universitas negeri semarang 2016 - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/26947/1/4311412065.pdf ·...
TRANSCRIPT
UJI VALIDITAS ANALISIS LOGAM Fe DALAM SEDIMEN
SUNGAI KALIGARANG DENGAN FLAME ATOMIC
ABSORPTION SPECTROPHOTOMETER DAN INDUCTIVELY
COUPLED PLASMA OPTICAL EMISSION
SPECTROPHOTOMETER BERDASARKAN T-TEST
Skripsi
disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
oleh
Muhammad Naschan
4311412065
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
ii
iii
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
Sebaik-baik manusia ialah orang yang paling berguna bagi sesama manusia
(HR. Bukhori).
Janganlah engkau terlalu banyak bergurau sebab bisa menjadikan kerasnya
hati. Hati yang keras susah menerima nasihat, susah pula menyerap ilmu
(Ahmad Musyadad, Ayahanda).
Jadilah orang yang qona’ah (menerima apa adanya) dan jangan lupa
bersyukur. Tak usah macam-macam. Tak usah iri hati ataupun dengki.
Ikhtiarlah dan tawakkallah (Zulifah, Ibunda).
Persembahan:
Untuk ayahanda Ahmad Musyadad, ibuku tercinta Zulifah, mbak
Muchamidah, mbak Fauzul Muna, Mas Khilman Najib, dan dua adik laki-
lakiku tersayang Muhammad Khoirun Nadhif dan Muhammad Anis Rofiq.
Untuk seluruh keluarga, sahabat dan teman-teman tercinta.
vi
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan nikmat
dan karunia-Nya, serta kemudahan dan kelancaran, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Validitas Analisis Logam Fe dalam
Sedimen Sungai Kaligarang dengan Flame Atomic Absorption Spectrophotometer
dan Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrophotometer
berdasarkan t-test”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Negeri Semarang.
Penulis telah banyak mengalami rintangan dari awal sampai akhir dalam
menyusun skripsi ini. Berkat bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak, maka segala rintangan tersebut dapat penulis atasi. Untuk itu, pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Semarang;
2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Semarang;
3. Ketua Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Semarang;
4. Agung Tri Prasetya, S.Si, M.Si, selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan ilmu, petunjuk, arahan, bimbingan, semangat dan doa dengan
penuh kesabaran dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini;
5. Dra. Woro Sumarni, M.Si, selaku dosen pembimbing II untuk masukan dan
petunjuk sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;
6. Dr. Endang Susilaningsih, M.S., selaku dosen penguji utama yang telah
memberikan pengarahan, kritikan yang membangun sehingga skripsi ini
menjadi lebih baik;
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia FMIPA UNNES yang telah memberikan
bekal, ilmu kepada penulis selama menjalani studi;
vii
8. Kepala Laboratorium, bu Ida, mas Huda, bu Dian, bu Endah, bu Retno dan
pak Wiji yang telah memberikan fasilitas untuk penulis melakukan penelitian
dan bantuannya selama penelitian;
9. Bapak, ibu, kakak, dan adikku, serta segenap keluarga yang menjadi sumber
semangat, yang tak pernah berhenti memberi dukungan dan doa;
10. Wiji, Afria, Anisa, Retno, dan teman-teman seperjuangan yang telah banyak
membantu;
11. Sahabat rombel 2 Kimia 2012 dan teman-teman Kimia Unnes angkatan 2012
yang selalu mendukung dan memberi doa; serta
12. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini.
Demikian penyusunan skripsi ini, semoga bermanfaat bagi semua pihak
dan pembaca pada umumnya.
Semarang, Juni 2016
Penulis
viii
ABSTRAK
Naschan, Muhammad. 2016. Uji Validitas Analisis Logam Fe dalam Sedimen Sungai
Kaligarang dengan Flame Atomic Absorption Spectrophotometer dan Inductively
Coupled Plasma Optical Emission Spectrophotometer berdasarkan T-Test. Skripsi,
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Semarang. Pembimbing Utama Agung Tri Prasetya, S.Si, M.Si dan Pembimbing
Pendamping Dra. Woro Sumarni, M.Si.
Telah dilakukan uji validitas terhadap dua metode analisis yaitu Flame Atomic
Absorption Spectrophotometer (FAAS) dan Inductively Coupled Plasma Optical
Emission Spectrophotometer (ICP-OES) berdasarkan t-test melalui analisis logam Fe
dalam sedimen sungai Kaligarang. Uji validitas yang dilakukan meliputi uji linieritas,
uji akurasi dan uji presisi. Uji akurasi dilakukan dengan menghitung persen recovery,
yaitu 106,87% untuk metode FAAS dan 97,97% untuk metode ICP-OES. Hasil uji
presisi metode replicability dengan FAAS dan ICP-OES berturut-turut 1,15% dan
0,65%. Sedangkan uji presisi metode repeatibility dengan FAAS diperoleh %RSD
4,02%, dan pada ICP-OES sebesar 1,69%. Sementara itu, linieritas kurva standar
diperoleh dengan FAAS sebesar 0,9997 dengan LoD dan LoQ berturut-turut 0,4360
ppm dan 1,4534 ppm. Untuk linieritas pada metode ICP sebesar 0,9999 dengan LoD
dan LoQ berturut-turut 0,2291 ppm dan 0,7635 ppm. Perhitungan konsentrasi Fe
dalam sedimen sungai Kaligarang hasil dari kedua metode FAAS dan ICP-OES
berturut-turut 104.938,7892 mg/kg dan 68.147,5714 mg/kg. Hasil uji t tidak
berpasangan menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada rerata konsentrasi
logam Fe dari kedua metode analisis. Kedua metode menunjukkan bahwa konsentrasi
logam Fe dalam sedimen sungai Kaligarang melebihi batas toleransi. Berdasarkan
hasil analisis uji validitas disimpulkan bahwa metode ICP-OES lebih baik daripada
metode FAAS.
Kata kunci: logam Fe, sedimen sungai Kaligarang, uji validasitas, t-test, FAAS, ICP-
OES
ix
ABSTRACT
Naschan, Muhammad. 2016. Validity Analysis of Fe Metals in Sediments
Kaligarang’s river by Flame Atomic Absorption Spectrophotometer and Inductively
Coupled Plasma Optical Emission Spectrophotometer based on T-Test.
Undergraduate Thesis, Department of Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural
Sciences, Semarang State University. Primary Supervisor Agung Tri Prasetya, S.Si,
M.Si and Secondary Supervisor Dra. Woro Sumarni, M. Si.
Validity test has been carried out against two methods with Flame Atomic Absorption
Spectrophotometer (FAAS) and Inductively Coupled Plasma Optical Emission
Spectrophotometer (ICP-OES) based on t-test through the analysis of iron metals in
the sediment of the Kaligarang’s river. Validity test was conducted on the linierity
test, accuracy and precision test. Accuracy test is done by calculating the percent
recovery, which is 106.87% for FAAS method and 97.97% for ICP-OES method.
Precision test results with replicability methods by FAAS and ICP-OES consecutive
1.15% and 0.65%. While precision test repeatibility methods by FAAS acquired
%RSD 4.02 % , and 1.69 % by ICP. Meanwhile, the linierity of the standard curve
obtained by FAAS is 0.9997 with LoD 0.4360 ppm and 1.4534 ppm for LoQ.
Linierity in ICP-OES method is 0.9999 with LoD and LoQ consecutive 0.2291 ppm
and 0.7635 ppm. Calculation of the concentrations of Fe in sediment of the
Kaligarang’s river for FAAS methods is 104,938.7892 mg/kg ppm and 68,147.57144
mg/kg by ICP method. The results of independent sample-t in the mean concentration
of Fe metals from both methods of analysis was a significant differences. Both
methods showed that the concentrations of Fe metals in sediments Kaligarang’s river
exceeds tolerable limits. Based on the results of the validity tests concluded that the
method of ICP-OES more better than FAAS method.
Keywords: iron (Fe) metal, sediment Kaligarang’s river, validity test, t-test, FAAS,
ICP-OES
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERNYATAAN ............................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. iii
PENGESAHAN ............................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
PRAKATA ..................................................................................................... vi
ABSTRAK ..................................................................................................... viii
ABSTRACT ................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv
BAB
1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 6
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 6
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 8
2.1. Logam berat ...................................................................................... 8
2.2. Besi (Fe) ............................................................................................ 10
2.3. Sedimen............................................................................................. 12
2.4. FAAS ................................................................................................ 13
2.5. ICP-OES ........................................................................................... 21
2.6. Validasi Metode ................................................................................ 26
2.7. Uji t ................................................................................................... 33
xi
3. METODE PENELITIAN ......................................................................... 35
3.1. Lokasi Penelitian ............................................................................... 35
3.2. Variabel Penelitian ............................................................................ 35
3.3. Alat dan Bahan .................................................................................. 36
3.4. Cara Kerja ......................................................................................... 37
3. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 40
4.1. Destruksi Sampel ............................................................................. 40
4.2. Penentuan LoD, LoQ, dan Uji Linieritas ......................................... 42
4.3. Uji Akurasi ....................................................................................... 47
4.4. Uji Presisi ......................................................................................... 50
4.5. Perbandingan Validitas FAAS dan ICP-OES .................................. 52
4.6. Uji t .................................................................................................. 55
5. PENUTUP ............................................................................................... 59
5.1. Simpulan .......................................................................................... 59
5.2. Saran ................................................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 61
LAMPIRAN ................................................................................................... 65
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1.Karakteristik logam besi ............................................................................ 11
2.2.Nilai %recovery berdasarkan nilai konsentrasi sampel ............................. 31
4.1.Hasil analisis uji LoD dan LoQ pada FAAS .............................................. 43
4.2.Hasil analisis uji LoD dan LoQ pada ICP-OES ......................................... 45
4.3.Hasil analisis uji recovery dengan FAAS .................................................. 48
4.4.Hasil analisis uji recovery dengan ICP-OES ............................................. 50
4.5.Hasil analisis %RSD metode replicability pada FAAS ............................. 50
4.6.Hasil analisis %RSD metode replicability pada ICP-OES ........................ 51
4.7.Hasil analisis %RSD metode repeatibility pada FAAS ............................. 52
4.8.Hasil analisis %RSD metode repeatibility pada ICP-OES ........................ 52
4.9.Hasil uji t .................................................................................................... 56
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1.Suatu gugusan heme .................................................................................. 9
2.2.Struktur bangun mineral magnetit dan mineral hematit ............................ 11
2.3.Tingkat energi dalam FAAS ...................................................................... 14
2.4.Komponen FAAS ....................................................................................... 17
2.5.Sumber cahaya dalam FAAS ..................................................................... 18
2.6.Mekanisme pengatomisasian ..................................................................... 19
2.7.Mekanisme spektofotometri emisi ............................................................. 22
4.1.Kurva kalibrasi larutan standar dengan FAAS .......................................... 44
4.2.Kurva kalibrasi larutan standar dengan ICP-OES ..................................... 45
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Skema kerja penelitian ............................................................................... 65
2. Perhitungan pembuatan larutan .................................................................. 70
3. Analisis data LoD dan LoQ........................................................................ 71
4. Analisis data uji akurasi ............................................................................. 73
5. Analisis data uji presisi .............................................................................. 79
6. Analisis data uji t ........................................................................................ 82
7. Dokumentasi penelitian .............................................................................. 84
8. Denah lokasi pengambilan sampel ............................................................. 86
9. Tabel t......................................................................................................... 87
10. Hasil analisis FAAS ................................................................................... 88
11. Hasil analisis ICP-OES .............................................................................. 89
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan pembangunan di Indonesia yang semakin pesat baik di
bidang ekonomi, industri, pemerintahan, sosial, kesehatan, serta di bidang
pertanian selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif.
Dampak negatif bagi manusia terjadi akibat dari salah penerapan maupun karena
pembangunan tersebut tidak disertai pertimbangan-pertimbangan lingkungan baik
jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.
Kegiatan manusia dan industri yang memanfaatkan sungai sebagai tempat
untuk membuang limbah akan berdampak pada perairan sungai. Dampak yang
ditimbulkan salah satunya pada penurunan kualitas air, yaitu adanya perubahan
kondisi fisika, kimia, dan biologi (Salmin, 2005). Salah satu perubahan kimia
yang terjadi yaitu kandungan logam berat dalam sungai yang mengalami kenaikan
akibat pembuangan sampah oleh warga sekitar dan pembuangan limbah industri
seperti yang terjadi pada Sungai Kaligarang.
Sungai Kaligarang merupakan salah satu sungai terbesar di Semarang yang
memiliki hulu di Gunung Ungaran dan hilir di pantai Laut Jawa (Sucipto, 2008).
Sungai Kaligarang mengalir sepanjang daerah Ungaran, jembatan Kradenan
Semarang, Tugu Soeharto Semarang, Jl. Panjangan, muara dari Pasar Sampangan,
muara dari Pasar BK dan Kimia Farma, sebelum pabrik Semarang Makmur,
sebelum PDAM Kota Semarang, Petompon Semarang, dan Pleret Lemah Gempal
Semarang (Yulianti & Sunardi, 2010).
2
Sungai Kaligarang merupakan salah satu sungai yang termasuk prioritas
sasaran Program Kali Bersih di Propinsi Jawa Tengah. PROKASIH Kaligarang
sejak 1989/1990 diikuti 10 industri, namun sejak tahun 2005 sampai sekarang
diikuti 8 industri karena satu industri pindah lokasi dan satu industri lagi tidak
produksi atau ditutup. Adapun delapan industri yang terkait program kali bersih di
DAS Kaligarang meliputi PT. Raja Besi, PT. Alam Daya Sakti, PT. ISTW, PT.
Kimia Farma, PT. Semarang Makmur, PT. Damaitex, PT. Sinar Pantja Tjaya dan
PT. Phapros (BLH Jawa Tengah, 2009).
Yulianti & Sunardi (2010) mengemukakan bahwa air Sungai Kaligarang
mengandung logam berat. Berbagai jenis logam berat, seperti besi (Fe), seng (Zn),
mangan (Mn), tembaga (Cu) ditemukan dalam jumlah yang bervariasi pada semua
sampel air yang diambil, meskipun tidak semua keberadaan logam berat melebihi
baku mutu air minum. Dewi et al. (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
Sungai Kaligarang terkontaminasi oleh logam berat Cd, Pb, dan Hg. Sedimen
Sungai Kaligarang mengandung logam berat besi (Fe), mangan (Mn), tembaga
(Cu) yang memiliki kadar lebih kecil dari baku mutu sedimen.
Logam berat merupakan komponen alami yang terdapat di kulit bumi yang
tidak dapat didegradasi ataupun dihancurkan. Logam berat merupakan zat yang
berbahaya karena dapat mengalami bioakumulasi (Panggabean, 2008 dalam
Agustin, 2010). Darmono (1995) mengungkapkan bahwa toksisitas logam pada
manusia dapat menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan, terutama jaringan
detoksikasi dan ekskresi (hati dan ginjal). Beberapa logam mempunyai sifat
3
karsinogenik (pembentuk kanker), maupun teratogenik (perkembangan sel yang
tidak normal).
Kandungan logam berat dalam sedimen cenderung tinggi karena sifat logam
berat di perairan yang mengendap dalam jangka waktu tertentu dan kemudian
terakumulasi di dasar perairan (Palar, 1994). Mance (1978) dalam Firmansyah
(2013) juga mengatakan bahwa secara normal, kandungan logam berat dalam
sedimen akan lebih tinggi dibanding perairannya, di samping karena logam berat
tersebut secara alami terdapat di batuan sedimen, juga karena sifat sedimen yang
lebih stabil dan cenderung menangkap logam berat yang masuk ke perairan.
Besi merupakan logam berat yang dibutuhkan dalam proses oksidasi enzim
sitokrom (Hasbi, 2007 dalam Ika et al., 2012). Besi berupa spesies ion ion Fe2+
dan Fe3+
di dalam makanan. Unsur besi di dalam tubuh berfungsi mengatur
metabolisme tubuh dan pembentukan sel darah merah, namun jika jumlah yang
dikonsumsi terlalu berlebihan akan membahayakan kesehatan.
Logam besi dapat berasal dari korosi pipa-pipa air, industri baja, pupuk,
pestisida, keramik, detergen, dan baterai. Nasution (2012) mengemukakan bahwa
perombakan sampah secara aerobik menghasilkan lindi juga mengandung besi
dalam bentuk ion Fe2+
. Air yang mengandung besi cenderung menimbulkan rasa
mual apabila dikonsumsi selain itu dalam dosis yang besar dapat merusak organ-
organ dalam pada tubuh manusia.
Konsumsi maksimal unsur besi bagi orang dewasa adalah 0,35 – 0,36 mg/kg
berat badan tubuh dan bagi bayi atau anak-anak adalah 0,305 – 0,320 mg/kg berat
badan berdasarkan WHO dalam Astuti et al. (2012), sedangkan menurut
4
Firmansyah et al. (2013) batas toleransi logam besi dalam sedimen yaitu 40.000
mg/kg. Besi yang masuk ke dalam tubuh melebihi baku mutu dapat mengganggu
sistem saraf dan mempengaruhi kerja ginjal.
Instrumen yang dapat digunakan untuk mengindentifikasi adanya unsur-
unsur yang terdapat di sungai yaitu dengan instrumen Flame Atomic Absorbtion
Spectrophotometer (FAAS) dan Inductively Coupled Plasma Optical Emission
Spectrophotometer (ICP-OES). Kedua instrumen tersebut dibandingkan karena
FAAS merupakan instrumen yang sering digunakan dalam analisis logam yang
memiliki sensivitas tinggi, mudah dan murah tetapi memiliki range linier yang
kecil (Tyler, 2000) dengan limit deteksi yang besar (Garsia & Baez, 2012),
sedangkan menurut Hou (2000) ICP-OES merupakan instrumen yang belum
banyak digunakan karena biaya yang cukup mahal tetapi memiliki kelebihan
dalam menganalisis multilogam dan memiliki range linier yang besar serta limit
deteksi yang kecil.
Flame Atomic Absorbtion Spectrophotometry adalah metode analisis yang
berdasarkan pengukuran besaran fisis yang timbul atau berubah akibat adanya
interaksi materi dan energi berupa absorpsi radiasi elektromagnetik dari sumber
radiasi oleh atom yang dianalisis dalam suatu sampel. Sumber radiasi berasal dari
lampu katode berongga (Hollow Katode Lamp/ HCL) yang berfungsi untuk
menghasilkan radiasi elektromagnetik yang sesuai dengan atom unsur yang akan
dianalisis. Metode ini sangat tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah.
ICP-OES adalah instrumen yang memiliki fungsi yang sama dengan FAAS.
Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrophotometry adalah sebuah
5
teknik analisis yang digunakan untuk deteksi dari trace metals dalam sampel
lingkungan pada umumnya. Prinsip utama ICP-OES dalam penentuan elemen
adalah pengatomisasian elemen sehingga memancarkan cahaya panjang
gelombang tertentu yang kemudian dapat diukur. Perangkat keras ICP-OES yang
utama adalah plasma, dengan bantuan gas akan mengatomisasi elemen dari energi
ground state ke exitated state sambil memancarkan energy cahaya sebesar hʋ.
Validasi metode merupakan salah metode yang cukup penting dalam suatu
analisis, karena dapat membuktikan keandalan suatu metode dari suatu prosedur
yang digunakan. Validasi metode analisis logam dapat dilakukan dengan beberapa
parameter, yaitu: uji akurasi (ketepatan), uji presisi (sensitivitas), serta uji
linieritas (Aradea, 2014).
Berdasarkan latar belakang di atas akan dilakukan uji validitas analisis
logam Fe dalam sedimen Sungai Kaligarang dengan FAAS dan ICP-OES
berdasarkan t-test. Hal ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi logam besi
yang mengalami akumulasi dalam sedimen Sungai Kaligarang dan untuk
mengetahui instrumen yang memberikan hasil yang lebih valid antara FAAS dan
ICP-OES dalam menganalisis logam Fe dalam sedimen Sungai Kaligarang. Selain
itu juga akan dilakukan uji t untuk mengetahui seberapa besar perbedaan diantara
kedua metode tersebut.
6
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dikaji pada penelitian ini berdasarkan latar
belakang tersebut adalah:
1. Berapa konsentrasi logam Fe dalam sedimen Sungai Kaligarang
berdasarkan pengukuran dengan FAAS ?
2. Berapa konsentrasi logam Fe dalam sedimen Sungai Kaligarang
berdasarkan pengukuran dengan ICP-OES ?
3. Berapa validitas analisis logam Fe dalam sedimen Sungai Kaligarang
dengan FAAS dan ICP-OES meliputi uji akurasi, presisi, dan linieritas?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui konsentrasi logam Fe dalam sedimen Sungai Kaligarang
dengan FAAS.
2. Mengukur konsentrasi logam Fe dalam sedimen Sungai Kaligarang dengan
ICP-OES.
3. Mengukur perbandingan validitas analisis logam Fe dalam sedimen Sungai
Kaligarang dengan FAAS dan ICP-OES meliputi uji akurasi, presisi, dan
linieritas.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi tentang konsentrasi logam Fe dalam sedimen Sungai
Kaligarang berdasarkan pengukuran dengan FAAS.
7
2. Memberikan informasi tentang konsentrasi logam Fe dalam sedimen Sungai
Kaligarang berdasarkan pengukuran dengan ICP-OES.
3. Memberikan informasi tentang perbandingan validitas analisis logam Fe
dalam sedimen Sungai Kaligarang dengan FAAS dan ICP-OES meliputi
hasil nilai akurasi, presisi, dan linieritas.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Logam Berat
Logam berat didefinisikan sebagai satu kesatuan jenis logam yang
mempunyai bobot molekul lebih besar dengan densitas lebih dari 5 g/cm3 (Palar,
1994). Logam berat merupakan jenis pencemar yang sangat berbahaya dalam
sistem lingkungan hidup karena bersifat tak dapat terbiodegradasi, toksik, serta
mampu mengalami bioakumulasi dalam rantai makanan (Anis & Gusrizal, 2006).
Pencemaran logam berat terhadap lingkungan merupakan suatu proses yang erat
hubungannya dengan penggunaan logam tersebut dalam kegiatan manusia, dan
secara sengaja maupun tidak sengaja membuang berbagai limbah yang
mengandung logam berat ke lingkungan. Logam-logam tertentu dalam
konsentrasi tinggi akan sangat berbahaya bila ditemukan di dalam lingkungan (air,
tanah, dan udara). Logam berat berbahaya karena dapat mengganggu kehidupan
organisme di lingkungan jika keberadaannya melampaui ambang batas.
Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini tidak dapat
didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan, air minum. Logam berat seperti tembaga, besi,
selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk membantu kinerja
metabolisme tubuh. Akan tetapi, dapat berpotensi menjadi racun jika konsentrasi
dalam tubuh berlebih. Logam dapat berupa kofaktor atau bisa digabungkan ke
dalam molekul, dan ini dikenal sebagai metalloenzim.
9
Metalloenzim adalah protein yang berfungsi sebagai enzim dan
mengandung logam yang terikat erat dan selalu terisolasi dengan protein. Contoh
logam berat sebagai metalloenzim adalah logam besi yang membentuk kompleks
dengan porfirin dalam hemoglobin di dalam darah yang berfungsi dalam
mengalirkan oksigen ke seluruh tubuh (Sukardjo, 1985). Gugusan heme
pembentuk hemoglobin yang mengandung ikatan kompleks antara porfirin dan
logam besi disajikan dalam Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Suatu Gugusan Heme (Isnaeni, 2006)
Logam berat menjadi berbahaya disebabkan sistem bioakumulasi, yaitu
peningkatan konsentrasi unsur kimia di dalam tubuh mahluk hidup. Darmono
(1995) menjelaskan faktor yang menyebabkan logam berat termasuk dalam
kelompok zat pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam berat yang tidak
dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi.
Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) dalam
Isa et. al. (2014) sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3
kelompok, yaitu: (a) bersifat toksik tinggi yang terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd,
10
Pb, Cu, dan Zn, (b) bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co,
dan (c) bersifat toksik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe.
Kandungan logam dalam sungai berasal dari berbagai sumber, seperti
batuan dan tanah; serta dari aktivitas manusia termasuk pembuangan limbah cair
baik yang telah diolah maupun belum diolah ke badan air kemudian secara
langsung dapat mencemari air permukaan (Akoto et al., 2008). Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Yudo (2006) bahwa limbah cair tekstil dikeluarkan dalam
jumlah banyak mengandung bermacam-macam polutan seperti, Besi (Fe),
Mangan (Mn), Seng (Zn), Kadmium (Cd), Chromium (Cr), Tembaga (Cu),
Timbal (Pb), Nikel (Ni), dan Raksa (Hg). Selain itu limbah tekstil yang masuk
perairan akan terakumulasi pada sedimen dan organisme yang ada di perairan
tersebut (Akoto et al., 2008).
2.2 Besi (Fe)
Besi termasuk logam transisi yang sangat luas penggunaannya. Besi
memegang peranan yang sangat penting dalam dunia teknik. Logam berat ini
memiliki sifat logam berkilau, kuat, mudah ditempa, dan berwarna perak abu-abu.
Besi adalah logam paling banyak dan dipercayai unsur kimia kesepuluh paling
banyak di alam sejagat. Besi juga merupakan unsur paling banyak (34,6%)
membentuk bumi, jumlah besar besi dalam bumi mempengaruhi medan magnet
bumi (Sugiyarto, 2003).
Sugiyarto (2003) menjelaskan besi adalah logam yang dihasilkan dari bijih
besi, dan jarang dijumpai dalam keadaan unsur bebas. Besi di alam terdapat dalam
bentuk sulfidanya (Fe2S), tetapi mineral ini tidak dimanfaatkan sebagai bijih
11
karena sisa-sisa kelumit belerang sulit dihilangkan. Besi ditemukan paling banyak
kelimpahannya dalam berbagai senyawa oksida besi, seperti mineral hematit
(Fe2O3), magnetit (Fe3O4), sehingga sangat berharga karena besarnya kandungan
besi. Magnetit yang merupakan oksida besi paling berlimbah bersifat tertarik oleh
magnet sehingga berpengaruh terhadap medan magnet Bumi. Gambar 2.2 berikut
menunjukkan mineral magnetit dan hematit:
A B
A B
A. Mineral Magnetit B. Mineral Hematit (Widyananto, 2010)
Gambar 2.2 Struktur Bangun
Besi mempunyai simbol Fe dan nomor atom 26 sehingga masuk dalam
golongan VIIIB periode 4 (Sari & Sugili, 2010). Sugiyarto (2003) menyatakan
bahwa besi memiliki karakteristik yang disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik logam besi
Karakteristik
Simbol Fe
Nomor atom 26
Massa Atom 55,847
Kelimpahan/ ppm 62000
Densitas 7,874
Titik Leleh/ oC 1535
Titik didih/ oC 2750
Jari-jari atomik/ pm 126
Konfigurasi elektronik [18Ar] 3d6 4s
2
Elektronegativitas 1,8
12
Besi terlarut dalam air dapat berbentuk kation ferro (Fe2+
) atau kation
ferri (Fe3+
). Hal ini bergantung kondisi pH dan oksigen terlarut dalam air.
Besi terlarut dapat berbentuk senyawa tersuspensi, sebagai butir koloidal
seperti Fe(OH)3, FeO, Fe2O3. Apabila konsentrasi besi terlarut dalam air
melebihi batas akan menyebabkan berbagai masalah yaitu gangguan teknis
berupa endapan korosif, gangguan fisik berupa timbul warna, bau, dan rasa
yang tidak enak, serta gangguan kesehatan berupa menimbulkan rasa mual,
merusak dinding usus, dan iritasi pada mata dan kulit (Ronquillo, 2009).
2.3 Sedimen
Sedimen juga dikenal sebagai “nutrient trap” dimana logam akan mudah
terperangkap pada partikel sedimen. Kandungan logam berat di sedimen lebih
tinggi daripada di air, diduga karena pengaruh proses fisika, kimia, dan biologi
yang terjadi secara alamiah di perairan. Semakin kecil ukuran partikel, semakin
besar kandungan logam beratnya. Hal ini disebabkan karena partikel sedimen
yang halus memiliki luas permukaan yang besar dengan kerapatan ion yang lebih
stabil untuk mengikat logam berat pada partikel sedimen yang lebih besar (Sahara,
2009). Amin (2002) menyatakan bahwa ukuran partikel sedimen berperan penting
terhadap daya akumulasi logam berat. Hutagalung (1991) dalam Firmansyah
(2013) menjelaskan bahwa pengendapan logam berat terjadi karena berat jenis
logam lebih tinggi dibandingkan dengan berat jenis air.
Supriharyono (2000) dalam Firmansyah (2013) menjelaskan bahwa daerah
estuaria dan daerah pantai banyak mengandung bahan organik sehingga
kandungan oksigennya menjadi rendah. Hal ini yang menyebabkan daya larut
13
logam berat menjadi rendah dan cenderung untuk mengendap. Massa jenis yang
dimiliki oleh logam juga akan menyebabkan logam yang melayang di perairan
akan jatuh dan masuk ke dalam sedimen sehingga ikatan logam berat dalam
sedimen akan lebih besar dari kandungan logam pada air.
Kandungan logam berat pada sedimen lebih tinggi dari perairan sebagai
akibat dari arus sungai dan pasut yang kuat sehingga mempengaruhi perubahan
arus (Palar, 1994). Kandungan logam berat yang menumpuk pada sedimen akan
masuk ke dalam sistem rantai makanan dan berpengaruh pada kehidupan
organisme, seperti penelitian tentang perbandingan unsur non esensial Cd, Hg dan
Pb yang terdapat dalam ikan dan sedimen dari Alaska dan California (Meador,
2005).
Mance (1978) dalam Firmansyah (2013) juga mengatakan bahwa secara
normal, kandungan logam berat dalam sedimen akan lebih tinggi dibanding
perairannya, di samping karena keberadaan logam berat tersebut secara alami
terdapat di batuan sedimen, tetapi juga karena sifat sedimen yang lebih stabil dan
cenderung menangkap logam berat yang masuk ke perairan. Kondisi tersebut
menyebabkan logam Fe akan terakumulasi dan terdeposit ke arah muara sungai.
Banyaknya kandungan logam Fe ini disebabkan sifat akumulatif dengan jangka
waktu yang lama dan terus menerus pada sedimen yang mempunyai sifat relatif
menetap dan tidak bergerak.
2.4 Flame Atomic Absorption Spectrophotometry (FAAS)
Flame Atomic Absorbtion Spectrophotometry adalah suatu metode analisis
untuk menentukan konsentrasi suatu unsur dalam suatu cuplikan yang didasarkan
14
pada proses penyerapan radiasi sumber oleh atom-atom yang berada pada tingkat
energi dasar (ground state). Proses penyerapan energi terjadi pada panjang
gelombang yang spesifik dan karakteristik untuk tiap unsur. Proses penyerapan
tersebut menyebabkan atom tereksitasi, dimana elektron dari kulit atom meloncat
ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tingkat energi dalam FAAS disajikan pada
Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Tingkat energi FAAS (Anonim, 1996)
Banyaknya intensitas radiasi yang diserap sebanding dengan jumlah atom
yang berada pada tingkat energi dasar yang menyerap energi radiasi tersebut.
Konsentrasi unsur di dalam cuplikan dapat ditentukan dengan mengukur
absorbansi (tingkat penyerapan radiasi) atau mengukur radiasi yang diteruskan
(transmitansi) (Boybul & Iis, 2009).
Pemilihan metode analisis dengan Flame Atomic Absorbtion
Spectrophotometry karena mempunyai sensitifitas tinggi (Garsia & Baez, 2012),
sedangkan menurut Franklin (2001) FAAS merupakan instrumen yang mudah
15
digunakan, murah, cepat serta baik digunakan untuk analisis logam golongan
alkali, logam berat dan logam transisi.
FAAS telah digunakan selama bertahun-tahun untuk analisis logam. Saat ini
prosedur ini digunakan lebih maksimal dalam bahan dan aplikasi lingkungan. Hal
ini dikarenakan alat tersebut mempunyai batas deteksi yang lebih rendah dan
untuk unsur kelumit di berbagai sampel. Inductively Coupled Plasma Optical
Emission Spectroscopy (ICP-OES), Inductively Coupled Plasma Mass
Spectrometry (ICP-MS) ada karena kemajuan ilmiah yang membuat metode
FAAS agak ditinggalkan. Meskipun begitu FAAS sampai saat ini masih
digunakan dalam analisis berbagai logam. FAAS merupakan instrumen yang
sangat baik dan memiliki spesifikasi lebih besar yang tidak dimiliki oleh ICP-OES
(Garcia & Baez, 2012). Keuntungan menggunakan FAAS menurut Garcia & Baez
(2012) adalah sebagai berikut:
1. Sensitivitas dan batas deteksi yang lebih besar daripada metode lain
2. Analisis langsung dari beberapa jenis sampel cairan
3. Spektral interferensi rendah
4. Ukuran sampel yang sangat kecil
FAAS merupakan metode yang sangat tepat untuk analisis zat pada
konsentrasi rendah, teknik ini adalah teknik yang paling umum dipakai untuk
analisis unsur logam (Khopkar, 2007). Sampel yang diukur harus dalam bentuk
larutan jernih. Analisis dengan FAAS berdasarkan hukum Lambert Beer untuk
menyatakan hubungan antara absorbansi yang terukur dengan konsentrasi sampel
(Boybul & Iis, 2009).
16
Persamaan Lambert–Beer hanya dapat diterapkan untuk radiasi
monokromatik yaitu hubungan linier antara absorbansi dan konsentrasi jika lebar
pita (bandwith) dari sumber radiasi lebih sempit dari lebar puncak absorpsi.
Berikut persamaan Lambert–Beer:
A = ԑ .b . C
Keterangan:
A : absorbansi
ԑ : koefisien absorbsivitas molar (mol-1
dm3cm
-1)
b : tebal medium serapan (cm)
C : konsentrasi (mol dm-3
) (Hendayana, 1994)
Persamaan di atas ditunjukkan bahwa besarnya absorbansi berbanding lurus
dengan konsentrasi atom-atom pada tingkat tenaga dasar dalam medium nyala.
Banyaknya konsentrasi atom-atom dalam nyala tersebut sebanding dengan
konsentrasi unsur dalam larutan cuplikan. Kurva kalibrasi diperoleh dari
pemplotan serapan dan konsentrasi unsur dalam larutan standar. Konsentrasi
dalam larutan cuplikan diperoleh dengan menempatkan absorbansi dari suatu
cuplikan pada kurva standar.
17
2.4.1. Komponen FAAS
Gambar 2.4 Komponen FAAS (Anonim, 1996)
Komponen-komponen dalam FAAS adalah:
1. Monokromator
Monokromator dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang
gelombang yang digunakan dalam analisis. Di samping sistem optik, dalam
monokromator juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan radiasi
resonansi dan kontinyu yang disebut chopper.
2. Sumber Cahaya
Sumber cahaya yang paling populer adalah hollow cathode lamp (HCL).
HCL ini terbuat dari kaca yang berbentuk silinder. Anoda terbuat dari tungsten.
Bagian lampu mengandung gas inert, argon atau neon dibawah kondisi vakum
(100-200 Pa). Voltase yang biasa diterapkan diantara elektrode berkisar 300 V,
dengan 1-50 mA.
Beberapa lampu katoda berongga terdiri dari multi elemen, katodenya
mengandung beberapa logam. Lampu katoda berongga bersifat cerah, sumber
garis yang stabil baik untuk sebagian besar elemen. Namun, untuk beberapa
elemen volatile, di mana intensitas rendah dan masalah masa pakai lampu pendek,
18
namun dapat diatasi dengan electrodeless discharge lamp (EDL). EDL biasanya
lebih intens dari lampu katoda berongga karena itu menghasilkan presisi yang
lebih baik dan batas deteksi yang lebih rendah untuk beberapa elemen.
electrodeless discharge lamp dan hollow cathode lamp disajikan pada Gambar 2.5
sebagai berikut:
A B
Gambar 2.5 Sumber cahaya dalam FAAS
A. Hollow Cathode Lamp B. Electrodeless Discharge Lamp (Anonim, 1996)
3. Sistem pengatoman (Atomizer)
Atomizer adalah tempat dimana sampel teratomisasi, berupa nyala, tabung
graphite, atau tabung quartz. Fungsi atomizer unit adalah menghasilkan sebanyak
mungkin atom bebas pada ground state dan mempertahankan volume absorpsi
selama mungkin. Distribusi atom harus sebisa mungkin homogen dalam volume
absorpsi agar sesuai dengan kebutuhan hukum Lambert-Beer. Jalannya atomisasi,
seperti transfer sampel, khususnya analit, ke dalam bentuk atom bebas pada fase
gas, adalah proses yang penting dalam analisis dengan AAS. Mekanisme
19
pengatomisasian pada FAAS dalam Gambar 2.6.
MA (larutan) MA (aerosol) MA (padat) MA(gas)
M0 + A
0
M0
Gambar 2.6 Mekanisme Pengatomisasian (Dewi, 2011)
Kriteria yang paling penting dalam pemilihan atomizer yang sesuai untuk
analisis ditentukan dengan konsentrasi analit dalam sampel analisis, jumlah analit
yang ada, dan bentuk sampel (padat, larutan). Teknik furnace memperlihatkan
sensitivitas yang lebih baik dari nyala. Kriteria penting lainnya adalah sifat analit
itu sendiri, pertimbangan atomizer bermacam-macam pada kesesuaiannya untuk
mengatomisasi analit secara individual sebagai hasil temperatur dan reaksi kimia
pada berbagai tipe atomizer (Khopkar, 2007)
4. Detektor
Suatu alat yang mengubah energi radiasi menjadi isyarat listrik yang cocok
untuk diamati serta digunakan untuk mengukur intensitas cahaya memalui tempat
pengatoman. Biasanya digunakan tabung penggandaan foton. Ada dua cara yang
dapat digunakan dalam sistem deteksi, yaitu cara yang memberikan respon
trerhadap radiasi resonansi dan radiasi kontinyu, serta cara yang hanya respon
terhadap radiasi resonansi.
5. Rekorder
Sistem yang dapat menunjukkan besarnya syarat aliran listrik. Pencatatan
hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah dikalibrasi untuk pembacaan suatu
nebulizer Penguapan pelarut
20
transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva
dari suatu rekorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi
(BSN,2009).
2.4.2 Gangguan FAAS
FAAS memiliki 3 macam gangguan yaitu gangguan spektra, gangguan
fisika, dan gangguan kimia.
1. Gangguan Spektra
Gangguan spektra terjadi bila panjang gelombang dari unsur yang diperiksa
berhimpit dengan panjang gelombang dari atom atau molekul lain yang terdapat
dalam larutan yang sedang diperiksa. Jarak antara spektrum yang satu dengan
yang lain kurang dari 0,01 nm. Gangguan ini jarang dijumpai pada FAAS karena
penggunaan sumber cahaya yang spesifik untuk unsur yang bersangkutan (Roth &
Blasvhke, 1988 dalam Dewi, 2011).
Interferensi dalam pengukuran kadar Fe dengan FAAS adalah adanya logam
Co, Cu dan Ni yang dapat menurunkan absorbansi Fe. Gangguan ini sangat
tergantung pada kondisi api, dan dapat dikontrol dengan menggunakan nyala api
sangat panas. Adanya silikon juga dapat menurunkan absorbansi Fe, dapat diatasi
dengan penambahan 0,2% CaCl2 (Anonim, 1996). Panjang gelombang sinar emisi
logam Fe adalah 248,3 nm, sedangkan interfensinya yaitu logam Co, Cu, Ni dan
Si masing-masing memiliki panjang gelombang sinar emisi sebesar 240,7 nm,
324,8 nm, 232,2 nm, dan 251,6 nm.
2. Gangguan Fisika
Gangguan fisika dapat terjadi karena perubahan viskositas larutan yang
21
mempengaruhi kecepatan sampel menuju detektor dan konsentrasi sampel. Sifat-
sifat fisika zat yang diperiksa dan larutan pembanding harus sama agar tidak
terjadi gangguan tersebut. Sifat ini dapat diperbaiki dengan menggunakan pelarut
organik sehingga sensivitas dapat dinaikan 3 atau 5 kali bila dibandingkan dengan
pelarut air (Harmita, 2006 dalam Noriyanti, 2012).
3. Gangguan Kimia
Gangguan kimia terbagi dua yaitu, gangguan kimia dalam bentuk uap dan
bentuk padat. Gangguan kimia biasanya memperkecil jumlah atom pada level
energi terendah (ground state). Atom dalam bentuk uap dalam nyala dapat
berkurang karena terbentuknya senyawa seperti senyawa oksida atau klorida.
Gangguan ini dapat dikurangi dengan menggunakan nyala yang sesuai atau
dengan menambahkan unsur yang lebih mudah terionisasi dalam jumlah berlebih
(Ebdon, 2006 dalam Noriyanti, 2012).
Gangguan bentuk padat disebabkan karena terbentuknya senyawa yang
sukar menguap atau sukar terdisosiasi dalam nyala. Hal ini terjadi pada saat
pelarut menguap meninggalkan partikel-partikel padat waktu melewati nyala.
Gangguan padat dapat diatasi dengan mengubah kondisi nyala, misalnya dengan
menambah aliran bahan bakar atau menggunakan nyala dengan suhu yang lebih
tinggi, misalnya N2O-asetilen sehingga dapat memperkecil pembentukan oksida
yang stabil (Ebdon, 2006 dalam Dewi, 2011).
2.5 Inductively Coupled Plasma Optical Emission
Spectrophotometry (ICP-OES)
ICP-OES merupakan instrumen yang digunakan untuk menganalisis kadar
unsur-unsur logam dari suatu sampel dengan menggunakan metode
22
spektorfotometri emisi. Spektrofotometri emisi adalah metode analisis yang
didasarkan pada pengukuran intensitas emisi pada panjang gelombang yang khas
untuk setiap unsur. Gambar 2.7 menyajikan mekanisme spektrofotometri emisi
sebagai berikut:
Gambar 2.7 Mekanisme Spektrofotometri Emisi (Anonim, 1996)
ICP-OES adalah alat yang ampuh untuk penentuan logam dalam berbagai
matriks sampel yang berbeda. Sampel cairan yang disuntikkan ke dalam RF
diinduksi plasma argon pada teknik ini. Sampel kabut mencapai plasma yang
cepat kering, menguap, dan energi melalui eksitasi tumbukan pada suhu tinggi.
Pengukuran elemen tunggal dapat dilakukan dengan efektif dan sederhana dengan
tabung monokromator atau kombinasi photomultiplier (PMT), dan penentuan
multielemen simultan dilakukan hingga 70 elemen dengan kombinasi
polikromator dan detektor array.
Hou (2000) menjelaskan bahwa ICP-OES adalah salah satu yang paling
kuat dan populer alat-alat analisis untuk penentuan unsur jejak dalam berbagai
jenis sampel. Teknik ini didasarkan pada emisi spontan dari foton dari atom dan
ion dalam debit RF. Cair dan gas sampel dapat disuntikkan langsung ke
23
instrumen, sedangkan sampel padat memerlukan ekstraksi atau destruksi asam
sehingga analit dalam suatu larutan. Larutan Sampel dikonversi menjadi aerosol
dan diarahkan ke saluran pusat plasma. ICP-OES memiliki suhu sekitar 10.000 K,
sehingga aerosol cepat menguap. Unsur analit dibebaskan sebagai atom bebas
dalam keadaan gas.
Keuntungan utama dari analisis dengan ICP-OES adalah sumber eksitasi
berasal dari kemampuan yang efisien dalam melakukan penguapan, atomisasi,
eksitasi, dan ionisasi untuk berbagai elemen dalam berbagai matriks sampel. Hal
ini terutama disebabkan oleh suhu tinggi, di zona pengamatan ICP-OES yaitu
6000-7000 K. Suhu ini jauh lebih tinggi daripada suhu maksimum api atau tungku
(3300 K).
Suhu tinggi dari ICP-OES juga membuatnya mampu menganalisis unsur
refraktori dan menjadikan ICP-OES kurang rentan terhadap gangguan matriks.
Selain itu, ICP-OES merupakan sumber electrodeless, sehingga tidak ada
kontaminasi dari kotoran hadir dalam bahan elektroda. Selain itu, relatif mudah
untuk membangun perakitan ICP-OES dan itu adalah murah, dibandingkan
dengan beberapa sumber lain, seperti LIP.
Berikut ini adalah daftar beberapa karakteristik yang paling menguntungkan
dari sumber ICP-OES menurut Hou (2000) :
a. suhu tinggi (7000-8000 K)
b. kerapatan elektron tinggi (1014
-1016
cm-3
)
c. cukup besar tingkat ionisasi untuk banyak elemen
24
d. Kemampuan simultan multielement (lebih dari 70 elemen termasuk P dan
S)
e. emisi background rendah, dan gangguan kimia yang relatif rendah
f. stabilitas tinggi menyebabkan akurasi dan presisi yang sangat baik
g. batas deteksi yang sangat baik untuk sebagian besar elemen (0,1-100
ng/mL)
h. lebar linear dynamic range (LDR) (empat sampai enam kali lipat)
i. berlaku untuk unsur-unsur refraktori
2.5.1 Komponen ICP-OES
ICP-OES memiliki beberapa komponen atau instrumentasi yaitu plasma,
medan magnet, pompa peristaltik, nebulizer, spray chamber, RF generator,
difraksi kisi dan photomultiplier.
1. Plasma
Plasma adalah gas terionisasi yang dihasilkan ketika obor dinyalakan
dengan medan magnet yang kuat.
2. Medan magnet
Medan magnet adalah medan vektor yang dapat memberikan suatu gaya
magnet pada muatan listrik bergerak dan pada dipol magnetik. Ketika
ditempatkan dalam medan magnet, magnet dipol cenderung untuk menyelaraskan
dengan medan magnet dari RF generator dihidupkan.
3. Pompa peristaltik
Pompa peristaltik adalah jenis pompa perpindahan positif digunakan untuk
memompa berbagai cairan.Fluida yang terkandung dalam tabung fleksibel yang
25
dipasang di dalam casing pompa melingkar memberikan sebuah berair atau
sampel organik menjadi nebulizer.
4. Nebulizer
Nebulizer berfungsi untuk mengubah cairan sampel menjadi aerosol.
5. Spray chamber
Spray chamber berfungsi untuk mentransportasikan aerosol ke plasma, pada
spray chamber ini aerosol mengalami desolvasi atau volatisasi yaitu proses
penghilangan pelarut sehingga didapatkan aerosol kering yang bentuknya telah
seragam.
6. RF generator
RF generator adalah alat yang menyediakan tegangan (700-1500 Watt)
untuk menyalakan plasma dengan Argon sebagai sumber gas-nya. Tegangan ini
ditransferkan ke plasma melalui load coil, yang mengelilingi puncak dari obor.
7. Difraksi kisi
Difraksi kisi dalam optik adalah komponen optik dengan pola yang teratur,
yang terbagi menjadi beberapa sinar cahaya perjalanan di arah yang berbeda di
mana ia dipisahkan menjadi komponen-komponen radiasi dalam spektrometer
optik. Intensitas cahaya kemudian diukur dengan photomultiplier.
8. Photomultiplier
Photomultiplier merupakan sebuah tabung vakum, dan lebih khusus lagi
phototubes, dimana alat ini sangat sensitif terhadap detektor cahaya dalam bentuk
sinar ultraviolet, cahaya tampak, dan inframerah.
26
Analisis secara Flame Atomic Absorbtion Spectrophotometry dan
Inductively Coupled Plasma untuk sampel padat perlu dilakukan ekstraksi logam
dalam sampel. Salah satu metode untuk ekstraksi logam adalah dengan cara
destruksi basah yang dapat dilakukan dengan peleburan asam-asam mineral
pekat dan zat-zat pengoksidasi kuat. Asam-asam yang merupakan pengoksidasi
bahan mineral atau matriks sampel umumnya digunakan dalam destruksi basah
adalah HCl, HNO3, H2SO4, HClO4, H2O2, HF, dan H3PO4 (Mester & Sturgeon,
2003 dalam Pote, 2013).
Penggunaan asam-asam mineral sangat menguntungkan karena kelebihan
asam mudah dihilangkan, misalnya dengan penguapan, selain itu juga dapat
dibuat berbagai variasi campuran asam-asam tersebut. Akua regia atau air raja
adalah salah satu hasil kombinasi asam-asam mineral yaitu dari tiga bagian HCl
pekat dan satu bagian HNO3 pekat. Akua regia memiliki daya oksidasi yang
sangat tinggi. Akua regia dapat melarutkan hampir semua logam termasuk logam-
logam mulia, seperti Au, Pt, Pd dan lain-lain yang bersifat refraktori
(Trisunaryanti et al., 2002).
2.6 Validasi Metode
Tujuan utama yang harus dicapai dari suatu kegiatan analisis kimia adalah
dihasilkannya data hasil uji yang absah (valid). Secara sederhana hasil uji yang
absah dapat digambarkan sebagai hasil uji yang mempunyai akurasi (accuracy)
dan presisi (precission) yang baik.
27
Seperti yang tertuang dalam ISO/IEC 17025, validasi diartikan sebagai
kegiatan konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan bukti yang objektif bahwa
persyaratan tertentu untuk suatu maksud khusus harus dipenuhi (Aradea, 2014).
Validasi metode analisis adalah suatu proses penilaian terhadap metode
analisis tertentu berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa
metode tersebut memenuhi persyaratan untuk digunakan (Harmita, 2004). Selain
itu, validasi metode dilakukan jika terjadi perubahan kondisi antara kondisi
analisis dan kondisi pada saat validasi metode, atau terjadi perubahan metode dari
metode standar. Beberapa manfaat validasi metode analisis adalah untuk
mengevaluasi hasil kerja suatu metode analisis, menjamin prosedur analisis,
menjamin keakuratan dan kedapatulangan hasil prosedur analisis, dan mengurangi
resiko penyimpangan yang mungkin timbul (Wulandari, 2007).
Wulandari (2007) menjelaskan bahwa tujuan dari validasi metode adalah
untuk mengetahui penyimpangan yang tidak dapat dihindari dari suatu metode
kondisi normal dimana seluruh elemen terkait telah dilaksanakan dengan baik.
Validasi metode dapat diperkirakan dengan pasti tingkat kepercayaan yang
dihasilkan oleh suatu metode pengujian maupun dari metode instrumen yang
digunakan.
Parameter-parameter unjuk kerja metode ditentukan dengan menggunakan
peralatan yang memenuhi spesifikasi dalam proses validasi metode, bekerja
dengan baik dan terkalibrasi secara memadai. Secara umum, validasi metode
mencakup penentuan yang berkaitan dengan alat dan metode (Nugroho, 2006).
28
Hasil uji validasi dari metode analisis dapat dinyatakan dalam beberapa parameter
yaitu:
2.6.1 Linieritas
Linieritas menunjukkan kemampuan suatu metode analisis untuk
memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan konsentrasi analit dalam contoh
pada kisaran konsentrasi tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat
kurva kalibrasi dari beberapa set larutan standar yang telah diketahui
konsentrasinya. Persamaan garis yang digunakan pada kurva kalibrasi diperoleh
dari metode kuadrat terkecil, yaitu y = a + bx. Persamaan ini akan menghasilkan
koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi inilah yang digunakan untuk mengetahui
linieritas suatu metode analisis. Penetapan linieritas minimum menggunakan lima
konsentrasi yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang memenuhi persyaratan
adalah lebih besar dari 0,9970 (ICH 1995 dalam Chan 2004). Miller dan Miller
(1991) menjelaskan bahwa dalam suatu analisis harga koefisien korelasi (r) ini
sebaiknya > 0,99.
Limit of Detection atau limit deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam
sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan
dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas.
Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode
analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak
menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit
dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi
dapat dihitung dengan mengukur respon blangko beberapa kali lalu dihitung
29
simpangan baku respon blangko (Hidayati, 2013). Perkin-Elmer (2008)
menyatakan bahwa limit deteksi logam Fe dengan AAS adalah 5 µg/L, sedangkan
untuk ICP-OES sebesar 0,1 µg/L.
Riyanto (2014) menyatakan untuk penentuan limit deteksi dapat dihitung
dari uji linieritas yaitu berdasarkan pada standar deviasi (SD) dengan rumus:
SD = √
LoD =
Keterangan:
SD : Nilai standar deviasi
LoD : Limit deteksi
y : Nilai absorbansi/intensitas hasil pengukuran
: Absorbansi/intensitas perhitungan dalam persamaan regresi
n : Jumlah ulangan
Limit of Quantitation (LoQ) adalah parameter yang menunjukkan jumlah
terkecil dari analit yang terkandung dalam sampel yang dapat dikuantifikasi
secara presisi dan akurat (Hidayati, 2013). Parameter ini digunakan untuk
pengujian kuantitatif analit dengan jumlah kecil yang terkandung dalam sampel
dan digunakan untuk pengukuran cemaran serta produk degradasi. Riyanto (2014)
menjelaskan untuk penentuan limit kuantitasi dapat digunakan rumus:
SD = √
LoQ =
30
Keterangan:
SD : Nilai standar deviasi
LoQ : Limit kuantitasi
y : Nilai absorbansi/intensitas hasil pengukuran
: Absorbansi/intensitas perhitungan dalam persamaan regresi
n : Jumlah ulangan
2.6.2 Akurasi
Akurasi atau ketepatan suatu metode analisis didefinisikan sebagai
kedekatan hasil yan diterima (baik sebagai nilai teoritis maupun sebagai nilai
rujukan yang diterima) dengan nilai yang diperoleh dari hasil pengukuran (ICH
1995 dalam Chan 2004). Akurasi adalah suatu kedekatan kesesuaian antara hasil
suatu pengukuran dan nilai benar dari kuantitas yang diukur atau suatu
pengukuran posisi yaitu seberapa dekat pengukuran terhadap nilai benar, yang
diperkirakan (AOAC, 1993 dalam Hidayati, 2013). Ada tiga macam metode yang
dapat dilakukan untuk uji akurasi, antara lain:
a. Material standar dilakukan dengan membandingkan hasil akurasi analisis uji
terhadap cuplikan acuan standar atau Standard Reference Material.
b. Metode baku dilakukan dengan membandingkan hasil analisis analit dengan
metode yang divalidasi terhadap hasil dengan metode standar.
c. Perolehan kembali (recovery) dilakukan dengan menambahkan sejumlah
kadar analit yang telah diketahui konsentrasinya ke dalam matriks sampel
yang akan dianalisis.
31
Uji perolehan kembali (recovery) lebih sering digunakan dibanding dengan
material standar dan metode baku, karena uji recovery lebih mudah dilakukan dan
dengan biaya yang lebih murah. Uji perolehan kembali dilakukan untuk mengukur
ketepatan hasil dari analisis yang telah dilakukan. Dicoba dua perlakukan yang
diambil dari satu contoh atau contoh yang sama, masing-masing satu untuk contoh
yang ditambahkan standar dan satu lagi untuk larutan blangko (contoh tanpa
penambahan larutan standar). Uji akurasi dapat diukur dengan menentukan
presentase perolehan kembali (% recovery) dari analit yang ditambahkan ke
dalam contoh. Suatu metode dikatakan valid apabila nilai presentase recovery dari
suatu standar antara 90-110% (Sumardi, 2002). Namun jika komponen yang
dianalisis merupakan trace analysis maka presentase recovery yang disyaratkan
adalah 100% ± 20.
% Recovery =
x 100%
Keberterimaan nilai %recovery berdasarkan nilai konsentrasi sampel menurut
Riyanto (2014) disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Nilai %recovery berdasarkan nilai konsentrasi sampel
Analit pada matriks sampel Recovery yang diterima
(%)
10 < A ≤ 100 (%) 98-102
1 < A ≤ 10 (%) 97-103
0,1 < A ≤ 1 (%) 95-105
0,01 < A ≤ 0,1 (%) 90-107
100 ppb < A ≤ 1 ppm 80-110
10 ppb < A ≤ 100 ppb 60-115
1 ppb < A ≤ 10 ppb 40-120
32
2.6.3 Presisi
Presisi adalah suatu ukuran penyebaran (dispersi suatu kumpulan hasil),
kedekatan dari suatu rangkaian pengukuran berulang-ulang satu sama lain.
Ketelitian prosedur analisis menyatakanke dekatan hasil dari sederet pengukuran
yangdiperoleh dari contoh yang homogen padakondisi tertentu (ICH, 1995 dalam
Chan, 2004). Presisi diterapkan pada pengukuran berulang-ulang sehingga
menunjukkan hasil pengukuran individual didistribusikan sekitar nilai rata-rata
tanpa menghiraukan letak nilai rata-rata terhadap nilai benar.
Presisi menggambarkan kesalahan acak dari suatu hasil pengukuran.
Kesalahan acak berasal dari pengaruh-pengaruh yang tidak dapat diperkirakan,
bervariasi terhadap ruang, dan bersifat sementara. Kesalahan acak sulit untuk
dihindari, banyak berhubungan dengan instrument ukur, peralatan contoh yang
diukur, prosedur, dan lingkungan.
Iriani (2006) menjelaskan bahwa dalam penentuan presisi dapat dilakukan
dengan tiga pendekatan, antara lain:
1. Replicability yaitu pelaksana, waktu, contoh, alat dan laboratorium
dilakukan pada waktu bersamaan.
2. Repeatibility adalah pelaksana, contoh alat dan laboratorium sama tetapi
dilakukan dengan waktu yang bebeda.
3. Reproducebility : Intra (dalam satu laboratorium) contoh metoda dan alat
sama pelaksana berbeda, waktu bisa sama atau beda. Inter (berbeda
laboratorium) contoh dan metoda sama, pelaksana dan alat berbeda waktu
bisa sama atau berbeda.
33
Presisi dinyatakan sebagai presentase Relative Standard Deviation (%
RSD) dari suatu seri pengukuran (Sumardi, 2002). Berikut merupakan rumus %
RSD:
SD = √
% RSD =
x 100%
Keterangan :
SD : Nilai standart deviasi
RSD : Nilai relative standart deviation
x : Nilai data pengukuran
: Rata-rata pengukuran
n : Jumlah ulangan
RSD menunjukkan ketelitian dari metode uji :
RSD 1% (sangat teliti)
1% < RSD 2% (teliti)
2% < RSD 5% (ketelitian sedang)
RSD > 5% (tidak teliti)
Persentase RSD yang disyaratkan adalah 0% ± 20 jika komponen yang
dianalisis merupakan trace analysis, dengan artian bahwa pada kisaran 0% ± 20
metode uji tergolong teliti.
2.7 Uji t
Uji t tidak berpasangan dilakukan untuk mengetahui perbedaan hasil analisis
konsentrasi kedua metode. Sukestiyarno (2012) menyatakan bahwa uji t tidak
34
berpasangan atau sering diistilahkan dengan Independent sample t-test adalah
jenis uji statistika yang bertujuan untuk membandingkan rata-rata dua grup yang
tidak saling berpasangan atau saling bebas. Tidak saling berpasangan dapat
diartikan bahwa penelitian dilakukan untuk dua subjek sampel yang berbeda.
Berikut merupakan rumus t:
√
(
)
Keterangan:
t : Nilai thitung
1 : Rata-rata pengukuran dengan varians terbesar
2 :Rata-rata pengukuran dengan varians terbesar
: Varians terbesar
: Varians terkecil
n1 : Jumlah sampel dengan varians terbesar
n2 : Jumlah sampel dengan varians terbesar
59
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka diperoleh simpulan
sebagai berikut:
1. Konsentrasi Fe hasil analisis dengan FAAS sebesar 104.938,7892 mg/kg,
sedangkan konsentrasi Fe hasil analisis dengan ICP-OES sebesar
68.147,5714 mg/kg.
2. Hasil uji validitas yang telah dilakukan didapatkan uji recovery dengan
menggunakan FAAS sebesar 106,87%, uji presisi yang dinyatakan
dengan %RSD untuk metode replicability diperoleh %RSD 1,15%,
sedangkan uji presisi dengan metode repeatibility diperoleh 4,02%.
Linieritas yang didapat dengan metode analisis FAAS yaitu 0,9997
dengan LoD dan LoQ berturut-turut 0,4360 mg/L dan 1,4534 mg/L
Sedangkan hasil uji recovery dengan ICP-OES adalah sebesar 97,97%.
Uji presisi pada ICP-OES dengan metode replicability diperoleh 0,65%
dan 1,69% untuk metode repeatibility, dengan linieritas 0,9999. LoD
yang didapat yaitu 0,2291 mg/L dan LoQ sebesar 0,7635 mg/L.
3. Berdasarkan uji t tidak berpasangan atau independent sample-t diketahui
bahwa hasil pengukuran kedua metode berbeda secara signifikan dan
hasil uji validitas analisis logam Fe dalam sedimen Sungai Kaligarang
hasil penelitian diketahui baik FAAS maupun ICP-OES menghasilkan
validitas yang berbeda. FAAS menghasilkan validitas yang tergolong
60
cukup baik dalam analisis logam Fe, namun ICP-OES menghasilkan
validitas yang cenderung lebih baik dibandingkan dengan FAAS baik
dilihat dari nilai linieritas, akurasi maupun presisinya.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan saran
untuk pengukuran konsentrasi menggunakan FAAS maupun ICP-OES harus
masuk range daerah kerja. Untuk konsentrasi sampel yang memiliki absorbansi
besar FAAS dapat dilakukan pengenceran, sedangkan untuk ICP-OES konsentrasi
sampel yang memiliki intensitas besar dapat dilakukan dengan pengenceran atau
dengan membuat kurva kalibrasi dengan konsentrasi tinggi sehingga intensitas
dapat masuk range kerja tanpa pengenceran.
61
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, T. 2010. Kontaminasi Logam Berat Pada Makanan Dan Dampaknya
Pada Kesehatan. Jurnal Teknubuga, 2(2): 53-65.
Akoto, O., T.N. Bruce, & G. Darko. 2008. Heavy metals pollution profiles in
streams serving the Owabi reservoir. African Journal of Environmental
Science and Technology, 2(11): 354-359.
Amin, B. 2002. Distribusi logam berat Pb, Cu, dan Zn pada Sedimen di Perairan
Telaga Tujuh Karimun Kepulauan Riau. Jurnal Natur Indonesia, 5(1): 9-16.
Andarani, P. & D. Roosmini. 2010. Profil Pencemaran Logam Berat (Cu, Cr, dan
Zn) Pada Air Permukaan dan Sedimen di Sekitar Industri Tekstil PT X
(Sungai Cikijing). Bandung : ITB
Anis, S. & Gusrizal. 2006. Pengaruh pH dan penentuan kapasitas adsorpsi logam
berat pada biomassa Eceng Gondok (Eichhornia crassipes). Indo. J. Chem,
6(1): 56–60.
Anonim. 1996. Analytical Methods for Atomic Absorption Spectroscopy. United
States of America : The Perkin-Elmer Corporation.
Aradea, A. 2014. Your reliable partner for accredited lab. Semarang: PT Merck
Tbk.
Arifin, Z. 2011. Heavy Metals Concentrations In Water, Sediment And Biota In
Kelabat Bay, Bangka Island. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis 3
(1): 104-114.
Astuti, S., E. Triyono & Sulasih. 2012. Teknologi Proses Penyisihan Logam Besi
Pada Air Permukaan Dengan Metode Elektrolisa Dalam Upaya
Mendapatkan Air Yang Layak Di Konsumsi. Jurnal Teknis, 7(3) :149 – 155.
Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah. 2009. Laporan Program Kali Bersih
XXI. Semarang: BLH Jateng.
Badan Standardisasi Nasional. 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat
dalam Makanan. SNI 7387.
Berghof. 2015. Theory of Sample Preparation Using Acid Digestion, Pressure
Digestion and Microwave Digestion (microwave Decompotition). Germany:
Berghof.
Boybul & H. Iis. 2009. Analisis Unsur Pengotor Fe, Cr, Dan Ni Dalam Larutan
Uranil Nitrat Menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom. Seminar
Nasional V SDM Teknologi Nuklir . Yogyakarta: BATAN.
62
Chan, C.C., L. Herman., Y.C. Lee, & X.M. Zhang. 2004. Analytical Method
Validation and Instrument Performance Verification. Canada: John Wiley &
Sons.
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UI Press.
Dewi, N.K., R. Prabowo & N.K. Trimartuti. 2014. Analisis Kualitas Fisiko Kimia
dan Kadar Logam Berat pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) dan Ikan Nila
(Oreochromis niloticus L.) di Perairan Kaligarang Semarang. Biosaintifika
Journal of Biology & Biology Education, 6 (2) :109-116
Dewi. 2011. Analisis Cemaran Logam Timbal (Pb), Tembaga (Cu), dan Kadmium
(Cd) dalam Tepung Gandum secara Spektrofotometri Serapan Atom.
Skripsi. Depok : FMIPA UI.
EPA-Ohio. 2001. Sediment Sampling Guide and Methodologies 2nd edition.
Ohio: Environmental Protection Agency.
Firmansyaf, A.D., B. Yulianto, & S. Sedjati. 2013. Studi Kandungan Logam Berat
Besi (Fe) Dalam Air, Sedimen Dan Jaringan Lunak Kerang Darah (Anadara
Granosa Linn) Di Sungai Morosari Dan Sungai Gonjol Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak. Journal Of Marine Research, 2 (2): 45-54.
Franklin. 2001. AAS, GFAAS,ICP or ICP-MS? Which technique should I use?.
United kingdom: Thermo Elemental
Garcia, R. & A.P. Baez. 2012. Atomic Absorption Spectrometry (AAS). Mexico:
Universidad Nacional Autonoma de Mexico.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Metode dan Cara Perhitungannya.Majalah
Ilmu Kefarmasian.1(3): 117-135.
Harmita. 2006. Analisis Kuantitatif Bahan Baku dan Sediaan Farmasi. Jakarta:
Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia.
Hendayana, S. 1994. Kimia Analisis Instrumen. Semarang: IKIP Semarang Press.
Hidayati, E.N. 2013. Perbandingan Metode Destruksi Pada Analisis Pb dalam
Rambut dengan AAS. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Hou, X. & B.T. Jones. 2000. Inductively Coupled Plasma/Optical Emission
Spectrometry.Encyclopedia of Analytical Chemistry R.A. Meyers (Ed.):
9468–9485.
Ika, Tahril, & I. Said. 2012. Analisis Logam Timbal (Pb) dan Besi (Fe) dalam Air
laut di Wilayah Pesisir Pelabuhan Ferry Taipa Kecamatan Palu Utara.
Jurnal Akademi Kimia 1(4): 181-186.
63
Iriani, N. 2006. Validasi Metoda Analisis Protein Dengan Auto Analyzer II. Temu
Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Isa, I., M. Jahja, & M. Sakakibara. 2014. Potensi Tanaman Genjer (Lamncharis
Flava) Sebagai Akumulator Logam Pb dan Cu. Laporan Penelitian.
Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.
Isneni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.
Kristianingrum, S. 2012. Kajian Berbagai Proses Destruksi Sampel Dan Efeknya.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian. Yogyakarta: UNY.
Meador, J.P., D.W. Ernest, & A.N. Kogley. 2005. Science of the Total
Environmental. 339:189.
Miller, J.C. & J.N. Miller. 1991. Statistika untuk Kimia Analitik Edisi Kedua.
Translated by Drs. Suroso, M.Sc. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Nasution, H.I. 2012 Analisis Kandungan Logam Berat Besi (Fe) Dan Seng (Zn)
Pada Air Sumur Gali Di Sekitar Tempat Pembungan Akhir Sampah. Jurnal
Penelitian Saintika, 12 (2):165-169.
Noriyanti, T. 2012. Analisis Kalsium, Kadmium dan Timbal pada Susu Sapi
Secara Spektrofotometri Serapan Atom. Skripsi. Depok: FMIPA UI.
Nugroho, A., W. Hendro, & S. Fatimah. 2006. Validasi Metode Alat ICP-AES
Plasma 40 untuk Pengukuran Unsur CR, P, Ti.Jurnal Pusat Teknologi
Bahan Bakar Nuklir, BATAN.12, (2), 100-107.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta : Rineka
Cipta.
Perkin-Elmer. 2008. World Leader in AA, ICP-OES, and ICP-MS. USA: Perkin-
Elmer
Pote, L.L., N.H. Aprilita, & A. Suratman, 2013. Penghilangan Interferensi Fe dan
Mn dengan Ekstraksi Pelarut pada Penentuan Co dan Cu dalam Pirolusit
Menggunakan Spektrometri Serapan Atom. Berkala MIPA, 23(2):111-123.
Riyanto. 2014. Validasi & Verifikasi Metode Uji. Yogyakarta: Deepublish.
Ronquillo, U. 2009. Mengatasi Zat Besi (Fe) Tinggi dalam Air.
http://advancebpp.wordpress.co m/2009/04/16/mengatasi-zatbesi- fetinggi-
dalam-air (Akses 26 Mei 2015).
Sahara, E. 2009. Distribusi Pb dan Cu pada berbagai ukuran partikel sedimen di
Pelabuhan Benoa. Bali.
64
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
sebagai salah satu indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal
Oseana 30(3): 21-26
Sari, H.A., & P. Sugili. 2010. Pemisahan Ion Fe dan Mn Dalam Larutan
Menggunakan Pasir besi termagnetisasi. Jurnal Seminar nasional
visdmteknologi nuklir, STTN BATAN: 727
Sucipto. 2008. Kajian Sedimentasi Di Sungai Kaligarang Dalam Upaya
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kaligarang, Semarang. Tesis. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Sugiyarto, K.H. 2003. Kimia Anorganik. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Sukardjo. 1985. Kimia Koordinasi. Jakarta: Bina Aksara.
Sukestiyarno. 2012. Statistika Dasar. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Sumardi. 2002. Validasi Metode Pengujian. Makalah disampaikan pada pelatihan
asesor laboratorium Penguji. Jakarta: Pusat Standarisasi dan Akreditasi
Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian.
Trisunaryanti, W., Mudasir, & S. Saroh. 2002. Study of Matrix Effect on The
Analysis of Ni and Pd by AAS in The Destruats of Hidrocracking
Catalysts Using Aqua Regia and H2SO4. Indonesian Journal of Chemistry,
2(3): 177-185.
Tyler, G. 1991. ICP-AES INSTRUMENTS AT WORK. Australia: Varian Australia
Pty Ltd.
Tyler, G. 2000. ICP-OES, ICP-MS and AAS Techniques Compared. France: Jobin
Yvon Horiba.
Widyananto, A. 2010. Merubah Batuan Besi Menjadi Bahan Anti Kanker.
Tersedia di http://sintink.blog.com/2010/01/08/merubah-batuan-besi-
menjadi-bahan-anti-kanker/ (Akses 26 November 2015).
Wulandari, N. 2007. Validasi Metode Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet untuk
Penentuan Reserpin dalam Tablet Obat. Skripsi. Bogor: Departemen Kimia
FMIPA IPB.
Yudo, S. 2006. Kondisi Pencemaran Logam Berat di Perairan Sungai DKI
Jakarta. Jurnal Penelitian 2 (1): 1-15.
Yulianti, D. & Sunardi. 2010. Identifikasi pencemaran logam pada sungai
Kaligarang dengan metode analisis aktivasi netron cepat (AANC). Jurnal
Penelitian Batan 8(1): 34-45.