unttuk tugas kelas

38
erlindungan HAM di Indonesia dan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu (Paper disampaikan dalam “Seminar Hak Asasi Manusia” yang diselenggarakan oleh PAKORBA di Solo, 5 November 2002) Pengantar: Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia Pada tanggal 23 September 1999, telah disahkan UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai bentuk realisasi dari Tap MPR no. XVII tahun 1998. Undang-undang ini memuat sebuah daftar panjang hak-hak asasi manusia yang diakui dan wajib dipenuhi dan dilindungi oleh negara Indonesia. UU ini mengakui hak untuk hidup (pasal 9), hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan (pasal 10), hak untuk mengembangkan diri (pasal 11-16), hak untuk memperoleh keadilan (pasal 17-19), hak atas kebebasan pribadi (pasal 20- 27), hak atas rasa aman (pasal 28-35), hak atas kesejahteraan (pasal 36-42), hak untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 43-44), hak-hak perempuan (pasal 45-51), dan hak-hak anak (pasal 52-66). Selain menjamin hak-hak tersebut, UU ini juga menegaskan adanya tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang mendasar dari pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak-hak asasi manusia tersebut. Patut dicatat bahwa termasuk dalam “hak untuk memperoleh keadilan” sebuah aturan yang melarang seseorang diproses pengadilan dan dijatuhi hukuman pidana berdasarkan peraturan perundangan yang belum dibuat saat tindak pidana dilakukan (lihat pasal 18 ayat 2 dan juga pasal 4). Ini berarti seseorang tidak dapat dihukum atas dasar hukum yang berlaku surut. Namun, dalam Penjelasan atas pasal 4 UU tersebut, dinyatakan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran

Upload: nugraha-yudha

Post on 03-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

Page 1: Unttuk tugas kelas

erlindungan HAM di Indonesia dan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

(Paper disampaikan dalam “Seminar Hak Asasi Manusia” yang diselenggarakan oleh PAKORBA di Solo, 5 November 2002)

Pengantar: Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia

Pada tanggal 23 September 1999, telah disahkan UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai bentuk realisasi dari Tap MPR no. XVII tahun 1998. Undang-undang ini memuat sebuah daftar panjang hak-hak asasi manusia yang diakui dan wajib dipenuhi dan dilindungi oleh negara Indonesia.

UU ini mengakui hak untuk hidup (pasal 9), hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan (pasal 10), hak untuk mengembangkan diri (pasal 11-16), hak untuk memperoleh keadilan (pasal 17-19), hak atas kebebasan pribadi (pasal 20-27), hak atas rasa aman (pasal 28-35), hak atas kesejahteraan (pasal 36-42), hak untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 43-44), hak-hak perempuan (pasal 45-51), dan hak-hak anak (pasal 52-66). Selain menjamin hak-hak tersebut, UU ini juga menegaskan adanya tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang mendasar dari pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak-hak asasi manusia tersebut.

Patut dicatat bahwa termasuk dalam “hak untuk memperoleh keadilan” sebuah aturan yang melarang seseorang diproses pengadilan dan dijatuhi hukuman pidana berdasarkan peraturan perundangan yang belum dibuat saat tindak pidana dilakukan (lihat pasal 18 ayat 2 dan juga pasal 4). Ini berarti seseorang tidak dapat dihukum atas dasar hukum yang berlaku surut. Namun, dalam Penjelasan atas pasal 4 UU tersebut, dinyatakan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”. Selain itu, UU ini juga menegaskan bahwa “ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi bagian hukum nasional” (pasal 7 ayat 2).

Bagian lain dari UU no.39 tahun 1999 ini mengatur tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai sebuah lembaga independen yang mempunyai fungsi, tugas, otoritas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan penyelidikan, kampanye, pamantauan, dan mediasi kasus-kasus atau isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia. UU ini juga memungkinkan masyarakat untuk membuat dan mengajukan komplain atau pengaduan serta penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia; serta menyumbang rekomendasi mengenai kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM.

UU no.39 tahun 1999 ini sekaligus juga memperkuat kewenangan Komnas HAM yang sebelumnya diatur melalui Keppres no.50 tahun 1993. Penguatan ini terutama terletak pada

Page 2: Unttuk tugas kelas

kewenangan untuk memantau dan melaporkan kepada publik adanya pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling penting, dalam fungsi penyelidikannya, Komnas HAM dibekali dengan kewenangan subpoena dalam menangani kasus-kasus hak asasi manusia. Ini berarti berdasarkan UU no.39 tahun 1999 Komnas HAM mempunyai kekuasaan secara hukum untuk memanggil secara paksa para saksi, baik dari pihak pengadu maupun pihak yang diadukan (Lihat pasal 89 ayat 3(c) dan (d), serta pasal 95). Kewenangan inilah yang kemudian digunakan untuk memanggil para perwira tinggi militer untuk memberikan keterangan berkaitan dengan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur kepada KPP HAM.

Undang-undang ini juga memberi Komnas HAM wewenang untuk merujukkan kasus kepada lembaga pengadilan. Meskipun dalam undang-undang ini mediasi ditetapkan sebagai metode penyelesaian kasus atau pengaduan yang harus diutamakan, paling tidak ada aturan yang membolehkan satu pihak yang bertikai mengajukan kasus ke pengadilan jika pihak lainnya tidak melaksanakan perjanjian mediasi sebagaimana mestinya.

Komnas HAM diberi waktu dua tahun sejak disahkannya undang-undang ini pada September 1999 untuk melakukan perubahan-perubahan sebagaimana dimandatkan oleh UU no.39 tahun 1999, termasuk terhadap struktur organisasi, keanggotaan, penugasan, tanggung jawab, dan kebijakan internalnya.

Jika dilihat dari sudut pandang yang optimistik, disahkannya Undang-undang No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM merupakan sebuah langkah positif. Selain mengandung beberapa wewenang penting dalam penerapan hukum yang paling tidak diharapkan akan dapat mendongkrak kredibilitas Komnas HAM di mata publik, Undang-undang ini juga memberikan Komnas HAM anggaran yang terpisah dari anggaran Sekretariat Negara seperti yang diatur sebelumnya, yang secara teoritik akan memberikan independensi yang lebih kepada Komnas HAM, meskipun dalam prakteknya masih ada beberapa “perjanjian idiosinkratis” yang tidak beranjak dari tempatnya.

Jika diperhatikan lebih mendalam, sebetulnya masih ada lagi beberapa “kelemahan” yang perlu untuk di amandemen. Misalnya saja, UU ini tidak memberi Komnas HAM wewenang untuk bekerja di bidang hak orang-orang cacat. Mandat Komnas HAM hanya tercantum pada bab khusus mengenai Komnas HAM dan tidak terkonsentrasi pada pasal-pasal tentang hak-hak dasar. Kekurangan-kekurangan lain adalah yang berkaitan dengan klasifikasi hak-hak asasi manusia yang kurang sesuai atau tidak mengikuti standar internasional, seperti misalnya yang tersusun dalam Human Rights Documentation System (HURIDOCS).

UU no.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

Selain berisi daftar tentang hak-hak asasi manusia dan mengatur mengenai Komnas HAM, UU no.39 tahun 1999 juga memandatkan pembentukan sebuah pengadilan hak asasi manusia dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak disahkannya undang-undang tersebut untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran berat hak asasi manusia (Lihat

Page 3: Unttuk tugas kelas

pasal 104). Yang dimaksud dengan “pelanggaran berat hak asasi manusia oleh undang-undang ini meliputi pembunuhan masal (genocide), pembunuhan yang sewenang-wenang dan eksekusi di luar pengadilan (arbitrary or extra-judicial killing), penyiksaan, penghilangan paksa, perbudakan, dan diskriminasi yang sistematik (Lihat Penjelasan UU no.39 tahun 1999 pasal 104).

Mandat tersebut di atas direalisasikan dengan dikeluarkannya UU no.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh DPR pada tanggal 6 Nopember 2000, yang di dalamnya mencantumkan ketentuan untuk penerapan hukum secara retrospektif. UU Pengadilan HAM menyediakan dasar teknis dalam mendirikan pengadilan HAM, sedangkan UU no 39/1999 tentang HAM mengemukakan prinsip-prinsip dan bentuk HAM yang diakui oleh hukum Indonesia

UU no.26/2000 ini memuat ketentuan tentang pembentukan pengadilan HAM khusus (ad hoc) untuk mengadili pelanggaran HAM di masa lalu yang terjadi sebelum undang-undang berlaku sedangkan pengadilan HAM permanen hanya menangani kejahatan yang terjadi terjadi setelah pengesahan UU tersebut. Namun, pengadilan ad hoc seperti itu hanya didirikan untuk mengadili kasus khusus dan dibentuk melalui prosedur yang khusus pula. Presiden hanya dapat mendirikan pengadilan ad hoc seperti ini jika ada rekomendasi eksplisit dari DPR (ayat 43). Sayangnya tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai teknis “pemberian rekomendasi” ini, yang menyebabkan proses pembentukan pengadilan menjadi sebuah proses politiuk ketimbang sebuah proses hukum.

Masalah yang kemudian muncul adalah sampai sejauh mana pengadilan HAM dapat memenuhi tuntutan dan harapan dari aktivis pembela HAM dan korban pelanggaran HAM di rezim Soeharto. Hal menjadi pertanyaan besar, apalagi jika melihat adanya tarik ulur politik yang terjadi selama penyusunan UU ini. Ketika UU Pengadilan HAM diajukan ke DPR pada bulan Juni 2000, praktek retroaktif dikritik khususnya oleh militer dan wakil-wakil Golkar yang sebagian besar berhubungan dengan rezim orde baru Soeharto. DPR juga telah beberapa kali menunda perdebatan tentang rancangan UU tersebut.

Selain itu, ada tiga masalah utama yang muncul bersamaan dengan UU tersebut selain masalah retroaktivitas: cakupan kejahatan yang dapat diproses oleh pengadilan ini, jaminan ketidakberpihakan (guarantee of impartiality), dan jaminan kemandirian (guarantee of independence).

Pelanggaran HAM Berat dalam UU ini sebagaimana tercantum dalam pasal 7 hanya meliputi dua macam kejahatan yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Implikasinya, Para pelanggar HAM yang bisa diadili menjadi semakin sedikit karena kejahatan yang dapat diadili oleh Pengadilan ini hanya meliputi dua jenis kejahatan itu saja, padahal diluar dua jenis kejahatan tersebut yang merupakan kejahatan terhadap masyarakat Internasional (delicta juris gentium) tidak ter-cover di dalam UU ini. Oleh karena itu Pengadilan HAM ini tidak akan dapat melaksanakan efective remedy bagi korban pelanggaran HAM. Sementara itu, pengertian “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam pasal 9 UU ini juga sumir karena tidak

Page 4: Unttuk tugas kelas

ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidak jelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan (pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatan-kejahatan yang dimaksud akan menjadi sulit.

Persyaratan pengangkatan para hakim dan jaksa ad hoc untuk keperluan pengadilan HAM juga mempunyai implikasi yang serius berkaitan dengan jaminan ketidakberpihakan (guarantee of impartiality) dan jaminan kemandirian (guarantee of independence). Hal ini terjadi karena Kemungkinan masuknya penuntut umum non karier di luar kejaksaan dan oditur militer, sangat kecil kecuali bagi para pensiunannya Karena dibatasi oleh syarat bahwa calon Jaksa ad hoc harus berpengalaman sebagai penuntut umum di pengadilan. Bahasa yang digunakan dalam pasal 23 yang mengatur mengenai hal ini juga berimplikasi bahwa penuntut ad hoc yang berasal dari unsur pemerintah dan atau masyarakat bersifat pelengkap bukan suatu hal yang wajib. Masalah umur juga akan menhambat masuknya calon PU yang berkompeten karena dibatasi oleh umur sekurang-kurangnya 40 Tahun. Kemungkinan orang (berkompeten) yang ingin menjadi hakim ad hoc menjadi semakin kecil karena masa jabatan hakim yang lama (5 tahun), dan kemudian terikat dengan Keppres Nomor 13 Tahun 1993 yang mensyaratkan bahwa seorang hakim diperbolehkan untuk merangkap pekerjaanya hanya sebagai tenaga pengajar. Ini berarti hanya kalangan akademis dan pensiunan saja yang bisa mendaftarkan diri untuk menjadi hakim ad hoc.

Penempatan pengadilan HAM didalam lingkungan peradilan umum menjadikannya sangat bergantung pada mekanisme birokrasi dan administrasi peradilan umum yang ditempatinya. Ini juga berarti posisi politik pengadilan HAM akan dipengaruhi oleh Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman dan HAM. Secara teoretis, hal ini akan berpengaruh pada independensi pengadilan HAM. Selain itu, UU no.26 tahun 2000 ini tidak dilengkapi dengan hukum acara yang memadai untuk menyidangkan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), serta tidak dilengkapi dengan aturan perundangan mengenai perlindungan saksi dan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang dapat dioperasionalisasikan dengan efektif.

Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu Melalui Pengadilan

Mekanisme pengadilan seringkali dianggap sebagai salah satu cara terbaik untuk menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran HAM di dalamnya. Jika sebuah sistem pengadilan dapat berjalan dengan adil, independen dan kompeten. Selain itu vonis dan hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan diharapkan dapat menimbulkan efek jera (detterent effect) yang dapat mencegah terulangnya kembali kejadian serupa di masa mendatang, paling tidak oleh pelaku yang sama.

Kemampuan untuk menjatuhkan suatu vonis bersalah serta menetapkan hukuman membuat pengadilan dapat melaksanakan tiga fungsi publik. Pertama, adalah untuk menjamin retributive justice. Walaupun retributive justice hanya satu dari berbagai aspek keadilan,

Page 5: Unttuk tugas kelas

namun tak urung banyak orang merasa bahwa hukuman bagi pihak yang bersalah –yang tidak berpengaruh langsung kepada korban-- sudah merupakan bagian dari keadilan. Kedua, hukuman-hukuman dan vonis pidana dapat membantu mengatasi impunity serta menghentikan suatu pola yang terjadi di rezim-rezim otoriter dimana aparat negara, anggota-anggota militer dan polisi dapat melakukan tindakan yang bersifat kriminal dan mereka tidak akan pernah dituntut atau dihukum. Ketiga, dengan menghancurkan “mitos” dan persepsi impunity, pengadilan pidana dapat membantu membangun supremasi hukum karena menegaskan bahwa tidak seorangpun, walaupun dia berkuasa sebagai pemimpin negara, berada di atas hukum dan tidak dapat dihukum.

Pada waktu yang bersamaan haruslah disadari bahwa ada beberapa batasan-batasan penting dalam penerapan pengadilan pidana dan konsekuensinya. Terdapat beberapa alasan untuk itu. Pengadilan pidana pelanggaran HAM di masa lalu cenderung merupakan sesuatu yang harus membutuhkan biaya yang sangat mahal karena membutuhkan penyelidik, penuntut dan hakim yang profesional. Hal ini penting mengingat bahwa dalam sebuah diktator atau pemerintahan yang represif, pengadilan sering dibiarkan dengan tidak efektif: hakim-hakim secara politis diajak bekerjasama atau korup, sementara hakim-hakim yang baru ditunjuk serta jaksa-jaksa kekurangan tenaga ahli dan sumber daya.

Sejarah di berbagai negara telah menujukkan bahwa pada umumnya relatif hanya sejumlah kecil kasus dapat diajukan ke pengadilan. Contohnya, diperkirakan terdapat lebih dari 14.000 kasus penghilangan paksa di Indonesia. Tidak akan cukup baik secara finansial, fisik dan sumber daya manusia untuk menyidangkan 14.000 kasus dalam waktu yang relatif singkat, belum lagi memperhitungkan proses rehabilitasi dan/atau kompensasi bagi korban. Ini belum termasuk pelanggaran HAM jenis lainnya, seperti eksekusi tanpa proses peradilan, penyiksaan, kejahatan terhadap kemanusiaan, pemerkosaan sistematis, dan sebagainya.

Terkadang kejahatan-kejahatan yang diajukan telah terjadi bertahun-tahun yang lalu dan ini menjadi lebih sulit untuk dibuktikan, karena bukti telah hilang, ingatan para saksi sudah tidak lengkap atau segar, dan banyak dari para saksi serta pelaku-pelakunya telah meninggal dunia. Selain itu, para pelaku kejahatan HAM seringkali menutupi bukti dari kejahatan-kejahatan tersebut, menghancurkan dokumen-dokumen, atau memberikan perintah secara tidak tertulis, serta hanya melakukan apa yang diperintahkan secara lisan, atau mengintimidasi atau membunuh saksi-saksi agar timbul masalah dalam proses pembuktian selama persidangan. Ini merupakan suatu usaha mencapai keadilan yang sulit dicapai, terlebih di Indonesia, dimana barang bukti yang bersifat hard-evidence dan saksi langsung lebih dari satu orang disyaratkan oleh hukum (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, KUHAP) terhadap kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan.

Persidangan juga cenderung menjadi mahal dan memakan waktu lama karena guna mencapai tujuannya yakni salah satunya mendemonstrasikan pentingnya supremasi hukum, maka persidangan itu harus mengikuti proses hukum (due process of law) yang sesuai dengan standar internasional, khususnya ketika menyidangkan orang-orang sebelumnya termasuk dalam “kelas” penguasa. Dalam konteks Indonesia, harus disadari bahwa sumber daya yang

Page 6: Unttuk tugas kelas

diperlukan tidak hanya dalam hal ada atau tidaknya dana yang cukup, melainkan juga dalam hal kemauan politis (political will) serta kebutuhan akan penuntut dan penyelidik yang terlatih, cekatan dan berpengalaman untuk membuktikan kasus-kasus ini. Ini juga berarti lebih banyak dana harus dialokasikan dari anggaran negara bagi tujuan reformasi hukum.

Terakhir, terdapat sebuah realita politis yang nampaknya juga terdapat pada pengalaman sebagian besar negara yang melalui transisi demokratis, yaitu bahwa hanya terdapat kesempatan yang secara relatif sangat singkat untuk mengajukan tuntutan akan kejahatan-kejahatan yang telah lalu. Terlebih lagi, terdapat konsekuensi-konsekuensi sebagai akibat dari persidangan atau pengadilan pidana yang berakhir dengan salah satu diantara pilihan berikut: Jika terlalu lama waktu yang lewat dan belum ada sebuah tuntutan pun yang diajukan ke pengadilan atau diselesaikan, publik cenderung menjadi lelah untuk berfokus pada masa lampau dan kemauan politisnya berkurang untuk mendukung tuntutan yang diajukan.

Atas dasar semua alasan ini, dapat disimpulkan sementara bahwa penuntutan-persidangan-penghukuman penting demi keadilan, untuk membangun supremasi hukum dan konsolidasi transisi demokratik, sementara pada waktu yang bersamaan, harus disadari bahwa terdapat batasan-batasan dimana dapat menyebabkan sangat sedikit sukses yang dapat diraih melalui pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, seperti pengalaman di sebagian besar negara-negara di dunia.

Simpulan

Pengadilan dinilai banyak praktisi legal sebagai hal yang penting untuk menunjukkan supremasi nilai-nilai dan norma-norma demokrasi agar kepercayaan rakyat dapat diraih. Kegagalan mengadili, dapat menyebabkan dapat menimbulkan sinisme dan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem politik. Beberapa analis percaya bahwa pengadilan dapat meningkatkan konsolidasi demokrasi jangka panjang. Salah satu argumennya yaitu bahwa jika tidak ada kejahatan yang diselidiki dan diadili, maka tidak akan tumbuh rasa percaya maupun norma demokrasi dalam masyarakat sehingga tidak akan ada pula konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya.

Dari sini, muncul pendapat bahwa proses legal, dalam hal ini adalah membawa para pelaku kejahatan masa lalu ke pengadilan, selama dan setelah pemerintahan transisi amat penting karena proses ini mempunyai peran besar dalam upaya menghilangkan praktek kekebalan hukum atau impunity maupun “perlakuan istimewa” lain yang sebelumnya selalu dinikmati oleh para pemimpin negara dan aparat negara tingkat tinggi yang melanggar HAM di masa lalu. Menurut argumen di atas, pengadilan sebagai proses legal untuk mengakhiri praktek “impunity” telah menjadi syarat utama demi keberhasilan dalam menjunjung tinggi keadilan di masa yang akan datang.

Namun perlu dicatat bahwa di Indonesia terdapat situasi-situasi politik yang rumit serta tidak pasti, pelanggaran HAM berat di masa lalu (baik itu di masa lalu yang baru saja terjadi

Page 7: Unttuk tugas kelas

maupun yang telah lama berlalu) yang bersifat sangat massive, dan suatu sistem dan praktek penegakan hukum yang relatif lemah.

Pengadilan HAM di Indonesia yang dibentuk oleh UU no.26 tahun 2000, sama sekali bukan ditujukan untuk mengungkap fakta pelanggaran yang terjadi, apalagi untuk meluruskan sejarah. Pengadilan ini “hanya” didesain untuk membuktikan apakah mereka yang diduga paling bertanggung jawab terhadap sebuah kejahatan kemanusiaan atau genosida benar-benar paling bertanggung jawab atau tidak. Kebenaran yang ingin dibuktikan oleh sebuah pengadilan adalah kebenaran material, yang dibatasi oleh prosedur-prosedur pembuktian sebagaimana diatur oleh KUHAP.

Belajar dari proses pengadilan ad hoc untuk kasus Timor Timur, dimana sebagian besar terdakwa akhirnya diputuskan bebas karena tidak terbukti kesalahannya di pengadilan, serta due process of law dari pengadilan tersebut yang berada di bawah standar, bahkan untuk sebuah pengadilan pidana sekalipun, serta banyaknya kelemahan-kelemahan hukum (legal loopholes) dari UU no.26 tahun 2000 sebagai instrumen pembentuk pengadilan HAM, maka bangsa Indonesia membutuhkan mekanisme selain pengadilan HAM untuk mengungkapkan dan menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. Dan belajar dari pengalaman bernegara selama ini, penyelesaian masalah bangsa tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, karena seringkali hasilnya di luar harapan masyarakat banyak. Artinya, masyarakat harus bisa menawarkan sebuah bentuk penyelesaian masalah tersebut.

http://papers-agungyudha.blogspot.com/2002/11/perlindungan-ham-di-indonesia-dan.html

Page 8: Unttuk tugas kelas
Page 9: Unttuk tugas kelas

Pengertian dan Definisi HAM :

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan

yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara

yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status,

golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.

Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi

manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu

Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum

terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud

ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di

atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :

1. Hak asasi pribadi / personal Right

- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat

- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat

- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan

- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang

diyakini masing-masing

2. Hak asasi politik / Political Right

- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan

- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan

- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya

- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right

- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan

- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns

- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths

- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli

- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak

- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll

- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu

- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak

5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights

- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan

- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di

mata hukum.

6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right

- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan

Page 10: Unttuk tugas kelas

- Hak mendapatkan pengajaran

- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999: Telaah dalam Perspektif Islam

Catatan Pembuka

Dewasa ini hak asasi manusia tidak lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme seperti dahulu. Hak asasi manusis lebih dipahami secara humanistik sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat martabat kemanusiaan, apa pun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin  dan pekerjaannya. Konsep tentang hak asasi manusia dalam konteks modern dilatarbelakangi oleh pembacaan yang lebih manusiawi tersebut, sehingga konsep HAM diartikan sebagai berikut:

“Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings”

Dengan pemahaman seperti itu, konsep hak asasi manusia disifatkan sebagai suatu common standard of achivement for all people and all nations, yaitu sebagai tolok ukur bersama tentang prestasi kemanusiaan yang perlu dicapai oleh seluruh masyarakat dan negara di dunia.

Pada tataran internasional, wacana hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejak diproklamirkannya The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, telah tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan penegakan hak asasi manusia internasional.  Pertama, diterimanya dua kovenan (covenant) PBB, yaitu yang  mengenai Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dua kovenan itu sudah dipemaklumkan sejak tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima negara anggota PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program Aksinya oleh para wakil dari 171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia PBB di Wina, Austria. Deklarasi yang kedua ini merupakan kompromi antar visi negara-negara di Barat dengan pandangan negara-negara berkembang dalam penegakan hak asasi manusia.

Di Indonesia, diskursus tetang penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi pemebicran yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat implementasi untuk membentuk jaringan kerjsama guna menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika intrenal yang merespon gejala internasional secara positif. 

Page 11: Unttuk tugas kelas

Adalah pada tahun 1999 lah, Indonesai memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia. Diberlakukannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih jauh isinya.

Beberapa pertanyaan mendasar muncul pada waktu itu sampai saat ini. Bagaimana konsep HAM menurut undang-undang tersebut? Sejauh mana memiliki titik relevansi dengan dinamisasi masyarakat? Bagaimana penegakannya selama ini? Seberapa besar ia mengakomodasi nilai-nilai universal?   

Tulisan singkat ini tidak akan menjawab semua persoalan di atas, tetapi hanya akan mencoba menelisik persoalan HAM di Indonesia dengan melakukan pengujian terhadap instrumen UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM secara sederhana dan melakukan studi komparatif dengan konsep HAM dalam Islam mengingat keberadaan Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim.  Pembahasan akan diawali dengan membeberkan konsep HAM dalam kerangka UU. No. 39 tahun 1999, dilanjutkan dengan HAM dalam perspektif Islam dan diakhiri dengan analisis berupa kajian UU tentang HAM ditinjau dalam perspektif Islam.

Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999

Hak Asasi Manusia  adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

Pelanggaran Hak Asasi Manusia  adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.

Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Page 12: Unttuk tugas kelas

2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif  oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

Masalah hak asasi manusia menurut para sarjana yang melakukan penelitian pemikiran Barat tentag negara dan hukum, berpendapat bahwa secara berurut tonggak-tonggak pemikiran dan pengaturan hak assasi manusia mulai dari Magna Charta (Piagam Agung 1215), yaitu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja John dari Inggris kepada bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan raja tersebut. Kedua adalah Bill of Right (Undang-Undang Hak 1689) suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris, setelah dalam tahun 1688 melakukan rrevolusi tak berdarah (the glorius revolution) dan berhasil melakukan perlawanan terhadap raja James II. Menyusul kemudian The American eclaration of Indepencence of 1776, dibarengi dengan Virginia Declaration of Right of 1776. seterusnya Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak

Page 13: Unttuk tugas kelas

manusai dan warga negara, 1789) naskah yang dicetuskan pada awal revolusi Perancis sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan raja dengan kekuasaan absolut. Selanjutnya Bill of Right (UU Hak), disusun oleh rakyat Amerika Serikatr pada tahun 1789, bersamaan waktunya dengan revolusi Perancis, kemudain naskah tersebut dimasukkan atau doitambahkan sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat pada tahun 1791. 

Beberapa pemikiran tentang hak asasi manusia pada abad ke 17 dan 18 di atas hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja, misalnya persamaan hak, kebebasan, hak memilih dan sebagainya. Sedangkan pada abad ke 20, ruang lingkup hak asasi manusia diperlebar ke wilayah ekonomi, sosial, dan budaya. 

Berdasar naskah-naskah di atas, Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika ke-32) meringkaskan paling tidak terdapat Empat Kebebasan (The Four Freedoms) yang harus diakui, yakni (1) freedom of speech (kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat, (2) freedom of religion (kebebasan beragama), (3) freedom from want (kebebasan dari kemiskinan), dan (4) freedom from fear (kebebasan dari rasa takut).  

Jika dilihat lebih seksama, semua yang termasuk isi utama dari naskah-naskah politik di atas, yang berkaitan dengan hak asasi manusia, terdapat dalam al-Qur’an, sedangkan Empat Kebebsan terdapat dalam Konstitusi Madinah, baik tersirat maupun tersurat. Kendati demikian, Konstitusi Madinah yang sudah tersurat pada tahun 622 (abad ke-7 M) dan al-Qur’an sudah selesai dikumpulkan dan ditulis sebagai kitab pada tahun 25 H (tahun 647 M) tetapi ternyata dalam studi tentang hak-hak asasi manusia oleh kebanyakan para sarjana tidak disinggung sama sekali. Padahal kalau dibandingkan dengan naskah-naskah di atas, semuanya tertinggal tujuh sampai tiga belas abad di belakang Konstitusi Madinah dan al-Qur’an.

Secara historis, berbicara tentang konsep HAM menurut Islam dapat dilihat dari isi Piagam Madinah. Pada alenia awal yang merupakan “Pembukaan” tertulis sebagai berikut:

و قريش من والمسلمين المؤمنين بين وسلم عليه الله صلى النبي محمد من كتاب هذا. الرحيم الرحمن الله بسممعهم وجاهد بهم فلحق تبعهم من و يثرب

Terdapat sedikitnya lima makna pokok kandungan alenia tersebut, yaitu pertama, penempatan nama Allah SWT pada posisi terata, kedua, perjanjian masyarakat (social contract) tertulis, ketiga, kemajemukan peserta, keempat, keanggotaan terbuka (open membership), dan kelima, persatuan dalam ke-bhineka-an (unity in diversity).

Hak asasi manusia yang terkandung dalam Piagam Madinah dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu hak untuk hidup, kebebasan, dan hak mencari kebahagiaan.

1. Hak untuk hidupPasal 14 mencantumkan larangan pembunuhan terhadap orang mukmin untuk kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu orang kafir untuk membunuh orang mukmin. Bahkan pada pasal 21 memberikan ancaman pidana mati bagi pembunuh kecuali bila pembunuh tersebut dimaafkan oleh keluarga korban.

2. KebebasanDalam konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:a. Kebebasan mengeluarkan pendapat

Page 14: Unttuk tugas kelas

Musyawarah merupakan salah satu media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan perkara yang sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat.b. Kebebasan beragamaKebebasan memeluk agama masing-masing bagi kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera di dalam pasal 25.c. Kebebasan dari kemiskinanKebebasan ini harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat kebaikan terutama terhadap kaum yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk hal ini adalah upaya kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandanagn Barat.d. Kebebasan dari rasa takutLarangan melakukan pembunuhan, ancaman pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup bertetangga secara rukun dan dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta akan tinggal di Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.

3. Hak mencari kebahagiaanDalam Piagam Madinah, seperti diulas sebelumnya, meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus berbarengan dengan ketenangan batin. 

Relevansi Konsep HAM dalam UU No. 39 tahun 1999 dan Islam

Walaupun tidak sampai pada tingkatan studi kritis dan dengan mencoba melakukan komparasi secara sederhana antara konsep hak asasi manusia yang tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 dengan konsep HAM dalam Islam melalui pendekatan relevansional maka studi ini bermaksud menjawab pertanyaan sejauh mana relevansi antar kedua konsep tersebut.

Untuk melakukan kajian ini penulis membagi ke dalam beberapa domain, antara lain Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan, kesejahteraan bersama, 

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Piagam Madinah dimulai dengan kalimat basmalah. Dalam pasal 22 ditegaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak akan menolong pelaku kejahatan dan juga tidak akan membelanya. Bilamana terjadi peristiwa ataun perselisihan di antara pendukung Piagam Madinah yang dikhawatirkaan akan menimbulkan bahaya dan kerusakan, penyelesaiannya menurut ketentuan Allah, demikian ditetpakan dalam pasal 42.

Sedangkan dalam UU. No. 39 tahun 1999 tepatnya pada bagian “Ketentuan Umum” point 1 disebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan sebuah hak yang melekat pada manusia dalam eksistensinya sebagai ciptaan Tuhan dan merupakan anugerah-Nya. Artinya persoalan penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja menempatkan manusia pada posisi sentral (antropoSentris) akan tetapi terdapat dimensi transendental yang juga harus diperhatikan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep penegakan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam terminologi Islam disebut tauhid tertera baik dalam Piagam Madinah maupun UU tentang HAM.  

Page 15: Unttuk tugas kelas

2. Keadilan

Keadilan tercantum secara tegas baik di dalam Islam yang tertera dalam al-Qur’an maupun dalam Piagam Madinah maupun di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan konstitusi mana saja di dunia ini. Bahkan kata keadilan ini bergema pada setiap ada persekutuan sosial, tidak terkecuali dalam suatu keluarga. Keadilan, menurut Daniel Webster, adalah kebutuhan manusia yang paling luhur.

Pasal 17, 18, dan 19 UU No. 39 tahun 1999 secara umum menetapkan bahwa bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh keadilan. Tentu saja cara mmeperolehnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan melalui mekanisme yang telah diatur. Semua perkara, kasus, dan sengketa yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan melalui jalur hukum.

Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keadilan, keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan dalam konsepsi Islam, berbuat adil merupakan aktivitas yang dekat dengan takwa.

3. Kesejahteraan bersama

Dalam pasal 36 UU No. 39 tahun 1999 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memiliki demi pengembangan dirinya dengan cara yang tidak melanggar hukum. Lebih jauh lagi dalam pasal 27 (2) UUD 1945 ditetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Hak untuk mendapatkan kesejahteraan dalam Islam merupakan salah satu yang diutamakan. Ajaran zakat, infaq dan sodaqoh merupakan bentuk kepedulian Islam terhdapa terciptanya kesejahteraan bersama dan kebebasan dari kemiskinan. Selain itu, Islam juga sangat mengutamakan kebersamaan dan menganjurkan tolong menolong terutama terhadap kaum miskin dan lemah dan oleh karena itu, Islam mengharamkan riba.

Catatan Penutup

Berdasar penelusuran historik, M. Mahfud MD menulis bahwa ada tiga konsepsi dasar yang harus dipenuhi untuk membangun negara yang sejahtera, yaitu perlindungan HAM, demokrasi, dan negara hukum. Ketiga konsep ini lahir dari paham yang menolak kekuasaan absolut menyusul Renaissance yang bergelora di dunia Barat sejak abad XIII.

Pemerintah berkuasa karena rakyat memberi kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, agar negara dapat memberi perlindungan atas Hak-hak Asasi Manusia (HAM). UU. No. 39 tahun 1999 bisa jadi merupakan manifestasi dari pemberian perlindungan tersebut. Jika ditelusuri ternyata konsep HAM dalam UU No. 39 tahun 1999 relevan dengan konsep HAM dalam Islam baik yang tertuang dalam al-Qur’an maupun Piagam Madinah. Bentuk relevansinya terletak pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan, dan kesejahteraan bersama.

Kendati demikian, pertanyaan kritis yang selalu patut dilayangkan kepada pemerintah adalah bagaimana penegakan HAM pada tataran aplikatif. Serentetan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM masih saja terjadi di Indonesia sampai sekarang.

Page 16: Unttuk tugas kelas

Nampaknya pembicaraan tentang hak asasi manusia hanya berhenti pada wilayah diskursif di forum-forum ilmiah tanpa pernah ditindaklanjuti secara nyata.

Semoga dapat ber(di)manfaat(kan). Selamat berdiskusi!!!

Daftar Bacaan

Alim, Muhammad. 2001. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstiitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta: UII Press.

Atmasasmita, Romli. 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: PT. Refika Aditama

Bahar, Saafroedin. 1997. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Komnas HAM. 1998. Membangun Jaringan Kerjasama Hak Asasi Manusia. Jakarta: Komnas HAM.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2000. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Jakarta: ELSAM.

Muzaffar, Chandra. 1995. Hak Asasi Manusia dalam tata Dunia Baru (Menggugat Dominasi Global Barat). Bandung:  Mizan.

Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia http://imamcubluxhidayat.blogspot.com/2011/02/pengertian-macam-dan-jenis-hak-asasi.html

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hak adalah suatu akibat, sebagaimana pula kewajiban karena tidak

mungkin sesuatu itu diberi hak tanpa lebih dahulu diberi yang namanya

kewajiban sebagai sebuah akibat, begitu juga sebaliknya.

Hak Asasi Manusia adalah hak hak yang telah dipunyai seseorang

sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar

HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration

of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik

Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal

30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.

Contoh Hak Asasi Manusia :

1.      Hak untuk hidup.

2.      Hak untuk memperoleh pendidikan.

Page 17: Unttuk tugas kelas

3.      Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.

4.      Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.

5.      Hak untuk mendapatkan pekerjaan.

Berdasar inilah maka kami perlu membahas beberapa mengenai

Hak Asasi Manusia yang merupakan hal sensitif yang diperdebatkan

dimana-mana sebagai gejala masyarakat.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana perkembangan sejarah Hak Asasi Manusia (HAM) di

Indonesia, serta bagaimana pengertiannya?

2.      Bagaimana bentuk hukum dan hak asasi yang diatur dalam Undang-

Undang Dasar 1945 ?

Page 18: Unttuk tugas kelas

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Perkembangan Sejarah Hak Asasi Manusia (HAM)

di Indonesia.

Dalam Tata Hukum segala bentuk hak yang dimiliki setiap manusia

akan selalu bergandengan dengan kewajiban. Begitu pula dengan “Hak

Asasi” harus juga bergandengan dengan “Kewajiban Asasi”. [1]

Seperti yang telah diketahui Hak Asasi Manusia adalah hak-hak

yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. Sebagai

makhluk sosial yang hidup ditengah masyarakat dan bergantung pada

orang-orang disekitar maka dalam pencapaian perkembangan dan

kemajuan haruslah menyeimbangkan hak dasar dengan kewajiban dasar.

Beberapa mendefinisikan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak

yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku

seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga

negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia

tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain

sebagainya.[2]

Dalam ketentuan umum Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 yang dimaksud dengan Hak Asasi

Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dankeberadaan manusia sebagai

makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[3]

Batasan tentang Hak Asasi atau yang biasa disebut Hak Dasar

adalah hak-hak yang pokok atau yang dasar dimiliki setiap manusia

sebagai pembawaan sejak keahirannya, yang sangat berkaitan dengan

martabat manusia tersebut. Hak Asasi lazim pula disebut dengan Hak

Kemanusiaan yang tidak boleh dilanggar siapapun.

Page 19: Unttuk tugas kelas

Secara historis Hak Asasi Manusia sebagaimana yang saat ini

dikenal, telah memiliki riwayat perjuangan yang panjang. Sejatinya

perjuangan tersebut bukan dimulai dari abad ke 13 sebagaimana sejarah

peradaban barat menulisnya, namun lebih lampau daripada zaman

tersebut. Kalau kita pelajari Kitab-kitab Suci Keagamaan (baik itu al-

Qur’an, Injil dan lain sebagainya) tentang perlindungan Hak dan demikian

pula tentang diwajibkannya Kewajiban atas tiap anak manusia, maka

mudah kita temukan bahwasanya Kitab-kitab Suci tersebut telah terlebih

dahulu mengemukakannya. Contohnya didalam Kitab Suci Umat Islam

yaitu al-Qur’an surah al-Maidah ayat 32 disebutkan :

 “…oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:

Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu

(membunuh) orang lain[411], atau bukan karena membuat kerusakan

dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia

seluruhnya[412]. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang

manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia

semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul

Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian

banyak diantara mereka sesudah itu[413] sungguh-sungguh melampaui

batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”

Ayat tersebut menegaskan bahwa Islam telah memiliki hak

perlindungan terhadap jiwa tiap-tiap manusia. Selanjutnya adalah contoh

perlindungan keyakinan yang mana tertuang dalam ajaran La Iqrah fi-

Dhien (tidak ada pemaksaan dalam beragama) atau Lakum dhienukum

waliyadhien (bagimu agamamu, bagiku agamaku).

Ini artinya perjuangan atas Hak-hak Asasi yang dimiliki manusia

telah lebih dahulu berlangsung ribuan tahun yang lalu, dengan demikian

sesungguhnya adalah tidak tepat kalau sejarah perjuangan Hak-hak Asasi

Manusia dimulai bersamaan dengan ditanda-tanganinya Magna Charta

(tahun 1215), akan tetapi karena sejarah telah menentukannya demikian,

jelasnya: bahwa saat-saat kelahiran Magna Charta dianggap sebagai

tonggak pertama kemenangan Hak Asasi atau sebagai permulaan sejarah

Page 20: Unttuk tugas kelas

perjuangan Hak-hak Asasi manusia, maka dari itu kita ikuti saja kehendak

para ahli sejarah tersebut.[4]

Magna Charta ditandatangani oleh seorang Raja yang bernama John

Lackland yang sejatinya dapat dikatakan belum merupakan bentuk

perlindungan terhadap Hak Asasi manusia seperti apa yang kita kenal

dewasa ini, sebab yang termuat di dalamnya hanyalah tentang jaminan-

jaminan perlindungan terhadap kaum bangsawan dan gereja, oleh

karenanya maka Magna Charta ini selalu dipandang sebagai kemenangan

para bangsawan atas Raja Inggris.

Dalam Magna Charta tercantum penjelasan bahwa raja tidak lagi

bertindak sewenang-wenang, karena dalam hal-hal tertentu raja di dalam

tindakan atau kebijaksanaannya secara telebih dahulu harus mendapat

persetujuan dari para bangsawan dan ini berarti bahwa hak-hak tertentu

para bangsawan diakui oleh raja.[5] Prinsip ini dirasa oleh para

bangsawan sebagai sebuah kemenangan.

Perkembangan selanjutnya tentang Hak-hak Asasi manusia ini

berlanjut dengan ditandatanganinya Petition of Right pada tahun 1628

oleh Raja Charles I lalu kemudian ditandatanganinya Bill of Rights oleh

Raja Willem II di Britania Raya tahun 1689. Perkembangan hak asasi

manusia selanjutnya lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran John Locke

(1632-1704) dan JJ. Rosseau.[6] Di Negara Perancis sendiri pengakuan

atas hak asasi manusia tercantum dalam Declaration des droits de I”home

et du citoyen, yaitu suatu piagam yang dibuat pada tahun 1789 dalam

detik-detik pertama revolusi Perancis. Perkembangan tentang hak asasi

manusia dalam kaitannya dengan demokrasi  dalam hal ini turut banyak

mendorong terjadinya sebuah Revolusi yang mana diantaranya adalah

Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789).

Selanjutnya setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946,

disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja

sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari

18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of

human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah

pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10

Page 21: Unttuk tugas kelas

Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana

Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa

UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia

tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58

Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara

menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya

absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai

hari Hak Asasi Manusia.[7]

Universal Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan,

Bahwa setiap orang mempunyai Hak Hidup,  kemerdekaan dan keamanan

badan, diakui kepribadiannya, memperoleh pengakuan yang sama

dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hokum

dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak

bersalah kecuali ada bukti yang sah, masuk dan keluar wilayah suatu

Negara, mendapatkan suatu kebangsaan, mendapatkan hak milik atas

benda, bebas mengutarakan pikiran dan perasaan, bebas memeluk

agama, mengeluarkan pendapat, berapat dan berkumpul, mendapat

jaminan sosial, mendapatkan pekerjaan, berdagang, mendapatkan

pendidikan, turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat,

menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan

Majelis umum memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak

Asasi Manusia itu sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat

dan bangsa dan menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar

memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-hak dan

kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam pernyataan tersebut.

Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua anggota PBB

secara moral berkewajiban menerapkannya.

Dalam Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia

dibagi menjadi : [8]

1.      Hak asasi pribadi / personal Right

         Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat

         Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat

         Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan

Page 22: Unttuk tugas kelas

         Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan

kepercayaan yang diyakini masing-masing

2.      Hak asasi politik / Political Right

         Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan

         Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan

Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik

lainnya

         Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3.      Hak azasi hukum / Legal Equality Right

         Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan

         Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / PNS

         Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

4.       Hak azasi Ekonomi / Property Rigths

         Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli

         Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak

         Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll

         Hak kebebasan untuk memiliki susuatu

         Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak

5.      Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights

         Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan

         Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan,

penahanan dan penyelidikan di mata hukum.

6.      Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right

         Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan

         Hak mendapatkan pengajaran

         Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada

pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari

falsafah bangsa, yakni Pancasila.

Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak

asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah

ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia,

melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan

Page 23: Unttuk tugas kelas

sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan

yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu

Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang

dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.

[9]

Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam

melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain,maka yang

terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak

asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara

kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi,

dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan,

kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik

Indonesia,yakni:

1.      Undang – Undang Dasar 1945

2.      Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

3.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia

itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :

1.      Hak-hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan

menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan

bergerak.

2.      Hak-hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk

memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta

memanfaatkannya.

3.      Hak-hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam

pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk

mendirikan partai politik.

4.      Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan

pemerintahan ( rights of legal equality).

Page 24: Unttuk tugas kelas

5.      Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights).

Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan

kebudayaan.

6.      Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan

perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal

penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.

Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan

dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan

Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998.

B.     Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-Undang Dasar

1945

Seperti yang telah diketahui bahwa Undang Undang Dasar 1945

terdiri dari 3 bagian yang mempunyai kedudukan yang sama, yaitu

Pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri dari 37 pasal, empat Aturan

Peralihan dan dua Aturan Tambahan serta penjelasan.

1.      Dalam Pembukaan

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 banyak disebutkan

tentang Hak Hak Asasi Manusia, seperti yang termuat dalam alenia

pertama "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa

dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan

karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Dalam

kalimat ini tersirat bahwa adanya pengakuan terhadap kebebasan untuk

merdeka (freedom to be free) .

Pengakuan akan perikemanusiaan adalah intisari dari Hak Asasi

Manusia. Dalam alenia kedua disebutkan Indonesia sebagai Negara yang

adil. [10] Kata sifat adil jelas menunjukkan kepada salah satu tujuan dari

Negara Hukum untuk mencapai atau mendekati keadilan. Selanjutnya

pada alenia ketiga yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk

membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan

Page 25: Unttuk tugas kelas

kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara

Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik

Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :….”

Menunjukkan bahwa rakyat Indonesia telah menyatakan kemerdekaanya

agar tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas.

Sedangkan alenia keempat, menunjukkan pengakuan dan

perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dalam segala bidang yaitu

politik, hokum, social, kulturil, dan ekonomi. [11]

2.      Dalam Batang Tubuh

Secara garis besar hak-hak asasi manusia tercantum dalam pasal

27 sampai 34 dapat dikelompokkan menjadi :

1.      Hak dalam bidang politik (pasal 27 (1) dan 28),

2.      Hak dalam bidang ekonomi (pasal 27 (2), 33, 34),

3.      Hak dalam bidang sosial budaya (pasal 29, 31, 32),

4.      Hak dalam bidang hankam (pasal 27 (3) dan 30) [12]

Dalam rincian tersebut Hak Asasi Manusia yang diatur dalam

Undang Undang Dasar 1945 berjumlah 7 pasal. Walaupun hanya tujuh

pasal namun ketujkuh pasal tersebut adalah hal hal yang pokok. Dan ini

sesuai dengan sifat Undang Undang Dasar 1945 yang hanya mengatur hal

hal pokok saja. Tanpa pasal pasal tersebut itu akan hanya menjadi

selogan selogan saja yang belum dapat dilaksanakan. [13]

Seperti pada pasal 28 tentang kebebasan berserikat dan

berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Ketiga hak ini

adalah hak pokok yang sangat penting dalam suatu Negara demokrasi.

Kebebasan berserikat saja apa artinya kalai tidak ada kebebasan

mengeluarkan pendapat.

Berikut kami lampirkan bunyi pasal 27 sampai pasal 34 :

Pasal 27

1.      Segala Warganegara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan

Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya.

2.      Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan.

Page 26: Unttuk tugas kelas

Pasal 28

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.

BAB XI

AGAMA

Pasal 29

1.      Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa

2.      Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.

Page 27: Unttuk tugas kelas

BAB XII

PERTAHANAN NEGARA

Pasal 30

1.      Tiap-tiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha

pembelaan Negara

2.      Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan Undang-undang.

BAB XIII

PENDIDIKAN

Pasal 31

1.      Tiap-tiap Warganegara berhak mendapat pengajaran

2.      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem

pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-undang.

Pasal 32

Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

BAB XIV

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pasal 33

1.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas

kekeluargaan.

2.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh

Negara

3.      Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Pasal 34

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.

Page 28: Unttuk tugas kelas

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1.      Dalam ketentuan umum Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia Pasal 1, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dankeberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan

Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan

dilindungi oleh negara,hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.

2.      Secara historis Hak Asasi Manusia sebagaimana yang saat ini dikenal,

telah memiliki riwayat perjuangan yang panjang. Sejatinya perjuangan

tersebut bukan dimulai dari abad ke 13. Kalau kita pelajari Kitab-kitab

Suci Keagamaan (baik itu al-Qur’an, Injil dan lain sebagainya) tentang

perlindungan Hak dan demikian pula tentang diwajibkannya Kewajiban

atas tiap anak manusia, maka mudah kita temukan bahwasanya Kitab-

kitab Suci tersebut telah terlebih dahulu mengemukakannya. Selanjutnya

disini berarti bahwa perjuangan atas Hak-hak Asasi yang dimiliki manusia

telah lebih dahulu berlangsung ribuan tahun yang lalu, dengan demikian

sesungguhnya adalah tidak tepat kalau sejarah perjuangan Hak-hak Asasi

Manusia dimulai bersamaan dengan ditanda-tanganinya Magna Charta

(tahun 1215), akan tetapi karena sejarah telah menentukannya demikian,

jelasnya: bahwa saat-saat kelahiran Magna Charta dianggap sebagai

tonggak pertama kemenangan Hak Asasi atau sebagai permulaan sejarah

perjuangan Hak-hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia pada

perkembangannya berlanjut pada beberapa Negara diantaranya Yunani,

Inggris, Amerika Serikat, Perancis, sampai pada pernyataan sedunia

tentang Hak Asasi Manusia yang lebih popular dikenal sebagai UNIVERSAL

DECLARATION OF HUMAN RIGHTS oleh PBB.

3.      Di Indonesia sendiri, Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan

bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat

jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada

Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut

Page 29: Unttuk tugas kelas

harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan

falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi

manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya,

melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung

dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

4.      Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik

Indonesia,yakni:

1.      Undang – Undang Dasar 1945

a.       Pembukaan : seluruh alenia pada Pembukaan Undang Undang Dasar

1945 menyiratkan tentang Hak Asasi Manusia

b.      Batang Tubuh : Pasal 27 sampai pasal 37 menjelaskan tentang

pengakuan kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, social budaya, dan

hankam.

2.      Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

3.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

http://nitawahyono.blogspot.com/2012/05/makalah-hukum-tata-negara-hak-asasi.html