validasi metoda pengukuran kadar air bubuk … · seasoning powder using moisture analyzer halogen...

120
VALIDASI METODA PENGUKURAN KADAR AIR BUBUK PERISA MENGGUNAKAN MOISTURE ANALYZER HALOGEN HB43-S, SEBAGAI ALTERNATIF METODA OVEN DAN KARL FISCHER HILDA KUMALASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Upload: duongdan

Post on 13-Mar-2019

384 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

VALIDASI METODA PENGUKURAN KADAR AIR BUBUK

PERISA MENGGUNAKAN MOISTURE ANALYZER

HALOGEN HB43-S, SEBAGAI ALTERNATIF METODA

OVEN DAN KARL FISCHER

HILDA KUMALASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Validasi Metoda Pengukuran

Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S,

Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer adalah karya saya sendiri

dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada peguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam tesks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir Tesis ini.

Bogor, Oktober 2012.

Hilda Kumalasari

NIM F252090165

ABSTRACT

HILDA KUMALASARI. Validation of Moisture Content Method in

Seasoning powder using Moisture Analyzer Halogen HB-43S, as alternative of

Oven and Karl Fischer Method. Under direction of RIZAL SYARIEF and

FAHIM M. TAQI.

In seasoning industries, moisture content of the product is one of important

parameters to be measured and reported to assure the food product quality. The

common analysis method to measure it in the food industry is Loss on drying

(LOD) method by oven and Karl Fischer method. The result of LOD method is

recognized as moisture content, while the result of Karl Fischer method

commonly known as water content. The method that preferably used by PT.

Givaudan Indonesia is Loss on drying method. This research aimed to obtain the

heating conditions (temperature) in Moisture Analyzer Halogen HB43-S which

can make the analysis result of this equipment will close to the result of LOD

method using oven UM-400. The data obtained will be tested statistically using

Dunnett Test method that compare these with the control.

The result revealed that the use of Moisture Analyzer HB43-S at 105oC

provided similar result to oven UM-400 method, however the use of oven

methods is still more efficient rather than using Moisture Analyzer for the higher

number of samples that more than 30. Moisture analyzer efficiently used for the

limited samples only. Base on this research result we will use Moisture Analyzer

method for handling the urgent request only. Karl Fischer method suitable for

derivate sucrose products, it is able to replace oven analysis to measure vanilla

flavour. This validation is needed to give information and data that can be used to

expedite the approval of products.

Keywords: oven method, moisture content, Moisture Analyzer

RINGKASAN

HILDA KUMALASARI. Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa

Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif

Metoda Oven Dan Karl Fischer. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF dan

FAHIM M. TAQI.

Pada industri perisa bubuk, kadar air merupakan parameter penting yang

diukur dan dilaporkan dalam rangka pengendalian mutu produk perisa bubuk.

Metode pengukuran kadar air yang banyak digunakan industri adalah dan metode

Loss on Drying (LOD) dengan menggunakan oven dan metode Karl Fischer.

Diantara kedua metode tersebut, metode LOD lebih banyak digunakan di PT.

Givaudan Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suhu pengukuran yang tepat

pada alat Moisture Analyzer HB43-S yang memberikan hasil yang tidak berbeda

nyata dengan hasil kadar air dengan metode oven yang selama ini digunakan.

Hasil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses

pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses

pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke

konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan

contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan

diterapkan di PT Givaudan Indonesia.

Validasi data diperlukan untuk mendapatkan informasi apakah alat tersebut

dapat menggantikan metode oven sehingga dapat digunakan untuk mempercepat

kelolosan produk. Dalam proses validasi tersebut digunakan perhitungan statistik

tes Dunnett yang membandingkan hasil rata-rata seluruh perlakuan dengan data

kontrol. asil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses

pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses

pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke

konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan

contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan

diterapkan di PT Givaudan Indonesia.

Penelitian ini mencakup tiga tahapan penelitian, semua dilakukan dalam

rangka untuk mengembangkan dan memvalidasi metoda pengukuran kadar air

menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S, metoda yang nantinya diharapkan

dapat menjadi alternatif pengganti bagi metoda LOD menggunakan oven dan

metoda Karl Fischer yang selama ini sudah digunakan oleh PT Givaudan

Indonesia sebagai metoda standar pengukuran kadar air produk bubuk perisa.

Penelitian pendahuluan dilakukan terhadap sampel tepung tapioka untuk

melihat kesetaraan hasil pengukuran metoda oven dengan metoda analisis cepat

menggunakan Moisture Analyzer Mettler Toledo Halogen HB43-S. Untuk

memastikan bahwa sampel tapioka yang diukur menggunakan kedua alat tersebut

memiliki kandungan air awal yang identik dan diketahui secara pasti, maka

dilakukan proses penyeragaman kadar air awal sampel.

Sampel tapioka dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yang berbeda, kelompok

A adalah sampel tapioka yang diseragamkan kadar air awalnya menggunakan

iv

larutan garam jenuh MgCl2 (RH25°C=32,73%), kelompok B diseragamkan kadar

air awalnya menggunakan larutan garam jenuh NaCl (RH25°C=75,32%), dan

kelompok C diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh

KCl (RH25°C =84,32%).

Penelitian tahap pertama dilakukan terhadap tiga jenis bahan dasar yang

biasa digunakan sebagai bahan pembawa atau bahan pengisi pada produk perisa

yaitu tepung tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini bertujuan untuk

menentukan setting suhu pemanasan yang tepat untuk masing–masing bahan pada

alat ’Moisture Analyzer’, sehingga bila nantinya diterapkan untuk pengukuran

kadar air, hasil pengukuran yang didapatkan oleh ’Moisture Analyzer’ akan setara

dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi (SNI 01-2891-

1992 butir 5.1). Suhu tersebut akan dijadikan acuan untuk pengukuran kadar air

produk bubuk perisa yang sebagian besar komponennya adalah ketiga bahan dasar

yang telah disebutkan di atas.

Penelitian kedua dilakukan pada bubuk perisa HVP, Garlic, dan

Vanilla.yang sebagian besar komponennya adalah tapioka, maltodekstrin dan

laktosa. Tahapan ini dilakukan untuk memverifikasi apakah setting suhu

pemanasan yang telah didapatkan pada tahap sebelumnya dapat diterapkan untuk

analisis kadar air produk perisa HVP (berbahan dasar maltodekstrin), perisa

garlic (berbahan dasar campuran tapioka - maltodekstrin), dan perisa vanilla

(berbahan dasar laktosa). Apabila dapat ditunjukkan bahwa hasil pengukuran

kadar air ketiga produk ini menunjukkan perilaku yang sama dengan hasil

pengukuran pada bahan dasarnya, maka selanjutnya metoda pengukuran kadar air

menggunakan Moisture Analyzer HB43-S untuk produk - produk perisa jenis lain

akan mengikuti metoda pengukuran bahan dasarnya.

Hasil penelitian menunjukkan moisture analyzer HB43-S dengan setting

suhu 105oC dapat digunakan untuk mengukur kadar air perisa HVP dimana

hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran kadar air dengan

menggunakan metode oven UM-400 (dioperasikan pada suhu 105oC). Suhu

pengukuran pada 105oC ini sesuai dengan suhu yang digunakan untuk penelitian

terhadap bahan baku tapioka dan maltodekstrin. Namun untuk perisa Garlic, agar

diperoleh hasil pengukuran kadar air yang mendekati hasil pengukuran kadar air

dengan menggunakan metode oven, setting suhu alat moisture analyzer perlu

diturunkan menjadi 100oC dikarenakan dalam perisa garlic terkandung asam

lemak yang sensitif terhadap panas. Dari hasil penelitian ini didaptkan bahwa alat

moisture analyzer HB43-S dapat menjadi alternatif pengganti metode oven pada

bahan jadi dengan bagan dasar maltodekstrin.

Didapat pula bahwa metode yang paling sesuai untuk pengukuran kadar air

bahan turunan gula adalah metode Karl Fischer. Kadar air laktosa dan perisa

vanilla (mengandung 80% laktosa) sebaiknya tidak diukur menggunakan metoda

LOD yang menggunakan panas intens pada proses analisisnya Hal ini disebabkan

sifat-sifat laktosa yang peka terhadap panas (dapat terdekomposisi dan

terpolimerisasi) sehingga data hasil pengukuran kadar air menjadi tidak akurat.

Namun demikian hasil penelitian pada perisa vanilla menunjukkan bahwa produk

ini masih mungkin diukur kadar airnya menggunakan oven suhu 105 °C. Hasil

pengukuran kadar air perisa vanilla menggunakan perangkat KF tidak berbeda

nyata dengan hasil kadar air menggunakan oven.

v

Dalam kondisi normal dan untuk jumlah sampel yang besar (di atas 30

sampel) secara teknis waktu analisis kadar air menggunakan metode oven masih

lebih efektif dibanding waktu analisis menggunakan ‘moisture analyzer’. Namun

untuk kondisi mendesak dan dibutuhkan hasil yang cepat maka alat Moisture

Analyzer dapat dijadikan pilihan bilamana sampel yang akan dianalisis kadar

airnya jumlahnya hanya sedikit.

Template Laporan Validasi dirancang untuk mempermudah pelaporan

dimana analis hanya perlu memasukkan nama metode yang akan dibandingkan

dan kontrol, nama penguji, tanggal, kondisi atau perlakuan kontrol, serta hasil

pengukuran 10 ulangan untuk baik untuk metode yang akan divalidasi maupun

kontrol. Data masukan diketikkan pada bagian yang berwarna kuning. Uji

statistik yang digunakan untuk proses validasi adalah uji Dunnett. Suatu

alat/metoda dikatakan dapat menggantikan alat/metoda yang dianggap sebagai

kontrol apabila hasil uji Dunnett menyatakan hasil pengukuran keduanya tidak

berbeda nyata. Hasil perhitungan pada template dalam bentuk excel tersebut

telah dibandingkan dengan hasil perhitungan statistik menggunakan program

SPSS dan hasil perhitungannya memberikan hasil yang sama.

Kata kunci: metode oven, kadar air, Moisture Analyzer

vi

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk

Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S,

Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer.

HILDA KUMALASARI

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesi pada

Program Studi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr.

Judul Tugas Akhir : Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk

Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S,

Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer.

Nama : Hilda Kumalasari

NIM : F252090165

Disetujui,

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Fahim M. Taqi, STP, DEA

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Pasca Sarjana IPB

Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.AGR

Tanggal Ujian : 19 April 2012 Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, Pengasih dan Penyayang

atas bimbingan dan hikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis

dengan judul Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk

Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif

Metoda Oven Dan Karl Fischer.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief DESS dan Fahim M. Taqi, STP, DEA

sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam

penyusunan Tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan moral, bantuan dan

kerja sama dari rekan-rekan di PT. Givaudan Indonesia, terutama kepada Ibu Ade

dan Dwi Wulansari yang telah banyak membantu sehingga penelitian dapat

dijalankan dengan lancar. Juga kepada teman-teman seangkatan dan seluruh

keluarga besar yang sangat mendukung dan memberi semangat serta doa.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih belumlah sempurna, untuk itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Oktober 2012

Hilda Kumalasari

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1971 dari Bapak A.A.

Pranatadjaja dan Ibu Jeanne Harjanti. Penulis merupakan putri kedua dari tiga

bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar sampai dengan sekolah

lanjutan tingkat atas di Sekolah Santa Maria Surabaya sejak tahun 1978-1984,

1984-1987, dan 1987-1990. Penulis diterima di Universitas Surabaya jurusan

Teknik Kimia pada tahun 1990 dan pada tahun 1993 karena tugas orang tua, maka

penulis harus mengajukan cuti selama 1 tahun dan berhijrah ke kota Bogor pada

tahun 1994 dan melanjutkan pendidikan Program Studi S1 di Institut Teknologi

Indonesia jurusan Teknologi Industri Pertanian dan lulus pada tahun 1998. Pada

tahun 2009 penulis menjadi mahasiswa program Magister Profesi Teknologi

Pangan (MPTP). Setelah bekerja selama 12 tahun, penulis melanjutkan program

master pada Program Magister Profesi Teknologi Pangan - Institut Pertanian

Bogor.

Penulis bekerja di PT. Quest International Indonesia sejak tahun 1999. Pada

tahun 2007 perusahaan tersebut dibeli oleh perusahaan lain dan berganti nama

menjadi PT. Givaudan Indonesia sampai sekarang. Departemen yang menjadi

tanggung jawab penulis sejak tahun 1999 sampai saat ini adalah Quality Control

dengan peningkatan jabatan dari QC Technician menjadi QC Supervisor pada

tahun 2004 dan kemudian diangkat menjadi QC Manager sejak tahun 2007

sampai sekarang. Pada bulan Mei 2012 penulis dipindahkan oleh perusahaan

untuk menjadi QC Manager di Givaudan Singapore PTE. LTD.

Bogor, Oktober 2012

Hilda Kumalasari

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL.................................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR................................................................................................ xv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvi

PENDAHULUAN .................................................... Error! Bookmark not defined.

A. Latar Belakang .............................................. Error! Bookmark not defined.

B. Tujuan Penelitian ........................................... Error! Bookmark not defined.

C. Manfaat Penelitian ......................................... Error! Bookmark not defined.

D. Ruang Lingkup Penelitian ............................. Error! Bookmark not defined.

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................5

A. Air dalam Bahan Pangan .................................................................................5

B. Teknik Pengukuran Kadar Air Bahan PanganError! Bookmark not defined.5

D. Pengolahan Data Statistik ............................ Error! Bookmark not defined.9

METODOLOGI PENELITIAN................................................................................41

A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................41

B. Bahan .............................................................................................................41

C. Peralatan ........................................................................................................41

D. Metode Percobaan .........................................................................................41

E. Metoda Pengamatan ......................................................................................47

HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................................51

A. Penelitian Pendahuluan ..................................................................................51

B. Penelitian Tahap Pertama: Pengukuran Kadar Air Bahan Dasar Bubuk

Perisa .............................................................................................................54

C. Penelitian Tahap Kedua: Pengukuran Kadar Air Produk Bubuk Perisa .......58

D. Uji Efisiensi ...................................................................................................62

E. Pembuatan Template Laporan Validasi ......................................................... 64

SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................65

A. Simpulan ........................................................................................................65

B. Saran ..............................................................................................................66

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................67

LAMPIRAN ..............................................................................................................71

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Nilai RH yang dibentuk oleh larutan garam jenuh pada berbagai suhuError! Bookmark not defined.

Tabel 2 Kondisi pengukuran kadar air yang direkomendasikanError! Bookmark not defined.9

Tabel 3 Spesifikasi alat HB43-S ..............................................................................21

Tabel 4 Reagen yang diperlukan untuk analisis Karl Fischer..................................23

Tabel 5 Analisis Varian/Keragaman untuk Rancangan Acak Lengkap ...................33

Tabel 6 Nilai RH yang dibentuk oleh 3 larutan garam jenuh yang digunakan pada

suhu 25oC ...................................................................................................46

Tabel 7 Peningkatan kadar air tepung tapioka pada suhu 100oC dengan MA pada

berbagai aw .................................................................................................51

Tabel 8 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis basah di berbagai

ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda .............................................52

Tabel 9 ANOVA tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2 (RH=32,72) pada

7 suhu pengukuran yang berbeda ...............................................................52

Tabel 10 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2

(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda .................................52

Tabel 11 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis kering (g/100 g

padatan) diberbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda .............52

Tabel 12 ANOVA tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2 (RH=32,72)

pada 7 suhu pengukuran yang berbeda ......................................................53

Tabel 13 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2

(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda .................................53

Tabel 14 Kadar Air rata-rata Tepung Tapioka .........................................................55

Tabel 15 Perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Tepung Tapioka ............55

Tabel 16 Kadar air rata-rata Maltodekstrin ..............................................................56

Tabel 17 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Maltodekstrin ............56

Tabel 18 Kadar air Laktosa diukur menggunakan beberapa jenis metode. .............57

Tabel 19 Data hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Laktosa .........58

Tabel 20 Kadar air rata-rata perisa HVP ..................................................................58

Tabel 21 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa HVP ................59

Tabel 22 Kadar air rata-rata perisa Garlic ................................................................60

Tabel 23 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Garlic ..............60

Tabel 24 Data kadar air Perisa Vanilla pada beberapa jenis metode. ......................61

Tabel 25 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Vanilla ............61

Tabel 26 Waktu untuk analisis kadar air bubuk dan bahan baku perisa ..................63

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Hubungan laju reaksi/pertumbuhan dengan aktivitas air (Koesnandar.

2010, sumber Labuza.1971) .......................................................................10

Gambar 2 Kurva Isoterm Sorpsi Air (sumber:

http://www.lsbu.ac.uk/water/activity.html) ...............................................12

Gambar 3 Eksperimen Sorpsi Isotermis (sumber: Kusnandar 2010)....................13

Gambar 4 Bagian – bagian dari alat Moisture Analyzer HB43-S. ........................21

Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan perisa bubuk di PT Givaudan

Indonesia ....................................................................................................27

Gambar 6 Ilustrasi Akurasi dan Presisi Data (Sumber: Kenkel. 2003) ................31

Gambar 7 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap hasil analisis “One Way

ANOVA” ...................................................................................................32

Gambar 8 Skema pengujian pada uji Dunnett dari Sumber : Rafter et al (2002) ..38

Gambar 9 Skenario penelitian pendahuluan ..........................................................42

Gambar 10 Skenario penelitian tahap pertama ........................................................43

Gambar 11 Skenario penelitian tahap kedua ...........................................................44

Gambar 12 Persiapan wadah proses penyeragaman kadar air .................................45

Gambar 13 Proses penyeragaman kadar air sampel tapioka ....................................47

Gambar 14 Alat oven Memmert yang digunakan untuk pengujian kadar air.Error! Bookmark not defined.

Gambar 14 Perangkat autotitrator KF Mettler Toledo DL31 ..................................49

Gambar 15 Grafik sorpsi isotermis tepung tapioka basis kering pada kondisi

setimbang pada tapioka pada suhu penyimpanan 25oC .............................54

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 SNI 01-2891-1992 Cara uji makanan dan minuman ..........................72

Lampiran 2 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 95%. ................................73

Lampiran 3 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 99%. ................................74

Lampiran 4 Hasil Analisis Penelitian Pendahuluan .................................................75

Lampiran 5 Hasil Analisis Penelitian Pertama terhadap Bahan Baku .....................79

Lampiran 6 Hasil Analisis Penelitian Kedua terhadap Bahan Jadi..........................82

Lampiran 7 Data waktu analisis berbagai metode terhadap jumlah sampel. ...........85

Lampiran 8 Jumlah sampel dengan waktu analisis kurang dari pengujian dengan

metode oven ...............................................................................................93

Lampiran 9 Sertifikat Kalibrasi Oven Memmert .....................................................94

Lampiran 10 Sertifikat Kalibrasi Moisture Analysis ...............................................95

Lampiran 11 Template Laporan Validasi dengan Excel ..........................................98

Lampiran 12 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian

Pertama ......................................................................................................99

Lampiran 13 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian

Kedua .......................................................................................................102

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kadar air pada bahan pangan merupakan faktor yang sangat penting dalam

industri pangan untuk menentukan kualitas dan ketahanan pangan terhadap

kerusakan yang mungkin terjadi. Penentuan kadar air biasanya diperlukan untuk

menghitung kadar komponen pangan lainnya (Nielsen, 2010).

Air memiliki peran yang sangat penting dalam bahan pangan, pada produk

pangan segar kadar air merupakan indikator tingkat kesegaran dan kualitas

tekstural, sedangkan pada produk pangan olahan terutama produk pangan kering

kadar air sangat menentukan stabilitas produk selama masa penyimpanan (umur

simpan produk). Bagi sebagian pelaku industri pangan, kadar air adalah salah satu

parameter penentu penerimaan atau penolakan suatu produk, oleh sebab itu metoda

atau prosedur yang akan digunakan untuk mengukur kadar air harus disepakati

terlebih dahulu oleh pihak – pihak yang bertransaksi sebelum kontrak penjualan

ditandatangani.

Untuk produk berbentuk bubuk atau serbuk, ada dua metoda pengukuran

kadar air yang lazim digunakan oleh industri pangan yaitu: metode Loss on drying

(LOD) dan metode titrimetri Karl Fischer. Hampir seluruh perisa bubuk produksi

PT Givaudan Indonesia diukur kadar airnya dengan metoda Loss on drying (LOD)

standar menggunakan oven (SNI 01-2891-1992 butir 5.1), terkecuali untuk perisa

yang mengandung bahan yang mudah teroksidasi atau menguap akibat pemanasan

seperti ethanol, minyak esensial, asam lemak jenuh dan tanin. Bubuk perisa jenis

tersebut diukur kadar airnya menggunakan metoda Karl Fischer. Menurut

Andarwulan (2011) penggunaan metoda LOD untuk mengukur kadar air bahan

yang mengandung senyawa yang mudah menguap atau teroksidasi dapat

menyebabkan nilai kadar air hasil pengukuran akan lebih besar dari nilai

sebenarnya, karena kehilangan berat yang terjadi akan dianggap sebagai air yang

2

hilang. Di PT Givaudan Indonesia metoda Karl Fischer juga digunakan untuk

mengukur sampel yang memiliki kadar air yang sangat rendah.

Pada metode loss on drying (LOD), bahan yang telah diketahui beratnya

dipanaskan dalam oven bersuhu 105oC selama minimum 3 jam hingga hingga

beratnya konstan, selisih berat sebelum dengan sesudah pengeringan adalah

kandungan air dalam bahan. Pengukuran kandungan air dengan metoda ini

terbilang murah namun menyita banyak waktu. Sedangkan metoda titrimetri Karl

Fischer, meski sangat akurat dan hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat,

metoda ini membutuhkan reagen dan alat spesifik yang cukup mahal harganya.

Dengan semakin meningkatnya volume pesanan dari pelanggan, metode LOD

standar tidak lagi mampu mengimbangi kebutuhan akan kecepatan dalam melepas

atau mengirim produk, karena analisis kadar air dengan metoda ini membutuhkan

waktu yang lama (3 jam). Hambatan waktu ini dapat diatasi dengan penggunaan

alat Moisture Analyzer. Waktu yang dibutuhkan untuk mengukur kadar air bahan

pangan menggunakan Moisture Analyzer HB43-S rata – rata hanya membutuhkan

waktu antara 3 – 15 menit/sampel tergantung jenis sampelnya, hasil analisis

langsung dapat dilihat di layar monitor atau langsung dicetak ke alat pencetak

(printer). Pada Moisture Analyzer HB43-S tahapan penimbangan dan pengeringan

sampel serta perhitungan hasil analisis, seluruhnya dilakukan dalam satu alat.

Dengan demikian kemungkinan terjadinya ”human error” akan dapat diminimalkan

dan didapatkan hasil analisis yang lebih akurat. Terlepas dari semua kelebihan

yang dimiliki, penggunaan Moisture Analyzer HB43-S sebagai alternatif pengganti

metoda LOD standar yang selama ini digunakan, tetap membutuhkan satu proses

validasi terlebih dahulu baik terhadap metoda maupun hasil analisis yang diperoleh.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Mendapatkan suhu pemanasan yang tepat pada alat Moisture Analyzer

Halogen HB43-S sehingga hasil pengukuran kadar air (LOD) pada alat ini

sebanding dengan hasil pengukuran kadar air metode LOD menggunakan

oven UM-400 sebagai metode rujukan untuk produk bubuk perisa.

3

2. Memperoleh gambaran tentang konsistensi antara data pengukuran kadar air

metode LOD menggunakan moisture analyzer terhadap data pengukuran

kadar air menggunakan oven dan metode Karl Fischer.

3. Mendapatkan informasi metode mana yang lebih efisien secara teknis.

4. Menghasilkan template yang dapat digunakan untuk mempermudah proses

pelaporan hasil validasi alat atau metode analisis atribut mutu bubuk perisa

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses

pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses

pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke

konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan

contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan diterapkan

di PT Givaudan Indonesia.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup tiga tahapan penelitian, semua dilakukan dalam

rangka untuk mengembangkan dan memvalidasi metoda pengukuran kadar air

menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S, metoda yang nantinya diharapkan

dapat menjadi alternatif pengganti bagi metoda LOD menggunakan oven dan

metoda Karl Fischer yang selama ini sudah digunakan oleh PT Givaudan Indonesia

sebagai metoda standar pengukuran kadar air produk bubuk perisa.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Durasi umur simpan suatu bahan pangan dibatasi oleh perubahan biologis,

kimia, dan fisika yang berlangsung dan terus berlanjut dalam bahan tersebut.

Kelanjutan dan laju proses perubahan itu, kesemuanya sangat dipengaruhi oleh

kadar air dan aktifitas air (water activity). Semakin tinggi kadar air suatu bahan

pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat

aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak.

Pengurangan kadar air bahan pangan akan berakibat berkurangnya ketersediaan air

untuk menunjang kehidupan mikroorganisme dan juga untuk berlangsungnya reaksi

– reaksi fisikokimiawi. Dengan demikian baik pertumbuhan mikroorganisme

maupun reaksi fisikokimiawi keduanya akan terhambat, bahan pangan akan dapat

bertahan lebih lama dari kerusakan. Pengaturan kadar air merupakan salah satu

basis dan kunci terpenting dalam teknologi pangan (Kupriannoff. 1958).

Sekitar 60-95% total berat bahan pangan adalah air, komponen ini merupakan

komponen paling dominan dibanding komponen pangan yang lain seperti lemak,

minyak, protein, karbohidrat, mineral, garam, dan asam. Di dalam bahan pangan,

air dapat berperan sebagi fasa kontinyu dimana substansi lainnya terdispersi dalam

bentuk molekular, koloida atau sebagai emulsi. Garam - garam seperti NaCl, citrat

atau fosfat dapat meningkatkan daya ikat air adonan yang didominasi oleh protein,

hal seperti ini dapat diamati pada proses pengolahan daging giling atau sosis.

Keberadaan air dan pendistribusiannya di dalam sistem biologis adalah faktor yang

sangat penting untuk diperhitungkan, perubahan kandungan air (water content) dan

cara pendistribusiannya akan menyebabkan perubahan nyata pada produk pangan

(Kupriannoff. 1958).

Pada industri bubuk perisa, kadar air merupakan parameter penting yang

diukur dan dilaporkan dalam rangka pengendalian mutu produk. Kadar air

merupakan penentu kestabilan produk bubuk perisa selama penyimpanan, dimana

tinggi rendah parameter ini akan sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu

organoleptik terutama penampakan, warna dan rasa, serta terjadinya penggumpalan

selama produk ini disimpan. Dalam perdagangan bubuk perisa kadar air adalah

6

salah satu kriteria utama penerimaan dan penolakan produk, oleh karenanya metoda

pengukuran parameter ini menjadi sangat penting dan harus disepakati terlebih

dahulu oleh pemasok dan konsumen sebelum suatu transaksi dijalankan.

A. Air dalam Bahan Pangan

A.1. Keberadaan Air dalam Bahan Pangan Ditinjau dari Derajat Keterikatan

Semua produk pangan mengandung air, di dalam bahan pangan air dapat

dijumpai dalam bentuk air bebas dan air terikat ”bound water” dengan derajat

keterikatan yang beragam. Menurut Kupriannoff (1958) terdapat empat

kemungkinan bentuk keterikatan air dalam bahan pangan yang dipengaruhi

komposisi kimia dan struktur fisika bahan:

1. Air bebas yang terdapat dalam bentuk murni sebagai air permukaan, air ini

tidak termasuk sebagai komponen produk tetapi berasal dari luar seperti

kondensasi atau proses pencucian dan lain-lain. Air tersebut dapat di

kelompokkan sebagai air bebas selama tidak bercampur atau bereaksi pada

komponen permukaan bahan.

2. Air yang terikat secara kimiawi pada beberapa jenis garam, air jenis ini bisa

dalam bentuk ikatan valensi (contoh NaOH) atau sebagai hidrat (contoh

CoCl2.6H2O). Air yang terikat secara kimia ini tidak dapat dilepaskan dengan

proses pangan dengan menggunakan metoda biasa.

3. Air yang teradsorbsi membentuk lapisan tipis mono atau polimolekular pada

permukaan internal atau ekternal produk akibat adanya gaya tarik antar molekul,

atau terakumulasi di dalam pori - pori halus karena kondensasi kapiler.

4. Air hidratasi yaitu air yang teradsorbsi oleh substansi koloid yang

menyebabkan pembengkakan massa gel, kondisi ini dapat terjadi karena

karakter dipolar dari air.

Dari keempat bentuk di atas, maka bentuk yang dinyatakan pada butir 3 dan 4

adalah bentuk air terikat yang terpenting dalam bahan pangan.

Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1989), Winarno (1992), dan

Kusnandar (2010) berdasarkan derajat keterikatannya air dalam bahan pangan

dapat dibedakan menjadi empat tipe:

7

• Tipe I adalah air yang secara molekular terikat pada komponen lain (seperti

protein atau karbohidrat) membentuk hidrat melalui suatu ikatan hidrogen yang

berenergi besar. Pembentukan hidrat menyebabkan air tipe ini tidak lagi

memiliki sifat yang sama dengan sifat air murni, yakni tidak dapat membeku

dan hanya sebagian saja yang dapat dihilangkan dengan proses pengeringan

biasa. Air tipe ini sering kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya.

• Tipe II, adalah molekul-molekul air yang terdapat pada permukaan bahan

pangan yang bersifat hidrofilik. Molekul – molekul air ini berikatan satu sama

lain dengan ikatan hidrogen membentuk lapisan monolayer atau multilayer.

Sebutan lain air tipe II adalah air teradsorbsi ”adsorbed water”. Dibanding air

normal air tipe ini lebih susah dihilangkan/diuapkan selama proses pengeringan,

jika air tipe II dihilangkan seluruhnya maka kadar air bahan akan berkisar antara

3-7%.

• Tipe III adalah molekul air yang ditemukan permukaan jaringan matriks bahan

seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe ini hanya terikat secara

fisik sehingga mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan

mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Karena sifat – sifatnya, air tipe

III sering kali disebut sebagai air bebas ”free water”. Apabila air tipe ini

diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25%

• Tipe IV. Air tipe ini tidak memiliki ikatan apapun dengan matriks jaringan

bahan pangan, dan sifat-sifatnya sama dengan air murni dengan keaktifan

penuh.

Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses

kerusakan bahan pangan misalnya proses mikrobiologi, kimiawi, enzimatik, bahkan

aktivitas serangga perusak (Sudarmadji et al 2003).

Menurut Kuprianoff (1958) telah diterima secara umum bahwa air terikat

didefinisikan sebagai bagian dari kadar air produk yang akan tetap berada dalam

bahan ini dalam kondisi tak berubah (terikat) setelah dilakukan prosedur

pengeringan biasa seperti pembekuan, dehidrasi kimia, dan lain-lain (cara ini hanya

dapat menghilangkan air bebas saja). Air jenis ini hanya dapat dihilangkan dengan

jalan memanaskan produk pada suhu 100–110 °C untuk waktu yang cukup lama.

Jika air yang teruapkan pada suhu 100-110 °C disebut sebagai kadar air total

8

produk, maka kadar air terikat sama dengan kadar air total dikurangi kadar air

bebas.

A.2. Kadar Air dan Kestabilan Produk Pangan Selama Masa Simpan

Air yang tekandung dalam bahan pangan dapat menjadi penentu apakah

produk tersebut dapat dijual dan telah memenuhi standar produksi. Kandungan air

tersebut dapat mempengaruhi daya simpan, kecepatan penggumpalan produk

bubuk, kestabilan terhadap kontaminan mikrobiologi, kemampuan daya alir atau

curah produk, total padatan kering, konsentrasi atau kemurnian, kesesuaian dengan

perjanjian, nilai nutrisi, dan kesesuaian dengan peraturan pemerintah.

Kadar air adalah banyaknya air yang terkandung dalam bahan pangan yang

dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu parameter penting dalam

menentukan kualitas bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan,

tekstur dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut

menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi

menyebabkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak,

sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Dwijoseputro,1994).

Pada sebagian besar produk pangan, air merupakan komponen penyusun yang

memiliki proporsi paling besar. Dari sisi fungsional pentingnya keberadaan air

dalam produk pangan tidak hanya sebatas kuantitasnya saja. Air adalah komponen

penentu karakter tekstural dan estetis buah-buahan dan sayuran, dimana hilangnya

air dari produk ini akan berakibat pada penurunan kualitas. Ketersediaan air juga

merupakan prakondisi yang menjadi syarat utama terjadinya reaksi kimia dan

pertumbuhan mikroba, atau dengan kata lain air adalah salah satu unsur yang paling

bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan mikrobiologis, enzimatis, dan kimia

produk pangan. Pengaruh air terhadap stabilitas bahan pangan tidak hanya terletak

pada sisi kuantitasnya semata, namun harus dilihat juga dari sisi efektivitasnya,

parameter yang mampu menjelaskan masalah ini adalah Aw atau aktivitas air (Berk.

2009).

Keberadaan air adalah penentu karakteristik struktural atau turgiditas sel, dan

lebih jauh nilai gizi serta citarasa bahan pangan. Menurut Kuprianoff (1958),

proses pengeringan akan punya pengaruh besar terhadap karakter tersebut dan dapat

9

menjadi penentu besarnya perubahan yang tak dapat kembali ”irreversible changes”

selama masa simpan produk yang telah dikeringkan. Hal terpenting yang wajib

diperhatikan dalam pengeringan pangan yaitu kandungan air harus diturunkan

hingga satu nilai dimana proses mikrobiologis, enzimatis, dan kimia penyebab

kerusakan pangan dapat dihambat lajunya selama masa simpan produk.

Tingkat ”irreversible changes” yang akan terjadi pada produk pangan kering dalam

masa simpan sangat bergantung kepada kandungan air produk ini, hal ini dapat

dijelaskan sebagai berikut penurunan kandungan air berakibat pada pengurangan

permukaan kontak (permukaan dimana terjadi reaksi) fasa cair dan juga effect

penghambatan ”inhibitive effect” pada sistem enzim akibat peningkatan konsentrasi

enzim pada fasa cair. Faktor suhu penyimpanan penting pula untuk diperhatikan

karena ”irreversible changes” akan dipercepat pada penyimpanan di suhu yang

lebih tinggi.

Nilai kadar air saja tidak dapat menjelaskan seberapa kuat molekul air terikat

dalam bahan pangan sehingga tidak lagi tersedia untuk reaksi kimia, aktivitas

enzim, dan pertumbuhan mikroba, sulit mencari hubungan antara parameter ini

dengan kestabilan atau keawetan pangan. Sebaliknya aktivitas air (aw) adalah

kuantifikasi tingkat air yang ada atau tersedia untuk interaksi hidrasi, pertumbuhan

mikroba dan kimia dan reaksi enzimatik (Bhandari dan Adhikari. 2008), parameter

ini adalah penduga yang baik potensi kerusakan bahan pangan selama penyimpanan.

Aktivitas air merupakan salah satu parameter hidratasi yang menunjukkan

jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroorganisme

untuk pertumbuhannya (Winarno. 1992; Syarief & Halid. 1993). Nilai aw suatu

bahan atau produk pangan dinyatakan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 berarti dalam

makanan tersebut tidak terdapat air bebas, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa

bahan pangan tersebut hanya terdiri dari air murni. Nilai aw suatu bahan pangan

dapat diturunkan antara lain dengan cara menambahkan suatu senyawa yang dapat

mengikat air (Estiasih & Ahmadi. 2009).

Sama halnya dengan kebutuhan terhadap tingkat keasaman (pH),

mikroorganisme juga mempunyai nilai aw minimum, maksimum dan optimum

untuk tumbuh dan berkembang biak (Estiasih & Ahmadi. 2009). Hubungan antara

nilai aw dengan laju reaksi/pertumbuhan relatif dapat dilihat pada gambar 1.

10

Gambar 1. Hubungan laju reaksi/pertumbuhan mikroba dengan aktivitas air

(Koesnandar. 2010)

Kapang, khamir, dan bakteri ternyata memerlukan nilai aw yang paling tinggi

untuk pertumbuhannya. Nilai aw terendah dimana bakteri dapat hidup adalah 0,86.

Bakteri-bakteri yang bersifat halofilik atau dapat tumbuh pada kadar garam tinggi

dapat hidup pada nilai aw yang lebih rendah yaitu 0,75. Sebagian besar makanan

segar mempunyai nilai aw = 0,99. Pada produk pangan tertentu supaya lebih awet

biasa atau dilakukan penurunan nilai aw.

A.3. Fenomena Adsorpsi dan Desorpsi Air Pada Bahan Pangan

Nilai aw bahan pangan bersifat dinamis, nilai ini akan naik atau turun

mengikuti perubahan kondisi kelembaban dan suhu udara yang berada disekitarnya.

Ketika air berinteraksi dengan zat terlarut ”solutes” sebenarnya air tidak

sepenuhnya tersedia untuk interaksi ini. Aktivitas air adalah kesetimbangan yang

tercapai di dalam sebuah sistem pada semua fasanya yang mengandung air, dan

definisikan sebagai perbandingan tekanan uap terhadap tekanan uap air murni pada

suhu yang sama (Bhandari and Adhikari. 2008; Berk. 2009). aw dapat

11

diekspresikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut,

dimana:

P _ tekanan parsial uap air bahan pangan pada suhu T

P0_ kesetimbangan tekanan uap air murni pada suhu T

Perbandingan sejenis juga dapat di definisikan sebagai kelembaban relatif dari

udara, RH ( biasanya di nyatakan dalam persense) :

dimana :

P’= tekanan parsial dari uap air di udara.

Jika bahan pangan telah mencapai kesetimbangan dengan udara, maka P = P’.

Maka selanjutnya aktifitas air dari bahan pangan adalah sama dengan kelembaban

relatif atmosfir pada saat kesetimbangan. Oleh karenanya terkadang aktifitas air

diekspresikan sebagai kesetimbangan kelembaban relatif (ERH, equilibrium

relative humidity).

Bila bahan pangan dengan kadar air tinggi disimpan di lingkungan dengan

kelembaban relatif yang rendah (kering), maka sebagian air dari bahan tersebut

akan berangsur bermigrasi ke lingkungannya (desorpsi) hingga kondisi

kesetimbangan tercapai. Sebaliknya, bila pangan berkadar air rendah disimpan pada

lingkungan dengan kelembaban relatif yang tinggi, maka pangan tersebut akan

menyerap air (adsorbsi) hingga terbentuk kondisi kesetimbangan. Kadar air yang

terukur pada kondisi kesetimbangan dengan lingkungan dikenal sebagai kadar air

kesetimbangan (Equilibrium Moisture Content /EMC).

12

Kurva hubungan antara kadar air kesetimbangan dengan kelembaban relatif

pada hakikatnya dapat menggambarkan hubungan antara kadar air dan aktivitas air.

Kurva tersebut sering disebut sebagai kurva Isoterm Sorpsi Air (ISA).

Menurut Berk (2009) hubungan antara kadar air (gram air per gram bahan

kering) dan aktivitas air pada suhu konstan disebut ”sorpsi isotermis uap air” (the

water vapor sorption isotherm) atau ”sorpsi isotermis kelembaban” (moisture

sorpstion isoterm) dari suatu bahan pangan. Bentuk umum hipotetik dari sebuah

sorpsi isotermis ditunjukkan pada gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 Kurva Isoterm Sorpsi Air (sumber:

http://www.lsbu.ac.uk/water/activity.html)

Andarwulan et al (2011) menyatakan bahwa Isotermis Sorpsi Air (ISA) bahan

pangan dapat memberikan pola tertentu dalam proses penambahan air pada bahan

kering (adsorpsi) dan pengurangan air dari bahan basah (desorpsi). Setiap material

mempunyai kurva isoterm sorpsi air yang khas, yang berbeda dengan material

lainnya. Pada kurva tersebut dapat diketahui bahwa kadar air yang sama belum

tentu memberikan aw yang sama tergantung jenis bahannya. Pada kadar air yang

tinggi belum tentu memberikan aw yang tinggi bila bahannya berbeda. Bahan yang

tersusun dari komponen yang dapat mengikat air hanya menyisakan air bebas yang

13

relatif sedikit, akibatnya bahan jenis ini akan mempunyai aw yang rendah

(Wulanriky. 2011).

Suatu material dapat mencapai kadar air keseimbangannya melalui dua

alternatif pendekatan : dengan penyerapan uap air (adsorpsi) atau dengan

pengeringan (desorpsi). Pada tingkat kadar air yang sama, nilai tekanan uap

kesetimbangan suatu material yang bersifat porous (memiliki banyak pori dan

kapiler) dapat saja berbeda, hal ini mungkin terjadi karena penentuan nilai tersebut

tergantung pada pendekatan mana yang diambil. Fenomena ini dikenal

sebagai ”hysteresis” (gambar 1).

Kadar air keseimbangan akan tercapai bilamana material berinteraksi dengan

lingkungannya dalam waktu yang cukup lama. Dalam proses penyetimbangan,

terjadi difusi air secara merata diseluruh bagian material, kadar air material akan

terus berubah sampai kesetimbangan tercapai. Proses perubahan ini mengikuti

perubahan kondisi yang terpantau pada permukaan material (pv, T). Pada kondisi

kesetimbangan, terjadi proses distribusi air internal yang berlangsung secara tetap di

dalam material. Secara teoritis dibutuhkan waktu yang tidak terbatas untuk

mencapai kondisi kesetimbangan, namun untuk kebutuhan praktis terdapat sejumlah

prosedur dan metode perhitungan waktu kesetimbangan dengan tingkat akurasi

yang dapat diterima (Molnar. 2006).

Kurva sorpsi isothermis ditentukan secara eksperimental, sampel bahan

pangan ditempatkan dalam wadah tertutup yang telah diketahui RHnya (gambar 3)

hingga sampel ini mencapai kadar air kesetimbangan. Setelah setimbang, maka

sampel akan dianalisis kadar airnya (Berk. 2009)

Gambar 3 Eksperimen Sorpsi Isotermis (sumber: Kusnandar 2010)

14

Air murni yang dimasukkan ke dalam desikator/wadah tertutup akan

membentuk kesetimbangan tekanan uap antara air murni dengan lingkungannya.

Air akan menguap dan membentuk kondisi jenuh uap air di lingkungan di dalam

desikator. Kandungan uap air di udara biasa dinyatakan dengan kelembaban relatif.

Kelembaban relatif uap air di lingkungan akan mencapai 100% jika terjadi kondisi

kesetimbangan antara air dengan lingkungannya, artinya udara dipenuhi dengan uap

air. Tekanan uap air murni (Po) adalah tekanan yang terukur dalam lingkungan

desikator tersebut. Tekanan uap air akan dipengaruhi oleh suhu, dimana semakin

tinggi suhu maka tekanan uap air murni akan semakin besar berdasarkan hukum gas

ideal.

Apabila isi desikator tertutup tersebut diganti dengan larutan garam jenuh,

misalnya larutan garam LiCl jenuh, maka air akan lebih sulit menguap akibat

adanya interaksi ionik antara air dengan ion Li+ dan Cl

-. Tekanan uap (P) yang

terbentuk di dalam desikator ini akan lebih rendah dibandingkan tekanan uap dalam

desikator berisi air murni (udara tidak jenuh oleh uap air). Jenis larutan garam

jenuh yang diisikan dalam desikator akan menentukan tekanan uap dan kelembaban

relatif yang dihasilkan (tabel 1), perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan

kekuatan interaksi ionik dari masing – masing jenis garam dengan air.

Tabel 1 Nilai RH yang dibentuk oleh larutan garam jenuh pada berbagai suhu

Larutan garam jenuh Kelembaban relatif yang terbentuk (RH, %)

20oC 25

oC 30

oC

NaOH 6,98 6,95 6,87

LiCl 11,14 11,15 11,16

KC2H3O2 23,10 22,60 22,00

MgCl2 30,30 32,73 32,38

NaI 39,18 37,75 36,25

Mg(NO3)2 54,47 52,86 51,33

KI 69,86 68,76 67,85

NaCl 75,42 75,32 75,21

KBr 81,77 80,71 -

KCl 85,31 84,32 83,53

Na2SO4 86,90 85,95 86,40

BaCl2 90,69 90,26 -

NH4H2PO4 92,20 92,70 91,10

K2SO4 97,20 96,90 96,60

Sumber : Syarief & Halid (1993) dan Koesnandar (2010)

15

Bila contoh makanan dimasukkan dalam desikator berisi larutan-larutan

garam tersebut maka kandungan air dalam pangan tersebut akan menyesuaikan diri

dengan kondisi lingkungan hingga tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan

(migrasi) uap air terjadi dari lingkungan ke pangan atau sebaliknya dan bila kondisi

ini dibiarkan beberapa lama, maka akan tercapai kondisi kesetimbangan sampai

tidak terjadi lagi migrasi air dari atau ke pangan.

B. Teknik Pengukuran Kadar Air Bahan Pangan

Molnar (2006) mengungkapkan bahwa penentuan kadar air bahan basah

tampak sederhana, namun hasil yang diperoleh seringkali tidak cukup akurat, yang

disebabkan karena turut menguapnya komponen selain air atau terjadinya

perubahan kimia (oksidasi, dekomposisi, distilasi merusak, dan lainnya) pada saat

proses pemanasan. Pada saat yang sama air teradsorpsi harus dibedakan dari air

kristalisasi, yang mana merupakan suatu masalah yang sangat kompleks.

Pada saat pemilihan teknik penentuan kadar air maka harus diperhitungkan

akurasi yang diinginkan, prosedur, lama investigasi, dan kompleksitas instrumen

yang diperlukan dan peralatan yang ada. Kemungkinan metode yang dapat

digunakan untuk mengukur distribusi kadar air selama pengeringan adalah:

1. Metode Langsung, pada dasarnya adalah penentuan kadar air dengan cara

mengeringkan sampel dalam oven pengering dengan atau tanpa tiupan udara,

atau dengan pengeringan dalam oven vakum atau dalam desikator vakum.

2. Metode Tidak Langsung, kondisi persaingan industri saat ini menuntut

pengukuran kadar air bahan dilakukan dengan metode yang lebih cepat, salah

satunya adalah metode elektris yang mempunyai tiga varian utama: pengukuran

kadar air berdasarkan perubahan resistansi ohmik arus DC, pengukuran

kapasitansi elektrostatis (konstanta dielektrik material), dan pengukuran

kehilangan pada medan listrik AC. Metode cepat lain adalah metode kimia

seperti metode Karl-Fischer, metode distilasi toluena, dan metode ekstraksi

menggunakan metanol absolut.

16

B.1. Cara Fisik Gravimetri LOD

B.1.1. Prinsip, Kelebihan dan Kekurangan Cara Gravimetri

Kadar air dari bahan pangan dapat ditentukan dengan berbagai metode, tapi

untuk memperoleh data yang akurat dan tepat umumnya adalah tantangan tersendiri

(Nielsen. 2010). Metode yang berbeda menghasilkan nilai kadar air yang berbeda

pula sebagaimana di jelaskan sebagai berikut :

• Pengeringan dengan oven konveksi: di samping air akan ikut teruapkan pula

sedikit komponen volatil. Seringkali sampel tidak benar-benar kering karena

pemanasan dengan cara konveksi tidaklah cukup kuat. Nilai pengukuran akan

berada di atas kadar air (water content) tetapi di bawah kadar air total (total

moisture content)

• Moisture Analyzer otomatis, yang memanfaatkan lampu inframerah atau

halogen sebagai sumber panas. Pengeringan dengan inframerah atau halogen

selain menguapkan air juga akan menguapkan komponen yang sangat sulit

menguap. Kadar air total bahan ditentukan dengan pemanasan intensif

menggunakan metode pengeringan adsorpsi. Dalam kebanyakan kasus, nilai

pengukuran berada di atas hasil pengukuran referensi menggunakan metode

pengeringan oven. Analisis kadar air menggunakan alat ini tergolong cepat,

tetapi sangat bersifat “matrix dependent“ (masalah yang sering terjadi

penyumbatan pori atau terjadinya pembakaran/pengerasan pada permukaan)

dan membutuhkan pengujian trial-and-error untuk menentukan pengaturan

yang benar untuk level energi dan waktu.

• Pengering air gelombang mikro dapat menguapkan air dan hanya sedikit

komponen sangat volatil. Berkat prinsip pengeringan adsorpsi, terorientasi atau

dipoles, maka nilai pengukuran sangat dekat pada kadar air dan biasanya lebih

rendah dari hasil pengeringan dengan oven.

• Metode titrasi Karl Fischer menentukan jumlah molekul air dengan reaksi kimia.

Nilai ukur sesuai dengan kadar air dengan akurasi tertinggi.

Menurut Kern & Sohn GmbH (2012), terdapat dua metode referensi yang diakui

secara internasional metode oven dan Karl Fischer. Semua metode lain harus

disesuaikan dengan salah satu dari dua metode tersebut jika diperlukan.

17

B.1.2. Pengukuran Kadar Air Cara Gravimetri (Lost On Drying)

Kadar air dalam sampel dapat diukur secara gravimetri atau loss on drying

(LOD) dengan menentukan penurunan berat dalam sampel setelah ditempatkan

pada oven yang sesuai (oven konveksi, vakum, atau microwave) untuk waktu

tertentu. Pada metode gravimetri, diasumsikan bahwa hanya air yang akan

dihilangkan dalam proses pengeringan, dimana pada kenyataanya ada komponen

volatil yang turut hilang. Metode ini hanya membutuhkan sejumlah kecil sampel

homogen dan dapat mengukur secara efektif kandungan air pada kisaran 0,01%

sampai 99,99% (Rennie. 2001).

Prinsip dari metode pengering dengan menggunakan oven adalah bahwa air

yang terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan

pada suhu 105o C selama waktu tertentu hingga tercapai berat konstan. Perbedaan

antara berat sebelum dan sesudah dipanaskan adalah kadar air (Astuti. 2007). Berat

dinyatakan sudah konstan bilamana hasil dua kali penimbangan berturut – turut

pada tingkat presisi tertentu, hasilnya tidak berbeda lebih dari 0,25% (Kenkel.

2003).

Suhu pengeringan untuk penentuan kadar air yang ditetapkan dalam SNI 01-

2891-1992 butir 5.1 adalah 105°C dengan waktu pengeringan selama 3 jam.

Asumsi dasarnya adalah bahwa air bertitik didih 100°C, sehingga dengan

pemanasan 5°C di atas suhu didih air, diharapkan semua air dalam bahan dapat

diuapkan. Cara tersebut relatif mudah dan murah untuk dilakukan.

Metode pengeringan dengan pemanasan (LOD) tidak cocok digunakan untuk

sampel uji yang banyak mengandung zat yang mudah menguap karena hasil uji

akan lebih besar dari yang sebenarnya (Andarwulan. 2011). Kelemahan cara

gravimetri menggunakan pemanasan ini adalah bahan lain selain air ikut menguap

bersama dengan uap air misal alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain.

Reaksi yang bisa terjadi selama pemanasan dapat menghasilkan air atau zat mudah

menguap, contoh : gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak

mengalami oksidasi dan lain-lain. Air menjadi terikat kuat di dalam bahan dan sulit

dilepaskan meskipun sudah dipanaskan.

Meskipun pengukuran kehilangan berat bahan karena penguapan air sering

18

digunakan untuk menghitung kadar air, namun harus ditunjukkan bahwa nilai yang

diperoleh tersebut bukanlah hasil kadar air yang sebenarnya. Pada beberapa contoh,

hanya sebagian saja dari air yang terkandung akan hilang pada suhu pengeringan,

sedangkan air terikat sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Ada kecenderungan

jumlah air yang hilang akan meningkat jika suhu dinaikkan. Beberapa sampel yang

mengandung kadar lemak tinggi bisa menunjukkan hilangnya minyak yang mudah

menguap pada suhu pengeringan 100oC.

Kehilangan berat bahan dapat dipengaruhi faktor-faktor seperti ukuran

partikel, berat sampel yang digunakan, jenis wadah yang digunakan, dan variasi

suhu dalam oven dari rak ke rak. Dengan demikian, sangatlah penting untuk

membandingkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan kondisi pengeringan

yang sama.

Pada umumnya, metode gravimetri hanya memerlukan sejumlah kecil sampel

(antara 1 dan 10 g tergantung yang pada kadar airnya). Oleh karena itu,

homogenitas sampel sangat kritis dan perlu diperhatikan secara khusus. Harus

dipastikan bahwa sampel yang akan diukur telah rata tercampur merata sebelum

diambil untuk analisis. Metode yang digunakan untuk homogenisasi akan

tergantung pada jenis sampel yang dianalisis. Blender, pengaduk mekanik, mesin

pencacah, pengolah makanan, dan parut umumnya digunakan untuk sampel kering,

lembab, dan sangat basah. Karena perangkat ini menghasilkan panas, sangat

penting untuk mencegah terjadinuya over homogenize, yang menyebabkan kadar air

akan hilang. Setelah sampel telah benar-benar homogen, maka penting kiranya

untuk dengan segera mengukur kadar air sampel atau bila membutuhkan waktu

tunda memindahkannya terlebih dahulu ke suatu wadah kaca atau plastik yang

kering dan tertutup rapat. Dalam metode gravimetri, kadar air yang rendah hanya

akan menghasilkan kehilangan berat yang sangat kecil setelah pengeringan.

Penting diperhatikan untuk mencegah sampel terkontaminasi saat sampel

dikeringkan atau pada saat dipindahkan ke oven atau desikator. Jangan memegang

wadah dengan tangan telanjang, gunakan penjepit atau sarung tangan. Gunakan

penutup wadah bila sampel mudah berbuih atau memercik saat dipanaskan. Hal ini

dapat mencegah kontaminasi silang dengan sampel disebelahnya di dalam oven

(Ruiz. 2001).

19

Tabel 2 Kondisi pengukuran kadar air yang direkomendasikan

Sumber : Ruiz (2001)

B.1.3. Analysis yang Dipercepat (pemanasan IR-Halogen) dan Pengenalan Alat

Moisture Analyzer HB43-S

LOD adalah metode analisis kadar air rutin pada industri farmasi. Pada

industri ini biasanya menggunakan alat pengukur kadar air meliputi alat timbang

yang dilengkapi wadah metal bulat yang dapat diisi dengan granula contoh, dimana

terdapat koil pemanas listrik besar di atasnya. Pada saat kumparan listrik memanas,

berat sampel secara otomatis dimonitor dan persentase kadar air dihitung dan dan

dapat terlihat pada alat. Ketika persentase yeang termonitor mencapai kestabilan

maka alat akan berbunyi dan persentase kadar air sampel ditampilkan (Kenkel.

2003).

Sebagian kecil radiasi akan dipantulkan atau terserap oleh sampel. Kuantitas

energi radiasi yang dipantulkan tersebut tergantung pula pada warna sampel, apakah

sampel tersebut berwarna terang atau gelap. Untuk bahan berwarna gelap dapat

digunakan suhu yang lebih rendah. Kedalaman penetrasi radiasi infra red (IR)

tergantung pada permeabilitas sampel, dimana pada permeabilitas rendah, radiasi IR

hanya menembus lapisan atas. Konduktivitas panas dari substansi menentukaan

20

transportasi panas lebih lanjut ke dalam lapisan yang lebih dalam. Konduktivitas

panas yang lebih tinggi, maka pemanasanpada bahan akan semakin cepat dan lebih

homogen, oleh karenanya perlu diingat bahwa substansi harus didistribusikan

secara merata berupa lapisan tipis pada wadah sampel. Hasil pengukuran yang

berkualitas sangat tergantung pada persiapan sampel yang optimal dan pemilihan

parameter utama yang tepat seperti ukuran sampel, suhu pengeringan, kriteria

penghentian analisis, lama pengeringan, dan lain - lain. Suhu optimum dan lama

pengeringan yang dibutuhkan akan tergantung pada jenis dan ukuran bahan serta

hasil akurasi pengukuran yang diinginkan. Kesemuanya hanya bisa ditentukan

dengan percobaan (Kern & Sohn GmbH. 2012).

Moisture Analyzer HB43-S dengan teknologi halogen yang digunakan dalam

penelitian ini memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan metode

oven antara lain:

1. Hasil yang lebih tepat

2. Waktu yang lebih cepat

3. Mudah pengoperasiannya

4. Mengurangi human error pada saat penimbangan

Penggunaan HB43-S sangat praktis, hanya perlu tiga langkah untuk

mengoperasikannya yaitu: mentera alas sampel, meletakkan sampel di atas alas, dan

menekan tombol mulai. Hasil analisis akan di cetak secara otomatis dalam

beberapa menit. Gambar 4 dan Tabel 3 berikut ini adalah gambar bagian - bagian

alat Moisture Analyzer HB43-S dan spesifikasinya.

21

Gambar 4 Bagian – bagian dari alat Moisture Analyzer HB43-S.

Tabel 3 Spesifikasi alat HB43-S

22

B.2. Cara Kimia Titrimetri Karl Fischer

Pengukuran kadar air dengan metode Karl Fischer ini dalam bahasa Inggris

lebih dikenal sebagai water content. Cara ini mentitrasi sampel dengan larutan iodin

dalam metanol. Reagen lain yang digunakan dalam titrasi ini adalah sulfur dioksida

dan piridin. Metanol dan piridin digunakan untuk melarutkan yudium dan sulfur

dioksida agar reaksi dengan air menjadi lebih baik. Selain itu piridin dan metanol

akan mengikat asam sulfat yang terbentuk sehingga akhir titrasi dapat lebih jelas

dan tepat. Selama masih ada air dalam bahan, iodin akan bereaksi tetapi begitu air

habis, maka iodin akan bebas. Titrasi dihentikan pada saat timbul warna iodin

bebas. Untuk memperjelas pewarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan

akhir titrasi akan memberikan warna hijau. I2 dengan metilen biru akan berubah

warnanya menjadi hijau. Cara titrasi ini telah berhasil dipakai untuk penentuan

kadar air dalam alkohol, ester-ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung gula, madu,

dan bahan makanan yang dikeringkan. Cara ini banyak dipakai karena memberikan

nilai yang tepat dan dikerjakan cepat. Tingkat ketelitiannya lebih kurang 0,5 mg dan

dapat ditingkatkan lagi dengan sistem elektroda yaitu dapat mencapai 0,2 mg

(Sudarmadji. 2003).

Pada saat titrasi dilakukan pada sampel dengan pereaksi Karl Fischer, yang

mengandung yodium dan sulfur dioksida, maka jumlah yodium akan berkurang

jumlahnya karena belerang dioksida bereaksi dengan air yang berasal dari sampel.

Air bereaksi dengan reagen KF secara stoikiometri dimana volume pereaksi KF

yang diperlukan untuk mencapai titik akhir dari titrasi (yang ditentukan secara

visual, conductometric, atau coulometric) berhubungan secara langsung dengan

jumlah air dalam sampel.

Titrasi Karl Fischer biasanya digunakan untuk penentuan air dalam senyawa

organik dan beberapa sample yang sebagian terurai jika digunakan pada metoda

gravimetri (Nielsen. 2010).

Tidak seperti pengukuran gravimetrik yang merupakan metode tidak langsung

dimana semua volatile turut pula dihilangkan, titrasi Karl Fischer adalah metode

langsung yang hanya spesifik untuk air. Metode ini biasanya digunakan untuk

mengukur kadar air yang rendah (<1%) dan dapat mengukur sampai pada kadar air

23

<0,01%. Metode titrasi Karl Fischer biasanya digunakan untuk mengukur kadar air

sampel yang mengandung gula dalam jumlah cukup tinggi atau konsentrasi yang

tinggi pada gula dan protein, yang mungkin terurai jika menggunakan metode

gravimetri.

Tabel 4 Reagen yang diperlukan untuk analisis Karl Fischer

Sumber : Nielsen (2010)

Metode KF ini adalah air dititrasi dengan larutan metanol anhydrous yang

mengandung yodium, sulfur dioksida serta piridin yang berlebihan. Titrasi ini

didasarkan pada reaksi yodium dan belerang dioksida yang hanya dapat terjadi jika

terdapat air, di mana Py mewakili piridin. Hasil Py-SO3 bereaksi lebih lanjut

dengan metanol untuk membentuk methylsulfate anion:

Yodium akan bereaksi dengan dengan rasio stoikiometri 1:1 di dalam larutan

alcohol. Dalam larutan yang tidak mmengandung alcohol, reaksi antara yodium dan

air akan terjadi dalam rasio stoikiometrik 1:2 seperti berikut:

Dari persamaan itu dapat dilihat bahwa setiap satu molekul air membutuhkan satu

mol yodium. Titik akhir titrasi ditentukan oleh adanya perbahan warna dimana

sampel dititrasi dengan pereaksi Karl Fischer sampai warna yodium permanen

tampak (menunjukkan air telah semua bereaksi). Reaksi lain yang terjadi pada

24

sample maka perubahan warna biasanya dari kuning sampai kecoklatan, yang sulit

untuk dideteksi secara visual. Jumlah sampel berwarna yang cukup tinggi dapat

mempengaruhi titik akhir titrasi secara visual (Ruiz. 2001).

Titik akhir yang lebih tajam dapat diperoleh jika titrasi dilakukan secara

electrometric. Pada titrasi tersebut dua elektroda platinum kecil dicelupkan ke

dalam sel titrasi, tegangan konstan kecil dapat dideteksi oleh elektroda dan setiap

aliran arus akan diukur oleh galvanometer. Pada titik akhir titrasi baik minimum

atau meningkat dari nilai nol. Secara komersial telah tersedia instrumen Karl

Fischer yang bekerja berdasarkan prinsip ini dengan mikroprosesor semi-otomatis

(Ruiz. 2001).

Ada beberapa faktor penting yang yang harus diperhatikan pada saat

melakukan pengukuran kadar air menggunakan metode Karl Fischer :

• Pengaruh pH pada reaksi Karl Fischer

Kecepatan maksimum titrasi Karl Fischer dapat dicapai pada kisaran pH 5,5-8,0,

maka harus dihindari nilai pH yang lebih dari 8 dan kurang dari 4.

• Pengaruh pelarut pada reaksi Karl Fischer

Stoikiometri (rasio molar H2O:I2) tergantung pada jenis pelarut. Hasil penelitian

Eberius menunjukkan bahwa yodium dan air bereaksi dengan rasio 1:1 jika

persentase metanol dalam pelarut adalah 20% atau lebih. Kehadiran Metanol

diperlukan walaupun dalam jumlah minimum untuk terjadinya reaksi. Jika

diperlukan menggunakan titrasi bebas metanol (untuk aldehida dan keton), maka

dapat digunakan alkohol primer lainnya.

• Pengaruh jumlah air pada reaksi Karl Fischer

Perbandingan molar H2O:I2 juga dipengaruhi oleh jumlah air dalam sampel. J.C.

Verhoff dan E. Barenrecht, mengamati kenaikan titer dengan kadar air lebih

besar dari 1 mol/L. Namun tidak ada konsekuensi untuk aplikasi praktisnya,

karena konsentrasi air dalam pelarut secara signifikan lebih rendah. (Anonim.

1999).

Instrumen komersial dapat diklasifikasikan menjadi baik Karl Fischer

kolumetrik atau volumetrik. Pada pengukuran Karl Fischer kolumetrik jumlah air

25

yang akan bereaksi dengan mengukur jumlah listrik (dalam kolom) yang diperlukan

untuk reaksi secara lengkap antara air dan reagen Karl Fischer pada elektroda

dengan efisiensi 100%. Keuntungannya adalah bahwa larutan standar tidak

diperlukan di sini. Sensitivitas sangat tinggi (<10 g air) dan sangat berguna untuk

penelusuran.

Dalam titrasi Karl Fischer volumetrik, analisis didasarkan pada pengukuran

volume larutan standar (reagen Karl Fischer) yang harus ditambahkan untuk

bereaksi dengan air. Konsentrasi air dapat ditentukan dari volume reagen dengan

konsentrasi yang telah diketahui yang ditambahkan sampai mencapai titik akhir.

Penitrasi Karl Fischer volumetrik mengharuskan reagen Karl Fischer untuk

distandarisasi, namun tingkat kadari air dari 10 ppm hingga 100% dapat diukur.

Jenis titrator yang dipilih tergantung pada kebutuhan individu (penelusuran

atau pengukuran dengan ketelitian tinggi) dan anggaran titrator Karl Fischer

koulometrik umumnya biaya lebih mahal dari pada titrator Karl Fischer volumetrik.

Meskipun tidak sensitif pada jumlah kadar air yang sangat rendah dibandingkan

titrator kulometri Karl Fischer, titrasi volumetrik Karl Fischer membolehkan suatu

range yang lebih besar dalam pengukurannya.

Karl Fischer merupakan metode yang lebih sensitif yang berhubungan dengan

kelembaban apapun, bahkan dari lingkungan sekitarnya yang pengaruhnya harus

dihilangkan sebanyak mungkin. Instrumen komersial tersedia dengan wadah kaca

dan penutup, yang menjaga kontaminasi kelembaban untuk minimum. Sebagai

tambahan, instrumen ini dapat dipasang dengan lubang ke bejana reaksi di mana

sampel dapat ditambahkan secara langsung. Kerugian penambahan "langsung" dari

sampel adalah adanya partikulat dan bahan yang terdekomposisi dalam bejana

reaksi, yang pada akhirnya harus dibuang dengan lebih sering.

Analisis kadar air yang banyak digunakan adalah metode gravimetri terutama

karena biaya yang lebih tinggi dari peralatan dan penggunaan bahan kimia dalam

metode Karl Fischer (Ruiz. 2001).

26

C.1. Produk Perisa Bubuk

Müller (2007) menyatakan bahwa perisa adalah kategori pangan penting yang

secara sengaja ditambahkan pada bahan pangan. Perisa adalah bahan konsentrat

yang disiapkan dengan tujuan utama untuk memberikan rasa terkecuali bahan yang

secara eksklusif telah memiliki rasa manis, asam, dan asin. Perisa ditambahkan

dalam jumlah kecil pada bahan pangan dan tidak ditujukan untuk dikonsumsi secara

langsung. Semua substansi yang ditambahkan pada bahan pangan disebut sebagai

ingredient, misalnya flavour atau perisa, warna, emulsifier, garam dan sebagainya

yang dibedakan antara bahan alami dan sintetik menurut asalnya. Pada beberapa

Negara, perisa diklasifikasikan sebagai bahan tambahan makanan (food additive)

seperti di Amerika dan Jepang. Di bagian negara lainnya, flavour dipertimbangkan

sebagai suatu bentuk bahan pangan yang spesial seperti di Eropa.

Menurut SNI (2006) tentang bahan tambahan pangan, perisa adalah bahan

tambahan makanan (BTM) yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan

untuk memberikan aroma atau rasa atau keduanya (citarasa), akan tetapi bahan ini

tidak ditujukan untuk dikonsumsi secara langsung.

Berdasarkan asal bahan baku aromatik yang digunakan, perisa di

kelompokkan dalan perisa alami, perisa identik alami, dan perisa buatan. Jika

dilihat dari bentuk perisanya, perisa dibagi dalam bentuk cair yaitu campuran perisa

cair dan perisa emulsi, perisa semi padat yaitu minyak kental (viscous oil) dan

perisa pasta, perisa bubuk, platting atau dispersi perisa, dan perisa terenkapsulasi.

Perisa dapat menjadi cukup kompleks dan jumlahnya cukup banyak.

Perisa adalah substansi yang dapat memberikan sensasi rasa. Empat rasa dasar

dapat dirasakan pada bagian belakang lidah adalah rasa manis, asin, asam dan pahit.

Perisa menggunakan bahan alami, artifisial, atau kombinasi dan dapat berupa cairan

atau bentuk kering. Secara umumnya jenis perisa yang ada adalah buah-buahan,

dairy, meat, sayuran, minuman, dan liquor.

Perisa juga diklasifikasikan ke dalam kelompok rempah penting, perisa alami

dan artifisial. Material yang digunakan untuk untuk perisa dapat dikelompokkan

sebagai rempah dan bahan herbal, minyak esensial dan ekstraknya, buah dan jus

buah, dan senyawa alifatik, aromatik dan terpen (Igoe & Hui. 2001).

27

Menurut Müller (2007), perisa dapat terdiri dari perisa substansi, preparat

perisa, perisa proses, perisa asap, dan perisa pendukung. Terdapat tiga kategori pada

sustansi perisa yang didefinisikan oleh IOFI Code of Practice dan EU Flavour

Directive 88/388/EEC [1, 2]:

1. Natural flavouring substances, berasal dari bahan alami

2. Nature-identical flavouring substance, berasal dari bahan identik alami

3. Artificial flavouring substances, berasal dari bahan sintetik

Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan perisa bubuk di PT Givaudan Indonesia

Proses produksi perisa bubuk adalah proses pencampuran kering dengan

menggunakan alat pencampur berupa blender dengan proses yang dapat dilihat pada

diagram alir berikut.

Proses pembuatan perisa bubuk adalah mencampurkan beberapa bahan baku

(dapat berupa bahan alami, identik alami atau bahan artifisial) dan bahan pengisi

(filler) yang dicampur dengan menggunakan alat pencampur (blender) dengan

waktu tertentu. Setelah bahan homogen maka dilakukan pengayakan yang

merupakan titik kritis kontrol pertama (CCP) untuk mencegah benda asing dan

ukuran partikel yang tidak diinginkan. Setelah itu bahan ditimbang sesuai dengan

berat bersih yang diinginkan dan pada saat itu dilakukan pengambilan sampel untuk

Bahan Baku

Proses Pencampuran

Pengayakan (CCP)

Penimbangan &

Pengemasan

Pengambilan Sampel

untuk QC

Metal Detector (CCP)

Pemaletan

28

selanjutnya diserahkan ke bagian QC untuk dilakukan pemeriksaan. Setelah bahan

dikemas pada dus yang telah diberi label dan ditutup dengan lakban pada bagian

atas, maka dus-dus tersebut dilewatkan metal detektor yang merupakan titik kritis

kontrol kedua (CCP) untuk mendeteksi cemaran bahan metal dalam produk.

Selanjutnya dus tersebut diletakkan pada palet dan selanjutnya disimpan di gudang

sebelum dikirimkan ke konsumen. Bagian QC akan memeriksa sampel sesuai

dengan spesifikasi setiap bahan. Jika hasil analisis sesuai dengan standar dan

spesifikasi maka bahan akan diloloskan pada sistem sehingga dapat dikirim ke

konsumen. Jika bahan dalam kondisi pemeriksaan atau keluar dari spesifikasi, maka

produk akan terkunci secara sistem dan tidak dapat terkirim ke konsumen.

Untuk mempertahankan konsistensi mutu perisa bubuk, maka bagian QC akan

melakukan pengujian sebagai berikut:

- Penampakan dan warna produk dibandingkan dengan standar ataupun batch

sebelumnya dengan menggunakan metode pair comparison.

- Aroma dan rasa dibandingkan dengan standar ataupun batch sebelumnya

dengan menggunakan metode pair comparison.

- Kadar Air / susut pengeringan dengan metode LOD (loss on drying) yaitu

menggunakan oven dengan suhu 105oC selama 3 jam.

- Pengukuran kadar garam dengan metode potentiometric dengan menggunakan

alat autotitrator.

- Pengujian mikrobiologi sesuai dengan spesifikasi setiap perisa.

PT. Givaudan Indonesia memproduksi berbagai jenis perisa bubuk beberapa

diantaranya adalah perisa garlic, perisa HVP, dan perisa vanilla. Perisa Garlic

adalah produk bubuk perisa yang berbasiskan kombinasi ’flavor base’ berupa

beberapa jenis yeast, bubuk garlic dan 0.4% minyak (asam lemak tidak jenuh)

dengan ’filler’ campuran 40% tapioka dan 40% maltodekstrin. Sedangkan Perisa

HVP mengandung sekitar 40 % maltodektrin, MSG, beberapa jenis yeast dan 1%

minyak. Untuk perisa Vanilla digunakan vanilin sebagai ’flavor base’ dengan filler

laktosa sekitar 80% dan ditambah bahan lain hingga 100%.

Dengan proporsi yang sedemikian besar, ’filler’ dapat menjadi salah satu

penentu karakteristik akhir produk perisa bubuk. Tepung tapioka, maltodekstrin,

29

dan laktosa adalah bahan yang banyak dimanfaatkan sebagai ’filler’ dalam perisa

bubuk, karakteristik ketiga bahan ini patut ditelisik lebih dalam.

� Tepung Tapioka

Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan,

antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Tapioka yang

diolah menjadi sirup glukosa dan destrin sangat diperlukan oleh berbagai

industri, antara lain industri kembang gula, penggalengan buah-buahan,

pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak

digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam

industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es

krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain. (kadar air: 6-

12%)

� Maltodekstrin

diperoleh dari hasil hidrolisis sebagian pati, berbentuk granula atau serbuk

kering (kadar air: ≤ 5%) berwarna putih yang bersifat agak higrokopis.

Maltodekstrin mudah larut atau terdispersi dalam air membentuk larutan yang

jernih sampai agak berkabut.

� Laktosa

Berupa serbuk kristal (kadar air: ≤ 6% ) berwarna putih sampai putih krem,

tidak berbau sampai sedikit berbau khas dengan rasa manis. Bisa berupa

anhidrat atau mengandung satu molekul air hidrat, atau mengandung

campuran kedua bentuk tersebut jika disiapkan dengan proses pengeringan

semprot. Larut dalam air, sangat sukar larut dalam alkohol, tidak larut dalam

kloroform dan eter.

D. Pengolahan Data Statistik

D.1. Presisi, Akurasi, Kalibrasi, dan Validasi Data

Presisi

Mengacu pada pengulangan pengukuran. Pengukuran yang berulang-ulang dapat

memberikan hasil yang menyimpang sedikit satu sama lain dalam batas-batas

jumlah angka signifikan yang didapat, maka dapat dikatakan bahwa data yang

didapat adalah tepat, atau bahwa hasil menunjukkan tingkat presisi yang tinggi.

30

Rata-rata data tersebut mungkin atau mungkin tidak mewakili nilai riil dari

parameter itu, yang artinya bisa menjadi tidak akurat (Kenkel. 2003).

Ketika sampel di ukur beberapa kali jarang dihasil masing-masing pengukuran bisa

sama. Presisi adalah pengukuran dari variasi yang ada. Semakin dekat nilai

pengukuran antara masing-masing hasil, maka hasilnya lebih presisi. Jadi presisi

adalah indikator dari hasil pengukuran yang dihasilkan secara berulang-ulang

(Harvey. 2000)

Akurasi

Berkaitan ketepatan dari pengukuran atau seberapa dekat hasil terhadap nilai

sebenarnya. Sebagai contoh jika diketahui berat sebenarnya dari suatu objek adalah

1.0000 g, maka akurasi penimbangan dapat ditentukan. Objek bisa ditimbang untuk

melihat apakah timbangan akan menunjukkan 1.0000 g. Jika beberapa pengulangan

menunjukkan hasil antara 0.9998 and 1.0002 g, maka dapat dikatakan bahwa hasil

penimbangan tersebut presisi dan akurat. Jika hasil pengulangan penimbangan

antara 0.9983 and 0.9987 g, maka dapat dikatakan hasil penimbangangan tersebut

presisi namun tidak akurat. Jika pengulangan penimbangan memberikan hasil

antara 0.9956 and 0.9991 g, maka dapat dikatakan data tersebut tidak presisi dan

akurat. Akhirnya, jika keseluruhan hasil penimbangan memberikan hasil antara

0.9956 and 1.0042 g, dimana reratanya adalah 1.0000 g, maka penimbangan

tersebut dapat dikatakan akurat namun tidak presisi. Hal ini dapat diilustrasikan

pada gambar 6 berikut ini (Kenkel. 2003)

Menurut Harvey (2000), akurasi adalah seberapa dekat hasil percobaan

dengan hasil yang diinginkan. Jika hasil pengukuran dari alat penimbang hasilnya

lebih dari batas limit presisi maka dapat dikatakan bahwa alat tersebut perlu

dikalibrasi.

31

Gambar 6 Ilustrasi Akurasi dan Presisi Data (Sumber: Kenkel. 2003)

Kalibrasi

Mengacu pada prosedur untuk memastikan bahwa alat tersebut memberikan hasil

yang sesuai pada nilai tertentu. Sebagai contoh alat penimbang seperti telah

didiskusikan di sebelumnya, terkadang alat tersebut dapat secara elektronik

disesuaikan atau di adjust untuk memberikan hasil seperti yang telah diketahui.

Namun kalibrasi juga bisa mengacu pada prosedur dimana hasil pengukuran yang

sebelumnya tidak diketahui menjadi diketahui. Sebagai contoh pada alat

spectrofotometer dimana nilai adsorbance pada larutan dengan konsentrasi dapat

dikenali oleh alat tersebut.

Sebelum prosedur dapat memberikan informasi analisis yang berguna, sangatlah

penting untuk menunjukkan kemampuan yang memberikan hasil yang dapat

diterima. Validasi adalah evaluasi apakah presisi dan akurasi dapat diperoleh

dengan mengikuti prosedur yang sesuai untuk permasalahan yang ada. Sebagai

tambahan, validasi menentukan apakah prosedur tertulis telah cukup detail sehingga

analis atau laboratorium yang berbeda yang mengikuti prosedur yang sama dapat

memberikan hasil yang sebanding. Idealnya validasi dilakukan dengan

menggunakan sampel standard dimana komposisi sangat dekat dengan sampel yang

prosedurnya sedang dirancang (Harvey. 2000)

32

D.1. Perancangan Percobaan, Analisys of Variance (ANOVA)

Masalah umum dalam ilmu pengetahuan dan industri adalah membandingkan

beberapa perlakuan untuk menentukan manakah yang dapat memberikan hasil yang

paling baik. Metode umum untuk mengetahui perbedaan tersebut dikenal dengan

nama analysis of variance yang disingkat sebagai ANOVA. Analysis of variance

adalah bagaimana mempelajari sejumlah variasi pada y (respon) dan mencoba

untuk mengerti dari mana variasi ini berasal.

Prosedur ANOVA dibangun berdasarkan hipotesis yang dikenal sebagai F-tes

dimana membandingkan seberapa banyak perbedaan antara kelompok

dibandingakan dengan seberapa besar variasi antara tiap kelompok.

Gambar 7 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap hasil analisis “One Way

ANOVA”

Variasi antara kelompok disebut sebagai ‘intra-group variation’. Perbedaan antara

kelompok secara keseluruhan sebagaimana tercermin dari rata-rata populasi untuk

tiap faktor disebut ‘inter-group variation’ (Rowe. 2007)

Variasi one-way analysis digunakan bila:

• Titik akhir diukur nilainya (secara umum pada skala interval);

• Terdapat satu faktor eksperimen

• Faktor memiliki tiga atau lebih level.

33

Untuk melalukan analysis of variance, setiap kelompok data harus diambil dari

populasi distribusi normal dan kesemuanya harus mempunyai standard deviasi yang

sama. Sejumlah kecil sampel tidak sesuai untuk menggunakan metode ini.

Analysis of variance dimulai dengan perumusan stastistik pengujian hipotesa untuk

melihat perbedaan antara rata-rata populasi. Hipotesis nol adalah :

Dimana merupakan suatu keharusan untuk semua rata-rata perlakuan adalah sama.

Sebagai contoh, Ho sebagai nul hipotesis adalah desain wadah mempengaruhi pada

penjualan, dimana pada peneliti sangat tertarik apakah ada perbedaan antara rata-

rata populasi yang ada dan hipotesis alternatifnya adalah sebagai Hα.

Ini dapat dikatakan sebagai satu perlakuan yang menghasilkan rata-rata hasil yang

berbeda. Teknik statistik yang digunakan dalam contoh ini dikenal sebagai single-

factor ANOVA yang dikenal juga sebagai F-tes karena perhitungan hasil dalam

bentuk angka sebagai F. Berdasarkan nilai F maka keputusan dapat diambil apakah

diterima atau tidak diterima terhadap hipotesa nol (null hypothesis). Ketika

keputusannya adalah ditolak terhadap hipotesa nol, maka kesimpulan yang diambil

adalah terdapat perbedaan antara rata-rata populasi yang ada (Rafter et al, 2002).

Dalam perhitungan, Kuadrat Tengah Galat (KTG) diperoleh dari analisis

ragam, dimana jumlah banyaknya ulangan dinyatakan sebagai ragam (r), α sebagai

taraf nyata, p adalah banyaknya perlakuan tidak termasuk kontrol (p = t-1),

sedangkan dfe adalah derajat bebas galat.

Tabel 5 Analisis Varian/Keragaman untuk Rancangan Acak Lengkap

Sumber

Keragaman Db JK KT Fhitung

F

5%

F

1%

Perlakuan t – 1 JKP JKP/(t-1) KTP/KTG

S Galat (rt-1)-(t-1) JKG

JKG/(rt-

t)

Total Rt-1

JKP+JK

G

Dimana :

34

t = perlakuan termasuk kontrol

p = perlakuan tidak termasuk kontrol = (t-1)

r = ragam = jumlah ulangan

rt = banyaknya pengamatan = r x t

db total = banyaknya pengamatan-1 = rt - 1

db perlakuan = total banyaknya perlakuan-1 = t - 1

db galat = db total - db perlakuan

FK = faktor koreksi=(∑(Yij))2/rt) = (total jendral)

2/total pengamatan

JKT = ∑(Yij)2-FK =∑kuadrat tengah=total jendral kuadrat-FK

JKP = (∑(Yij)2)/r)-FK =(( total perlakuan)

2/r) - FK

JKG = JKT-JKP

KTP = JKP/dbp = Kuadrat Tengah Perlakuan = JK Perlakuan/(t-1)

KTG = JKG/t*(r-1) = Kuadrat Tengah Galat= JK Galat /t (r-1)

Fhitung = KTP/KTG = KT Perlakuan/KT Galat

Kk = koefisien keragaman= (KTG0.5

x100%)/nilai tengah umum

jika kk < 20% maka derajat ketepatan atau keterandalan percobaan semakin baik.

Menurut Rumsey (2009), kesimpulan dapat diambil dalam one of two ways

dimana nilai p tercapai atau nilai kritis termendekati (F-statistik). Kaitan nilai p

untuk F-tes terletak pada faktor baris dibawah kolom dengan judul P, nilai statistik

F-tes terletak pada baris baris dibawah kolom F.

Pendekatan nilai p adalah :

• Ho ditolak , jika nilai p adalah kurang dari α yang telah ditentukan (umumnya

0.05),

• Ho diterima, jika nilai p lebih besar dari α, terjadi bila tidak cukup bukti dari

data tersebut yang menyatakan rata-rata populasi k terdapat perbedaaan.

Pendekatan nilai kritis adalah :

Merata-ratakan nilai p, maka akan didapatkan nilai perpotongan pada F-distribution

dengan derajat bebas (k – 1, n – k). Perpotongan ini disebut sebagai nilai kritis, yang

35

telah ditentukan sebelumnya (umumnya 0.05). α = 0.05 adalah yang paling umum

dipakai pada distribusi F.

Berdasarkan table-F, titik kritis dicari dan dibandingkan dengan perhitungan

statistik F pada F-distribution yang sesuai dengan derajat bebas (k – 1, n – k) untuk

menarik kesimpuan:

• Ho ditolak, jika perhitungan statistik F keluar (lebih atau kurang) dari nilai yang

ditemukan dalam table F, tidak Dapat dikatakan paling sedikit dua perlakuan

atau populasi yang memiliki rata-rata yang berbeda.

• Ho diterima, jiak perhitungan statistik F lebih kecil dati nilai table F.

Dibutuhkan penilaian yang objektif yang lebih dalam, pada saat inilah ‘follow up’

atau ‘post hoc’ dibutuhkan. Disebut demikian karena secara tradisional hanya

digunakan setelah ANOVA terbukti berbeda secara signifikan, meskipun

sebenarnya tidak ada aturan untuk mengikuti urutan tersebut.

Menurut Rowe (2007), uji ANOVA hanyalah uji statistik yang menguji

signifikasi. Analysis of variance hanya memberitahukan apakah terdapat perbedaan

antara perlakuan yang ada, namun tidak memberitahukan perlakuan mana yang

berbeda dengan lainnya atau seberapa besar perbedaan antara pasangan perlakuan

yang ada. Follow-up tes memperbaiki kedua kekurangan tersebut :

• Dunnett’s – membandingkan satu populasi kontrol terhadap lainnya (satu

perlakuan dipilih sebagai kontrol atau populasi acuan. Semua perlakuan

kemudian dibandingakan dengan kontrol)

• Tukey’s – membandingkan semua populasi terhadap lainnya (semua populasi

dibandingkan dengan populasi lainnya pada setiap pasangan yang

memungkinkan)

Berikut ini adalah langkah-langkah umum dalam menggunakan one-way

ANOVA:

1. Periksa kondisi ANOVA, gunakan data yang yang sudah terkumpul dari tiap

populasi k.

2. Menentukan hipotesis Ho: µ1 = µ2 = . . . = µk lawan Ha: paling tidak dua rata-

rata dari populasi berbeda. Cara lainnya untuk menentukan hipotesa alternative

dengan mengatakan Ha: paling tidak dua dari µ1, µ2, . . . µk adalah berbeda.

36

3. Mengumpulkan data dari random dari sample k, satu dari tiap populasi.

4. Gunakan uji F pada data dari langkah ketiga, gunakan hipotesis dari langkah

kedua dan temukan nilai p.

5. Buat kesimpulan : jika Ho ditolak (ketika nilai p lebih kecil dari 0.05 atau dari

nilai α yang telah ditentukan), simpulkan bahwa dua dari rata-rata populasi

adalah berbeda atau simpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak Ho,

dapat dikatakan rata-ratanya adalah berbeda (Rumsey. 2009).

D.2. Prosedur Multiple Comparison dan Tes Dunnett

Metoda multiple comparison didesain untuk menyelidiki perbedaan antara

pasangan dari rata-rata spesifik atau kombinasi linier dari rata-rata yang lebih

umum adalah subset dari rata-rata populasi menggunakan data sampel.

Prosedur multiple comparison dipakai untuk membandingkan beberapa

perlakuan secara bersamaan dengan kontrol atau perlakuan standar yang didesain

digunakan untuk menguji signifikan dari perbedaan antara tiap perlakuan dan

kontrol terhadap nilai tertentu 1 – P untuk tingkat signifikan yang sama atau untuk

menentukan batas kepercayaan pada nilai sebenarnya dari perlakuan yang berbeda

dari kontrol terhadap nilai P tertentu untuk koefisien yang sama. Jadi prosedur

memiliki sifat mengendalikan secara percobaan dibandingkan perbandingan awal

yang tingkat kesalahannya terkait dengan perbandingan itu sendiri yang biasa

dikenal sebagai prosedur multiple comparison dari Tukey.

Perbandingan antara perlakuan dan sebuah kontrol atau standar lebih diminati

pada percobaan biologi. Pada situasi tertentu tipe prosedur multiple comparison

yang penting bagi peneliti. Prosedur multiple comparison dapat digunakan untuk

membuat pernyataan yang meyakinkan. Perbandingan utama dari ketertarikan

peneliti adalah antara masing-masing dari tiga perlakuan terhadap kontrol (Dunnett.

1964).

Tujuan dari prosedur multiple comparison adalah untuk mengendalikan

“tingkat signifikan secara keseluruhan” dari beberapa kesimpulan yang dilakukan

sebagai “follow up” pada ANOVA. “Tingkat signifikan secara keseluruhan” atau

derajat kesalahan adalah probabilitas tergantung pada hipotesa nol yang diuji

37

dengan benar, dengan menolak paling tidak salah satu atau sebanding, memiliki

paling tidak satu interval kepercayaan tidak termasuk nilai yang benar.

Banyak metode prosedur multiple comparison. Sebagian besar membandingkan

rata-rata dari pasangan kelompok atau menentukan mana yang berbeda secara

signifikan. Variasi metode berbeda pada seberapa baik dapat mengendalikan tingkat

perbedaan nyata secara keseluruhan. Salah satunya adalah tes Dunnett yang

digunakan untuk membandingkan sample (kontrol) terhadap setiap perlakuan,

namun tidak membandingkan antara tiap perlakuan.

D.2.1. Many-to-One Comparisons

Many-to-one comparisons secara umum digunakan untuk membandingkan

perlakuan percobaan yang berbeda dibandingakn terhadap rata-rata perlakuan

kontrol yang ditujukan sebelum pengumpulan data. Data yang mengandung k-1

perbandingan berpasangan dengan rata-rata kontrol dalam setiap perbandingan.

Seringkali, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perlakuan percobaan dengan

hasil yang signifikansi "lebih baik" dari kontrol ini karena memerlukan uji hipotesis

satu sisi. Jika tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perlakuan yang secara

signifikan "lebih baik" atau secara signifikan "buruk" hasilnya, maka uji hipotesis

dua sisi diperlukan. Sebuah aplikasi kedua dari many-to-one comparisons ini

digunakan ketika rata-rata percobaan eksperimental yang berbeda dibandingkan

dengan rata-rata percobaan "terbaik". Tes Dunnett adalah pengujian nyata bagi

keluarga many-to one comparisons ketika kontrol telah ditentukan sebelum

pengumpulan data (Rafter et al. 2002).

Tes Dunnett digunakan hanya jika semua rata-rata dibandingkan dengan satu

rata-rata yang disebut kelompok kontrol. Beberapa variasi beras dapat dibandingkan

dengan beras yang umum (dan hanya dibandingakan dengan beras yang umum,

tidak dibandingakan antara perlakuan), tes Dunnett menjadi prosedur multiple-

comparison yang sesuai.

Dunnett's t-tes adalah prosedur yang di rancang untuk membandingkan

kondisi perlakuan yang berbeda terhadap kondisi umum kontrol. Prosedur untuk

membandingkan tiap rata-rata percobaan terhadap kontrol disebut sebagai “Tes

Dunnett”.

38

D.2.2. Tes Dunnett

Tes Dunnett digunakan saat sebuah perlakuan dipilih dan disebut sebagai

kontrol atau kelompok acuan. Tes Dunnett akan memperlakukan satu populasi

sebagai acuan dan kemudian membandingkannya terhadap perlakuan lainnya.

Tingkat kepercayaan diperhitungkan antara tiap pasangan perlakuan. Jika interval

tidak termasuk nol diperbandingan secara stastistik, hasilnya akan nyata. Jika

interval diperhitungkan untuk memberikan perbandingan lebih kecil 5 per resiko

yang dihasilkan maka akan menghasilkan kesalahan positif maka keseluruhan

perbandingan akan di kumpulkan dengan total 5 per resiko (Rowe. 2007).

O'Mahony 1986 menjelaskan bahwa Tes Dunnett digunakan jika semua rata-

rata akan dibandingkan dengan satu rata-rata yang disebut sebagai kontrol. Tes

Dunnett membandingakan rata-rata populasi yang ada dan ini spesifik dirancang

untuk kondisi dimana semua populasi dibandingkan terhadap satu acuan populasi.

Secara umum digunakan setelah ANOVA telah menolak hipotesis dari

kesebandingan rata-rata dari distribusi. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi

populasi yang memiliki rata-rata yang berbeda nyata dari rata-rata populasi acuan.

Uji tesebut adalah hipotesis nol dimana tidak ada populasi denga rata-rata berbeda

nyata dari rata-rata populasi kontrol.

Gambar 8 Skema pengujian pada uji Dunnett (Sumber : Rafter et al , 2002)

39

Menurut Rafter et al (2002), karena kontrol sangat penting pada Tes Dunnett

maka perlu mempunyai jumlah sample yang lebih banyak dari populasi lainnya.

Aturan yang berlaku untuk mengoptimalisasi prosedur yaitu jika setiap populasi

percobaan k-1 memiliki nilai n, maka populasi kontrol harus memiliki nilai kira-

kira . Jika populasi percobaan memiliki jumlah sample yang berbeda, rata-

rata jumlah sample harus dikali dengan untuk memutuskan jumlah sample

populasi kontrol.

Bentuk two-sided tes adalah :

Tes Dunnett menuntut semua populasi mempunyai jumlah sampel yang sama.

Jika ANOVA ditolak berdasarkan persamaan hipotesis, maka pertanyaan

populasi mana yang memiliki rata-rata yang berbeda nyata dengan populasi kontrol.

Tes Dunnett dengan sukses membandingkan :

• Populasi kontrol vs populasi 1 (H0 : µ t = µ1 / H1 : µ t µ1),

• Populasi kontrol vs populasi 2 (H0 : µ t = µ2 / H1 : µ t µ2),

• Populasi kontrol vs populasi 3 (H0 : µ t = µ3 / H1 : µ t µ3).

Setiap pasang (Kontrol, populasii), Tes Dunnett memperhitungkan nilai dari

statistik « tobserved ». Nilai ini dibandingakan dengan nilai kritis yang dapat di baca

pada "Tabel Dunnett". Nilai kritis ini tergantung pada jumlah sampel, jumlah

populasi yang akan dibandingakan terhadap reference/kontrol dan pemilihan level

signifikan.

Nilai t* adalah nilai yang diperoleh dari tabel t- Dunnett (lampiran 2 dan

lampiran 3) pada taraf nyata α dengan derajat bebas = dfe. Pada tabel t-Dunnett

biasanya telah ditentukan untuk pengujian dua arah.

Tes Dunnett mengendalikan derajat bebas percobaan dan lebih hebat dari

pada pengujian lain yang dirancang membandingkan tiap rata-rata terhadap rata-rata

lainnya. Uji ini dilakukan dengan memperhitungkan modifikasi t-tes antara setiap

populasi dan populasi kontrol. Rumus dari t-tes Dunnett adalah :

40

Dimana Mi adalah rata-rata dari populasi percobaan ke-i, Mc adalah rata-rata dari

populasi kontrol, MSE adalah rata-rata dari akar kesalahan yang dihitung dari

analysis of variance dan nh adalah rata-rata jumlah sample populasi percobaan dan

kontrol yang harmonis (Rafter et al. 2002).

Perhitungan dengan Tes Dunnett :

Galat Baku = ( 2 KTG / r)0.5

Nilai d = t (Dunnett) x Galat Baku

Nilai tunggal dari Dunnett (d atau DLSD) tersebut adalah :

Untuk pasangan (kontrol, populasii ), jika ti observed adalah lebih besar dari nilai kritis

tcritical rata-rata dari grup i dinyatakan berbeda nyata dari rata-rata grup kontrol.

Dimana µI adalah rata-rata dari populasi percobaan dan µc adalah rata-rata populasi

kontrol. Perbedaan nyata tampak ketika interval kepercayaan untuk µI - µc tidak

sama dengan nol. Untuk tes one-sided yang lebih rendah dengan laternatif hipotesis

yang sesuai Hα:µI - µc<0, perbedaan nyata ditunjukkan ketika tes one-sided yang

lebih tinggi kurang dari nol. Untuk tes one-sided yang lebih tinggi dengan alternatif

hipotesis yang sesuai adalah Hα:µI - µc>0, perbedaan nyata ditunjukkan ketika tes

one-sided yang lebih rendah lebih besar dari nol (Rafter et all, 2002).

Jika tobserved > tcritical pada beberapa populasi maka H0 yang berkaitan dengan

populasi ini akan ditolak, dan rata-rata populasi mean aan dinyatakan berbeda

nyata dari rata-rata populasi kontrol (pada signifikan level tertentu).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium PT. Givaudan Indonesia. Penelitian

dilakukan mulai bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Desember 2011.

B. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tepung tapioka,

maltodekstrin, dan laktosa yang merupakan bahan filler dalam pembuatan produk

bubuk perisa, serta tiga jenis bubuk perisa yaitu perisa HVP, perisa Garlic dan

perisa Vanilla. Khusus untuk tapioka yang digunakan pada penelitian pendahuluan,

dilakukan proses penyeragaman kadar air awal terlebih dahulu sebelum bahan ini

dipakai.

C. Peralatan

Peralatan yang digunakan berupa oven konveksi (Memert UM-400), Moisture

Analyzer Halogen (Mettler Toledo HB43-S), desikator, kotak plastic kedap udara,

inkubator, cawan alumunium, neraca analitik (Sartorius BP160P), dan Karl Fischer

autotitrator Mettler Toledo DL31.

D. Metode Percobaan

Percobaan dalam penelitian ini terbagi atas tiga tahapan, yaitu (1) penelitian

pendahuluan, (2) penelitian tahap pertama dan (3) penelitian tahap kedua.

D.1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan terhadap sampel tepung tapioka untuk

melihat kesetaraan hasil pengukuran metoda oven dengan metoda analisis cepat

menggunakan Moisture Analyzer Mettler Toledo Halogen HB43-S. Untuk

memastikan bahwa sampel tapioka yang diukur menggunakan kedua alat tersebut

42

memiliki kandungan air awal yang identik dan diketahui secara pasti, maka

dilakukan proses penyeragaman kadar air awal sampel.

Sampel tapioka dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yang berbeda, kelompok A

adalah sampel tapioka yang diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan

garam jenuh MgCl2 (RH25°C=32,73%), kelompok B diseragamkan kadar air awalnya

menggunakan larutan garam jenuh NaCl (RH25°C=75,32%), dan kelompok C

diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh KCl (RH25°C

=84,32%).

Masing – masing kelompok sampel tapioka yang telah mencapai kadar air

kesetimbangan (equilibrium moisture content/EMC) kemudian diukur kadar airnya

menggunakan oven konveksi yang dioperasikan pada suhu tetap 105 °C (sampel

A1) dan Moisture Analyzer Mettler Toledo HB43-S yang dioperasikan pada 7

tingkat suhu yaitu 95 °C (sampel A2), 100 °C (A3), 105°C (sampel A4), 110°C

(sampel A5), 115°C (sampel A6), 120°C (sampel A7), dan 125°C (sampel A8).

Secara skematis skenario percobaan di tahap ini dapat dilihat pada gambar 9.

Keterangan: A = tapioka ; 1 = oven 105 °C ; 2 = MA 95 °C ; 3 = MA 100 °C ; 4 = MA 105 °C ;

5 = MA 110 °C ; 6 = MA 115 °C ; 7 = MA 120 °C ; 8 = MA 125 °C

Gambar 9 Skenario penelitian pendahuluan

Tapioka disimpan dengan

RH tertentu selama 21 hari ,

kemudian diuker dengan

menggunakan metoda LOD -

Oven (3 kali pengulangan)

Pengukuran kadar air tapioka yang

sudah dikondisikan tersebut dengan

menggunakan Moisture Analyzer

Halogen (3 kali pengulangan) pada 7

suhu yang berbeda

A1

A2 A5

A6

A3

A7

A4

A8

Suhu yang

menghasilkan

kadar air yang

sama dengan LOD

Menjadi acuan suhu pengukuran kadar air pada pengujian selanjutnya

Mana suhu

yang hasilnya

mendekati ?

43

D.2. Penelitian Tahap Pertama

Penelitian tahap pertama dilakukan terhadap tiga jenis bahan dasar yang biasa

digunakan sebagai bahan pembawa atau bahan pengisi pada produk perisa yaitu

tepung tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan

setting suhu pemanasan yang tepat untuk masing–masing bahan pada alat ’Moisture

Analyzer’, sehingga bila nantinya diterapkan untuk pengukuran kadar air, hasil

pengukuran yang didapatkan oleh ’Moisture Analyzer’ akan setara dengan hasil

pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi (SNI 01-2891-1992 butir 5.1).

Suhu tersebut akan dijadikan acuan untuk pengukuran kadar air produk bubuk

perisa yang sebagian besar komponennya adalah ketiga bahan dasar yang telah

disebutkan di atas. Skenario penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Skenario penelitian tahap pertama

Keterangan:

A = tapioka ; B = maltodekstrin ; C = laktosa

1 = oven 105 °C ; 2 = MA 100 °C ; 3 = MA 105 °C ; 4 = MA 110 °C

44

D.3. Penelitian Tahap Kedua

Penelitian kedua dilakukan pada bubuk perisa HVP, Garlic, dan Vanilla.yang

sebagian besar komponennya adalah tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan

ini dilakukan untuk memverifikasi apakah setting suhu pemanasan yang telah

didapatkan pada tahap sebelumnya dapat diterapkan untuk analisis kadar air produk

perisa HVP (berbahan dasar maltodekstrin), perisa garlic (berbahan dasar campuran

tapioka - maltodekstrin), dan perisa vanilla (berbahan dasar laktosa). Apabila dapat

ditunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar air ketiga produk ini menunjukkan

perilaku yang sama dengan hasil pengukuran pada bahan dasarnya, maka

selanjutnya metoda pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer HB43-S

untuk produk - produk perisa jenis lain akan mengikuti metoda pengukuran bahan

dasarnya. Skenario penelitian tahap kedua dapat dilihat pada Gambar 11. Khusus

untuk perisa vanilla dilakukan pula pengukuran kadar air menggunakan metoda

titrimetri Karl Fischer karena produk ini banyak mengandung bahan – bahan yang

diperkirakan akan terdekomposisi bila terekspose panas tinggi.

Gambar 11 Skenario penelitian tahap kedua

Keterangan:

A = perisa HVP ; B = perisa garlic ; C = perisa vanilla

1 = oven 105 °C ; 2 = MA 100 °C ; 3 = MA 105 °C ; 4 = MA 110 °C

45

D.4. Penyeragaman Kadar Air Sampel Tapioka

Penyeragaman kadar air sampel tapioka yang digunakan pada tahap penelitian

pendahuluan dilakukan dengan cara menempatkan sample uji ke dalam beberapa

desikator/wadah kedap udara yang didalamnya masing–masing telah ditempatkan

larutan garam jenuh (A) MgCl2 RH 25°C = 32,73%, (B) NaCl RH 25°C = 75,32%, dan

KCl (C) RH 25°C = 84,32%. Wadah kedap udara/desikator tersebut selanjutnya

disimpan dalam inkubator bersuhu konstan 25°C selama 3 (tiga) minggu. Di akhir

penyimpanan diharapkan kadar air sampel telah mencapai kadar air kesetimbangan

(equilibrium moisture content) sesuai dengan kondisi RH udara penyimpanan.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 12 Persiapan wadah proses penyeragaman kadar air

46

Tabel 6 Nilai RH yang dibentuk oleh 3 larutan garam jenuh yang digunakan pada

suhu 25oC

Larutan garam jenuh Kelembaban relatif yang terbentuk (RH, %)

25oC

MgCl2 32,73

NaCl 75,32

KCl 84,32

Sumber : Syarief & Halid (1993) dan Koesnandar (2010)

Proses penyeragaman kadar air dimulai dengan penyiapan kontainer plastik

kedap udara sebagai pengganti desikator, dan mengisi kontainer tersebut dengan

larutan garam jenuh sesuai dengan RH yang hendak disasar (Gambar 12a dan 12b).

Bagian bawah kontainer plastik tersebut diberi penyangga supaya larutan

garam tidak bersentuhan dengan cawan yang digunakan untuk menaruh sampel

(Gambar 12c). Cawan yang akan digunakan ditimbang (Gambar 12d) kemudian

ditambahkan sampel kedalamnya dan ditimbang lagi. Cawan berisi sampel yang

telah ditimbang diletakkan di dalam kontainer di atas sekat dan ditutup rapat

(gambar 13a, 13b dan 13c) setelah itu dimasukkan dalam inkubator 25oC dan

dibiarkan selama 3 minggu (Gambar 13d dan 13e). Setelah 3 minggu maka sampel

dikeluarkan dari inkubator.

47

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 13 Proses penyeragaman kadar air sampel tapioka

E. Metoda Pengamatan

E.1. Kadar Air dengan Oven (SNI 01-2891-1992 butir 5.1)

Cawan alumunium atau botol timbang bertutup dikeringkan pada suhu 105 °C

selama 1 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang, diisi dengan contoh yang akan

ditentukan kadar airnya, ditimbang dengan seksama sebanyak 1 sampai 2 gram.

Sampel tersebut dikeringkan pada di oven suhu 105 oC hingga diperoleh bobot

tetap. atau sampai tercapai berat konstan.

% Kadar Air = W sampel – (W akhir – W cawan) x 100 % (1.4)

Basis Basah W sampel

% Kadar Air = W sampel – (W akhir – W cawan) x 100 % (1.5)

Basis Kering (W akhir – W cawan)

48

Gambar 14 Alat oven Memmert yang digunakan untuk pengujian kadar air.

E.2. Pengukuran Kadar Air dengan menggunakan Moisture Analyzer HB43-S

Alat Moisture Analyzer di nyalakan selama 30 menit. Suhu pengukuran yang

diinginkan diatur pada alat dengan memilih metode yang sesuai dengan menekan

tombol ”Mode”. Alas alumunium bersih diletakkan pada tempat alas dan alat akan

melakukan tare secara otomatis. Sebanyak sekitar 3 gr sampel diratakan pada alas

alumunium, kemudian alat ditutup, maka alat akan memanaskan produk dengan

pijaran halogennya dan menimbang secara otomatis sampai berat bahan konstan

dan hasil akan tercetak pada alat pencetak.

E.3. Pengukuran Kadar Air dengan menggunakan metoda Karl Fischer

Karl Fischer Method (AOAC 977.10, 1995)

Pemeriksaan konsentrasi titran (Hydranal Composit 5) dan Hydranal

Methanol perlu dilakukan dan memastikan selang terhubung dengan tepat ke alat.

Pastikan wadah dalam kondisi kering. Alat Karl Fischer Titrator DL-31 dinyalakan

tekan tombol “POWER”. Pastikan printer LX8-terhubung dengan alat KF dan

dalam kondisi aktif. Wadah titrasi dibilas bersih dan selang diturunkan mendekati

dasar wadah. Tekan tombol pompa untuk memasukkan cairan Hydranal Methanol

±40 ml sebagai pelarut ke dalam wadah, titratasi awal pelarut tersebut dengan

Hydranal Composit 5 untuk menghilangkan kadar air dalam pelarut. Setelah stabil,

masukkan sampel pada wadah dan tutup rapat. Masukkan berat sampel pada alat,

49

dan tekan tombol mulai, maka alat akan mentitrasi sampel dan setelah titik akhir

terdeteksi oleh elektroda, maka hasil kadar air atau water content (%) akan tercetak

secata otomatis.

Gambar 15 Perangkat autotitrator KF Mettler Toledo DL31

50

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan, tepung tapioka dikondisikan dengan

menempatkan sampel ini di dalam wadah yang berisi larutan garam jenuh dan

disimpan dalam inkubator 25oC selama 3 minggu. Adapun garam jenuh yang

digunakan adalah MgCl2 dengan RH 25oC = 32,73%, NaCl dengan RH 25

oC =

75,32%, KCl dengan RH 25oC = 84,32%. Larutan garam dinyatakan jenuh apabila

sebagian dari kristal garam tersebut tidak dapat larut lagi di dalam air atau

membentuk endapan.

Tabel 7 Peningkatan kadar air tepung tapioka pada suhu 100oC dengan MA pada

berbagai aw

Kadar Air Tapioka diukur dengan MA 100oC

Jenis Garam MgCl2 NaCl KCl

RH 32,73 75,32 84,32

Hari ke 0 9,63 9,63 9,63

Hari ke 1 9,25 12,75 13,23

Hari ke 7 8,47 14,13 15,74

Hari ke 9 8,68 14,48 16,34

hari ke 12 8,78 14,26 16,54

hari ke 21 8,75 14,43 16,30

Pada pengujian pendahuluan ini beberapa sampel diambil dari wadah yang berisi

larutan garam jenuh untuk melihat apakah tepung tapioka yang ditaruh di

dalamnya telah mencapai kesetimbangan atau belum. Penyimpanan dilakukan

selama 21 hari karena belum diketahui berapa lama tepung tapioka perlu disimpan

sampai kesetimbangan tercapai. Dari tabel 7 didapatkan informasi baru bahwa

tepung tapioka yang dikondisikan pada berbagai RH tersebut telah mencapai

kesetimbangan pada hari ke-9 penyimpanan pada suhu 25oC.

Berikut ini adalah hasil rata-rata perhitungan kadar air tepung tapioka basis

kering dan basis basah yang telah dikondisikan pada berbagai RH yang telah

mencapai kesetimbangan ERH (equilibrium relative humiditt) yang diukur pada

berbagai suhu pengukuran yang berbeda untuk mendapatkan suhu pengukuran

52

yang sesuai yang dapat digunakan pada pengujian selanjutnya. Hasil kadar air

yagn didapat dapat disebut sebagai EMC (equilibrium moisture content).

Perhitungan ANOVA dan Dunnett dilakukan pada tepung tapioka yang disimpan

pada larutan garam jenuh MgCl2 (RH=32,72) pada tabel 9 dan 10 hasil

perhitungan kadar air basis basah, sedangkan tabel 12 dan 13 yang merupakan

hasil perhitungan menggunakan basis kering.

Tabel 8 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis basah di berbagai

ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda

Garam RH aw

Rata-rata kadar air basis basah pada Tapioka

diukur dengan alat dan suhu yang berbeda

Oven

105

MA

95

MA

100

MA

105

MA

110

MA

115

MA

120

MA

125

MgCl2 32,72 0,33 9,1534 8,6500 8,7567 9,2533 9,4100 9,6867 9,8800 10,1050

NaCl 75,32 0,75 14,5486 14,0867 14,4667 14,7433 14,8900 15,0400 15,2533 15,4000

KCl 84,32 0,84 16,4765 16,1267 16,2700 16,4567 16,7767 16,9567 17,0133 17,2533

Tabel 9 ANOVA tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2 (RH=32,72)

pada 7 suhu pengukuran yang berbeda

Sumber

Keragaman DB JK KT Fhitung F 5% F 1%

Perlakuan 7.00 5.57 0.80 110.15 2.92 3.73

Galat 16.00 0.12 0.01

Total 23.00 5.69

Tabel 10 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2

(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda

Perbandingan

Sample vs Kontrol

Beda Mutlak

(|Yi-Yj|) Nilai d Hasil

MA 95oC Oven 105oC 0.503 0.203 Beda Nyata

MA 100oC Oven 105oC 0.397 0.203 Beda Nyata

MA 105oC Oven 105oC 0.100 0.203 Tidak Nyata

MA 110oC Oven 105oC 0.257 0.203 Beda Nyata

MA 115oC Oven 105oC 0.533 0.203 Beda Nyata

MA 120oC Oven 105oC 0.727 0.203 Beda Nyata

MA 125oC Oven 105oC 0.952 0.203 Beda Nyata

Tabel 11 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis kering (g/100 g

padatan) diberbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda

Garam RH aw

Rata-rata kadar air basis kering pada Tapioka

diukur dengan alat dan suhu yang berbeda

Oven

105 MA 95

MA

100

MA

105

MA

110

MA

115

MA

120

MA

125

MgCl2 32,7 0,33 10,0757 9,4692 9,5971 10,1970 10,3875 10,7257 10,9632 11,2409

NaCl 75,3 0,75 17,0257 16,3966 16,9135 17,2929 17,4950 17,7025 17,9988 18,2034

KCl 84,3 0,84 19,7270 19,2274 19,4316 19,6984 20,1588 20,4191 20,5013 20,8508

53

Tabel 12 ANOVA tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2 (RH=32,72)

pada 7 suhu pengukuran yang berbeda

Sumber

Keragaman DB JK KT Fhitung F 5% F 1%

Perlakuan 7,00 8,25 1,18 111,06 2,92 3,73

Galat 16,00 0,17 0,01

Total 23,00 8,42

Tabel 13 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2

(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda

Perbandingan

Sample vs Kontrol

Beda Mutlak

(|Yi-Yj|) Nilai d Hasil

MA 95oC Oven 105

oC 0,606 0,246 Beda Nyata

MA 100oC Oven 105

oC 0,479 0,246 Beda Nyata

MA 105oC Oven 105

oC 0,121 0,246 Tidak Nyata

MA 110oC Oven 105

oC 0,312 0,246 Beda Nyata

MA 115oC Oven 105

oC 0,650 0,246 Beda Nyata

MA 120oC Oven 105

oC 0,887 0,246 Beda Nyata

MA 125oC Oven 105

oC 1,165 0,246 Beda Nyata

Dari tabel data di atas terlihat bahwa hasil pengukuran EMC menggunakan

moisture analyzer yang diatur pada suhu 105 °C menunjukkan hasil yang paling

mendekati hasil pengukuran menggunakan oven konveksi UM-400 yang

diperlakukan sebagai kontrol. Uji ANOVA terhadap data–data tersebut

membuktikan bahwa sekurang–kurangnya terdapat 95% yang memiliki hasil F

hitung kurang dari F tabel 2.92 seperti tampak pada tabel 10 dan 12. Selanjutnya

dengan uji lanjutan Dunnett dapat dibuktikan bahwa hasil pengukuran EMC

tepung tapioka menggunakan moisture analyzer HB43-S yang diatur pada suhu

105 °C adalah secara statistik setara dengan hasil pengukuran menggunakan oven

konveksi UM-400. Hasil pengukuran dengan MA 105°C tidak berbeda nyata

dengan hasil pengukuran pada oven 105°C seperti tampak pada tabel 11 dan 13.

Untuk detail perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4.

Dari hasil percobaan pendahuluan ini maka dapatkan suhu yang akan

dipakai untuk pengujian selanjutnya adalah 105oC beserta suhu di bawah dan

diatasnya +/- 5oC.

54

Kadar Air (oven) vs aw Tapioka

suhu penyimpanan 25oC selama 3 minggu

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90

Aktifitas Air (aw )

Kad

ar

Air

Keseti

mb

an

gan

(%)

Rata-rata KA

Oven

Gambar 15 Grafik sorpsi isotermis tepung tapioka basis kering pada kondisi

setimbang pada tapioka pada suhu penyimpanan 25oC

Menurut Andarwulan (2011) dan Koesnandar (2010), hubungan kadar air

dan aw suatu bahan pangan mengikuti suatu pola tertentu yang dinamakan dengan

sorpsi isotermis air. Kadar air kesetimbangan (ERH atau EMC) hasil perhitungan

menggunakan basis kering dalam gram per 100 gram padatan pada Tabel 11 untuk

sample yang dikondisikan pada RH tertentu yang diukur dengan oven dapat

dibuat kurva sorpsi isotermis air tapioka seperti dapat dilihat pada Gambar 15

dengan aktifitas air sebagai sumbu x. Dari tabel kurva isotermis sorpsi air pada

gambar tersebut dapat diperkirakan berapa kadar air tapioka pada keadaan

kesetimbangan jika bahan ditaruh pada RH tertentu. Misalkan jika tepung tapioka

diletakkan pada ruangan dengan RH 75% sampai bahan menjadi setimbang (aw =

0,75), maka kadar air kesetimbangan tepung terigu akan mencapai 16.86%.

B. Penelitian Tahap Pertama: Pengukuran Kadar Air Bahan Dasar Bubuk

Perisa

Tahapan ini bertujuan untuk mengkonfirmasi lebih lanjut bahwa suhu

pengukuran menggunakan alat moisture analyzer yang diperoleh dari tahapan

penelitian sebelumnya, yaitu suhu 105oC, bila diterapkan untuk pengukuran kadar

air bahan baku bubuk perisa (tapioka, maltodekstrin, dan laktosa) dapat

55

memberikan hasil pengukuran yang setara dengan hasil pengukuran kadar air

bahan-bahan tersebut menggunakan metoda standar yang selama ini digunakan.

B.1. Tepung Tapioka

Pada percobaan ini sampel – sampel tepung tapioka diukur kadar airnya

menggunakan satu Moisture Analyzer yang sama namun diukur pada 3 (tiga) suhu

yang berbeda yaitu suhu 100, 105, 110oC, hasil pengukuran yang didapat

dibandingkan dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan metoda oven

konveksi (SNI 01-2891-1992 butir 5.1). Seperti tampak pada tabel 14, rata-rata

pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer yang diukur pada suhu

105 o

C memberikan hasil kadar air 9,78%, mendekati hasil pengukuran

menggunakan oven yang diset pada suhu yang sama yaitu 9,7589%.

Tabel 14 Kadar Air rata-rata Tepung Tapioka

Kadar Air (%)

Oven 105oC MA 100

oC MA 105

oC MA 110

oC

Rata-rata 9,7589 9,59 9,78 10,12

Standar Deviasi 0,1302 0,0859 0,0909 0,0662

Koefisien Varian 1,33% 0,90% 0,93% 0,65%

Tabel 15 Perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Tepung Tapioka

Moisture analyzer vs oven Beda Mutlak

(|Yi-Yj|)

Nilai d

Dunnett Hasil

MA 100oC vs Oven 105

oC 0,167 0,105 Beda Nyata

MA 105oC vs Oven 105

oC 0,020 0,105 Tidak Nyata

MA 110oC vs Oven 105

oC 0,368 0,105 Beda Nyata

Uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji post hoc menggunakan tes

Dunnett seperti tampak pada tabel 15 dan Lampiran 5 (5.1), membuktikan bahwa

pengukuran kadar air sampel tapioka menggunakan alat Moisture Analyzer yang

diatur pada suhu 105oC secara statistik hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil

pengukuran kadar air sampel tapioka yang diukur dengan oven 105oC. Oleh

karena itu dapat disimpulkan untuk tepung tapioka, metoda pengukuran kadar air

menggunakan Moisture Analyzer yang diatur pada suhu 105oC dapat

menggantikan metoda oven konveksi yang selama ini digunakan sebagai metoda

standar untuk pengukuran kadar air.

56

B.2. Maltodekstrin

Kadar air maltodekstrin diukur dengan alat Moisture Analyzer HB43-S pada

tiga suhu yang berbeda (100, 105, 110oC) untuk mengetahui hasil kadar air mana

yang mendekati hasil pengukuran dengan metode oven UM-400. Dari hasil

penelitian didapatkan bahwa kadar air maltodekstrin yang diukur dengan alat

Moisture Analyzer pada suhu 105 o

C memberikan hasil kadar air 5,20% yang

hasilnya mendekati dengan kadar air yang diukur dengan alat oven pada suhu

yang sama yaitu 5.2055% seperti tampak pada Tabel 16.

Tabel 16 Kadar air rata-rata Maltodekstrin

Kadar Air (%)

Oven 105oC MA 100

oC MA 105

oC MA 110

oC

Rata-rata 5,2055 4,70 5,20 5,30

Standar Deviasi 0,0393 0,0993 0,0769 0,0538

Koefisien Varian 0,75% 2,11% 1,48% 1,02%

Tabel 17 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Maltodekstrin

Moisture analyzer vs oven

Beda

Mutlak

(|Yi-Yj|)

Nilai d Hasil

MA 100oC vs Oven 105

oC 0,353 0,096 Beda Nyata

MA 105oC vs Oven 105

oC 0,005 0,096 Tidak Nyata

MA 110oC vs Oven 105

oC 0,093 0,096 Beda Nyata

Hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett pada Tabel 17 menunjukkan

bahwa hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan Moisture Analyzer pada

suhu 105oC memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan hasil dengan

metode oven. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Moisture Analyzer pada

suhu 105oC memberikan hasil yang mendekati hasil metode oven sehingga

moisture HB43-S pada suhu 105oC dan dapat digunakan sebagai metode

pengganti oven UM-400 untuk bahan baku maltodekstrin. Secara lengkap

perhitungan statistik dengan tes Dunnett dapat dilihat di Lampiran 5 (5.2).

B.3. Laktosa

Menurut Andarwulan (2011), laktosa, sukrosa, dan maltosa merupakan

senyawa disakarida yang juga merupakan senyawa polimer yang bersifat

mengikat air, keberadaannya dalam sampel bahan pangan dapat menyebabkan air

57

sulit keluar dari sampel tersebut. Penggunaan suhu pemanasan yang cukup tinggi

(suhu 70-100oC) dapat menyebabkan laktosa mengalami dekomposisi dan terurai

menghasilkan senyawa yang bersifat volatil, sehingga hal ini dapat mempengaruhi

data kadar air yang diperoleh.

Untuk menganalisis kadar air sampel bahan pangan yang mengandung gula

khususnya fruktosa atau laktosa, AOAC (1984) merekomendasikan metoda LOD

menggunakan oven vakum suhu 60-70oC. Metode pemanasan sebenarnya kurang

sesuai digunakan untuk mengukur kadar air laktosa, karena sifatnya yang peka

dan mudah terdekomposisi bila terkena panas. Kadar air bahan seperti ini akan

lebih tepat bila diukur menggunakan metode Karl Fischer yang tidak

membutuhkan pemanasan pada proses analisisnya. Berdasar kekhususan sifat

yang dimilikinya, untuk laktosa dan produk bubuk perisa yang dibuat dari bahan

ini metode Karl Fischerlah yang dijadikan sebagai metoda referensi analisis kadar

air, bukan metoda oven konveksi. Pereaksi Karl Fischer sangat sensitif terhadap

air sehingga metode ini dapat diaplikasikan untuk analisis kadar air bahan pangan

yang mempunyai kandungan air yang sangat rendah seperti produk minyak/lemak,

gula, madu dan bahan kering.

Tabel 18 Kadar air laktosa diukur menggunakan beberapa jenis metode.

Water Content Kadar Air (%)

KF Oven 105oC MA 100

oC MA 105

oC MA 110

oC

Rata-rata 5,39 0,0604 0,84 0,91 1,54

Standar Deviasi 0,1479 0,0067 0,1078 0,1593 0,2059

Koefisien Varian 2,75% 11,13% 12,78% 17,49% 13,41%

Hasil pengukuran kadar air dengan metode KF menggunakan autotitrator

Mettler Toledo DL31 adalah 5,39% (Tabel 18), sangat jauh bila dibandingkan

dengan hasil yang diperoleh dari pengukuran menggunakan moisture analyzer

dengan setting suhu 100, 105 dan 110oC ataupun oven konveksi suhu 105°C .

Karl Fischer merupakan metode yang sensitif yang dapat mendeteksi kelembaban

apapun, bahkan dari lingkungan sekitarnya yang pengaruhnya harus dihilangkan

sebanyak mungkin, itulah sebabnya mengapa kadar air hasil pengukuran

menggunakan KF . Hal ini di perkuat dengan hasil pengujian statistik dengan

menggunakan tes Dunnett (Tabel 19 dan Lampiran 5 bagian 5.3) dimana hasil

58

pengujian terhadap semua suhu pengukuran memberikan hasil berbeda nyata.

Hasil ini menunjukkan bahwa pengukuran kadar air dengan pemanasan bukanlah

metode yang tepat untuk mengukur bahan tersebut dan tidak dapat menggantikan

pengukuran dengan metode KF.

Tabel 19 Data hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Laktosa

Metoda lain vs Karl

Fischer

Beda Mutlak

(|Yi-Yj|) Nilai d Hasil

Oven 105oC vs KF 5,326 0,166 Beda Nyata

MA 100oC vs KF 4,542 0,166 Beda Nyata

MA 105oC vs KF 4,475 0,166 Beda Nyata

MA 110oC vs KF 3,850 0,166 Beda Nyata

C. Penelitian Tahap Kedua: Pengukuran Kadar Air Produk Bubuk Perisa

Pengukuran kadar air dengan moisture analyzers sangatlah cepat, namun

seringkali hasilnya sangat dipengaruhi oleh struktur dan komposisi sampel yang

dianalisis, dibutuhkan upaya coba – coba ’trial-and-error’ untuk menentukan

setelan pemanasan dan waktu yang tepat agar diperoleh hasil analisis yang akurat.

Dengan sangat beragamnya jenis bubuk perisa yang harus diuji kadar airnya, tentu

akan sangat membebani operator bilamana harus menghafal prosedur untuk setiap

jenis sampel. Pada tahapan ini akan dikaji kemungkinan penyeragaman metoda

analisis kadar air bubuk perisa berdasarkan kandungan bahan baku penyusunnya

yang paling dominan (tapioka, maltodekstrin, dan laktosa).

C.1. Perisa HVP

Perisa HVP adalah bubuk perisa yang mengandung 40% maltodekstrin

sebagai bahan baku utama. Sama seperti maltodekstrin, bubuk perisa juga diukur

kadar airnya menggunakan Moisture Analyzer yang diset pada tiga tingkat suhu

yang berbeda yakni 100, 105, dan 110 °C hasilnya dibandingkan dengan hasil

pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi 105 °C.

Tabel 20 Kadar air rata-rata perisa HVP

Kadar Air (%)

Oven 105oC MA 100

oC MA 105

oC MA 110

oC

Rata-rata 3,2348 3,09 3,26 3,66

Standar Deviasi 0,0616 0,0607 0,0471 0,0600

Koefisien Varian 1,91% 1,96% 1,44% 1,64%

59

Tabel 21 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa HVP

Perbandingan

Sample vs Kontrol

Beda Mutlak

(|Yi-Yj|) Nilai d Hasil

MA 100oC Oven 105

oC 0.353 0.096 Beda Nyata

MA 105oC Oven 105

oC 0.005 0.096 Tidak Nyata

MA 110oC Oven 105

oC 0.093 0.096 Beda Nyata

Pada Tabel 20 terlihat kecenderungan ’trend’ hasil analisis kadar air perisa

HVP, memiliki kemiripan dengan hasil analisis kadar air untuk maltodeksrin

(tabel 15). Pemanasan sampel pada suhu 105oC baik pada oven konveksi maupun

Moisture Analyzer menghasilkan nilai kadar air perisa HVP yang berdekatan

yakni 3,2348% untuk oven dan 3.26% untuk Moisture Analyzer. Sedangkan

pengukuran kadar air sampel HVP yang dilakukan menggunakan Moisture

Analyzer bersuhu 100, dan 110 °C hasilnya berbeda dengan hasil analisis

menggunakan oven konveksi 105 °C. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan

statistik dengan menggunakan tes Dunnett seperti tampak pada Tabel 21 dan

Lampiran 6.

Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan untuk perisa HVP, metode

pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer 105oC dapat menjadi

alternatif pengganti bagi metode oven konveksi 105oC. Untuk perisa yang

memiliki kemiripan karakteristik dengan perisa HVP, metode pengukuran kadar

airnya menggunakan Moisture Analyzer kemungkinan dapat didasarkan pada

metode pengukuran kadar air maltodekstrin.

C.2. Perisa Garlic

Perisa Garlic mengandung campuran bahan baku maltodekstrin 40% dan

40% tapioka, perisa ini juga mengandung asam lemak tidak jenuh dan bahan baku

lainnya sebesar dengan total jumlah 20%. Hasil pengukuran kadar air dengan

mengunakan Moisture Analyzer untuk perisa Garlic memberikan tren yang

berbeda saat dibandingkan dengan bahan bakunya (tapioka dan maltodekstrin).

60

Tabel 22 Kadar air rata-rata perisa Garlic

Kadar Air (%)

Oven 105oC MA 90

oC MA 100

oC MA 105

oC MA 110

oC

Rata-rata 5.4985 5.07 5.45 5.69 5,80

Standar Deviasi 0.0782 0.0526 0.0951 0.0638 0,1290

Koefisien Varian 1.42% 1.04% 1.74% 1.12% 2,22%

Tabel 23 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Garlic

Perbandingan

Sample vs Kontrol

Beda Mutlak

(|Yi-Yj|) Nilai d Hasil

MA 90oC Oven 105

oC 0,428 0,100 Beda Nyata

MA 100oC Oven 105

oC 0,047 0,100 Tidak Nyata

MA 105oC Oven 105

oC 0,187 0,100 Beda Nyata

MA 110oC Oven 105

oC 0,301 0,100 Beda Nyata

Pada perisa Garlic, hasil pengukuran kadar air (Table 22) dengan

menggunakan Moisture Analyzer pada suhu 100oC (5,45%) memberikan hasil

yang mendekati hasil pengukuran dengan metode oven (5,4985%) sebagaimana

diperkuat dengan hasil pada perhitungan statistik tes Dunnett (Tabel 23). Hal ini

dapat terjadi kemungkinan karena dua hal, perisa garlic selain mengandung 10%

asam lemak tidak jenuh juga bahan baku lainnya yang sensitif terhadap panas dan

intensitas pemanasan yang lebih tinggi pada alat moisture analyser halogen.

Menurut Andarwulan 2011, senyawa yang mudah menguap seperti etanol, minyak

esensial dan senyawa mudah menguap lainnya serta senyawa yang mudah

teroksidasi seperti asam lemak tidak jenuh dan tanin dapat menyebabkan nilai

kadar air yang diperoleh menjadi lebih besar dari sesungguhnya karena

kehilangan berat yang terjadi dianggap sebagai air yang hilang. Pemanasan pada

moisture analyser dapat berlangsung lebih intens dibanding pada oven konveksi,

meskipun alat ini dioperasikan pada suhu yang lebih rendah (100 °C). Pada

moisture analyser pemanasan sampel tidak hanya sebatas permukaannya saja,

karena sistem pemanasan pada alat ini memanfaatkan gelombang

elektromagnetik pada spektrum inframerah yang mampu menembus ke bagian

dalam sampel sehingga didapatkan pemanasan yang lebih merata.

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa

untuk perisa garlic pengukuran kadar air menggunakan moisture analyser dengan

suhu pemanasan 100 °C dapat menggantikan metoda oven 105 °C, kedua metoda

tersebut dianggap dapat memberikan hasil pengukuran yang setara.

61

C.3. Perisa Vanilla

Perisa vanilla mengandung 80% laktosa. Hampir sama dengan perilaku atau

tren hasil pengukuran kadar air laktosa, seperti tampak pada Table 24 hasil

pengukuran kadar air perisa vanilla dengan alat Moisture Analyzer memberikan

hasil yang tidak konsisten dengan hasil pengukuran menggunakan perangkat KF,

sebaliknya pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven UM-400

(4,9179%) mendekati rata-rata kadar air dengan metode KF (4,43%).

Tabel 24 Data kadar air Perisa Vanilla pada beberapa jenis metode.

Water

Content Kadar Air (%)

KF Oven 105oC MA 100

oC MA 105

oC MA 110

oC

Rata-rata 4,43 4,9179 16,11 12,51 17,91

Standar Deviasi 0,1610 0,1584 2,2606 2,1041 1,4921

Koefisien Varian 3,64% 3,22% 14,03% 16,82% 8,33%

Tabel 25 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Vanilla

Perbandingan

Sample vs Kontrol

Beda Mutlak

(|Yi-Yj|) Nilai d Hasil

Oven 105oC KF 0,491 1,741 Tidak Nyata

MA 100oC KF 11,681 1,741 Beda Nyata

MA 105oC KF 8,083 1,741 Beda Nyata

MA 110oC KF 13,478 1,741 Beda Nyata

Perhitungan statistik tes Dunnett pada Tabel 25 menunjukkan hasil

pengukuran kadar air metode KF menggunakan Mettler Toledo DL31 tidak

berbeda nyata dengan hasil pengukuran kadar air metode oven, namun berbeda

nyata dengan hasil pengukuran menggunakan alat Moisture Analyzer pada seluruh

tingkatan suhu yang diuji. Intensitas pemanasan yang tinggi (70-100 oC) dapat

menyebabkan senyawa-senyawa dalam perisa vanilla mengalami dekomposisi dan

terurai menjadi senyawa lainnya yang bersifat volatil, hal ini membuat hasil

pembacaan kadar air Moisture Analyzer lebih tinggi dari dua metoda lainnya. .

Hasil ini menunjukkan bahwa pengukuran kadar air menggunakan alat

Moisture Analyzer bukanlah metode yang tepat untuk perisa vanilla dan tidak

dapat menggantikan metode KF. Sedangkan metoda oven konveksi meski juga

menggunakan pemanasan suhu tinggi, tetapi karena intensitas pemanasannya

62

lebih rendah, metoda ini masih mungkin digunakan untuk mengukur kadar air

produk perisa vanilla.

Dari pengujian pengukuran kadar air yang dilakukan terhadap beberapa jenis

bahan baku dan produk perisa, diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi hasil pengukuran bahan – bahan tersebut menggunakan metode

LOD. Faktor-faktor itu dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, golongan

pertama adalah faktor yang berhubungan dengan proses pemanasan yaitu prinsip

pemanasan (langsung dan tak langsung), suhu pemanasan, dan pemvakuman.

Sedangkan golongan kedua adalah faktor yang berhubungan dengan sifat bahan,

yang termasuk golongan ini adalah struktur dan komposisi bahan.

D. Uji Efisiensi

Salah satu tujuan penggantian metoda oven dengan metoda analisis cepat

menggunakan moisture analyzer adalah penghematan waktu. Dari catatan

penelitian diperoleh fakta bahwa waktu analisis bervariasi tergantung pada jenis

sampelnya (tabel 26 kolom 1). Moisture analyzer dan perangkat KF hanya dapat

digunakan untuk menganalisis 1 (satu) sampel saja dalam setiap siklus operasi,

sedangkan oven dapat menampung sampai 30 sampel per siklus operasi. Untuk

menganalisis 1 sampel maltodekstrin dengan moisture analyzer dibutuhkan

waktu 0,087 jam (5 menit 13,2 detik), bila dilakukan dengan oven akan

membutuhkan waktu 3,26 jam (3 jam 15 menit 36 detik). Bila jumlah sampel

ditingkatkan menjadi 30 sampel maka analisis kadar air menggunakan moisture

analyzer akan membutuhkan waktu 2,6 jam (2 jam 36 menit) sementara dengan

metoda oven diperlukan 3,347 jam (3 jam 20 menit 49,2 detik), seperti

ditunjukkan pada tabel 26 kolom 2. Apabila waktu 3,347 jam, waktu yang

dibutuhkan untuk menganalisis 30 sampel jika digunakan metoda oven, dijadikan

patokan waktu. Maka dalam kurun waktu yang sama bila digunakan moisture

analyzeruntuk maltodekstrin dapat dianalisis sebanyak 38 sampel sedangkan

untuk perisa vanilla hanya dapat dianalisis sebanyak 4 sampel. Sebagai

pembanding bila digunakan perangkat KF dalam waktu 3,347 jam dapat dianalisis

sebanyak 30 sampel vanilla. Untuk produk/bahan yang lain, jumlah sampel yang

dapat dianalisis per 3,347 jam dapat dilihat pada tabel 26 kolom 3.

63

Tabel 26 Waktu untuk analisis kadar air bubuk dan bahan baku perisa

Metode Waktu

analis/sample

(jam)

Waktu analisis/30

sampel

(jam)

Jumlah Sampel

yang dpt

dianalisis per

3,347 jam

Oven Konveksi 105oC

Semua jenis sample 3,260 3,347 30

Moisture Analyzer 105oC

Tapioka 0,196 5,883 17

Maltodextrin 0,087 2,600 38

HVP 0,114 3,425 29

Garlic 0,162 4,858 17

Vanilla 0,721 21,633 4

Karl Fischer

Laktosa 0,157 4,717 21

Vanilla 0,107 3,200 30

Dari hasil tersebut tampak waktu analisis maltodekstrin dan perisa HVP

menggunakan Moisture Analyzer suhu 105 oC lebih cepat atau sebanding dengan

metode oven, demikian pula untuk pengujian menggunakan metode Karl Fischer

bagi perisa vanilla. Untuk jumlah sampel lebih dari 30, lama pengujian

menggunakan Moisture Analyzer suhu 105oC menjadi tidak efektif bagi tapioka,

Garlic, dan vanilla dikarenakan waktu pengujian menjadi lebih lama dari pada

metode oven. Hal yang sama dijumpai pada laktosa yang dianalisis menggunakan

perangkat KF.

Dari pengamatan terhadap kerja analis ditemukan bahwa selama waktu

pengeringan 3 jam menggunakan oven, analis bisa melakukan analisis lainnya.

Sangat berbeda keadaannya jika menggunakan Moisture Analyzer atau perangkat

KF, dimana analis harus menunggu di depan alat saat pengujian sampai analisis

selesai dilakukan, sehingga penanganan pekerjaan lainnya banyak yang

terpotong-potong. Secara teknis metode oven efektif untuk menganalisis sampel

dalam jumlah banyak, sedangkan alat moisture analyzer dan perangkat KF efektif

jika digunakan untuk jumlah sampel sedikit. Analisis kadar air menggunakan

metoda Karl Fischer juga butuh perhatian ekstra karena bahan pereaksinya

berbahaya dan tidak aman untuk lingkungan. Disarankan perangkat KF hanya

64

diperuntukan bagi produk berbahan baku turunan gula atau bahan yang kadar

airnya sangat rendah yang tidak mungkin dianalisis menggunakan metoda lainnya.

E. Pembuatan Template Laporan Validasi

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah memberikan hasil sebuah

template dalam bentuk Excel yang dapat dipergunakan untuk mempermudah

pelaporan validasi alat maupun metode. Template tersebut dapat dilihat pada

Lampiran 11, dimana analis hanya perlu memasukkan nama metode yang akan

dibandingkan dan kontrol, nama penguji, tanggal, kondisi atau perlakuan kontrol,

serta hasil pengukuran 10 ulangan untuk baik untuk metode yang akan divalidasi

maupun kontrol. Data masukan diketikkan pada bagian yang berwarna kuning.

Uji statistik yang digunakan untuk proses validasi adalah uji Dunnett. Suatu

alat/metoda dikatakan dapat menggantikan alat/metoda yang dianggap sebagai

kontrol apabila hasil uji Dunnett menyatakan hasil pengukuran keduanya tidak

berbeda nyata.

Hasil perhitungan pada template dalam bentuk excel tersebut telah

dibandingkan dengan hasil perhitungan statistik menggunakan program SPSS dan

hasil perhitungannya memberikan hasil yang sama seperti yang dapat dilihat pada

Lampiran 12 dan 13.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Alat moisture analyzer HB43-S dengan setting suhu 105oC dapat digunakan

untuk mengukur kadar air perisa HVP dimana hasilnya tidak berbeda nyata

dengan hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven UM-

400 (dioperasikan pada suhu 105oC). Suhu pengukuran pada 105

oC ini sesuai

dengan suhu yang digunakan untuk penelitian terhadap bahan baku tapioka

dan maltodekstrin. Namun untuk perisa Garlic, agar diperoleh hasil

pengukuran kadar air yang mendekati hasil pengukuran kadar air dengan

menggunakan metode oven, setting suhu alat moisture analyzer perlu

diturunkan menjadi 100oC dikarenakan dalam perisa garlic terkandung asam

lemak yang sensitif terhadap panas. Dari hasil penelitian ini didaptkan bahwa

alat moisture analyzer HB43-S dapat menjadi alternatif pengganti metode

oven pada bahan jadi dengan bagan dasar maltodekstrin.

2. Metode yang paling sesuai untuk pengukuran kadar air bahan turunan gula

adalah metode Karl Fischer. Kadar air laktosa dan perisa vanilla

(mengandung 80% laktosa) sebaiknya tidak diukur menggunakan metoda

LOD yang menggunakan panas intens pada proses analisisnya Hal ini

disebabkan sifat-sifat laktosa yang peka terhadap panas (dapat terdekomposisi

dan terpolimerisasi) sehingga data hasil pengukuran kadar air menjadi tidak

akurat. Namun demikian hasil penelitian pada perisa vanilla menunjukkan

bahwa produk ini masih mungkin diukur kadar airnya menggunakan oven

suhu 105 °C. Hasil pengukuran kadar air perisa vanilla menggunakan

perangkat KF tidak berbeda nyata dengan hasil kadar air menggunakan oven.

3. Dalam kondisi normal dan untuk jumlah sampel yang besar (di atas 30

sampel) secara teknis waktu analisis kadar air menggunakan metode oven

masih lebih efektif dibanding waktu analisis menggunakan ‘moisture

66

analyzer’. Namun untuk kondisi mendesak dan dibutuhkan hasil yang cepat

maka alat Moisture Analyzer dapat dijadikan pilihan bilamana sampel yang

akan dianalisis kadar airnya jumlahnya hanya sedikit.

4. Template dalam bentuk Excel yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat

digunakan untuk mempermudah dalam pembuatan laporan intern validasi alat

atau metode. Template ini dapat memberikan hasil perhitungan yang sama

dan sesuai dengan hasil perhitungan menggunakan piranti lunak SPSS.

B. Saran

Pengukuran kadar air pada perisa sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang

terkandung di dalamnya. Adanya asam lemak atau oleoresin walaupun

konsentrasinya tidak dominan, dapat memberikan hasil pembacaan kadar air yang

berbeda ketika parameter ini diukur menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S

dan metode oven UM-400. Dengan memanfaatkan apa yang telah dihasilkan dalam

penelitian ini, disarankan untuk memperluas cakupan jenis sampel yang akan diuji

sehingga dapat mencakup keseluruhan produk yang dihasilkan oleh PT Givaudan

Indonesia atau setidaknya produk – produk yang dapat dijadikan model untuk

analisis produk lainnya. Dengan demikian dapat dipetik manfaat yang lebih besar

dari investasi yang telah dikeluarkan untuk pengadaan alat Moisture Analyzer

halogen HB43-S.

DAFTAR PUSTAKA

[Anonym] 1999. Fundamentals of the Volumetric Karl Fischer Titration with 10

Selected Applications. MT DL31 Application broschure 26. Mettler-Toledo

GmbH, Switzerland

[Anonim] 2008. Mettler-Toledo AG, Laboratory & Weighing Technologies, CH-

8606 Greifensee, Switzerland Application Methods HB43-S Moisture

Analyzers.http://us.mt.com/us/en/home/applications/Laboratory_Weighing_

Solutions/Moisture_Analyzer/HB43-S_1.html {4 Nov 2011}.

[Anonym] 2012. Multiple-Comparison Procedures. Sumber:

http://www2.hawaii.edu/~taylor/z631/multcomp.pdf. akses: 2 Januari 2012.

Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011 Analisis Pangan. Jakarta: Dian

Rakyat

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1984. Official Methods of

Analysis of Association of Official Analytical Chemists. Washington DC,

USA: Association of Official Analitical Chemist.

Astuti. 2007. Petunjuk Praktikum Analisis Bahan Biologi. Yogyakarta:

Jurdik Biologi FMIPA UNY.

Bell LN, Labuza TP. 1984. Moisture, Practical Aspects of Isoterm Measurement

and Use, Second Edition 2000. American Association of Cereal Chemist,

Inc.

Berk, Z. 2009. Food Process Engineering and Technology. Elsevier Inc.

Bhandari, B.R. and Adhikari B. P. 2008. Water activity in food processing and

preservation in Food. Chen, X.D. and Mujumdar, A.S. (eds). Drying

Technologies in Food Processing. Blackwell Publishing Ltd

Dunnett CW. 1955. A Multiple Comparison Procedure for Comparing Several

Treatments with a Control. Journal of the American Statistical Association.

Vol. 50, No. 272 (Dec., 1955), pp. 1096-1121

Dunnett CW. 1964. New Tables for Multiple Comparisons with a Control.

Biometrics, Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp. 482-491, International Biometric

Society.

Estiasih T, Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.

Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. The McGraw-Hill Companies,

Inc

Igoe, R.S. and Hui, Y.H. 2001. Dictionary of Food Ingredients. Aspen Publishers,

Maryland

68

Kenkel, J. 2003. Analytical Chemistry for Technicians. CRC Press, LLC

KERN & Sohn GmbH, 2012. Application notes Moisture analyzer.

Kodeks Makanan Indonesia 2001. Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan

RI.

Kupriannoff, J. 1958. Bound Water in Kupriannoff, J. (ed) Fundamental aspects

of Dehydration of Foodstuff. Soc.Chem. Indtr. Karlsruhe; Germany

Kusnandar, F. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta : Dian Rakyat.

Molnar, K. 2006. Experimental Techniques in Drying in Mujumdar, A. (ed)

Handbook of Industrial Drying 3rd

edition. Taylor & Francis, Philadelphia

Müller, D.A. 2007. Flavours: the Legal Framework in Berger (Ed.) Flavours and

Fragrances Chemistry, Bioprocessing and Sustainability. Springer-Verlag

Berlin Heidelberg

Nielsen, S.S. 2010. Food Analysis Laboratory Manual 2nd

Edition. Springer

Science+Business Media, LLC

O'Mahony, 1986. Sensory Evaluation of Food: Statistical Methods and

Procedures. New York: Marcell Dekker, Inc.

Rafter, J.A., Abell, M.L., AND Braselton, J.P.. 2002. Multiple Comparison

Methods for Means. Siam Review Vol. 44, No. 2, pp. 259-278. Society for

Industrial and Applied Mathematics

Rennie P. Ruiz. 2001. Gravimetric Determination of Water by Drying and

Weighing in Wrolstad,R.E. et al (eds). Current Protocols in Food

Analytical Chemistry. John Wiley & Sons, Inc.

Rowe, P. 2007. Essential Statistics For The Pharmaceutical Sciences. John Wiley

& Sons Ltd, England.

Rumsey, D. 2009. Statistics II For Dummies. Wiley Publishing, Inc – Indianapolis

SNI 01-2891-1992. 1992. Cara uji makanan dan minuman. BSN.

SNI 01-7152-2006. 2006. Bahan tambahan pangan – Persyaratan perisa dan

penggunaan dalam produk pangan. BSN.

Sudarmadji, S, Bambang, H., dan Suhardi. 2003. Analisis Bahan Makanan dan

Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta, Arcan.

Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pusataka Utama.

Hal. 10-14.

69

Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumsi. Jakarta: Gramedia

Pustaka.

Wirakartakusumah MA et al. 1989. Prinsip teknik pangan. Bogor: Pusat Antar

Universitas (PAU). IPB

Wulanriky. 2011. Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven Pengering.

http://wulanriky.wordpress.com/2011/01/19/Penetapan-Kadar-Air-Metode-

Oven-Pengering-aa/. Diakses tanggal 4 November 2011.

www.lsbu.ac.uk/water/activity.html, diakses 4 November 2011.

70

LAMPIRAN

72

Lampiran 1 SNI 01-2891-1992 Cara uji makanan dan minuman

73

Lampiran 2 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 95%.

Sumber : Dunnett, CW. 1964. New Tables for Multiple Comparisons with a Control. Biometrics,

Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp. 482-491, International Biometric Society.

74

Lampiran 3 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 99%.

Sumber : Dunnett, CW. 1964. New Tables for Multiple Comparisons with a Control. Biometrics,

Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp. 482-491, International Biometric Society.

75

Lampiran 4 Hasil Analisis Penelitian Pendahuluan

4.1. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air

(EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh MgCl2

4.2. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air

(EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh MgCl2

76

4.3. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air

(EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh NaCl

4.4. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air

(EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh NaCl

77

4.5. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air

(EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh KCl

78

4.6. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air

(EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh KCl

79

Lampiran 5 Hasil Analisis Penelitian Pertama terhadap Bahan Baku

5.1. Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Tapioka

80

5.2 Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Maltodekstrin

81

Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Laktosa

82

Lampiran 6 Hasil Analisis Penelitian Kedua terhadap Bahan Jadi

6.1. Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk HVP

83

6.2. Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Garlic

84

6.3 Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Vanilla

85

Lampiran 7 Data waktu analisis berbagai metode terhadap jumlah sampel.

7.1. Data waktu analisis metode Oven 105 o

C terhadap jumlah sampel

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat Oven 105oC

dalam jam

Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008

Waktu peng-ovenan = 3.000

Waktu Cooling Down dalam desikator = 0.250

Waktu penimbangan Sample Akhir = 0.001

Total Waktu analisis 1 sampel = 3.260

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :

Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total

Metoda Oven

1 3.260

2 3.269

3 3.279

4 3.289

5 3.299

6 3.308

7 3.318

8 3.328

9 3.338

10 3.347

11 3.357

12 3.367

13 3.376

14 3.386

15 3.396

16 3.406

17 3.415

18 3.425

19 3.435

20 3.444

21 3.454

22 3.464

23 3.474

24 3.483

25 3.493

26 3.503

27 3.513

28 3.522

29 3.532

30 3.542

86

7.1. Data waktu analisis metode MA 105 o

C pada Tapioka terhadap jumlah

sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA

Pengujian Tapioka - 105oC dalam jam

Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008

Waktu peng-ovenan suhu 105oC - Tapioka = 0.171

Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = 0.017

Total analisis persampel = 0.191

Kadar Air rata-rata (%) = 9.779

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :

Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total dengan

Moisture Analyser KESIMPULAN

1 0.196 DISARANKAN

2 0.392 DISARANKAN

3 0.588 DISARANKAN

4 0.783 DISARANKAN

5 0.979 DISARANKAN

6 1.175 DISARANKAN

7 1.371 DISARANKAN

8 1.567 DISARANKAN

9 1.763 DISARANKAN

10 1.958 DISARANKAN

11 2.154 DISARANKAN

12 2.350 DISARANKAN

13 2.546 DISARANKAN

14 2.742 DISARANKAN

15 2.938 DISARANKAN

16 3.133 DISARANKAN

17 3.329 TIDAK

18 3.525 TIDAK

19 3.721 TIDAK

20 3.917 TIDAK

21 4.113 TIDAK

22 4.308 TIDAK

23 4.504 TIDAK

24 4.700 TIDAK

25 4.896 TIDAK

26 5.092 TIDAK

27 5.288 TIDAK

28 5.483 TIDAK

29 5.679 TIDAK

30 5.875 TIDAK

87

7.2 Data waktu analisis metode MA 105 o

C pada Maltodekstrin terhadap jumlah

sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA

Pengujian Maltodextrin - 105oC dalam jam

Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008

Waktu peng-ovenan suhu 105oC – Maltodextrin = 0.057

Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = 0.017

Total analisis persampel = 0.001

Kadar Air rata-rata (%) = 5.201

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :

Jumlah

Sampel

Waktu Pengujian Total dengan

Moisture Analyser KESIMPULAN

1 0.082 DISARANKAN

2 0.164 DISARANKAN

3 0.246 DISARANKAN

4 0.328 DISARANKAN

5 0.410 DISARANKAN

6 0.492 DISARANKAN

7 0.574 DISARANKAN

8 0.656 DISARANKAN

9 0.738 DISARANKAN

10 0.820 DISARANKAN

11 0.902 DISARANKAN

12 0.984 DISARANKAN

13 1.066 DISARANKAN

14 1.148 DISARANKAN

15 1.230 DISARANKAN

16 1.312 DISARANKAN

17 1.394 DISARANKAN

18 1.476 DISARANKAN

19 1.558 DISARANKAN

20 1.640 DISARANKAN

21 1.722 DISARANKAN

22 1.804 DISARANKAN

23 1.886 DISARANKAN

24 1.968 DISARANKAN

25 2.050 DISARANKAN

26 2.132 DISARANKAN

27 2.214 DISARANKAN

28 2.296 DISARANKAN

29 2.378 DISARANKAN

30 2.460 DISARANKAN

88

Data waktu analisis metode MA 105oC pada Laktosa terhadap jumlah sampel tidak

diperhitungkan karena hasilnya jauh dari hasil kadar air dengan metode oven.

7.3. Waktu analisis Metode KF untuk Laktosa terhadap jumlah sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat KF

Pengujian Laktosa dalam jam

Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008

Waktu titrasi Laktosa = 0.093

Waktu Drift = 0.050

Total analisis persampel = 0.003

Kadar Air rata-rata (%) = 5.36

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :

Jumlah Sampel

Waktu Pengujian

Total dengan Karl

Fischer

KESIMPULAN

1 0.151 DISARANKAN

2 0.302 DISARANKAN

3 0.453 DISARANKAN

4 0.604 DISARANKAN

5 0.755 DISARANKAN

6 0.906 DISARANKAN

7 1.057 DISARANKAN

8 1.208 DISARANKAN

9 1.359 DISARANKAN

10 1.510 DISARANKAN

11 1.661 DISARANKAN

12 1.812 DISARANKAN

13 1.963 DISARANKAN

14 2.114 DISARANKAN

15 2.265 DISARANKAN

16 2.416 DISARANKAN

17 2.567 DISARANKAN

18 2.718 DISARANKAN

19 2.869 DISARANKAN

20 3.020 DISARANKAN

21 3.171 DISARANKAN

22 3.322 TIDAK

23 3.473 TIDAK

24 3.624 TIDAK

25 3.775 TIDAK

26 3.926 TIDAK

27 4.077 TIDAK

28 4.228 TIDAK

29 4.379 TIDAK

30 4.530 TIDAK

89

7.4. Data waktu analisis metode MA 105 oC pada HVP terhadap jumlah sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA

Pengujian HVP - 105oC dalam jam

Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008

Waktu peng-ovenan suhu 105oC - HVP = 0.087

Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = 0.017

Total analisis persampel = 0.002

Kadar Air rata-rata (%) = 3.262

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :

Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total dengan

Moisture Analyser KESIMPULAN

1 0.112 DISARANKAN

2 0.224 DISARANKAN

3 0.336 DISARANKAN

4 0.447 DISARANKAN

5 0.559 DISARANKAN

6 0.671 DISARANKAN

7 0.783 DISARANKAN

8 0.895 DISARANKAN

9 1.007 DISARANKAN

10 1.118 DISARANKAN

11 1.230 DISARANKAN

12 1.342 DISARANKAN

13 1.454 DISARANKAN

14 1.566 DISARANKAN

15 1.678 DISARANKAN

16 1.789 DISARANKAN

17 1.901 DISARANKAN

18 2.013 DISARANKAN

19 2.125 DISARANKAN

20 2.237 DISARANKAN

21 2.349 DISARANKAN

22 2.460 DISARANKAN

23 2.572 DISARANKAN

24 2.684 DISARANKAN

25 2.796 DISARANKAN

26 2.908 DISARANKAN

27 3.020 DISARANKAN

28 3.131 DISARANKAN

29 3.243 DISARANKAN

30 3.355 TIDAK

90

7.5. Data waktu analisis metode MA 105oC pada Garlic terhadap jumlah sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA

Pengujian Garlic - 105oC dalam jam

Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008

Waktu peng-ovenan suhu 105oC - Garlic = 0.135

Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = 0.017

Total analisis persampel = 0.003

Kadar Air rata-rata (%) = 5.8

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :

Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total dengan

Moisture Analyser KESIMPULAN

1 0.160 DISARANKAN

2 0.321 DISARANKAN

3 0.481 DISARANKAN

4 0.641 DISARANKAN

5 0.802 DISARANKAN

6 0.962 DISARANKAN

7 1.122 DISARANKAN

8 1.283 DISARANKAN

9 1.443 DISARANKAN

10 1.603 DISARANKAN

11 1.764 DISARANKAN

12 1.924 DISARANKAN

13 2.084 DISARANKAN

14 2.245 DISARANKAN

15 2.405 DISARANKAN

16 2.565 DISARANKAN

17 2.726 DISARANKAN

18 2.886 DISARANKAN

19 3.046 DISARANKAN

20 3.207 DISARANKAN

21 3.367 TIDAK

22 3.527 TIDAK

23 3.688 TIDAK

24 3.848 TIDAK

25 4.008 TIDAK

26 4.169 TIDAK

27 4.329 TIDAK

28 4.489 TIDAK

29 4.650 TIDAK

30 4.810 TIDAK

91

7.6. Data waktu analisis metode MA 105 o

C pada Vanilla terhadap jumlah sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA

Pengujian Vanilla - 105oC dalam jam

Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008

Waktu peng-ovenan suhu 105oC - Vanilla = 0.691

Waktu Cooling Down sebelum digunakan

kembali = 0.017

Total analisis persampel = 0.012

Kadar Air rata-rata (%) = 12.51

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :

Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total

dengan Moisture Analyser KESIMPULAN

1 0.716 DISARANKAN

2 1.432 DISARANKAN

3 2.149 DISARANKAN

4 2.865 DISARANKAN

5 3.581 TIDAK

6 4.297 TIDAK

7 5.013 TIDAK

8 5.729 TIDAK

9 6.446 TIDAK

10 7.162 TIDAK

11 7.878 TIDAK

12 8.594 TIDAK

13 9.310 TIDAK

14 10.026 TIDAK

15 10.743 TIDAK

16 11.459 TIDAK

17 12.175 TIDAK

18 12.891 TIDAK

19 13.607 TIDAK

20 14.323 TIDAK

21 15.040 TIDAK

22 15.756 TIDAK

23 16.472 TIDAK

24 17.188 TIDAK

25 17.904 TIDAK

26 18.620 TIDAK

27 19.337 TIDAK

28 20.053 TIDAK

29 20.769 TIDAK

30 21.485 TIDAK

92

7.7. Waktu analisis Metode KF untuk Vanilla terhadap jumlah sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat KF

Pengujian Vanilla dalam jam

Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008

Waktu titrasi Vanilla = 0.042

Waktu Drift

= 0.050

Total analisis persampel = 0.104

Kadar Air rata-rata (%) = 4.427

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :

Jumlah

Sampel

Waktu Pengujian Total

dengan Karl Fischer KESIMPULAN

1 0.101 DISARANKAN

2 0.201 DISARANKAN

3 0.302 DISARANKAN

4 0.403 DISARANKAN

5 0.503 DISARANKAN

6 0.604 DISARANKAN

7 0.705 DISARANKAN

8 0.805 DISARANKAN

9 0.906 DISARANKAN

10 1.007 DISARANKAN

11 1.107 DISARANKAN

12 1.208 DISARANKAN

13 1.309 DISARANKAN

14 1.409 DISARANKAN

15 1.510 DISARANKAN

16 1.611 DISARANKAN

17 1.711 DISARANKAN

18 1.812 DISARANKAN

19 1.913 DISARANKAN

20 2.013 DISARANKAN

21 2.114 DISARANKAN

22 2.215 DISARANKAN

23 2.315 DISARANKAN

24 2.416 DISARANKAN

25 2.517 DISARANKAN

26 2.617 DISARANKAN

27 2.718 DISARANKAN

28 2.819 DISARANKAN

29 2.919 DISARANKAN

30 3.020 DISARANKAN

93

Lampiran 8 Jumlah sampel dengan waktu analisis kurang dari pengujian dengan

metode oven

Jumlah sampel yang mempunyai waktu analisis

setara metode oven u/30 sampel:

Metode Waktu/sampel

(jam)

Waktu 30

sampel (jam)

Jumlah Sampel

< 3,35 jam

Oven 105oC 3.260 3.347 30

Tapioka - MA 105oC 0.196 5.883 17

Maltodextrin - MA 105oC 0.087 2.600 30

Laktosa – KF 0.025 0.750 30

HVP – MA 105oC 0.157 4.717 30

Garlic – MA 105oC C 0.114 3.425 21

Vanilla – MA 105oC 0.162 4.858 4

Vanilla – KF 0.721 21.633 30

94

Lampiran 9 Sertifikat Kalibrasi Oven Memmert

95

Lampiran 10 Sertifikat Kalibrasi Moisture Analysis

96

97

98

Lampiran 11 Template Laporan Validasi dengan Excel

99

Lampiran 12 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian

Pertama

12.1. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Tapioka

100

12.2. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Maltodekstrin

101

12.3 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Laktosa

102

Lampiran 13 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian

Kedua

13.1. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada HVP

103

13.2. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Garlic

104

13.3. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Vanilla