PARI PE5ANTREN UNTUK \)UNIAKisah.kisah Inspiratif Kaum Santri
Edisi PertamaCopyright © 2016
.Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN 978-602-0895-50-515 x 23 em
xxii, 478 him
Cetakqn ke·1, Febrllari 2016
Kencana.2016.0625
EditorProf. Dr. Komaruddin Hidayat
Desain SampulIrian Fahmi
Penata LetakEndang Wahyudin
PercetakanPT Kharisma Putra Utama
PenerbitPusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)
UIN Syarif Hidayatullah JakartaJI. Kertamukti No.5 Ciputat 15412
Tangerang Selatan, Banten, IndonesiaTelp.: +62-21 7423543, 7499272. Faks.: +62-21 7408633
e-mail: [email protected]: ppim.uinjkt.ac.id.
Bekerja SarnaPRENADAMEDIA GROUP
JI. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134
e-mail: [email protected]
INDONESIA
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.
DAFTAR lSI
KATA PENGANTAR ; V
DAFTAR lSI xxi
BAGIAN PERTAMA
• Urgensi Sosiologi Hukum Islam 3-MOHAMMAD ATHO' MUDZHAR
• Jangan Pernah Berhenti. 2S-KOMAR-UDDIN HIDAYAT
• Jaringan Ulama Kosmopolitan: Catatan PengembaraanIntelektual.. 66-AZYUMARDI AZRA, CBB.
• The Genesis of an Intellectual Tradition: TerbentuknyaKomunitas Epistemik IAIN/UIN Jakarta 86-BAHl'IAl\. E.FFF.NDY
BAGIAN KEDUA
• Membangun Birokrasi UIN yang Bersih 107-AMSAL BAKHTiAB.
• Pesantren, FU, dan FISIP UIN Jakarta: Belajar Islamdari Tiga Kacamata 132-HENDRO PilASETYO
• Memaknai Sejarah Islam Klasik 149-FUAD JABAL!
• Menjadi Antropolog Pribumi: Mengalir BersamaKeberuntungan : 179-JAMHA.lU
• Pasar Minggu-Ciputat-Montreal 206-NURLENA RIFAI
DARI PESANTREN UNTUK DUNIA
• Menguak Politik Negera Islam 234-ALI MUNHANIF
• Menemukan Keseimbangan Islam Jawa 258-8AIFUL UMAM
BAGIAN KETIGA
• Pesantren yang Membebaskan 298-AlUEF SUBHAN
• Your Life is Your Message 322-ISMATU ROPI
• Menjadi Santri, Merayakan Kehidupan ; 346-JAJANG JAHRONI
• Melampaui Mimpi, Membangun Distingsi 370-OMAN FATIIURAHMAN
• Menghidupi Filantropi Islam 406-AMELIA FAUZIA
• Dari Selatan ke Utara: MenyelamiMakna Pendidikan 440
~INDEKS 463
xxii
•"11
ij
Dari Selatan ke Utara: Menyelami MaknaPendidikanM.ZUHDI
Mimpi Sekolah di Luar NegeriSaya lahir dan besar di Jakarta, dari kedua orangtua yang asli Ja
karta. Meski begitu, saya tidak merasa sebagai orang kota. Tradisi ke
agamaan cukup kental melekat di keluarga saya. Alrnarhum ayah saya
dikenal sebagai Imam Masjid di salah satu sudut Jakarta. Tidak heran
jika kegiatan ayah di malam hari lumayan padat: menghadiri pengajian,
syukuran, selametan, peringatan hari besar Islam dan semacamnya. Ta
darusanlkhataman, pembacaan Maulid Nabi dan tahlilan adalah tradisi
yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di mana saya dibesarkan.
Kultur keislaman tradisional yang kuat inilah yang membuat saya me
rasa tinggal di kampung, dibandingkan di sebuah kota besar.
SeIepas ibtidaiyah (setingkat SD) dan tsanawiyah (setingkat SMP)
< di Jakarta, saya melanjutkan studi di sebuah Pondok Pesantren di
Sukabumi, Jawa Barat. Awalnya saya berkeinginan untuk melanjutkan
ke SMA, dan kebetulan hasil EBTANAS saya memungkinkan untuk
itu, tetapi ayah saya menginginkan agar saya untuk melanjutkan studi
di pesantren. Akhirnya ditemukanlah jalan tengah, sekolah di SMA dan
di pesantren. Pilihan akhirnya jatuh ke al-Masthuriyah, sebuah pondok
pesantren tua di Sukabumi Jawa Barat, yang kebetulan juga memiliki
440
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN
SMA (sebagai pilihan lain dari madrasah aliyah). Saya masuk SMA alMasthuriyah di tahun 1988, walaupun setahun kemudian saya pindahke Madrasah Aliyah di pesantren yang sarna. Di pesantren, se1ain be1ajar
beragam ilmu, saya juga be1ajar menjadi pemimpin, me1alui trainingkepemimpinan dan kesempatan menjadi Ketua Organisasi Santri.
Lulus dari madrasah aliyah di tahun 1991, saya sempat inginme1anjutkan kuliah di al-Azhar, Kairo, Mesir. Cita-citakuliah di Kairo "adalah sebuah keinginan yang banyak dimiliki oleh anak-anak Betawiyang dibesarkan di lingkungan madrasah. Ayah saya pun berusahamencari beragam informasi supaya saya bisa memperoleh beasiswadi al-Azhar. Tetapi ada seorang ulama di Jakarta yang menyarankansebaiknya kuliah diJakarta saja dahulu,jika nanti memungkinkan barukuliah di luar negeri untuk S-2. Begitulah, kemudian saya me1anjutkan
kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, Jurusan Pendidikan AgamaIslam. Mimpi untuk sekolah di luar negeri pun be1um kesampaian.
Sesuai dengan namanya, Fakultas Tarbiyah (Fakultas Pendidikan),di sini saya mempe1ajari berbagai kajian dan praktik kependidikan agarna Islam. Mulai dari be1ajar berbagai mata kuliah keagamaan hingga diskusi dan praktik kependidikan. Dengan orientasi menjadi guruagama Islam, proses be1ajar yang saya alami memberikan dasar-dasarilmu agama Islam beserta sumber-sumbernya dan memberikan bekalkemampuan mengajar, baik secara teoretis maupun praktis. Pengalamanini membuat saya tertarik untuk terus mendalami isu-isu pendidikan.
Menikmati Diskusi Intelektual Muslim di lAINMeskipun mempe1ajari ilmu pendidikan dengan segala pernak
perniknya adalah hal yang baru dan menarik buat saya, ada pengalamaninte1ektuallain yang mendewasakan pemahaman keagamaan saya. Ketika saya kuliah S-l, diskusi tentang pembaruan Islam sedang sangatsemarak di Indonesia. Tokoh utama pembaruan Islam di lAIN Jakartaketika itu adalah Prof Dr. Harun Nasution, yang terkenal dengan pemikiran rasionalnya.
Saya memang tidak pernah belajar langsung dari Prof. Harun Nasution, namun pemikirannya tentang pembaruan pemahaman Islamtidak lepas dari ingatan saya dan seluruh mahasiswa lAIN Jakarta saat
441
BAGIAN KETIGA
itu. Buku-buku Harun Nasution menjadi buku wajib di berbagai mata
kuliah keagamaan, termasuk bukunya yang paling berpengaruh yaitu
Islam ditinjau dari BerbagaiAspeknya. Di samping itu, dosen-dosen yang
mengajar pun kebanyakan adalah alumni Program Pascasarjana yang
merupakan murid-murid langsung Prof Dr. Harun Nasution.
Pemikiran Harun Nasution yang sangat memengaruhi pola pikir
mahasiswa lAIN Jakarta adalah keterbukaan terhadap berbagai maz
hab, aliran ataupun pemikiran dalam Islam. Sejak kecil hingga lulus
Aliyah, saya hidup di lingkungan yang relatif homogen dari segi pe-:mahaman keagamaannya. Ketika di lAIN, saya harus berinteraksi de
ngan ternan sesama Muslim yang berbeda pemahaman dan praktik
keagamaannya. Berbagai diskusi yang dilakukan tentang keragamaanpemahaman ajaran Islam tersebut membuat saya relatif terbuka untuk
mengenal kelompok-kelompok yang memiliki pemahaman yang ber
beda. Di samping itu, pembe1ajaran tentang Islam klasik memberikanwawasan betapa luasnya khazanah intelektual Islam baik di Indonesia
maupun di dunia luar.
Se1ain Harun Nasution, tokoh-tokoh lain yang ikut meramaikanwacana pemikiran Islam Indonesia antara lain adalah Nurcholis Mad
jid, Abdurrahman Wahid, Imaduddin Abdurrahim, Masdar F. Masu
di, Dawam Raharjo, Ibrahim Husein, dan M. Quraish Shihab. Sebagai
mahasiswa saya sempat bingung karena berbagai pemikiran yang dilontarkan sering ka1i menimbulkan kontroversLBelakangan saya mulai
memahami bahwa para inte1ektual Muslim Indonesia tidak hanya me
warisi tradisi inte1ektual Islam masa lalu, tetapi juga memperkayanyadengan pendekatan-pendekatan baru. Islam tidak hanya didekati de
ngan pendekatan konvensional (misalnya fikih, teologi, dan tafsir) saja,
,tetapi juga diperkaya dengan pendekatan filsafat, sosiologi, antropologi,dan ilmu-ilmu sosiallainnya. Sehingga diskusi keislaman sangat sema
rak dengan membahas isu-isu kontemporer.
Penggunaan berbagai pendekatan dalam studi Islam itulah yang
membuat studi Islam di lAIN Jakarta berkembang secara dinamis. Pe
mahaman agama yang se1ama ini diajarkan dengan indoktrinasi me1alui
pengajian, sehingga seolah te1ah menjadi ilmu yang final, disampaikansecara terbuka dan dengan berbagai pendekatan baru. Ini membuat ka-
442
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN
jian agama Islam dapat diterima sebagai sebuah kajian akademis-ilmiah
bukan lagi sebagai kajian agamais-indoktrinati£
Pembibitan Calon Dosen: Menghadirkan KembaliMimpi Kuliah di Luar Negeri
Dinamika intelektual yang begitu kuat di Ciputat membuat sayamemiliki gairah untuk mengembangkan diri di dunia akademik. Sesuai,
dengan bidang keahlian yang saya tekuni, yaitu pendidikan, maka. sayamulai sering memperhatikan isu-isu terkait dengan pendidikan. De
ngan harapan suatu saat saya bisa melanjutkan kuliah di bidang tersebut.
Harapan itu ternyata tidak kosong. Ketika barn menyelesaikan si
dang skripsi, saya memperoleh informasi mengenai dibukanya peluang
untuk mengikuti program pembibitan calon dosen IAIN se-Indone
sia. Saya merasa bernntung penulisan skripsi saya dibimbing oleh Dr.Abuddin Nata, sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi dengan rela
tif cepat. Saat itu Dr. Abuddin Nata adalah salah seorang dosen se.
nior yang sering ka1i memotivasi mahasiswa untuk mengembangkanwawasan berpikirnya. Beliau juga dikenal sebagai penulis buku-buku
pendidikan dan penceramah agama. Walhasil, bulan Desember 1995
saya sudah sidang skripsi dan dinyatakan lulus sebagai sarjana. Hal inimemungkinkan saya untuk mendaftar di Program Pembibitan Calon
Dosen di tahun 1996.Program tersebut di atas adalah program intensif pelatihan bahasa
asing bagi alumni lAIN se-Indonesia untuk dapat melanjutkan kuliah
di luar negeri. Alhamdulillah, setelah melewati. serangkaian seleksi saya
diterima menjadi salah satu pesertanya.Ada hal yang berbeda dengan program pembibitan calondosen
yang saya ikuti dibandingkan dengan program-program sebelumnya,
yaitu adanya kelas khusus bahasa Arab. Sehingga pada periode tersebut,
peserta dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Kelompok Bahasa Inggrisdan Kelompok Bahasa Arab. Kelompok Bahasa Inggris diperuntukkan
bagi mereka yang akan melanjutkan studi di negara-negara Barat, se
dangkan kelompok Bahasa Arab mempersiapkan pesertanya untuk ku
liah di Timur Tengah.Kesempatan mengikuti program pembibitan ini membuat mim-
443
BAGIAN KETIGA
pi saya untuk sekolah di luar negeri muncullagi. Karena saya terpilihuntuk masuk ke dalam ke1ompok Bahasa Arab, maka pe1uang untukkuliah di Kairo, seperti yang pernah saya impikan dahulu, terbuka lebar.Apalagi saat itu IAIN dipimpin oleh Pro£ Quraish Shihab yang merupakan alumni Universitas al-Azhar Kairo. Se1ama mengikuti program,saya dan ternan-ternan belajar bahasa Arab secara intensif dari Dr. H.Akrom Malibari (alm.). Se1ain itu, secara berkala kami juga menerima .
pe1ajaran bahasa Inggris dari Pak Atiq Susilo dan Pak Nasrun Mahmud.Meskipun program tersebut menargetkan peningkatan kemampu
an bahasa peserta, namun bahasa bukanlah satu-satunya hal yang dipe1ajari dalam program pembibitan se1ama sembilan bulan tersebut. Adapengayaan wacana akademik, pengalaman studi di luar negeri dan berbagai informasi penting lainnya. Sejumlah intelektual Muslim dihadir-
.~kan untuk berbagi pengalaman dan ide-ide segar mereka. Suasananya. persis seperti kemah inte1ektual bagi para pesertanya.
Selain menghidupkan kembali mimpi untuk kuliah di Kairo, interaksi dengan para inte1ektual dengan beragam latar belakang akadeIlllk ....
juga membuat mata saya terbuka untuk melihat pe1uang·kuliah di negara-negara Barat. Karena itu, saya tidak pernah melewatkan pelajaranBahasa Inggris Yang diberikan seminggu dua kali. Se1ain itu, bersamasahabat saya Muhsin Mahfudz (IAIN Alauddin Makassar), saya seringmenghabiskan waktu untuk mengerjakan soal-soalTOEFL latihan danmembahas ke1emahan-ke1emahan kamL
Kesungguhan mempe1ajari bahasa Inggris dan latihan TOEFL ternyata sangat bermanfaat untuk perjalanan studi saya se1anjutnya. Setelah program pembibitan berakhir dan ternan-ternan dari luar Jakartakembali ke daerah masing-masing, ada dua harapan kami, yaitu diterirna sebagai dosen di institusi masing-masing dan kuliah di luar negeri.
Harapan pertama terjawab dengan turunnya SK dari Departemen Agama tentang diterimanya kami sebagai calon pegawai negerisipil di institusi masing-masing, dengan pengecualian dua orang yangentah mengapa tidak mendapatkan SK tersebut. Harapan yang kedua,sayangnya, tidak terjawab secara langsung dan otomatis. Saya dan sebagian besar alumni pembibitan tidak mendapatkan keberuntungan yangsarna sebagai jawabannya.
444
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN
Persoalan yang saya dan teman-teman dari kelas bahasa Arab hadapi adalah tidak semua peserta program bahasa Arab memperolehbeasiswa ke Mesir. Hanya mereka yang berasal dari "Fakultas Agama"
yang berhak memperoleh beasiswa, sementara Fakultas Tarbiyah (Pendidikan) tidak dianggap sebagai Fakultas Agama. Akhirnya, ketika sejumlah teman dari Fakultas Agama berangkat ke Kairo, saya dan beberapa teman lain hanya bisa berharap untuk mendapatkan sesuatu yang
lebih baik. 'Tertutupnya peluang beasiswa ke Kairo tidak berarti tertutup pula
peluang beasiswa untuk kuliah di luar negeri dengan dana beasiswa.Saya pun mulai mencari peluang beasiswa dari negara lain. Berbagaiinformasi untuk mendapatkan beasiswa saya kumpulkan dan pelajari.Tak hanya itu, berbagai pameran pendidikan luar negeri juga saya datangi untuk menjaga asa supaya terus hadir. Akhirnya, keberuntunganSaya pun datang dan harapan yang kedua juga terjawab, tahun 1998 sayamemperoleh beasiswa dari AusAID (Australian Agency for International Development). Beasiswa tersebut bukan hanya untuk biaya kuliah,
tetapi juga untuk persiapan bahasa di Jakarta.
Sekolah di Luar Negeri: Terdampar di Jalan yang BenarBagi saya, memperoleh beasiswa untuk adalah anugerah yang luar
biasa. Selain itu, mampu mewujudkan mimpi kuliah di luar negerimenjadi kenyataan adalah kebahagiaan tersendiri. Karenanya, berkesempatan kuliah di luar negeri dengan memperoleh beasiswa membuatkebahagiaan itu berlipat. Bahkan orang yang secara ekonomi mampusekalipun akan memilih kuliah dengan beasiswa dibandingkan denganmembayar sendiri. Persoalan bahwa ternyata kuliahnya bukan di tempat yang semula saya inginkan adalah persoalan lain. Bahkan kenyataanmenyadarkan saya bahwa kuliah di tempat yang berbeda dari yang semma saya inginkan adalah seperti terdampar di jalan yang benar. Karenatakdir itu membawa saya untuk dapat menyelesaikan S-2 dengan cepatdan membuka peluang bam untuk memperoleh beasiswa S-3.
Saya berangkat ke Australia bman Januari tahun 1999. Saya diterima sebagai mahasiswa Program Master of Education di School ofEducation, the University of New South Wales (UNSW), Sydney. Ini-
445
11,fi!)
BAGIAN KETIGA
lah pengalaman pertama saya belajar di luar negeri, berinteraksi dengan
orang yang berbeda etnis, negara, budaya, dan agama. Di samping bela
jar tentang ilmu pendidikan secara teoretis di kelas, ada banyak penga
laman berharga yang justru membuka pemahaman saya tentang makna
pendidikan yang sebenarnya.
Pertama, dukungan fasilitas untuk belajar. Dua fasilitas utama yang
sangat saya andalkan adalah perpustakaan dan laboratorium komputer.
Di UNSW, perpustakaan merupakan ikon universitas. Gedung perpus
takaan merupakan gedung tertinggi di kampus dan berada di tengah
tengah kampus. Perpustakaan memiliki fasilitas dan layanan yang sa
.ngat memudahkan para pemustaka. Selain itu koleksinya pun sangat
kaya dan beragama, untuk tidak mengatakan lengkap. Saya misalnya
dengan mudah dapat menjumpai buku-buku berbahasa Indonesia, jika
dibutuhkan. Buku-buku referensi lain pun dengan mudah bisa saya da
patkan. Jika saya tidak menemukannya di perpustakaan kampus, saya
bisa memanfaatkan fasilitas pinjaman antar-perpustakaan (interlibrary
loan) untuk dipinjamkan dari perpustakaan lain. Selain perpustakaan,
fasilitas yang sangat bermanfaat buat saya adalah laboratorium kompu~
ter. Laboratorium komputer adalah ruang kerja buat saya. Di sanalah
saya biasa menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Enaknya, laboratorium komputer dapat diakses 24 jam dengan meng
gunakan kartu mahasiswa sebagai swipe-card.
Kedua, dukungan program untuk kesuksesan mahasiswa asing. Ada
tiga hal yang saya rasakan sangat membantu bagi mahasiswa asing:
layanan mahasiswa asing, orientasi akademik, dan pembaca makalah
(peer reader). Universitas menyediakan layanan khusus untuk mahasiswa
asing melalui Office for International Students. Kantor ini membantu
mahasiswa asing untuk dapat beradaptasi di lingkungan baru mereka.
Sebulan sebelum perkuliahan dimulai, mahasiswa asing menerima prog
ram orientasi akademik secara intensi£ Kami dikenalkan dengan sistem
perkuliahan dan bagaimana untuk kuliah secara efektiE Salah satu hal
yang sangat membantu saya menyelesaikan tugas perkuliahan adalah
pembaca makalah (peer reader). Peran peer reader sangat bermanfaat
untuk memastikan bahwa makalah yang akan saya serahkan ke dosen
memiliki kualitas bahasa yang baik. Seorang peer reader tidak berfungsi
446
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN
sebagai editor, ia hanya membaca tulisan, lalu menyarankan perbaikan
sesuai dengan kepatutan.
Ketiga, keterbukaan dosen. Saya memiliki dua pengalaman menarik
tentang hal ini. Pertama, dosen manajemen pendidikan, Pro£ Fenton
G. Sharp, sangat menghargai perbedaan pendapat mahasiswa. Dalam
mengerjakan salah satu tugas, saya mengemukakan sebuah analisisyangberbeda dengan yang ia antisipasi. Dia memberikan komentar positif
terhadap tulisan sayadan memberikan nilai yang sangat baik. Kedua,"
dosen statistik, Prof. Martin Cooper, juga memiliki sikap yang kuranglebih sarna. Tugas-tugas statistik yang diberikan saya kerjakan sesuai
dengan petunjuk. Dia memahami betul kesulitan saya memahami sta
tistik dan sangat menghargai ketika saya mencoba menguraikan sebuah
proses statistik secara manual, untuk memahami proses yang terjadi da
lam program SPSS.
Keempat, pelayanan dosen. Saya sangat terkesan dengan sikap Ke
tua Jurusan, Pro£ John Sweller, dalam melayani mahasiswa. Suatu ketika menjelang akhir program, saya berinisiatif untuk meminta surat
referensi dari Pro£ Sweller. Saya berkirim email dan menyampaikanbahwa saya akan memerlukan surat referensi untuk nanti melanjutkan
ke Program Doktoral. Dia membalas email saya dan mengundang saya
untuk datang ke kantomya. Ketika saya tiba di kantomya, saya diajakduduk bersebelahan di meja kerjanya sambil dia mengetik draf surat
referensi di komputer. Kemudian draf itu dia print untuk kami bahas
berdua, baik isi maupun bahasanya. Setelah didiskusikan, dia memperbaiki sendiri draft yang telah dibahas hingga kami berdua merasa draf
nya sudah sangat baik dan siap dicetak untuk ditandatangani. Begitulah
ia melayani mahasiswa secara total, hanya untuk menerbitkan sebuah
surat referensi.Pengelaman-pengalaman tersebut di atas benar-,benar membuka
mata saya akan sebuah layanan pendidikan yang maksimal dan pe
maknaan pendidikan sebagai sebuah proses pematangan intelektual.
Kampus merupakan tempat pengembangan intelektualitas mahasiswa.
Supaya secara intelektual mahasiswa mampu berkembang dengan baik,maka kampus harus benar-benar memfasilitasi kebutuhan mahasiswa.
Tersedianya fasilitas belajar yang sangat memadai, seperti perpustaka-
447
BAGIAN KETIGA
an dan 1aboratorium, membuat mahasiswa nyaman untuk belajar seca
ra mandiri (independent learning). Selain itu, tersedianya layanan peer
reader dan kualitas layanan yang diberikan oleh para dosen plembuat
para mahasiswa mampu mengembangkan diri secara optimal. Hal ini
1ah yang membedakan kampus-kampus di negara-negara maju dengan
kampus-kampus di Indonesia.
Mengkaji Perkembangan Kurikulum Sekolah IslamSetelah menyelesaikan studi di Australia di tahun 2000, saya kem
bali ke Ciputat dan bersiap untuk mengabdikan diri di kampus. Saya
pun mulai mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta. Saya ditugaskan mendampingi Prof. A. Malik Fadjar sebagai asisten. Kebetulan be
liau barn selesai mengemban tugas sebagai Menteri Agama dan men
jadikan IAIN Jakarta sebagai tempat mengabdinya. Dari beliau sayabanyak belajar tentang komitmen, kesederhanaan, dan cara mengajar
yang mencerahkan. Mengajar bukan hanya menyampaikan materi, te
tapi juga menularkan semangat dan membangkitkan motivasi. Selainitu, Prof Malik Fajar juga sangat membimbing sekaligus juga meng
hargai saya sebagai asisten. Proses pembimbingan dilakukan dengan
kehadirannya yang tinggi. Sebagai guru besar senior, beliau tidak canggung untuk hadir di setiap perkulihan, tidak serta-merta menyerahkan
tanggung jawab kepada asistennya. Bukti penghargaan terhadap asisten
dibuktikannya dengan membagi perkuliahan menjadi tiga sesi: sesi gurubesar, sesi asisten, dan sesi dialog.
Setelah mengajar selama dua semester, Prof Malik Fadjar menda
patkan kepercayaan untuk menjadi Menteri Pendidikan Nasional, maka
kesempatan saya untuk belajar 1angsung dari beliau pun terbatas. Ke
betulan pada saat yang sama saya juga mendapatkan kesempatan un-Otuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Saya mempero1eh
beasiswa dari CIDA (Canadian International Development Agency)
untuk program IISEP (lAIN Indonesia Social Equity Project). Melalui
program ini, lAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta mendapatkan kesempatan untuk mengirimkan dosen-dosennya belajar non-Islamic studies di
McGill University.Buat saya, kesempatan belajar di McGill adalah sebuah kesempat-
448
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNAPENDIDIKAN
an yang luar biasa berharga. McGill adalah salah satu kampus terbaikdi dunia. Se1ain itu, saya juga memendam keinginan untuk belajar di
Wilayah Utara. Keinginan tersebut muncul mengingat be1ahan duniaUtara (Amerika dan Eropa) mendominasi perkembangan ilmu penge
tahuan. Bahkan ketika be1ajar di Australia pun kebanyakan referensinya
diambil dari Amerika dan Eropa. Karena itu, saya tidak menyia-nyiakan
kesempatan tersebut. Sete1ah me1ewati berbagai proses se1eksi akade
mik dan administrasi, saya bersama sejurnlah kawan dari lAIN Jakarta
dan IAlN Yogyakarta berangkat ke McGill bulan Agustus tahun 2001,
tepatnya tariggal16 Agustus 2001. Saya terdaftar sebagai mahasiswa
Program Ph.D. di Department of Integrated Studies in Education
(DISE), Faculty of Education, McGill University.Saya mengerjakan proyek disertasi saya di bawah bimbingan Prof.
Spencer Boudreau. Beliau adalah seorang ahli pendidikan Katolik di
Qyebec. Meskipun berbeda keyakinan, saya merasakan bimbingan yang
intensif dari Prof Boudreau. Bahkan beliau menunjukkan ketertarikanakan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang sedikit banyak
memiliki kesamaan dengan perkembangan sekolah Katolik di Q!Iebec,
terutama sete1ah terjadinya Quiet Revolution.1
Bidang yang saya minati adalah kurikulum. Sejak awal saya me
mang menulis proposal tentang kurikulum, yaitu bagaimana kurikulum
dapat dikembangkan secara demokratis. Ketertarikan saya pada kurikulum disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, kurikulum adalah inti
sari dari pendidikan. Arah dan orientasi sebuah sistem pendidikan bisa
dilihat dari kurikulumnya. Kedua, kurikulum juga merupakan refleksidari kondisi sosial politik masyarakat. Kurikulum sejatinya berisi pesan
pesan yang hendak diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ketiga, ada ungkapan yang sangat populer di masyarakat, "ganti menteri
ganti kurikulum." Ungkapan ini di satu sisi merupakan kritik terhadap
seringnya kurikulum berganti seiring dengan pergantian politik. Na-
1 Quite Revolution atau Revolusi Senyap adalah peristiwa peralihan kondisi politik diQyebec dari Katolik konservatif ke Demokrasi liberal. Meski demikian, peran Katolik sebagai aliran agama yang dominan di Qyebec masih tetap berlaku. Liliat David Seljak (1996),"Why the quiet revolution was 'quiet': The Catholic church's reaction to the secularization ofnationalism in Qyebec after 1960", dalam CCRA: Historical Studies 62, hlrri. 109.
449
BAGIAN KETIGA
mun sisi lain, ungkapan tersebut juga secara implisit bermakna bahwa
kurikulum adalah ~~suatu yang dinamis, sering mengalami perubahan.
Oleh sebab itu, kajian tentang kurikulum akan selalu menarik.
Di samping kurikulum, hal lain yang menarik perhatian saya adalah
perkembangan sekolah Islam di Indonesia. Meskipun telah banyak ka
jian tentang madrasah dan pesantren, namun kajian tentang bagaimana
kurikulum lembaga-lembaga pendidikan Islam berevolusi dari masa ke
masa di Indonesia belum banyak dikaji. Oleh karena itu, saya merasa
bahwa kajian tentang kurikulum pendidikan Islam di Indonesia pen
ting untuk dilakukan guna menjelaskan bagaimana pendidikan Islam di
Indonesia mampu bertahan dan beradaptasi dengan perubahan sosial
dan politik.
Saya mencoba mempelajari bagaimana para ahlikurikulum di du
nia mempelajari hubungan antara kurikulum dengan masyarakat. Ada
tiga tokoh penting yang menarik perhatian saya ketika mengkaji antara
hubungan kurikulum dan masyarakat.
Pertama adalah Michael W. Apple, seorang guru besar kurikulum
dari Universitas Winconsin-Madison. Salah satu karya Apple yang
paling populer adalah Ideology and Curriculum. Apple menyampaikan
argumen bahwa kurikulum tidak dibangun secara objektif, tetapi di
pengaruhi oleh ideologi yang dimiliki penguasa. Ada sebuah ungkap
an, atau lebih tepatnya pertanyaan, yang dikemukakan oleh Herbert
Spencer mengenai kurikulum. Pertanyannya adalah: "what knowledge is
ofmost worth?" Pertanyaan tersebut mencerminkan definisi sederhana
tentang kurikulum, yaitu hal-hal apa saja yang paling penting untuk
diajarkan kepada siswa. Namun bagi Apple, isi kurikulum tidak secara
objektif ditentukan berdasarkan kebutuhan siswa, tetapi juga ditentu
,kan oleh siapa yang memiliki otoritas terhadap kurikulum. Oleh kare-
na itu, Apple merumuskan pertanyaan lain, yaitu "whose knowledge is ofmost worth?"Kedua adalah Ivor F. Goodson. Goodson mengajukan teori
yang sangat relevan dengan kajian yang akan saya lakukan. Dalam salah
satu artikelnya yang dimuat di Jurnal of Curriculum Studies, Goodson
menyampaikan teori Social Construction, sebagai teori untuk menjelas
kan hubungan dan masyarakat. Menurutnya kurikulum adalah warisan
sosial yang selalu menarik untuk dikaji. Dengan melihat kurikulum, kita
450
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDlKAN
bisa melihat dinamika sosial sebuah bangsa.Ketiga adalah Herbert M. Kliebard. Kliebard mernpakan tokoh ka
jian sejarah kurikulum. Teori yang terkenal yang ditawarkan oleh Kliebard adalah adanya hubungan timbal balik (reciprocal relationship) anta
ra kurikulum dan masyarakat. Saya memahami pandangan Kliebard inisebagai sesuatu yang menarik, karena teori ini bukan hanya menje1askanbagaimana lembaga-lembaga pendidikan sebagai agent ojsocial change,
lahir dan berkembang sehingga memengaruhi pola pikir dan perilakumasyarakat, tetapi juga menje1askan bagaimana substansi sebuah lembaga pendidikan juga dipengaruhi oleh masyarakatnya.
Dengan menggunakan perspektif yang ditawarkan oleh ketigapemikir itulah saya mencoba memahami kurikulum lembagapendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan Islam memiliki sejarahpanjang di Indonesia. Ia te1ah hadir jauh sebe1um negara Indonesiadiproklamirkan. Pendidikan Islam bahkan menghadirkan tokohtokoh nasional yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.Sumbangan para tokoh pendidikan Islam bagi kemerdekaan Indonesiamembuat keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam ternsdipertahankan setelah Indonesia merdeka. Meskipun pada awalnyapendidikan Islam berada di peri-peri mainstream pendidikan nasional,namun pada perkembangannya pendidikan Islam dianggap sejajardengan pendidikan nasional.
Kemampuan lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk terns bertahan dan bahkan meningkatkan posisi tawarnya di tengah berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan yang tidak berorientasi agamamenunjukkan kemampuannya untuk· beradaptasi dengan berbagaipernbahan. Adaptasi yang dilakukan berkaitan dengan berbagai aspekpendidikan dan kelembagaan. Salah satu aspek penting dari adaptasitersebut adalah kurikulum.
Perdebatan tentang kurikulum lembaga pendidikan Islam te1ahberlangsung sejak masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Keberada
an Departemen Agama yang antara lain mengatur lembaga-lembagapendidikan Islam menjadikan dualisme penge10laan pendidikan takterhindarkan sejak awal berdirinya negara Indonesia. Dualisme tersebutadalah pembagian kewenangan (shared authority) antara Departemen
451
BAGIAN KETIGA
Pendidikan dan Departemen Agama dalam mengatur dan mengelolalembaga-lembaga pendidikan Islam. Lee Kam Hing menyebutkan bahwa pada masa-masa awal pemerintahan teIjadi kebingungan mengenai batas-batas sekolah yang hams dikelola Departemen Agama dan
Departemen Pendidikan. Kemudian disepakati bahwa batasan sekolahyang dikelola Departemen Agama adalah sekolah-sekolah yang 50%atau lebih komposisi pelajarannya berisikan pelajaran agama. Selebihnya, sekolah-sekolah diatur dan/atau dikelola oleh Departemen Pendidikan.
Kebijakan dualisme pendidikan ini menyebabkan tidak teIjadinyapeleburan lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama ke dalam ma
instream pendidikan. Namun demikian, kesenjangan kualitas antaralembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lembaga-lembaga pendidikan yang tidak berbasis agama tidak dapat dielakkan. Kualitas lembaga-lembaga pendidikan Islam dipandang memiliki kualitas yang lebihrendah dari lembaga-lembaga pendidikan yang tidak berbasis agama.Hal inilah yang kemudian mendorong Pemerintahan Orde Bam untukmenyatukan pengelolaan pendidikan di awal tahun 1970-an. Namunkeinginan pemerintah tersebut ditolak oleh para pemuka agama Islamyang tidak ingin kehilangan independensi leinbaga-lembaga pendidikan Islam.
Setelah melalui negosiasi panjang, akhirnya pemerintah dan parapengelola lembaga pendidikan Islam sepakat untuk tidak memasukkan sekolah-sekolah Islam ke dalam otoritas Departemen Pendidikan.Namun demikian, lembaga-lembaga pendidikan Islam dituntut untukmemperbaiki diri, terutama untuk aspek akademik, sehingga bisa berdiri sejajar dengan sekolah-sekolah yang tidak berbasis agama. Inilahkebijakan yang kemudian dikenal luas s~bagai SKB (Surat Keputus-
C an Bersama) tiga Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Kesepakatan tersebut selanjutnya melahirkan kebijakan perubahan kurikulum madrasah gunameningkatkan kualitas madrasah. Kurikulum madrasah yang semulaberisikan mayoritas ajaran agama, menjadi 70% pelajaran umum dan30% pelajaran agama.
Lahirnya SKB 3 Menteri menandakan dua hal yang sangat penting
452
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN
bagi umat Islam Indonesia. Pertama, SKB inilah yang menarik lembaga pendidikan Islam (khususnya madrasah) dari peri-peri pendidikanIslam Indonesia ke tengah-tengah sehingga menjadi bagian dari arusutama pendidikan. Kedua, SKB ini juga menandakan bahwa lembaga
lembaga pendidikan Islam mampu beradaptasi dengan perubahan danpeduli dengan pendidikan yang tidak hanya berorientasi agama.
Meski demikian, ke1ahiran SKB 3 Menteri dan implementasi ku-,
rikulum Madrasah 1976 tidak serta merta memperoleh tanggapan positif dari se1uruh tokoh Islam. K.H. Imam Zarkasyi, misalnya, menolakpenyeragaman kurikulum untuk lembaga pendidikan Islam. Sehingga,meskipun ia sendiri adalah salah satu tokoh penting dalam ke1ahiranSKB tiga Menteri tersebut di atas, namun ia sendiri tidak mau menerapkan kurikulum madrasah di pesantrennya, yaitu Pondok Modern
Gontor.Kehadiran SKB tiga menteri sebenarnya te1ah mengurangi jarak
antara pendidikan nasional (baca: sekuler) dengan pendidikan agama.Sekolah-sekolah agama, yang sebe1umnya memiliki kurikulum masingmasing, diatur untuk memberikan porsi yang lebih besar terhadap pendidikan non-keagamaan. Pengaturan ini dimaksudkan agar para siswayang bersekolah di madrasah memiliki pengetahuan umum yang sarnadengan mereka yang menempuh pendidikan di sekolah umum. Dengandemikian, siswa madrasah dapat me1anjutkan pendidikan di sekolah/perguruan tinggi non-keagamaan.
Pada tahun 1989, jarak antara sekolah agama (madrasah) dengansemakin menipis. Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang SistemPendidikan Nasional tidak lagi membedakan madrasah dan sekolah
. umum. Madrasah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari SistemPendidikan Nasional. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah disebutkanbahwa madrasah adalah nama sekolah umum yang berciri khas Islam.2
Implikasi dari undang-undang. tersebut adalah kurikulummadrasah tidak lagi berbeda dengan kurikulum sekolah umum yangada di Indonesia. Kalaupun ada, perbedaan itu terletak pada ciri khasIslam yang menjadi identitas madrasah. Ciri khas itu dapatditemukan
2 Liliat PI" No. 28 Tahun 1990.
453
BAGIAN KETIGA
pada tiga aspek. Po·tama, materi pelajaran agama di madrasah diberikan
lebih banyak dari sekolah umum. Kedua, madrasah memiliki lebih
banyak kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler bernuansa keagamaan seperti
kaligrafi, kajian agama dan seni budaya keagamaan. Ketiga, tata tertib
sekolah juga mencerminkan nuansa keagamaan, seperti pakaian, tata
cara berdoa dan shalat berjemaah.
Keberadaan SKB Tiga Menteri tahun 1975 dan UUSPN 1989
yang telah membawa madrasah ke dalam mainstream pendidikan nasio
nal memiliki dampak yang sangat signifikan pada perkeinbangan pen
didikan Islam. Lembaga-Iembagapendidikan Islam tidak lagi berada
di peri-peri pendidikan nasional. Mereka telah manjadi bagian integral
dari pendidikan nasional. Hal ini tentu saja juga memiliki implikasi ter
hadap peran serta umat Islam, khususnya kaum santri dalam kehidupan
sosial politik di Indonesia.
Meski demikian, ada harga yang harns dibayar dengan pengin
tegrasian madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. Orientasi
madrasah yang semula bertujuan untuk menghasilkan orang-orang
yang memahami ilmu-ilmu agama dengan baik (tqfilqquhjiddin) beru
bah menjadi orientasi menghasilkan orang-orang yang memahami ilmu
pengetahuan umum dan memiliki nilai-nilai agama ,yang baik. Akibat
nya, muncullah kekhawatiran akan berkurangnya jumlah orang-orang
yang memiliki pengetahuan agama yang memadai, yang akan menjadi
sumber informasi agama bagi masyarakat. _
Memahami persoalan tersebut, Menteri Agama Munawir Syadzali
menginisiasi pembentukan Madrasah Aliyah Program Khusus Keaga
maan (MAPK) di tahun 1988. Program ini bertujuan untuk menyiap
kan calon-calon ulama yang memiliki wawasan Islam yang luas, ber
kemampuan untuk menggali ilmu dari berbagai sumber ajaran Islam,"dan m'emiliki wawasan kebangsaan dan pengetahuan umum yang me-
madai. Oleh sebab itu, komposisi kurikulum MAPK berbeda dengan
kurikulum MA pada umumnya. Jika, berdasarkan SKB Tiga Menteri,
komposisi kurikulum madrasah adalah 70% pengetahuan umum dan
30% pengetahuan agama, maka komposisi kurikulum MAPK adalah
70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum. Program yang
semula hanya dibuka di 5 MAN (Madrasah Aliyah Negeri) di Indone-
454
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN
sia itu kemudian diikuti oleh sejumlah Madrasah Aliyah yang lain,baik
negeri maupun swasta, karena dianggap program ini memiliki manfaat
yang sangat besar bagi terlahirnya cendekiawan-cendekiawanMuslim
di masa depan.
Menguatnya posisi lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam
konteks negara seiring dengan menguatnya peran umat Islam di bidang
sosial politik. Perubahan peran umat Islam di bidangsosial politik dapat
dijelaskan ~ebagai berikut.Pada masa Orde Lama, umat Islam sebagai salah satu kekuatan
politik ikut berkontribusi terhadap pembentukan Negara KesatuanRepublik Indonesia. Bahkan, pada awalnya sebagian tokoh Islam ber
keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, atau se
kurang-kurangnya negara bersyariat Islam. Namunkeinginan tersebut
tidak dapat terlaksana mengingat ada kepentingan-kepentingan lain
yang juga harns diperhatikan demi kesatuan. Pada masa Orde Lamatersebut Pemimpin Negara mencoba menyatukan tiga ideologi besar,.
yaitu Islam, Komunisme, dan Nasionalisme.Pada masa awal Orde Barn, umat Islam seolah-olah berjarak de
ngan pemerintah. Pemerintah mencoba melakukan stabilisasi politik
dan keamanan dengan menumpas gerakan-gerakan Islam yang diduga
dapat membahayakan kedaulatan negara. Oleh sebab itu, tarnpak seolah-olah Pemerintah Orde Baru menghalangi gerakan-gerakan Islam.
Sehingga ketika keluar instruksi uhtuk menyatukan pendidikan Islam
di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1972,tokoh-tokoh Islam mencurigai maksud di balik kebijakan tersebut. Di
khawatirkan kebijakan tersebutadalah langkah awal untuk menghi
langkan ajaran Islam secara perlahan.Pada pertengahan tahun 1980-an, hubungan antara Pemerintah
Orde Barn dengan umat Islam mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Indikatorutama membaiknya hubungan Pemerintah Orde
Baru dengan umat Islam adalah lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia CICM!) pada tahun 1988 yang diketuai oleh RJ. Habibieyang dikenal sebagai orang dekat Presiden Soeharto. Para aktivis ICMI
kemudian dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di ne
gara ini, seperti menteri, dirjen, dan anggota legislati£
455
BAGIAN KETIGA
Jika dilihat dari sisi waktu, tampak bahwa ada keterkaitan antara
perubahan peran sosial politik umat Islam dan perkembangan status
dan posisi lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia.lni tentu
bukan sesuatu hal yang kebetulan.
Dari perspektif sosial konstruksionisme, perubahan-perubahan yangterjadi di lembaga-lembaga pendidikan Islam, tidak terlepas dari peru
bahan-perubahan sosial politik yang terjadi di sekelilingnya. Perspektifsosial konstruksionisme ini dikembangkan oleh Berger dan Luckman
untuk melihat hubungan antara suatu realitas dengan kondisi sosial
yangmengitarinya. Perspektifini kemudian ,digunakan oleh Ivor F. Go
odson untuk melihat terjadinya berbagai perubahan kurikulum.
Dengau menggunakan perspektif ini, kita dapat memotret perkem
bangan lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sebagai bagian darifenomena sosial yang bergerak ke arah menguatnya peran agama da
lam kehidupan sosial politik. Penguatan peran agama tersebut berimbas
pada semakin menguatnya peran lembaga-lembaga pendidikan Islam
di Indonesia. Ini membuktikan bahwa penguatan peran lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam konteks negara tidak bisa dilepaskan dari
.perubahan sosial politik di Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah
mengapa perubahan sosial politik cenderung bergerak ke arah menguat-
nya peran agama dalam kehidupan sosial politik? Padahal,jika mengacupada negara-negara yang menerapkan demokrasi sebagai pilar utama
kehidupan politik, maka yang muncul mestinya adalah sekularisasi. Hal
ini bisa dilihat di negara-negara Eropa dan Amerika, bahkan jugaTurki.
Di sini saya tertarik untuk menggunakan perspektifnya Kliebard
untuk melihat hubungan antara kurikulum dan masyarakat. Kliebard
melihat sejarah kurikulum di Amerika tidak terlepas dari perkembangansosial di negara tersebut. Analisisnya membuktikan bahwa kurikulum di
Amerika memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya.Perspektif Kliebard dalam membuktikan hubungan antara kuriku
lum dan kehidupan.sosial masyarakat Amerika tampaknyadapat di
gunakan untuk menje1askan hubungan antara lembaga-lembaga pen
didikan Islam dengari masyarakat Indonesia. Jika perspektif Goodson
yang digunakan sebelumnya menjelaskan adanya pengaruh sosial po-,
litik terhadap kurikulum, maka perspektif Kliebard dapat menje1askan
456
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN
hubungan yang sebaliknya, yaitu perubahan sosial juga dipengaruhioleh kurikulum. Dengan kata lain, kecenderungan kehidupan sosial po
litik di Indonesia yang bergerak ke arah menguatnya peran agama tidakdapat dipisahkan dari kenyataan bahwa lembaga-lembaga pendidikanIslam te1ah sukses menyemaikan semangat keberagamaan di tengahtengah masyarakat Indonesia.
Dengan menje1askan perubahan-perubahan yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan Islam, termasuk di dalamnya perubahan "kurikulum, saya berargumen bahwa perubahan lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak terlepas dari pengaruh sosial politik yang ada disekitarnya. Sebaliknya, perubahan-perubahan sosial politik juga tidakterlepas dari pengaruh lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dengan:demikian, saya secara argumentatif dapat menyatakan bahwa ada hubungan timbal balik antara perubahan kurikulum pendidikan Islam,baik di madrasah maupun sekolah, dengan perubahan sosial masyarakatIndonesia yang cenderung bergerak ke arah menguatnya peran agama.
Persoalannya kemudian adalah pemahaman agama yang bagaimanayang berhasil menyandingkan antara modernisasi pendidikan denganpolitik yang demokratis? Jika melihat berbagai pola perubahan lembaga-lembaga pendidikan Islam, maka dapat dipahami bahwa pemahaman keagamaan yang dapat memengaruhi perubahan pendidikanke arah modernitas adalah paham keagamaan yang terbuka. Artinya,ketika agama diyakini sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupanumat Islam, pada saat yang sama para peme1uk agama juga terbuka ataskemajuan peradaban yang tidak menganggu keyakinan agama mereka. Dengan demikian, te1ah terjadi pemisahan antara keyakinan agamayang dogmatis dan tidak bisa diubah dengan ajaran agama yang e1astisyang dapat beradaptasi terhadap perubahan.
Dewasa ini kecenderungan menguatnya pendidikan agama tidakhanya terjadi di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dalam sepuluhtahun terakhir, identitas sekolah umum berciri khas Islam tidak hanyamenjadi milik madrasah, tetapi juga sejumlah sekolah umum swastayang memberikan jumlah pe1ajaran dan kegiatan keagamaannya lebihtinggi dari sekolah umum yang lain. Beberapa sekolah mengidentifikasi diri mereka sebagai Sekolah Islam Terpadu, baik untuk jenjang SD,
457
BAGIAN KETIGA
SMP maupun SMA. Perbedaan sekolah-sekolah ini dengan madrasahadalah statusnya yang secara resmi merupakan sekolah umum dan berada di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan, sementara, madrasahtetap berada di bawah koordinasi Kementerian Agama. Kelahiran sekolah-sekolah umum dengan nuansa Islam tersebut semakin memperkuatasumsi kecenderungan kehidupan sosial yang bergerak ke arah menguatnya peran agama.
Penguatan semangat keberagamaan di dunia pendidikan juga terjadi pada ranah negara. Kelahiran Kurikulum 2013 secara kuat mengindikasikan hal tersebut. Meskipun ketika tullsan ini disusun Kurikulum2013 tersebut sedang ditunda pelaksanaannya, namun kehadirannyajelas memperUhatkan semangat keberagamaan yang tinggL Hal iui sekurang-kurangnya dapat dilihat pada dua hal. Pertama,jumlah pelajaranagama yang meuingkat secara kuantitati£ Jam pelajaran agama, yangsaat iui di sekolah umum disebut sebagai Pendidikan Agama dan BudiPekerti, mendapat tambahan dua jam pelajaran di SD dan satu jam pelajaran di SMP dan SMA. Kedua, dari segi substansi Kurikulum 2013mengenal empat kompetensi inti, salah satunya adalah kompetensi spiritual. Meskipun secara konseptual spiritualitas itu berbeda dengan religiusitas (religiousness), namun dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia pengembangan aspek spiritual tidak dapat dilepaskan dad peranagama. Kedua hal tersebut menunjukkan secara eksplisit bahwa agamadiberikan peran yang lebih besar dalam pendidikan nasionaL
.Dalam pembahasan tentang sejarah kurikulum, lvor E Goodsonmengatakan bahwa kurikulum adalah sebuah artefak sosial, sesuatuyang dibuat oleh dan untuk manusia; Dengan memahami bahwa kurikulum adalah sebuah artefak sosial, dapat diimplikasikan dua hal. Pertama, kurikulum bukanlah sebuah kitab sud yang tidak boleh diubah.Kurikulum adalah sebuah karya dinamis yang dapat diubah sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Kedua, kurikulum mencerminkan kondisi sosial ketika ia dibuat dan diberlakukan. Kurikulum yang kaku dansentralistik mencerminkan suasana politik yang otQritarian dan suasanasosial yang tidak dinamis. Kurikulum yang dinamis mencerminkan SUasana politik yang terbuka dan suasana sosial yang demokratis.
Kurikulum di Indonesia senantiasa berubah mencerminkan suasana
458
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDIDIKAN
sosial politik yang dialami bangsa ini. Pada era Orde Lama, kurikulum
be1um memiliki bentuk yang pasti, pendidikan masih mencari bentuk
nya. Pendidikan agama bahkan be1um diakui sebagai bagian integral
dari pendidikan nasional. Pada masa Orde Barn, kurikulum demikian
sentralistik dan dominasi negara sangat terasa di dunia pendidikan. Se
mentara pada masa pasca-Orde Barn, perubahan kurikulum cenderung
mengarah kepada desentrallsasi bahkan kurikulum berbasis sekolah (sc-,
hool-based curriculum). Hal ini terbukti dengan pemberlakuan kuriku
lum 2004 dan 2006 yang berorientasi pada kurikulum berbasis sekolah.Kurikulum 2013 sebenarnya memiliki kecenderungan kembali ke
pada peran sentral pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Dari sisi
politik je1as hal ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan
demokratisasi. Namun kecenderungan tersbut dipaharni sebagai akibat dari masih lemahnya peran pemerintah daerah dan sekolah untuk
mengembangkan pendidikan yang bermutu. Penundaan pemberlakuan Kurikulum 2013 dan penetapan pemberlakuan kembali kurikulum
2006 menimbulkan berbagai pertanyaan dan spekulasi. Apakah kebi
jakan tersebut lahir karena ingin mengurangi peran agama yang terlihatmenonjol di Kurikulum 2013? Ataukah ingin mengembalikan semangat
. demokratisasi pendidikan lewat kurikulum berbasissekolah (KTSP)?
Ataukah benar-benar semata-mata karena teknis implementasi yang
be1um baik? Tentu dunia pendidikan Indonesia menunggu jawabannya.
Kembali ke KampusSetelah menye1esaikan kuliah di McGill, tahun saya kembali ke
kampus tahun. Saat itu, kampus tengah mengalami transformasi besar
dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri) menjadi DIN (Universitas
Islam Negeri) di bawah kepemimpinan Pro£ Azyumardi Azra. Banyakperubahan tetjadi mengiringi perubahan status tersebut, termasuk per
ubahan fisik kampus, penambahan jumlah fakultas dan peningkatan
jumlah sivitas akademika. Tantangan terbesarnya tentu saja adalah ba
gaimana meningkatkan kualitas layanan dan kualitas lulusan.
Di tengah-tengah berbagai perubahan tersebut, saya mendapat tugas untuk ikut meningkatkan kualitas layanan kepada mahasiswa. De
sember 2006 saya diangkat sebagai Kepala Perpustakaan Utama DIN
459
BAGIAN KETIGA
Jakarta. Tentu saja saya terkejut dan merasa tidak siap untuk menerima
tugas tersebut, apalagi mengingat latar be1akang saya yang bukan dari
bidang perpustakaan. Tetapi, akhirnya saya menerima tugas tersebutsete1ah mempertimbangkan dua hal: Pertama, beberapa dosen senior
meyakinkan saya untuk me1aksanakan tugas tersebut. Kedua, ini adalah
kesempatan buat saya untuk berbuat sesuatu sebagai rasa terima kasih
saya kepada DIN. DIN te1ah memberikan saya akses untuk kuliah di
luar negeri, mewujudkan mimpi-mimpi saya.
Sebagai orang bam di perpustakaan, maka saya hams belajar banyak dari para pustakawan yang stidah lebih banyak berkecimpung di
Perpustakaan kampus. Dari proses diskusi dan be1ajar dari para pus
takawan ifulah saya bersama-sama staf perpustakaan kemudian mulai
me1akukan beberapa perubahan. Di awal tugas saya di perpustakaan,para pustakawan sepakat untuk me1akukan stock-opname menyeluruh
terhadap koleksi perpustakaan. Hal ini penting untuk mengetahui ke
senjangan antara data jumlah koleksi buku dengan fakta koleksi yang•
sebenarnya. Hasilnya cukup mencengangkan: Ada sekitar 3.000 koleksiperpustakaan tidak diketahui di mana rimbanya. Maka mulai saat itu
dilakukan pengetatan terhadap peminjaman koleksi perpustakaan. Di
samping itu, diketahui pula bahwa sejumlah besar kondisi buku di per
pustakaan dalam keadaan rusak: dari yang rusak ringan hingga yang
rusak berat. Maka proses perbaikan atau penggantian pun dilakukansecara bertahap. Se1ain itu, para pustakawan juga sepakat untuk me
maksimalkan layanan jam istirahat dengan menghilangkan jam tutupistirahat siang dan menambah waktu lembur malam dan lembur hari
Sabtu. Semangat perubahan juga ditandai dengan program digitalisasi
dan pembuatan program e-katalog yang merupakan hasil kerja sarna
dengan Universitas Indonesia.
Sete1ah se1esai mengemban tugas sebagai Kepala Perpustakaan se
lama satu periode (2006-2010), saya kemudian ditugaskan untuk me
ngepalai Pusat Bahasa DIN Jakarta. Seperti halnya jabatan sebe1um
nya, saya juga terkejut dengan penugasan ini mengingat latar belakang
pendidikan saya bukan bahasa. Oleh karena itu, saya pun hams be1ajarbanyak dari para dosen bahasa dan pimpinan Pusat Bahasa sebe1um
nya, yaitu Dr. Atiq Susilo, yang sangat terbuka dan berkenan membagi
460
DARI SELATAN KE UTARA: MENYELAMI MAKNA PENDlDlKAN
pengalaman dan pandangan bijaknya.
Mengingat penguasaan bahasa adalah salah satu kul'lci sukses ma
hasiswa, maka tim Pusat Bahasa melakukan pembenahan dalam bebe
rapa hal. Pusat Bahasa mendaftarkan TOAFL (Test ofArabic Amerika
Serikat a Foreign Language) sebagai hak cipta milik DIN Jakarta ke
Kementerian Kehakiman. Untuk pengembangan kemampuan bahasa
Inggris, Pusat Bahasa juga membuka kerja sarna dengan pemilik hakcipta TOEFL yaitu ETS (Education Testing Services) dan ITe (per- "
wakilan ETS di Indonesia) untuk menjadikan DIN Jakarta sebagai
lembaga resmi pengguna TOEFL dan bisa menyelenggarakan TO
EFL iBT. Kerja sarna juga dilakukan dengan Kedutaan Perancis danIFI (lembaga Pengajaran Bahasa Perancis di Indonesia). Pusat Bahasa
menjadi tempat penyelenggaraan kursus Bahasa Perancis resmi yang
diakui oleh Kedutaan Perancis. Selain itu, Pusat Bahasa juga menjalin
keJja sarna dengan Badan Bahasa Kemendikbud untuk meningkatkan
peran DIN Jakarta dalam hal pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing. Dalam hal jaringan, Pusat Pengembangan Bahasa DIN
Jakarta juga berperan aktif dalam pembentukan Asosiasi Pusat BahasaPTAIN se-Indonesia.
Setelah mengabdi di Pusat Bahasa selama empat tahun (2011
2015), saya kemudian diberi amanah untuk berkarya sebagai Wakil De
kan bidang Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Tugas di
FITK sebenarnya bukan hal yang asing, karena sepanjang karier saya dikampus, saya adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Namun demikian, melihat fakta bahwa FITK memiliki ribuan maha
siswa dan dua belas program studi, maka diperlukan tenaga dan pikiran
yang kuat untuk memastikan berbagai program akademik di fakultasbeJjalan dengan baik.
Daftar PustakaApple, M. W. 2000. Official knowledge: Democratic education in a
conservative age. New York: Routledge.
Apple, M. W. 2004. Ideology and curriculum (3rd Edition). Boston: Routledge & Kegan Paul.
Berger, P. & Luckman, T. 1966. The Social Construction ofReality:A Tre-
461
II
BAGIAN KETIGA
atise in the Sociology ofKnowledge. New York: Doebleday.
Daradjat, Z. 1996. "Gigih memperjuangkan madrasah," dalam PanitiaPenulisan Biography KH Imam Zarkasyi (Ed.), Imam Zarkasyi di
mata ummat (him. 630-635). Ponorogo: Gontor Press.
Darajat, Z. 1977. "Pembinaan madrasah dan perguruan agama Islamlainnya dan permasalahannya," dalam Sekretariat MP3A (Ed.)Kegiatan MP3A sejakJuni 1975 s.d. Juli 1977 (him. 77-88). Jakarta:DitjenBinbaga Islam.
Goodson, I.E 1994. Studying curriculum: Cases and method. Toronto:OISE Press. Him. 19.
Goodson, I. F. 1990. 'Studying curriculum: Towards a socialconstructionist perspective'. Journal of Curriculum Studies. Vol. 22,No.4,pp.299-312.
Kliebard, H. M. 1992. 'Constructing a history of the Americancurriculum,'in P. W.Jackson (Ed.) Handbook ofresearch on curriculum
(pp. 157-184). New York: Macmillan.
Kliebard, H. M. (1995) the strugglefor the American curriculum, 1893
1958. New York: Routledge.
Lee, Kam Hing. 1995. Education and politics in Indonesia 1945-1965.
Kuala Lumpur: The University ofMalaya Press. Him. 75.
Seljak, D. 1996. 'Why the quiet revolution was "quiet": the Catholic church's
reaction to the secularization ofnationalism in Quebec tifter 1960'dalamCCliA, Historical Studies, Vol. 62. Him. 109-124.
Spencer, H.1898. Education: Intellectual, Moral, andPhysical. NewYork:Appleton.
462
--r---Y/-7--.. -~ •
gsgi sebagian orang, menjadi santri itu bU.kan pili han diri sendiri,apalagi pilihan hati. Walaupun tak dapat dimungkiri, ada
yang memang mendambakan kehidupan pesantren sejaksemula, tapi ada banyak yang menjadi santri karena orangtua ataukeadaan yang memaksa. Karena itu, menjadi santri bukan hanyasekadar datang dan kemudian belajar dengan manis, pergulatandan perjuangan menghadapi diri sendiri sudah dimulai sejak niat ituditancapkan. Akan tetapi, dari pergulatan dan perjuangan tersebutpelajaran dan hikmah dipetik, untuk kemudian menjadi kenanganyang dapat diceritakan dan sumber inspirasi bagi generasi di masamendatang.
Sosok-sosok yang diceritakan dalam buku ini adalah mereka yangsudah mengalami pergulatan tersebut bertahun-tahun silam.Mereka pula yang kemudian merasakan manisnya buah dariperjuangan dan pelajaran yang didapat dalam pesantren. Merekajuga yang membuktikan betapa ilmu tentang kehidupan yangdidapat kala menempuh pendidikan pesantren tersebut membuatmereka bertahan, tegar, sekaligus cerdas dalam menghadapirintangan dan terjangan arus kehidupan; dan akhirnya, menjadikanmereka sebagai tonggak baru dalam pemikiran dan pergerakanIslam di Indonesia.
•