v. hasil dan pembahasan 5.1 dukungan habitat banteng di ... v... · hal ini dimungkinkan karena di...
TRANSCRIPT
65
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Dukungan Habitat Banteng di Dalam dan di Luar Kawasan TN Alas
Purwo dan TN Meru Betiri
5.1.1 Vegetasi dan Produktivitas Hijauan Pakan
Analisis vegetasi di padang perumputan banteng TNAP menunjukkan
potensi tingkat semai di sekitar padang perumputan Sadengan 7.733 semai/ha
dengan kerapatan pohon 118,7 pohon/ha. Tingkat semai dan pohon tersebut
didominasi oleh jenis johar (Cassia siamea Lamk.) dengan INP semai 46% dan
INP pohon 32,1%. Di lokasi Sumbergedang kerapatan pohon dan semai lebih
rendah yaitu 25,3 semai/ha dan 1,3 pohon/ha, yang didominasi oleh jenis semutan
(Syzygium syzygioides Miq.) dengan INP semai sebesar 52,7% dan INP pohon
78,4%. (Lampiran 4).
Di blok Sumbergedang kawasan hutan produksi Perum Perhutani yang
berbatasan langsung dengan kawasan TNAP , telah dilakukan pengukuran
terhadap produktivitas hijauan tumbuhan bawah . Pengukuran dilakukan untuk
mengetahui potensi hijauan sebagai sumber pakan banteng.
Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di blok Sumbergedang ditemukan
enam jenis tumbuhan bawah (Tabel 6), semua jenis tumbuhan tersebut dimakan
oleh banteng. Pada Tabel 6 terlihat bahwa jenis bambangan merupakan jenis
hijauan dengan tingkat produktivitas paling tinggi, yaitu sebesar 140,81
kg/ha/hari saat musim hujan. Selanjutnya grinting 44,44 kg/ha/hari, drujon 43,22
kg/ha/hari, alang-alang 28,77 kg/ha/hari, kolomento 11,11 kg/ha/hari dan teki 1,47
kg/ha/hari. Sedangkan nilai produktivitas pada saat musim kemarau jauh lebih kecil
yaitu bambangan 20 kg/ha/hari, grinting 0,04 kg/ha/hari, drujon 0,27 kg/ha/hari,
alang-alang 0,15 kg/ha/hari, kolomento 0,86 kg/ha/hari dan Teki 1,47 kg/ha/hari.
Dari nilai produktivitas yang dihasilkan oleh tumbuhan bawah di blok
Sumbergedang, produktivitas per hektarnya termasuk tinggi dibanding dengan di
lokasi padang perumputan Sadengan kawasan TNAP (Tabel 7). Hal ini
dimungkinkan karena di lokasi Sumbergedang lahannya selalu basah sehingga
tumbuhan bawah khususnya jenis rumput-rumputan bisa tumbuh dengan baik.
66
Tabel 6 Produktivitas hijauan pakan banteng di blok Sumbergedang pada musim hujan dan kemarau
No Nama Daerah Nama Botani Produktivitas (kg /ha /hari)
Musim Hujan Musim Kemarau 1 Bambangan Commelina nudiflora Brn.F. 140,81 20,00 2 Grinting Paspalum longifolium Roxb. 44,44 1,11 3 Drujon Achartus ilichiphelia L. 43,22 11,83 4 Alang-alang Imperata cylindrica L.Beauv. 28,77 8,44 5 Kolomento Leersia hexandra Sw. 11,11 0,86 6 Teki Cyperus monochephalus
Baker. 10,74 1,47
Total 279,09 43,71
Hasil pengukuran produktivitas di padang perumputan Sadengan disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7 Produktivitas hijauan pakan di padang perumputan Sadengan pada saat musim hujan dan kemarau
No. Nama Daerah Nama Botani Produktivitas (kg /ha /hari)
Musim Hujan Musim Kemarau 1 Domdoman Andropogon aciculatus Retz. 88,81 15,71 2 Paitan Paspalum conjugatum Roxb. 8,11 3,94 3 Putian Andropogon pertusus L. 2,56 1,22 4 Alang-alang Imperata cylindrica L.Beauv. 11,11 0,11 5 Kolomento Leersia hexandra Sw. 6,66 1,33 6 Teki Cyperus monochephalus Baker 5,6 0,33 7 Lamuran Andropogon caricosus L. 0,1 1,30
Total 122,95 23,94
Pada Tabel 7 terlihat bahwa di padang perumputan Sadengan ditemukan 7 jenis
tumbuhan bawah. Produktivitas tumbuhan bawah di padang perumputan Sadengan
lebih kecil dibandingkan dengan di blok Sumbergedang, kemungkinan hal ini yang
menyebabkan banteng di padang perumputan Sadengan ke luar kawasan taman
nasional dan mencari makan di blok Sumbergedang yang merupakan hutan produksi
Perum Perhutani terutama pada saat kemarau.
Semua jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di blok Sumbergedang dan
Sadengan adalah sumber pakan banteng, hanya proporsi dan produktivitas saja yang
berbeda. Hasil penelitian Pairah (2007), menunjukkan bahwa jenis grinting
(Paspalum longifolium Roxb.), lamuran (Andropogon caricosus L), kolomento
(Leersia hexandra Sw.) dan paitan (Paspalum conjugatum Roxb.) merupakan jenis
67
pakan yang dimakan oleh banteng dengan proporsi lebih tinggi dibanding dengan
jenis rumput lainnya. Jenis-jenis hijauan pakan tersebut ditemukan pada kotoran
banteng dengan proporsi yang berbeda, proporsi yang tinggi mengindikasikan bahwa
jenis tersebut disukai banteng.
Hasil penelitian Heriyanto (2007), menunjukkan bahwa vegetasi TNMB di
kawasan yang berbatasan dengan Perkebunan Bandealit, vegetasi tingkat semai
didominasi oleh mahoni (Swietenia macrophylla Jack.) dan bayur (Pterospermum
diversifolium Blume) dengan nilai INP masing-masing jenis 10,8% dan 7,7%.
Tingkat belta didominasi oleh mahoni (INP 17,8%), bungur (Lagerstroemia
speciosa Pers) dengan (INP 9,1%) dan wining (Pterocybium javanicum R. Br.)
dengan (INP 6,1%). Vegetasi tingkat pohon didominasi oleh besule (Chydenanthus
excelsus Miers) dengan nilai INP 28,5%, jabon (Anthocephallus cadamba Miq.)
(INP 20,0%) dan wining (Pterocybium javanicum R. Br.) (INP 16,3%).
Kerapatan tertinggi untuk tingkat pohon 15,5 per hektar, tingkat belta 171 per
hektar dan tingkat semai 1.607 per hektar.
Vegetasi yang terdapat dalam kawasan taman nasional digunakan banteng
sebagai tempat istirahat dan berlindung. Jika banteng yang berada di kawasan
perkebunan terganggu oleh aktivitas manusia, banteng tersebut langsung lari ke
dalam kawasan taman nasional yang bervegetasi. Vegetasi hutan juga
dimanfaatkan banteng sebagai lokasi untuk tempat bersarang dan tidur. Lokasi ini
berada dalam kawasan TNMB yang letaknya tidak jauh dari kawasan Perkebunan
Bandealit. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa sarang banteng di
bawah tegakan pohon. Moen (1972) menyatakan bahwa vegetasi merupakan salah
satu faktor biotik yang sangat penting sebagai penyedia makanan, tempat
berlindung dan tempat tinggal.
Untuk mengetahui penyebab banteng keluar kawasan TNMB dan
menjadikan areal Perkebunan Bandealit sebagai habitat dan homerange yang
permanen, terutama habitat sumber pakan, maka dilakukan penelitian potensi
sumber pakan di padang perumputan Pringtali TNMB. Letak padang perumputan
Pringtali TNMB tidak jauh dengan areal Perkebunan Bandealit yang merupakan
enclave berupa daerah penyangga.
68
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap habitat pakan yang dilakukan di
sekitar Kebun Pantai Perkebunan Bandealit yang berstatus sebagai daerah
penyangga serta padang perumputan Pringtali TNMB, diketahui nilai produktivitas
hijauan pakan yang biasa dimakan oleh banteng. Hasil penelitian produktivitas
tumbuhan bawah pakan banteng di padang perumputan Pringtali TNMB dan
Kebun Pantai Perkebunan Bandealit disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9.
Tabel 8 Produktivitas hijauan pakan banteng di padang perumputan Pringtali TNMB
No Nama Daerah Nama Botani Produktivitas (kg/ha/hari)
Musim Hujan Musim Kemarau 1 Paitan Paspalum conjugatum Berg. 26,80 12,50 2 Lamuran Andropogon caricocus L. 3,10 1,20 3 Teki Cyperus rotundus L. 3,22 1,27 4 Ilat Carex baccans Nees. 3,77 1,50 5 Gajahan Panicum repens L. 12,50 6,86 6 Pringpringan Pogonatherum paniceum L. 40,33 19,16 7 Alimosa Mimosa invisa Mar. 2,20 1,33 8 Babadotan Ageratum conyzoides L. 3,60 1,77 9 Sintrong Erechtites valerianifolia
(Spreng.) DC. 28,22 22,33
Total 123,74 67,92
Tabel 9 Produktivitas hijauan pakan banteng di Kebun Pantai Perkebunan Bandealit
No. Nama Daerah Nama Botani Produktivitas (kg /ha /hari)
Musim Hujan Musim Kemarau 1 Kolonjono Hierochloe horsfieldii Max. 28,66 15,71 2 Paitan Paspalum conjugatum Berg. 24,11 10,40 3 Kipait Axonopus compressus L. 10,30 4,33 4 Putian Andropogon pertusus L. 8,22 3,4 5 Ilat/ladingan Carex baccans Nees. 2,30 1,11 6 domdoman Andropogon aciculatus L. 6,10 2,30 7 Teki Cyperus monochephalus L. 3,13 1,33 8 Kawatan Panicum montanum L. 2,66 1,30 9 Jalantir Erigeron linifolius Willd. 2,42 1,10 10 Gajahan Panicum repens L. 10,33 6,60 11 Babadotan Ageratum conyzoides L. 2,90 1,10 12 Alimosa Mimosa invisa Mar. 2,60 1,22
13 Sintrong Erechtites valerianifolia (Spreng DC). 16,88 9,40
14 Lamuran Andropogon caricocus L. 2,80 1,66 Total 123,41 60,96
69
Berdasarkan pengamatan terhadap tumbuhan bawah di padang perumputan
Pringtali dan Perkebunan Bandealit ditemukan masing-masing sembilan jenis dan
14 jenis tumbuhan sumber pakan banteng. Hasil pengukuran produktivitas hijauan
sumber pakan banteng di areal kebun pantai Bandealit disajikan pada Tabel 9.
Produktifitas tumbuhan bawah sebagai sumber pakan banteng pada saat
musim hujan di Kebun Pantai Perkebunan Bandealit relatif sama dengan di padang
perumputan Pringtali kawasan TNMB, walaupun jumlah jenis yang ditemukan di
Perkebunan Bandealit lebih banyak. Hal ini diduga ada hubungan dengan
penutupan tajuk pohon, di padang perumputan Pringtali arealnya sangat terbuka
sehingga tumbuhan bawah mendapat sinar matahari yang cukup sedangkan di
Perkebunan Bandealit tumbuhan bawah ternaungi oleh tegakan pohon seperti johar
(Cassia siamea L.), kopi (Coffea robusta L.), karet (Hevea brasiliensis
(willd.).Muell.Arg.), sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) dan balsa
(Ochroma bicolor Rowlee.) sehingga pertumbuhannya lebih lambat. Semiadi dan
Nugraha (2004) menyatakan bahwa rumput atau tumbuhan bawah akan tumbuh
dengan cepat apabila mendapat sinar matahari untuk proses fotosintesa. Hijauan
rumput di areal perkebunan produktifitas per hektarnya rendah karena kurang
mendapatkan sinar matahari. Perbedaan produktifitas kemungkinan dikarenakan
jenis hijauan rumput yang terdapat di Kebun Pantai dan di padang perumputan
Pringtali berbeda, sehingga kemampuan untuk tumbuh kembali dari jenis-jenis
rumput tersebut juga berbeda. McIlroy (1977) dan Reksohadiprojo (1982)
menyatakan bahwa produktifitas hijauan pakan tergantung pada daya tahan hidup
dari jenis tumbuhan, daya saing dengan spesies lain, kemampuan tumbuh kembali
setelah injakan dan penggembalaan berat, sifat tahan kering atau basah serta
kesuburan tanah.
Semua tumbuhan bawah yang ditemukan di padang perumputan Pringtali
TNMB dan Kebun Pantai Perkebunan Bandealit mempunyai potensi yang cukup
baik. Tetapi padang perumputan Pringtali luasannya hanya lima ha dan sebagian
besar sudah terinvasi oleh jenis invasif seperti kirinyuh (Chromolaena odorata
(L.) King RM & Rob H) dan Lantana camara L, sehingga perlu dilakukan
pembinaan habitat padang perumputan Pringtali secara rutin serta dilakukan
perluasan untuk meningkatkan produktivitas hijauan pakan. Terbatasnya luasan
70
padang penggembalaan menunjukkan daya dukung populasi rendah sehingga
dapat menjadi penyebab keluarnya banteng dari kawasan. Alikodra (1983)
menyatakan bahwa jika suatu kawasan tidak mampu menyediakan salah satu atau
beberapa komponen utama dari keperluan hidupnya, maka banteng akan bergerak
mencari kawasan lain yang mampu untuk memenuhi tuntutan hidupnya.
5.1.2 Nilai Kandungan Gizi dan Palatabilitas Hijauan Pakan
Analisis kandungan gizi hijauan pakan banteng tidak hanya dilakukan pada
jenis-jenis rumput yang dijumpai di padang perumputan saja, tetapi dilakukan
juga pada jenis-jenis tumbuhan yang ada di luar padang penggembalaan yang
dapat dimakan banteng. Dari hasil analisis kandungan gizi hijauan yang
dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB diketahui nilai
kandungan gizi jenis hijauan pakan yang terdapat di kawasan TNAP dan
sekitarnya serta di kawasan TNMB dan sekitarnya (Tabel 10 dan 11). Nilai gizi
hijauan dapat diartikan sebagai kualitas dari hijauan yang dapat mengendalikan
proses kehidupan yang komplek dan sangat penting bagi kesehatan, pertumbuhan,
reproduksi maupun ketahanan hidup satwa (Dashman 1964).
Nilai kandungan gizi yang terdapat dalam hijauan pakan banteng di padang
perumputan Sadengan dan Sumbergedang TNAP serta di padang perumputan
Pringtali dan perkebunan Bandealit TNMB disajikan dalam Tabel 10 dan 11.
Tabel 10 Kandungan nutrisi pakan di Sadengan TNAP dan Blok Sumbergedang
Jenis Bahan kering Abu Protein
kasar Seratkasar
Lemakkasar Beta-N Ca P Cu
(ppm) Zn
(ppm) EB
(kal/g)
Drujon 83,33 10,11 10,20 28,10 0,26 34,66 0,11 0,34 1,11 8,44 2.793
Bambangan 87,80 11,21 5,36 42,37 1,06 20,30 0,32 0,24 1,73 16,58 1.952
Kulit Mahoni 87,55 5,09 3,02 24,84 1,10 53,50 2,65 0,20 4,72 11,36 3.826
Putian 87,58 23,27 7,84 33,32 1,32 21,83 0,60 0,57 2,95 15,02 2.017
Kiserut 85,78 18,71 12,50 32,69 0,19 21,69 1,06 0,35 3,02 11,39 2.461
Kolomento 89,10 16,45 8,80 27,43 0,99 35,43 0,41 0,25 1,91 23,90 1.763
Grinting 88,53 7,65 3,37 29,59 0,92 47,00 0,12 0,22 0,39 5,49 2.468
Teki Rawa 87,91 17,11 5,26 33,67 0,26 31,61 0,04 0,32 0,92 13,11 3.027
Dom-doman 88,21 11,97 9,36 34,72 0,19 31,97 0,37 0,18 1,88 12,44 2.121
Paitan 85,56 11,08 8,85 29,19 0,45 35,09 0,31 0,24 3,76 22,89 2.367
Alang-alang 84,93 7,70 10,06 52,93 0,47 13,77 0,57 0,28 4,29 14,22 3.711
71
Berdasarkan hasil analisis kandungan gizi pakan yang terdapat di kawasan
TNAP diketahui bahwa jenis kiserut (Streblus asper), drujon (Achartus
ilichiphelia L), alang-alang (Imperata cylindrica L. Beauv.) dan domdoman
(Andropogon aciculatus Retz.) mempunyai kandungan protein yang tinggi
dibanding jenis hijauan lainnya yaitu 9,36% sampai 12,50%. Sedangkan
kandungan lemak tertinggi yaitu bambangan (Commelina nudiflora Brn F.)
sebesar 1,06%, kulit batang mahoni (Swietenia macrophilla Jack.) 10% dan putian
(Andropogon pertutus L.) 1,32%. Jenis pakan yang mengandung kalsium cukup
tinggi adalah Kiserut (Streblus asper) dan kulit batang mahoni (Swietenia
macrophilla Jack.) masing-masing sebesar 1,06% dan 2,65%.
Kulit batang mahoni (Swietania macrophilla Jack.) selain mempunyai
kandungan kalsium yang tinggi, juga mengandung unsur Cu dan Zn yang cukup
tinggi yaitu masing-masing 4,72% dan 11,36%. Kulit batang mahoni juga
mempunyai kandungan kalori yang lebih tinggi dibanding jenis pakan lainnya
yaitu 3.826 kcal/g berat basah, sedangkan jenis lainnya seperti kolomento 1.763
kcal/g dan alang-alang 3.711 kcal/g.
Ketersediaan pakan di areal perkebunan Bandealit yang merupakan enclave
selain secara kuantitas dapat memenuhi kebutuhan banteng juga secara kualitas
lebih baik dibanding dengan yang ada dalam kawasan TNMB. Tanaman di
perkebunan Bandealit seperti karet, kopi dan coklat (Theobroma cacao L.) yang
dimakan banteng mempunyai nilai kandungan gizi yang lebih tinggi dibanding
hijauan pakan yang ada dalam kawasan TNMB. Kandungan nutrisi yang
terkandung dalam hijauan pakan banteng di TNMB dapat dilihat pada Tabel 11.
Berdasarkan hasil analisis kandungan nutrisi hijauan pakan diketahui bahwa
gajahan (Panicum repens L.), putian (Andropogon pertutus L.), pringpringan
(Pogonatherum paniceum L.) dan paitan (Paspalum conjugatum Berg.) yang
terdapat di padang penggembalaan Pringtali mempunyai kandungan protein yang
cukup tinggi yaitu lebih dari 10%. Tetapi jika dibandingkan dengan tanaman yang
terdapat di perkebunan Bandealit seperti daun karet, daun sengon dan kulit
sengon, kandungan nutrisi hijauan pakan tersebut masih rendah.
72
Tabel 11 Kandungan nutrisi hijauan pakan banteng di kawasan Pringtali TNMB dan Perkebunan Bandealit
Protein, kalsium dan posfor dalam pakan dapat digunakan sebagai indikator
penentu tinggi rendahnya kualitas sumber pakan. Hal ini kemungkinan yang
menyebabkan banteng berpindah ke areal perkebunan Bandealit (kasus di TNMB)
dan ke areal Perum Perhutani (kasus di TNAP) yang menyediakan jenis pakan lebih
bervariasi dengan kandungan gizi dan mineral yang lebih tinggi. Kulit sengon dan
kulit mahoni termasuk daun karet di luar kawasan mempunyai kandungan kalsium,
yang cukup tinggi dibanding dengan hijauan pakan lainnya. Kalsium dalam pakan
ruminansia sangat berguna dalam proses pencernaan selulosa, untuk pembentukan
dinding sel bakteri dan proses fiksasi N oleh bakteri (Durand dan Kawashima 1980).
Sedangkan Cu berperan dalam mengaktifkan sintesa protein, selanjutnya disebutkan
bahwa kekurangan Cu dapat menyebabkan anemia pada ruminansia (Church et al.
1971, diacu dalam Bismark 2008), dan banteng merupakan salah satu jenis satwa
ruminansia. Hasil analisis statistik (Lampiran 5) menunjukkan bahwa kandungan
nilai gizi hijauan pakan khususnya kandungan protein, Ca dan Zn di luar kawasan
lebih tinggi dengan nilai R > 0,55 sampai 0,95 sehingga banteng memilih keluar
kawasan terutama dalam melakukan aktivitas makannya. Hal ini dimungkinkan
karena banteng membutuhkan hijauan pakan yang mengandung tiga unsur
tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan pakan yang tersedia dalam
kawasan kekurangan kandungan unsur-unsur yang dibutuhkan banteng sebagai
satwa ruminansia.
Jenis pakan Bahan Kering Abu Protein
Kasar Serat Kasar
Lemak Kasar
Beta-N Ca P Cu
(ppm) Zn
(ppm) EB
(kal/g)Kolonjono 84,40 16,50 9,98 38,9 0,46 18,54 0,83 0,33 14,86 50,45 3170 Pringpringan 94,35 22,22 10,94 43,22 1,42 16,55 0,88 0,26 8,37 39,05 3594 Alang alang 84,93 7,70 10,06 52,93 0,47 13,77 0,57 0,28 4,29 14,22 3711 Putian 95,26 15,21 16,48 43,60 0,18 19,79 1,03 0,31 15,38 28,63 3069 Buah Cokelat 92,28 15,09 18,62 56,12 0,14 2,31 1,84 0,49 17,85 57,01 3393 Gajahan 93,77 18,54 7,54 42,81 1,16 23,72 0,93 0,48 11,74 33,15 3787 Daun Sengon 94,45 7,98 19,73 46,47 3,52 16,75 1,74 0,30 8,25 23,05 3572 Kulit Sengon 95,35 5,44 13,14 48,36 4,45 23,96 2,29 0,22 4,29 17,15 3525 Rumput Gajah 91,27 16,39 10,79 34,38 1,90 27,81 0,03 0,40 - - 3302 Daun Karet 91,27 6,32 18,91 44,05 2,04 23,13 0,15 0,36 3,61 26,76 3264 Kawatan 94,10 7,48 9,65 39,09 1,72 36,16 0,12 0,45 4,06 69,43 3086 Paitan 93,17 10,37 9,31 36,97 2,18 34,34 2,42 0,26 4,89 14,39 3142
73
Jenis hijauan pakan yang disukai banteng di padang perumputan Sadengan
TNAP dan sekitarnya yang ditunjukkan dengan besarnya proporsi/frekwensi jenis
yang ditemukan dalam kotoran banteng dapat dilihat dalam Tabel 12.
Tabel 12 Proporsi material rumput yang terdapat dalam feses banteng
Nama Daerah Nama Ilmiah Proporsi Grinting Paspalum longipolia Roxb 7,03 Lamuran Andropogon caricosus L. 2,099 Kolomento Leersia hexandria Sw 1,679 Paitan Paspalum conjugatun Berg 1,469 Putian Andropogon pertutus L 0,105
Sumber: Pairah (2006)
Pada Tabel 12 terlihat bahwa jenis grinting (Paspalum longipolia Roxb)
adalah jenis rumput yang proporsi ditemukannya paling tinggi, berarti jenis
tersebut disukai oleh banteng selanjutnya adalah jenis lamuran (Andropogon
caricosus L.) dan kolomento (Leersia hexandria Sw). Produktifitas (Tabel 6) dan
kandungan protein grinting (Paspalum longipolia Roxb) yang rendah (Tabel 10)
dibanding jenis rumput lainnya, tetapi jenis grinting tersebut mempunyai nilai
proporsi yang tinggi, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh kandungan lemak
yang tinggi. Grinting mempunyai kandungan lemak yang tinggi dibanding jenis
lain yaitu 0,92%, kandungan lemak yang tinggi dapat mempengaruhi rasa, hal
tersebut diduga yang menjadikan banteng menyukainya.
Tingkat palatabilitas banteng terhadap hijauan pakan berupa rumput yang
terdapat di kawasan TNMB dan sekitarnya disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Palatabilitas jenis hijauan pakan banteng di TNMB
No Jenis Hijauan Nilai Tingkat
Palatabilitas (P)
X Y
1 Kolonjono (Hierachloe horsfieldii Max.) 14 15 0,93 2 Putian (Andropogon pertusus L.) 11 12 0,92 3 Domdoman (Andropogon aciculatus L.) 13 15 0,86 4 Paitan (Paspalum.conjugatum Berg.) 10 12 0,83 5 Kawatan (Panicum montanum Roxb.) 6 8 0,75 6 Teki (Cyperus monochephalus Roxb.) 5 8 0,62 7 Pringpringan (Pogonatherum paniceum Lam.) 6 10 0,60 8 Gajahan (Panicum repens L.) 7 12 0,58
Keterangan : X = jumlah petak ukur ditemukannya suatu jenis hijauan yang ada gigitannya. Y = jumlah seluruh petak ukur ditemukannya jenis tersebut.
74
Berdasarkan pengamatan terhadap tingkat kesukaan banteng pada jenis rumput yang terdapat di TNMB dan sekitarnya diketahui bahwa jenis rumput kolonjono (Hierachloe horsifieldi Max.), putian (Andropogon pertutus L), domdoman (Andropogon aciculatus L.) dan paitan (Paspalum conjugatum Berg.) merupakan jenis rumput yang disukai oleh banteng. Hal ini kemungkinan karena ketiga jenis rumput tersebut mempunyai pertumbuhan yang relatif cepat dan ketahanan dalam kekeringan, sehingga produktifitas pada musim kemarau masih relatif tinggi dibanding jenis rumput lainnya (Tabel 9).
Palatabilitas diantaranya dipengaruhi oleh umur hijauan, intensitas penggembalaan, kecepatan pemulihan, dan ketahanan terhadap kekeringan (McIlroy 1964). Alikodra (1980) menyatakan bahwa palatabilitas dipengaruhi oleh bau (aroma) dan pencicipan satwa terhadap hijauan, faktor bau biasanya ditimbulkan oleh kandungan zat-zat makanan dalam hijauan yang relatif berbeda untuk setiap jenis. Kesegaran hijauan juga berpengaruh terhadap palatabilitas, satwa biasanya jika akan memakan hijauan selalu didahului dengan membauinya, bila tidak cocok akan berpindah ke hijauan lain. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat kesukaan terhadap jenis-jenis hijauan pakannya. Jenis hijauan pakan yang dipilih oleh banteng tidak selalu yang mempunyai kandungan protein tinggi, jenis rumput kolonjono dengan kandungan protein 9,98% dan grinting dengan kandungan protein 3,37% lebih disukai dibanding jenis pringpingan yang kandungan proteinnya 10,94%. Hal ini menunjukkan bahwa pakan dengan kandungan protein yang tinggi belum tentu dipilih oleh satwa. Moen (1973) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kandungan gizi yang dikandung oleh pakan dengan tingkat palatabilitas atau kesukaan.
5.1.3 Populasi dan Daya Dukung
Berdasarkan pengamatan, sebagian besar populasi banteng TNAP hanya berada di padang perumputan Sadengan dengan aktivitas makan. Padang perumputan Sadengan mempunyai luas 84 ha, dengan areal yang ditumbuhi hijauan pakan sekitar 37 ha, sisanya terinvasi jenis invasif seperti kirinyuh (Chromolaena odorata (L.). King RM & Rob H) dan enceng-enceng (Cassia tora L.).
Kelompok banteng mudah dijumpai pada waktu pagi dan sore hari, sedangkan malam hari banteng masuk ke ladang masyarakat di hutan produksi Perum Perhutani di blok Sumbergedang dan sekitarnya. Berdasarkan pengamatan secara langsung di padang perumputan Sadengan diketahui populasi banteng tahun 2008 sebanyak 34 ekor terdiri dari 3 jantan, 23 betina dan 8 anak, tahun
75
2009 sebanyak 64 ekor terdiri dari 16 jantan, 34 betina dan 14 anak. Pada saat pengamatan terakhir yang dilakukan bulan Oktober tahun 2010 populasi tertinggi yang dijumpai yaitu 90 ekor terdiri dari 21 betina, 49 jantan, dan 20 anak (Gambar 13). Pada lokasi blok Sumbergedang selama penelitian hanya dijumpai satu kelompok banteng sebanyak 6 ekor yang terdiri dari 1 jantan, 3 betina dan 2 anak. Dinamika populasi banteng disebabkan oleh pembentukan dan penyebaran sub-sub kelompok dalam kawasan, hal ini terlihat dari fluktuasi populasi hasil pengamatan bulanan tahun 2009 dan 2010 (Tabel 14).
Gambar 13 Grafik dinamika populasi banteng di TNAP
Tabel 14 Fluktuasi populasi banteng di padang pengembalaan Sadengan TNAP
Bulan
Tahun 2009 Tahun 2010 Jantan Betina Anak Jumlah Jantan Betina Anak Jumlah
Januari 0 0 0 0 7 23 6 36Pebruari 2 26 5 33 6 26 5 37Maret 2 43 1 46 5 20 7 32April 5 32 6 43 10 46 1 57Mei 4 33 6 43 11 39 5 55Juni 5 37 9 51 16 34 14 64Juli 3 13 0 16 12 39 18 69Agustus 4 27 3 34 18 33 22 73September 4 11 2 17 13 39 5 57Oktober 16 34 14 64 21 49 20 90Nopember 6 39 11 56 20 46 19 85Desember 7 40 10 57 17 35 15 67
Sumber : Data primer
0
10
20
30
40
50
60
2008 2009 2010
Popu
lasi Ban
teng
(Eko
r)
Tahun
Populasi Banteng
JantanBetinaAnak
76
Berdasarkan hasil perhitungan produktivitas hijauan pakan, diketahui total produktivitas pakan banteng di padang perumputan Sadengan saat musim hujan sebesar 122,95 kg/ha/hari dalam berat segar, sedangkan saat musim kemarau produktivitasnya sebesar 23,94 kg/ha/hari. Hewan membutuhkan pakan harian sebanyak 10 % dari bobot badannya (Anggorodi 1993). Berdasarkan pengukuran bobot badan banteng di Taman Safari Prigen Jawa Timur dan Kebun Binatang Surabaya (Sawitri dan Takandjandji 2010) diketahui bahwa bobot badan rata-rata banteng betina 350 kg dan bobot badan banteng jantan yaitu 600 kg. Jumlah pakan untuk banteng betina sebesar 35 kg dan untuk jantan 70 kg per ekor per hari. Atas dasar diketahuinya bobot badan banteng secara umum dan jumlah berat pakan yang dibutuhkan oleh banteng dapat dihitung perkiraan daya dukung habitat pakan.
Berdasarkan produktifitas rumput, daya dukung padang perumputan Sadengan seluas 37 ha pada saat musim kemarau dapat menampung 13 ekor banteng jantan atau 26 ekor betina dewasa, sedangkan di musim hujan dapat menampung 130 ekor banteng betina atau 65 ekor banteng jantan. Daya dukung habitat pakan di Sumbergedang dengan produktivitas sebesar 279,09 kg/ha/hari pada saat musim hujan dan 43,71 kg/ha/hari pada saat musim kemarau, habitat Sumbergedang dengan luas areal yang ditumbuhi hijauan pakan seluas ± 4 ha pada saat musim hujan dapat menampung sebanyak 32 ekor banteng betina atau 16 banteng jantan. Pada saat musim kemarau dapat menampung 5 ekor betina atau 3 ekor jantan.
Berdasarkan hasil perhitungan produktivitas habitat pakan di padang perumputan Sadengan dan diketahuinya jumlah populasi banteng terakhir pengamatan (Oktober 2010) sebanyak 90 ekor, maka habitat pakan tersebut tidak mampu menampung populasi banteng yang ada, khususnya pada saat musim kemarau. Selain itu padang perumputan Sadengan juga digunakan sebagai habitat pakan oleh rusa, pada saat pengamatan bulan Oktober tahun 2010 dijumpai populasi rusa tertinggi yaitu sebanyak 88 ekor terdiri dari 11 jantan, 62 betina dan 15 anak. Digunakannya padang perumputan Sadengan sebagai habitat pakan oleh rusa, maka kemampuan daya dukung padang perumputan Sadengan menjadi lebih rendah. Jika dtinjau dari produktivitas pakan per hektar terutama pada saat musim kemarau hanya 23,94 kg/ha/hari, tidak memenuhi kebutuhan pakan bagi banteng. Hal ini kemungkinan sebagai salah satu penyebab banteng keluar kawasan memakan tanaman petani pesanggem dan kulit batang mahoni kelas umur 0 – 5 tahun di hutan produksi Perum Perhutani.
77
Berdasarkan perhitungan terhadap populasi dan luas habitat pakan yang efektif dimanfaatkan di padang perumputan Sadengan yaitu seluas 37 ha dapat diketahui bahwa kepadatan banteng di padang perumputan Sadengan sebesar 2 individu/ha. Sebagai perbandingan kepadatan populasi banteng di padang penggembalaan Cidaon TNUK sebesar 8 ekor/ha Kuswanda (2005). Kepadatan banteng di Sadengan TNAP lebih rendah di banding di Cidaon TNUK, tetapi jika dilihat dari produktifitas rumput padang penggembalaan Sadengan tersebut tidak dapat menampung populasi banteng yang ada, karena produktivitas perhektarnya rendah. Alikodra (1990) menyatakan bahwa kepadatan dapat menunjukkan kondisi daya dukung habitat yang merupakan jumlah individu di dalam satu unit luas dan volume, ukuran dan kepadatan populasi satwaliar akan berubah-ubah dan bervariasi menurut wilayah dan tipe habitat. Wilayah dan tipe habitat TNAP dan TNUK memang berbeda sehingga kepadatannya juga berbeda.
Hasil pengamatan populasi banteng tahun 2010 di sekitar Kebun Pantai Perkebunan Bandealit yang merupakan enclave kawasan TNMB dijumpai secara langsung 74 ekor banteng, yang terdiri dari 22 jantan, 37 betina dan 15 anak. Hampir seluruh aktivitas harian banteng dilakukan di areal perkebunan tersebut seperti aktivitas makan, bermain dan kawin kecuali aktivitas tidur dilakukan dalam kawasan. Sarang atau tempat tidur di dalam kawasan taman nasional jaraknya hanya berkisar antara 50 m sampai 100 m dari Kebun Pantai Perkebunan Bandealit. Banteng paling mudah dijumpai di Perkebunan Bandealit pada pagi hari mulai dari jam 5.00 sampai jam 8.00, siang hari biasanya sembunyi (istirahat) di semak-semak, kelompok terbanyak yang ditemukan di Kebun Pantai sebanyak 33 ekor yaitu di blok Banyuputih. Fluktuasi populasi banteng di Kebun Pantai Perkebunan Bandealit dan sekitarnya disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Grafik dinamika populasi banteng di Kebun Bandealit TNMB
78
Gambar 14 menunjukkan terjadi fluktuasi populasi banteng dari tahun 2006 -
2010. Populasi banteng di kebun pantai perkebunan Bandealit pada tahun 2006
sebanyak 74 ekor yang terdiri dari 22 ekor jantan, 45 ekor betina dan 7 ekor anak
sedangkan tahun 2007 menjadi 97 ekor yang terdiri dari 32 ekor jantan, 55 ekor
betina dan 10 ekor anak. Tahun 2009 ditemukan banteng sebanyak 66 ekor yang
terdiri dari 22 ekor jantan, 29 ekor betina dan 15 ekor anak serta tahun 2010
ditemukan banteng dengan jumlah populasi 74 ekor yang terdiri dari 22 jantan, 37
betina dan 15 anak.
Struktur umur populasi banteng di TNAP dan TNMB masuk katagori
regressive population dimana jumlah populasi anak atau banteng muda lebih kecil
dibanding banteng kelas umur tua (induk jantan dan induk betina). Struktur umur dan
fluktuasi populasi banteng di TNAP dan TNMB yang menyebabkan terganggunya
reproduksi dan pertumbuhan populasi diduga dipengaruhi oleh beberapa kejadian
kematian banteng yang disebabkan oleh perkelahian antar banteng jantan, kematian
karena banteng terperosok pada lubang jebakan serta adanya perburuan dengan
menggunakan jerat dan senjata. Perburuan mengakibatkan banteng kelas umur muda
(anak) ikut mati (Gambar 15). Menurut Alikodra (1990) bahwa pertumbuhan
populasi sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca, persediaan pakan atau karena
adanya perburuan oleh manusia, hal tersebut terjadi di TNMB dan TNAP.
Gambar 15 Banteng induk dan anak mati kena jebakan lubang Sumber : Radar Banyuwangi (2008)
79
Topografi padang perumputan Pringtali dan Kebun Pantai Bandealit
termasuk datar, luas Kebun Pantai adalah 63 ha. Berdasarkan hasil perhitungan
terhadap produktivitas hijauan pakan seperti tertera dalam Tabel 8 dan Tabel 9
diketahui bahwa produktivitas hijauan pakan banteng di padang perumputan
Pringtali pada saat musim hujan dan kemarau masing- masing sebesar 123,74
kg/ha/hari dan 67,92 kg/ha/hari. Produktivitas hijauan pakan di kebun pantai
untuk musim hujan dan kemarau masing-masing sebesar 123,41 kg/ha/hari dan
60,96 kg/ha/hari.
Atas dasar kebutuhan pakan banteng diketahui daya dukung habitat pakan di
padang perumputan Pringtali TNMB dengan luas areal 5 ha, dapat menampung
banteng betina sebanyak ± 18 ekor pada saat musim hujan dan ± 10 ekor pada
saat musim kemarau. Sedangkan daya dukung habitat kebun pantai dengan luasan
63 ha, dapat menampung banteng betina sebanyak ± 222 ekor pada musim hujan
dan ± 110 ekor pada saat musim kemarau. Jika daya dukung dihitung untuk
banteng jantan kedua lokasi tersebut hanya dapat menampung setengah dari
jumlah banteng betina, karena kebutuhan pakan banteng jantan 2 kali kebutuhan
banteng betina. Kebun pantai perkebunan Bandealit pada saat musim hujan dapat
menampung banteng jantan sebesar ± 111 ekor dan saat musim kemarau hanya ±
55 ekor, sedangkan padang perumputan Pringtali pada saat musim hujan dapat
menampung banteng jantan sebesar ± 9 ekor dan saat musim kemarau hanya ± 5
ekor.
Jika dilihat dari hasil produktivitas pakan 67,92 kg/ha//hari – 123,74
kg/ha/hari dan luasan padang perumputan 5 ha serta kurangnya pembinaan
habitat, maka padang perumputan Pringtali TNMB tidak dapat memenuhi
kebutuhan pakan banteng baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini diduga
yang menjadi penyebab banteng lebih memilih hidup dan berkembang biak di
areal Perkebunan Bandealit di banding dengan di dalam kawasan TNMB (Gambar
16).
Dari hasil perhitungan populasi dan luas habitat Kebun Pantai seluas 63 ha
dapat diketahui bahwa kepadatan banteng di kebun pantai Perkebunan Bandealit
sebesar 1,17 ekor/ha. Kepadatan banteng di padang penggembalaan berbeda
80
sesuai dengan produktifitas, palatabilitas jenis pakan dan luas padang, perbedaan
terlihat di Sadengan TNAP dan areal perkebunan Bandealit TNMB begitu juga
dengan padang penggembalaan Cidaon TNUK. Kuswanda (2006) menyatakan
bahwa jumlah populasi banteng di padang penggembalaan Cidaon TNUK
sebanyak 29 ekor dengan kepadatan 8,1 ekor/ha, jumlah populasi tersebut sudah
melebihi daya dukung habitat padang penggembalaan Cidaon TNUK sebesar 22
ekor atau kepadatan 6,1 ekor /ha, hal tersebut menyebabkan banteng mencari
makan di luar padang penggembalaan.
Gambar 16 Banteng dalam aktivitas kawin di Kebun Pantai Bandealit
5.1.4 Sebaran Banteng TNAP dan TNMB
Pada saat penelitian dijumpai enam individu banteng tercatat di hutan
produksi Perum Perhutani khususnya blok Sumbergedang yang berbatasan
langsung dengan TNAP, dan satu ekor di dusun Kuterejo blok Ngeselan SPTN
Wilayah I Tegaldelimo (Gambar 17). Daerah jelajah banteng berdasarkan
penemuan jejak di sekitar kawasan hutan produksi Perum Perhutani seperti
terlihat dalam Gambar 17 dan 18.
Gambar 17 dan 18, menunjukkan bahwa daerah jelajah banteng sampai ke
luar kawasan TNAP. Pada peta tutupan lahan terlihat bahwa sebagian besar titik
jelajahnya dijumpai pada kawasan hutan produksi Perum Perhutani yang di
dalamnya terdapat kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Daerah jelajah banteng dijumpai sampai lokasi Sumbergedang dimana pada
81
lokasi tersebut selain terdapat PHBM juga ditumbuhi oleh hijauan rumput dan
terdapat sumber air.
Gambar 17 Peta sebaran banteng di sekitar kawasan TNAP
Gambar 18 Home range Banteng Bos javanicus pada kawasan hutan produksi ( Murdyatmaka 2008)
82
Keluarnya banteng dari kawasan TNAP dan masuk kawasan hutan produksi
yang dikelola dengan sistem PHBM, mengakibatkan terjadinya konflik banteng
dan masyarakat. Keluarnya banteng dari kawasan TNAP memudahkan akses
perburuan banteng. Pada tahun 2003 di lokasi Sumbergedang dan Kepuhngantuk
tercatat ada delapan kasus kematian banteng dan pada saat yang sama petugas
mengamankan 60 jerat satwa (Murdyatmaka 2008).
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan petugas TNAP pada
petengahan tahun 2010 di dusun Kuterejo Desa Kalipait terjadi tiga kematian
banteng akibat jeratan, dua dari tiga banteng yang dijerat belum sempat dibawa oleh
para pemburu. Banteng mendatangi lokasi perumputan Sumbergedang seluas 4 ha
dan hutan produksi Perum Perhutani karena pada lokasi tersebut tersedia sumber
air dan hijauan pakan seperti rumput yang selalu tersedia sepanjang tahun, kebun
masyarakat serta jenis tanaman hutan produksi seperti mahoni.
Berdasarkan hasil penelitian di TNMB diketahui bahwa lokasi sebaran
banteng di luar kawasan sebagian besar ( lebih 50%) berada di areal Perkebunan
Bandealit (Kebun Pantai dan Sumbersalak) seperti pada Gambar 19. Perkebunan
Bandealit berfungsi sebagai penyangga TNMB sehingga lokasi perkebunan
tersebut berbatasan langsung dengan kawasan TNMB.
Gambar 19 Penyebaran banteng di Perkebunan Bandealit TNMB
83
Rendahnya produktifitas, luas dan kondisi padang penggembalaan telah
menyebabkan keluarnya banteng dari kawasan TNMB dan mengganggu areal
perkebunan Bandealit, sebagai penyebab konflik antara manajemen Perkebunan
Bandealit dengan pengelola TNMB sebagai penanggung jawab pengelolaan
banteng. Selain merusak tanaman perkebunan yang menyebabkan kerugian sekitar
delapan milyar rupiah selama empat tahun terakhir (berdasarkan wawancara
dengan manajer Perkebunan Bandealit), tanaman yang dirusak kopi, vanili, karet,
dan sengon, banteng juga merusak tanaman petani pesanggem di lahan perkebunan
Bandealit (blok Kebun Pantai dan Sumber Salak) yang menyebabkan kerugian 30%
dari hasil panen.
Untuk mengatasi konflik tersebut perlu ada suatu pola pengelolaan secara
bersama (kolaboratif) antara Perkebunan Bandealit, masyarakat sekitar kawasan dan
TNMB. Kerjasama pengelolaan banteng harus segera diwujudkan, karena jika
dibiarkan konflik antara masyarakat dan satwaliar banteng akan berakibat pada
meningkatnya perburuan karena selain masyarakat terganggu dengan adanya
banteng, berpindahnya habitat banteng ke dalam areal perkebunan akan
memudahkan akses bagi masyarakat untuk berburu dibandingkan jika banteng
tersebut berada dalam kawasan TNMB.
Banteng memanfaatkan areal perkebunan Bandealit sebagai habitat karena
dalam areal perkebunan terdapat jenis-jenis tanaman yang disukai oleh banteng
seperti kopi, karet, vanili dan sengon. Hasil analisis kandungan nilai gizi pakan
menunjukkan bahwa jenis tanaman perkebunan terutama daun sengon dan daun
karet mempunyai kandungan protein yang tinggi dibanding dengan jenis hijauan
pakan yang ada di TNMB yaitu masing-masing 18,91% dan 19,73%. Selain itu
tidak jauh dari areal perkebunan tepatnya dibelakang kebun rambutan (Gambar
19) terdapat sungai yang biasa dimanfaatkan banteng sebagai tempat minum.
Sungai yang biasa digunakan banteng khususnya pada saat kemarau dapat dilihat
dalam Gambar 20.
Banteng di TNMB sebagian besar melakukan aktivitasnya di areal perkebunan Bandealit khususnya Kebun Pantai. Hal ini dimungkinkan karena letak Kebun Pantai berbatasan langsung dengan TNMB dan di dalamnya terdapat jenis-jenis pakan yang disukai banteng. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa
84
sarang atau tempat tidur banteng dalam kawasan TNMB letaknya tidak jauh dari lokasi perkebunan jaraknya hanya berkisar 50 m sampai 100 m (Gambar 21). Hal ini menunjukkan bahwa banteng melakukan aktivitas hariannya sebagian besar di areal perkebunan, hanya aktivitas tidur saja yang dilakukan di kawasan taman nasional.
Gambar 20 Sungai tempat minum banteng
Gambar 21 Sebaran dan tempat tidur banteng di Kebun Pantai Bandealit
TNMB
85
5.2 Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan TNAP dan TNMB
5.2.1 Kelas Umur
Analisis sosial ekonomi masyarakat sekitar TNAP dilakukan pada
masyarakat desa yang berbatasan dengan TN yaitu Desa Kalipait, dan di TNMB
dilakukan pada Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko, yang juga berbatasan
langsung dengan kawasan taman nasional. Pekerjaan masyarakat di ketiga desa
tersebut sebagian besar adalah petani pesanggem di areal taman nasional dan hutan
produksi Perum Perhutani (TNAP) sedangkan masyrarakat sekitar TNMB bertani
di zona rehabilitasi dan di areal Perkebunan Bandealit.
Desa Kalipait TNAP adalah desa yang sering mendapat gangguan banteng
khususnya Dusun Kuterejo blok Ngeselan, blok Gunting, dan blok Sumbergedang
(Gambar 17). Masyarakat desa Kalipait yang bermata pencaharian sebagai petani
pesanggem sebagian besar atau 92,62% mendapat gangguan banteng. Di lokasi
tersebut sering terjadi perburuan banteng, khususnya di blok Gunting dan
Sumbergedang, perburuan biasanya dilakukan dengan cara penjeratan. Distribusi
kelas umur responden di ketiga desa daerah penyangga TNAP dan TNMB yang
dijadikan sampel disajikan dalam Gambar 22.
Gambar 22 Persentase distribusi kelas umur
Berdasarkan kelas umur responden diketahui bahwa masyarakat petani
sekitar TNAP dan TNMB termasuk kelas umur produktif. Kelas umur 20 sampai
49 tahun merupakan yang paling besar persentasenya, Desa Curahnongko
51,35%, Kalipait 46,81% dan Andongrejo 43%. Selanjutnya untuk kelas umur
0
10
20
30
40
50
60
20‐49 th 50‐59 th ≥ 60 th
Persen
tase
Kelompok umur
Andongrejo
Curahnongko
Kalipait
86
50 – 59, secara berurutan Desa Andongrejo 41%, Kalipait 31,91% dan Desa
Curahnongko 35,14% dan Kalipait 31,91%. Untuk kelas umur ≥ 60 persentasenya
berkisar antara 13,51% sampai 21,28%. Mantra (2000) mengklasifikasikan umur
penduduk berdasarkan tingkat produktivitasnya yaitu <15 tahun (belum produktif),
15 – 55 tahun (produktif) dan >55 (tidak produktif).
Tingkatan kerja atau produktivitas berdasarkan kelas umur di ketiga desa
tersebut sangat potensial. SDM ini perlu dilibatkan dan diusahakan untuk
menciptakan dan menyediakan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan
masyarakat sehingga masyarakat tersebut tidak tergantung pada sumberdaya taman
nasional. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jumlah anggota keluarga
masing–masing untuk ketiga desa yaitu Kalipait, Andongrejo dan Curahnongko
yaitu 36% dan 76% mempunyai jumlah anggota keluarga lebih dari 5 orang.
Jumlah tersebut menurut Purwanti (2007) masuk dalam katagori jumlah dengan
anggota keluarga sedang.
5.2.2 Tingkat Pendidikan Responden
Berdasarkan pengamatan terhadap tingkat pendidikan diketahui bahwa
masyarakat sekitar TNAP dan TNMB termasuk rendah karena sebagian besar
hanya tamat SD. Distribusi persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan
terlihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Persentase distribusi tingkat pendidikan
0
10
20
30
40
50
60
70
Tidak tamat SD
Tamat SD SMP SLA Sarjana
Persen
tase
Tingkat pendidikan
Andongrejo
Curahnongko
Kalipait
87
Pada Gambar 23 terlihat bahwa tingkat pendidikan sebagian besar petani
pesanggem di lokasi penelitian termasuk rendah yaitu hanya tamat SD, dengan
persentase secara berurutan untuk desa Andongrejo 62%, Curahnongko dan Kalipait
masing-masing sebesar 59,46% dan 42,55%. Urutan persentase selanjutnya untuk
ketiga desa tersebut yaitu tamatan SMP, tidak tamat SD, tamat SLA dan sarjana yang
persentasenya untuk Desa Andongrejo 5, 41% dan Curahnongko 2,70%, sedangkan
di Desa Kalipait tidak ada.
Tingkat pendidikan yang rendah menjadikan masyarakat tidak punya pilihan
pekerjaan lain kecuali bekerja sebagai petani atau bekerja di perkebunan sebagai
pemetik kelapa, kopi, coklat, dan memelihara tanaman kebun lainnya. Tingkat
pendidikan yang rendah juga akan berpengaruh terhadap upaya konservasi banteng
karena cara pandang serta keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, persepsi terhadap
banteng menjadi negatif. Adhawati (1997) menyatakan bahwa tingkat pendidikan
yang rendah akan mempengaruhi seseorang dalam berfikir atau memahami
pentingnya usaha tani dengan tetap mempertahankan kelestarian maupun berfikir
dalam memecahkan suatu masalah. Selanjutnya Syarif (2010) menyatakan bahwa
tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap pola fikir masyarakat. Masyarakat
dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mempunyai cita-cita dan keinginan yang
tinggi dan selalu berusaha untuk meraih apa yang diinginkannya. Namun bagi
masyarakat yang berpendidikan rendah, mereka merasa cukup dengan apa yang ada
disekitarnya.
Tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada SDM yang hanya mampu
bekerja sebagai petani atau buruh tani yang taraf hidupnya jauh dari katagori sejahtera
sehingga masyarakat akan mencari kegiatan lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya seperti dengan melakukan.perburuan banteng. Tingkat pendidikan SD ke
bawah masuk dalam katagori tidak sejahtera (BPS 2005). Karena tingkat pendidikan
sebagian besar masyarakat masuk dalam katagori rendah untuk meningkatkan
kesejahteraannya perlu pemberdayaan melalui diikut sertakannya masyarakat dalam
program kegiatan pengelolaan taman nasional seperti kegiatan agroforestry di zona
rehabilitasi dan kegiatan ekowisata.
88
5.2.3 Luas Lahan Garapan
Di ketiga desa sekitar taman nasional sangat kurang lapangan kerja di luar
bidang pertanian. Sehingga luas ladang yang digarap akan sangat berpengaruh
terhadap pendapatan masyarakat. Distribusi responden di TNAP dan TNMB
berdasarkan luas lahan garapan dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Persentase distribusi luas lahan garapan
Sebagian besar masyarakat hanya mengandalkan bekerja di bidang pertanian
karena hanya bidang itulah yang masyarakat kuasai. Kegiatan bertani masyarakat
sekitar TNMB dilakukan pada kawasan zona rehabilitasi dan Perkebunan Bandealit,
sedangkan masyarakat sekitar TNAP dilakukan di kawasan hutan produksi Perum
Perhutani karena keterbatasan lahan yang mereka miliki. Selain bertani, dalam
meningkatkan pendapatannya masyarakat juga beternak sapi titipan untuk
penggemukan dengan sistem bagi hasil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan garapan pada masing-
masing lokasi pengamatan berkisar antara 0,25 ha sampai 1 ha. Pada Gambar 24.
terlihat bahwa sebagian besar petani pesanggem di Desa Curahnongko dan
Andongrejo TNMB luas lahan garapannya 0,50 ha, sedangkan petani pesanggem
di Desa Kalipait TNAP luas lahan garapannya 0,25 ha. Luas lahan garapan 0,25 ha
per KK berhubungan dengan kesepakatan yang dibuat oleh para pesanggem dengan
kelompok taninya, sedangkan lahan garapan yang melebihi 0,25 ha dikarenakan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0.5 Ha 0.75 Ha 0.25 Ha ≥1 Ha
Persen
tase
Luas ladang
Andongrejo
Curahnongko
Kalipait
89
mereka menggarap lahan garapan petani lainnya. Amzu (2007) menyatakan bahwa
masyarakat sekitar desa-desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNMB
luas lahan pertaniannya dibawah rata-rata yaitu lebih kecil dari 0,2 ha, sehingga
ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hayati taman nasional cukup
tinggi dibanding desa lainnya .
Luas lahan garapan kurang dari satu hektar termasuk dalam kategori sempit,
sedangkan luas 1 sampai 3 hektar termasuk kategori sedang. Jika dilihat dari rata-rata
luas lahan garapan yang digarap petani pesanggem tersebut termasuk katagori
sempit sehingga hasil produksinya dimungkinkan tidak akan mencukupi kebutuhan
dasar petani.
Purwanti (2007) mengelompokan luas lahan garapan menjadi “sedikit” jika
luasnya kurang dari 1 hektar, “sedang” jika luasnya 1 – 3 hektar dan “banyak” jika
luasnya lebih dari 3 hektar. Petani pesanggem yang luas lahan garapannya lebih
dari satu patok (0,25ha) biasanya dikarenakan menggarap lahan punya
pesanggem lain . Luas lahan garapan 0,25 ha biasanya berhubungan juga dengan
keterbatasan biaya dan tenaga, sebagai contoh untuk menanam kedelai petani
butuh biaya pupuk dan bibit sebesar Rp.750.000,- di luar tenaga karena mereka
menggarap sendiri. Sehingga sebagian besar petani pesanggem hanya mampu
menggarap lahan seluas 0,25 ha atau maksimal 0,5 ha karena kalau lebih luas dari
itu petani tidak punya modal untuk biaya penanaman, pemupukan, dan
pemeliharaan.
Petani pesanggem di sekitar TNMB dengan lahan garapan seluas 0,50
hektar, tetapi hasil produksinya tidak sebesar petani di sekitar TNAP. Hal ini
dikarenakan topografi lahan garapan yang relatif bergelombang serta sistem
bertaninya yang kurang intensif. Di sekitar TNAP lahan garapannya datar dan
sistem bertaninya lebih intensif, menggunakan pupuk secara optimal serta
pemeliharaan secara teratur.
5.2.4 Gangguan Satwaliar
Di TNAP dan TNMB terdapat gangguan beberapa satwaliar diantaranya
banteng. Distribusi gangguan satwaliar pada tiga desa pengamatan disajikan
dalam Gambar 25.
90
Pada Gambar 25 terlihat bahwa satwaliar yang mengganggu ladang petani
ada lima jenis. Persentase gangguan tertinggi untuk petani pesanggem di Desa
Kalipait TNAP yaitu banteng dengan persentase 31,91%, selanjutnya babi
(27,66%), monyet (17,02%), rusa (14,89%) dan burung merak (8,51%). Khusus
untuk burung merak hanya mengganggu tanaman padi di blok Gunting dan
Sumbergedang yang merupakan lokasi hutan produksi. Gangguan banteng tinggi
karena kurangnya pakan dalam kawasan serta jenis tanaman pertanian yang
ditanam disukai banteng seperti kedelai, semangka dan jagung. Selain itu dalam
lokasi PHBM terdapat sumber air dan rumput terutama di Blok Sumbergedang,
serta tanaman mahoni yang kulit batangnya dimakan banteng.
Gambar 25 Persentase gangguan satwa liar di lahan garapan
Responden di Desa Curahnongko dan Desa Andongrejo TNMB mendapat
gangguan satwa tertinggi yaitu dari babi dengan masing-masing tingkat gangguan
67,57% dan 48,65% sedangkan gangguan satwa banteng masing-masing 16,22% dan
29,73%, selanjutnya monyet (kera) untuk Desa Curahnongko 16,22% dan
Andongrejo 21,62%. Persentase responden yang mendapat gangguan banteng di
kedua desa tersebut lebih kecil dibanding dengan gangguan satwa babi. Gangguan
banteng tertinggi terjadi di areal Perkebunan Bandealit Desa Andongrejo, sedangkan
gangguan babi tertinggi terjadi di zona rehabilitasi. Dalam pengamatan diketahui
populasi banteng sebagian besar tersebar pada lahan garapan dan tanaman
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Banteng Babi hutan Monyet Rusa Merak
persen
tase
Jenis satwa pengganggu
Andongrejo
Curahnongko
Kalipait
91
perkebunan di areal Perkebunan Bandealit Desa Andongrejo. Hal ini dikarenakan
dalam areal Perkebunan Bandealit terdapat jenis-jenis tanaman yang disukai dan
dibutuhkan banteng seperti karet, sengon, kopi, jagung, kacang tanah, kedelai, daun
padi muda. Selain itu Perkebunan Bandealit arealnya berbatasan langsung dengan
habitat banteng di kawasan TNMB sehingga mudah untuk dijangkau.
Gangguan babi hutan pada ladang masyarakat di zona rehabilitasi
persentasenya paling tinggi, sedangkan di areal perkebunan dan ladang
masyarakat di lokasi perkebunan Bandealit gangguan banteng adalah yang paling
tinggi karena hampir semua tanaman dimakan dan dirusak oleh banteng seperti
kopi, coklat, vanili, sengon, karet dan tanaman semusim milik pesanggem.
Persentase tingkat gangguan satwa dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Persentase tingkat gangguan satwa
Pada gambar 26 terlihat bahwa ladang petani pesanggem di desa Andongrejo
semua tanamannya (100%) diganggu satwaliar khususnya banteng dan babi,
sedangkan di desa Curahnongko sebesar 92% (khususnya babi hutan dan monyet)
dan Desa Kalipait 92,62% (khususnya banteng, babi hutan, monyet dan rusa).
Akibat adanya gangguan banteng di ladang masyarakat menyebabkan kerusakan
tanaman pertanian masyarakat seperti ditunjukkan pada Tabel 15. Adanya
gangguan banteng terhadap ladang masyarakat dapat mempengaruhi persepsi
masyarakat terhadap keberadaan satwa banteng tersebut.
0
20
40
60
80
100
120
Tidak diganggu Diganggu
Persen
tase
Gangguan satwa
Andongrejo
Curahnongko
Kalipait
92
Tabel 15 Kerugian akibat gangguan banteng di TNMB per hektar lahan
No. Jenis Persentase (%) Besaran (Rp.) 1. Padi 30 1.372.500,- 2. Jagung 20 590.000,- 3. Kedelai 20 570.000,- 4. Kacang tanah 30 1.065.000,- 5. Ketela 20 250.000,-
Sumber: Heriyanto dan Mukhtar (2011)
Selama ini petani melindungi ladangnya dari gangguan satwa liar banteng
dan babi dengan cara pemagaran dengan pagar hidup seperti gamal (Gliricidia
sepium Jacq. Kunth.). Selain itu mereka juga menunggu ladangnya terutama pada
malam hari dengan cara menyalakan lampu minyak dan bunyi-bunyian.
Di lokasi bekas penyangga TNAP yang dikelola oleh Perum Perhutani, awal
dimulainya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yaitu tahun 2003.
Jumlah pesanggem sebanyak 500 KK, sedangkan pada saat dilakukan penelitian
jumlah pesanggem di kawasan bekas penyangga dan hutan produksi berkisar
antara 60 - 80 KK. Petani pesanggem di bekas penyangga secara bertahap mulai
meninggalkan lokasi lahan garapannya. Hal ini dilakukan atas perintah pihak
taman nasional, karena masa sebagai pesanggem sudah selesai. Sebenarnya
masyarakat masih berharap tetap dapat memanfaatkan kawasan bekas penyangga
walaupun hanya dalam bentuk pengambilan hasil dari tanaman yang mereka
tanam seperti kemiri , petai dan nangka.
Pada akhir tahun 2010 telah dibuat konsep MOU bahwa kawasan bekas
penyangga sebelum pengelolaannya diserahkan ke TNAP, akan dilakukan
penebangan terlebih dulu oleh Perum Perhutani. Kesepakatan tersebut akan
menimbulkan konsekwensi yaitu kembalinya petani pesanggem ke lokasi bekas
penyangga dengan aktivitas bertaninya. Penebangan pohon jati juga akan
menyebabkan terganggunya banteng karena kawasan bekas penyangga
merupakan koridor satwa khususnya banteng. Sehingga untuk meminimalisir
terjadinya konflik perlu dilakukan pengelolaan kawasan bekas penyangga yang
melibatkan stakeholders terkait.
93
5.2.5 Tingkat Pendapatan Masyarakat Petani Sekitar TNAP dan TNMB
Jenis komoditas dominan yang ditanam petani pesanggem sekitar TNAP yaitu
tanaman palawija. Jenis komoditas yang diusahakan dan nilai produktivitas
tanaman per 0,25 hektar lahan garapan di sekitar TNAP tersebut disajikan dalam
Gambar 27. Dari perhitungan terhadap hasil produksi, harga jual serta biaya yang
dikeluarkan selama penanaman dan pemeliharaan diketahui bahwa pendapatan
rata-rata per komoditas yang dihasilkan oleh petani pesanggem per tahun.
Gambar 27 Nilai produktivitas lahan garapan PHBM per 0,25 ha di
sekitar TNAP
Pola tanam dan jenis tanaman yang dikembangkan pada lahan garapan di
Desa Kalipait dan sekitarnya yaitu padi pada saat musim hujan, sedangkan sisa
waktu lainnya atau pada musim kemarau lahan garapan umumnya ditanami jagung,
kedelai, dan semangka dan sebagian kecil ada yang menanam kacang tunggak,
lombok dan tembakau. Petani yang biasa menanam semangka yaitu di kawasan
hutan produksi blok Sumbergedang dan Gunting, sedangkan kacang tunggak di
blok Ngeselan. Kacang tunggak dijadikan pilihan oleh sebagian kecil pesanggem di
Ngeselan karena tanaman ini tidak terlalu membutuhkan air dan hasilnya sama
dengan menanam kedelai. Sedangkan padi, kacang kedelai dan jagung dilakukan di
semua lokasi lahan garapan. Persentase jenis tanaman utama yang ditanam petani
sebagian besar adalah padi gogo (50%), jagung (32%) dan kedelai (18%). Pada
Tabel 16 menunjukkan hasil pendapatan petani dari tanaman yang diusahakannya.
2,175,000 1,400,000
7,050,000 6,715,000
-1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000 8,000,000
Padi Jagung Kedelai Semangka
Nila
i (R
p. P
er ta
hun)
Jenis Komoditas
Nilai Produktivitas lahan (Rp./0,25ha)
94
Tabel 16 Pendapatan petani pesanggem di sekitar TNAP per tahun per 0,25 ha
No. Jenis komoditi
Biaya bibit dan pemupukan
(Rp.)
Hasil panen (Rp.)
Pendapatan (Rp.)
Luas lahan (m2)
1. Padi 325.000,- 2.500.000,- 2.175.000,- 2.500 2. Kedelai 750.000,- 7.800.000,- 7.050.000,- 2.500 3. Jagung 200.000,- 1.600.000,- 1.400.000,- 2.500 4. Semangka 485.000,- 7.200.000,- 6.715.000,- 2.500 Total 17.340.000,-
Sumber : Data primer yang diolah
Pendapatan tersebut belum termasuk ongkos tanam, ongkos tanam tidak
diperhitungkan karena petani pesanggem mengerjakan sendiri. Petani pesanggem
dengan lahan garapan 0,5 ha dapat menghasilkan padi gogo sebanyak 2 ton gabah
dengan harga jual Rp. 2500,- per kg, pesanggem dapat hasil sebesar Rp.
5000.000,-. per sekali panen. Pendapatan tersebut dikurangi oleh biaya pembelian
bibit 30 kg, harga per kg Rp. 5.000,- biaya pemupukan sebanyak 4 kuintal, harga
per kuintal Rp. 125.000,- jadi total pengeluaran untuk lahan garapan dalam
penanaman padi sebesar Rp 650.000,-. Dari perhitungan hasil produksi dan biaya
yang dikeluarkan diketahui bahwa pendapatan petani dari hasi panen padi sebesar
Rp. 2.175.000,- per 0,25 hektar.
Pendapatan dari menanam kedelai seluas 0,25 ha dapat menghasilkan 1,5 ton
kedelai, harga kedelai Rp.5200,- per kg, jadi pendapatan dari hasil panen kedelai
per 0,25 ha sebanyak Rp. 7.800.000,- dikurangi biaya bibit dan pemupukan Rp.
750.000,- jadi pendapatan bersih dari kedelai seluas 0,25 ha sebesar Rp.7.050.000,-.
Produksi jagung dari lahan garapan seluas 0,25 ha pada musim hujan sebanyak 2
ton, sedangkan pada saat kemarau 1,5 ton. Harga per kg jagung Rp. 800,- jadi
pendapatan dari panen jagung sebesar Rp. 1600.000,- dikurangi pupuk Rp.200.000,-
jadi pendapatan bersih Rp. 1.400.000,- bibit tidak beli tapi menggunakan hasil
panen sebelumnya. Sedangkan untuk semangka dengan luas lahan garapan 0,25 ha
dapat dihasilkan 6 ton semangka siap panen, harga per kilo Rp. 1.200,- (berat 4-5
kg) per biji. Modal bibit per 0,25 ha yaitu Rp. 140.000,- sedangkan untuk pupuk
Rp. 345.000,- atau total modal Rp. 485.000,-. Jadi pendapatan dari hasil panen
semangka yaitu berkisar Rp.6.715.000,-.
95
Pada umumnya pesanggem di Desa Kalipait dan sekitarnya dalam satu tahun
menanam satu kali padi dan 2 kali kedelai atau jagung dan khusus untuk lokasi
Gunting dan Sumbergedang setelah menanam padi mereka menanam semangka
atau kedelai secara bergantian. Dari perhitungan produksi tanaman yang
diusahakan dapat dihitung pendapatan petani pesanggem sekitar kawasan TNAP
sebesar Rp. 17.340.000,- atau Rp. 1.445.250,- per bulan. Pendapatan tersebut
relatif tinggi dibanding dengan upah minimum regional Kabupaten Banyuwangi
tahun 2011 sebesar Rp. 865.000 per bulan, tetapi pendapatan akan berkurang
separuhnya jika ladangnya diganggu banteng.
Dalam mengantisipasi gangguan banteng petani menunggu ladangnya siang
malam (52%) atau mengusir banteng dengan bunyi-bunyian pada jam-jam tertentu
(48%). Dengan adanya gangguan banteng menyebabkan persepsi terhadap
banteng menjadi negatif. Bunyi-bunyian yang dilakukan masyarakat dengan
menggunakan karbit menyebabkan banteng terganggu dan dikhawatirkan menjadi
stress, karena jika mendengar bunyi ledakan banteng akan lari tanpa arah. Hal ini
yang dikhawatirkan oleh pengelola taman nasional, sehingga pengelola melarang
pengusiran banteng dengan menggunakan bunyi ledakan karbit.
Petani di sekitar TNMB sistem bertaninya dilakukan secara tumpangsari di
zona rehabilitasi kawasan taman nasional dan di areal Perkebunan Bandealit,
sedangkan di TNAP dilakukan di kawasan bekas penyangga dan kawasan Perum
Perhutani . Tanaman tumpang sari dilakukan di bawah tegakan jati, mahoni dan
nyamplung yang lokasinya berbatasan langsung dengan taman nasional. Jenis
tanaman di zona rehabilitasi selain tanaman semusim seperti padi, jagung dan
kedelai, ditanam juga tanaman keras MPTS (multipurpose tree spesies) seperti petai,
pakem (Pangium edule), kemiri (Aleurites moluccana), nangka (Artocarpus
heterophylluss Lamk.) dan kedawung (Parkia timoriana). Di Perkebunan Bandealit
tanaman semusim (padi, jagung, kedelai, kacang hijau) diantaranya ditanam dibawah
tegakan karet dan sengon serta tanah kosong yang belum ditanami tanaman
perkebunan. Di TNAP jenis tanaman yang diusahakan di kawasan Perum Perhutani
hanya tanaman semusim saja seperti padi, jagung, kedelai dan semangka, kecuali di
kawasan bekas penyangga ada sekitar 30 ha yang ditanami tanaman keras oleh
masyarakat seperti kemiri, nangka dan kedawung.
96
Jenis tegakan yang diusahakan pada zona rehabilitasi di TNMB sebagian besar
yaitu tanaman buah dan obat. Tanaman buah-buahan yang dikembangkan yaitu
nangka, durian, mangga, jambu, petai, tanaman obat seperti kedawung , kemiri,
kluwih, asem, mengkudu, melinjo, jahe, cabe jawa dan kunyit serta tanaman kayu
diantaranya sengon dan jati. Jenis komoditas tanaman palawija yang umum
diusahakan adalah jagung, kedelai, padi, jagung dan kacang ijo, selain itu masyarakat
juga menanam lada dan cabe jawa. Alasan pemilihan jenis tersebut karena
pemasaran yang mudah, setiap panen sudah ada yang datang menampung, harga jual
cukup baik pemeliharaan dan penyediaan bibit mudah, bibit selain menggunakan
dari hasil panen juga dibeli dari toko pertanian yang ada di kota
kecamatan. Persentase jenis komoditas tanaman yang diusahakan dapat dilihat
pada Gambar 28.
Gambar 28 Persentase distribusi jenis komoditas tanaman sekitar TNMB
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pola tanam dan jenis tanaman
yang dikembangkan di Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko yaitu padi
ditanam pada saat musim hujan, sedangkan pada musim kemarau lahan garapan
umumnya ditanami jagung, kedelai, dan kacang ijo. Penanaman dilakukan secara
bergiliran yaitu jika satu jenis komoditi sudah panen diganti dengan jenis komoditi
lain, sehingga dalam satu tahun petani menanam beberapa jenis secara bergantian
tidak hanya satu jenis saja. Tingkat pendapatan petani pesanggem sekitar di TNMB
disajikan pada Tabel 17.
0
10
20
30
40
50
60
Tanaman obat
Tanaman buah
Tanaman palawija
Tanaman kayu
Tanaman perkebunan
Persen
tase
Jenis komoditas tanaman
Andongrejo
Curahnongko
97
Tabel 17 Pendapatan petani pesanggem di sekitar TNMB per tahun
No. Jenis komoditi
Biaya bibit dan pemupukan
(Rp.)
Hasil panen (Rp.)
Pendapatan (Rp.)
Luas lahan (m2)
1. Padi 175.000,- 875.000,- 700.000,- 5.000 2. Kedelai 100.000,- 700.000,- 600.000,- 2.500 3. Jagung 200.000,- 1.600.000,- 1.400.000,- 2.500 4. Kacang ijo 150.000,- 1.440.000,- 1.290.000,- 2.500 5. Kunyit, Jahe - 500.000,- 500.000,- Dibawah
tegakan 6. Buah2an - - 1.635.000,- 5.000 7. Pelihara sapi - 1.250.000,-
Total 7.375.000,- Sumber : Data primer yang diolah
Produksi padi gogo sebanyak 3,5 kuintal dengan harga jual Rp.2500,- per kg,
petani dapat hasil sebesar Rp. 875.000,-. per sekali panen. Hasil panen padi tidak
dijual tetapi untuk dimakan sehari-hari. Hasil panen kacang kedelai sebanyak 2
kuintal harga per kilo Rp.3.500,- petani dapat hasil Rp. 700.000,- hasil dari kacang
ijo 180 kg dengan harga Rp. 8.000,- sebesar Rp.1.440.000,-. Selain hasil dari
tanaman palawija, hasil lainnya yaitu dari penjualani buah-buahan seperti pisang
sebesar Rp. 50.000,- per bulan, nangka Rp. 25.000,- per bulan, petai Rp. 350.000
per tahun, mangga Rp.85.000,- per tahun, rambutan Rp. 125.000,- pertahun serta
durian Rp.175.000,- per tahun , kunyit atau jahe Rp. 500.000,- per tahun serta
dari memelihara sapi titipan Rp. 1.250.000,- per tahun.
Dari perhitungan terhadap hasil produksi pertanian serta harga jual tanaman
yang diusahakan diketahui pendapatan rata –rata per tahun dari hasil berladang
seluas 0,5 ha, yaitu Rp.7.375.000,- atau Rp. 617.000,- per bulan. Pendapatan
tersebut masuk dalam katagori miskin, berdasarkan kriteria Biro Pusat Statistik
(BPS, 2007) pendapatan masyarakat kurang dari Rp. 480.000,- per bulan
termasuk dalam katagori sangat miskin, pendapatan diatas Rp. 480.000,- sampai
Rp.700.00 katagori miskin. Pendapatan tersebut dibawah upah minimum
Kabupaten Jember tahun 2011 yaitu sebesar Rp. 875.000,- per bulan. Masyarakat
yang bekerja di perkebunan Bandealit hanya mendapatkan gaji dari perusahaan
rata-rata Rp. 195.000,- per bulan, untuk meningkatkan pendapatannya mereka
menggarap lahan perkebunan seperti di bawah tegakan karet yang masih muda.
98
Dari hasil perhitungan terhadap produksi tanaman semusim di zona
rehabilitasi TNMB diketahui sebesar Rp. 1 635.000,- per tahun, jumlah tersebut
meningkat dibanding pendapatan pada tahun 2000 yang dilakukan di demplot
zona rehabilitasi yaitu sebesar Rp.881.750,- (Suharti 2000). Meningkatnya hasil
produksi tersebut karena masyarakat selain menanam jenis kayu juga menanam
tanaman buah-buahan. Jika tidak ada pemanfaatan tanaman obat dan buah di zona
rehabilitasi serta tidak melakukan pemeliharaan sapi pendapatan rata-rata
masyarakat sekitar TNMB menjadi lebih kecil yaitu sekitar Rp 332.500,- per
bulan. Masyarakat pesanggem khususnya yang ada di sekitar Hutan Pantai
Bandealit sebagian besar hidup dalam kemiskinan, tinggal di gubug-gubug tanpa
penerangan listrik, dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 10.000,- per hari.
Indikator kemiskinan bagi warga yang tinggal di dalam dan di dekat hutan
diantaranya jika pendapatan kurang dari US $ 1 per hari, atau dibawah UMR yang
ditentukan pemerintah, tidak bersekolah, tidak mendapat layanan kesehatan, tidak
mendapat penerangan listrik (Somerville 1998).
Perbedaan produktivitas hasil panen di TNAP dan TNMB dimungkinkan
karena di TNAP lahan pertaniannya dikelola secara intensif, dengan melakukan
pemeliharaan dari gangguan gulma serta pemberian pupuk sesuai dengan
kebutuhan tanaman. Di TNMB hal tersebut tidak dilakukan secara optimal,
sehingga hasil produksi panennya rendah, untuk itu dibutuhkan suatu usaha untuk
meningkatkan produksi melalui bantuan modal dan penyuluhan untuk
meningkatkan kapasitas petani.
Tingkat pendapatan masyarakat petani sekitar kawasan taman nasional yang
rendah akan berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya kawasan taman
nasional . Masyarakat akan memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga pemerintah daerah dan pengelola taman
nasional harus membuat kebijakan pengelolaan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Sumberdaya hutan akan terjamin
keberadaannya jika masyarakat sekitar kawasan sudah terpenuhi kebutuhan dasar
hidupnya seperti mempunyai pendapatan yang cukup, terpenuhi kebutuhan
makannya, menerima pelayanan yang baik dari pemerintah, dihargai serta
kesehatannya terjamin (DFID 2001).
99
5.2.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Taman Nasional dan Banteng
5.2.6.1 Persepsi Masyarakat terhadap ManfaatTaman Nasional
Persepsi atau pengetahuan masyarakat petani pesanggem di Desa Kalipait
TNAP serta Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko TNMB terhadap manfaat
atau fungsi taman nasional dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29 Persentase persepsi masyarakat terhadap manfaat TN
Pada Gambar 29 terlihat bahwa sebagian besar petani pesanggem di ketiga
lokasi pengamatan menyebutkan bahwa fungsi taman nasional adalah sebagai
obyek wisata dengan masing-masing persentase untuk Desa Curahnongko (51,35%),
Desa Andongrejo (43,24%) dan Desa Kalipait (38,30%). Selanjutnya untuk Desa
Andongrejo dan Desa Curahnongko menyatakan sebagai tempat untuk mencari
madu dan kayu dengan persentase untuk Desa Curahnongko (32,43%) dan Desa
Andongrejo (27,05%). Untuk Desa Kalipait TNAP persentase terbesar kedua
menyebutkan bahwa manfaat taman nasional adalah untuk pelestarian (21,28%),
yaitu bahwa semua yang ada di taman nasional khususnya pohon dan satwaliar
harus dilestarikan tidak boleh diganggu.
Sebagian besar responden di ketiga lokasi pengamatan menyebutkan bahwa
fungsi taman nasional sebagai obyek wisata karena menurut mereka semua yang
ada di taman nasional seperti satwaliar banteng, tanaman yang indah, pantai bisa
0
10
20
30
40
50
60
Persen
tase
Manfaat kawasan TN
Andongrejo
Curahnongko
Kalipait
100
dijadikan sebagai obyek wisata. Responden berharap dapat dilibatkan dalam
kegiatan ekowisata untuk meningkatkan pendapatannya, sebagian kecil responden
menyatakan manfaat taman nasional sebagai sumber air, mencegah banjir, sebagai
tempat religi (bertapa), tempat hidup satwa, tempat mengambil madu dan tempat
mengambil kayu.
Masyarakat Desa Andongrejo dan Curahnongko menyatakan bahwa taman
nasional bermanfaat sebagai tempat mengambil kayu dan madu, hal ini berhubungan
dengan aktivitas masyarakat yang suka mengambil kayu dan madu di kawasan
TNMB, kayu tersebut dimanfaatkan sebagai bahan untuk membangun rumah dan
kayu bakar. Heriyanto et al. (2006) menyatakan bahwa masyarakat sekitar kawasan
TNMB termasuk desa Curahnongko dan Andongrejo memanfaatkan kayu dari
kawasan TNMB dengan persentase pemanfaatan yaitu kayu garu 35,72%, nyampo
dan bendo masing-masing 21,43%, kayu bindung 14,28 %, pacar gunung 7,14%.
Kebutuhan rata-rata kayu bakar untuk tiap KK sebanyak 4 - 6 pikul perbulan, berat
setiap pikul ± 30 kg.
Dari pernyataan masyarakat yang dijadikan responden di ketiga desa
tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya sudah mengetahui fungsi
taman nasional yaitu sebagai kawasan yang dilindungi. Tetapi masyarakat tetap
ingin memanfaatkan taman nasional melalui kegiatan bertani serta mengambil
kayu dan madu karena mereka tidak punya pilihan lain untuk memenuhi
kebutuhan hariannya. Masyarakat berharap mendapat manfaat dari kawasan taman
nasional, sehingga pengelolaan kawasan taman nasional harus dapat berkontribusi
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan tersebut.
Pengelolaan taman nasional berbasis masyarakat harus diwujudkan, jika tidak
tentu akan mengancam keberadaan sumberdaya yang ada di taman nasional
termasuk keberadaan banteng.
101
5.2.6.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Banteng
Persepsi masyarakat terhadap banteng sangat dipengaruhi oleh terganggunya
ladang mereka oleh banteng. Kerusakan ladang dan kebun menjadikan persepsi
masyarakat terhadap banteng cenderung negatif. Hasil wawancara dengan
masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Curahnongko
(70,27%), Desa Andongrejo (64,86%) dan Desa Kalipait (59,57%) menyatakan
bahwa banteng tidak mempunyai manfaat. Selanjutnya masyarakat Desa Andongrejo
dan desa Curahnongko masing-masing 27,03% menyatakan bahwa banteng sebagai
obyek wisata, sedangkan untuk Desa Kalipait 14,89 %. Sisanya menyatakan tidak
tahu dan untuk pelestarian serta kotorannya untuk pupuk (Gambar 30).
Gambar 30 Persentase persepsi masyarakat terhadap manfaat banteng Masyarakat Desa Andongrejo dan Curahnongko TNMB sebesar 27% lebih
menyatakan bahwa banteng dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata, pernyataan
tersebut didasarkan pada banyak wisatawan datang ke lokasi TNMB khususnya
Resort Bandealit dimana sebagian masyarakat desa Andongrejo tinggal.
Wisatawan datang ke Bandealit selain untuk melihat pantai Bandealit juga untuk
melihat banteng di sekitar areal Perkebunan Bandealit.
Masyarakat Desa Kalipait TNAP yang menyatakan banteng bermanfaat
sebagai obyek wisata lebih kecil dibanding dengan kedua desa di TNMB yaitu
hanya 14,89%, tetapi yang menyatakan tidak tahu persentasenya lebih besar
dibanding Desa Andongrejo dan Curahnongko yaitu 21,28%. Masyarakat yang
01020304050607080
Persen
tase
Manfaat banteng
Andongrejo
Curahnongko
Kalipait
102
menyatakan tidak tahu tersebut sebenarnya sama persepsinya dengan yang
menyatakan bahwa banteng tidak bermanfaat, karena masyarakat tidak boleh
memanfaatkan banteng sehubungan dengan statusnya yang dilindungi, disisi lain
masyarakat merasa dirugikan akibat gangguan banteng.
Masyarakat berminat memanfaatkan banteng melalui hasil penangkaran
atau menggunakan semennya untuk dikawinkan dengan sapi bali dalam rangka
meningkatkan genetik sapi bali khususnya dalam meningkatan bobot badannya.
Minat masyarakat dalam memanfaatkan banteng cukup tinggi, karena banteng
mempunyai nilai ekonomi. Menurut mereka harga banteng akan lebih mahal dari
harga sapi jenis lokal. Harga sapi bali umur tiga tahun sekitar sembilan juta
rupiah, sedangkan harga banteng dewasa menurut perkiraan responden bisa
mencapai 20 juta rupiah atau setara dengan harga sapi limosin . Berdasarkan hasil
wawancara di ketiga desa yang dijadikan obyek penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar (69,57%) masyarakat berminat untuk memanfaatkan banteng hasil
penangkaran terutama semennya, sedangkan sisanya 30,43% tidak berminat.
5.2.7 Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Faktor-faktor yang menyebabkan konflik banteng dan masyarakat sekitar
taman nasional dipicu oleh terganggunya masyarakat oleh banteng. Masyarakat
dimaksud yaitu masyarakat secara individu yang bertempat tinggal di sekitar kawasan
taman nasional, perusahaan perkebunan dan Perum Perhutani yang arealnya
berbatasan langsung dengan taman nasional.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa banteng keluar kawasan taman
nasional karena rendahnya daya dukung habitat baik aspek kualitas (Tabel 10 dan
Tabel 11) maupun aspek kuantitas yaitu kecilnya luasan padang penggembalaan yang
ada di dalam kawasan taman nasional sehingga produktivitas pakan yang dihasilkan
juga rendah terutama pada saat kemarau (Tabel 7 dan Tabel 8). Keluarnya banteng
dan mengganggu kebun masyarakat, perusahaan perkebunan serta Perum Perhutani
membuat kerugian dan mempengaruhi pendapatan masyarakat.
Pendapatan yang rendah karena produktivitas dan luasan lahan garapan yang
kecil (Tabel 15 dan Tabel 16) semakin memicu potensi konflik yang diindikasikan
103
dengan terjadinya perburuan terhadap banteng. Luas lahan garapan masyarakat rata-
rata hanya 0,25 ha per KK termasuk sedikit sehingga tidak mencukupi. Menurut BPS
kebutuhan optimal lahan garapan per KK sebesar dua hektar seperti yang digarap oleh
para petani transmigran. Sedangkan Awang (2006) menyatakan bahwa kebutuhan
lahan garapan minimal di jawa untuk setiap petani seluas 0,50 ha sedangkan menurut
Yatap (2008) kebutuhan lahan untuk mencapai hidup layak masyarakat sekitar
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebesar 0,56 ha per orang.
Konflik satwaliar dengan masyarakat juga terjadi karena tingkat
pendidikan yang rendah (Grafik 23) menyebabkan persepsi masyarakat
terhadap banteng menjadi negatif (Grafik 30) dan masyarakat menganggap
banteng tidak bermanfaat secara langsung karena dilindungi dan merugikan
karena merusak tanaman petani. Persepsi yang rendah tersebut menyebabkan
perburuan terhadap banteng. Tingkat pendidikan yang rendah, terbatasnya
lahan pertanian dengan produktivitas yang rendah serta minimnya
pengetahuan masyarakat tentang konservasi dapat meningkatkan gangguan
masyarakat terhadap kawasan (Anonimous 2006). Perburuan juga terkait
dengan upaya masyarakat untuk mendapatkan sumber protein hewani
daging, memenuhi kebutuhan ekonomi karena hidup dalam kekurangan serta
dipicu oleh rasa kesal karena gangguan banteng di lahan garapan yang
menyebabkan berkurangnya hasil pertanian serta kerugian bagi masyarakat.
Tingkat potensi konflik banteng dan masyarakat disajikan dalam Tabel 18.
Keluarnya banteng dari kawasan taman nasional menyebabkan masalah yang berujung pada meningkatnya potensi konflik antara banteng dan masyarakat. Masyarakat petani pesanggem mengalami kerugian karena tanamannya dimakan banteng sehingga produksi panennya menurun. Berdasarkan hasil penelitian Heriyanto (2011) diketahui bahwa adanya gangguan banteng menyebabkan masyarakat Desa Andongrejo mengalami kerugian sebesar 30% - 50% dari produksi panennya, selanjutnya dikatakan bahwa 90% dari masyarakat merasa was-was atau tidak tenang dengan adanya gangguan banteng, karena takut dengan serangan banteng.
104
Tabel 18 Potensi dan tingkat konflik konservasi banteng di TNMB dan TNAP
Parameter Lokasi Potensi Konflik Derajat
Konflik Jumlah Kasus Jenis Konflik
Kehadiran populasi banteng di sekitar masyarakat
TNMB Tiap hari Perburuan Tinggi
TNAP Tiap hari Perburuan Tinggi
Gangguan satwa pada lahan masyarakat
TNMB Tiap hari Perburuan/pelukaan Tinggi
TNAP Tiap hari Perburuan Tinggi
Tingkat kerugian ekonomi
TNMB 30% dari produksi (180 rb per bulan)
Buru Tinggi
TNAP 50% dari produksi (700 rb per bulan)
Buru, bantai Tinggi
Serangan banteng terhadap masyarakat
TNMB 2008-2010 (3 kali) Masuk kampung Tinggi
TNAP -
Ancaman masyarakat terhadap banteng
TNMB 1 kasus : 2 kematian (2010)
Buru dgn senjata Tinggi
TNAP 11 kasus : 3 kematian (2010)
Jerat Tinggi
Berdasarkan pengamatan terhadap faktor ekologi, sosial, ekonomi masyarakat sekitar kawasan serta wawancara dengan para pakar konservasi diketahui beberapa alternatif program kegiatan yang dapat dikolaborasikan antar stakeholders untuk menekan konflik yang lebih tinggi. Program kegiatan yang diharapkan dapat meminimalisir konflik dan dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan taman nasional yaitu; program kegiatan peningkatan kualitas habitat pakan, program pengembangan penangkaran khususnya pemanfaatan semen banteng , program pengembangan ekowisata serta program pengembangan tanaman obat dan buah.
Berdasarkan analisis di atas, maka pengelolaan Taman Nasional dalam mengatasi konflik konservasi banteng perlu dibuat sistem pengelolaan dengan pendekatan kolaboratif. Pengelolaan kolaboratif dimaksud harus melibatkan stakeholders seperti masyarakat sekitar kawasan, pengelola kawasan sekitar Taman Nasional, LSM dan PEMDA terkait.
105
5.3 Pengaruh dan Kepentingan Stakeholders terhadap Konservasi Taman Nasional dan Banteng
5.3.1 Pemetaan Stakeholders di TNAP
Untuk mengetahui pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap konservasi taman nasional dan banteng dilakukan pemetaan peran stakeholders. Stakeholders yang terkait dalam pengelolaan taman nasional khususnya konservasi banteng di TNAP yaitu Perum Perhutani, LSM (binaan KAIL), masyarakat sekitar kawasan khususnya desa Kalipait serta Balai TNAP sebagai penanggung jawab pengelolaan TNAP.
Perum Perhutani terkait dengan pengelolaan taman nasional karena kawasan hutannya berbatasan langsung dengan TNAP (Gambar 31). Selain itu adanya permasalahan dengan bekas zona penyangga taman nasional yang di kelola oleh Perum Perhutani berupa hutan jati tahun tanam 1954 dengan luas 1.309 ha. Bekas zona penyangga tersebut merupakan koridor banteng dalam mencari pakan dan minum di kawasan hutan produksi khususnya di blok Sumbergedang dan blok Gunting yang menyebabkan tanaman Perum Perhutani diantaranya mahoni kelas umur 0-5 tahun mengalami kerusakan dan kematian karena kulit batangnya dimakan banteng.
Gambar 31 Areal Perum Perhutani (HP) yang berbatasan langsung dengan
TN Alas Purwo
106
Stakeholders lainnya yaitu masyarakat Desa Kalipait yang mempunyai
aktivitas tumpangsari di kawasan bekas penyangga dan kawasan hutan produksi
Perum Perhutani. Masyarakat tersebut mengalami kerugian karena tanamannya
dimakan oleh banteng sehingga produksi panennya menurun, gangguan tersebut
menyebabkan persepsi terhadap banteng menjadi rendah. Masyarakat mempunyai
kepentingan yang tinggi terhadap SDA taman nasional tetapi pengaruhnya rendah.
Selanjutnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) KAIL (Konservasi Alam
Indonesia Lestari), stakeholders tersebut berperan sebagai advokasi dan ikut
dalam proses pendampingan pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat
petani pesanggem di kawasan bekas penyangga taman nasional. LSM mempunyai
pengaruh terhadap konservasi banteng karena bergerak di bidang konservasi
sumberdaya alam taman nasional dan advokasi masyarakat. Hasil pemetaan
pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap konservasi banteng dapat
dilihat dalam matrik resultante Gambar 32 yang terdiri atas empat kuadran yang
menggambarkan sebaran posisi masing-masing stakeholders yang berhubungan
dengan pengelolaan kawasan taman nasional dan banteng.
Gambar 32 Matriks resultante hasil analisis stakeholders di TNAP
5.3.2 Peran Stakeholders di TNAP
Berdasarkan ilustrasi disusun suatu mekanisme yang dapat dilakukan oleh
masing-masing stakeholders seperti peranan dan peluang-peluang berdasarkan
UPT TN AP
PERHUTANI
LSM
MASYARAKAT
0
5
10
15
20
25
0 5 10 15 20 25PENGARUH
KEPENTINGAN
107
posisinya. Pada Gambar 32 terlihat bahwa posisi kuadran II (key player)
merupakan kelompok yang paling kritis karena memiliki kepentingan dan
pengaruh yang sama-sama tinggi. Kuadran II ditempati oleh UPT TNAP dan
Perum Perhutani. Posisi kuadran II menunjukkan bahwa stakeholders tersebut
memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengelolaan taman nasional
dan banteng. Balai TNAP memiliki kepentingan karena institusi ini mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab dalam menjalankan program kerja sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya yaitu melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan
taman nasional dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Balai TNAP memiliki pengaruh yang tinggi dan dapat berperan dalam hal membuat
kebijakan dan berinisiatif dalam perencanaan dan melaksanakan program kegiatan
konservasi banteng serta melakukan intermediasi dengan stakeholders terkait lainnya.
Perum Perhutani mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi, karena
berhubungan dengan belum selesainya status kawasan bekas penyangga yang
diakui oleh Perum Perhutani sebagai bagian dari hutan produksinya. Kepentingannya
yaitu kawasan bekas penyangga sebelum dikembalikan ke taman nasional harus
ditebang dulu jatinya, karena kawasan itu merupakan hutan produksi yang mereka
tanam sejak tahun 1964 dan berbarengan dengan SK Menteri Kehutanan No
283/Kpts-11/1992 tentang penetapan kawasan TNAP. Di sisi lain Perum juga sebagai
BUMN Kementerian Kehutanan harus berkontribusi dalam konservasi banteng.
Perum Perhutani mempunyai pengaruh terhadap konservasi banteng karena
arealnya yaitu blok Sumbergedang merupakan wilayah jelajah banteng dan
berfungsi sebagai habitat pakan dan minum, sebagai BUMN dari Kementerian
Kehutanan Perum Perhutani dapat berperan dalam melaksanakan kebijakan
kehutanan untuk kelestarian lingkungan termasuk taman nasional dan banteng
melalui pengelolaan hutannya yang tetap mempertimbangkan kebutuhan banteng.
Stakeholders dalam kuadran IV (context setter) yaitu LSM KAIL. LSM ini
dapat memainkan perannya dalam fungsi intermediasi, penyebaran informasi dan
mengadvokasi hak-hak masyarakat sekitar kawasan. Informasi dimaksud berupa
teknis penanaman, pemilihan jenis dan penyediaan bibit serta pemasaran hasil
yang dapat menunjang kegiatan bertani masyarakat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
108
Masyarakat sekitar kawasan posisinya ada pada kuadran I (subjects).
Masyarakat memiliki kepentingan yang tinggi terhadap sumberdaya taman
nasional, khususnya di kawasan bekas penyangga dimana mereka melakukan
kegiatan bertani sebagai pesanggem. Masyarakat mempunyai kepentingan tinggi
tetapi pengaruhnya rendah karena tidak dilibatkan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pengelolaan taman nasional. Aspirasi masyarakat tidak tertampung
dan kurangnya pemberdayaan. Masyarakat ingin memanfatkan banteng melalui
pemanfaatan semennya untuk meningkatkan kualitas sapi yang mereka pelihara
melalui IB. Motivasi masyarakat terhadap kawasan taman nasional dan banteng
adalah ingin meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya diantaranya melalui
kegiatan pengembangan tanaman buah dan obat serta tanaman tumpangsari
khususnya di kawasan bekas penyangga.
Masyarakat ingin memanfaatkan kawasan bekas penyangga seperti yang
dilakukan selama ini melalui penanaman pohon buah-buahan, pohon obat dan biji-
bijian yang hasilnya dapat dipanen dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Penanaman pohon buah-buahan dan obat tersebut untuk mengantisipasi
jika masa sebagai pesanggem selesai, masyarakat masih bisa mendapatkan
manfaat dari hasil tanaman tersebut.
5.3.3 Pemetaan Stakeholders di TNMB
Berdasarkan identifikasi stakeholders di TNMB diketahui bahwa stakeholders
terkait dalam konservasi banteng hampir sama dengan di TNAP yaitu Balai
TNMB, LSM KAIL, masyarakat sekitar kawasan khususnya Desa Andongrejo dan
desa Curahnongko. Stakeholders lainnya yang membedakan dengan TNAP yaitu
perusahaan Perkebunan Bandealit. Dalam kawasan TNMB terdapat dua enclave
berupa perkebunan seluas 2.115 ha yaitu Perkebunan Bandealit dengan luas 1.057
ha dan Perkebunan Sukamade Baru dengan luas 1.058 ha. Perkebunan Bandealit
statusnya sebagai zona penyangga sehingga pengelolaannya sangat berhubungan
dengan pengelolaan taman nasional dan areal perkebunan tersebut menjadi habitat
yang disukai banteng. Sejak tahun 2003 banteng menjadikan areal Perkebunan
Bandealit sebagai habitat yang permanen, mulai dari aktivitas makan sampai
aktivitas kawin dilakukan di areal perkebunan, akibatnya perkebunan mengalami
109
kerusakan dan kerugian yang dalam empat tahun terakhir sebesar delapan milyar
rupiah (berdasarkan wawancara dengan manajer perkebunan). Untuk menghindari
gangguan banteng Perkebunan Bandealit melakukan pemagaran dengan
menggunakan kawat duri khususnya di lokasi persemaian Kebun Pantai. Tindakan
tersebut menjadi masalah karena ada indikasi pemagaran tersebut menyebabkan
luka pada banteng, sehingga BTNMB membuka pagar tersebut dan pengelola
perkebunan merasa dirugikan, karena areal persemaiannya dirusak banteng.
Kejadian tersebut masuk dalam katagori konflik terbuka, konflik terbuka adalah
yang berakar dalam dan sangat nyata, sehingga memerlukan berbagai tindakan
untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya (Fisher et al. 2001).
Berdasarkan hasil analisis stakeholders diketahui Perkebunan Bandealit
mempunyai kepentingan rendah terhadap kelestarian banteng karena kepentingan
utama perusahaan adalah mendapatkan penghasilan dari hasil produksi perkebunan.
Tetapi perkebunan tersebut mempunyai pengaruh yang besar karena arealnya
dimanfaatkan oleh banteng dari mulai aktivitas makan sampai kawin. Selain itu
perusahaan perkebunan mempunyai pengaruh dalam merubah persepsi masyarakat
terhadap banteng yang dapat dijadikan modal untuk propaganda konservasi
banteng, sehingga Perkebunan Bandealit perlu dilibatkan dalam perencanaan
program TNMB untuk sinkronisasi program kegiatan dalam upaya konservasi
banteng.
Stakeholders masyarakat khususnya Desa Andongrejo dan Curahnongko
yang letak desanya berbatasan langsung dengan kawasan TNMB. Pekerjaan
masyarakat sekitar kawasan TNMB sebagian besar adalah petani pesanggem di
kawasan zona rehabilitasi taman nasional dan di areal Perkebunan Bandealit khusus
yang bekerja sebagai buruh perkebunan. Hasil pemetaan stakeholders terhadap
pengaruh dan kepentingan dapat dilihat dalam matrik resultante Gambar 33.
Masyarakat mempunyai kepentingan sebagai pemelihara sekaligus pemanfaat
taman nasional dan banteng tetapi tidak mempunyai pengaruh dalam pengambilan
keputusan kebijakan pengelolaan sehingga aspirasi masyarakat perlu diakomodir
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan kawasan dan banteng.
Kepentingan sebagian masyarakat sudah diakomodir melalui kegiatan agroforestry
di zona rehabilitasi taman nasional tetapi belum optimal.
110
Gambar 33 Matrik resultante hasil analisis stakeholders di TNMB
5.3.4 Peran Stakeholders di TNMB
Berdasarkan hasil pemetaan stakeholders UPT BTNMB dan LSM KAIL
berada pada posisi kuadran II yaitu berperan sebagai key player, LSM perannya
sejalan dengan TNMB tetapi tidak punya peran dalam pengelolaan banteng. LSM
KAIL berperan dalam pembinaan dan pemberdayaan masyarakat khususnya
kegiatan rehabilitasi sejak tahun 2001 dalam implementasi praktek konservasi
berbasis masyarakat yang diwujudkan dalam program rehabilitasi tanaman
Multipurpose tree species (MPTS). LSM berkepentingan dalam terbangunnya
sosial budaya masyarakat sebagai kapital sosial untuk membangun budaya
kehutanan yang memiliki nilai korvengensi dengan pelestarian dan terciptanya
daya dukung lingkungan yang berkualitas. Kontribusi LSM dalam zona
rehabilitasi selama ini membantu masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan
pengembangan tanaman Multipurpose tree species (MPTS) mulai dari pemilihan
jenis, pengolahan dan pemasaran. Selain itu LSM mempunyai arti strategis
sebagai jembatan aspirasi masyarakat untuk diakomodir dalam pembuatan
keputusan pengelolaan zona rehabilitasi. Hasil pemetaan stakeholders LSM
berada pada kuadran II (key player) yaitu satu posisi dengan BTNMB, sedangkan
di TNAP LSM berada pada kuadran III (context setter). Hal ini dimungkinkan
UPT TN MERU BETIRI
PERKEBUNAN
LSMMASYARAKAT
0
5
10
15
20
25
0 5 10 15 20 25
KEPENTINGAN
PENGARUH
111
karena peran LSM KAIL di TNMB sudah berjalan cukup lama dan intensif
sehingga program kegiatannya sudah sinkron dengan program kegiatan BTNMB.
Sedangkan di TNAP peran LSM belum optimal dan masyarakat masih
membutuhkan dukungan LSM dalam mengadvokasi kepentingannya.
Posisi context setter di TNMB ditempati Perkebunan Bandealit, Perkebunan
Bandealit masuk dalam stakeholders yang mempunyai kepentingan rendah
terhadap kelestarian banteng karena kepentingan utama perusahaan adalah
mendapatkan keuntungan dari hasil produksi perkebunan. Tetapi perkebunan
mempunyai tingkat pengaruh yang besar karena arealnya dimanfaatkan banteng
dari mulai aktivitas makan sampai kawin. Peran perkebunan sebagai context setter
dapat dijadikan modal untuk mempropaganda masyarakat khususnya karyawan
perkebunan sehingga persepsi masyarakat terhadap konservasi banteng menjadi
positif. Selain itu perkebunan harus membantu TN dalam perbaikan lingkungan
khususnya habitat pakan banteng, dan dapat dilibatkan dalam pengelolaan banteng
sebagai obyek wisata yang dipadukan dengan agrowisata yang dikembangkan oleh
Perkebunan. Untuk sinkronisasi program kegiatan dalam upaya konservasi banteng
Perkebunan Bandealit dapat dilibatkan mulai dari perencanaan sampai implementasi
program kegiatan. Tingkat pengaruh mengindikasikan kemampuan stakeholders
untuk mempengaruhi berhasil tidaknya suatu pengelolaan (Hermawan et al. 2005)
Kuadran I atau subyek ditempati masyarakat yaitu kelompok yang
mempunyai kepentingan tinggi namun pengaruhnya rendah sehingga perlu
pemberdayaan dalam pengelolaan taman nasional dan banteng dengan
melibatkannya dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan. Tingkat
kepentingan berkaitan dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholders,
semakin besar dampak yang akan diterima oleh stakeholders, maka semakin tinggi
tingkat kepentingannya (Hermawan et al. 2005). Motivasi utama masyarakat sekitar
kawasan TNMB yaitu ingin meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya melalui
kegiatan bertani di zona rehabilitasi serta memanfaatkan hasil tanaman utama
yang mereka tanam melalui pemanfaatan tanaman buah dan tanaman obat.
Kepentingan masyarakat perlu diakomodir untuk meminimalkan gangguan
masyarakat terhadap kawasan khususnya perburuan satwa dan penebangan kayu.
Untuk meminimalisir gangguan banteng khususnya di areal perkebunan,
112
Co-Management
Balai TNAP 0,679
Perhutani 0,102
LSM 0,099
Masyarakat 0,119
Sosial 0,180
Ekonomi 0,191
Ekologi 0,629
Pengembangan ekowisata
0,225
Pengembangan tanaman obat/buah
0,117
Pengembangan penangkaran
banteng 0,243
Konsultatif 0,210
Instruktif 0,255
Kooperatif 0,209
Informatif 0,110
Advokatif 0,215
Fokus
Aktor
Faktor
Alternatif Program
Peningkatan kualitas habitat
banteng 0,415
tingkat Kolaborasi
masyarakat menginginkan agar pengelola TNMB menyediakan padang
penggembalaan (feeding ground) yang mencukupi kebutuhan banteng.
5.4 Manajemen Kolaborasi dalam Upaya Konservasi Banteng
5.4.1 Prioritas Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Kolaborasi Banteng
Dari hasil pengamatan terhadap aspek ekologi, sosial ekonomi, identifikasi dan
pemetaan stakeholders, persepsi dan kepentingan stakeholders yang terkait dengan
konflik banteng serta wawancara dengan stakeholders yang tidak terkait konflik
diketahui alternatif program kegiatan yang dapat mengakomodir kepentingan
bersama. Penentuan prioritas kegiatan dan tingkat/bentuk kolaborasi dipilih oleh
stakeholders dan para pakar konservasi, yang terdiri dari pakar konservasi jenis dan
konservasi kawasan, pakar tersebut berasal dari Perguruan Tinggi IPB satu orang,
Badan Litbang Kehutanan dua orang, dan dari Ditjen PHKA empat orang.
Berdasarkan hasil analisis diketahui struktur hierarki dengan bobot kepentingan
yang menunjukkan prioritas program kegiatan dan bentuk kolaborasi yang dipilih
dalam rangka konservasi banteng seperti Gambar 34.
Gambar 34 Struktur hierarki co-management konservasi banteng di TNAP (Mod. Saaty 1993)
113
Dari hasil analisis secara keseluruhan peran aktor dalam program kegiatan
untuk tujuan konservasi banteng dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35 Tingkat peranan aktor terhadap pelaksanaan program kegiatan
konservasi banteng di TNAP.
Pada Gambar 35 diketahui bahwa prioritas aktor yang berperan penting
dalam pelaksanaan program konservasi banteng di TNAP secara berturut-turut
yaitu Balai TNAP (67,90%), masyarakat (11,90%), Perum Perhutani (10,20%)
dan LSM (9,90%). Balai TNAP menjadi yang pertama karena sesuai dengan
keadaan di lapangan bahwa dalam pengelolaan banteng peran Balai TNAP
adalah yang paling dominan. Sedangkan stakeholders lainnya belum
dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan TN, khususnya pengelolaan
banteng karena belum dilakukan kerjasama antar stakeholders. Dalam
kenyataannya Perum Perhutani sebagai pemangku pengelola hutan produksi
kawasannya digunakan banteng sebagai bagian dari wilayah jelajahnya, tetapi
Perum Perhutani belum dilibatkan dalam perencanaan kebijakan pengelolaan
taman nasional dan banteng. Dalam upaya konservasi banteng secara
kolaboratif Balai TNAP harus mulai berbagi peran dan kewenangan dengan
stakeholders terkait untuk tercapainya upaya konservasi banteng.
Pada level alternatif kegiatan faktor terhadap aktor, urutan prioritas yang
penting dipertimbangkan dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng
yaitu faktor ekologi (62,90%), faktor ekonomi (19,10%) dan faktor sosial
(18,00%). Data tersebut menunjukkan bahwa dalam pengelolaan konservasi
banteng secara kolaboratif faktor ekologi merupakan faktor yang paling
114
penting untuk diperhatikan demi keberlangsungan sumberdaya. Hal tersebut
selaras dengan tujuan utama pengelolaan kolaboratif yang salah satu elemen
pentingnya yaitu mempertahankan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya
(Claridge and O’ Callaghan 1995). Namun demikian dalam pengelolaan
sumberdaya alam faktor ekonomi harus dipertimbangkan juga khususnya
yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi masyarakat sekitar kawasan
taman nasional. Pembangunan ekonomi tersebut harus berwawasan
lingkungan, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat
secara berkelanjutan. Jika masyarakat sekitar kawasan sejahtera diharapkan
gangguan terhadap ekosistem dan sumberdaya kawasan dapat ditekan.
MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan
kawasan yang dilindungi banyak bergantung pada kadar dukungan dan
penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat
sekitarnya. Jika kawasan yang dilindungi dipandang sebagai penghalang,
masyarakat setempat dapat menggagalkan pelestarian. Tetapi jika pelestarian
dianggap sebagai sesuatu yang bermanfaat, masyarakat sendiri yang akan
bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari pengembangan
yang membahayakan.
Pada level alternatif terhadap faktor yang berupa alternatif kegiatan
secara kolaboratif untuk meminimalisir konflik, urutan prioritas yang paling
penting yaitu peningkatan kualitas habitat banteng (41,50%), pengembangan
penangkaran banteng (24,30%), pengembangan ekowisata (22,50%) dan
pengembangan tanaman obat dan buah (11,70%). Urutan prioritas kegiatan
peningkatan kualitas habitat banteng adalah pilihan yang sangat sesuai dengan
keadaan di lapang. Berdasarkan hasil pengukuran potensi habitat pakan
diketahui bahwa habitat padang penggembalaan dalam kawasan taman
nasional tidak memenuhi kebutuhan banteng baik secara kualitas maupun
kuantitas. Hal ini yang menyebabkan banteng keluar kawasan memakan
tanaman ladang masyarakat seperti jagung, padi dan kacang kedelai serta
tanaman Perum Perhutani seperti kulit batang mahoni yang menyebabkan
kematian pohon tersebut.
115
Pengembangan penangkaran banteng yang menjadi prioritas kedua perlu
dipertimbangkan khususnya dalam pemanfaatkan semen banteng untuk
peningkatan genetik sapi bali melalui inseminasi buatan, sehingga salah satu
tujuan konservasi yaitu pemanfaatan plasma nuftah dapat diwujudkan.
Pengembangan tanaman obat dan buah perlu ditingkatkan dan
dipertimbangkan walaupun tidak menjadi prioritas utama karena masyarakat
sekitar kawasan umumnya sudah mengembangkan kegiatan tersebut pada
kawasan bekas penyangga TNAP.
Hasil analisis secara keseluruhan bentuk/tipe co-management terhadap
alternatif program dapat dilihat pada Gambar 36.
Gambar 36 Prioritas tingkat co-management konservasi banteng di TNAP
Berdasarkan hasil analisis bentuk co-management terhadap alternatif
program kegiatan secara keseluruhan diketahui bahwa prioritas yang terpilih
adalah tingkat/tipe co-management instruktif (25,50%), pendampingan (21,50%),
konsultatif (21,10%), kooperatif (20,09%), dan informatif (11,00%). Dari hasil
analisis tersebut terlihat bahwa bentuk co-management instruktif, pendampingan,
konsultatif dan kooperatif nilainya hampir tidak berbeda yaitu antara 20% - 25%.
Setelah dilakukan analisis AHP terhadap tiap alternatif kegiatan (Lampiran 6)
diketahui bahwa tipe co-management yang dipilih untuk tiap program kegiatan
yaitu pengembangan habitat dengan tipe kolaborasi instruktif (35,1%),
pengembangan penangkaran banteng tipe kolaborasi kooperatif (25,2%),
pengembangan ekowisata pendampingan (34,2%) dan pengembangan tanaman
obat dan buah tipe kolaborasi kooperatif (36,2%).
116
Hasil analisis seluruh alternatif bentuk co-management secara instruktif
merupakan pilihan yang tinggi bobot nilainya dibanding yang lainnya (Gambar
36). Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa pengelolaan taman
nasional secara umum masih bersifat instruktif. Inisiatif kebijakan pengelolaan
selalu berasal dari pemerintah (BTN), masyarakat dan stakeholders lain tidak
dilibatkan dalam perencanaan pengelolaan kawasan secara umum dan
pengelolaan banteng secara khusus. Peran pemerintah dalam hal ini Balai Taman
Nasional (BTN) yang dominan disebabkan oleh fungsi dan otoritas regulasi
formal yang hanya dapat diperankan oleh pihak pemerintah (BTN). Nikijuluw
(2002) menyatakan bahwa tingkat/tipe pengelolaan kolaboratif secara instruktif
pemerintah sangat berperan dalam banyak hal, sedangkan masyarakat hanya
menerima apa yang direncanakan dan diatur oleh pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Perum Perhutani dan
masyarakat yang berkepentingan tinggi khususnya di kawasan bekas penyangga
tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan TNAP.
Kepentingan Perum Perhutani pada pengelolaan kawasan bekas penyangga
seluas 1309 ha, karena kawasan tersebut sudah menjadi hutan produksi jati sejak
tahun 1964. Perum Perhutani ingin memanfaatkan kayu pada kawasan bekas
penyangga melalui penebangan dan penanaman kembali, hal yang harus
dipertimbangkan bahwa kawasan bekas penyangga merupakan koridor habitat
banteng, sehingga dalam pemanfaatannya harus mempertimbangkan
kepentingan banteng.
5.4.2 Prioritas Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Kolaborasi Banteng di
TNMB
Dari hasil analisis seperti yang dilakukan di TNAP diketahui kepentingan,
pengaruh dan kebutuhan para stakeholders di TNMB dan dapat dijadikan
program kegiatan yang dapat mengakomodir kepentingan bersama. Struktur
hierarki dan bobot kepentingan atau prioritas dalam pengelolaan banteng secara
kolaborasi di TNMB disajikan dalam Gambar 37.
117
Gambar 37 Struktur hierarki co-management konservasi banteng di TNMB
(Mod. Saaty 1993)
Hasil AHP menunjukkan bahwa prioritas aktor yang mempunyai tingkat
peranan penting dalam konservasi banteng secara berturut-turut yaitu Balai
TNMB (68,10%), Perkebunan Bandealit (13%), LSM (11%) dan masyarakat
(7,90%). Balai Taman Nasional Meru Betiri menjadi aktor prioritas seperti di
TNAP, hal ini sesuai dengan tupoksinya yang memegang mandat dalam
pengelolaan taman nasional. Pada level faktor urutan prioritas yang penting
dipertimbangkan dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng yaitu faktor
ekologi (61,10%), faktor ekonomi (20,10%) dan faktor sosial (18,80%).
Pada level alternatif program kegiatan di TNMB, urutan prioritas yaitu
peningkatan kualitas habitat banteng (40,40%), pengembangan penangkaran
banteng (23,50%), pengembangan ekowisata (20,30%) dan pengembangan
tanaman obat dan buah (15,90%). Padang perumputan di kawasan TNMB tidak
dapat menampung populasi banteng dan banteng memilih areal perkebunan
untuk melakukan aktivitas hariannya, sehingga dibutuhkan peningkatan kualitas
Co-Management
Balai TNMB 0,681
Perkebunan 0,130
LSM 0,110
Masyarakat 0,079
Sosial 0,188
Ekonomi 0,201
Ekologi 0,611
Pengembangan Wisata
0,203
Pengembangan Tanaman obat/buah
0,159
Pengembangan Penangkaran
Banteng 0,235
Konsultatif 0,201
Instruktif 0,278
Kooperatif 0,223
Informatif 0,106
Advokatif 0,183
Fokus
Aktor
Faktor
Peningkatan Kualitas Habitat
Banteng 0,404
Alternatif Program
tingkat Kolaborasi
118
padang penggembalaan. Peningkatan kualitas atau pembinaan habitat padang
penggembalaan akan menstimulasi kehidupan banteng (Alikodra 2010).
Djuwantoko (1986) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu daerah yang
sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk
mendapatkan makanan, air dan naungan (cover). Jika salah satu dari komponen
habitat tersebut tidak terpenuhi populasi banteng akan terancam.
Dari hasil analisis secara keseluruhan tingkat/bentuk/tipe pengelolaan
kolaboratif (co-management) terhadap alternatif program kegiatan disajikan
dalam Gambar 38.
Gambar 38 Prioritas tingkat co-management konservasi banteng di TNMB
Pada Gambar 38 menunjukkan bahwa prioritas bentuk/tipe pengelolaan
kolaboratif adalah bentuk instruktif (27,80%), selanjutnya kooperatif (22,30%),
konsultatif (20,10%), pendampingan (19,30%), dan informatif (10,60%).
Bentuk pengelolaan secara kooperatif yang menjadi prioritas kedua merupakan
bentuk pengelolaan kolaboratif yang sesungguhnya, yaitu antar stakeholders
dapat bekerjasama sebagai mitra yang setara mulai dari pengambilan keputusan
sampai implementasi di lapangan. Pengelolaan kolaboratif disebut sebagai
round-table management, share management, pengelolaan bersama atau
pengelolaan multi-pihak. Pengelolaan kolaboratif adalah pembuatan keputusan
secara bersama antara pemerintah dan masyarakat tentang satu atau lebih aspek-
aspek pemanfaatan sumberdaya alam (Castro dan Nielson 2001). Pengelolaan
119
kolaboratif sudah diterapkan dalam bidang perikanan, taman nasional, kawasan
dilindungi, kehutanan, satwaliar, lokasi penggembalaan, dan sumberdaya air
(Conley and moote 2001). Pola pengelolaan secara kolaboratif untuk kawasan
konservasi adalah kemitraan diantara berbagai pihak yang berkepentingan yang
menyetujui berbagai fungsi, wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan
kawasan konservasi (Borrini-Feyerabend et al. 2000).
Bentuk/tingkat/tipe co-management untuk masing-masing alternatif
program di TNMB (Lampiran 7) menunjukkan bahwa bentuk co-management
yang dipilih untuk kegiatan peningkatan kualitas habitat adalah instruktif
(39,4%), pengembangan penangkaran kooperatif (30,7%), pengembangan
ekowisata pendampingan (34,2%) dan pengembangan tanaman obat dan buah
kooperatif (30,7%) . Kegiatan peningkatan kualitas habitat sesuai dengan PP
No. 7 tahun 1999 bahwa pemerintah dalam hal ini Balai Taman Nasional
bertanggung jawab dalam melaksanakan pembinaan habitat dan populasi jenis
satwa dan tumbuhan dalam keadaan seimbang dengan daya dukung habitat,
dalam pelaksanaan kegiatannya dapat dikerjasamakan dengan masyarakat
(stakeholders), Peraturan Pemerintah tersebut menyiratkan bahwa kegiatan
pembinaan habitat dapat dikolaborasikan.
Bentuk pengelolaan kooperatif yang dipilih dalam program kegiatan
pengembangan penangkaran banteng dan pengembangan tanaman obat dan
buah, pemerintah dapat berkontribusi dalam bentuk dukungan legal terhadap
aturan-aturan yang ditetapkan dan disepakati bersama. Tingkat kooperatif
merupakan bentuk pengelolaan kolaborasi yang sesungguhnya dimana
pemerintah dan semua stakeholders yang berkepentingan bekerja sama dalam
hubungan kemitraan yang sejajar dalam pembuatan keputusan, implementasi,
pengawasan dan pemantauan (Suporahardjo 2005; Nikijuluw 2002).
Dalam kegiatan pengembangan ekowisata bentuk yang dipilih yaitu
pendampingan (advokasi). Bentuk kolaborasi ini kewenangan pemerintah
berkurang karena usul, ide, inovasi dan inisiasi dalam pengambilan keputusan
120
ada pada stakeholders dan pemerintah menerima usulan yang diajukan
stakeholders, tetapi pemerintah tetap melakukan pengawasan, pemantauan serta
penegakan hukum. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara kolaboratif
harus ada inisiatif dan inisiatif boleh datang dari masyarakat maupun dari
pemerintah. Efektifitas pengelolaan secara kolaboratif akan meningkat jika
inisiatif datang dari pemerintah, dan masyarakat harus dilibatkan secara aktif
dalam seluruh proses kegiatan mulai dari perencanaan sampai implementasi
(Tadjudin 2000). Hal tersebut diperkuat oleh (McKinnon et al. 1993) yang
menyatakan bahwa pengelolaan kawasan hutan tanpa melibatkan masyarakat
akan tidak efektif.
5.4.3 Strategi dalam Implementasi Program Kegiatan
Dari hasil penelitian seperti yang sudah dibahas sebelumnya didapatkan
bahwa prioritas program kegiatan yang dapat dikolaborasikan dalam
menyelesaikan konflik konservasi banteng yaitu peningkatan kualitas habitat,
pengembangan penangkaran banteng, pengembangan ekowisata banteng dan
pengembangan tanaman obat dan buah.
Untuk mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor strategis dalam
mengimplementasikan masing-masing program kegiatan dilakukan analisis
SWOT. Berdasarkan data dari hasil pengamatan di lapangan dan diskusi dengan
para stakeholders diketahui faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor
eksternal (peluang dan ancaman) yang bersifat strategis dan dapat mempengaruhi
pengelolaan kolaboratif konservasi banteng. Hasil analisis SWOT dalam
pelaksanaan kolaborasi empat program kegiatan konservasi banteng di TNAP
dan TNMB disajikan dalam Tabel 19.
121
Tabe
l 19
Ana
lisis
SW
OT
pela
ksan
aan
kola
bora
si e
mpa
t pro
gran
keg
iata
n ko
nser
vasi
ban
teng
di T
NA
P da
n TN
MB
No
FAK
TOR
-FA
KTO
R
Peni
ngka
tan
kual
itas
Hab
itat
Peng
emba
ngan
Ta
nam
an o
bat/b
uah
Ekow
isat
a B
ante
ng
Peng
emba
ngan
Pe
nang
kara
nB
PN
PB
P
NP
BP
NP
BP
NP
A
INTE
RN
AL
Kek
uata
n
SD
M y
ang
cuku
p m
emad
ai
0,2
30,
60,
2 3
0,6
0,2
30,
60,
23
0,6
St
atus
kaw
asan
ber
keku
atan
huk
um
0,3
41,
20,
3 4
1,2
0,2
30,
60,
11
0,1
Po
tens
i SD
A c
ukup
ting
gi d
i zon
a pe
man
faat
an
0,2
40,
80,
2 4
0,8
0,3
41,
20.
34
1,2
T
ekno
logi
/pen
gala
man
mem
adai
0,1
30,
30,
1 3
0,3
0,1
20,
20,
24
0,8
K
ewen
anga
n pe
man
gku
kaw
asan
0,2
20,
40,
2 2
0,4
0,2
20,
40,
24
0,8
JU
ML
AH
11,
0-
3,3
1,0
-3,
31,
0-
3,0
1,0
-3,
5
Kel
emah
an
Pe
renc
anaa
n ja
ngka
pan
jang
bel
um te
rsed
ia0,
22
0,4
0,3
30,
90,
23
0,6
0,2
30,
6
Koo
rdin
asi r
enda
h 0,
34
1,2
0,2
40,
80,
24
0,8
0,2
40,
6
Terb
atas
nya
dana
0,
22
0,4
0,2
20,
40,
24
0,8
0,2
30,
6
Perb
edaa
n p
erse
psi t
enta
ng p
eles
taria
n ba
nten
g0,
24
0,8
0,1
30,
30,
22
0,4
0,3
41,
2
Sapr
as b
elum
mem
adai
0,
12
0,2
0,2
30,
60,
24
0,8
0,1
20,
2
JUM
LA
H 2
1,0
-3,
01,
0 -
3,0
0,8
-3,
41,
0-
3,1
B
EKST
ERN
AL
Pelu
ang
Duk
unga
n da
ri se
ktor
lain
dan
pem
da0,
33
0,9
0,2
30,
60,
34
1,2
0,3
41,
2
Pasa
rcuk
up p
oten
sial
0,
22
0,4
0,3
41,
20,
24
0,8
0,3
41,
2
Duk
unga
n b
uday
a m
asya
raka
t set
empa
t0,
12
0,2
0,2
30,
60,
23
0,6
0,2
30,
6
Aks
es k
e lo
kasi
ter
sedi
a 0,
22
0,4
0,1
20,
20,
23
0,6
0,1
20,
2
Kel
emba
gaan
mas
yara
kat
berf
ungs
i0,
22
0,4
0,2
30,
60,
12
0,2
0,1
20,
2
JUM
LA
H 3
1,0
-2,
31,
0 -
3,2
1,0
-3,
41,
0-
3,4
A
ncam
an
G
angg
uan
terh
adap
kaw
asan
(P
eram
baha
n. Il
lega
l lo
ggin
g)0,
23
0,6
0,2
40,
80,
33
0,9
0,2
30,
6
Pe
rbur
uan
terh
adap
satw
a ba
nten
g0,
12
0,2
0,1
20,
20,
34
1,2
0,3
41,
2
Sose
km
asya
raka
t re
ndah
0,
23
0,6
0,3
41,
20,
23
0,6
0,2
20,
4
Peru
baha
n pe
nata
an ru
ang
daer
ah p
enya
ngga
di l
uar T
N0,
22
0,4
0,2
30,
60,
12
0,2
0,1
30,
3
Inva
sive
spes
ies f
lora
0,
33
0,9
0,1
20,
2-
--
0,2
20,
4
JU
ML
AH
41,
0-
2,7
0,9
-3,
00,
9-
2,9
1,0
-2,
9 K
eter
anga
n : B
=
Bob
ot; P
=
Per
ingk
at; N
P =
Nila
i pen
garu
h
121
122
Faktor-faktor strategis yang dapat mempengaruhi pengelolaan kolaboratif
konservasi banteng pada empat program kegiatan yang akan diimplementasikan
di TNAP dan TNMB diringkas dalam matrik SWOT yang disajikan pada
Lampiran 8, 9,10 dan 11. Berdasarkan matrik SWOT diketahui strategi dalam
mengimplementasikan program kegiatan konservasi banteng tersebut terdapat
empat alternatif strategi, yaitu:
1). Strategi (SO) : menggunakan kekuatan (S) untuk memanfaatkan peluang (O)
2). Strategi (ST) : menggunakan kekuatan (S) untuk mengatasi hambatan (T)
3). Strategi (WO): mengatasi kelemahan (W) untuk memanfaatkan peluang (O)
4). Strategi (WT): meminimumkan kelemahan (W) dan menghindari ancaman (T)
Strategi yang dihasilkan dari analisis SWOT untuk empat program kegiatan
dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng dan stakeholders terkait yang
dapat berkontribusi dalam implementasi program disajikan dalam Tabel 20.
Tabel 20 Program kegiatan, strategi, dan stakeholders terkait
Program kegiatan Strategi Stakeholders terkait
1. Peningkatan kualitas habitat
Strategi (ST) 1. Peningkatan perlindungan terhadap kawasan hutan 2. Melaksanakan kegiatan pembinaan dan perluasan
habitat pakan serta pengendalian invasif sp 3. Melaksanakan penyuluhan dan kegiatan perhutanan
sosial di zona pemanfaatan (rehabilitasi)
BTN, Perum Perhutani, Perkebunan, masyarakat
2. Pengembangan
penangkaran Strategi (SO) 1. Melakukan kerjasama sesuai kewenangan yang ada
pada pemangku kawasan untuk mendapatkan dukungan sektor lain dan pemda
2. Memanfaatkan potensi SDA zona pemanfaatan, teknologi yang ada serta potensi pasar
3. Mengembangkan penangkaran (pemanfaatan semen) yang melibatkan masyarakat
BTN, Perkebunan, Perum Perhutani, masyarakat, BBIB, Dinas Peternakan
3. Pengembangan ekowisata
Strategi (WO) 1. Meningkatkan koordinasi
dan penyamaan persepsi antar stakeholders dan dukungan sektor lain serta budaya dan kelembagaan masyarakat untuk pengembangan ekowisata
2. Meningkatkan ketersediaan dana dan sapras dengan memanfaatkan dukungan sektor lain dan potensi pasar
BTN, Perum Perhutani, Perkebunan, LSM, masyarakat, Dinas Pariwisata
4. Pengembangan tanaman obat dan buah
Strategi (SO) 1. Pengembangan pemanfaatan potensi SDA dan
didukung oleh pasar, budaya, kelembagaan masyarakat serta dukungan sektor lain di zona pemanfaatan
2. Kerjasama dengan sektor lain untuk pengembangan tanaman obat dan buah melalui teknologi dan SDM
3. Diversifikasi tanaman agroforestry dengan tanaman obat dan buah potensial
BTN, LSM, masyarakat, Dinas Kehutanan dan Pertanian
123
0,5–
0,4–
0,3–
0,2–
0,1–
0,1–
0,2–
0,3–
0,4–
0,5–
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
– – – – – – – – – – 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1
Kekuatan Kelemahan
Peluang
Ancaman
Kuadran 1
Kuadran 2
Kuadran 3
Kuadran 4
5.4.3.1 Strategi Implementasi Program Peningkatan Kualitas Habitat
Dari hasil analisis terhadap nilai faktor Tabel 18 dapat dihitung nilai IFAS
yang merupakan selisih total nilai pengaruh faktor internal (kekuatan dan
kelemahan). Nilai IFAS dari kegiatan peningkatan kualitas habitat yaitu sebesar
3,30 – 3,00 = 0,30, sedangkan nilai EFAS sebesar 2,3 – 2,7 = - 0,40. Nilai IFAS
positif berarti secara kumulatif faktor kekuatan lebih besar dibandingkan faktor
kelemahan, sedangkan nilai EFAS negatif berarti secara kumulatif faktor peluang
lebih kecil dibanding ancaman. Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS tersebut dibuat
matrik SPACE seperti Gambar 39.
Gambar 39 Diagram matrik space peningkatan kualitas habitat banteng
Hasil analisis SWOT untuk program peningkatan kualitas habitat, strateginya
yaitu dengan cara memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Kekuatan
yang dimanfaatkan adalah: 1) SDM cukup memadai, 2) status kawasan berkekuatan
hukum, 3) potensi sda cukup memadai, 4) teknologi/pengalaman memadai, 5)
kewenangan pemangku kawasan. Ancaman yang perlu diatasi adalah: 1)
perambahan kawasan taman nasional, 2) perburuan satwa banteng, 3) sosek
masyarakat sekitar taman nasional rendah, 4) perubahan penataan ruang daerah
penyangga dan 5) jenis invasif flora.
Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS diketahui strategi alternatif yang perlu
dilakukan dalam implementasi kegiatan peningkatan kualitas habitat yaitu strategi
124
(ST): menggunakan kekuatan (S) untuk mengatasi hambatan/kendala (T). Strategi
ini dapat dilakukan melalui kegiatan:
1) peningkatan perlindungan terhadap kawasan hutan melalui pengembangan
zona pemanfaatan
2) pembinaan dan perluasan habitat serta pengendalian jenis invasif
3) penyuluhan dan kegiatan perhutanan sosial
Berdasarkan pengamatan terhadap habitat pakan di padang perumputan
Pringtali TNMB dan padang perumputan Sadengan TNAP, diketahui kedua
habitat pakan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan pakan banteng, karena
luasan, produktifitas dan kualitas padang penggembalaan yang rendah, adanya
gangguan pada kawasan serta invasi dari jenis invasif . Hal tersebut diduga yang
mengakibatkan banteng keluar kawasan taman nasional dan masuk di areal
Perkebunan Bandealit (TNMB) maupun kawasan Perum Perhutani (TNAP),
sehingga peningkatan kualitas habitat perlu dilakukan.
Strategi peningkatan perlindungan terhadap kawasan dapat dilakukan
melalui optimalisasi zona pemanfaatan dalam rangka meminimalisir tekanan
masyarakat terhadap kawasan rimba dan inti yang mengganggu habitat dan
populasi banteng, masyarakat dapat dilibatkan dalam kegiatan di zona
pemanfaatkan seperti dalam kegiatan ekowisata. Fungsi zona pemanfaatan
diantaranya untuk pariwisata, pengembangan yang menunjang pemanfaatan, serta
kegiatan penunjang budidaya (Permenhut P.56 tahun 2006). Di TNAP kegiatan
masyarakat sekitar kawasan sebagian besar adalah bertani khususnya sebagai
petani pesanggem di kawasan Perum Perhutani yang lokasinya berbatasan
langsung dengan TNAP dan di kawasan bekas penyangga TNAP yang selama ini
dikelola oleh Perum Perhutani. Mulai tahun 2011 kegiatan bertani di kawasan
bekas penyangga diinstruksikan oleh BTNAP untuk diberhentikan karena
kesepakatannya sudah berakhir. Dalam rangka mengantisipasi tekanan masyarakat
terhadap kawasan yang dimungkinkan akan meningkat karena sudah tidak
diperbolehkan menggunakan kawasan bekas penyangga, pihak taman nasional
harus segera mencari alternatif kegiatan yang dapat melibatkan masyarakat
sehingga gangguan terhadap kawasan bisa diminimalisir.
125
Kegiatan yang melibatkan masyarakat di TNAP dapat dilakukan melalui
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan bekas penyangga seluas
1309 ha , yang dalam perencanaannya akan dilakukan penebangan oleh Perum
Perhutani sebelum diserahkan ke TN dan dilakukan revegetasi. Pemberdayaan
masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan dalam penyediaan bibit, penanaman
dan pemeliharaan sampai tanaman revegetasi besar dan masyarakat bisa
mengambil hasil dari tanaman yang dikembangkan. Tanaman revegetasi
diusahakan menggunakan jenis-jenis Multipurpose Tree Species (MPTS) seperti
tanaman obat dan buah yang selain bermanfaat bagi kehidupan satwa dan
ekosistem TNAP juga bermanfaat bagi masyarakat melalui pemanfaatan buahnya,
seperti tanaman kemiri, kedawung, nangka dan petai.
Di kawasan TNMB perlindungan terhadap kawasan dilakukan melalui
kerjasama antara TNMB dan Perkebunan Bandealit yang letaknya berbatasan
langsung dengan kawasan TNMB. Balai TNMB dalam perencanaan program
kegiatan dan implementasinya harus melibatkan masyarakat khususnya dalam
pelaksanaan kegiatan. Perkebunan Bandealit berkontribusi dalam pemberdayaan
masyarakat melalui peningkatan lapangan kerja, selain itu masyarakat diberi
kelonggaran dalam memanfaatkan lahan dibawah tegakan sebagai areal berladang.
Balai TNMB harus meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan di
zona pemanfaatan seperti pemanfaatan biji atau buah. Hal tersebut dilakukan di
zona rehabilitasi dimana masyarakat berkegiatan sebagai pesanggem sekaligus
dapat memanfaatkan buah dari tanaman rehabilitasi tersebut. Untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat dari kegiatan bertani di zona rehabilitasi dan di areal
perkebunan perlu meningkatkan kegiatan advokasi seperti yang dilakukan oleh
LSM KAIL. Kegiatan penyuluhan pada masyarakat dalam prakteknya dapat
dikerjasamakan dengan instansi terkait seperti Dinas Pertanian atau Dinas
Kehutanan untuk meningkatkan pengetahuan dan memotivasi masyarakat dalam
kegiatan bertaninya.
Di TNAP dan TNMB habitat pakan di padang penggembalaan terinvasi oleh
jenis invasif . Luas padang penggembalaan Sadengan TNAP yaitu 80 ha yang
efektif dimanfaatkan oleh banteng hanya 37 ha sisanya terinvasi oleh kirinyuh
(Chromolaena odorata) dan kakacangan (Cassia tora). Di TNMB khususnya di
wilayah Resort Bandealit padang perumputan Pringtali luasnya hanya 5 ha yang
126
efektif dapat dimanfaatkan hanya 1 ha, sisanya terinvasi oleh jenis kirinyuh
(Chromolaena odorata). Sehingga dalam meningkatkan kualitas habitat di kedua
taman nasional tersebut perlu dilakukan pengendalian jenis invasif dan perluasan
habitat pakan khususnya padang penggembalaan sesuai dengan kebutuhan
banteng. Luas TNAP 43.420 ha dan luas TNMB 58.000 ha sedangkan luas habitat
pakan banteng dan satwa herbivora lainnya yang berupa padang perumputan di
kedua taman nasional tersebut tidak sampai 1%.
Jenis-jenis hijauan dan rumput setempat yang disukai banteng perlu
dikembangkan di padang penggembalaan dan habitat pakan lainnya dalam rangka
meningkatkan kualitas dan kuantitas habitat pakan tersebut. Penambahan luas dan
peningkatan kualitas habitat banteng harus sesuai dengan grand design taman
nasional dan kebijakan yang ditetapkan dalam menampung populasi banteng.
Prioritas pilihan bentuk pengelolaan kolaboratif peningkatan kualitas habitat
yaitu instruktif artinya peran taman nasional sangat mendominasi dibanding
stakeholders lainnya. Bentuk pengelolaan secara instruktif tidak banyak
informasi yang saling ditukarkan antara pemerintah dan masyarakat
(stakeholders). Hanya sedikit dialog antar kedua pihak namun dialog yang terjadi
lebih kepada instruksi karena pemerintah lebih dominan peranannya (Sen &
Nielsen 1996, diacu dalam Nikijuluw, 2002). Sebagai pemangku kawasan dan
instansi yang diberi kewenangan dalam konservasi banteng, tanggung jawab
dalam kelestarian banteng ada pada taman nasional, sehingga semua inisiatif
dalam melaksanakan peningkatan kualitas habitat tersebut harus dari taman
nasional dan dikolaborasikan dengan stakeholders.
Kegiatan peningkatan kualitas habitat dimaksudkan untuk menarik kembali
banteng ke dalam kawasan hutan taman nasional. Hal ini menjadi kewenangan
dan tanggung jawab pemerintah khususnya pengelola Balai Taman Nasional
dimana kawasannya merupakan habitat banteng. Dalam pelaksanaan kegiatan
peningkatan kualitas habitat dapat dikolaborasikan dengan Perkebunan Bandealit
(TNMB) dan Perum Perhutani ( TNAP) dengan inisiasi dari BTN.
Peningkatan kualitas habitat selain dilakukan di zona rimba juga dapat
dilakukan pada daerah penyangga seperti di wilayah Perkebunan Bandealit
(TNMB) dimana posisi kawasannya berbatasan langsung dengan TN dan Perum
Perhutani (TNAP), kedua stakeholders tersebut dapat berkontribusi dalam
127
0,5–
0,4–
0,3–
0,2–
0,1–
0,1–
0,2–
0,3–
0,4–
0,5–
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
– – – – – – – – – –
0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 Kekuatan Kelemahan
Peluang
Ancaman
Kuadran 1
Kuadran 2
Kuadran 3
Kuadran 4
pengelolaan banteng di wilayahnya masing-masing. Kontribusi Perum Perhutani
dapat ditingkatkan melalui pembinaan habitat pakan di blok Sumbergedang yang
merupakan wilayah pengelolaannya, sedangkan perkebunan di areal yang
berbatasan dengan TN.
Peningkatan kualitas habitat pakan dapat dilakukan melalui penanaman
jenis hijauan pakan setempat seperti kolonjono, paitan dan grinting khususnya
pada areal yang berbatasan langsung dengan taman nasional. Sehingga banteng
tidak bergerak lebih jauh dan tidak memakan tanaman utama yang dikembangkan
oleh masyarakat karena pakannya sudah tercukupi. Peningkatan kualitas habitat di
kawasan taman nasional dapat dilakukan melalui kegiatan rutin taman nasional.
Implementasi kegiatan melibatkan masyarakat setempat, pelibatan masyarakat
diharapkan dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap banteng.
5.4.3.2 Strategi Implementasi Kegiatan Pengembangan Penangkaran
Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai faktor-faktor strategis didapatkan
nilai IFAS dari kegiatan penangkaran banteng yaitu sebesar 3,50 – 3,10 = 0,40
sedangkan nilai EFAS sebesar 3,40 – 2,90 = 0,50. Nilai IFAS positif berarti
secara kumulatif faktor kekuatan lebih besar dibandingkan faktor kelemahan,
nilai EFAS juga positif berarti secara kumulatif faktor peluang lebih besar
dibanding ancaman. Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS tersebut dibuat Matrik
SPACE seperti Gambar 40.
Gambar 40 Diagram matrik space pengembangan penangkaran
128
Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS diketahui strategi alternatif yang perlu
dilakukan dalam implementasi kegiatan pengembangan penangkaran yaitu strategi
(SO): menggunakan kekuatan (S) untuk memanfaatkan peluang (O). Strategi ini
dapat dilakukan melalui kegiatan:
1) melakukan kerjasama sesuai dengan kewenangan yang ada pada pemangku kawasan untuk mendapatkan dukungan sektor lain dan pemda
2) memanfaatkan potensi SDA zona pemanfaatan , teknologi yang ada serta potensi pasar
3) pengembangkan penangkaran (pemanfaatan semen yang melibatkan lembaga masyarakat
Berdasarkan hasil AHP program kegiatan pengembangan penangkaran di TNAP dan TNMB merupakan prioritas kegiatan kedua setelah peningkatan kualitas habitat, dengan Bentuk/tingkat co-management yang dipilih adalah kooperatif. Strategi melakukan kerjasama sesuai dengan kewenangan yang ada pada pemangku kawasan untuk mendapatkan dukungan sektor lain dan pemda dapat diimplementasikan melalui pemanfaatan semen banteng dengan teknologi inseminasi buatan. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa sebagian besar masyarakat sekitar kawasan taman nasional ± 60% ingin memanfaatkan banteng untuk dikawinkan dengan sapi bali, karena jika masyarakat memelihara banteng secara langsung tidak memungkinkan. Dalam mengimplementasikan strategi ini, harus didukung oleh Balai Taman Nasional sebagai pemangku kawasan dan pemegang otoritas dalam hal pengelolaan banteng. Dukungan dimaksud adalah menyediakan induk jantan banteng sebagai modal dalam pelaksanaan inseminasi buatan. Induk jantan dapat diambil dari banteng yang ada di zona pemanfaatan atau di Perkebunan Bandealit.
Kegiatan pemanfaatan semen banteng didukung oleh teknologi yang telah dikuasai oleh instansi Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) di Kabupaten Malang dan Pemda setempat sesuai dengan lokasi keberadaan taman nasional, yaitu Pemda Jember dan Pemda Banyuwangi. Pelestarian dan pemanfaatan banteng melalui teknologi IB lebih menguntungkan karena sekali ejakulasi, dapat diinseminasikan dengan 400 ekor sapi bali, begitu juga jika dikawinkan dengan banteng lain seperti yang ada di kebun binatang dan taman safari (BBIB 2011). Dengan penerapan teknologi inseminasi buatan, diharapkan populasi banteng tidak punah tetapi sebaliknya dapat dimanfaatkan secara lestari.
129
Pasar bagi semen yang dihasilkan dari induk jantan banteng sudah menunggu seperti wilayah diluar Pulau Jawa banyak yang ingin memanfaatkan semen banteng untuk meningkatkan kualitas sapi bali, selain itu pasar luar negeri khususnya Malaysia juga berminat membeli semen banteng. Alikodra (2011) menyatakan bahwa pemanfaatan kehati berupa genetik banteng melalui IB dengan sapi bali merupakan salah satu bioteknologi yang sangat terbuka bagi pengembangan pemanfaatan kehati yang bermanfaat bagi kegiatan kehidupan manusia dan pembangunan. Pemanfaatan kehati melalui bioteknologi selain bermanfaatan bagi kehidupan manausia juga sekaligus dapat menyelamatkan kekayaan kehati tersebut dari ancaman kepunahan dan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat termasuk sektor pembangunan di luar sektor konservasi alam.
Peningkatan kualitas sapi bali melalui pemanfaatan genetik banteng, bibit sapinya dapat dikerjasamakan dengan pihak perkebunan , pihak perhutani atau Pemda. Saat ini masyarakat sekitar kawasan mempunyai sapi peliharaan, sapi tersebut merupakan milik sendiri atau hanya titipan dengan sistem bagi hasil. Dalam hal ini perkebunan dan perhutani dapat menyediakan bibit dengan cara bagi hasil dengan masyarakat yang belum mempunyai sapi sendiri dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat. Pelaksanaan teknis inseminasi sapi bali masyarakat, dapat dilakukan oleh Dinas Peternakan setempat. Kerjasama dengan masyarakat dapat dilakukan melalui kesepakatan yang dituangkan dalam MOU yang jelas, sederhana dan tidak memberatkan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Balai Taman Nasional dan Ditjen PHKA mempunyai kewenangan dalam pengelolaan banteng harus segera membuat regulasi untuk pemanfaatan genetik banteng, sedangkan untuk advokasi LSM setempat dapat berperan dalam mensukseskan program kegiatan ini.
Pengembangan demplot penangkaran dapat dilakukan di areal perkebunan (TNMB) maupun di areal Perum Perhutani (TNAP) yang habitatnya hampir sama dengan in-situ dan dimanfaatkan oleh banteng karena letaknya yang berbatasan langsung dengan taman nasional. Pengembangan demplot penangkaran dapat ditujukan untuk pelestarian, pemanfaatan semen sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata di kawasan perkebunan maupun perhutani. Dalam pelaksanaannya dapat dikolaborasikan dengan stakeholders lainnya termasuk masyarakat dengan kelembagaannya seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
130
0,5–
0,4–
0,3–
0,2–
0,1–
0,1–
0,2–
0,3–
0,4–
0,5–
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 – – – – – – – – – –
0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 Kekuatan Kelemahan
Peluang
Ancaman
Kuadran 1
Kuadran 2
Kuadran 3
Kuadran 4
Desa (LPMD), dan Gabungan Kelompok Tani. Kelembagaan masyarakat dapat dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan pemanfaatan semen banteng melalui inseminasi buatat (IB) khususnya sapi peliharaan masyarakat sekitar kawasan. Pelaksanaan IB dilakukan oleh Dinas Peternakan setempat dan masyarakat membantu kelancaran pelaksanaannya. Pengambilan semen dan teknologi penyimpananya dilakukan oleh Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB). 5.4.3.3 Strategi Implementasi Kegiatan Pengembangan Ekowisata
Hasil analisis terhadap faktor-faktor diketahui nilai IFAS pengembangan
ekowisata yaitu sebesar 3,0 – 3,40 = - 0,40 sedangkan nilai EFAS sebesar 3,40 – 2,90
= 0,50. Nilai IFAS negatif berarti secara kumulatif faktor kekuatan lebih kecil
dibandingkan faktor kelemahan, nilai EFAS positif berarti secara kumulatif faktor
peluang lebih besar dibanding ancaman. Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS tersebut
dibuat Matrik SPACE seperti Gambar 41
Gambar 41 Diagram matrik space pengembangan ekowisata
Strategi alternatif yang perlu dilakukan dalam implementasi kegiatan
pengembangan ekowisata yaitu strategi (WO): mengatasi kelemahan (W) untuk
memanfaatkan peluang (O). Strategi ini dapat dilakukan melalui kegiatan:
1) meningkatkan koordinasi dan penyamaan persepsi antar stakeholders dan
dukungan sektor lain serta budaya dan kelembagaan masyarakat untuk
pengembangan ekowisata.
131
2) meningkatkan ketersediaan dana dan sapras dengan memanfaatkan
dukungan sektor lain dan potensi pasar.
Program kegiatan pengembangan ekowisata merupakan prioritas kegiatan
ketiga dengan tipe co management pendampingan. Tipe pendampingan yaitu
peran masyarakat cenderung lebih besar dari pemerintah. Masyarakat memberikan
masukan pada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Masyarakat
mengajukan usul rancangan keputusan yang tinggal dilegalisir oleh pemerintah,
kemudian pemerintah mengambil keputusan serta menentukan sikap resminya
berdasarkan usulan atau inisiatif masyarakat. Peran pemerintah lebih bersifat
mendampingi masyarakat atau memberikan advokasi kepada masyarakat tentang apa
yang mereka kerjakan (Nikijuluw 2002).
Strategi dalam mengimplementasikan program kegiatan ekowisata yaitu
meningkatkan koordinasi dan penyamaan persepsi antar stakeholders dan
dukungan sektor lain serta budaya dan kelembagaan masyarakat untuk
pengembangan ekowisata perlu segera dibangun. Koordinasi dan penyamaan
persepsi perlu dibangun karena selama ini koordinasi antar stakeholders
khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan banteng hampir tidak pernah
dilakukan sehingga sering terjadi kesalahpahaman antar stakeholders. Kuswanda
dan Mukhtar (2006) menyatakan bahwa pengelolaan kawasan taman nasional
termasuk pengelolaan jenis belum berjalan dengan baik karena kurangnya
koordinasi, sosialisasi, dan sinkronisasi program antar lembaga/stakeholders
terkait. Koordinasi merupakan orientasi dari co-management, karena merupakan
salah satu hambatan utama dalam konservasi sumberdaya alam (WWF dan DFID
2006). Dari hasil penelitian diketahui persepsi masyarakat rendah masyarakat
mengatakan bahwa banteng tidak bermanfaat, karena banteng dilindungi, dan
masyarakat tidak dapat memanfaatkan banteng. Masyarakat berharap bahwa
banteng dapat dimanfaatkan sebagai obyek ekowisata dan mereka ingin dilibatkan
dalam kegiatan tersebut.
Dari hasil diskusi dengan manajer Perkebunan Bandealit di Jember dan KPH
Banyuwangi diketahui bahwa mereka menginginkan banteng yang menjadikan
kawasan Perum Perhutani (TNAP) dan Perkebunan Bandealit (TNMB) sebagai
132
habitatnya supaya bisa dijadikan obyek ekowisata. Di Perkebunan Bandealit
potensi Ekowisata banteng sangat tinggi, di perkebunan ini selain terdapat
populasi banteng dari TNMB yang jumlahnya lebih dari 60 ekor, juga terdapat
jenis tanaman perkebunan yaitu kopi, vanili, kelapa dan tanaman buah-buahan
berupa sirsak, jambu, belimbing. Konsep wisata di Perkebunan Bandealit dapat
berupa ekowisata banteng yang dipadukan dengan wisata tanaman buah dan
perkebunan (agrowisata) sehingga akan lebih menarik bagi wisatawan. Agrowisata
yang sekarang dilakukan oleh Perkebunan Bandealit belum berjalan secara optimal
sehingga jika dibangun suatu paket wisata dengan ditambah obyek banteng akan
lebih banyak menarik perhatian wisatawan. Jika program kegiatan ini dibangun
masyarakat dapat dilibatkan dalam pemeliharaan tanaman agro khususnya tanaman
buah-buahan seperti yang sudah ada sekarang, bisa sebagai pemandu (guide),
pedagang cenderamata mata dan obat-obatan tradisional hasil produk setempat.
Di Kawasan Perum Perhutani kegiatan ekowisata banteng dapat dilakukan
di blok Sumbergedang. di lokasi tersebut terdapat vegetasi mangrove, padang
rumput dan sumber air yang jika dikelola sebagai obyek wisata akan menarik.
Potensi pasar di lokasi Perum Perhutani (TNAP) dan Perkebunan Bandealit
(TNMB) sangat tinggi karena selain banteng masih banyak obyek wisata lain
seperti wisata pantai dan hutan mangrove yang dapat dijadikan sebagai obyek
ekowisata lanjutan. Strategi dalam meningkatkan ketersediaan dana dan sarpras
dengan memanfaatkan dukungan sektor lain dan potensi pasar, pembangunan
sarana prasarana wisata dapat dikerjasamakan dengan pihak Perkebunan Bandealit
(TNMB) atau Perum Perhutani (TNAP). Karena lokasi Perkebunan Bandealit
merupakan enclave dan berfungsi sebagai zona penyangga sedangkan Perum
Perhutani letaknya berbatasan langsung dengan taman nasional TNAP maka
dalam perencanaan kegiatan sampai implementasinya harus dilibatkan.
Pemerintah Daerah Jember (TNMB) dan Pemerintah Daerah Banyuwangi
(TNAP) melalui dinas pariwisata masing-masing kabupaten dapat berkontribusi
dengan melakukan koordinasi dan sinkronisasi program dengan kegiatan
ekowisata di sektor kehutanan. Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional
Alas Purwo sebagai pemegang mandat dalam pengelolaan banteng di wilayahnya
masing-masing harus memberikan pemahaman terhadap stakeholders lainnya
133
mengenai persyaratan pembangunan sarana prasarana dalam pengembangan
ekowisata, supaya SDA yang ada tetap lestari.
Dalam program ekowisata pihak LSM KAIL dan pemerintah dapat berperan
sebagai pendamping. LSM KAIL dapat berperan dalam memberdayakan
masyarakat dan meningkatkan pengetahuan tentang ekowisata khususnya
pengetahuan mengenai obyek wisata , peningkatan keterampilan melalui
pelatihan sebagai pemandu, membuat cendera mata dan makanan khas setempat.
Selain itu membangun sikap masyarakat dalam keterlibatannya untuk berperan
aktif dalam pengembangan ekowisata, sehingga secara tidak langsung masyarakat
dituntut untuk mengangkat nilai-nilai budaya setempat yang berpotensi seperti
membuat obat-obat tradisional , pola bertani dan kesenian. Selama ini keterlibatan
masyarakat lokal dalam kegiatan ekowisata di TN hanya terbatas sebagai
penyedia jasa akomodasi, jasa transportasi dan jasa perdagangan yang hasilnya
belum optimal. Ekowisata merupakan model pembangunan wilayah yang
menempatkan parawisata sebagai alat pengelolaan sumberdaya alam dengan
tujuan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal (Sekartjakrarini 2003). untuk
mencapai tujuan ini harus melibatkan masyarakat lokal secara aktif (Fennel
1999).
Dalam program kegiatan ekowisata taman nasional harus berkontribusi
dalam penerbitan regulasi dan memberi ijin dalam pengembangan ekowisata
yang dilakukan oleh Perkebunan Bandealit atau Perum Perhutani. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa Perkebunan Bandealit maupun Perum Perhutani
berminat dalam pengembangan ekowisata khususnya ekowisata banteng yang
dipadukan dengan agrowisata, karena secara the facto banteng tersebut hidup di
kawasan Perkebunan Bandealit (TNMB) ataupun di kawasan Perum Perhutani
(TNAP). Namun demikian pemerintah dalam hal ini taman nasional harus
melakukan pendampingan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
sebagai kontrol dalam kegiatan ekowisata. Hal ini dimaksudkan untuk
keberlangsungan SDA yang dikelolanya. Alikodra (2011) menyatakan bahwa
tujuan pembangunan ekowisata bagi perbaikan sosial ekonomi masyarakat masih
banyak kendala. Penduduk setempat akan menjadi musuh terburuk kawasan-
kawasan yang dikonservasi untuk tujuan ekowisata jika mereka tidak memperoleh
134
0,5–
0,4–
0,3–
0,2–
0,1–
0,1–
0,2–
0,3–
0,4–
0,5–
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
– – – – – – – – – –
0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 Kekuatan Kelemahan
Peluang
Ancaman
Kuadran 1
Kuadran 2
Kuadran 3
Kuadran 4
nafkah dari sana. Jumlah pengunjung yang banyak belum tentu memberikan
kontribusi positif. Untuk itu dalam pengembangannya harus dipersiapkan secara
matang dan terintegrasi dengan pembangunan wilayah dan mempertimbangkan
daya dukung kawasan dan perilaku manusianya. Selanjutnya dinyatakan bahwa
upayanya adalah agar masyarakat setempat merasakan dampaknya yang positip
bagi sosial dan ekonomi mereka.
5.4.3.4 Strategi Implementasi Kegiatan Pengembangan Tanaman Obat dan Buah
Hasil analisis terhadap faktor-faktor strategis diketahui nilai IFAS dari
kegiatan pengembangan tanaman obat dan buah yaitu sebesar 3,30 – 3,00 =
0,30 sedangkan nilai EFAS sebesar 3,20 – 3,00 = 0,20. Nilai IFAS positif berarti
secara kumulatif faktor kekuatan lebih besar dibandingkan faktor kelemahan,
nilai EFAS positif berarti secara kumulatif faktor peluang lebih besar dibanding
ancaman. Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS tersebut dibuat Matrik SPACE
seperti Gambar 42.
Gambar 42 Diagram matrik space pengembangan tanaman obat dan buah
Strategi alternatif yang perlu dilakukan dalam implementasi kegiatan
pengembangan tanaman obat dan buah yaitu strategi (SO): menggunakan
kekuatan (S) untuk memanfaatkan peluang (O). Strategi ini dapat dilakukan
melalui kegiatan :
135
1) pengembangan pemanfaatan SDA yang ada dan didukung oleh pasar,
budaya, kelembagaan masyarakat serta dukungan sektor lain di zona
pemanfaatan
2) kerjasama dengan sektor lain untuk pengembangan tanaman obat dan buah
melalui teknologi dan SDM yang ada
3) Diversifikasi tanaman agroforestry dengan tanaman obat dan buah yang
potensial
Program kegiatan pengembangan tanaman obat dan buah merupakan
prioritas kegiatan keempat dengan tipe co-management yang dipilih yaitu
kooperatif. Budidaya tanaman obat-obatan dan buah-buahan sudah cukup lama
dilakukan oleh masyarakat sekitar TNAP dan TNMB khususnya di zona
rehabilitasi (TNMB) dan di zona bekas penyangga (TNAP) dengan pendampingan
oleh LSM LATIN dan sekarang diteruskan oleh LSM KAIL. Di TNMB
pembangunan demplot penelitian tumbuhan tanaman obat sudah dimulai sejak
tahun 1993 di zona rehabilitasi dan perkembangannya dalam skala yang lebih luas
telah melibatkan masyarakat secara aktif dalam kegiatan tersebut (Suharti 2004).
Pada tahun 2010 luasan yang dikelola oleh masyarakat di zona rehabilitasi sudah
mencapai 2.500 ha (KAIL Maret 2010, komunikasi pribadi), sedangkan di TNAP
tanaman obat dan buah seperti nangka, petai, kemiri dan kedawung, demplot
pengembangannya di zona bekas penyangga dan sejak tahun 2010 arealnya sudah
dikembalikan ke pihak TNAP. Masyarakat masih mengharapkan dapat tetap
mengelola areal bekas penyangga tersebut.Tanaman yang dikembangkan di kedua
taman nasional diantaranya yaitu petai (Parkia speciosa), kedawung (Parkia
timoriana) dan kemiri (Aleurites mollucana) sedangkan tanaman buah-buahan yang
sudah menghasilkan secara ekonomi yaitu nangka (Artocarpus heterophylluss
Lamk), durian (Durio zibethinus Rumph ex Murray) dan pisang (Musa
paradisiaca).
Strategi pemanfaatan SDA yang didukung oleh pasar, budaya dan
kelembagaan masyarakat serta dukungan sektor lain sebenarnya sudah mulai
dilakukan khususnya di TNMB tetapi belum optimal. Hasil dari tanaman obat dan
buah sudah dipasarkan tetapi karena produknya tidak didukung oleh industri yang
memadai, nilai ekonomi dari tanaman obat dan buah belum sesuai dengan yang
136
diharapkan. Tanaman obat seperti kunyit (Curcuma longa L.) dan jahe (Zingiber
officinale L.) hasilnya sudah dapat dinikmati walaupun belum optimal, pertahun
menghasilkan Rp. 500.000,-. Hasil dari tanaman obat dan buah tersebut dapat
menambah penghasilan masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi.
Masyarakat sangat tergantung dan berharap supaya tetap dapat mengambil
dan memanfaatkan hasil dari tanaman di zona rehabilitasi. Pihak taman nasional
sebagai pemegang otoritas dalam pengelolaan kawasan harus melibatkan
masyarakat dalam mengelola zona rehabilitasi untuk pengembangan tanaman obat
dan buah. Dalam mengoptimalkan hasil dari tanaman obat dan buah yang
dikembangkan, keterlibatan taman nasional dan LSM KAIL diharapkan dapat
membantu masyarakat melalui latihan-latihan untuk meningkatan sumberdaya
manusia petani pesanggem dalam intensifikasi budidaya pertaniannya serta
pengolahan dan pemasaran hasil panen. LSM KAIL berkontribusi dalam
penyediaan alat pengolahan hasil panen sehingga produk yang dihasilkan dari
tanaman obat dan buah lebih dapat bersaing dengan produk dari industri besar, dan
hasil dari kegiatan tersebut dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara
optimal dan ekosistem taman nasional tetap terjaga. Kontribusi dari lahan
agroforestri dapat memenuhi lebih dari 60% kebutuhan rumah tangga petani.
Peningkatan pendapatan ini sangat berarti bagi masyarakat dan diperoleh karena
mereka telah mempunyai akses pengelolaan terhadap kawasan TNMB (KAIL
Maret 2010, komunikasi pribadi).
Selama ini masyarakat masih merasa kesulitan dalam pemasaran hasil
tanamannya sebagai contoh jika musim panen nangka, harga jualnya rendah
sehingga masyarakat mengharapkan ada diversivikasi dari hasil panen mereka
seperti nangka yang bisa diolah jadi kripik sehingga harga jualnya bisa meningkat.
Selain itu pengolahan pasca panen dari tanaman obat yang dihasilkan belum
optimal, sehingga perlu dilakukan peningkatan melalui penerapan teknologi yang
dapat meningkatkan nilai jual.
Pengembangan tanaman obat harus didukung oleh kemampuan dan
pengetahuan bioprospeksinya sehingga dapat mempunyai nilai manfaat yang
optimal secara ekonomi dan ekologi. Bioprospeksi adalah amanat penting bagi
terselenggaranya konservasi kehati. Melalui program bioprospeksi, yang mampu
137
mengungkap kegunaan, mendapatkan bahan-bahan kimia ataupun individu-indivdu
baru sangat berguna bagi dasar-dasar pengetahuan untuk mengimplementasikan
konservasi (Alikodra 2011). Dalam meningkatkan pengetahuan bioprospeksi
tersebut diharapkan sektor lain yang terkait dengan kegiatan ini seperti industri
jamu, Dinas Perindustrian dapat berkontribusi dalam kegiatan ini. Kontribusi dapat
melalui alih teknologi dari industri jamu kepada masyarakat pengembang tanaman
obat dan buah serta Dinas Perindustrian dapat berkontribusi dalam peningkatan
SDM petani dan perluasan pemasarannya.
Pengembangan tanaman obat dan buah jika dilakukan di areal perkebunan
maupun perhutani dapat meningkatkan produktivitas lahannya, dan sekaligus
meningkatkan fungsi sosial untuk masyarakat setempat dari pengelolaan kebun dan
lahannya tersebut. Struktur vegetasi yang dikembangkan dalam zona rehabilitasi
(TNMB) dan zona bekas penyangga (TNAP) harus sesuai dengan pengembangan
habitat banteng, vegetasi yang dikembangkan harus berfungsi sebagai cover,
karena habitat banteng merupakan komponen yang penting dalam ekosistem taman
nasional TNAP dan TNMB.
5.4.4 Organisasi Pengelolaan TNAP dan TNMB dan Lembaga Pendukung
Pengelolaan kawasan konservasi berada di bawah Kementerian Kehutanan,
khususnya di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Dasar hukum pengelolaan kawasan konservasi menggunakan UU no 5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) yang
pengelolaannya dijabarkan dalam PP No. 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), taman
nasional masuk dalam KPA. Struktur organisasi dan tata kerja Balai Taman
Nasional didasarkan pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007
tanggal 1 Pebruari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana teknis
Taman Nasional. Balai Taman Nasiona secara organisasi pengelolaannya dipimpin
oleh seorang Kepala Balai setingkat eselon III dan pelaksanaan tugasnya dibantu
oleh satu Kasubbag Tata Usaha dan dua atau tiga Kepala Seksi setingkat eselon IV.
Dalam kaitannya dengan terjadinya konflik antara satwaliar dan masyarakat
pemerintah telah mengeluarkan Permenhut No. P.48/Menhut-II/2008 Tentang
138
Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwaliar. Maksud
disusunnya penangulangan konflik satwaliar dan manusia untuk memberikan
arahan pelaksanaan kegiatan penanggulangan konflik satwaliar dan manusia.
Sedangkan tujuannya agar semua kegiatan penanggulangan konflik satwaliar
dengan manusia dapat dilaksanakan dengan tepat, cepat, efektif dan efisien.
Gambar 43 Organisasi dan Tata Kerja UPT TNAP dan TNMB
STRUKTUR ORGANISASI BTNAP
Kepala Balai
KSBTU
Kelompok Pejabat Fungsional
KSPTN Wilayah II Muncar
Resort Kuncur
Resort Sembulungan
Resort Tanjung Pasir
KSPTN Wilayah I Tegaldlimo
Resort Rowobendo
Resort Grajagan
Resort Pancur
STRUKTUR ORGANISASI BTNMB
Kepala Balai
KSBTU
Kelompok Pejabat Fungsional
KSPTN Wilayah Sarongan
Resort Karangtambak
KSPTN Wilayah III Kalibaru
Resort Rajegwesi
Resort Sukamande
Resort Bamban
Resort Malangsari
Resort Sumberpacet
KSPTN Wilayah II Ambulu
Resort Bandealit
Resort Angdongrejo
Resort Sanenrejo
139
Dalam pelaksanaan pengelolaan banteng ternyata BTN dengan organisasinya
tidak dapat bekerja secara optimal karena BTN tidak hanya mengelola banteng saja
tetapi kawasan secara keseluruhan. Sumberdaya manusia (SDM) di KSPTN Wilayah
II Ambulu TNMB perlu mendapat prioritas untuk ditingkatkan secara kualitas dan
kuantitas karena pada lokasi tersebut sering terjadi konflik banteng dibanding KSPTN
Sarongan dan KSPTN Kalibaru, sedangkan di TNAP hanya KSPTN Wilayah I
Tegaldlimo yang perlu ditingkatkan SDM nya terutama yang berhubungan dengan
pengelolaan banteng karena keberadaan banteng sebagian besar hanya ada di
wilayah tersebut.
Dalam rangka pengelolaan banteng secara optimal dan dapat meminimalisir
terjadinya konflik kepentingan, BTN perlu didukung dan berkolaborasi dengan
instansi atau lembaga lain. Dari hasil penelitian teridentifikasi bahwa di TNMB dan
TNAP stakeholders yang dapat berkontribusi dalam pengelolaan banteng selain
Perum Perhutani, Perkebunan Bandealit serta masyarakat sekitar kawasan dan LSM
yang ikut dalam mengadvokasi masyarakat sekitar kawasan, ada lembaga lain yang
berpotensi dalam pengelolaan taman nasional khususnya banteng yang perlu
dilibatkan.
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan lembaga lain yang tidak
terkait secara langsung , diketahui beberapa lembaga yang mempunyai peluang untuk
berkonstribusi dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng di TNAP dan
TNMB. Stakeholders tersebut yaitu Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) yang
lokasinya di Kabupaten Malang serta Dinas Peternakan Kabupaten Banyuwangi dan
Kabupaten Jember. Instansi tersebut dapat berkonstribusi dalam mendukung
kelestarian banteng khususnya dalam kegiatan peningkatan penangkaran banteng
melalui pemanfaatan plasma nutfah banteng berupa semennya untuk dikawinkan
dengan sapi bali yang ada pada masyarakat sekitar kawasan serta tidak menutup
kemungkinan untuk daerah lainnya. Balai Besar Inseminasi Buatan dapat melakukan
pengambilan semen banteng dari kawasan TNAP atau TNMB. Balai Besar
Inseminasi Buatan mempunyai SDM dan teknologi yang cukup dalam melakukan
kegiatan pengembangan penangkaran banteng.
140
Dari hasil analisis stakeholders selain dapat memetakan kepentingan dan
pengaruh stakeholders terkait konflik juga dapat mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan serta peluang – peluang dari masing-masing stakeholders kunci . Dari
hasil wawancara dan diskusi dengan stakeholders pendukung yang tidak terkait
konflik dapat diketahui peranannya dalam co-management konservasi banteng.
Stakeholders inti dan stakeholders pendukung serta potensinya dalam pengelolaan
kolaboratif konflik konservasi banteng disajikan dalam Lampiran 12.
5.4.5 Pengembangan Co-management dalam Konservasi Banteng
Co-management didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian
wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dan stakeholders dalam
mengelola suatu sumberdaya. Co-management terdiri dari beberapa tingkat/tipe
kemitraan serta derajat pembagian wewenang dan tanggung jawab antara
pemerintah dan stakeholders (Sen and Nielsen 1996 diacu dalam Njaya 2007).
Berdasarkan derajat wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki, maka
terbentuk rentang hirarki co-management, mulai dari bentuk dimana pemerintah
hanya memberi tahukan atau menginformasikan kepada masyarakat atau
stakeholders sebelum suatu peraturan pengelolaan sumberdaya dirumuskan dan
dijalankan hingga tingkat/tipe co-management dimana masyarakat merancang,
mengimplementasikan, dan menegakkan hukum dan peraturan tentang
pengelolaan sumberdaya dan pemerintah perannya hanya membantu (Nikijuluw
2002; Borrini-Feyerabend 1996).
Tingkat/tipe co-management mulai dari yang terendah sampai yang
tertinggi wewenang dan tanggung jawab dari stakeholders yaitu : 1) Tingkat co-
management instruktif dimana ada sedikit pertukaran informasi antara pemerintah
dan stakeholders, 2) Tingkat konsultatif ada mekanisme pemerintah untuk
mengkonsultasikan program dan kegiatan dengan stakeholders, tetapi keputusan
tetap berada di pemerintah, 3) Tingkat kooperatif adalah bentuk pola kemitraan
yang sesungguhnya dimana pemerintah dan stakeholders bekerjasama sebagai
mitra yang setara dalam pengambilan keputusan, 4) Tingkat advokasi
(pendampingan) yaitu stakeholders memberi saran atau usul kepada pemerintah
atas keputusan yang akan diambil dan pemerintah dapat menerimanya, dan 5)
141
Tingkat informatif dimana pemerintah telah memberikan wewenang dan tanggung
jawabnya kepada stakeholders dalam pengambilan keputusan (Nikijuluw 2002;
Suporahardjo 2005; Sen and Nielsen 1996 diacu dalam Njaya 2007).
Bila suatu wewenang dan tanggung jawab stakeholders atau masyarakat
rendah pada suatu tingkat co-management maka tanggung jawab dan wewenang
pemerintah akan tinggi. Sebaliknya bila tanggung jawab dan wewenang
stakeholders tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah menjadi
rendah (Nikijuluw 2002). Berdasarkan definisi dan tahapan dalam co-
management dapat ditentukan suatu karakteristik dari masing-masing
tingkat/tipe co-management. Karakteristik serta peran pemerintah dan
stakeholders dalam lima tingkat atau tipe co-management konservasi banteng
disajikan dalam Tabel 21.
Tabel 21 Karakteristik, peran pemerintah dan stakeholders dalam lima tingkat co-management konservasi banteng
Tingkat Kolaboratif Karakteristik Peran pemerintah Peran stakeholders
Instruktif - Ada pemberitahuan dari pemerintah tentang pengelolaan kawasan konservasi atau pentingnya konservasi banteng
- Pemerintah mendominasi kepentingannya
- Pengambilan keputusan di tangan pemerintah
- Sumber informasi tentang konservasi
- Pengelola kawasan konservasi
- Decision maker (pengambil keputusan) terkait pengelolaan kawasan konservasi atau konservasi banteng
- Sebagai obyek penerima manfaat konservasi banteng
- Seringkali diposisikan sebagai penghalang terhadap kebijakan pengelolaan kawasan konservasi (belum ada kepercayaan)
- Tidak ada peran yang signifikan dalam konteks kegiatan konservasi
konsultatif 1. Ada konsultasi pemerintah kepada stakeholders terkait pengelolaan kawasan konservasi /konservasi banteng
2. Sudah ada kesediaan stakeholders untuk berpartisipasi
3. Pemerintah masih mendominasi dalam kepentingannya
4. Pengambilan keputusan di tangan pemerintah
- Sumber informasi tentang konservasi banteng
- Pengelola kawasan dan populasi banteng
- Decision maker (pengambil keputusan) terkait pengelolaan kawasan konservasi atau konservasi banteng
- Sebagai obyek pelaksana konservasi
- Masih diposisikan sebagai penghalang pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi (belum ada /kepercayaan)
- Belum ada peran yang signifikan dalam konteks kegiatan konservasi banteng
- Sudah ada kesediaan stakeholders untuk berpartisipasi
142
Tabel 21 Lanjutan-1 Tingkat
Kolaboratif Karakteristik Peran pemerintah Peran stakeholders
Kooperatif - Pemerintah tidak mendominasi kepentingannya
- Pengambilan keputusan dalam konservasi banteng dilakukan secara bersama antara pemerintah dan stakeholders
- Sudah ada kesetaraan antara pemerintah dan stakeholders dalam pengambilan keputusan konservasi banteng
- Ada proses negosiasi dalam konservasi banteng
- Ada konsensus yang dihasilkan dari proses negosiasi
- Ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang seimbang antara pemerintah dan stakeholders
- Berbagi informasi tentang konservasi kawasan dan konservasi banteng dengan stakeholders
- Melakukan negosiasi dan konsensus dengan stakeholders dan berbagi kontribusi dalam pengelolaan kawasan dan konservasi banteng
- Berbagi kewenangan dan tanggung jawab secara seimbang
- Mengambil keputusan terkait pengelolaan kawasan konservasi dan konservasi banteng secara bersama-sama dengan stakeholders
- Berpartisipasi secara penuh dalam pengambilan keputusan konservasi banteng
- Sebagai mitra yang sejajar dalam pengelolaan konservasi banteng
- Berbagi informasi dengan pemerintah tentang konservasi kawasan dan konservasi banteng
- Melakukan negosiasi dan konsensus dengan pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program pengelolaan kawasan konservasi dan /konservasi banteng
- Berbagi kewenangan dan tanggung jawab secara seimbang
- Mengambil keputusan terkait konservasi banteng secara bersama-sama dengan pemerintah
Advokasi 1. Saran/usulan dalam pengambilan keputusan konservasi banteng lebih didominasi oleh Stakeholders
2. Inisiasi, ide, inovasi perencanan dan program/kegiatan konservasi banteng berasal dari stakeholders
3. Pertimbangan pengambilan keputusan oleh pemerintah berdasarkan usulan dari stakeholders
4. Pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar dari pemerintah kepada stakeholders
- Mempertimbangkan dan melegalisasi saran/usulan dari stakeholders
- Bertindak sebagai pendamping bagi stakeholders dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan konservasi banteng
- Membuat usulan yang penting dalam pengambilan keputusan pengelolaan konservasi banteng kepada pemerintah
- Bertanggung jawab pada saran/usulannya yang sudah dilegalisasi oleh pemerintah
- Melaksanakan program kegiatan dan melaporkan hasil kegiatannya kepada pemerintah
143
Tabel 21 Lanjutan-2 Tingkat
Kolaboratif Karakteristik Peran pemerintah Peran stakeholders
Informatif 1. Ada usul , ide, inovasi, dalam pengambilan keputusan mulai dari perencanaan sampai implementasi di inisiasi oleh stakeholders
2. Ada pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab cukup besar dari pemerintah kepada stakeholders dalam konservasi banteng (transfer otoritas dan tanggung jawab secara formal)
3. Pemerintah menempatkan representasinya untuk membantu stakeholders
4. Pengambilan keputusan konservasi banteng dilakukan oleh stakeholders
- Memberikan /mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab kepada stakeholders
- Pemerintah menempatkan representasinya untuk membantu stakeholders terutama dalam hal aturan main dalam konservasi bantneg
- Melakukan monitoring dan evaluasi
- Membuat keputusan mulai dari perencanaan sampai implementasi dalam kegiatan pengelolaan konservasi banteng
- Memberitahukan kepada pemerintah tentang keputusan yang diambil mulai dari perencanaan sampai implementasi
- Bertanggung jawab pada keputusan yang diambil dan dalam pelaksanaan kegiatan serta melaporkan program kegiatan dan implementasinya kepada pemerintah
Berdasarkan hasil penelitian dari aspek ekologi , sosial , ekonomi, dan
hasil analisis stakeholders, AHP dan SWOT didapatkan bahwa ada empat
program kegiatan utama yang dapat dilakukan secara kolaboratif dalam
menyelesaikan konflik banteng dengan masyarakat di TNAP dan TNMB. Empat
program kegiatan dimaksud yaitu : 1) peningkatan kualitas habitat padang
penggembalaan, 2) pengembangan penangkaran banteng, 3) pengembangan
ekowisata banteng dan 4) pengembangan tanaman obat dan buah.
Hasil penelitian yang terkait dengan ekologi banteng dimaksud dapat
dilihat pada (Tabel 7 dan 8), kondisi sosial ekonomi masyarakat (Tabel 16 dan 17)
yang telah dibahas sebelumnya. Dari program kegiatan yang telah dilaksanakan
pihak taman nasional yang diuji dengan karakteristik co-management (Tabel 21)
diketahui posisi tingkat/tipe co-management faktual dan harapan di TNAP dan
TNMB. Hasil identifikasi posisi tingkat/tipe co-management, argumentasi,
program kegiatan, upaya dan kendala dalam pencapaian dan prediksi waktu yang
dibutuhkan masing-masing kegiatan dalam konservasi banteng disajikan pada
Tabel 22.
144
Tabe
l 22
Kon
disi
fakt
ual d
an h
arap
an ti
ngka
t co-
man
agem
ent
prog
ram
keg
iata
n ko
nser
vasi
ban
teng
Ben
tuk
kegi
atan
Ti
ngka
t ko
labo
rasi
Arg
umen
tasi
/just
ifika
si
Prog
ram
/keg
iata
n/up
aya/
tahu
n pe
ncap
aian
K
enda
la
Peni
ngka
tan
Kua
litas
Hab
itat (
Pada
ng P
engg
emba
laan
)
fakt
ual
kons
ulta
tif
- Su
dah
ada
kon
sulta
si d
enga
n sta
keho
lder
s (P
erum
Per
huta
ni d
an
Perk
ebun
an) d
an a
da k
eter
sedi
aan
dari
mas
yara
kat u
ntuk
ber
parti
sipa
si d
alam
ke
giat
an p
embi
naan
pad
ang
peng
gem
bala
an
- M
asya
raka
t dip
eker
jaka
n da
lam
m
embe
rant
as ta
nam
an je
nis i
nvas
if ,
men
anam
dan
mem
elih
ara
rum
put s
erta
m
embu
at p
erco
baan
pem
bera
ntas
an
jeni
s inv
asif
-
Sem
ua k
eput
usan
dal
am p
elak
sana
an
pe
ngel
olaa
n pa
dang
pen
ggem
bala
an a
da
pada
TN
- Te
lah
ada
prog
ram
pe
rlind
unga
n da
n ko
nser
vasi
sum
berd
aya
alam
hay
ati d
i TN
-
Foku
s keg
iata
n pa
da
peng
elol
aan
kean
ekar
agam
an h
ayat
i dan
ek
osis
tem
nya
atau
pe
mel
ihar
aan
habi
tat s
ecar
a um
um ti
dak
hany
a ha
bita
t ba
nten
g se
hing
ga d
ana
terb
agi u
ntuk
beb
erap
a ke
giat
an
- M
inat
unt
uk b
eker
ja
sam
a m
asih
per
lu
ditin
gkat
kan
kare
na
kura
ngny
a so
sial
isas
i da
ri TN
kep
ada
stak
ehol
ders
-
Pers
epsi
m
asya
raka
t/sta
keho
lde
rs te
rhad
ap b
ante
ng
mas
ih re
ndah
-
Dan
a pe
laks
anaa
n ke
giat
an te
rbat
as
H
arap
an
koop
erat
if -
Dap
at d
ilaku
kan
seca
ra k
oope
ratif
ata
u di
kerja
sam
akan
den
gan
perk
ebun
an d
an
peru
m p
erhu
tani
-
Min
at u
ntuk
bek
erja
sam
a da
ri sta
keho
lder
s sud
ah a
da ta
pi m
asih
re
ndah
kar
ena
TN k
uran
g ak
tif d
alam
m
engi
nisi
asi
- K
erja
sam
a da
pat b
erup
a sh
arin
g da
na
dari
Perh
utan
i ata
u Pe
rkeb
unan
den
gan
mel
ibat
kan
piha
k ke
tiga
-
Tekn
is p
enge
lola
an p
adan
g pe
ngge
mba
laan
teta
p ad
a pa
da T
N
kare
na p
adan
g pe
ngge
mba
bala
an b
erad
a pa
da z
ona
rimba
- Pr
ogra
m k
egia
tan
peny
uluh
an, s
osia
lisas
i pe
ratu
ran
dan
man
faat
ko
nser
vasi
ban
teng
, p
erlu
di
tingk
atka
n un
tuk
men
ingk
atka
n pe
rsep
si
stak
ehol
ders
terh
adap
ba
nten
g
- K
oord
inas
i dan
kol
abor
asi
deng
an P
erhu
tani
dan
Pe
rkeb
unan
per
lu
ditin
gkat
kan
- Pe
rmen
hut P
.19/
Men
hut-
II/2
004
dapa
t dija
dika
n la
ndas
an k
olab
oras
i dal
am
pem
bina
an h
abita
t dan
po
pula
si
- So
sial
isas
i ten
tang
ko
nser
vasi
dan
m
anfa
at b
ante
ng
sang
at m
inim
-
Kur
angn
ya
kons
ulta
si, k
oord
inas
i se
rta so
sial
isas
i ke
bija
kan
kons
erva
si
bant
eng
yang
di
laku
kan
TN
- In
isia
si T
N d
alam
m
enga
jak
stake
hold
ers u
ntuk
be
kerja
sam
a m
asih
re
ndah
Pemerintah
Stak
ehol
der
Exsi
stin
gH
arap
an
Instruktif Kon
sulta
tif Ko
operatif
Adv
okas
iInform
atif
Fakt
ual
144
145
Ta
bel 2
2 La
njut
an-1
Ben
tuk
kegi
atan
Ti
ngka
t ko
labo
rasi
Arg
umen
tasi
/just
ifika
si
Prog
ram
/keg
iata
n/up
aya/
tahu
n pe
ncap
aian
K
enda
la
- Pe
rum
Per
huta
ni se
baga
i BU
MN
K
emen
hut d
apat
m
endu
kung
keg
iata
n pe
mbi
naan
hab
itat d
alam
kaw
asan
TN
da
n ko
nser
vasi
ban
teng
, seh
ingg
a ba
nten
g tid
ak k
elua
r dan
tana
man
di
huta
n pr
oduk
siny
a tid
ak d
igan
ggu
bant
eng
-
Perk
ebun
an B
ande
alit
yang
are
alny
a be
rbat
asan
lang
sung
den
gan
kaw
asan
TN
dap
at b
erko
ntrib
usi d
alam
pe
ngel
olaa
n ha
bita
t di k
awas
an T
N
sehi
ngga
pak
an d
i dal
am k
awas
an
men
cuku
pi d
an b
ante
ng ti
dak
m
engg
angg
u ta
nam
an p
erke
buna
n
- M
asya
raka
t sek
itar k
awas
an d
iliba
tkan
da
lam
pel
aksa
naan
keg
iata
n te
knis
pe
mel
ihar
aan
tum
buha
n su
mbe
r pak
an
bant
eng
di la
pang
an
- Pr
edik
si w
aktu
yan
g di
butu
hkan
dar
i tin
gkat
ko
nsul
tatif
ke
koop
erat
if m
embu
tuhk
an w
aktu
dua
ta
hun
(koo
rdin
asi,
mem
bang
un n
egos
iasi
dan
ke
sepa
kata
n, p
ersi
apan
da
lam
kon
tribu
si d
ana,
SD
M, d
an te
knol
ogi)
- Pr
ogra
m k
egia
tan
pem
bina
an p
adan
g pe
ngge
mba
laan
ban
teng
m
embu
tuhk
an w
aktu
em
pat
tahu
n ya
ng d
ilaku
kan
seca
ra
berk
ala
mel
alui
: -
(1) p
embe
rant
asan
jeni
s in
vasi
f dila
kuka
n se
lam
a sa
tu ta
hun
(2) p
enan
aman
je
nis-
jeni
s rum
put u
nggu
l da
n di
suka
i ban
teng
sela
ma
satu
tahu
n (3
) per
luas
an
pada
ng p
engg
emba
laan
dan
pe
nana
man
rum
put p
ada
loka
si p
erlu
asan
m
emer
luka
n w
aktu
sela
ma
du
a ta
hun
- K
egia
tan
akan
ber
jala
n se
suai
renc
ana
jika
dana
te
rsed
ia, n
egos
iasi
dan
ke
sepa
kata
n su
dah
terb
angu
n
- In
isia
si T
N d
alam
m
enga
jak
stake
hold
ers u
ntuk
be
kerja
sam
a m
asih
re
ndah
-
Ting
giny
a ke
cepa
tan
tum
buh
jeni
s inv
asif
yang
men
urun
kan
kual
itas h
abita
t dan
da
ya d
ukun
g
145
146
Tabe
l 22
Lanj
utan
-2 Ben
tuk
kegi
atan
Ti
ngka
t ko
labo
rasi
Arg
umen
tasi
/just
ifika
si
Prog
ram
/keg
iata
n/up
aya/
tahu
n pe
ncap
aian
K
enda
la
Peng
emba
ngan
pen
angk
aran
ban
teng
(Pem
anfa
atan
gen
etik
ban
teng
) Fa
ktua
l In
stru
ktif
- B
ante
ng sa
twa
dilin
dung
i (P
P no
7
tahu
n 19
99)
- Pe
rlind
unga
n te
rhad
ap b
ante
ng y
ang
ada
dala
m k
awas
an T
N m
erup
akan
ta
nggu
ng ja
wab
pem
erin
tah
(TN
) -
Di T
N a
da k
egia
tan
pem
inja
man
ba
nten
g ke
pada
TSI
unt
uk
dike
mba
ngka
n ya
ng m
enga
rah
pada
ke
giat
an p
eman
faat
an p
lasm
a nu
tfah
bant
eng
- B
elum
dib
angu
n ko
nsul
tasi
, par
tisip
asi ,
ne
gosi
asi d
an k
esep
akat
an d
alam
ke
giat
an p
eman
faat
an su
mbe
r day
a ge
netik
ban
teng
den
gan
mas
yara
kat
- Pr
ogra
m p
erlin
dung
an d
an
kons
erva
si su
mbe
rday
a d
i TN
khu
sus u
ntuk
ban
teng
ha
nya
seba
tas p
ada
kegi
atan
in
vent
aris
asi p
opul
asi
dan
pem
elih
araa
n pa
dang
pe
ngge
mba
laan
teta
pi ti
dak
tera
tur (
kont
inue
)
- B
elum
dib
angu
n ke
lem
baga
an k
husu
s -
Bel
um a
da k
oord
inas
i de
ngan
stak
ehol
ders
-
Bel
um a
da p
rogr
am
kegi
atan
pen
angk
aran
ya
ng m
enga
rah
pada
pe
man
faat
an g
enet
ik
bant
eng
untu
k m
asya
raka
t -
Ket
erba
tasa
n da
na
H
arap
an
Info
rmat
if -
Ban
teng
has
il pe
nang
kara
n da
pat
dim
anfa
atka
n (P
P no
8 ta
hun
1999
) -
Ada
nya
bebe
rapa
inst
ansi
pem
erin
tah
yang
mau
ber
koor
dina
si d
an
beke
rjasa
ma
(BB
IB, D
inas
Pet
erna
kan)
-
Tekn
olog
i pen
gam
bila
n da
n pe
man
faat
an se
men
suda
h ad
a di
BB
IB
- Pr
ogra
m IB
sap
i Bal
i mas
yara
kat s
udah
ad
a da
n di
laks
anak
an o
leh
Din
as
Pete
rnak
an
- K
emun
gkin
an u
ntuk
dik
erja
sam
akan
de
ngan
pih
ak sw
asta
terb
uka.
-
Perm
enhu
t Nom
or P
.19/
Men
hut-I
I/200
4 te
ntan
g K
olab
oras
i Pen
gelo
laan
K
awas
an S
uaka
Ala
m d
an K
awas
an
Pele
star
ian
Ala
m
- Te
lah
ada
prog
ram
pe
man
faat
an h
ewan
dilu
ar
tern
ak d
ari B
BIB
K
emen
teria
n Pe
rtani
an
- Pr
edik
si w
aktu
yan
g di
butu
hkan
dal
am
peng
emba
ngan
pen
angk
aran
da
ri tin
gkat
inst
rukt
if ke
ko
oper
atif
dan
advo
kasi
m
embu
tuhk
an w
aktu
tiga
ta
hun
sela
njut
nya
sam
pai k
e in
form
atif
tam
bah
empa
t ta
hun
, to
tal w
aktu
sela
ma
tuju
h ta
hun
deng
an ta
hapa
n ke
giat
an :
- In
isia
si d
ari T
N u
ntuk
be
rkoo
rdin
asi d
an
berk
olab
oras
i mas
ih
rend
ah
- Pe
mbu
atan
atu
ran
yang
m
emer
luka
n w
aktu
la
ma
- D
ana
TN te
rbat
as
Pemerintah
Stakeh
olde
r
Exsisting
Harapan
Instruktif Ko
nsultatif Ko
operatif
Advokasi Informatif
Fakt
ual
146
147
Ta
bel 2
2 La
njut
an-3
Ben
tuk
kegi
atan
Ti
ngka
t ko
labo
rasi
Arg
umen
tasi
/just
ifika
si
Prog
ram
/keg
iata
n/up
aya/
tahu
n pe
ncap
aian
K
enda
la
-
- M
emba
ngun
kel
emba
gaan
ko
nsul
tasi
, par
tisip
asi,
koor
dina
si, n
egos
iasi
dan
ke
sepa
kata
n ke
rjasa
ma
, pe
mbu
atan
jukn
is, j
ukla
k de
ngan
par
a st
akeh
olde
rs
sela
ma
satu
tahu
n -
Pem
anfa
atan
sem
en b
ante
ng
jant
an d
ari T
N d
an u
ji co
ba
IB d
enga
n ba
nten
g be
tina,
uji
coba
IB b
ante
ng ja
ntan
de
ngan
sapi
bal
i sel
ama
satu
ta
hun
- M
emba
ngun
ban
k se
men
dan
im
plem
enta
si k
egia
tan
IB
deng
an sa
pi b
ali m
asya
raka
t un
tuk
men
ingk
atka
n pr
oduk
tivita
s sap
i Bal
i se
lam
a sa
tu ta
hun
- H
asil
F1 d
ari p
enan
gkar
an
sela
ma
empa
t tah
un
- Pr
ogra
m k
e de
pan
pem
anfa
atan
seca
ra la
ngsu
ng
F2 d
ari h
asil
pena
ngka
ran
dapa
t dim
anfa
atka
n pa
da
tahu
n ke
del
apan
-
147
148
Tabe
l 22
Lanj
utan
-4 Ben
tuk
kegi
atan
Ti
ngka
t ko
labo
rasi
Arg
umen
tasi
/just
ifika
si
Prog
ram
/keg
iata
n/up
aya/
tahu
n pe
ncap
aian
K
enda
la
Peng
emba
ngan
Eko
wis
ata
Ban
teng
fa
ktua
l ko
nsul
tatif
- Su
dah
ada
kons
ulta
si d
enga
n st
akeh
olde
rs/ m
asya
raka
t -
Kep
utus
an k
egia
tan
ekow
isat
a d
alam
ka
was
an T
N d
iput
uska
n da
n di
kelo
la
lang
sung
ole
h TN
-
Mas
yara
kat/s
take
hold
ers s
udah
tahu
ada
ke
giat
an e
kow
isat
a di
TN
term
asuk
ek
owis
ata
bant
eng
-
Mas
yara
kat/
stak
ehol
ders
ber
parti
sipa
si
dala
m m
enye
diak
an h
asil
hom
e in
dustr
y se
perti
tana
man
oba
t, kr
ipik
nan
gka
-
Pelib
atan
mas
yara
kat d
alam
keg
iata
n ek
owis
ata
bar
u pa
da se
bata
s se
baga
i pe
njua
l has
il ta
nam
an o
bat d
an b
uah
- Pr
ogra
m k
egia
tan
peng
emba
ngan
jasa
lin
gkun
gan
dan
wis
ata
alam
di
TN
- D
ana
yang
ters
edia
tid
ak h
anya
unt
uk
kegi
atan
eko
wis
ata
bant
eng
teta
pi u
ntuk
se
luru
h ke
giat
an ja
sa
lingk
unga
n -
Bel
um a
da k
olab
oras
i da
n ko
ordi
nasi
den
gan
stake
hold
ers ,
bel
um
adau
pro
gram
pak
et
ekow
isat
a ba
nten
g de
ngan
oby
ek w
isat
a la
inny
a se
perti
ag
row
isat
a pe
rkeb
unan
, ta
nam
an o
bat d
an b
uah,
ob
yek
pant
ai, p
enyu
se
rta ja
sa li
ngku
ngan
la
inny
a.
Har
apan
A
dvok
asi
- K
egia
tan
ekow
isat
a ba
nten
g da
pat
diko
labo
rasi
kan
deng
an P
erum
Pe
rhut
ani d
i TN
AP,
den
gan
Perk
ebun
an
di T
NM
B, l
emba
ga m
asya
raka
t dan
D
inas
Par
iwis
ata
- Pe
rmen
hut N
omor
P.1
9/ M
enhu
t-II/2
004
tent
ang
Kol
abor
asi P
enge
lola
an
Kaw
asan
Sua
ka A
lam
Dan
Kaw
asan
Pe
lest
aria
n A
lam
-
- Pr
ogra
m p
enge
mba
ngan
jasa
lin
gkun
gan
dan
wis
ata
alam
TN
diti
ngka
tkan
-
Pred
iksi
wak
tu y
ang
dibu
tuhk
an d
ari k
onsu
ltatif
ke
adv
okas
i sel
ama
enam
ta
hun
deng
an ta
hapa
n ke
giat
an :
- Pe
ning
kata
n pe
rsep
si,
sika
p/bu
daya
mas
yara
kat
untu
k pe
ngem
bang
an
ekow
isat
a se
lam
a sa
tu ta
hun
- R
enda
hnya
kom
unik
asi
anta
ra T
N d
an
stake
hold
ers
- K
eter
sedi
aan
dana
yan
g te
rbat
as d
i TN
-
Ket
erse
diaa
n da
na y
ang
terb
atas
di
PEM
DA
un
tuk
mem
bang
un
sara
na p
rasa
rana
sepe
rti
jala
n
Pemerintah
Stakeh
olde
r
Exsisting
Harapan
Instruktif Kon
sulta
tif Koo
peratif
Advokasi Informatif
Fakt
ual
148
149
Ta
bel 2
2 La
njut
an-5
Ben
tuk
kegi
atan
Ti
ngka
t ko
labo
rasi
Arg
umen
tasi
/just
ifika
si
Prog
ram
/keg
iata
n/up
aya/
tahu
n pe
ncap
aian
K
enda
la
- U
sul,
inis
iasi
, ide
, ino
vasi
kol
abor
asi
ekow
isat
a ba
nten
g di
are
al p
erhu
tani
dan
pe
rkeb
unan
dat
ang
dari
stak
ehol
ders
(P
erhu
tani
, Per
kebu
nan
dan
Lem
baga
M
asya
raka
t) -
Kei
ngin
an m
enge
mba
ngka
n ek
owis
ata
bant
eng
yang
dip
aduk
an d
enga
n ag
row
isat
a da
n ob
yek
lain
nya
sehi
ngga
m
enin
gkat
kan
kera
gam
an o
byek
day
a ta
rik w
isat
a (O
DTW
A).
-
Mas
yara
kat d
apat
dili
batk
an s
ebag
ai
pend
ukun
g ke
giat
an e
kow
isat
a se
perti
gu
ide,
pem
buat
an c
ende
ra m
ata,
m
enye
diak
an p
rodu
k ha
sil h
ome
indu
stry
ta
nam
an o
bat d
an b
uah
sepe
rti
tem
u la
wak
, kun
yit,
wed
ang
jahe
, ke
daw
ung,
krip
ik n
angk
a y
ang
seka
rang
su
dah
berja
lan
teta
pi b
elum
opt
imal
-
LSM
mel
akuk
an p
enda
mpi
ngan
bag
i m
asya
raka
t unt
uk m
enin
gkat
kan
kapa
sita
s dan
kap
abili
tasn
ya d
alam
m
enun
jang
eko
wis
ata
- M
emba
ngun
koo
rdin
asi,
nego
sias
i dan
kes
epak
atan
de
ngan
stak
ehol
der t
erka
it (D
inas
Par
iwis
ata,
PEM
DA
se
tem
pat)
sela
ma
satu
tahu
n -
Perk
ebun
an (d
i TN
MB
) ata
u Pe
rum
Per
huta
ni (
di T
NA
P),
Din
as P
ariw
isat
a se
tem
pat
mem
buat
usu
lan
renc
ana
jang
ka p
anja
ng d
enga
n pe
nyed
iaan
dan
a, S
DM
dan
sa
rpra
s pen
unja
ng e
kow
isat
a se
lam
a sa
tu ta
hun
- Pe
mba
ngun
an /p
enin
gkat
an
SDM
term
asuk
SD
M
mas
yara
kat s
ekita
r seb
agai
gu
ide,
pem
buat
cen
dera
mat
a da
n ha
sil h
ome
indu
stry,
sa
rpra
s pen
unja
ng e
kow
isat
a,
dan
prom
osi e
kow
isat
a se
lam
a tig
a ta
hun
- D
apat
did
ukun
g de
ngan
Pe
mda
- Te
rbat
asny
a bi
aya
untu
k m
enin
gkat
kan
kapa
sita
s mas
yara
kat
149
150
Tabe
l 22
Lanj
utan
-6 Ben
tuk
kegi
atan
Ti
ngka
t ko
labo
rasi
Arg
umen
tasi
/just
ifika
si
Prog
ram
/keg
iata
n/up
aya/
tahu
n pe
ncap
aian
K
enda
la
Peng
emba
ngan
Tan
aman
Oba
t dan
Bua
h
fakt
ual
koop
erat
if
- Su
dah
diba
ngun
kol
abor
asi (
parti
sipa
si,
nego
sias
i dan
kes
etar
aan,
kes
epak
atan
, pe
mba
gian
kew
enan
gan
dan
tang
gung
jaw
ab
yang
dim
ulai
seja
k ta
hun
1999
dan
ke
sepa
kata
n fo
rmal
tahu
n 20
03
- M
asya
raka
t diij
inka
n un
tuk
men
ggar
ap
laha
n di
zon
a re
habi
litas
i , ta
nam
an y
ang
dike
mba
ngka
n ad
alah
MPT
S se
perti
ta
nam
an o
bat d
an b
uah
yang
has
ilnya
dap
at
dim
anfa
atka
n ol
eh m
asya
raka
t,
- D
i baw
ah te
gaka
n po
hon
mas
yara
kat
diiji
nkan
men
anam
tana
man
sem
usim
, sa
mbi
l mel
akuk
an p
emel
ihar
aan
tana
man
po
kok
- LS
M m
elak
ukan
pen
dam
ping
an u
ntuk
m
enin
gkat
kan
kem
ampu
an m
asya
raka
t,
- TN
men
yedi
akan
bib
it da
n m
enen
tuka
n je
nis
poho
n ya
ng d
ikem
bang
kan
yaitu
jeni
s poh
on
MPT
S se
tem
pat
- TN
, LSM
dan
mas
yara
kat d
enga
n ke
lom
pok
tani
nya
mel
akuk
an m
onito
ring
dan
eval
uasi
se
cara
ber
sam
a -
Ada
koo
rdin
asi d
enga
n B
PDA
S da
lam
ke
giat
an p
enan
aman
- K
egia
tan
peng
ayaa
n ta
nam
an d
i zon
a re
habi
litas
i i T
N
- K
egia
tan
mem
bang
un
kele
mba
gaan
HH
BK
de
ngan
Per
guru
an T
ingg
i-
Keg
iata
n ko
ordi
nasi
de
ngan
BPD
AS
pena
nam
an d
i zon
a re
habi
litas
i
- H
asil
prod
uksi
dan
pe
mas
aran
nya
belu
m
optim
al
- D
ibut
uhka
n sta
keho
lder
s pe
nduk
ung
lain
nya
untu
k m
enin
gkat
kan
prod
uksi
dan
tekn
olog
i di
vers
ifika
si h
asil
untu
k m
enin
gkat
kan
hasi
l pr
oduk
si d
an h
arga
jual
-
Kei
ngin
an a
tau
ide
stak
ehol
ders
bel
um
dipr
ogra
mka
n d
an
dila
ksan
akan
sec
ara
optim
al
Pemerintah
Stakeh
olde
r
Exsisting
Harapan
Instruktif Kon
sulta
tif Ko
operatif
Advokasi Inform
atif
Fakt
ual
150
151
Ta
bel 2
2 La
njut
an-7
Ben
tuk
kegi
atan
Ti
ngka
t ko
labo
rasi
Arg
umen
tasi
/just
ifika
si
Prog
ram
/keg
iata
n/up
aya/
tahu
n pe
ncap
aian
K
enda
la
H
arap
an
Adv
okas
i -
Suda
h te
rliba
t ben
tuk
kola
bora
si d
alam
tin
gkat
koo
pera
tif
- St
akeh
olde
rs su
dah
beke
rjasa
ma
dan
berb
agi p
eran
dan
tang
gung
jaw
ab
deng
an T
N
- K
egia
tan
yang
ber
jala
n b
elum
dap
at
men
ingk
atka
n e
kono
mi m
asya
raka
t se
cara
opt
imal
-
Stak
ehol
ders
ber
kein
gina
n /
men
gusu
lkan
pen
ingk
atan
kew
enan
gan
dala
m p
emili
han
jeni
s kom
oditi
yan
g di
kem
bang
kan
di z
ona
reha
bilit
asi
- St
akeh
olde
rs su
dah
dap
at m
enin
gkat
kan
kapa
sita
snya
dal
am d
iver
sifik
asi p
rodu
k se
perti
pro
duk
krip
ik n
angk
a, p
isan
g da
n ta
nam
an o
bat d
enga
n ke
mas
an y
ang
lebi
h ba
ik
- Pe
rmen
hut N
omor
P.1
9/ M
enhu
t-II/2
004
tent
ang
Kol
abor
asi P
enge
lola
an
Kaw
asan
Sua
ka A
lam
Dan
Kaw
asan
Pe
lest
aria
n A
lam
- Pr
edik
si w
aktu
yan
g di
butu
hkan
dar
i tin
gkat
ko
oper
atif
ke a
dvok
asi
sela
ma
empa
t tah
un d
enga
n ta
hapa
n :
- St
akeh
olde
rs d
iber
i ke
wen
anga
n da
lam
m
enen
tuka
n je
nis k
omod
iti
sesu
ai a
tura
n ya
ng le
bih
bern
ilai e
kono
mi d
enga
n te
tap
mem
perta
hank
an
kele
star
ian
ekos
iste
m T
N
- TN
men
ingk
atka
n ko
ordi
nasi
de
ngan
Din
as P
erin
dust
rian
, D
inas
Per
daga
ngan
dan
LSM
un
tuk
men
ingk
atka
n ke
tera
mpi
lan
mas
yara
kat
sela
ma
satu
tahu
n -
Prog
ram
keg
iata
n pe
nyul
uhan
un
tuk
men
ingk
atka
n ha
sil
pane
n ta
nam
an se
mus
im d
an
tana
man
oba
t dan
bua
h ol
eh
peny
uluh
terk
ait (
Din
as
Perta
nian
, Keh
utan
an d
an
Perta
nian
) sel
ama
satu
tahu
n -
Peni
ngka
tan
sara
na
peng
olah
an h
asil
pane
n,
prom
osi d
an p
emas
aran
pr
oduk
has
il pa
nen
sela
ma
dua
tahu
n
- K
egia
tan
peni
ngka
tan
kapa
sita
s mas
yara
kat
mas
ih re
ndah
/bel
um
optim
al
- M
asih
ada
ke
khaw
atira
n da
ri TN
jik
a sta
keho
lder
dib
eri
kew
enan
gan
yang
lebi
h tin
ggi
151
152
Tabe
l 22
Lanj
utan
-8 Ben
tuk
kegi
atan
Ti
ngka
t ko
labo
rasi
Arg
umen
tasi
/just
ifika
si
Prog
ram
/keg
iata
n/up
aya/
tahu
n pe
ncap
aian
K
enda
la
Peng
emba
ngan
tana
man
oba
t dan
bua
h d
i TN
AP
(Fak
tual
) In
stru
ktif
- K
asus
di T
NA
P: K
erja
sam
a an
tara
TN
, m
asya
raka
t dan
LSM
dal
am p
enge
lola
an
zona
reha
bilit
asi (
kaw
asan
bek
as
peny
angg
a) te
lah
sele
sai.
Tahu
n 20
11,
mas
yara
kat d
ilara
ng b
erke
giat
an d
i zon
a be
kas p
enya
ngga
-
Bel
um d
iban
gun
kem
bali
kola
bora
si
- M
asya
raka
t mas
ih sa
ngat
ber
kein
gina
n un
tuk
kem
bali
men
gelo
la k
awas
an b
ekas
pe
nyan
gga
deng
an ta
nam
an M
PTS
- Se
mua
kep
utus
an d
alam
pen
gelo
laan
zo
na re
habi
litas
i ada
di T
N
- St
atus
tana
man
jati
pada
ka
was
an b
ekas
pen
yang
ga
mas
ih d
alam
pem
baha
san
deng
an P
erum
Per
huta
ni
yang
sebe
lum
nya
dibe
ri ta
nggu
ng ja
wab
dan
ke
wen
anga
n se
baga
i pe
ngel
ola
kaw
asan
bek
as
peny
angg
a
- M
asih
bel
um a
da
kese
paka
tan
yang
te
rtulis
ant
ara
Peru
m
dan
TN
152
153
Berdasarkan hasil AHP dan hasil pengamatan di lapangan terhadap tingkat
co-management program kegiatan terdapat sedikit perbedaan dalam menentukan
tingkat/tipe/bentuk co-management. Berdasarkan AHP tingkat co-management
untuk kegiatan pembinaan habitat berada pada tingkat instruktif padahal secara
faktual berada pada tingkat konsultatif dan harapannya dapat ditingkatkan lagi
sampai pada tingkat kooperatif. Selanjutnya program kegiatan pengembangan
penangkaran dari instruktif dapat dilakukan secara kooperatif, bahkan
pengembangan penangkaran dapat ditingkatkan pada tingkat/tipe informatif.
Perbedaan dalam menentukan tingkat co-management tersebut terjadi karena
dalam AHP hanya didasarkan pada definisi dan konsep dari masing-masing
tingkat co-management tanpa melihat karakteristik dan faktual di lapangan. Tetapi
hasil AHP tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan banteng pada prinsipnya
harus dilakukan secara kolaboratif
Dari hasil analisis stakeholders, AHP dan analisis SWOT di TNMB dan
TNAP dihasilkan matrik teknis kelembagaan co-management konservasi banteng.
Kepentingan stakeholders, fungsi dan mekanisme serta aturan yang dibutuhkan
dalam kelembagaan co-management disajikan pada Tabel 23.
Kesepakatan co-management yang akan dibangun dalam pelaksanaannya
harus dikawal dan dievaluasi secara terus menerus. Hal ini dimaksudkan untuk
memperbaiki jika ada kekurangan karena co-management merupakan proses
saling belajar yang hasilnya dapat diterapkan untuk perbaikan ke depan dalam
pengelolaan sumberdaya alam (Borrini-Feyerabend et al. 2000). Co-management
tidak mudah diterapkan jika para stakeholders tidak konsisten dengan komitmen
dan kesepakatan yang sudah dibangun, sehingga partisipasi penuh stakeholders
akan menentukan keberhasilan co-management (Rodgers et al. 2002). Lemahnya
partisipasi dan komitmen dalam co-management seperti di TN Kayan Mentarang,
menyebabkan pengelolaan kolaboratif yang dibangun selama sepuluh tahun belum
berjalan secara optimal (Rukman 2009).
154
Tabel 23 Matrik teknis pengelolaan dalam kelembagaan co-management di TNMB dan TNAP
No Stakeholder Kepentingan Utama Peran/Fungsi Mekanisme Aturan
1 Masyarakat Memenuhi kebutuhan hidup dari pemanfaatan SDA Taman Nasional
Pemelihara sekaligus memanfaatkan SDA dari zona pemanfaatan
• Melalui pendampingan oleh LSM dan BTN
• Ikut dalam pembinaan habitat sebagai pelaksana di lapang, pengembangan tanaman obat dan buah melalui penanaman dan pemanfaatan, ekowisata sebagai pelaksana kegiatan (guide dan penyedia cendera mata) serta pemanfaat semen banteng melalui IB
SK Dirjen PHKA, MOU, aturan kelompok masyarakat contoh : penentuan jenis tanaman yang ditanam di zona rehabilitasi
2. BTMB dan BTAP
Mengelola kawasan TN dalam melestarikan Banteng
• Pemegang otoritas dan tanggung jawab dalam pengelolaan kawasan (pelestarian banteng)
• Penyedia dana • Penyedia SDM • Melaksanakan
KISS (koordinasi, integrasi, sinergitas dan sinkronisasi) dengan stakehoders
Rencana jangka pendek , menengah dan panjang dalam penyedia dana, SDM dan peraturan – peraturan teknis
SK Dirjen PHKA, SK BTN, MOU
3 Perkebunan (TNMB)
Menjaga kelangsungan produksi usaha perkebunan
• Melaksanakan KISS dengan TN
• Penyedia dana, mengelola kawasan kebun dengan memberdayakan masyarakat sekitar
• Berkontribusi dalam pembinaan habitat
• Pengembangan ekowisata yang terkait banteng
Rencana jangka pendek , menengah dan panjang dalam penyedia dana, SDM, sarpras dan peraturan - peraturan teknis
SK Direksi Perkebunan, MOU
4. Perum Perhutani (TNAP)
Meningkatkan produktivitas hasil hutan dalam kawasan yang dikelolanya
• Melaksanakan KISS dengan TN
• Penyedia dana, mengelola kawasan hutan produksi dengan memberdayakan masyarakat
Rencana jangka pendek , menengah dan panjang dalam penyedia dana, SDM dalam peraturan teknis
SK Direksi Perum Perhutani, MOU
155
Tabel 23 Lanjutan-1
No Stakeholder Kepentingan Utama Peran/Fungsi Mekanisme Aturan
• Berkontribusi dalam pembinaan habitat
• Pengembangan ekowisata yang terkait banteng
5. LSM Pendampingan/ advokasi masyarakat, Pelestarian SDA
Mitra TN dalam pengelolaan kawasan dan banteng melalui penyuluhan untuk merubah sikap dan persepsi terhadap banteng, pendampingan dalam kegiatan ekowisata, pengembangan tanaman obat dan buah
Melaksanakan koordinasi dalam menentukan rencana kerja BTN dan rencana LSM, dalam pemilihan jenis tanaman, penentuan luas lahan bagi masyarakat, memberikan informasi kepada TN
MOU
6 BBIB (Balai Besar Inseminasi Buatan)
Pengembangan genetik sapi bali
• Mitra dalam pengembangan pemanfaatan genetik banteng
• penyedia dana dan teknologi IB (Inseminasi buatan)
Pemanfaatan genetik banteng dikoordinasi dengan BTN , Balai TN menyediakan indukan, teknologi dan pelaksanaan pengambilan semen serta pelaksanaan dan pemanfaatan semen dilakukan oleh BBIB
SK Dirjen PHKA tentang Pemanfaatan banteng MOU
7 Instansi teknis PEMKAB (Dinas Kehutanan Perkebunan, Pertanian, peternakan, pariwisata)
Menyelenggarakan pemerintahan sesuai sektornya masing-masing
Melaksanakan pelayanan pada masyarakats di masing-masing- sektornya melalui penyuluhan, menyediakan informasi dan membantu pelaksanaan (implementasi) program kegiatan Co-management
Melakukan koordinasi dengan BTN, LSM dan lembaga desa dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan, perijinan,penyediaan informasi dalam kegiatan co-management yang dilakukan oleh stakeholders terkait konflik
Kesepakatan dengan stakeholders terkait konflik sesuai kebutuhan dalam implementasi program kegiatan
Peran dan fungsi serta kewenangan stakeholders akan menghasilkan teknis
manajemen kolaboratif untuk masing-masing program kegiatan yang telah
ditentukan. Setiap pogram kegiatan harus dipayungi dengan Surat Keputusan (SK)
Dirjen PHKA dan secara teknis ditindaklanjuti dengan surat keputusan tentang
kelembagaan kolaboratif di taman nasional oleh kepala taman nasional dalam
bentuk surat keputusan bersama dan dijabarkan dalam MOU antar stakeholders
156
yang terlibat dengan kegiatan tertentu. Atas dasar SK bersama antar lembaga yang
berkepentingan, dibuat MOU untuk masing-masing kegiatan, hal ini dikarenakan
tidak semua stakeholders ikut dalam program kegiatan yang sama.
Kelembagaan kolaboratif perlu dibentuk sebagai wadah organisasi yang
berfungsi koordinatif dan konsultatif untuk kegiatan co-management agar
pemanfaatan sumberdaya alam dapat memberi kontribusi terhadap konservasi TN
dan kesejahteraan masyarakat (Purwanti et al. 2008). Matrik peran dan lembaga
terkait dalam mengoptimalkan fungsi co-management untuk optimalisasi program
kegiatan konservasi banteng disajikan dalam Tabel 24.
Tabel 24 Matrik peran dan lembaga dan stakeholders dalam manajemen kolaborasi penyelesaian konflik banteng di TNMB dan TNAP
No. Fungsi
Manajemen/ Program/Kegiatan
Peran dan Stakeholders Kerkait Konflik Tidak Terkait Konflik
Bal
ai T
aman
N
asio
nal
Mas
yara
kat
LSM
Perh
utan
i/ pe
rkeb
unan
Dis
hutb
un
Bap
peda
Din
as
Perta
nian
/ Pe
tern
akan
Din
as
Pariw
isat
a B
alai
Bes
ar
Inse
min
asi
Bua
tan
A. Perencanaan 1,2,3,5 1,5 4 1,3,5 3,5 1,2,5 4,5 2,4,5 1,2,4,5
B. Pengorganisasian 1,3,4 1,3,5 1,2,3,4 2,3,5 2,3,4,5 4 4 4 4
C. Pelaksanaan 1,2,5 5 4,5 2,5 2,5 - 2,4,5 2,4,5 2,4,5
D. Pengawasan 1,2,5 5 5 5 - - 5 5 5
Keterangan : 1. Inisiator, 2. Penyediaan dana, 3. Regulator, 4. Pendampingan, dan 5. Pelaksanaan Kegiatan
Fungsi-fungsi manajemen untuk melaksanakan program kegiatan seperti
perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan evaluasi dilakukan secara berulang-ulang
sesuai dengan tingkatan capaian hasil pelaksanaan program dan merupakan siklus
putaran yang berkelanjutan. Siklus ini tidak hanya terjadi dalam fungsi-fungsi
manajemen namun dimungkinkani untuk meninjau program kegiatan yang sedang
berlangsung sampai tercapainya pengelolaan ekosistem, biofisik dan sosial
ekonomi, peningkatan populasi, fungsi dan pemanfaatan banteng dalam konteks
pelestarian taman nasional yang berkelanjutan.