untuk - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44422/2/dari...

29
· _. I "'" .- UNTUK

Upload: hahanh

Post on 06-Jun-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

·

~~--_.

I

"'" .-

UNTUK

· Editor:

PROF. DR. KOMARUDDIN HIDAYAT

j)PPIMIl~ UIN JAKARTA

PARI PE5ANTREN UNTUK \)UNIAKisah.kisah Inspiratif Kaum Santri

Edisi PertamaCopyright © 2016

.Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN 978-602-0895-50-515 x 23 em

xxii, 478 him

Cetakqn ke·1, Febrllari 2016

Kencana.2016.0625

EditorProf. Dr. Komaruddin Hidayat

Desain SampulIrian Fahmi

Penata LetakEndang Wahyudin

PercetakanPT Kharisma Putra Utama

PenerbitPusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)

UIN Syarif Hidayatullah JakartaJI. Kertamukti No.5 Ciputat 15412

Tangerang Selatan, Banten, IndonesiaTelp.: +62-21 7423543, 7499272. Faks.: +62-21 7408633

e-mail: [email protected]: ppim.uinjkt.ac.id.

Bekerja SarnaPRENADAMEDIA GROUP

JI. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134

e-mail: [email protected]

INDONESIA

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.

DAFTAR lSI

KATA PENGANTAR ; V

DAFTAR lSI xxi

BAGIAN PERTAMA

• Urgensi Sosiologi Hukum Islam 3-MOHAMMAD ATHO' MUDZHAR

• Jangan Pernah Berhenti. 2S-KOMAR-UDDIN HIDAYAT

• Jaringan Ulama Kosmopolitan: Catatan PengembaraanIntelektual.. 66-AZYUMARDI AZRA, CBB.

• The Genesis of an Intellectual Tradition: TerbentuknyaKomunitas Epistemik IAIN/UIN Jakarta 86-BAHl'IAl\. E.FFF.NDY

BAGIAN KEDUA

• Membangun Birokrasi UIN yang Bersih 107-AMSAL BAKHTiAB.

• Pesantren, FU, dan FISIP UIN Jakarta: Belajar Islamdari Tiga Kacamata 132-HENDRO PilASETYO

• Memaknai Sejarah Islam Klasik 149-FUAD JABAL!

• Menjadi Antropolog Pribumi: Mengalir BersamaKeberuntungan : 179-JAMHA.lU

• Pasar Minggu-Ciputat-Montreal 206-NURLENA RIFAI

DARI PESANTREN UNTUK DUNIA

• Menguak Politik Negera Islam 234-ALI MUNHANIF

• Menemukan Keseimbangan Islam Jawa 258-8AIFUL UMAM

BAGIAN KETIGA

• Pesantren yang Membebaskan 298-AlUEF SUBHAN

• Your Life is Your Message 322-ISMATU ROPI

• Menjadi Santri, Merayakan Kehidupan ; 346-JAJANG JAHRONI

• Melampaui Mimpi, Membangun Distingsi 370-OMAN FATIIURAHMAN

• Menghidupi Filantropi Islam 406-AMELIA FAUZIA

• Dari Selatan ke Utara: MenyelamiMakna Pendidikan 440

~INDEKS 463

xxii

•"11

ij

Dari Selatan ke Utara: Menyelami MaknaPendidikanM.ZUHDI

Mimpi Sekolah di Luar NegeriSaya lahir dan besar di Jakarta, dari kedua orangtua yang asli Ja­

karta. Meski begitu, saya tidak merasa sebagai orang kota. Tradisi ke­

agamaan cukup kental melekat di keluarga saya. Alrnarhum ayah saya

dikenal sebagai Imam Masjid di salah satu sudut Jakarta. Tidak heran

jika kegiatan ayah di malam hari lumayan padat: menghadiri pengajian,

syukuran, selametan, peringatan hari besar Islam dan semacamnya. Ta­

darusanlkhataman, pembacaan Maulid Nabi dan tahlilan adalah tradisi

yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di mana saya dibesarkan.

Kultur keislaman tradisional yang kuat inilah yang membuat saya me­

rasa tinggal di kampung, dibandingkan di sebuah kota besar.

SeIepas ibtidaiyah (setingkat SD) dan tsanawiyah (setingkat SMP)

< di Jakarta, saya melanjutkan studi di sebuah Pondok Pesantren di

Sukabumi, Jawa Barat. Awalnya saya berkeinginan untuk melanjutkan

ke SMA, dan kebetulan hasil EBTANAS saya memungkinkan untuk

itu, tetapi ayah saya menginginkan agar saya untuk melanjutkan studi

di pesantren. Akhirnya ditemukanlah jalan tengah, sekolah di SMA dan

di pesantren. Pilihan akhirnya jatuh ke al-Masthuriyah, sebuah pondok

pesantren tua di Sukabumi Jawa Barat, yang kebetulan juga memiliki

440

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN

SMA (sebagai pilihan lain dari madrasah aliyah). Saya masuk SMA al­Masthuriyah di tahun 1988, walaupun setahun kemudian saya pindahke Madrasah Aliyah di pesantren yang sarna. Di pesantren, se1ain be1ajar

beragam ilmu, saya juga be1ajar menjadi pemimpin, me1alui trainingkepemimpinan dan kesempatan menjadi Ketua Organisasi Santri.

Lulus dari madrasah aliyah di tahun 1991, saya sempat inginme1anjutkan kuliah di al-Azhar, Kairo, Mesir. Cita-citakuliah di Kairo "adalah sebuah keinginan yang banyak dimiliki oleh anak-anak Betawiyang dibesarkan di lingkungan madrasah. Ayah saya pun berusahamencari beragam informasi supaya saya bisa memperoleh beasiswadi al-Azhar. Tetapi ada seorang ulama di Jakarta yang menyarankansebaiknya kuliah diJakarta saja dahulu,jika nanti memungkinkan barukuliah di luar negeri untuk S-2. Begitulah, kemudian saya me1anjutkan

kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, Jurusan Pendidikan AgamaIslam. Mimpi untuk sekolah di luar negeri pun be1um kesampaian.

Sesuai dengan namanya, Fakultas Tarbiyah (Fakultas Pendidikan),di sini saya mempe1ajari berbagai kajian dan praktik kependidikan aga­rna Islam. Mulai dari be1ajar berbagai mata kuliah keagamaan hing­ga diskusi dan praktik kependidikan. Dengan orientasi menjadi guruagama Islam, proses be1ajar yang saya alami memberikan dasar-dasarilmu agama Islam beserta sumber-sumbernya dan memberikan bekalkemampuan mengajar, baik secara teoretis maupun praktis. Pengalamanini membuat saya tertarik untuk terus mendalami isu-isu pendidikan.

Menikmati Diskusi Intelektual Muslim di lAINMeskipun mempe1ajari ilmu pendidikan dengan segala pernak­

perniknya adalah hal yang baru dan menarik buat saya, ada pengalamaninte1ektuallain yang mendewasakan pemahaman keagamaan saya. Ke­tika saya kuliah S-l, diskusi tentang pembaruan Islam sedang sangatsemarak di Indonesia. Tokoh utama pembaruan Islam di lAIN Jakartaketika itu adalah Prof Dr. Harun Nasution, yang terkenal dengan pe­mikiran rasionalnya.

Saya memang tidak pernah belajar langsung dari Prof. Harun Na­sution, namun pemikirannya tentang pembaruan pemahaman Islamtidak lepas dari ingatan saya dan seluruh mahasiswa lAIN Jakarta saat

441

BAGIAN KETIGA

itu. Buku-buku Harun Nasution menjadi buku wajib di berbagai mata

kuliah keagamaan, termasuk bukunya yang paling berpengaruh yaitu

Islam ditinjau dari BerbagaiAspeknya. Di samping itu, dosen-dosen yang

mengajar pun kebanyakan adalah alumni Program Pascasarjana yang

merupakan murid-murid langsung Prof Dr. Harun Nasution.

Pemikiran Harun Nasution yang sangat memengaruhi pola pikir

mahasiswa lAIN Jakarta adalah keterbukaan terhadap berbagai maz­

hab, aliran ataupun pemikiran dalam Islam. Sejak kecil hingga lulus

Aliyah, saya hidup di lingkungan yang relatif homogen dari segi pe-:mahaman keagamaannya. Ketika di lAIN, saya harus berinteraksi de­

ngan ternan sesama Muslim yang berbeda pemahaman dan praktik

keagamaannya. Berbagai diskusi yang dilakukan tentang keragamaanpemahaman ajaran Islam tersebut membuat saya relatif terbuka untuk

mengenal kelompok-kelompok yang memiliki pemahaman yang ber­

beda. Di samping itu, pembe1ajaran tentang Islam klasik memberikanwawasan betapa luasnya khazanah intelektual Islam baik di Indonesia

maupun di dunia luar.

Se1ain Harun Nasution, tokoh-tokoh lain yang ikut meramaikanwacana pemikiran Islam Indonesia antara lain adalah Nurcholis Mad­

jid, Abdurrahman Wahid, Imaduddin Abdurrahim, Masdar F. Masu­

di, Dawam Raharjo, Ibrahim Husein, dan M. Quraish Shihab. Sebagai

mahasiswa saya sempat bingung karena berbagai pemikiran yang di­lontarkan sering ka1i menimbulkan kontroversLBelakangan saya mulai

memahami bahwa para inte1ektual Muslim Indonesia tidak hanya me­

warisi tradisi inte1ektual Islam masa lalu, tetapi juga memperkayanyadengan pendekatan-pendekatan baru. Islam tidak hanya didekati de­

ngan pendekatan konvensional (misalnya fikih, teologi, dan tafsir) saja,

,tetapi juga diperkaya dengan pendekatan filsafat, sosiologi, antropologi,dan ilmu-ilmu sosiallainnya. Sehingga diskusi keislaman sangat sema­

rak dengan membahas isu-isu kontemporer.

Penggunaan berbagai pendekatan dalam studi Islam itulah yang

membuat studi Islam di lAIN Jakarta berkembang secara dinamis. Pe­

mahaman agama yang se1ama ini diajarkan dengan indoktrinasi me1alui

pengajian, sehingga seolah te1ah menjadi ilmu yang final, disampaikansecara terbuka dan dengan berbagai pendekatan baru. Ini membuat ka-

442

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN

jian agama Islam dapat diterima sebagai sebuah kajian akademis-ilmiah

bukan lagi sebagai kajian agamais-indoktrinati£

Pembibitan Calon Dosen: Menghadirkan KembaliMimpi Kuliah di Luar Negeri

Dinamika intelektual yang begitu kuat di Ciputat membuat sayamemiliki gairah untuk mengembangkan diri di dunia akademik. Sesuai,

dengan bidang keahlian yang saya tekuni, yaitu pendidikan, maka. sayamulai sering memperhatikan isu-isu terkait dengan pendidikan. De­

ngan harapan suatu saat saya bisa melanjutkan kuliah di bidang tersebut.

Harapan itu ternyata tidak kosong. Ketika barn menyelesaikan si­

dang skripsi, saya memperoleh informasi mengenai dibukanya peluang

untuk mengikuti program pembibitan calon dosen IAIN se-Indone­

sia. Saya merasa bernntung penulisan skripsi saya dibimbing oleh Dr.Abuddin Nata, sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi dengan rela­

tif cepat. Saat itu Dr. Abuddin Nata adalah salah seorang dosen se.­

nior yang sering ka1i memotivasi mahasiswa untuk mengembangkanwawasan berpikirnya. Beliau juga dikenal sebagai penulis buku-buku

pendidikan dan penceramah agama. Walhasil, bulan Desember 1995

saya sudah sidang skripsi dan dinyatakan lulus sebagai sarjana. Hal inimemungkinkan saya untuk mendaftar di Program Pembibitan Calon

Dosen di tahun 1996.Program tersebut di atas adalah program intensif pelatihan bahasa

asing bagi alumni lAIN se-Indonesia untuk dapat melanjutkan kuliah

di luar negeri. Alhamdulillah, setelah melewati. serangkaian seleksi saya

diterima menjadi salah satu pesertanya.Ada hal yang berbeda dengan program pembibitan calondosen

yang saya ikuti dibandingkan dengan program-program sebelumnya,

yaitu adanya kelas khusus bahasa Arab. Sehingga pada periode tersebut,

peserta dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Kelompok Bahasa Inggrisdan Kelompok Bahasa Arab. Kelompok Bahasa Inggris diperuntukkan

bagi mereka yang akan melanjutkan studi di negara-negara Barat, se­

dangkan kelompok Bahasa Arab mempersiapkan pesertanya untuk ku­

liah di Timur Tengah.Kesempatan mengikuti program pembibitan ini membuat mim-

443

BAGIAN KETIGA

pi saya untuk sekolah di luar negeri muncullagi. Karena saya terpilihuntuk masuk ke dalam ke1ompok Bahasa Arab, maka pe1uang untukkuliah di Kairo, seperti yang pernah saya impikan dahulu, terbuka lebar.Apalagi saat itu IAIN dipimpin oleh Pro£ Quraish Shihab yang meru­pakan alumni Universitas al-Azhar Kairo. Se1ama mengikuti program,saya dan ternan-ternan belajar bahasa Arab secara intensif dari Dr. H.Akrom Malibari (alm.). Se1ain itu, secara berkala kami juga menerima .

pe1ajaran bahasa Inggris dari Pak Atiq Susilo dan Pak Nasrun Mahmud.Meskipun program tersebut menargetkan peningkatan kemampu­

an bahasa peserta, namun bahasa bukanlah satu-satunya hal yang dipe1­ajari dalam program pembibitan se1ama sembilan bulan tersebut. Adapengayaan wacana akademik, pengalaman studi di luar negeri dan ber­bagai informasi penting lainnya. Sejumlah intelektual Muslim dihadir-

.~kan untuk berbagi pengalaman dan ide-ide segar mereka. Suasananya. persis seperti kemah inte1ektual bagi para pesertanya.

Selain menghidupkan kembali mimpi untuk kuliah di Kairo, inter­aksi dengan para inte1ektual dengan beragam latar belakang akadeIlllk ....

juga membuat mata saya terbuka untuk melihat pe1uang·kuliah di ne­gara-negara Barat. Karena itu, saya tidak pernah melewatkan pelajaranBahasa Inggris Yang diberikan seminggu dua kali. Se1ain itu, bersamasahabat saya Muhsin Mahfudz (IAIN Alauddin Makassar), saya seringmenghabiskan waktu untuk mengerjakan soal-soalTOEFL latihan danmembahas ke1emahan-ke1emahan kamL

Kesungguhan mempe1ajari bahasa Inggris dan latihan TOEFL ter­nyata sangat bermanfaat untuk perjalanan studi saya se1anjutnya. Sete­lah program pembibitan berakhir dan ternan-ternan dari luar Jakartakembali ke daerah masing-masing, ada dua harapan kami, yaitu diteri­rna sebagai dosen di institusi masing-masing dan kuliah di luar negeri.

Harapan pertama terjawab dengan turunnya SK dari Departe­men Agama tentang diterimanya kami sebagai calon pegawai negerisipil di institusi masing-masing, dengan pengecualian dua orang yangentah mengapa tidak mendapatkan SK tersebut. Harapan yang kedua,sayangnya, tidak terjawab secara langsung dan otomatis. Saya dan seba­gian besar alumni pembibitan tidak mendapatkan keberuntungan yangsarna sebagai jawabannya.

444

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN

Persoalan yang saya dan teman-teman dari kelas bahasa Arab ha­dapi adalah tidak semua peserta program bahasa Arab memperolehbeasiswa ke Mesir. Hanya mereka yang berasal dari "Fakultas Agama"

yang berhak memperoleh beasiswa, sementara Fakultas Tarbiyah (Pen­didikan) tidak dianggap sebagai Fakultas Agama. Akhirnya, ketika se­jumlah teman dari Fakultas Agama berangkat ke Kairo, saya dan bebe­rapa teman lain hanya bisa berharap untuk mendapatkan sesuatu yang

lebih baik. 'Tertutupnya peluang beasiswa ke Kairo tidak berarti tertutup pula

peluang beasiswa untuk kuliah di luar negeri dengan dana beasiswa.Saya pun mulai mencari peluang beasiswa dari negara lain. Berbagaiinformasi untuk mendapatkan beasiswa saya kumpulkan dan pelajari.Tak hanya itu, berbagai pameran pendidikan luar negeri juga saya da­tangi untuk menjaga asa supaya terus hadir. Akhirnya, keberuntunganSaya pun datang dan harapan yang kedua juga terjawab, tahun 1998 sayamemperoleh beasiswa dari AusAID (Australian Agency for Internati­onal Development). Beasiswa tersebut bukan hanya untuk biaya kuliah,

tetapi juga untuk persiapan bahasa di Jakarta.

Sekolah di Luar Negeri: Terdampar di Jalan yang BenarBagi saya, memperoleh beasiswa untuk adalah anugerah yang luar

biasa. Selain itu, mampu mewujudkan mimpi kuliah di luar negerimenjadi kenyataan adalah kebahagiaan tersendiri. Karenanya, berke­sempatan kuliah di luar negeri dengan memperoleh beasiswa membuatkebahagiaan itu berlipat. Bahkan orang yang secara ekonomi mampusekalipun akan memilih kuliah dengan beasiswa dibandingkan denganmembayar sendiri. Persoalan bahwa ternyata kuliahnya bukan di tem­pat yang semula saya inginkan adalah persoalan lain. Bahkan kenyataanmenyadarkan saya bahwa kuliah di tempat yang berbeda dari yang se­mma saya inginkan adalah seperti terdampar di jalan yang benar. Karenatakdir itu membawa saya untuk dapat menyelesaikan S-2 dengan cepatdan membuka peluang bam untuk memperoleh beasiswa S-3.

Saya berangkat ke Australia bman Januari tahun 1999. Saya dite­rima sebagai mahasiswa Program Master of Education di School ofEducation, the University of New South Wales (UNSW), Sydney. Ini-

445

11,fi!)

BAGIAN KETIGA

lah pengalaman pertama saya belajar di luar negeri, berinteraksi dengan

orang yang berbeda etnis, negara, budaya, dan agama. Di samping bela­

jar tentang ilmu pendidikan secara teoretis di kelas, ada banyak penga­

laman berharga yang justru membuka pemahaman saya tentang makna

pendidikan yang sebenarnya.

Pertama, dukungan fasilitas untuk belajar. Dua fasilitas utama yang

sangat saya andalkan adalah perpustakaan dan laboratorium komputer.

Di UNSW, perpustakaan merupakan ikon universitas. Gedung perpus­

takaan merupakan gedung tertinggi di kampus dan berada di tengah­

tengah kampus. Perpustakaan memiliki fasilitas dan layanan yang sa­

.ngat memudahkan para pemustaka. Selain itu koleksinya pun sangat

kaya dan beragama, untuk tidak mengatakan lengkap. Saya misalnya

dengan mudah dapat menjumpai buku-buku berbahasa Indonesia, jika

dibutuhkan. Buku-buku referensi lain pun dengan mudah bisa saya da­

patkan. Jika saya tidak menemukannya di perpustakaan kampus, saya

bisa memanfaatkan fasilitas pinjaman antar-perpustakaan (interlibrary

loan) untuk dipinjamkan dari perpustakaan lain. Selain perpustakaan,

fasilitas yang sangat bermanfaat buat saya adalah laboratorium kompu~

ter. Laboratorium komputer adalah ruang kerja buat saya. Di sanalah

saya biasa menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah.

Enaknya, laboratorium komputer dapat diakses 24 jam dengan meng­

gunakan kartu mahasiswa sebagai swipe-card.

Kedua, dukungan program untuk kesuksesan mahasiswa asing. Ada

tiga hal yang saya rasakan sangat membantu bagi mahasiswa asing:

layanan mahasiswa asing, orientasi akademik, dan pembaca makalah

(peer reader). Universitas menyediakan layanan khusus untuk mahasiswa

asing melalui Office for International Students. Kantor ini membantu

mahasiswa asing untuk dapat beradaptasi di lingkungan baru mereka.

Sebulan sebelum perkuliahan dimulai, mahasiswa asing menerima prog­

ram orientasi akademik secara intensi£ Kami dikenalkan dengan sistem

perkuliahan dan bagaimana untuk kuliah secara efektiE Salah satu hal

yang sangat membantu saya menyelesaikan tugas perkuliahan adalah

pembaca makalah (peer reader). Peran peer reader sangat bermanfaat

untuk memastikan bahwa makalah yang akan saya serahkan ke dosen

memiliki kualitas bahasa yang baik. Seorang peer reader tidak berfungsi

446

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN

sebagai editor, ia hanya membaca tulisan, lalu menyarankan perbaikan

sesuai dengan kepatutan.

Ketiga, keterbukaan dosen. Saya memiliki dua pengalaman menarik

tentang hal ini. Pertama, dosen manajemen pendidikan, Pro£ Fenton

G. Sharp, sangat menghargai perbedaan pendapat mahasiswa. Dalam

mengerjakan salah satu tugas, saya mengemukakan sebuah analisisyangberbeda dengan yang ia antisipasi. Dia memberikan komentar positif

terhadap tulisan sayadan memberikan nilai yang sangat baik. Kedua,"

dosen statistik, Prof. Martin Cooper, juga memiliki sikap yang kuranglebih sarna. Tugas-tugas statistik yang diberikan saya kerjakan sesuai

dengan petunjuk. Dia memahami betul kesulitan saya memahami sta­

tistik dan sangat menghargai ketika saya mencoba menguraikan sebuah

proses statistik secara manual, untuk memahami proses yang terjadi da­

lam program SPSS.

Keempat, pelayanan dosen. Saya sangat terkesan dengan sikap Ke­

tua Jurusan, Pro£ John Sweller, dalam melayani mahasiswa. Suatu ke­tika menjelang akhir program, saya berinisiatif untuk meminta surat

referensi dari Pro£ Sweller. Saya berkirim email dan menyampaikanbahwa saya akan memerlukan surat referensi untuk nanti melanjutkan

ke Program Doktoral. Dia membalas email saya dan mengundang saya

untuk datang ke kantomya. Ketika saya tiba di kantomya, saya diajakduduk bersebelahan di meja kerjanya sambil dia mengetik draf surat

referensi di komputer. Kemudian draf itu dia print untuk kami bahas

berdua, baik isi maupun bahasanya. Setelah didiskusikan, dia memper­baiki sendiri draft yang telah dibahas hingga kami berdua merasa draf­

nya sudah sangat baik dan siap dicetak untuk ditandatangani. Begitulah

ia melayani mahasiswa secara total, hanya untuk menerbitkan sebuah

surat referensi.Pengelaman-pengalaman tersebut di atas benar-,benar membuka

mata saya akan sebuah layanan pendidikan yang maksimal dan pe­

maknaan pendidikan sebagai sebuah proses pematangan intelektual.

Kampus merupakan tempat pengembangan intelektualitas mahasiswa.

Supaya secara intelektual mahasiswa mampu berkembang dengan baik,maka kampus harus benar-benar memfasilitasi kebutuhan mahasiswa.

Tersedianya fasilitas belajar yang sangat memadai, seperti perpustaka-

447

BAGIAN KETIGA

an dan 1aboratorium, membuat mahasiswa nyaman untuk belajar seca­

ra mandiri (independent learning). Selain itu, tersedianya layanan peer

reader dan kualitas layanan yang diberikan oleh para dosen plembuat

para mahasiswa mampu mengembangkan diri secara optimal. Hal ini­

1ah yang membedakan kampus-kampus di negara-negara maju dengan

kampus-kampus di Indonesia.

Mengkaji Perkembangan Kurikulum Sekolah IslamSetelah menyelesaikan studi di Australia di tahun 2000, saya kem­

bali ke Ciputat dan bersiap untuk mengabdikan diri di kampus. Saya

pun mulai mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta. Saya ditugas­kan mendampingi Prof. A. Malik Fadjar sebagai asisten. Kebetulan be­

liau barn selesai mengemban tugas sebagai Menteri Agama dan men­

jadikan IAIN Jakarta sebagai tempat mengabdinya. Dari beliau sayabanyak belajar tentang komitmen, kesederhanaan, dan cara mengajar

yang mencerahkan. Mengajar bukan hanya menyampaikan materi, te­

tapi juga menularkan semangat dan membangkitkan motivasi. Selainitu, Prof Malik Fajar juga sangat membimbing sekaligus juga meng­

hargai saya sebagai asisten. Proses pembimbingan dilakukan dengan

kehadirannya yang tinggi. Sebagai guru besar senior, beliau tidak cang­gung untuk hadir di setiap perkulihan, tidak serta-merta menyerahkan

tanggung jawab kepada asistennya. Bukti penghargaan terhadap asisten

dibuktikannya dengan membagi perkuliahan menjadi tiga sesi: sesi gurubesar, sesi asisten, dan sesi dialog.

Setelah mengajar selama dua semester, Prof Malik Fadjar menda­

patkan kepercayaan untuk menjadi Menteri Pendidikan Nasional, maka

kesempatan saya untuk belajar 1angsung dari beliau pun terbatas. Ke­

betulan pada saat yang sama saya juga mendapatkan kesempatan un-Otuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Saya mempero1eh

beasiswa dari CIDA (Canadian International Development Agency)

untuk program IISEP (lAIN Indonesia Social Equity Project). Melalui

program ini, lAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta mendapatkan kesem­patan untuk mengirimkan dosen-dosennya belajar non-Islamic studies di

McGill University.Buat saya, kesempatan belajar di McGill adalah sebuah kesempat-

448

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNAPENDIDIKAN

an yang luar biasa berharga. McGill adalah salah satu kampus terbaikdi dunia. Se1ain itu, saya juga memendam keinginan untuk belajar di

Wilayah Utara. Keinginan tersebut muncul mengingat be1ahan duniaUtara (Amerika dan Eropa) mendominasi perkembangan ilmu penge­

tahuan. Bahkan ketika be1ajar di Australia pun kebanyakan referensinya

diambil dari Amerika dan Eropa. Karena itu, saya tidak menyia-nyiakan

kesempatan tersebut. Sete1ah me1ewati berbagai proses se1eksi akade­

mik dan administrasi, saya bersama sejurnlah kawan dari lAIN Jakarta

dan IAlN Yogyakarta berangkat ke McGill bulan Agustus tahun 2001,

tepatnya tariggal16 Agustus 2001. Saya terdaftar sebagai mahasiswa

Program Ph.D. di Department of Integrated Studies in Education

(DISE), Faculty of Education, McGill University.Saya mengerjakan proyek disertasi saya di bawah bimbingan Prof.

Spencer Boudreau. Beliau adalah seorang ahli pendidikan Katolik di

Qyebec. Meskipun berbeda keyakinan, saya merasakan bimbingan yang

intensif dari Prof Boudreau. Bahkan beliau menunjukkan ketertarikanakan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang sedikit banyak

memiliki kesamaan dengan perkembangan sekolah Katolik di Q!Iebec,

terutama sete1ah terjadinya Quiet Revolution.1

Bidang yang saya minati adalah kurikulum. Sejak awal saya me­

mang menulis proposal tentang kurikulum, yaitu bagaimana kurikulum

dapat dikembangkan secara demokratis. Ketertarikan saya pada kuri­kulum disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, kurikulum adalah inti­

sari dari pendidikan. Arah dan orientasi sebuah sistem pendidikan bisa

dilihat dari kurikulumnya. Kedua, kurikulum juga merupakan refleksidari kondisi sosial politik masyarakat. Kurikulum sejatinya berisi pesan­

pesan yang hendak diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Ketiga, ada ungkapan yang sangat populer di masyarakat, "ganti menteri

ganti kurikulum." Ungkapan ini di satu sisi merupakan kritik terhadap

seringnya kurikulum berganti seiring dengan pergantian politik. Na-

1 Quite Revolution atau Revolusi Senyap adalah peristiwa peralihan kondisi politik diQyebec dari Katolik konservatif ke Demokrasi liberal. Meski demikian, peran Katolik se­bagai aliran agama yang dominan di Qyebec masih tetap berlaku. Liliat David Seljak (1996),"Why the quiet revolution was 'quiet': The Catholic church's reaction to the secularization ofnationalism in Qyebec after 1960", dalam CCRA: Historical Studies 62, hlrri. 109.

449

BAGIAN KETIGA

mun sisi lain, ungkapan tersebut juga secara implisit bermakna bahwa

kurikulum adalah ~~suatu yang dinamis, sering mengalami perubahan.

Oleh sebab itu, kajian tentang kurikulum akan selalu menarik.

Di samping kurikulum, hal lain yang menarik perhatian saya adalah

perkembangan sekolah Islam di Indonesia. Meskipun telah banyak ka­

jian tentang madrasah dan pesantren, namun kajian tentang bagaimana

kurikulum lembaga-lembaga pendidikan Islam berevolusi dari masa ke

masa di Indonesia belum banyak dikaji. Oleh karena itu, saya merasa

bahwa kajian tentang kurikulum pendidikan Islam di Indonesia pen­

ting untuk dilakukan guna menjelaskan bagaimana pendidikan Islam di

Indonesia mampu bertahan dan beradaptasi dengan perubahan sosial

dan politik.

Saya mencoba mempelajari bagaimana para ahlikurikulum di du­

nia mempelajari hubungan antara kurikulum dengan masyarakat. Ada

tiga tokoh penting yang menarik perhatian saya ketika mengkaji antara

hubungan kurikulum dan masyarakat.

Pertama adalah Michael W. Apple, seorang guru besar kurikulum

dari Universitas Winconsin-Madison. Salah satu karya Apple yang

paling populer adalah Ideology and Curriculum. Apple menyampaikan

argumen bahwa kurikulum tidak dibangun secara objektif, tetapi di­

pengaruhi oleh ideologi yang dimiliki penguasa. Ada sebuah ungkap­

an, atau lebih tepatnya pertanyaan, yang dikemukakan oleh Herbert

Spencer mengenai kurikulum. Pertanyannya adalah: "what knowledge is

ofmost worth?" Pertanyaan tersebut mencerminkan definisi sederhana

tentang kurikulum, yaitu hal-hal apa saja yang paling penting untuk

diajarkan kepada siswa. Namun bagi Apple, isi kurikulum tidak secara

objektif ditentukan berdasarkan kebutuhan siswa, tetapi juga ditentu­

,kan oleh siapa yang memiliki otoritas terhadap kurikulum. Oleh kare-

na itu, Apple merumuskan pertanyaan lain, yaitu "whose knowledge is ofmost worth?"Kedua adalah Ivor F. Goodson. Goodson mengajukan teori

yang sangat relevan dengan kajian yang akan saya lakukan. Dalam salah

satu artikelnya yang dimuat di Jurnal of Curriculum Studies, Goodson

menyampaikan teori Social Construction, sebagai teori untuk menjelas­

kan hubungan dan masyarakat. Menurutnya kurikulum adalah warisan

sosial yang selalu menarik untuk dikaji. Dengan melihat kurikulum, kita

450

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDlKAN

bisa melihat dinamika sosial sebuah bangsa.Ketiga adalah Herbert M. Kliebard. Kliebard mernpakan tokoh ka­

jian sejarah kurikulum. Teori yang terkenal yang ditawarkan oleh Klie­bard adalah adanya hubungan timbal balik (reciprocal relationship) anta­

ra kurikulum dan masyarakat. Saya memahami pandangan Kliebard inisebagai sesuatu yang menarik, karena teori ini bukan hanya menje1askanbagaimana lembaga-lembaga pendidikan sebagai agent ojsocial change,

lahir dan berkembang sehingga memengaruhi pola pikir dan perilakumasyarakat, tetapi juga menje1askan bagaimana substansi sebuah lem­baga pendidikan juga dipengaruhi oleh masyarakatnya.

Dengan menggunakan perspektif yang ditawarkan oleh ketigapemikir itulah saya mencoba memahami kurikulum lembagapendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan Islam memiliki sejarahpanjang di Indonesia. Ia te1ah hadir jauh sebe1um negara Indonesiadiproklamirkan. Pendidikan Islam bahkan menghadirkan tokoh­tokoh nasional yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.Sumbangan para tokoh pendidikan Islam bagi kemerdekaan Indonesiamembuat keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam ternsdipertahankan setelah Indonesia merdeka. Meskipun pada awalnyapendidikan Islam berada di peri-peri mainstream pendidikan nasional,namun pada perkembangannya pendidikan Islam dianggap sejajardengan pendidikan nasional.

Kemampuan lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk terns ber­tahan dan bahkan meningkatkan posisi tawarnya di tengah berkem­bangnya lembaga-lembaga pendidikan yang tidak berorientasi agamamenunjukkan kemampuannya untuk· beradaptasi dengan berbagaipernbahan. Adaptasi yang dilakukan berkaitan dengan berbagai aspekpendidikan dan kelembagaan. Salah satu aspek penting dari adaptasitersebut adalah kurikulum.

Perdebatan tentang kurikulum lembaga pendidikan Islam te1ahberlangsung sejak masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Keberada­

an Departemen Agama yang antara lain mengatur lembaga-lembagapendidikan Islam menjadikan dualisme penge10laan pendidikan takterhindarkan sejak awal berdirinya negara Indonesia. Dualisme tersebutadalah pembagian kewenangan (shared authority) antara Departemen

451

BAGIAN KETIGA

Pendidikan dan Departemen Agama dalam mengatur dan mengelolalembaga-lembaga pendidikan Islam. Lee Kam Hing menyebutkan bah­wa pada masa-masa awal pemerintahan teIjadi kebingungan menge­nai batas-batas sekolah yang hams dikelola Departemen Agama dan

Departemen Pendidikan. Kemudian disepakati bahwa batasan sekolahyang dikelola Departemen Agama adalah sekolah-sekolah yang 50%atau lebih komposisi pelajarannya berisikan pelajaran agama. Selebih­nya, sekolah-sekolah diatur dan/atau dikelola oleh Departemen Pen­didikan.

Kebijakan dualisme pendidikan ini menyebabkan tidak teIjadinyapeleburan lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama ke dalam ma­

instream pendidikan. Namun demikian, kesenjangan kualitas antaralembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lembaga-lembaga pendi­dikan yang tidak berbasis agama tidak dapat dielakkan. Kualitas lem­baga-lembaga pendidikan Islam dipandang memiliki kualitas yang lebihrendah dari lembaga-lembaga pendidikan yang tidak berbasis agama.Hal inilah yang kemudian mendorong Pemerintahan Orde Bam untukmenyatukan pengelolaan pendidikan di awal tahun 1970-an. Namunkeinginan pemerintah tersebut ditolak oleh para pemuka agama Islamyang tidak ingin kehilangan independensi leinbaga-lembaga pendidik­an Islam.

Setelah melalui negosiasi panjang, akhirnya pemerintah dan parapengelola lembaga pendidikan Islam sepakat untuk tidak memasuk­kan sekolah-sekolah Islam ke dalam otoritas Departemen Pendidikan.Namun demikian, lembaga-lembaga pendidikan Islam dituntut untukmemperbaiki diri, terutama untuk aspek akademik, sehingga bisa ber­diri sejajar dengan sekolah-sekolah yang tidak berbasis agama. Inilahkebijakan yang kemudian dikenal luas s~bagai SKB (Surat Keputus-

C an Bersama) tiga Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Kesepakatan tersebut se­lanjutnya melahirkan kebijakan perubahan kurikulum madrasah gunameningkatkan kualitas madrasah. Kurikulum madrasah yang semulaberisikan mayoritas ajaran agama, menjadi 70% pelajaran umum dan30% pelajaran agama.

Lahirnya SKB 3 Menteri menandakan dua hal yang sangat penting

452

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN

bagi umat Islam Indonesia. Pertama, SKB inilah yang menarik lemba­ga pendidikan Islam (khususnya madrasah) dari peri-peri pendidikanIslam Indonesia ke tengah-tengah sehingga menjadi bagian dari arusutama pendidikan. Kedua, SKB ini juga menandakan bahwa lembaga­

lembaga pendidikan Islam mampu beradaptasi dengan perubahan danpeduli dengan pendidikan yang tidak hanya berorientasi agama.

Meski demikian, ke1ahiran SKB 3 Menteri dan implementasi ku-,

rikulum Madrasah 1976 tidak serta merta memperoleh tanggapan po­sitif dari se1uruh tokoh Islam. K.H. Imam Zarkasyi, misalnya, menolakpenyeragaman kurikulum untuk lembaga pendidikan Islam. Sehingga,meskipun ia sendiri adalah salah satu tokoh penting dalam ke1ahiranSKB tiga Menteri tersebut di atas, namun ia sendiri tidak mau me­nerapkan kurikulum madrasah di pesantrennya, yaitu Pondok Modern

Gontor.Kehadiran SKB tiga menteri sebenarnya te1ah mengurangi jarak

antara pendidikan nasional (baca: sekuler) dengan pendidikan agama.Sekolah-sekolah agama, yang sebe1umnya memiliki kurikulum masing­masing, diatur untuk memberikan porsi yang lebih besar terhadap pen­didikan non-keagamaan. Pengaturan ini dimaksudkan agar para siswayang bersekolah di madrasah memiliki pengetahuan umum yang sarnadengan mereka yang menempuh pendidikan di sekolah umum. Dengandemikian, siswa madrasah dapat me1anjutkan pendidikan di sekolah/perguruan tinggi non-keagamaan.

Pada tahun 1989, jarak antara sekolah agama (madrasah) dengansemakin menipis. Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang SistemPendidikan Nasional tidak lagi membedakan madrasah dan sekolah

. umum. Madrasah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari SistemPendidikan Nasional. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah disebutkanbahwa madrasah adalah nama sekolah umum yang berciri khas Islam.2

Implikasi dari undang-undang. tersebut adalah kurikulummadrasah tidak lagi berbeda dengan kurikulum sekolah umum yangada di Indonesia. Kalaupun ada, perbedaan itu terletak pada ciri khasIslam yang menjadi identitas madrasah. Ciri khas itu dapatditemukan

2 Liliat PI" No. 28 Tahun 1990.

453

BAGIAN KETIGA

pada tiga aspek. Po·tama, materi pelajaran agama di madrasah diberikan

lebih banyak dari sekolah umum. Kedua, madrasah memiliki lebih

banyak kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler bernuansa keagamaan seperti

kaligrafi, kajian agama dan seni budaya keagamaan. Ketiga, tata tertib

sekolah juga mencerminkan nuansa keagamaan, seperti pakaian, tata

cara berdoa dan shalat berjemaah.

Keberadaan SKB Tiga Menteri tahun 1975 dan UUSPN 1989

yang telah membawa madrasah ke dalam mainstream pendidikan nasio­

nal memiliki dampak yang sangat signifikan pada perkeinbangan pen­

didikan Islam. Lembaga-Iembagapendidikan Islam tidak lagi berada

di peri-peri pendidikan nasional. Mereka telah manjadi bagian integral

dari pendidikan nasional. Hal ini tentu saja juga memiliki implikasi ter­

hadap peran serta umat Islam, khususnya kaum santri dalam kehidupan

sosial politik di Indonesia.

Meski demikian, ada harga yang harns dibayar dengan pengin­

tegrasian madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. Orientasi

madrasah yang semula bertujuan untuk menghasilkan orang-orang

yang memahami ilmu-ilmu agama dengan baik (tqfilqquhjiddin) beru­

bah menjadi orientasi menghasilkan orang-orang yang memahami ilmu

pengetahuan umum dan memiliki nilai-nilai agama ,yang baik. Akibat­

nya, muncullah kekhawatiran akan berkurangnya jumlah orang-orang

yang memiliki pengetahuan agama yang memadai, yang akan menjadi

sumber informasi agama bagi masyarakat. _

Memahami persoalan tersebut, Menteri Agama Munawir Syadzali

menginisiasi pembentukan Madrasah Aliyah Program Khusus Keaga­

maan (MAPK) di tahun 1988. Program ini bertujuan untuk menyiap­

kan calon-calon ulama yang memiliki wawasan Islam yang luas, ber­

kemampuan untuk menggali ilmu dari berbagai sumber ajaran Islam,"dan m'emiliki wawasan kebangsaan dan pengetahuan umum yang me-

madai. Oleh sebab itu, komposisi kurikulum MAPK berbeda dengan

kurikulum MA pada umumnya. Jika, berdasarkan SKB Tiga Menteri,

komposisi kurikulum madrasah adalah 70% pengetahuan umum dan

30% pengetahuan agama, maka komposisi kurikulum MAPK adalah

70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum. Program yang

semula hanya dibuka di 5 MAN (Madrasah Aliyah Negeri) di Indone-

454

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN

sia itu kemudian diikuti oleh sejumlah Madrasah Aliyah yang lain,baik

negeri maupun swasta, karena dianggap program ini memiliki manfaat

yang sangat besar bagi terlahirnya cendekiawan-cendekiawanMuslim

di masa depan.

Menguatnya posisi lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam

konteks negara seiring dengan menguatnya peran umat Islam di bidang

sosial politik. Perubahan peran umat Islam di bidangsosial politik dapat

dijelaskan ~ebagai berikut.Pada masa Orde Lama, umat Islam sebagai salah satu kekuatan

politik ikut berkontribusi terhadap pembentukan Negara KesatuanRepublik Indonesia. Bahkan, pada awalnya sebagian tokoh Islam ber­

keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, atau se­

kurang-kurangnya negara bersyariat Islam. Namunkeinginan tersebut

tidak dapat terlaksana mengingat ada kepentingan-kepentingan lain

yang juga harns diperhatikan demi kesatuan. Pada masa Orde Lamatersebut Pemimpin Negara mencoba menyatukan tiga ideologi besar,.

yaitu Islam, Komunisme, dan Nasionalisme.Pada masa awal Orde Barn, umat Islam seolah-olah berjarak de­

ngan pemerintah. Pemerintah mencoba melakukan stabilisasi politik

dan keamanan dengan menumpas gerakan-gerakan Islam yang diduga

dapat membahayakan kedaulatan negara. Oleh sebab itu, tarnpak seo­lah-olah Pemerintah Orde Baru menghalangi gerakan-gerakan Islam.

Sehingga ketika keluar instruksi uhtuk menyatukan pendidikan Islam

di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1972,tokoh-tokoh Islam mencurigai maksud di balik kebijakan tersebut. Di­

khawatirkan kebijakan tersebutadalah langkah awal untuk menghi­

langkan ajaran Islam secara perlahan.Pada pertengahan tahun 1980-an, hubungan antara Pemerintah

Orde Barn dengan umat Islam mengalami perubahan yang sangat

signifikan. Indikatorutama membaiknya hubungan Pemerintah Orde

Baru dengan umat Islam adalah lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia CICM!) pada tahun 1988 yang diketuai oleh RJ. Habibieyang dikenal sebagai orang dekat Presiden Soeharto. Para aktivis ICMI

kemudian dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di ne­

gara ini, seperti menteri, dirjen, dan anggota legislati£

455

BAGIAN KETIGA

Jika dilihat dari sisi waktu, tampak bahwa ada keterkaitan antara

perubahan peran sosial politik umat Islam dan perkembangan status

dan posisi lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia.lni tentu

bukan sesuatu hal yang kebetulan.

Dari perspektif sosial konstruksionisme, perubahan-perubahan yangterjadi di lembaga-lembaga pendidikan Islam, tidak terlepas dari peru­

bahan-perubahan sosial politik yang terjadi di sekelilingnya. Perspektifsosial konstruksionisme ini dikembangkan oleh Berger dan Luckman

untuk melihat hubungan antara suatu realitas dengan kondisi sosial

yangmengitarinya. Perspektifini kemudian ,digunakan oleh Ivor F. Go­

odson untuk melihat terjadinya berbagai perubahan kurikulum.

Dengau menggunakan perspektif ini, kita dapat memotret perkem­

bangan lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sebagai bagian darifenomena sosial yang bergerak ke arah menguatnya peran agama da­

lam kehidupan sosial politik. Penguatan peran agama tersebut berimbas

pada semakin menguatnya peran lembaga-lembaga pendidikan Islam

di Indonesia. Ini membuktikan bahwa penguatan peran lembaga-lem­baga pendidikan Islam dalam konteks negara tidak bisa dilepaskan dari

.perubahan sosial politik di Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah

mengapa perubahan sosial politik cenderung bergerak ke arah menguat-

nya peran agama dalam kehidupan sosial politik? Padahal,jika mengacupada negara-negara yang menerapkan demokrasi sebagai pilar utama

kehidupan politik, maka yang muncul mestinya adalah sekularisasi. Hal

ini bisa dilihat di negara-negara Eropa dan Amerika, bahkan jugaTurki.

Di sini saya tertarik untuk menggunakan perspektifnya Kliebard

untuk melihat hubungan antara kurikulum dan masyarakat. Kliebard

melihat sejarah kurikulum di Amerika tidak terlepas dari perkembangansosial di negara tersebut. Analisisnya membuktikan bahwa kurikulum di

Amerika memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya.Perspektif Kliebard dalam membuktikan hubungan antara kuriku­

lum dan kehidupan.sosial masyarakat Amerika tampaknyadapat di­

gunakan untuk menje1askan hubungan antara lembaga-lembaga pen­

didikan Islam dengari masyarakat Indonesia. Jika perspektif Goodson

yang digunakan sebelumnya menjelaskan adanya pengaruh sosial po-,

litik terhadap kurikulum, maka perspektif Kliebard dapat menje1askan

456

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN

hubungan yang sebaliknya, yaitu perubahan sosial juga dipengaruhioleh kurikulum. Dengan kata lain, kecenderungan kehidupan sosial po­

litik di Indonesia yang bergerak ke arah menguatnya peran agama tidakdapat dipisahkan dari kenyataan bahwa lembaga-lembaga pendidikanIslam te1ah sukses menyemaikan semangat keberagamaan di tengah­tengah masyarakat Indonesia.

Dengan menje1askan perubahan-perubahan yang terjadi di lem­baga-lembaga pendidikan Islam, termasuk di dalamnya perubahan "kurikulum, saya berargumen bahwa perubahan lembaga-lembaga pen­didikan Islam tidak terlepas dari pengaruh sosial politik yang ada disekitarnya. Sebaliknya, perubahan-perubahan sosial politik juga tidakterlepas dari pengaruh lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dengan:demikian, saya secara argumentatif dapat menyatakan bahwa ada hu­bungan timbal balik antara perubahan kurikulum pendidikan Islam,baik di madrasah maupun sekolah, dengan perubahan sosial masyarakatIndonesia yang cenderung bergerak ke arah menguatnya peran agama.

Persoalannya kemudian adalah pemahaman agama yang bagaimanayang berhasil menyandingkan antara modernisasi pendidikan denganpolitik yang demokratis? Jika melihat berbagai pola perubahan lem­baga-lembaga pendidikan Islam, maka dapat dipahami bahwa pema­haman keagamaan yang dapat memengaruhi perubahan pendidikanke arah modernitas adalah paham keagamaan yang terbuka. Artinya,ketika agama diyakini sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupanumat Islam, pada saat yang sama para peme1uk agama juga terbuka ataskemajuan peradaban yang tidak menganggu keyakinan agama mere­ka. Dengan demikian, te1ah terjadi pemisahan antara keyakinan agamayang dogmatis dan tidak bisa diubah dengan ajaran agama yang e1astisyang dapat beradaptasi terhadap perubahan.

Dewasa ini kecenderungan menguatnya pendidikan agama tidakhanya terjadi di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dalam sepuluhtahun terakhir, identitas sekolah umum berciri khas Islam tidak hanyamenjadi milik madrasah, tetapi juga sejumlah sekolah umum swastayang memberikan jumlah pe1ajaran dan kegiatan keagamaannya lebihtinggi dari sekolah umum yang lain. Beberapa sekolah mengidentifika­si diri mereka sebagai Sekolah Islam Terpadu, baik untuk jenjang SD,

457

BAGIAN KETIGA

SMP maupun SMA. Perbedaan sekolah-sekolah ini dengan madrasahadalah statusnya yang secara resmi merupakan sekolah umum dan ber­ada di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan, sementara, madrasahtetap berada di bawah koordinasi Kementerian Agama. Kelahiran seko­lah-sekolah umum dengan nuansa Islam tersebut semakin memperkuatasumsi kecenderungan kehidupan sosial yang bergerak ke arah mengu­atnya peran agama.

Penguatan semangat keberagamaan di dunia pendidikan juga terja­di pada ranah negara. Kelahiran Kurikulum 2013 secara kuat mengin­dikasikan hal tersebut. Meskipun ketika tullsan ini disusun Kurikulum2013 tersebut sedang ditunda pelaksanaannya, namun kehadirannyajelas memperUhatkan semangat keberagamaan yang tinggL Hal iui se­kurang-kurangnya dapat dilihat pada dua hal. Pertama,jumlah pelajaranagama yang meuingkat secara kuantitati£ Jam pelajaran agama, yangsaat iui di sekolah umum disebut sebagai Pendidikan Agama dan BudiPekerti, mendapat tambahan dua jam pelajaran di SD dan satu jam pel­ajaran di SMP dan SMA. Kedua, dari segi substansi Kurikulum 2013mengenal empat kompetensi inti, salah satunya adalah kompetensi spi­ritual. Meskipun secara konseptual spiritualitas itu berbeda dengan re­ligiusitas (religiousness), namun dalam pelaksanaan pendidikan di Indo­nesia pengembangan aspek spiritual tidak dapat dilepaskan dad peranagama. Kedua hal tersebut menunjukkan secara eksplisit bahwa agamadiberikan peran yang lebih besar dalam pendidikan nasionaL

.Dalam pembahasan tentang sejarah kurikulum, lvor E Goodsonmengatakan bahwa kurikulum adalah sebuah artefak sosial, sesuatuyang dibuat oleh dan untuk manusia; Dengan memahami bahwa kuri­kulum adalah sebuah artefak sosial, dapat diimplikasikan dua hal. Per­tama, kurikulum bukanlah sebuah kitab sud yang tidak boleh diubah.Kurikulum adalah sebuah karya dinamis yang dapat diubah sesuai de­ngan kebutuhan penggunanya. Kedua, kurikulum mencerminkan kon­disi sosial ketika ia dibuat dan diberlakukan. Kurikulum yang kaku dansentralistik mencerminkan suasana politik yang otQritarian dan suasanasosial yang tidak dinamis. Kurikulum yang dinamis mencerminkan SUa­sana politik yang terbuka dan suasana sosial yang demokratis.

Kurikulum di Indonesia senantiasa berubah mencerminkan suasana

458

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN

sosial politik yang dialami bangsa ini. Pada era Orde Lama, kurikulum

be1um memiliki bentuk yang pasti, pendidikan masih mencari bentuk­

nya. Pendidikan agama bahkan be1um diakui sebagai bagian integral

dari pendidikan nasional. Pada masa Orde Barn, kurikulum demikian

sentralistik dan dominasi negara sangat terasa di dunia pendidikan. Se­

mentara pada masa pasca-Orde Barn, perubahan kurikulum cenderung

mengarah kepada desentrallsasi bahkan kurikulum berbasis sekolah (sc-,

hool-based curriculum). Hal ini terbukti dengan pemberlakuan kuriku­

lum 2004 dan 2006 yang berorientasi pada kurikulum berbasis sekolah.Kurikulum 2013 sebenarnya memiliki kecenderungan kembali ke­

pada peran sentral pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Dari sisi

politik je1as hal ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan

demokratisasi. Namun kecenderungan tersbut dipaharni sebagai aki­bat dari masih lemahnya peran pemerintah daerah dan sekolah untuk

mengembangkan pendidikan yang bermutu. Penundaan pemberlaku­an Kurikulum 2013 dan penetapan pemberlakuan kembali kurikulum

2006 menimbulkan berbagai pertanyaan dan spekulasi. Apakah kebi­

jakan tersebut lahir karena ingin mengurangi peran agama yang terlihatmenonjol di Kurikulum 2013? Ataukah ingin mengembalikan semangat

. demokratisasi pendidikan lewat kurikulum berbasissekolah (KTSP)?

Ataukah benar-benar semata-mata karena teknis implementasi yang

be1um baik? Tentu dunia pendidikan Indonesia menunggu jawabannya.

Kembali ke KampusSetelah menye1esaikan kuliah di McGill, tahun saya kembali ke

kampus tahun. Saat itu, kampus tengah mengalami transformasi besar

dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri) menjadi DIN (Universitas

Islam Negeri) di bawah kepemimpinan Pro£ Azyumardi Azra. Banyakperubahan tetjadi mengiringi perubahan status tersebut, termasuk per­

ubahan fisik kampus, penambahan jumlah fakultas dan peningkatan

jumlah sivitas akademika. Tantangan terbesarnya tentu saja adalah ba­

gaimana meningkatkan kualitas layanan dan kualitas lulusan.

Di tengah-tengah berbagai perubahan tersebut, saya mendapat tu­gas untuk ikut meningkatkan kualitas layanan kepada mahasiswa. De­

sember 2006 saya diangkat sebagai Kepala Perpustakaan Utama DIN

459

BAGIAN KETIGA

Jakarta. Tentu saja saya terkejut dan merasa tidak siap untuk menerima

tugas tersebut, apalagi mengingat latar be1akang saya yang bukan dari

bidang perpustakaan. Tetapi, akhirnya saya menerima tugas tersebutsete1ah mempertimbangkan dua hal: Pertama, beberapa dosen senior

meyakinkan saya untuk me1aksanakan tugas tersebut. Kedua, ini adalah

kesempatan buat saya untuk berbuat sesuatu sebagai rasa terima kasih

saya kepada DIN. DIN te1ah memberikan saya akses untuk kuliah di

luar negeri, mewujudkan mimpi-mimpi saya.

Sebagai orang bam di perpustakaan, maka saya hams belajar ba­nyak dari para pustakawan yang stidah lebih banyak berkecimpung di

Perpustakaan kampus. Dari proses diskusi dan be1ajar dari para pus­

takawan ifulah saya bersama-sama staf perpustakaan kemudian mulai

me1akukan beberapa perubahan. Di awal tugas saya di perpustakaan,para pustakawan sepakat untuk me1akukan stock-opname menyeluruh

terhadap koleksi perpustakaan. Hal ini penting untuk mengetahui ke­

senjangan antara data jumlah koleksi buku dengan fakta koleksi yang•

sebenarnya. Hasilnya cukup mencengangkan: Ada sekitar 3.000 koleksiperpustakaan tidak diketahui di mana rimbanya. Maka mulai saat itu

dilakukan pengetatan terhadap peminjaman koleksi perpustakaan. Di

samping itu, diketahui pula bahwa sejumlah besar kondisi buku di per­

pustakaan dalam keadaan rusak: dari yang rusak ringan hingga yang

rusak berat. Maka proses perbaikan atau penggantian pun dilakukansecara bertahap. Se1ain itu, para pustakawan juga sepakat untuk me­

maksimalkan layanan jam istirahat dengan menghilangkan jam tutupistirahat siang dan menambah waktu lembur malam dan lembur hari

Sabtu. Semangat perubahan juga ditandai dengan program digitalisasi

dan pembuatan program e-katalog yang merupakan hasil kerja sarna

dengan Universitas Indonesia.

Sete1ah se1esai mengemban tugas sebagai Kepala Perpustakaan se­

lama satu periode (2006-2010), saya kemudian ditugaskan untuk me­

ngepalai Pusat Bahasa DIN Jakarta. Seperti halnya jabatan sebe1um­

nya, saya juga terkejut dengan penugasan ini mengingat latar belakang

pendidikan saya bukan bahasa. Oleh karena itu, saya pun hams be1ajarbanyak dari para dosen bahasa dan pimpinan Pusat Bahasa sebe1um­

nya, yaitu Dr. Atiq Susilo, yang sangat terbuka dan berkenan membagi

460

DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDlDlKAN

pengalaman dan pandangan bijaknya.

Mengingat penguasaan bahasa adalah salah satu kul'lci sukses ma­

hasiswa, maka tim Pusat Bahasa melakukan pembenahan dalam bebe­

rapa hal. Pusat Bahasa mendaftarkan TOAFL (Test ofArabic Amerika

Serikat a Foreign Language) sebagai hak cipta milik DIN Jakarta ke

Kementerian Kehakiman. Untuk pengembangan kemampuan bahasa

Inggris, Pusat Bahasa juga membuka kerja sarna dengan pemilik hakcipta TOEFL yaitu ETS (Education Testing Services) dan ITe (per- "

wakilan ETS di Indonesia) untuk menjadikan DIN Jakarta sebagai

lembaga resmi pengguna TOEFL dan bisa menyelenggarakan TO­

EFL iBT. Kerja sarna juga dilakukan dengan Kedutaan Perancis danIFI (lembaga Pengajaran Bahasa Perancis di Indonesia). Pusat Bahasa

menjadi tempat penyelenggaraan kursus Bahasa Perancis resmi yang

diakui oleh Kedutaan Perancis. Selain itu, Pusat Bahasa juga menjalin

keJja sarna dengan Badan Bahasa Kemendikbud untuk meningkatkan

peran DIN Jakarta dalam hal pengajaran bahasa Indonesia untuk pe­nutur asing. Dalam hal jaringan, Pusat Pengembangan Bahasa DIN

Jakarta juga berperan aktif dalam pembentukan Asosiasi Pusat BahasaPTAIN se-Indonesia.

Setelah mengabdi di Pusat Bahasa selama empat tahun (2011­

2015), saya kemudian diberi amanah untuk berkarya sebagai Wakil De­

kan bidang Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Tugas di

FITK sebenarnya bukan hal yang asing, karena sepanjang karier saya dikampus, saya adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

Namun demikian, melihat fakta bahwa FITK memiliki ribuan maha­

siswa dan dua belas program studi, maka diperlukan tenaga dan pikiran

yang kuat untuk memastikan berbagai program akademik di fakultasbeJjalan dengan baik.

Daftar PustakaApple, M. W. 2000. Official knowledge: Democratic education in a

conservative age. New York: Routledge.

Apple, M. W. 2004. Ideology and curriculum (3rd Edition). Boston: Ro­utledge & Kegan Paul.

Berger, P. & Luckman, T. 1966. The Social Construction ofReality:A Tre-

461

II

BAGIAN KETIGA

atise in the Sociology ofKnowledge. New York: Doebleday.

Daradjat, Z. 1996. "Gigih memperjuangkan madrasah," dalam PanitiaPenulisan Biography KH Imam Zarkasyi (Ed.), Imam Zarkasyi di

mata ummat (him. 630-635). Ponorogo: Gontor Press.

Darajat, Z. 1977. "Pembinaan madrasah dan perguruan agama Islamlainnya dan permasalahannya," dalam Sekretariat MP3A (Ed.)Kegiatan MP3A sejakJuni 1975 s.d. Juli 1977 (him. 77-88). Jakarta:DitjenBinbaga Islam.

Goodson, I.E 1994. Studying curriculum: Cases and method. Toronto:OISE Press. Him. 19.

Goodson, I. F. 1990. 'Studying curriculum: Towards a socialconstructionist perspective'. Journal of Curriculum Studies. Vol. 22,No.4,pp.299-312.

Kliebard, H. M. 1992. 'Constructing a history of the Americancurriculum,'in P. W.Jackson (Ed.) Handbook ofresearch on curriculum

(pp. 157-184). New York: Macmillan.

Kliebard, H. M. (1995) the strugglefor the American curriculum, 1893­

1958. New York: Routledge.

Lee, Kam Hing. 1995. Education and politics in Indonesia 1945-1965.

Kuala Lumpur: The University ofMalaya Press. Him. 75.

Seljak, D. 1996. 'Why the quiet revolution was "quiet": the Catholic church's

reaction to the secularization ofnationalism in Quebec tifter 1960'dalamCCliA, Historical Studies, Vol. 62. Him. 109-124.

Spencer, H.1898. Education: Intellectual, Moral, andPhysical. NewYork:Appleton.

462

--r---Y/-7--.. -~ •

gsgi sebagian orang, menjadi santri itu bU.kan pili han diri sendiri,apalagi pilihan hati. Walaupun tak dapat dimungkiri, ada

yang memang mendambakan kehidupan pesantren sejaksemula, tapi ada banyak yang menjadi santri karena orangtua ataukeadaan yang memaksa. Karena itu, menjadi santri bukan hanyasekadar datang dan kemudian belajar dengan manis, pergulatandan perjuangan menghadapi diri sendiri sudah dimulai sejak niat ituditancapkan. Akan tetapi, dari pergulatan dan perjuangan tersebutpelajaran dan hikmah dipetik, untuk kemudian menjadi kenanganyang dapat diceritakan dan sumber inspirasi bagi generasi di masamendatang.

Sosok-sosok yang diceritakan dalam buku ini adalah mereka yangsudah mengalami pergulatan tersebut bertahun-tahun silam.Mereka pula yang kemudian merasakan manisnya buah dariperjuangan dan pelajaran yang didapat dalam pesantren. Merekajuga yang membuktikan betapa ilmu tentang kehidupan yangdidapat kala menempuh pendidikan pesantren tersebut membuatmereka bertahan, tegar, sekaligus cerdas dalam menghadapirintangan dan terjangan arus kehidupan; dan akhirnya, menjadikanmereka sebagai tonggak baru dalam pemikiran dan pergerakanIslam di Indonesia.