upaya serta peran asean dan cina dalam penyelesaian konflik di laut cina selatan

41
Upaya ASEAN dan Cina Dalam Penyelesaian Konflik di Laut Cina Selatan Oleh: Dio Damara 151090144 Lucelia Christa Pinkan 151100171 Cynthia Jessica Kumalasari 151100175 Syafarina Eliani 151110002 Puteri Kalya Winona 151110005 Zainnurrahman Assagaf 151110023 PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Upload: diodams

Post on 23-Nov-2015

692 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Upaya ASEAN dan Cina Dalam Penyelesaian Konflik di Laut Cina Selatan

Oleh:Dio Damara 151090144Lucelia Christa Pinkan 151100171Cynthia Jessica Kumalasari 151100175Syafarina Eliani 151110002Puteri Kalya Winona 151110005Zainnurrahman Assagaf 151110023

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERANYOGYAKARTA2014

124

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahLaut Cina Selatan adalah sumber konflik yang terjadi pada kawasan asia Pasifik termasuk juga Asia Tenggara. Sengketa laut china selatan ini telah lama melibatkan banyak negara-negara kawasan seperti (RRC, Vietnam, Thailand, Fhilipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Kamboja) semuanya mengakui bahwasannya kawasan Laut Cina selatan adalah termasuk kedalam wilayah negaranya masing-masing. Seperti Cina yang mengakui bahwasannya Pulau spartly yang terdapat di Laut Cina selatan adalah miliknya karena berada pada wilayah teritotorialnya, namun dibantah oleh Vietnam yang juga mengakui kepulauan tersebut serta beberapa negara-negara lainnya.Menghangatnya situasi di kawasan Laut China Selatan sejak bulan Maret 2009 kembali memperlihatkan potensi konflik di perairan tersebut. China merupakan aktor utama dengan aksinya yang memamerkan kekuatan armada lautnya pada dua kesempatan. Pertama, ketegangan antara kapal-kapal China dengan AS pada tanggal 8 Maret 2009. Washington menuduh lima kapal China melakukan manuver agresif dan membahayakan terhadap kapal surveillance AS yang berada sekitar 75 mil dari Pulau Hainan, area yang merupakan perairan internasional. Beijing membalas dengan mengklaim bahwa kapal AS dimaksud sedang melakukan misi mata-mata di perairan China. Kedua, adanya peningkatan jumlah armada kapal selam serta pengiriman kapal patroli China yang paling modern ke perairan yang disengketakan di sekitar kepulauan Paracel dan Spratly, setelah adanya klaim terbaru oleh Filipina berkaitan dengan sengketa wilayah tersebut. Dua kejadian dimaksud dipastikan memicu pertanyaan lama yang sebenarnya mulai terlupakan beberapa tahun terakhir ini, yaitu sampai sejauh mana China akan bertindak atas klaim teritorialnya di perairan Laut China Selatan.Semenjak beberapa dekade terakhir, negara-negara di sekitar Laut China Selatan seperti China, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Taiwan telah saling melakukan klaim teritorial dan jurisdiksional atas beberapa pulau di perairan tersebut.[footnoteRef:1] Konflik terbuka yang melibatkan militer China dan Vietnam pernah terjadi pada tahun 1974 dan 1988. Isu-isu strategis yang bersifat transnasional seperti jalur komunikasi kabel bawah laut serta jalur pelayaran penting bagi keperluan militer dan komersial ikut menarik interest dari negara besar lainnya seperti AS, Jepang dan Rusia terhadap situasi di perairan dimaksud.[footnoteRef:2] [1: Hasjim Djalal, Managing Potential Conflicts in the South China Sea, Seoul 8-10 October 2008.] [2: Ibid.]

Sebagai hegemon regional di Asia Pasifik, gerak-gerik China di Laut China Selatan menjadi isu yang mendominasi pembahasan. Untuk dapat memahami seutuhnya dinamika peran China di wilayah ini, beberapa hal penting perlu mendapatkan perhatian, diantaranya: a) faktor penarik yang menjadi interest China di Laut China Selatan ; b) hubungan strategik China dengan ASEAN (kecuali Taiwan, seluruh negara yang memiliki klaim di Laut China Selatan adalah anggota ASEAN ; dan c) peran negara besar lainnya di Laut China Selatan. Analisis atas hal-hal tersebut akan menjadi dasar untuk melakukan prediksi atas peran China di kawasan Laut China Selatan di waktu yang akan datang.Sejak awal, Beijing telah menyatakan bahwa China memiliki kedaulatan yang indisputable di kawasan Laut China Selatan. Beijing menggunakan alasan historis, mundur ke zaman Dinasti Han pada tahun 200 BC ketika pelaut dan nelayannya menggunakan bagian-bagian pulau di kawasan untuk berlindung dan keperluan lainnya. Mereka pun mengacu pada masa Pax Sinica, yaitu masa keemasan zaman Dinasti Tang pada abad ketujuh, ketika pengaruh China membentang seluas Asia Timur.[footnoteRef:3] Didukung oleh catatan sejarah, peta[footnoteRef:4] serta peninggalan budaya, sepertinya China memiliki klaim historis terlama dan terkuat di Laut China Selatan. Keyakinan kuat yang dimiliki China atas hak kedaulatan di Laut China Selatan lebih lanjut membuat orang China percaya bahwa tidak mungkin membicarakan China tanpa Laut China Selatan, dan akan sangat sulit, bagi pejabat China untuk melakukan kompromi atas kedaulatan China di wilayah itu tanpa memancing kemarahan bangsanya.[footnoteRef:5] [3: I Wibowo, China dan Kita, Harian Kompas, Rabu 22 April 2009.] [4: Hasjim Djalal, Loc. Cit.] [5: Lee Lai Too,China and the South Sea Dialogues, Westport, Connecticut: Praeger, 1999.]

Ditinjau dari berbagai aspek ekonomi, strategik dan politik, kepentingan China di Laut China Selatan sangat beragam. Dari segi ekonomi, wilayah tersebut kaya akan sumber pangan perikanan dan diperkirakan memiliki cadangan minyak dan gas bumi, yangmana sangat dibutuhkan China dalam mengembangkan ekonominya. Dari segi strategik, pelayaran bebas kapal komersial di Laut China Selatan penting dalam perdagangan regional dan internasional. Meski demikian, jika China sukses mewujudkan klaim teritorialnya, keuntungan paling besar akan dinikmati di aspek politik. China akan mampu untuk memperluas yurisdiksinya hingga 1000 mil laut dari mainland hingga dapat menguasai jantung maritim dari Asia Tenggara dan menghasilkan far-reaching consequences bagi lingkungan strategik kawasan.[footnoteRef:6] Kehadiran armada laut China di tengah-tengah negara Asia Tenggara akan memberikan China keunggulan strategis tidak hanya atas Vietnam dan Filipina, tetapi juga atas Malaysia, Brunei dan Indonesia. [6: Michael Leifer, Chinese Economic Reform: the Impact on Policy in the South China Sea, dalam Makalah The De-escalation of Spratly Dispute in Sino-South East Asian Relations, Ralf Emmers, S.Rajaratnam School of International Studies, Singapore, 6 June 2007.]

Telah terjadi perubahan pendekatan yang dilakukan oleh China dalam isu Laut China Selatan sebelum dan setelah pertengahan dekade 90-an. Pada saat periode Perang Dingin, China menjalankan kebijakan yang cukup konfrontatif dan tanpa komrpomi, terlihat dari terjadinya konflik terbuka dengan Vietnam. Kebangkitan China diasosiasikan dengan persepsi China Threat yang penuh dengan ketidakpercayaan dan rasa takut.[footnoteRef:7] Hal ini merupakan dampak kebijakan seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pengembangan kekuatan militer juga terus dilakukan, sebagaimana nampak pada pertumbuhan anggaran belanja militernya dari tahun ke tahun. [7: Stuart Harris, Chinas Regional Policies: How Much Hegemony? ,dalam Australian Journal of International Affairs, 59 (4), 2005.]

Namun sebaliknya, memasuki akhir dekade 90-an, China mulai melunak. Perubahan sikap China diawali sejak insiden Mischief Reef tahun 1995 dan berkulminasi pada saat penandatanganan Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea pada tahun 2002, yang intinya mengedepankan konsultasi dan dialog dalam sengketa Laut China Selatan. Deklarasi ini merupakan bagian dari upaya negara-negara ASEAN dalam mencari explicit confirmation that Chinas presence in the South China Sea will not jeopardize peaceful coexistence.[footnoteRef:8] Pentingnya deklarasi ini dalam menjaga perdamaian di kawasan Laut China Selatan diakui seiring dengan penyebutannya sebagai titik tolak dalam the de-escalation of the Spratly Dispute in Sino-Southeast Asian. China akhirnya memperlunak sikapnya di Laut China Selatan guna mengakomodasi suara negara-negara di Asia Tenggara. [8: The De-escalation of Spratly Dispute in Sino-South East Asian Relations, Ralf Emmers, S.Rajaratnam School of International Studies, Singapore, 6 June 2007.]

Sikap China lainnya yang dapat dianggap sebagai upaya progresif kearah pengurangan potensi konflik dan pengembangan kerjasama di Laut China Selatan dapat dilihat dalam forum Lokakarya Laut China Selatan, suatu upaya dari diplomasi multilateral Indonesia yang sudah berlangsung sejak 1990. Dalam forum yang diikuti oleh para peserta dari 11 negara di Asia dalam kapasitas pribadi tersebut, sejauh ini China merupakan donatur yang memberikan jumlah sumbangan paling besar.Pergeseran kebijakan yang dilakukan oleh China di Laut China Selatan pasca Perang Dingin sulit untuk dilihat dari kacamata pendekatan realis, yang sebelumnya dapat menjelaskan perilaku agresif China pada era Perang Dingin.[footnoteRef:9] Melunaknya sikap China tersebut sedikit banyak menggambarkan bagaimana Beijing telah mengalami perubahan paradigma dalam melihat hubungan internasional pasca Perang Dingin. Pada kasus ini, paradigma realis tidak mampu menjelaskan mengapa ketika terjadi power vacuum di Asia Timur Laut dan Asia Tenggara, China tidak masuk dengan mengerahkan kekuatannya (hard power), seperti meminta negara-negara ASEAN untuk menyediakan tempat untuk pangkalan militer China, sebagaimana dilakukan oleh Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Ketimbang mengedepankan hard power, China memilih strategi heping jueqi (bangkit dengan damai), yang menekankan pada peran proaktif China tidak hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga politik dan kebudayaan dengan bernafaskan multilateralisme. Dalam wacana saat ini, China pada dasarnya sedang mengembangkan soft power seperti dirumuskan oleh Joseph Nye. Tanpa mengerahkan kekuatan militernya, China bisa menaklukkan kawasan Asia Tenggara. Negara-negara di Asia Tenggara mungkin saja tidak terlalu gembira dengan kebangkitan China, tetapi sekurang-kurangnya mereka tidak perlu cemas dan khawatir karena kebangkitan China tidak diiringi dengan violence.[footnoteRef:10] [9: Martin Wright, Power Politics, 1978 dan Nazli Choucri & Robert C. North, Nations in Conflict: National Growth and International Violence, 1975.] [10: I Wibowo, Peran Cina dalam Kawasan Asia Tenggara, Harian Kompas. ]

B. Rumusan MasalahBerdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dirumuskan berbagai masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu adalah: Apa saja bentuk upaya serta peran ASEAN dan Cina dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan?

BAB IIPEMBAHASAN

Upaya ASEAN Dalam Penyelesaian Konflik Laut Cina Selatan1. Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea (DoC) : Joint DevelopmentMelalui ASEAN Regional Forum (ARF) membentuk suatu manajeman penyelesaian konflik secara damai bagi negara anggota ASEAN dan Cina. Salah satu produk ARF untuk mendamaikan konflik di wilayah tersebut, dikeluarkanlah The Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea yang diratifikasi pada 4 November 2002. Dalam deklarasi antara ASEAN dan Cina ini disepakati bahwa sengketa territorial di Laut Cina Selatan tidak akan menjadi isu internasional atau isu multilateral. Delapan tahun setelah deklarasi ASEAN dengan Cina mengenai konflik Laut Cina Selatan diratifikasi, kejelasan status atas kepemilikan Kepulauan Spratly dan Paracel belum menemukan titik terang.Cina yang agresif mengenai klaimnya atas Kepulauan Spratly dan Paracel, mencoba untuk memperluas pengaruhnya untuk menghindari sorotan internasional atas konflik teritori tersebut. ASEAN menuntut agar dilakukannya negosiasi secara multilateral, untuk mengurangi dominasi Cina. Cina, di pihak lain, bersikeras untuk menerapkan solusi damai melaui pembicaraan bilateral antara pemerintah Cina dengan pemerintah negara yang terlibat konflik dengan Cina secara informal.Pemerintah Cina ingin mengarahkan penyelesaian konflik agar tidak meluas menjadi pembahasan global. Tahun 1999 Filipina berusaha untuk mengundang pihak ketiga yakni Amerika Serikat dan Jepang untuk menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. Tetapi hal tersebut langsung ditolak oleh Cina, bahkan ASEAN pun terpecah antara yang mengiginkan pihak ketiga dengan yang tidak mengiginkan. Akhirnya negosiasi pun gagal dilaksanakan. Bahkan PBB pun tidak bisa ikut campur dalam konflik di kawasan ini.Hal ini disebabkan Cina sebagi anggota tetap Dewan Keamanan PBB (DK PBB) memiliki hak veto untuk menolak resolusi DK PBB yang menyangut sengketa Laut Cina Selatan. Pada pertemuan ARF yang diselenggarakan di Hanoi pada 23 Juli 2010, pemerintah Cina mengecam upaya internasionalisasi isu kemanan di laut Cina Selatan. Menteri Luar Negeri Cina, Yang Jienchi, menyatakan bahwa The Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea telah memainkan peran yang signifikan dalam menciptakan stabilitas kawasan. Yang Jienchi mengakui adanya pertikaian teritori dan peraiaran, akan tetapi persoalan tersebut tidak boleh dilihat sebagai pertikaian antara Cina dengan ASEAN, tetapi sebagai konflik bilateral antara China dengan negara-negara yang bertikai. Bergulirnya pertemuan ARF tersebut masih belum dapat menyelesaikan dan memutuskan bagaimana kepemilikan atas sengketa wilayah yang terdapat di Laut Cina Selatan.Secara resmi China lalu menegaskan kedaulatannya alas kepulauan Spratly di tahun 1992 serta mengklaim seluruh laut China Selatan. Tindakan China ini mendesak ASEAN (empat negara anggotanya resmi adalah disputants) untuk bersama-sama dengan Republik Rakyat China rnernbuat suatu deklarasi tentang perilaku di Laut China Selatan di tahun 2002 di Pnom Penh, Kamboja dengan mendesak semua negara pengklaim untuk menyelesaikan persengketaan di laut China Selatan secara damai. Di dalam Deklarasi itu.[footnoteRef:11] [11: Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea, http://www.aseansec.org/13165.htm ]

1. The Parties reaffirm their commitment to the purposes and principles of the Charter of the United Nations, the 1982 UN Convention on the Law of the Sea, the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, the Five Principles of Peaceful Coexistence, and other universally recognized principles of international law which shall serve as the basic norms governing state-to-state relations;1. The Parties are committed to exploring ways for building trust and confidence in accordance with the above-mentioned principles and on the basis of equality and mutual respect;1. The Parties reaffirm their respect for and commitment to the freedom of navigation in and overflight above the South China Sea as provided for by the universally recognized principles of international law, including the 1982 UN Convention on the Law of the Sea;1. The Parties concerned undertake to resolve their territorial and jurisdictional disputes by peaceful means, without resorting to the threat or use of force, through friendly consultations and negotiations by sovereign states directly concerned, in accordance with universally recognized principle, of international law, including the 1982 UN Convention on the Law of the Sea;1. The Parties undertake to exercise self-restraint in the conduct of activities that would complicate or escalate disputes and affect peace and stability including, among others, refraining from action of inhabiting on the presently uninhabited islands, reefs, shoals, cays, and other f eatures and to handle their differences in a constructive manner.Sambil menunggu suatu penyelesaian yang komprehensif dan berjangka panjang, paragraf 5 juga memungkinkan atau membolehkan para pihak, baik secara bilateral, maupun multilateral, inengeksplorasi dan melakukan kegiatan kerjasama, yang mencakup lima kegiatan, yaitu :[footnoteRef:12] [12: Ibid.]

1. Marine environmental protection;1. Marine scientific research;1. Safety of navigation and communication at sea;1. Search and rescue operation; and1. Combating transnational crime, including but not limited to trafficking in illicit drugs, piracy and armed robbery at sea, and illegal traffic in arms.Modalitas, jangkauan dan lokasi dari kerjasama bilateral atau multilateral ini harus disetujui terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang bermaksud mengadakan kerjasama itu sebelum pelaksanaannya. Kendatipun Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) bukan merupakan suatu traktat, juga bukan suatu Code of Conduct (CoC) yang formal, ia merupakan suatu pernyataan politik untuk mengurangi ketegangan di wilayah ini dan mulai kerjasama. Tetapi, ia juga merupakan suatu persetujuan untuk bekerja menuju suatu code of conduct yang formal.Laut China Selatan memperlihatkan perkembangan yang baru di bulan Agustus 2004, ketika pemerintah Filipina menyatakan bahwa mereka tidak lagi menentang eksplorasi untuk mendapatkan deposit hidrokarbon di perairan Laut China Selatan yang dipersengketakan, Pernyataan ini lalu membuka jalan bagi studi-studi seismik di Laut China Selatan guna mendapatkan daerah-daerah untuk eksplorasi minyak dan gas bumi. Persetujuan ini yang dikenal sebagai Joint Marine Seismic Undertaking (JMSU) ditandatangani pada kunjungan Presiden Arroyo ke Beijing pia 1-3 September 2004. la menyetujui suatu studi selama tiga tahun yang dilakukan bersama oleh Philippine National Oil Company (PNOC) dan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC). Pemerintah Filipina menekankan bahwa JMSU dapat diklasifikasi sebagai marine scientific research dan karena itu dibolehkan oleh paragraf 5 dari DoC.[footnoteRef:13] [13: Ibid.]

Beberapa alasan merupakan dasar perubahan sikap politik Filipina yang sebelumnya menentang sikap pemerintah China yang terlalu asertif. Pertama, pemeriantah Filipina berpendapat bahwa kenaikan harga minyak bumi yang luar biasa merupakan suatu ancaman bagi keamanan nasional negara itu. Karena perkiraan-perkiraan bahwa harga minyak bumi akan tetap tinggi untuk jangka waktu yang cukup panjang, maka Filipina menganggap perlu untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumber minyak di wilayah-wilayah sekitarnya. Sejak menjadi Presiden Filipina di 2001, Arroyo membuat peremajaan ekonomi Filipina sebagai program utama pemerintahnya. Pemerintah Arroyo melihat China sebagai suatu regional economic powerhouse yang dapat membantu Filipina untuk keluar dari kemunduran ekonominya. Joint Marine Seismic Undertaking itu dapat dilihat sekaligus sebagai suatu usaha untuk memperbaiki hubungan Filipina-China yang sangat terganggu karena persengketaan di kepulauan Spratly. Langkah-langkah Filipina ini didukung oleh status quo di Laut China Selatan. Untuk sementara memang tidak akan ada satu kekuatan yang mempunyai kemampuan untuk memaksakan klaimnya secara mutlak atas Laut China Selatan.[footnoteRef:14] [14: Ralf Emmers, Maritime Disputes in the south China Sea: Strategic And Diplomatic Status Quo, Istitute For Defence And Strateis Studies (HSS) Working Paper No. 87, Septeber 2005]

Negara lainnya yang juga sangat berkepentingan dengan sumber minyak.bumi di Laut China Selatan adalah Vietnam. Pada 14 Maret 2005 perusahaan-perusahaan minyak Filipina, China dan Vietnam (Philipine National Oil company, China Offshore Oil Corporation dan Vietnam Oil and Gas Corporation) menandantangani suatu persetujuan tripartit di Manila. Sesuai dengan persetujuan ini, 15 juta dollar AS, yang dibagi sama di antara ketiga pihak, diperuntukkan suatu usaha seismik kelautan bersama di Laut China Selatan. Persetujuan ini berlaku untuk tiga tahun dan mencakup suatu wilayah seluas 143.000 kilometer persegi.Ketiga pihak dalam persetujuan ini menegaskan bahwa penandatanganan ini tidak akan mengggerogoti posisi dasar ketiga pemerintah di laut yang dipersengketakan, melainkan dalam usaha bersama ini mereka membangun suatu wilayah perdamaian, stabilitas, kerjasama sesuai dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 dan ASEAN-ChinaDeclaration on the Conduct of Paties in the South China Sea tahun 2002. Vincente Perez jr, menteri energi Filipina, menegaskan bahwa- penelitian seismik bersama ini hanya akan melibatkan kapal-kapal untuk penelitian seismik, yaitu suatu penelitian untuk menemukan struktur geologi landas kontinen di suatu bagian Laut China Selatan melalui ledakan-ledakan yang dibuat untuk memantau shock waves yang mengungkapkan data tentang kemungkinan adanya reserves minyak dan gas bumi. Mereka tidak akan melakukan drilling. Presiden Arroyo menyebut usaha ini suatu terobosan historis dalam pengembangan wilayah sengketa antara ASEAN dan China menjadi suatu sumber energi di wilayah ini.Pada 16 November 2005 China Oilfield Services Limited (COSL) dengan kapal eksplorasi Nanhai 502 telah menyelesasikan misinya sesudah hanya 75 hari dari delapan bulan yang semula diperkirakan diperlukan untuk menyelesaikan eksplorasi pertamanya. Kabel sensor sepanjang 11.000 km telah dapat diletakkan di dasar laut yang mencakup wilayah seluas 140.000 kin persegi. Zhu Weilin, wakil presiders China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) menyatakan bahwa keberhasilan eksplorasi bersama di Laut China Selatan ini hanya dapat dicapai saling kepercayaan antara ketiga negara pongeksplorasi.Permasalahan diperkirakan akan muncul sesudah tiga tahun, sesudah survei yang disetujui selesai. Bagaimanakah tahap berikut kerjasama ini apabila mereka tetap berpegang pada klaim teritorial masing-masing, apabila mereka menentukan akan mulai dengan drilling? Lalu, bagaimana eksploitasi bersama itu akan dilakukan? Andaikan hal ini dapat disetujui, lalu bagaimana ketiga pihak yang setuju untuk bekerjasama membagi biaya dan keuntungannya. Peran apakah yang harus dimainkan para disputan yang lain di wilayah ini? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah. Laut China Selatan dapat berkembang menjadi laut persahabatan dan kerjasama ataukah akan tetap merupakan sumber ketegangan antar negara di sekitar Laut China Selatan. Jelas bahwa urgensi keamanan, suplai energy akan memainkan peran yang sangat penting dalam posisi yang akan diambil masing-masing pihak yang bersengketa.Di dalam persengketaan batas-batas maritim, daya tarik akses ke sumber daya minyak dan gas bumi di landas kontinen wring mempunyai peran ganda. Pada satu pihak, ia merupakan suatu faktor untuk memotivasi, mendorong keinginan untuk menyelesaikan persengketaan secepat mungkin, sehingga ekspl orasi dapat segera mulai, terutama apabila harga-harga minyak bumi terus melambung. Pada lain pihak, kehadiran sumber-sumber alam itu dapat pula menjadi kendala bagi penyelesaian konflik, karena, masing-masing pihak tidak bersedia merelakan atau melepaskan sesuatu yang dianggapnya sebagai hak-hak dasarnya. Ada juga kekhawatiran bahwa apabila suatu garis kompromi ditarik di zona yang dipersengketakan dan di mana terdapat klaim tumpang-tindih itu untuk melakukan joint development, sebagian besar dari sumber-sumber daya laut itu justru berada ditempat yang salah dari garis itu untuk pihak satunya.[footnoteRef:15] [15: CPF, Luhulima, Pendekatan Multilateral dalam penyelesaian sengketa laut Cina Selatan, dalam Dinamika ASEAN Menuju 2015, Jakarta : Pustaka Pelajar, 2011, hal. 177]

Persoalan yang harus diperhatikan di Laut China Selatan ini adalah apakah persetujuan antara perusahaan-perusahaan minyak ke tiga negara itu untuk bersama-sama mengeksploatasi sumber daya lepas pantai di perairan yang dipersengketakan dapat meredam klaim kedaulatan dan dengan demikian melanjut terus pengembangan sumber daya laut bersama-sama. Kalau kemungkinan-kemungkinan itu muncul, maka penyelesaian persengketaan dapat dibangun bersama dengan mengandalkan keberhasilan dalam mengembangkan eksplorasi dan eksploitasi sumber minyak dan gas bumi.[footnoteRef:16] [16: Ibid.]

2. Summit ASEAN ke 20 di Cambodia 2012 : Menuju Code Of Conduct (CoC)Pertemuan The Sixs ASEAN-China Joint Working Group on the Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC), 17-19 April 2011 merupakan kelanjutan dari 5th Joint Working Group yang telah dilaksanakan di Kunming, Cina, pada Desember 2010. Pada pertemuan ini, China telah mengajukan Proposal draft Guidelines DOC. Pertemuan menghasilkan draft Report of the 6th Meeting of the ASEAN-China Joint Working Group on the Implementation of the DOC guna dibahas lebih lanjut pada pertemuan JWG berikutnya yang direncanakan akan diselenggarakan di China. Isu Laut China Selatan akan turut dibahas dalam rangkaian pertemuan pejabat tinggi ASEAN dan negara mitra wicara (ASEAN Senior Officials Meeting/ASEAN SOM and Related Meetings) di Surabaya, pada 7-11 Juni 2011. Pembahasannya, terutama mengenai implementasi Declaration on the Conduct of Parties (DOC).Masalah Laut China Selatan kembali dibahas oleh kelompok Association of South East Asian Nations (Asean) dengan China, pada pertemuan SOM ASEAN-China ke IV, tanggal 14 Januari 2012 di Beijing. Topik pembahasan kedua belah pihak terkait persoalan dari implementasi Declaration on the Conduct (DOC) di Laut China Selatan yang telah dilaksanakan selama ini, serta pertukaran pandangan mengenai upaya tindak lanjut Guidelines dari implementasi DOC secara menyeluruh, khususnya di tahun 2012 ini. Selain itu dibahas pula aktivitas bersama Asean-China yang akan dilaksanakan dalam bentuk kerja sama praktis dan konkrit dalam kerangka implementasi DOC yang dimaksud.[footnoteRef:17] [17: Pertemuan Som Asean-China, Tanggal 14 Januari 2012.]

ASEAN dan China melalui Pertemuan ini secara kolektif dan tegas menyatakan kembali signifikansi dari DOC dan upaya implementasinya sebagai dasar bagi terciptanya perdamaian, stabilitas, kerja sama dan terutama membangung kepercayaan di Laut China Selatan di antara negara anggota ASEAN dan China. Ada kesepakatan dari China dan Asean untuk memperkuat komitmen bersama untuk mengimplementasikan DOC secara efektif dan bermanfaat bagi seluruh pihak yang terlibat.Tahun 2012 merupakan tahun yang penting karena genap 10 tahun ditandatanganinya DOC antara ASEAN dan China. Dalam rangka memperingati 10 tahun penandatanganan DOC tersebut, telah disepakati untuk diadakan suatu ASEAN-China joint commemorative workshop. Para Pejabat Senior ASEAN menyambut baik inisiatif pembentukan China-ASEAN Maritime Cooperation Fund sebesar RMB 3 milyar yang diumumkan oleh PM China, Wen Jiabao, pada saat KTT ASEAN-China di Bali bulan November 2011. China menekankan bahwa komitmen utama dari dana itu akan difokuskan bagi pembiayaan segala aktivitas yang terkait dengan implementasi DOC ataupun dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kerjasama di bidang maritim di antara Negara anggota ASEAN dan China. Pertemuan para Pejabat Senior tersebut didahului dengan 7th Meeting of the ASEAN-China Joint Working Group (JWG) on DOC yang diadakan dalam rangka mempersiapkan kesuksesan Peretemuan ke-4 para Pejabat Senior ASEAN dan China.[footnoteRef:18] [18: Ibid.]

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-18 ASEAN di Jakarta, 7-8 Mei 2011 telah menghasilkan dukungan atas proses konsultasi yang konstrukstif dan terus menerus dengan China, untuk membahas berbagai masalah di kawasan Laut China Selatan termasuk rencana awal pertemuan tingkat menteri antara ASEAN dan China dalam pembahasan DOC. Di sini, Indonesia dan ASEAN menekankan pentingnya implementasi efektif dari DOC dan mendorong agar DOC segera diterapkan dalam bentuk COC, sebagai langkah maju hasil perundingan dengan China dalam masalah Laut China Selatan. DOC diakui oleh ASEAN sebagai dokumen yang penting dalam langkah untuk mewujudkan perdamaian, stabilitas, dan saling percaya antara negara-negara Asia Tenggara dan China. Indonesia mencemaskan adanya kemungkinan keterlibatan (campur tangan) Amerika Serikat dan Jepang untuk masuk ke sana, yang mungkin akan berdampak pada semakin rumit dan panjangnya penyelesaian sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.[footnoteRef:19] [19: Konferensi Tingkat Tinggi ke-18 ASEAN di Jakarta, 7-8 Mei 2011.]

Kemudian pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke 20 berlangsung di Phnom Penh, Cambodia, 3-4 April 2012, terkait masalah di Laut China Selatan, pemimpin negara-negara di Asia Tenggara sepakat untuk membuat prakarsa untuk memecahkan masalah sengketa maritim dengan China. Namun, ASEAN ternyata belum dapat menemukan posisi mereka dalam konflik Laut China Selatan. Negara-negara ASEAN terpecah dalam mendudukkan posisi dan peran China. Di satu pihak, sebagian negara ASEAN berpendapat bahwa China harus dilibatkan sejak awal dalam proses perumusan CoC. Sebagian anggota lain, khususnya Filipina dan Vietnam, bersikukuh ASEAN harus menyatukan posisi terlebih dulu sebelum menyodorkan draf CoC untuk dinegosiasikan dengan China.[footnoteRef:20] [20: KTT ASEAN ke 20 Phnom Penh, Cambodia 3-4 April 2012]

ASEAN belum menyepakati mengenai fungsi dan elemen-elemen apa saja yang perlu dimasukkan ke dalam CoC. Filipina masih bersikukuh bahwa harus ada kejelasan terlebih dahulu mengenai wilayah- wilayah mana yang disengketakan dan yang tidak. Sementara sebagian negara ASEAN lainnya berpendapat permintaan Filipina itu sulit dilakukan mengingat sengketa atas kedaulatan dan yurisdiksi di Laut China Selatan mustahil diselesaikan dalam waktu singkat. Oleh karena itu, CoC sebaiknya dirumuskan tidak untuk menyelesaikan sengketa teritorial, tetapi untuk merumuskan sebuah mekanisme yang dapat mendorong kerja sama, membangun sikap saling percaya, mencegah konflik dan mengelola krisis, serta menanggulangi insiden di laut.[footnoteRef:21] [21: Ibid.]

Philipina menekankan perlunya ASEAN untuk memperkuat sikap bersama mengenai peraturan yang diusulkan yang bertujuan untuk meredakan ketegangan di Laut China Selatan sebelum berunding dengan China. Landasan pokok peraturan yang diusulkan itu haruslah internal bagi ASEAN, tanpa harus melibatkan pihak China terlebih dahulu. Dan setelah CoC (Code of conduct) diselesaikan oleh ASEAN, maka negara-negara anggota ASEAN akan bertemu dengan China. ASEAN harus memperkuat posisi dulu sebelum berunding dengan China. Dengan kata lain, para pemimpin ASEAN harus bersatu untuk menyelesaikan sengketa perbatasan di laut China Selatan sebelum berunding dengan China. Karena jika ASEAN sudah mempunyai kesatuan pandangan, maka posisinya akan lebih kuat untuk melakukan perundingan dengan China.Sentralitas ASEAN harus diutamakan untuk bisa menetapkan arah dan agenda terkait persoalan di Laut China Selatan.[footnoteRef:22] [22: Ibid.]

Philipina dan Vietnam menginginkan mekanisme multilateral. Philipina adalah negara yang ingin agar masalah Laut China Selatan dibahas dalam Summit ASEAN ke-20. Philipina menginginkan ASEAN Maritime Forum (AMF) digelar di Manila, Filipina dalam waktu dekat.Sementara itu, Cambodia sebagai Ketua ASEAN 2012 justru menginginkan pihak China terlibat dari awal dalam persiapan dan penyusunan peraturan (CoC) Laut China Selatan. Cambodia dan Laos menganggap bahwa isu Laut China Selatan sebaiknya tidak di internasionalisasi . Sedangkan posisi Indonesia adalah komunikasi yang konstan melalui ASEAN-China Framework, terkait CoC.Pada saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN tahun 2011, ASEAN dan China sepakat mengenai satu paket garis pedoman (panduan) Code of Conduct untuk mengakhiri 10 tahun deadlock, karena sebelumnya China cenderung menolak untuk terlibat dalam upaya pembahasan klaim tumpang tindih di Laut China Selatan. Peraturan itu diharapkan merupakan dokumen yang mengikat secara hukum yang bertujuan mencegah insiden-insiden kecil di Laut China Selatan menjadi konflik yang lebih besar yang dapat menyeret major power dikawasan seperti Amerika Serikat, Jepang, India, atau Rusia. Filipina dan Vietnam menuduh China bersikap makin agresif menyangkut klaimnya. Sementara itu AS menegaskan satu kepentingan nasional untuk mempertahankan jalur pelayaran itu bebas dan terbuka. AS telah mengadakan kerjasama militer dengan Philipina.[footnoteRef:23] [23: Ibid.]

Presiden China Hu Jintao mengunjungi Kamboja menjelang berlangsungnya pertemuan KTT ASEAN di Cambodia sebagai bentuk tekanan terhadap Phnom Penh, yang saat ini memegang posisi Ketua ASEAN, untuk memperlunak negosiasi Laut China Selatan. Presiden Hu Jintao telah meminta bantuan Cambodia agar ASEAN tidak tergesa-gesa dalam menyelesaikan rancangan CoC. Keputusan Kamboja tidak membahas konflik Laut China Selatan menimbulkan kecurigaan bahwa Cambodia ditekan China. China ingin mengulur perundingan terkait kawasan kaya minyak tersebut. China menolak internasionalisasi wilayah konflik itu. China memilih berunding secara bilateral dengan ASEAN. Pemerintah China ingin bernegosiasi langsung dengan negara anggota ASEAN terkait penyusunan CoC. Pihak China melihat bahwa perumusan CoC tidak akan efektif tanpa melibatkan mereka sejak awal. Sikap ini mencerminkan posisi Beijing yang kurang suka merundingkan CoC setelah ASEAN memiliki posisi bersama mengenai sengketa di Laut China Selatan. Bagi China, keterlibatannya sejak awal dalam merumuskan CoC, terutama pada saat negara-negara ASEAN masih memiliki perbedaan pendapat, akan memberi keuntungan strategis dan taktis.[footnoteRef:24] [24: Ibid.]

Negara-negara ASEAN menyadari bahwa perbedaan yang berlarut-larut di antara mereka akan melemahkan posisi dan memperburuk citra ASEAN. Perbedaan pendapat mengenai bentuk dan waktu keterlibatan China dalam perumusan CoC telah melahirkan spekulasi mengenai besarnya pengaruh China untuk membuat perbedaan pendapat di tubuh ASEAN. Keputusan Kamboja, sebagai tuan rumah KTT Ke-20 ASEAN, untuk tidak memasukkan soal Laut China Selatan ke dalam agenda resmi Summit ASEAN do PhnomPenh, bisa dilihat sebagai hasil dari pengaruh dan tekanan China terhadap negara itu.Indonesia melihat peran ASEAN dalam pengelolaan isu Laut China Selatan semakin strategis dan menentukan, seiring dengan dinamika permasalahan aktual yang terjadi. Hal ini diutarakan oleh Dirjen Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, Duta Besar I Gusti Agung Wesaka Puja, selaku Ketua Delegasi RI/SOM Leader ASEAN-Indonesia yang mengikuti Pertemuan ASEAN Senior Officials Meeting (SOM) tanggal 24 Mei 2012 di Phnom Penh, Kamboja. Selaku Ketua ASEAN tahun 2012, Kamboja telah memimpin serangkaian pertemuan ASEAN SOM Working Group on Code of Conduct yang mandat dan lingkup tugasnya adalah mengidentifikasi elemen-elemen Regional Code of Conduct in the South China Sea (CoC). Pertemuan ASEAN SOM kali ini telah mencapai kemajuan besar dalam upaya finalisasi penyusunan elemen-elemen dalam COC yang selanjutnya akan dilaporkan pada rangkaian ASEAN Ministerial Meeting (AMM) mendatang.[footnoteRef:25] [25: Directorate of ASEAN Political-Security Cooperation Directorate General of ASEAN Cooperation Ministry of Foreign Affairs Republic of Indonesia.]

Indonesia memandang bahwa salah satu elemen utama dalam kerangka implementasi secara penuh dan efektif Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) adalah penyelesaian pembahasan suatu Regional Code of Conduct di Laut China Selatan antara ASEAN dan China serta terlaksananya kegiatan atau proyek kerjasama yang antara lain tercantum dalam DOC dan sejalan dengan Guidelines for the Implementation of the DoC yang disepakati oleh ASEAN dan China pada Pertemuan 44th AMM/PMC/18th ARF tahun 2011 yang lalu di Bali, Indonesia.[footnoteRef:26] [26: Ibid.]

Pertemuan ASEAN SOM Meeting and Related Meetings diselenggarakan di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 23-27 Mei 2012, dihadiri para pejabat senior dari 10 negara anggota ASEAN, negara-negara Mitra Wicara ASEAN, dan Sekretariat ASEAN. Pertemuan ASEAN SOM tersebut diawali dengan penyelenggaraan 7th Meeting of the ASEAN SOM Working Group on Code of Conduct (COC) dan 6th Meeting of the ASEAN SOM Working Group on ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (AIPR) pada tanggal 23 Mei 2012. Sebagai bagian dari rangkaian Pertemuan ASEAN SOM Meeting and Related Meetings juga diselenggarakan Pertemuan ASEAN+3 SOM dan EAS Senior Officials Meeting tanggal 25 Mei 2012, ASEAN Regional Forum (ARF) SOM tanggal 26 Mei 2012 dan ditutup dengan 14th ASEAN-India SOM tanggal 27 Mei 2012.Upaya Cina Dalam Penyelesaian Konflik Laut Cina SelatanCina mempunyai pandangan bahwa The Declaration on Conduct of Parties in the Southeast Asia (DoC) tahun 2002 tersebut semata-mata hanya sebuah dokumen kerjasama antara ASEAN dengan Cina saja, sama halnya seperti Cina dalam menandatangani Treaty of Amity and Cooperation (TAC), padahal semua anggota ASEAN melihatnya justru sebagai sebuah dokumen untuk menyelesaikan perselisihan wilayah yang terjadi antara anggota ASEAN dengan Cina di Laut Cina Selatan.Deklarasi dari Dokumen tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa perselisihan yang terjadi di Laut Cina Selatan yang melibatkan 4 Negara anggota ASEAN (Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam) dengan Cina, dapat diselesaikan dengan cara-cara dipomatik, tanpa harus menggunakan kekuatan militer. Cina sekarang telah menjadi sebuah negara besar di kawasan Asia Tenggara yang cukup berpengaruh karena merupakan mitra perdagangan terbesar ASEAN, sementara ASEAN adalah mitra dagang terbesar ke 4 bagi Cina.[footnoteRef:27] [27: Indonesia-ASEAN dan masalah Laut Cina Selatan, http://oseafas.com/2011/06/20/indonesia-asean-dan-masalah-di-laut-cina-selatan/#_ftn35, diakses 19 Mei 2014]

Beijing bersikeras mempertahankan sikapnya di wilayah Laut China Selatan yang dipersengketakan sebagai bagian resmi dari negara China. Pemerintah China mengklaim semua perairan di Laut Cina Selatan berdasarkan sejarah, termasuk kawasan di dekat pantai Filipina dan negara-negara ASEAN lainnya. Cina jelas bermaksud untuk menguasai Laut Cina Selatan sebagaimana Amerika Serikat ingin menguasai Karibia.Para perwira senior Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) telah mendesak Beijing untuk bersikap lebih keras dalam menegaskan klaim atas Laut China Selatan. Ancaman tersebut tidak memiliki nilai kebijakan pemerintah yang pasti, tetapi jelas menggarisbawahi tekanan domestik di Beijing untuk mengambil posisi yang lebih kuat terhadap pihak-pihak penggugat (claimant).China menolak tegas keterlibatan kekuatan di luar kawasan (seperti Amerika Serikat) dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan. Beijing berulang kali memperingatkan negara lain untuk tidak menginternasionalisasi konflik Laut China Selatan dengan melibatkan AS, karena kehadiran pasukan AS di kawasan itu hanya akan menimbulkan ketegangan dan meningkatkan potensi terjadinya konflik antar kedua negara.Latihan bersama yang digelar Amerika Serikat (AS) dan Filipina, misalnya, telah meningkatkan resiko konfrontasi militer di wilayah Laut China Selatan. Latihan bersama antara AS dan Filipina merupakan bentuk intervensi Amerika Serikat atas sengketa wilayah Laut China Selatan. AS hanya akan membangkitkan kekacauan di wilayah Laut China Selatan. Hal Ini akan berdampak besar pada perdamaian dan stabilitas regional di kawasan. Tujuan AS adalah menarik lebih banyak negara (internasionalisasi) dalam sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.Presiden Hu Jintao dalam pidatonya di Komisi Militer Pusat (tahun 2011) memerintahkan angkatan laut China bersiap untuk pertempuran, seiring meningkatnya ketegangan di kawasan terkait sengketa maritim di Laut China Selatan serta kampanye Amerika Serikat (AS) untuk memperkuat posisinya di Asia Pasifik. Pernyataan Hu Jintao dikeluarkan terkait perjalanan ke Asia oleh beberapa pejabat senior AS, termasuk Presiden AS Barack Obama, Menteri Pertahanan Leon Panetta dan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton. Perdana Menteri Wen Jiabao juga menegaskan penentangan atas intervensi kekuatan asing dalam sengketa maritim di Laut China Selatan. China segera mengumumkan rencana menggelar latihan perang di Laut Pasifik, setelah Obama menempatkan lebih dari 2.500 marinir AS di Australia. China memiliki jumlah pasukan terbesar di dunia, yang sebagian besar merupakan pasukan darat. Namun angkatan laut China akan memainkan peningkatan peran kunci, seiring upaya pemerintah China dalam mengembangkan kekuatan maritimnya. Cina dengan terang-terangkan menunjukkan prioritas pengembangan kekuatan Angkatan Laut dan ambisi memperluas pengaruh maritimnya. Dalam strategi militernya, Cina sudah memasuki tahap ketiga untuk menciptakan blue water navy yang memiliki pengaruh global pada 2050.[footnoteRef:28] [28: Peter Howarth, Chinas Rising Sea Power: The PLA Navys Submarine Challenge, London, Chinas Rising Sea Power: The PLA Navys Submarine Challenge.]

Rumitnya persoalan Laut China Selatan bahkan membuat pemimpin China setelah Mao Zedong, Deng Xiaoping pernah berkata karena kita tidak bisa memecahkan masalah Laut Cina Selatan, kita dapat menyerahkan kepada generasi berikutnya yang akan lebih pintar. Maklum saja di luar China dan negara-negara ASEAN, Deng Xiaoping sudah melihat adanya indikasi campur tangan Amerika Serikat atas teritorial tersebut yang berusaha untuk melakukan internasionalisasi atas masalah sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan, yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN.[footnoteRef:29] [29: Menunggu Laut Cina Selatan Bergejolak, http://aergot.com/2011/05/13/menunggu-laut-china-selatan-berhenti-bergolak/, diakses 19 Mei 2014]

Pangkal masalah China boleh dibilang akibat Undang-Undang domestik nya, yaitu UU dalam negeri tahun 1998 yang menegaskan penegakan hukum atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan batas 200 mil laut dari garis dasar pantai. Padahal, sebelummnya Cina adalah penandatangan ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.Berdasarkan UU tersebut, China tidak mengakui wilayah udara di atas dengan ZEE sebagai wilayah udara internasional Dengan regulasi tersebut, China yang kuat secara ekonomi dan militer menjadi sangat galak bahkan dinilai congkak atas wilayah ZEE mereka. Undang-undang tersebut menjadikan ketegangan di kawasan Laut China Selatan meningkat, apalagi setelah pada Januari 2010 China mengumumkan rencana untuk mengembangkan pariwisata high-end pada beberapa Kepulauan Paracel, di bawah rencana baru untuk menarik wisatawan ke pulau Hainan.[footnoteRef:30] [30: Ibid.]

Setahun sebelumnya, China menahan 25 nelayan asal Vietnam yang ditemukan di dekat Paracels, dan baru dibebaskan setelah adanya demonstrasi besar-besaran di Vietnam. China secara politis memang membantu komunis Vietnam melawan Amerika Serikat dalam perang Vietnam, namun pada 20 Januari 1974, China mencaplok Kepulauan Paracel dari Vietnam.Kemudian pada 8 Maret 2009, lima kapal China terlibat insiden dengan sebuah kapal Angkatan Laut AS bersenjata Impeccable di Laut Cina Selatan yang sedang melakukan operasi rutin 75 kilometer di selatan dari pulau Hainan. Insiden Impeccable cukupmenarik karena muncul klaim dari AS bahwa kapal tersebut tak bersenjata, namun dari China santer kabar beredar Impeccable adalah penarik peralatan sonar untuk memantau lalu lintas kapal selam China.Dalam kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri James Steinberg dan Dewan Keamanan Nasional ASs Jeffrey Bader pada Maret 2010, Wakil Menteri Luar Negeri Cui Tiankai menegaskan bahwa China memandang Laut China Selatan sebagai bagian dari kepentingan inti setara dengan Taiwan dan Tibet.[footnoteRef:31] [31: Ibid.]

Ketegasan China atas wilayah itu bertambah setelah juru bicara Departemen Pertahanan Geng Yansheng mengatakan pada konferensi pers pada hari Jumat 30 Juli 2010 bahwa China memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas pulau-pulau di Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya. Cina akan menghormati kebebasan kapal dan pesawat dari negara-negara yang relevan melintasi Laut Cina Selatan sesuai dengan hukum internasional. Geng Yansheng mengatakan bahwa Cina akan mendorong resolusi perbedaan tentang Laut Cina Selatan dengan negara-negara yang relevan melalui dialog dan negosiasi namun menolak isu Laut Cina Selatan dijadikan persoalan internasional.[footnoteRef:32] [32: Indonesia-ASEAN dan masalah Laut Cina Selatan, http://oseafas.com/2011/06/20/indonesia-asean-dan-masalah-di-laut-cina-selatan/ diakses 19 Mei 2014]

Dalam pertemuan di Asean Regional Forum 2010, Menlu AS Hillary Rodham Clinton secara tegas mengatakan bahwa Amerika Serikat, seperti setiap bangsa, memiliki kepentingan nasional dalam kebebasan navigasi, akses terbuka untuk Asia maritim bersama, dan menghormati hukum internasional di Laut Cina Selatan. Kepentingan-kepentingan ini bukan hanya dengan anggota ASEAN atau peserta ASEAN Regional Forum, tetapi dengan negara-negara maritim lainnya dan komunitas internasional yang lebih luas. Selain itu, AS juga menegaskan pentingnya untuk mendorong peningkatkan status Declaration on the Conduct (DOC) Laut China Selatan yang diteken pada 2002 antara Asean dan China menjadi Code of Conduct (COC) atau kode etik penuh. Dalam deklarasi itu, negara-negara Asean dan China berjanji untuk menahan diri, dan tidak untuk menjadikannya sebuah isu internasional atau masalah multilateral.[footnoteRef:33] [33: Ibid.]

Inisitatif Menlu AS tersebut diatas, dijawab oleh Menteri Luar Negeri China Yang Jiechi pada 25 Juli 2010 yang memperingatkan beberapa negara tetangganya agar tidak mengadukan persoalan Laut China Selatan kepada PBB. Yang Jiechi menegaskan internasionalisasi hanya akan membuat keadaan menjadi lebih buruk dan praktik resolusi menjadi lebih sulit sehingga cara terbaik adalah negosiasi bilateral. Menurut Yang Jiechi, perdagangan telah berkembang pesat di wilayah ini dan China telah menjadi mitra dagang utama bagi banyak negara di kawasan itu. Dalam pembicaraan bilateral Cina dengan ASEAN, mereka mengatakan tidak ada ancaman bagi perdamaian dan stabilitas regional.[footnoteRef:34] [34: Ibid.]

Secara langsung Yang Jiechi menunjuk posisi Indonesia yang pada 8 Juli 2010 mengajukan surat resmi kepada PBB pasca insiden berkali di Laut China Selatan. Dalam dokumen berstempel Garuda yang juga diteruskan kepada Divisi Hubungan dan Hukum Laut dan Samudera (DOALOS), Indonesia menegaskan tidak memiliki klaim teritorial, namun melihat pentingnya persoalan Laut China Selatan untuk segera diselesaikan. Indonesia melihat pangkal masalah terjadi karena pidato Dubes China dalam sidang Otoritas Dasar Laut Internasional (ISBA) di Kingston, Jamaika pada Juni 2009 yang menegaskan klaim China atas Zona Eklusif Eekonomi sejauh 200 mil dari batas kontinen termasuk wilayah udara. Indonesia dalam hal hukum laut internasional memang sangat berkepentingan, maklum saja wilayah NKRI bisa seluas sekarang adalah karena deklarasi yang ditandatangani Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957 yang diakui secara internasional dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.Kebijakan Cina di Asia Tenggara adalah melakukan politik bertetangga baik. Dengan mempererat hubungan tentunya akan mempererat pemahaman, menjadi saling dan lebih mengerti peraturan maupun bisnis yang harus dijalankan Cina tidak ada ambisi hegemoni. Dengan demikian Cina mempunyai sikap terbuka terhadap penyelesaian damai konflik di Kepulauan Spratly dan Paracel. Menteri Pertahanan Cina Liang Guanglie menegaskan pertumbuhan ekonomi dan militer Cina yang sangat pesat bukanlah ancaman bagi kawasan Asia-Pasifik. Pernyataan ini disampaikan Guanglie dalam konferensi keamanan bulan Juni 2011di Singapura menanggapi kembali memanasnya sengketa perebutuan wilayah di laut Cina Selatan. Sebelumnya Vietnam dan Filipina memprotes aktivitas militer Cina yang meningkat di Laut Cina Selatan dalam kurun waktu bulan Februari-Mei 2011.[footnoteRef:35] [35: Cina: Kami bukan ancaman di Asia Pasifik, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/06/110605_chinamilitary.shtml, diakses 19 Mei 2014]

Pemerintah Filipina di awal bulan Juni 2011 mengatakan kapal-kapal perang dan pengintai Cina memasang pelampung di kawasan yang diklaim Manila sebagai wilayahnya.Uniknya insiden yang terjadi bulan lalu itu bersamaan waktunya dengan kunjungan Menhan Liang Guanglie ke Manila. Sementara itu, Vietnam mengatakan kapal-kapa Cina memotong kabel-kabel survey milik perusahaan minyak dan gas Vietnam. Namun, Guanglie menjamin hubungan Cina dengan Filipina dan Vietnam kini sudah kembali stabil. Pemerintah China bersumpah untuk bekerja demi perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan di tengah kambuhnya kembali ketegangan antar para pengklaim Kepulauan Spratly dan Paracel yang kaya sumber daya alam.[footnoteRef:36] [36: Cina Ingin Damai di LCS, http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view= article&id=5432:china-ingin-damai-di-laut-china&catid=3:luar-negeri&Itemid=79]

Dari semua negara pengklaim wilayah di Laut China Selatan, sengketa antara China dan Vietnam dan Philipina adalah yang paling keras. Vietnam saat ini telah juga mengundang India untuk proyek pengeboran minyak di wilayah sengketa. Perusahaan migas India dikabarkan akan melakukan pengeboran di perairan Laut China Selatan, meski muncul ancaman dari China. Menjelang pembukaan pertemuan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-44 dan ASEAN Regional Forum (ARF) ke-18 juli 2011, Vietnam menggelar latihan tempur bersama dengan Amerika Serikat yang menggusarkan China. Klaim yang tidak dapat dipastikan menyebutkan angkatan laut Cina sengaja mensabotase dua operasi eksplorasi Vietnam yang menimbulkan protes anti-Cina terbesar di jalan-jalan Hanoi dan Ho Chi Minh.[footnoteRef:37] [37: Ibid.]

Vietnam masih ingin membuat ASEAN untuk lebih tegas sebagai sebuah Blok dalam menegosiasikan Code of Conduct atas Laut Cina Selatan dengan Cina, sementara Cina sendiri lebih menyukai pembicaraan atas sengketa Wilayah di Laut Cina Selatan secara Bilateral dengan masing-masing anggota ASEAN yang terlibat perselisihan.Pada pertemuan Asean di Manila, 22 September 2011, Filipina mengajukan proposal untuk menghindari segala bentuk konflik di Laut China Selatan. Filipina mengatakan, wilayah sengketa akan dijadikan zona damai, kebebasan, dan kerja sama. Namun, di balik proposal tersebut, Manila mengusulkan untuk membagi perairan tersebut menjadi dua serta mengkategorikan satu sebagai wilayah sengketa dan lainnya wilayah non sengketa. Dalam usulan Filipina, para pihak pengklaim diperbolehkan melakukan eksplorasi di wilayah non sengketa, sementara itu wilayah sengketa akan dijadikan wilayah kerja sama. Pemerintah Filipina mengupayakan langkah untuk mempersatukan mitra-mitranya yang merupakan negara anggota ASEAN untuk menentang klaim ilegal China atas perairan Laut China Selatan. Dalam pertemuan ASEAN di Manila tersebut, seluruh negara ASEAN sepakat untuk memecahkan masalah sengketa Laut China Selatan lewat Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[footnoteRef:38] [38: Ibid.]

Menurut Menteri Pertahanan Cina Liang Guanglie, negaranya akan terus tetap berkomitmen untuk ciptakan perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan. Namun, Cina tahun ini akan terus meningkatkan anggaran pertahanannya hingga mencapai 12,7% dari anggaran belanja nasionalnya tahun 2011 menjadi 601,1 miliar yuan (91,7 miliar dolar), termasuk rencana menambahkan sekitar 1000 personil angkatan laut dan sejumlah peralatan baru untuk menjaga kepentingannya di kawasan Laut Cina Selatan. Bahkan dalam lima tahun ke depan Cina akan menambah 36 kapal pengawas ( Patroli) untuk mengawasi wilayah itu.[footnoteRef:39] [39: Cina perluas Pengawasan di Laut Cina Selatan, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/05/ 110502cinasouthsea.shtml, diakses 19 Mei 2014.]

Untuk masalah di Laut Cina Selatan yang juga melibatkan negara anggota ASEAN, Cina lebih suka pendekatan bilateral dengan Negara yang terlibat konflik di sana, daripada upaya-upaya yang mengarah kepada pendekatan multilateral. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Pertahanan China Liang Guanglie pada saat membahas masalah Laut Cina Selatan dengan para pemimpin dari Indonesia dan Filipina selama kunjungannya ke tiga negara Asia Tenggara pada akhir bulan Mei 2011. China selalu menekankan bahwa masalah Laut China Selatan tidak boleh dijadikan masalah internasional dan harus ditangani berdasarkan mekanisme bilateral.[footnoteRef:40] [40: Cina Bahas Laut Cina Selatan Dengan Indonesia dan Filipina, http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2011/05/26/228978/39/6/China_Bahas_Laut _China_Selatan_dengan_Indonesia_Filipina, diakses 19 Mei 2014]

Cina sangat menentang keras upaya internasionalisasi terhadap isu Laut China Selatan yang disuarakan oleh pihak-pihak tertentu. China akan mendorong resolusi dengan negara-negara yang terlibat sengketa melalui negosiasi dan dialog damai dan bersahabat berdasarkan hukum internasional. Bagi Cina, Laut China Selatan adalah wilayah yang damai dan bebas navigasi, tetapi perselisihan tersebut tidak seharusnya dianggap antara China dan ASEAN secara keseluruhan hanya karena melibatkan negara-negara angota ASEAN. Cina pada dasarnya menolak membicarakan masalah di Laut Cina Selatan, di forum-forum multilateral, seperti ARF. Lagipula forum-forum multilateral seperti ARF tidak akan memiliki kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa atau ketegangan yang terjadi di Laut Cina Selatan.Deng Xiaoping sudah melihat adanya indikasi campur tangan Amerika Serikat atas teritorial (Laut China Selatan) tersebut dan senantiasa berusaha untuk melakukan internasionalisasi atas masalah sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan, yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN. Pangkal masalah China boleh dibilang akibat Undang-Undang domestik nya, yaitu UU dalam negeri tahun 1998 yang menegaskan penegakan hukum atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan batas 200 mil laut dari garis dasar pantai. Padahal, sebelummnya Cina adalah penandatangan ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.Berdasarkan UU tersebut, China tidak mengakui wilayah udara di atas dengan ZEE sebagai wilayah udara internasional Dengan regulasi tersebut, China yang kuat secara ekonomi dan militer menjadi satu hal yang mengkhawatirkan dan berlebihan atas wilayah ZEE mereka. Undang-undang tersebut menjadikan ketegangan di kawasan Laut China Selatan meningkat, apalagi sejak Januari 2010 China mengumumkan rencana untuk mengembangkan pariwisata high-end pada beberapa Kepulauan Paracel, di bawah rencana baru untuk menarik wisatawan ke pulau Hainan.[footnoteRef:41] [41: Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011 dan Penyelesaian Sengketa Di Laut Cina Selatan, http://oseafas.com/2011/06/20/indonesia-asean-dan-masalah-di-laut-cina-selatan/, diakses 19 Mei 2014.]

Pada 30 Juli 2010, Departement Pertahanan China telah mengeluarkan pernyataan bahwa China memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas pulau-pulau di Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya. Cina akan menghormati kebebasan kapal dan pesawat dari negara-negara yang relevan melintasi Laut Cina Selatan sesuai dengan hukum internasional, namun menolak tegas isu Laut Cina Selatan dijadikan persoalan internasional atau dibahas secara multilateral. Bagi China, internasionalisasi hanya akan membuat keadaan menjadi lebih buruk dan praktik resolusi menjadi lebih sulit, sehingga cara terbaik adalah dengan melakukan negosiasi bilateral. China tegas menekankan bahwa masalah Laut China Selatan tidak boleh dijadikan masalah internasional dan harus ditangani berdasarkan mekanisme bilateral. Namun begitu, China punya komitmen untuk menempuh jalur perdamaian di Laut Cina Selatan, walaupun Cina akan tetap terus meningkatkan anggaran pertahanannya hingga mencapai 12,7% dari anggaran belanja nasionalnya tahun 2011 menjadi 601,1 miliar yuan (91,7 miliar dolar), termasuk rencana menambahkan sekitar 1000 personil angkatan laut dan sejumlah peralatan baru untuk menjaga kepentingannya di kawasan Laut Cina Selatan. Bahkan dalam lima tahun ke depan Cina akan menambah 36 kapal pengawas ( Patroli) untuk mengawasi wilayah itu. Bahkan ada desakan dari kalangan militer di China untuk segera menggunakan kekuatan militer melawan Vietnam dan Philipina sebagai bentuk pelajaran bagi siapa saja yang telah dianggap melanggar kedaulatan China, di perairan Laut China Selatan.

BAB IIIKESIMPULAN

Secara resmi, pendekatan China terhadap penyelesaian konflik adalah negosiasi bilateral yang dalam prakteknya dirasakan oleh beberapa pihak sedikit janggal. Sebagai contoh, perebutan kepulauan Paracel merupakan masalah bilateral antara China dan Vietnam dan seharusnya diselesaikan secara bilateral. Persengketaan kepulauan Spratly merupakan perebutan wilayah oleh China, Malaysia, Brunei, Filipina dan Vietnam dan penyelesaiannya harus dengan mekanisme multilateral yang melibatkan semua pihak. Yang menjadi masalah adalah tujuan dari negosiasi China bukanlah untuk menyelesaikan masalah kedaulatan karena China menganggap bahwa kedaulatan itu milik China dan pihak lawan tidak boleh mengungkit-ungkit soal kedaulatan. Akibatnya tujuan negosiasi China hanya untuk membuat pengaturan sementara, bukan negosiasi untuk menentukan kedaulatan. Tidak adanya penyelesaian yang konkrit memberi kesempatan pada China untuk semakin memperkuat kekuasaan dan menyebarkan pengaruhnya karena harus diakui bahwa China memiliki hard and soft power yang memadai untuk mengambil kesempatan itu. Alasan lain mengapa China menuntut negosiasi bilateral adalah apabila China menghadapi negara-negara pengklaim lain secara individual, kemungkinannya untuk menang semakin besar. Sesuai dengan teori Defensive Realism, bahwa suatu kawasan akan stabil apabila kekuatan besar, seperti China, diimbangi dengan kekuatan yang dihasilkan koalisi negara-negara yang lebih kecil. Dalam hal ini adalah ASEAN. China menyadari bahwa tidak mungkin melawan ASEAN secara keseluruhan maka yang dilancarkan adalah divide and conquer[footnoteRef:42]. Yaitu menumbangkan negara-negara kecil satu demi satu yang hanya bisa dilakukan dengan negosiasi secara bilateral. Hal yang mendukung kesimpulan tersebut adalah kegusaran China ketika pada pertemuan ASEAN pada tahun 2010 Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton menyatakan bahwa kebebasan navigasi di Laut China Selatan merupakan kepentingan Amerika Serikat. China menunjukkan ketidaknyamanannya dengan keterlibatan Amerika dalam persoalan Laut China Selatan dan mengatakan bahwa penyelesaian persengketaan harus dilakukan pihakpihak yang bersangkutan tanpa intervensi luar[footnoteRef:43]. Hal ini mungkin saja dikarenakan kekahawatiran China karena menganggap bahwa keterlibatan AS akan memperkuat negara-negara ASEAN. [42: Negotiating The South China Sea, http://the-diplomat.com/aseanbeat/2011/07/20/negotiating-the-south-chinasea/, diakses 19 Mei 2014.] [43: Maritime Security Asia, http://maritimesecurity.asia/free-2/maritime-security-asia/, diakses 19 Mei 2014.]

Penguasaan wilayah Laut China Selatan tidak dapat disangkal lagi dapat memberikan China keunggulan di kawasan Asia Pasifik mulai dari kedaulatan wilayah, keunggulan ekonomi dan energi sampai kemampuan strategis militer seperti proyeksi kekuatan dan daya penggentar nuklir. China sudah bertahun-tahun melancarkan aksi-aksi untuk mencapai keunggulan tersebut dan tampak tidak segan untuk menggunakan cara-cara yang legalitasnya dapat dipertanyakan. Meskipun begitu, kemampuan China melancarkan aksi ini terbatas karena adanya kekuatan-kekuatan penyeimbang seperti ASEAN dan hukum-hukum internasional seperti UNCLOS. Untuk mengakali keterbatasan tersebut China mengandalkan prinsip negosiasi bilateral yang digunakannya untuk menumbangkan negara-negara lawan secara satu demi satu untuk melemahkan kekuatan penyeimbang yang ada.

1