urgensi keberadaan hukum antariksa dalam sistem …

18
Urgensi Keberadaan Hukum Antariksa dalam Sislem Hukllm Indollesia 45 URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA DAN TANTANGAN PENGEMBANGANNYA Anjar Supriadhie, SH Keberadaan hukum antariksa internasional dalam lingkup sistem hukum internasional relatif masih berusia muda (kllrang lebih 33 tahun) yakni sejak diberlakukannya Space Treaty, 1967 (diteruskan selanjutnya diberlakukannya treatylconventionlagreement) sebagai turunan Space Treaty, 1967 tersebut. Sampai dengan saat ini (di era milenium baru) space treaties (5 trities) tetap eksis berfungsi sebagai sumba hukum keanta- riksaan internasional dan belum dapat ditetapkan konvensi-konvensi baru walaupun UNCOPUOS telah dapat menghasilkan rumusan-rumusan aluran baru mengenai DBS, NPS, RS dan Space Benefits. 1. PENDAHULUAN Meneliti dan mengkaji urgensi perkembangan hukum kedirgan- taraan di Indonesia memerlukan suatu perenungan berpikir yang jauh ke depan. Salah satu dasar dan alasan yang paling menonjol adalah bahwa pokok persoalan kedirgantaraan (kegiatan pendayagunaan ruang udara dan antariksa) adalah selalu dihadapkan pada kemajuan dari suatu bangs a dalam memberikan apresiasi terhadap 2 hal yang tidak dapat dipisah- pisahkan antara satu dan lainnya, yaitu pertama "Ilmu Pengetahuan dan Teknologi "; Kedua "tatanan aturan". Apresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta tatanan aturannya sebagai penopang-penopang lajunya pembanunan nasional, harus dapat berjalan seirama dan harmonis. I Tatanan aturan yang sering disebut "Sistem Hukum" agar dapat berfungsi sebagai salah satu unsur penopang pembangunan nasional harus dapat I Ringkasan Kesepakatan Kongres Kedirgantaraan Pertama tanggal 3-4 Februari 1998, Jakarta, hal. 4-14. Nomor I Tahun XXXI

Upload: others

Post on 23-Jul-2022

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

Urgensi Keberadaan Hukum Antariksa dalam Sislem Hukllm Indollesia 45

URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

DAN TANTANGAN PENGEMBANGANNYA

Anjar Supriadhie, SH

Keberadaan hukum antariksa internasional dalam lingkup sistem hukum internasional relatif masih berusia muda (kllrang lebih 33 tahun) yakni sejak diberlakukannya Space Treaty, 1967 (diteruskan selanjutnya diberlakukannya treatylconventionlagreement) sebagai turunan Space Treaty, 1967 tersebut. Sampai dengan saat ini (di era milenium baru) space treaties (5 trities) tetap eksis berfungsi sebagai sumba hukum keanta­riksaan internasional dan belum dapat ditetapkan konvensi-konvensi baru walaupun UNCOPUOS telah dapat menghasilkan rumusan-rumusan aluran baru mengenai DBS, NPS, RS dan Space Benefits.

1. PENDAHULUAN

Meneliti dan mengkaji urgensi perkembangan hukum kedirgan­taraan di Indonesia memerlukan suatu perenungan berpikir yang jauh ke depan. Salah satu dasar dan alasan yang paling menonjol adalah bahwa pokok persoalan kedirgantaraan (kegiatan pendayagunaan ruang udara dan antariksa) adalah selalu dihadapkan pada kemajuan dari suatu bangs a dalam memberikan apresiasi terhadap 2 hal yang tidak dapat dipisah­pisahkan antara satu dan lainnya, yaitu pertama "Ilmu Pengetahuan dan Teknologi"; Kedua "tatanan aturan". Apresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta tatanan aturannya sebagai penopang-penopang lajunya pembanunan nasional, harus dapat berjalan seirama dan harmonis. I Tatanan aturan yang sering disebut "Sistem Hukum" agar dapat berfungsi sebagai salah satu unsur penopang pembangunan nasional harus dapat

I Ringkasan Kesepakatan Kongres Kedirgantaraan Pertama tanggal 3-4 Februari 1998, Jakarta, hal. 4-14.

Nomor I Tahun XXXI

Page 2: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

46 Hukum dan Pembangunan

dibentuk dan diwujudkan sedemikian rupa agar dapat benar-benar mengabdi pada kemanusiaan dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 2

Dalam upaya mewujudkan suatu sistem hukum yang benar-benar dapat berfungsi menopang pembangunan nasional, sejalan dengan peranan dan fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu disadari sepenuhnya bahwa teknologi kedirgantaraan merupakan teknologi tinggi yang selalu berubah dengan cepat. Dalam kaitan ini, hukum internasional yang pembentukannya memerlukan kesepakatan antar bangsa atau bersifat transnasional selalu tertinggal dalam pengembangannya dibandingkan dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu agar sistem hukum benar-benar dapat berfungsi sebagai penopang pembangunan sejalan dengan fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi. maka sistem hukum kedirgantaraan harus dikuasai dan dimiliki serta dapat dikembangkan secara sempurna dan berkelanjutan oleh bangsa Indonesia. Selain itu, hubungan antar bangsa yang bersifat transnasional, pad a dasarnya memiliki titik temu pada dimensi wilayah : laut , udara. dan antariksa yang memiliki sistem hukum (publik maupun perdata/sipil) sendiri-sendiri. Sistim hukum publik adalah sistim hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan subyek hukum (orang dan bad an hukum) sedngkan sistim hukum perdata/sipil adalah sistim hukum yang mengatur hubungan hukum antar sesama subjek hukum .'

Maksud disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan informasi bahwa dalam upaya mewujudkan kerangka sistem hukum dirgantara khususnya sistem hukum antariksa dihadapkan pada faktor utama yang berpengaruh. yaitu posisi dan keberadaan dari sistem hukum yang akan dikembangkan dan kemungkinan tantangan yang akan dihadapkan dalam pengembangannya dengan tujuan untuk dijadikan bahan pertimbangan pemikiran lebih lanjut.

Dalam makalah ini tidak akan memuat pembahasan upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan mencoba menyoroti urgensi keberadaan hukum antariksa nasional bagi Indonesia dan tantangan pengembangannya dengan pokok-pokok kerangka papa ran sebagai berikut : (I) Umum, (2) pengembangan sistem hukum internasional, dan (3) pengembangan sistem hukum antariksa nasional Indonesia dan tantangan pengembangan.

2 rCT. Kansil, "Pengantar Tala Hukum Indonesia:, Galia , 1984. Jakarta. hal. 12-18. l Ibid , hal. 36.

Janllari - Maret 2001

Page 3: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

Urgensi Keberadaan Hukum Antariksa da/am Sistem Hukum Indonesia 47

2. PENGEMBANGAN SISTEM HUKUM INTERNASIONAL

2.1. Sumber Hukum dan Prosedur Pembentukan Perjanjian Inter­nasional.

Hukum ImernasionaI dalam arti luas mencakup hukum perdata internasional dan hukum publik internasional. Pada praktek sehari-hari hukum publik internasional lebih dikenal sebagai hukum internasional dalam arti sempit. Hukum imernasional adalah seperangkat kaidah dan prinsip tindakan atau tingkah laku yang mengikat negara. yang merupakan sistem hukum. Sumber hukum utama hukum internasional adalah (I) perjanjian internasional sebagai wujud hukum internasional tertulis , (2) hukum kebiasaan imernasional , dan (3) prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh PBB (pres eden) . Hukum kebiasaan internasional dan prinsip­prinsip hukum umum adalah 2 sumber hukum internasional yang tidak tertulis, dan sangat sulit untuk melacak kapan mulai eksis dan cara pengembangannya.

Pengembangan hukum internasional yang dapat ditelusuri secara kongkret dan dapat diacu bagi pengembangan lebih lanjut adalah melalui sumber hukum tertulis, yaitu perjanjian internasional. Pengembangan sistem hukum internasional melalui pembentukan perjanjian imernasional pad a dasarnya harus mela lui prosedur pembuatan sebagai berikut :

I. Pemberian kuasa resmi pada orang yang melakukan negosiasi atas nama negara peserta;

2. Negosiasi dan adopsi; 3. Otentikasi dan penandatanganan; 4. Ratifikasi , apabila negara menjadi peserta penandatangan; 5. Aksesi , apabila negara tidak menjadi peserta penandatangan; 6. Memberlakukan mengikatnya perjanjian; 7. Registrasi dan publikasi apabila perjanjian internasional ada dalam

sistem PBB; 8. Aplikasi dan pelaksanaan.

2.2. Kedudukan, Peranan dan Cara Pembentukan Perjanjian Inter­nasional.

Peran penting yang fundamental perjanjian internasional dalam sejarah hubungan internasional tidak dapat dipungkiri lagi. Perjanjian Internasional merupakan sarana utama yang praktis bagi transaksi dan komunikasi antara anggota masyarakat internasional.

Perjanjian internasional sebagai sarana pengembangan kerja sarna dan pengembangan sistem hukum internasional telah menunjukkan hasil

Nomor I Tahun XXXI

Page 4: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

48 Hukum dan Pembangunan

yang positif bagi bangsa-bangsa. Perjanjian internasional sebagai sumber hukum tertulis keberadaannya terletak pad a 2 sistem yaitu : I. Perjanjian internasional yang keberadaannya di bawah sistem PBB,

artinya perjanjian yang dibentuk oleh masyarakat internasional yang tergabung dalam badan/organ di bawah sistem PBB, seperti antara lain:

a. Hukum laut - dalam wadah UNCLOS (United Nations Conference the Law of the Sea)

b. Hukum udara - dalam wadah ICAO (lnternasional Civil Aviation Organization)

c. Hukum antariksa dalam wadah UNCOPUOS (United Nations Commite of the Peaceful Uses of Outer Space).

2. Perjanjian Internasional yang keberadaannya tidak di bawah sistem PBB seperti perjanjian internasional pembentukan :

a. NATO (North Atlantic Treaty organization); b . SEATO (South East Asia Treaty Organization); c. ASEAN (Asociation South East Asia Nations); d. MTCR (Missile Technology Control Regime)

2.3. Wujud Konkrit Aturan Hukurn Laut, Hukum Udara, dan Hukurn Antariksa dan Sistem Hukuru yang MeJingkupinya.

Cara pembentukarmya dan pengembangan sistem hukum inter­nasional yang bertitik temu pada dimensi laut. udara maupun antariksa , yang dilakukan melalui kesepakatan antar negara dan dituangkan dalam perjanjian internasional baik yang berada di dalam sis tern PBB maupun di luar sistem PBB, dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Wujud Konkrit Aturan Hukum Lauf Internasional di dalam sistem PBB.

a. Publik 1) Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Convention

on the Teritorial Sea and the Contiguous Zone); 2) Konvensi tentang laut bebas (Convention on high seas); 3) Konvensi tentang perikanan dan pelestarian sumber hayati laut lepas

(Convention on Fishing and Conservation of living Resources of the high seases);

4) Konvensi tentang landas kontinen (Convention on the continental shelf);

5) Konvensi hukum laut PBB 1982 (Convention on the law of the Sea).

fanuari - Maret 2001

Page 5: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

Urgensi Keberadaan Hukum Antariksa dalam Sislem Hllkum Indonesia 49

b. Perdata

1) The Huge Rule 2) The Hamburg Rule (sumber hukum tentang pengangkutan laut

internasional)

2. Wujud KOllkrit Amran Huklil1l Udara Illtemasiollai di dalal1l sistem PBB

a. PBB

J) Konvensi Paris 1919 tentang Pengaturan Navigasi Udara; 2) Konvensi Chicago J 944 tentang Penerbangan Sipil Nasional; 3) Persetujuan Chicago 1944 tentang Transit Udara Internasional ;

b. Perdata

1) Perjanjian Bermuda 1 Tahun 1946 dan Bermuda II Tahun 1977; 2) Konvensi Warsawa 1929 dan Amandemen Den Haag 1955 tentang

Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Sipil atas Kematian dan Luka yang Diderita Penumpang;

3) Konvensi 1970 untuk Penumpasan terhadap Perampasan Pesawat Terbang Secara Tidak Sah;

4) Konvensi 1971 tentang penumpasan tindakan melawan hukum terhadap keselamatan Pesawat Terbang Sipil.

3. Wujud KOllkrit Amrall Hukul1l Alltariksa Intemasiollal

a. Hukum Alllariksa dalam sistem Hukum Intemasional

Pembangunan sistem hukum internasional antariksa dapat dikatakan baru dimulai pada tahun 1959, karena pad a tahun itu Komite PBB tentang penggunaan Antariksa unruk Maksud-Maksud Damai yang sering disebut UNCOPUOS (United Nation Committee on the Peaceful Uses of Outer Space) dibentuk oleh PBB. Tugas dan mandat UNCOPUOS, antara lain; mengkaji cara-cara praktis dan tumt mendorong terbentuknya kerja sarna antar negara dalam masalah keantariksaan, serta merumuskan perjanjian-perjanjian internasional pendayagunaan antariksa unruk maksud-maksud damai. Negara-negara yang tergabung dalam UNCOPUOS memiliki warna sistem-sistem hukum berbeda-beda sesuai dengan sistem pemerintahannya masing-masing. Pada umumnya sistem hukum negara-negara UNCOPUOS dapat dikelompokan ke dalam 2 sistem hukum yairu sistel1l hukum kontinelllal dan sistem hukul1l anglo saxon.

Sistem hukul1l kOlllinelllal adalah sistem hukum yang dianut oleh negara-negara Eropa kontinental yang mendudukkan pada hukum

Nomor 1 Tahun XXXI

Page 6: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

50 Hukum dun Pembangunan

Romawi, yang terkodifikasi sebagai sumber hukum utama. Sistem hukum anglo saxon adalah sistem hukum yang dianut oleh Inggris dan Amerika yang mendudukkan pada hukum negara-negara (bag ian) menjadi sumber hukum yang berdiri sendiri di samping sumber hukum lainnya yang tidak terkodifikasi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses pembentukan perjanjian keantariksaan yang dikembangkan oleh UNCOPUOS, merupa­kan percampuran dari 2 sistem tersebut.

b. Perjanjian-perjanjian lnternasional dan Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB tentang Keantariksaan.

Sejak terbentuknya UNCOPUOS telah berhasil merumuskan 5 perjanjian internasional keantariksaan yang telah berlaku sebagai hukum positif internasional. 1) Treaty on the Principles Governing Activities in the Exploration and

Use of Outer Space including the Moon and Other Celestial Bodies 1967 disingkat Space Treaty 1967 (diratifikasi 93 negara, Maret 1997) adalah kerangka dasar bagi ketertiban pendayagunaan antariksa yang merupakan wilayah bersama kemanusiaan (Province heritage of all mankind). Inti perjanjian ini adalah : a) Merupakan kerangka dasar bagi pendayagunaan antariksa dan

pengakuan adanya kepentingan bersama umat manusia di antariksa , serta larangan untuk melakukan kegiatan di antariksa yang mengarah kepada kepemilikan , dan menetapkan sebagai res communis;

b) Mengatur perilaku negara atau badan-badan non negara dalam pendayagunaan antariksa.

c) Melarang penempatan senjata yang memiliki daya rusak masal di antariksa.

d) Mengatur kewajiban dalam rangka memperlakukan para astronot sebagai utusan kemanusiaan dan pemberian bantuan kepada astronot yang mengalami musibah.

e) Mengatur tanggung jawab hukum dari setiap negara atas kerugian yang diakibatkan oleh kegiatannya di antariksa bagi pihak lain .

2) Agreement on the Rescue of Astronouts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space 1968. disingkat Resque Astronauts 1968 (diratifikasi 83 negara. Maret 1997) . Inti perjanjian ini ialah mengatur tata cara penerapan konsep kemanusiaan dan kewajiban negara-negara dalam mengambil langkah-langkah dan perlakuan dalam membantu dan menyelamatkan astronot yang

Januari - Maret 200]

Page 7: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

Urgensi Keberadaan HukulIl Antariksa dalam SiSlem Hukum IJUionesia 51

mengalami kesulitan, serta pengembalian astronot yang telah diselamatkan ke negaranya.

3) Convention on International Liability for Damage Caused by Space Object 1972, disingkat Liability Convention 1972 (diratifikasi 77 negara , Maret 1977). Inti perjanjian ini adalah mengatur tata cara perilaku yang rinci apabila pihak lain menderita akibat kegiatan suatu negara di antariksa.

4) Convention on Registration of object Launched into Outer Space, 1975 disingkat Registration Convention 1975 (diratifikasi 40 negara, Maret 1997) inti perjanjian ini mengatur tata cara pember ian informasi tentang benda-benda yang diluncurkan ke antariksa kepada Sekretaris lenderal PBB dan pendistribusian lebih lanjut informasi tersebut secara luas kepada negara-negara.

5) Agreement Governing the Activities of States on moon and Other Celestial Bodies 1983, disingkat Moon Agreement 1983 (diratifikasi 9 negara, Maret 1997). Inti perjanjian ini adalah mengatur tata cara pengolahan Bulan dan benda-bend a langit lainnya yang merupakan common heritage of mankind untuk kepentingan perdamaian.

Proses upaya pengembangan lebih lanjut sistem hukum antariksa internasional oleh UNCOPUOS ini, dapat dikatakan kurang memadai jika dibandingkan dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi antariksa, dan bahkan dapat dikatakan cenderung ketinggalan. Indikasi lambatnya laju perkembangan pengaturan hukum antariksa internasional ini dapat dilihat bahwa sejak 2000, yaitu sejak dilahirkannya Moon Agreement 1983 sampal tahun 2000 (lebih kurang 17 tahun), UNCOPUOS belum berhasil melahirkan kembali perjanjian internasiona l keantariksaan yang baru. melainkan baru dapar mengupayakan lahirnya 4 Resolusi Majelis Umum PBB tentang keantariksaan sebagai berikut : (a) G .A. Reso\irion 37/92. 10 Desember 1982 lentang Prinsip-prinsip

Penggunaan DBS (The Principles Governing the Use by States of Artificial Earth Satellite for International Direct Television Broadcasting).

(b) G.A. Resolition 41165, 4 Desember 1986 tentang Prinsip-prinsip Penginderaan lauh (The Principles Relating to remote Sensing of the Earth from Space).

(c) G.A. Rosilition 47/68, 14 Desember 1992 tentang Prinsip-prinsip Penggunaan NSP (The Principles Relevant to the Use of Nuclear Power Sources in Outer Space).

Nomor I Tahun XXXI

Page 8: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

52 Hukum dan Pembangunan

(d) G.A. Rosilition 51122, Desember 1996 tentang Prinsip-prinsip Kerja Sama Internasional (Declaration on International Cooperation in the Exploration and Use of Outer Space for the Benefits and in the Interest of All States, Taking into Particular Account the Needs of Developing Countries).

Resolusi-resolusi MU PBB tersebut, belum ditindaklanjuti untuk menjadi perjanjian internasional yang mengikat, karena sampai saat ini UNCOPUOS tidak mengagendakan kembali dalam persidangan.

3. PENGEMBANGAN SISTEM HUKUM NASIONAL

Sering dikatakan bahwa hukum adalah sarana perekayasaan sosial (Law is tools for social engineering). Pendapat yang berasal dari ahli hukum Amerika yang sangat berpengaruh Roscoe Pound , paling tepat untuk menggambarkan langkah yang seyogyanya dilakukan oleh Pemerintah RI dalam menyusun sistem hukum kedirgantaraan, khususnya hukum antariksa. Berangkat dari pendapat Roscoe Pound ini , dapat dilihat bahwa bukanlah suatu kerangka yang statis, tetapi merupakan salah satu tenaga pendorong yang ikut membentuk sosok wadah dan isi masyarakat yang hendak dikembangkan.

Pengembangan sistem hukum di Indonesia memiliki corak dan warna yang berbeda bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Corak dan warna pengembangan sistem hukum di Indonesia yang khas ini ternyata tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda kurang lebih tiga setengah abad lamanya, di samping dipengaruhi pula oleh keberadaan hukum internasional positif sesuai dengan perkembangan jaman. Cara perkembangan hukum laut dan hukum udara di Indonesia secara singkat dapat digambarkan sebagaimana berikut lDI.

3.1. Pengembangan Sistem Hukum Laut

Pengembangan sistem hukum laut dan udara pad a dasarnya melalui cara-cara yang sama yaitu :

1. Publik melalui : a. Pengesahan/ratifikasi konvensi/perjanjian-perjanjian yang sejalan

dengan kepentingan nasional atau yang sering disebut adopsi hukum;

b. Pembentukan norma dan aturan hukum baru:

lanuari - Maret 200]

Page 9: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

Urgensi Keberadaan Hukum Antariksa datam Sistem Hukum Indonesia 53

c. Memberlakukan ketentuan aturan dari berbagai Ordonantie/Wetl Peraturan Perundang-undangan warisan dari pemerintah Hindia Belanda atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

2. Perdata (Sipil) melalui : a. Memberlakukan peraturan

pemerintah Hindia Belanda UUD 1945;

perundang-undangan warisan dari atas dasar pasal " Aturan Peralihan

b. Pengembangan dan pembentukan warna dan aturan baru sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan.

3. Wujud Konkrit Norma Hukumnya a. Pengembangan hukum laut melalui cara ratifikasilaksesi (adopsi

hukum) I) Publik

a) Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Convention of the Territorial Sea and the Continuous Zone);

b) Konvensi tentang Laut Bebas (Convention On High Seas); c) Konvensi tentang Perikanan dan Pelestarian Sumber Hayati

Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of the High Seas);

d) Konvensi tentang Landas Kontinen (Convention On the Continental Shelf) .

2) Perdata Melalui Adopsi a) The Huge Rule b) The Hamburg Rule (Sumber hukum tentang pengangkutan

laut internasional b. Melalui pengembangan dan/atau pembentukan norma baru :

I) Publik a) Deklarasi luanda 1957; b) UU NO.5 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; c) UU No.5 Tahun 1985 tentang ZEE Indonesia; d) UU No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan; e) UU No. 17 Tahun 1985 tenatang Pengesahan UNCLOS

1982; c. Memberlakukan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan warisan

atas dasar pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. 2) Perdata (Sipil)

a) Aturan Tentang Nakhoda;

Nomar 1 Tahun XXXI

Page 10: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

54 Hukum dan Pembangwwn

b) Aturan Tentang Pendaftaran Kapal; c) Aturan Tentang Pengangkutan Laut;

4. Sistem Hukum yang Melingkupinya.

Sistem hukum yang melingkupi pengembangan hukum di Indonesia adalah Sistem Hukum Kontinental yaitu sistem hukum yang dikembangkan dari Sistem Hukum Romawi yang sering disebut dengan nama Kode Penal Perancis. Pemerintah Belanda pad a waktu itu mengembangkan dan menerapkan peraturan perundang-undangan dalam wujud Wet atau Ordonantie yang didasarkan pada sistem hukum kontinental tersebut. Dengan demikian Sistem Htikum Kontinental pad a Pemerintah Indonesia telah terbina sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan dan berkembang dengan sendirinya sampai saat ini.

Dengan demikian disadari atau tidak disadari pengembangan sistem hukum laut telah dimulai sejak jaman pemerintah Hindia Belanda hingga saat ini. Walaupun dalam prakteknya hal-hal yang tidak dapat dikembangkan dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional dicabut berlakunya dan yang sejalan dengan kepentingan nasional atas dasar pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tetap diberlakukan.

3.2. Pengembangan Sistem Hukum Udara

I. Melalui cara ratifikasi/aksesi (Adopsi Hukum)

a. Publik

I) Konvensi Paris 1919 lentang Pengaturan Navigasi Udara; 2) Konvensi Chicago 1944 tenatang Penerbangan Sipil

Internasional; 3) Persetujuan Chicago 1944 tentang Transit Udara Internasiona!.

b. Perdata Memberlakukan Peraturan berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 : I) Perjanjian Bermuda 1 Tahun 1946 dan Bermuda [! tahun 1977; 2) Konvensi Warsawa 1929, dan Amal1demen Den Haag 1955

tentang Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Sipil atas Kematian dan Luka yang Diderita Penumpang;

3) Konvensi 1970 untuk Penumpasan Terhadap Perampasan Pesawat Terbang Secara Tidak Sah;

4) Konvensi 1971 tentang Penumpasan Tindakan Melawan Hukum Terhadap Keselamatan Pesawat Terbang Sipi!.

lanuari - Maret 2001

Page 11: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

Urgensi Keberadaan Hukum Antariksa dalmn Sisrem Hukum Indonesia 55

2 . Melalui Pengembangan Norma Hukum Baru.

a. Publik I) UU Pengesahan Konvensi Chicago 1944 dan Anex-anexnya; 2) UU No. 15 Tahun 1982 tentang Penerbangan; 3) PP tentang Pengangkutan Udara, Kebandarudaraan dan

Keselamatan Penerbangan.

b. Perdata Memberlakukan peraturan berdasarkan pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945 :

I) Hipotik dan asuransi pesawat udara sebagaimana sebagian diatur dalam KUHD;

2) Ordonantie Pengangkutan Udara sebagaimana diatur dalam Stb. 1939 No. 100

c . Sistem Hukum yang Melingkupinya

Sistem Hukum udara diterapkan di Hindia Belanda lebih belakang dari hukum laut (hukum Pengangkutan laut). Hukum Laut Sipil (perdata) khususnya yang menyangkut mengenai pengangkutan di laut, telab menjadi hukum positif lebih dahulu dibandingkan dengan sistem hukum udara. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan tentang pengangkutan di laut yang tercantum dalam Kitab Undang­Undang Hukum dagang, yang pada waktu itu disebut dalam bahasa Belanda Wet Boek van Koophandel.

Sedangkan sistem hukum laut publik telah mulai diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1939, dengan diberlakukannya Kringen Maritim Zee Ordonantie, Stb. 1939 No. 442 yang memberikan penetapan lebar laut teritorial pada waktu itu sebesar 3 mil laut. Ordonantie ini, setelah Indonesia merdeka dipandang sangat merugikan keberadaan kedaulatan wilayah laut Indonesia sebagai negara kepulauan. Maka dalam perkembangannya Ordonansi ini dicabut, dan Indonesia mengembangkan konsep lebar laut teritorial 12 mil yang dicetuskan dalam Deklarasi luanda 1957. Deklarasi luanda 1957 ini merupakan cikal bakal berkembangnya hukum laut publik di Indonesia.

Sistem hukum udara dalam pemerintahan Hindia Belanda sebenarnya lebih tepat disebut Hukum Penerbangan karena Belanda secara eksplisit belum memiliki aturan tentang hal ini , melainkan hanya mengembangkan ketentuan dalam Onvensi Warsawa 1929 tentang tanggung jawab pengangkut, yang selanjutnya oleh Belanda

Nomor I Tahun XXXI

Page 12: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

56 Hukum dan PembangunQn

diadopsi dan diberlakukan dalam Ordonantie Pengangkutan Udara Stb. 1939 No. 100. Ordonansi ini dapat dikatakan sebagai hukum penerbangan perdata satu-satunya, karena perturan yang berkaitan dengan masalah penerbangan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum warisan Hindia Belanda.

Hukum internasional publik yang mengatur masalah ruang udara baru lahir pada tahun 1944, dengan adanya konvensi Chicago 1944. Pemerintah Belanda belum sempat member lakukan konvensi ini di Hindia Belanda, karena pad a tahun 1945. Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya.

Memperhatikan fakta sejarah dalam pengembangan sistem udara di Indonesia terlihat jeias bahwa masih diwarnai oleh sistem hukum kontinental. Adanya sistem hukum udara yang didasarkan pad a warna kontinental masih membawa pengaruh dalam pengembangan. Karena disadari atau tidak dalam kenyataan pengembangan masih didasarkan pada kerangka sistem hukum ini.

3.3. Hukum Antariksa Dalam Sistem Hukum Indonesia.

1. Urgensi Hukum Antariksa

Berbeda dengan proses pengembangan sistem hukum laut dan udara yang telah memiliki kerangka sistem hukum yang telah mengakar d i bumi Indonesia sebagai konsekuensi sejarah penjajahan Belanda. Proses upaya pengembangan dan pembangunan hukum antariksa nasional harus dilakukan dari titik nol, karena memang belum ada dasar yang dapat dijadikan acuan dari dalam negeri maupun luar negeri mengingat posisi sistem hukum antariksa internasional dapat dikatakan belum memiliki kekuatan mengikat yang tinggi.

Dalam praktek penerapannya, hukum antariksa internasional masih belum ditaati sepenuhnya oleh negara penandatangan maupun negara peratitlkasi. Tidak jarang negara-negara melakukan penafsiran perjanjian sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Di samping hal tersebut, upaya keras UNCOPUOS dalam upaya perumusan pnnslp­prinsip yang tertuang dalam Resolusi MU PBB di atas belum ada kejelasan bentuk tindak lanjutnya.

Bagi bangsa Indonesia upaya mewujudkan kerangka sistem hukum antariksa nasional, dalam rangka mewujudkan satu tatanan hukum nasional yang dapat menopang pembangunan nasional, sejalan dengan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan penopang penting lai'nnya dalam proses pembangunan nasional. dilihat dari sisi waktu. kebutuhan dan tantangan masa depan yang akan dihadapi oleh

Jonu.ari - Morel 200/

Page 13: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

Urgensi Keberadaan Hukum Antariksa dalam Sistem Hukum Indonesia 57

bangs a Indonesia dalam era globalisasi adalah sebagai hal yang mendesak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi :

a. Dari sisi waktu

Indonesia saat ini telah memasuki era teknologi antariksa, dalam arti Indonesia telah mengaplikasi, memanfaatkan dan mengembangkan teknologi antariksa, dengan berdasar pada Kebijaksanaan Pembangunan Kedirgantaraan pada PJP II (25 tahun ke depan). Dalam rangka mengantisipasi penanganan pennasalahan-permasalahan yuridis yang timbul dalam pembangunan kedirgantaraan pada PJP II, diperlukan pembentukan dan pembangunan norma dan aturan-aturan hukum dirgantara, khususnya lagi aspek antariksa .

b. Dari sisi kebutuhan

Kebutuhan penanganan masalah yuridis yang saat ini sedang, dan akan dihadapi dan memerlukan pembentukan kaidah-kaidah hukum baik publik maupun perdata adalah sebagai berikut :

I) Publik meliputi : a. Pengaturan masalah distribusi dan pengendalian data inderajauh

satelit di Indonesia; b. Pengaturan masalah definisi/delimitasi antariksa sebagai konse­

kuensi yuridis bahwa Indonesia adalah sebagai negara yang menyatakan di ruang udara mempunyai kedaulatan penuh dan utuh, dan di antariksa Indonesia memiliki kawasan kepentingan;

c. Pengaturan yang berkaitan dengan keunggulan komparatif posisi geografi Indonesia sebagai wilayah yang paling ideal sebagai tempat peluncuran benda-benda antariksa (bandar antariksa) dan pembangunan laboratorium keantariksaan;

d. Pengaturan tentang pendaftaran benda antariksa; e. Pengaturan tentang hak dan kewajiban pihak swasta penyeleng­

gara kegiatan keantariksaan; f. Pengaturan tentang mekanisme pemberian ganti rugi sebagai

akibat kegiatan keantariksaan.

2) Perdata meliputi : a. Pengaturan tentang asuransi antariksa ; b. Pengaturan tentang bentuk kerjasama di antara para pengelola

antariksa; c. Pengaturan tentang penyertaan modal dalam kerjasama

peluncuran benda antariksa;

Nomor 1 Tahun XXXI

Page 14: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

58 Hukum,dan Pembangunan

d. Hal-hal lain yang timbul sebagai akibat adanya hukum publik keantariksaan.

Memperhatikan permasalahan-permasalahan hukum antariksa nasional baik dalam lingkup publik maupun sipil sebagaimana disebutkan di atas , pembentukan kerangka sistem hukum antariksa nasional memerlukan antisipasi secara dini sehingga permasalahan yuridis dalam rangka pendayagunaan dirgantara, khususnya antariksa, tidak menjadi faktor penghambat lajunya peranan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menopang pembangunan, akan tetapi dapat sejalan dan seiring, sehingga fungsi hukum sebagai "sarana perekayasaan sosial " sebagaimana dikatakan Roscou Pound dapat terwujud di Indonesia.

2. Cara Pengemballgan Hukum Alltariksa Nasional

Sebagaimana telah disampaikan dalam bahasan sebelumnya bahwa pengembangan sistem hukum, dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Melakukan pengesahan konvensi-konvensi internasional yang sejalan dengan kepentingan nasional atau adopsi hukum;

b. Pembentukan norma hukum baru ataupun melakukan pengembangan terhadap norma-norma sebelumnya yang telah ada;

c. Memberlakukan ketentuan dari aturan berbagai Wet dan Ordonantie (peraturan perundang-undangan) warisan pemerintah Hindia Belanda atas dasar pasal II Aturan Peralihan UU D 1945 .

Berbeda dengan cara pengembangan sistem hukum laut dan udara yang dapat dilakukan melalui tiga cara sebagaimana tersebut di atas, pengembangan sistem hukum antariksa publik dan perdata , hanya dapat dilakukan melalui adopsi hukum internasional ke dalam hukum nasional dan pembentukan norma hukum baru atau pengembangan norma-norma dan hukum internasional yang telah diadopsi.

1) Adopsi Hukum Internasional.

Pengembangan sistem hukum antariksa nasional melalui cara adopsi hukum internasional ke dalam hukum nasional , telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan diaksesnya tiga perjanjian internasional keantariksaan, yaitu : a. Liability Convention 1972, dengan Keppres No.2 Tahun 1996; b. Registration Convention 1975, dengan Keppres NO.5 Tahun 1997. c . Rescue Agreement 1965, dengan Keppres No.4 Tahun 1999.

ianuari - Marer 2001

Page 15: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

Urgensi Keberadaan Hukum Antariksa dalam Sistem Hukum Indonesia 59

Didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan nasional, dalam rangka pengembangan sistem hukum antariksa melalui adopsi hukum ini, Indonesia saat ini merencanakan untuk dapat mengadopsi 4 perjanjian internasional keantariksaan yang telah menjadi hukum positif, kecuali Moon Agreement. Usulan prakarsa sebagai upaya adopsi/pengesahan terhadap Space Treaty 1967 telah disampaikan kepada Presiden tanggal 4 Juni 1999, dan saat ini sedang berlangsung proses lebih lanjut sesuai Keppres No. 188 Tahun 1998, dan akhirnya diharapkan menjadi acuan pembentukan peraturan perundang-undangan keantariksaan lebih lanjut.

2) Pembentukan Norma Hukum Baru atau Pengembangan Norma dari Hukum fnternasionai yang teiah disahkan. a). Pengembangan dari norma hukum yang telah disahkan (diadopsi). b). Indonesia telah meratifikasi Liability Convention 1972, Registration

1975 dan Rescue Agreement 1968 artinya bahwa melalui aksesi , ketentuan-ketentuan dalam konvensi internasional tersebut ditetapkan menjadi bag ian hukum posit if nasional yang harus ditaati dan dipatuhi. Namun demikian dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, dirasa bahwa upaya membangun sistem hukum antariksa mela1ui adopsi semata-mata belum cukup dan belum dapat menjamin tegaknya ketentuan yang terkandung dalam 3 konvensi tersebut, karena upaya mewujudkan kepastian hukum atas konvensi ini, masih harus dilengkapi dengan peraturan penerapan, yang perlu diwujudkan da1am sistem hukum antariksa nasional mengenai hal ­hal sebagai berikut : (1) Masalah mekanisme tanggung jawab swasta penyelenggara

kegiatan keantariksaan, apabila dalam kegiatan merugikan pihak III atau negara lain. Perwujudan ketentuan tentang hal ini adalah sebagai penerapan lebih lanjut atas Liability Convention 1972 yang telah diaksesi.

(2) Pembentukan pengaturan tentang bad an pendaftaran benda­benda antariksa di Indonesia , sebagai perwujudan ketentuan aturan penerapan lebih lanjut atas disahkannya Registration Convention 1975.

(3) Pengaturan Search and Rescue keantariksaan nasional.

3) Pembentukan Norma Hukum Baru.

Sampai dengan saat ini belum dikembangkan secara spesifik pembentukan kerangka sistem hukum antariksa nasional yang berdiri sendiri, sebagai suatu sistem hukum seperti halnya sistem-sistem hukum

Nomor I Tahun XXXI

Page 16: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

60 Hukum dan Pembangunan

yang telah eksis lainnya. Oleh karena belum dikembangkan sebagai sistem hukum yang berdiri sendiri, maka belum tergambar embrio kerangka sistem hukum yang akan digunakan sebagai wadah norma-norma hukum yang akan dikembangkan. Walaupun saat ini sedang berlangsung upaya penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Keantariksaan.

3. Tantangan Pengembangan Hukum Antariksa Nasional.

Tantangan dalam upaya pengembangan kerangka sistem hukum antariksa nasional, tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor lain:

a. Masih relatif mudanya perjanjian internasional yang menjadi sumber hukum utamanya , di samping belum dapat diterapkan secara konsekuen ketentuan-ketentuan yang melingkupinya oleh negara penanda-tangan maupun peratifikasi.

b. Belum adanya embrio kerangka sistem hukum antariksa dalam tata hukum nasional, karena faktor usianya sendiri yang masih relatif muda dalam kedudukan sebagai sumber hukum sehingga belum dapat tertransformasi dalam tata hukum Indonesia.

c. Kemajuan teknologi dirgantara. khususnya teknologi antariksa yang maju dengan pesat , sementara upaya pengembangan melalui hukum internasional berjalan lambat.

d. Pengembangan sistem hukum kedirgantaraan pada dasarnya adalah suatu proses upaya pembangunan Kerangka Hukurn yang rnenyangkut Hukurn Antariksa dalarn satu Sistern Hukurn , dan harus pula rnampu menarnpung norma-norma hukurn antariksa yang benar-benar dapat menjadi landasan dan sumber hukum pendayagunaan antariksa secara berkelanjutan.

e. Masih terbatasnya jumlah SDM yang rnerniliki kualifikasi ahli dalarn hukurn keantariksaan.

4. KESIMPULAN

I. Keberadaan sistem hukurn antariksa menjadi bag ian (sub sistern) hukurn nasional, telah dirasakan penting untuk segera diwujudkan , rnengingat Indonesia dari waktu ke waktu telah sernakin "akrab" dalam rnenggeluti keantariksaan dalarn rangka mewujudkan kepentingan nasionalnya rnelalui aplikasi teknologi antariksanya rnaupun pemanfaatanlpenggunaan ruang dan surnber dayanya.

2. Indonesia bel urn rnemiliki sistern hukurn antariksa, oleh karena itu langkah yang harus diternpuh dalam rangka mewujudkan kerangka

lanuari - Maret 2(}()}

Page 17: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

Urgensi Keberadaan Hukum Antariksa dalam Sislem Hukum Indonesia 61

sistem hukum antariksa di Indonesia, hanya mungkin dilakukan dengan cara segera mengadopsi ketentuan-ketentuan hukum antariksa internasional yang berlaku melalui ratifikasi.

3. Selanjutnya langkah yang harus dilakukan lebih jauh, agar kerangka hukum tersebut dapat berkembang menjadi suatu sistem hukum mandiri, Indonesia harus mampu segera mewujudkan Undang-undang Keantariksaan beserta peraturan perundang-undangan implementasinya sebagai tindak lanjut dari ratifikasi-ratifikasi yang telah dilaksanakan tersebut.

DAFT AR PUSTAKA

Kongres Kedirgantaraan Nasional, Kebijakan Umum Pembangunan Kedirgamaraan (P lP lJ), Tanggal 3-4 Februari 1998, Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional, Gedung BPPT, Jakarta .

Apeldorn, Van, Pengamar IImu Hukum, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1982.

Kusumaatmadja, Mochtar, Prof. Drs, Pengantar Hukum Imernasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1978.

Stani. Burhan, SH., Hukum dan Hubungan Imernasional, Liberty, Jogyakarta, 1990.

Subarkah, Machmud, Membangun Negara Maritim Indonesia, Saresehan Nasional Kemaritiman Indonesia, tanggal 28-29 2000.

Suherman, Prof., Hukum Udara, Bina Aksara, Jakarta, 1984.

Set. DEPANRI, Naskah Urgensi Pengesahan Space Treaty, 1967 Bagi Indonesia, Jakarta, 1999.

Sidang Sub Komite Hukum ke-39, Legal Report, UNCOPOUS, 2000.

Hambali, Yasidi, SH, LLM, Hukum dan Politik Kedirgantaraan, Bina Cipta, Jakarta, 1993.

Soebagjo, Mas. Beberapa Problema Hukum Pada Umumnya dan Hukum Tata Negara pada Khususnya, Alumni, Bandung, 1977.

Nair, M, Lord, The Law of treatis, Oxford at the Clarendon Press, 1961.

Arnold, Relp. Treaty Making Produces; A Comparative Study of The Methods Obstaining in Differem States, Oxford University Press, London, Humprey Nilfod, 1943.

Nomor J Tahun XXXI

Page 18: URGENSI KEBERADAAN HUKUM ANTARIKSA DALAM SISTEM …

62 Hukum dan Pembangunan

Starke, JG., Pengantar Hukum Internasional SadU/'an Edisi Kesembilan, Aksara Persada Indonesia, 1984.

Sri Mamudji, SH, M. Law .Lib., Tara Cara Peneiilian Kepustakaan Dalam Penelilian Hukum, Disampaikan pacta Lokakarya Penulisan Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam, Jakarta 17 J uni 1999.

Djati, Jusni, Dra. Apt. Penelusuran Literatur Untuk Mendukung Kegiatall Penelitian Bagi Tenaga Peneliti di Lingkungan LAPAN, 9-30 Desember 1997.

lanuari - Maret 2001