Download - unud-1132-1818431242-bab i - iii
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bertambahnya jumlah penduduk yang semakin pesat saat ini menjadi salah
satu persoalan yang sangat penting baik dalam konteks pembangunan kota
maupun pembangunan di bidang yang lainnya. Saat ini pengelolaan dan
pemanfaatan ruang kota cenderung mengalami tantangan yang cukup berat akibat
tingginya jumlah penduduk di wilayah perkotaan. Sedangkan disisi lain, daya
dukung lingkungan dan sosial di kawasan perkotaan semakin menurun sehingga
tidak mampu mengimbangi kebutuhan ruang yang perlukan. Jika dilihat dari
pertumbuhan penduduk perkotaan yang mencapai 2,8 % per tahun, maka pada
tahun 2025 diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 68,3 % dari total
penduduk Indonesia (Royat:2010).
Menurut Yunus (2005;57) dan Adisasmita (2006;187) bertambahnya
kegiatan penduduk di kota yang dipicu oleh meningkatnya jumlah penduduk itu
sendiri maupun meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat telah
mengakibatkan meningkatnya volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Akibat
yang ditimbulkan pada aspek keruangan sangat jelas yaitu meningkatnya tuntutan
akan ruang untuk mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Persoalan yang dihadapi
pemerintah kota di mana-mana sama, yaitu terbatasnya persediaan ruang yang
dapat dimanfaatkan untuk mengakomodasikan prasarana-prasarana kegiatan baru.
-
2
Ini akan menjadi tantangan karena peningkatan tuntutan ini justru dibarengi
dengan menurunnya kapasitas finansial pemerintah dalam menyediakan sarana
atau struktur fisik tersebut (Rahmi dan Bakti Setiawan:1999;24).
Kota Tabanan saat ini berkembang sebagai satu kesatuan Kota Metropolitan
Sarbagita sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor: 45 Thun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan
Tabanan. Kota Tabanan merupakan penyangga Badung dan Kota Denpasar yang
menjadi pusat kegiatan Sarbagita. Berkembangnya Kota Tabanan disebabkan
banyaknya orang yang bekerja di Denpasar dan Badung memilih tinggal di Kota
Tabanan yang dianggap lebih nyaman. Hal ini berkontribusi pada meningkatnya
jumlah penduduk Tabanan dalam lima tahun terakhir. Jumlah penduduk Kota
Tabanan pada akhir tahun 2011 sebesar 66.402 jiwa, kepadatan 1.291 jiwa/km2,
dengan angka rata-rata pertumbuhan sebesar 1% (satu persen) per tahun (BPS
Kabupaten Tabanan:2012). Dengan peningkatan jumlah penduduk yang demikian
dan kedudukannya sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan aktivitas
perekonomian di Kabupaten Tabanan serta bagian dari Kota Metropolitan
Sarbagita, tentunya memiliki dampak terhadap penataan ruang terutama
pemanfaatan ruang publik.
Salah satu fenomena dalam pemanfaatan ruang publik kota di Tabanan
adalah keberadaan pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima merupakan suatu
fenomena umum yang tak dapat terhindarkan di wilayah perkotaan. Pedagang
kaki lima (PKL) di Kota Tabanan sama halnya dengan pedagang kaki lima di
kota-kota lainnya, memilih lokasi untuk berdagang dengan memanfaatkan ruang
-
3
publik kota yang potensial. Dalam beraktivitas pedagang kaki lima tersebut
memanfaatkan ruang publik kota seperti trotoar, badan jalan serta depan
pertokoan. Penggunaan ruang publik telah menjadi suatu karakteristik yang
identik dengan eksistensi pedagang kaki lima. Jumlah pedagang kaki lima sangat
banyak dan memerlukan ruang yang cukup besar untuk melaksanakan
kegiatannya. Tetapi di sisi lain ruang publik juga digunakan oleh kelompok
pengguna yang lain, yang juga memerlukan ruang untuk kegiatan mereka di ruang
publik.
Kawasan Jalan Gajah Mada yang berada di pusat Kota Tabanan merupakan
pusat kegiatan perekonomian kota di siang hari maupun malam hari. Hal ini
menarik pedagang untuk menjajakan dagangannya dan hingga kini berkembang
pesat sebagai lokasi kegiatan pedagang kaki lima pada sore sampai malam hari
atau dikenal dengan pasar senggol. Pedagang kaki lima ini berjualan di ruang
manfaat jalan seperti trotoar jalan, bahu jalan, badan jalan dan median jalan setiap
hari pada sore sampai malam dengan komoditas utama berupa makanan dan
minuman, sehingga menyebabkan ruang manfaat jalan yang juga merupakan
ruang publik kota menjadi sesak dan sempit. Hal ini menyebabkan terjadinya
pengalihan arus lalu lintas, berkurangnya daerah untuk parkir dan pedestrian
ataupun mengurangi keindahan kota.
Jika dilihat dari sisi ekonomi kabupaten, keberadaan pedagang kaki lima
mampu menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja yang
memiliki keahlian yang relatif minim dan masyarakat dengan kelas ekonomi
rendah juga dapat memperoleh barang dengan harga yang terjangkau oleh mereka.
-
4
Bagi pemerintah kota keberadaan pedagang kaki lima juga memberikan
sumbangan atau kontribusi terhadap pendapatan daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah
pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana sistem pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada
Tabanan ?
2. Bagaimana karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik kota di Jalan
Gajah Mada Tabanan?
3. Bagaimana dampak fisik aktivitas pedagang kaki lima terhadap kualitas ruang
publik kota di Jalan Gajah Mada Tabanan ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka muncul pertanyaan penelitian yang
merupakan tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada
Tabanan.
2. Untuk mengetahui karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik kota
di Jalan Gajah Mada Tabanan.
3. Untuk mengetahui dampak fisik yang disebabkan oleh aktivitas pedagang
kaki lima terhadap kualitas ruang publik kota di Jalan Gajah Mada Tabanan.
-
5
1.4 Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian dengan judul Dampak Fisik Pemanfaatan Ruang
Publik oleh Pedagang Kaki Lima di Jalan Gajah Mada Tabanan ini dapat memberi
manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat keilmuan
Penelitian ini diharapkan dapat meramaikan penelitian tentang ruang kota,
khususnya tentang pemanfaatan ruang publik kota. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam
pendekatan terhadap masalah pedagang kaki lima dan ruang publik kota.
2. Manfaat bagi pemerintah daerah
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menentukan kebijakan
pengelolaan ruang publik kota dan penataan pedagang kaki lima di Kota
Tabanan.
3. Manfaat bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai informasi tentang
pengelolaan dan penataan ruang publik kota, juga sebagai informasi
bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas pedagang kaki
lima terhadap ruang publik kota.
-
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian terdahulu yang bisa saya dapatkan dan terkait dengan pemanfaatan
ruang publik kota dan pedagang kaki lima adalah tesis oleh Tri Haryanti, tesis
oleh Wijayaningsih, tesis oleh Puspitasari, dan tesis oleh Susilo.
Tesis oleh Tri Haryanti, Program Pasca Sarjana Magister Teknik
Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponogoro, tahun 2008 dengan
judul Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Kawasan Bundaran Simpang Lima
Semarang. Tujuan penelitian adalah mengkaji mengenai kecenderungan
pemanfaatan-pemanfaatan ruang terbuka publik kawasan untuk mengetahui pola
pemanfaatan ruang terbuka publik kawasan sebagai dasar dalam arah
pengembangan ruang-ruang terbuka publik di Kawasan Bundaran Simpang Lima,
dengan lingkup pembahasan dibatasi pada kajian jalur pedestrian/trotoar dan
Lapangan Pancasila sebagai perwujudan ruang terbuka publik kawasan.
Perbedaan penelitian oleh Tri Haryanti dengan penelitian penulis adalah
penelitian oleh Tri Haryanti bertujuan untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang
publik, penelitian yang penulis lakukan bertujuan untuk mengetahui dampak
pemanfaatan ruang publik. Persamaannya adalah kedua penelitian sama-sama
meneliti pemanfaatan ruang publik. Hal-hal yang dapat dijadikan acuan dari
penelitian oleh Haryanti adalah pola pemanfaatan ruang publik akan mengukiti
pola ruang yang tersedia. Pemanfaatan ruang publik pada Lapangan Pancasila
-
7
memiliki pola pemanfaatan yang mengelompok, dan pola pemanfaatan ruang
publik pada jalur pedestrian/trotoar memiliki pola pemanfaatan linier memanjang.
Tesis oleh Wijayaningsih, Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur
Universitas Diponogoro, tahun 2007 dengan judul Keterkaitan Pedagang Kaki
Lima Terhadap Kualitas dan Citra Ruang Publik di Koridor Kartini Semarang
pada Masa Pra-Pembongkaran (Studi Kasus : Penggal Jl. DR.Cipto Jl.Barito).
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah terdapat keterkaitan antara
PKL di jalan Kartini dengan citra ruang publik kawasan Kartini, dengan lingkup
pembahasan meliputi analisa mengenai keterkaitan keberadaan PKL terhadap citra
ruang publik di koridor Kartini pada penggal Jl.DR.Cipto-Jl.Barito serta
pengaruhnya bagi lingkungan disekitarnya baik pengguna jalan, pembeli dan
penghuni rumah.
Perbedaan penelitian oleh Wijayaningsih dengan penelitian penulis adalah
penelitian ooleh Wijayaningsih bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
keterkaitan antara pedagang kaki lima terhadap kualitas dan citra ruang publik,
penelitian penulis bertujuan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh
aktivitas pedagang kaki lima dalam ruang publik. Persamaannya adalah kedua
penelitian sama-sama meneliti ruang publik dan pedagang kaki lima. Hal-hal yang
dapat dijadikan acuan dari penelitian oleh Wijayaningsih adalah semakin banyak
dan bertambah jumlah pedagang kaki lima menyebabkan turunnya kualitas fisik
kawasan jalan Kartini.
Tesis oleh Puspitasari, Program Pasca Sarjanan Studi Magister Teknik
Arsitektur Universitas Diponogoro, tahun 2007 dengan judul Pengaruh Aktivitas
-
8
PKL Terhadap Linkage Antara Keraton Kasunanan Pasar Gede Surakarta.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana pengaruh yang
ditimbulkan akibat aktivitas PKL terhadap linkage pada lokasi penelitian,
sehingga tercipta kualitas linkage yang semakin kuat dan spesifik antar node di
pusat Kota Surakarta, dengan lingkup pembahasan meliputi kajian yang berkaitan
dengan karakteristik dan pola aktivitas PKL yang mempunyai dampak lanjutan
terhadap linkage yang terbentuk.
Perbedaan penelitian Puspitasari dengan penelitian penulis adalah penelitian
oleh Puspitasari bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh aktivitas
pedagang kaki lima terhadap linkage, penelitian yang penulis lakukan bertujuan
untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pedagang kaki lima
terhadap fisik ruang publik. Persamaannya adalah kedua penelitian sama-sama
meneliti ruang publik dan pedagang kaki lima. Hal-hal yang dapat dijadikan acuan
dari penelitian ini yaitu pengaruh aktivitas pedagang kaki lima terhadap linkage
antara Kraton Kasunanan Pasar Gede adalah semakin memperkuat atau
meningkatkan kualitas linkage.
Tesis oleh Susilo, Fakultas Ekonomi Program Magister Perencanaan dan
Kebijakan Publik Kekhususan Ekonomi Perencanaan Kota dan Daerah, tahun
2011 dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pedagang Kaki Lima
Menempati Bahu Jalan di Kota Bogor (Studi Kasus: Pedagang Sembako di Jalan
Dewi Sartika Utara). Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi dan menganalisa
faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap PKL untuk lebih memilih
berdagang di bahu jalan dari pada memilih berdagang di kios dalam pasar.
-
9
Perbedaan penelitian Susilo dengan penelitian penulis adalah penelitian oleh
Susilo bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pedagang
kaki lima dalam memilih tempat beraktivitas, penelitian yang penulis lakukan
bertujuan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pedagang
kaki lima dalam ruang publik. Persamaannya adalah kedua penelitian sama-sama
meneliti pedagang kaki lima. Hal-hal yang dapat dijadikan acuan dari penelitian
ini adalah pedagang kaki lima menempati bahu jalan sebagai tempat berjualan
karena bahu jalan merupakan lokasi yang strategis (lebih banyak pembeli), dan
harga sewanya lebih murah dari kios yang ada dalam pasar.
2.2 Konsep
2.2.1 Dampak fisik
Pengertian dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
benturan, pengaruh yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif.
Pengaruh adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut
membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Pengaruh adalah suatu
keadaan dimana ada hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat antara apa
yang mempengaruhi dengan apa yang dipengaruhi. (KBBI Online, 2013).
Menurut Soemarwoto (2001:67-69) untuk dapat melihat dan menjelaskan
bahwa suatu dampak atau perubahan telah terjadi pada suatu kawasan, maka harus
mempunyai bahan perbandingan sebagai bahan acuan. Salah satu bahan yang
dapat menjadi acuan adalah keadaan sebelum terjadi perubahan. Ada dua
-
10
batasan penting dalam menganalisis terjadinya dampak, yaitu; (a) dampak suatu
aktivitas terhadap lingkungan adalah perbedaan antara aspek lingkungan sebelum
aktivitas terjadi dengan aspek lingkungan setelah adanya aktivitas tersebut, (b)
dampak aktivitas terhadap lingkungan adalah perbedaan antara aspek lingkungan
tanpa adanya aktivitas dengan aspek lingkungan yang diperkirakan terjadi setelah
adanya aktivitas.
Elemen-elemen pembentuk fisik kota terdiri dari tata guna lahan, bentuk dan
masa bangunan, sirkulasi dan parkir, ruang terbuka, jalur pejalan kaki/pedestrian,
pendukung kegiatan, tanda-tanda dan preservasi (Shirvani:1985;7). Tata guna
lahan merupakan pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan terbaik
dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga secara umum dapat memberikan
gambaran keseluruhan bagaimana daerah-daerah pada suatu kawasan tersebut
seharusnya berfungsi (Darmawan:2003;12).
Bentuk dan masa bangunan meliputi aspek-aspek bentuk fisik, ketinggian,
pemunduran/setbacks, dan penutupan/coverrage. Faktor penampilan maupun
konfigurasi dari masa bangunan yang meliputi warna, material, tekstur, tampak
dan bentuk yang erat kaitannya dengan estetika juga perlu diperhatikan
(Shirvani:1985;11).
Sirkulasi kota akan sangat terkait dengan prasarana jalan yang tersedia,
bentuk setiap struktur kota, fasilitas pelayanan umum, jumlah kendaraan yang
semakin meningkat dan prilaku masyarakat kota dalam memanfaatkan jalan
(Shirvani:1985;11). Untuk penataan parkir di perkotaan dapat dilakukan dengan
empat prinsip utama yaitu setiap ada aktivitas atau pembangunan gedung harus
-
11
dilengkapi dengan ruang untuk parkir kendaraan, melakukan kerjasama
pemanfaatan ruang parkir untuk parkir aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada
waktu yang berbeda, melaksanakan pembangunan areal parkir yang dapat berupa
taman parkir atau gedung parkir dan pembangunan areal parkir pada daerah
pinggiran kota sebagai penampungan kendaraan bagi yang akan bepergian ke
pusat kota (Shirvani:1985;22).
Ruang terbuka meliputi semua landsekap, elemen keras (seperti jalan, trotoar
dan lainnya), taman, dan ruang rekreasi di kawasan kota (Shirvani:1985;22).
Menurut Budiharjo dan Sujarto (1998:53) ruang terbuka merupakan ruang yang
direncanakan karena kebutuhan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama
di udara terbuka.
Jalur pejalan kaki (pedestrian) yang baik akan mengurangi ketergantungan
kendaraan di kawasan pusat kota, meningkatkan kualitas lingkungan melalui
sistem perencanaan yang manusiawi, menciptakan kegiatan pedagang kaki lima
yang lebih banyak dan juga meningkatkan kualitas udara di kawasan pusat kota
(Shirvani:1985;313). Rubenstein (dalam Julianingsih:2002;27) menyatakan
aktivitas pejalan kaki membutuhkan persyaratan yaitu aman dan mudah atau
leluasa bergerak serta cukup terlindung dari lalu lintas kendaraan, menyenangkan
dengan rute-rute pendek dan jelas serta bebas hambatan dan keterlambatan waktu
yang diakibatkan kepadatan pejalan kaki, mudah dilakukan ke segala arah dan
pada tempat-tempat tertentu diberikan elemen seperti elemen estetika, lampu
penerang jalan yang dapat menimbulkan daya tarik.
-
12
Dari beberapa pendapat tentang dampak dan fisik kota yang telah diuraikan,
yang dimaksud dengan dampak fisik dalam penelitian ini adalah perubahan yang
terjadi pada elemen fisik kota seperti jalan, totoar, masa bangunan, taman, dan
sirkulasi akibat adanya aktivitas pedagang kaki lima yang dilakukan pada elemen
fisik kota tersebut.
2.2.2 Ruang publik
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal
7 ayat 1,2,3, disebutkan bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud, negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang
kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Namun dalam penyelenggaraan
penataan ruang sebagaimana dimaksud juga wajib dilakukan dengan tetap
menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Hal ini dapat dimaknai bahwa dalam melakukan penataan ruang, pemerintah
baik pusat maupun daerah harus mendengarkan aspirasi masyarakat dari berbagai
pihak dan menganalisis dari berbagai sisi. Tidak hanya dari sisi estetika dan
kebersihan lingkungan saja misalkan, namun juga melihat dari sisi perekonomian
masyarakat, budaya dan sisi lainnya.
Halim (2008:55), mendefinisikan Ruang publik kota secara umum yaitu
sebagai tempat fisik dan kasat mata yang ada di dalam kota. Definisi lain yang
dikemukakan Budiharjo dan Djoko Sujarto (1999:134) adalah ruang terbuka
-
13
publik merupakan tempat di mana masyarakat dapat melakukan aktivitas
sehubungan dengan kegiatan rekreasi dan hiburan. Bahkan, dapat pula mengarah
kepada jenis kegiatan hubungan sosial lainnya seperti untuk berjalan-jalan, untuk
melepas lelah, duduk-duduk dengan santai, bisa juga untuk pertemuan akbar pada
saat-saat tertentu atau juga digunakan untuk upacara-upacara resmi, dapat pula
dipadukan dengan tempat-tempat perdagangan.
Budihardjo (1997:29) menyebutkan ruang publik (publik space) adalah
tempat para warga melakukan kontak sosial, pada lingkungan masyarakat
tradisional selalu tersedia dalam berbagai kalangan. Mulai dari pekarangan
komunal, lapangan desa, lapangan di lingkungan rukun tetangga, sampai ke alun-
alun yang berskala kota. Ruang publik bagi warga yang meninggal dunia, yaitu
yang berupa kuburan umum sudah disiapkan untuk beberapa generasi. Jalan atau
gang tidak sekedar berfungsi sebagai penyalur arus lalu lintas, melainkan juga
dimanfaatkan sebagai wahana kontak sosial, tempat bermain dan ruang kehidupan
(living space).
Menurut Madanipour (dalam Hariyono:2007;133), ruang publik perkotaan
(publik urban space) memungkinkan dan membiarkan masyarakat yang berbeda
kelas, etnik, gender, dan usia saling berbaur. Pengertian yang diberikan oleh
Madanipour ini khususnya sangat diperhatikan pada masyarakat dan pemerintahan
yang menganut paham demokrasi. Menurut Tibbalds (dalam Hariyono:2007:133)
bidang publik dalam ruang perkotaan adalah semua jaringan perkotaan yang dapat
diakses secara fisik dan visual oleh masyarakat umum, termasuk jalan, taman, dan
lapangan/alun-alun. Jadi, dapat dikatakan ruang publik adalah suatu tempat yang
-
14
dapat menunjukkan perletakan sebuah objek. Tempat ini dapat diakses secara fisik
maupun visual oleh masyarakat umum. Menurut Jan Gehl (dalam
Hariyono:2007;136), ruang publik memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai tempat
bertemu, berdagang dan lalu lintas.
Dengan demikian, ruang publik dapat berupa jalan, trotoar, taman kota,
lapangan, dan lain-lain. Dalam penelitian ini ruang publik yang dijadikan obyek
penelitian adalah ruang publik berupa badan jalan, selasar pertokoan, trotoar dan
taman yang dijadikan tempat beraktivitas oleh pedagang kaki lima di sepanjang
Jalan Gajah Mada Tabanan.
2.2.3 Pedagang kaki lima
Istilah pedagang kaki lima muncul sejak jaman Rafles dari kata 5 feets
yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Kemudian area
berjualan pedagang-pedagang kecil disebut pedagang kaki lima
(Wijayaningsih:2007;27). Sektor informal yang dominan di daerah perkotaan adalah
pedagang pinggir jalan dan merupakan kegiatan ekonomi skala kecil yang
menghasilkan dan atau mendistribusikan barang dan jasa yang selanjutnya dapat
disebut sebagai pedagang kaki lima.
Keberadaan pedagang kaki lima merupakan suatu realita saat ini, bersamaan
dengan tumbuh dan berkembangnya geliat perekonomian di suatu kota. Hak-hak
mereka untuk mendapatkan rejeki yang halal di tengah sulitnya untuk
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan tentunya tidak bisa
dikesampingkan. Pedagang kaki lima sangat membantu kepentingan masyarakat
-
15
dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara
mandiri yang mempunyai keahlian yang relatif minim. Pedagang kaki lima selain
menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah, juga
merupakan sektor informal yang sering dianggap lebih mampu bertahan hidup
dibandingkan sektor usaha yang lain. Keberadaan sektor informal seperti
pedagang kaki lima memiliki peran penting sebagai penyangga distorsi sistem
ekonomi (Sudaryono:2010).
Selain kenyataan bahwa sektor informal seperti pedagang kaki lima bisa
menjadi penyangga distorsi sistem ekonomi perkotaan, pedagang kaki lima juga
menjadi salah satu penyebab persoalan penataan ruang perkotaan. Lokasi
pedagang kaki lima selalu memusat pada pusat-pusat kota dimana kegiatan
perekonomian kota berpusat dan pada ruang-ruang publik seperti trotoar, taman
kota, atau di atas ruang publik lainnya (Nurmandi:2006;165).
Banyaknya pedagang kaki lima seringkali menjadikan kesemrawutan pada
ruang-ruang kota. Jika pedagang kaki lima menjajakan dagangannya secara
sembarangan di pinggir jalan, maka yang terjadi adalah kemacetan, pemandangan
yang tidak baik dan juga seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan dengan
sampahnya yang sembarangan. Pedagang kaki lima juga seringkali mengganggu
pejalan kaki karena menutupi jalan yang seharusnya dipakai oleh pejalan kaki
(Winarso dan Gede Budi:2008).
-
16
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Fungsi ruang publik
Ruang publik dapat menciptakan karakter kota, dan pada umumnya ruang
publik memiliki fungsi pusat interaksi dan komunikasi masyarakat, sebagai ruang
pengikat struktur kota, sebagai tempat kegiatan pedagang kaki lima, dan sebagai
paru-paru kota (Darmawan, 2005:2, 2006:1, 2009:2).
Sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat, ruang publik akan
mewadahi kegiatan-kegiatan masyarakat baik formal (seperti upacara bendera,
sholat Ied, dan peringatan peringatan yang lain) maupun informal (seperti
pertemuan individu, pertemuan kelompok masyarakat, dan demo mahasiswa).
Sebagai ruang pengikat struktur kota, ruang publik menampung koridor-koridor
jalan yang menuju ke arah ruang publik tersebut dan sekaligus sebagai pembagi
ruang-ruang fungsi bangunan disekitarnya serta ruang transit bagi masyarakat
yang akan pindah ke arah tujuan lain.
Sebagai tempat kegiatan pedagang kaki lima, ruang publik menampung
aktivitas pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman, pakaian,
souvenir, dan jasa seperti tukang service jam, tukang sol sepatu, dan sebagainya
terutama dimalam hari. Sebagai paru-paru kota, ruang publik dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai tempat olahraga, bermain dan santai bersama keluarga.
2.3.2 Tipologi ruang publik
Stephen Carr (dalam Darmawan 2005:12-26, 2006:13-20, 2009: 48-58) dan
Tri Haryanti (2008:45-48) membagi tipologi ruang publik menjadi beberapa tipe
-
17
dan karakter. Tipologi ruang publik ini memiliki banyak variasi yang kadang
kadang memiliki perbedaan yang tipis sehingga seolah olah memberi pengertian
yang tumpang tindih (overlapping). Tipe dan karakter ruang publik yaitu : taman
umum (National Park), lapangan dan plasa (Squares and Plazas), taman
peringatan (Memorial Park), pasar (Market), jalan (Streets), tempat bermain
(Playgrounds), ruang komunitas (Community Open Space), jalan hijau dan jalan
taman (Greenways & Parkways), atrium/pasar di dalam ruang (Atrium/Indoor
Market Place), ruang di lingkungan rumah (Found/Neighbohood Spaces), dan tepi
laut (Waterfront).
Taman umum (National Park) terdiri dari taman nasional (National Park)
yang lokasinya berada di pusat kota, bentuknya berupa zona ruang terbuka, dan
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di tempat ini berskala nasional. Taman
pusat kota (Downtown Park), taman ini berada di kawasan pusat kota, berupa
lapangan hijau, hutan kota atau areal hijau yang berlokasi di kawasan perkantoran,
perdagangan atau perumahan yang ada di pusat kota. Taman lingkungan
(Neighborhood Park), ruang terbuka ini dikembangkan di lingkungan perumahan
sebagai fasilitas umum untuk kegiatan bermain anak anak, olah raga dan bersantai
bagi masyarakat di lingkungan perumahan tersebut. Taman kecil (Mini Park)
adalah taman kecil yang dikelilingi oleh bangunan bangunan, seperti taman taman
di pojok pojok lingkungan.
Lapangan dan plaza (Squares and Plazas) terdiri dari lapangan pusat (central
squares) dan plaza pengikat (corporate plaza). Taman peringatan (Memorial
Park) merupakan tempat yang biasa digunakan untuk memperingati kejadian
-
18
penting di tingkat lokal atau nasional. Pasar (Market) adalah tempat terbuka yang
digunakan untuk aktivitas jual beli, biasanya untuk pasar hasil pertanian
(Farmers Markets), bersifat temporer atau hari tertentu dan berlokasi di ruang
yang tersedia seperti jalan atau lapangan parkir. Jalan (Streets) merupakan bagian
ruang publik kota yang banyak dilalui oleh pejalan kaki, yang menghubungkan
jalan yang satu dengan jalan yang lainnya. Temasuk di dalamnya adalah trotoar
pejalan kaki (pedestrian sidewalk), mal pejalan kaki (pedestrian mall), mal tempat
transit (transit mall), jalan-jalan yang dibatasi untuk lalu-lintas (traffic restricted
streets), dan gang kecil di kota (town trails).
Tempat bermain (Playgrounds) biasanya berlokasi di lingkungan perumahan,
dan halaman sekolah. Jalan hijau dan jalan taman (Greenways & Parkways)
adalah ruang berupa taman masyarakat (Community Garden), yang dilengkapi
dengan fasilitas taman seperti areal bermain, tempat tempat duduk dan fasilitas
lainnya. Ruang komunitas (Community Open Space) merupakan jalan pedestrian
yang menghubungkan antara tempat rekreasi dan ruang terbuka, yang dipenuhi
dengan taman dan penghijauan.
Atrium/pasar di dalam ruang (Atrium/Indoor Market Place) terdiri dari atrium
dan pusat perbelanjaan di pusat kota. Atrium yang berperan sebagai pengikat
ruang ruang di sekitarnya yang sering digunakan untuk kegiatan komersial dan
merupakan pedestrian area. Ruang di lingkungan rumah (Found/Neighbohood)
adalah ruang terbuka yang mudah dicapai dari rumah, seperti sisa kapling atau
tanah kosong yang belum dimanfaatkan, dipakai sebagai tempat bermain bagi
anak-anak atau tempat komunikasi bagi orang dewasa atau orang tua. Tepi laut
-
19
(Waterfront) bisa berupa pelabuhan, pantai, bantaran sungai, bantaran danau, atau
dermaga, yang berada di sepanjang rute aliran air di dalam kota.
2.3.3 Karakter ruang publik
Karakter ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat sangat
penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan perkotaan.
Perancangan dan pengembangan ruang publik merupakan hal yang signifikan
untuk kota maupun perkotaan. Karakter ruang publik yaitu ruang publik
merupakan konstruksi sosial dari ruang, ruang publik menciptakan batasan
spasial, ruang publik sebagai pembagi sosio-spasial, ruang publik sebagai
integrasi kota menuju fragmentasi fungsional (Siahaan:2010)
Ruang publik merupakan konstruksi sosial dari ruang yang ada, baik ruang
tempat bermukim hingga ruang yang dikunjungi ketika bepergian. Perilaku spasial
yang ditentukan dan menentukan ruang merupakan bagian yang terintegrasi
dengan eksistensi sosial masyarakat. Ruang publik menciptakan batasan spasial
menjadi prasyarat utama dalam sebuah perancangan kota. Menciptakan batasan
ruang-ruang yang hidup dan aktif merupakan kondisi yang penting untuk
keberhasilan penyediaan ruang publik. Hal ini sangat penting bagi perancangan
kota untuk menciptakan ruang publik positif, yaitu ruang yang dibatasi oleh
bangunan.
Ruang publik menjadi mediator antara ruang privat yang mendominasi
wilayah kota dan memainkan peran penting dalam pembagian sosiospasial. Tanpa
adanya proses mediasi, maka pergerakan spasial di dalam kota menjadi sangat
-
20
terbatas. Kondisi saat ini memperlihatkan banyaknya permukiman yang dijaga
keamanannya serta banyak jaringan jalan yang dikotak-kotakkan dan dibatasi
aksesnya. Ruang publik sebagai integrasi kota menuju fragmentasi fungsional
dibutuhkan karena pada jaman modern integrasi fungsional kota cenderung
menghilang dan memudar. Perkembangan ukuran ruang kota telah membawa
pada spesialisasi ruang, di mana terjadi pemisahan hubungan simbolis dan
fungsional dari lingkungan publik dan privat. Kemampuan untuk menjangkau
seluruh ruang perkotaan telah mengurangi kontak fisik antara penduduk kota dan
lingkungan terbangunnya.
2.3.4 Kriteria ruang publik ideal
Ruang publik yang baik harus dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk berkumpul, berinteraksi, dan beraktivitas dengan aman dan
nyaman. Tanpa adanya aktivitas dan interaksi sosial manusia di dalamnya, maka
suatu ruang publik tersebut bukanlah ruang publik yang ideal. Ruang publik ideal
menurut Siahaan (2010) yaitu :
Ruang publik dapat disebut ideal apabila ruang publik merupakan pusat dari
aktivitas masyarakat dan membentuk identitas dari suatu kota (Image and
Identity). Ruang publik juga harus memiliki tempat-tempat yang di dalamnya
memiliki suatu daya tarik tertentu yang memikat banyak orang (Attractions and
Destinations).
Ruang publik seharusnya memiliki ketenangan (Amenities) yang dapat
membuat orang yang menggunakannya merasa nyaman. Ruang publik harus dapat
-
21
dijangkau seluruh umur dari anak-anak hingga orang dewasa. Ruang publik juga
dapat digunakan sepanjang hari, dari pagi, siang, dan malam. Untuk merespon
kondisi ini ruang publik menyediakan fasilitas yang mudah dibongkar pasang, dan
juga mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainnya (Flexible
Design). Ruang publik dapat memberikan tampilan yang berubah-ubah (Seasonal
Strategy )yang berbeda dari satu musim ke musim lainnya. Ruang publik juga
harus memiliki kedekatan dan kemantapan pencapaian (aksesibilitas), mudah
dijangkau dengan jalan kaki, kedekatan dengan jalan besar, dilalui oleh kendaraan
dengan lambat.
2.3.5 Pengertian pedagang kaki lima
Pengertian pedagang kaki lima berasal dari jaman Raffles yaitu 5 (five)
feets yang berarti jalur pejalan kaki dipinggir jalan selebar lima kaki (Manning,
1996 dalam Sumarwanto:2012). Area pejalan kaki tersebut lama kelamaan
dipaksa untuk area berjualan oleh pedagang kecil seperti bakso, mi goreng,
warung kelontong, tambal ban, penjual obat, sepatu, mainan, warung makan dan
lain lain (Sumarwanto:2012).
Pedagang kaki lima pada umumnya adalah pekerjaan yang paling nyata dan
paling penting dikebanyakan kota pada negara berkembang. Pedagang kaki lima
di perkotaan mempunyai karakteristik dan ciri-ciri yang sama dengan sektor
informal, sehingga sektor informal perkotaan sering diidentikan dengan pedagang
kaki lima (Ramli,1992:31).
-
22
2.3.6 Karakteristik lokasi pedagang kaki lima
Pedagang kaki lima dalam beraktivitas biasanya memilih lokasi pada tempat-
tempat yang strategis di sebagian besar wilayah kota. Mereka akan berusaha agar
barang atau jasa yang dijual terlihat oleh pembeli. Oleh karena itu mereka akan
memilih lokasi-lokasi yang strategis dan menguntungkan di pusat kota atau di
suatu lokasi yang merupakan lokasi aktivitas masyarakat. Sehingga dapat kita
jumpai kehadiran PKL di sekitar lokasi aktivitas perdagangan, pendidikan,
perkantoran, dan aktivitas sosial masyarakat lainnya. Dalam teori lokasi juga
disebutkan bahwa bagi pedagang terdapat kecenderungan untuk berorientasi
kepada konsentrasi konsumen dalam menentukan lokasi tempat usaha
(Djojodipuro, 1992: 30).
Menurut Mc. Gee dan Yeung (dalam Haryanti:2008) karakteristik lokasi yang
diminati oleh pedagang kaki lima adalah lokasi yang menjadi akumulasi banyak
orang untuk melakukan kegiatan bersama-sama, pada waktu yang relatif sama
sepanjang hari dan sering dikunjungi orang dalam jumlah besar, mempunyai
kemudahan untuk terjadi hubungan antara pedagang dengan calon pembeli,
walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit serta tidak memerlukan
ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum. Seperti yang diungkapkan oleh
Bromley (dalam Manning dan Tadjuddin, 1996: 232) berdasarkan hasil
penelitiannya mengenai pedagang sektor informal di Cali, Colombo, bahwa para
pedagang sektor informal dijumpai di semua sektor kota, terutama berpusat di
tengah kota dan pusat-pusat hiburan lainnya ketika ada pertunjukkan, sehingga
menarik sejumlah besar penduduk.
-
23
2.3.7 Pola penyebaran aktivitas pedagang kaki lima
Mc. Gee dan Yeung (dalam Haryanti:2008) menyatakan dalam menjaring
konsumennya pola ruang aktivitas pedagang kaki lima akan sangat dipengaruhi
oleh pola aktivitas sektor formal di mana pedagang kaki lima tersebut beraktivitas.
Aktivitas padagang kaki lima akan beraglomerasi pada simpul-simpul jalur
pejalan kaki dan tempat yang sering dikunjungi sehingga memungkinkan
terjadinya akumulasi orang dalam jumlah yang besar. Pola penyebaran aktivitas
pedagang kaki lima terdiri dari pola penyebaran memanjang dan pola penyebaran
mengelompok
Pola penyebaran memanjang (Linear Concentration), dipengaruhi oleh pola
jaringan jalan utama atau jalan penghubungnya yang memiliki aksesibilitas tinggi,
sehingga berpotensi mendatangkan konsumen. Pola penyebaran mengelompok
(Focus Aglomeration) dijumpai pada ruang-ruang terbuka seperti taman,
lapangan, dan yang lainnya. Pola ini dipengaruhi oleh pertimbangan faktor
aglomerasi, yaitu keinginan pedagang kaki lima untuk melakukan pemusatan atau
pengelompokan berdasar jenis dagangannya yang memiliki sifat dan komoditas
yang sama untuk dapat lebih banyak menarik minat pembeli.
2.3.8 Waktu, pola pelayanan dan sarana berdagang pedagang kaki lima
Pedagang kaki lima biasanya memulai aktivitasnya dari pagi hingga sore,
tapi ada pula pedagang kaki lima yang memulai membuka dagangannya pada sore
hari hingga malam hari, ada juga yang buka sampai pagi hari. Pola pelayanan
yang mereka gunakan yaitu dengan cara langsung menggelar daganganya
-
24
sehingga pengunjung dan pembeli dapat langsung memilih dan bertransaksi.
Pedagang kaki lima dalam menjajakan barang dagangannya menggunakan sarana
yang relatif sederhana berupa : gerobak, meja, tenda, kios, gelaran dan lain-lain
(Sumarwanto:2012).
Waworoentoe (dalam Susilo:2011;19-20) menyebutkan sarana berdagang
pedagang kaki lima terdiri dari pikulan/keranjang, gelaran/alas, jongko/meja,
gerobak/kereta dorong, warung semi permanen, dan kios. Pikulan/keranjang
digunakan oleh para pedagang yang keliling (mobile hawkers) atau semi menetap
(semi static), supaya barang dagangan mudah dipindahkan ke suatu tempat.
Gelaran/alas digunakan oleh pedagang untuk menggelar dagangan, alas yang
digunakan dapat berupa kain, tikar, terpal, kertas dan sebagainya.
Jongko/meja adalah sarana berdagang dalam bentuk meja baik yang beratap
ataupun tidak beratap. Sarana ini biasanya digunakan oleh pedagang kaki lima
yang menetap. Gerobak/kereta dorong biasanya digunakan oleh pedagang kaki
lima yang menetap maupun yang tidak menetap. Gerobak/kereta dorong ada yang
beratap dan ada juga yang tidak beratap, pada umumnya digunakan untuk
menjajakan makanan, minuman dan rokok.
Warung semi permanen terdiri dari beberapa gerobak yang diatur berderet,
dilengkapi dengan bangku-bangku panjang. Sarana ini menggunakan atap terpal
atau plastik, digunakan oleh pedagang kaki lima yang menetap dan biasanya
berjualan makanan dan minuman. Kios biasanya merupakan bangunan semi
permanen yang dibuat dari papan, dan digunakan oleh pedagang kaki lima yang
menetap.
-
25
2.3.9 Jenis dagangan pedagang kaki lima
Pedagang kaki lima dalam menentukan jenis dagangan yang akan dijual pada
umumnya menyesuaikan dengan dengan kebutuhan lingkungan di sekitar lokasi
tempat pedagang kaki lima tersebut berjualan (Susilo:2011;18). Mc. Gee dan
Yeung (dalam Susilo:2011;19) menyebutkan jenis dagangan pedagang kaki lima
dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) yaitu makanan yang tidak diproses dan
semi olahan, makanan siap saji, barang bukan makanan, dan jasa.
Makanan yang tidak diproses yaitu makanan mentah seperti buah-buahan,
dan sayur-sayuran, sedangkan makanan semi olahan adalah beras. Makanan siap
saji yaitu makanan dan minuman yang sudah dimasak. Barang bukan makanan
terdiri dari barang-barang dalam skala yang luas, mulai dari tekstil hingga obat-
obatan. Jasa (service) terdiri dari beragam aktifitas seperti jasa sol sepatu dan
tukang potong rambut.
2.4 Model Penelitian
Perkembangan kawasan Jalan Gajah Mada sebagai pusat Kota Tabanan,
menyebabkan terjadinya pergeseran pemanfaatan ruang publik. Pergeseran
pemanfaatan ruang publik timbul karena adanya peningkatan aktivitas kawasan
Jalan Gajah Mada Tabanan, terutama aktivitas perdagangan dan jasa. Adanya
keterbatasan lahan menyebabkan fungsi atau aktivitas informal akan ikut
memanfaatkan ruang publik yang digunakan untuk fungsi atau aktivitas formal.
Perkembangan kawasan Jalan Gajah Mada yang didominasi oleh aktivitas
perdagangan dan jasa, telah mendorong pedagang kaki lima memanfaatkan ruang
-
26
publik di Jalan Gajah Mada Tabanan seperti badan jalan, selasar pertokoan dan
trotoar sebagai tempat beraktivitas. Pemanfaatan ruang publik di Jalan Gajah
Mada Tabanan mengakibatkan berkurangnya luasan ruang publik, berkurangnya
kenyamanan pengguna jalan dan pejalan kaki, dan juga mengakibatkan kerusakan
pada elemen-elemen ruang publik seperti kerusakan pada jalan, trotoar dan
bangunan pertokoan.
Model penelitian berikut ini akan menjelaskan secara menyeluruh kegiatan
penelitian yang dilakukan kedalam sebuah diagram. Dengan adanya model
penelitian akan memperjelas proses kegiatan penelitian yang dilakukan.
Permasalahan pemanfaatan ruang publik Kota Tabanan menjadi latar belakang
dilakukannya penelitian ini. Berdasarkan latar belakang tersebut selanjutnya
dilakukan pengumpulan data mengenai pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan
Gajah Mada Tabanan dan karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik di
Jalan Gajah Mada Tabanan. Dari hasil analisis data-data tersebut kemudian
diidentifikasi dampak yang ditimbulkan terhadap kualitas ruang publik di Jalan
Gajah Mada.
-
27
Gambar 2.1 Model Penelitian Sumber : Analisis
Keberadaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada Tabanan
Kasus-kasus (lokasi penelitian)
Pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada
Tabanan
Karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik di Jalan Gajah Mada
Tabanan
Dampak yang ditimbulkan pada
kualitas ruang publik
Dampak Fisik Pemanfaatan Ruang Publik oleh Pedagang Kaki Lima di Jalan Gajah Mada Tabanan
Landasan teori:
1. Fungsi Ruang Publik
2.Tipologi Ruang Publik
3. Karakter Ruang Publik
4. Kriteria Ruang Publik Ideal
Landasan teori:
1. Pengertian Pedagang Kaki Lima 2. Karakteristik Lokasi Pedagang Kaki
Lima 3. Pola Penyebaran Aktivitas Pedagang
Kaki Lima
4. Waktu, Pola Pelayanan dan Sarana Berdagang
5. Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima
-
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Data yang
dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kualitatif. Penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi
mengenai status suatu gejala yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya
pada saat penelitian dilakukan. Dalam penelitian deskriptif ditujukan untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.
Pendekatan kualitatif deskriptif digunakan untuk memahami fenomena di
lokasi penelitian secara menyeluruh dan mendalam, sehingga temuan-temuan
dalam penelitian kualitatif adalah unik dan nyata serta kesimpulan yang dihasilkan
tidak dimaksudkan untuk digeneralisasikan pada populasi yang lebih besar dengan
situasi yang berbeda. Tetapi hasil penelitian kualitatif dapat saja ditransfer pada
situasi tertentu yang karakteristiknya sama atau relatif sama (Danim, 2002: 37).
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Jalan Gajah Mada Kota Tabanan. Jalan
Gajah Mada yang digunakan untuk aktivitas pedagang kaki lima adalah sisi Utara
sepanjang 700 meter.
-
29
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Skala 1 : 4000
Sumber : Survei Lapangan, 2013
-
30
3.3 Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis data
Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data terhadap obyek yang
diteliti dalam rangka mendapatkan gambaran mengenai suatu keadaan atau
permasalahan di lokasi penelitian. Data tersebut terdiri dari data primer dan data
sekunder.
Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh secara langsung
dari sumbernya dengan cara observasi atau pengamatan langsung terhadap
aktivitas para pedagang kaki lima di lokasi penelitian. Observasi juga dilakukan
terhadap lokasi penelitian yaitu Jalan Gajah Mada Tabanan. Data primer juga
diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dengan dengan para pedagang
dan instansi yang terkait.
Data sekunder adalah data berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan
penelitian yaitu : data tentang perencanaan tata ruang di lokasi penelitian, data
tentang jumlah pedagang, biaya sewa dan retribusi, data tentang pengelolaan
pasar senggol, serta data lainnya yang terkait dengan penelitian.
3.3.2 Sumber data
Sumber data primer didapat dengan melakukan observasi di lokasi penelitian
dan wawancara terhadap pedagang yang merupakan obyek dari penelitian, yang
terdiri dari pedagang kaki lima yang beraktivitas di Jalan Gajah Mada, dan pejabat
yang terkait dengan pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada
Tabanan.
-
31
Sumber data sekunder bersumber dari instansi yang ada di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Tabanan yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,
Dinas Pendapatan dan Pesedahan Agung, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Perhubungan Komunikasi dan Informasi, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, dan
instansi terkait lainnya. Untuk jenis dan sumber data selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 3.1
3.3 Instrumen Penelitian
Dalam peneltian kualitatif, instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan
data lebih banyak bergantung pada peneliti sebagai alat pengumpul data. Peneliti
dianggap sebagai instrumen yang utama karena peneliti dapat menilai keadaan
dan dapat mengambil keputusan (Moleong,1994:19). Dalam penelitian ini,
instrumen yang digunakan berupa :
1. Pedoman wawancara: digunakan di dalam penelitian ini adalah pedoman
wawancara tidak terstruktur, dimana peneliti melakukan wawancara
secara bebas sehingga diharapkan banyak mendapatkan informasi yang
terjadi di lapangan.
2. Alat tulis: digunakan dalam observasi atau pengamatan langsung ke
lapangan untuk mencatat data yang memungkinkan diperoleh mengenai
kondisi lokasi penelitian.
3. Alat perekam: Perekam yang dimaksud dalah alat perekam berupa
telepon genggam dan kamera. Handphone yang dapat dipergunakan
untuk merekam, dipergunakan untuk merekam saat proses tanya-
-
32
jawab/wawancara, proses perekaman hasil wawancara dimaksud untuk
mendokumentasikan hasil wawancara. Kamera digunakan untuk
mendokumentasikan kondisi fisik obyek dan lokasi penelitian. Hasil yang
didapatkan berupa gambar/foto tentang kondisi dan aktivitas di lokasi
penelitian.
4. Seperangkat komputer: digunakan untuk pengetikan laporan penelitian
dan juga untuk menyimpan data penelitian.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan teknik
sebagai berikut :
1. Wawancara.
Teknik wawancara yang dipakai adalah wawancara bebas tanpa
pedoman wawancara. Teknik ini dilakukan dengan melakukan wawancara
pada proses peninjauan awal lapangan kemudian dikembangkan untuk
memperoleh informasi lebih mendalam. Wawancara dilakukan dengan
para pedagang di lokasi penelitian, pihak dari badan pengelola pedagang
kaki lima, dan juga dengan pihak-pihak dari instansi yang terkait dengan
keberadaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada Tabanan.
2. Observasi.
Teknik ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara
langsung pada lokasi penelitian di Jalan Gajah Mada Tabanan. Dengan
melakukan observasi peneliti dapat mengetahui gambaran yang lengkap
-
33
dan meyeluruh mengenai hal-hal yang terkait dengan pedagang kaki lima
di Jalan Gajah Mada Tabanan.
3. Dokumentasi
Teknik ini dilakukan untuk mengumpulkan data berupa dokumen
dokumen yang terkait dengan keberadaan pedagang kaki lima di Jalan
Gajah Mada Tabanan. Dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Tabanan dicari dokumen Rencana Tata Ruang Kota (RTRK)
Tabanan. Untuk data pendukung mengenai daya dukung infrastruktur
Jalan Gajah Mada dari Dinas Pekerjaan Umum, data tentang pengelolaan
Pasar Senggol sebagai tempat aktivitas pedagang kaki lima didapat dari
Dinas Pendapatan dan Pesedahan Agung. Selanjutnya dari Dinas
Perhubungan Komunikasi dan Informasi peneliti mencari data mengenai
lalu lintas, dan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan dicari data tentang
kegiatan pertamanan dan kebersihan di Jalan Gajah Mada Tabanan. Data
tersebut dicari dalam bentuk dokumen dan mewawancarai pihak yang
berkompeten dari instansi-instansi tersebut.
3.5 Teknik Analisis Data
Setelah mendapatkan data primer dan data sekunder selanjutnya dilakukan
analisis data, sehingga dapat ditemukan jawaban dari permasalahan penelitian.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kualitatif, sehingga teknik
analisis data yang dilakukan, yaitu:
-
34
1. Reduksi data: data yang telah diperoleh di lapangan pada tahap ini dipilah
berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.
Dalam proses reduksi data, data yang diperoleh di lokasi penelitian
dijabarkan ke dalam kalimat deskriptif yang dapat menggambarkan
kondisi nyata di lokasi penelitian.
2. Analisis data: data yang telah dipilah selanjutnya di analisa dengan
mengurakainnya secara deskriptif, ditunjang dengan dokumentasi berupa
foto-foto pengamatan di lokasi penelitian untuk membentuk suatu
rangkaian deskriptif, gambaran-gambaran sistematis, aktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena tentang
pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada Tabanan,
karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik kota di Jalan Gajah
Mada Tabanan dan dampak fisik yang disebabkan oleh aktivitas
pedagang kaki lima terhadap kualitas ruang publik kota di Jalan Gajah
Mada Tabanan.
3.6 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Teknik penyajian hasil analisis data merupakan cara menyajikan hasil dari
analisis data yang telah dilakukan. Teknik penyajian hasil analisis data dalam
penelitian ini ditampilkan dalam bentuk:
1. Naratif: hasil analisi data disajikan dalam bentuk narasi dalam paragraf
atau alinea yang disusun dengan kata-kata yang mudah dimengerti untuk
menjelaskan tentang pengelolaan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada
-
35
Tabanan, karakteristik pedagang kaki lima dalam ruang publik kota di
Jalan Gajah Mada Tabanan dan dampak fisik yang disebabkan oleh
aktivitas pedagang kaki lima terhadap kualitas ruang publik kota di Jalan
Gajah Mada Tabanan.
2. Tabel: berupa data numerik maupun non numerik dalam bentuk baris dan
kolom.
3. Gambar: menyajikan kondisi di lokasi penelitian dalam bentuk gambar
berupa foto dan peta .
-
36
Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data
RUMUSAN MASALAH JENIS DATA SUMBER DATA INSTRUMEN TEKNIK
PENGUMPULAN DATA
TEKNIK ANALISIS
DATA
TEKNIK PENYAJIAN
Bagaimana proses penempatan pedagang kaki lima di Jalan Gajah Mada Tabanan ?
DATA SEKUNDER : Sejarah pedagang kaki
lima di Kota Tabanan.
Sistem pengelolaan Badan pengelola Tugas badan pengelola Instansi yang terkait
pengelolaan Tugas instansi yang
terkait pengelolaan
Persyaratan penggunaan lokasi
Biaya retribusi
Pedagang Badan pengelola Dispenda
Dispenda Dispenda Dispenda Dispenda
Dispenda Dinas PU DKP Dishubkominfo Kantor Pol. PP
Dispenda
Dispenda
Alat perekam Alat tulis Pedoman
wawancara Komputer
Wawancara Study Dokumen Observasi
Reduksi data Pengelompokan
data Identifikasi data
Deskriptif Gambar
-
37
Bagaimana aktivitas pedagang kaki lima dalam ruang publik kota di Jalan Gajah Mada Tabanan?
DATA PRIMER : Tempat berjualan Jumlah pedagang Pola penyebaran Sarana berdagang Tempat penyimpanan
sarana berdagang Jenis dagangan Lama waktu berjualan Pola aktivitas
pedagang Jumlah pekerja PKL Asal pedagang Luas ruang yang
digunakan Karakteristik limbah
DATA SEKUNDER : Tempat berjualan
Jumlah pedagang
Asal pedagang Luas ruang yang
digunakan
Pedagang Pedagang Pedagang Pedagang Pedagang
Pedagang Pedagang
Pedagang
Pedagang Pedagang Pedagang
Pedagang
Dispenda Badan pengelola
Dispenda Badan pengelola Dispenda Dispenda
Alat perekam Pedoman
wawancara Kamera Alat tulis Komputer
Wawancara Study Dokumen Observasi
Reduksi data Pengelompokan
data Identifikasi data
Deskriptif Gambar Tabel
-
38
Bagaimana dampak aktivitas pedagang kaki lima dalam ruang publik kota di Jalan Gajah Mada Tabanan ?
DATA PRIMER : Existing Jalan Gajah
Mada
Pemanfaatan ruang publik
Sistem pembuangan sampah
Sistem air limbah
Sarana MCK
Parkir Arus lalu lintas
Kerusakan elemen ruang publik
Dinas PU DKP Dishubkominfo
Dinas PU DKP Dishubkominfo Dispenda
Pedagang DKP
Pedagang DKP
Pedagang DKP
Dishubkominfo Dishubkominfo
Dinas PU DKP Dishubkominfo
Alat perekam Pedoman
wawancara Kamera Alat tulis Komputer
Wawancara Study Dokumen Observasi
Reduksi data Pengelompokan
data Identifikasi data
Deskriptif Gambar
(Sumber: Hasil Analisis,2013)
-
39
-
40