urgensi partisipasi publik dalam pembentukan peraturan daerah.docx

Upload: princess-thabeeta

Post on 13-Oct-2015

26 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (#4)Teori Perundang-undangan (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)Sebelum terbentuknyaUndang-undang Nomor 10 Tahun 2004, menurut Maria Farida Indrati. S, pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dilakukan dengan berbagai landasan, yaitu:1.Aglemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie(Stb. 1847: 23)2.Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Tentang Jenis dan bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.3.Undang-undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-undang Federal.4.Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah.5.Keputusan Presiden Nomor 234 Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran Negara dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara.6.Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah.7.Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang.8.Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden.Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah sebelum Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, diberlakukan beberapa Keputusan Menteri, antara lain:1.Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 21 Tahun 2001 tentang Teknik Penyusunan dan Materi Muatan Produk-produk Hukum Daerah.2.Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 2001 tentang Bentuk Produk-produk Hukum Daerah.3.Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.4.Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 24 Tahun 2001 tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah.Keempat Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tersebut diberlakukan sambil menunggu Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan dari Pasal 27 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Oleh karena Peraturan Presiden yang diperintahkan tersebut sampai saat ini masih belum ada, Menteri Dalam Negeri telah menetapkan 3 (tiga) Peraturan Menteri sebagai pengganti Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tersebut, yaitu:1.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah.2.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.3.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2006 tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah.Pembahasan setiap rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, dan peraturan perundang-undangan ditingkat daerah diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, Kabupaten atau Kota. Dengan berlakunyaUndang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada tanggal 1 November 2004, maka pembentukan peraturan perundang-undangan baik ditingkat Pusat maupun Daerah berlaku ketentuan dalam undang-undang tersebut.Landasan hukum pembentukanUndang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanganmenurut Maria Farida Indrati. S, terdapat dalam konsiderans yaitu dalam dasar hukum Mengingat hanya dimuat Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal-pasal tersebut memberikan kewenangan pembentukan suatu undang-undang. Walaupun dalam dasar MengingatUndang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut hanya merumuskan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang memberikan kewenangan pembentukan suatu undang-undang, namun demikian sebenarnya terdapat beberapa ketentuan yang merupakan landasan hukum yang tegas bagi pembentukan undang-undang tersebut. Landasan hukum tersebut adalah sebagai berikut:1.Pasal 22A Perubahan UUD 1945 yang merumuskan bahwa Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.2.Pasal 6 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang merumuskan bahwa: Tata cara pembuatan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta pengaturan ruang lingkup keputusan presiden diatur denganundang-undang.3.Aturan Tambahan Pasal I Perubahan (Keempat) UUD 1945, yang menetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap meteri dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000.4.Pasal 4 angka 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, yang menyatakan bahwa, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang.Berdasarkan beberapa ketentuan diatas, maka diajukanlah rancangan undang-undang Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU TCP3), yang akhirnya menjadiUndang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Pembentukan peraturan Perundang-undangan didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undanganyang pada dasarya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.Legislative draftingmenurut Jazim Hamidi, adalah sebuah ilmu pengetahuan yang merupakan aturan-aturan tertentu yang dapat diletakkan sebagai aplikasi umum terhadap semua tindakan-tindakan/langkah-langkah yang muncul dalam Perencanaan Undang-undang (drafting) dan juga sebagai satu perangkat (set) aturan tertentu yang selalu diobservasi oleh semua pembuat undang-undang untuk tujuan (dari) pemakai metode yang terjamin aman dalam draft mereka.Langkah-langkah pembentukan perundang-undangan menurut Jazim Hamidi dalam makalahnya dijelaskan, susunan pembentukan perundang-undangan terdiri dari:1.Pengkajian (Interdisipliner)a.Sudah mendesak untuk diatur undang-undang.b.Kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan timbul dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.2.Melakukan Penelitiana.Penelitian hukum/hasil penelitian.b.Hukum nasional/hukum negara lain yang mengatur materi yang bersangkutan.c.Penyusunan naskah akademik.d.Penyusunan rancangan undang-undang.e.Penyusunan peraturan pemerintah dan seterusnya.Adapun yang menjadi pokok-pokok penelitian adalah:1.Asas-asas hukum.2.Kaidah-kaidah hukum.3.Lembaga-lembaga hukum.4.Cara/proses pelaksanaan.Sedangkan tahap-tahap pembentukan peraturan perundang-undangan menurut Maria Farida Indrati. S, pada umumnya dilakukan sebagai berikut:1.Perencanaan penyusunan undang-undang.Proses pembentukan undang-undang menurut Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 16Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dilaksanakan sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang merupakan perencanaan penyusunan undang-undang terpadu antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia.(Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.(Pasal 1 ayat (9)Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan).2.Persiapan pembentukan undang-undang.Rancangan undang-undang dapat berasal dari (Anggota)Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah yang disusun berdasarkan Prolegnas. Dalam hal tertentu Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang diluar Prolegnas.3.Pengajuan rancangan undang-undang.Pengajuanrancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.Selanjutnya yang menjadi pokok kajian adalah mengenai pembentukan peraturan daerah. Pembentukan peraturan daerah adalah proses pembuatan peraturan daerah yang pada dasarnya dimulai perencanaan, pembahasan, teknik penyusunan, perumusan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Dalam mempersiapkan pembahasan pengesahan rancangan peraturan daerah, harus perpedoman kepada peraturan perundang-undangan. Disamping itu, peraturan daerah akan lebih oprasional lagi jika dalam pembentukkannya tidak hanya terikat pada asas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 sampai dengan Pasal 147Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, tetapi perlu dilengkapi dengan hasil penelitian yang mendalam terhadap subyek dan obyek hukum yang akan diaturnya. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupti/Walikota, hal ini diatur dalam Pasal 26Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004jo.Pasal 140Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.Proses pembentukan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan (peraturan daerah termasuk didalamnya) didasarkan pada Pasal 4 Permendagri Nomor 16 Tahun 2006, yang dilakukan berdasarkan Program Legislasi Daerah (Prolegda) (Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrument perencanaan pembentukan produk hukum daerah yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis (Pasal 1 ayat(5)Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentangProsedur Penyusunan Produk Hukum Daerah).Untuk selanjutnya secara teknis diatur pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 13. Pasal 5 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Permendagri Nomor 16 Tahun 2006 menerangkan bahwa rancangan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan (peraturan daerah termasuk didalamnya) dapat disusun olehpimpinan satuan kerja perangkat daerah yang dapatdidelegasikan kepada biro hukum atau bagian hukum, dimana dalam proses penyusunan produk hukum daerah tersebut dibentuk tim antar satuan kerja perangkat daerah yang diketuai oleh pimpinan satuan kerjaperangkat daerah pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah dankepala biro hukum atau kepala bagian hukum berkedudukan sebagai sekretaris.Selanjutnya, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 6Permendagri Nomor 16 Tahun 2006,bahwa rancangan produk hukum daerah tadi dilakukan pembahasan dengan biro hukum ataubagian hukum dan satuan kerja perangkat daerah terkait dengan materi pembahasan menitikberatkan permasalahanyang bersifat prinsip mengenai objek yang diatur, jangkauan, dan arah pengaturan. Sesudah melakukan pembahasan, rancangan produk hukum daerah yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi kepala biro hukum dan kepala bagian hukum dan pimpinan satuan kerja perangkat daerah terkait untuk kemudian diajukan kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, dimana sekretaris daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap rancangan produk hukum daerah tadi. Selanjutnya, rancangan produk hukum daerah berupa rancangan peraturan daerah atau sebutan lainnya yang diprakarsai oleh kepala daerah disampaikan kepada dewan perwakilan rakyat daerah untuk dilakukan pembahasan serta dibentuk tim asistensi yang diketuai oleh sekretaris daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah. Kemudian untuk pembahasan rancangan peraturan daerah atau sebutan lainnya atas inisiatif dewan perwakilan rakyat daerah dikoordinasikan oleh sekretaris daerah atau pimpinan satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya. Adapun dalam pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah, baik atas inisiatif pemerintah maupun atas inisiatif dewan perwakilan rakyat daerah, dibentuk tim asistensi dengan sekretariat berada pada biro hukum atau bagian hukum.Pembahasan rancangan peraturan daerah antara DPRD bersama kepala daerah biasanya dilakukan melalui 4 (empat) tingkatan pembicaraan, yaitu:1.Pembicaraan tingkat pertama, meliputi:a.Penjelasan kepala daerah dalam rapat peripurna tentang penyampaian Raperda yang berasal dari usul prakarsa kepala daerah.b.Penjelasan dalam rapat paripurna oleh komisi/gabungan komisi atau pimpinan panitia khusus terhadap Raperda dan/atau perubahan Raperda yang berasal dari usul prakarsa DPRD.2.Pembicaraan tingkat kedua, meliputi:a.Pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari kepala daerah1)Pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari kepala daerah.2)Jawaban kepala daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi.b.Dalam hal raperda yang berasal dari usul prakarsa DPRD1)Pendapat kepala daerah terhadap Raperda atas usul DPRD.2)Jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat kepala daerah.3.Pembicaraan tingkat ketiga, meliputi pembahasan dalam rapat komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus dilakukan bersama-sama dengan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.4.Pembicaraan tingkat keempat, meliputi:a.Pengambilan keputusa dalam rapat paripurna yang didahului dengan:1)Laporan hasil pembicaraan tahap ketiga2)Pendapat akhir fraksi3)Pengambilan keputusanb.Penyampaian sambutan kepala daerahc.Rapat fraksi diadakan sebelum dilakukan pembicaraan tentang laporan hasil pembicaraan tahap ketiga, pendapat akhir fraksi dan pegambilan keputusan.d.Apabila dipandang perlu panitia musyawarah dapat menentukan bahwa pembicaraan tahap ketiga dilakukan dalam rapat gabungan atau dalam rapat panitia khusus.Mengenai teknis, tata cara dan waktu dari sebuah Raperda yang telah disetujui bersama lembaga legislatif dan lembaga eksekutif diatur dalam Pasal 144Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Dijelaskan dalam pasal ini bahwa Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah. Penyampaian Raperda tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan bersama. Selanjutnya Raperda tersebut ditetapkan oleh kepala daerah dengan jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama. Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Raperda yang telah disetujui tidak ditandatangani kepala daerah, maka Raperda tersebut sah menjadi peraturan daerah dan diundangkan.Seperti halnya sebuah peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam lembaran negara, setelah diberikan penomoran selanjutnya peraturan daerah diundangkan dalam peraturan daerah. Pasal 142 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004jo. Pasal 19 ayat (1) dan (2)Permendagri Nomor 16 Tahun 2006, menjelaskan bahwa pengundangan ini dilakukan oleh sekretaris daerah ataudapat didelegasikan kepada kepala biro hukum atau kepala bagian hukumuntuk kemudian pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan daerah yang telah diundangkan tersebut setelah dilakukan autentifikasi olehkepala biro hukum atau kepala bagian hukum.Literatur:-MariaFarida Indrati. S,Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.-MariaFarida Indrati. S,Ilmu Perundang-undangan; Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.-Mahendra Putra Kurnia, dkk,Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.-Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan.-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.-Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentangProsedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.