v. performa kontrak 5 - repository.ipb.ac.id · v. performa kontrak ukuran-ukuran performa yang...
TRANSCRIPT
V. PERFORMA KONTRAK
Ukuran-ukuran performa yang digunakan ialah residu
net0 untuk evaluasi manfaat bagi Pesanggem, dan
persentase tumbuh tanaman untuk evaluasi manfaat bagi
Perhutani. Komponen penerimaan dan biaya residu neto
berasal hanya dari tanaman semusim, untuk usia kontrak
satu hingga 5 tahunl. Data untuk perhitungan residu
net0 dari tanaman tahunan tidak tersedia, karena
tanaman-tanaman tersebut belum berproduksi. Untuk
memperkirakan arah dari perkembangan residu net0
setelah jangka waktu 5 tahun, digunakan data sekunder,
dan hanya untuk keperluan proyeksi.
1. p-en-komnonen Perf onrma
Di dalam bab keempat telah ditunjukkan tiga faktor
yang membedakan struktur kontrak Perhutanan Sosial
dengan Tumpang Sari, ditinjau dari segi derajat akses
Pesanggem terhadap manfaat dari sumberdaya hutan, yaitu
lproyek perintis Perhutanan Sosial di Jawa pertama kali dibangun pada tahun 1986, perluasannya dimu- lai tahun 1987. Dengan demikian, pada saat penelitian ini dilaksanakan, usia Perhutanan Sosial tertua adalah 5 tahun.
(i) Peningkatan akses terhadap lahan hutan, (ii)
Perpanjangan jangka waktu kontrak, dan (iii) Peningkat-
an akses dalam pengambilan keputusan mengenai pilihan
jenis-jenis tanaman. Perbedaan menurut ketiga faktor
ini yang menentukan perbedaan dalam performa antara
kedua tipe kontrak.
Akses terhadar, lahan hutan. Secara teknis, per-
bedaan akses Pesanggem terhadap sumberdaya lahan hutan
diukur berdasarkan nisbah luas bidang garapan Andil.
Berdasarkan asumsi bahwa luas bidang garapan
berkorelasi negatif dengan jarak tanam tanaman kayu,
nisbah luas bidang garapan Andil diukur berdasarkan
nisbah populasi tanaman pokok (kayu). Perhitungan ini
tidak dfdasarkan pada populasi dari semua jenis tanaman
tahunan, melainkan pada tanaman pokok saja, karena
alasan-alasan berikut. Populasi tanaman pagar sangat
padat tetapi efek naungannya dapat diabaikan, karena
ditanam di tepi bidang lahan Andil. Tanaman sela
umumnya jenis rumput-rumput, yang di Andil Perhutanan
Sosial ada pula yang digantikan dengan nanas, dengan
efek naungannya diperkirakan tidak berarti karena tajuk
tanaman sangat dekat dengan permukaan tanah. Tanaman
tepi di Andil Perhutanan Sosial umumnya dari jenis
hortikultura, seperti mangga, nangka, jambu mete,
kedondong, dan lain-lain, dan karena di tanam di tepi
areal, efek naungannya juga diperkirakan sangat kecil.
Perhitungan nisbah luas bidang garapan Andil
tercantum dalam Tabel 5.1. Nisbah populasi tanaman
kayu sebesar 42.7 persen, dengan peluang kesalahan
pendugaan (nilai P) cukup besar (12 persen) dibanding-
kan dengan peluang nisbah luas nominal Andil (0.2
persen). Diduga bahwa perbedaan dalam taraf
signifikansi ini disebabkan oleh tidak adanya hubungan
antara struktur kontrak dengan aturan silvikultur
mengenai penentuan tingkat kepadatan tanaman, atau
jarak tanam, yang didasarkan pada kriteria-kriteria
fisik seperti bonita dan tingkat kerawanan erositas
Tabel 5.1. Perhitungan Nisbah Luas Bidang Garapan Andil Perhutanan Sosfal dan Tumpang Sari
Populasi Luas Tipe Kontrak Tanaman Pokok Andil
Per Hektar (Hektar ) --
Perhutanan Sosial 1533
Tumpang Sari 2677
Nisbah (%) 42.7
Nilaipeluang (P) 0.12
tanah. Berdasarkan hasil perhitungan ini dapat
disimpulkan bahwa luas bidang garapan Andil
Perhutanan Sosial 42.7 persen lebih besar daripada
Tumpang Sari, dengan peluang kesalahan sebesar 12
persen. Dengan kata lain, percepatan penjarangan
pertama dapat memperluas bidang garapan Andil untuk
tanaman tumpang sari hampir 50 persen.
Janaka waktu kontrak. Perpanjangan waktu kontrak
dari 2 tahun (Tumpang Sari) menjadi 30 tahun atau lebih
(Perhutanan Sosial), secara ekonomik bisa fisibel
karena ditunjang oleh modifikasi silvikultur yang
memberikan dua efek penting, yaitu: (i) Menperlambat
efek naungan terhadap produksi tanaman semusim; dan
(ii) Memungkinkan pengembangan jenis-jenis tanaman
tahunan non-kayu, tanpa mengurangi populasi tanaman
kayu sejak tahun keenam pun.
Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa mulai tahun
kelima, tanaman pangan tumpang sari dalam sistem
Agroforestry tidak lagi berproduksi secara menguntung-
kan . Tanaman tahunan baru menghasilkan secara
produktif setelah enam atau tujuh tahun (Ratnawati,
1989; Manurung, 1989; Tatuh, 1988). Dengan demikian
jelas bahwa, sekalipun luas bidang garapan untuk
tanaman tumpang sari bertambah dengan tingkat kenaikan
hampir 50 persen, efek naungan dapat ditekan sampai
sekitar dua kalinya. Masalah yang belum dapat
dipecahkan ialah mengenai penurunan pendapatan sejak
tahun kelima dengan berakhirnya kegiatan produksi
tanaman semusim.
Perkembangan performa produksi menurut waktu
disajikan dalam Tabel 5.2 (halaman 115). Hasil
analisis menunjukkan bahwa, secara umum, taraf
penggunaan input pada Tumpang Sari meningkat dengan
rata-rata 15.8 persen dari tahun pertama ke tahun
kedua . Tingkat kenaikan paling tinggi ialah pada
penggunaan pupuk (46%), dan paling rendah pada
penggunaan tenaga kerja (1.0%), sedangkan obat-obatan
menurun sebesar (0.8%). Taraf residu neto meningkat
dari tahun pertama ke tahun kedua, yaitu sebesar 15.9
persen, dan ha1 ini berbeda dengan perkiraan mengenai
ef ek naungan . Diduga bahwa kecenderungan ini
disebabkan oleh perbedaan karateristik dari dua
kelompok contoh yang berbeda, yang digunakan dalam
perhitungan angka pertumbuhan produktivitas menurut
waktu. Uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan taraf
residu net0 antara kedua kelompok contoh, yang berbeda
usia, tidak nyata (nilai peluang P=0.201).
Tabel 5.2. Tingkat Perobahan Taraf Input dan Residu Neto menurut Waktu
(dalam persen)
Jenis Input dan Residu Neto
Tumpang Sari
Perhutanan Sosial
Nilai Bibit 16.9
Pupuk 46.0
Tenaga Kerja 1.0
Nilai Obat-obatan -0.8
Residu net0 15.9
Usia kontrak (tahun) 2
Pada Perhutanan Sosial, baik taraf penggunaan
input maupun residu neto, menampakkan kecenderungan
menurun dari tahun pertama hingga tahun kelima. Rata-
rata penurunan input 9.3 pessen tiap tahun, di mana
tingkat penurunan tertinggi pada penggunaan tenaga
kerja (-24.8%) dan terendah pada penggunaan obat-obatan
(-6.0%). Taraf penggunaan bibit cenderung ineningkat .
dengan rata-rata 1.0 persen. Taraf residu neto menurun
cukup tajam, rata-rata 26.1 persen.
Fkses dalam ~enaambilan kautusaq. Meskipun masih
terbatas, akses Pesanggem Perhutanan Sosial dalam
proses pengambilan keputusan relatif lebih besar.
Tabel 5.3. Indikator Derajat Akses Pesanggem dalam Penentuan Jenis Tanaman Pertanian
Kriteria Nilai Kriteria
Tumpang Perhutanan Sari Sosial
Indikator keragaman jenis 1.6 2.1
tanaman semusima (1-3) ( 1-4 )
Persentase contoh yang
menanam ubi kayu 3.3 23.9
Katagori derajat akses rendah tinggi
a~enyatakan banyaknya jenis tanaman semusim yang paling dominan, pada setiap unit Andil tiap musim tanam. Angka dalam tanda ( ) adalah ' kisaran banyaknya jenis tanaman.
Dalam kontrak Perhutanan Sosial ada kesempatan untuk
bernegosiasi dengan Perhutani dal-am ha1 pemilihan jenis
tanaman pertanian yang akan diusahakan di lahan Andil.
Kesempatan ini tidak terbuka bagi Pesanggem Tumpang
Sari (Rochani, 1989). Tabel 5.3 menampilkan dua
kriteria, yaitu banyaknya jenis tanaman semusim
(sebagai indikator keragaman tanaman), dan distribusi
contoh yang mengusahakan ubi kayu di lahan Andil,
sebagai indikator perbedaan efek yang ditimbulkan oleh
perbedaan akses dalam pemilihan jenis-jenis tanaman.
Angka indikator keragaman tanaman semusim pada
Perhutanan Sosial lebih tinggi (2.1 dibandingkan dengan
1.6) dengan kisaran 1-4 (dibandingkan dengan angka
kisaran 1-3). Ubi kayu tidak termasuk komoditi yang
dianjurkan, karena diperkirakan memiliki sifat
kompetitif dengan tanaman pokok (kayu) dalam ha1
penyerapan unsur hara tanah. Dalam kenyataan, masih
dijumpai Pesanggem dari kedua tipe kontrak yang
menanamnya. Angka persentase Pesanggem yang
mengusahakan tanaman ini dianggap sebagai indikator
derajat toleransi Perhutani. Berdasarkan kriteria ini,
dapat dikatakan bahwa derajat toleransi terhadap
Pesanggem Perhutanan Sosial lebih tinggi.
Di dalam penulisan deskripsi mengenai jenis-jenis
tanaman yang digolongkan sebagai pesaing tanaman kayu,
perkataan terlarang ditulis dengan menggunakan tanda
petik (It) : URAIAN SINGKAT JENIS-JENIS TANAMAN
wTERLARAWGn (Perhutani, 1990~). Maksud dari cara
penulisan ini ialah bahwa penanaman jenis-jenis tanaman
itu dapat ditoleransi oleh ~erhutani sampai pada batas
tertentu, dengan resiko yang ditanggung oleh Perhutani.
Ketentuan yang menyertai toleransi bagi dua jenis
tanaman ttterlarangm, yang lazim dijumpai di lapangan,
ialah: untuk pisang "Dijaga paling banyak 2-3 pohon
tiap rumpunw; dan untuk ubi kayu "~anya pada lahan
dengan lereng kurang dari 5 0 % , dengan pembuatan terasn.
Dua perlakuan silvikultur yang diharuskan menyertai
penanaman jenis-jenis tanaman terlarang ialah pemupukan
dan penerapan teknik konservasi tanah (Perhutani,
1990~). Ketentuan-ketentuan ini mengandung konsekuensi
tambahan biaya yang dipikul oleh Perhutani, dalam
kegiatan supervisi dan pengawasan untuk memastikan
bahwa syarat-syarat silvikultur dijalankan dengan baik.
2. Performa dari ~ i s i Pesan-
Eerfonaa. Perbedaan performa dari sisi
Pesanggem dianalisa dengan menghitung nisbah taraf
input dan residu net0 antara Tumpang Sari dan
Perhutanan Sosial. Perhitungan nisbah diterapkan hanya
pada contoh dengan usia kontrak yang sama, yakni 2
tahun, dengan maksud untuk memisahkan efek dari faktor
usia. Hasil analisis dicantumkan dalam Tabel 5.4
(halaman 120). Nampak bahwa untuk periode 2 tahun
pertama, taraf penggunaan input di lahan Andil
Perhutanan Sosial lebih tinggi daripada Tumpang Sari,
baik untuk tiap KPH Contoh maupun secara agsegat;
kecuali untuk jenis input obat-obatan taraf penggunaan-
nya pada Andil Tumpang Sari lebih tinggi. Secara
agregat, perbedaan-perbedaan ini sangat nyata
(P=0.000). Taraf residu net0 Perhutanan Sosial lebih
tinggi, baik di tiap KPH Contoh maupun secara agregat,
dan perbedaan tersebut sangat nyata. Dapat diduga
bahwa, pembandingan taraf residu net0 untuk periode 5
tahun akan menunjukkan hasil yang sama (Tabel 5.5,
halaman 121). Hasil perhitungan yang dicantumkan dalam
Tabel 5.5 memperlihatkan bahwa untuk periode 5 tahun,
jumlah residu net0 pada Perhutanan Sosial, baik nominal
maupun terdiskonto, sangat besar. Perbedaan ini sampai
mencapai sekitar 3 kali lipat (209 persen).
Hasil-hasil analisis di atas ini menunjukkan bahwa
perobahan dalam struktur kontrak yang condong pada
Pesanggem memberikan efek peningkatan pendapatan, yang
secara relatif sangat substansial, khususnya dalam
kurun waktu 5 tahun pertama. Dengan diadopsinya
kontrak Perhutanan Sosial, Pesanggem dapat meraih
tambahan pendapatan sebesar dua kali.
ntribusi .k-onen - komrmnen ~ e r f o w . Untuk
menganalisa kontribusi relatif dari faktor-faktor yang
dikendalikan dalam kontrak, performa total dibagi
menjadi dua bagian. Bagian pertama menunjuk pada
kontribusi dari faktor peningkatan luas bidang garapan,
Tabel 5.4. Taraf Input dan Residu Neto per hektar dari Tanaman Semusim di Lahan Andil menurut Tipe Kontrak
Tipe Nilai Jam Pupuk Nilai Residu Kontrak ~ibit Kerja (kg) Obat neto
PPH Pati
Perhutanan Sosial 36.8 4.0 0.9 6.5 1699.7
Tumpang Sari 23.1 2.3 0.5 7.5 1039.4
Nisbah ( % ) 59.3 73.9 98.2 -12.7 63.5
Nilai pb (0.237) (0.000) (0.000) (0.413) (0.006)
RPH CeDu
Perhutanan Sosial 20.4 3.1 0.6 1.9 1080.7
Tumpang Sari 6.8 2.2 0.4 2 . 0 657.4
Nisbah (%) 236.6 42.1 18.7 -3.1 64.4
Nilai P (0.237) (0.022) (0.381) (0.144) (0,011)
A~reaat
Perhutanan Sosial 31.0 3.0 0.8 4.2 1390.2
Tumpang Sari 17.1 2.4 0.4 4.7 848.5
Nisbah ( % ) 83.9 56.9 93.2 -10.6 63.8
Nilai P (0.000) (0.000) (0.000) (0,000) (0.000)
a~ata mencakup dua musim tanaman. Data nilai dinyatakan dalam satuan rupiah.
bNilai peluang (P) kesalahan estimasi.
Tabel 5.5. Taraf Residu Net0 per hektar menurut Tipe dan Jangka Waktu Kontrak
(Dalam ribuan rupiah) a
Usia Kontrak Perhutanan Tumpang ( Tahun) Sosial Sari
1
2
3
4
5
Jumlah untuk 2 tahun
Nisbah (%)
1
2
3
4
5
Jumlah
Nisbah ( % )
- - - -- -
a ~ a t a mencakup dua musim. tanam.
dan bagian kedua menunjuk pada kontribusi peningkatan
akses dalam penentuan jenis tanaman. Perpanjangan
waktu kontrak memungkinkan dicapainya taraf residu net0
yang tinggi. Namun secara analitik, pengaruh unsur
waktu berlaku sama untuk kedua tipe kontrak, sehingga
tidak relevan untuk mengevaluasi kontribusinya. Dengan
demikian berarti bahwa untuk jangka waktu evaluasi yang
sama , kenaikan residu net0 merupakan ef ek dari dua
faktor yang telah disebutkan tadi. Angka kenaikan
residu net0 yang relevan, dalam ha1 ini ialah 63.8
persen (dari Tabel 5.5, halaman 121), yaitu nisbah
residu net0 Perhutanan Sosial dan Tumpang Sari untuk
usia 2 tahun. Hasil perhitungan kontribusi dari kedua
faktor dicantumkan dalam Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Kontribusi Relatif dari dua Komponen Kontrak terhadap Kenaikan Residu Neto
Persen
Kenaikan residu neto total 63.8
Kontribusi akses terhadap lahan hutan 42.7
Kontribusi akses dalam manajemen 21.1
Nampak bahwa perluasan bidang garapan merupakan
faktor yang memberikan efek kontribusi paling tinggi
terhadap kenaikan residu neto. Hal ini menunjukkan
keefektifan dari pengendalian aspek-aspek produktif,
melalui penataan struktur kontrak, dan dengan sendiri-
nya memberikan efek distribusional yang berarti.
Proveksi residu neto. Unsur waktu penting untuk
dimasukkan ke dalam perhitungan ekonomik dalam analisis
antar waktu (intertemporal). Di dalam analisis
performa kontrak, proyeksi residu net0 dari Perhutanan
Sosial ditujukan untuk memberikan perspektif bagi
pengelola hutan di Jawa mengenai konsekuensi ekonomik
dari pola distribusi lahan hutan antara Perhutanan
Sosial dan Tumpang Sari, Analisis ini hanya dari sudut
pandang kepentingan pendapatan Pesanggem, dalam konteks
kawasan hutan secara agregat.
Asumsikan bahwa jangka waktu kontrak Perhutanan
Sosial 30 tahun dan identik dengan satu siklus tanaman
kayu. Sesuai dengan karakteristik silvikultur, pilihan
antara kontrak Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial
bersifat saling meniadakan (mutual exclusive). Hal ini
berarti bahwa unit lahan hutan di mana sistem Tutupang
Sari sudah diterapkan tidak dapat digantikan dengan -
sistem Perhutanan Sosial selama satu siklus. Asumsikan
pula bahwa pendapatan Pesanggem dari sektor non-hutan
adalah tetap selama satu siklus tanaman, sehingga
variasi dalam pendapatan totalnya hanya dipengaruhi
oleh masuk-keluarnya dari sistem kontrak yang ada.
Berdasarkan kerangka ini, maka proyeksi residu net0
dari kedua tipe kontrak adalah sebagai berikut (Tabel
5.7).
Tabel 5.7. Residu Neto Kumulatif Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial: Proyeksi 30 Tahun
(Dalam ribuan rupiah per hektar)a
Periode (Tahun) Tumpang Sari Perhutanan Sosial
a~ibobotkan dengan tingkat diskonto 10 persen.
Angka-angka proyeksi yang dikalkulasi hanya untuk
tahun keenam dan seterusnya, sedangkan untuk lima tahun
pertama didasarkan pada data aktual. Faktor proyeksi
yang diterapkan adalah sebagai berikut. Mulai tahun ke
6 hingga 9, residu net0 menurun dengan kecepatan 30
persen (per tahun), kemudian naik dengan laju rata-rata
50 persen hingga tahun ke 15l. Selanjutnya, terjadi
kenaikan dengan la ju rata-rata 20 persen2.
Berdasarkan asumsi bahwa alternatif pemanfaatan
seluruh lahan hutan produksi di Jawa hanya antara
sistem Tumpang Sari dan Perhutanan ~osial, data dalam
Tabel 5.7 (halaman 124) memberikan implikasi bahwa
manfaat agregat maksimum bagi Pesanggem akan dihasilkan
dari sumberdaya lahan hutan jika seluruh lahan digarap
dengan sistem Perhutanan Sosial. Makin besar (kecil)
proporsi lahan yang digunakan untuk sistem Perhutanan
Sosial makin besar (kecil) manfaat agregat yang dapat
dihasilkan. Bagi Perhutani, efek yang ditimbulkan akan
berbeda, karena adopsi kontrak Perhutanan Sosial
diikuti pula dengan kenaikan biaya lapangan.
l~iado~si dari Manurung (1989) dan Tatuh (1986).
'penurunan residu net0 pada Perhutanan Sosial sejak tahun ke-6 disebabkan oleh transisi sumber penerimaan dari tanaman semusim ke tanaman tahun- an. Produktivitas tanaman semusim diasumsikan menurun sampai taraf terendah pada tahun kelima, sedangkan produksi tanaman tahunan mulai dari taraf terendah pada tahun keenam, selanjutnya meningkat, mencapai maksimum, dan kemudian menurun di akhir siklus.
3. performa dari Sisi Perhutani
persentase tumbuh tanaman kavu. Dari segi
produksi, tujuan utama manajemen silvikultur ialah
mendapatkan volume dan kualitas optimal pohon kayu
selama, atau setidaknya pada akhir siklus tanaman.
Dalam hubungan ini, penjarangan merupakan salah satu
kegiatan silvikultur yang tergolong penting dan tetap
relevan selama siklus tanaman. Dua kriteria penting
yang menjadi dasar penentuan tingkat penjarangan
optimal ialah kondisi populasi tanaman kayu dan
kepentingan konservasi tanah (Perhutani, 1988a). Oleh
karena penjarangan pada suatu tahap turut dipengarhi
oleh kondisi populasi pada tahap-tahap penjarangan
sebelumnya, dan juga mempengaruhi tingkat penjarangan
pada tahap-tahap selanjutnya, persentase tumbuh tanaman
kayu menjadi salah satu faktor yang sangat penting.
Karena itu pula, maka persentase tumbuh tanaman kayu,
oleh Perhutani, digunakan sebagai kriteria performa
produksi baik dalam Tumpang Sari maupun Perhutanan
Sosial (Perhutani, 1980; 1989d; 1988b). Berdasarkan
argumen ini maka persentase tumbuh tanaman kayu
digunakan dalam evaluasi performa ekonomik dari sudut
pandang kepentingan Perhutani.
Perbedaan performa antara kontrak Tumpang Sari dan
Perhutanan Sosial tertera dalam Tabel 5.8. Nampak
bahwa, secara agregat, rata-rata persentase tumbuh
tanaman pokok pada Perhutanan Sosial lebih tinggi 9.3
persen daripada Tumpang Sari, dan perbedaan ini sangat
nyata (P=0.003). Perbedaan menurut KPH memperlihatkan
performa yang berlainan. Di KPH Pati, persentase
tumbuh tanaman pokok pada Perhutanan Sosial lebih
tinggi daripada pada Tumpang Sari dan perbedaan ini
Tabel 5.8. Nisbah Persentase Tumbuh Tanaman Pokok menurut Tipe Kontrak
Tipe Kontrak Persentase Tumbuh ~ i s b a h ~ ( % ) - -- -
Pati Parhutanan Sosial (1, 2lb 92.5 12.4 Tumpang Sari (1,2) 82.5 (P=0.076)
Cex>u Perhutanan '~osial (1,2) 75.2 Tumpang Sari (1,2) 96 . 3
Aareaat Perhutanan Sosial (1,2) 86.0 9.3 Tumpang Sari (1,2) 78.9 (P=O.OO~ j
aAngka (P) ialah nilai peluang
bAngka (1 , 2) adalah usia kontrak 1 dan 2 tahun.
nyata secara statistik. Di KPH Cepu, dijumpai situasi
yang sebaliknya, tetapi perbedaan ini tidak nyata
(P=0.25).
Yubunaan ~erforma denaan bebera~a ~eubah kontrak.
Dari hasil estimasi fungsi logistik, untuk menganalisa
faktor-faktor yang mempengaruhi variasi dalam persen-
tase tumbuh tanaman pokok, diperoleh petunjuk sebagai
berikut (Lihat Tabel 5.9, halaman 129). Bonita
merupakan satu-satunya peubah yang berpengaruh nyata
pada persentase tumbuh tanaman kayu. Koef isien
bertanda negatif mengartikan bahwa pada Andil berbonita
tinggi persentase tumbuh cenderung lebih rendah. Hal
ini berlawanan dengan dugaan semula, bahwa pada Andil
dengan bonita tinggi, efek negatif dari kehadiran
tanaman tumpang sari terhadap pertumbuhan tanaman kayu
kecil karena di sini bidang garapan untuk tanaman
semusim lebih besar dan populasi tanaman kayu lebih
rendah. Penjelasan dari segi silvikultur diperlukan
dalam memahami indikasi ini. Informasi yang dianggap
relevan dalam diskusi di sini ialah bahwa faktor alam
memiliki pengaruh penting terhadap variasi dalam
persentase tumbuh tanaman kayu.
Koefisien curahan tenaga kerja negatif tidak dapat
ditafsirkan bahwa makin tinggi curahan tenaga kerja
Tabel 5.9. Hasil Estimasi Fungsi ~o~istikl Pengujian beberapa Sumber Variasi Persentase Tumbuh Tanaman Pokok
Peubah Nilai ~ s t i m a s i ~
Curahan tenaga kerja (=/Ha)
Pupuk (Kg/Ha)
Bonita
Populasi tanaman pokok (per hektar)
Tipe kontrak (Dumi; D = 1 Perhutanan Sosial, D = 0 Tumpang Sari)
Usia kontrak (1,2 tahun)
KPH (Dumi; D = 1 Pati D = 0 Cepu)
Luas Andil (Ha)
- - - - - -
a~ngka dalam tanda ( ) nilai peluang (P).
'~eskri~si tentang fungsi Logistik tercantum dalam Lampiran B5.
makin rendah persentase tumbuh tanaman kayu. Dari
hasil pengamatan di lapang diperoleh petunjuk bahwa
sebenarnya penurunan populasi telah terjadi terlebih
dahulu, sehingga ruang lahan untuk bidang garapan
tanaman semusim lebih besar. Akibatnya, penanaman
lebih ekstensif, dan ha1 ini ditunjukkan oleh kenaikan
dalam kuantitas tenaga kerja yang dicurahkan.
Penggunaan pupuk memberi pengaruh positif terhadap
persentase tumbuh tanaman kayu, namun sangat kecil dan
tidak nyata.
Peubah luas Andil dan populasi tanaman pokok tidak
berpengaruh pada persentase tumbuh tanaman kayu.
Persentase tumbuh tanaman k a p di Andil Perhutanan
Sosial cenderung lebih tinggi daripada di Andil Tumpang
Sari, dan perbedaan ini nyata.
Apabila pengaruh faktor alam sangat dominan
ketimbang pengaruh faktor manusia (Pesanggem), kegiatan
supervisi dan pengawasan bisa menjadi kurang relevan.
Namun dalam kenyataannya, kegiatan tersebut penting
karena berfungsi sebagai upaya preventif. Menurut
sifatnya, kalkulasi biaya oportunitas dari suatu
kegiatan preventif sangat ditentukan oleh ekspektasi
dengan dera jat ketakpasti an yang relatif tinggil.
Dengan kata lain, makin lama (singkat) Pesanggem
berada di lahan Andil, makin tinggi (rendah) kemung-
kinan efek dari faktor manusia terhadap variasi
persentase tumbuh tanaman pokok. Hal ini mengandung
implikasi bahwa dari segi rendahnya resiko kegagalan
tanaman kayu oleh faktor manusia, Tumpang Sari relatif
lebih unggul daripada Perhutanan Sosial.
Persentase tumbuh tanaman kayu di KPH Pati lebih
tinggi daripada di KPH Cepu, dan perbedaan ini nyata.
Diduga, bahwa perbedaan ini selain oleh faktor
agroklimat (Lihat penjelasan dalam Lampiran B2), dipe-
ngaruhi juga oleh kegiatan-kegiatan silvikultur, di
antaranya rendahnya taraf pemupukan di KPH Cepu (Lihat
Tabel 5.4, halaman 120).
Angka koefisien determinasi kecil (~~10.59)
memberikan petunjuk bahwa peubah-peubah yang dimasukkan
dalam estimasi model menjelaskan hanya sebagian dari
sumber variasi dalam persentase tumbuh tanaman pokok.
Faktor-faktor lain memberikan andil sekitar separoh
l~ontoh lain kegiatan preventif ialah pemberantas- an hama-penyakit tanaman. Dalam kasus seperti ini analisis fungsi produksi bisa menampilkan produk marjinal kegiatan kecil ataupun negatif, yaitu jika taraf serangan hama-penyakit yang diekspek- tasi melampaui taraf aktual.
dari variasi ini. Kenyataan ini memberikan gambaran
bahwa resiko pertumbuhan tanaman kayu dengan adanya
penjarangan menurut sistem Perhutanan Sosial cukup
potensial.
Performa ekonomik. Tabel 5.10 (halaman 133)
menunjukkan bahwa rata-rata tingkat biaya lapangan pada
Perhutanan Sosial lebih tinggi daripada pada Tumpang
Sari. Uraian-uraian terdahulu memberikan petunjuk
bahwa kenaikan biaya ini merupakan konsekuensi dari
penyediaan insentif dan adanya modifikasi-modifikasi
yang dilakukan dalam aspek teknik silvikultur.
Perbedaan dalam tingkat biaya lapangan mencapai
36.3 persen. Pengeluaran tambahan ini cukup efektif,
dilihat dari adanya kenaikan dalam angka persentase
tumbuh tanaman kayu. Akan tetapi, jika kedua angka ini
diperbandingkan nampak bahwa kenaikan biaya tidak
seimbang dengan kenaikan dalam persentase tumbuh
tanaman kayu, yakni hanya sebesar 9.3 persen.
4. perf orma .Aareuat
Analisis mengenai performa kontrak secara agregat
dilakukan dengan jalan menghubungkan manfaat secara
langsung yang diterima oleh Perhutani dan yang diterima
oleh Pesanggem. Periode evaluasi yang dipilih ialah 5
tahun (pertama), dengan alasan: (i) Kegiatan-kegiatan
di Andil Tumpang Sari dan Perhutanan ~osial identik
mulai tahun keenam; (ii) ~ i m a tahun pertama dapat
dikatagorikan sebagai periode kritis, karena keputusan
Tabel 5.10. Performa Ekonomik bagi Perhutani menurut Tipe Kontrak
Komponen Evaluasi Nilai
(1) Biaya lapanganl Perhutanan Sosial Tumpang Sari Nisbah (%)
(2).Persentase tumbuh tanaman pokok Perhutanan Sosial 86.9 Tumpang Sari 78.9 Nisbah (%) 9.3
(3) Persentase tumbuh tanaman pokok per biaya lapangan Perhutanan Sosial 0.078 Tumpang Sari 0.096
a~alam ribuan rupiah per hektar, didiskonto (10%).
l ~ i a ~ a lapangan yang diperhitungkan di sini hanya mencakup komponen-komponen dengan nilai yang berbeda karena perbedaan perlakuan menurut tipe kontrak. Jumlahnya terdiri dari biaya-biaya bahan
tanaman dan supervisi serta pengawasan. (Lihat Lampiran A1 dan A3).
yang dibuat oleh Pesanggem dalam menghadapi situasi
penurunan pendapatan yang sangat drastis pada tahun ke
lima dan enam, dapat digunakan sebagai indikator
mengenai ekspektasi terhadap arus pendapatan di waktu-
waktu yang akan datang dan tentang urgensi dari
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pada saat ini.
Analisis performa agregat didasarkan pada data
residu net0 yang diraih oleh Perhutani (berbentuk
proksi) dan oleh Pesanggem, seperti yang dicantumkan
dalam Tabel 5.11 (halaman 135). Data dalam tabel
ini menunjukkan bahwa dengan diadopsinya kontrak
Perhutanan Sosial, sebagai alternatif kontrak Tumpang
Sari, rata-rata setiap hektar Andil memberikan kenaikan
residu net0 kepada Pesanggem sekitar 1.5 juta rupiah,
Di fihak lain, ha1 ini mengakibatkan tambahan biaya
bagi Perhutani sebesar 269.9 ribu rupiah1 untuk periode
yang sama. Secara agregat, ha1 ini berarti terdapat
kenaikan manfaat net0 sebesar 1.3 juta rupiah (1.53-
0.27). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, dalam
perspektif manajemen hutan sebagai suatu kesatuan,
l~iasumsikan bahwa taraf penerimaan dari hasil tanaman kayu konstan.
Tabel 5.11. ~istribusi Biaya-Manfaat antara Perhutani dan Pesanggem
(Dalam ribuan rupiah per hektar)
Perhutanan Tumpang Nisbah Sosial Sari ( Absolut )
Residu net0 bagi
Pesanggem
Manfaat neto bagi
perhutania -1115.0 -818.1 -269.9
a~anda negatif menun jukkan biaya , yaitu biaya lapangan.
adopsi kontrak Perhutanan Sosial dapat dibenarkan
secara ekonomik. Akan tetapi, dilihat dari efek
distribusi yang ditimbulkan terhadap setiap fihak dalam
kontrak secara sendiri-sendiri, pengembangan kontrak
Perhutanan Sosial mengandung persoalan konflik
kepentingan antara Perhutani dan Pesanggem.
Jika diasumsikan bahwa setiap tahun tersedia 12.5
ribu hektar lahan untuk peremajaan (Anon, 1984) dengan
sistem Perhutanan Sosial, maka dalam lima tahun
Perhutani memikul tambahan biaya sebesar 3.4 milyar
rupiah (12.5 x 269.9 juta) , setara dengan 675 juta
rupiah per tahun. Angka ini akan meningkat dengan laju
kenaikan yang setara dengan laju ketersediaan lahan
untuk peremajaan, misalnya karena siklus produksi
diperpendek. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan
peranan Perhutanan Sosial (dalam meningkatkan
pendapatan Pesanggem per satuan waktu), misalnya dengan
mengintruduksikan tanaman kayu berumur lebih singkat,
juga akan cenderung mengakibatkan terjadinya redistri-
busi pendapatan. Oleh karena itu, diduga bahwa bagi
Perhutani, daya tarik Perhutanan Sosial terutama
terletak pada manfaat-manfaat non-moneter atau manfaat-
manfaat tak langsung.
5. gesim~ulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diturunkan dari
hasil analisis dalam bab ini sebagai berikut. Pertama, .
taraf residu net0 pada Perhutanan ~osial lebih tinggi
daripada Tumpang Sari. Dalam waktu dua tahun saja,
perbedaan ini mencapai 63.8 persen, meningkat menjadi
208.8 persen untuk jangka waktu 5 tahun. Di fihak
lain, adopsi kontrak Perhutanan Sosial mengakibatkan
tambahan biaya bagi Perhutani sebesar 36.3 persen. Hal
ini merupakan indikasi mengenai pola pemanfaatan
sumberdaya lahan yang berciri tidak kompatibel.
Kedua, faktor akses Pesanggem terhadap sumberdaya
lahan hutan memberikan kontribusi paling besar terhadap
peningkatan residu neto, yaitu 42.7 persen, sedangkan
akses Pesanggem dalam manajemen memberikan kontribusi
sebesar 21.1 persen. Hal ini lnenunjukkan keefektifan
dari modifikasi silvikultur da-lam mendukung peningkatan
askes Pesanggem terhadap sumberdaya lahan hutan.
Ketiga, dengan diadopsinya kontrak Perhutanan
Sosial, terjadi redistribusi pendapatan. (Gambar 5.1,
halaman 138, memperlihatkan arah dari proses
redistribusi ini). Hipotesis Barzel (1989) memprediksi
bahwa pilihan Perhutani akan jatuh pada kontrak Tumpang
Sari dan menghindari alternatif kontrak Perhutanan
Sosial, karena bagi Perhutani, residu neto yang dapat
diraih dari Tumpang Sari lebih tinggi. Pengembangan
dari Tumpang Sari ke Perhutanan Sosial diikuti oleh
kenaikan pendapatan bagi Pesanggem dan penurunan
pendapatan bagi Perhutani. Dengan demikian, redistri-
busi pendapatan berlangsung berlawanan arah dengan
perobahan dalam tingkat upah relatif terhadap rente
lahan.
Indikator residu neto bagi perhutanil
I Tumpang Sari
Perhutanan Sosial
Residu neto > bagi Pesanggem
0 734.2 2267.1
Gambar 5.1. Perkembangan Struktur Kontrak dan Pola Distribusi Pendapatan antara Perhutani dan Pesanggem
lncw adalah suatu konstanta . Untuk kekonsistenan dalam penetapan skala dari grafik diasumsikan bahwa C>1115.0