beraninya pihak media bahwa itu merupakan opininya sendiri. Dalam kaitan ini media menggambarkannya dengan kata-kata mungkin sebagian besar bangsa; memilih memaafkan ; dan menilainya tak bersalah dalam kalimat Mungkin sebagian besar bangsa ini akan memilih memaafkan Soeharto atau bahkan menilainya tak bersalah. (p. 11 kalimat 1). Selain itu sikap kesetujuan media ini juga mengindikasikan kegamangan atau ketidakaslian sikapnya mengenai wacana pengampunan itu sendiri. Ada kesan, kalimat dalam pragraf terakhir ini merupakan keterpaksaan yang sekedar ingin aman mengingat pemunculannya yang bersifat ujug-ujug yang tak nyambung sama sekali dengan opini media pada paragraf-paragraf sebelumnya yang sarat dengan kepesimisan dan kesinisan terhadap upaya penegakan hukum di negeri ini. Dari kesinisannya itu, sepertinya media ini 17

berusaha juga menyerang dan menyudutkan sepak terjang pemerintah. Ini dapat dilihat bahwa wacana yang terbentuk juga wacana pemerintah tidak becus menangani agenda reformasi di bidang penegakan hukum. b. Pelibat Wacana (tenor of discourse) Dari sisi pelibat wacana, disebutkan beberapa pejabat yang menjadi bacground bagi penjelasan selanjutnya. Tidak ada sumber yang dilibatkan dalam teks itu bukan berasal dari institusi negara. Republika juga menempatkan semua pihak yang pro terhadap pengampunan Pak Harto. Para pejabat yang dikemukakan yaitu : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Yusril Ihza Mahendra, Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, Sekretaris Kabinet, Jusuf Kalla, Wakil Presiden, Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi, Zaenal Maarif, Wakil Ketua DPR, Muladi, Gubernur Lemhannas, dan Pimpinan MPR. Dengan pencantuman para petinggi negara itu, para sumber yang tentunya strategis dalam memutuskan status hukum Pak Harto, yang nota bene semuanya setuju soal pengampunan, dengan demikian dapat diartikan bahwa penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto secara de facto memang sudah selesai, ditutup. Namun, dari segi penegakan hukum, ini tetap bermakna ketidakmampuan pemerintah untuk menyelesaikan masalah Soeharto dalam hubungannya dengan masalah hukum dan ini dengan sendirinya menjadi sebuah kelemahan dan ketidakmampuan pemerintahan SBY. Dalam hal ini disebutkan secara jelas para menteri kabinet SBY dan dilanjutkan pada penjelasan betapa morat-maritnya orde reformasi ini dan ditutup oleh suatu tuntutan berupa pertanyaan tentang tata nilai termasuk dasar hukum yang intinya sebuah kejelasan, dalam hal ini wacana dan idenya adalah kejelasan kasus Soeharto. c. Sarana Wacana (mode of discourse) Dari sisi mode wacana, gaya bahasanya banyak mengandung metafor. Di sini metafor biasanya berusaha untuk memfokuskan suatu ide pada suatu kondisi. Dalam hal ini metafor yang dibentuk merupakan sindiran negatif ke arah pemerintah yang begitu lemah terhadap kasus Soeharto. Karenanya, beramairamai mengikuti arus pengampunan. Republika menggambarkan sindiran itu dengan kalimat, Kini, kata reformasi menjadi lelucon, dihindarkan, dan bau(p5 kalimat 1). Atau, ..... kita menganut asas mikul duwur mendem jero, atau ... ; (p.10 kalimat 2). Selain itu, kesinisan atas Pengampunan dilakukan media berdasarkan justifikasi atas lemahnya penegakan hukum pada banyak kasus lainnya, ini diantaranya tersurat pada : .... tak ada penilep BLBI dan rekapitulasi yang masuk penjara, bahkan mereka bisa mengendalikan negeri ini) p.6); Para konglomerat hitam sibuk berinvestasi dari satu negeri ke negeri lain.(p7); menegenal penjahat kemanusiaan sebagai pahlawan..(p9); Konglomerat hitam saja diampuni, masa Soeharto yang berjasa banyak tidak diampuni?(p10). 2. Tajuk edisi 17 Mei 2006 Hasil penelitian terhadap teks dalam tajuk edisi 17 Mei 2006 disajikan dalam tabel berikut ini. Tajuk pada edisi 17 Mei 2006 sendiri memfiksasikan isu 18

penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak Harto melalui tajuk dengan judul Selesaikan dengan Hukum. Temuan berdasarkan analisis semiotika sosial Halliday terhadap tajuk ini disajikan dalam tabel berikut : Tabel 2 Hasil analisis Tajuk 17-05-2006Kategori Medan wacana Temuan 1) Selesaikan dengan hukum (judul) 2) ..perlunya landasan tata nilai....(p1 kalimat 1). 3) dapatkah masalah kesehatan menjadi alasan demi hukum (p8 kalimat 1) 4) Kita berharap hukum menemukan jalan bagi masalah ini(P 11 kalimat 1) ; Kita ingin hukum tegak....(p11 kalimat 2) 1) Soeharto 2) Kejaksaan Agung 3)Nursjahbani Katjasungkana/ praktisi hukum yang Anggota DPR RI 4) Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan 5)mahasiswa yang merasa reformasi kian menjauh, melakukan penolakan di mana-mana(p2 kalimat 4). 6) Sebagian ahli hukum 7) hakim jalanan 8) Pihak Pro dan kontra SKPP 1) Aura semula yang.. .pengampunan Soeharto.. (p2)-- eupimisme 2) penolakan dimana-mana(p2)-hiperbolik 3) situasi makin keruh..tak jelas lagi batas antara politik dan hukum(p3)---metaforis 4) ....bangsa ini kembali terseret (metaporis) pada watak untuk memperlebar masalah; mumpungisme.....(p3)---sarkastis 5) demi hukum (P5)-(euphimisme) 6) Polemik bergulir kencang (metaforis) (p2 kalimat 1. Keterangan Kasus Soeharto diselesaikan melalui jalur hukum karena penerbitan SKPP melawan tata nilai hukum yang ada.

Pelibat wacana

Pihak-pihak yang dicantumkan adalah pihak yang berpihak dan tidak perpihak terhadap SKPP. Secara kuantitas pencantuman lebih banyak menghadirkan pihak atau orang-orang yang tidak berpihak pada pemerintah dengan SKPP-nya. Deskripsi penjelasan sifatnya lebih banyak mendukung kepada pendapat yang menginginkan Soeharto diproses seperti pendapat anggota DPR.

Mode wacana

Terlihat adanya gaya bahasa hiperbola, metaforis yang cenderung langsung dan agak kasar (sarkastis) bukan bersifat menghaluskan, ini menekankan bahwa tulisan ini mencoba menghadirkan suatu ide tentang dilanjutkanya proses hukum Pak Harto ketimbang proses hukum yang dihentikan demi hukum itu.

Sumber : Hasil pengolahan data, 2008

a. Medan Wacana (field of discourse) Menyangkut komponen medan wacana ini maka di sini tajuk ingin menempatkan wacana Soeharto dalam suatu kerangka tentang penyelesaian kasus secara hukum. Keluarnya kebijakan pemerintah cq Kejaksaan Agung RI berupa

19

penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) sebagai bentuk penyelesaian hukum atas kasus dugaan korupsi yang dilakukan mantan Presiden Soeharto, oleh media ini diwacanakan sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan tata nilai hukum. Juga, penyelesaian hukum ala pemerintah ini diwacanakan media sebagai mumpungisme yang dinilai dapat semakin mengaburkan persoalan. Berdasarkan pewacanaan SKPP tidak sesuai dengan tata nilai hukum, dalam hal ini dimaksudkan Pasal 140 KUHAP (p. 6 dan p 9), media karenanya merepresentasikan opininya bahwa penyelesaian hukum atas kasus dugaan korupsi yang dilakukan mantan Presiden Soeharto harus ditempuh lewat jalur hukum. Opini media ini, terlihat dari fiksasi wacananya seperti Selesaikan dengan Hukum (judul). Tanpa melalui proses penyelesaian hukum, menurut media ini proses hukumnya dapat diambil alih oleh hakim jalanan(p11 kalimat 3). Dengan demikian ini dapat ditafsirkan bahwa dari aspek medan wacana, pemediaan pesan dalam editorial ini lebih mengarah pada pada makna bahwa Kasus Soeharto harus diselesaikan melalui jalur hukum sehubungan penerbitan SKPP tidak sesuai dengan tata nilai hukum yang ada, yakni pasal 140 KUHAP. b. Pelibat Wacana (tenor of discourse) Dari kategori pelibat wacana, sebenarnya orang atau pihak yang dilibatkan memang cukup banyak, mencapai tujuh pihak. Mereka terdiri dari : mantan Presiden RI, Soeharto, Kejaksaan Agung, Nursjahbani Katjasungkana, Anggota DPR RI, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Mahasiswa, Sebagian ahli hukum dan hakim jalanan. Jadi, pencantuman pihak-pihak yang dilibatkan terlihat banyak yang tidak disertai nama pihak itu sendiri, melainkan dengan menggantinya dengan nama institusi dan status atau atribut dari pihak yang dicantumkan. Pihak atau orang yang dicantumkan dengan posisi atau jabatannya hanya terjadi Nursjahbani Katjasungkana saja, yakni seorang praktisi hukum dan juga menjadi anggota DPR RI. Sumber ini digambarkan media sebagai pihak yang secara implisit menolak pengampuan Pak Harto. Dalam editorial ini difiksasikan dengan, .....Ia mendukung langkah pra peradilan atas tindakan Jaksa Agung menerbitkan SKPP. (p8 kalimat 3). Sementara mengenai pihak-pihak yang dicantumkan lainnya, media tidak menyebut nama pihak-pihak dimaksud secara eksplisit. Terhadap sebagian besar pihak yang dimediasi tanpa nama tersebut, media merepresentasikan sebagai pihak yang sifatnya tidak setuju atas SKPP yang dikeluarkan pihak eksekutif cq Kejaksaan Agung RI dalam wacana penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak harto. Penggambaran yang demikian dalam editorial difiksasikan dengan : Mahasiswa yang merasa reformasi kian menjauh, melakukan penolakan di mana-mana. (p2 kalimat 4); Sebagian ahli hukum yang digambarkan secara implisit tidak setuju denga SKPP terhadap Pak Harto, dengan kalimat .... penutupan perkara berdasarkan pasal 140 hanya bisa terjadi sebelum penuntut umum melakukan penuntutan..... (p9 kalimat 3); dan hakim jalanan yang diwacanakan media pasti menolak SKPP dan akan mengambil alih proses hukumnya sendiri terhadap Pak Harto. Dalam editorial ini dimediasi media dengan kalimat, Kita tak mau hakim jalanan mengambil alih.(p.11 kal. ke-3).

20

Terkait pihak-pihak lainnya, yakni seperti Soeharto, Kejaksaan Agung dan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, kecuali pak Harto yang tidak dimediasi sepatah katapun pernyataannya dalam kaitan SKPP itu, media menggambarkan sifat mereka itu sebagai pihak yang mendukung pengampunan Pak Harto. Dalam editorial, Republika menerakannya dengan kalimat, Kajari Jakarta Selatan, membuat SKPP........... karena perkara ditutup demi hukum.(P 5 kalimat 1). Kejaksaan Agung mengeluarkan SKPP(p1 kalimat 2), yang menurut media terkesan tergesa-gesa. Sedang pihak pro dan kontra SKPP digambarkan sebagi pihak yang mumpungisme (p3 kalimat 2) yang memperkeruh persolan terkait reaksinya terhadap pengeluaran SKPP. Meskipun media mencoba merepresentasikan pelibat yang pro terhadap SKPP atas Pak Harto, anakan tetapi pada akhirnya pendapat pelibat yang dijadikan rujukan kesimpulan oleh media tampak lebih kepada pendapat anggota DPR Nursjahbani Katjasungkana. Pendapatnya ini sendiri cenderung mengarah pada pilihan untuk melanjutkan kasus Soeharto. Sehingga dari segi pelibat wacana ini bisa ditemukan bahwa penyertaan pihak tertentu dalam tulisan ini mengarah pada makna tentang bagaimana kasus Soeharto itu untuk dilanjutkan dan dituntaskan dalam kerangka hukum. c. Sarana Wacana (mode of discourse) Dari kategori sarana atau mode wacana, penggunaan gaya kebahasaan yang hiperbolis, euphimisme, sarkastis dan metaforis lebih merupakan sindiransindiran kepada pihak pemerintah dan kubu Soeharto tentang wacana dihentikannya kasus soeharto melaui penerbitan SKPP. Ini bermakna bahwa media melalui tajuknya ini berusaha memaknai kasus Soeharto terkait pengampunanya, adalah sebagai sesuatu yang negatif dan bertentangan dengan hukum dan idealisme mereka/media (idealisme reformasi). Maknanya juga diarahkan pada ide dan wacana bahwa Soeharto adalah bersalah dan patut dihukum. Disatu sisi media terlihat sebenarnya agak tidak langsung, tetapi melalui sindiran. Ketidaklangsungan ini sangat terasa ketika dalam penyampaian idenya itu kerap memakai kata kita. Bukan kami yang justru mempertegas subyek pembuat teks, atau mempertegas jarak antara media sebagai pembuat teks dan khalayak sebagai pihak yang berada di luar proses mediasi. Dengan kita, di sini media sangat tampak berusaha agar makna yang hendak disampaikannya mengenai kasus Pak Harto itu juga sebagai opini atau sikap para pihak yang berada di luar mereka, yaitu khalayak pembaca. Ini bisa mengarah pada penghalusan ataupun penekanan (pressure) pada ide tertentu untuk menyudutkan secara halus. B. Representasi opini media terhadap isu penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto melalui tanda-tanda yang difiksasikan dalam Editorial Seperti sudah disebutkan sebelumnya dalam bagian awal tulisan ini, bahwa persoalan kedua penelitian ini menyangkut Bagaimana tanda-tanda tersebut merepresentasikan opini media terhadap isu penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak Harto? Dengan pertanyaan tersebut dimaksudkan agar dapat diketahui representasi

21

opini media terhadap isu penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto berdasarkan konstruksinya melalui tanda-tanda yang ditampilkan dalam editorial. Upaya mengetahui ini sendiri dilakukan dengan cara menganalis teks dalam editorial/tajuk Republika dalam edisi 11 dan 17 Mei 2006. Berdasarkan temuan berdasarkan analisis semiotika siosial Halliday menyangkut editorial edisi 11 Mei 2006, berkaitan dengan aspek medan wacana maka wacana yang coba dikemukakan media adalah menyangkut kejelasan tata nilai dalam penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto dan bahwa mantan Presiden Soeharto adalah dalang dari ricuh reformasi bidang penegakan hukum saat ini. Sehubungan pewacanaannya itu kerap dimediasikan melalui penggunaan tanda-tanda yang merepresentasikan sifat pesimis, sinis dan negatif terhadap wacana pengampunan mantan Presiden Soeharto yang diutarakan secara deskriptif dan tidak langsung maka berdasarkan analisis dapat diinterpretasikan bahwa itu merepresentasikan opini media yang sebenarnya tidak setuju atas pengampunan karena tidak memiliki landasan tata nilai. Berkaitan dengan komponen Pelibat Wacana dalam konteks semiotika sosial, dengan mana media berdasarkan pewacanaannya secara berlawanan arus mempertanyakan tata nilai yang pada intinya sebuah kejelasan atas pengampunan Soeharto sebagai sebuah kebijakan pemerintah yang disuarakan oleh semua pelibat yang nota bene terdiri dari para menteri kabinet SBY, kiranya ini merepresentasikan opini media bahwa mereka sebenarnya tidak setuju terhadap pengampunan itu sendiri. Kemudian menyangkut sisi Sarana Wacana atau mode wacana, dengan gaya bahasa yang digunakan media banyak mengandung metaforis, sarkastis seumpama mengenal penjahat kemanusiaan sebagai pahlawan.. , tak ada penilep BLBI .... masuk penjaradan sinis seperti mikul duwur mendem jero dan reformasi menjadi lelucon dan bau yang dibentuk guna penyindiran negatif ke arah pemerintah yang begitu lemah terhadap banyak kasus penegakan hukum termasuk kasus Pak Soeharto, secara semiotik ini menandakan bahwa media pada dasarnya beropini tidak setuju atas kebijakan pengampunan Pak Harto itu. Selanjutnya, terkait temuan tajuk edisi 17 Mei 2006 menyangkut komponen medan wacana, maka di sini tajuk ingin menempatkan wacana Soeharto dalam suatu kerangka tentang penyelesaian kasus secara hukum. Dengan warning berupa akan terjadinya pengambilalihan proses hukum oleh hakim jalanan jika jalur penyelesaiannya bukan berdasarkan tata nilai hukum yang ada, pemediaan pesan dalam editorial ini tampak lebih mengarah pada upaya merepresentasikan makna opininya yang setuju mengenai penyelesesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak Harto harus ditempuh melalui jalur hukum. Dengan kata lain, media beropini bahwa Pak Harto harus diadili melalui jalur hukum pidana. Dari kategori pelibat wacana, sehubungan dengan temuannya yang menunjukkan bahwa penyertaan pihak tertentu dalam tulisan ini mengarah pada makna tentang bagaimana kasus Soeharto itu untuk dilanjutkan dan dituntaskan dalam kerangka hukum, kiranya ini dapat ditafsirkan sebagai upaya media merepresentasikan opininya dalam memandang persoalan penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak Harto. Opini media sendiri cenderung direpresentasikan dalam bentuk setuju.

22

Mengenai aspek sarana atau mode wacananya, maka dengan penggunaan gaya kebahasaan yang hiperbolis, euphimisme, sarkastis dan metaforis yang lebih merupakan sindiran-sindiran kepada pihak pemerintah dan kubu Soeharto tentang wacana dihentikannya kasus soeharto melaui penerbitan SKPP, media berupaya merepresentasikan makna bahwa Pak Soeharto terkait pengampunanya, adalah sebagai sesuatu yang negatif dan bertentangan dengan hukum dan idealisme mereka/media (idealisme reformasi). Dengan makna yang demikian maka secara semiotis ini menandakan bahwa media, meskipun tampak berusaha mengambil posisi aman dalam pengungkapannya karena tidak berani mengklaim dirinya secara langsung dengan menggunakan kata kami melainkan justru kerap memakai kata ganti orang pertama jamak seperti kita, namun pada dasarnya pendapat mereka sangat setuju terhadap penyelesesaian kasus dugaan korupsi Pak Harto itu harus ditempuh melalui jalur hukum C. Pembahasan Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal tulisan ini, bahwa tujuan penelitian melalui dua permasalahan yang diangkatnya, yaitu berupaya untuk mengetahui konstruksi media melalui tampilan tanda-tanda dalam editorialnya mengenai isu penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto dan mengetahui representasi opini media terhadap isu penyelesaian hukum kasus korupsi Pak Harto berdasarkan konstruksinya melalui tanda-tanda yang ditampilkan dalam editorial. Guna kepentingan tersebut penelitian ini menjadikan editorial/tajuk Republika edisi 11 Mei dan 17 Mei 2006 sebagai sumber datanya. Sejalan dengan temuan penelitian, maka berdasarkan analisis semiotika siosial Halliday menyangkut editorial edisi 11 Mei 2006, berkaitan dengan aspek medan wacana maka wacana yang coba dikonstruksikan media mengenai adalah menyangkut kejelasan tata nilai dalam penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto. Pemediasiannya sendiri kerap melalui penggunaan tanda-tanda yang merepresentasikan sifat pesimis, sinis dan negatif terhadap wacana pengampunan mantan Presiden Soeharto yang diutarakan secara deskriptif dan tidak langsung. Berkaitan dengan komponen pelibat wacana dalam konteks semiotika sosial, dengan mana media berdasarkan pewacanaannya secara berlawanan arus mempertanyakan tata nilai yang pada intinya mengarahkan makna adanya sebuah kejelasan atas pengampunan Soeharto sebagai sebuah kebijakan pemerintah yang disuarakan oleh semua pelibat yang berasal dari kalangan eksekutif kabinet SBY. Sementara terkait komponen sarana wacana, maka dengan gaya bahasa yang digunakan media banyak yang mengandung metaforis, sarkastis dan sinis ini bertendensi agar lahirnya makna penyindiran negatif ke arah pemerintah yang begitu lemah terhadap banyak kasus penegakan hukum termasuk kasus Pak Soeharto. Dengan pengetahuan mengenai konstruksi media melalui tampilan tanda-tanda yang dipilihnya dalam teks editorial mengenai isu penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak Harto berdasarkan hasil analisis melalui tiga komponen semiotik dalam semiotika sosial Halliday itu, maka dapat dimaknai bahwa dalam kasus dimaksud media terlihat merepresentasikan opininya yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah yang mengampuni Pak Harto dalam kaitan penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukannya selama berkuasa.

23

Seminggu setelah Republika mewacanakan penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto melalui editorialnya tadi, maka terkait dengan banyaknya protes yang muncul terhadap pengampunan Pak Harto, harian ini kembali mengangkatnya melalui rubrik yang sama pada edisi 17 Mei 2006. Jika pada edisi sebelumnya harian ini mewacanakan tata nilai, maka pada edisi 17 Mei pun kembali soal tata nilai itu mendapat penekanan dalam konstruksinya mengenai realitas proses hukumPak harto. Berdasarkan hasil analisis terhadap tajuk edisi 17 mei 2006 itu, maka menyangkut komponen medan wacananya, di sini tajuk ingin menempatkan wacana Soeharto dalam suatu kerangka tentang penyelesaian kasus secara hukum. Bahkan wacananya itu menempatkan tanda-tanda yang bermaknakan begitu seriusnya unsur proses hukum itu melalui warning berupa akan terjadinya pengambilalihan proses hukum oleh hakim jalanan jika jalur penyelesaiannya bukan berdasarkan tata nilai hukum yang ada. Terkait dengan komponen pelibat wacana, sehubungan dengan temuan yang menunjukkan media melibatkan pihak tertentu yang anti terhadap pengampunan dan menjadikannya sebagai acuan untuk mengakhiri pewacanaan dalam menelaah pengampunan dalam tulisan, ini mengarah pada makna tentang bagaimana kasus Soeharto itu untuk dilanjutkan dan dituntaskan dalam kerangka hukum. Sementara dari segi sarana atau mode wacananya, maka dengan penggunaan gaya kebahasaan yang hiperbolis, euphimisme, sarkastis dan metaforis yang lebih merupakan sindiran terhadap kebijakan pengampunan, ini menandakan bahwa media berupaya merepresentasikan makna bahwa kebijakan pengampunan, merupakan hal negatif dan bertentangan dengan hukum dan idealisme (idealisme reformasi) mereka/media. Berdasarkan pengetahuan mengenai konstruksi media melalui tampilan tandatanda yang dipilihnya dalam teks editorial 17 Mei 2006 mengenai isu penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak Harto yang ditemukan berdasarkan hasil analisis melalui tiga komponen semiotik dalam semiotika sosial Halliday itu, dengan mana menunjukkan makna bahwa media pada dasarnya menginginkan terlaksananya proses hukum pidana dalam penyelesaian kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto, maka hal ini dapat dimaknai bahwa media telah merepresentasikan opininya yang berupa ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah yang mengampuni Pak Harto. Menyimak temuan dan analisis mengenai dua teks dalam editorial sebelumnya, maka Harian Republika dalam mengkonstruksi realitas penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak harto mengindikasikan adanya konsistensi dalam upaya mereka mengarahkan makna yang mereka inginkan, yakni dengan alasan dasar tata nilai, kebijakan pengampunan berlawanan dengan hukum dan idealisme mereka/media (idealisme reformasi) dan karenanya Mantan Presiden Soeharto harus diadili sesuai dengan tata nilai hukum yang ada demi tegaknya hukum dan terlunaskannya rasa keadilan masyarakat. Pengarahan makna yang demikian, meskipun dalam fiksasi wacananya kerap menggunakan simbol kata ganti orang pertama jamak kita yang bermakna mencakup pihak di luar media semisal individu khalayak yang membacanya, dan bukan kami yang bermakna lebih berani dan bertanggung jawab karena langsung menunjuk pihak media itu sendiri sebagai produsen makna lewat bahasa, namun secara semiotik kiranya itu tetap menyimbolkan bahwa pada hakikatnya media ini secara konsisten berpendapat tidak setuju terhadap keluarnya kebijakan pemerintah

24

yang mengampuni Pak Harto dan lebih setuju ditempuh lewat proses jalur hukum. Dengan representasi opini media yang demikian, maka jika dikatakan bahwa opini atau pendapat itu merupakan ekspresi tersembunyi dari sikap, itu berarti opini media tadi sekaligus dapat menjadi representasi sikap mereka dalam memandang isu penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak harto. PENUTUP Berdasarkan dua permasalahan penelitian yang dijadikan topik bahasan, penelitian berupaya mengetahui konstruksi media melalui tampilan tanda-tanda dalam editorialnya mengenai isu penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto selama berkuasa. Kemudian, berdasarkan konstruksinya melalui tanda-tanda yang ditampilkan dalam editorial, penelitian ini juga berupaya mengetahui representasi opini media mengenai realitas penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi Pak Harto itu. Sejalan dengan temuan dan hasil analisisnya maka dapat disimpulkan bahwa : (1) Melalui editorialnya yang dimuat dua kali dengan selang waktu satu minggu, maka Harian Republika dalam mengkonstruksikan realitas upaya penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto selama berkuasa memperlihatkan adanya konsistensi dalam upaya mereka mengarahkan makna yang diinginkannya. Makna yang mereka iginkan yaitu bahwa dengan alasan dasar tata nilai, kebijakan pengampunan sebagai berlawanan dengan hukum dan idealisme mereka yaitu idealisme reformasi dan karenanya Mantan Presiden Soeharto harus diadili sesuai dengan tata nilai hukum yang ada demi tegaknya hukum dan terlunaskannya rasa keadilan masyarakat; (2) Dengan pengarahan makna yang demikian secara konsisten, maka Harian Republika juga merepresentasikan opininya yang konsisten berupa ketidaksetujuan terhadap kebijakan pengampunan yang dikeluarkan pemerintah dalam pewacanaan penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto saat berkuasa; (3) Dalam perepresentasian opininya menyangkut wacana penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto, maka di balik kekerapan media menggunakan kata ganti orang pertama kita dalam konstruksi realitasnya melalui teks dalam tajuk, secara semiotik memberikan makna media sebenarnya kurang berani secara tegas dalam memperlihatkan posisi opini atau sikapnya itu. Daftar Pustaka Albig, sebagaimana dikuti Sunarjo, Djoenasih, S., (1984), Opini Publik, Yogyakarta, Liberty, hal.31. Assegaf, Djafar, (1983), Jurnalistik masa Kini, Jakarta, Ghalia Indonesia,hal.64. Bhikkhu Jotidhammo, M.Hum, 2006, Korupsi Merupakan Perbuatan Yang Tidak Terpuji Dalam Ajaran Sang Buddha, dalam Menuju Masyarakat Anti Korupsi, Perspektif Agama Buddha, Jakarta, Departemen Komunikasi dan Informatika, hal. 3. Departemen Pendidikan Nasional, (2005), Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. Effendy, Onong Uchyana, (2000), Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung, Cutra Aditya Bakti, PT., hal.135. Eriyanto, (2001), Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LkiS.

25

Eriyanto, Metoda polling, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, hal. 214 Halliday., M.A.K. dan Ruqaiya Hasan, (1994), Bahasa, Konteks, dan Teks, Aspek-Aspek bahasan dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta, Gadjahmada University Press, hal. 15. Hamad, Ibnu, (2007), Analisis Wacana (Discourse Anlisis) Sebuah Pengenalan Awal, Jakarta, Diktat Per-kuliahamn Methode Penelitian Komunikasi Kulaitatif, PPS MIK UPDM (B)Jakarta, hal.14-15. Juliastuti, Nuraini (2000), Representasi, dalam, http://www.kunci.or.id/esai/nws/04/ representasi.htm Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2006, Memahami Untuk Membasmi, Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, KPK, hal. 11. Lippman, Walter, Public Opinion With New Introduction by Diterjemahkan oleh S. Maimoen . Jakarta:Yayasasan Obor Michael Curtis,New Jersey; Transaction Publisher, Indonesia, 1999. Moelong, Lexy, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung , P.T Remaja Rosdakarya. Namibia's Zero Tolerance for Corruption Campaign, dalam http://www.anticorruption.info/corr def.htm/. Paul SinlaEloE, dalam http//groups.yahoo.com/group/indonesia-studies Robert Klitgaard & Ronald Maclean , Penuntun Pemberantasan Korupsi, sebagaimana dikutip Betty Rosalina dalam http://www.kammi. or.id/last/lihat.php? d=materi&do=view&id=240 Rosalina,Betty,Korupsi dalam Perspektif Sosio-Kultural,dalam,http://www.kammi. or.id/last/ lihat.php?d=materi&do=view&id=240. Sobur, Alex, (2004), dalam , Analisis Teks Media : Sebuah Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 64. Sobur, Alex, (2004 ), Semiotika Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya. Soekanto, Soerjono, (1983), Kamus Sosiologi, Jakarta, Rajawali Press, hal. 239. Sudibyo, Agus, (2001), Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta, LKiS, hal.129. Suharso bayu Kuntoro, S.Ag., 2006, Penanggulangan Korupsi dalam Perspektif Hindu, dalam Menuju Masyarakat Anti Korupsi, Perspektif Agama Hindu, Jakarta, Departemen Komunikasi dan Informatika, hal.16. Thamrin, Muhammad Husni, dalam, http://thamrin.wordpress.com/2006/07/18/definisikorupsi/ Thamrin, MuhammadHusni, http://209.85.175.104/search?q=cache:YFUQ0MxLdGoJ: thamrin. blogspot.com/2006/05/indonesia-and-corruption. The 'Lectric Law Library,dalam http://www.lectlaw.com/def/c314.htm. Transparency Internasional (TI) Indonesia , dalam http://www.ti.or.id/polling/9/ W.S. Januardi, SE, 2006, Korupsi dalam pandangan Khonghucu, dalam Menuju Masyarakat Anti Korupsi, Perspektif Agama Khonghucu, Jakarta, Departemen Komunikasi dan Informatika, hal. 187. Sumber lain: http://www. Wikipedia.com. Merriam-websteronlinedictionary,(http://www.merriam-webster.com/dictionary/corrupts

26

http://allword.com. http://www.transparency.org/news_room/faq/corruption_faq) http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi. http://www.mediaknowall.com/representation.html http://www.ilstu.edu/~jrbaldw/372/Representation.ht http://www.yourdictionary.com/meaning Allwords.com meaning Paul http://www.thefreedictionary.com/opinion http://www.answers.com/topic/opinion?cat=biz-fin http://www.wordreference. com/definition/ pictorial Media Literacy ; http://wneo.org/media/glossary.htm http://www.merriam-webster.com/dictionary/ representation http://www.mediaknowall.com/representation.html. http://www.mediaknowall.com/representation.html

Lampiran : Tajuk Republika, 11 Mei 2006=fatsoen(n)bld; fatsun(n)Ind.:sopan santun

27

28

Tajuk Republika 17 Mei 2006

29

ooo

30