unud-1132-1818431242-bab i - iii

40
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk yang semakin pesat saat ini menjadi salah satu persoalan yang sangat penting baik dalam konteks pembangunan kota maupun pembangunan di bidang yang lainnya. Saat ini pengelolaan dan pemanfaatan ruang kota cenderung mengalami tantangan yang cukup berat akibat tingginya jumlah penduduk di wilayah perkotaan. Sedangkan disisi lain, daya dukung lingkungan dan sosial di kawasan perkotaan semakin menurun sehingga tidak mampu mengimbangi kebutuhan ruang yang perlukan. Jika dilihat dari pertumbuhan penduduk perkotaan yang mencapai 2,8 % per tahun, maka pada tahun 2025 diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 68,3 % dari total penduduk Indonesia (Royat:2010). Menurut Yunus (2005;57) dan Adisasmita (2006;187) bertambahnya kegiatan penduduk di kota yang dipicu oleh meningkatnya jumlah penduduk itu sendiri maupun meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat telah mengakibatkan meningkatnya volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Akibat yang ditimbulkan pada aspek keruangan sangat jelas yaitu meningkatnya tuntutan akan ruang untuk mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Persoalan yang dihadapi pemerintah kota di mana-mana sama, yaitu terbatasnya persediaan ruang yang dapat dimanfaatkan untuk mengakomodasikan prasarana-prasarana kegiatan baru.

Upload: riza-narji-harmain

Post on 16-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Perencanaan Wilayah

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Bertambahnya jumlah penduduk yang semakin pesat saat ini menjadi salah

    satu persoalan yang sangat penting baik dalam konteks pembangunan kota

    maupun pembangunan di bidang yang lainnya. Saat ini pengelolaan dan

    pemanfaatan ruang kota cenderung mengalami tantangan yang cukup berat akibat

    tingginya jumlah penduduk di wilayah perkotaan. Sedangkan disisi lain, daya

    dukung lingkungan dan sosial di kawasan perkotaan semakin menurun sehingga

    tidak mampu mengimbangi kebutuhan ruang yang perlukan. Jika dilihat dari

    pertumbuhan penduduk perkotaan yang mencapai 2,8 % per tahun, maka pada

    tahun 2025 diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 68,3 % dari total

    penduduk Indonesia (Royat:2010).

    Menurut Yunus (2005;57) dan Adisasmita (2006;187) bertambahnya

    kegiatan penduduk di kota yang dipicu oleh meningkatnya jumlah penduduk itu

    sendiri maupun meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat telah

    mengakibatkan meningkatnya volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Akibat

    yang ditimbulkan pada aspek keruangan sangat jelas yaitu meningkatnya tuntutan

    akan ruang untuk mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan

    untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Persoalan yang dihadapi

    pemerintah kota di mana-mana sama, yaitu terbatasnya persediaan ruang yang

    dapat dimanfaatkan untuk mengakomodasikan prasarana-prasarana kegiatan baru.

  • 2

    Ini akan menjadi tantangan karena peningkatan tuntutan ini justru dibarengi

    dengan menurunnya kapasitas finansial pemerintah dalam menyediakan sarana

    atau struktur fisik tersebut (Rahmi dan Bakti Setiawan:1999;24).

    Kota Tabanan saat ini berkembang sebagai satu kesatuan Kota Metropolitan

    Sarbagita sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor: 45 Thun 2011 tentang

    Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan

    Tabanan. Kota Tabanan merupakan penyangga Badung dan Kota Denpasar yang

    menjadi pusat kegiatan Sarbagita. Berkembangnya Kota Tabanan disebabkan

    banyaknya orang yang bekerja di Denpasar dan Badung memilih tinggal di Kota

    Tabanan yang dianggap lebih nyaman. Hal ini berkontribusi pada meningkatnya

    jumlah penduduk Tabanan dalam lima tahun terakhir. Jumlah penduduk Kota

    Tabanan pada akhir tahun 2011 sebesar 66.402 jiwa, kepadatan 1.291 jiwa/km2,

    dengan angka rata-rata pertumbuhan sebesar 1% (satu persen) per tahun (BPS

    Kabupaten Tabanan:2012). Dengan peningkatan jumlah penduduk yang demikian

    dan kedudukannya sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan aktivitas

    perekonomian di Kabupaten Tabanan serta bagian dari Kota Metropolitan

    Sarbagita, tentunya memiliki dampak terhadap penataan ruang terutama

    pemanfaatan ruang publik.

    Salah satu fenomena dalam pemanfaatan ruang publik kota di Tabanan

    adalah keberadaan pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima merupakan suatu

    fenomena umum yang tak dapat terhindarkan di wilayah perkotaan. Pedagang

    kaki lima (PKL) di Kota Tabanan sama halnya dengan pedagang kaki lima di

    kota-kota lainnya, memilih lokasi untuk berdagang dengan memanfaatkan ruang

  • 3

    publik kota yang potensial. Dalam beraktivitas pedagang kaki lima tersebut

    memanfaatkan ruang publik kota seperti trotoar, badan jalan serta depan

    pertokoan. Penggunaan ruang publik telah menjadi suatu karakteristik yang

    identik dengan eksistensi pedagang kaki lima. Jumlah pedagang kaki lima sangat

    banyak dan memerlukan ruang yang cukup besar untuk melaksanakan

    kegiatannya. Tetapi di sisi lain ruang publik juga digunakan oleh kelompok

    pengguna yang lain, yang juga memerlukan ruang untuk kegiatan mereka di ruang

    publik.

    Kawasan Jalan Gajah Mada yang berada di pusat Kota Tabanan merupakan

    pusat kegiatan perekonomian kota di siang hari maupun malam hari. Hal ini

    menarik pedagang untuk menjajakan dagangannya dan hingga kini berkembang

    pesat sebagai lokasi kegiatan pedagang kaki lima pada sore sampai malam hari

    atau dikenal dengan pasar senggol. Pedagang kaki lima ini berjualan di ruang

    manfaat jalan seperti trotoar jalan, bahu jalan, badan jalan dan median jalan setiap

    hari pada sore sampai malam dengan komoditas utama berupa makanan dan

    minuman, sehingga menyebabkan ruang manfaat jalan yang juga merupakan

    ruang publik kota menjadi sesak dan sempit. Hal ini menyebabkan terjadinya

    pengalihan arus lalu lintas, berkurangnya daerah untuk parkir dan pedestrian

    ataupun mengurangi keindahan kota.

    Jika dilihat dari sisi ekonomi kabupaten, keberadaan pedagang kaki lima

    mampu menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja yang

    memiliki keahlian yang relatif minim dan masyarakat dengan kelas ekonomi

    rendah juga dapat memperoleh barang dengan harga yang terjangkau oleh mereka.

  • 4

    Bagi pemerintah kota keberadaan pedagang kaki lima juga memberikan

    sumbangan atau kontribusi terhadap pendapatan daerah.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah

    pada penelitian ini adalah :

    1. Bagaimana sistem pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada

    Tabanan ?

    2. Bagaimana karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik kota di Jalan

    Gajah Mada Tabanan?

    3. Bagaimana dampak fisik aktivitas pedagang kaki lima terhadap kualitas ruang

    publik kota di Jalan Gajah Mada Tabanan ?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Berdasarkan perumusan masalah maka muncul pertanyaan penelitian yang

    merupakan tujuan dari penelitian ini, yaitu :

    1. Untuk mengetahui pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada

    Tabanan.

    2. Untuk mengetahui karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik kota

    di Jalan Gajah Mada Tabanan.

    3. Untuk mengetahui dampak fisik yang disebabkan oleh aktivitas pedagang

    kaki lima terhadap kualitas ruang publik kota di Jalan Gajah Mada Tabanan.

  • 5

    1.4 Manfaat Penelitian

    Penulis berharap penelitian dengan judul Dampak Fisik Pemanfaatan Ruang

    Publik oleh Pedagang Kaki Lima di Jalan Gajah Mada Tabanan ini dapat memberi

    manfaat sebagai berikut :

    1. Manfaat keilmuan

    Penelitian ini diharapkan dapat meramaikan penelitian tentang ruang kota,

    khususnya tentang pemanfaatan ruang publik kota. Penelitian ini juga

    diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam

    pendekatan terhadap masalah pedagang kaki lima dan ruang publik kota.

    2. Manfaat bagi pemerintah daerah

    Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menentukan kebijakan

    pengelolaan ruang publik kota dan penataan pedagang kaki lima di Kota

    Tabanan.

    3. Manfaat bagi masyarakat

    Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai informasi tentang

    pengelolaan dan penataan ruang publik kota, juga sebagai informasi

    bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas pedagang kaki

    lima terhadap ruang publik kota.

  • 6

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

    2.1 Kajian Pustaka

    Penelitian terdahulu yang bisa saya dapatkan dan terkait dengan pemanfaatan

    ruang publik kota dan pedagang kaki lima adalah tesis oleh Tri Haryanti, tesis

    oleh Wijayaningsih, tesis oleh Puspitasari, dan tesis oleh Susilo.

    Tesis oleh Tri Haryanti, Program Pasca Sarjana Magister Teknik

    Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponogoro, tahun 2008 dengan

    judul Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Kawasan Bundaran Simpang Lima

    Semarang. Tujuan penelitian adalah mengkaji mengenai kecenderungan

    pemanfaatan-pemanfaatan ruang terbuka publik kawasan untuk mengetahui pola

    pemanfaatan ruang terbuka publik kawasan sebagai dasar dalam arah

    pengembangan ruang-ruang terbuka publik di Kawasan Bundaran Simpang Lima,

    dengan lingkup pembahasan dibatasi pada kajian jalur pedestrian/trotoar dan

    Lapangan Pancasila sebagai perwujudan ruang terbuka publik kawasan.

    Perbedaan penelitian oleh Tri Haryanti dengan penelitian penulis adalah

    penelitian oleh Tri Haryanti bertujuan untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang

    publik, penelitian yang penulis lakukan bertujuan untuk mengetahui dampak

    pemanfaatan ruang publik. Persamaannya adalah kedua penelitian sama-sama

    meneliti pemanfaatan ruang publik. Hal-hal yang dapat dijadikan acuan dari

    penelitian oleh Haryanti adalah pola pemanfaatan ruang publik akan mengukiti

    pola ruang yang tersedia. Pemanfaatan ruang publik pada Lapangan Pancasila

  • 7

    memiliki pola pemanfaatan yang mengelompok, dan pola pemanfaatan ruang

    publik pada jalur pedestrian/trotoar memiliki pola pemanfaatan linier memanjang.

    Tesis oleh Wijayaningsih, Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur

    Universitas Diponogoro, tahun 2007 dengan judul Keterkaitan Pedagang Kaki

    Lima Terhadap Kualitas dan Citra Ruang Publik di Koridor Kartini Semarang

    pada Masa Pra-Pembongkaran (Studi Kasus : Penggal Jl. DR.Cipto Jl.Barito).

    Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah terdapat keterkaitan antara

    PKL di jalan Kartini dengan citra ruang publik kawasan Kartini, dengan lingkup

    pembahasan meliputi analisa mengenai keterkaitan keberadaan PKL terhadap citra

    ruang publik di koridor Kartini pada penggal Jl.DR.Cipto-Jl.Barito serta

    pengaruhnya bagi lingkungan disekitarnya baik pengguna jalan, pembeli dan

    penghuni rumah.

    Perbedaan penelitian oleh Wijayaningsih dengan penelitian penulis adalah

    penelitian ooleh Wijayaningsih bertujuan untuk mengetahui sejauh mana

    keterkaitan antara pedagang kaki lima terhadap kualitas dan citra ruang publik,

    penelitian penulis bertujuan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh

    aktivitas pedagang kaki lima dalam ruang publik. Persamaannya adalah kedua

    penelitian sama-sama meneliti ruang publik dan pedagang kaki lima. Hal-hal yang

    dapat dijadikan acuan dari penelitian oleh Wijayaningsih adalah semakin banyak

    dan bertambah jumlah pedagang kaki lima menyebabkan turunnya kualitas fisik

    kawasan jalan Kartini.

    Tesis oleh Puspitasari, Program Pasca Sarjanan Studi Magister Teknik

    Arsitektur Universitas Diponogoro, tahun 2007 dengan judul Pengaruh Aktivitas

  • 8

    PKL Terhadap Linkage Antara Keraton Kasunanan Pasar Gede Surakarta.

    Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana pengaruh yang

    ditimbulkan akibat aktivitas PKL terhadap linkage pada lokasi penelitian,

    sehingga tercipta kualitas linkage yang semakin kuat dan spesifik antar node di

    pusat Kota Surakarta, dengan lingkup pembahasan meliputi kajian yang berkaitan

    dengan karakteristik dan pola aktivitas PKL yang mempunyai dampak lanjutan

    terhadap linkage yang terbentuk.

    Perbedaan penelitian Puspitasari dengan penelitian penulis adalah penelitian

    oleh Puspitasari bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh aktivitas

    pedagang kaki lima terhadap linkage, penelitian yang penulis lakukan bertujuan

    untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pedagang kaki lima

    terhadap fisik ruang publik. Persamaannya adalah kedua penelitian sama-sama

    meneliti ruang publik dan pedagang kaki lima. Hal-hal yang dapat dijadikan acuan

    dari penelitian ini yaitu pengaruh aktivitas pedagang kaki lima terhadap linkage

    antara Kraton Kasunanan Pasar Gede adalah semakin memperkuat atau

    meningkatkan kualitas linkage.

    Tesis oleh Susilo, Fakultas Ekonomi Program Magister Perencanaan dan

    Kebijakan Publik Kekhususan Ekonomi Perencanaan Kota dan Daerah, tahun

    2011 dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pedagang Kaki Lima

    Menempati Bahu Jalan di Kota Bogor (Studi Kasus: Pedagang Sembako di Jalan

    Dewi Sartika Utara). Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi dan menganalisa

    faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap PKL untuk lebih memilih

    berdagang di bahu jalan dari pada memilih berdagang di kios dalam pasar.

  • 9

    Perbedaan penelitian Susilo dengan penelitian penulis adalah penelitian oleh

    Susilo bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pedagang

    kaki lima dalam memilih tempat beraktivitas, penelitian yang penulis lakukan

    bertujuan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pedagang

    kaki lima dalam ruang publik. Persamaannya adalah kedua penelitian sama-sama

    meneliti pedagang kaki lima. Hal-hal yang dapat dijadikan acuan dari penelitian

    ini adalah pedagang kaki lima menempati bahu jalan sebagai tempat berjualan

    karena bahu jalan merupakan lokasi yang strategis (lebih banyak pembeli), dan

    harga sewanya lebih murah dari kios yang ada dalam pasar.

    2.2 Konsep

    2.2.1 Dampak fisik

    Pengertian dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

    benturan, pengaruh yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif.

    Pengaruh adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut

    membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Pengaruh adalah suatu

    keadaan dimana ada hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat antara apa

    yang mempengaruhi dengan apa yang dipengaruhi. (KBBI Online, 2013).

    Menurut Soemarwoto (2001:67-69) untuk dapat melihat dan menjelaskan

    bahwa suatu dampak atau perubahan telah terjadi pada suatu kawasan, maka harus

    mempunyai bahan perbandingan sebagai bahan acuan. Salah satu bahan yang

    dapat menjadi acuan adalah keadaan sebelum terjadi perubahan. Ada dua

  • 10

    batasan penting dalam menganalisis terjadinya dampak, yaitu; (a) dampak suatu

    aktivitas terhadap lingkungan adalah perbedaan antara aspek lingkungan sebelum

    aktivitas terjadi dengan aspek lingkungan setelah adanya aktivitas tersebut, (b)

    dampak aktivitas terhadap lingkungan adalah perbedaan antara aspek lingkungan

    tanpa adanya aktivitas dengan aspek lingkungan yang diperkirakan terjadi setelah

    adanya aktivitas.

    Elemen-elemen pembentuk fisik kota terdiri dari tata guna lahan, bentuk dan

    masa bangunan, sirkulasi dan parkir, ruang terbuka, jalur pejalan kaki/pedestrian,

    pendukung kegiatan, tanda-tanda dan preservasi (Shirvani:1985;7). Tata guna

    lahan merupakan pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan terbaik

    dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga secara umum dapat memberikan

    gambaran keseluruhan bagaimana daerah-daerah pada suatu kawasan tersebut

    seharusnya berfungsi (Darmawan:2003;12).

    Bentuk dan masa bangunan meliputi aspek-aspek bentuk fisik, ketinggian,

    pemunduran/setbacks, dan penutupan/coverrage. Faktor penampilan maupun

    konfigurasi dari masa bangunan yang meliputi warna, material, tekstur, tampak

    dan bentuk yang erat kaitannya dengan estetika juga perlu diperhatikan

    (Shirvani:1985;11).

    Sirkulasi kota akan sangat terkait dengan prasarana jalan yang tersedia,

    bentuk setiap struktur kota, fasilitas pelayanan umum, jumlah kendaraan yang

    semakin meningkat dan prilaku masyarakat kota dalam memanfaatkan jalan

    (Shirvani:1985;11). Untuk penataan parkir di perkotaan dapat dilakukan dengan

    empat prinsip utama yaitu setiap ada aktivitas atau pembangunan gedung harus

  • 11

    dilengkapi dengan ruang untuk parkir kendaraan, melakukan kerjasama

    pemanfaatan ruang parkir untuk parkir aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada

    waktu yang berbeda, melaksanakan pembangunan areal parkir yang dapat berupa

    taman parkir atau gedung parkir dan pembangunan areal parkir pada daerah

    pinggiran kota sebagai penampungan kendaraan bagi yang akan bepergian ke

    pusat kota (Shirvani:1985;22).

    Ruang terbuka meliputi semua landsekap, elemen keras (seperti jalan, trotoar

    dan lainnya), taman, dan ruang rekreasi di kawasan kota (Shirvani:1985;22).

    Menurut Budiharjo dan Sujarto (1998:53) ruang terbuka merupakan ruang yang

    direncanakan karena kebutuhan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama

    di udara terbuka.

    Jalur pejalan kaki (pedestrian) yang baik akan mengurangi ketergantungan

    kendaraan di kawasan pusat kota, meningkatkan kualitas lingkungan melalui

    sistem perencanaan yang manusiawi, menciptakan kegiatan pedagang kaki lima

    yang lebih banyak dan juga meningkatkan kualitas udara di kawasan pusat kota

    (Shirvani:1985;313). Rubenstein (dalam Julianingsih:2002;27) menyatakan

    aktivitas pejalan kaki membutuhkan persyaratan yaitu aman dan mudah atau

    leluasa bergerak serta cukup terlindung dari lalu lintas kendaraan, menyenangkan

    dengan rute-rute pendek dan jelas serta bebas hambatan dan keterlambatan waktu

    yang diakibatkan kepadatan pejalan kaki, mudah dilakukan ke segala arah dan

    pada tempat-tempat tertentu diberikan elemen seperti elemen estetika, lampu

    penerang jalan yang dapat menimbulkan daya tarik.

  • 12

    Dari beberapa pendapat tentang dampak dan fisik kota yang telah diuraikan,

    yang dimaksud dengan dampak fisik dalam penelitian ini adalah perubahan yang

    terjadi pada elemen fisik kota seperti jalan, totoar, masa bangunan, taman, dan

    sirkulasi akibat adanya aktivitas pedagang kaki lima yang dilakukan pada elemen

    fisik kota tersebut.

    2.2.2 Ruang publik

    Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal

    7 ayat 1,2,3, disebutkan bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang untuk

    sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana

    dimaksud, negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang

    kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Namun dalam penyelenggaraan

    penataan ruang sebagaimana dimaksud juga wajib dilakukan dengan tetap

    menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    Hal ini dapat dimaknai bahwa dalam melakukan penataan ruang, pemerintah

    baik pusat maupun daerah harus mendengarkan aspirasi masyarakat dari berbagai

    pihak dan menganalisis dari berbagai sisi. Tidak hanya dari sisi estetika dan

    kebersihan lingkungan saja misalkan, namun juga melihat dari sisi perekonomian

    masyarakat, budaya dan sisi lainnya.

    Halim (2008:55), mendefinisikan Ruang publik kota secara umum yaitu

    sebagai tempat fisik dan kasat mata yang ada di dalam kota. Definisi lain yang

    dikemukakan Budiharjo dan Djoko Sujarto (1999:134) adalah ruang terbuka

  • 13

    publik merupakan tempat di mana masyarakat dapat melakukan aktivitas

    sehubungan dengan kegiatan rekreasi dan hiburan. Bahkan, dapat pula mengarah

    kepada jenis kegiatan hubungan sosial lainnya seperti untuk berjalan-jalan, untuk

    melepas lelah, duduk-duduk dengan santai, bisa juga untuk pertemuan akbar pada

    saat-saat tertentu atau juga digunakan untuk upacara-upacara resmi, dapat pula

    dipadukan dengan tempat-tempat perdagangan.

    Budihardjo (1997:29) menyebutkan ruang publik (publik space) adalah

    tempat para warga melakukan kontak sosial, pada lingkungan masyarakat

    tradisional selalu tersedia dalam berbagai kalangan. Mulai dari pekarangan

    komunal, lapangan desa, lapangan di lingkungan rukun tetangga, sampai ke alun-

    alun yang berskala kota. Ruang publik bagi warga yang meninggal dunia, yaitu

    yang berupa kuburan umum sudah disiapkan untuk beberapa generasi. Jalan atau

    gang tidak sekedar berfungsi sebagai penyalur arus lalu lintas, melainkan juga

    dimanfaatkan sebagai wahana kontak sosial, tempat bermain dan ruang kehidupan

    (living space).

    Menurut Madanipour (dalam Hariyono:2007;133), ruang publik perkotaan

    (publik urban space) memungkinkan dan membiarkan masyarakat yang berbeda

    kelas, etnik, gender, dan usia saling berbaur. Pengertian yang diberikan oleh

    Madanipour ini khususnya sangat diperhatikan pada masyarakat dan pemerintahan

    yang menganut paham demokrasi. Menurut Tibbalds (dalam Hariyono:2007:133)

    bidang publik dalam ruang perkotaan adalah semua jaringan perkotaan yang dapat

    diakses secara fisik dan visual oleh masyarakat umum, termasuk jalan, taman, dan

    lapangan/alun-alun. Jadi, dapat dikatakan ruang publik adalah suatu tempat yang

  • 14

    dapat menunjukkan perletakan sebuah objek. Tempat ini dapat diakses secara fisik

    maupun visual oleh masyarakat umum. Menurut Jan Gehl (dalam

    Hariyono:2007;136), ruang publik memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai tempat

    bertemu, berdagang dan lalu lintas.

    Dengan demikian, ruang publik dapat berupa jalan, trotoar, taman kota,

    lapangan, dan lain-lain. Dalam penelitian ini ruang publik yang dijadikan obyek

    penelitian adalah ruang publik berupa badan jalan, selasar pertokoan, trotoar dan

    taman yang dijadikan tempat beraktivitas oleh pedagang kaki lima di sepanjang

    Jalan Gajah Mada Tabanan.

    2.2.3 Pedagang kaki lima

    Istilah pedagang kaki lima muncul sejak jaman Rafles dari kata 5 feets

    yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Kemudian area

    berjualan pedagang-pedagang kecil disebut pedagang kaki lima

    (Wijayaningsih:2007;27). Sektor informal yang dominan di daerah perkotaan adalah

    pedagang pinggir jalan dan merupakan kegiatan ekonomi skala kecil yang

    menghasilkan dan atau mendistribusikan barang dan jasa yang selanjutnya dapat

    disebut sebagai pedagang kaki lima.

    Keberadaan pedagang kaki lima merupakan suatu realita saat ini, bersamaan

    dengan tumbuh dan berkembangnya geliat perekonomian di suatu kota. Hak-hak

    mereka untuk mendapatkan rejeki yang halal di tengah sulitnya untuk

    mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan tentunya tidak bisa

    dikesampingkan. Pedagang kaki lima sangat membantu kepentingan masyarakat

  • 15

    dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara

    mandiri yang mempunyai keahlian yang relatif minim. Pedagang kaki lima selain

    menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah, juga

    merupakan sektor informal yang sering dianggap lebih mampu bertahan hidup

    dibandingkan sektor usaha yang lain. Keberadaan sektor informal seperti

    pedagang kaki lima memiliki peran penting sebagai penyangga distorsi sistem

    ekonomi (Sudaryono:2010).

    Selain kenyataan bahwa sektor informal seperti pedagang kaki lima bisa

    menjadi penyangga distorsi sistem ekonomi perkotaan, pedagang kaki lima juga

    menjadi salah satu penyebab persoalan penataan ruang perkotaan. Lokasi

    pedagang kaki lima selalu memusat pada pusat-pusat kota dimana kegiatan

    perekonomian kota berpusat dan pada ruang-ruang publik seperti trotoar, taman

    kota, atau di atas ruang publik lainnya (Nurmandi:2006;165).

    Banyaknya pedagang kaki lima seringkali menjadikan kesemrawutan pada

    ruang-ruang kota. Jika pedagang kaki lima menjajakan dagangannya secara

    sembarangan di pinggir jalan, maka yang terjadi adalah kemacetan, pemandangan

    yang tidak baik dan juga seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan dengan

    sampahnya yang sembarangan. Pedagang kaki lima juga seringkali mengganggu

    pejalan kaki karena menutupi jalan yang seharusnya dipakai oleh pejalan kaki

    (Winarso dan Gede Budi:2008).

  • 16

    2.3 Landasan Teori

    2.3.1 Fungsi ruang publik

    Ruang publik dapat menciptakan karakter kota, dan pada umumnya ruang

    publik memiliki fungsi pusat interaksi dan komunikasi masyarakat, sebagai ruang

    pengikat struktur kota, sebagai tempat kegiatan pedagang kaki lima, dan sebagai

    paru-paru kota (Darmawan, 2005:2, 2006:1, 2009:2).

    Sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat, ruang publik akan

    mewadahi kegiatan-kegiatan masyarakat baik formal (seperti upacara bendera,

    sholat Ied, dan peringatan peringatan yang lain) maupun informal (seperti

    pertemuan individu, pertemuan kelompok masyarakat, dan demo mahasiswa).

    Sebagai ruang pengikat struktur kota, ruang publik menampung koridor-koridor

    jalan yang menuju ke arah ruang publik tersebut dan sekaligus sebagai pembagi

    ruang-ruang fungsi bangunan disekitarnya serta ruang transit bagi masyarakat

    yang akan pindah ke arah tujuan lain.

    Sebagai tempat kegiatan pedagang kaki lima, ruang publik menampung

    aktivitas pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman, pakaian,

    souvenir, dan jasa seperti tukang service jam, tukang sol sepatu, dan sebagainya

    terutama dimalam hari. Sebagai paru-paru kota, ruang publik dapat dimanfaatkan

    oleh masyarakat sebagai tempat olahraga, bermain dan santai bersama keluarga.

    2.3.2 Tipologi ruang publik

    Stephen Carr (dalam Darmawan 2005:12-26, 2006:13-20, 2009: 48-58) dan

    Tri Haryanti (2008:45-48) membagi tipologi ruang publik menjadi beberapa tipe

  • 17

    dan karakter. Tipologi ruang publik ini memiliki banyak variasi yang kadang

    kadang memiliki perbedaan yang tipis sehingga seolah olah memberi pengertian

    yang tumpang tindih (overlapping). Tipe dan karakter ruang publik yaitu : taman

    umum (National Park), lapangan dan plasa (Squares and Plazas), taman

    peringatan (Memorial Park), pasar (Market), jalan (Streets), tempat bermain

    (Playgrounds), ruang komunitas (Community Open Space), jalan hijau dan jalan

    taman (Greenways & Parkways), atrium/pasar di dalam ruang (Atrium/Indoor

    Market Place), ruang di lingkungan rumah (Found/Neighbohood Spaces), dan tepi

    laut (Waterfront).

    Taman umum (National Park) terdiri dari taman nasional (National Park)

    yang lokasinya berada di pusat kota, bentuknya berupa zona ruang terbuka, dan

    kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di tempat ini berskala nasional. Taman

    pusat kota (Downtown Park), taman ini berada di kawasan pusat kota, berupa

    lapangan hijau, hutan kota atau areal hijau yang berlokasi di kawasan perkantoran,

    perdagangan atau perumahan yang ada di pusat kota. Taman lingkungan

    (Neighborhood Park), ruang terbuka ini dikembangkan di lingkungan perumahan

    sebagai fasilitas umum untuk kegiatan bermain anak anak, olah raga dan bersantai

    bagi masyarakat di lingkungan perumahan tersebut. Taman kecil (Mini Park)

    adalah taman kecil yang dikelilingi oleh bangunan bangunan, seperti taman taman

    di pojok pojok lingkungan.

    Lapangan dan plaza (Squares and Plazas) terdiri dari lapangan pusat (central

    squares) dan plaza pengikat (corporate plaza). Taman peringatan (Memorial

    Park) merupakan tempat yang biasa digunakan untuk memperingati kejadian

  • 18

    penting di tingkat lokal atau nasional. Pasar (Market) adalah tempat terbuka yang

    digunakan untuk aktivitas jual beli, biasanya untuk pasar hasil pertanian

    (Farmers Markets), bersifat temporer atau hari tertentu dan berlokasi di ruang

    yang tersedia seperti jalan atau lapangan parkir. Jalan (Streets) merupakan bagian

    ruang publik kota yang banyak dilalui oleh pejalan kaki, yang menghubungkan

    jalan yang satu dengan jalan yang lainnya. Temasuk di dalamnya adalah trotoar

    pejalan kaki (pedestrian sidewalk), mal pejalan kaki (pedestrian mall), mal tempat

    transit (transit mall), jalan-jalan yang dibatasi untuk lalu-lintas (traffic restricted

    streets), dan gang kecil di kota (town trails).

    Tempat bermain (Playgrounds) biasanya berlokasi di lingkungan perumahan,

    dan halaman sekolah. Jalan hijau dan jalan taman (Greenways & Parkways)

    adalah ruang berupa taman masyarakat (Community Garden), yang dilengkapi

    dengan fasilitas taman seperti areal bermain, tempat tempat duduk dan fasilitas

    lainnya. Ruang komunitas (Community Open Space) merupakan jalan pedestrian

    yang menghubungkan antara tempat rekreasi dan ruang terbuka, yang dipenuhi

    dengan taman dan penghijauan.

    Atrium/pasar di dalam ruang (Atrium/Indoor Market Place) terdiri dari atrium

    dan pusat perbelanjaan di pusat kota. Atrium yang berperan sebagai pengikat

    ruang ruang di sekitarnya yang sering digunakan untuk kegiatan komersial dan

    merupakan pedestrian area. Ruang di lingkungan rumah (Found/Neighbohood)

    adalah ruang terbuka yang mudah dicapai dari rumah, seperti sisa kapling atau

    tanah kosong yang belum dimanfaatkan, dipakai sebagai tempat bermain bagi

    anak-anak atau tempat komunikasi bagi orang dewasa atau orang tua. Tepi laut

  • 19

    (Waterfront) bisa berupa pelabuhan, pantai, bantaran sungai, bantaran danau, atau

    dermaga, yang berada di sepanjang rute aliran air di dalam kota.

    2.3.3 Karakter ruang publik

    Karakter ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat sangat

    penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan perkotaan.

    Perancangan dan pengembangan ruang publik merupakan hal yang signifikan

    untuk kota maupun perkotaan. Karakter ruang publik yaitu ruang publik

    merupakan konstruksi sosial dari ruang, ruang publik menciptakan batasan

    spasial, ruang publik sebagai pembagi sosio-spasial, ruang publik sebagai

    integrasi kota menuju fragmentasi fungsional (Siahaan:2010)

    Ruang publik merupakan konstruksi sosial dari ruang yang ada, baik ruang

    tempat bermukim hingga ruang yang dikunjungi ketika bepergian. Perilaku spasial

    yang ditentukan dan menentukan ruang merupakan bagian yang terintegrasi

    dengan eksistensi sosial masyarakat. Ruang publik menciptakan batasan spasial

    menjadi prasyarat utama dalam sebuah perancangan kota. Menciptakan batasan

    ruang-ruang yang hidup dan aktif merupakan kondisi yang penting untuk

    keberhasilan penyediaan ruang publik. Hal ini sangat penting bagi perancangan

    kota untuk menciptakan ruang publik positif, yaitu ruang yang dibatasi oleh

    bangunan.

    Ruang publik menjadi mediator antara ruang privat yang mendominasi

    wilayah kota dan memainkan peran penting dalam pembagian sosiospasial. Tanpa

    adanya proses mediasi, maka pergerakan spasial di dalam kota menjadi sangat

  • 20

    terbatas. Kondisi saat ini memperlihatkan banyaknya permukiman yang dijaga

    keamanannya serta banyak jaringan jalan yang dikotak-kotakkan dan dibatasi

    aksesnya. Ruang publik sebagai integrasi kota menuju fragmentasi fungsional

    dibutuhkan karena pada jaman modern integrasi fungsional kota cenderung

    menghilang dan memudar. Perkembangan ukuran ruang kota telah membawa

    pada spesialisasi ruang, di mana terjadi pemisahan hubungan simbolis dan

    fungsional dari lingkungan publik dan privat. Kemampuan untuk menjangkau

    seluruh ruang perkotaan telah mengurangi kontak fisik antara penduduk kota dan

    lingkungan terbangunnya.

    2.3.4 Kriteria ruang publik ideal

    Ruang publik yang baik harus dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh

    masyarakat untuk berkumpul, berinteraksi, dan beraktivitas dengan aman dan

    nyaman. Tanpa adanya aktivitas dan interaksi sosial manusia di dalamnya, maka

    suatu ruang publik tersebut bukanlah ruang publik yang ideal. Ruang publik ideal

    menurut Siahaan (2010) yaitu :

    Ruang publik dapat disebut ideal apabila ruang publik merupakan pusat dari

    aktivitas masyarakat dan membentuk identitas dari suatu kota (Image and

    Identity). Ruang publik juga harus memiliki tempat-tempat yang di dalamnya

    memiliki suatu daya tarik tertentu yang memikat banyak orang (Attractions and

    Destinations).

    Ruang publik seharusnya memiliki ketenangan (Amenities) yang dapat

    membuat orang yang menggunakannya merasa nyaman. Ruang publik harus dapat

  • 21

    dijangkau seluruh umur dari anak-anak hingga orang dewasa. Ruang publik juga

    dapat digunakan sepanjang hari, dari pagi, siang, dan malam. Untuk merespon

    kondisi ini ruang publik menyediakan fasilitas yang mudah dibongkar pasang, dan

    juga mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainnya (Flexible

    Design). Ruang publik dapat memberikan tampilan yang berubah-ubah (Seasonal

    Strategy )yang berbeda dari satu musim ke musim lainnya. Ruang publik juga

    harus memiliki kedekatan dan kemantapan pencapaian (aksesibilitas), mudah

    dijangkau dengan jalan kaki, kedekatan dengan jalan besar, dilalui oleh kendaraan

    dengan lambat.

    2.3.5 Pengertian pedagang kaki lima

    Pengertian pedagang kaki lima berasal dari jaman Raffles yaitu 5 (five)

    feets yang berarti jalur pejalan kaki dipinggir jalan selebar lima kaki (Manning,

    1996 dalam Sumarwanto:2012). Area pejalan kaki tersebut lama kelamaan

    dipaksa untuk area berjualan oleh pedagang kecil seperti bakso, mi goreng,

    warung kelontong, tambal ban, penjual obat, sepatu, mainan, warung makan dan

    lain lain (Sumarwanto:2012).

    Pedagang kaki lima pada umumnya adalah pekerjaan yang paling nyata dan

    paling penting dikebanyakan kota pada negara berkembang. Pedagang kaki lima

    di perkotaan mempunyai karakteristik dan ciri-ciri yang sama dengan sektor

    informal, sehingga sektor informal perkotaan sering diidentikan dengan pedagang

    kaki lima (Ramli,1992:31).

  • 22

    2.3.6 Karakteristik lokasi pedagang kaki lima

    Pedagang kaki lima dalam beraktivitas biasanya memilih lokasi pada tempat-

    tempat yang strategis di sebagian besar wilayah kota. Mereka akan berusaha agar

    barang atau jasa yang dijual terlihat oleh pembeli. Oleh karena itu mereka akan

    memilih lokasi-lokasi yang strategis dan menguntungkan di pusat kota atau di

    suatu lokasi yang merupakan lokasi aktivitas masyarakat. Sehingga dapat kita

    jumpai kehadiran PKL di sekitar lokasi aktivitas perdagangan, pendidikan,

    perkantoran, dan aktivitas sosial masyarakat lainnya. Dalam teori lokasi juga

    disebutkan bahwa bagi pedagang terdapat kecenderungan untuk berorientasi

    kepada konsentrasi konsumen dalam menentukan lokasi tempat usaha

    (Djojodipuro, 1992: 30).

    Menurut Mc. Gee dan Yeung (dalam Haryanti:2008) karakteristik lokasi yang

    diminati oleh pedagang kaki lima adalah lokasi yang menjadi akumulasi banyak

    orang untuk melakukan kegiatan bersama-sama, pada waktu yang relatif sama

    sepanjang hari dan sering dikunjungi orang dalam jumlah besar, mempunyai

    kemudahan untuk terjadi hubungan antara pedagang dengan calon pembeli,

    walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit serta tidak memerlukan

    ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum. Seperti yang diungkapkan oleh

    Bromley (dalam Manning dan Tadjuddin, 1996: 232) berdasarkan hasil

    penelitiannya mengenai pedagang sektor informal di Cali, Colombo, bahwa para

    pedagang sektor informal dijumpai di semua sektor kota, terutama berpusat di

    tengah kota dan pusat-pusat hiburan lainnya ketika ada pertunjukkan, sehingga

    menarik sejumlah besar penduduk.

  • 23

    2.3.7 Pola penyebaran aktivitas pedagang kaki lima

    Mc. Gee dan Yeung (dalam Haryanti:2008) menyatakan dalam menjaring

    konsumennya pola ruang aktivitas pedagang kaki lima akan sangat dipengaruhi

    oleh pola aktivitas sektor formal di mana pedagang kaki lima tersebut beraktivitas.

    Aktivitas padagang kaki lima akan beraglomerasi pada simpul-simpul jalur

    pejalan kaki dan tempat yang sering dikunjungi sehingga memungkinkan

    terjadinya akumulasi orang dalam jumlah yang besar. Pola penyebaran aktivitas

    pedagang kaki lima terdiri dari pola penyebaran memanjang dan pola penyebaran

    mengelompok

    Pola penyebaran memanjang (Linear Concentration), dipengaruhi oleh pola

    jaringan jalan utama atau jalan penghubungnya yang memiliki aksesibilitas tinggi,

    sehingga berpotensi mendatangkan konsumen. Pola penyebaran mengelompok

    (Focus Aglomeration) dijumpai pada ruang-ruang terbuka seperti taman,

    lapangan, dan yang lainnya. Pola ini dipengaruhi oleh pertimbangan faktor

    aglomerasi, yaitu keinginan pedagang kaki lima untuk melakukan pemusatan atau

    pengelompokan berdasar jenis dagangannya yang memiliki sifat dan komoditas

    yang sama untuk dapat lebih banyak menarik minat pembeli.

    2.3.8 Waktu, pola pelayanan dan sarana berdagang pedagang kaki lima

    Pedagang kaki lima biasanya memulai aktivitasnya dari pagi hingga sore,

    tapi ada pula pedagang kaki lima yang memulai membuka dagangannya pada sore

    hari hingga malam hari, ada juga yang buka sampai pagi hari. Pola pelayanan

    yang mereka gunakan yaitu dengan cara langsung menggelar daganganya

  • 24

    sehingga pengunjung dan pembeli dapat langsung memilih dan bertransaksi.

    Pedagang kaki lima dalam menjajakan barang dagangannya menggunakan sarana

    yang relatif sederhana berupa : gerobak, meja, tenda, kios, gelaran dan lain-lain

    (Sumarwanto:2012).

    Waworoentoe (dalam Susilo:2011;19-20) menyebutkan sarana berdagang

    pedagang kaki lima terdiri dari pikulan/keranjang, gelaran/alas, jongko/meja,

    gerobak/kereta dorong, warung semi permanen, dan kios. Pikulan/keranjang

    digunakan oleh para pedagang yang keliling (mobile hawkers) atau semi menetap

    (semi static), supaya barang dagangan mudah dipindahkan ke suatu tempat.

    Gelaran/alas digunakan oleh pedagang untuk menggelar dagangan, alas yang

    digunakan dapat berupa kain, tikar, terpal, kertas dan sebagainya.

    Jongko/meja adalah sarana berdagang dalam bentuk meja baik yang beratap

    ataupun tidak beratap. Sarana ini biasanya digunakan oleh pedagang kaki lima

    yang menetap. Gerobak/kereta dorong biasanya digunakan oleh pedagang kaki

    lima yang menetap maupun yang tidak menetap. Gerobak/kereta dorong ada yang

    beratap dan ada juga yang tidak beratap, pada umumnya digunakan untuk

    menjajakan makanan, minuman dan rokok.

    Warung semi permanen terdiri dari beberapa gerobak yang diatur berderet,

    dilengkapi dengan bangku-bangku panjang. Sarana ini menggunakan atap terpal

    atau plastik, digunakan oleh pedagang kaki lima yang menetap dan biasanya

    berjualan makanan dan minuman. Kios biasanya merupakan bangunan semi

    permanen yang dibuat dari papan, dan digunakan oleh pedagang kaki lima yang

    menetap.

  • 25

    2.3.9 Jenis dagangan pedagang kaki lima

    Pedagang kaki lima dalam menentukan jenis dagangan yang akan dijual pada

    umumnya menyesuaikan dengan dengan kebutuhan lingkungan di sekitar lokasi

    tempat pedagang kaki lima tersebut berjualan (Susilo:2011;18). Mc. Gee dan

    Yeung (dalam Susilo:2011;19) menyebutkan jenis dagangan pedagang kaki lima

    dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) yaitu makanan yang tidak diproses dan

    semi olahan, makanan siap saji, barang bukan makanan, dan jasa.

    Makanan yang tidak diproses yaitu makanan mentah seperti buah-buahan,

    dan sayur-sayuran, sedangkan makanan semi olahan adalah beras. Makanan siap

    saji yaitu makanan dan minuman yang sudah dimasak. Barang bukan makanan

    terdiri dari barang-barang dalam skala yang luas, mulai dari tekstil hingga obat-

    obatan. Jasa (service) terdiri dari beragam aktifitas seperti jasa sol sepatu dan

    tukang potong rambut.

    2.4 Model Penelitian

    Perkembangan kawasan Jalan Gajah Mada sebagai pusat Kota Tabanan,

    menyebabkan terjadinya pergeseran pemanfaatan ruang publik. Pergeseran

    pemanfaatan ruang publik timbul karena adanya peningkatan aktivitas kawasan

    Jalan Gajah Mada Tabanan, terutama aktivitas perdagangan dan jasa. Adanya

    keterbatasan lahan menyebabkan fungsi atau aktivitas informal akan ikut

    memanfaatkan ruang publik yang digunakan untuk fungsi atau aktivitas formal.

    Perkembangan kawasan Jalan Gajah Mada yang didominasi oleh aktivitas

    perdagangan dan jasa, telah mendorong pedagang kaki lima memanfaatkan ruang

  • 26

    publik di Jalan Gajah Mada Tabanan seperti badan jalan, selasar pertokoan dan

    trotoar sebagai tempat beraktivitas. Pemanfaatan ruang publik di Jalan Gajah

    Mada Tabanan mengakibatkan berkurangnya luasan ruang publik, berkurangnya

    kenyamanan pengguna jalan dan pejalan kaki, dan juga mengakibatkan kerusakan

    pada elemen-elemen ruang publik seperti kerusakan pada jalan, trotoar dan

    bangunan pertokoan.

    Model penelitian berikut ini akan menjelaskan secara menyeluruh kegiatan

    penelitian yang dilakukan kedalam sebuah diagram. Dengan adanya model

    penelitian akan memperjelas proses kegiatan penelitian yang dilakukan.

    Permasalahan pemanfaatan ruang publik Kota Tabanan menjadi latar belakang

    dilakukannya penelitian ini. Berdasarkan latar belakang tersebut selanjutnya

    dilakukan pengumpulan data mengenai pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan

    Gajah Mada Tabanan dan karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik di

    Jalan Gajah Mada Tabanan. Dari hasil analisis data-data tersebut kemudian

    diidentifikasi dampak yang ditimbulkan terhadap kualitas ruang publik di Jalan

    Gajah Mada.

  • 27

    Gambar 2.1 Model Penelitian Sumber : Analisis

    Keberadaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada Tabanan

    Kasus-kasus (lokasi penelitian)

    Pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada

    Tabanan

    Karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik di Jalan Gajah Mada

    Tabanan

    Dampak yang ditimbulkan pada

    kualitas ruang publik

    Dampak Fisik Pemanfaatan Ruang Publik oleh Pedagang Kaki Lima di Jalan Gajah Mada Tabanan

    Landasan teori:

    1. Fungsi Ruang Publik

    2.Tipologi Ruang Publik

    3. Karakter Ruang Publik

    4. Kriteria Ruang Publik Ideal

    Landasan teori:

    1. Pengertian Pedagang Kaki Lima 2. Karakteristik Lokasi Pedagang Kaki

    Lima 3. Pola Penyebaran Aktivitas Pedagang

    Kaki Lima

    4. Waktu, Pola Pelayanan dan Sarana Berdagang

    5. Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima

  • 28

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1 Pendekatan Penelitian

    Penelitian ini adalah merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

    penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Data yang

    dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kualitatif. Penelitian deskriptif

    merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi

    mengenai status suatu gejala yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya

    pada saat penelitian dilakukan. Dalam penelitian deskriptif ditujukan untuk

    membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat

    mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.

    Pendekatan kualitatif deskriptif digunakan untuk memahami fenomena di

    lokasi penelitian secara menyeluruh dan mendalam, sehingga temuan-temuan

    dalam penelitian kualitatif adalah unik dan nyata serta kesimpulan yang dihasilkan

    tidak dimaksudkan untuk digeneralisasikan pada populasi yang lebih besar dengan

    situasi yang berbeda. Tetapi hasil penelitian kualitatif dapat saja ditransfer pada

    situasi tertentu yang karakteristiknya sama atau relatif sama (Danim, 2002: 37).

    3.2 Lokasi Penelitian

    Penelitian ini mengambil lokasi di Jalan Gajah Mada Kota Tabanan. Jalan

    Gajah Mada yang digunakan untuk aktivitas pedagang kaki lima adalah sisi Utara

    sepanjang 700 meter.

  • 29

    Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Skala 1 : 4000

    Sumber : Survei Lapangan, 2013

  • 30

    3.3 Jenis dan Sumber Data

    3.3.1 Jenis data

    Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data terhadap obyek yang

    diteliti dalam rangka mendapatkan gambaran mengenai suatu keadaan atau

    permasalahan di lokasi penelitian. Data tersebut terdiri dari data primer dan data

    sekunder.

    Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh secara langsung

    dari sumbernya dengan cara observasi atau pengamatan langsung terhadap

    aktivitas para pedagang kaki lima di lokasi penelitian. Observasi juga dilakukan

    terhadap lokasi penelitian yaitu Jalan Gajah Mada Tabanan. Data primer juga

    diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dengan dengan para pedagang

    dan instansi yang terkait.

    Data sekunder adalah data berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan

    penelitian yaitu : data tentang perencanaan tata ruang di lokasi penelitian, data

    tentang jumlah pedagang, biaya sewa dan retribusi, data tentang pengelolaan

    pasar senggol, serta data lainnya yang terkait dengan penelitian.

    3.3.2 Sumber data

    Sumber data primer didapat dengan melakukan observasi di lokasi penelitian

    dan wawancara terhadap pedagang yang merupakan obyek dari penelitian, yang

    terdiri dari pedagang kaki lima yang beraktivitas di Jalan Gajah Mada, dan pejabat

    yang terkait dengan pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada

    Tabanan.

  • 31

    Sumber data sekunder bersumber dari instansi yang ada di lingkungan

    Pemerintah Kabupaten Tabanan yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,

    Dinas Pendapatan dan Pesedahan Agung, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas

    Perhubungan Komunikasi dan Informasi, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, dan

    instansi terkait lainnya. Untuk jenis dan sumber data selengkapnya dapat dilihat

    pada Tabel 3.1

    3.3 Instrumen Penelitian

    Dalam peneltian kualitatif, instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan

    data lebih banyak bergantung pada peneliti sebagai alat pengumpul data. Peneliti

    dianggap sebagai instrumen yang utama karena peneliti dapat menilai keadaan

    dan dapat mengambil keputusan (Moleong,1994:19). Dalam penelitian ini,

    instrumen yang digunakan berupa :

    1. Pedoman wawancara: digunakan di dalam penelitian ini adalah pedoman

    wawancara tidak terstruktur, dimana peneliti melakukan wawancara

    secara bebas sehingga diharapkan banyak mendapatkan informasi yang

    terjadi di lapangan.

    2. Alat tulis: digunakan dalam observasi atau pengamatan langsung ke

    lapangan untuk mencatat data yang memungkinkan diperoleh mengenai

    kondisi lokasi penelitian.

    3. Alat perekam: Perekam yang dimaksud dalah alat perekam berupa

    telepon genggam dan kamera. Handphone yang dapat dipergunakan

    untuk merekam, dipergunakan untuk merekam saat proses tanya-

  • 32

    jawab/wawancara, proses perekaman hasil wawancara dimaksud untuk

    mendokumentasikan hasil wawancara. Kamera digunakan untuk

    mendokumentasikan kondisi fisik obyek dan lokasi penelitian. Hasil yang

    didapatkan berupa gambar/foto tentang kondisi dan aktivitas di lokasi

    penelitian.

    4. Seperangkat komputer: digunakan untuk pengetikan laporan penelitian

    dan juga untuk menyimpan data penelitian.

    3.4 Teknik Pengumpulan Data

    Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan teknik

    sebagai berikut :

    1. Wawancara.

    Teknik wawancara yang dipakai adalah wawancara bebas tanpa

    pedoman wawancara. Teknik ini dilakukan dengan melakukan wawancara

    pada proses peninjauan awal lapangan kemudian dikembangkan untuk

    memperoleh informasi lebih mendalam. Wawancara dilakukan dengan

    para pedagang di lokasi penelitian, pihak dari badan pengelola pedagang

    kaki lima, dan juga dengan pihak-pihak dari instansi yang terkait dengan

    keberadaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada Tabanan.

    2. Observasi.

    Teknik ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara

    langsung pada lokasi penelitian di Jalan Gajah Mada Tabanan. Dengan

    melakukan observasi peneliti dapat mengetahui gambaran yang lengkap

  • 33

    dan meyeluruh mengenai hal-hal yang terkait dengan pedagang kaki lima

    di Jalan Gajah Mada Tabanan.

    3. Dokumentasi

    Teknik ini dilakukan untuk mengumpulkan data berupa dokumen

    dokumen yang terkait dengan keberadaan pedagang kaki lima di Jalan

    Gajah Mada Tabanan. Dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

    Kabupaten Tabanan dicari dokumen Rencana Tata Ruang Kota (RTRK)

    Tabanan. Untuk data pendukung mengenai daya dukung infrastruktur

    Jalan Gajah Mada dari Dinas Pekerjaan Umum, data tentang pengelolaan

    Pasar Senggol sebagai tempat aktivitas pedagang kaki lima didapat dari

    Dinas Pendapatan dan Pesedahan Agung. Selanjutnya dari Dinas

    Perhubungan Komunikasi dan Informasi peneliti mencari data mengenai

    lalu lintas, dan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan dicari data tentang

    kegiatan pertamanan dan kebersihan di Jalan Gajah Mada Tabanan. Data

    tersebut dicari dalam bentuk dokumen dan mewawancarai pihak yang

    berkompeten dari instansi-instansi tersebut.

    3.5 Teknik Analisis Data

    Setelah mendapatkan data primer dan data sekunder selanjutnya dilakukan

    analisis data, sehingga dapat ditemukan jawaban dari permasalahan penelitian.

    Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kualitatif, sehingga teknik

    analisis data yang dilakukan, yaitu:

  • 34

    1. Reduksi data: data yang telah diperoleh di lapangan pada tahap ini dipilah

    berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.

    Dalam proses reduksi data, data yang diperoleh di lokasi penelitian

    dijabarkan ke dalam kalimat deskriptif yang dapat menggambarkan

    kondisi nyata di lokasi penelitian.

    2. Analisis data: data yang telah dipilah selanjutnya di analisa dengan

    mengurakainnya secara deskriptif, ditunjang dengan dokumentasi berupa

    foto-foto pengamatan di lokasi penelitian untuk membentuk suatu

    rangkaian deskriptif, gambaran-gambaran sistematis, aktual dan akurat

    mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena tentang

    pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada Tabanan,

    karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik kota di Jalan Gajah

    Mada Tabanan dan dampak fisik yang disebabkan oleh aktivitas

    pedagang kaki lima terhadap kualitas ruang publik kota di Jalan Gajah

    Mada Tabanan.

    3.6 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

    Teknik penyajian hasil analisis data merupakan cara menyajikan hasil dari

    analisis data yang telah dilakukan. Teknik penyajian hasil analisis data dalam

    penelitian ini ditampilkan dalam bentuk:

    1. Naratif: hasil analisi data disajikan dalam bentuk narasi dalam paragraf

    atau alinea yang disusun dengan kata-kata yang mudah dimengerti untuk

    menjelaskan tentang pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada

  • 35

    Tabanan, karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik kota di

    Jalan Gajah Mada Tabanan dan dampak fisik yang disebabkan oleh

    aktivitas pedagang kaki lima terhadap kualitas ruang publik kota di Jalan

    Gajah Mada Tabanan.

    2. Tabel: berupa data numerik maupun non numerik dalam bentuk baris dan

    kolom.

    3. Gambar: menyajikan kondisi di lokasi penelitian dalam bentuk gambar

    berupa foto dan peta .

  • 36

    Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data

    RUMUSAN MASALAH JENIS DATA SUMBER DATA INSTRUMEN TEKNIK

    PENGUMPULAN DATA

    TEKNIK ANALISIS

    DATA

    TEKNIK PENYAJIAN

    Bagaimana proses penempatan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada Tabanan ?

    DATA SEKUNDER : Sejarah pedagang kaki

    lima di Kota Tabanan.

    Sistem pengelolaan Badan pengelola Tugas badan pengelola Instansi yang terkait

    pengelolaan Tugas instansi yang

    terkait pengelolaan

    Persyaratan penggunaan lokasi

    Biaya retribusi

    Pedagang Badan pengelola Dispenda

    Dispenda Dispenda Dispenda Dispenda

    Dispenda Dinas PU DKP Dishubkominfo Kantor Pol. PP

    Dispenda

    Dispenda

    Alat perekam Alat tulis Pedoman

    wawancara Komputer

    Wawancara Study Dokumen Observasi

    Reduksi data Pengelompokan

    data Identifikasi data

    Deskriptif Gambar

  • 37

    Bagaimana aktivitas pedagang kaki lima dalam ruang publik kota di Jalan Gajah Mada Tabanan?

    DATA PRIMER : Tempat berjualan Jumlah pedagang Pola penyebaran Sarana berdagang Tempat penyimpanan

    sarana berdagang Jenis dagangan Lama waktu berjualan Pola aktivitas

    pedagang Jumlah pekerja PKL Asal pedagang Luas ruang yang

    digunakan Karakteristik limbah

    DATA SEKUNDER : Tempat berjualan

    Jumlah pedagang

    Asal pedagang Luas ruang yang

    digunakan

    Pedagang Pedagang Pedagang Pedagang Pedagang

    Pedagang Pedagang

    Pedagang

    Pedagang Pedagang Pedagang

    Pedagang

    Dispenda Badan pengelola

    Dispenda Badan pengelola Dispenda Dispenda

    Alat perekam Pedoman

    wawancara Kamera Alat tulis Komputer

    Wawancara Study Dokumen Observasi

    Reduksi data Pengelompokan

    data Identifikasi data

    Deskriptif Gambar Tabel

  • 38

    Bagaimana dampak aktivitas pedagang kaki lima dalam ruang publik kota di Jalan Gajah Mada Tabanan ?

    DATA PRIMER : Existing Jalan Gajah

    Mada

    Pemanfaatan ruang publik

    Sistem pembuangan sampah

    Sistem air limbah

    Sarana MCK

    Parkir Arus lalu lintas

    Kerusakan elemen ruang publik

    Dinas PU DKP Dishubkominfo

    Dinas PU DKP Dishubkominfo Dispenda

    Pedagang DKP

    Pedagang DKP

    Pedagang DKP

    Dishubkominfo Dishubkominfo

    Dinas PU DKP Dishubkominfo

    Alat perekam Pedoman

    wawancara Kamera Alat tulis Komputer

    Wawancara Study Dokumen Observasi

    Reduksi data Pengelompokan

    data Identifikasi data

    Deskriptif Gambar

    (Sumber: Hasil Analisis,2013)

  • 39

  • 40